Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN HASIL

PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI LAHAN KERING DATARAN RENDAH DI LEMBAH PALU SULAWESI TENGAH TA. 2004

Oleh:

F.F. Munier Saidah D. Bulo Chatijah Syafruddin Muh. Rusdi Asni Ardjanhar A.N. Kairupan Aslan Lasenggo Yacob Bunga Moh. Takdir

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SULAWESI TENGAH 2004

ABSTRAK Lahan kering dataran rendah di Sulawesi Tengah menempati proporsi 77% dari 1.036.000 ha total luas lahan kering yang ada dan tersebar di seluruh wilayah kabupaten, sedangkan luas kawasan lahan kering dataran rendah khsususnya Lembah Palu adalah seluas 38.694 ha. Tujuan jangka pendek (2004) adalah; (1) mendapatkan paket teknologi pemeliharaan Domba Ekor Gemuk (DEG), (2) mendapatkan paket teknologi budidaya tanaman kacang tanah, (3) mendapatkan paket teknologi integrasi DEG dan kacang tanah. Pengkajian ini didahului dengan PRA dan dilanjutkan dengan kajian lapangan yang mengamati data teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan serta kebijakan. Pola digunakan sebanyak dua, yakni pola petani dan pola introduksi (teknologi anjuran). Hasil yang diperoleh; untuk kacang tanah produksinya mencapai 800,5 kg/ha (pola introduksi) sedangkan pola petani hanya 401,8 kg/ha. Hasil ikutan dari panenan tanaman kacang tanah berupa brangkasan kacang tanah yaitu 4,44 ton/ha yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan untuk DEG. Rataan bobot badan akhir pada pola petani terjadi penurunan yakni 18,0 kg/ekor atau turun 0,9 kg, sedangkan pola introduksi terjadi kenaikkan menjadi 22,8 kg/ekor atau naik 3,9 kg. Bobot badan DEG untuk pola petani terjadi penurunan yakni 7,5 g/ekor/hari, sedangkan pola introduksi pertambahan bobot badan harian (PBBH) adalah 37,8 g/ekor. Aspek sosial ekonomi, petani dihadapkan pada kendala modal dan tingkat pendidikan yang rendah, tidak adanya unit simpan pinjam, lembaga penyuluhan (BPP) kurang membimbingan kepada petani, dan animo masyarakat tentang suatu teknologi sangat besar. Dampak dari kajian ini adalah; banyak dari petani non koperator sudah menggunakan pupuk kandang, pemanfaatan brangkasan kacang tanah sebagai salah satu sumber pakan ternak, dedak padi hasil ikutan penggilingan padi dibawa pulang petani untuk diberikan pada ternaknya, pemberian pakan berubah yakni tidak sepenuhnya lagi bergantung pada rumput alam. Pendapatan bersih usaha DEG dengan pola introduksi Rp. 1.040.375,-/6 bulan dan pola petani hanya Rp. 400.830,/6 bulan dimana R/C masing-masing 1,35 dan 1,15. Pendapatan bersih petani kacang tanah dengan pola introduksi Rp. 2.759.250,-/ha/musim tanam dan pola petani Rp. 1.051.700,-/ha/musim tanam dimana B/C masing-masing 1,13 dan 0,67. Pendapatan bersih usahatani integrasi DEG dan kacang tanah dengan pola introduksi Rp. 3.799.625,-/6 bulan atau Rp 633.270,-/bulan dengan R/C 1,70. Aspek lingkungan memberikan nilai positif (rumah dan lahan). Aspek Kebijakan, pengembangan konsep sistem usahatani lahan kering yang beriklim kering dilakukan secara terpadu dan memperhatikan aspirasi masyarakat, penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro, selain itu adanya pembangunan yang sifatnya aspiratif dan partisipatif telah memberikan indikasi yang positif bahwa; 1) telah memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa pemanfaatan lahan kering harus dilakukan secara terpadu; 2) pengembangan pelatihan dan penyuluhan yang sesuai karena terkait langsung dengan kebutuhan petani, 3) aspirasi masyarakat tersalurkan dan secara moral mereka akan bertanggung jawab melaksanakan pola-pola pembinaan sistem usahatani lahan kering yang beriklim kering. Kata Kunci : DEG, semi intensif, kacang tanah, budidaya.

1. LATAR BELAKANG
Lembah Palu merupakan suatu kawasan lahan kering dataran rendah yang potensial untuk pengembangan usaha pertanian. Usaha pertanian yang cukup berkembang dan mendominasi di Lembah Palu adalah hortikultura, ternak ruminansia kecil dan ternak unggas dan hanya sebagian kecil petani mengusahakan tanaman padi dan palawija terutama di wilayah yang dilewati irigasi teknis Gumbasa dan irigasi desa. Hasil survei yang dilaksanakan oleh Fagi et al. (1993) menyimpulkan bahwa lahan kering dataran rendah di Sulawesi Tengah menempati proporsi 77% dari 1.036.000 ha total luas lahan kering yang ada dan tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Hasil dileniasi zona agroekologi Sulawesi Tengah yang dilaksanakan oleh Syafruddin et al. (1999) menunjukkan bahwa lahan kering dataran rendah sebagian besar terletak pada zona III, IV, dan V yang dicirikan dengan curah hujan rendah, kelembaban udara rendah, suhu udara tinggi, tingkat penyinaran yang tinggi. Hasil dileniasi tersebut memperkirakan luas lahan kering dataran rendah yang dapat diusahakan untuk pertanian di Sulteng seluas 286.600 ha. Lembah Palu merupakan salah satu kawasan yang mempunyai prospek yang sangat penting untuk pengembangan tanaman palawija, hortikultura dan ternak karena berada pada pelembahan yang mempunyai sumber air (Spring Water) yang berasal dari pegunungan yang mengelilinginya. Selain itu ketersediaan air yang berasal dari sungai Palu yang mengalirkan air sepanjang tahun untuk irigasi. Luas kawasan lahan kering dataran rendah Lembah Palu adalah seluas 38.694 ha (BPS Sulteng, 2000) yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian seperti; ternak ruminansia kecil, ternak unggas, palawija dan hortikultura, hal ini disebabkan kawasan ini memiliki persediaan air tanah yang cukup besar. Prioritas pengembangan pertanian di wilayah Lembah Palu oleh Pemerintah Daerah diprioritaskan untuk bidang peternakan adalah ternak ruminansia kecil dan palawija. Khusus usaha DEG, dari hasil pengamatan di lapangan bahwa produktivitasnya masih rendah. Hal ini disebabkan karena pola pemeliharaan

ternak masih tradisional, dimana DEG digembalakan di padang penggembalaan dalam satu kawanan yang umumnya masih memiliki hubungan darah dekat satu

sama lainnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya perkawinan keluarga (inbreeding) pada ternak DEG tersebut. Keturunan hasil kawin keluarga ini menurunkan mutu genetik DEG. Meskipun diberikan pakan yang berkualitas namun bila tidak

didukung oleh potensi genetik yang baik maka pertambahan bobot badan harian tetap akan rendah. Pemeliharaan DEG secara intensif baru dapat mencapai rataan pertambahan bobot badan di atas 50 g/hari dan rataan bobot lahir lahir anak 3,0 kg/ekor. Apabila mutu genetik diperbaiki maka rataan pertambahan bobot badan dapat mencapai 100 g/hari dan rataan bobot lahir anak akan dicapai di atas 3,0 kg/ekor. Alternatif pemecahan masalah ini adalah melalui kajian seleksi calon induk dan pejantan, memperbaiki sistem perkawinan dengan menghindari perkawinan keluarga (inbreeding). Peningkatan produktivitas DEG dapat dilakukan dengan melakukan seleksi calon induk dan pejantan serta didukung oleh pemberian pakan yang bergizi tinggi. Batubara et al. (2002) melaporkan bahwa domba yang melalui program seleksi menghasilkan bobot badan dewasa yang tinggi Domba garut hasil seleksi yang berikan 75% konsentrat dan 25% hijauan dengan pertambahan bobot badan 108 g/hari (Hidajati et al., 2002). Kemampuan produktivitas DEG hasil seleksi ini harus ditunjang dengan pemberian pakan yang berkualitas (Adiati, et al., 2002) Memanfaatkan hijauan pakan jenis leguminosa yang tersedia di Lembah Palu yaitu gamal (Gliricidia macculata), lamtoro (Leucaena leucocepahla), desmanthus (Desmanthus virgatus), serta beberapa sumber pakan yang berasal dari sisa-sisa pertanian khususnya palawija. Komoditi palawija yang cukup berkembang diusahakan oleh petani di Lembah Palu adalah kacang tanah namun produksinya 1,01 t/ha (BPS Sulteng, 2000b). Padahal apabila dikelola dengan baik, produksi kacang tanah dapat

mencapai 5 t/ha polong kering (Sumarno, 1993). Penyebab rendahnya produksi kacang tanah adalah masih rendahnya tingkat penerapan teknik budidaya yang dilakukan petani, utamanya pemanfaatan pupuk organik. Padahal Ketersediaan pupuk organik yang melimpah seperti kotoran asal domba merupakan potensi yang belum dimanfaatkan oleh peternak dalam usahatani palawija.

Irianto et al. (1998) mengemukakan bahwa sebagian besar lahan kering mempunyai kandungan unsur hara dalam tanah tergolong rendah (N, P, K, Ca, Mg). Pemberian bahan organik pada lahan kering merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk kandang asal domba merupakan salah satu sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman kacang tanah Taufiq dan Sudaryono (1998) melaporkan bahwa dengan pemberian 5 t/ha pupuk kandang dapat meningkatkan produksi kacang tanah sebesar 50 %. Pengkajian ini mengacu pada rencana induk penelitian dan pengkajian (RIPP) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah selama 5 tahun (1999-2004) berdasarkan agroekosistem lahan kering dataran rendah. Pengkajian DEG termasuk dalam program penelitian dan pengkajian yang mengarah pada kajian agribisnis unggulan daerah. Pengembangan DEG oleh pemerintah daerah propinsi Sulawesi Tengah diarahkan di Lembah Palu karena ternak ini hanya dapat berkembang dengan baik di kawasan ini.

2. DASAR PERTIMBANGAN DEG merupakan ternak unggulan spesifik daerah yang hanya dapat berkembang baik di kawasan Lembah Palu. Wilayah yang menjadi sentra pengembangan DEG oleh pemerintah daerah propinsi Sulawesi di Lembah Palu meliputi sebagian wilayah Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Populasi DEG hingga akhir tahun 2000 mencapai 6.120 (Distanbunnak prop. Sulteng, 2001) dengan populasi tertinggi di kecamatan Palu Selatan 3.537 ekor, diikuti kecamatan Palu Timur 1.634 ekor, sisanya tersebar di kecamatan Sigi-Biromaru, kecamatan Dolo dan kecamatan Marawola, kabupaten Donggala. Jumlah peternak DEG

tertinggi di kecamatan Palu Selatan sekitar 50 orang, di kecamatan Palu Timur sekitar 10 orang, sedangkan di kecamatan Sigi-Biromaru, kecamatan Dolo dan kecamatan Marawola, kabupaten Donggala hanya berjumlah 5-8 orang Kacang tanah merupakan salah satu tanaman palawija yang umum dibudidayakan oleh petani di kawasan Lembah Palu. Budidaya kacang tanah ini masih bersifat tradisional tanpa adanya pemberian pupuk, penggunaan varietas unggul dan pengendalian hama dan penyakit. Hal ini mengakibatkan produktivitas

kacang tanah sangat rendah. Hasil survei FSZ di lembah Palu yang dilakukan Syafruddin et al. (2003), menyebutkan bahwa ketersediaan bahan organik lahan

kering pada kondisi sangat rendah hingga rendah. Padahal salah satu kunci keberhasilan usahatani di lahan kering adalah pemberian bahan organik. Di sisi lain, wilayah ini cukup banyak tersedia pupuk organik asal kotoran ternak ruminansia dan unggas, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Budidaya kacang tanah ini merupakan usatanitani pendukung untuk menambah pendapatan petani selain dari hasil penjualan ternak kambing dan domba. Saat panen cukup banyak tersedia brangkasan kacang tanah yang merupakan sumber hijauan pakan yang bergizi karena mengandung protein kasar yang cukup tinggi. Pengkajian ini diharapkan dapat meningkatkan bobot lahir anak diatas 3,0 kg/ekor, pertambahan bobot badan sekitar 100 g/hari dan bobot badan akhir (siap jual) berkisar 30-35 kg/ekor. Di samping itu dapat meningkatkan populasi ternak DEG sekitar 15% dari total populasi yang ada sekarang. Hal ini juga dapat

memberikan pengaruh positif terhadap ketersediaan daging asal domba bahkan dapat memberikan peluang agribisnis untuk dijual ke daerah lainnya. Pemanfaatan pupuk kandang asal domba dapat meningkatkan kesuburan tanah sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering untuk bididaya kacang tanah. Produktitas kacang tanah dapat meningkat yakni di atas 1,5 ton/ha. Dengan pola sistem usahatani ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani peternak di Lembah Palu. Teknologi hasil pengkajian ini akan diadopsi oleh dinas terkait baik Kota Palu maupun kabupaten Donggala karena pengembangan DEG hasil pengkajian ini dapat mendukung program pemerintah daerah untuk pengembangan DEG di Lembah Palu. Kacang tanah merupakan salah satu tanaman palawija yang umum dikembangkan oleh petani di Lembah Palu karena didukung oleh kesesuaian iklim dan jenis tanah yang baik untuk tanaman kacang tanah. Namun untuk meningkatkan hasil maka perlu perbaikan manajemen budidayanya. Teknologi ini juga akan dapat diadopsi dengan mudah oleh petani non kooperator di sekitar lokasi pengkajian dan kecamatan lainnya melalui kegiatan pertemuan kelompok tani atau visitor plot.

3. TUJUAN 3.1. Tujuan Umum (Akhir) - Merakit model sistem usahatani yang menguntungkan. - Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian di Lembah Palu

3.2. Tujuan Tahunan (Antara). - Merakit paket teknologi integrasi DEG dan kacang tanah.

4. KELUARAN YANG DIHARAPKAN 4.1. Keluaran Umum (Akhir) - Model sistem usahatani yang menguntungkan. - Teknik pemanfaatan sumber daya pertanian di Lembah Palu

4.2. Keluaran Tahunan (Antara). - Paket teknologi integrasi DEG dan kacang tanah.

5. PERKIRAAN MANFAAT DAN DAMPAK 5.1. Perkiraan Manfaat. - Peningkatan pertambahan bobot badan DEG dari 10-20 g/hari menjadi 40-50 g/hari, rataan bobot lahir anak dari 2,5 kg/ekor menjadi diatas 3,0 kg/ekor dan angka kematian anak ditekan hingga 0%. - Peningkatan produktivitas kacang tanah minimal 1,5 t/ha dan efisiensi usahatani sebesar 20% pada lahan kering.

5.2. Perkiraan Dampak. - Peningkatan populasi ternak DEG 15% dari total populasi sekarang. - Ketersediaan daging domba yang cukup dan berkualitas. - Peningkatan produktivitas kacang tanah sebesar 50 %. - Terciptanya lapangan kerja yang lebih luas. Adanya keterlibatan petani secara aktif diharapkan komponen teknologi ini dapat teradopsi oleh petani secara cepat, baik oleh anggota kelompok tani pelaksana

(kooperator) maupun anggota kelompok tani lainnya (non kooperator) di lokasi pengkajian.

6. METODOLOGI 6.1. Pendekatan 6.1.1 Kategori Program dan Jenis Litkaji Pengkajian ini merupakan program pengkajian teknologi inovatif spesifik lokasi dengan bentuk pengkajian partisipatif, dimana petani terlibat sejak dari perencanaan, pelaksanaan hingga pada kegiatan penilaian paket teknologi yang akan dikaji. Perumusan paket teknologi yang akan dikaji berdasarkan kebutuhan

petani yang diketahui melalui survei PRA (Participatory Rural Appraisal). Komponen teknologi yang akan menjadi acuan dalam penyusunan paket teknologi tersebut bersumber Balai Penelitian Ternak Ciawi dan Balai Penelitian Kacangkacangan dan Umbi-umbian Malang. Komponen paket teknologi yang sudah

tersusun dan sesuai dengan kebutuhan petani, selanjutnya akan diuji di lapangan oleh petani dengan membandingkan paket teknologi yang excisting di lokasi pengkajian.

6.1.2 Kerangka Pemikiran Salah satu jenis ternak yang diunggulkan oleh Pemda propinsi Sulawesi Tengah adalah DEG. Ternak ini sudah lama diintroduksi di Lembah Palu dan sudah beradaptasi baik pada lingkungan yang sangat ekstrim yakni tingginya intensitas penyinaran matahari serta suhu udara yang tinggi. Adaptasi ternak DEG dengan lingkungan yang ekstrim ini maka bulunya tidak berkembang lebat seperti daerah asalnya, sedikit penyebaran lemak pada daging (marbling), memiliki ekor yang gemuk dan lebar. Sifat inilah yang mencirikan spesifik DEG yang ada di Lembah Palu. Penurunan populasi ternak domba yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh kekurangan gizi dengan hanya mengkonsumsi rumput alam sehingga mengakibatkan kematian anak, kasus ini belum menjadi perhatian serius bagi peternak. Hal ini perlu ditindaklanjuti untuk mengkaji beberapa susunan ransum

untuk DEG dengan menggunakan bahan baku lokal, demikian juga dengan serangan parasit cacing tinggi pada musim hujan (Beriajaya et al., 1982). Adanya kecendrungan perkawinan keluarga (inbreeding) juga dapat menurunkan mutu genetik DEG sehingga daya tumbuh rendah dan tingkat kematian anak tinggi untuk itu perlu dilakukan seleksi calon induk dan pejantan untuk menghasilkan anak generasi mendatang yang lebih baik (Haryanto et al., 1997). Usaha untuk meningkatkan konsumsi pakan dan pertumbuhan pada ternak dapat dilakukan dengan pemberian konsentrat (Martawijaya, 1986) dan leguminosa (Mathius et al., 1984). Suplementasi gamal pada rumput gajah dapat meningkatkan pertumbuhan pada ternak domba (Rangkuti et al., 1986) dan kebuntingan lebih tinggi (Supriyati et al., 1995). Martawijaya et al. (1993) melaporkan bahwa

pemberian gamal setiap hari pada ternak domba sebagai suplemen pada rumput gajah meningkatkan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian rataan pertambahan bobot badan harian 37 gr/ekor. Limbah pertanian seperti brangkasan kacang tanah dan brangkasan kedelai, memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk keperluan produksi dan pencernaan yang baik pada ternak ruminansia (Lebdosukoyo, 1982). Kambing kacang yang diberikan brangkasan jagung 135 g/ekor/hari, brangkasan kacang tanah 162 g/ekor/hari, daun ubi kayu 136 g/ekor/hari dan daun lamtoro 112 g/ekor/hari dalam bentuk bahan kering menghasilkan rataan pertambahan bobot badan harian 56,3 g. Guna meningkatkan hasil brangkasan tanaman, utamanya kacang tanah maka perlu diberikan perlakuan-perlakuan. Salah satu kunci keberhasilan usahatani lahan kering adalah dengan pemberian bahan organik. Pemberian bahan organik akan dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan remah. Menurut Hardjowigeno (1995), penambahan bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Kondisi ini akan sangat menguntungkan bagi

tanaman kacang tanah, khususnya untuk penetrasi akar, ginofor dan perkembangan polong selanjutnya. Selain itu juga akan menambah kemampuan tanah untuk

menahan air. Pupuk kandang asal domba merupakan salah satu bahan organik potensial yang banyak ditemukan di Lembah Palu. Namun pemanfaatannya masih

terbatas pada tanaman sayuran. Untuk itu perlu diujicoba pada tanaman kacang tanah. Sistem usahatani ternak ruminansia kecil dan palawija sudah lama dilakukan oleh para petani di Lembah Palu hanya cara mengusahakannya masih tradisional. Ternak ruminansia kecil hanya digembalakan dipadang pengembalaan dan sistem usahatani palawija belum menerapkan teknik budidaya yang baik, seperti penggunaan benih unggul, pemupukan berimbang, pengendalian hama dan penyakit, sehingga produktivitasnya rendah. Salah satu tanaman palawija yang banyak diusahakan di kawasan Lembah Palu adalah kacang tanah. Integrasi sistem pemeliharaan domba ekor gemuk dengan budidaya kacang tanah secara intensif merupakan suatu sistem usahatani yang saling menguntungkan. Brangkasan kacang tanah dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan tambahan ternak DEG dan kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman kacang tanah. Sistem usahatani ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan arahan Bapak Menteri Pertanian pada

berbagai kesempatan yaitu pembangunan pertanian difokuskan pada pembangunan sistem usaha pertanian yang berorientasi agribisnis yang bernilai tambah, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi (Soehadji, 2002).

6.2. Ruang Lingkup Kajian pemeliharaan DEG semi intensif. Kajian budidaya tanaman kacang tanah. Pengkajian ini dilaksanakan selama 3 tahun anggaran yang dimulai tahun 2002 (DEG) hingga 2005. Kegiatan pada tahun anggaran 2004 dilaksanakan selama satu musim tanam (MK) untuk kacang tanah dan DEG.

6.3. Metode 6.3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kajian Hasil survei PRA maka ditetapkan lokasi pengkajian bertempat di desa Porame, kecamatan Marawola, kabupaten Donggala sebagai kabupaten penerima dana poor farmer. Wilayah poor farmer di Lembah Palu didominasi oleh

10

agroekologi lahan kering dataran rendah hingga dataran tinggi. Pemilihan lokasi dilakukan atas pertimbangan bahwa desa tersebut banyak mengusahakan DEG dan kacang tanah. Waktu pelaksanaan kajian mulai survei PRA hingga pengkajian di lapangan dilakukan pada bulan Mei sampai Desember 2004.

6.3.2. Survei PRA Pengkajian sistem usaha tani (SUT) lahan kering dataran rendah di Lembah Palu ini diawali dengan survei identifikasi dan karakterisasi lokasi pengkajian guna mengumpulkan data-data pendukung sebagai data dasar dalam pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Lokasi survei PRA yaitu kecamatan Marawola, kecamatan Palolo dan kecamatan Tawaeli yang dilaksanakan pada bulan Mei 2004. Metode survei dengan menggunakan PRA (Participatory Rural Apprisal). Penentuan

petani koperator dilakukan dengan pertimbangan petani koperator tersebut mempunyai domba dan biasa menanam kacang tanah serta mau melaksanakan paket teknologi yang akan dikaji. Data yang dikumpulkan pada tahapan ini

meliputi; kondisi biofisik, sosial-ekonomi dan budaya setempat.

6.3.3. Rancangan Kajian Kajian pemeliharaan DEG semi intensif. Kajian ini menggunakan DEG betina berumur 1-1,5 tahun dengan rataan bobot badan 18-22 kg. Total DEG yang digunakan 24 ekor dengan jumlah petani koperator sepuluh orang. Kajian ini menguji dua model perlakuan susunan ransum pada DEG hasil pengkajian sebelumnya yang telah dilaksanakan di kelurahan Kawatuna, kecamatan Palu Selatan, kota Palu dengan menggunakan brangkasan kacang tanah, dedak padi dan bungkil kelapa sebagai pakan tambahan. Jumlah pakan yang diberikan adalah 4,0 % dari bobot badan dalam bentuk bahan kering. Pakan dasar berupa rumput alam dikonsumsi DEG saat digembalakan di padang penggembalaan. Kegiatan tambahan adalah mengintroduksi pejantan DEG terseleksi sebanyak dua ekor yang akan didatangkan dari luar lokasi kajian untuk memeperbaiki mutu genetik domba di lokasi kajian.

11

Model perlakuan (susunan ransum) per ekor per hari DEG sebagai berikut: 1. Digembalakan di padang penggembalaan rumput alam (pola petani) 2. 500 g brangkasan kacang tanah + 200 g dedak padi + 100 g bungkil kelapa (pola introduksi).

Kajian budidaya tanaman kacang tanah Kajian ini menguji dua paket teknologi budidaya di lahan kering dengan jumlah petani koperator 12 orang. Dua paket teknologi yang dikaji adalah pola introduksi dan pola petani. Jenis kajian adalah sistem usahatani dengan pendekatan partisipatif. Jumlah petani yang dibutuhkan 12 orang. Masing-masing petani

menggunakan satu paket teknologi. Luasan yang dibutuhkan kurang lebih satu ha. Deskripsi perlakuan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi Rakitan Teknologi Budidaya Kacang Tanah yang akan Dikaji Komponen Teknologi - Pengolahan tanah - Bedengan - Varietas - Asal benih - Jumlah benih - Perlakuan benih - Cara tanam - Jarak tanam - Pupuk * Urea * SP 36 * KCl - Pupuk kandang - Penyiangan - Pengendalian Hama & Penyakit - Panen Introduksi OTS 3m lokal (merah) terpilih 80 90 kg/ha direndam + furadan tugal 40 cm x 10 cm 50 75 50 2 t/ha 2 kali (7 & 9 MST) Pemantauan dan PHT Saat daun kuning dan biji mengeras Pola Petani OTS Tanpa bedengan lokal (merah) asalan 120 150 kg/ha direndam tugal 30 cm x 30 cn 2 kali (3 & 7 MST) Pemantauan dan PHT Saat daun kuning dan biji mengeras

12

6.3.4. Deskripsi Teknologi Kajian pemeliharaan DEG semi intensif Komponen teknologi yang diuji mengacu pada paket teknologi yang

bersumber dari Balai Penelitian Peternakan Ciawi-Bogor, Balai Penelitian Veteriner Bogor dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.

Kajian budidaya tanaman kacang tanah. Komponen yang diuji bersumber dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian Malang. Komponen paket teknologi yang sudah tersusun akan disesuaikan setelah kegiatan PRA.

6.3.5. Teknik Pengambilan Data Kajian pemeliharaan DEG semi intensif Pengumpulan data melalui penimbangan bobot badan DEG baik betina dewasa maupun bobot lahir anak, data yang dikumpulkan meliputi: - Produktivitas DEG yaitu pertambahan bobot badan harian, bobot badan akhir, interval kelahiran, jumlah anak dilahirkan per induk, bobot lahir anak.. - Konsumsi pakan harian; - Input-Output usaha ternak DEG.

Kajian budidaya tanaman kacang tanah Pengumpulan data awal dengan melakukan survei menggunakan metode PRA (Participatory Rural Apprisal). Data yang akan dikumpulkan pada tahapan ini meliputi; kondisi biofisik, sosial-ekonomi dan budaya setempat. Data primer yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi; data teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan serta kebijakan.

6.3.6. Metode Pengamatan dan Alat Analisis Kajian Integrasi DEG dan Kacang Tanah Kajian ini mengamati data teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan serta kebijakan sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis sosial ekonomi (R/C

13

ratio), efesiensi usaha, kesempatan kerja, persepsi petani dan aspek kebijakan.

6.4. Bahan dan Alat 6.4.1. Kajian pemeliharaan DEG semi intensif - Ternak DEG betina 24 ekor dan jantan 2 ekor - Pakan (hijauan pakan dan konsentrat) - Kandang perlakuan 4 unit - Vitamin B-Complex, obat-obatan dan antibiotik - Suntikan kapasitas 5 ml (1 set) - Timbangan portable kapasitas 15 kg dan 100 kg

6.4.2. Kajian budidaya tanaman kacang tanah - Benih kacang tanah - Pupuk Urea, SP36 dan KCl - Pupuk kandang asal domba - Insektisida - Fungisida - Alat pengukur

7. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1. Kondisi Umum Wilayah dan Keragaan Usahatani Kacang Tanah dan DEG Desa Porame merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah kecamatan Marawola. Desa ini terletak + 7 km ke arah selatan kota Palu. Batasbatas wilayah desa Porame adalah sebagai berikut : Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Marawola Sebelah barat berbatasan dengan desa Balane Sebelah selatan berbatasan dengan desa Uwemanje Sebelah utara berbatasan dengan desa Binangga Hasil transek yang dilakukan (arah timur ke barat) menunjukkan bahwa lahan desa Porame didominasi oleh lahan beririgasi teknis dan lahan kering. Namun karena terbatasnya debit air irigasi yang melewati persawahan di desa ini

14

mengakibatkan banyak lahan tersebut menjadi kering.

Komoditas yang

dikembangkan pada adalah padi sawah, kacang tanah, jagung, kacang hijau, tomat, lombok keriting dan semangka, domba, kambing dan sapi. Masalah utama yang dihadapi oleh petani kacang tanah di Desa Porame untuk lahan tadah hujan adalah hama babi, tikus, kepik, penggulung daun, karat dan penyakit layu. Tidak jarang hasil bumi mereka puso karena hama ini. Tindakan pencegahan yang dilakukan petani cenderung seadanya tergantung kondisi keuangan petani pada saat itu. Sedangkan untuk pengendalian hama babi adalah dengan memagar kebun, memasang jerat dan menjaga kebun siang dan malam. Masalah lainnnya dalam berusahatani (khususnya tanaman pangan) adalah tingginya kegagalan panen akibat kemarau. Usaha DEG, rata-rata tingkat kepemilikan 2 5 ekor per KK. Pakan yang sering diberikan adalah rumput alam dengan sistem pemeliharaan secara digembalakan. Jenis kandang yang digunakan dalam pemeliharaan adalah kandang sangat sederhana dengan atap rumbia dan berlantai tanah yang dipenuhi kotoran ternak, sehingga DEG sering terserang parasit cacing dan penyakit lainnya seperti mencret dan kembung. Pemberian pakan tambahan berupa mineral dan vitamin sangat minim dilakukan bahkan tidak dilakukan sama sekali. Pengendalian

penyakit pada ternak hanya dilakukan dengan pemberian ramuan tradisional yang diketahui secara turun temurun. Sanitasi kandang dilakukan, namun tidak

maksimal dan ini berdampak pada warna bulu domba yang kelihatan kotor dan suram. Setiap kandang berisi puluhan DEG yang dimiliki oleh beberapa orang yang masih berhubungan kerabat. Meski desa ini mempunyai sarana pengairan, namun suplainya tidak merata walaupun sudah dilakukan pembagian air. Hal ini dapat dikatakan desa ini

termasuk wilayah lahan kering yang sumber airnya hanya bergantung pada curah hujan. Pola curah hujan yang tidak menentu mengakibatkan sering usahatani yang mereka lakukan gagal atau puso akibat kekeringan. Menurut BPS Kab. Donggala (2002), rata-rata curah hujan pertahun bervariasi antara 50 70 mm/tahun. Jumlah bulan kering pertahun > 8 bulan. Jenis tanahnya liat dengan status hara sedang hingga sangat rendah. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

15

Tabel 2. Sifat Kimia dan Fisika Tanah Pengkajian di Desa Porame Kecamatan Marawola Penetapan Nilai Kriteria Tekstur (%) : - Liat - Debu - Pasir PH Air - KCl C total (%) N Tot.al (%) P2O5 HCl (mg/100 g) K2O HCl (mg/100 g) 46 42 12 5,4 4,7 2,96 0,144 15,22 0,16 Masam Masam Sedang Rendah Rendah Sangat rendah Liat

Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Fakultas Pertanian Untad, 2004.

Khusus untuk usahatani kacang tanah, teknologi yang digunakan petani masih sangat terbatas. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak 4 kali, yakni 2 kali bajak dan 2 kali garu. Varietas yang digunakan sebagian besar menggunakan varietas lokal dan digunakan berulang-ulang. Teknologi pemupukan bervariasi, yakni ada yang menggunakan dengan satu macam pupuk saja dan dosis jauh di bawah anjuran, bahkan sama sekali tidak dilakukan pemupukan. Petani yang

menggunakan pupuk hanya sebagian kecil saja. Begitu pula dengan teknologi pemeliharaan DEG. Sistem pemeliharaannya masih tradisional/konvensional

dimana pakannya hanya mengandalkan rumput alam, pengendalian penyakit dan sanitasi kandang masih minim serta pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tanaman belum dilakukan, walaupun ada beberapa petani yang cukup maju menggunakannya untuk tanaman semangka. Curah hujan selama dilaksanakan pengkajian (tanam hingga panen) yakni mulai Agustus hingga Desember sangat sedikit. Bulan Agustus jumlah curah hujan 9,5 mm dengan hari hujan 2; September CH 4,5 mm dan HH 2; Oktober CH 6,5 mm dan HH 1; Nopember CH 14 mm dan HH 4 dan bulan Desember awal (tanggal 4) CH 10,5 mm dan HH 4. Dari data curah hujan di atas jelas terlihat bahwa pada masa pertumbuhan awal (vegetatif), tanaman mengalami cekaman kekeringan yang

16

ekstrim dimana curah hujan hanya 9,5 mm dengan 2 hari hujan.

Hal ini

mengakibatkan pertumbuhan tanaman mengalami stagnasi/terhambat dan tanahnya nampak terbelah-belah.. Hal ini akan berdampak pada peroleh hasil dalam bentuk biji kering. Kelender musim menunjukkan bahwa musim hujan dengan curah hujan tinggi terjadi antara bulan Maret hingga akhir Juni. Bulan Juli hingga awal

September adalah musim kemarau. Pola tanam yang banyak diterapkan petani adalah padi sawah kacang tanah, padi semangka, padi tomat/cabe keriting, dan kacang tanah semangka. Pola ini tidak berlaku untuk semua lahan yang dimiliki oleh petani. Petani yang memiliki lahan yang cukup luas, pola tanam yang

digunakan adalah pola campuran. Lahan tersebut bisanya dibagi lagi dalam porsi yang lebih kecil dan ditanami berbagai macam tanaman. Kehidupan masyarakat desa Porame tidak banyak dipengaruhi oleh lembaga, baik formal maupun informal. Kelembagaan yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat adalah lembaga yang berhubungan dengan aktivitas sosial agama dan kemasyarakat, ekonomi dan budaya. Dari beberapa lembaga yang ada, hanya satu lembaga yang paling berpengaruh secara langsung yakni Balai Desa. Peran Balai Penyuluh Pertanian di desa ini dirasakan masih kurang. Lembaga KUD tidak

Aktivitas kunjungan petugas lapangan jarang dilakukan.

dimiliki oleh desa ini. Permodalan diperoleh dengan cara meminjam dengan petani atau masyarakat yang masih memiliki ikatan persaudaraan. Akses pemasaran

kebanyakan dilakukan di ibukota kecamatan yang jaraknya + 1 km dari desa Porame. Aktivitas pasar kecamatan hanya dilakukan sekali seminggu yakni setiap hari Rabu. Mobilitas masyarakat desa Porame, selain ke ibukota kecamatan juga ke ibukota Provinsi (Palu) yang jaraknya + 7 km dari desa Porame, juga ke desa-desa lain yang berdekatan. Tujuannya adalah mencari nafkah sebagai buruh tani atau buruh bangunan dan pembuatan jalan. Hal ini dilakukan bila di desa ini terjadi musim kemarau panjang. Nama kelompok tani yang mengikuti pengkajian ini adalah Pobaulonja dengan jumlah anggota 19 orang.

17

7.2. Komponen Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Tanah dan DEG 7.2.1 Kacang Tanah Hasil pengamatan sifat agronomis kacang tanah pada 12 orang petani (8 orang pola introduksi dan 4 orang pola petani) disajikan pada Tabel 2. Jumlah tanaman tumbuh rata-rata di atas 90 %, baik pola introduksi maupun pola petani (pembanding). Hal ini menunjukkan bahwa viabilitas benih saat ditanam dalam kondisi baik. Rata-rata jumlah polong hampa pertanaman untuk pola petani 4 buah, sedangkan pola introduksi 1,8 buah. Jumlah biji pertanaman baik pola petani

maupun pola introduksi masing-masing 26 biji dan 44 biji. Tingkat serangan hama antara pola petani dan introduksi cukup nyata yakni 0,6 (berat) dan 0,21 (ringan). Tingginya serangan hama pada pola petani lebih disebabkan oleh tidak adanya atau kurangnya pemeliharaan yang dilakukan oleh petani, baik pemupukan, penyiangan maupun pengendalian hama. Hama yang banyak menyerang pada pola petani lebih beragam yakni babi, tikus, kepik dan belalang serta ulat penggulung daun. Sedangkan pola introduksi adalah hama tikus, kepik, dan penggulung daun. Tingkat serangan penyakit, pola petani tergolong sedang (0,3), sementara pola introduksi tergolong ringan (0,1). Jenis penyakit yang menyerang kacang tanah pola petani adalah virus belang, karat dan bercak daun. Sedangkan pola introduksi adalah bercak daun. Bobot 100 biji menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, yakni pola petani 26,9 g, sedangkan pola introduksi 46,2 g. Begitu pula dengan hasil ubinan (2,5 m x 1,2 m) yakni 248,4 g/petak dan 490,7 g/petak. Hasil sensus yang dilakukan pada petani koperator baik pola introduksi maupun pola petani ratarata hasilnya masing-masing 800,5 kg/ha dan 401,8 kg/ha. Tabel 3. Rata-rata sifat-sifat agronomis kacang tanah varietas lokal yang dikaji perbaikan teknologi budidayanya di Desa Porame Kecamatan Marawola pada MK. 2004
No. Perlakuan Jumlah polong hampa/tan. 4 1,8 Jumlah biji/tan. Tingkat serangan OPT Hama Penyakit 0,6 0,21 0,3 0,1 Bobot 100 biji (g) 26,9 46,2 Hasil ubinan (g/peta k) 248,4 490,7 Hasil biji Kering (kg/ha) 401,8 800,5

1. 2.

Pola Petani Pola Introduksi

26 44

18

Dari tabel 3 diatas terlihat jelas bahwa pola introduksi memberikan hasil yang lebih tinggi daripada pola petani. Dengan demikian, pola introduksi dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan di wilayah desa Porame, walaupun nantinya masih diperlukan perbaikan-perbaikan manajemen yakni penggunaan jarak tanam. Tingginya laju pertumbuhan gulma di lahan petani, maka dianjurkan untuk menanam dengan jarak tanam yang lebih sempit, yakni 20 cm x 10 cm atau 20 cm x 20 cm. Secara keseluruhan hasil yang dicapai dalam pengkajian ini masih jauh dari yang diharapkan, hal ini diakibatkan oleh berbagai macam faktor diantaranya adalah cekaman kekeringan dalam waktu yang lama selama masa pertumbuhan, sehingga tanaman mengalami stagnasi pertumbuhan dan kurangnya pemeliharaan. Rendahnya curah hujan yang dialami tanaman kacang tanah, dapat berdampak pada perolehan hasil akhir. Air merupakan faktor pembatas yang sangat berpengaruh terhadap hasil tanaman. Hal ini karena fungsi air sebagai pelarut unsur hara dan mengatur turgoditas sel dalam tanaman (Fitter and Hay, 1994). Selain itu, oleh Suryatini (1993) menjelaskan akibat kekeringan akan mempengaruhi pembitilan dan penambatan Nitrogen. Daya hidup rhizobuim menurun secara cepat pada

kondisi kekeringan dan akan menyebabkan kegagalan infeksi sehingga tidak terjadi pembitilan. Sama halnya dengan penambatan nitrogen, akibat kekeringan maka akan menekan penambatan nitrogen yang disebabkan oleh hilangnya kelembaban dari bintil dan terhambatnya fotosintesa.

7.2.2 Domba Ekor Gemuk a. Ketersediaan Hijauan Pakan Kegiatan kajian ini memanfaatkan brangkasan kacang tanah yang merupakan limbah tanaman kacang tanah sesudah diambil kacang tanahnya. Saat musim panen ketersediaan brangkasan kacang tranah cukup berlimpah. Brangkasan kacang tanah dikeringkan dan diangkut ke kandang untuk disimpan sebagai pakan tambahan. Produksi brangkasan kacang tanah saat panen di desa Porame,

kecamatan Marawola mencapai 4,44 ton/ha. Kebun bibit hijauan pakan berupa tanaman gamal dan desmanthus belum dapat dipanen karena terlambat ditamanam sementara dalam proses pertumbuhan.

19

Keterlambatan

penanaman

hijauan

pakan

disebabkan

musim

kering

berkepanjangan. Hasil pengamatan dilapangan, pertumbuhan gamal cukup baik karena pada akhir Nopember 2004 sudah turun hujan. Kebun bibit ini diperuntukan penyediaan stek gamal dan benih desmanthus untuk dikembangkan nantinya pada dilahan masing-masing petani. Hijauan pakan gamal dan desmanthus ini sebagai pakan tambahan alternatif apabila tanaman kacang tanah belum panen.

b. Produktivitas Ternak DEG Produktivitas DEG dilihat dari pertambahan bobot badan harian (PBBH), berdasarkan pengamatan selama pengkajian terjadi cenderung peningkatan PBBH. Namun pada saat tertentu juga terjadi penurunan bobot badan DEG. Hal ini

disebabkan oleh musim kemarau yang panjang sehingga ketersediaan rumput di padang penggembalaan sangat terbatas, dengan demikian tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok bagi DEG. Hasil penimbangan bobot badan ternak DEG selama 4 bulan disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Bobot Badan Akhir DEG selama Pengkajian (4 bulan) di Desa Porame Kec. Marawola DEG Bobot badan (kg) Pola Petani 1 2 3 4 5 6 Rataan 16,0 25,0 17,0 13,0 24,0 13,0 18,0 Pola Introduksi 26,2 20,3 27,0 17,7 23,0 22,3 22,8

Berdasarkan hasil pengamatan selama empat bulan (tabel 4) menunjukkan bahwa rataan bobot badan pola petani terjadi penurunan bobot badan yakni 18,0 kg atau turun 0,9 kg, sedangkan pola introduksi terjadi kenaikkan yakni 22,8 kg atau naik 3,9 kg. Rataan bobot badan akhir pola introduksi lebih tinggi 4,8 kg

20

dibandingkan dengan pola petani. Adanya perbedaan ini disebabkan pada pola petani hanya digembalakan di padang penggembalaan dimana ternak DEG hanya mengkonsumsi rumput alam. Hal ini diperburuk dengan ketersediaan rumput alam yang sangat terbatas di padang penggembalaan karena musim kemarau berkepanjangan. Sedangkan pola introduksi, selain digembalakan di padang

penggembalaan untuk mengkonsumsi rumput alam (pakan dasar) juga diberikan pakan tambahan berupa brangkasan kacang tanah, dedak padi dan bungkil kelapa. Rendahnya rataan bobot badan akhir juga dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pakan yang dikonsumsinya. Pola petani, DEG hanya mengkonsumsi rumput alam dengan kandungan protein kasarnya rendah yaitu 3,0% (Lab. Analitik, Fak. Pertanian, Untad, 2003), sedangkan menurut Tillman et al. (1986) bahwa kebutuhan protein kasar pada ternak domba saat pertumbuhan dengan rataan bobot badan 21,55 kg membutuhkan protein kasar sebesar 15,58%. Kandungan protein kasar pakan

pakan pola introduksi terdiri dari brangkasan kacang tanah, dedak padi dan bungkil kalapa dapat memenuhi kebutuhan protein kasar pada ternak domba saat pertumbuhan (pada Tabel 5). Tabel 5. Hasil Analisis Kandungan Nutrisi Pakan yang Dikonsumsi DEG selama pengkajian di desa Porame Kec. Marawola Kandungan Nutrisi (%) Jenis Hijauan Pakan - Rumput alam* - Brangkasan kacang tanah* - Dedak padi* - Bungkil kelapa**
Keterangan :
*

Bahan Kering 47,9 91,1 94,9 92,7

Protein Kasar 3,0 14,4 15,2 17,9

Serat Kasar 14,3 13,8 13,2 15,5

Dianalisis di Lab. Nutrisi dan Makanan Ternak Fak. Pertanian, Univ. Tadulako, Palu, 2003. ** Dianalisis di Lab. Nutrisi dan Makanan Ternak Fak. Pertanian, Univ. Tadulako, Palu, 2004.

PBBH pada pola intoduksi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pola petani yang dapat dilihat pada tabel 6.

21

Tabel 6. Rataan Bobot Badan Awal dan PBBH Selama Pemberian Pakan Tambahan Periode September-Desember 2004
Bobot badan (kg) Bobot awal (kg) Penimbangan (minggu setelah perlakuan) September 2 4 Oktober 6 8 November 10 12 Desember 14 16

Pola

Petani

18,9

18,2

16,5

18,7

18,2

18,3

17,5

18,7

18,0

Introduksi

18,9

20,2

19,9

20,2

20,6

20,7

20,2

21,5

22,8

Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa PBBH secara umum cenderung meningkat pada ternak DEG yang diberikan pakan tambahan (pola introduksi), sedangkan tanpa diberikan pakan tambahan (pola petani) mengalami penurunan bobot badan. Pada minggu ke 4 dan 12 setelah pengkajian semua pola mengalami penurunan bobot badan. Hal ini disebabkan pada awal pengkajian (bulan

September 2004) dan minggu ke 10 (bulan nopember 2004) tidak turun hujan sehingga terjadi stagnasi pertumbuhan vegetasi rumput alam di padang penggembalaan. Keringan ini juga mengakibatkan penurunan kualitas hijauan Kondisi ini

pakan karena rumput mengering dan terjadi pengayuan.

mengakibatkan DEG yang mengkonsumsi rumput alam di padang penggembalaan mengalami kekurangan gizi untuk hidup pokok dan produksi. Pemberian pakan tambahan pada kajian ini memperlihatkan produktivitas yang lebih baik dibandingkan tanpa pemberian pakan tambahan. Rataan PBBH pada kajian ini untuk pola introduksi 37,8 g/ekor, sedangkan pola petani mengalami penurunan bobot badan harian yakni 7,5 g/ekor. Terjadinya penurunan bobot badan harian pada DEG pola patani ini diakibatkan oleh terbatasnya kualitas dan jumlah hijauan pakan yang dikonsumsi. Hasil survei Munier (2003) melaporkan bahwa ketersediaan hijauan pakan di desa Porame, kecamatan Marawola, rendah hanya 1.516,2 kg/ha/tahun terdiri dari rumput alam 1.472,4 kg/ha/tahun dan leguminosa 43,8 kg/ha/tahun, lebih tinggi di desa Pewunu, kecamatan Marawola mencapai 4.084,8 kg/ha/tahun terdiri dari rumput alam 4.069,2 kg/ha/tahun dan leguminosa

22

15,6 kg/ha/tahun. Ketersediaan hijauan pakan di desa Porame ini hanya mampu menampung 2 ekor ternak DEG dengan rataan bobot badan 17,5 kg/ekor. DEG yang digembalakan di padang penggembalaan hanya mengkonsumsi rumput alam yang ketersediaannya di padang penggembalaan terbatas dan kandungan nutrisinya rendah. DEG yang hanya mengkonsumsi rumput alam saja mengalami kekurangan unsur-unsur nutrisi yang dibutuhkan untuk hidup pokok dan produksi. Kalaupun DEG mengkonsumsi jenis leguminosa seperti Desmodium triflorum jumlah sangat terbatas tersedia di padang penggembalaan karena jenis leguminosa ini termasuk leguminosa yang memproduksi bahan organik yang rendah. PBBH pada DEG yang diberikan pakan tambahan ini lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya di Lembah Palu. Munier et al. (2003) melaporkan bahwa rataan PBBH DEG betina yang digembalakan dan berikan pakan tambahan dalam bentuk bahan kering yakni brangkasan kacang tanah 500 g/ekor/hari + dedak padi 2% dari bobot badan badan ternak DEG yaitu 35,9 g/ekor. Tingginya PBBH DEG pada kajian ini dibandingkan dengan PBBH DEG hasil penelitian sebelumnya disebabkan oleh perbedaan susunan pakan tambahan yang diberikan, dimana pada pengkajian ini ditambahkan bungkil kelapa pada pakan tambahannya sebanyak 100 g/ekor/hari. Jumlah brangkasan kacang tanah (bahan kering) yang diberikan pada pengkajian ini sebanyak 500 g/ekor/hari cukup untuk memenuhi kebutuhan protein kasar bagi ternak DEG karena hasil penelitian sebelumnya juga diberikan 500 g/ekor/hari dengan PBBH ternak DEG relatif sama. Rataan bobot akhir pada pola introduksi masing-masing 22,8 kg, hal ini menunjukkan terjadi kenaikkan bobot badan selama 4 bulan masing-masing 3,9 kg. Bobot badan pada pola introduksi diatas sudah memenuhi syarat untuk bobot badan ideal domba dewasa karena menurut Haryanto et al. (1997) bahwa bobot badan domba dewasa umumnya berkisar 20 30 kg. Bobot badan akhir pada pola

peternak belum mencapai bobot badan domba dewasa yang ideal.

c. Konsumsi Pakan Tambahan Harian Pola petani, DEG tidak diberikan pakan tambahan didalam kandang hanya mengkonsumsi rumput alam pada saat digembalakan di padang penggembalaan.

23

Pola introduksi diberikan pakan tambahan pada pagi hari 200 g/ekor/hari dedak padi + 100 g/ekor/hari bungkil kelapa, kemudian dilanjutkan pemberian 500 g/ekor/hari brangkasan kacang tanah dalam bentuk bahan kering. Kebutuhkan pakan dasar berupa rumput alam dikonsumsi di padang penggembalaan. Berdasarkan pengamatan selama kajian berlangsung, pemberian pakan tambahan pada pola introduksi dapat dihabiskan oleh DEG. Penambahan porsi pakan

ditingkatkan sesuai dengan terjadinya kenaikkan bobot badan DEG.

7.3. Aspek Sosial, Ekonomi, Lingkungan dan Kebijakan a. Aspek sosial ekonomi Hasil pengamatan, secara umum petani di desa Porame dihadapkan pada kendala modal dan tingkat pendidikan yang rendah. Tidak adanya unit simpan pinjam di daerah ini menyebabkan petani sulit dalam mengembangkan usahataninya dan kadang-kadang karena hal ini mereka tidak melakukan aktivitas usahatani. Para petani kebanyakan menjadi buruh tani untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Begitupun dengan lembaga penyuluhan (Balai Penyuluh Pertanian) kurang memberikan bimbingan-bimbingan kepada petani sehingga tingkat pengetahuan akan teknologi suatu komoditas yang akan mereka usahakan masih sangat tradisonal/konvensional. Animo masyarakat tentang suatu teknologi sangat besar. Hal ini terlihat saat dilaksanakannya pelatihan di tingkat petani. Pertanyaan-pertanyaan tentang suatu masalah sangat antusias mereka lakukan. Dampak masuknya teknologi budidaya kacang tanah dan pemeliharaan DEG semi intensif sangat dirasakan manfaatnya oleh petani. Banyak dari petani non koperator sudah menggunaan pupuk kandang pada lahan yang akan ditanaminya. Bukan terbatas hanya pada kacang tanah, juga pada komoditi lain. Begitupun penggunaan brangkasan kacang tanah sebagai salah satu sumber pakan ternak. Selama ini, brangkasan banyak yang terbuang percuma tanpa termanfaatkan. Namun setelah intoduksi teknologi, brangkasan kacang tanah sudah dimanfaatkan pada ternak (domba, sapi dan kambing) dengan sistem dilayukan. Setiap ada yang memanen kacang tanah, maka para peternak

berbondong-bondong mengambil brangkasannya. Begitupun dengan penanaman

24

hijauan pakan, banyak petani yang tidak mempunyai ternak menjadikan pohon gamal sebagai tanaman pagar, khususnya di lahan kering. Pola pemberian pakan pada ternak juga sudah mulai berubah, yakni tidak sepenuhnya lagi bergantung pada rumput alam. Perbandingan antara pola petani dengan pola introduksi dalam hal biaya, penerimaan dan keuntungan untuk usaha DEG, usahatani kacang tanah dan integrasi DEG dan tanaman kacang tanah, dapat dilihat pada Tabel 7,8,9 dan 10. Tabel 7. Struktur Biaya dan Pendapatan Bersih (R/C) dari Usaha ternak Betina Pola Petani Per kandang 6 Ekor Selama 120 hari (Periode 6 Bulan) Perameter Biaya (Rp) A. Pengeluaran 1. Biaya Tetap: - Biaya penyusutan kandang per 6 bulan 47.170 2. Biaya Produksi: - Bakalan ternak DEG betina muda 6 ekor x @ Rp 300.000,1.800.000 - Tenaga kerja Rp 7.500 ( hari) x 120 hari 900.000 -----------Jumlah pengeluaran 2.747.170

B. Penerimaan - DEG dewasa (siap kawin) 6 ekor x @ Rp 525.000,C. Pendapatan - Pendapatan bersih periode (6 bulan) R/C

3.150.000 400.830 1,15

25

Tabel 8. Struktur Biaya dan Pendapatan Bersih (R/C) dari Usaha ternak Betina Pola Introduksi Per kandang 6 Ekor Selama 120 hari (Periode 6 Bulan) Perameter Biaya (Rp) A. Pengeluaran 1. Biaya Tetap: - Biaya penyusutan kandang per 6 bulan 63.850 2. Biaya Produksi: - Bakalan ternak DEG betina muda 6 ekor x @ Rp 300.000,1.800.000 - Pakan: a. Brangkasan kacang tanah selama 4 bulan 360 kg, harga Rp 250/kg 90.000 b. Dedak padi 0,2 kg x 6 ekor x 120 hari x Rp 500/kg 72.000 c. Bungkil kelapa 0,1 kg x 6 ekor x 120 hari x Rp 950/kg 64.400 d. Garam 2.500 - Obat-obatan/Vitamin 16.875 - Tenaga kerja Rp 7.500 ( hari) x 120 hari 900.000 -----------Jumlah pengeluaran 3.009.625

B. Penerimaan - DEG dewasa (siap kawin) 6 ekor x @ Rp 675.000,C. Pendapatan - Pendapatan bersih periode (6 bulan) R/C

4.050.000 1.040.375 1,35

Pada tabel 7 diatas, pola petani menunjukkan R/C hanya 1,15 lebih rendah disbanding pola introduksi yaitu 1,35 (table 8), berarti lebih layak diusahakan dengan sistem semi intensif (pola introduksi) dibandingkan pola petani. Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga jual DEG betina yang dipengaruhi oleh bobot badan. Bobot badan DEG dibawah 20 kg termasuk kurus yang dapat dilahat dari penampilan luar sehingga penaksiran harga dibawah Rp 600.000,-. Bobot badan DEG diatas 20 kg memperlihatkan penampilan bagus dan agak gemuk yang ditandai dengan tertutupnya tulang pada bagian belakang badan DEG, sehingga harga jualnya lebih tinggi yaitu diatas Rp 600.000,-

26

Tabel 9. Struktur Biaya dan Pendapatan Bersih (B/C) dari Usahatani Kacang Tanah Per musim tanam di Desa Porame Kec. Marawola Kab. Donggala pada MK. 2004 Komponen Biaya Biaya (Rp) Volume Pola Pola Pola Pola petani introduksi petani introduksi A. Pengeluaran 1.080.000 640.000 - Benih 135 kg 80 kg - Pupuk : 70.000 50 kg Urea 131.250 75 kg SP-36 50 kg 115.000 KCl 400.000 2t Pupuk kandang - Pestisida 380.000 bervariasi - Herbisida - Tenaga kerja (HOK) 96.000 72.000 6 HOK 8 HOK Pengolahan tanah 120.000 10 HOK 96.000 8 HOK Penanaman 6 HOK Pemupukan 144.000 96.000 12 HOK 8 HOK Penyiangan Pengendalian 72.000 6 HOK hama & Penyakit 96.000 72.000 6 HOK 8 HOK Panen 180.000 144.000 15 HOK 12 HOK Pasca Panen 2.444.000 1.560.000 Jumlah Pengeluaran B. Penerimaan 401,8 kg 800,5 kg 2.611.700 5.203.250 C. Pendapatan bersih 1.051.700 2.759.250 R/C 1,67 2,13 B/C 0,67 1,13 Catatan : Harga/biaya : - Benih :Rp. 8.000/kg - Upah tenaga kerja : Rp. 12.000/HOK - Upah bajak dan garu : Rp. 45.000/hari - Jual kacang tanah pipil Rp. 6.500/kg Biaya tidak termasuk dengan alat dan penyusutan alat - Pestisida bervariasi, tergantung jenis herbisidanya. Tabel 9 di atas jelas terlihat perbedaan pendapatan bersih yang diperoleh antara pola petani dan introduksi. Pola introduksi memperoleh keuntungan lebih besar dibanding dengan pola petani, yakni Rp. 2.759.250,-/musim tanam dengan nilai R/C 2,13 dan B/C 1,13. Sedangkan pola petani hanya memperoleh

27

keuntungan Rp. 1.051.700/musim tanam dengan nilai R/C 1,67 dan B/C 0,67. Ini berarti pola introduksi layak untuk dikembangkan di daerah Porame. Rendahnya penerimaan yang diterima petani dengan menggunakan teknologi pola petani diakibatkan oleh banyak faktor, yakni tingginya penggunaan benih, tidak diberikannya pupuk (anorganik dan organik) pada tanaman, kurangnya

pemeliharaan dan kalaupun dilakukan cenderung seadanya.

Hal ini akan

berdampak langsung pada produksi tanaman. Hasil analisis tanah yang diambil sebelum kajian memberikan informasi status hara tanah dalam keadaan rendah dan sangat rendah. Ini berarti bahwa dalam berusahatani kacang tanah ataupun tanaman lain, penambahan unsur hara ke dalam tanah sangat dianjurkan agar tanaman dalam tumbuh dan berkembang dengan optimal. Begitupun aspek pemeliharaan tanaman, karena cenderung seadanya maka tingkat serangan hama dan penyakit terus meningkat, sehingga kadangkala petani memanen kacang tanahnya kecewa karena hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan input yang diberikan (rugi). Pada tabel 10 dibawah diuraikan analisa usahatani terintegrasi DEG dengan kacang tanah. Tabel 10. Struktur Biaya dan Pendapatan Bersih (R/C) dari Integrasi Usaha ternak DEG dan Kacang Tanah Per Musim Tanam (periode 6 bulan) Usahatani/ternak Pengeluaran Penerimaan Pendapatan (Rp) (Rp) (Rp) - Usaha DEG 3.009.625 4.050.000 1.040.375 - Usahatani Kacang Tanah Total Pendapatan - Pendapatan bersih per musim - Pendapatan bersih per bulan R/C 2.444.000 5.453.625 5.203.250 9.253.250 2.759.250 3.799.625 3.799.625 633.270 1,70

Tabel 10 diatas menunjukkan R/C dengan sistem integrasi usaha ternak DEG dan usahatani kacang tanah lebih tinggi dibandingkan apabila petani hanya memelihara DEG saja atau hanya menanam kacang tanah saja dengan pola petani tanpa introduksi paket teknologi.

28

Kajian

terhadap

lingkungan,

baik

lingkungan

perumahan

maupun

lingkungan lahan memberikan nilai positif, artinya sangat menguntungkan bagi masyarakat sekitar, utamanya petani. Kotoran ternak sudah tidak berserakan di dalam kandang karena digunakan untuk sumber pupuk kandang bagi tanaman dan berdampak pada kesehatan ternak dan manusia. Begitupun dengan limbah

pertanian, sedikit sekali terlihat limbah pertanian tertumpuk di lahan karena sudah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik itu sebagai sumber hijauan pakan ternak maupun bahan pembuatan pupuk organik (kompos).

b. Aspek Kebijakan Dari hasil kajian menggambarkan bahwa untuk pengembangan konsep sistem usahatani lahan kering yang beriklim kering seyogyanya dilakukan secara terpadu dan memperhatikan aspirasi masyarakat, sehingga mendorong partisipasi masyarakat untuk menerapkan manajemen usahatani lahan kering yang dapat meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Faktor pendukung keberhasilan tersebut salah satunya adalah dibutuhkannya penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro di desa Porame agar usahatani dapat dilakukan secara optimal. Selain itu adanya pembangunan yang sifatnya aspiratif dan partisipatif telah memberikan indikasi yang positif bahwa 1) telah memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa pemanfaatan lahan kering harus dilakukan secara terpadu; 2) pengembangan pelatihan dan penyuluhan yang sesuai karena terkait langsung dengan kebutuhan petani, 3) aspirasi masyarakat tersalurkan dan secara moral mereka akan bertanggung jawab melaksanakan pola-pola pembinaan sistem usahatani lahan kering yang beriklim kering.

8. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dari hasil kajian yang dilakukan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

29

a. Secara umum penerapan teknologi dengan pola introduksi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pola petani. Hasil kajian yang diperoleh untuk kacang tanah produksinya mencapai 800,5 kg/ha sedangkan pola petani hanya 401,8 kg/ha. Kajian DEGpun terjadi

pertambahan bobot badan untuk pola introduksi lebih besar dibandingkan pola peternak yakni rata-rata kenaikan 3,9 kg/ekor, sedangkan pola petani cenderung menurun 0,9 kg/ekor. Untuk rataan bobot badan akhir, pola introduksi 22,8 kg/ekor dengan rataan PBBH 37,8 g/ekor per hari, sedangkan pola petani terjadi penurunan bobot badan menjadi 18,0 dengan rataan penurunan bobot badan harian 7,5 g/ekor. b. Aspek sosial ekonomi bahwa petani dihadapkan pada kendala modal dan tingkat pendidikan yang rendah, tidak adanya unit simpan pinjam, lembaga penyuluhan (BPP) kurang memberikan bimbingan-bimbingan ke petani sehingga tingkat pengetahuan akan teknologi suatu komoditas yang akan mereka usahakan masih sangat tradisonal/konvensional, dan animo masyarakat tentang suatu teknologi sangat besar. Dampaknya, banyak dari petani non koperator sudah menggunaan pupuk kandang untuk tanamannya. Begitupun penggunaan brangkasan kacang tanah sebagai salah satu sumber pakan ternak. Pola pemberian pakan juga sudah mulai berubah, yakni tidak sepenuhnya lagi bergantung pada rumput alam. Pendapatan bersih usaha DEG dengan pola introduksi Rp. 1.040.375,-/6 bulan dan pola petani hanya Rp. 400.830,-/6 bulan dimana R/C masing-masing 1,35 dan 1,15.

Pendapatan bersih petani kacang tanah dengan pola introduksi Rp. 2.759.250,-/ha/musim tanam dan pola petani Rp. 1.051.700,-/ha/musim tanam dimana B/C masing-masing 1,13 dan 0,67. Pendapatan bersih usahatani integrasi DEG dan kacang tanah dengan pola introduksi Rp. 3.799.625,-/6 bulan atau Rp 633.270,- dengan R/C 1,70. c. Aspek lingkungan, memberikan nilai positif (rumah dan lahan). d. Aspek Kebijakan, untuk pengembangan konsep sistem usahatani lahan kering yang beriklim kering seyogyanya dilakukan secara terpadu dan memperhatikan aspirasi masyarakat, penumbuhan Lembaga Keuangan

30

Mikro, Selain itu adanya pembangunan yang sifatnya aspiratif dan partisipatif telah memberikan indikasi yang positif bahwa 1) telah memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa pemanfaatan lahan kering harus dilakukan secara terpadu; 2) pengembangan pelatihan dan penyuluhan yang sesuai karena terkait langsung dengan kebutuhan petani, 3) aspirasi masyarakat tersalurkan dan secara moral mereka akan bertanggung jawab melaksanakan pola-pola pembinaan sistem usahatani lahan kering yang beriklim kering.

DAFTAR PUSTAKA Adiati, U., Subandriyo, D. Yulistiani dan B. Tiesnamurti. 2002. Tampilan Reproduksi Domba Jantan Lepas Sapih Komposit Sumatra dan Persilangan Barbados pada Tingkat Pakan yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Ciawi-Bogor 30 September 1 Oktober 2002 Pustlitbangnak, Bogor. Hal. 174-177. Batubara, L.P., J. Sianipar, P. Horne and K. Pond. 2002. Growth Responses of Ram Lambs from Four Sheep Breed Types to Diets Varying in Energy Content. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, CiawiBogor 30 September 1 Oktober 2002 Pustlitbangnak, Bogor. Hal. 123-127. BPS Sulteng. 2000. Statistik Luas Lahan menurut Penggunaannya Sulawesi Tengah 2000. BPS Sulteng. Palu. Beriajaya, J. Partoutomo, R. Soetedjo dan sukarsih. 1982. Fluktuasi Jumlah Telur Cacing Nematoda pada Domba Rakyat di Daerah Cariu, Bogor. Proc. Seminar Penelitian Peternakan, Cisarua, 8-11 Pebruari 1981. Puslitbangnak, Bogor. Hal. 468-477. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan propinsi Sulawesi Tengah. 2001. Laporan Tahunan 2000 Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Sulawesi Tengah. Fagi,A.M., Soeripto, Badruddin, Y.Dai, Hendiarto, Dam Dam, dan Subandi. 1993. Potensi dan Peluang Pengembangan serta Strategi Penelitian Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Fitter, A.H dan Hay, R.K.M. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gamah Mada University Press. Yogyakarta. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

31

Haryanto, B. I. Inounu dan I.K. Sutama. 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi Produksi Kambing dan Domba. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 7-8 Januari 1997. Puslitbangnak, Bogor. Hal. 112-131. Hidajati, N., M. Martawidjaja dan I. Inounu. 2002. Peningkatan Energi Ransum untuk Pertumbuhan Domba Persilangan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Ciawi-Bogor 30 September 1 Oktober 2002 Pustlitbangnak, Bogor. Hal. 202-205. Irianto, G., H. Sosiawan dan S. Karama. 1998. Strategi Pembangunan Pertanian Lahan Kering untuk Mengantisipasi Persaingan Global (In.) Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Pertanian . Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal. 77-92. Laboratorium Analitik, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako. 2003. Laporan Analisa Protein Kasar, Serat Kasar dan Bahan Kering. Laboratorium Analitik, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako. 2004. Laporan Analisa Protein Kasar, Serat Kasar dan Bahan Kering. Lebdosukoyo, S. 1982. Pemanfaatan Limbah Pertanian untuk Menunjang Kebutuhan Pakan Ruminansia. Proc. Pertemuan Ruminansia Besar, Cisarua, 6-9 Desember 1982. Puslitbangnak, Bogor. Hal. 78-84. Martawidjaya, M., A. Wilson dan M. Rangkuti. 1993. Pengaruh Frekwensi Pemberian Gliricidia sebagai Pakan Tambahan Pada Rumput Gajah terhadap Performan Domba. Ilmu dan Peternakan. Vol. 6:15-17. Mathius, I.W., J.E. Van Eys, and M. Rangkuti. 1984. Supplementation of Napier Grass with Tree Legume, Effect on Intake, Digestibility and Weight Gain of Lambs. Working Paper. No. 33. Balitbangnak, Puslitbangnak, Bogor. Munier, F.F., D. Bulo, Syafruddin dan Femmi N.F. 2003. Pertambahan bobot badan domba ekor gemuk (DEG) yang dipeliharan secara semi intensif. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner di Auditorium Balai Penelitian Veteriner, Bogor 29-30 September 2003. Rangkuti, M., H. Pulungan, and J.E. Van Eys. 1985. Effect of Intermittent Feeding Gliricidia Maculata on the Utilization of Napier Grass by Growing Sheep and Goats. Working Paper. No. 56. Balitnak, Puslitbangnak, Bogor.

32

Soehadji. 2002. Kebutuhan Inovasi Teknologi Peternakan dan Veteriner dalam Menunjang Agribisnis Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteiner, Ciawi-Bogor 30 September-1 Oktober 2002. Puslitbangnak, Bogor. Sumarno. 1993. Status kacang tanah di Indonesia (In). Monografi Balittan Malang No. 12. Balittan Malang. Kacang tanah. Kasno, A.A. Winarto, dan Sunardi (Eds.). Malang. Hal 1-8. Supriati. K., I.W. Mathius, I. Sutikno, 1997. Budidaya Campuran Gliricidia dengan Rumput Raja. Inovasi Teknologi Seperempat Abad Badan Litbang Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Suryantini. 1993. Pembintilan dan Penambatan Nitrogen pada Tanaman Kang Tanah. Dalam Monograf Kacang Tanah. Balittan Malang. Hal. 138 152. Suwardjo, H. 1993. Rakitan Teknologi Menunjang Usahatani untuk Mikro DAS dan TDM. Pemaparan Hasil Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis DIY. Proyek Bangun Desa II Komponen 8-YUADS. Syafruddin, T. Rumajar, J.G. Kindangen, Rudi Aksono, A. Negara, D. Bulo dan J. Limbongan, 1999. Analisis Zona Agroekologi (ZAE) Propinsi Sulawesi Tengah (Bio-Fisik). Laporan hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru.76 halaman. Syafruddin, A.N. Kahuripan, Y. Langsa, R.H. Anasiru, A. Ardjanhar, D. Mamesah, H. Purwaningsih dan Mulyadi D.M. 2003. Penyusunan Peta Farming System Zone (FSZ) kec. Biromaru Kab. Donggala Skala 1 : 50.000. Laporan Hasil Penelitian BPTP Sulteng. Palu. Taufiq, A., dan Sudaryono. 1998. Pemupukan Belerang (S) dan Bahan Organik pada Kacang Tanah Di Tanah Mediteran (Alfisol) Bereaksi Basa (In). Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 17 No. 1 1998 (Eds.). Puslitbangtan. Bogor. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo dan S. Lebdosoekojo. 1986. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

33

RINGKASAN LAPORAN TAHUNAN 2004 PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI LAHAN KERING DATARAN RENDAH DI LEMBAH PALU SULAWESI TENGAH
F.F. Munier, Saidah, D. Bulo, Chatijah, Syafruddin, Muh. Rusdi, Asni Ardjanhar, A.N. Kairupan, Yacob Bunga, Moh. Takdir, Aslan Lasenggo

Lahan kering dataran rendah di Sulawesi Tengah menempati proporsi 77% dari 1.036.000 ha total luas lahan kering yang ada dan tersebar di seluruh wilayah kabupaten, sedangkan luas kawasan lahan kering dataran rendah khsususnya Lembah Palu adalah seluas 38.694 ha. Arahan pengembangan komoditas unggulan di lahan kering dataran rendah menurut analisis zona agroekologi di Sulawesi Tengah adalah ternak ruminansia kecil, ternak unggas, palawija dan hortikultura. Masalah yang dihadapi dalam pemeliharaan DEG antara lain sistem penggembalaan ternak dilakukan di padang penggembalaan dalam satu kawanan yang umumnya masih memiliki hubungan darah dekat satu sama lainnya. Selain DEG, kacang tanah merupakan komoditi yang umum dikembangkan di Lembah Palu namun produksinya 1,01 t/ha. Apabila dikelola dengan baik, produksi kacang tanah dapat mencapai 5 t/ha polong kering. Penyebab rendahnya produksi kacang tanah adalah rendahnya tingkat penerapan teknik budidaya yang dilakukan petani, terutama penggunaan varietas dan pemupukan. Tujuan umum yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan model sistem usahatani yang menguntungkan dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian di Lembah Palu. Tujuan jangka pendek (2004) adalah; (1) mendapatkan paket teknologi pemeliharaan DEG, (2) mendapatkan paket teknologi budidaya tanaman kacang tanah, (3) mendapatkan paket teknologi integrasi DEG dan kacang tanah. Pengkajian ini didahului dengan PRA dan dilanjutkan dengan kajian lapangan yang mengamati data teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan serta kebijakan. Perlakuan yang digunakan sebanyak dua, yakni pola petani dan pola introduksi (teknologi anjuran). Hasil pengkajian sistem usahatani lahan kering dataran rendah di Lembah Palu adalah; untuk kacang tanah produksinya mencapai 800,5 kg/ha sedangkan pola petani hanya 401,8 kg/ha. Hasil ikutan dari panenan tanaman kacang tanah berupa brangkasan kacang tanah yaitu 4,44 ton/ha yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan untuk DEG. Rataan bobot badan akhir pada pola petani terjadi penurunan yakni 18,0 kg/ekor atau turun 0,9 kg, sedangkan pola introduksi terjadi kenaikkan menjadi 22,8 kg/ekor atau naik 3,9 kg. Bobot badan DEG untuk pola petani terjadi penurunan yakni 7,5 g/ekor/hari, sedangkan pola introduksi pertambahan bobot badan harian (PBBH) adalah 37,8 g/ekor. Aspek sosial ekonomi; petani dihadapkan pada kendala modal dan tingkat pendidikan yang rendah, tidak adanya unit simpan pinjam, lembaga penyuluhan (Balai Penyuluhan Pertanian) kurang memberikan bimbingan-bimbingan kepada petani, dan animo masyarakat tentang suatu teknologi sangat besar. Dampak dari kajian ini adalah; banyak dari petani non koperator sudah menggunaan pupuk kandang, pemanfaatan brangkasan kacang tanah sebagai salah satu sumber pakan ternak, dedak padi hasil ikutan penggilingan padi dibawa pulang petani untuk diberikan pada ternaknya, pemberian pakan berubah yakni tidak sepenuhnya lagi bergantung pada rumput alam. Pendapatan bersih usaha DEG dengan pola introduksi Rp. 1.040.375,-/6 34

bulan dan pola petani hanya Rp. 400.830,-/6 bulan dimana R/C masing-masing 1,35 dan 1,15. Pendapatan bersih petani kacang tanah dengan pola introduksi Rp. 2.759.250,-/ha/musim tanam dan pola petani Rp. 1.051.700,-/ha/musim tanam dimana B/C masing-masing 1,13 dan 0,67. Pendapatan bersih usahatani integrasi DEG dan kacang tanah dengan pola introduksi Rp. 3.799.625,-/6 bulan atau Rp 633.270,-/bulan dengan R/C 1,70. Aspek lingkungan memberikan nilai positif (rumah dan lahan). Aspek kebijakan, pengembangan konsep sistem usahatani lahan kering yang beriklim kering dilakukan secara terpadu dan memperhatikan aspirasi masyarakat, penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro, selain itu adanya pembangunan yang sifatnya aspiratif dan partisipatif telah memberikan indikasi yang positif bahwa 1) telah memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa pemanfaatan lahan kering harus dilakukan secara terpadu; 2) pengembangan pelatihan dan penyuluhan yang sesuai karena terkait langsung dengan kebutuhan petani, 3) aspirasi masyarakat tersalurkan dan secara moral mereka akan bertanggung jawab melaksanakan pola-pola pembinaan sistem usahatani lahan kering yang beriklim kering.

35

Anda mungkin juga menyukai