Anda di halaman 1dari 33

4.

TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA DAN BAHAN ORGANIK


SEBAGAI MODEL PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN PADA
LAHAN KERING IKLIM KERING

Gusti Putu Wigena, Linca Anggria, dan Joko Purnomo


Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Pendahuluan

Pembangunan pertanian di Indonesia selama ini terfokus pada


peningkatan produksi pangan, terutama beras sehingga sebagian besar
dana dan daya pemerintah telah dialokasikan untuk program-program
seperti intensifikasi, jaringan-jaringan pengairan, dan pencetakan sawah.
Dengan usaha yang dilakukan tersebut, lahan sawah memberikan
sumbangan yang paling besar terhadap peranan subsektor tanaman
pangan sebagai bagian dari sektor pertanian. Melalui berbagai program
intensifikasi padi seperti bimbingan masal (Bimas), intensifikasi khusus
(Insus), intensifikasi masal (Inmas), intensifikasi umum (Inmum), operasi
khusus (Opsus), dan Supra Insus, produksi padi terus meningkat sampai
25 juta ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 1985 (Setyorini et al.
2004). Sampai tahun 2012 produktivitas padi nasional mencapai 5,31 t
GKG/ha dan sedikit meningkat pada tahun 2013 sampai 5,32 t GKG/ha
(Badan Pusat Statistik 2014).
Penurunan peningkatan produktivitas lahan sawah, alih fungsi
lahan sawah, tingginya laju pertambahan penduduk dan konsumsi beras
per kapita menyebabkan laju peningkatan produksi padi tidak bisa
mengimbangi laju permintaan, sehingga pemerintah perlu melakukan
import beras. Penurunan produktivitas lahan sawah di sentra produksi
beras erat kaitannya dengan penggunaan pupuk kimia dan pupuk organik
yang tidak seimbang sehingga mengganggu ketersediaan unsur hara
bahkan sampai menimbulkan gejala keracunan tanaman. Rendahnya
kadar bahan organik tanah berkontribusi nyata terhadap penurunan
produktivitas lahan sawah. Dilaporkan oleh Minardi (2009) bahwa kadar
bahan organik pada 60% sawah di Jawa lebih rendah dari 1%,
merupakan kadar bahan organik yang sangat rendah.
Walaupun terdapat program pencetakan sawah baru, laju alih
fungsi lahan masih belum bisa mengimbangi penurunan luas lahan
sawah. Pada periode 1999-2002, dilaporkan terjadi alih fungsi lahan di
seluruh Indonesia seluas 563. 156 hektar dan 30% terjadi di Jawa. Pada
periode sebelumnya yaitu dari tahun 1978-1998, alih fungsi lahan sawah
sekitar 1,07 juta hektar atau setara dengan kehilangan produksi padi
sebanyak 4,7 juta ton (Minardi 2009). Pertambahan penduduk termasuk
variabel yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan beras. Saat ini, laju
62 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

pertambahan penduduk Indonesia sekitar 1,4%, melebihi peningkatan


produksi pada tahun 2012-2013, setinggi 0,38% (Badan Pusat Statistik
2014). Selain pertumbuhan penduduk yang melebihi peningkatan
produksi beras, konsumsi beras per kapita juga masih tinggi yaitu sekitar
139 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik 2009), yang masih melebihi
konsumsi beras di beberapa Negara Asia Tenggara seperti Thailand,
Singapura, dan Malaysia.
Berdasarkan kepada permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan
pangan (beras) nasional tersebut, diperlukan upaya untuk
mengoptimalkan lahan-lahan suboptimal, termasuk lahan kering iklim
kering sebagai salah satu sumber penghasil pangan. Seperti dilaporkan
oleh Lakitan dan Gofar (2013) bahwa untuk mewujudkan ketahanan
pangan secara berkelanjutan (ekologis) dengan biaya yang terjangkau
oleh petani (ekonomis), maka Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali
harus mulai dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-lahan
suboptimal yang dimiliki, terutama di luar Pulau Jawa. Argumen
utamanya adalah: 1) walaupun secara teknis proses budi daya tanaman
dapat dilakukan tanpa tanah (hidroponik dan aeroponik), namun secara
ekonomi sulit dapat dilakukan; 2) lahan yang subur semakin menyempit
karena dikonversi menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian.
Pemanfaatan lahan kering sebagai salah satu sumber produksi
pertanian didukung oleh berbagai hasil pengkajian lapangan yang
dilakukan di berbagai daerah di Indonesia seperti di NTT, Lampung, dan
NTB yang menunjukkan bahwa lahan kering di Indonesia mempunyai
potensi pengembangan untuk pertanian yang berkelanjutan dan dapat
mendukung program: 1) ketahanan pangan; 2) mendukung program
pengentasan kemiskinan; 3) menciptakan peluang kerja bagi masyarakat
lokal yang berarti mengatasi pengangguran; dan 4) memperbaiki kualitas
sumber daya lingkungan lokal, regional, dan global (Suwardji 2005).
Dalam kaitannya dengan memposisikan lahan kering sebagai sumber
daya pertanian masa depan, maka pemanfaatan lahan kering perlu
diperluas, utamanya untuk pengembangan pertanian tanaman pangan
sebagai penopang kehidupan masyarakat, dengan tetap menjaga
peranannya sebagai stabilisasi dan peningkatan fungsi ekosistem.
Untuk mencapai tujuan yang dimaksud tersebut maka kegiatan
pertanian yang dikembangkan harus berorientasi pada sistem usaha tani
yang mengutamakan kelestarian lingkungan dan mampu menghasilkan
produk yang berkualitas secara nutrisi dan berkelanjutan. Sistem usaha
tani yang dimaksud adalah pertanian ramah lingkungan yang didefinisikan
sebagai aktivitas pertanian yang secara ekologi sesuai, secara ekonomi
menguntungkan, secara sosial bisa diterima oleh pelaku pertanian, dan
mampu menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Supriana
2012). Beberapa komponen pertanian ramah lingkungan (Wihardjaka

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 63

dan Setyanto 2014) adalah: 1) peningkatan produktivitas; 2) rendah emisi


gas rumah kaca; 3) adaptif terhadap perubahan iklim; 4) penerapan
pengendalian hama terpadu; 5) rendah cemaran logam berat; 6) bebas
limbah; 7) pemanfaatan sumber daya lokal; 8) terpeliharanya
keanekaragaman hayati; dan 9) konservasi tanah dan air.
Implementasi pertanian ramah lingkungan pada kenyataannya
tidak mudah ditingkat petani. Petani pada lahan kering iklim kering yang
memiliki kendala sosial, ekonomi, infrastruktur, biofisik lingkungan yang
lebih berat dibandingkan dengan petani yang mengelola lahan pertanian
lainnya. Namun demikian, dengan kemauan, pengetahuan, bimbingan
teknis, dan fasilitas yang memadai realisasi pertanian ramah lingkungan
berpeluang baik untuk berhasil. Agar pertanian ramah lingkungan
menjadi berhasil dan berdaya guna, aplikasinya seyogyanya mengikuti
kaidah: 1) menggunakan sedikit mungkin input bahan kimia; 2)
melaksanakan konservasi tanah dan air; 3) memperhatikan keseimbangan
ekosistem; dan 4) menjaga stabilitas produksi berkelanjutan
(Sumansangaji 2013).

Sebaran dan Permasalahan Lahan Kering Iklim Kering

Lahan kering iklim kering tergolong dalam salah satu jenis lahan
suboptimal yang didefinisikan sebagai lahan yang kurang dapat
mendukung produksi pangan karena kekurangan satu atau lebih unsur
atau komponen pendukungnya. Di Indonesia, sebaran lahan suboptimal
didominasi oleh lahan kering masam dan lahan rawa (lahan pasang surut
dan lahan rawa). Sementara itu, menurut Hidayat dan Mulyani (2002)
mendefinisikan lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah
digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun.
Selanjutnya, lahan kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan
kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 m di
atas permukaan laut (dpl) dan lahan kering dataran tinggi yang berada
pada ketinggian diatas 700 m dpl. Lahan kering beriklim kering dicirikan
dengan curah hujan rendah 1. 000-1. 500 mm/th selama 3-4 bulan
dengan distribusi tidak teratur. Fluktuasi curah hujan sangat tinggi, pada
suatu saat bisa mencapai 100 mm/hari atau bisa berhenti sama sekali
selama 2-3 minggu (Nasiu 2012).
Ditinjau dari luasan, lahan kering memiliki potensi yang
menjanjikan karena tersebar sangat luas yaitu sekitar 140 juta hektar dan
sekitar 56 juta hektar (di luar Maluku dan Papua) sudah digunakan untuk
pertanian (Hidayat dan Mulyani 2002). Dari luasan tersebut, lahan kering
iklim kering seluas 7,8 juta hektar dimana pada saat ini sebagian dari
lahan-lahan suboptimal ini sudah dimanfaatkan untuk budi daya tanaman
dan ternak dalam bentuk usaha tani integrasi tanaman-ternak (Lakitan

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
64 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

dan Gofar 2013). Dari aspek penggunaannya, berturut-turut adalah


hutan rakyat (16,5%), perkebunan (15,8%), tegalan (15,0%), ladang
(5,7%), padang rumput (4,0%), lahan kering yang kosong dan
merupakan tanah yang tidak diusahakan seluas (14,0%) dari total lahan
kering, merupakan potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan (Minardi
2009). Secara geografis, lahan kering iklim kering tersebar luas di Prov.
Nusa Tenggara Barat yaitu sekitar 1. 673. 476 hektar (Suwardji 2005).
Walaupun potensi lahan kering iklim kering cukup besar, lahan
kering yang ada memiliki ekosistem yang rapuh (fragile) dan mudah
terdegradasi apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan perencanaan
yang baik, topografi umumnya berbukit dan bergunung, ketersediaan
lengas tanah yang terbatas, lapisan olah tanah dangkal, mudah tererosi,
teknologi diadopsi dari teknologi lahan basah yang tidak sesuai,
infrastruktur tidak memadai, sumber daya manusia masih relatif rendah,
kelembagaan sosial ekonomi masih lemah, perhatian pemerintah sangat
kurang dan partisipasi berbagai pihak dalam pengembangan lahan kering
terutama pihak swasta sangat kurang.
Masalah yang utama dalam pengelolaan lahan kering iklim kering
adalah faktor fisik yang telah rusak atau mempunyai potensi yang cukup
besar untuk menjadi rusak. Sehingga paket teknologi yang berorientasi
pada perlindungan lahan kering sangat diperlukan. Kekurangan air pada
saat musim kemarau, kahat unsur hara serta keadaan tanah yang peka
terhadap erosi merupakan kendala lingkungan yang paling dominan di
kawasan lahan kering. Masalah lain yang harus dihadapi didalam
pemanfaatan lahan kering ini adalah keadaan sosial ekonomi petani atau
masyarakat yang menggunakan lahan kering sebagai tempat usahanya.
Pendapatan keluarga yang rendah serta kemiskinan dibanyak tempat
berkolerasi positif dengan usaha tani di lahan kering. Rendahnya
produktivitas lahan kering, selain disebabkan oleh tingkat kesuburan
tanah yang rendah, juga disebabkan oleh rendahnya intensitas indeks
pertanaman karena kebutuhan air tidak tersedia sepanjang tahun
(Kuswanto 2013).
Secara rinci, beberapa kendala lahan kering iklim kering terkait
dengan pengembangan pertanian antara lain (Lakitan dan Gofar 2013):
1. Sebagian besar tingkat kesuburannya rendah dan sumber pengairan
terbatas hanya dari curah hujan yang distribusinya tidak bisa
dikendalikan sesuai dengan kebutuhan.
2. Topografi umumnya tidak datar, berada di daerah lereng dan
perbukitan, memiliki tingkat erosi relatif tinggi yang berpotensi untuk
menimbulkan degradasi kesuburan lahan.
3. Infrastruktur ekonomi tidak sebaik di lahan sawah.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 65

4. Keterbatasan biofisik lahan, penguasaan lahan petani, dan


infrastruktur ekonomi menyebabkan teknologi usaha tani relatif
mahal.
5. Kualitas lahan dan penerapan teknologi yang terbatas menyebabkan
variabilitas produksi relatif tinggi.
Sampai saat ini, kondisi lapangan menunjukkan bahwa
permasalahan pengembangan lahan kering iklim kering yang dihadapi
bukan hanya karena masalah mutu sumber daya alamnya yang rendah,
tetapi juga karena permasalahan sosial ekonomi yang sangat komplek.
Untuk itu dalam pengembangan wilayah ini, memerlukan pendekatan
yang terintegrasi dari berbagai aspek dengan memperhatikan
kemampuan agroekosistemnya. Upaya strategis dalam pengelolaan lahan
kering iklim kering agar dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
tanaman pertanian secara optimal menjadi penting yang dapat dilakukan
dengan 2 pendekatan yaitu: 1) pendekatan dengan menggunakan
varietas/komoditas yang adaptif, dan 2) dengan mengubah kondisi
suboptimal menjadi optimal (Menristek 2011).
Fakta lainnya yang juga menjadi penghambat adalah aplikasi
teknologi pengelolaan lahan kering iklim kering akan meningkatkan biaya
produksi sehingga usaha tani yang dilakukan petani hanya memberikan
keuntungan yang rendah atau malah tidak memberikan keuntungan
secara ekonomi. Kondisi ini tidak memotivasi petani dan masyarakat lokal
untuk meningkatkan luasan lahan garapan dan produktivitas lahan yang
dikelolanya. Petani lokal pada umumnya melakukan kegiatan budi daya
tersebut lebih berfokus untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten).
Untuk masa mendatang, pengelolaan lahan kering iklim kering perlu
dilakukan secara berkelanjutan (dengan memperhatikan aspek
lingkungan) dan bersifat inklusif agar petani dan masyarakat lokal dapat
berpartisipasi aktif untuk meningkatkan kesejahteraannya (Anonimus
2010).

Dinamika Hara dan Bahan Organik Pada Lahan Kering Iklim


Kering

Karakteristik agroekosistem lahan kering iklim kering


Setiap agroekosistem mempunyai karakteristik yang berbeda. Salah satu
perbedaan yang dapat langsung diamati adalah kegiatan pertanian serta
jumlah dan jenis komoditas yang dihasilkan. Pada dasarnya suatu
ekosistem dibentuk oleh beberapa unsur (tanah, air, iklim, tumbuhan,
manusia, dan makhluk hidup lainnya) yang saling berinteraksi, sehingga
semua karakteristik yang ada pada setiap unsur ekosistem tersebut juga
akan saling berpengaruh yang akhirnya berdampak pada output
komoditas yang dihasilkan (Arsyad 2000). Karakteristik unsur-unsur yang

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
66 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

membentuk agroekosistem perlu dikenali, baik jumlah, jenis, perilaku,


maupun keterkaitannya satu sama lain agar keluaran yang diharapkan
dapat diarahkan sesuai keinginan. Setiap wilayah dapat digolongkan
dalam zone agroekologi tertentu berdasarkan kemiripan faktor-faktor
alam dan kegiatan pertanian yang dilakukan pada wilayah tersebut. Pola
usaha tani dan perilaku petani yang ada dalam suatu zone agroekologi
tertentu memiliki kesamaan baik dalam permasalahan dan kebutuhan
akan teknologi, dimana permasalahan dan kebutuhan akan teknologi
tersebut berbeda dengan petani yang tinggal pada zone agroekologi
lainnya (Yudhoyono 2013).
Lahan kering iklim kering merupakan salah satu jenis lahan
suboptimal dengan kendala utama terbatasnya ketersediaan air untuk
tanaman. Kondisi iklim yang ada pada lahan kering iklim kering cukup
beragam dari yang beriklim tropika basah (C3) sampai ke kondisi iklim
tipe D3, D4, E3, dan E4 (Oldeman et al. 1980) dengan vegetasi hutan
iklim kering sampai stepa dan savana serta padang rumput penciri khas
untuk iklim kering. Berdasarkan bentuk wilayah dan lereng, lahan kering
iklim kering dapat dibedakan dalam 6 satuan yaitu datar, datar-berombak,
berombak-bergelombang, dan bergelombang sampai berbukit dan
gunung. Kondisi geologi, fisiografi, dan iklim menghasilkan tanah-tanah
yang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 6 ordo dan diturunkan
menjadi sekitar 10 sub-ordo dan 17 great-group yaitu Entisols
(Ustifluvents, Ustipsamments, Tropopsamments, Ustorhents,
Troporthents), Inceptisols (Ustropepts, Tropaquepts, Halaquepts),
Mollisols (Haplustolls), Vertisols (Haplusterts), Andisols (Hapludands dan
Haplustands), dan Alfisols (Haplustalfs dan Rhodustlafs) (Suwardji
2005).
Secara kuantitatif, jumlah curah hujan pada lahan kering iklim
kering rata-rata< 2000 mm/th atau bahkan < 1000 mm/th dengan bulan
tanam <4-6 bulan. Singkatnya bulan ketersediaan air menyebabkan
rendahnya produksi yang terkait dengan rendahnya produktivitas dan
indeks pertanaman komoditas pangan, demikian juga produktivitas
tanaman pakan. Kasus pada lahan sawah irigasi sederhana/irigasi desa
yang umumnya mendominasi penggunaan lahan pada lahan kering iklim
kering di Prov. Nusa Tenggara Barat, menunjukkan produktivitas yang
tergolong rendah yaitu sekitar 3,73 t/ha padi, jagung sekitar 2,31 t/ha,
kacang tanah sekitar 0,62 t/ha, kedelai 0,55 t/ha, ubi kayu 7,53 t/ha, dan
ubi jalar 5,52 t/ha (NTB dalam Angka 2010). Rendahnya produktivitas ini
disebabkan oleh keterbatasan air terutama pada fase pertumbuhan
tanaman kritis yang menyebabkan rendahnya indeks pertanaman. Selain
itu, faktor sumber daya manusia dalam mengelola usaha tani juga belum
optimal terutama terkait dengan pengadaan sarana produksi yang masih
terkendala. Perpaduan antara karakteristik tersebut dan fakta di

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 67

lapangan mengindikasikan bahwa lahan kering iklim kering mempunyai


keunggulan komparatif untuk pengembangan pertanian.
Luasnya lahan kering iklim kering dengan status irigasi tadah hujan
membuka peluang untuk menghasilkan hijauan pakan ternak ruminansia
melalui pengembangan padang penggembalaan. Padang penggembalaan
ditanami rumput pakan (pastura) alami yang diintegrasikan kedalam pola
tanaman pangan dengan indeks pertanaman 100-150. Dengan keragaan
usaha tani seperti ini, Prov. Nusa Tenggara Barat menjadi salah satu
sentra ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau). Tahun 2010, tercatat
populasi ternak sapi sebanyak 592.875 ekor, kerbau 155.307 ekor, dan
kuda 77.837 ekor (Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2010).
Disisi lain kombinasi antara pengelolaan sacara manual, vegetasi
pastura alami, dan pengaruh iklim yang cenderung ekstrim kering
menyebabkan produktivitas lahan padang penggembalaan rendah dan
terjadi fluktuasi produksi pakan yang sangat tinggi antara musim hujan
dan musim kemarau. Produksi pakan pada musim hujan sekitar 2.700 kg
rumput kering/ha, dan pada musim kemarau produksinya merosot tajam
hanya sekitar 700 kg rumput kering/ha. Selain kuantitas, kualitas pakan
pada musim kemarau juga menurun terkait dengan kandungan protein
kasar dari pakan lebih rendah dari 5% (kadar protein kasar pakan yang
standar 8-10%), diiringi dengan meningkatnya kadar serat kasar. Kondisi
ini menurunkan kapasitas pencernaan ternak sapi secara nyata (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Ternak 1992).

Siklus bahan organik dan unsur hara pada lahan kering iklim kering
Siklus bahan organik dan unsur hara merupakan proses yang sangat
penting bagi dinamika dan keseimbangan hara yang diperlukan oleh
tanaman, lebih-lebih untuk pengelolaan usaha tani pada lahan kering
iklim kering dibawah pengaruh iklim ekstrim kering dan suhu yang tinggi.
Proses ini merupakan indikator dari berjalannya fungsi ekologi yang rumit
dan kompleks (Ratsele 2013). Pada usaha tani sistem tumpang sari dan
wanatani, siklus bahan organik dan unsur hara melibatkan beberapa pools
yang meliputi atmosfer, tanah, tanaman pangan, tanaman pakan, dan
ternak. Faktor-faktor kondisi iklim, jenis tanah, jenis tanaman pangan,
jenis tanaman pakan, dan pengelolaannya berpengaruh nyata terhadap
dinamika siklus bahan organik dan unsur hara tersebut (Silveira et al.
2013).
Siklus bahan organik kurang menarik perhatian bagi pemangku
kepentingan pengelola sumber daya lahan pertanian karena pada saat ini
hampir semua sumber daya lahan pertanian mempunyai status bahan
organik sangat rendah-rendah. Di lain pihak, bahan organik tanah
berperan sangat penting bagi mekanisme penyerapan unsur hara oleh
tanaman melalui perbaikan sifat-sifat kimia, fisika, dan biologi tanah

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
68 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

sehingga mengurangi masukkan unsur hara dari luar sistem pertanian


terutama kebutuhan pupuk kimia yang harganya semakin tidak
terjangkau oleh petani. Oleh karena itu, pengelolaan bahan organik
tanah dengan pengembalian sisa panen ataupun penambahan pupuk
organik berupa kotoran ternak, kompos tanaman perlu digalakan untuk
meningkatkan dan mempertahankan produktivitas sumber daya lahan
pertanian. Pengelolaan lahan kering iklim kering dengan aplikasi usaha
tani integrasi tanaman tahunan, tanaman pangan, dan tanaman pakan
dalam bentuk tumpang sari, wanatani, ataupun silvo-agropastura (SIAGA)
memperlihatkan siklus bahan organik yang cenderung meningkat
(Gambar 1).

*Sumber: Hidayat (2011)


**Sumber: Wigena (2011), data diolah
Gambar 1. Siklus bahan organik tanah pada lahan kering iklim kering

Dalam kasus ini, diasumsikan bahwa pola tanam yang


dikembangkan sudah diaplikasikan selama 5 tahun, menggunakan
tanaman tahunan jenis turi, intensitas tanaman pangan 2 kali per tahun,
dan pakan berupa rumput tahan pangkas dan tahan kering dari jenis
Brachiaria humidicola dan Pasphalum sp. Total kontribusi bahan organik
gross dari komponen tanaman tahunan sekitar 1.900 kg/ha/th. Dari
jumlah bahan organik tersebut, yang hilang dari sistem usaha tani
(bagian tanaman yang dipanen) sekitar 1.030 kg/ha/th, sehingga
kontribusi bahan organik kedalam tanah sekitar 870 kg/ha/th. Analog

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 69

dengan mekanisme tanaman tahunan, kontribusi bahan organik dari


tanaman pangan –860 kg/ha/th (tanda – berarti terjadi pengurasan
bahan organik tanah sebanyak 860 kg/ha/th) (Hidayat 2011). Untuk
komponen tanaman pakan, total kontribusi bahan organik dari dalam
tanah sekitar 2.050 kg/ha/th, tetapi bahan organik yang hilang dari tanah
sekitar 1.540 kg/ha/th sehingga kontribusi bahan organik yang masuk ke
dalam tanah sekitar 510 kg/ha/th (Wigena 2011).
Bersamaan dengan siklus bahan organik, siklus unsur hara juga
terjadi pada lahan kering iklim kering melalui pool yang lebih komplek
meliputi atmosfer, manusia, ternak, tanaman tahunan, tanaman pangan,
tanaman pakan, dan tanah (Gambar 2). Pada pool atmosfer, unsur
nitrogen masuk ke tanah melalui proses fiksasi simbiotik dan non
simbiotik melibatkan aktivitas mikroba. Sebaliknya, nitrogen hilang dari
tanah dan partikel liat melalui proses penguapan (volatilisasi). Selain
nitrogen, dalam jumlah lebih sedikit dari nitrogen, sulfur masuk ke dalam
tanah melalui curah hujan dan debu. Pool manusia merupakan penyerap
unsur hara melalui pemanenan hasil tanaman tahunan dan tanaman
pangan serta produk ternak. Penyerapan pada pool ini yang perlu
dipertimbangkan untuk menggantikan unsur yang diserap dengan
masukkan dari luar sistem tanah-tanaman, karena jumlahnya paling besar
dibandingkan dengan pool lainnya. Sumbangan unsur hara dari pool
ternak terutama berasal dari kotoran dengan kapasitas rata-rata sebanyak
4 kg/ha/ekor sapi dewasa. Dalam konteks usaha tani ramah lingkungan,
kotoran ternak bisa menghasilkan gas bio melalui fermentasi anaerob dan
komposnya sebagai pupuk organik.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
70 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Gambar 2. Siklus unsur hara pada lahan kering iklim kering


Sumber: Hidayat (2011)

Terdapat 3 komponen pada pool tanaman yaitu: tanaman


tahunan, tanaman pangan, dan tanaman pakan. Masukkan unsur hara
dari tanaman tahunan berupa serasah daun, batang, ranting, dan akar
yang membusuk, sedangkan dari tanaman pangan berupa berangkasan
sisa panen dan akar yang membusuk. Sumbangan unsur hara dari
tanaman melalui humufikasi menjadi bahan organik atau bisa juga melalui
mineralisasi menjadi unsur yang terikat dengan mineral. Kedua proses ini
melibatkan aktivitas fauna tanah sehingga faktor lingkungan seperti suhu
dan kelembapan tanah sangat mempengaruhi berlangsungnya proses
humifikasi dan mineralisasi. Pool tanaman pakan penyumbang unsur
terbanyak karena volume perakarannya yang rapat, demikian juga bagian

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 71

di atas tanah berupa sisa pakan. Kehilangan unsur hara dari pool
tanaman terbesar melalui penguapan karena pembakaran sisa panen
maupun sisa pakan ternak.
Pool tanah merupakan media siklus unsur hara yang paling dinamis
dimana unsur hara diikat oleh bahan organik, hara mineral, dan partikel
liat. Terdapat korelasi yang erat antara bahan organik tanah dengan hara
dalam bentuk mineral. Unsur hara dalam bahan organik tanah akan diikat
oleh mineral melalui proses mineralisasi dan sebaliknya unsur hara dalam
mineral bisa diikat oleh bahan organik melalui proses imobilisasi. Kedua
proses tersebut melibatkan aktivitas fauna tanah sehingga faktor-faktor
yang mempengaruhi aktivitas mikroba tanah akan mempengaruhi laju
imobilisasi ataupun mineralisasi. Selanjutnya, unsur hara dalam bahan
organik tanah bisa hilang melalui proses erosi.
Unsur hara dalam mineral tanah mengalami keseimbangan antara
pengikatan dan pelepasannya dengan partikel liat dan pelapukan bahan
induk tanah. Di daerah tropis dengan suhu dan kelembapan tinggi
memacu pelapukan bahan induk tanah dan melepaskan unsur hara ke
dalam mineral dan selanjutnya tersedia untuk tanaman atau diikat oleh
partikel liat kemudian melepas secara pelan-pelan untuk tanaman. Selain
pelapukan bahan induk tanah, unsur hara di dalam mineral juga
diperkaya oleh proses hujan dan debu dari udara dan masukkan pupuk
kimia dari luar sistem tanah-tanaman. Namun demikian, unsur hara di
dalam mineral bisa hilang melalui penguapan (volatilisasi), erosi, dan
pencucian. Di daerah tropika, ketiga proses ini berlangsung intensif
sehingga perlu masukkan unsur hara dari pupuk kimia dalam jumlah
banyak untuk mengimbangi laju kehilangan melalui ketiga proses
tersebut.

Bentuk dan Keragaan Pertanian Ramah Lingkungan


pada Lahan Kering Iklim Kering

Pola tanam pada lahan kering iklim kering


Mengelola lahan-lahan suboptimal termasuk lahan kering iklim kering
menghadapi kendala yang lebih beragam dibandingkan dengan lahan
sawah yang menyangkut aspek teknis, sosial, dan ekonomi, sehingga
memerlukan upaya pemberdayaan yang holistik, terpadu dengan
melibatkan banyak stakeholders. Kendala teknis/agronomis yang
dihadapi butuh teknologi yang berkesesuaian dengan karakteristik lahan
lahan kering iklim kering yang beragam dengan intensitas tantangannya
yang juga bervariasi. Walaupun teknologi pengelolaan lahan sudah
tersedia dan relevan, namun persoalan lainnya adalah aplikasi teknologi-
teknologi tersebut akan secara signifikan menambah beban biaya usaha
tani yang berarti secara langsung akan mengurangi keuntungan atau

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
72 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

bahkan menyebabkan kerugian bagi petani. Dengan demikian, maka


tantangan bagi pengembang teknologi untuk pengelolaan lahan kering
iklim kering di masa yang akan datang harus lebih fokus pada: 1) upaya
menekan nilai investasi awal dan biaya operasional alat dan mesin
pertanian; serta 2) mencari bahan baku domestik yang lebih murah dan
lebih tersedia untuk pembenah dan penyubur tanah, sehingga biayanya
murah dan lebih mungkin diaplikasikan secara masif. Dua pendekatan
yang dapat secara paralel dan interaktif dilakukan adalah: 1) optimalisasi
sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah yang dibarengi dengan
optimalisasi pengelolaan sumber daya air agar efektif dan lebih efisien;
dan 2) seleksi jenis komoditas yang sesuai dan pengembangan varietas
yang adaptif secara spesifik untuk lahan kering iklim kering (Lakitan dan
Gofar 2013)
Dari aspek pengelolaan lahan, selain pembenahan dan penyuburan
tanah, perlu pula dilakukan pengembangan tata kelola sumber daya air
yang lebih efisien, sesuai dengan kebutuhan tanaman, ternak, dan/atau
ikan yang dibudidayakan. Jenis teknologi yang dibutuhkan untuk masing-
masing karakteristik lahan suboptimal akan berbeda. Untuk lahan kering
(upland), butuh teknologi yang efektif dan efisien dalam mengelola
sumber daya air yang tersedia. Selain melalui upaya perbaikan sifat-sifat
tanah dan pengembangan sistem tata kelola sumber daya air, upaya
pengelolaan lahan kering iklim kering juga perlu secara paralel dilakukan
melalui seleksi jenis komoditas pangan yang sesuai untuk karakteristik
lahan kering iklim kering (Lakitan dan Gofar 2013).
Senada dengan pendapat tersebut, Benu (2010) menyatakan
bahwa terkait dengan karakteristik lahan kering iklim kering maka isu
yang perlu digagas adalah soal keterbatasan suplai air. Oleh karena itu
diperlukan teknik budi daya yang mampu memanfaatkan keterbatasan
suplai air dimaksud untuk tujuan produksi, baik dengan jalan memilih
teknik pola tanam, jenis pertanaman dan/atau teknik pengelolaan air
secara efektif dan efisien. Berikut ini adalah beberapa teknik dan praktek
yang direkomendasikan untuk mencapai tujuan meningkatkan dan
sekaligus menjaga stabilitas produksi tanaman adalah:
a. Perencanaan tanaman: gunakan varietas yang berumur pendek
dengan daya toleransi kekeringan cukup dan berpotensi hasil tinggi,
serta mampu memanfaatkan sisa kelembapan tanah untuk kegiatan
pertanaman periode pasca hujan (post-monsoon cropping).
b. Perencanaan cuaca: variasi output usaha tani lahan kering iklim kering
sangat dipengaruhi oleh cuaca terutama curah hujan yang dapat
dikatagorikan dalam 3 tipe yaitu datangnya musim hujan yang
tertunda, gap panjang atau jeda curah hujan, dan berakhirnya musim
hujan yang lebih awal dari kondisi normal. Dinamika cuaca ini dalam
batas-batas tertentu bisa diantisipasi dengan penataan pola tanam.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 73

c. Sistem pertanaman (cropping system): menambah intensitas


pertanaman melalui aplikasi inter-cropping dan multi-cropping akan
mendorong efisensi penggunaan sumber daya (Gambar 3 dan 4).
d. Penggunaan pupuk berimbang: penggunaan pupuk tidak saja
membantu menyediakan unsur hara bagi tanaman, tapi juga
membantu dalam efisiensi pemanfaatan kelembapan tanah.
Penggunaan pupuk berimbang disertai pupuk organik membantu tanah
dalam mepertahankan kelembapan.
e. Pengelolaan air hujan: aplikasi pupuk organik meningkatkan kapasitas
tanah menyimpan air dan efisiensi penggunaan air yang dapat
meningkatkan intensitas pertanaman. Air yang berlebihan pada saat
musim hujan dapat ditampung dalam embung/kolam air hujan dan
dapat dipergunakan pada musim kemarau.
Berlandaskan pada kendala dan peluang yang ada pada lahan
kering iklim kering tersebut, aplikasi sistem pertanaman tumpang sari
merupakan alternatif yang berpotensi untuk meningkatkan intensitas
tanam dan meningkatkan pendapatan petani. Lebih jauh, Zairin (2006)
menyatakan bahwa pola tanam tumpang sari pada lahan kering ikim
kering berbasis pada konsep: a) pemanfaatan curah hujan dengan
komoditas yang cocok sehingga lahan dapat ditanami dari 1 kali/tahun
menjadi 2 kali/tahun; b) pemilihan komoditas yang cocok secara
agronomis, sosial, dan ekonomis; dan c) penggunaan paket teknologi
usaha tani yang cocok dengan iklim kering.
Keuntungan menerapkan pola tanam tumpang sari (intercropping)
atau multi cropping menurut Bahar (1987) adalah:
a) mengurangi risiko kegagalan panen;
b) peningkatan produksi secara keseluruhan, penggunaan tenaga
kerja lebih efisien dengan tersebar kegiatan sepanjang tahun;
c) efisiensi penggunaan tanah, air, dan sinar matahari sebagai
sumber daya alam;
d) pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan karena
adanya tanaman sepanjang tahun;
e) pengendalian gulma (dengan pola tanam tidak memberi
kesempatan tumbuhnya gulma);
f) memperbaiki gizi keluarga petani yang diperoleh dari berbagai
tanaman.
Beberapa keragaan pola tanam tumpang sari yang banyak
diaplikasikan pada lahan kering iklim kering adalah: a) jagung/kacang
tanah + ubi kayu; b) padi gogo/jagung + ubi kayu; c) padi gogo/kacang
tanah + ubi kayu; d) padi gogo + ubi kayu; f) jagung + ubi kayu; g)
jagung/kacang tanah + kacang tunggak; dan h) padi gogo/jagung +
kacang tunggak (Zairin 2006).

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
74 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

a. Tumpang sari ubi kayu + kacang tanah (Gambar 3)

Gambar 3. Pola tanam tumpang sari ubi kayu + kacang tanah (Foto:
Anonimus)

b. Tumpang sari tanaman tahunan + jagung

Gambar 4. Pola tanam tumpang sari tanaman tahunan + jagung (Foto:


Anonimus)
Dari aspek fisik, produksi tanaman pangan pada pola tanam
tumpang sari selain lebih tinggi, juga lebih beragam jenisnya
dibandingkan dengan pola tanam monokultur seperti disajikan pada Tabel
1 meningkatnya produksi tanaman pangan pada sistem tumpang sari

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 75

disebabkan oleh meningkatnya intensitas pertanaman dan pada beberapa


kasus juga diikuti oleh meningkatnya hasil tanaman pada musim tanam
yang sama. Peneliti lain melaporkan bahwa produksi tanaman jagung
dengan kedelai dalam sistem tumpang sari di lahan kering iklim kering
masing-masing sebanyak 1,63 t pipilan kering/ha dan 1,04 ha biji kering,
sedangkan produksi jagung dalam sistem monokultur sekitar 1,53 t/ha
pipilan kering (Turmudi 2002).

Tabel 1. Hasil tanaman pangan pada pola tanam tumpang sari


Produksi (t/ha)
Sistem pola tanam Jagung Kacang hijau Kacang hijau
MT1 MT2
Jagung+kc. hijau/kc. hijau 2,00 0,35 0,80
Jagung/kacang hijau 2,73 0,95 -
Jagung monokultur 3,70 - -
Sumber: Zairin (2006)

Pada kasus dimana masih memungkinkan dilakukan perpanjangan


ketersediaan air untuk tanaman melalui panen air hujan atau
penyimpanan air irigasi pada sistem bergilir, pola tanam tumpang sari
bisa dilakukan sampai 3 kali tanam dalam 1 tahunnya. Pada kasus ini,
pola tanam tumpang sari yang terbukti paling berhasil adalah ubi kayu +
jagung/kacang tanah – kedelai/kacang hijau – kacang tunggak. Dalam
sistem ini, kacang tunggak merupakan alternatif pertanaman terakhir
yang bisa menghemat air terkait daya toleransi kekeringan dibandingkan
dengan tanaman kacang-kacangan lainnya. Selain itu, dari aspek
konservasi tanah, pola tanam tumpang sari membuat penutupan tanah
oleh daun lebih sempurna sehingga kerusakan tanah oleh hujan
berkurang dan erosi tanah lebih terkendali (Suwardji 2005).
Dari aspek ekonomi, pola tanam tumpang sari mampu memberikan
keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan sistem monokultur (Tabel 2).
Pola tanam tumpang sari memungkinkan penanaman 2 kali per tahunnya
yaitu jagung – kacang hijau, sedangkan pada pola tanam petani hanya 1
kali tanam dengan tanaman jagung. Secara parsial, keuntungan tanaman
jagung pada sistem tumpang sari lebih tinggi dibandingkan sistem petani
monokultur sekitar Rp. 358.540. Keuntungan sistem tumpang sari
semakin tinggi setelah digabung dengan keuntungan yang diperoleh dari
kacang hijau sebesar Rp. 1.356.800, sehingga total keuntungan sistem
tumpang sari sekitar Rp. 1.715.340.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
76 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Tabel 2. Analisis finansial pola tanam tumpang sari pada lahan kering
iklim kering di Nusa Tenggara Barat.

Produksi
Parameter jagung kacang hijau jagung
monokultur
Produksi (t/ha) 2,04 0,58 1,55
Total biaya (Rp) 821.036 394.000 761.376
Penerimaan (Rp) 1.738.250 1.750.800 1.320.050
Profit (Rp) 917.214 1.356.800 558.674
Sumber: Zairin (2006)
Pola tanam sistem wanatani (agroforestry) merupakan usaha tani
lainnya yang banyak dilakukan oleh petani lahan kering iklim kering.
Secara sederhana wanatani didefinisikan sebagai bentuk usaha tani yang
menggabungkan tanaman tahunan dengan 1 atau 2 jenis tanaman
semusim dalam hamparan lahan yang sama (Anonimus 2012).
Keuntungan yang diharapkan dari sistem wanatani adalah meningkatnya
produksi tanaman dan pelayanan lingkungan. Dari aspek pelayanan
lingkungan, wanatani dapat menggantikan fungsi ekosistem hutan
sebagai pengatur siklus hara dan perbaikan kondisi iklim mikro. Umumnya
petani menanam tanaman pangan di sela-sela tanaman perkebunan
seperti jambu mete, mahahoni, atau gaharu sebagai tanaman sela.
Seperti dilaporkan oleh Sudarto dan Suriadi (2006) bahwa hasil tanaman
sela pada perkebunan jambu mete lebih tinggi baik fisik maupun aspek
ekonominya (Tabel 3). Secara fisik, produksi tanaman jagung dan kacang
tanah lebih tinggi pada sistem wanatani dibandingkan non wanatani,
kecuali produksi padi sedikit lebih rendah. Analisis finansial menunjukkan
keuntungan pola tanam wanatani lebih tinggi pada semua model.
Tabel 3. Produksi dan analisis finansial pola tanam sistem wanatani dan
non wana tani pada lahan kering iklim kering di Nusa Tenggara
Barat
Produksi (kg/ha)
Pola tanam B/C rasio
Padi Jagung Kc. tanah
Lahan dengan jambu mete
Padi + jagung + ubi kayu 759 2.804 0,67
Jagung + kc. tanah + ubi 2.711 572 1,03
kayu
Lahan tanpa jambu mete
Padi + jagung + ubi kayu 833 1.583 0,27
Jagung + kc. tanah + ubi 1.500 450 0,55
kayu
Sumber: Sudarto dan Suriadi (2006)

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 77

Pola tanam sistem wanatani bisa mempertahankan sifat-sifat kimia


tanah dan memperbaiki kondisi iklim mikro (Gambar 5). Beberapa
parameter sifat kimia tanah pada pola tanam sistem wanatani tercatat
tidak berbeda nyata dibandingkan dengan sistem perkebunan monokultur
(Tabel 4). Secara umum, kesuburan tanah termasuk baik yang dicirikan
oleh pH tanah tergolong netral pada semua sistem pola tanam, P-
tersedia, K-tersedia, dan Mg-tersedia tergolong sedang, kecuali kadar C-
organik tanah tergolong rendah. Terkait dengan kadar C-organik tanah
yang rendah sudah merupakan salah satu penciri lahan kering iklim kering
dimana suhu yang tinggi sepanjang tahun akan mempercepat proses
pelapukan bahan organik maupun unsur hara yang terkandung dalam
mineral tanah sehingga degradasi tanah berlangsung lebih cepat dan
intensif.

Gambar 5. Pola tanam sistem wana tani (Foto: Anonimus, 2012)

Berbeda dengan sifat kimia tanah, kondisi iklim mikro pada pola
tanam sistem wanatani lebih baik dibandingkan dengan kebun monokultur
yang diindikasikan oleh beberapa parameter iklim mikro yaitu suhu udara,
suhu tanah, dan kelembapan udara relatif (relative humidity, RH) (Tabel
5). Suhu udara dan suhu tanah pada pola tanam sistem wanatani
masing-masing dengan kisaran antara 25,6-28,90C, lebih rendah
dibandingkan dengan pola tanam sistem kebun monokultur sekitar
30,50C. Berlawanan dengan itu, kelembapan udara relatif (relative
humidity, RH) lebih tinggi pada pola tanam sistem wanatani dengan
kisaran 81-91% dibandingkan dengan sistem kebun monokultur sekitar
72%. Perbaikan kondisi iklim mikro ini berpengaruh terhadap perbaikan
pertumbuhan dan produksi tanaman (Balai Penelitian Kehutanan Kupang
2011).

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
78 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Tabel 4. Beberapa parameter sifat kimia tanah pola tanam sistem


perkebunan monokultur dan wanatani
Parameter sifat kimia tanah
pH C-organik P tersedia K tersedia Mg
Pola tanam (%) (ppm) (me/100g) tersedia

(me/100g)
Kebun 6,7 1,13 22,76 0,87 2,18
monokultur
Kebun+jagung 6,95 0,93 17,76 0,68 2,14
Kebun+ubi kayu 6,50 1,19 20,61 0,77 2,19
Kebun+coklat 6,20 1,25 24,67 0,98 2,21
Sumber: Balai Penelitian Kehutanan Kupang (2011)

Tabel 5. Perbaikan kondisi iklim mikro tanah pola tanam sistem


perkebunan monokultur dan wanatani
Pola tanam Parameter iklim mikro
Suhu udara Suhu tanah(0C) RH (%)
(0C)
Kebun monokultur 30,5 26,6 72
Kebun+jagung 25,6 23,7 91
Kebun+ubi kayu 27,4 24,4 82
Kebun+coklat 28,9 24,2 81
Sumber: Balai Penelitian Kehutanan Kupang 2011

Usaha Tani Silvo-agropastura (SIAGA)

Keragaan usaha tani SIAGA


Mengacu kepada definisi dan konsep pertanian ramah lingkungan, sistem
usaha tani Silvo-agropastura (SIAGA) dapat dikatagorikan sebagai
pertanian ramah lingkungan sistem pertanian terpadu (Sumansangadji
2013). Usaha tani SIAGA merupakan modifikasi dari sistem silvo pastura
yang dapat didefinisikan sebagai usaha tani yang memadukan komoditas
tanaman hutan (leguminosa berpohon) dengan pangan serta pakan
(semak atau rumput) di dalam satu hamparan lahan (Anonymous 2004;
Nowak et al. 2009). Model SIAGA merupakan model replikasi
kemampuan vegetasi hutan yaitu merupakan suatu sistem tertutup yang
terbukti sangat efisien dalam menjaga siklus hidrologi dan unsur hara,
sehingga bisa berkelanjutan dan ramah lingkungan. Penataan ketiga
komoditas ini dibuat sedemikian rupa sehingga bisa meminimalkan
persaingan sinar matahari dan unsur hara untuk mengoptimalkan
produksi (Gambar 6).

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 79

Tatabotani SIAGA

♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣
♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣
♣♣ *************************************************************** ♣♣
♣♣ *************************************************************** ♣♣
Keterangan: ♣♣** Tanaman pangan **♣♣
♣♣** **♣♣
♣ = Tanaman hutan, ♣♣** **♣♣
leguminosa pohon ♣♣** **♣♣
(Turi, lamtoro gung, ♣♣** **♣♣
mahahoni, angsana, ♣♣** **♣♣
dll.) ♣♣** Tanaman pangan **♣♣
♣♣** **♣♣
♣♣** **♣♣
• = Tanaman leguminosa ♣♣** **♣♣
menyemak (gamal,
♣♣** **♣♣
♣♣** Tanaman pangan Embung **♣♣
rumput gajah, rumput ♣♣** **♣♣
raja, dll) ♣♣** **♣♣
♣♣** **♣♣
♣♣** **♣♣
♣♣** **♣♣
= pematang, diperkuat ♣♣** Kandang Tanaman pangan **♣♣
♣♣ ** **♣♣
dengan rumput ♣♣** **♣♣
pakan (BH, BD, ♣♣** **♣♣
Setaria, Phaspalum, ♣♣** **♣♣
dll.) ♣♣** **♣♣
♣♣** Tanaman pangan **♣♣
♣♣** **♣♣
♣♣** **♣♣
♣♣ ****************************************************** ********** ♣♣
♣♣ ******************************************************** ******** ♣♣
♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣
♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣ ♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣

Gambar 6. Keragaan tatabotani usaha tani SIAGA


Penataan usaha tani model SIAGA mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan dengan tanaman monokultur antara lain: 1)
hubungan yang sinergis antara ketiga komoditas dan memerlukan
masukkan pupuk lebih rendah; 2) produksi beraneka ragam sehingga
total produksi lebih tinggi; 3) memperbaiki siklus hidrologi dan
mengurangi kerusakan dari kondisi iklim ekstrim dari curah hujan dan
angin; dan 4) terkait dengan kesuburan tanah, sistem ini dapat
meningkatkan kesuburan tanah dengan memperbaiki sifat fisika tanah
serta mengurangi pencucian unsur hara ke lapisan tanah bagian bawah
(Irwanto 2008). Penelitian Silvo-pastura di Nusa Tenggara Barat
menunjukkan bahwa sistem silvo-pastura meningkatkan daya dukung
lahan kering beriklim kering (carrying capacity) terhadap ternak dimana
dengan sistem penggembalaan daya dukung lahan padang
penggembalaan meningkat dari 0,7 ekor/ha menjadi 4 ekor ternak/ha
(Sukristyonubowo et al. 1998; Wigena 2011).
Sebagai areal peternakan, di areal pertanian perlu dilengkapi
dengan tempat minum sapi yang dapat berupa embung, long storage,
sumur dangkal, dan lain-lain. Jika memungkinkan, air minum sapi
sewaktu-waktu diambil contoh airnya, dianalisis kimia di laboratorium
untuk memastikan bahwa air minum tersebut memenuhi standar baku
mutu dan juga mengetahui kekurangan/keracunan mineral. Kasus

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
80 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

timbulnya penyakit grass tetany di Prov. Jambi diduga kuat oleh adanya
kekurangan mineral pada air minum serta kualitas rumput yang
kekurangan kalsium dan magnesium. Sarana lainnya yang tidak kalah
penting adalah kandang sebagai tempat sapi melahirkan anak, berteduh
waktu hujan. Selain itu, untuk merekam perubahan iklim mikro, dipasang
alat pengukur sederhana suhu udara, alat pengukur suhu tanah, alat
pengukur defisit tekanan uap jenuh, dan penangkar curah hujan yaitu
Ombrometer.

Tanaman hutan (Silvo)


Tanaman hutan pada usaha tani model SIAGA dapat dipilih dari
leguminosa berbentuk pohon, kanopi tinggi (5-8 m), berdaun lebat agar
menghasilkan pakan yang banyak antara lain: turi, mahagoni, dan
angsana. Tanaman ini ditanam pada barisan terluar, terdiri atas 2-3
barisan, dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Dengan pengaturan tersebut
maka fungsi dari tanaman hutan adalah (Olea and Miquel-Ayans 2006):
1. Menstabilkan struktur tanah dan bentukan permukaan tanah.
2. Penangkal/pemecah angin sehingga kerusakan tanaman oleh angin
ekstrim kering, dingin, dan kencang bisa dikurangi.
3. Memperbaiki kondisi iklim mikro seperti menjaga kelembapan tanah
dan udara, menjaga suhu udara (memperkecil fluktuasi suhu udara
antara siang dan malam).
4. Mencegah erosi tanah.
5. Memperbaiki siklus air dan unsur hara tanah dengan menyerap unsur
hara yang berada pada lapisan tanah dalam, kemudian dikembalikan
ke tanah permukaan berupa busukan daun, ranting, dan cabang.
6. Sebagai peneduh ternak disiang hari dari kepanasan matahari pada
musim kemarau.
7. Sebagai komponen keanekaragaman hayati dalam ekosistem sawah
lahan kering.
8. Dapat mengikat nitrogen dan karbon udara bebas, kemudian disimpan
di dalam akar (bintil akar) atau dalam tanah, kemudian bisa diserap
oleh tanaman lainnya.
9. Penghasil kayu bakar, kayu bahan bangunan.
Hasil penelitian Olea and Miquel-Ayans (2006) melaporkan bahwa
tanaman hutan jenis leguminosa berpohon dengan kepadatan sekitar 200
pohon/ha, bisa menaungi lahan sekitar 10-40%, memproduksi kayu bakar
800-5000 kg/ha, dan menghasilkan serasah sebagai bahan organik
sebanyak 400-1500 kg/ha. Selain itu, tanaman penambat N memiliki
beberapa keunggulan jika diintegrasikan dalam usaha tani SIAGA antara
lain: a) memiliki tajuk kecil dan tipis sehingga tahan sinar matahari; b)
mampu bertunas kembali dengan cepat setelah pemangkasan; c) memiliki
sistem perakaran yang dalam dengan sedikit percabangan akar lateral

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 81

dekat permukaan tanah agar tidak bersaing dengan akar tanaman


pertanian; d) guguran daun dapat terdekomposisi dalam jumlah tertentu
yang dapat menghasilkan unsur hara pada saat unsur hara tersebut
diperlukan dalam daur tanaman pertanian; e) mampu mengikat N dari
udara dan juga dapat menghasilkan kayu, pakan ternak, obat-obatan dan
hasil-hasil lainnya; dan f) dapat tumbuh pada lahan dengan keterbatasan
tertentu seperti kemasaman, kekeringan, angin kencang, serangan hama,
dan penggenangan (Nasiu 2012).
Untuk memperoleh fungsi tersebut, pohon hutan pada usaha tani
model SIAGA harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Nowak et al.
2009):
1. Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap kondisi yang intensif (padat,
keras, becek/berlumpur, angin kencang, dll).
2. Mempunyai daya tahan terhadap gangguan hama/penyakit.
3. Berpotensi memiliki nilai nutrisi/nilai gizi yang tinggi bagi ternak.
4. Mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti sebagai bahan bangunan
berharga mahal, sebagai kayu bakar juga mahal.
5. Memiliki percabangan yang banyak, tanah patah, dan kanopi lebar
sehingga dapat mencegah angin dan melindungi ternak dengan baik.
6. Memiliki perakaran yang dalam sehingga tidak mudah rebah, mampu
menyerap unsur hara sampai lapisan tanah yang dalam.
7. Tidak bersaing unsur hara dengan tanaman lainnya.
8. Tidak menghasilkan alelopati yang membunuh tanaman lainnya di
sekitar perakaran.

Tanaman Pakan
Tanaman pakan pada usaha tani model SIAGA, terdiri atas 2 jenis yaitu
jenis semak dan rumput. Jenis semak (rumput raja, rumput gajah,
Flemingia congesta, dan Glyresidea) ditanam di sebelah dalam barisan
tanaman hutan. Untuk tanaman rumput raja, rumput gajah, dan
glyresidea, ditanam dengan jarak tanam 0,5 m x 0,5 m, disusun dalam 2-
4 barisan. Sedangkan jika memakai Flemingia congesta, ditanam dalam
bentuk tanaman pagar, 2-4 larikan dengan jarak antara larikan 0,5 meter.
Hasil penelitian pemanfaatan Flemingia congesta dan Glyresidea sebagai
tanaman pagar pada lahan kering di Sumatera memberikan kontribusi
nyata terhadap ketersediaan pakan (Soepandi et al. 1994). Selain
penghasil pakan, tanaman semak ini berfungsi sebagai:
1. Penangkal/pemecah angin yang merusak tanaman pangan.
2. Jika dipakai Flamengia congesta, pangkasannya bisa sebagai pupuk
organik.
3. Pada lahan berlereng, dapat mencegah erosi tanah.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
82 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Untuk memperoleh tanaman semak yang baik maka diperlukan


beberapa pertimbangan dalam memilihnya antara lain:
1. Harus tahan pangkasan, tahan kekeringan.
2. Menghasilkan hijauan yang banyak dan bergizi tinggi untuk ternak
ruminansia.
3. Berperakaran dalam tapi tidak bersaing unsur hara dengan tanaman
pangan.
4. Tidak menjadi inang hama dan penyakit.
5. Tidak menghasilkan alelopati bagi tanaman pangan.
6. Tahan naungan dari tanaman hutan.
Selain tanaman semak, tanaman rumput-rumputan juga menjadi
sumber pakan, tanaman ini ditanam di sepanjang guludan/pematang
sawah areal tanaman pangan. Jenis rumput yang bisa ditanam pada
pematang antara lain: rumput BH, BD, setaria, Phaspalum sp. , rumput
lokal, leguminosa merumput seperti Arachis lambrata, kacang-kacangan,
Stylosanthes sp. , dan lain-lain. Hasil penelitian di Nusa Tenggara Barat
menunjukkan bahwa introduksi rumput pakan Phaspalum sp. Kombinasi
dengan leguminosa Arachis lambrata pada sistem silvo pastura
meningkatkan produksi rumput pakan sampai 50% dibandingkan dengan
rumput pakan alami (Sukristyonubowo et al. 1998; Wigena 2011). Hasil
serupa juga diperoleh pada perbaikan tatabotani pastura alami dengan
mengkombinasikan rumput unggul produksi tinggi dengan leguminosa
merumput mampu menghasilkan pakan pada kisaran 1.000-2.700 kg/ha.
Selain itu, nilai gizi pakan juga meningkat yang terindikasi dari kadar
protein pakan setinggi 10,3% dan nilai organic material digestibility
(OMD) setinggi 55,2% dibandingkan dengan pastura alami (Olea and
Miquel-Ayans 2006).
Selain sebagai penghasil pakan, rumput ini mempunyai peranan
antara lain:
1. Mencegah erosi tanah.
2. Meningkatkan kesuburan tanah terutama jika mengintroduksi
leguminosa merumput.
3. Meningkatkan kuantitas dan kualitas (nilai gizi) pakan.
Kondisi lahan pakan ternak pada padang penggembalaan umumnya
dilakukan pangonan (penggembalaan terutama pada musim kemarau
sehingga terjadi tekanan yang berat terhadap pertumbuhan rumput
pakan melalui penjenggutan, injakan yang memadatkan tanah. Hal ini
menuntut beberapa pertimbangan dalam memilih rumput pakan antara
lain:
1. Cocok dengan kondisi agroekosistem setempat.
2. Mampu tumbuh dan berkembang baik pada kondisi ternaung dan
fluktuasi kelembapan tanah yang tinggi (kondisi basah dan kekeringan
bergantian).

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 83

3. Respon terhadap pengelolaan lahan yang intesif (pemupukan,


pengolahan tanah, dan penggembalaan).
4. Tahan terhadap jenggutan dan injakan ternak ruminansia besar.
5. Memiliki daya tumbuh balik yang cepat akibat pembakaran, injakan,
dan jenggutan ternak ruminansia.
6. Tidak menjadi inang hama/penyakit.
7. Tidak bersaing unsur hara dengan tanaman pangan.

Tanaman Pangan
Tanaman pangan ditanam pada areal tanaman pangan, mengikuti pola
tanam yang sudah terbukti cocok dengan kondisi agroekosistem setempat
antara lain: pola curah hujan, periode kekeringan dan kebanjiran,
gangguan hama/penyakit, dan selera masyarakat terhadap rasa nasi
(pera, pulen, dan harum). Selain itu, pengelolaan tanah-tanaman juga
dipertimbangkan agar produksi tanaman optimum seperti benih,
pemupukan, pengendalian hama/penyakit, pengelolaan pupuk organik
sisa panen, dll.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, beberapa pola tanam yang
memungkinkan dikembangkan di areal tanaman pangan pada usaha tani
sistem SIAGA antara lain:
1. Padi – jagung – bera/tanaman penyubur tanah (kacang benguk,
kacang tunggak, dll. ). Kacang benguk/kacang tunggak dipanen saat
pertumbuhan vegetatif maksimum, dibenamkan ke petakan sawah.
2. Padi – tanaman penyubur tanah (kacang benguk dan kacang
tunggak). Kacang benguk/kacang tunggak dipanen saat pertumbuhan
vegetatif maksimum, dibenamkan ke petakan sawah.
3. Padi/sayuran – jagung – rumput pakan campuran leguminosa dan
rumput lokal, ternak ruminansia diberi pakan dengan sistem kandang.

Peningkatan produktivitas lahan kering iklim kering pada usaha tani


SIAGA
Aplikasi usaha tani sistem SIAGA dalam jangka panjang menunjukkan
adanya tren peningkatan produktivitas lahan kering iklim kering.
Peningkatan ini berkaitan dengan adanya perbaikan kondisi iklim mikro,
sifat-sifat kimia, fisika, dan biologi tanah sehingga terjadi squestrasi
bahan organik dan unsur hara di dalam tanah yang sangat diperlukan
oleh tanaman. Berkaitan dengan perbaikan iklim mikro, penelitian selama
4 tahun di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa tanaman hutan
mampu menurunkan fluktuasi suhu udara dari kisaran 27,9-40,0oC
menjadi 22,2-39,3oC; menaikkan kelembapan udara dari kisaran 62,6-
83,6% menjadi 77,1-89,1%; serta menurunkan defisit tekanan uap jenuh
dari kisaran 3,4-26,3 mb menjadi 0,5-14,8 mb (Sukristyonubowo et al.
1998; Wigena 2011). Peneliti lain melaporkan bahwa dalam dekade
terakhir ini, aplikasi usaha tani sistem silvo-agropastura atau SIAGA

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
84 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

semakin berkembang pesat di daerah Afrika sebagai langkah untuk


mengantisipasi pengaruh buruk dari perubahan iklim. Pengurangan
pengaruh buruk dari perubahan iklim ini disebabkan oleh adanya
perbaikan kualitas dan ketersediaan air untuk tanaman serta
pengendalian erosi tanah yang secara langsung meningkatkan produksi
tanaman hutan, pangan, dan tanaman pakan (De Miquel et al. 2013).
Perbaikan sifat kimia tanah pada aplikasi usaha tani sistem SIAGA
berlangsung secara lambat dan baru terlihat nyata pada aplikasi setelah
tahun ke lima. Mekanisme perbaikan sifat kimia ini terutama disebabkan
oleh penimbunan bahan organik dari serasah dan akar tanaman kayu,
serta rumput selain oleh pengembalian kotoran ternak ke lahan (Silveira
et al. 2013). Hasil penelitian jangka panjang di lahan kering iklim kering
Prov. Nusa Tenggara Barat menunjukkan adanya peningkatan kadar
bahan organik tanah yang lebih tinggi pada usaha tani sistem SIAGA
dibandingkan dengan non SIAGA (Gambar 7).

Gambar 7. Peningkatan kadar bahan organik tanah usaha tani sistem


SIAGA dan non SIAGA pada lahan kering iklim kering, Nusa
Tenggara Barat (Sumber: Wigena 2011)
Dengan perlakuan yang sama, tanaman pakan dan tanaman
pangan diberi pupuk N, P, dan K masing-masing sebanyak 250 kg
urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha setiap musim tanam serta
pengembalian sisa panen. Dengan demikian terjadi peningkatan kadar
bahan organik tanah yang lebih tinggi pada usaha tani sistem SIAGA
sampai sekitar 1,45% pada tahun ke lima dan sekitar 1,15% pada sistem
non SIAGA.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 85

Mirip dengan perilaku bahan organik tanah, nitrogen tanah juga


meningkat dari tahun ke tahunnya, tetapi peningkatan lebih tinggi terjadi
pada usaha tani sistem SIAGA (Gambar 8). Pada awal penelitian, kadar
nitrogen tanah tergolong sangat rendah (0,06%) sesuai dengan karakter
lahan pada daerah tropika kering. Dengan perlakuan pemupukan N, P,
dan K masing-masing sebanyak 250 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan
100 kg KCl/ha setiap musim tanam serta pengembalian sisa panen, kadar
nitrogen tanah meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun ke lima,
kadar nitrogen tanah pada sistem usaha tani SIAGA termasuk sedang
sekitar 0,16%, dibandingkan dengan non SIAGA sekitar 0,14%. Padang
penggembalaan di daerah semi arid seperti di lokasi penelitian,
pangkasan tanaman pakan leguminosa yang dikembalikan ke tanah
berperan dominan terhadap laju peningkatan kadar nitrogen tanah sekitar
70% (Silveira et al. 2013).

Gambar 8. Peningkatan kadar nitrogen tanah usaha tani sistem SIAGA


dan non SIAGA pada lahan kering iklim kering, Nusa
Tenggara Barat (Sumber: Wigena 2011)
Aplikasi usaha tani sistem SIAGA dapat memperbaiki sifat-sifat
fisika tanah bersamaan dengan perbaikan sifat kimia tanah. Beberapa
parameter sifat fisika yang berubah tersebut adalah meningkatnya
intersepsi curah hujan, meningkatnya infiltrasi air tanah, meningkatnya
ketersediaan air untuk tanaman, menurunnya laju evavotranspirasi,
menurunnya pencucian unsur hara, dan erosi tanah (Kessler and Breman
1991). Lebih lanjut dilaporkan bahwa pada introduksi pohon jenis
leguminosa, interaksi antara infiltrasi tanah, intersepsi curah hujan, dan
menurunnya laju evavotranspirasi menyebabkan meningkatnya
ketersediaan air untuk tanaman sekitar 20%, dan laju infiltrasi air hujan

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
86 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

meningkat 5-10%. Secara kualitatif disampaikan bahwa interaksi


meningkatnya laju infiltrasi air hujan dan perbaikan penutupan
permukaan tanah oleh serasah pohon leguminosa dapat menurunkan laju
aliran permukaan dan erosi tanah.
Perbaikan sifat biologi tanah menjadi salah satu indikator perbaikan
kualitas lahan dan berlangsungnya fungsi hidrologi serta siklus bahan
organik bersama unsur hara tanah. Komponen tanaman hutan terutama
jenis leguminosa bisa memperbaiki kondisi biologi tanah berupa
peningkatan kemelimpahan dan aktivitas mikroorganisme tanah (Wick et
al. 2000). Tanaman hutan jenis leguminosa dapat meningkatkan fiksasi N
udara melalui kerjasama dengan mikroba menambat N udara-bakteri
symbiotic, dengan persyaratan kadar P tanah berada pada status
mencukupi kebutuhan tanaman (Kessler and Breman 1991). Hasil
penelitian jangka panjang pengembangan usaha tani sistem SIAGA di
Nusa Tenggara Barat menunjukkan adanya perbedaan keragaan Indeks
Diversitas (Divercity Index) dan Indeks Dominansi (Dominancy Index)
vegetasi flora antara sistem usaha tani sistem SIAGA dan petani (non
SIAGA). Indeks Diversitas flora pada usaha tani sistem SIAGA lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem non SIAGA yang berarti menunjukkan
adanya perbaikan kualitas lahan yang lebih baik pada usaha tani sistem
SIAGA (Gambar 9).

Gambar 9. Keragaan Indeks Diversitas vegetasi flora usaha tani sistem


SIAGA dan non SIAGA pada lahan kering iklim kering, Nusa
Tenggara Barat Sumber: Wigena (2011)
Berlawanan dengan Indeks Diversitas, Indeks Dominansi flora lebih
tinggi pada sistem non SIAGA dari pada sistem SIAGA kecuali untuk
rumput introduksi jenis Paspalum sp. (Gambar 10). Hal ini menunjukkan
bahwa kualitas lahan pada usaha tani sistem SIAGA lebih baik dan lebih

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 87

cocok untuk berbagai jenis rumput karena adanya perbaikan sifat kimia
dan fisika tanah. Untuk rumput introduksi jenis Paspalum sp., daya
adaptasinya lebih baik dibandingkan rumput lainnya karena mampu
tumbuh baik pada tanah yang masih kurang subur maupun yang subur
dengan nilai Indeks Dominansi yang sama. Dalam introduksi rumput
pakan pada lahan kering iklim kering, kemampuan adaptasi ini yang
dijadikan salah satu pertimbangan agar produksi pakan bisa tersedia
sepanjang tahun.

Gambar 10. Keragaan Indeks Dominansi vegetasi rumput usaha tani


sistem SIAGA dan non SIAGA pada lahan kering iklim kering,
Nusa Tenggara Barat (Sumber: Wigena 2011)
Persentase penutupan permukaan tanah oleh perkembangan
vegetasi rumput merupakan indikator kualitas lahan lainnya. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa secara totalnya, selain persentase penutupan
lahan yang lebih tinggi, permukaan tanah pada usaha tani sistem SIAGA
juga ditutupi oleh jenis rumput yang lebih beragam (Tabel 6). Tanah
pada usaha tani sistem SIAGA ditutupi oleh rumput yang lebih beragam
(17 jenis rumput), sedangkan pada sistem non SIAGA sebanyak 8 jenis
rumput. Keragaman fauna tanah menunjukkan trend yang sama dengan
keragaman flora tanah (Tabel 7). Terdapat 6 jenis fauna tanah dalam
luasan 1 m2 pada usaha tani sistem SIAGA dan hanya 2 jenis pada sistem
non SIAGA. Selain jenis, populasi fauna tanah lebih tinggi pada sistem
SIAGA. Kedua hal ini memberikan gambaran bahwa kondisi tanah pada
usaha tani sistem SIAGA lebih baik sehingga ketersediaan makanan bagi
flora dan fauna tanah lebih banyak.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
88 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Tabel 6. Persentase penutupan lahan oleh vegetasi flora usaha tani


sistem SIAGA dan non SIAGA pada lahan kering iklim kering,
Nusa Tenggara Barat

Jenis rumput Persentase penutupan lahan (%)


Sistem SIAGA Non SIAGA
Paspalum longifolium 4,0 10,0
Dactyloctenum 5,0 -
aegyptium
Digitaria ternata 8,0 9,0
Digitaria nuda 5,0 -
Digitaris setigeta 40,0 2,5
Pueraria javanica 10,0 15,0
Arachis gambrata 5,0 5,0
Leersia hexandra 1,0 -
Mimosa pudica 1,5 4,0
Euphorbia hirta 3,0 -
Crotalaria sp. 4,0 6,0
Cyperus tenuiculmis 5,0 2,5
Eragostis unioloides 5,0 -
Cyperus compresus 2,0 -
Digitaris longiflora 8,0 -
Hedyotis diffusa 1,0 -
Centella asiatica 1,5 -
Sumber: Wigena (2011)

Tabel 7. Populasi fauna tanah usaha tani sistem SIAGA dan non SIAGA
pada lahan kering iklim kering, Nusa Tenggara Barat

Janis fauna tanah Populasi (ekor/m2)


Sistem SIAGA Non SIAGA
Acarina 8,0 2,0
Arachinda 1,0 -
Coleopatra 1,0 -
Collembola 7,0 2,0
Diptera 2,0 -
Hymenoptera 2,0 -
Sumber: Wigena (2011)

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 89

Penutup

Lahan kering iklim kering merupakan salah satu agroekosistem lahan


suboptimal yang tersebar luas di Indonesia dan memiliki potensi yang
cukup baik untuk dikembangkan sebagai daerah pertanian. Lahan ini bisa
dijadikan alternatif pengembangan pertanian pengganti lahan sawah yang
luasannya terus menurun akibat dari persaingan penggunaan lahan
dengan persyaratan bahwa paket teknologi yang diintroduksi berbasis
pada antisipasi permasalahan yang ada. Permasalahan tersebut antara
lain: 1) kurangnya ketersediaan air untuk tanaman terkait dengan
pendeknya musim hujan; 2) fluktuasi suhu udara dan tanah serta
kelembapan udara yang tinggi antara musim hujan dan kemarau yang
merusak pertumbuhan tanaman; 3) adanya gangguan tanaman oleh
tiupan angin kencang antar benua; dan 4) menurunnya kuantitas dan
kualitas pakan pada musim kemarau yang menyebabkan tingginya
kematian ternak. Selain itu, posisi geografis lahan kering iklim kering
yang masih terisolir menyebabkan rendahnya perhatian pemerintah dalam
pemberdayaan lahan kering iklim kering sehingga kondisi infrastruktur
umumnya masih kurang memadai.
Pada kondisi agroekosistem seperti itu, aplikasi pertanian ramah
lingkungan dalam bentuk usaha tani terpadu yang mengintegrasikan
komponen tanaman pohon (hutan) dan pangan, yang ditata dalam pola
tanam tumpang sari atau wanatani (agroforestry) merupakan alternatif
yang berpeluang cukup baik untuk meningkatkan produksi pertanian.
Kombinasi semua komponen tanaman akan mengurangi risiko kegagalan
panen tanaman pangan dan dapat menyediakan pakan untuk ternak
terutama ruminansia. Dengan adanya kanopi tanaman yang terus
menerus sepanjang tahun, meningkatkan ketersediaan bahan organik
tanah yang bersumber sebagai pangkasan tanaman tahunan dan
tanaman pakan, berangkasan sisa panen tanaman semusim, dan gulma
hasil penyiangan yang dikembalikan ke dalam tanah untuk meningkatkan
kadar C-organik tanah. Peningkatan bahan organik tanah juga berkaitan
dengan peningkatan intensitas tanam. Peningkatan kadar C-organik tanah
diikuti dengan perbaikan kualitas tanah melalui perbaikan sifat fisika,
kimia, dan biologi serta ketersediaan unsur hara yang mampu
meningkatkan produksi tanaman pangan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan produksi tanaman pangan pada sistem pertanaman monokultur.
Usaha tani sistem silvo-agropastura (SIAGA) adalah bentuk
pertanian ramah lingkungan lainnya yang berpotensi baik untuk
dikembangkan pada lahan kering iklim kering. Usaha tani ini mirip dengan
tumpang sari atau wanatani, mengintegrasikan komponen tanaman
hutan, pangan, pakan, dan ternak dalam satu hamparan lahan. Adanya
permasalahan kekurangan air maka diterapkan pengelolaan air melalui

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
90 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

pemanenan air hujan dengan membuat embung untuk meningkatkan


intensitas pertanaman pangan dan sumber air minum ternak. Ternak
yang diintroduksikan adalah ruminansia besar (sapi) yang dipelihara
dengan sistem kandang. Dengan keragaan tersebut, sistem ini mampu
meniru fungsi hutan dalam memelihara siklus air, bahan organik, dan
unsur hara. Selain itu, dengan penataan tanaman yang dikombinasikan
tersebut, tanaman tahunan juga dapat berfungsi sebagai tanaman
pemecah angin (wind breaker) yang mencegah kerusakan tanaman oleh
angin kering dingin pada puncak musim kemarau. Hal lainnya yang
sangat penting bagi pertumbuhan tanaman adalah adanya perbaikan
kondisi iklim mikro berupa perbaikan fluktuasi suhu udara dan tanah,
peningkatan kelembapan udara dan tanah. Adanya perbaikan kondisi iklim
mikro disertai perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah mendorong
meningkatnya produksi tanaman pangan lebih tinggi daripada tanaman
pangan pada sistem pertanaman monokultur. Selain itu, peningkatan
produksi tanaman juga disebabkan oleh melalui peningkatan intensitas
tanam terkait dengan semakin panjangnya ketersediaan air untuk
tanaman.

Daftar Pustaka

Anonymous. 2004. Silvopasture: The Intentional Combination of Trees,


Forage and Livestock Managed as a Single Integrated Practice.
University of Missouri Center for Agorforestry Practice. www.
centerforagroforestry. org. 13 August 2009.
Anonimus. 2006. Model Rancang Bangun dan Rekayasa Pembangunan
Pertanian Lahan Kering. www.marno.lecture.ub.ac.id.
Anonimus. 2010. Tren Besar dan Tantangan Pembangunan Pangan Masa
Depan. www.hakteknas.ristek.go.id
Anonimus. 2012. Definisi dan Pengertian Sistem Agroforestri Sederhana.
www. pengertian-definisi. blogspot. com.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor
Press. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Produktivitas Padi Nasional. www.
pertanian.go.id.
Bahar F. 1987. Makalah Pelatihan Teknis Proyek Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Nusa Tenggara. Badan Litbang
Pertanian.
Ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2006/Sp/peningkatanintensitas.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 91

Balai Penelitian Kehutanan. 2011. Penanaman gaharu dengan sistem


tumpang sari di Rarung, Prov. Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8 (4): 349-361. www.
forda. mof. org.
Benu, F. L. 2010. Dialektika Pertanian Lahan Kering: Mengapa Harus
Disebut Pertanian Lahan Kering Padahal Aktivitas Budi Daya
Selalu Bersentuhan dengan Ketersediaan Air? www.
drylandagriculture. blogspot. com.
De Miquel, J. M., B. Acosta-Gallo, and A. Gomez-Sal. 2013.
Understanding mediterranean pasture dynamics: general tree
cover vs. specific effects of individual trees. Rangeland Ecology
and Management 66 (2): 216-223. www. bioone.org.
Hidayat, Y. 2011. Siklus Hara dan Bahan Organik dalam Agroforestry.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. Hlm.
1-34 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju
Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian
Irwanto. 2008. Peningkatan Produktivitas Lahan dengan Aplikasi Sistem
Agroforestri. http://irwanto. webs. com. 15 March 2011
Kessler, J. J., H. Breman. 1991. The influence of woody spesies on plant
production factors. Agroforestry System 13:41-62. www.
library. wur. nl.
Kuswanto. 2013. Potensi dan Kendala Pengembangan Lahan Kering
Iklim Kering untuk Pertanian. www. jkuswanto. blogspot.
com.
Lakitan, B. dan N. Gofar. 2013. Kebijakan inovasi teknologi untuk
pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. Makalah disajikan
dalam Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Palembang, 21-22
September 2013. (In press)
Menteri Ristek dan Teknologi. 2011. Lahan Subur di Indonesia Kian
Minim. www. ristek. go.id.
Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk
Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
92 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Nasiu, F. 2012. Pemanfaatan Lahan Kering Marginal melalui Integrasi


Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, dan Ternak Ruminansia.
Tugas Makalah Budi daya Hijauan Pakan dan Pastura. Program
Pascasarjana. Universitas Gajahmada Yogyakarta. (Tidak
dipublikasikan).
Nowak, J., A. Blount and S. Workman. 2009. Integrated timber, forage
and livestock production-benefit of silvopasture. University of
Florida, IFAS Extension. www. edis. ifas. edu. 13 August 2009.
Oldeman, L. R., I. Las, and Muladi. 1980. The Agroclimatic Maps of
Kalimantan, Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa
Tenggara. Contributor No. 60, Central Research Institute for
Agriculture. Bogor. 32p.
Olea, L. and A. S. Miquel-Ayanz. 2006. A Traditional Mediterranean
Silvopasture System Linking Production and Nature Conservation.
www.doctorange.com. April 2006. 13 August 2009.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. 1992. 5 Tahun Penelitian
Ternak. Kontribusi untuk Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta.
Ratsele, R. C. 2013. Long-Term Effects of Rangeland Burning, Grazing
and Browsing on Vegetation and Organic Matter Dynamics. A
Thesis Sumitted for the Degree of Doctor of Philosophy in Pasture
Science. Department of Livestock and Pasture Science, Faculty of
Science and Agriculture, University of Fort Hare, South Africa.
Setyorini, D., L.R. Widowati, and S. Rochayati. 2004. Teknologi
pengelolaan hara lahan sawah intensifikasi. Hal. 137-168 dalam
Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Badan Peneltian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Silveira, M.L., J. M. B. Vendramini, H. M. Da Silva, and M. Azenha. 2013.
Nutrient Cycling in Grazed Pastures. www.edis.ifas.ufl.edu.
Soepandi, D., J. Purnomo, dan I.H. Utomo. 1994. Pengembangan
tanaman adaptif terhadap kekeringan. Hal. 141-152 dalam
Prosiding Diskusi Panel untuk Mengantisipasi Kekeringan dan
Solusi Penanganan Jangka Panjang. Sukamandi, Jawa Barat,
Indonesia, 26-27 August 1994. PERAGI-PERHIMPI.
Sudarto dan A. Suriadi. 2006. Optimalisasi paket teknologi sistem
budidaya ada perkebunan Jambu Mete di Desa Songgajah Kab.
Dompu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara
Barat. NTB.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 93

Sukristyonobowo, I G. P Wigena, E. Santoso, dan D. Santoso. 1998.


Sistem silvopastura untuk meningkatkan produktivitas lahan
padang penggembalaan di Nusa Tenggara Barat. Hal. 19-39
dalam Prosiding Diskusi dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Bogor, Jawa Barat, 10-12 February 1998.
Sumansangaji. 2013. Pertanian Ramah Lingkungan: Mungkinkah
Pertanian Ramah Lingkungan Dapat Diimplementasikan?.
www.sumansangdji30.blogspot. com. 14 Oktober 2014.
Supriana, A. 2012. Pertanian Ramah Lingkungan dan Konsep Dasarnya.
www.agussupriana.blogspot.com. 14 Oktober 2014.
Suwardji. 2005. Menjadikan Pertanian Lahan Kering sebagai Program
Unggulan Nasional. Universitas Mataram: Realitas atau Mitos.
www.prof-suwardji.
Turmudi, E. 2002. Kajian pertumbuhan dan hasil tanaman dalam sistem
tumpang sari jagung dengan 4 kultivar kedelai pada berbagai
waktu tanam. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 4 (2): 89-96.
www.repository.unib. ac.id.
Wick, B., H. Tiessen, and S.C. Romulo. 2000. Land quality changes
following the conversion of the natural vegetation into sylvo-
pastural system in semi arid on North East Brazil. Plant and Soil
222: 59-70.
Wigena, IG.P. 2011. Silvopasture and its impacts to microclimate, soil
properties, and carrying capacity on semi arid grass land of West
Nusa Tenggara Province, Indonesia. Jurnal Sumber daya Lahan 5
(1): 33-45.
Wihardjaka. A dan P. Setyanto. 2014. Pertanian Ramah Lingkungan pada
Tanaman Pangan. www.balingtan.litbang.deptan.go.id.
Oktober 2014.
Yudhoyono N. A. 2013. Zone Agroekologi. www.id.scribd.com.
Zairin. M. 2006. Peningkatan Intensitas Tanam pada Lahan Kering
dengan Pola Tanam yang Tepat untuk Mengurangi Resiko
Kegagalan Panen di Nusa Tenggara Barat.
www.bptpntb.litbang.deptan.go.id.

Teknologi Pengelolaan Hara dan Bahan Organik Sebagai Model Pertanian Ramah Lingkungan Pada Lahan
Kering Iklim Kering

Anda mungkin juga menyukai