Anda di halaman 1dari 16

IRIGASI DAN DRAINASE

“TUGAS M5 – CROPWAT DAN DESAIN INSTALASI IRIGASI”

Dosen Pengampu: Prof. Ir. Sugeng Prijono, S.U.

Disusun oleh:
Kelas N Kelompok 4

Salsabila Dzuhuria 215040200111014

Wildan Rabbani Alfi 215040200111155

Adellia Jasmita Albab 215040200111218

Fidia Sukma Ayu 215040207111055

Erza Aulia Adara 215040207111102

Ananta Rizky Aprillia 215040207111197

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya sumber daya air, ketersediaan
sumber daya air mencapai 15.500 meter kubik perkapita pertahun. Angka ini masih jauh di
atas rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter kubik per tahun. Kecamatan Kalianget
Merupakan daerah dengan luas lahan dan penghasil garam terbesar di Kabupaten Sumenep.
Kecamatan Kalianget memiliki luas 301,94 km², Sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Gapura, Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatn Kota Sumenep, dan Sebelah Timur berbatasan dengan Selat
Madura. Terdapat tujuh Desa yang yang ada di Kecamatan Kalianget, antara lain Desa
Kalianget Timur, Desa Kalianget Barat, Desa Kalimo’ok, Desa Kertasada, Desa Marengan
Laok, Desa Karanganyar dan Desa Pinggirpapas. Luas wilayah Kecamatan Kalianget
menurut pengunaanya terbagi menjadi dua bagian yaitu tanah sawah dan tanah kering.
Tanah sawah hanya terdapat di Desa Kalimo’ok sebesar 33,00 hektar atau 1 persen. Desa
selain Kalimo’ok tidak mempunyai lahan sawah. Sedangkan jumlah keseluruhan tanah
kering sebesar 2.997,40 hektar atau 99 persen. Luas tanah kering terbesar terdapat di Desa
Pinggirpapas yaitu 865,96 hektar, sedangkan luas tanah kering paling sempit ada di Desa
kertasada 172,90 hektar (BPS, 2016). Kondisi tanah kering yang sangat luas dan sedikitnya
lahan yang dapat dijadikan persawahan membuat membuat banyak dari masyarakat
Kecamatan Kalianget lebih memilih bekerja menjadi petani garam.
Cahaya matahati merupakan energi bagi semua makhluk yang ada di bumi. Bagi
tanaman, cahaya matahari berperan dalam proses fotosintesis. Setiap jenis tanaman
memiliki sifat yang berbeda dalam hal fotoperiodeisme yakni lamanya penyinaran matahari
dalam satu hari. Perbedaan respon tanaman terhadap lama penyinaran ini menghasilkan
tanaman dapat dikelompokkan menjadi tanaman hari netral, hari panjang, dan hari pendek
(Wiraatmaja, 2017). Kecamatan Kalianget memiliki rata-rata curah hujan 157,125
mm/tahun. Pada wilayah tersebut memiliki temperatur maksimum rata-rata sebesar 31,9
°C/tahun. Selain itu, temperatur minimum yang ada pada daerah tersebut rata-rata sebesar
25,2 °C/tahun. Pada Kecamatan Kalianget memiliki rata-rata kelembaban relatif sebesar
80,5 %/tahun. Kemudian, terdapat kecepatan angin dengan rata-rata sebesar 2,48 km/tahun
serta lama rata-rata penyinaran sebesar 6,68 jam/tahun. Terdapat salah satu komoditas yang
ditanam di daerah tersebut, yaitu padi. Tanaman padi untuk memenuhi kebutuhan air irigasi
pada periode tanam hingga panen dengan umur tanaman 100 hari akan memerlukan air
520-1.620 mm. Untuk padi umur 130 hari membutuhkan air sebanyak 720-2.160 mm.
Lama penyinaran, temperatur maximum dan minimum, kelembaban, dan kecepatan angin
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi. Menurut Fibriana (2018),
evapotranspirasi merupakan gabungan dua istilah yang menggambarkan proses fisika
transfer air ke atmosfir yaitu evaporasi atau air yang menguap melalui tanah dan transpirasi
atau air yang menguap melalui tumbuhan. Evapotranspirasi terbagi atas beberapa jenis di
antaranya adalah evapotranspirasi satandar, evapotranspirasi potensial, evapotranspirasi
tanaman, dan evapotranspirasi aktual. Evapotranspirasi potensial tercapai apabila jumlah
air yang tersedia tidak menjadi faktor pembatas sehingga evapotranspirasi yang terjadi akan
menjadi kondisi maksimal.
Pengelolaan air berperan sangat penting dan merupakan salah satu kunci
keberhasilan peningkatan produksi padi di lahan sawah. Produksi padi sawah akan
menurun jika tanaman padi menderita cekaman air (water stress). Gejala umum akibat
kekurangan air antara lain daun padi menggulung, daun terbakar (leaf scorching), anakan
padi berkurang, tanaman kerdil, pembungaan tertunda, dan biji hampa. Tanaman padi
membutuhkan air yang volumenya berbeda untuk setiap fase pertumbuhannya. Variasi
kebutuhan air tergantung juga pada varietas padi dan sistem pengelolaan lahan sawah.
Pengaturan air untuk sistem mina-padi berbeda dengan sistem sawah tanpa ikan. Ini berarti
bahwa pengelolaan air di lahan sawah tidak hanya menyangkut sistem irigasi, tetapi juga
sistem drainase pada saat tertentu dibutuhkan, baik untuk mengurangi kuantitas air maupun
untuk mengganti air yang lama dengan air irigasi baru sehingga memberikan peluang
terjadinya sirkulasi oksigen dan hara. Dengan demikian teknik pengelolaan air perlu secara
spesifik dikembangkan sesuai dengan sistem produksi padi sawah dan pola tanam.
Kecukupan air tanaman dapat diketahui melalui analisis neraca air tanaman yang
menghasilkan output berupa status kelebihan/kekurangan air serta volume dan interval
irigasi dapat diberikan. Kondisi ketersediaan air dalam satu siklus hidup tanaman dapat
mengestimasi potensi kehilangan hasil pada tanaman akibat kekurangan air. Dengan
melihat potensi kehilangan hasil dalam satu siklus hidup tanaman pada setiap waktu tanam
selama setahun dapat digunakan sebagai konsep dasar dalam penentuan masa tanam
terbaik. Penggunaan Air di suatu Daerah Irigasi menjadi hal yang sangat penting agar
sumber daya air yang ada dapat dialokasikan ke semua daerah irigasi secara efisien dan
efektif. Pemberian air irigasi dan hujan akan mempengaruhi imbangan air di lahan. Bila
diketahui ada kelebihan ketersediaan air terhadap kebutuhan air irigasi, maka dapat
dilakukan penghematan dan dimanfaatkan lagi untuk berbagai kepentingan lain. Sistem
imbangan air irigasi di lahan meliputi hujan, suplai air, kebutuhan air untuk tanaman dan
kelebihan air perlu dikelola dengan baik dengan model simulasi untuk mengetahui besaran
parameter-parameter dalam imbangan air di lahan irigasi dengan menerapkan secara
koninyu, terjadwal dan terkontorol (Hariyanti et al., 2019). Sehingga ketersediaan air
secara krusial juga menentukan masa tanam.
Melimpahnya sumber mata air harus dikelola dengan baik agar pemanfaatan air
irigasi lebih efisien. Banyanknya air yang terbuang menyebabkan tidak efisienya
penggunaan air, kelebihan air akibat curah hujan yang berlebihan akan tejadi banjir,
Sebagai contoh, tanaman padi yang tegenang air dalam waktu lama apabila tidak diatur
dengan baik maka tanaman padi akan membusuk dan mati, bila kekurangan air tanaman
padi tidak subur selanjutnya mati (Yendri, 2020). Perlu dilakukan pemodelan pemberian
sistem irigasi sesuai karakteristik tanaman agar menciptakan kondisi iklim mikro yang
sesuai dengan syarat tumbuh tanaman. Pemberian debit air harus disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman pada tiap fase tumbuhnya. Dikarenakan fase pertumbuhan tanaman
secara umum membentuk kurva sigmoid, maka kebutuhan air pada tiap fase juga berbeda.
Di sisi lain, kondisi ketersediaan air di lingkungan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan
tanaman, maka dari itu perlu dilakukan pengaturan pemberian air irigasi yang sesuai guna
menunjang sistem metabolisme tanaman agar dapat menghasilkan panen yang optimal.
Dalam pengaturan air irigasi, penting mengetahui jumlah debit air yang harus
diaplikasikan.
Irigasi menjadi investasi yang penting dalam sektor pertanian guna menghasilkan
output sesuai eskpektasi. Irigasi mendukung proses hulu pertanian untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam hal penyediaan sandang, pangan, dan papan. Dengan adanya
sistem irigasi yang baik diharapkan dapat menghasilkan panen dengan peningkatan kualitas
dan kuantitas yang lebih baik dari sebelumnya sehingga berpotensi mencapai ketahanan
pangan. Permasalahan dalam irigasi ialah apabila pemberian air tidak sesuai dengan
kebutuhan tanaman, maka tanaman tidak dapat menyerap secara optimal air yang
diaplikasikan. Selain itu, model irigasi yang kurang sesuai dengan karakterisitik tanaman
juga memengaruhi penyerapan air oleh di mintakat akar. Dengan begitu perlu adanya
sarana yang dapat membantu dalam mengestimasi kebutuhan air bagi tanaman berupa
Crowat 8.0 dan juga penentuan model irigasi yang tepat. Apabila penerapan irigasi tidak
dilakukan secara optimal, maka akan berdampak negative terhadap pertumbuhan tanaman
karena air memegang peran krusial dalam pertumbuhan tanaman di segala fase mulai dari
perkecambahan hingga panen. Adapun tujuan dari penggunaan aplikasi Cropwat 8.0 dan
desain instalasi irigasi adalah menentukan penjadwalan irigasi yang tepat di Kecamatan
Kalianget pada komoditas pangan dan palawija dan perencanaan model irigasi yang tepat
untuk diaplikasikan di Kecamatan Kalianget.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketersediaan air untuk lahan padi (sawah) di Kecamatan Kalianget
Kabupaten Sumenep?
2. Metode apa yang harus dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan air yang
terdapat di daerah tersebut?
3. Bagaimana hasil dari penggunaan aplikasi cropwat yang terdapat di daerah
tersebut?
1.3 Tujuan
Penelitian tersebut memiliki tujuan agar ,ahasiswa dapat memahami cara
pengaplikasian aplilasi cropwat pada Kecamatan Kalianget. Selain itu, penggunaan aplikasi
cropwat tersebut diharapkan dapat membantu mempermudah pekerjaan petani di era
modern serta mengatasi permasalahan-permasalahan yang terdapat di sektor pertanian.
BAB II
PARAMETERISASI DATA INPUT UNTUK PROGRAM CROPWAT
Cropwat merupakan sebuah aplikasi windows yang digunakan untuk menghitung
kebutuhan air irigasi tanaman. Menurut Shalsabillah et al. (2018), aplikasi Cropwat dapat
digunakan untuk menghitung evapotranspirasi aktual, kebutuhan air irigasi suatu tanaman
dalam suatu hamparan, dan merencanakan pemberian air irigasi. Program Cropwat 8.0
merupakan versi terbaru, dimana di dalamnya mengandung data karakteristik tanah standar
dan data karakteristik tanaman standar. Berikut merupakan parameterisasi data input yang
digunakan dalam program Cropwat 8.0:
Tabel 1. Parameterisasi Data Input Program Cropwat 8.0
No. Modul Cropwat 8.0 Data Input
1. Modul Climate a) Country, merupakan suatu negara dari data
meteorologi yang dipakai.
b) Station, yaitu stasiun pencatat data meteorologi.
c) Latitude, yaitu letak lintang (utara/selatan).
Berisi data meteorologi d) Longitude, yaitu letak bujur (timur/barat).
dan untuk menghitung e) Altitude, berisi mengenai ketinggian tempat
ETo. stasiun pencatat data meteorologi.
f) Minimum temperature, yaitu suhu minimal yang
didapatkan (oC).
g) Maximum temperature, yaitu suhu maksimal (oC).
h) Humadity, yaitu kelembapan nisbi yang
didapatkan (%).
i) Wind, berisi mengenai data kecepatan angin
yang didapatkan (km/hari).
j) Sun, yaitu data lama penyinaran cahaya matahari
yang didapatkan (jam).
k) Rad, yaitu data radiasi matahari (MJ/m 2/hari).
l) ETo, yaitu data evapotranspirasi potensial yang
didapatkan.
m) Month, yaitu bulan dari data meteorologi yang
yang didapatkan.
n) Average, yaitu rata-rata dari semua data yang
didapatkan.
2. Modul Rain a) Rain, yaitu berisi data curah hujan yang
didapatkan (mm).
b) Eff Rain, yaitu besar curah hujan efektif yang
didapatkan (mm).
c) Station, yaitu stasiun dari data meteorologi
Berisi data hujan.
pencatat.
d) Eff Rain Method, yaitu metode perhitungan
hujan efektif yang digunakan.
e) Total, yaitu total dari data yang didapatkan.
3. Modul Crop a) Crop name, yaitu nama tanaman yang digunakan
dalam pengamatan.
b) Planting date, yaitu waktu penanaman dari
tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan).
Berisi data tanaman c) Harvest, merupakan waktu pemanenan tanaman
yang digunakan untuk yang digunakan (tanggal dan bulan).
mengetahui nilai
koefisien tanaman, fase
pertumbuhan tanaman
(hari), kedalaman akar
(m), deplesi
ketersedeiaan air di zona
perakaran (fraksi), faktor
respon hasil, dan tinggi
tanaman (m).
4. Modul Soil a) Soil name, yaitu nama dan tipe tanah yang
digunakan dalam pengamatan.

Berisi data tanah secara


umum, seperti total
kelembaban tanah
tersedia (mm/meter),
laju infiltrasi hujan
maksimum (mm/hari),
kedalaman zona
perakaran maksimum
(m), deplesi kelembaban
tanah lapisan atas (%),
dan kelembaban tanah
tersedia pada lapisan
atas (mm/meter).
5. Modul Crop Pattern a) Cropping pattern name, yaitu pola tanam yang
digunakan.
b) Crop file, yaitu data tanaman yang digunakan.
c) Crop name, yatu nama tanaman yang digunakan.
Berisi data pola tanam d) Planting date, yaitu waktu penanaman dari
untuk menyusun pola tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan).
e) Harvest date, yaitu waktu pemanenan dari
tanam di suatu lahan
tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan).
pertanian. f) Area, yaitu jumlah area yang digunakan.
6. Modul CWR (Crop a) ETo station, yaitu stasiun pencatat data
Water Requirements) evapotranspirasi potensial yang digunakan.
b) Rain station, yaitu stasiun pencatat data hujan
yang digunakan.
c) Crop, yaitu nama tanaman yang digunakan.
Berisi data hasil analisis d) Planting date, yaitu waktu penanaman dari
kebutuhan air suatu tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan).
tanaman. e) Month, yaitu bulan dari data meteorologi yang
yang didapatkan.
f) Decade, yaitu dekade/dasawarsa dari kebutuhan
air tanaman.
g) Stage, yaitu fase pertumbuhan tanaman dari
tingkatan kebutuhan air.
h) Kc, yaitu koefisien tanaman.
i) ETc, yaitu evaporasi suatu tanaman (mm/hari dan
mm/dec).
j) Eff rain, yaitu data curah hujan (mm/dec).
k) Irrigation requirement, yaitu kebutuhan air
irigasi tanaman (mm/dec).
7. Modul Schedule a) ETo station, yaitu stasiun pencatat data
evapotranspirasi potensial yang digunakan.
b) Rain station, yaitu stasiun pencatat data hujan
yang digunakan.
Berisi hasil analisis c) Crop, yaitu nama tanaman yang digunakan.
kebutuhan air irigasi d) Soil, yaitu nama dan tipe tanah yang digunakan
dalam pengamatan.
atau neraca air dalam
e) Planting date, yaitu waktu penanaman dari
mintakat perakaran yang tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan).
mencakup mengenai f) Harvest date, yaitu waktu pemanenan dari
jadwal irigasi. tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan).
g) Yield red, yaitu pengurangan hasil panen (%).
h) Total gross irrigation, yaitu total irigasi kotor
(mm).
i) Total net irrigation, yaitu total irigasi bersih (mm).
j) Total irrigation losses, yaitu total irigasi terbuang
(mm).
k) Potential water use by crop, yaitu penggunaan air
potensial tanaman (mm).
l) Actual water use by crop, yaitu penggunaan air
aktual tanaman (mm).
m) Efficiency irrigation schedule, yaitu efisiensi
jadwal irigasi (%).
n) Deficiency irrigation schedule, yaitu defisiensi
jadwal irigasi (%).
o) Total rainfall, yaitu jumlah total hujan.
p) Total rain loss, yaitu total hujan terbuang.
q) Effective rainfall, yaitu besarnya hujan efektif.
r) Actual irrigation requirement, yaitu kebutuhan
aktual irigasi.
s) Moist deficit at harvest, yaitu defisit kelembapan
saat panen (%).
t) Efficiency rain, yaitu efisiensi hujan (%).
8. Modul Scheme a) ETo station, yaitu stasiun pencatat data
evapotranspirasi potensial yang digunakan.
b) Rain station, yaitu stasiun pencatat data hujan
yang digunakan.
c) Precipitation deficit, yaitu defisit curah hujan.
Berisi skema irigasi atau
d) Irrigated area, yaitu area yang teririgasi dari
peratiran alokasi air
total semua area di suatu lahan (%).
irigasi dalam jaringan.
e) Net scheme irr. req, yaitu skema bersih dari
kebutuhan air irigasi (mm/hari, mm/bulan, I/s/h).
f) Irr. req for actual area, yaitu kebutuhan air irigasi
untuk area aktual (I/s/h).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Radiasi Matahari dan Evapotranspirasi Potensial
Adapun hasil dari data radiasi matahari dan evapotransipari menggunakan aplikasi
cropwat 8.0 sebagai berikut.

Gambar 1. ETo Bulanan

Gambar 2. Hujan Bulanan


Berdasarkan data diatas, dapat diketahui tabel meteorologi dan ETo atau
evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi merupakan gabungan dari evaporasi dan
transpirasi, sehingga dipengaruhi tidak hanya oleh faktor iklim tetapi juga faktor fisiologis
vegetasi. Evapotranspirasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu evapotranspirasi potensial
(ETP) dan evapotranspirasi aktual (ETA). ETP adalah evapotranspirasi maksimal yang
dapat terjadi pada kondisi cukup air dan semua tanaman dianggap seragam yaitu rumput
hijau setinggi 5 cm. ETP lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim seperti suhu,
kelembaban, dan radiasi matahari. Sedangkan ETA lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi
tanaman dan unsur tanah (Asdak, 2010). Hasil perhitungan pada aplikasi Cropwat
didapatkan data evapotranspirasi potensial metode Penman-Monteith pada wilayah
Kalianget, Sumeneo, Jawa Timur. Berdasarkan data hasil perhitungan pada aplikasi
Cropwat maka pada bulan Januari nilai ETP sebesar 2.75 mm/day dengan curah hujan
efektif 160.9 mm, pada bulan Februari nilai ETP sebesar 3.49 mm/day dengan curah hujan
efektif 153.4 mm, pada bulan Maret nilai ETP sebesar 3.57 mm/day dengan curah hujan
efektif 125.5 mm, pada bulan April nilai ETP sebesar 4.27 mm/day dengan curah hujan
efektif 128.0 mm, pada bulan Mei nilai ETP, sebesar 4.50 mm/day dengan curah hujan
efektif 76.5 mm, pada bulan Juni nilai ETP sebesar 4.36 mm/day dengan curah hujan efektif
engan curah hujan efektif 5.3 mm, pada bulan Agustus nilai ETP sebesar 4.69 mm/day
dengan curah hujan efektif 5.3 mm, pada bulan September nilai ETP sebesar 4.38 mm/day
dengan curah hujan efektif 26.4 mm, pada bulan Oktober nilai ETP sebesar 4.53 mm/day
dengan curah hujan efektif 44.1 mm, pada bulan November nilai ETP sebesar 2.88 mm/day
dengan curah hujan efektif 161.6 mm, dan pada bulan Desember nilai ETP sebesar 3.10
mm/day dengan curah hujan efektif 157.5 mm
Sehingga dapat diketahui ETP paling besar terjadi pada bulan Agustus yaitu
sebesar 4.69 mm/day dan yang paling rendah pada bulan Januari sebesar 2.75 mm/day.
Sedangkan curah hujan efektif yang maksimum terjadi pada bulan November sebesar 161.6
mm dimana jumlah pasokan air lebih besar jika dibandingkan dengan bulan Juli yang
memiliki curah hujan efektif minimum sebesar 5.3 mm. Adanya data curah hujan tentunya
memiliki fungsi pada suatu tanaman misalnya untuk menentukan jadwal dan pola tanaman
yang sesuai digunakan pada kondisi suatu wilayah tertentu. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Dwiratna et al. (2013) bahwasanya curah hujan dapat menentukan jadwal dan
pola tanam pada suatu lahan di wilatah yang bersangkutan. Sedangkan curah hujan efektif
merupakan besaran curah hujan yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman
pada proses pertumbuhannya (Hidayat, 2016).
3.2 Kebutuhan Air Tanaman (ETc atau CWR)
Adapun hasil dari kebutuhan air tanaman menggunakan aplikasi cropwat 8.0
sebagai berikut.

Gambar 3. Kebutuhan Air Tanaman


Data hasil perhitungan dari aplikasi Cropwat didapatkan data CWR atau ETc
tanaman padi selama 6 bulan dimulai dari Agustus dengan tanggal tanam 24 September.
Nilai ETc tanaman padi pada bulan Agustus sebesar 0.55 mm/day. Pada bulan September
nilai ETc tanaman padi sebesar 3.50 mm/day, 4.66 mm/day, 4.83 mm/day. Pada bulan
Oktober nilai ETc pada tanaman padi sebesar 5.07 mm/day, 5.19 mm/day, 4.48 mm/day.
Pada bulan November nilai ETc pada tanama padi sebesar 3.56 mm/day, 2.88 mm/day,
30.3 mm/day. Pada bulan Desember nilai ETc pada tanaman padi sebesar 3.26 mm/day,
3.33 mm/day, 34.6 mm/day. Pada bulan Januari nilai ETc pada tanaman padi sebesar 2.81
mm/day, 2.53 mm/day, 2.71 mm/day. Evapotranspirasi tanaman yang meningkat dan
menurun setiap fase menunjukkan bahwa tanaman dalam tahap perkembangan
(development) dan pertengahan (mid season) dan kembali menurun pada tahap penuaan
(end season). Hal tersebut disebabkan karena tanaman memiliki kebutuhan air yang
berbeda-beda selama pertumbuhan sesuai proses dalam tanaman. Pada awal pertumbuhan,
laju evapotranspirasi lebih rendah karena permukaan transpirasi lebih kecil, maka absorbsi
air oleh tanaman rendah dan sebaliknya absorbsi pada saat indeks luas daun maksimum.
Selanjutnya dengan gugurnya daun tua, maka indeks luas daun akan diikuti dengan
penurunan kebutuhan air (Manik et al., 2012).
3.3 Jadwal Irigasi
Jadwal irigasi ditentukan berdasarkan kriteria yang optimal dari tanggal
penanaman pertama. Pemberian irigasi pada lahan diberikan berdasarkan ketersediaan dan
kelembaban pada tanah. Pada laporan ini, kriteria yang digunakan yaitu Irrigation timing:
Irigate at fixed waterdepth (100%) dan Irrigation Application: Refil Soil to water depth
(100 mm) dengan Irrigation efficiency 100%. Berikut merupakan hasil analisis berdasarkan
kriteria tersebut.

Gambar 4. Jadwal Irigasi


Data tersebut yang akan digunakan untuk mengetahui jumlah kebutuhan air
yang harus diterapkan pada lahan yang ditentukan sehingga dapat memenuhi nutrisi
pada tanaman padi dan efisien terhadap penggunaan air yang berkelanjutan. Pada
hasil analisa program Cropwat 8.0 dengan kriteria Irrigation timing: Irigate at fixed
waterdepth (100%) dan Irrigation Application: Refil Soil to water depth (100 mm) dengan
Irrigation efficiency 100% dapat diketahui bahwa jadwal irigasi tanaman padi dilakukan
sebanyak 7 kali selama masa penanaman budidaya tanaman padi yakni 4 September, 19
September, 21 September, 27 September, 9 Oktober, 21 Oktober, dan 21 Januari.
Penjadwalan irigasi tersebut dapat diketahui masing-masing besaran jumlah irigasi bersih
yang berturut-turut sebesar 49.7 mm; 98.0 mm; 56.1 mm; 95.6 mm; 96.9 mm; dan 100.7
mm. Sehingga total irigasi bersih yang diperlukan sebesar 497.0 mm. Selain itu, untuk total
irigasi kotor yang diperlukan pada budidaya tanaman padi sebesar 710.0 mm. Total
kerugian perkolasi yang didapatkan yaitu sebesar 506.2 mm. Nilai kebutuhan air irigasi
aktual dengan penggunaan air aktual oleh tanaman keduanya memiliki nilai yang sama
yaitu sebesar 434.2 mm. Dengan adanya kriteria tersebut, dapat dikatakan bahwa pemilihan
kriteria irigasi sangat efektif 100%. Dalam melakukan penjadwalan irigasi sangat
diperlukan adanya pengetahuan mengenai kadar air tanah yang tersedia untuk suatu
tanaman, sehingga dapat memperkirakan tanggal awal pemberian air untuk tanaman
sebelum terjadinya cekaman.
3.4 Skema Irigasi
Adapun hasil dari data skema irigasi menggunakan aplikasi cropwat 8.0 sebagai
berikut.

Gambar 5. Skema Irigasi


Berdasarkan gambar tabel skema irigasi di atas, dapat diketahui bahwa hasil
akhir dari pengimputan data climate, rain, soil, crop, CWR, dan ditinjau dari
schedule serta crop pattern jumlah irigasi tertinggi pada bulan September yang
membutuhkan jumlah irigasi sebesar 308.0 mm/bulan.
3.5 Grafik Neraca Air
Adapun hasil dari garfik neraca air menggunakan aplikasi cropwat 8.0 sebagai
berikut.

Gambar 6. Grafik Neraca Air


Grafik di atas menunjukkan bahwa seberapa besar suatu lahan tanaman padi
kehilangan air sehingga membutuhkan irigasi yang cukup besar pula. Diketahui
bahwa jumlah irigasi tertinggi didapatkan pada bulan September. Semakin rendah
bar yang ditunjukkan pada grafik, maka potensi kehilangan air pada lahan akan
sedikit.
BAB IV
SISTEM IRIGASI DAN DESAIN
Budidaya tanaman padi dariawal penanaman membutuhkan pengairan hingga
masa panennya karena persediaan air yang cukup bagi tanaman padi akan berpengaruh
terhadap tingkat produksinya. Pada tanaman padi kebutuhan air irigasinya mencakupi
evapotranspirasi, banyaknya air yang hilang akibat perkolasi maupun rembesan, serta
pengairan awal yang diberikan pada padi sesuai kebutuhannya untuk penjenuhan tanah
(Fuadi et al., 2016). Irigasi yang sesuai untuk lahan persawahan atau komoditas tanaman
padi pada umumnya adalah surface irrigation (irigasi permukaan). Irigasi permukaan
merupakan sistem irigasi yang mengaliri atau menyadap air langsung di sungai melalui
bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian
air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran irigasi sampai kelahan pertanian yang
dikenal dengan nama saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier (Doloksaribu dan
Lolo, 2012). Namun, dalam penggunaan air harus melakukan penghematan air sangatlah
dibutuhkan karena jumlah kebutuhan air yang saat ini terus meningkat.
Sistem irigasi permukaan ini digunakan pada komoditas padi karna mudah dalam
penerapannya dan tidak membutuhkan biaya yang cukup tinggi dalam pengoperasiannya,
dalam komoditas padi, pemberian air melalui sistem irigasi permukaan dapat dilakukan
karena banyaknya kebutuhan air yang dibutuhkan oleh tanaman tersebut, dan sistem irigasi
tersebut juga memiliki keunggula yaitu sederhana dalam penerapannya dengan biaya yang
tidak cukup tinggi (Eoh et al., 2019). Penggunaannya sistem irigasi permukaan diawali
dengan mengambil air yang telah tersedia dari sumbernya seperti bendungan, maupun
sungai kemudia air tersebut akan disalurkan pada lahan pertanian menggun akan pipa
maupun salah dengan memanfaatkan gaya gravitasi sehingga air akan turun dari tanah yang
lebih tinggi dengan sistem aliran yang diberikan diatur secara terjadwal dengan volume
yang sudah ditentukan.
Sistem irigasi permukaan dapat diterapkan dengan penggenangan, hal tersebut
dikarenakan penggenangan adalah sistem irigasi permukaan yang sederhana dan mudah
untuk diterapkan. Adapun cara lain yaitu dengan peluapan, di mana dilakukan
penggenangan secara terkendali. Penerapan sistem irigasi permukaan den gan dua cara
tersebut bisa dilakukan dengan menampung air, baik dari hujan maupun dari sumur ke
sebuah bangunan penangkap atau sebuah kolam untuk menampung air yang disebut dengan
embung. Sistem irigasi permukaan bisa diterapkan dengan penggenangan, hal tersebut
dikarenakan penggenangan adalah sistem irigasi permukaan yang sederhana dan mudah
untuk diterapkan. Penggunaan sistem irigasi permukaan memiliki tingkat permukaan air
yang lebih tinggi dari elevasi lahan yang akan dialiri biasanya berkisar 10 cm - 15 cm
(Idjuni, 2011). Air irigasi tersebut akan mengalir di permukaan tanah dari pangkal hingga
ke ujung lahan dan meresap ke dalam tanah yang membasahi daerah perakaran tanaman.
Syarat penting dalam menentukan sistem irigasi permukaan adalah perencanaan distribusi
air yang tepat untuk mengendalikan tingkat aliran air irigasi sehingga penyebaran air
seragam ke seluruh petakan. Adapun cara lain yaitu dengan peluapan, di mana dilakukan
penggenangan secara terkendali. Penerapan sistem irigasi permukaan dengan dua cara
tersebut bisa dilakukan dengan menampung air, baik dari hujan maupun dari sumur ke
sebuah bangunan penangkap atau sebuah kolam untuk menampung air yang disebut dengan
embung (Haryati, 2014). Berdasarkan penjabaran diatas, maka desain irigasi permukaan
yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
Gambar 7. Desain Irigasi Permukaan Padi
Prosedur pelaksanaan irigasi permukaan adalah dengan menggunakan debit yang
cukup besar maka aliran akan mencapai bagian ujung secepat mungkin dan dapat meresap
ke dalam tanah dengan merata. Sebelum atau setelah air mencapai bagian ujung lahan, kita
dapat memperkecil debit aliran airnya hingga sejumlah air yang dikehendaki telah meresap.
Aliran air ini dapat dihentikan sampai seluruh lahan telah tergenangi oleh air. Irigasi
permukaan terbagi menjadi 3 yaitu irigasi basin, irigasi border, dan irigasi alur. Maka pada
lokasi 7 sistem irigasi yang tepat untuk diterapkan adalah irigasi border. Irigasi border
merupakan sistem irigasi dimana lahan pertanian dialiri air yang dibagi menjadi luasan
terkecil dengan galengan berukuran 10 x 100 m 2 hingga 20 x 300 m 2. Sifat irigasi ini adalah
memberikan air dalam jumlah yang seragam di lahan (Mustawa et al., 2017). Berdasarkan
gambar yang telah disajikan dapat dilihat bahwa, sistem irigasi border ini terdapat beberapa
bagian meliputi pipa, saluran pembawa dan saluran buangan. Aliran air sistem irigasi
border berasal dari saluran pembawa yang dialirkan melalui pipa dan berakhir di saluran
pembuang dengan debit air sebesar 1,2 L/detik/Ha, memiliki panjang 180-400 m dan lebar
10-30 m. Mulai dari mengolah tanah, persemaian, masa pertumbuhan, dan masa
pertumbuhan yang rata-rata membutuhkan air sebesar 1,2 L/detik/Ha. Berdasarkan data
yang telah diperoleh dari Cropwatt dapat diketahui bahwa nilai efisiensi irigasinya pada
lokasi 7 sebesar 50%. Nilai efisiensi tersebut tergolong dalam sistem irigasi permukaan
(surface irrigation).
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian data input dan observasi yang telah dilakukan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam aplikasi CROPWAT terdapat dua jenis data, yaitu data
masukan (input) dan data keluaran (output). Selain berperan dalam menentukan kebutuhan
air untuk tanaman tertentu, aplikasi CROPWAT juga memiliki kemampuan untuk
mengatur jadwal penyiraman yang sesuai dengan perkembangan tahapan pertu mbuhan
tanaman tersebut. Proses perhitungan kebutuhan air irigasi ini telah dilakukan di lokasi ke-
7, yang berada di bawah pengawasan stasiun pengamatan Kalianget, terletak di Kabupaten
Sumenep, Jawa Timur. Tanaman yang ditanam di lokasi ini adalah padi dengan
menggunakan sistem irigasi permukaan berjenis border, hal ini sesuai dengan kondisi
dataran rendah tempat lokasi tersebut berada.
Hasil perhitungan kebutuhan irigasi dengan program cropwat menunjukkan bahwa
komoditas padi yang ditanam pada 24 September 2023 akan panen pada 21 Januari 2024.
Kriteria penjadwalan yang dilakukan adalah dengan Irrigation timing: Irigate at fixed
waterdepth (100%) dan Irrigation Application: Refil Soil to water depth (100 mm) dengan
Irrigation efficiency 100%, yang mana menunjukkan bahwa irigasi diberikan sebanyak 7
kali selama masa penanaman yakni 4 September, 19 September, 21 September, 27
September, 9 Oktober, 21 Oktober, dan 21 Januari.dengan total irigasi bersih yang
diperlukan sebesar 497.0 mm.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak C., 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press dalam Prachmayandini, R., 2012. Perhitungan
Evapotranspirasi Menggunakan Citra Modis (Studi Kasus: Das Cimadur, Banten).
[Skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor.
BPS. 2016. Kondisi Wilayah Kabupaten Sumenep. Badan Pusat Statistika.
Doloksaribu, A., dan D.P. Lolo. 2012. Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi Melalui
Pembangunan Long Storage. Jurnal Ilmiah Mustek Anim Ha, 1(3): 184-194.
Dwiratna, N. P. S., Nawawi, G dan Asdak, C. 2013. Analisis Curah Hujan dan Aplikasinya
dalam Penetapan Jadwal dan Pola Tanam Pertanian Lahan Kering di Kabupaten
Bandung. Jurnal Bionatura, 15(1).
Fibriana, R., Y. S. Ginting., E. Ferdiansyah., S. Mubarak. 2018. Analisis Besar atau Laju
Evapotranspirasi pada Daerahah Terbuka. Jurnal Agroekoteknologi dan Ilmu
Pertanian, 2(2):130-137.
Eoh, M.G.N., J. Andjarwirawan, dan R. Lim. 2019. Sistem Kontrol dan Monitoring pH Air
serta Kepekatan Nutrisi pada Budidaya Hidroponik Jenis Sayur dengan Teknik
Deep Flow Techcnique. Jurnal Infra, 7(2): 101-106.
Fuadi, N.A., M.J. Yanuar, Purwanto, dan S.D. Tarigan. 2016. Kajian Kebutuhan Air dan
Produktivitas Air Padi Sawah dengan Sistem Pemberian Air Secara SRI dan
Konvensional Menggunakan Irigasi Pipa. Jurnal Irigasi, 11(1): 23-32.
Hariyanti, KS., T. June., Y. Koesmaryono., R. Hidayat., A. Pramudia. 2019. Penentuan
Waktu Tanam dan Kebutuhan Air Tanaman Padi, Jagung, Kedelai dan Bawang
Merah di Provinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal Tanah dan Iklim.
43 (1): 83-92.
Haryati, U. 2014. Teknologi Irigasi Suplemen untuk Adaptasi Perubahan Iklim pada
Pertanian Lahan Kering. Jurnal Sumberdaya Lahan, 8(1): 43-57.
Idjudin, A. A. 2011. Peranan konservasi lahan dalam pengelolaan perkebunan. Jurnal
sumberdaya lahan, 5(2): 103-116.
Manik, T. K., R. B. Rosadi, dan A. Karyanto. 2012. Evaluasi Metode Penman -Monteith
dalam Menduga Laju Evapotranspirasi Standar (ETo ) di Dataran Rendah Provinsi
Lampung, Indonesia. Jurnal Keteknikan Pertanian. 26(2) : 121-128.
Mustawa, M., S.H. Abdullah, dan G.M.D. Putra. 2017. Analisis Efisiensi Irigasi Tetes pada
Berbagai Tekstur Tanah untuk Tanaman Sawi (Brassica juncea). Jurnal Ilmiah
Rekayasa Pertanian dan Biosistem, 5(2): 408-421.
Shalsabillah, H., Amri, K. dan Gunawan, G., 2018. Analisis kebutuhan air irigasi
menggunakan metode Cropwat Version 8.0. Inersia: Jurnal Teknik Sipil, 10(2),
pp.61-68.
Wiraatmaja, I. W. 2017. Suhu, Energi Matahari, dan Air dalam Hubungan dengan
Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Udayana.
Yendri, O. 2020. Permasalahan Pengelolaan Air pada Daerah Irigasi. Kabupaten
Banyumas: Penerbit Pena Persada.

Anda mungkin juga menyukai