Anda di halaman 1dari 5

Sorgum sebagai solusi tanah kering di Kabupaten Gunungkidul

Gunungkidul merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi ke-2


di Daerah Istimewa Yogyakarta ( Bappeda DIY, 2017). Topografi wilayah yang
didominasi dengan daerah kawasan perbukitan karst menjadikan Gunungkidul
memiliki banyak goa-goa alam dan juga sungai bawah tanah yang mengalir. Dengan
kondisi tersebut menyebabkan kondisi lahan di kawasan selatan kurang subur yang
berakibat budidaya pertanian di kawasan ini kurang optimal (Nana, 2015). Lahan
yang ada disana berupa sawah tadah hujan yang pengairannya mengandalkan air
hujan. Sistem pertanian dengan lahan tadah hujan sangat tergantung dengan kondisi
alam. Sayangnya, keadaan bumi pada saat ini sudah tidak seperti dahulu. Dengan
adanya perubahan iklim membuat musim hujan belum tentu terjadi selama enam
bulan dan musim kemarau terjadi selama enam bulan. Perubahan ini sangat
merugikan petani tadah hujan karena kebutuhan air sawah hanya di penuhi dari hujan.
Dengan adanya hal ini harus ditemukan komoditas tanaman pangan lain selain padi
yang bisa tumbuh dilahan kering. Ketahanan pangan nasional sangat riskan jika
hanya mengandalkan komoditas beras. Oleh karena itu, upaya pengembangan pangan
alternatif berbasis umbi-umbian dan biji-bijian selain beras menjadi sangat penting.
Salah satu komoditas biji-bijian yang potensial sebagai sumber karbohidrat adalah
sorgum.

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman asli tropis


Ethiopia, Afrika Timur, dan dataran tinggi Ethiopia dianggap sebagai pusat utama
domestikasi sorgum. Tanaman ini sudah lama dikenal sebagai penghasil bahan
pangan dan dibudidayakan di daerah kering di beberapa negara Afrika (Iriani dan
Mangkulawu., 2015). Sorgum ini salah satu tanaman pangan yang patut
dipertimbangkan untuk ditanam di Gunungkidul karena Sorgum memiliki prospek
yang cerah, masih banyak lahan pertanian di Gunungkidul yang masih luas mampu
berupa lahan tidur sehingga bisa dimanfaatkan agar lebih produktif. Tanaman sorgum
memiliki adaptasi yang luas, toleran terhadap Kekeringan. Sorgum banyak ditanam
pada daerah semiarid tropis dan subtropis.Tanaman ini merupakan tanaman hari
pendek dan membutuhkan temperatur tinggi untuk dapat tumbuh dan memberi hasil
tinggi.Kondisi yang optimum untuk penanaman sorgum adalah daerah dengan suhu
20 - 30oC dengan kelembaban rendah dan curah hujan 400-600 mm (Dicko et al.,
2006). Sorgum dapat ditanam pada berbagai agroekologi, baik pada tanah masam,
tanah salin, tanah alkalin, maupun pada lahan kering (Doggett 1988).

Tanaman sorgum tumbuh tegak dengan tinggi 0,5m-4,5 m, bergantung pada


kultivar. Keragaman morfologis sorgum tidak hanya pada tinggi batang, tetapi juga
pada warna biji, warna batang,bentuk malai, umur panen, dan sifat fisiologis yang
sebagian menyilang (party cross-pollination) yang menjadikan sorgum memiliki
keragaman yang tinggi. Fase pertumbuhan tanaman sorgum dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu fase vegetatif, pembentukan malai, dan reproduksi. Lama setiap fase
bergantung pada umur varietas dan temperatur selama musim tanam (khusus untuk
wilayah yang mempunyai empat musim) (Iriani dan Mangkulawu., 2015 ). Budidaya
tanaman sorgum meliputi pemilihan varietas, penyiapan benih, waktu tanam,
penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama
penyakit, dan penanganan hasil panen. Semua aspek tersebut harus mendapat
perhatian untuk mendapatkan hasil maksimal .Keunggulan sorgum terletak pada daya
adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu
input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman
pangan lain. Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi,
sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak
alternatif (Sirappa, 2003). Berdasarkan keunggulan tersebut sorgum bisa menjadi
salah satu jawaban dari permasalahan tuntutan pemenuhan kebutuhan pangan.

Kabupaten Gunungkidul sendiri sudah berusaha membudidayakan sorgum ini


tetapi hasilnya belum maksimal. Produktivitas sorgum di Kabupaten Gunungkidul
menurut data dari BPS (Gunungkidul Dalam Angka 2012) hanya sebesar 314 kg/ha
masih sangat rendah karena sorgum mampu berproduksi hingga lebih dari 5 ton/ha
.Permasalahan produksi sorgum yang masih rendah di Kabupaten Gunungkidul
diduga berkaitan erat masih rendahnya pemahaman petani mengenai tanaman sorgum
itu sendiri. Menurut Arta 2014 rendahnya produksi sorgum di kabupaten gunungkidul
disebabkan oleh persoalan efisiensi penggunaan input, alokasi penggunaan input
diduga masih belum optimal. Atas permasalahan tersebut pemerintah bisa melakukan
penyuluhan,pembinaan,pendampingan biaya dan monitoring kepada petani.
Penyuluhan dilakukan dengan pengenalan tanaman sorgum kepada petani petani
harus diperlihatkan keunggulan – keunggulan sorgum yang merupakan tanaman yang
dapat tumbuh dilahan kering, produksi tinggi dan tahan hama serta penyakit.
Pembinaan dilakukan dengan praktik langsung bersama sama dengan petani
bagaimana teknis budidayanya, bagaimana teknis penanganan hama dan penyakitnya.
Selain pendampingan pada kegiatan on farm, pemerintah juga harus melakukan
pendampingan pada kegiatan off farm karena bisa saja petani tidak tahu kemana harus
menjual komoditas sorgum tersebut. Pendampingan peningkatan nilai mutu juga
harus dilaksankan. Dengan diciptakannya produk – produk turunan dari sorgum
untuk dikembangkan sebagai tanaman pangan, pakan dan penghasil bioetanol
(bioenergi). Sebagai bahan pangan, sorgum bisa menjadi sumber pangan alternatif
yang dapat dikembangkan untuk mendukung program diversifikasi dan ketahanan
pangan. Sorgum biasanya dikonsumsi dalam bentuk roti, bubur, minuman, keripik
dan lainnya, untuk ternak, biji sorgum juga dipakai sebagai campuran konsentrat.
Daun sorgum dan ampas batang juga bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak atau
untuk dibuat kompos hal ini maka akan meningkatkan permintaan sorgum dipasar
dan akan membuat harga komoditas ini bagus sehingga petani akan menanam sorgum
atas kemauannya sendiri. Pemanfatan luas lahan dalam berusahatani sorgum
diperlukan pengelolaan yang lebih intensif dalam penggunaan input agar pemanfaatan
lahan untuk usahatani sorgum pada musim kering di Kabupaten Gunungkidul bisa
lebih efisien.
Daftar Pustaka

Arta S. B., D. H. Darwanto dan Irham. 2014. Analisis Efesiensi Alokatif Faktor-
Faktor Produksi Sorgum di Kabupaten Gunungkidul. Agro Ekonomi Vol. 24 (1) : 77
83.
Bappeda DIY. 2017. Data vertikal badan pusat statistik : kemiskinan.
< http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/uu23/data_dasar/cetak/383kemiskinan
>.Diakses tanggal 12–09– 2019

Dicko, M.H., H. Gruppen, A.S. Traoré, A.G.J. Voragen, and W.J. H. Van Berkel.
2006. Sorghum grain as human food in Africa: relevance of content of starch
and amylase activities. African J. of Biotechnology 5(5):384-395.

Doggett, H. 1988. Sorghum, 2nd ed. Longman Scientific & Technical, Burnt Mill,
Harlow, Essex, England; John Wiley & Sons, New York.

Iriany, R. N. dan Makkulawu A. T. 2015. Asal Usul dan Taksonomi Tanaman Sorgum:
InovasiTeknologi dan Pengembangan.<
http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/wpcontent/uploads/2016/11/nenis.pdf
>. Diakses tanggal 10-09-2019

Nana. 2015. Kondisi umum wilayah gunungkidul. < https://gunungkidulkab.go.id/ >.


Diakses tanggal 12-09-2019

Sirappa, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas


alternative untuk pangan, pakan, dan industri. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan. 29(2) : 99-113.
Yuliasari R., M. Kamal dan Sunyoto. 2014. Distribusi Bahan Kering Sorgum
(Shorgum bicolor (L.) Moench) Yang Ditumpangsarikan Dengan Ubikayu
(Manihot esculenta Crantz). Jurnal Agrotek Tropika. 2(1):61-64.

Anda mungkin juga menyukai