Anda di halaman 1dari 17

Nama : Dina Kamila

NPM : 2105101050061
MK : Sistem Pertanian Terpadu

REVIEW PAPER 1

Judul Usaha Pertanian Pada Lahan Kering Marginal Di Kareka


Nduku Sumba Barat
Paper Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian
Penulis Yohanis Ngongo dan Yohanes Leki Seran
Reviewer Dina Kamila
Tanggal 22 September 2023

1. Pendahuluan
Masyarakat tradisional lahan kering desa Kareka Nduku dan masyarakat lahan kering
di pulau Sumba pada umumnya bermukim pada wilayah pegunungan atau berbukit dan
umumnya melakukan aktifitas pertanian pada lahan miring. Usaha pertanian pada lahan
miring seperti ini, khususnya untuk tanaman pangan semusim akan sangat rentan pada
masalah erosi dan penurunan kesuburan lahan. Sistem pertanian beringsut berotasi
dimaksudkan untuk memberikan waktu cukup bagi lahan pertanian yang tingkat
produktivitasnya telah menurun untuk recovery secara alamiah. Penduduk yang terus
mertambah tidak memungkinkan lagi sebagian besar kelompok masyarakat di pulau Sumba,
termasuk di desa Kareka Nduku untuk terus mempertahankan sisitem ini, sementara dilain
pihak pemenuhan kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada
kondisi ini, masyarakat Kareka Nduku mengembangkan suatu sistem pertanian menetap
yang ramah lingkungan dengan tetap mempertahankan tingkat produktivitas lahan.

2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah paper ini mengkaji proses adaptasi masyarakat lahan
kering di Desa Kareka Nduku. Walaupun gambaran umum tentang usaha pertanian pada
lahan marginal dianggap suram, strategi adaptasi masyarakat Kareka Nduku menghasilkan
suatu gambaran yang berbeda dengan masyarakat lahan kering marginal lainnya. Proses
adaptasi ini kiranya sebagai gambaran bahwa suatu masyarakat local dapat menemukan jalan
kompromi terbaik untuk tetap survive pada lingkungan ekosistem mereka. Paper ini juga
bertujuan untuk memahami strategi adaptasi pengelolaan lahan kering/marginal yang
dinominasi lahan miring dan berbatu oleh masyarakat lokal Desa Kareka Nduku, Kecamatan
Tana Righu – Kabupaten Sumba Barat.

3. Metode dan Lokasi


Kajian ini di lakukan di Desa Kareka Nduku, Kecamatan Tana Righu – Kabupaten
Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Respondent dalam kajian ini adalah
semua petani yang terlibat dalam kegiatan model Kawasan Rumah Pangan Lestasri Desa
Kareka Nduku dan beberaka tokoh kunci masyarakat Desa. Pengambilan sampel dilakukan
secara sengaja berdasarkan keterlibatan mereka dalam kegiatan m-KRPL dan sisanya
merupakan tokoh kunci dan petani yang menerapkan tradisional ternak kambing dan
tanaman.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan petani respondent
sebanyak 20 orang dan observasi langsung di lapang pada Tahun 2014. Data sekunder
diperoleh dari MOnografi Desa, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sumba Barat
dan dari BPS Kecamatan Tana Righu dan BPS Kabupaten Sumba Barat. Data yang
dikumpulkan meliputi keanegaragaman usahatani, keanekaragaman komoditas yang
diusahakan, karakteristik respondent, data produksi, input produksi, harga komoditas dan
pola penghidupan. Analisis usahatani difokuskan pada analisis usaha ternak kambing dan
usahatani pangan pada lahan ladang.

4. Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Wilayah
Desa Kareka Nduku merupakan salah satu desa dari 18 Desa di wilayah Kecataman
Tana Righu. Luas wilayah Desa 11,88 km2 atau sekitar 9% dari luas wilayah kecamatan dan
lebih dari separuh wilayah berada pada kemiringan 15 – 40 %. Jumlah penduduk Tahun
2015 adalah 1303 jiwa dan kepadatan penduduk 117 jiwa/km2. Wilayah Desa kareka Nduku
dicirikan oleh topografi wilayah yang berbukit dan berbatu. Sedikit sekali wilayah datar yang
sesuai untuk pertanian pangan semusim. Pada kondisi wilayah yang bergunung dan berbatu
seperti ini sesungguhnya hanya sesuai untuk kehutananan atau tanaman tahunan.
Pengelolaan Lahan Pertanian dan Adaptasi Kerentanan Pangan
Wilayah datar di Desa Karena Nduku diperkirangan kurang dari 5 % dan sepenuhnya
sudah dikelola sepanjang tahun. Pemenuhan kebutuhan pangan penduduk dan tanaman
tahunan sepenuhnya bertumpu pada lahan miring berbatu. Tanpa pengelolaan yang
memadai, pada lahan miring tersebut hanya bisa diusahakan sekitar 2 tahun dan harus
diberokan sekitar 2 – 5 tahun sebelum kembali diusahakan. Pada kondisi ini tekanan
penduduk yang terus meningkat dan tidak ada lagi lahan yang bisa diberokan maka
masyarakat Desa Kareka Nduku telah mengembangkan suatu model pertanian intensif yang
dianggap cukup berkelanjutan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa strategi ini dilakukan
hanya berdasarkan pengalaman petani dan berlangsung sudah cukup lama.

Pengendalian erosi
Pengendalian erosi pada lahan miring dilakukan dengan membuat teras bangku.
Karena lahan dominan berbatu, maka material ini yang paling umum dipakai untuk membuat
teras yang berfungsi untuk menahan laju erosi sekaligus material tanah dan bahan organik
akan tertimbun yang memperluas areal tanam. Jika pada puncak bukit batu masih ada
vegetasi yang cukup (hutan atau belukar) maka pada lahan lereng ini akan menerima bahan
organik/endapan yang memungkinkan lahan tersebut cukup untuk diusahakan secara
berkelanjutan.

Membuat alur tanam atau lubang tanam


Petani membuat lubang tanam, kemudian diisi dengan pupuk kandang, terutama
dengan kotoran ternak kambing. Pemanfatan pupuk kandang dapat mempertahankan atau
memperbaiki kesuburan lahan sehingga produktivitas tanaman relatif tinggi dan stabil.
Petani sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia.

Melakukan rotasi tanam dan tumpang sari


Gulma dan sisa tanaman yang tidak dimanfaatkan sebagai pakan biasanya diatur
diatas pematang (linde) atau dipakai sebagai guludan dan kemudian ditanami dengan talas
atau tanaman pangan lainnya. Setelah panen talas bagian ini diolah untuk kemudian ditanami
dengan tanaman lain pada musim berikutnya, dan pematang/guludan akan pindah pada alur
lain.
Diversifikasi tanaman pangan
Berbagai jenis tanaman pangan diusahakan dalam satu persil lahan dan jumlah dan
jenis komoditas tersebut bisa sama atau berbeda pada setiap musim. Pada musim hujan
komoditas yang umum diusahakan adalah padi ladang (dominan), jagung, ubi kayu, ubi jalar,
jali-jali, talas dan aneka kacang lokal. Pada musim kedua (memanfaatkan kelembaban sisa
musim hujan) petani umumnya menanam jagung (dominan) dan kacang hijau. Dengan
menerapkan empat strategi diatas, petani melaporkan bahwa mereka tidak pernah mengalami
kekurangan pangan.

Pengelolaan Ternak Kambing dalam SUT


Budaya memelihara ternak kambing secara intensif baru dimulai sekitar 10 tahun
terakhir ini. Ini terjadi karena: 1) hampir semua lahan di desa tersebut sudah dikonversi
sebagai lahan pertanian, 2) masa pemeliharaan ternak kambing relative lebih singkat dan
bisa segera menghasilkan uang tunai atau bisa dipakai untuk urusan social, 3) sumber pakan
ternak kambing lebih beragam dan cukup tersedia di desa, dan 4) habitat yang berbatu dan
kering dianggap sebagai habitat yang paling sesuai untuk ternak kambing. Setelah populasi
ternak besar, khususnya kerbau semakin menurun dan pemilikannya juga saat ini hanya
terbatas pada beberapa orang, sementara lahan dominan berbatu tersebut perlu suplai pupuk
organic maka petani mulai beralih untuk memelihara ternak kambing sebagai sumber pupuk
organic utama.

Menerapkan konsep Integrasi Tanaman – Ternak


Secara tradisional msyarakat local desa Kareka Nduku telah menerapkan konsep
integrasi tanaman-ternak. Menempatkan rumah atau perkampungan dan kandang ternak
pada puncak bukit dan sekeliling kampung merupakan lahan agro-forestry, sebenarnya
dimaksudkan agar pupuk kandang tersebut bisa mengalir secara almiah ke kebun, sehingga
tidak memerlukan tenaga kerja untuk aplikasi pupuk kandang. Kondisi ini mengharuskan
petani untuk memelihara ternak secara intensif dan butuh tambahan tenaga kerja untuk
mengambil pakan dan mengangkut kotoran ternak ke kebun. Petani respondent sejauh ini
menikmati usaha tersebut karena disamping lingkungan rumah/kandang lebih bersih,
penampilan tanaman yang menggunakan pupuk kandang juga lebih baik.
Produksi tanaman yang diperoleh dari menggunakan pupuk kandang dianggap petani
sudah lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa pupuk kandang. Petani juga merasa
tertolong karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pupuk kimia.

Analisis usahatani pangan cukup menguntungkan terutama karena tidak ada


peengeluaran untuk input produksi berupa pupuk kimia dan pestisida. Demikian pula untuk
ternak kambing cukup menguntungkan terutama karena pengeluaran terbesar hanya terjadi
sekali ketika membeli Induk dan pejantan, selebihnya hanya biaya tenaga kerja terutama
untuk mengambil pakan.

Kesimpulan
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Kareka Nduku agar lahan marginal
berbatu tetap dimanfaatkan utuk usaha pertanian secara berkelanjutan adalah melakukan
upaya pengendalian erosi melalui pembuatan teras, membuat lubang dan alur tanam untuk
aplikasi pupuk kandang, melakukan rotasi tanaman dan diversifikasi tanaman pangan.
Strategi adaptasi ini cukup membantu petani dalam mempertahankan kesuburan lahan dan
produksi pangan yang relative stabil. Strategi adaptasi dari berbagai masyarakat local dalam
mengatasi kondisi lahan marginal dan tekanan penduduk yang terus meningkat masih perlu
pengkajian secara menyeluruh. Strategi adaptasi yang cukup berhasil perlu di padu padankan
dengan berbagai inovasi introduksi.
REVIEW PAPER 2

Judul Manajemen Usahatani Pada Lahan Kering Di Kabupaten


Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta
Paper Prosiding Interdisciplinary Postgraduate Student Conference 3
rd Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
Penulis Pujastuti Sulistyaning Dyah
Reviewer Dina Kamila
Tanggal 22 September 2023

1. Pendahuluan
Faktor produksi utama dalam produksi petanian adalah lahan. Kemampuan lahan
yang dikelola akan memberikan produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya.
Tanaman pangan akan tumbuh optimal pada lahan subur yang dikenal sebagai lahan sawah
atau lahan basah. Meskipun potensi produksi lahan sawah atau lahan basah lebih besar
dibanding lahan kering, tetapi keberadaan lahan sawah ini dari sisi ketersediaan luasanya
jauh lebih sedikit dibandingkan lahan kering. Di beberapa wilayah terjadi penurunan kualitas
lahan sawah akibat pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan faktor lingkungannya.
Semua itu menyebabkan semakin tidak tercukupinya ketersediaan lahan subur (sawah) untuk
produksi pangan, sehingga alternatif pilihan produksi pertanian di lahan kering menjadi
makin diperlukan.
Selama ini pemanfaatan lahan kering kurang dapat diandalkan, hal ini karena sifat
dan karakreristik lahan ini yang tidak mendukung produksi. Tingkat kesuburan yang rendah
menyebabkan produktivitas menjadi rendah. Faktor keterbatasan sumber air menyebabkan
usahatani tidak dapat dilakukan dengan optimal. Perlu perhatian yang serius untuk dapat
mengelola lahan ini sebagai penopang dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional,
sekaligus untuk dapat meningkatkan pendapatan petani lahan kering sehingga dapat hidup
lebih sejahtera. Untuk dapat meningkatkan pendapatan petani lahan kering tersebut, perlu
dibuat sebuah pemetakan tentang pola-pola usahatani lahan kering khususnya tentang padi
dan palawija. Manajemen di sektor hulu terkait dengan bagaimana menyediakan faktor-
faktor produksi yang diperlukan untuk proses produksi mulai dari penyediaan lahan,
penyediaan sarana produksi, kebutuhan tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan di sektor
hilir terkait dengan bagaimana memanfaatkan lebih lanjut hasil produksi yang diperoleh
sehingga dapat memberikan nilai tambah dan yang dibutuhkan pasar.
Kabupaten Gunung Kidul merupakan salah satu kabupaten di DIY dengan lahan
pertanian yang didominasi oleh lahan kering. Sebagian berupa lahan kering tadah hujan dan
sebagian lagi berupa lahan kering tegalan. Lahan kering tadah hujan ditanami padi saat
musim penghujan dan palawija saat musim kemarau. Pola tanam dilakukan bergiliran
diantara padi dan kedelai, dan tumpangsari dilakukan bersama-sama antara padi, jagung,
ubikayu, dan kacang tanah.

2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah paper ini mengetahui bagaimana manajemen
usahatani padi dan palawija petani lahan kering di Kabupaten Gunung Kidul. Mengetahui
pendapatan usahatani padi dan palawija pada beberapa pola tanam pada lahan kering tadah
hujan di Kabupaten Gunung kidul. Mengetahui pola tanam padi dan palawija yang
memberikan pendapatan tertinggi pada lahan keringdi Kabupaten Gunung Kidul.

3. Metode dan Lokasi


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode pencarian fakta dengan
interpretasi yang tepat. Metode ini mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta
tatacara yang berlaku dalam masyarakat, dengan situasi-situasi tertentu, termasuk tentang
hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang
sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
Penentuan Lokasi Penentuan Kecamatan Semin sebagai sampel lokasi penelitian
berdasarkan pertimbangan bahwa sawah tadah hujan yang terluas berada di kecamatan
tersebut. Penentuan jumlah sampel menggunakan metode stratified random sampling.
Jumlah sampel petani dengan pola tanam PadiPadi-Kedelai sebanyak 20 petani, pola tanam
Padi-PadiBero sebanyak 10 petani, dan pola tanam Tumpangsari sebanyak 34 petani. Total
jumlah responden sebanyak 64 petani.
Jenis data yang diperoleh pada penelitian ini berupa data primer dan data skunder.
Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara
menggunakan pedoman wawancara berupa kuesioner yang telah disiapkan. Analisis data
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung
biaya dan pendapatan usahatani dengan mengolah data menggunakan software Microsoft
excel. Selanjutnya data disederhanakan dalam bentuk tabulasi dan diinterpretasi secara
deskriptif.

4. Hasil dan Pembahasan

Pola Tanam yang dilakukan petani


Terdapat tiga pola tanam yang dilakukan petani pada lahan kering dalam setahun
yaitu, Padi – Padi – Kedelai, Padi – Padi – Bero, Tumpangsari Padi – jagung – ubi kayu -
kacang tanah.

Pendapatan Petani Lahan Kering


1. Pola Tanam Padi- Padi- Kedelai
- Biaya Produksi
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa komponen biaya terbesar pada pola tanam
Padi-Padi-Kedelai yaitu biaya penanaman, sebesar Rp.5.600.838,-/ha. Kemudian biaya
lainnya yang juga cukup besar yaitu biaya pemanenan, pemupukan ,dan peralatan. Besarnya
biaya-biaya ini disebabkan karena memang kondisi lahan kering relatif sulit untuk digarap
sehingga diperlukan peralatan dan tenaga ekstra. Besarnya biaya pemanenan dikarenakan
jumlah tenaga kerja yang diperlukan banyak. Biaya pemupukan yang cukup besar juga
dikarenakan tanah yang mudah erosi sehingga pupuk yang diberikan menjadi kurang efektif
karena sebagian pupuk terbawa erosi tanah.
- Penerimaan dan Pendapatan
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pendapatan total pola ini sebesar Rp
36.293.475,-. /ha. Pendapatan terbanyak adalah padi, Petani lebih mengutamakan hasil padi
dibanding kedelai. Padi diperlukan untuk konsumsi keluarganya selama satu tahun,sehingga
tidak dijual. Hasil usahatani yang dijual hanya kedelai dan jagung sebagai tanaman pagar.

2. Pola Tanam Padi-Padi-Bero


- Biaya Produksi
Biaya, pemupukan, peralatan, dan penanaman juga merupakan komponen biaya yang
cukup besar pada pola tanam ini. Komponen biaya berkaitan dengan kondisi lahan kering
yang mudah terjadi erosi tanah, sulit dikerjakan sehingga diperlukan banyak peralatan. Total
biaya pemupukan pola ini lebih kecil dibandingkan pola Padi-Padi-Kedelai karena yang
ditanam hanya padi saja, tidak diikuti tanam kedelai tetapi lahan dibiarkan bero. Biaya
pengendalian hama penyakit lebih banyak diperlukan untuk pola tanam Padi-Padi-Kedelai.
Hal ini disebabkan karena tanaman kedelai memang rentan terhadap hama dan penyakit,
sehingga diperlukan obatobatan pengendalian hama dan penyakit lebih banyak.
- Penerimaan dan Pendapatan
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pendapatan total pola ini sebesar
Rp.27.690.615,- /ha dalam setahun. Kondisi petani dengan pola tanam Padi-PadiBero ini
relatif lebih rendah kondisi ekonominya sehingga tidak mampu lagi mengeluarkan biaya
untuk penanaman musim berikutnya, dan lahan dibiarkan bero.

3. Pola Tanam Tumpang Sari


- Biaya Produksi
Biaya produksi pada pola tumpangsari adalah biaya pemupukan sebesar Rp.4.563.653,-
dan, diikuti berikutnya biaya peralatan dan penanaman. Pemupukan untuk lahan tegalan ini
dibutuhkan cukup banyak karena kondisi lahan yang tidak subur seperti kebanyakan lahan
kering lainnya, dan komoditas yang ditanam lebih banyak jenisnya Terlebih apabila kondisi
lahan dalam posisi kemiringan yang cukup curam, menyebabkan lahan mudah erosi. Erosi
menyebabkan unsur hara tanah termasuk juga pupuk akan terbawa erosi yang menjadikan
pemupukan menjadi tidak efektif.
- Penerimaan dan Pendapatan Pola Tumpangsari
Pola tanam tumpangsari ini dilakukan sepanjang tahun, baik pada musim penghujan
maupun kemarau, dengan penenaman secara berderet agar memudahkan dalam pemanenan.
dapat dilihat bahwa pendapatan total pola ini sebesar Rp. 11.786.148 /ha, pendapatan
tertinggi adalah padi sebesar Rp4.165.525/ha. Sedangkan pendapatan lainnya total sebesar
Rp.7.620.623,- (pendapatan palawija lebih besar).

Kesimpulan
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Kareka Nduku agar lahan marginal
berbatu tetap dimanfaatkan utuk usaha pertanian secara berkelanjutan adalah melakukan
upaya pengendalian erosi melalui pembuatan teras, membuat lubang dan alur tanam untuk
aplikasi pupuk kandang, melakukan rotasi tanaman dan diversifikasi tanaman pangan.
Strategi adaptasi ini cukup membantu petani dalam mempertahankan kesuburan lahan dan
produksi pangan yang relative stabil. Strategi adaptasi dari berbagai masyarakat local dalam
mengatasi kondisi lahan marginal dan tekanan penduduk yang terus meningkat masih perlu
pengkajian secara menyeluruh. Strategi adaptasi yang cukup berhasil perlu di padu padankan
dengan berbagai inovasi introduksi.
RELAY CROPPING

Sistem pola tanam yang baik dibutuhkan untuk dapat meminimalisir penggunaan
lahan dan dapat meningkatkan produktivitas. Salah satu sistem pola tanam yang dapat
digunakan yaitu sistem tanam sisipan (relay cropping). Relay cropping adalah cara
bercocok tanam dengan menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman dimana tidak semua
jenis tanaman ditanam pada waktu yang sama. Pada sistem budidaya ini, tanaman kedua
ditanam setelah tanaman pertama mencapai masa tahapan reproduktif, tetapi belum siap
untuk dipanen.
Tumpang gilir (relay cropping) merupakan cara bercocok tanam dimana dalam satu
areal lahan yang sama ditanami dengan dua atau lebih jenis tanaman dengan pengaturan
waktu panen dan tanam. Tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim pertama.
Contohnya, tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan
kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung. Pada umumnya tipe ini
dikembangkan untuk mengintensifikasikan lahan. Dengan demikian kemampuan lahan
untuk menghasilkan sesuatu produk pangan semakin tergali. Oleh karena itu pengelola
dituntut untuk semakin jeli menentukan tanaman apa yang perlu disisipkan agar waktu dan
nilai ekonomisnya dapat membantu dalam usaha meningkatkan pendapatan.
Hal yang menguntungkan dari tumpang gilir adalah penenaman yang bisa dua kali
dengan jarak waktu yang singkat, tidak membutuhkan waktu yang relatif lama jika anda
ingin menanam jenis tanaman yang berbeda, ini akan membuat hama penyaki yang timbul
akan menjadika suatu masalah bagi mereka, dan bahkan merka akan melakukan dormansi
ketika pergiliran tanaman di lakukan. Contohnya pelaksanaan tanam tumpang gilir antara
jagung dan kacang hijau, adalah untuk memanfaatkan secara maksimal lahan dengan
menanam kacang hijau atau kacang-kacangan bagi petani jagung dan menanam jagung
terlebih dahulu bagi petani kacang hijau.
Keuntungan dari tumpang gilir (relay cropping)
1. Dapat mencegah serangan hama dan penyakit yang meluas
2. Hasil panen secara beruntun dapat memperlancar penggunaan modal dan meningkatkan
produktivitas lahan
3. Pengolahan yang bisa dilakukan dengan menghemat tenaga kerja, biaya pengolahan
tanah dapat ditekan, dan kerusakan tanah sebagai akibat terlalu sering diolah dapat
dihindari.
4. Kondisi lahan yang selalu tertutup tanaman, sangat membantu mencegah terjadinya
erosi
5. Sisa komoditi tanaman yang diusahakan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau
contohnya jagung muda, padi gogo, kedelai, kacang tanah, dll.

Kerugian dari tumpang gilir (relay cropping)


1. Terjadinya persaingan unsur hara antar tanaman dan produksi tanaman akan saling
menghambat
2. Banyaknya tantangan pengendalian yang dihadapi terhadap tanaman. Berbeda dengan
satu petak dimana satu spesies tanaman akan tumbuh, ini melibatkan petak dimana
beberapa spesies tanaman ditanam.
3. Proses penanaman kedelai kemungkinan besar akan memberikan tekanan pada tanaman
gandum dan mengurangi hasil panen yang diharapkan dari tanaman yang tidak
terganggu
4. Demikian pula, panen gandum dapat menyebabkan stres pada tanaman kedelai
5. Ada beberapa polikultur yang memerlukan investasi pada beberapa peralatan untuk
membantu penguasaan lahan. Ini biasa digunakan dalam aplikasi polikultur di
peternakan ikan. Petani harus mendedikasikan lebih banyak waktu dan juga
infrastruktur agar bisa berhasil
TUMBUHAN C3, C4, DAN CAM

Tanaman C3
Ketika menjalani proses fontosintetis, tanaman C3 dapat memasukan secara
langsung karbon dioksida ke dalam siklus calvin. Struktur kloropas tanaman ini bersifat
homogen serta punya peran yang sangat penting terhadap sistem metabolisme. Selain itu
tanaman C3 juga mempunyai kemampuan untuk melakukan fotorespirasi rendah, karena
tidak butuh energi dalam fiksasi yang sudah dilakukan. Namun pada sisi yang lain C3 juga
dapat kehilangan carbon sebanyak 20% pada sikluk calvin. Hal ini dikarenakan adanya
radiasi. Sehingga tanaman C3 juga bisa dimasukan dalam keluarga phylogenik. Pada proses
fotosistetis pada tanaman C3, RUDP akan mengikat CO2 kemudian dirubah jadi senyawa
organik C6 yang sifatnya tidak stabil. Setelah itu senyawa organik C6 tersebut akan dirubah
lagi jadi glukosa memakai 12 NADPH dan 10 ATP. Perjalanan siklus terhadap tanaman C3
ini terjadi di bagian stroma pada kloroplas. Tujuannya agar bisa dihasilkan molekul glukosa.
Molekul glukosa ini jadi kebutuhan utama bagi 6 siklus C3.
Sebagian besar tumbuhan di bumi merupakan tipe C3, dengan contoh yang paling
umum adalah padi, gandum, dan kedelai. Disebut tumbuhan C3 karena enzim rubisco akan
menangkap CO2 dan menggabungkannya dengan ribulosa bifosfat menjadi 3-fosfogliserat
yang merupakan molekul berkarbon 3. Molekul berkarbon 3 ini selanjutnya akan menjalani
serangkaian proses siklus calvin dan melepaskan glukosa sebagai hasilnya.
Pada siang hari tumbuhan C3 akan menutup sebagian stomata untuk mengurangi
penguapan. Akibatnya konsentrasi CO2 di dalam jaringan akan berkurang dan konsentrasi
O2 hasil fotosintesis akan meningkat. Hal ini akan memicu terjadinya fotorespirasi yang
kurang menguntungkan bagi tumbuhan. Fotorespirasi akan mengikat O2 untuk diolah untuk
menghasilkan CO2 namun dengan menggunakan ATP yang justru membuang-buang energi
tumbuhan. Tumbuhan C3 rentan mengalami fotorespirasi di siang hari yang panas.

Tanaman C4
Tanaman C4 misalnya jagung atau Zea Mays dan tebu atau Saccharum officinarum
maupun tumbuhan sejenis lainnya tidak akan melakukan ikatan langsung pada karbon
dioksida. Sebab tanaman ini dapat membentuk senyawa pertama setelah menjalankan
proses fotosintetis yang jangka waktunya lebih pendek. Senyawa pertama yang dihasilkan
tersebut tidak berupa PGA atau 3-C asam fostogliserat tapi berbentuk senyawa 4-C asam
oksaloasetat atau OAA. Metode alternatif dalam proses fiksasi karbon dioksida terhadap
proses fontosintetis tanaman C4 ini dinamakan sebagai jalur hatch slack. Sedangkan
tanaman yang memanfaatkannya disebut tumbuhan 4 karbon atau tanaman C4.
Tumbuhan yang masuk kategori C4 dalam fotosintesisnya adalah jagung, tebu, dan
keluarga rumput-rumputan lainnya. Disebut tumbuhan C4 karena enzim PEP karboksilase
akan menangkap CO2 dan menggabungkannya dengan fosfoenolpiruvat menjadi
oksaloasetat yang merupakan molekul berkarbon 4. Penangkapan CO2 ini terjadi di mesofil
daun, kemudian molekul berkarbon 4 tersebut akan diubah menjadi malat dan menuju sel
seludang pembuluh untuk melepaskan CO2. Setelah dilepaskan, CO2 akan menjalani siklus
calvin di sel seludang pembuluh tersebut dan menghasilkan karbohidrat.
Reaksi gelap dalam tumbuhan C4 terjadi di 2 sel yang berbeda. Penangkapan CO2
terjadi di sel mesofil daun, sedangkan siklus calvin terjadi di sel seludang pembuluh. Hal
ini akan menjadikan konsentrasi CO2 di seludang pembuluh selalu tinggi sehingga
mencegah atau mengurangi terjadinya fotorespirasi yang kurang menguntungkan.
Tumbuhan C4 umumnya hidup di tempat dengan kondisi cuaca yang panas dengan
intensitas cahaya matahari yang tinggi.
Tanaman CAM
Tanaman CAM mempunyai gerakan stomata yang agak berbeda dibandingkan jenis
tanaman lainnya. Pada tanaman CAM, pembukaan gerakan stomata dilakukan pada malam
hari. Namun pada siang hari gerakan stomata tersebut akan ditutup. Apabila cuaca atau suhu
udara di malam hari tidak bagus untuk melakukan transpirasi, maka stomata pada tanaman
CAM bisa membuka. Setelah itu karbon dioksida akan menjalani difusi dalam daun, lalu
diikat dengan sistem PEP karbosilase. Melalui proses ini selanjutnya akan terbentuk malat
dan OAA. Berikutnya Malat dipindahkan ke vakuola di tengah-tengah sel mesofil dari
tempat sebelumnya, sitoplasma. Di tempat baru ini asam bisa dikumpulkan pada jumlah
yang besar. Setelah itu di siang hari gerakan stomata akan menutup. Dari proses tersebut
tanaman akan terhindar dari kekurangan cairan, malat dan asam organik yang lain yang
telah dikumpulkan pada dekarboksilasi. Sehingga karbon dioksida yang diikat secara
langsung melalui daur calvin oleh sel akan selalu tersedia.
Tumbuhan yang masuk kategori CAM adalah kelompok sukulen (menyimpan air)
seperti lidah buaya, kaktus, dan nanas yang umumnya hidup di lingkungan kering. CAM
adalah singkatan dari crassulacean acid metabolism, karena proses ini petama dijumpai pada
keluarga Crassulaceae. Tumbuhan CAM akan menangkap CO2 dan digabungkan dengan
molekul lain menghasilkan asam organik. Stomata tumbuhan CAM akan terbuka di malam
hari dan akan tertutup di siang hari. Ketika malam hari CO2 akan ditangkap untuk
membentuk asam organik yang kemudian disimpan hingga pagi tiba. Ketika pagi dan
stomata mulai menutup, CO2 akan dilepaskan untuk menjalani siklus calvin menghasilkan
karbohidrat.
Tumbuhan C4 dan CAM memiliki kemiripan dimana CO2 yang masuk tidak
langsung menjalani siklus calvin tetapi ditangkap untuk membentuk molekul lain terlebih
dahulu. Namun pada tumbuhan C4 penangkapan CO2 dan siklus calvin terjadi di sel yang
berbeda, sedangkan pada tumbuhan CAM penangkapan CO2 dan siklus calvin terjadi pada
waktu yang berbeda.
Untuk mempermudah pemahaman, berikut adalah perbedaan tumbuhan C3, C4 dan
CAM dalam bentuk tabel:
No Ciri Pembeda Tumbuhan C3 Tumbuhan C4 Tumbuhan CAM
– Sel seludang
– Sel fotosintesis pembuluh tertata
tidak memiliki dengan baik dan kaya
berkas yang jelas organel
– Sel mesofil besar – Sel mesofil tidak Biasanya tidak ada
dan tidak rapat terlalu besar dan lebih sel-sel palisade dan
– Sel-sel seludang rapat terdapat vakuola
ikatan pembuluh – Ikatan pembuluh yang besar di dalam
1 Anatomi daun kecil dan banyak lebih sedikit mesofil
Mesofil daun dan
Kloroplas (tempat Mesofil daun seludang Mesofil
2 fotosintesis) (monomorfik) (dimorfik) (monomorfik)
– Monokotil: tebu, Tumbuhan
Angiospermae: jagung sukulen/xerofit
durian, apel, – Dikotil: famili contoh: kaktus, lidah
3 Jenis Tanaman mangga Amaranthaceae buaya
Disebut C3 karena
menghasilkan Disebut C4 karena Mengikat CO2 pada
senyawa pertama menghasilkan senyawa malam hari dan siang
berupa berkarbon pertama berupa hari stomata
4 Penggolongan tiga berkarbon empat menutup
Kebutuhan energi
5 ATP : NADPH 3:2 5:2 6,5:2
Fiksasi CO2 melewati Fiksasi CO2 melewati
lintasan C4 yang lintasan C4 yang
CO2 langsung masuk terjadi di dua tempat terjadi di waktu yang
dalam sikulus calvin yang berbeda (mesofil berbeda (siang dan
6 Fiksasi CO2 saat siang hari dan seludang) malam)
Kebutuhan air per
penambahan berat
7 kering 450 – 950 g 250 – 350 g 18 – 55 g
Senyawa pertama
8 yang dihasilkan Asam fosfogliserat Asam oksaloasetat Asam oksaloasetat
– PEP karboksilase
PEP karboksilase (malam)
Enzim pertama RuBP karboksilase kemudian RuBp – RuBP karboksilase
9 saat fiksasi CO2 (Rubisco) karboksilase (siang)
– Sintesis asam malat
di sel mesofil daun Sintesis asam malat
– Pemecahan asam dan pemecahan
malat di seludang asam malat terjadi di
10 Tempat reaksi Sel-sel mesofil daun pembuluh sel mesofil daun
– Sintesis asam malat
terjadi waktu malam
Sintesis asam malat hari
dan pemecahan asam – Pemecahan asam
malat terjadi di siang malat terjadi di siang
11 Waktu fiksasi CO2 Siang hari hari hari
– Siang hari: stomata – Siang hari: stomata – Siang hari: stomata
Mekanisme membuka membuka menutup
membuka/menutup – Malam hari: – Malam hari: stomata – Malam hari: stomata
12 stomata stomata menutup menutup membuka
Ada, tapi hanya di
seludang pembuluh Ada, tetapi hanya
dan bahkan hampir terjadi di sore
tidak melakukan menjelang malam
13 Fotorespirasi Ada fotorespirasi hari
Hambatan
14 fotosintesis oleh O2 Ya Tidak Ya
Kompensasi 0 – 5 ppm (dalam
15 terhadap CO2 30 – 70 ppm 0 – 10 ppm gelap)
16 Laju fotosintesis Rendah Tinggi Rendah
17 Laju fotorespirasi Tinggi Rendah Rendah
Efisiensi terhadap
18 H2O Kurang efisien Efisien Efisien
Mudah beradaptasi Mudah adaptasi di Mudah adaptasi di
Adaptasi terhadap ketika CO2 tinggi, daerah kering dan lingkungan yang
19 lingkungan habitat lahan basah banyak sinar matahari sangat kering.
Adaptasi dalam
keadaan Dapat tumbuh
20 kekeringan hebat Mati Mati walaupun lambat
Temperatur
optimum saat
21 fotosintesis 15 – 25°C 30 – 40°C ~35°C
Efek temperatur
(30-40°C) pada
22 penangkapan CO2 Menghambat Memacu Memacu
Produksi bahan Rendah dan sangat
23 kering per tahun 20 – 25 ton 35 – 40 ton beragam

Anda mungkin juga menyukai