Anda di halaman 1dari 43

Rangkuman Dokumen Proyek

Sistem Pangan, Tata Guna Lahan dan Restorasi


Food Systems, Land Use and Restoration (FOLUR)

1. JUDUL PROYEK
Memperkuat keberlanjutan dalam sistem komoditas dan pangan, restorasi lahan dan tata guna lahan
melalui pengelolaan lanskap terpadu untuk berbagai manfaat di Indonesia.

2. TUJUAN PROYEK
Untuk mentransformasi pengelolaan sistem dan lanskap berbasis kelapa sawit, kakao, kopi, dan beras
di Indonesia untuk menghasilkan berbagai manfaat lingkungan.

3. LATAR BELAKANG DAN KONTEKS


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di antara Samudra Hindia dan Pasifik dan
memiliki luas daratan gabungan 1.904.569 km2, negara terbesar kelima berdasarkan luas daratan.
Indonesia memiliki beberapa kawasan hutan tropis terpenting di dunia, yang memiliki keanekaragaman
hayati yang bernilai sangat penting secara global. Sebagaimana dilaporkan dalam Strategi dan Rencana
Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP)1 2015-2020, negara ini memiliki 15% mamalia dunia, 40%
kadal, 16% spesies burung. Ekosistem terestrial ini juga penting bagi mata pencaharian jutaan individu
rentan yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sekitar 64% dari total luas daratan Indonesia diklasifikasikan sebagai lahan hutan2 – mewakili beberapa
cadangan karbon terbesar di dunia. Luas kawasan hutan sekitar 120,3 juta ha dan kawasan non-hutan
367,5 juta ha. Sekitar 18% kawasan hutan dikategorikan sebagai hutan konservasi, 25% sebagai hutan
lindung, 47% sebagai hutan produksi dan 10% sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun,
hutan yang sangat beragam ini terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan yang berkelanjutan. Tata
kelola hutan adalah salah satu tantangan terus-menerus yang dihadapi oleh negara, terkait dengan lapisan
sistem yurisdiksi, kemiskinan, kerentanan mata pencaharian, dan ketidakamanan tenurial. Selain itu,
persaingan prioritas dan alokasi penggunaan lahan, terutama untuk komoditas dan produksi tanaman,
telah menyebabkan lebih banyak hilangnya hutan yang dikaitkan dengan ekspansi pertanian ke hutan dan
lahan gambut yang dilindungi. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan telah
mengakibatkan degradasi lahan yang luas; lahan terdegradasi di Indonesia diperkirakan mencapai 24,3
juta ha pada tahun 2013.3 Konsekuensi dari pengelolaan hutan dan lahan yang tidak lestari berdampak
luas, misalnya, diperkirakan 52% emisi gas rumah kaca (GRK) nasional dihasilkan dari Pertanian,
Kehutanan dan penggunaan lahan lainnya termasuk kebakaran gambut.45
Sebagaimana diuraikan dalam First Nationally Determined Contribution (NDC) 2016, rencana Indonesia
untuk bertransformasi ke ekonomi rendah karbon dan membangun ketahanan dalam sistem pangan, air,

1 Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020, The Ministry of National Development Planning (BAPPENAS), 2016.
2 Indonesia state of the forests, December 2020
3 Republic of Indonesia – Land Degradation Neutrality National Report, Jakarta 2015.
4 Republic of Indonesia – First Nationally Determined Contribution, November 2016.
5 2018 Biennial update report to UNFCCC
dan energinya terutama terdiri dari tindakan di bidang pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan
lainnya:
 Pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan.
 Pengelolaan daerah aliran sungai secara terpadu.
 Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan.
 Konversi lahan.
 Pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan.
 Peningkatan efisiensi energi dan pola konsumsi.
Terdapat tantangan yang cukup besar terkait pencapaian tindakan ini, karena Indonesia adalah produsen
minyak sawit terbesar di dunia, dan masuk sebagai sepuluh besar penghasil kakao, kopi, dan beras.
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta, permintaan domestik
untuk komoditas dan tanaman ini cukup besar.
Pengelolaan komoditas yang diperdagangkan secara global (kakao, kopi, dan kelapa sawit) yang tidak
berkelanjutan, dan ekspansinya ke kawasan hutan, menyebabkan dampak besar pada keanekaragaman
hayati yang penting secara global, degradasi sumber daya tanah dan air, hilangnya cadangan karbon, dan
degradasi daerah aliran sungai yang penting untuk menjaga aliran air ke daerah produksi padi. Produksi
beras itu sendiri merupakan sumber hasil dampak lingkungan yang signifikan secara global, dalam bentuk
kontaminasi tanah dan ekosistem perairan yang penting secara global karena penggunaan bahan kimia
pertanian yang berlebihan dan tidak tepat, dan pembentukan gas metana (gas rumah kaca yang kuat) dari
sistem padi yang tergenang.
Fokus yang sempit pada produksi tanaman komersial yang diperdagangkan secara global oleh petani tidak
berkelanjutan secara lingkungan dan sosial – bahkan dalam kasus tanaman tahunan seperti kopi dan
kakao yang berpotensi menghasilkan manfaat lingkungan jika dikelola dengan tepat – karena volatilitas
pasar global untuk tanaman ini dan kerentanannya terhadap dampak perubahan iklim global.
Sejumlah besar pelaku rantai nilai global utama telah berkomitmen pada sumber yang berkelanjutan dari
produk yang mereka perdagangkan, untuk memenuhi tujuan tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan dan untuk memenuhi persyaratan konsumen untuk produksi yang berkelanjutan. Hal ini
memberi para petani sumber potensial utama dari insentif berbasis pasar untuk produksi yang
berkelanjutan. Namun, saat ini kemampuan mereka untuk memanfaatkan peluang ini dibatasi oleh
pemutusan mereka dari rantai nilai “hijau” ini dan kapasitas teknis mereka yang terbatas untuk memenuhi
kebutuhan mereka yang berkaitan dengan standar lingkungan, kualitas produk dan kehandalan pasokan.
Meskipun ada komitmen kebijakan yang signifikan terhadap keberlanjutan oleh Pemerintah Indonesia,
namun masih ada prioritas yang saling bertentangan diantara leading sektor. Kementerian Pertanian
misalnya memprioritaskan kebijakan untuk mendukung ketersediaan bahan pangan pokok yaitu beras
dan jagung, tetapi di sisi lain juga bertujuan untuk meningkatkan ekspor komoditas strategis. Pemerintah
juga telah mempromosikan pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati, yang semakin
meningkatkan kekhawatiran mengenai perambahan ke dalam ekosistem yang bernilai konservasi tinggi
(HCV) atau spesies yang bernilai konservasi tinggi (HCS). Selain itu, kapasitas, pengetahuan, perangkat,
instrumen peraturan, dan insentif untuk menerapkan kebijakan progresif masih belum dikembangkan
secara memadai, dan sektor pertanian dan lingkungan terus terkotak-kotak, belum memiliki visi terpadu
yang diperlukan jika pembangunan sosial dan ekonomi dan pengelolaan lanskap harus berkelanjutan.
4. Maksud Proyek dan Kriteria Utama
Berdasarkan latar belakang di atas, proyek ini secara khusus berfokus untuk menghasilkan beragam
manfaat bagi keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan degradasi lahan melalui pengelolaan lanskap
terpadu, produksi komoditas dan sistem pertanian yang berkelanjutan dan tangguh, serta restorasi
partisipatif dan tata kelola hutan. Kelapa sawit, kopi, dan kakao adalah tiga dari lima komoditas yang
diperdagangkan secara global yang secara khusus ditargetkan oleh Program Dampak FOLUR, di mana
permintaan yang meningkat sebagai sumber bahan baku untuk perdagangan komoditas global akan
meningkatkan risiko deforestasi di seluruh dunia; sementara beras adalah salah satu tanaman pangan
pokok yang penting secara global, pasokan global yang berkelanjutan terancam oleh degradasi
lingkungan, dan rantai nilai yang terkait dengan hilangnya habitat alami, erosi keanekaragaman genetik,
eksploitasi berlebihan sumber daya tanah dan air, penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara
berlebihan, peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), dan praktik yang tidak efisien yang menyebabkan
hilangnya dan terbuangnya makanan.
Penguatan keberlanjutan di sektor-sektor ini di Indonesia akan memberikan kontribusi yang substantif
terhadap transformasi sistem pangan global, mengingat Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar
di dunia dan produsen utama kakao, kopi, dan beras, dan fakta bahwa negara ini memiliki wilayah yang
sangat luas, keanekaragaman hayati yang signifikan secara global dan cadangan karbon yang sangat besar
dalam susunan kompleks ekosistem hutan dan lahan gambut.
Proyek ini bertujuan untuk mendorong dan memperkuat rantai nilai berkelanjutan dari minyak sawit,
kopi, kakao dan beras melalui penerapan pendekatan pengelolaan lanskap yang komprehensif yang
mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati, restorasi ekosistem dan produksi berkelanjutan
dari tanaman pangan dan komersial dalam skala besar. Proyek telah memilih lima target geografi, masing-
masing sesuai dengan batas administrasi provinsi (yurisdiksi) dan berisi satu kabupaten kunci, yang
dianggap sebagai lanskap intervensi, berdasarkan kriteria di bawah ini:
i. Lanskap produksi yang tetap penting untuk manfaat lingkungan global (Global Environment
Benefits/GEB), tetapi hutan yang tersisa terancam oleh ekspansi komoditas komersial.
ii. Lanskap/sistem produksi untuk tanaman pangan atau ternak yang penting secara global yang
menciptakan eksternalitas yang besar.
iii. Lanskap “Perbatasan” di mana ada peluang untuk ekspansi dan ekspliotasi hutan yang didorong oleh
kepentingan komoditas komersial.
iv. Lanskap yang sangat terdegradasi membutuhkan restorasi untuk jasa ekosistem yang mereka berikan
untuk produksi pertanian.

5. WILAYAH PROYEK
Berdasarkan 4 kriteria utama yang telah ditetapkan oleh Global Environment Facility (GEF)
sebagai donor atas proyek ini, UNDP, FAO, Kemenko Perekonomian bersama-sama dengan Tim
Perumus Dokumen Proyek telah memilih wilayah proyek sebagai berikut:
6. ANALISIS MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah baik melalui studi dokumen maupun penjajakan lapangan yang telah
dilakukan selama masa penyusunan dokumen proyek, telah diidentifikasi berbagai masalah terutama
yang berhubungan dengan degradasi lingkungan.
Ancaman dan Akar Penyebab
Jika dikelola dengan baik, tanaman tahunan seperti kopi dan kakao memiliki potensi untuk menghasilkan
manfaat lingkungan yang lebih besar daripada banyak alternatif seperti tanaman tahunan dan padang
rumput, dan jika berkelanjutan dan menguntungkan dapat memungkinkan bagi petani untuk memenuhi
kebutuhan mata pencaharian mereka tanpa harus menggunakan perambahan pada atau dengan cara lain
merusak habitat alami. Interaksi kompleks dari sejumlah faktor, yang digambarkan pada gambar berikut
ini, berarti bahwa potensi ini saat ini tidak direalisasikan, dan lanskap target (bersama dengan banyak
wilayah lainnya di Indonesia yang memiliki karakteristik yang sama) sebagai akibatnya tunduk pada
masalah serius yakni hilangnya hutan dan degradasi lingkungan dengan implikasi lokal, nasional dan
global.
Sementara masing-masing dari 5 yurisdiksi target memiliki karakteristik yang berbeda, ada kesamaan
dalam ancaman yang mempengaruhi mereka. Di semua yurisdiksi target, tanaman komersial meluas ke
kawasan hutan, yang menyebabkan hilangnya nilai keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, serta
degradasi fungsi dan layanan ekosistem. Ini terjadi di hutan yang “dapat dikonversi” dan “tidak dapat
diubah”. Dalam kasus hutan yang dapat dikonversi, konversi hutan untuk produksi tanaman sebenarnya
diperbolehkan oleh undang-undang; namun, dalam banyak kasus, cara pelaksanaannya mengarah pada
dampak lingkungan yang tidak perlu – misalnya digunakan praktik yang merusak lingkungan (seperti
pembukaan lahan mekanis yang mengganggu atau penerapan pestisida tingkat tinggi), atau area yang
peka terhadap lingkungan tidak tunduk pada perlindungan khusus atau ketentuan pengelolaan. Ekspansi
tanaman ke dalam hutan yang “tidak dapat dikonversi” sangat signifikan dalam menyebabkan hilangnya
nilai lingkungan, mengingat bahwa hutan-hutan ini telah secara khusus dikategorikan oleh Pemerintah
untuk perlindungan atau pengelolaan berkelanjutan, karena pentingnya bagi keanekaragaman hayati
dan/atau penyediaan jasa ekosistem. Proses-proses ini semakin meningkatkan tantangan untuk
memastikan keamanan dan ketahanan mata pencaharian dan pasokan makanan dari populasi yang
berpartisipasi dalam dan/atau bergantung pada sistem pangan dan pengelolaan sumber daya alam, dalam
konteks global yang dipengaruhi oleh perubahan iklim, pasar yang bergejolak, dan harga untuk komoditas,
serta paparan krisis lain dengan implikasi sosial dan ekonomi yang luas seperti pandemi Covid-19.
Pohon masalah umum sebagaimana disajikan pada gambar berikut merangkum hubungan sebab akibat
utama yang berkontribusi terhadap masalah lingkungan yang akan ditangani oleh proyek. Penyebab
langsung dan yang mendasarinya adalah sebagai berikut:
 Permintaan yang tidak selektif untuk komoditas tanaman di pasar nasional dan global merupakan
insentif langsung bagi petani untuk meningkatkan luas areal yang mereka miliki untuk memproduksi
komoditas tanaman ini. Hal ini pada gilirannya merupakan fungsi dari keinginan konsumen yang
terbatas untuk membayar harga premium untuk komodita tanaman yang diproduksi secara
berkelanjutan.
 Hilangnya hutan dan degradasi lingkungan terjadi ketika insentif pasar untuk ekspansi tanaman
digabungkan dengan kondisi tata kelola yang lemah, yang berarti bahwa petani dan pengelola serta
pengguna sumber daya lainnya tidak dibatasi untuk bertindak dengan cara yang menyebabkan
dampak lingkungan yang negatif.
 Perubahan iklim mengancam untuk melemahkan kelangsungan hidup tanaman tahunan, terutama
kopi dan kakao (keduanya memiliki kisaran toleransi suhu yang relatif sempit), yang berpotensi
menyebabkan ditinggalkannya tanaman tersebut: hal ini dapat berdampak dalam bentuk hilangnya
cadangan karbon, nilai keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem yang dihasilkan oleh sistem
produksi berbasis tanaman tahunan yang beragam; itu juga mengancam untuk mengarahkan petani
untuk beralih ke kegiatan produktif atau ekstraktif lainnya yang ditandai dengan perambahan dan
degradasi lingkungan, seperti tanaman komersial tahunan yang monokultur atau padang rumput.
 Dalam jangka pendek, dalam menghadapi kenaikan suhu dan peningkatan terkait masalah agronomi
seperti hama dan penyakit, petani dapat menerapkan tindakan-tindakan yang kurang adaptif
terhadap perubahan iklim, seperti peningkatan penggunaan bahan kimia pertanian, yang
mengakibatkan dampak lingkungan negatif baik pada pertanian maupun hilir, dan juga lingkaran setan
penurunan produktivitas lebih lanjut, kerentanan dan tindakan-tindakan yang kurang adaptif
terhadap perubahan iklim.
 Ketidakstabilan harga global bagi komoditas yang diperdagangkan secara internasional seperti kopi,
kakao, dan minyak sawit semakin melemahkan kelangsungan hidup dan keberlanjutannya dalam
jangka panjang sebagai dasar untuk strategi pengelolaan lanskap dan ketahanan mata pencaharian:
model pembangunan saat ini, bagaimanapun, sangat terfokus pada ketergantungan pada tanaman
perkebunan (cash crops).
 Rendahnya produktivitas perkebunan tanaman komersial, sebagian besar karena keterbatasan
teknis dan kapasitas organisasi di antara petani dan sistem dukungan petani yang tidak memadai,
menyebabkan (tanpa adanya tata kelola yang memadai) pada ekspansi dan perambahan untuk
memenuhi tujuan produksi dan pendapatan.
 Mekanisme perencanaan penggunaan lahan yang tidak dikembangkan secara memadai
menyebabkan kegiatan produktif ditempatkan secara tidak tepat di lanskap terkait dengan daya
dukung dan kerentanan lingkungan; inisiatif konservasi, restorasi dan pengelolaan ekosistem yang
gagal merespon secara memadai lokasi dan sifat nilai dan jasa ekosistem; dan pertukaran di antara
kepentingan berbagai kelompok pemangku kepentingan yang gagal ditangani secara adil, efektif dan
berkelanjutan.
Keseluruhan dari akar penyebab masalah-masalah tersebut beserta keterkaitan diantaranya digambarkan
dalam skema analisis masalah sebagai berikut:
Rangkuman Analisis Masalah
Dari bagan analisis masalah sebagaimana digambarkan di atas, pengelolaan tanaman komoditas yang
diperdagangkan secara global (kakao, kopi, dan kelapa sawit) yang tidak berkelanjutan, dan ekspansinya
ke kawasan hutan, menyebabkan dampak besar pada keanekaragaman hayati yang penting secara global,
degradasi sumber daya tanah dan air, hilangnya stok karbon, dan degradasi daerah aliran sungai yang
penting untuk menjaga aliran air ke daerah produksi padi. Produksi beras itu sendiri merupakan sumber
hasil dampak lingkungan yang signifikan secara global, dalam bentuk kontaminasi tanah dan ekosistem
perairan yang penting secara global karena penggunaan bahan kimia pertanian yang berlebihan dan tidak
tepat, dan pembentukan gas metana (gas rumah kaca yang kuat) dari padi yang tergenang.
Fokus sempit pada produksi tanaman komersial yang diperdagangkan secara global oleh petani tidak
berkelanjutan secara lingkungan dan sosial – bahkan dalam kasus tanaman tahunan seperti kopi dan
kakao yang berpotensi menghasilkan manfaat lingkungan jika dikelola dengan tepat – karena volatilitas
pasar global untuk tanaman ini dan kerentanannya terhadap dampak perubahan iklim global.
Sejumlah besar pelaku rantai nilai global utama telah berkomitmen pada sumber berkelanjutan dari
produk yang mereka perdagangkan, untuk memenuhi tujuan tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan dan untuk memenuhi persyaratan konsumen untuk produksi yang berkelanjutan. Hal ini
memberi para petani sumber potensial utama dari insentif berbasis pasar untuk produksi yang
berkelanjutan, tetapi saat ini kemampuan mereka untuk memanfaatkan peluang ini dibatasi oleh
pemutusan mereka dari rantai nilai “hijau” ini dan kapasitas teknis mereka yang terbatas untuk memenuhi
kebutuhan mereka dalam hal standar lingkungan, kualitas produk dan keandalan pasokan.
Terlepas dari komitmen kebijakan yang signifikan terhadap keberlanjutan oleh Pemerintah Indonesia,
kapasitas, pengetahuan, perangkat, instrumen peraturan, dan insentif untuk menerapkannya masih
belum dikembangkan secara memadai, dan sektor pertanian dan lingkungan terus terkotak-kotak, tidak
memiliki visi yang terintegrasi yang diperlukan jika pembangunan sosial dan ekonomi dan pengelolaan
lanskap ingin berkelanjutan.
 Di bidang kebijakan dan perencanaan misalnya, ada kesenjangan kebijakan tentang insentif untuk
pertanian berkelanjutan dan kemitraan antara pemerintah dan swasta, termasuk kurangnya regulasi
turunan atau konsolidasi rencana aksi untuk keberlanjutan pada komoditas kopi, kakao, atau beras;
inisiatif kolaboratif multi-stakeholder hingga saat ini sebagian besar berpusat pada komoditas, dengan
partisipasi sektor yang tidak merata; ada integrasi kerangka peraturan yang tidak memadai antara
tingkat nasional atau lokal, atau antara sektor dan yurisdiksi.
 Koordinasi lintas sektoral yang terbatas dalam mencapai pemahaman bersama tentang pencapaian
tujuan konservasi dan pengembangan pemanfaatan berkelanjutan, dan perencanaan dan
pengelolaan tata guna lahan sebagian besar masih terkotak-kotak di antara sektor-sektor, dengan
pertimbangan yang tidak memadai dalam rencana atau instrumen analisis faktor lingkungan atau
pengelolaan lanskap terpadu.
 Masih ada kekurangan keberlanjutan di seluruh rantai pasokan/nilai, dengan cakrawala perencanaan
jangka pendek dan investasi terbatas dalam produksi berkelanjutan. Standar dan sistem
ketertelusuran dan kurang berkembang, dengan risiko petani kecil dikeluarkan dari rantai pasokan
sebagai akibatnya; petani juga memiliki kapasitas yang terbatas untuk menilai dan mengakses
informasi pasar.
 Penyediaan dukungan teknis untuk petani kecil digeneralisasikan di seluruh lanskap, memiliki cakupan
yang terbatas, dan substansi teknis biasanya memiliki fokus yang sempit dan statis pada aspek
produksi dan produktivitas.
 Rencana pengelolaan yang komprehensif untuk konservasi dan restorasi lahan kritis dan terdegradasi
seringkali tidak tersedia, dan hasil implementasinya tidak cukup dipantau; keterbatasan investasi yang
ada dalam konservasi dan restorasi tidak merespon secara efektif dinamika lanskap atau kebutuhan
ekologis di tingkat lokal, dengan terbatasnya pelibatan masyarakat lokal, yang juga sebagian besar
tidak memahami undang-undang dan peraturan lokal, metode pemantauan dan pengawasan, dll.
 Pengetahuan dan informasi yang dibagikan tentang kisah sukses tentang bagaimana perubahan
sistemik telah dicapai melalui pendekatan yurisdiksi dan pengelolaan lanskap terpadu masih terbatas,
atau tentang hambatan khusus yang menghambat perubahan yang meluas. Peningkatan dan replikasi
yang berarti dibatasi sebagai akibat dari terbatasnya aliran pengetahuan dan informasi.
Situasi ini akan membawa implikasi bagi sejumlah pemangku kepentingan:
 Praktik pengelolaan yang tidak berkelanjutan pada akhirnya akan merusak keberlanjutan sistem
produksi, dan dengan demikian akan berdampak pada mata pencaharian keluarga yang bergantung
padanya (petani kakao, kopi, kelapa sawit dan padi beserta keluarganya).
 Fokus sempit pada tanaman komersial yang rentan terhadap perubahan iklim dan volatilitas harga
juga akan merusak keberlanjutan mata pencaharian, serta mempersempit keragaman barang dan jasa
yang dapat disediakan oleh sistem pertanian – termasuk makanan untuk konsumsi rumah jika
tanaman komersial menggantikan produksi pangan lokal (biasanya beragam dan bergizi) dan gagal
panen membatasi kemampuan keluarga untuk membeli makanan. Fokus pada tanaman komersial
dengan mengorbankan pangan dan produk rumahan cenderung, terutama berkontribusi pada
marginalisasi perempuan: kekurangan makanan bergizi memiliki dampak yang sangat signifikan pada
anak-anak dan orang sakit.
 Ekspansi tanaman komersial ke dalam ekosistem alami, dan degradasi yang diakibatkan ekosistem
tersebut serta kapasitasnya untuk menghasilkan barang dan jasa, berpotensi meningkatkan
marginalisasi anggota masyarakat yang lebih miskin: mereka mungkin kekurangan modal dan alat
produksi untuk berpartisipasi dalam produksi tanaman komersial tersebut, dan pada saat yang sama
cenderung lebih bergantung pada barang-barang ekosistem seperti hasil hutan non-kayu, yang
pasokannya dapat dipengaruhi oleh konversi hutan.
 Hilangnya dan degradasi hutan dan ekosistem lainnya karena ekspansi tanaman komersial dan
pengelolaan yang tidak berkelanjutan juga memiliki implikasi bagi pemangku kepentingan di hilir,
seperti produsen beras yang bergantung pada pasokan air yang dapat diandalkan dari daerah aliran
sungai untuk irigasi. Degradasi DAS juga berimplikasi pada populasi hilir secara umum, karena hal itu
meningkatkan keterpaparan mereka terhadap risiko banjir yang terkait dengan peristiwa badai – yang
mungkin menjadi semakin sering terjadi dalam kondisi perubahan iklim.

7. Visi Jangka Panjang


Berdasarkan permasalahan yang telah diidentifikasi, situasi jangka panjang yang ingin diwujudkan adalah
proyek akan membantu Pemerintah Indonesia mewujudkan lanskap sasaran dan sistem pangan, bekerja
sama dan disertai partisipasi berbagai pemangku kepentingan di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional,
adalah salah satu di mana komoditas pertanian terpilih (kelapa sawit, kopi dan kakao) diproduksi di
lanskap target dan sekitarnya dengan cara:
 Menghasilkan manfaat bagi perekonomian di tingkat lokal dan nasional.
 Meminimalkan dampak pada nilai lingkungan global (keanekaragaman hayati, cadangan karbon dan
potensi produktif ekosistem alam dan antropis).
 Berkelanjutan dalam hal produksi dan sosial.
 Terintegrasi yang memberikan dukungan mata pencaharian dan sistem produksi pangan penduduk
lokal, dan tidak merusak ketahanan mata pencaharian mereka atau akses mereka terhadap pangan
yang aman dan bergizi.
Sementara kebijakan pembangunan ekonomi di tingkat nasional dan provinsi menyediakan konversi
berkelanjutan dari kawasan hutan tertentu yang ditunjuk untuk penggunaan pertanian, visi proyek
diarahkan melalui pelaksanaan proses perencanaan penggunaan lahan dan pemanfaatan alam yang
terinformasi, inklusif dan efektif, tata kelola sumber daya, dimana hal ini akan dilakukan sedemikian rupa
untuk meminimalkan dampak negatif pada nilai lingkungan atau pada pembangkitan jasa ekosistem.
Pada tingkat lanskap, dalam jangka menengah, lanskap akan mencapai kondisi keseimbangan yang
berkelanjutan namun dinamis, merespons dan beradaptasi dengan kondisi yang berkembang; manfaat
dan biaya yang dihasilkan dari pengelolaan dan produksi sumber daya alam di lanskap akan didistribusikan
dengan cara yang paling adil di antara berbagai kelompok pemangku kepentingan baik di dalam maupun
di luar lanskap itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan pertimbangan keadilan gender, etnis, dan
antar generasi.
Sesuai dengan tujuan Program Dampak FOLUR, dalam interaksinya dengan rantai nilai (yang dipahami
dalam konteks ini meluas dari produksi berkelanjutan dan sistem input hingga ke konsumen akhir), proyek
akan mengejar tujuan yang saling terkait sebagai berikut:
a. Membantu memastikan keberlanjutan pasokan pangan di sepanjang rantai nilai komoditas dan
tanaman pangan yang penting secara global, melalui pendekatan pengelolaan lanskap terpadu dan
penerapan prinsip-prinsip agroekologi;
b. Mengurangi dampak negatif rantai nilai terhadap nilai lingkungan;
c. Mewujudkan potensi rantai nilai untuk menerapkan pengelolaan berkelanjutan di tingkat pertanian
dan lanskap, dan dengan demikian menghasilkan dampak lingkungan yang positif.
Disadari bahwa penyelesaian jangka panjang dari ancaman-ancaman ini terhalang oleh sejumlah
hambatan, yang mana hambatan-hambatan tersebut ingin diatasi oleh proyek.
Hambatan 1: Visi yang terkotak-kotak dalam kerangka kebijakan, perencanaan dan pengelolaan
lanskap.
 Pembagian sektor tertentu terus mendominasi kerangka kebijakan, kelembagaan dan perencanaan:
pembuat kebijakan dan perencana tidak memiliki sarana yang memadai untuk menyeimbangkan dan
mengintegrasikan arah sektor dengan cara mengoptimalkan manfaat sosial bersih dan mewujudkan
potensi sinergi antara produksi berkelanjutan dan perlindungan sumberdaya alam.
 Visi yurisdiksi dan sektor tertentu yang sempit biasanya berlaku dalam perencanaan lahan, yang
berarti bahwa ketentuan yang dibuat tidak memadai untuk pemeliharaan aliran jasa ekosistem, di
seluruh lanskap di dalam dan di antara yurisdiksi (provinsi, kabupaten, dan kecamatan), di mana
produksi berkelanjutan dan pembangunan direncanakan.
 Terdampaknya mata pencaharian petani akibat perubahan iklim dan volatilitas pasar global pada
tanaman komersial, dan implikasi terkaitnya terhadap stabilitas lanskap, diperburuk oleh model
pembangunan yang berfokus pada tanaman komersial yang sempit.
 Perbaikan kondisi tata kelola terhambat oleh keterbatasan kapasitas dan efektivitas lembaga yang
bertanggung jawab untuk penegakan, karena kombinasi dari prioritas yang tidak memadai dalam
keputusan kebijakan tentang alokasi anggaran, hubungan yang kurang berkembang dengan struktur
sosial di masyarakat lokal, dan kelemahan tata kelola sosial.
 Tata kelola yang efektif dan berkelanjutan, dan definisi yang dinegosiasikan tentang opsi-opsi yang
berkelanjutan secara sosial untuk produksi dan pengelolaan lanskap, lebih lanjut terhalang oleh tidak
memadainya mekanisme untuk representasi yang efektif dari kepentingan berbagai kelompok
pemangku kepentingan di lanskap: misalnya, mereka yang bergantung pada akses terhadap sumber
daya air yang dapat diandalkan untuk irigasi atau konsumsi mungkin tidak dapat mempengaruhi
bagaimana daerah aliran sungai hulu, dari mana pasokan air berasal, dikelola; sementara mereka yang
berpotensi terkena dampak pembatasan kegiatan produktif atau ekstraktif mereka yang bertujuan
untuk melindungi nilai-nilai lingkungan, mungkin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
kompensasi atas dampaknya terhadap mata pencaharian mereka.
Hambatan 2: Kapasitas dan insentif yang tidak memadai untuk produksi dan restorasi yang
berkelanjutan.
 Saat ini ada keterbatasan komitmen, dukungan, dan investasi jangka panjang oleh pembeli
komoditas untuk mendorong praktik produksi yang lebih berkelanjutan. Pembeli yang mencari
sumber produksi berkelanjutan saat ini berfokus pada rantai pasokan mereka sendiri dan produk yang
mereka sumber dan bukan pada praktik yang lebih luas di sektor ini atau pada bagaimana mereka
dapat mendukung kondisi yang memungkinkan untuk produksi berkelanjutan. Hal ini mulai berubah
dengan semakin banyaknya perusahaan yang ingin mengambil pendekatan lanskap atau yurisdiksi,
tetapi pendekatan ini belum sepenuhnya didorong pengembangannya.
 Khusus untuk petani kecil, terbatasnya penyertaan ke dalam rantai nilai berkelanjutan berarti
mereka tidak dapat memanfaatkan peluang pasar yang secara aktif menghargai produksi
berkelanjutan. Terlepas dari beberapa pengecualian yang menjanjikan, di mana pelaku utama rantai
nilai internasional berinteraksi langsung dengan petani dan masyarakat lokal, membeli sumber dari
dan mendukung produsen yang menjalankan praktik produksi berkelanjutan, sejumlah besar petani
tetap berada dalam rantai nilai yang berbelit-belit dengan posisi tawarnya yang lemah, gagal untuk
memberi mereka insentif yang signifikan untuk setiap investasi dalam keberlanjutan. Hal ini
disebabkan oleh kombinasi terbatasnya peluang untuk berinteraksi dengan pelaku rantai nilai
alternatif yang berkelanjutan, dan terbatasnya kapasitas untuk memenuhi persyaratan mereka dalam
hal keandalan dan kualitas pasokan, seperti skema sertifikasi lingkungan yang ditetapkan dalam
standar berbasis industri atau pihak ketiga.
 Keterbatasan dalam jangkauan dan pendekatan layanan penyuluhan membatasi kemampuan
petani untuk mengidentifikasi dan menerapkan pilihan alternatif yang berkelanjutan untuk produksi
dan pengelolaan sumber daya. Layanan penyuluhan cenderung spesifik sektor dan tanaman, dengan
fokus yang kuat pada isu-isu agronomi dan produksi dengan mengorbankan pertimbangan kelestarian
lingkungan atau dinamika lanskap, atau bagaimana tanaman komersial berhubungan dengan
komponen lain dari keseluruhan strategi mata pencaharian keluarga petani.
 Ketidakcukupan mekanisme untuk menginternalisasi manfaat ekonomi dari jasa ekosistem
membatasi kemampuan dan motivasi masyarakat dan pengelola sumber daya lainnya untuk
berinvestasi dalam perlindungan dan restorasi ekosistem. Ekosistem yang sehat (baik alam maupun
pertanian) mampu menghasilkan berbagai manfaat ekonomi bagi para pemangku kepentingan di
tingkat lokal, nasional dan global, seperti pengaturan rezim hidrologi yang bergantung pada produksi
dan sistem pasokan air domestik di hilir, dan penyimpanan air, karbon sebagai kontribusi terhadap
mitigasi perubahan iklim global dan dampak negatif ekonominya. Namun saat ini, skala dan sifat
insentif untuk perlindungan dan restorasi ekosistem tidak sepadan dengan potensi manfaat ekonomi
ini.
Hambatan 3: Keterbatasan arus pengetahuan dan informasi.
 Keterbatasan arus pengetahuan dan informasi semakin membatasi kemampuan pembuat kebijakan,
perencana, petani dan pelaku rantai nilai untuk mengidentifikasi pilihan inovatif dan berkelanjutan
untuk produksi dan pengelolaan sumber daya, dan merespon secara adaptif terhadap keberhasilan,
kegagalan, dan kecenderungan pada kondisi eksternal.

8. INOVASI PROYEK
Proyek ini dimaksudkan untuk memadu-serasikan berbagai kepentingan dalam satu lanskap sehingga bisa
memberikan manfaat ganda baik dari segi kelestarian dan keberlanjutan daya dukung ekosistem, jasa
lingkungan, manfaat ekonomi, serta manfaat sosial lainnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan landskap secara terpadu dengan pendekatan multi-pemangku kepentingan akan
diarusutamakan dalam proyek ini. Tata guna lahan akan dipetakan, didiskusikan untuk
mengakomodasikan berbagai kepentingan. Pemulihan terhadap kawasan hutan yang terdegradasi akan
didorong melalui berbagai skema restorasi dengan mengedepankan peran aktif masyarakat. Produksi
komoditas akan didorong dengan disertai penguatan kapasitas dan mempromosikan praktik-praktik
pertanian yang baik dan mempertimbangkan keberlanjutan produksi dan produktivitasnya.
Rantai nilai komuditas akan dikaji kembali guna menjamin efektivitasnya serta kontribusinya terhadap
rantai nilai yang lebih adil dan sekaligus memberikan nilai tambah kepada petani kecil.

9. TEORI PERUBAHAN (THEORY OF CHANGE)


Berdasarkan hasil analisis masalah, hambatan-hambatan yang telah diidentifikasi, dan visi jangka panjang
dari proyek dan inovasi yang akan dikembangkan dalam proyek ini, dapat digambarkan Teori Perubahan
(Theory of Change) sebagai berikut:
10. Komponen Proyek, Outcome, Output
Berdasarkan Kerangka Teori Perubahan di atas, Proyek FOLUR dirancang terdiri atas 4 komponen utama.
Berikut ini diuraikan komponen-komponen proyek beserta Outcome, Output sebagai berikut. Sedangkan
kegiatan-kegiatan pokok yang menyertai setiap Output disajikan dalam Rencana Kerja Tahun Jamak.
Kementerian/
Komponen Outcome Output
Lembaga
Komponen 1: Lingkungan yang memungkinkan untuk rantai nilai berkelanjutan dan pengelolaan lanskap terpadu.
Outcome 1: Penguatan kerangka kebijakan dan perencanaan untuk pengelolaan lanskap terpadu, rantai nilai komoditas
dan/atau tanaman serta tata kelola lanskap di tingkat nasional dan sub-nasional, yang diinformasikan oleh keterlibatan multi-
stakeholder.
Output 1.1: Analisis kebijakan dan proposal yang dikembangkan untuk kebijakan, peraturan, atau Kemenko
program pemerintah di tingkat nasional dan/atau sub-nasional untuk meningkatkan rantai nilai Perekonomian
komoditas/tanaman dan untuk memastikan pelaksanaan pertanian konservasi dan/atau
perlindungan ekosistem esensial.
Output 1.2: Mekanisme dialog multi-pemangku kepentingan tentang pengelolaan lanskap dan Kemenko
produksi komoditas/tanaman berkelanjutan diperkuat. Perekonomian
Output 1.3: Rencana aksi berkelanjutan untuk kakao, kopi dan beras yang juga mencakup strategi Kemenko
penguatan sistem pendukung petani dirumuskan, diadopsi, dan implementasi awal dipantau. Perekonomian
Output 1.4: Alat pendukung keputusan untuk menginformasikan perumusan kebijakan dan Bappenas
perencanaan dikembangkan dan/atau diperkuat.
Outcome 2. Pendekatan pengelolaan lanskap terpadu diarusutamakan di provinsi dan kabupaten sasaran melalui adopsi
rencana pengelolaan lanskap terpadu yurisdiksi.
Output 2.1: Analisis situasi dan mekanisme dialog tingkat provinsi dan kabupaten dibentuk Bappenas
dan/atau diperkuat untuk pengelolaan lanskap terpadu yang melibatkan pemerintah, sektor
swasta, OMS dan masyarakat local.
Output 2.2: Peta dan inventarisasi kawasan Bernilai Konservasi Tinggi/Spesies Bernilai Konservasi Bappenas
Tinggi dan ekosistem prioritas atau esensial lainnya yang dihasilkan untuk lima yurisdiksi target,
dengan kategori untuk perlindungan dan produksi berkelanjutan yang ditentukan dengan
pedoman pengelolaan yang menyertainya.
Output 2.3: Rencana pengelolaan lanskap terpadu yurisdiksi yang menggambarkan kegiatan Bappenas
produksi, perlindungan dan restorasi dirumuskan, disahkan, dan dipantau.
Output 2.4: Daya dukung lingkungan untuk komoditas utama dan tanaman yang dinilai dan trade- Bappenas
off dianalisis untuk lima kabupaten sasaran.
Output 2.5. Keberlanjutan lingkungan dan pertimbangan pengelolaan lanskap terpadu (misalnya Bappenas
perlindungan kawasan penyediaan jasa ekosistem, koridor biologis, tanah rapuh) dimasukkan ke
dalam instrumen perencanaan kabupaten sasaran.
Komponen 2: Mempromosikan praktik produksi tanaman berkelanjutan dan rantai nilai yang bertanggung jawab.
Kementerian/
Komponen Outcome Output
Lembaga
Outcome 3: Investasi dan keuangan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab melalui kemitraan publik-swasta-masyarakat
dimanfaatkan untuk implementasi rantai nilai yang berkelanjutan.
Output 3.1: Mekanisme yang tersedia bagi petani diperkuat atau baru dibentuk untuk Kemenko
menyediakan pembiayaan/kredit untuk produksi berkelanjutan dengan memasukkan kriteria Perekonomian
kelayakan berdasarkan keberlanjutan.
Output 3.2: Memfasilitasi peningkatan kolaborasi dan kemitraan publik-swasta-masyarakat untuk Kemenko
memperkuat produksi dan rantai nilai yang berkelanjutan. Perekonomian
Output 3.3: Tantangan inovasi terbuka diperkenalkan untuk mengidentifikasi solusi yang dapat Kemenko
ditingkatkan untuk mengatasi masalah strategis. Perekonomian
Outcome 4. Petani kecil menerima peningkatan nilai untuk produk mereka melalui sistem ketertelusuran dan peningkatan
penilaian untuk komoditas dan yurisdiksi terpilih.
Output 4.1: Praktik-praktik baik pendekatan ketertelusuran ditunjukkan, melibatkan pelaku rantai Kementan
pasokan di tingkat yurisdiksi dan mendorong partisipasi petani swadaya, misalnya, melalui akses
terhadap keuangan, penilaian kredit, pelatihan, dll.
Output 4.2. Pedoman grading untuk nilai tambah dikembangkan untuk kelapa sawit, kakao, kopi Kementan
dan beras.
Outcome 5. Petani kecil dan layanan pendukung diperkuat di kabupaten sasaran untuk menerapkan sistem produksi dan
pertanian yang berkelanjutan dan tangguh.
Output 5.1. Rencana intervensi dukungan petani kecil di tingkat kabupaten, yang mencerminkan Kementan
prioritas pemangku kepentingan, zonasi dan klasifikasi lahan.
Output 5.2: Sistem layanan penyuluhan pertanian diperkuat di kabupaten sasaran untuk Kementan
mendukung petani kecil dalam mempromosikan dan meningkatkan penerapan praktik-praktik
produksi dan sistem pertanian yang berkelanjutan.
Output 5.3: Dukungan untuk pengembangan kapasitas petani kecil dan sertifikasi keberlanjutan Kementan
diberikan untuk produsen petani kecil terpilih di kabupaten sasaran.
Output 5.4. Dukungan yang diberikan kepada petani kecil untuk penguasaan/legalisasi lahan, Kementan
memungkinkan pencapaian produksi dan sistem pertanian yang berkelanjutan dan tangguh.
Komponen 3: Konservasi dan restorasi-rehabilitasi habitat alami.
Outcome 6: Model partisipatif dari mekanisme pengelolaan dan insentif yang mengkatalisasi konservasi keanekaragaman
hayati, restorasi lahan/habitat dan tata kelola ekosistem prioritas yang lebih baik yang dimungkinkan di kabupaten sasaran.
Kementerian/
Komponen Outcome Output
Lembaga
Output 6.1: Rencana detail untuk konservasi, restorasi dan pengelolaan ekosistem terdegradasi KLHK
prioritas secara berkelanjutan dirumuskan dan diadopsi di kabupaten sasaran.
Output 6.2: Model pengelolaan (misalnya, perhutanan sosial) untuk ekosistem kritis yang diterapkan di KLHK
kabupaten sasaran, dengan memanfaatkan mekanisme insentif yang tersedia.
Output 6.3. Memperkuat mekanisme dan kapasitas tata kelola kolaboratif yang mendukung konservasi dan KLHK
restorasi yang efektif.
Komponen 4: Pengelolaan pengetahuan, koordinasi, kolaborasi, dan pemantauan dan evaluasi.
Outcome 7: Manajemen pengetahuan terpadu, koordinasi, dan kolaborasi untuk meningkatkan pengetahuan tentang faktor-faktor untuk
mendorong pelajaran yang dipetik untuk direplikasi di bidang lain.
Output 7.1: Implementasi proyek diawasi melalui fungsi komite pengarah yang proaktif dan pemantauan dan Kemenko
evaluasi yang inklusif. Perekonomian
Output 7.2: Partisipasi inklusif masyarakat lokal, termasuk perempuan dan masyarakat adat, difasilitasi Kemenko
melalui implementasi rencana pengelolaan lingkungan dan sosial yang efektif. Perekonomian
Output 7.3: Metodologi pengelolaan adaptif dikembangkan untuk memantau, mengevaluasi, dan Kemenko
menanggapi dampak kausal dan perubahan sistemik. Perekonomian
Output 7.4: Manajemen pengetahuan dan sistem penjangkauan dikembangkan untuk mendukung Kemenko
penskalaan lintas yurisdiksi/provinsi dan secara nasional, regional, dan global. Perekonomian
Output 7.5: Partisipasi dalam FOLUR CoP Global dan platform relevan lainnya tentang pertukaran Kemenko
pengetahuan dan pelajaran. Perekonomian
11. Kerangka Kerja Hasil (Results Framework)
Keseluruhan Komponen Proyek, Outcome, dan Output beserta indicator dan target-target
pencapaiannya disajikan dalam Kerangka Kerja Hasil sebagai berikut.
Outcome Indikator Baseline Data dan Informasi Target Akhir Proyek K/L
Tujuan Proyek: Indikator 1: jumlah penerima Belum ada. 103,000 penerima manfaat Kemenko
Untuk mentransformasi manfaat langsung yang langsung (53,800 diantaranya
sistem pengelolaan dan dipilah berdasarkan gender adalah perempuan).
lanskap berbasis kelapa sawit, sebagai manfaat tambahan
kakao, kopi, dan beras di dari investasi GEF (individu).
Indonesia untuk
menghasilkan berbagai
manfaat lingkungan.
Indikator 2: Luas lahan yang Baseline akan ditentukan 20.000 ha kawasan hutan KLHK
direstorasi (hektar); Sub- pada tahun 3 (setelah produksi yang rusak
Indikator 3.2: Luas hutan dan rencana ILM disahkan). direstorasi-direhabilitasi.
lahan hutan yang direstorasi.
Indikator 3: Area lanskap Baseline yang akan 1.520.900 ha, termasuk 1,474
yang kurang terkelola ditetapkan pada tahun 2 juta ha dalam pengelolaan
ditingkatkan (tidak termasuk (setelah penilaian HCV/HCS yang lebih baik (4.1),
kawasan lindung); Sub- selesai dan area potensial menyebabkan 46.900 ha
Indikator 4.1: Area lanskap untuk pengelolaan yang lebih hilangnya hutan HCV dapat
yang kurang dikelola baik & kawasan yang dihindari (4.4).
ditingkatkan untuk memberi disisihkan diidentifikasi).
manfaat bagi
keanekaragaman hayati
(penilaian kualitatif, tidak
bersertifikat); dan Sub-
Indikator 4.4: Area dengan
Nilai Konservasi Tinggi
terhindar dari hilangnya
hutan (hektar)
Indikator 4: Emisi Gas Rumah Baseline akan ditentukan 41.495.405 metrik ton
Kaca yang Dikurangi (juta pada tahun 2 (setelah (langsung seumur hidup)
metrik ton CO2e); Sub- penilaian HCV/HCS selesai mitigasi CO2e berkontribusi
Indikator 6.1: Karbon yang dan area potensial untuk pada sektor AFOLU.
diserap, atau emisi yang pengelolaan yang lebih baik &
dihindari di sektor Pertanian,
Outcome Indikator Baseline Data dan Informasi Target Akhir Proyek K/L
Kehutanan, dan Tata Guna kawasan yang disisihkan
Lahan Lainnya. diidentifikasi).
Outcome 1: Penguatan Indikator 5: % peningkatan Baseline akan ditentukan Setidaknya 30% dari Bappenas
kerangka kebijakan dan dalam konsistensi dan setelah alat penilaian kebijakan yang dinilai di
perencanaan untuk relevansi kebijakan di kebijakan dan kartu skor yurisdiksi proyek, pada isu-isu
pengelolaan lanskap terpadu, yurisdiksi proyek, yang diukur pendukung dikembangkan di yang relevan dengan ILM dan
rantai nilai komoditas dengan kartu skor penilaian bawah Output 1.4 dan nilai sistem pangan berkelanjutan,
dan/atau tanaman, dan tata kebijakan. baseline ditentukan secara menghasilkan skor yang lebih
kelola lanskap di tingkat retrospektif. tinggi dengan menggunakan
nasional dan sub-nasional, kartu skor penilaian
yang diinformasikan oleh kebijakan.
keterlibatan multi-pemangku
kepentingan.
Indikator 6: Peningkatan Penilaian kartu skor dasar Peningkatan yang dapat Kemenko
kolaborasi multi-stakeholder yang akan dibuat pada awal diverifikasi di sepanjang
dalam pengelolaan lanskap proyek melalui pendekatan tangga kartu skor perubahan
terpadu dan rantai nilai, diskusi kelompok terfokus: sistemik (akan ditentukan
seperti yang ditunjukkan oleh tingkat nasional, provinsi (5) ketika penilaian dasar
kemajuan yang dicapai di dan kabupaten (5). diselesaikan pada PIR
sepanjang tangga kolaborasi pertama).
multi-stakeholder dari kartu
skor perubahan sistemik.
Outcome 2: Pendekatan Indikator 7: Pendekatan Tidak ada kawasan di dalam 46.900 ha, setelah rencana Bappenas
pengelolaan lanskap terpadu pengelolaan lanskap yang kawasan berpotensi bernilai ILM disetujui.
diarusutamakan di provinsi diarusutamakan, seperti yang konservasi tinggi (HCV) yang
dan kabupaten sasaran ditunjukkan oleh kawasan saat ini disisihkan untuk
melalui adopsi rencana prioritas dalam pengelolaan konservasi.
pengelolaan lanskap terpadu yang lebih baik (1,474 juta ha)
yurisdiksi. yang disisihkan untuk
konservasi sebagaimana
ditentukan oleh kerangka
perencanaan provinsi atau
kabupaten, atau keputusan,
Outcome Indikator Baseline Data dan Informasi Target Akhir Proyek K/L
peraturan, program
konservasi.
Indikator 8: Jumlah 0 5 keputusan regulasi. Bappenas
keputusan peraturan yang
memperkuat pengelolaan
lanskap di tingkat kabupaten,
seperti yang ditunjukkan oleh
jumlah keputusan peraturan
yang menanggapi ketentuan
rencana penggunaan lahan.
Outcome 3: Investasi dan Indikator 9: Penguatan 0 USD 1 juta dicairkan untuk Kemenko
keuangan yang berkelanjutan implementasi rantai nilai yang rumah tangga petani kecil
dan bertanggung jawab berkelanjutan, yang (setidaknya 10% untuk setiap
melalui kemitraan publik- ditunjukkan oleh volume tanaman) di yurisdiksi proyek,
swasta-masyarakat investasi/financial leveraged di mana setidaknya 10%
dimanfaatkan untuk (USD) untuk operasionalisasi adalah rumah tangga yang
implementasi rantai nilai yang mekanisme pembiayaan dipimpin perempuan.
berkelanjutan. petani kecil berdasarkan jenis
dan gender penerima
manfaat.
Indikator 10: Keterlibatan Baseline akan ditentukan 18.000 ha, 14.000 rumah Kemenko
sektor swasta yang lebih luas, pada Tahun 2. tangga petani (8.000 rumah
seperti yang ditunjukkan oleh tangga kelapa sawit (100%),
luas (ha) yang dicakup oleh 12.000 ha; 3.000 rumah
dan jumlah petani yang tangga kopi (50%), 3.000 ha;
terlibat dalam KPS dan/atau 1.000 kakao (50%), 1.000 ha;
PPCP untuk memperkuat 1.000 beras (25%), 2.000 ha).
produksi dan rantai nilai yang
berkelanjutan, menurut jenis
dan tujuannya.
Outcome 4: Petani kecil Indikator 11: Peningkatan Baseline akan ditentukan Sistem keterlacakan Kementan
menerima peningkatan nilai ketertelusuran minyak pada Tahun 2. terverifikasi diterapkan di
untuk produk mereka melalui kelapa sawit, kakao, kopi, atas 18.000 ha (12.000 ha
Outcome Indikator Baseline Data dan Informasi Target Akhir Proyek K/L
sistem ketertelusuran dan dan beras yang diproduksi kelapa sawit; 3.000 ha kopi;
peningkatan penilaian untuk secara berkelanjutan, yang 1.000 ha kakao; 2.000 ha
komoditas dan yurisdiksi diukur dengan luas tanam beras).
terpilih. (ha) di bawah sistem
ketertelusuran yang
diverifikasi.
Indikator 12: Peningkatan Belum ada system grading Selama tahun terakhir Kementan
kapasitas petani untuk yang tersedia. pelaksanaan proyek: (a) 10%
memberi nilai tambah pada minyak sawit, (b) 10% kopi,
minyak sawit, kakao, kopi (c) 10% kakao, dan (d) 10%
dan beras, yang diukur beras.
dengan persentase volume
produk oleh petani kecil di
kabupaten proyek,
berdasarkan tanaman,
tergantung pada penilaian
kualitas yang efektif.
Outcome 5: Petani kecil dan Indikator 13: % peningkatan Baseline data akan ditentukan Pada tahun terakhir Kementan
layanan pendukung diperkuat kapasitas dukungan petani pada Tahun 1. pelaksanaan proyek: (a) %
di kabupaten sasaran untuk untuk produksi dan sistem peningkatan untuk layanan
menerapkan sistem produksi pertanian yang berkelanjutan penyuluhan, (b) %
dan pertanian yang dan tangguh, seperti yang peningkatan skema dukungan
berkelanjutan dan tangguh. ditunjukkan oleh persentase teknis sektor swasta, dan (c)
peningkatan jumlah petani % peningkatan untuk sekolah
yang dapat diberikan layanan lapangan petani.
penyuluhan publik, skema
dukungan teknis sektor
swasta, dan sekolah lapang
petani.
Indikator 14: akses petani Baseline data akan ditentukan Pada tahun terakhir Kementan
kecil terhadap dukungan pada Tahun 1. pelaksanaan proyek: (a) %
teknis, seperti yang peningkatan petani kelapa
ditunjukkan oleh persentase sawit (di antaranya 15%
Outcome Indikator Baseline Data dan Informasi Target Akhir Proyek K/L
peningkatan jumlah petani adalah perempuan), (b) %
(berdasarkan jenis kelamin, untuk petani kopi (50% di
etnis, tingkat sosial ekonomi antaranya adalah
dan jenis tanaman) yang perempuan), (c) % untuk
menerima dukungan teknis petani kakao (50% di
reguler terkait dengan antaranya adalah
produksi dan pengelolaan perempuan), dan (d) % petani
yang berkelanjutan. padi (50% di antaranya adalah
perempuan).
Indikator 15: penerapan Baseline data akan ditentukan 10.000 rumah tangga petani Kementan
praktik manajemen terbaik, pada Tahun 1. (4.000 kelapa sawit; 3.000
seperti yang ditunjukkan oleh kopi; 1.000 kakao; 2.000
jumlah rumah tangga petani beras) menerapkan praktik
kecil yang menerapkan manajemen terbaik pada
praktik manajemen terbaik tahun terakhir pelaksanaan
sebagai hasil kombinasi proyek.
dukungan langsung oleh
proyek dan melalui layanan
penyuluhan publik dan swasta
di mana proyek akan bekerja.
Outcome 6: Model Indikator 16: Tingkat tata Tidak ada mekanisme insentif. 50.000 ha dan 5.000 rumah KLHK
partisipatif dari mekanisme kelola partisipatif ekosistem tangga (termasuk 500 rumah
pengelolaan dan insentif yang prioritas, seperti yang tangga yang dipimpin
mengkatalisasi konservasi ditunjukkan oleh luas dan perempuan) tercakup dalam
keanekaragaman hayati, jumlah orang yang tercakup rencana pengelolaan dengan
restorasi lahan/habitat dan dalam rencana pengelolaan mekanisme insentif yang
tata kelola ekosistem prioritas dengan mekanisme insentif sedang dilaksanakan.
yang lebih baik yang yang sedang
dimungkinkan di kabupaten diimplementasikan untuk
sasaran. restorasi-konservasi inklusif
(seperti perhutanan sosial,
skema KEE).
Outcome Indikator Baseline Data dan Informasi Target Akhir Proyek K/L
Indikator 17: Diversifikasi Tidak ada rencana intervensi 3.000 orang (di antaranya KLHK
mata pencaharian melalui di daerah sasaran. 60% adalah perempuan).
intervensi perhutanan sosial
yang peka gender yang
terbukti mengurangi tekanan
pada sumber daya alam
(misalnya, pemanfaatan
HHBK yang berkelanjutan,
ekowisata, pengolahan
makanan lokal, dll.), seperti
yang ditunjukkan oleh jumlah
individu yang terlibat.
Outcome 7: Manajemen Indikator 18: Dokumentasi 0 (a) 20 produk pengetahuan Kemenko
pengetahuan terpadu, pengetahuan terkait produksi (setidaknya 5 menyoroti
koordinasi dan kolaborasi berkelanjutan dan pengarusutamaan gender),
untuk meningkatkan pengelolaan lanskap (b) 20 buah komunikasi/cerita
pengetahuan tentang faktor- berkelanjutan, seperti yang (c) 5 database pengetahuan
faktor untuk mendorong ditunjukkan oleh jumlah tradisional, (d) 2 hasil
pelajaran yang dipetik untuk sistem yang dikembangkan penelitian.
direplikasi di bidang lain. atau diperkuat termasuk: (a)
produk pengetahuan, (b)
potongan/cerita komunikasi
(c) basis data pengetahuan
tradisional, (d) hasil
penelitian.
Indikator 19: Perluasan 0 (a) 10 dokumen negara, (b) 20 Kemenko
FOLUR Komunitas Praktik, peristiwa, (c) 20 laporan pers.
seperti yang ditunjukkan oleh
jumlah dokumen negara,
acara, pers yang
mempromosikan FOLUR.
12. Pengaturan Kelembagaan (Institutional Arrangement)
Proyek ini didanai oleh Global Environment Facility (GEF) dimana UNDP dan FAO sebagai Lembaga
Penerima Dana. Untuk menjamin terintegrasinya kegiatan-kegiatan proyek dalam perencanaan
pemerintah dan keberlanjutannya, GEF sangat mendorong kepemilikan nasional dimana proses
eksekusinya dilakukan oleh Kementerian terkait. Oleh karena itu, dalam implementasinya, selama tahun
2022 eksekusi proyek akan dilakukan secara bersama-sama oleh UNDP dan FAO, sedangkan pada tahun
2023 – 2027 akan dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Pertanian,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Bappenas berdasarkan Output sebagaimana digambarkan dalam Tabel Output di atas. Selain itu, proyek
ini juga akan mendapatkan berbagai dukungan konsultasi dari berbagai pihak terkait. Berikut ini disajikan
organigram proyek.
13. Rencana Kerja Tahun Jamak
Pada Lampiran 1 disajikan Rencana Kerja Tahun Jamak dari proyek.
Lampiran 1 Rencana Kerja Proyek FOLUR 2022 – 2027
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Komponent 1: Lingkungan yang memungkinkan untuk rantai nilai berkelanjutan dan pengelolaan lanskap terpadu.
Outcome 1: Penguatan kerangka kebijakan dan perencanaan untuk pengelolaan lanskap terpadu, rantai nilai komoditas dan/atau tanaman serta tata kelola lanskap di tingkat nasional dan
sub-nasional, yang diinformasikan oleh keterlibatan multi-stakeholder.
Output 1.1. Analisis kebijakan dan proposal yang dikembangkan untuk kebijakan, peraturan, atau program pemerintah di tingkat nasional dan/atau sub-nasional untuk meningkatkan rantai
nilai komoditas/tanaman dan untuk memastikan pelaksanaan pertanian konservasi dan/atau perlindungan ekosistem esensial.
1.1.1. Dukungan konsultasi yang
difasilitasi melalui gugus tugas
kebijakan.
1.1.2. Review kebijakan dan
menyiapkan rekomendasi
1.1.3. Draf ringkasan kebijakan dan
instrumen peraturan
1.1.4. Melakukan perundingan melalui
konsultasi pemangku
kepentingan
1.1.5. Membangun hubungan dan
melakukan advokasi di antara
pejabat pemerintah
Output 1.2. Mekanisme dialog multi-pemangku kepentingan yang diperkuat tentang pengelolaan lanskap dan produksi komoditas/tanaman berkelanjutan
1.2.1. melakukan pemilihan kader-
kader nasional, kelompok
kepemimpinan sistem
1.2.2. Program kepemimpinan sistem
sub-nasional
1.2.3. Mengembangkan kapasitas
dalam memfasilitasi kolaborasi multi-
stakeholder
1.2.4. Mengadakan inovasi tahunan
dan ruang belajar.
1.2.5. Menyiapkan model bisnis untuk
platform kelapa sawit.
1.2.6. RAN minyak sawit berkelanjutan
dipantau dan diperbaharui
Output 1.3. Rencana aksi berkelanjutan untuk kakao, kopi dan beras yang juga mencakup strategi penguatan sistem pendukung petani dirumuskan, diadopsi, dan implementasi awal
dipantau.
1.3.1. Mengembangkan strategi
keterlibatan pemangku kepentingan
1.3.2. Pelibatan layanan fasilitasi yang
terampil untuk proses dialog.
1.3.3. Melakukan analisis akar
penyebab masalah / peluang.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
1.3.4. Menilai kinerja sistem
pendukung petani yang ada terkait
dengan komoditas tertentu.
1.3.5. Menyiapkan rencana aksi dan
anggaran yang berkelanjutan
1.3.6. Memfasilitasi implementasi
bersama dan pemantauan rencana aksi.
Output 1.4. Alat pendukung keputusan untuk menginformasikan perumusan kebijakan dan perencanaan dikembangkan dan/atau diperkuat
1.4.1. Melakukan penilaian kebutuhan
dan pilihan eksplorasi untuk integrasi
kebijakan/regulasi.
1.4.2. Melakukan studi dokumen
tentang alat/sistem integrasi kebijakan
yang ada.
1.4.3. Pengembangan bersama alat
penilaian kebijakan dan prosedur
operasi standar.
1.4.4. Memfasilitasi pelatihan bagi
BAPPENAS dan Kemenko
Perekonomian tentang operasionalisasi
alat ini.
1.4.5. Memfasilitasi pelatihan bagi
pemangku kepentingan tingkat
nasional dan sub-nasional tentang
penggunaan alat ini.
1.4.6. Mempertimbangkan hasil
penyaringan awal, menganalisis data
dan merumuskan serangkaian
rekomendasi.
Outcome 2: Pendekatan pengelolaan lanskap terpadu yang diarusutamakan di provinsi dan kabupaten sasaran melalui adopsi rencana pengelolaan lanskap terpadu yurisdiksi.
Output 2.1. Analisis situasi dan mekanisme dialog tingkat provinsi dan kabupaten dibentuk dan/atau diperkuat untuk pengelolaan lanskap terpadu yang melibatkan pemerintah, sektor
swasta, OMS dan masyarakat lokal.
2.1.1. Meluncurkan kepemimpinan
sistem dan pengembangan kapasitas
dialog kolaboratif untuk penggerak
keberlanjutan lokal.
2.1.2. Membangun forum di tingkat
provinsi dan kabupaten untuk
kolaborasi multi-pihak.
2.1.3. Memfasilitasi kegiatan-kegiatan
dialog multipihak.
2.1.4. Membangun/memperkuat
platform pengelolaan landscape
terpadu.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2.1.5. Penguatan kapasitas tentang
perubahan system (provinsi,
kabupaten)
Output 2.2. Peta dan inventarisasi kawasan Bernilai Konservasi Tinggi/Spesies Bernilai Konservasi Tinggi dan ekosistem prioritas atau esensial lainnya yang dihasilkan untuk lima yurisdiksi
target, dengan kategori untuk perlindungan dan produksi berkelanjutan yang ditentukan dengan pedoman pengelolaan yang menyertainya.
2.2.1. Melakukan penilaian tentang
data spasial, kebijakan dan peraturan-
peraturan.
2.2.2. Melakukan studi desktop untuk
mengidentifikasi lokasi-lokasi potensial
atau indikatif dari kawasan
keanekaragaman hayati yang
kritis/kunci (HCV/HCS).
2.2.3. Verifikasi lapangan tentang
wilayah HCV/HCS yang penting.
2.2.4. Konsultasi multipihak tentang
hasil-hasil awal.
2.2.5. Papua Barat: menyelenggarakan
musyawarah masyarakat adat secara
terpisah.
2.2.6. Finalisasi peta kawasan
kritis/keanekaragaman hayati kunci
untuk menunjukkan 3 kategori prioritas
penggunaan lahan.
Output 2.3. Rencana pengelolaan lanskap terpadu yurisdiksi yang menggambarkan kegiatan produksi, perlindungan dan restorasi dirumuskan, disahkan, dan dipantau.
2.3.1. Mengembangkan skenario-
skenario tataguna lahan berdasarkan
peta yang dihasilkan pada Output 2.2.
2.3.2. Melakukan Targeted Scenario
Analysis (TSA) bagi skenario
pengembangan untuk memproyeksikan
biaya dan manfaat jika skenario
tersebut diterapkan.
2.3.3. Melakukan konsultasi publik
tentang rancangan skenario dengan
hasil TSA.
2.3.4. Mengadakan konsultasi publik
mengenai skenario final untuk memilih
skenario pembangunan yang akan
dilakukan oleh provinsi.
2.3.5. Merumuskan rencana
pengelolaan lanskap terpadu yurisdiksi
untuk skenario/target yang dipilih.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2.3.6. Berkoordinasi dengan
pemerintah provinsi, menyebarluaskan
dan mengadvokasi adopsi,
implementasi dan pemantauan rencana
tersebut.
2.3.7. Memberikan dukungan
konsultasi dan memberikan masukan
teknis kepada BAPPEDA provinsi untuk
mengembangkan, mengubah dan
memperbarui instrumen perencanaan
yang menggabungkan pertimbangan
pengelolaan lanskap terpadu.
2.3.8. Mengembangkan kapasitas
Bappeda Provinsi untuk secara adaptif
mengubah dan memperbarui rencana
yang memasukkan pertimbangan
pengelolaan landskap terpadu di masa
depan
Output 2.4. Daya dukung lingkungan untuk komoditas utama dan tanaman yang dinilai dan trade-off dianalisis untuk lima kabupaten sasaran.
2.4.1. Mengumpulkan peta atribut
biofisik dan iklim yang ada seperti
ketinggian, jenis tanah, curah hujan,
perubahan iklim (periode 50 tahun), dll.
2.4.2. Melakukan analisis kesesuaian
dan iklim komoditas/tanaman sesuai
kriteria kesesuaian yang relevan.
2.4.3. Overlay atribut biofisik terhadap
kriteria kesesuaian.
2.4.4. Memproyeksikan kesesuaian
lahan komoditas/tanaman terhadap
perkiraan perubahan iklim untuk 50
tahun ke depan.
2.4.5. Identifikasi daerah-daerah yang
rentan terhadap perubahan iklim untuk
setiap komoditas/tanaman utama di
kabupaten tersebut.
2.4.6. mengembangkan kerangka kerja
zonasi penggunaan lahan/rencana
induk yang sesuai untuk produksi
komoditas/tanaman yang
mempertimbangkan kesesuaian biofisik
dan iklim untuk 50 tahun ke depan.
2.4.7. Memperkirakan kerugian dan
manfaat ekonomi dan lingkungan dari
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
rencana zonasi untuk jangka waktu 50
tahun.
Output 2.5. Keberlanjutan lingkungan dan pertimbangan pengelolaan lanskap terpadu (misalnya perlindungan kawasan penyediaan jasa ekosistem, koridor biologis, tanah rapuh) dimasukkan
ke dalam instrumen perencanaan kabupaten sasaran.
2.5.1. Melakukan analisis data teknis
untuk menghasilkan peta zonasi
berdasarkan tipologi administrasi
pertanahan, konteks sosial dan
ekonomi kabupaten.
2.5.2. Overlay peta rencana
pengelolaan lanskap terpadu di tingkat
yurisdiksi dan peta
komoditas/kesesuaian dengan tipologi
penggunaan lahan di tingkat kabupaten
2.5.3. Analisis tumpang tindih dan
rekonsiliasi peta dengan unit
pengelolaan/perencanaan lahan yang
ada (termasuk konsesi dan izin).
2.5.4. Menghasilkan draft detail zonasi
spasial yang mengintegrasikan
pertimbangan pengelolaan lanskap
terpadu.
2.5.5. Melakukan konsultasi dan
fasilitasi publik untuk membangun
konsensus di antara para pemangku
kepentingan mengenai usulan zonasi
yang mengintegrasikan pertimbangan
pengelolaan lanskap terpadu.
2.5.6. Memasukkan umpan balik dari
para pemangku kepentingan dan
menyelesaikan peta zonasi spasial.
2.5.7. Berkoordinasi dengan
pemerintah daerah, menyebarluaskan
dan mengadvokasi adopsi,
implementasi dan pemantauan
pertimbangan pengelolaan lanskap
terpadu.
2.5.8. Memberikan dukungan
konsultasi dan memberikan masukan
teknis kepada BAPPEDA kabupaten
untuk mengembangkan, mengubah,
dan memperbarui instrumen
perencanaan yang menggabungkan
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
pertimbangan pengelolaan lanskap
terpadu.
2.5.9. Mengembangkan kapasitas dan
prosedur di BAPPEDA kabupaten untuk
secara adaptif mengubah dan
memperbarui rencana yang
memasukkan pertimbangan
pengelolaan lanskap terpadu di masa
depan.
Komponen 2: Mempromosikan praktik produksi tanaman berkelanjutan dan rantai nilai yang bertanggung jawab.
Outcome 3: Investasi dan keuangan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab melalui kemitraan publik-swasta-masyarakat dimanfaatkan untuk implementasi rantai nilai yang
berkelanjutan.
Output 3.1. Mekanisme yang tersedia bagi petani diperkuat atau baru dibentuk untuk menyediakan pembiayaan/kredit untuk produksi berkelanjutan dengan memasukkan kriteria kelayakan
berdasarkan keberlanjutan.
3.1.1. Memberikan masukan kepada
Kementerian Pertanian dan BPDPKS
tentang definisi kriteria kelestarian
lingkungan untuk program
kredit/insentif bagi petani.
3.1.2. Melakukan analisis komparatif
dari kerangka peraturan yang ada
untuk mekanisme keuangan/kredit.
3.1.3. Berkonsultasi dengan lembaga-
lembaga kunci pemerintah terutama
Kementerian Pertanian, Kementerian
Keuangan dan OJK untuk menentukan
mekanisme yang tepat untuk
keuangan/kredit bagi petani kecil.
3.1.4. Memperkuat organisasi petani
sebagai saluran untuk mengakses
keuangan dan untuk
mengkomunikasikan informasi tentang
peluang pembiayaan bagi petani.
3.1.5. Advokasi dukungan yang
diperluas kepada petani dari mitra
sektor swasta.
Output 3.2. Memfasilitasi peningkatan kolaborasi dan kemitraan publik-swasta-masyarakat untuk memperkuat produksi dan rantai nilai yang berkelanjutan.
3.2.1. Mengembangkan kemitraan dan
aliansi dengan organisasi yang selaras
untuk menengahi, memfasilitasi dan
memperkuat kolaborasi lintas sektor
dan kemitraan publik-swasta untuk
produksi dan rantai pasokan
berkelanjutan.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
3.2.2. Terlibat dengan inisiatif produksi
berkelanjutan yang ada di yurisdiksi
proyek untuk mengidentifikasi proyek
dan kegiatan tertentu yang akan
mendapatkan manfaat dari
peningkatan dukungan dan investasi
dari pembeli
3.2.3. Mengembangkan/memperkuat
kemitraan pemerintah-swasta-
masyarakat untuk menjawab
kesenjangan.
3.2.4. Memberikan dukungan produksi
dan rantai pasokan yang berkelanjutan.
3.2.5. Terlibat dengan kelompok
industri besar di pasar permintaan
utama untuk memobilisasi peningkatan
investasi pembeli dan dukungan dalam
produksi berkelanjutan.
3.2.6. Mencairkan hibah akselerator
bernilai rendah untuk mengisi
kesenjangan dan memberikan nilai
tambahan untuk kemitraan
pemerintah-swasta (PPPs) dan
kemitraan pemerintah-swasta-
masyarakat (PPCPs)
3.2.7. Memfasilitasi keterlibatan
dengan inisiatif pemerintah dan antar
pemerintah dan penyandang dana
pembangunan berkelanjutan di pasar
permintaan utama.
3.2.8. Terlibat dalam inisiatif keuangan
berkelanjutan yang ada untuk
berkolaborasi dengan kelompok
produsen dan pembeli.
3.2.9. Memberikan peningkatan
kapasitas yang berkelanjutan, bantuan
teknis, perantara dan dukungan
fasilitasi.
3.2.10. Mendokumentasikan dan
disseminasi pembelajaran.
Output 3.3. Tantangan inovasi terbuka diperkenalkan untuk mengidentifikasi solusi yang dapat ditingkatkan untuk mengatasi masalah strategis.
3.3.1. Mengembangkan konsep untuk
Tantangan Inovasi Terbuka.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
3.3.2. Menetapkan fungsi administrasi
hibah dan mendukung administrasi
Tantangan Inovasi Terbuka selama
proyek berlangsung.
3.3.3. Melibatkan mitra strategis dan
mengumpulkan pembiayaan untuk
hadiah/hibah finansial.
3.3.4. Meluncurkan undangan
Tantangan Inovasi Terbuka, evaluasi
proposal, mengumumkan penerima
hibah.
3.3.5. Mencairkan hibah akselerator
bernilai rendah untuk memperkuat
inisiatif yang memungkinkan yang
melengkapi topik-topik Tantangan
Inovasi Terbuka
3.3.6. Secara reguler mengevaluasi hasil
dan pelajaran dan mengembangkan
rencana bisnis untuk mempertahankan
Tantangan Inovasi Terbuka setelah
penutupan proyek.
3.3.7. Memproduksi media komunikasi,
mengadvokasi sponsor jangka panjang
dari proses, mengadakan lokakarya
untuk menunjukkan hasil dan
memperkuat kemitraan.
Outcome 4: Petani kecil menerima peningkatan nilai untuk produk mereka melalui sistem ketertelusuran dan peningkatan penilaian untuk komoditas dan yurisdiksi terpilih.
Output 4.1. Praktik-praktik baik pendekatan ketertelusuran ditunjukkan, melibatkan pelaku rantai pasokan di tingkat yurisdiksi dan mendorong partisipasi petani swadaya, misalnya, melalui
akses terhadap keuangan, penilaian kredit, pelatihan, dll.
4.1.1. Melakukan penjajakan
kebutuhan, kesenjangan, dan
pendekatan ketelusuran saat ini melalui
studi dokumen.
4.1.2. Mengembangkan draft panduan
ketelusuran praktik standar untuk
memberikan insentif kepada petani
kecil.
4.1.3. Memilih yurisdiksi proyek untuk
penerapan pedoman praktik standar
dan mensosialisasikan konsep dan
mencapai kesepakatan di antara
pemangku kepentingan terkait
4.1.4. Mengembangkan metodologi
dan mendukung pengumpulan data
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
dan informasi tentang jejak komoditas
di yurisdiksi FOLUR yang dipilih.
4.1.5. Menerapkan panduan praktik
standar di yurisdiksi dan/atau lanskap
yang dipilih untuk jangka waktu yang
disepakati.
4.1.6. Menganalisis hasil demonstrasi,
menilai efektivitas pendekatan dan
mekanisme insentif, dan menyiapkan
studi kasus yang terperinci.
4.1.7. Membagikan temuan-temuan
dan pembelajaran-pembejalaran dari
demonstrasi melalui lokakarya-
lokakarya pemangku kepentingan.
4.1.8. Berdasarkan temuan dan
pembelajaran yang diperoleh,
merumuskan rekomendasi untuk
mendorong partisipasi petani kecil.
4.1.9. Advokasi untuk meningkatkan
pendekatan ketertelusuran yang
ditunjukkan melalui penerapan
panduan praktik standar.
Output 4.2. Pedoman grading untuk nilai tambah dikembangkan untuk kelapa sawit, kakao, kopi dan beras.
4.2.1. Dukungan konsultasi untuk
Kementerian Pertanian dan Kemenko
Perekonomian dalam pengembangan
panduan penilaian nilai tambah untuk
kelapa sawit, kakao, kopi, dan beras.
4.2.2. Menyelenggarakan konsultasi
publik, terutama dengan perusahaan
sektor swasta, untuk mendapatkan
masukan dari para pemangku
kepentingan mengenai rancangan
pedoman penilaian
4.2.3. Advokasi untuk pengesahan
pedoman penilaian oleh pemerintah
pusat dan daerah melalui proses
sosialisasi dan materi publikasi.
4.2.4. Mengembangkan materi
komunikasi untuk sosialisasi dan
melakukan pelatihan pelaksanaan
bimbingan untuk staf lembaga dan
petani kecil terpilih.
Outcome 5: Petani kecil dan layanan pendukung diperkuat di kabupaten sasaran untuk menerapkan sistem produksi dan pertanian yang berkelanjutan dan tangguh.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Output 5.1. Rencana intervensi dukungan petani kecil di tingkat kabupaten, yang mencerminkan prioritas pemangku kepentingan, zonasi dan klasifikasi lahan.
5.1.1. Mengidentifikasi lokasi prioritas
untuk intervensi berdasarkan peta
zonasi penggunaan lahan.
5.1.2. Mengumpulkan informasi
tentang jumlah dan lokasi perkebunan
rakyat di lokasi-lokasi prioritas ini dan
menentukan rumah tangga yang akan
menjadi target proyek untuk intervensi
intensifikasi dan legalisasi lahan.
5.1.3. Mengumpulkan peta poligon
perkebunan mereka untuk memastikan
bahwa mereka berada di “Area
Penggunaan Lain” (APL) atau area yang
memenuhi syarat untuk perhutanan
social.
5.1.4. Memfinalisasi peta rumah tangga
petani kecil sasaran dan perkebunan
mereka untuk memastikan dukungan
penuh dari petani kecil untuk
mengambil bagian dalam intervensi.
Output 5.2. Sistem layanan penyuluhan pertanian diperkuat di kabupaten sasaran untuk mendukung petani kecil dalam mempromosikan dan meningkatkan penerapan praktik-praktik
produksi dan sistem pertanian yang berkelanjutan.
5.2.1. Mengidentifikasi penyuluh yang
ada di lingkungan pemerintah provinsi,
kabupaten dan kecamatan, serta orang-
orang kunci di antara masyarakat yang
cocok untuk menjadi promotor dalam
penyediaan layanan penyuluhan di
kabupaten sasaran.
5.2.2. Melakukan penilaian pra-
pelatihan tentang pengetahuan mereka
terkait praktik-praktik pertabian yang
baik/GAP, perlindungan lingkungan,
legalitas tanah, pemberdayaan gender,
pengelolaan keuangan rumah tangga,
diversifikasi pendapatan, sertifikasi
keberlanjutan.
5.2.3. Memberikan Training of Trainers
(ToT) kepada orang-orang terpilih ini.
5.2.4. Melakukan penilaian pasca
pelatihan, menyediakan sertifikat.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
5.2.5. Pengarusutamaan aspek
keberlanjutan dalam modul-modul
penyuluhan.
Output 5.3. Dukungan untuk pengembangan kapasitas petani kecil dan sertifikasi keberlanjutan diberikan untuk produsen petani kecil terpilih di kabupaten sasaran.
5.3.1. Melakukan penjajakan
kebutuhan kapasitas pada petani kecil
terpilih.
5.3.2. Membentuk dan/atau
memperkuat kelompok tani, serikat
pekerja dan/atau koperasi untuk
mengupayakan terbentuknya koperasi
bagi seluruh petani tersebut.
5.3.3. Membangun demplot di tingkat
kecamatan atau desa di perkebunan
rakyat yang disepakati oleh mereka.
5.3.4. Melakukan pelatihan pada rumah
tangga petani kecil terpilih.
5.3.5. Melakukan pemantauan berkala
terhadap pelaksanaan pelatihan petani
kecil.
5.3.6. Mendukung organisasi petani
untuk mengakses pendanaan sertifikasi
dari lembaga sertifikasi.
5.3.7. Mendukung dan/atau
memobilisasi dukungan (terutama dari
sektor swasta) bagi petani dan
organisasi petani untuk
mempersiapkan audit sertifikasi.
Output 5.4. Dukungan yang diberikan kepada petani kecil untuk penguasaan/legalisasi lahan, memungkinkan pencapaian produksi dan sistem pertanian yang berkelanjutan dan tangguh.
5.4.1. Mendukung petani untuk
membuat peta poligon lahan mereka
serta melakukan verifikasi lahan oleh
Badan Pertanahan kabupaten.
5.4.2. Dukungan konsultasi kepada
petani dan organisasi petani
(serikat/asosiasi/koperasi) tentang
prosedur untuk mendapatkan
kepastian tenurial.
5.4.3. Bekerja sama dengan pemerintah
kabupaten, mendukung rumah tangga
petani sasaran untuk mendapatkan
legalisasi lahan (SKT, AJB) dan STDB.
Komponent 3: Conservation and restoration-rehabilitation of natural habitats
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Outcome 6: Model partisipatif dari mekanisme pengelolaan dan insentif yang mengkatalisasi konservasi keanekaragaman hayati, restorasi lahan/habitat dan tata kelola ekosistem prioritas
yang lebih baik yang dimungkinkan di kabupaten sasaran.
Output 6.1. Rencana detail untuk konservasi, restorasi dan pengelolaan ekosistem terdegradasi prioritas secara berkelanjutan dirumuskan dan diadopsi di kabupaten sasaran.
6.1.1. Melakukan identifikasi ekosistem
prioritas untuk rencana pengelolaan,
melakukan pemeriksaan
lapangan/lapangan untuk menilai
kondisi, dan melakukan pemetaan
pemangku kepentingan.
6.1.2. Melakukan konsultasi publik dan
memfasilitasi proses untuk mencapai
konsensus tentang “ekosistem
prioritas” untuk rencana pengelolaan.
6.1.3. Mengembangkan rencana
pengelolaan untuk ekosistem prioritas
yang disepakati, yang akan mencakup:
(i) kebijakan pemanfaatan lahan, (ii)
kebijakan restorasi dan rehabilitasi, dan
(iii) kebijakan mekanisme insentif dan
disinsentif.
6.1.4. Mengembangkan rencana
tindakan yang dihitung biayanya secara
rinci untuk pengelolaan.
6.1.5. Mengelola mekanisme hibah
bernilai rendah untuk memfasilitasi
keterlibatan masyarakat lokal.
6.1.6. Membangun hubungan dengan
pemerintah daerah dan pemangku
kepentingan terkait lainnya untuk
memastikan adopsi dan implementasi
rencana pengelolaan.
6.1.7. Mengembangkan media-media
komunikasi dan pengetahuan untuk
menyebarluaskan rencana tersebut ke
kelompok pemangku kepentingan yang
lebih luas di tingkat kabupaten.
Output 6.2. Model pengelolaan (misalnya, perhutanan sosial) untuk ekosistem kritis yang diterapkan di kabupaten sasaran, dengan memanfaatkan mekanisme insentif yang tersedia.
6.2.1. Menilai lokasi potensial dan
berkonsultasi dengan pemerintah
daerah, dinas kehutanan provinsi dan
KLHK mengenai lokasi intervensi untuk
menerapkan pengelolaan dan restorasi
ekosistem berbasis masyarakat.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
6.2.2. Melakukan Persetujuan Atas
Dasar Informasi Awal (FPIC) untuk
memastikan dukungan dari masyarakat
lokal untuk mengambil bagian dalam
intervensi.
6.2.3. Mengembangkan rencana-
rencana pengelolaan dan restorasi
untuk intervensi yang dipilih, dan
mengidentifikasi mekanisme-
mekanisme insentif yang sesuai.
6.2.4. Bekerja sama dengan pemerintah
pusat, provinsi dan/atau kabupaten
untuk mendapatkan izin hukum untuk
intervensi pengelolaan dan restorasi
ekosistem berbasis masyarakat.
6.2.5. Memulai implementasi
intervensi, termasuk memobilisasi
sumber daya untuk mekanisme
insentif.
6.2.6. Memantau pelaksanaan
intervensi secara teratur.
Output 6.3. Memperkuat mekanisme dan kapasitas tata kelola kolaboratif yang mendukung konservasi dan restorasi yang efektif.
6.3.1. Memperkuat kapasitas
masyarakat lokal untuk berkontribusi
pada penegakan dan sanksi; misalnya di
bawah pengaturan perhutanan sosial.
6.3.2. Memperkuat kapasitas
Pemerintah Kabupaten dan KPH untuk
berkolaborasi dengan masyarakat lokal
dalam penegakan aturan dan
pemberian sanksi.
6.3.3. Melakukan lobi, peningkatan
kesadaran dan memberikan dukungan
perencanaan anggaran kepada
Pemerintah Provinsi tentang
peningkatan kapasitas penegakan
aturan.
Komponent 4: Pengelolaan pengetahuan, koordinasi, kolaborasi dan M&E
Outcome 7: Manajemen pengetahuan terpadu, koordinasi, dan kolaborasi untuk meningkatkan pengetahuan tentang faktor-faktor untuk mendorong pelajaran yang dipetik untuk direplikasi
di bidang lain.
Output 7.1. Implementasi proyek diawasi melalui fungsi komite pengarah yang proaktif dan pemantauan dan evaluasi yang inklusif.
7.1.1. Menyelenggarakan inception
workshop, menyiapkan inception
report
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
7.1.2. Menyelenggarakan stakeholder
workshops tahunan untuk menyusun
annual work plans
7.1.3. Project board and steering
committee meetings
7.1.4. Melakukan monitoring dan
evaluasi secara regular.
7.1.5. Melakukan penilaian
pertengahan proyek terhadap indikator
inti GEF untuk proyek dan hasil-hasil
lainnya.
7.1.6. Evaluasi pertengahan proyek
oleh evaluator independen
7.1.7. Penilaian akhir terhadap
pencapaian indicator utama proyek.
7.1.8. Evaluasi akhir proyek oleh
konsultan independen
7.1.9. Menyiapkan laporan akhir proyek
7.1.10. Mengembangkan rencana
keberlanjutan proyek
Output 7.2. Partisipasi inklusif masyarakat lokal, termasuk perempuan dan masyarakat adat, difasilitasi melalui implementasi rencana pengelolaan lingkungan dan sosial yang efektif.
7.2.1. Melakukan Penilaian Dampak
Lingkungan dan Sosial (ESIA) dan
Penilaian Strategis Sosial dan
Lingkungan (SESA) untuk proyek.
7.2.2. Mengembangkan dan
implementasikan Rencana Pengelolaan
Lingkungan dan Sosial (ESMP) dan
rencana-rencana pengelolaan lainnya
untuk proyek.
7.2.3. Secara aktif memantau
pelaksanaan ESMP dan rencana aksi
gender dan menerapkan langkah-
langkah pengelolaan adaptif untuk
menyesuaikan dengan keadaan yang
berubah.
Output 7.3. Metodologi pengelolaan adaptif dikembangkan untuk memantau, mengevaluasi, dan menanggapi dampak kausal dan perubahan sistemik.
7.3.1. Metodologi pengelolaan adaptif
dikembangkan untuk memantau,
mengevaluasi, dan menanggapi
dampak kausal dan perubahan
sistemik.
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6
Activities
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
7.3.2. Mengacu pada teori perubahan
(ToC), melakukan penilaian
evaluabilitas.
7.3.3. Melakukan evaluasi dampak
secara regular.
Output 7.4. Manajemen pengetahuan dan sistem penjangkauan dikembangkan untuk mendukung penskalaan lintas yurisdiksi/provinsi dan secara nasional, regional, dan global.
7.4.1. Mengembangkan manajemen
pengetahuan dan strategi
penjangkauan dan rencana aksi.
7.4.2. Merancang dan memfasilitasi
pembentukan, pengelolaan, dan
penggunaan sistem pertukaran
pengetahuan, termasuk platform
media sosial.
7.4.3. Mengembangkan dan
menyebarluaskan produk-produk
pepengetahuan.
7.4.4. Mengembangkan dan
menyebarluaskan produk-produk
pepengetahuan.
7.4.5. Platform multi-pemangku
kepentingan tentang pembelajaran
Pengelolaan Lanskap Terpadu (ILM) di
tingkat provinsi dan kabupaten.
7.4.6. Penguatan peran BAPPEDA
dalam pertukaran pembelajaran
melalui platform pembelajaran daerah.
7.4.7. Menyelenggarakan lokakarya
pembelajaran FOLUR tahunan.
Output 7.5. Partisipasi dalam FOLUR CoP Global dan platform relevan lainnya tentang pertukaran pengetahuan dan pelajaran.
7.5.1. BerpartisiPASI dalam FOLUR
global, termasuk GCP
7.5.2. Berpartisipasi dalam kegiatan-
kegiatan komoditi tingkat regional
7.5.3. Berpartisipasi dalam pelatilan,
workshop tingkat global.
7.5.4. Menjadi penyelenggara dalam 2
workshop FOLUR tingkat regional.
7.5.5. Berkontribusi terhadap laporan
kemajuan FOLUR Global
7.5.6. Berkontribusi terhadap produk-
produk pengetahuan FOLUR
7.5.7. Berkontribusi terhadap laporan
tahunan FOLUR IP dan M&E.

Anda mungkin juga menyukai