Anda di halaman 1dari 21

Makalah Pengelolaan Sumberdaya Lahan

ISU, PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI DALAM PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN


TANAMAN SEMUSIM

OLEH

RIZKA INDA MEUTIA


2105201010002

PROGRAM PASCA SARJANA AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga memberikan kekuatan, kesehatan dan
keteguhan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Isu,
Permasalahan dan Rekomendasi dalam Pengelolaan Lahan Pertanian Tanaman
Semusim”. Shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan sahabat beliau yang telah membawa kebenaran kepada seluruh umat
manusia dimuka bumi ini.
Penulis menyadari bahwa isi makalah ini masih penuh dengan kekurangan,
sehingga penulis meminta maaf atas segala keterbatasan. Penulis juga berterima kasih
kepada para pembaca, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Ya
Rabbal ‘Alamin.

Banda Aceh, 04 November 2021

Penulis,

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang........................................................................................... 3
1.2. Batasan Masalah........................................................................................ 6
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................ 6
BAB II. PEMBAHASAN..................................................................................... 7
2.1. Isu............................................................................................................... 7
2.2. Permasalahan............................................................................................ 8
2.3. Rekomendasi............................................................................................. 9
BAB III. PENUTUP............................................................................................ 16
3.1. Kesimpulan................................................................................................ 16
3.2. Saran.......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17

2
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pertanian adalah sektor andalan yang sangat berperan penting untuk pembanguan
perekonomian Indonesia. Peran penting sektor pertanian yaitu menghasilkan pangan bagi
sebagian penduduk, meningkatkan kesejahteraan rakyat, pengentasan kemiskinan,
penciptaan lapangan kerja, penyumbang devisa, melalui penyediaan bahan baku industri
(Sjah,T. 2010). Dalam pengembangan pertanian, sangat erat kaitannya dengan kualitas
lahan. Lahan dengan kualitas baik akan menjadi tempat hidup yang baik pula untuk
budidaya tanaman pertanian.
Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang potensial untuk dikembangkan
seoptimal mungkin untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Lahan menjadi
sumberdaya yang penting peranannya karena hampir seluruh sektor pembangunan fisik
membutuhkan lahan, terutama untuk sektor pertanian. Pemanfaatan sumberdaya lahan
untuk pengembangan pertanian perlu memperhatikan potensinya, agar diperoleh hasil
yang optimal. Luas lahan di Indonesia yang telah menjadi lahan pertanian atau lahan yang
pernah digunakan adalah 70,2 juta ha, yang terdiri atas sawah, tegalan, pekarangan,
perkebunan, padang penggembalaan, kayu-kayuan, dan tambak/kolam (BBSDLP, 2008).
Luas lahan terlantar (lahan tidur) tercatat 11,3 juta ha, sehingga lahan pertanian yang
efektif hanya seluas 58,9 juta ha (termasuk padang penggembalaan, kayuan-kayuan, dan
tambak).
Berdasarkan ketersediaan airnya, maka lahan dikelompokkan ke dalam dua kelompok
besar, yaitu lahan basah (wetland) dan lahan kering (upland). Lahan kering didefinisikan
sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian
besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani, 2002). Lahan
kering yang berpotensi atau sesuai untuk pertanian seluas 68,64 juta ha, yaitu 25,09 juta
ha untuk tanaman semusim dan 43,55 juta ha untuk tanaman perkebunan.
Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001), Indonesia memiliki daratan
sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan
basah (22%).
3
Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas penggunaan
lahan tanaman semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahan tanaman semusim
diutamakan untuk tanaman musiman yang dalam polanya dapat 2 dengan rotasi atau
tumpang sari dan panen dilakukan setiap musim dengan periode biasanya kurang dari
setahun. Penggunaan lahan tanaman tahunan merupakan penggunaan tanaman jangka
panjang yang pergilirannya dilakukan setelah hasil tanaman tersebut secara ekonomi
tidak produktif lagi, seperti pada tanaman perkebunan. Penggunaan lahan permanen
diarahkan pada lahan yang tidak diusahakan untuk pertanian, seperti hutan, daerah
konservasi, perkotaan, desa dan sarananya, lapangan terbang, dan pelabuhan.
Tanaman semusim merupakan istilah agrobotani bagi tumbuhan yang dapat dipanen
hasilnya dalam satu musim tanam atau menyelesaikan semua siklus hidupnya dalam
rentang setahun. Keuntungan yang didapat dari praktek usaha tani sayuran seringkali
tidak diikuti oleh usaha untuk menjaga kualitas lahan agar tetap berproduksi secara
optimum, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Rata-rata penggunaan pupuk anorganik pada lahan sayuran dua kali lebih tinggi
dibanding lahan pangan. Penggunaan pupuk yang tinggi, selain menyebabkan
ketidakefisienan penggunaan input pertanian, juga dapat menjadi sumber pencemaran
lingkungan. Takaran pemupukan pada lahan sayuran hendaknya berdasarkan status hara
tanah dan kebutuhan tanaman serta target hasil. Penggunaan pupuk dapat berupa
kombinasi pupuk anorganik, organik, dan hayati.
Sistem pertanian organik pada lahan sayuran sangat berpeluang untuk
dikembangkan. Selain berhubungan dengan permintaan terhadap produk organik yang
semakin meningkat, harga yang relatif lebih tinggi, juga lebih bersifat ramah lingkungan.
Penerapan teknik konservasi tanah harus menjadi bagian integral dari sistem usaha tani
sayuran.
Suatu sistem usaha tani akan bersifat berkelanjutan jika secara ekonomi
menguntungkan dan aman dari segi kelestarian lingkungan. Arsanti dan Boehme (2006)
melaporkan bahwa sebagian besar usaha tani sayuran di Indonesia memiliki keunggulan
kompetitif dan komparatif karena efisien secara finansial dalam pemanfaatan sumber
daya domestik. Hasil penelitian Irawan et al. (2004) di DAS Kali Garang, Jawa Tengah dan
DAS Citarum, Jawa Barat menyimpulkan bahwa pendapatan petani lahan sayuran 25-40

4
kali lebih besar dibanding petani tanaman pangan dan kebun campuran. Hasil penelitian
di lokasi yang sama juga menunjukkan bahwa hanya usaha tani sayuran yang mampu
memenuhi kebutuhan hidup minimum pelaku usaha tani/petani (Dariah dan Husen,
2006).
Penggunaan input pertanian (pupuk maupun obat-obatan) pada lahan usaha tani
sayur umumnya relatif tinggi dibanding usaha tani tanaman semusim lainnya. Hal ini
selain berdampak pada ketidakefisienan pemanfaatan input pertanian, juga dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan, karena input yang diberikan tidak termanfaatkan
secara optimal, malah banyak yang hilang terbawa erosi dan runoff. Pemanfaatan obat-
obatan yang juga tergolong tinggi selain dapat mencemari lingkungan juga dapat
mengancam aspek keamanan pangan.
Salah satu alternatif usaha pertanian yang ramah lingkungan adalah Low External
Input Sustainable Agriculture (LEISA). LEISA merupakan suatu acuan pertanian untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan kombinasi komponen usaha tani
yang sinergistik serta pemanfaatan input luar sebagai pelengkap untuk meningkatkan
efektivitas sumberdaya dan meminimalkan kerusakan lingkungan (Asandhi et al. 2005).
Teknik budidaya LEISA merupakan teknik budidaya dimana penggunaan input
anorganik diimbangi dengan penggunaan input organik. Konsep LEISA dapat diterapkan
untuk meningkatkan produktifitas pertanian. Pemberian input dalam bentuk pupuk
organik pada tanah dapat mengubah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Perbaikan sifat fisik tanah mutlak diperlukan agar dapat mempertahankan kondisi tanah
yang baik.
Sistem LEISA ini lebih menekankan efisiensi penggunaan faktor produksi yang ada
untuk menciptakan pertanian yang berkelanjutan. Pada teknik budidaya LEISA sebagian
kebutuhan hara tanah dipenuhi melalui adanya penambahan bahan organik yang berasal
dari pengembalian sisa tanaman dan pupuk organik. Konsep LEISA berusaha
mengamankan kondisi tanah yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah
yang baik harus mampu menyediakan air, udara dan hara yang tepat waktu dalam jumlah
yang seimbang dan terpertahankan. Struktur tanah yang dapat meningkatkan
pertumbuhan akar, suhu tanah yang meningkatkan kehidupan dalam tanah dan
pertumbuhan tanaman serta tidak adanya unsur yang beracun.

5
Pengamanan kondisi tanah ditempuh dengan pengelolaan bahan organik,
pengelolaan tanah dan pengelolaan kesehatan tanah. Kegiatan tersebut meliputi
penggunaan langsung, pembakaran (mineralisasi), pengomposan, pemanfaatan sebagai
pakan ternak, dan fermentasi sebagai biogas yang bisa digunakan. Low External Input
Sustainable Agriculture lebih menekankan efisiensi penggunaan faktor prduksi yang ada
untuk menciptakan pertanian yang berkelanjutan. Adapun lima prinsip dari pertanian
berkelanjutan yaitu kemantapan secara ekologis, keberlanjutan secara ekonomis, adil,
manusiawi, dan luwes (Reintjes, 1999).

1.2 Batasan Masalah


1. Makalah ini membahas tentang isu, permasalahan dan rekomendasi terhadap
pengelolaan lahan tanaman semusim.
2. Makalah ini membahas rekomendasi pengelolaan lahan tanaman semusim
menggunakan konsep LEISA, penambahan bahan organik dan sistem pertanian
organik.

1.3 Tujuan
1. Memahami isu dan permasalahan dalam pengelolaan lahan pertanian tanaman
semusim.
2. Menentukan rekomendasi yang tepat dalam pengelolaan lahan pertanian
tanaman semusim.

6
BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Isu
Isu lingkungan di sektor pertanian menjadi topik pembicaraan setelah Revolusi Hijau
digulirkan pada akhir 1960-an. Sejak program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (RPPK) dideklarasikan oleh pemerintah, masalah lingkungan merupakan isu
yang perlu diangkat dengan pengelolaan yang tepat. Di antara masalah-masalah
lingkungan yang dominan di lahan pertanian, ada tiga dampak utama akibat kegiatan
manusia, yaitu:
1) dampak penggunaan sarana input produksi terhadap produksi pertanian dan
lingkungan,
2) dampak sistem pertanian terhadap emisi gas rumah kaca,
3) dampak kegiatan industri dan perluasan perkotaan di lahan pertanian.
Pada masa Revolusi Hijau (1970-1980) telah berhasil merubah pola pertanian dunia
secara spektakuler, yaitu dengan penggunaan agrokimia, baik berupa pupuk kimia
maupun obatobatan (insektisida). Dampak yang dirasakan dari Revolusi Hijau tersebut
menghasilkan produksi pangan meningkat dengan tajam, namun dampak negatif dari
penggunaan agrokimia juga tajam, yaitu menyebabkan pencemaran air, tanah,
penurunan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunnya keanekaragaman
hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk kimia, dan dalam
menentukan komoditas yang akan ditanam (Atmojo 2006).
Usaha tani sayuran seringkali dituding sebagai kegiatan yang tidak ramah lingkungan
karena banyak dilakukan pada lahan marginal yang didicirikan oleh kondisi lereng curam,
curah hujan tinggi, tanpa tindakan konservasi yang memadai (Rachman dan Dariah,
2009). Lahan pertanian tanaman semusim khususnya sayuran mulai mengalami degradasi
lahan, dimana produktifitas lahan semakin berkurang akibat diberikannya input eksternal
secara berlebihan, pada kebanyakan kasus input yang di berikan berupa bahan-bahan
sintetik sehingga berpotensi menjadi pencemar bagi lahan.
Pupuk kimia memang mampu mempercepat masa tanam karena kandungan haranya
bisa diserap langsung oleh tanah, namun di sisi lain dalam jangka panjang justru akan
menimbulkan dampak yang negatif. Pada umumnya tanaman tidak bisa menyerap 100%
7
pupuk kimia. Selalu akan ada residua atau sisanya. Sisa-sisa pupuk kimia yang tertinggal di
dalam tanah ini, bila terkena air akan mengikat tanah seperti lem/semen. Setelah kering,
tanah akan lengket satu dengan lain (alias tidak gembur lagi), dan keras. Selain keras,
tanah juga menjadi masam.
Kondisi ini membuat organisme-organisme pembentuk unsur hara (organisme
penyubur tanah) menjadi mati atau berkurang populasinya. Beberapa binatang yang
menggemburkan tanah seperti cacing tidak mampu hidup di kawasan tersebut dan
kehilangan unsur alamiahnya. Bila ini terjadi, maka tanah tidak bisa menyediakan
makanan secara mandiri lagi, dan akhirnya menjadi sangat tergantung pada pupuk
tambahan, khususnya pupuk kimia.

2.2 Permasalahan
Praktik pertanian yang kurang tepat dapat menyebabkan lahan menjadi terdegradasi.
Degradasi tanah adalah proses terganggunya salah satu atau lebih fungsi
lingkungan/hidrorologi yang melekat pada tanah. Fungsi tersebut meliputi tanah sebagai
sarana penghasil biomassa, penyaring, penyangga, pentransformasi (air, hara, polutan),
habitat hayati, dan sumber genetik. Menurut International Soil Reference and
Information Center (ISRIC) 46,4% tanah di Asia telah terdegradasi dan mengalami
penurunan produktivitas, karena telah mengalami kemunduran fungsi biologis tanah.
Sebesar 15,1% tanah tersebut tidak bisa lebih lama dipakai sebagai tanah pertanian,
karena telah kehilangan fungsi biologisnya.
Degradasi lahan dapat disebabkan oleh penanaman secara monokultur, pengolahan
tanah, dan pengangkutan biomassa tanaman ke luar lahan secara terus menerus serta
kualitas air irigasi yang jelek,penggunaan pupuk/pestisida yang kurang tepat, dan adanya
zat polutan. Akibat dari degradasi tanah menyebabkan penurunan kualitas airdan
keanekaragaman hayati dan hasil tanaman. Degradasi lahan dapat juga disebabkan oleh
pengurasan dan defisit hara karena terbawa oleh panen lebih banyak dari yang
diberikan, pemupukan tidak berimbang sehingga hara tertentu berlebihan dan hara
lainnya kekurangan, terjadinya penurunan bahan organik serta terjadinya erosi akibat
pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi.

8
Untuk menanggulangi lahan-lahan yang terdegradasi diperlukan teknologi pemulihan
dengan memanfaatkan sumberdaya pertanian yang dapat mempertahankan
keberlangsungan produktivitas tanah yang tinggi. Pada prinsipnya pengelolaan lahan
sayuran yang baik adalah memaksimalkan pemanfaatan bahan organik secara in situ dan
mengurangi penggunaan pupuk kimia anorganik. Penggunaan pestisida menyebabkan
meningkatnya resistensi organisme pengganggu tanaman, ketidak-seimbangan
keragaman hayati, keracunan pada manusia, dan menurunnya kualitas produk pertanian.
Permasalahan di lahan tanaman semusim merupakan masalah yang serius dan
penting untuk diatasi karena budidaya tanaman semusim seperti sayuran akan dilakukan
secara terus menerus karena sayuran merupakan makanan yang dikonsumsi sehar-hari.
Jika degradasi lahan terus terjadi maka budidaya tanaman sayuran dapat terancam dan
tentu saja hasil tanamannya juga ikut terancam. Petani menganggap bahwa persiapan
lahan yang baik adalah dengan mengolah tanah sehalus dan segembur mungkin serta
membuang semua sisa tanaman dari lahan dan membakarnya.
Masalah lainnya yang juga terdapat pada lahan tanaman semusim yaitu pengolahan
tanah dilakukan secara intensif, karena tanah sering diolah dan beberapa saat berada
dalam kondisi terbuka, sehingga pengaruh energi kinetik hujan menjadi lebih besar
terhadap permukaan tanah yang terbuka tanpa pemberian mulsa. Sesuai pernyataan
Utomo (2016) pengolahan tanah yang berlebihan cenderung memecah agregat dan
mengubah agregat yang mantap menjadi agregat tidak mantap. Hal ini disebabkan karena
bahan organik tanah sebagai agen pengikat kemantapan agregat berkurang. Kehancuran
agregat tanah tersebut selanjutnya akan menyebabkan penurunan fungsi hidrologi hutan.
Pada praktek budidaya tanaman semusim, petani umumnya mengolah lahan terus
menerus serta melakukan pergantian tanaman ataupun tanaman yang sama pada musim
sebelumnya. Pengolahan tanah yang intensif akan megurangi kadar bahan organik tanah
sehingga aggregat tanah mudah hancur. Hal ini berakibat terjadinya penurunan kualitas
lahan dan berdampak dengan terjadinya penurunan hasil panen. Yulnafatmawita et.al
(2011) menyatakan pengolahan tanah yang intensif umumnya dilakukan untuk pertanian
tanaman semusim, khususnya serealia dan hortikultura.
Walaupun pengolahan tanah bertujuan menciptakan lingkungan optimum untuk
pertumbuhan tanaman, agar memudahkan penetrasi akar, namun pengolahan tanah

9
yang intensif ini berdampak buruk terhadap stabilitas aggregat tanah. Tanah yang diolah
intensif menyebabkan aggregat tanah rusak. Hal ini disebabkan karena dengan
pengolahan tanah, bahan organik sebagai agen pengikat dan pemantap aggregat
teroksidasi dan berkurang.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk mengatasi masalah lingkungan di
lahan pertanian dengan mempublikasi peraturan penggunaan pupuk dan pestisida,
karantina tumbuhan dan hewan, dan kebijakan untuk mengatasi masalah lingkungan
melalui program penelitian dan pengembangan, namun hal ini belum berjalan secara
efektif dan efisien.

2.3 Rekomendasi
Terdapat beberapa rekomendasi untuk mengelola maupun mengatasi masalah pada
lahan tanaman semusim, yaitu sebagai berikut:
a. Low External Input Agriculture
LEISA merupakan sebuah penyangga dari konsep pertanian terpadu dan pertanian
yang berkelanjutan. Konsep ini mengedepankan pemanfaatan sumber daya lokal sebagai
bahan baku pola pertanian terpadu, sehingga nantinya akan menjaga kelestarian usaha
pertanian agar tetap eksis dan memiliki nilai efektifitas, efisiensi, serta produktivitas yang
tinggi (Putri, 2012). Prinsip-prinsip ekologi dasar pada LEISA, menurut Reijntjes et
al. (2011), yaitu:
1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman, khususnya
dengan mengelola bahan-bahan organik dan meningkatkan kehidupan dalam
tanah.
2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara,
khususnya melalui pengikatan nitrogen, pemompaan unsur hara, daur ulang, dan
pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap.
3. Meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara, dan air dengan
cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi.
4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan
melalui pencegahan dan perlakuan yang aman.

10
5. Saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumberdaya genetik yang
mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat
keanekaragaman fungsional yang tinggi.
Apabila ditinjau dari aspek pengelolan lahan yang berkelanjutan, tanah tidak diberi
kesempatan untuk memulihkan kesuburannya secara alami, dan jangka panjang juga akan
menyebabkan degradasi lahan. Pengelolaan lahan yang baik adalah terjaganya tingkat
kesuburan tanah yang dicirikan oleh tingkat produktivitas tanaman yang tetap tinggi dan
berkelanjutan. Tingkat kesuburan tanah adalah pengelolaan lahan yang memperhatikan
pengembalian unsur hara yang terangkut ke luar dan mengembalikannya baik dalam
bentuk pupuk organik, atau pupuk anorganik.

b. Pemberian Bahan Organik


Cara pengelolaan lahan yang kurang baik yang berakibat terhadap menurunnya
tingkat kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Dari ketiga parameter kesuburan lahan
tersebut, sifat fisik tanah sangat berpengaruh terhadap kesuburan kimia dan biologi
tanah. Oleh sebab itu, upaya perbaikan sifat fisik tanah secara tidak langsung akan
memperbaiki sifat-sifat kimia dan biologi tanah. Pemberian bahan organik merupakan
salah satu cara untuk memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik dapat memperbaiki
struktur tanah, meningkatkan kapasitas menahan air, pori aerasi, dan laju infiltrasi, serta
memudahkan penetrasi akar, sehingga produktivitas lahan dan hasil tanaman dapat
meningkat (Suwardjo et al. 1984). Pemberian bahan organik tidak hanya menghasilkan
kondisi fisik tanah yang baik, tetapi juga menyediakan bahan organik hasil pelapukan yang
dapat menambah unsur hara bagi tanaman, meningkatkan pH tanah dan kapasitas tukar
kation, serta meningkatkan aktivitas biologi tanah (Subowo et al. 1990). Pemberian bahan
organik juga dapat mengurangi kebutuhan NPK
Bahan organik dapat berfungsi sebagai:
(1) Menyimpan air tersedia lebih banyak, mengurangi penguapan, membuat kondisi
tanah mudah untuk pergerakan akar tanaman baik untuk tanah liat berat maupun
tanah berpasir;

11
(2) Menyediakan hara makro dan mikro bagi tanaman dalam batas tertentu; (3)
meningkatkan daya menahan kation (KTK) dan anion (KTA) sehingga hara tidak
mudah hilang dari tanah;
(4) Menetralkan keracunan Al dan Fe;
(5) Sebagai media tumbuh mikroorganisme tanah, seperti organisme penambat N
udara, pelarut P (Makarim dan Suhartatik 2006).
Pemberian pupuk organik yang memadai berguna untuk mempertahankan
kandungan bahan organik tanah yang banyak hilang akibat erosi dan dekomposisi. Tanpa
bahan organik, kesuburan tanah akan menurun meskipun pupuk anorganik diberikan
dalam takaran yang melebihi dosis anjuran (Karama et al., 1990). Widiriani (2009)
melaporkan pemupukan yang intensif menyebabkan nilai pH tanah di lahan pertanian
sayuran cenderung rendah. Sisa pupuk anorganik yang tidak terserap oleh tanaman akan
meningkatkan kemasaman tanah. Tanah yang terlalu masam akan memengaruhi
ketersediaan dan penyerapan unsur-unsur hara bagi tanaman serta memengaruhi
perkembangan mikroorganisme dalam tanah.
Penambahan bahan organik secara teratur atau penggunaan tanaman penutup
tanah dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah dan keragaman mikroba tanah
(Sopandie et al., 2012). Bahan organik berfungsi sebagai penyimpanan unsur hara yang
secara perlahan akan dilepaskan ke dalam larutan air tanah dan disediakan bagi tanaman.
Bahan organik di dalam atau di atas tanah juga dapat mengatur suhu dan kelembapan
tanah. Sering kali pemanfaatan bahan organik digabungkan dengan teknik-teknik lain
dengan fungsi yang saling melengkapi, misalnya pemanfaatan pupuk buatan, pengolahan
tanah, pengumpulan air, penaungan, dan pembuatan pematang (Reijntjes et al., 2011).
Penyediaan bahan organik pada lahan secara internal dapat dilakukan dengan
penanaman tanaman penutup tanah, seperti tanaman kacang-kacangan yang
bersimbiosis dengan mikroorganisme yang mampu mengikat hara bebas. Selain
menambah bahan organik dan hara, penggunaan tanaman penutup tanah juga dapat
menekan pertumbuhan gulma (Sopandie et al., 2012). Penggunaan mulsa berupa bahan
organik jika dikombinasikan dengan pola tanam tumpang sari merupakan bentuk usaha
pengendalian gulma secara kultur teknis yang dapat menciptakan keseimbangan ekologis
(Pujisiswanto, 2011). Penyediaan bahan organik secara eksternal dapat dilakukan dengan

12
penambahan bahan organik, misalnya pupuk kandang, sisa tanaman, sisa pengolahan
tanaman baik secara langsung atau melalui proses terlebih dahulu (pengomposan,
fermentasi dan sebagainya) (Reijntjes et al., 2011).

c. Pengelolaan Hara
Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah
sampai sangat tinggi. Untuk sistem dengan input tinggi, pupuk N diberikan pada tanaman
sayuran lebih dari 500 kg urea ha-1 . Pupuk kandang, sumber lain dari unsur hara N,
diberikan petani dalam jumlah tinggi; bisa lebih dari 50 t ha-1 . Pupuk organik merupakan
kebutuhan pokok tanaman sayuran dataran tinggi, untuk tanaman kentang biasanya
petani menggunakan lebih dari 40 t ha-1 kotoran sapi atau kotoran kuda per hektar per
musim (Suwandi dan Asandhi, 1995). Takaran pupuk urea, ZA, TSP/SP-36, KCl atau NPK
(15-15-15) pada sayuran dataran tinggi berkisar antara 1,5-2,0 t/ha,sedangkan untuk
tanaman cabai dataran rendah dapat mencapai lebih dari 3 t ha-1 per musim (Hidayat et
al., 1990).
Seringkali suatu jenis unsur diberikan secara berlebihan sedangkan unsur lain
diberikan kurang, sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah. Pemberian
pupuk dengan satu atau dua unsur yang berlebihan hanya berdasarkan kebiasaan atau
rekomendasi dari produsen pupuk, tanpa memperhatikan rendah dan pencemaran
lingkungan. Padahal penggunaan pupuk dan pestisida kimia kesuburan tanah dan
kebutuhan hara tanaman, dapat menyebabkan produksi tanaman telah menjadi tumpuan
bagi petani sayuran dalam meningkatkan produksi.
Kebiasaan petani melakukan pemupukan dan penggunaan pestisida secara
berlebihan, juga dapat menyebabkan penurunan atau musnahnya beberapa biota tanah
dan pencemaran lingkungan. Rotasi tanam sayuran yang berimbang (balanced crop
rotation) dalam rangka pengendalian hama dan penyakit tanaman tertentu (soil born
disesease) perlu diperhatikan, misal akar gada (club root) pada kubis, layu pada kentang.
Selain rotasi tanaman, untuk menekan penyakit akar gada juga disarankan untuk
melakukan pengapuran untuk meningkatkan pH tanah sekitar netral.
Pengelolaan hara merupakan aspek penting untuk mendukung keberlanjutan
semua bentuk usaha tani, karena selain akan menentukan tingkat keuntungan usaha tani,

13
juga akan mendukung pemeliharaan kualitas tanah agar tetap dapat berproduksi dengan
baik. Sistem pengelolan hara berdasarkan konsep pemupukan berimbang merupakan
penetapan rekomendasi pemupukan untuk mencapai tingkat ketersediaan hara esensial
yang seimbang di dalam tanah dan optimum untuk meningkatkan produktivitas dan mutu
hasil tanaman, efisiensi pemupukan, kesuburan tanah dan menghindari pencemaran
lingkungan. Pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah penting dilakukan agar
pemupukan lebih efektif dalam meningkatkan produktivitas tanaman dan efisiensi
penggunaan pupuk.
Takaran pemupukan pada lahan sayuran hendaknya berdasarkan status hara
tanah dan kebutuhan tanaman serta target hasil. Rekomendasi pemupukan pada
tanaman sayuran masih ditetapkan secara umum, belum berdasarkan status hara tanah.
Takaran pupuk yang digunakan belum mengacu pemupukan berimbang, sehingga takaran
pupuk yang diberikan menjadi tidak rasional dan berimbang. Melalui uji tanah dapat
ditetapkan batas kritis ketersediaan hara dalam tanah untuk memperoleh hasil yang
optimal.
Penggunaan pupuk dapat berupa kombinasi pupuk anorganik, organik, dan hayati.
Kaidah 5 tepat dalam pemupukan harus benar-benar dilaksanakan yaitu tepat jenis, tepat
jumlah, tepat waktu, tepat lokasi, dan tepat cara. Dalam konsep pemupukan berimbang
dianjurkan mengembalikan jumlah hara yang terangkut panen, sehingga kesuburan tanah
dapat terjaga. Jika dilihat dari sisi jumlah hara yang diangkut tanaman sayuran, maka
umumnya rekomendasi pemupukan N terlalu tinggi, sebaliknya pemupukan K terlalu
rendah.

c. Sistem Pertanian Organik


Sistem pertanian organik pada lahan sayuran sangat berpeluang untuk
dikembangkan. Selain berhubungan dengan permintaan terhadap produk organik
semakin meningkat dan harga yang relatif lebih tinggi, sistem pertanian organik juga lebih
bersifat ramah lingkungan. Sistem pangan organik didefinisikan sebagai kegiatan usaha
tani secara menyeluruh sejak proses produksi (pra-panen) sampai proses pengolahan
hasil (pasca-panen), yang bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa

14
penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk
yang sehat dan bergizi.
Dalam SNI No. 01-6729-2002 berisi panduan tentang cara-cara budidaya pangan
organik untuk tanaman pangan dan ternak, pengemasan, pelabelan, dan sertifikasinya.
Dukungan pemerintah dalam hal teknologi, standarisasi, sertifikasi, dan pengawasan
produk organik perlu terus diupayakan. Untuk itu Kementrian Pertanian telah
mencanangkan program Go Organic 2010, dan menyiapkan perangkat peraturan dibidang
standarisasi, sertifikasi, dan sosialisasi agribisnis pengembangan pertanian organik.
Dengan diberlakukannya standar nasional untuk produk organik, maka konsumen
produk pangan organik akan mendapatkan jaminan kepercayaan dan hukum dengan
diberlakukannya sertifikasi dan pemberian label pada produk pangan organik.
Kebijakan pemerintah untuk mendukung pengembangan gerakan Go Organic
2010 antara lain adalah:
(a) Menunjuk otoritas kompeten yaitu Setjen Kementrian Pertanian c.q. Pusat
Standarisasi dan Akreditasi (PSA) dan
(b) Membentuk Task Force Pangan Organik yang terdiri atas pemerintah, swasta,
pakar teknis, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Badan
Standarisasi Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN), perguruan
tinggi, praktisi, petani/produsen dan konsumen.
Tugas Task Force Pangan Organik adalah menyusun sistem pengawasan dan sertifikasi
pangan organik, sistem pelabelan pangan organik dan menyusun national list yang
diijinkan sebagai input pertanian organik.
Penerapan sistem pertanian organik di Indonesia berlangsung secara selektif dan
kompetitif serta akan berjalan seiring dengan program revolusi hijau yang bertujuan
mempertahankan program ketahanan pangan nasional. Teknologi pengelolaan hara pada
sistem pertanian organik ikut mendorong terwujudnya kelestarian sumber daya
lingkungan. Sistem pertanian organik merupakan sistem yang menerapkan teknologi
ramah lingkungan dalam mencapai sistem pertanian yang lestari dan berkelanjutan untuk
membangun kesuburan tanah jangka panjang.
Lahan yang sesuai untuk pertanian organik adalah lahan yang bebas dari
pencemaran bahan agrokimia, baik dari pupuk maupun pestisida. Terdapat dua pilihan

15
lahan yaitu lahan pertanian yang baru dibuka atau lahan pertanian intensif yang telah
dikonversi menjadi lahan pertanian organik. Lama masa konversi tergantung sejarah
penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman. Masa konversi lahan minimal 2
tahun untuk tanaman pangan dan untuk tanaman tahunan sekitar 3 tahun. Teknologi
pengelolaan hara pada sistem pertanian organik dilakukan melalui daur ulang hara
tanaman secara alamiah dalam peningkatan kesuburan biologis, fisik, dan kimia tanah.

16
BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Lahan tanaman semusim memiliki banyak input bahan kimia sintetis dan
mengalami pengolahan secara terus menerus sehingga degradasi lahan terus meningkat.
Untuk mengurangi degradasi lahan, dapat dilakukan beberapa upaya yaitu menggunakan
konsep LEISA dan menerapkan sistem pertanian organik untuk mengurangi pemakaian
bahan kimia sintetis secara berlebihan.

3.2 Saran
Karena masalah degradasi lahan sulit untuk dicegah, diharapkan pemerintah
maupun pihak-pihak yang terlibat dan terkait dapat terus mengevaluasi dan mendukung
serta menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan agar permasalahan lahan
tanaman semusim dapat diminimalisir.

17
DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, S.W. 2006. Degradasi Lahan dan Ancaman bagi Pertanian. Solo Pos.

Asandhi, A.A., W. Setiawati, I. Sulastrini dan N. Sumarni. 2002. Karakterisasi media tanam
dan input untuk usahatani LEISA di ekosistem dataran rendah. Laporan Penelitian
T.A. 2002, Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 15 hlm.

Arsanti, I.W. dan M. Boehme. 2006. Sistem usaha tani tanaman sayuran di Indonesia:
Apresiasi multifungsi pertanian, ekonomi, dan eksternalitas lingkungan: Studi
kasus di Dataran Tinggi Jawa dan Sumatera. hlm 195-230 dalam Prosiding
Seminar Multifungsi da Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. MAFF
Japan, ASEAN Secretariat. Jakarta

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 2008.
Policy Brief: Keragaan dan ketersediaan sumberdaya lahan untuk pembangunan
pertanian. Dalam Laporan Akhir Sintesis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya
Lahan untuk Mendukung Pembangunan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Dariah, A. dan E. Husen. 2006. Optimalisasi multifungsi pertanian pada usaha tani
berbasis tanaman sayuran. hlm. 263-278 dalam Prosiding Seminar Multifungsi da
Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. MAFF Japan, ASEAN Secretariat.
Jakarta.

Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Buku Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hlm 246.

Hidayat, A., Yusdar Hilman, N. Nurtika, and Suwandi. 1990. Result of Lowland Vegetable
Research. Proceedings of the National Vegetable Workshop. Lembang. p. 55-68.

Irawan, E. Husen, Maswar, Robert L. Watung, dan F. Agus. 2004. Persepsi dan Apresiasi
Masyarakat terhadap Multifungsi Pertanian: Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Hal. 21-43 dalam Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan
Konservasi Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.

Pujisiswanto, H. 2011. Pertumbuhan gulma dan hasil tanaman pada tumpangsari selada
dengan tomat diaplikasi mulsa jerami. J. Agrivivor 10(2): 139-147.

18
Putri, F. 2012. Pertanian yang berkelanjutan. http://www.bbpp-lembang.info.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). 2001. Atlas
Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hlm 37.

Rachman, A. dan A. Dariah. 2009. Pengelolaan Tanah Terpadu lahan sayuran di


pegunungan. dalam Peningkatan Produktivitas Kentang dan Sayuran Lainnya
dalam Mendukung Ketahanan Pangan Perbaikan Nutrisi, dan Klestarian
Lingkungan. Prosiding Seminar nasional Pekan kentang 2008. Lembang 20-21
Agustus 2008. ACIAR. Balitsa. Puslitbang Hortikultura. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.

Reijntjes, C., B. Haverkort and A. Waters-Bayers. 2011. Pertanian untuk Masa Depan,
Sebuah Pengantar Pertanian Rendah Input dan Berkelanjutan. Y. Sukoco,
penerjemah; Elske van de Fliert dan B. Hidayat, editor. Kanisius. Yogyakarta. 266
hal. Terjemahan dari: Farming For The Future, An Introduction to Low-External-
Input and Sustainable Agriculture.

Sjah, T. 2010. Ekonomi pertanian. Mataram University Press. Mataram.

Subowo, J. Subagja, dan M. Sudjadi. 1990. Pengaruh Bahan Organik terhadap Pencucian
Hara Tanah Ultisol Rangkasbitung Jawa Barat. Pemberitaan Penel. Tanah dan
Pupuk. 9:26-31.

Soepandie, D., R. Poerwanto dan Sobir. 2012. Sistem pertanian yang berkelanjutan, hal.
225-249. Dalam. R. Poerwanto, I. Z. Siregar dan A. Suryani (Eds.). Merevolusi
Revolusi Hijau. IPB Press. Bogor.

Suwandi dan A.A. Asandhi. 1995. Pola usaha tani berbasis sayuran dengan berwawasan
lingkungan untuk meningkatkan pendapatan petani. hlm. 13- 28 dalam Pros.
Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran. Lembang.

Suwardjo, H. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Pola
Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi Doktor. SPS. IPB. Bogor. 150 Hlm.

Utomo, M., Sudarsono., Rusman, B., Sabrina, T., Lumranraja, J dan Wawan. 2016. Ilmu
Tanah Dasar- Dasar Pengelolaan. Jakarta: Prenedamedia Group. 150-156hal.

19
Yulnafatmawita, Lidia, dan Saidi, A. 2011. Variasi Sifat Fisika Ultisol Pada Beberapa Daerah
di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan dan Sosial Ekonomi.
Pengemangan Pertanian Terpadu Berbasis Organik- Menuju Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan. Vol. 2.Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Padang.
hal 249-265.

20

Anda mungkin juga menyukai