PUTRI APRILIA
2205202010009
Dosen Pengajar:
Dr. Ir. Indra, M.P
Faktor produksi utama dalam produksi petanian adalah lahan. Kemampuan lahan yang
dikelola akan memberikan produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. Tanaman
pangan akan tumbuh optimal pada lahan subur yang dikenal sebagai lahan sawah atau lahan
basah. Sudah selayaknya jika selama ini pengembangan pertanian bertumpu pada lahan ini,
terutama padi yang masih menjadi pangan utama di Indonesia.
Meskipun potensi produksi lahan sawah atau lahan basah lebih besar dibanding lahan
kering, tetapi keberadaan lahan sawah ini dari sisi ketersediaan luasanya jauh lebih sedikit
dibandingkan lahan kering. Pertambahan jumlah penduduk dan sekaligus terjadinya alih fungsi
lahan produktif menjadi lahan non pertanian, menjadikan semakin menyempitnya ketersediaan
lahan sawah. Di beberapa wilayah terjadi penurunan kualitas lahan sawah akibat pengelolaan
lahan yang tidak memperhatikan faktor lingkungannya. Semua itu menyebabkan semakin tidak
tercukupinya ketersediaan lahan subur (sawah) untuk produksi pangan, sehingga alternatif
pilihan produksi pertanian di lahan kering menjadi makin diperlukan.
Keberadaan lahan kering di Indonesia cukup luas, sekitar 60,7 juta hektar (88,6 %),
sedangkan lahan sawah jauh lebih sedikit hanya 7,8 juta hektar (11,4 %) dari luas lahan. Dari
lahan sawah tersebut, 3,24 juta hektar (separuhnya) berada di Jawa (Utomo,2002). Realitas ini
menunjukkan bahwa potensi lahan kering sangat besar untuk dikembangkan dibanding lahan
sawah. Permasalahannya adalah bahwa potensi produksi lahan kering jauh lebih rendah di
banding lahan sawah. Komoditas yang dapat diusahakan pada lahan kering ini selain padi gogo,
beberapa tanaman pangan lainnya pada umumnya berupa palawija seperti jagung, ubi kayu,
kedelai, kacang tanah, dan tanaman tahunan pangan dan non pangan. Selama ini pemanfaatan
lahan kering kurang dapat diandalkan, hal ini karena sifat dan karakreristik lahan ini yang tidak
mendukung produksi. Tingkat kesuburan yang rendah menyebabkan produktivitas menjadi
rendah. Dari sisi letak, lahan kering pada umumnya memiliki tingkat kemiringan yang curam
sehingga peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman semusim. Faktor
keterbatasan sumber air menyebabkan usahatani tidak dapat dilakukan dengan optimal. Perlu
perhatian yang serius untuk dapat mengelola lahan ini sebagai penopang dalam memenuhi
kebutuhan pangan nasional, sekaligus untuk dapat meningkatkan pendapatan petani lahan
kering sehingga dapat hidup lebih sejahtera. Untuk dapat meningkatkan pendapatan petani
lahan kering tersebut, perlu dibuat sebuah pemetakan tentang pola-pola usahatani lahan kering
khususnya tentang padi dan palawija. Ada beberapa pola tanam pengusahaan padi dan palawija
yang dilakukan dalam satu tahun. Setiap pola tanam membutuhkan input yang berbeda dan
juga hasil yang berbeda. Manajemen di sektor hulu terkait dengan bagaimana menyediakan
faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk proses produksi mulai dari penyediaan lahan,
penyediaan sarana produksi, kebutuhan tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan di sektor hilir
terkait dengan bagaimana memanfaatkan lebih lanjut hasil produksi yang diperoleh sehingga
dapat memberikan nilai tambah dan yang dibutuhkan pasar.
Manggeng adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh,
Indonesia. Pada januari 2022, sekitar 1.500 hektare sawah di Kecamatan Manggeng Kabupaten
Aceh Barat Daya (Abdya) mengalami kekeringan. Akibatnya, saat ini petani tidak bisa
menggarap sawahnya dan terancam gagal tanam. Pasalnya, 1.500 hektare sawah di kawasan
Manggeng tersebut, bergantung dari suplai air dari Irigasi Intake Krueng Baru, di kawasan
Gampong Kayee Aceh, Kecamatan Lembah Sabil. Hal ini dipicu, akibat saluran di Intake
Krueng Baru yang menyuplai air untuk kebutuhan pertanian 1.500 ha lebih areal persawahan
Manggeng itu, sejak beberapa bulan terakhir tersumbat. Hal ini imbas dari luapan sungai
dengan ketebalan sendimen kurang lebih satu meter. Bahkan, di beberapa titik saluran sekunder
irigasi dimaksud, ketebalan sendimen hampir memenuhi saluran selebar 2 meter dan tinggi 1,5
meter. Demikian juga, posisi pintu air irigasi saat ini jauh lebih rendah, dibandingkan saluran
irigasi, sehingga air tidak dapat dialiri lagi. Berbagai upaya untuk membersihkan saluran irigasi
yang tersumbat dimaksud, agar areal persawahan dapat dialiri sudah dilakukan petani dari
belasan desa di Manggeng. Sayangnya, upaya yang dilakukan ratusan anak tani tersebut, tidak
membuahkan hasil (Saputra dalam Serambinews, 2022).
Oleh karena itu, untuk menghadapi efek negatif dari pertanian lahan kering, petani harus
melakukan berbagai tindakan untuk adaptasi yang dapat dilakukan secara individu maupun
kelompok. Menurut Schneiders (1960) adaptasi merupakan suatu proses proses penyesuaian
diri yang dinamis oleh individu yang melakukaninteraksi untuk menyelaraskan kondisi
internalnya dengan lingkungan. Individu yang lebih terbuka terhadap terhadap perubahan akan
lebih mampu menghadapi perubahan dalam waktu yang relatif cepat, menyesuaikan dirinya
dengan perubahan lingkungan, dan menjalankan perannya dengan baik di lingkungan sosial.
Selanjutnya, adaptasi merupakan penyesuaian diri individu terhadap lingkungan.
N = jumlah populasie
e= tingkat error
Kusumastuti A. 2015. Modal sosial dan mekanisme adaptasi masyarakat pedesaan dalam
pengelolaan dan pembangunan infrastruktur. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi.
20(1): 81-97.
Pelly, Usman. 1998. Urbanisasi, dan Adaptasi ( Peranan Misi Budaya Minangkabau dan
Mandailing ). PT Pustaka LP3S. Jakarta.
Pertiwi, I., Prajanti, S. D. W., & Juhadi. (2017). Strategi Adaptasi Petani Dalam
Pengolahan Lahan Kering di Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten
Wonosobo. Journal of Educational Social Studies, 6(2), 87–91.
https://doi.org/10.15294/jess.v6i2.19776
Serambinews. 18 Maret 2006. 1.500 Hektare Sawah di Lembah Sabil dan Manggeng ABDYA
Kekeringan, Ini Penyebab dan Harapan Petani. www.Serambinews.com.
Schneiders AA. 1960. Personal Adjustment and Mental Health. New York (US): Holt,Rinehart
and Winston Inc.
Utomo, M. 2002. Pengelolaan Lahan Kering untuk Pertanian Berkelanjutan. Makalah utama
pada Seminar Nasional IV pengembangan wilayah lahan kering dan pertemuan ilmiah
tahunan himpunan ilmu tanah Indonesia di Mataram, 27-28 Mei 2002.
Widayati W, Kasto, Yunus HS, Hardyastuti S. 2010. Interrelasi faktor fisik, non fisik dan
perilaku petani dalam manajemen sumber daya pertanian di Muna Barat. Jurnal Manusia
dan Lingkungan. 17(1): 161 – 171.
Sitasi:
Biazin, B., & Sterk, G. (2013). Drought vulnerability drives land-use and land cover changes
in the Rift Valley dry lands of Ethiopia. Agriculture, Ecosystems and Environment, 164,
100–113. https://doi.org/10.1016/j.agee.2012.09.012
Desta, Y., Haile, M., Gebresamuel, G., & Sibhatleab, M. (2020). Potential, quality and
quantity assessment of sesame plant residue in dry land vertisols of Tigrai, Ethiopia;
Approach for sustainability of dry-land farming. Heliyon, 6(10), e05234.
https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e05234
Li, Y., Duan, X., Li, Y., Li, Y., & Zhang, L. (2021). Interactive effects of land use and soil
erosion on soil organic carbon in the dry-hot valley region of southern China. Catena,
201(August 2020). https://doi.org/10.1016/j.catena.2021.105187
Pascual, U. (2005). Land use intensification potential in slash-and-burn farming through
improvements in technical efficiency. Ecological Economics, 52(4), 497–511.
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2004.09.012
Qin, X., Li, Y., Wang, B., Wan, Y., Gao, Q., Chen, X., Chen, H., & Song, C. (2021).
Nonlinear dependency of N2O emissions on nitrogen input in dry farming systems may
facilitate green development in China. Agriculture, Ecosystems and Environment,
317(May). https://doi.org/10.1016/j.agee.2021.107456
Raiesi, F. (2021). The quantity and quality of soil organic matter and humic substances
following dry-farming and subsequent restoration in an upland pasture. Catena, 202(July
2020), 105249. https://doi.org/10.1016/j.catena.2021.105249
Raigani, Z. M., Nosrati, K., & Collins, A. L. (2019). Fingerprinting sub-basin spatial
sediment sources in a large Iranian catchment under dry-land cultivation and rangeland
farming: Combining geochemical tracers and weathering indices. Journal of Hydrology:
Regional Studies, 24(June), 100613. https://doi.org/10.1016/j.ejrh.2019.100613
Sadras, V., Roget, D., & Krause, M. (2003). Dynamic cropping strategies for risk
management in dry-land farming systems. Agricultural Systems, 76(3), 929–948.
https://doi.org/10.1016/S0308-521X(02)00010-0
Toivari, M., Nygård, Y., Kumpula, E. P., Vehkomäki, M. L., Benčina, M., Valkonen, M.,
Maaheimo, H., Andberg, M., Koivula, A., Ruohonen, L., Penttilä, M., & Wiebe, M. G.
(2012). Metabolic engineering of Saccharomyces cerevisiae for bioconversion of d-
xylose to d-xylonate. Metabolic Engineering, 14(4), 427–436.
https://doi.org/10.1016/j.ymben.2012.03.002
Tu, C., He, T., Lu, X., Luo, Y., & Smith, P. (2018). Extent to which pH and topographic
factors control soil organic carbon level in dry farming cropland soils of the
mountainous region of Southwest China. Catena, 163(December 2017), 204–209.
https://doi.org/10.1016/j.catena.2017.12.028