ISBN 979-587-529-9
Haryono
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementrian Pertanian Republik Indonesia
1
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
kebijakan terpadu dan sinergi antar sektor-sektor pembangunan terkait, khususnya dalam
optimalisasi sumberdaya pertanian (SDLP).
Lahan sawah yang saat ini luasnya sekitar 8,1 juta hektar cenderung menciut akibat
konversi, bahkan dalam 10 tahun terakhir, terjadi juga alih fungsi lahan sawah menjadi
lahan perkebunan sawit. Sekitar 3,1 juta ha atau 42% lahan sawah juga terancam akan
beralihfungsi menjelang tahun 2030 sebagaimana tertuang dalam RTRW kabupaten/kota di
seluruh Indonesia. Padahal, karena keterbatasan anggaran, serta berbagai faktor sosial
ekonomi, aspek kepemilikan lahandan kendala lainnya di lapangan, kemampuan
pemerintah dalam pencetakan sawah hanya sekitar 30-40 ribu hektar per tahun.
Selain itu, jika memperhatikan MP3EI, baik berdasarkan by design ataupun by
accidence, sebagian dari lahan sawah subur dan intensif di Jawa mendapat tekanan yang
sangat tinggi terkait dengan alih fungsi lahan untuk penggunaan lain, terutama untuk
pengembangan perekonomian (infrastruktur, industri, perumahan, perkantoran).Sebaliknya
pengembangan lahan-lahan pertanian diarahkan ke luar Jawa, terutama di koridor
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua yang sebagian besar masih sangat terbatas
infrastrukturnya.Sebagian besar dari lahan cadangan yang tersedia di koridor tersebut
merupakan lahan suboptimal (LSO) baik berupa lahan rawa maupun non rawa.
Berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai,
maka hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi
beras hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawahsekitar 1,4 juta ha, sedangkan
untuk kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanam jagung sekitar 1,3 juta ha. Apalagi hingga
tahun 2045, menjelang 100 tahun kemerdekaan Indonesia, diperlukan tambahan lahan
sekitar 14,8 juta ha yang terdiri dari 4,9 juta ha lahan sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan
1,2 juta ha lahan rawa. Padahal, lahan yang subur sudah sangat terbatas, lahan cadangan
yang tersisa sebagian besar merupakan lahan sub optimal, termasuk di dalamnya lahan
terdegradasi dan terlantar. Oleh sebab itu, opsi utama yang harus ditempuh untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan energi serta komoditas lainnya, adalah pengembangan
dan optimalisasi lahan suboptimal dan terdegradasi, baik melalui pendekatan intensifikasi
maupun secara ekstentifikasi.
Secara kuantitas, Indonesia mempunyai sumberdaya lahan yang cukup luas dengan
berbagai keragaman dan karakteristik. Namun dari daratan seluas 189,1 juta ha sekitar
157,2 juta ha diantaranya merupakan lahan sub optimal (LSO). Sedangkan sisanya seluas
31,9 juta ha adalah lahan subur (optimal) dengan berbagai tingkat kesuburan. Hanya saja
sebagian besar lahan tersebut sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan untuk
berbagai penggunaan. Sebagai lahan cadangan sebagai andalan utama di masa depan,
lahan sub optimal yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah dan ringkih
(fragile) dengan berbagai kendala akibat faktor inheren (tanah, bahan induk) maupun
faktor eksternal akibat iklim yang ekstrim, termasuk lahan terdegradrasi akibat ekspoitasi
yang kurang bijak.
Secara biofisik dan dengan sentuhan inovasi teknologi pertanian, sekitar 58% dari
lahan suboptimal tersebut potensial untuk lahan pertanian. Bahkan pada saat ini
sebenarnya, sekitar 15% lahan sawah eksisting dan sekitar 60% dari lahan pertanian
lainnya juga merupakan lahan sub-optimal yang potensial dan produktif serta sudah
berkontribusi secara signifikan terhadap ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi
nasional. Artinya lahan sub-optimal sudah berkontribusi sekitar 10-12% terhadap produksi
padi nasional dan sekitar 50-55% komoditas pangan lainnya.Namun demikian belum
semua lahan suboptimal dikelola secara optimal, terutama lahan sawah dan lahan kering,
dengan produktivitas yang masih rendah, tetapi dengan dukungan bernbagai teknologi
inovatif, produktivitas lahan-lahan tersebut sangat potensial ditingkatkan.
2
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari LSO adalah lahan kering dan 34,1 juta ha
lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan kering
beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim,
Bali, NTT, NTB. LSO yang berada di lahan basah berupa lahan rawa baik yang berada di
lahan rawa pasang surut maupun lahan rawa lebak, seluas 34,1 juta ha. Dari luasan
tersebut, terdiri dari 14,9 juta ha berupa lahan gambut dan 20,2 juta ha berupa lahan
mineral.
Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan
pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan
suboptimal akan diarahkan pada beberapa aspek, yaitu produktivitas, efisiensi produksi,
kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran
tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan, sehingga
diharapkan dapat terwujud sistem pembangunan pertanian yang inklusif untuk memajukan
petani di lahan suboptimal. Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui
beberapa pendekatan, yaitu:
(A) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun lahan
kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan
inovasi. Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal
tanam/indeks pertanaman (IP).
(B) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan sub
optimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Prioritas utama perluasan areal
adalah pemanfaatan lahan sub optimal terdegradasi atau terlantar (abondance land),
baik di lahan kering maupun di lahan rawa. Hal ini terkait pula dengan misi dari Inpres
No.06/2013 tentang Jeda Pemberian Izin atau Pembukaan Hutan dan Lahan Gambut,
sehingga perluasan areal harus memanfaatkan lahan terdegradasi/terlantar.
(C) Pemanfaatan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) dengan dukungan
model sistem usahatani terintegrasi berkelanjutan berbasis inovasi (pertanian rendah
karbon/bioindustri)
(D) Prioritas pengembangan ditujukan pada wilayah perbatasan, tertinggal, dan pulau-
pulau terpencil
(E) Keterkaitan dan sinergi program pengembangan lahan kering dengan:
Program Reforma Agraria (terutama dalam aspek kepemilikan),
Program pengembangan agroforestri
Program Transmigrasi
Lahan Pertanian Pangan Abadi,
Pengembangan wilayah perbatasan (BNPP),
Pengembangan daerah tertinggal/terpencil (Kemen PDT)
Dalam pengembangan lahan sub optimal diperlukan teknologi inovasi yang berbasis
bioscience. Selain itu, terdapat beberapa titik ungkit yang perlu diupayakan di antaranya:
1.Eksplorasi dan optimalisasi sumberdaya air serta penataan dan konservasi lahan yang
mencakup tanah, hara, air, dan iklim
2. Pengembangan teknologi inovatif pada berbagai agroekosistem, terutama perakitan dan
pengembangan varietas unggul adatif, teknologi pengelolaan lahan dan air, seperti :
(a) lahan rawa (pengelolaan air satu arah dan tabat konservasi, sistem surjan), (b) lahan
kering masam (penggunaan rock-phosphate dan pengelolaan bahan organik, varietas
tahan masam), dan (c) lahan kering iklim kering (teknologi panen air, pengelolaan
bahan organik,varietas tahan kering), (d) tekologi pemupukan, pemanfaatan limbah
(zero waste), bioproses dan bioproduk, dll.
3
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
3. Modernisasi sistem usaha pertanian berbasis inovasi teknologi dan model pertanian
inovatif yang terpadu seperti sistem integrasi tanaman ternak (SITT), pertanian ramah
lingkugan (PRL), pertanian rendah karbon (ICEF), bioindustri, dll.
4. Peningkatan koordinasi, integrasidan sinergi program.
Pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal harus berbasis “sciense,
innovation dan networking”. yang dapat dijabarkan pada beberapa strategi berikut :
Pertama : pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi
teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena
sifatnya yang ringkih (fragil) dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah
dan akedemik yang kuat.
Kedua : pengembangan model usahatani berbasis lingkungan dan terintegrasi, seperti
pertanian ramah lingkungan, pengelolaan tanaman terpadu (PTT), integrasi tanaman dan
ternak (SITT), pertanian terpadu efisiensi karbon (ICEF), sistem pertanian terpadu lahan
kering beriklim kering (SPTLKIK/Food Smart Village),dll.
Ketiga : akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama
verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan model
pertanian ramah lingkungan. Akselerasi ini dapat diwujudkan dengan sistem diseminasi
multi channel.
Keempat : pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan dalam berbagai
sub-sistem agribisnis pedesaan, mulai dari saprodi, alsintan hingga pemasaran hasil.
Kelima : merupakan strategi khusus perluasan areal jangka pendek dengan memanfaatkan
lahan HTI dan perkebunan untuk pengembangan tanaman pangan.
Menurut Kementerian Kehutanan ada sekitar + 9,4 juta ha, dimana 70% dalam status aktif
dan berdasarkan kajian Badan Litbang Pertanian 5,4 juta ha diantaranya potensial untuk
tanaman pangan. Dengan siklus 6-7 tahun, maka setiap tahun terdapat lahan HTI potensial
ditanami seluas 570.000 ha.
Berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan lahan suboptimal beberapa
kebijakan yang dapat ditempuh adalah :
Pertama : untuk pengembangan pertanian tanaman pangan diprioritaskan pada
optimalisasi pemanfaatan lahan potensial baik di lahan rawa maupun non rawa. Sedangkan
untuk pengembangan tanaman perkebunan diprioritaskan pada lahan kering atau lahan
rawa dengan tetap mengacu pada Permentan No. 14/ 2009.
Kedua : perluasan lahan melalui pengembangan lahan suboptimal harus diprioritas pada
lahan suboptimal terdegradasi dan terlantar di kawasan budidaya (APL), diikuti dengan
pemanfaatan lahan-lahan terlantar di kawasan hutan secara selektif (hutan produksi
konversi).
Ketiga : akselarasi dan eskalasi kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian, antara
lain membangun sistem konsorsium litbang pertanian dan skim penelitian lainnya. seperti:
(a) Konsorsium Litbang Lahan Kering Beriiklim Kering (LKIK),
(b) Konsorsium Litbang Lahan Gambut,
(c) Konsrsium Libang Rawa
(d) Program Kerjasama ICCTF Lahan Gambut,
(e) Konsorsium Litbang Lahan Sub Optimal melalui Sinas LSO,
(f) Program Kunjungan kerja tematik untuk Membangun Model Percepatan
Pembangunan Pertanian Wilayah Perbatasan dan Lahan Suboptimal.
Selain itu, aspek kelembagaan saprodi, alsintan dan pemasaran, merupakan kunci
sukses optimalisasi lahan suboptimal. Di samping itu, tidak kalah pentingnya juga adalah
sistem koordinasi, kerjasama dan sinergisme program antara Kementerian/Lembaga
terkait, seperti Kehutanan, PU, Transmigrasi dan Dalam Negeri, serta Pemerintah Daerah
dan Swasta/BUMN.
4
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
ABSTRAK
Kegiatan riset dan upaya pengembangan teknologi sudah banyak dilakukan di Indonesia,
tetapi upaya ini belum signifikan menghasilkan teknologi yang bermanfaat. Sedikit sekali
teknologi domestik yang telah digunakan dalam produksi barang maupun jasa, termasuk di
sektor pertanian. Persoalan ini berakar pada kenyataan bahwa teknologi yang
dikembangkan jarang yang relevan dengan realita kebutuhan dan/atau persoalan nyata
yang dihadapi petani. Kalaupun teknologi domestik secara substansi sudah relevan, namun
sering belum sepadan dengan kapasitas adopsi petani, tidak menjanjikan keuntungan usaha
tani yang lebih besar, dan/atau kurang kompetitif dibandingkan dengan teknologi serupa
yang sudah tersedia di pasar. Keterbatasan sumberdaya di masa sekarang dan akan datang,
menumbuhkan keharusan bahwa teknologi yang dikembangkan dapat berkontribusi nyata
terhadap upaya mewujudkan pembangunan pertanian yang inklusif, produktif, dan
berkelanjutan. Agar teknologi sesuai dengan kebutuhan dan dapat berkontribusi nyata
terhadap pembangunan pertanian, maka petani harus berperan aktif dansignifikan mulai
dari proses penetapan prioritas riset, perencanaan, dan pengembangan teknologi. Isu
aktual pada saat ini adalah peningkatan kebutuhan pangan sebagai akibat pertumbuhan
penduduk dan konversi lahan-lahan subur untuk kepentingan berbagai sektor lain.
Kecenderungan ini mengakibatkan peningkatan kegiatan pertanian di lahan-lahan
suboptimal. Upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan suboptimal seharusnya tidak
mengorbankan keberlanjutan fungsi ekosistem dan partisipasi petani lokal. Sustainabilitas
dan inklusivitas harus dipertahankan saat dilakukan upaya peningkatan produktivitas.
Pengetahuan tradisional dan kearifan lokal harus digunakan sebagai landasan dalam
pengembangan teknologi untuk mewujudkan pertanian yang produktif di lahan suboptimal.
5
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
6
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
7
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
8
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
9
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
10
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
11
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
12
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
13
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
14
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
15
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
16
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
ABSTRACT
There is still wide chance to fullfill sustainable national food requirement (security and
soverignty) derived from annual crops (paddy, maize, soybean), estate plantation, and
husbandry though it faces potency of sub-optimal land of dry acid and dry climate that has
lower fertility than optimal land. In terms of its utilization, some inherent constraints of its
characteristic needs to be solved. In order to achieve sustainable food security and
sovereignty on sub-optimal land, the strategy that could be implemented are two groups,
namely necessary conditionand sufficient condition. The effective and local spesific
technologies include mapping of land capability and suitability, comodity zonation,
analysis of farm bussines, optimalization of land utilization, agrotechnology apllication,
integrated farming sytem, providing of farm production input, improvement of
infrastructure, training assistance empowerment, development of technology, control of
agricultural land conversion, and institution arrangement.
ABSTRAK
Upayaberkelanjutanuntukpemenuhan kebutuhan pangan nasional (ketahanan dan
kedaulatan pangan) yang bersumber dari tanaman setahun (padi, jagung, kedele),
perkebunan, dan peternakan masihterbukaluas, walaupundihadapkanpadapotensi lahan
yang sub-optimal kering masam dan iklim kering bukan lahan
optimal.Untukpemanfaatannya, berbagaikendalayang melekat pada karakteristik lahan
tersebut perlu dipecahkan.Strategi yang dapat ditempuh untuk pencapai tujuan ketahanan
dan kedaulatan pangan berkelanjutandilahan sub-optimal di atas dikelompokkan menjadi
dua, yaitu syarat perlu (necessary condition) dan syarat cukup (sufficient condition).
Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi meliputi pemetaan kemampuan dan
kesesuaianlahan, pewilayahan komoditas, analisis usahatani, optimalisasi pemanfaatan
lahan, aplikasi agroteknologi, pertanian terpadu, penyediaan input produksi pertanian,
perbaikan infrastruktur, pelatihan pendampingan pemberdayaan, pengembangan teknologi,
pengendalian konversi lahan pertanian, dan penataan kelembagaan.
Kata kunci : kering masam, iklim kering, syarat perlu, syarat cukup, teknologi
PENDAHULUAN
Dalam rangkaian seminar tentang lahan sub-optimal, Haryono (2013) menyatakan
bahwa sebagai tumpuan utama penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk Indonesia,
17
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
sektor pertanian merupakan penyumbang 15% PDB. Dalam rangka memenuhi ketahanan
dan kedaulatan pangan, pemerintah berupaya terus meningkatkan produksi beras nasional
5% per tahun dan pencapaian target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015, disamping
peningkatan produksi perkebunan dan peternakan.Selanjutnya dikemukakan bahwa
berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka
hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi beras
hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawahsekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk
kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanaman jagung sekitar 1,3 juta ha. Apalagi hingga
tahun 2050, diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha yang terdiri dari 5 juta ha lahan
sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Pada hal, di sisi lain, selain
hutan primer pada umumnya lahan yang tersedia adalah lahan sub-optimal termasuk lahan
yang sudah terdegradasi atau terlantar.
Berbagi ancaman dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi
agar target ketahanan dan kedaulatan pangan tercapai. Hal tersebut meliputi alih fungsi
lahan sawah produktif (terutama di Jawa), perubahan iklim, serta degradasi sumberdaya
lahan, air dan lingkungan (erosi, longsor, pencemaran), disamping perluasan lahan
terdegradasi, terlantar, dan lahan kritis. Disamping itu, laju peningkatan produksi tanaman
pangan khususnya padi, jagung, dan kedelai mengalami leveling off, bahkan produksi
kedelai mengalami penurunan sehingga harus impor (Sopandie et al., 2009). Sementara
lahan-lahan pertanian di luar Jawa, terutama di koridor Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
Papua sebagian besar merupakan lahan sub-optimal (LSO).Sasaran pengembangan dan
optimalisasi lahan sub-optimalmeliputi: produktivitas, efisiensi produksi, kelestarian
sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Optimalisasi lahan sub-optimal
dapat ditempuh melalui dua pendekatan (Haryono, 2013), yaitu:
a. Optimalisasipemanfaatan lahan sub-optimal eksisting secara lebih produktif dan lestari,
melalui intensifikasi dengan dukungan inovasi untuk peningkatan produktivitas dan
perluasan areal tanam/indeks pertanaman (IP).
b. Perluasan areal pertanian baru (ekstensifikasi) melalui pemanfaatkan lahan sub optimal
yang potensial dengan prioritas pemanfaatan lahan sub-optimal terdegradasi atau
terlantar (abondance land).
Pengelolaan lahan-lahan sub-optimalmemerlukan teknologi yang memadai dan
sesuai karena kendala teknis/agronomis. Setiap aplikasi teknologi untuk perbaikan sifat
fisik, kimia, dan/atau biologi tanah merupakan tantangan utama karena input tersebut akan
secara langsung menambah biaya usahatani yang secara langsung akan mengurangi
keuntungan atau bahkan menyebabkan kerugian bagi petani.Upaya pengelolaan lahan sub-
optimal juga perlu secara paralel dilakukan seleksi jenis komoditas pangan, disamping
pemuliaan tanaman dan ternak yang adaptif terhadap keragaman kondisi agroekosistem
lahan sub-optimal (Lakitan dan Gofar, 2013). Dengan demikian, pengembangan dan
aplikasi teknologi optimalisasi (efektif dan efisien) lahan sub-optimal hendaknya benar-
benar disesuaikan dengan karakteristik biofisik dan lingkungan lahan tersebut, yaitu
teknologi tepat guna dan spesifik lokasi untuk pencapaian target produksi pertanian,
perkebunan, dan peternakan nasional.
Potensi
Data sumberdaya lahan eksplorasi yang mencakup seluruh Indonesia
(Puslitbangtanak, 2000), data tanah tinjau (BBSDLP, 2012), dan data tipe iklim Indonesia
(Balitklimat, 2003) telah dianalisis oleh Mulyani dan Sarwani (2013). Berdasarkan
18
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
karakteristik dan penciri dari masing-masing lahan, maka lahan sub-optimal dapat dipilah
menjadi lahan kering dan lahan basah. Lahan keringsub-optimal dikelompokkan menjadi
lahan kering masam dan lahan kering beriklim kering (Tabel 1).Berdasarkan Tabel 1
sebagian besar lahan termasuk pada lahan kering masam sekitar 108,8 juta ha atau sekitar
60% dari total luas lahan Indonesia, yang identik dengan lahan kering beriklim basah.
Sebaran lahan kering masam ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terluas
terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sedangkan lahan kering iklim kering seluas
13,3 juta ha, penyebaran terluas terdapat di NTT, NTB, Jatim, Kaltim, Gorontalo dan
Sulsel.
Sekitar 70,41 juta hektar (58%) dari 122,05 juta hektar lahan sub-optimal sesuai
untuk pengembangan pertanian (Tabel 2). Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa 7,08
juta hektar sesuai untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta hektar
19
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
lahan sesuai untuk pertanian tanaman tahunan (Tabel 3).Luas lahan yang sesuai dan
tersedia untuk perluasan areal pertanian lahan keringdapat berada pada status kawasan
hutan konversi (HK) dan hutan produksi (HP) yang secara hukum negara jika dibutuhkan
dan disepakati dapat dijadikan sebagai cadangan lahan pertanian, saat ini berupa semak
belukar dan padang alang-alang/rumput di Kalimantan, Papua dan Maluku, serta Sumatera
(Tabel 4).
Tabel 2. Luas Lahan Kering Suboptimal yang Potensial untuk Pengembangan Pertanian
(hektar)
Tabel 3. Lahan Suboptimal yang Sesuai dan Tersedia untuk Pertanian Semusim dan
Tahunan
Luas (hektar)
Pulau
Tanaman Semusim Tanaman Tahunan
Sumatera 1.312.800 3.226.800
Jawa 40.500 159.000
Bali dan Nusa Tenggara 137.700 610.200
Kalimantan 3.639.400 7.272.000
Sulawesi 215.500 601.200
Maluku+Papua 1.739.000 3.441.000
Indonesia 7.083.800 15.310.100
Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)
Tabel 4. Luas Lahan Suboptimal yang Tersedia untuk Pertanian di Kawasan Budidaya
Pertanian dan Kehutanan (hektar)
Kawasan Budidaya
Pulau Jumlah
Pertanian Kehutanan
Sumatera 2.741.632 2.757.776 5.499.408
Jawa 129.022 84.868 213.890
Bali dan Nusa Tenggara 515.874 280.872 796.746
Kalimantan 3.907.977 8.399.413 12.307.390
Sulawesi 682.192 557.412 1.239.604
Maluku+Papua 2.331.106 8.281.545 10.612.651
Indonesia 10.307.803 20.361.886 30.669.689
Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)
20
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
fisik, kimia, biologi serta pemanenan air sesuai karakteristik tanahnya (Lakitan dan Gofar,
2013).
Dengan teknologi yang memadai dan ketersediaan lahan sub-optimal semestinya
target ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia bisa dicapai jika dan hanya jika
pemerintah dan stakeholdernya bersama mempunyaitekat dan komitment dan konsisten
untuk mencapainya.
Kendala
Kendala lahan sub-optimal(kering masam dan iklim kering) antara lain ditentukan
oleh karakteristiknya masing-masing yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Lahan kering masam.Lahan kering masam adalah lahan kering yang mempunyai tanah
bereaksi masam dengan pH < 5, kejenuhan basa < 50% (dystrik), kadar aluminium
tinggi, tekstur klei, dan regim kelembaban tanah udik atau curah hujan > 2.000 mm per
tahun (Subagyo et al., 2000). Tanah tersebut tergolong pada tanah Podsolik Merah
Kuning atau Ultisols, Oxsisols, dan Inceptisols. Secara umum lahan kering masam ini
mempunyai tingkat kesuburan dan produktivitas lahan rendah sehingga diperlukan input
yang cukup tinggi untuk mencapai produktivitas optimal (Mulyani dan Syarwani,
2013). Tingkat kesuburan dan produktivitas lahan yang rendah secara spesifik berupa
kandungan bahan organic dan kandungan hara yang rendah selain adanya toksisitas
aluminium.
2. Lahan kering iklim kering.Lahan kering iklim kering adalah lahan kering yang
mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan atau termasuk pada iklim kering dengan
jumlah curah hujan < 2.000 mm per tahun dan bulan kering > 7 bulan (< 100 mm per
bulan) (Balitklimat, 2003). Umumnya kejenuhan basa > 50% (eutrik), pH tanah netral
dan cenderung agak alkalis, dan secara umum mempunyai tingkat kesuburan lebih baik
daripada lahan kering masam. Tanah yang umum ditemukan adalah Grumusol,
Mediteran, Litosol atau Alfisols, Mollisols, Entisols, Vertisols. Curah hujan yang
rendah menyebabkan musim kemarau yang nyata dan keterbatasan sumberdaya air
sehingga jenis tanaman dan indeks pertanaman yang diusahakan lebih terbatas (Mulyani
dan Syarwani, 2013).
Secara umum kendala pada kedua jenis lahan sub-optimal tersebut lebih berat
terdapat pada lahan kering masam. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam
diperlukan masukan dan upaya perbaikan yang lebih banyak dibandingkan terhadap lahan
kering iklim kering. Upaya penyediaan kebutuhan air bagi tanaman sudah berimplikasi
pada peningkatan nyata bagi produktivitas pada lahan kering iklim kering, sementara hal
tersebut belum cukup untuk lahan kering masam.
Karakteristik lahan sub-optimalpada dasarnya merupakan lahan-lahan yang secara
alami mempunyai kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan
budidaya yang produktif untuk tanaman pangan dan perkebunan serta peternakan. Kendala
tersebut dapat berupa: (a) kesulitan dalam menyediakan air yang cukup untuk mendukung
usaha tani yang produktif dan menguntungkan, (b) sifat kemasaman tanah yang tinggi (pH
rendah) sehingga butuh upaya untuk menetralisir kemasaman tanah tersebut,
(c)kandunganbahanorganik yang rendahdansolum yang dangkal,kandunganbahanorganik
yang rendahdansolum yang dangkal, (d) sangat miskin unsur hara sehingga membutuhkan
dosis pemupukan yang lebih tinggi; dan/atau,(e) tanah berbatu sehingga sulit diolah secara
mekanis. Kondisi sub-optimal ini dapat terbentuk secara alami, atau karena kegiatan
manusia di dan/atau sekitar lokasi yang bersangkutan, atau akibat salah kelola pada periode
sebelumnya (Lakitan dan Gofar, 2013). Selanjutnya, kendala yang dihadapi dari aspek
budidaya antara lain: (a) persiapan lahan, pemakaian benih varitas unggul, penanaman
(waktu tanam, cara tanam), pemeliharaan, pemupukan, pengendalian hama, penyakit
21
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
tanaman dan gulma yang belum dilakukan dengan baik; (b) belum dilaksanakan integrasi
pertanian tanaman dengan peternakan sehingga produktivitas lahan sub-optimal masih
rendah.
Lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering banyak juga dijumpai di daerah
tidak datar atau landai tetapi berkemiringan relatif curam sehingga mendorong degradasi
lahan oleh proses erosi tanah. Degradasi lahan di daerah tropika basah menghasilkan lahan
kritis di dalam dan luar kawasan hutan yang saat ini masih seluas sekitar 27 juta hektar.
Untuk pengembangan lahan sub-optimal di daerah berkemiringan agak curam hingga
curam, disamping memerlukan input produksi pertanian, juga diperlukan teknologi
konservasi tanah dan air yang memadai.
22
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Strategi yang termasuk dalam syarat perlu dapat diuraikan sebagai berikut :
23
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
5. Aplikasi agroteknologi.
24
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
kita menuntut produktivitas tanaman yang tinggi. Pemupukan harus seefisien mungkin,
mengingat ketidakefisienan pemupukan berpotensi pada terjadinya pencemaran hara pada
tubuh perairan, selain untuk menghematan sumberdaya. Dengan demikian pemupukan
harus dilakukan dengan cara dan bentuk agar tepat jumlah dan waktu.
25
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
d. Pemanenan air
Di daerah iklim arid dan semi-arid jumlah curah hujan yang turun dalam setahun
rendah, dan laju evapoprasi yang tinggi selama musim pertanaman. Hujan yang turun
biasanya lebat dan tanah tidak dapat menyerap semua air hujan yang volumenya besar
dalam waktu singkat sehingga volume air limpasan-permukaan (runoff) besar yang pada
gilirannya menyebabkan defisit air bagi budidaya tanaman pangan, perkebunan, dan
ternak. Dengan demikian pemanenan air hujan terutama di musim hujan mutlak dilakukan
di lahan sub-optimal beriklim kering dengan berbagi teknik yang telah banyak
dikembangkan.
Konservasi air merupakan salah satu usaha untuk menekan penurunan produksi
pertanian di lahan kering karena perubahan iklim, yaitu dengan memaksimumkan air hujan
masuk ke dalam tanah dan meminimalkan aliran permukaan (Haryati, 2009).Pemanenan
air hujan dapat menekan aliran permukaan dan meningkatkan produksi beberapa tanaman
pangan di DAS Kaligarang Semarang (Rejekiningrum dan Haryati, 2002).BadanLitbang
Pertanian (2010) telah menghasilkan danmengembangkan beberapa teknologi
pengelolaansumberdaya air, antara lain teknologi panen air (waterharvesting), yaitu
embung dan dam parit, disamping berbagai teknik lain yang dapat diaplikasikan seperti
metoda kendi, guludan, micro catchment, lubang resapan.
Hasil penelitian pemanenan air hujan dengan membangun teras gulud di kebun
kelapa sawit Rejosari, PT Perkebunan Nusantara VII, Lampung oleh Murtilaksono et al.
(2009) dapat menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) lebih tinggi 21,5% dari pada tanpa
perlakuan teras gulud dan layak secara ekonomi (Murtilaksono et al., 2011).
26
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
UNDP 5 tahun terakhir. Diharapkan setelah proyek berakhir, sistem pertanian terpadu
tersebut tetap berlanjut karena sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat yang terlibat.
Strategi yang termasuk dalam syarat cukup dapat diuraikan sebagai berikut :
2. Perbaikan infrastruktur.
Pemenuhan atau pasokan asupan produksi ke lokasi atau lahan petani dan penjualan
produk pertanian langsung ke pasar tanpa melalui banyak rantai pemasaran memerlukan
kecukupan infrastruktur agar produksi bisa maksimal dan petani sejahtera. Sobir (2013)
2013) mengemukanan bahwa lahan sub optimal belum yang banyak dimanfaatkan karena
belum tersedianya infrastruktur yang diperlukan, baik terkait dengan system
produksilangsung seperti sistem pengelolaan air, sistem irigasi, maupun penanganan pasca
panen,maupun sarata pendukung seperti jalan akses utama, jalan usaha tani, maupun
systempenyediaan sarana produksi lapang. Sementara itu, Mulyani dan Syarwani (2013)
menyatakan bahwa dukungan infrastruktur, sarana dan fasilitasi sesuai kebutuhan
masyarakat dan sesuai dengan tipologi lahannya, sehingga petani mempunyai akses yang
mudah dalam memenuhi input produksi.
4. Pengembangan teknologi.
Hasil penelitian aplikasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di lahan sub-optimal
kering masam menunjukkan peningkatan produksi tanaman kedelai dapat dicapaidengan
baik (Jumakir dan Endrizal, 2013) juga pada komoditi-komoditi lainnya. Selanjutnya,
pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi teknologi yang
diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan disamping
pengembangannya (Irianto, 2009). Akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi
tenologi pertanian, terutama adalah terhadap verietas unggul, teknologi pemupukan, alat
mesin pertanian, pasca panen dan model faming ramah lingkungan (Haryono, 2013),
disamping pengembangan jenis dan varietas adaptif (Lakitan dan Gofur,
2013).Pengembanganvarietasunggulspesifiklokasibahkanspesifikpermasalahanlahan sub-
optimal sepertiterhadaptoksisitasaluminium, atauterhadapkondisihara minimal
27
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
KESIMPULAN
28
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Andy Mulyana
Dosen Program Studi Agribisnis dan Ketua Program Magister Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
e-mail : andy_sep@yahoo.com
ABSTRACTS
Suboptimal lands which categorized as acid dry land, rain-fed land, tidal swamp land and
lowland swamp have unavoidably become alternatives of our efforts to increase food
commodity productions since the production from fertile and coventional irrigated land in
Java and other islands is certainly reducing. Although biophysical and chemical
constraints of the suboptimal lands that make the majority can only be cultivated once a
year and perform low yields, new technology innovations have been developed and proven
appropriate to be implemented for increasing cropping intensity as well as raising
productivities. The efforts would be more effective when at the same time accompanied
by activating social capital of traditional farmers at the location by internally strengthening
family ties and rebuilding trust among them, awakening work ethic, activating mutual
cooperation and local wisdom in operating their farm, and others. A group of farmers has
to externally bridge relationship with other groups, and with government which can also
build up a broader network with other stakeholders in term of business and open access to
obtain economic resources for maintaining and improving the performances of the group,
other farmer groups or organizations.
Keywords : social capital, suboptimal land, traditional farmers, food commodities
ABSTRAK
Lahan suboptimal yang terdiri atas lahan kering masam, lahan sawah tadah hujan lahan
rawa pasang surut, dan lahan rawa lebak saat ini menjadi alternatif upaya kita
meningkatkan produksi komoditi pangan karena produksi dari lahan subur dan sawah
irigasi konvensionalnya di Jawa dan pulau lainnya sudah berkurang akibat banyak
dikonversi ke penggunaan lain atau tingkat produktivitasnya sudah melandai. Meskipun
kendala biofisik dan kimiawi pada lahan suboptimal yang mayoritas hanya dapat ditanami
satu kali (IP 100) dan produktivitasnya lebih rendah, secara teknis telah cukup banyak
inovasi teknologi untuk meningkatkan intensitas pertanaman dan produksi komoditi
pangan. Upaya itu akan lebih efektif apabila disertai dengan memanfaatkan modal sosial
para petani tradisional di lahan tersebut yang secara internal berarti memperkuat ikatan di
antara mereka yaitu mempererat hubungan kekeluargaan dan membangun kembali
kepercayaan anatra satu dengan yang lainnya, membangkitkan etos kerja, mengaktifkan
kebiasaan gotong royong dan kearifan lokal dalam berusahatani, dan lainnya; Secara
eksternal perlu terus dibangun kerjasama yang aktif dengan kelompok petani lain, dan
dengan pemerintah yang dapat juga mejadi jembatan sekaligus penguat kerjasama lebih
luas dengan pemangku kepentingan lainnya dalam hal bisnis maupun kemudahan akses
29
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
memperoleh sumberdaya ekonomi lain untuk pemeliharaan dan perbaikan sistem dan
kinerja organisasi/kelompok organisasi tersebut.
Kata kunci : modal sosial, lahan suboptimal, petani tradisional, komoditi pangan
PENDAHULUAN
Penduduk Indonesia diproyesikan Badan Pusat Statistik akan mencapai 293,88 juta
jiwa pada tahun 2025, yang berarti akan mengalami kenaikan 56,24 juta jiwa dari
penduduk tahun 2010. Dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,43 persen per tahun
diperlukan tambahan penyediaan bahan pangan yang cukup banyak per tahun. Oleh
karena itu dari kebutuhan beras pada 2012 sekitar 26,08 juta ton akan terjadi peningkatan
menjadi 31,35 juta ton pada tahun 2025. Namun demikian yang perlu dicermati adalah saat
ini saja produktivitas padi mengalami pelandaian (levelling off) sehingga menyebabkan
turunnya penyediaan stok pangan nasional, dan akan berdampak melemahkan ketahanan
pangan nasional Indonesia.
Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi kritis ketahanan pangan nasional
Indonesia yakni: (1) meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah
menjadi lahan non pertanian, (2) menurunnya ketersediaan air sebagai dampak dari
meningkatnya kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai) dan perubahan iklim global, dan (3)
meningkatnya kerusakan infrastruktur irigasi (Hafif, 2013). Berlangsungnya fenomena
penyusutan luas lahan pertanian, terutama lahan persawahan di pulau Jawa dan sekitar
kota-kota besar sudah cukup memprihatinkan yang berakibat pada melambatnya laju
kenaikan produksi bahan pangan, terutama beras yang malah dapat menurun setelah
selama ini dominan dikontribusi dari Jawa.
Maraknya alih fungsi lahan di Jawa tersebut telah dicari alternatifnya dengan
memanfaatkan lahan di luar Jawa yang mayoritas terkategori suboptimal dan meliputi
lahan kering masam, lahan sawah tadah hujan, lahan rawa pasang surut dan lahan lahan
rawa lebak. Dari beberapa kajian yang dirangkum Hafif (2013) dikemukakan bahwa lahan
kering masam dikategorikan suboptimal karena tanahnya kurang subur/miskin hara,
bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah relatif tinggi sehingga
dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara
makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg. Sawah tadah hujan juga dikategorikan sebagai lahan
sub-optimal karena tanahnya yang kurang subur dan kurangnya ketersediaan air.
Produktivitas padi di sawah tadah hujan relatif rendah yakni kisaran 3 – 3,5 ton/ha dan
masih sangat berpeluang ditingkatkan. Agroekosistem lahan suboptimal lainnya adalah
lahan rawa yaitu rawa pasang surut dengan masalah utama kesulitan dalam mengatur tata
air, adanya lapisan pirit, lapisan gambut tebal, dan intrusi air laut, sementara di lahan
rawa lebak ada kesulitan untuk memprediksi dan mengatur tinggi muka air dan
kemasaman tanah.
Secara alamiah di Indonesia terdapat sekitar 123,1 juta ha lahan kering dan 34,1 juta
ha lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan
kering beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha,
tersebar di Jatim, Bali, NTT, NTB. Sementara lahan subopimal basah terdiri dari 14,9 juta
ha lahan gambut, kemudian seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3
juta ha berupa lahan rawa lebak (Haryono, 2013). Pada dasarnya apabila mengandalkan
luas areal lahan suboptimal yang tersedia dan dengan estimasi produktivitas berdasarkan
rata-rata eksistensi kemampuannya antara 3 – 4 ton per Ha, maka jumlah produksi nasional
30
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
diestimasi dapat mencapai tidak kurang dari 90 juta ton GKG atau sekitar 54 juta ton beras.
Namun persoalannya tidak sesederhana itu karena potensi lahan itu tidak dapat
dikhususkan untuk produksi padi saja dan banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan.
Sampai saat ini, yang relatif menjadi fokus perhatian untuk menjadi alternatif areal
produksi padi adalah lahan rawa pasang surut dan rawa lebak, dibandingkan lahan kering.,
karena ketersedaan air yang dibutuhkan sebagai salah satu kebutuhan utama untuk
pertumbuhan padi lebih mencukupi dibandingkan di lahan kering, minimal di Sumatera
Selatan. Selain itu, potensi untuk mengembangkan usahatani atau membudidayakan
komoditi lain juga cukup besar.
Usahatani yang dikembangkan di salah satu jenis lahan suboptimal, yaitu lahan
pasang surut adalah usahatani kelapa dalam, kopi, pisang, kelapa sawit dan karet yang
menjadi sumber penghidupan ekonomi keluarga petani selain padi. Para petani di kawasan
pasang surut ini, khususnya di Sumatera Selatan, didominasi oleh transmigran dari Pulau
Jawa kemudian diikuti oleh pendatang dari Sulawesi Selatan. Sementara, penduduk lokal
pada awalnya dan hingga saat ini lebih banyak berusaha pada kegiatan penangkapan ikan
sungai dan ikan laut. Sebagian dari penduduk yang tidak tercukupi kebutuhan hidupnya
dari kegiatan usahatani tersebut mencari kegiatan usaha non pertanian dengan menjadi
buruh tani atau buruh bangunan karena memang ketersediaan tenaga kerja di kawasan ini
relatif terbatas. Ternyata pendapatan para petani tersebut bervariasi antar empat tipologi
lahan pasang surut lokasi mereka berusaha, yaitu yang terendah sekitar Rp 29,39 juta – Rp
30,99 juta padaTipe D, hingga mencapai Rp 56,6 juta – Rp 59,1 pada tipe A , artinya untuk
ukuran anggota sebanyak 4 orang setiap KK petani di pasang surut memperoleh
pendapatan antara Rp 2,5 juta – Rp 5 juta per bulan. Kontribusi dari tanaman padi relatif
kecil hanya sekitar 20 % dengan tingkat produksi gabah maksimum 3,04 ton pada luas
lahan sekitar1,5 ha (Zuriah, 2013). Selain itu para petani yang usahatani utamanya
tanaman padi memperoleh pendapatan kurang lebih Rp 13,25 juta dari luas lahan sekitar
1,59 ha, dan total pendapatan yang diperoleh dengan tambahan usahatani komoditi lain
maupun usaha non usahatani mencapai rata-rata Rp 22,20 juta (Wahyuni, 2014).
Begitu pula untuk kehidupan keluarga petani di lahan suboptimal lainnya yaitu lahan
lebak dan tadah hujan yang mengandalkan kehidupannya pada usahatani padi ternyata
tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga mesti ditambah dengan
sumber mata pencaharian lain. Hasil penelitian Mulyana et al (2014) menunjukkan bahwa
pendapatan usahatani padi per ha per musim tanam di ketiga tipologi lahan suboptimal
rata-rata 20 % lebih rendah dibandingkan pendapatan di lahan irigasi, dan sebagian besar
intensitas penanaman padinya hanya 100 (satu kali tanam per tahun) dibandingkan di
lahan irigasi yang IP-nya minimal 200.
Deskripsi tersebut mengindikasikan bahwa pada kondisi sistem usahatani dan
produksi padi lahan suboptimal pada saat ini, pendapatan dan kesejahteraan petani hanya
dapat ditingkatkan dengan mendiversifikasikan atau menambah usaha ekonom keluarga
petani. Dari ketersediaan air, pada lahan pasang surut dan lahan lebak sebenarnya terdapat
potensi untuk melakukan penanaman padi pada musim kedua, dan sebenarnya sudah
dilakukan di beberapa lokasi (Djafar, 2013; Hutapea dan Thamrin, 2013.) Hal itu
dimungkinkan karena, selain pengembangan teknolog budidayanya, juga tersedia waktu
luang pada tenaga kerja keluarga yang masih dapat dimanfaatkan untuk berkegiatan
ekonomi produktif sebagaimana diungkapkan oleh Lifianthi et al (2013). Sebenarnya
potensi peningkatan pendapatan petani dengan berbagai alternatif tersebut sudah
31
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
terinventarisasi beberapa tahun lalu. Namun demikian masih terdapat kendala non teknis
yang perlu diatasi, terutama yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan kelembagaan
petani. Untuk aspek ekonomi dan kelembagaan, kendala yang umum mencuat antara lain
rendahnya minat dan kemampuan enterpreneurship petani, lemahnya sistem kelembagaan
untuk memfasilitasi dan melindungi usahatani masyarakat, dan aplikasi teknologi yang
rendah terutama karena terkendala oleh kapasitas finansial petani yang tidak memadai
(Lakitan dan Gofar, 2013).
Sudah banyak diketahui kendala ekonomi yang cukup menonjol adalah lemahnya
asesibilitas petani ke sumber pinjaman modal untuk mengatasi kekurangan biaya usahatani
pada musim pertama, apalagi untuk musim kedua yang menghadapi resiko lebih rendahnya
produksi dibandingkan hasil musim pertama. Berbagai kelembagaan yang dikembangkan
baik yang bersifat peraturan, program maupun organisasi petani pada dasarnya bertujuan
membantu petani mengatasi masalah yang dihadapinya, dan sebagian telah menunjukkan
hasil sesuai dengan harapan. Namun demikian untuk sebagian petani lain yang belum
berhasil, terdapat kendala lain yang sering kurang dipertimbangkan yaitu kendala sosial
yang mestinya dapat diatasi dengan mengoptimalkan modal sosial yang mereka miliki.
Para petani kita, baik yang dikategorikan tradisional maupun yang relatif maju dan
sangat maju pada kehidupan dan lingkungannya masing-masing minimal memiliki empat
modal untuk meningkatkan kejahteraan kehidupannya, yaitu dari alam (natural capital),
modal SDM-nya (human resources capital), modal ekonomi moderen (modern economic
capital) dimana teknologi termasuk di dalamnya, dan yang sering diabaikan adalah modal
sosial (social capital) seperti kearifan lokal, norma dan kebiasaan setempat, serta
kelembagaan yang berlaku dan berfungsi pada masyarakat lokal. Mawardi (2007)
menyatakan bahwa modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai
investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Dimensi modal sosial luas,kompleks dan
lebih dari sekedar modal manusia (human capital yang terfokus pada dimensi daya,
keahlian dan manajerial yang dimiliki oleh setiap individu. Modal sosial lebih
menekankan pada potensi kelompok dan antar kelompok dengan cakupan meliputi jaringan
sosial, nilai/norma, dan kepercayaan antar mereka yang tumbuh dari para anggotanya
sendiri dan kemudian menjadi norma kelompok tersebut. Oleh Bank Dunia (2001) secara
mendasar disebutkan bahwa modal sosial dari suatu masyarakat mencakup kelembagaan,
hubungan/pertalian, dan sikap/pendirian dan nilai-nilai di antara manusia dan memberikan
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Pemikiran tentang hubungan,
jaringan, norma dan nilai-nilai sosial tersebut dalam kefungsian dan pembangunan
masyarakat telah lama hadir dalam literature ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi dan
ilmu politik. Namun demikian baru sejak era 1990-an muncul ide modal sosial
mengemuka sebagai konsep yang eksistensi menyatu dalam pandangan multidisiplin
tersebut. Modal sosial memiliki spektrum yang lebih luas, yaitu sebagai perekat yang
mejaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Kearifan lokal relevan juga
untuk diakategorikan sebagaisalah satu unsur modal sosial.
Ada tiga fungsi berbeda tapi saling melengkapi yang dapat dicapai ketika modal
sosial berkembang, yaitu (1) menyediakan kontrol sosial dan pemberlakuan kerangka
normatif yang disepakati (prosedur, peraturan dan penilaian asktivitas), (2) sumber
dukungan dari anggota lain dalam lingkup kelompok yang sudah terikat, dan (3) sumber
manfaat melalui jaringan organisasi/kelompok yang lebih luas (Portes, 1998). Selanjutnya
Hoogesteger (2013), mengutip Putnam (2000), mengemukakan istilah bonding (ikatan)
yang diterapkan secara internal dalam organisasi/kelompok, dan bridging (menjembatani)
32
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Agar terdapat persepsi yang sama dalam memahami yang dimaksud dengan petani
tradisional, maka dalam konteks ini perlu dikemukakan pengertiannya. Setelah
mempelajari literatur yang membahasnya pada negara-negara yang berbasis pertanian,
diperoleh padanan kata petani tradisional yaitu peasant, yang ciri-cirinya dibedakan
33
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
dengan farmer atau tegasnya commercial farmers (petani komersial). Campesina seperti
yang dikutip Edelman (2013) mennyatakan bahwa seorang peasant adalah seorang lak-laki
atau perempuan pemilik lahan, yang memliki hubungan langsung dan khusus dengan
lahannya itu dan alam sekitarnya melalui produksi pangan dan/atau produk pertanian
lainnya. Para petani tersebut mengelola lahannya sendiri dan mengandalkan tenaga kerja
keluarga untuk membantunya bekerja, dan sebagian kecil dibantu tenaga kerja luar
keluarga di sekitarnya. Petani itu juga secara tradisional menjadi bagian dari masyarakat
lokal, dan mereka bersama memelihara alam dan sistem agroekologi di wilayah mereka.
Istilah peasant atau petani tradisional ini berlaku bagi setiap orang yang terlibat dalam
kegiatan pertanian, pemeliharaan dan pengembalaan hewan ternak, kerajinan yang terkait
dengan pertanian atau pekerjaan lain di suatu desa. Hasil yang diperoleh sebagian besar
untukdikonsumsi sendiri, kalau berlebih baru dijual ke pasar untuk memperoleh
pendapatan tunai.
Dikemukakan juga istilah peasant oleh FAO yaitu (1) rumah tangga tenaga kerja
pertanian yang tidak atau hanya memiliki lahan yang sempit, (2) rumah tangga non
pertanian di pedesaan dengan sedikit atau tidak memiliki lahan, yang anggota keluarganya
terlibat beragam kegiatan seperti memancing/mencari ikan, membuat kerajinan tangan
untuk dijual di pasar lokal, atau menawarkan jasa pekerjaan tertentu, dan (3) rumah tangga
desa lainnya yang menjadi pengembala ternak, yang melakukan ladang berpindah, berburu
dan pengumpul hasil hutan, dan masyarakat yang mirip kehidupanya.
Dengan lebih praktis untuk kasus di Indonesia, petani tradisional dapat di
deskripsikan sebagai petani yang dominan menggunakan tenaga kerja keluarga, namun
sewaktu-waktu atau secara musiman dapat menggunakan tenaga kerja luar keluarga
melalui sistem gotong royong atau tenaga upahan yang dibayar berupa bagi hasil produksi
menurut kebiasaan atau budaya yang berlaku. Petani tradisional hanya menjual sebagian
hasil produksi pertaniannya, karena sebagian lainnya mereka konsumsi. Berbeda dengan
itu petani komersial lebih cenderung mengelola usahataninya sebagai agribisnis dengan
orientasi mencapai keuntungan keuntungan maksimum dari penjualan komoditinya.
Meskipun ada pertani komersial yang masih mengunakan tenaga kerja keluarga, mayoritas
mereka lebih banyak menggunakan tenaga kerja upahan.
Dengan demikian berarti petani di lahan suboptimal yang memiliki ciri-ciri yang
sama dengan peasant itulah yang dimaksud dengan petani tradisional dalam makalah ini.
Ciri yang melekat pada petani tradisional adalah usahataninya kecil, mayoritas
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, sikap gotong royong atau kerjasama satu sama
lain, memiliki hubungan kepercayaan dan kolektivitas yang kuat di antara mereka sendiri
dan memiliki hubungan panutan dan pengikut (patron-client) dengan tokoh atau pelaku
ekonomi mapan di desanya. Selain itu kehidupan ekonomi mereka berada sedikit di atas
atau pada garis batas subsistensi, lebih dominan berorientasi melindungi kehidupan
ekonomi keluarga dan enggan mengambil resiko, tidak mudah diyakinkan untuk
mengadopsi tekonologi baru.
Berdasarkan pengertian modal sosial dan ciri petani tradisional, serta dikombinasikan
dengan kendala yang dihadapi pada lahan suboptimal, maka masalahnya adalah bagaimana
mengelola lahan suboptimal untuk meningkatkan kesejahteraan petani tradisional ? Tentu
tidak mudah, namun tentu ada cara untuk melakukannya yaitu antara lain dengan
memanfaatkan modal sosial yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat
tradisional.
34
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Setiap individu petani maupun masyarakat tidak bisa lepas dari lingkungan sosial,
yaitu lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat interaksi antar individu tersebut
sebagai anggota maupun tidak atau sekedar sebagai rujukan. Santosa (2004) dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap
perilaku adaptif petani. Foster seperti yang dikutip Yunita (2011) menyatakan bahwa
kegiatan manusia dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya dan
psikologi kelompok atau masyarakat tempat orang tersebut berada. Perubahan masyarakat
dapat terjadi karena beberapa unsur saling berinteraksi satu dengan lainnya. Hasil interaksi
itulah yang dikenal sebagai suatu sistem sosial.
Selanjutnya, mengutip Mardikanto (1993), dikemukakan pula bahwa petani sebagai
pelaksana usahatani adalah manusia yang di setiap pengambilan keputusan untuk usahatani
tidak selalu dapat dengan bebas melakukannya sendiri, tetapi sangat ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan di sekelilingnya. Dengan demikian, jika ia ingin melakukan
perubahan-perubahan untuk usahataninya, ia juga harus memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya. Sumarti (2003) menyebutkan
bahwa interaksi sosial adalah titik awal berlangsungnya suatu peristiwa sosial yang
dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Deskripsi di atas ketika dihubungkan dengan kondisi dan dinamika kehidupan petani
tradisional di lahan suboptimal, minimal di lahan pasang surut dan rawa lebak,
menunjukkan bahwa memang dalam mengelola lahan pertaniannya dengan berbagai
kendala yang dihadapi, selain pengembangan dan aplikasi teknologi, penting untuk
menggiatkan modal sosial baik yang bersumber dari internal keluarga, antar tetangga,
maupun dari kerjasama yang dibangun dengan pihak luar yang kompeten. Hal ini relevan
karena petani tradisional akan kuat ketika melakukan kerjasama berbasis kepercayaan di
antara mereka dengan ikatan kekeluargaan yang kuat dan kegiatannya akan menjadi lebih
efisien dibandingkan secara individual.
Upaya menggugah eksistensi dan mengiatkan modal sosial selama ini umumnya
dilakukan melalui pendekatan kelompok dan banyak memberikan hasil yangs efektif
sekaligus afeisien ketika semua anggota kelompok petani merespon aktif gagasan
menerapkan teknologi, cara atau produk dalam rangka memperbaiki produktivitas dan
pendapatan mereka. Diseminasi dan adopsinya dapat berlangsung lancar dan
menampakkan hasil memuaskan sesuai harapan, meskipun pada beberapa kasus relatif
lambat kemajuannya. Semua sumber dan eleman modal sosial untuk kondisi ini tentu lebih
mudah untuk digerakkan (atau bahkan dapat bergerak sendiri) dalam mengelola usahatani
tanaman pangan dan usaha pertanian lainnya, usaha peternakan, usaha perikanan maupun
usaha non pertanian. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan warga desa
akan tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pada kondisi dimana relatif sulit mendapatkan respon aktif yang seragam dari
seluruh anggota kelompok atau anggota masyarakat, maka penggiatan modal sosial dapat
ditempuh dengan cara lain, terutama ketika sumber introduksinya dari pihak luar. Dari
beberapa informasi lapangan diperoleh indikasi bahwa para petani tradisional yang
berusahatani di lahan suboptimal baru akan tertarik mengadopsi suatu paket teknologi baru
maupun hal baru lainnya setelah melihat contoh yang diterapkan sebelumnya oleh petani
pelopor atau petani contoh yang mau bersukarela menerapkannya. Untuk kategori petani
yang pertama basis hubungan mereka adalah panutan dan pengikut, sedangkan yang kedua
adalah karena adanya hubungan kekerabatan atau hubungan sosial yang akrab antar
tetangga, antar kelompok petani atau antar kelompok masyarakat. Berarti diseminasi paket
teknologi harus dimulai dengan petani pelopor dan/atau petani contoh ini dengan
pendampingan, yang kemudian ketika berhasil diharapkan dapat menyebarluaskannya atau
35
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
PENUTUP
36
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
DAFTAR PUSTAKA
37
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Sumarti, T. 2003. Interaksi dan Struktur Sosial dalam Sosiologi Umum. Editor : Lala M.
Kolopaking, Fredian Toni, MT. Falix Sitorus, Titik Sumarti, Arya H. Dharmawan,
dan Imam K. Nawireja. Jurusan Sosek Faperta IPB. Bogor.
Wahyuni, R. 2014. Analisis Sistem Agribisnis dan Kondisi Ekonomi Rumahtangga Petani
Padi Lahan Pasang Surut di KTM Telang Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten
Banyuasin. Tesis Magister (tidak dipublikasi). Program Studi Magister Agribisnis,
Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.
World Bank. 2014. Sources of Social Capital. http://web.worlbank.org/wbsite/external/
topics/extsocialdevelopment/exttsocialcapital. (diakses 6 September 2014).
Yusdja, Y., E. Basuno, M. Ariani dan T.B. Purwantini. 2004. Analisis Peluang
Peningkatan Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani Melalui Pengelolaan
Usahatani Bersama. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 22 No.1, Mei 2004 : 1 - 25
Zuriah WP, Y. 2013. Pola Pengembangan Usahatani KelapaDalam (Cocos Nucifera L.)
pada Perkebunan Rakyat di Lahan Pasang Surut Provinsi Sumatera Selatan.
Disertasi Doktor (tidak dipublikasi). Program Doktor Ilmu-Ilmu Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Sriwijaya.
38
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
ABSTRACT
The fact showed that food is one of basic need for individual and the existing of problem
compexility related to food supply. Therefore, each state and nation have right to decide
their own food policies to guarantee the right of food for community according to local
resource potential. The conversion from food agricultural land into non-agricultural land is
continuing, especially at fertile land in Java Island. In order to bring into reality the food
souverignty, Indonesia government has no choice except to seriously start to manage
suboptimal land especially outside Java Island. Indonesia had high potential of land
resources having different diversity and characteristics. About 123.1 millions ha of
suboptimal land was dry land and 33.4 millions ha was lowland (swamp) which were
distributed almost in all Indoensia regions, especially in Sumatra, Kalimantan and Papua
Islands. Suboptimal land is basically has several constraints so that it requires extra effort
to be converted into productive cultivation land for crops, livestocks or fishes. There are
two basic solutions that complementary in nature for suboptimal land management in order
to produce productive agricultutal land, i.e (1). Improvement of physical, chemical and
biological characteristics of soil as well as optimum water management and (2). Increasing
adaptation capability of crops, livestocks and fishes toward suboptimal condition of land
characteristics and agroclimate.
ABSTRAK
Berdasarkan kenyataan bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan asasi setiap
individu dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan pangan. Oleh
karena itu merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat (masyarakat) guna menentukan
pangan yang sesuai dengan potensi dumber daya lokal. Konversi lahan pertanian pangan
menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian terus saja terjadi, terutama pada lahan
yang subur di Pulau Jawa. Guna mewujudkan kedaulatan pangan, maka Indonesia tidak
punya pilihan lain kecuali harus mulai dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-
lahan suboptimal yang dimiliki, terutama di luar Pulau Jawa. Indonesia mempunyai
potensi sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai keragaman dan karakteristik.
39
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari lahan suboptimal adalah lahan kering dan 33,4
juta ha lahan basah (rawa), yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-
lahan yang secara alami mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra
agar dapat dijadikan lahan budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Ada
ada dua alur pokok solusi yang saling komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal
agar bisa dijadikan lahan pertanian yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia,
dan biologi tanah serta tata air agar lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi
tanaman, ternak, atau ikan terhadap karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak
optimal.
PENDAHULUAN
POTENSI
Indonesia mempunyai potensi sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai
keragaman dan karakteristik. Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari LSO adalah lahan
kering dan 33,4 juta ha lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering
masam atau lahan kering beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering
seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim, Bali, NTT, NTB. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha
40
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
lahan gambut, seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa
lahan rawa lebak (Haryono, 2013).
Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan sebesar 33,4 juta hektar (24,2% luas
lahan total di Indonesia), terdiri dari rawa pasang surut seluas 20 juta hektar dan rawa
lebak seluas 13,4 juta hektar (Bappenas, 2007). Ekosistem lahan rawa memiliki sifat
khusus yang berbeda dari ekosistem lainnya terutama disebabkan oleh rejim airnya. Lahan
rawa dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut (lahan yang rejim airnya dipengaruhi
oleh pasang surutnya air laut atau sungai) dan rawa lebak (lahan yang rejim airnya
dipengaruhi oleh air hujan), yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Jelas bahwa peningkatan produksi pangan masih sangat potensial melalui
pemanfaatan lahan-lahan sub-optimal yang masih banyak tersedia, terutama di luar Jawa.
Realisasinya akan terpenuhi melalui langkah yang sangat strategis dan mendesak berupa
pengembangan teknologi pertanian yang berbasis potensi sumberdaya lokal dan kapasitas
adopsi masyarakat setempat. Selanjutnya, untuk mencapai keberhasilan yang
berkelanjutan, perlu didukung dengan penyediaan infrastruktur fisik yang memadai serta
regulasi dan kebijakan publik yang tepat.
KENDALA
41
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
tinggi, tingkat erosi yang tinggi, pilihan komoditi yang relatif tidak luas, dan kemampuan
petani dalam menerapkan teknologi konservasi tanah dan air masih rendah (Sinukaban,
2013).
Permasalahan non fisik antara lain rendahnya sikap enterpreneurship petani,
lemahnya sistem kelembagaan, aplikasi teknologi yang rendah dan inovasi teknologi baru
sangat jarang dilakukan. Dalam pengelolaan, seringkali terjadi benturan kepentingan dalam
menentukan tujuan pengelolaan air di tingkat lapangan, apakah untuk transportasi,
pertanian, atau kegiatan lainnya.
Selain kendala agronomis, kendala lain pengelolaan lahan sub-optimal adalah
aksesibilitas yang rendah akibat prasarana transportasi yang belum tersedia atau dalam
kondisi yang buruk, sehingga biaya angkut hasil produksi maupun sarana produksi relatif
mahal. Selain itu kurangnya infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian di
lahan sub-optimal tersebut akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas
produk, serta sulitnya pemasaran.
Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena umumnya kepadatan
penduduk yang bermukim di lahan sub-optimal sangat rendah. Berbagai kendala tersebut
secara langsung berdampak pada mahalnya biaya produksi dan penanganan pasca panen
sehingga pendapatan penduduk dari pengusahaan komoditi pangan rendah, dan pada
beberapa daerah hal tersebut dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan
ke penggunaan lain, diantaranya untuk perkebunan.
SOLUSI
Haryono (2013) mengemukakan bahwa opsi utama yang harus ditempuh untuk
memenuhi kebutuhan pangan, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal
dan terdegradasi, baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.
Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan
pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan
suboptimal akan disasarkan pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi,
kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran
tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan
(Haryono, 2013).
Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu:
a) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun
lahan kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan
inovasi. Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal
tanam/indeks pertanaman (IP).
b) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan
suboptimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Prioritas utama perluasan
areal adalah memanfaatkan lahan suboptimal terdegradasi atau terlantar (abondance
land).
Selanjutnya Haryono (2013) menambahkan bahwa pengembangan dan optimalisasi
lahan suboptimal harus berbasis “science, innovation dan network”. yang dapat
dijabarkan pada beberapa strategi berikut :
Pertama: pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi
teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena
sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah dan
akedemik yang kuat.
Kedua: pengembangan model farming berbasis lingkungan dan terintegrasi (Pertanian
42
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian dan derivasinya, seperti pendekatan
pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT), integrasi tanaman dan ternak (SITT)
Ketiga: akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama
verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan model
farming ramah lingkungan.
Keempat: pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan
Lakitan dan Gofar (2013) mengemukakan bahwa ada dua alur pokok yang saling
komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal agar bisa dijadikan lahan pertanian
yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah serta tata air agar
lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi tanaman, ternak, atau ikan terhadap
karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak optimal.
Upaya perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta tata air untuk mengelola
lahan suboptimal menjadi optimal membutuhkan teknik pengelolaan yang tepat sesuai
dengan karakteristiknya. Melalui penerapan iptek yang benar, maka lahan suboptimal
dengan tingkat kesuburan alami yang rendah dapat dijadikan areal pertanian produktif.
Pengaturan tata air merupakan satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan lahan
pertanian pada ekosistem rawa. Pengaturan tata air ini bukan hanya untuk mengurangi atau
menambah ketersediaan air permukaan, melainkan juga untuk mengurangi kemasaman
tanah, mencegah pemasaman tanah akibat teroksidasinya lapisan pirit, mencegah bahaya
salinitas, bahaya banjir, dan mencuci zat beracun yang terakumulasi di zona perakaran
tanaman (Suryadi et al., 2010).
Strategi pengendalian muka air ditujukan kepada aspek upaya penahanan muka air
tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan pencucian lahan melalui sistem drainase
terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat tergantung kepada jenis tanaman,
jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat (Imanudin dan Susanto, 2008).
Pengembangan tata kelola sumberdaya air yang lebih efisien, sesuai dengan kebutuhan
tanaman, ternak, dan/atau ikan yang dibudidayakan.
Jenis teknologi yang dibutuhkan untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal
akan berbeda. Untuk lahan kering (upland), butuh teknologi yang efektif dan efisien dalam
mengelola sumberdaya air yang tersedia; sebaliknya, untuk lahan basah (wetland), lebih
membutuhkan teknologi tata kelola air yang pas untuk berbagai jenis komoditas pangan
yang akan dibudidayakan. Untuk lahan basah, diperlukan upaya untuk menjaga
keseimbangan dinamis antara upaya untuk memperbaiki aerasi tanah agar oksigen tersedia
bagi sistem perakaran tanaman; menjaga ketersediaan air yang sesuai kebutuhan tanaman,
ternak, atau ikan yang dibudidayakan; serta mengendalikan agar unsur-unsur yang dapat
meracuni tanaman tidak menjadi lebih tersedia dan diserap sistem perakaran tanaman.
Menurut Sinukaban (2013), penerapan pembangunan pertanian pada lahan
suboptimal kering adalah dengan sistim pertanian konservasi adalah salah satu alternatif
yang perlu diprogramkan untuk membangun pertanian yang berkelanjutan
Selain melalui upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan pengembangan sistem tata kelola
sumberdaya air, upaya pengelolaan lahan suboptimal juga perlu secara paralel dilakukan
melalui seleksi jenis komoditas pangan yang sesuai untuk masing-masing karakteristik
lahan suboptimal. Setelah itu, dapat dilanjutkan dengan program pemuliaan tanaman,
ternak, dan ikan untuk mendapatkan varietas atau jenis yang sesuai dengan kondisi lahan
suboptimal (Lakitan dan Gofar 2013).
Pendekatan paling efisien dalam pemanfaatan lahan suboptimal adalah penggunaan
varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik dan biotik. Cekaman abiotik yang menjadi
tantangan antara lain cekaman air, baik kelebihan maupun kekurangan (hampir pada semua
lahan suboptimal), keracunan mineral seperti Al pada lahan masam, NaCl pada lahan dekat
dengan pantai, dan suhu tinggi. Cekaman biotik berupa tingginya serangan hama, penyakit
43
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
dan kecepatan tumbuhnya gulma di sekitar tanaman produksi. Tantangan lainnya adalah
selera pasar, sehingga toleransi terhadap berbagai cekaman menjadi tidak cukup, karena
pasar meminta standar produk tertentu yang meyebabkan pengembangan varietas di lahan
sub optimal menjadi lebih kompleks.
Sobir (2013) mengemukakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
optimalisasi lahan suboptimal adalah perbaikan kapasitas genetik tanaman, baik secara
konvensional maupun bioteknologi, pengembangan sistem produksi di lahan sub optimal,
pengembangan infrastruktur pertanian pendukung, serta peningkatan kapasitas teknik dan
kelembagaan petani sebagai pelaku produksi utama.
Pengembangan varietas yang adaptif untuk lahan sub-optimal dengan rekayasa
bioteknologi sehingga mendapatkan varietas yang tahan terhadap cekaman abiotik,
adaptasi terhadap penyakit, kekeringan, banjir, naungan. Pengembangan varietas yang
adaftif pada lingkungan spesifik saja tidak akan efektif tanpa adanya rekayasa lingkungan
tumbuh maupun penambahan hara yang memadai. Pada lahan pasang surut dan gambut
perlu mekanisme pengendalian air sehingga optimum bagi pertumbuahan tanaman, serta
kurangnya hara mineral pada lahan gambut mengharuskan adanya terobosan dalam system
penyediaan hara secara efektif. Pada lahan kering perlu rekayasa pemanenan air hujan
sebagai sumber air bagi tanaman, dengan dukungan sistem irigasi yang mampu
mendistribusikan air tersebut secara efisien bagi tanaman budidaya. Penanaman komoditas
yang sesuai sangat membantu seperti nenas pada lahan gambut, atau teknik budidaya
khusus untuk produksi melon dan semangka pada lahan gambut, atau penanaman sayuran
di lahan kering dengan system irigasi yang tepat akan menghasilkan produk dengan
kualitas yang tinggi. (Sobir, 2013)
Disamping faktor-faktor tersebut, pengembangan lahan suboptimal perlu didukung
oleh ketersediaan infrastruktur yang baik dan kelembagaan yang kuat. Faktor
infrastruktur yang diperlukan terkait dengan sistem produksi langsung seperti pengelolaan
tata air, sistem irigasi, maupun penanganan pasca panen, maupun sarana pendukung
seperti jalan akses utama dan jalan usaha tani, maupun sarana produksi. Pengembangan
kelembagaan tani yang kuat sangat membantu petani dalam akses pemasaran produk dan
akses ke permodalan.
KESIMPULAN
44
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
DAFTAR PUSTAKA
Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan
Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional
Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka
Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013.
ISBN 979-587-501-9
Imanudin, MS. and R.H. Susanto. 2008. Perbaikan sarana infrastruktur aringan tata air
pada berbagai tipologi Lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Rawa (Banjarmasin, 4 Agustus 2008) Tema : Teknik
Pengembangan Sumber Daya Rawa. ISBN : 979985718-7.
Lakitan, B. & N Gofar. 2013. Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan Lahan
Suboptimal Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal
“Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-
501-9.
Sinukaban, N. 2013. Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering Masam
untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-
501-9.
Sobir. 2013. Optimalisasi Lahan Sub Optimal bagi Penguatan Ketahanan Pangan
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan
Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”,
Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-501-9.
Supriyanto, H, G. I. Sumarjo, R.H. Susanto, FX. Suryadi, B. Schultz. 2006. Potentials and
constraints of water management measures for tidal lowlands in South Sumatra,
Case study in a pilot area in Telang I. 9th Inter-Regional Conference on
Environment-Water, Delft, the Netherlands.
Suryadi, FX., PHJ. Hollanders, and RH. Susanto. 2010. Mathematical modeling on the
operation of water control structures in a secondary block case study: Delta Saleh,
South Sumatra. Hosted by the Canadian Society for Bioengineering
(CSBE/SCGAB).Québec City, Canada June 13-17, 2010.
Susanto, R. H. 2013. Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Basa untuk Pertanian,
Peternakan dan Perikanan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal
“Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-
501-9.
45
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
46