FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2023 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya sumber daya air, ketersediaan sumber daya air mencapai 15.500 meter kubik perkapita pertahun. Angka ini masih jauh di atas rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter kubik per tahun. Kecamatan Kalianget Merupakan daerah dengan luas lahan dan penghasil garam terbesar di Kabupaten Sumenep. Kecamatan Kalianget memiliki luas 301,94 km², Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gapura, Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatn Kota Sumenep, dan Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Madura. Terdapat tujuh Desa yang yang ada di Kecamatan Kalianget, antara lain Desa Kalianget Timur, Desa Kalianget Barat, Desa Kalimo’ok, Desa Kertasada, Desa Marengan Laok, Desa Karanganyar dan Desa Pinggirpapas. Luas wilayah Kecamatan Kalianget menurut pengunaanya terbagi menjadi dua bagian yaitu tanah sawah dan tanah kering. Tanah sawah hanya terdapat di Desa Kalimo’ok sebesar 33,00 hektar atau 1 persen. Desa selain Kalimo’ok tidak mempunyai lahan sawah. Sedangkan jumlah keseluruhan tanah kering sebesar 2.997,40 hektar atau 99 persen. Luas tanah kering terbesar terdapat di Desa Pinggirpapas yaitu 865,96 hektar, sedangkan luas tanah kering paling sempit ada di Desa kertasada 172,90 hektar (BPS, 2016). Kondisi tanah kering yang sangat luas dan sedikitnya lahan yang dapat dijadikan persawahan membuat membuat banyak dari masyarakat Kecamatan Kalianget lebih memilih bekerja menjadi petani garam. Cahaya matahati merupakan energi bagi semua makhluk yang ada di bumi. Bagi tanaman, cahaya matahari berperan dalam proses fotosintesis. Setiap jenis tanaman memiliki sifat yang berbeda dalam hal fotoperiodeisme yakni lamanya penyinaran matahari dalam satu hari. Perbedaan respon tanaman terhadap lama penyinaran ini menghasilkan tanaman dapat dikelompokkan menjadi tanaman hari netral, hari panjang, dan hari pendek (Wiraatmaja, 2017). Kecamatan Kalianget memiliki rata-rata curah hujan 157,125 mm/tahun. Pada wilayah tersebut memiliki temperatur maksimum rata-rata sebesar 31,9 °C/tahun. Selain itu, temperatur minimum yang ada pada daerah tersebut rata-rata sebesar 25,2 °C/tahun. Pada Kecamatan Kalianget memiliki rata-rata kelembaban relatif sebesar 80,5 %/tahun. Kemudian, terdapat kecepatan angin dengan rata-rata sebesar 2,48 km/tahun serta lama rata-rata penyinaran sebesar 6,68 jam/tahun. Terdapat salah satu komoditas yang ditanam di daerah tersebut, yaitu padi. Tanaman padi untuk memenuhi kebutuhan air irigasi pada periode tanam hingga panen dengan umur tanaman 100 hari akan memerlukan air 520-1.620 mm. Untuk padi umur 130 hari membutuhkan air sebanyak 720-2.160 mm. Lama penyinaran, temperatur maximum dan minimum, kelembaban, dan kecepatan angin merupakan faktor yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi. Menurut Fibriana (2018), evapotranspirasi merupakan gabungan dua istilah yang menggambarkan proses fisika transfer air ke atmosfir yaitu evaporasi atau air yang menguap melalui tanah dan transpirasi atau air yang menguap melalui tumbuhan. Evapotranspirasi terbagi atas beberapa jenis di antaranya adalah evapotranspirasi satandar, evapotranspirasi potensial, evapotranspirasi tanaman, dan evapotranspirasi aktual. Evapotranspirasi potensial tercapai apabila jumlah air yang tersedia tidak menjadi faktor pembatas sehingga evapotranspirasi yang terjadi akan menjadi kondisi maksimal. Pengelolaan air berperan sangat penting dan merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di lahan sawah. Produksi padi sawah akan menurun jika tanaman padi menderita cekaman air (water stress). Gejala umum akibat kekurangan air antara lain daun padi menggulung, daun terbakar (leaf scorching), anakan padi berkurang, tanaman kerdil, pembungaan tertunda, dan biji hampa. Tanaman padi membutuhkan air yang volumenya berbeda untuk setiap fase pertumbuhannya. Variasi kebutuhan air tergantung juga pada varietas padi dan sistem pengelolaan lahan sawah. Pengaturan air untuk sistem mina-padi berbeda dengan sistem sawah tanpa ikan. Ini berarti bahwa pengelolaan air di lahan sawah tidak hanya menyangkut sistem irigasi, tetapi juga sistem drainase pada saat tertentu dibutuhkan, baik untuk mengurangi kuantitas air maupun untuk mengganti air yang lama dengan air irigasi baru sehingga memberikan peluang terjadinya sirkulasi oksigen dan hara. Dengan demikian teknik pengelolaan air perlu secara spesifik dikembangkan sesuai dengan sistem produksi padi sawah dan pola tanam. Kecukupan air tanaman dapat diketahui melalui analisis neraca air tanaman yang menghasilkan output berupa status kelebihan/kekurangan air serta volume dan interval irigasi dapat diberikan. Kondisi ketersediaan air dalam satu siklus hidup tanaman dapat mengestimasi potensi kehilangan hasil pada tanaman akibat kekurangan air. Dengan melihat potensi kehilangan hasil dalam satu siklus hidup tanaman pada setiap waktu tanam selama setahun dapat digunakan sebagai konsep dasar dalam penentuan masa tanam terbaik. Penggunaan Air di suatu Daerah Irigasi menjadi hal yang sangat penting agar sumber daya air yang ada dapat dialokasikan ke semua daerah irigasi secara efisien dan efektif. Pemberian air irigasi dan hujan akan mempengaruhi imbangan air di lahan. Bila diketahui ada kelebihan ketersediaan air terhadap kebutuhan air irigasi, maka dapat dilakukan penghematan dan dimanfaatkan lagi untuk berbagai kepentingan lain. Sistem imbangan air irigasi di lahan meliputi hujan, suplai air, kebutuhan air untuk tanaman dan kelebihan air perlu dikelola dengan baik dengan model simulasi untuk mengetahui besaran parameter-parameter dalam imbangan air di lahan irigasi dengan menerapkan secara koninyu, terjadwal dan terkontorol (Hariyanti et al., 2019). Sehingga ketersediaan air secara krusial juga menentukan masa tanam. Melimpahnya sumber mata air harus dikelola dengan baik agar pemanfaatan air irigasi lebih efisien. Banyanknya air yang terbuang menyebabkan tidak efisienya penggunaan air, kelebihan air akibat curah hujan yang berlebihan akan tejadi banjir, Sebagai contoh, tanaman padi yang tegenang air dalam waktu lama apabila tidak diatur dengan baik maka tanaman padi akan membusuk dan mati, bila kekurangan air tanaman padi tidak subur selanjutnya mati (Yendri, 2020). Perlu dilakukan pemodelan pemberian sistem irigasi sesuai karakteristik tanaman agar menciptakan kondisi iklim mikro yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman. Pemberian debit air harus disesuaikan dengan kebutuhan tanaman pada tiap fase tumbuhnya. Dikarenakan fase pertumbuhan tanaman secara umum membentuk kurva sigmoid, maka kebutuhan air pada tiap fase juga berbeda. Di sisi lain, kondisi ketersediaan air di lingkungan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka dari itu perlu dilakukan pengaturan pemberian air irigasi yang sesuai guna menunjang sistem metabolisme tanaman agar dapat menghasilkan panen yang optimal. Dalam pengaturan air irigasi, penting mengetahui jumlah debit air yang harus diaplikasikan. Irigasi menjadi investasi yang penting dalam sektor pertanian guna menghasilkan output sesuai eskpektasi. Irigasi mendukung proses hulu pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal penyediaan sandang, pangan, dan papan. Dengan adanya sistem irigasi yang baik diharapkan dapat menghasilkan panen dengan peningkatan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dari sebelumnya sehingga berpotensi mencapai ketahanan pangan. Permasalahan dalam irigasi ialah apabila pemberian air tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka tanaman tidak dapat menyerap secara optimal air yang diaplikasikan. Selain itu, model irigasi yang kurang sesuai dengan karakterisitik tanaman juga memengaruhi penyerapan air oleh di mintakat akar. Dengan begitu perlu adanya sarana yang dapat membantu dalam mengestimasi kebutuhan air bagi tanaman berupa Crowat 8.0 dan juga penentuan model irigasi yang tepat. Apabila penerapan irigasi tidak dilakukan secara optimal, maka akan berdampak negative terhadap pertumbuhan tanaman karena air memegang peran krusial dalam pertumbuhan tanaman di segala fase mulai dari perkecambahan hingga panen. Adapun tujuan dari penggunaan aplikasi Cropwat 8.0 dan desain instalasi irigasi adalah menentukan penjadwalan irigasi yang tepat di Kecamatan Kalianget pada komoditas pangan dan palawija dan perencanaan model irigasi yang tepat untuk diaplikasikan di Kecamatan Kalianget. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana ketersediaan air untuk lahan padi (sawah) di Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep? 2. Metode apa yang harus dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan air yang terdapat di daerah tersebut? 3. Bagaimana hasil dari penggunaan aplikasi cropwat yang terdapat di daerah tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian tersebut memiliki tujuan agar ,ahasiswa dapat memahami cara pengaplikasian aplilasi cropwat pada Kecamatan Kalianget. Selain itu, penggunaan aplikasi cropwat tersebut diharapkan dapat membantu mempermudah pekerjaan petani di era modern serta mengatasi permasalahan-permasalahan yang terdapat di sektor pertanian. BAB II PARAMETERISASI DATA INPUT UNTUK PROGRAM CROPWAT Cropwat merupakan sebuah aplikasi windows yang digunakan untuk menghitung kebutuhan air irigasi tanaman. Menurut Shalsabillah et al. (2018), aplikasi Cropwat dapat digunakan untuk menghitung evapotranspirasi aktual, kebutuhan air irigasi suatu tanaman dalam suatu hamparan, dan merencanakan pemberian air irigasi. Program Cropwat 8.0 merupakan versi terbaru, dimana di dalamnya mengandung data karakteristik tanah standar dan data karakteristik tanaman standar. Berikut merupakan parameterisasi data input yang digunakan dalam program Cropwat 8.0: Tabel 1. Parameterisasi Data Input Program Cropwat 8.0 No. Modul Cropwat 8.0 Data Input 1. Modul Climate a) Country, merupakan suatu negara dari data meteorologi yang dipakai. b) Station, yaitu stasiun pencatat data meteorologi. c) Latitude, yaitu letak lintang (utara/selatan). Berisi data meteorologi d) Longitude, yaitu letak bujur (timur/barat). dan untuk menghitung e) Altitude, berisi mengenai ketinggian tempat ETo. stasiun pencatat data meteorologi. f) Minimum temperature, yaitu suhu minimal yang didapatkan (oC). g) Maximum temperature, yaitu suhu maksimal (oC). h) Humadity, yaitu kelembapan nisbi yang didapatkan (%). i) Wind, berisi mengenai data kecepatan angin yang didapatkan (km/hari). j) Sun, yaitu data lama penyinaran cahaya matahari yang didapatkan (jam). k) Rad, yaitu data radiasi matahari (MJ/m 2/hari). l) ETo, yaitu data evapotranspirasi potensial yang didapatkan. m) Month, yaitu bulan dari data meteorologi yang yang didapatkan. n) Average, yaitu rata-rata dari semua data yang didapatkan. 2. Modul Rain a) Rain, yaitu berisi data curah hujan yang didapatkan (mm). b) Eff Rain, yaitu besar curah hujan efektif yang didapatkan (mm). c) Station, yaitu stasiun dari data meteorologi Berisi data hujan. pencatat. d) Eff Rain Method, yaitu metode perhitungan hujan efektif yang digunakan. e) Total, yaitu total dari data yang didapatkan. 3. Modul Crop a) Crop name, yaitu nama tanaman yang digunakan dalam pengamatan. b) Planting date, yaitu waktu penanaman dari tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan). Berisi data tanaman c) Harvest, merupakan waktu pemanenan tanaman yang digunakan untuk yang digunakan (tanggal dan bulan). mengetahui nilai koefisien tanaman, fase pertumbuhan tanaman (hari), kedalaman akar (m), deplesi ketersedeiaan air di zona perakaran (fraksi), faktor respon hasil, dan tinggi tanaman (m). 4. Modul Soil a) Soil name, yaitu nama dan tipe tanah yang digunakan dalam pengamatan.
Berisi data tanah secara
umum, seperti total kelembaban tanah tersedia (mm/meter), laju infiltrasi hujan maksimum (mm/hari), kedalaman zona perakaran maksimum (m), deplesi kelembaban tanah lapisan atas (%), dan kelembaban tanah tersedia pada lapisan atas (mm/meter). 5. Modul Crop Pattern a) Cropping pattern name, yaitu pola tanam yang digunakan. b) Crop file, yaitu data tanaman yang digunakan. c) Crop name, yatu nama tanaman yang digunakan. Berisi data pola tanam d) Planting date, yaitu waktu penanaman dari untuk menyusun pola tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan). e) Harvest date, yaitu waktu pemanenan dari tanam di suatu lahan tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan). pertanian. f) Area, yaitu jumlah area yang digunakan. 6. Modul CWR (Crop a) ETo station, yaitu stasiun pencatat data Water Requirements) evapotranspirasi potensial yang digunakan. b) Rain station, yaitu stasiun pencatat data hujan yang digunakan. c) Crop, yaitu nama tanaman yang digunakan. Berisi data hasil analisis d) Planting date, yaitu waktu penanaman dari kebutuhan air suatu tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan). tanaman. e) Month, yaitu bulan dari data meteorologi yang yang didapatkan. f) Decade, yaitu dekade/dasawarsa dari kebutuhan air tanaman. g) Stage, yaitu fase pertumbuhan tanaman dari tingkatan kebutuhan air. h) Kc, yaitu koefisien tanaman. i) ETc, yaitu evaporasi suatu tanaman (mm/hari dan mm/dec). j) Eff rain, yaitu data curah hujan (mm/dec). k) Irrigation requirement, yaitu kebutuhan air irigasi tanaman (mm/dec). 7. Modul Schedule a) ETo station, yaitu stasiun pencatat data evapotranspirasi potensial yang digunakan. b) Rain station, yaitu stasiun pencatat data hujan yang digunakan. Berisi hasil analisis c) Crop, yaitu nama tanaman yang digunakan. kebutuhan air irigasi d) Soil, yaitu nama dan tipe tanah yang digunakan dalam pengamatan. atau neraca air dalam e) Planting date, yaitu waktu penanaman dari mintakat perakaran yang tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan). mencakup mengenai f) Harvest date, yaitu waktu pemanenan dari jadwal irigasi. tanaman yang digunakan (tanggal dan bulan). g) Yield red, yaitu pengurangan hasil panen (%). h) Total gross irrigation, yaitu total irigasi kotor (mm). i) Total net irrigation, yaitu total irigasi bersih (mm). j) Total irrigation losses, yaitu total irigasi terbuang (mm). k) Potential water use by crop, yaitu penggunaan air potensial tanaman (mm). l) Actual water use by crop, yaitu penggunaan air aktual tanaman (mm). m) Efficiency irrigation schedule, yaitu efisiensi jadwal irigasi (%). n) Deficiency irrigation schedule, yaitu defisiensi jadwal irigasi (%). o) Total rainfall, yaitu jumlah total hujan. p) Total rain loss, yaitu total hujan terbuang. q) Effective rainfall, yaitu besarnya hujan efektif. r) Actual irrigation requirement, yaitu kebutuhan aktual irigasi. s) Moist deficit at harvest, yaitu defisit kelembapan saat panen (%). t) Efficiency rain, yaitu efisiensi hujan (%). 8. Modul Scheme a) ETo station, yaitu stasiun pencatat data evapotranspirasi potensial yang digunakan. b) Rain station, yaitu stasiun pencatat data hujan yang digunakan. c) Precipitation deficit, yaitu defisit curah hujan. Berisi skema irigasi atau d) Irrigated area, yaitu area yang teririgasi dari peratiran alokasi air total semua area di suatu lahan (%). irigasi dalam jaringan. e) Net scheme irr. req, yaitu skema bersih dari kebutuhan air irigasi (mm/hari, mm/bulan, I/s/h). f) Irr. req for actual area, yaitu kebutuhan air irigasi untuk area aktual (I/s/h). BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Data Radiasi Matahari dan Evapotranspirasi Potensial Adapun hasil dari data radiasi matahari dan evapotransipari menggunakan aplikasi cropwat 8.0 sebagai berikut.
Gambar 1. ETo Bulanan
Gambar 2. Hujan Bulanan
Berdasarkan data diatas, dapat diketahui tabel meteorologi dan ETo atau evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi merupakan gabungan dari evaporasi dan transpirasi, sehingga dipengaruhi tidak hanya oleh faktor iklim tetapi juga faktor fisiologis vegetasi. Evapotranspirasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu evapotranspirasi potensial (ETP) dan evapotranspirasi aktual (ETA). ETP adalah evapotranspirasi maksimal yang dapat terjadi pada kondisi cukup air dan semua tanaman dianggap seragam yaitu rumput hijau setinggi 5 cm. ETP lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban, dan radiasi matahari. Sedangkan ETA lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah (Asdak, 2010). Hasil perhitungan pada aplikasi Cropwat didapatkan data evapotranspirasi potensial metode Penman-Monteith pada wilayah Kalianget, Sumeneo, Jawa Timur. Berdasarkan data hasil perhitungan pada aplikasi Cropwat maka pada bulan Januari nilai ETP sebesar 2.75 mm/day dengan curah hujan efektif 160.9 mm, pada bulan Februari nilai ETP sebesar 3.49 mm/day dengan curah hujan efektif 153.4 mm, pada bulan Maret nilai ETP sebesar 3.57 mm/day dengan curah hujan efektif 125.5 mm, pada bulan April nilai ETP sebesar 4.27 mm/day dengan curah hujan efektif 128.0 mm, pada bulan Mei nilai ETP, sebesar 4.50 mm/day dengan curah hujan efektif 76.5 mm, pada bulan Juni nilai ETP sebesar 4.36 mm/day dengan curah hujan efektif engan curah hujan efektif 5.3 mm, pada bulan Agustus nilai ETP sebesar 4.69 mm/day dengan curah hujan efektif 5.3 mm, pada bulan September nilai ETP sebesar 4.38 mm/day dengan curah hujan efektif 26.4 mm, pada bulan Oktober nilai ETP sebesar 4.53 mm/day dengan curah hujan efektif 44.1 mm, pada bulan November nilai ETP sebesar 2.88 mm/day dengan curah hujan efektif 161.6 mm, dan pada bulan Desember nilai ETP sebesar 3.10 mm/day dengan curah hujan efektif 157.5 mm Sehingga dapat diketahui ETP paling besar terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 4.69 mm/day dan yang paling rendah pada bulan Januari sebesar 2.75 mm/day. Sedangkan curah hujan efektif yang maksimum terjadi pada bulan November sebesar 161.6 mm dimana jumlah pasokan air lebih besar jika dibandingkan dengan bulan Juli yang memiliki curah hujan efektif minimum sebesar 5.3 mm. Adanya data curah hujan tentunya memiliki fungsi pada suatu tanaman misalnya untuk menentukan jadwal dan pola tanaman yang sesuai digunakan pada kondisi suatu wilayah tertentu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dwiratna et al. (2013) bahwasanya curah hujan dapat menentukan jadwal dan pola tanam pada suatu lahan di wilatah yang bersangkutan. Sedangkan curah hujan efektif merupakan besaran curah hujan yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman pada proses pertumbuhannya (Hidayat, 2016). 3.2 Kebutuhan Air Tanaman (ETc atau CWR) Adapun hasil dari kebutuhan air tanaman menggunakan aplikasi cropwat 8.0 sebagai berikut.
Gambar 3. Kebutuhan Air Tanaman
Data hasil perhitungan dari aplikasi Cropwat didapatkan data CWR atau ETc tanaman padi selama 6 bulan dimulai dari Agustus dengan tanggal tanam 24 September. Nilai ETc tanaman padi pada bulan Agustus sebesar 0.55 mm/day. Pada bulan September nilai ETc tanaman padi sebesar 3.50 mm/day, 4.66 mm/day, 4.83 mm/day. Pada bulan Oktober nilai ETc pada tanaman padi sebesar 5.07 mm/day, 5.19 mm/day, 4.48 mm/day. Pada bulan November nilai ETc pada tanama padi sebesar 3.56 mm/day, 2.88 mm/day, 30.3 mm/day. Pada bulan Desember nilai ETc pada tanaman padi sebesar 3.26 mm/day, 3.33 mm/day, 34.6 mm/day. Pada bulan Januari nilai ETc pada tanaman padi sebesar 2.81 mm/day, 2.53 mm/day, 2.71 mm/day. Evapotranspirasi tanaman yang meningkat dan menurun setiap fase menunjukkan bahwa tanaman dalam tahap perkembangan (development) dan pertengahan (mid season) dan kembali menurun pada tahap penuaan (end season). Hal tersebut disebabkan karena tanaman memiliki kebutuhan air yang berbeda-beda selama pertumbuhan sesuai proses dalam tanaman. Pada awal pertumbuhan, laju evapotranspirasi lebih rendah karena permukaan transpirasi lebih kecil, maka absorbsi air oleh tanaman rendah dan sebaliknya absorbsi pada saat indeks luas daun maksimum. Selanjutnya dengan gugurnya daun tua, maka indeks luas daun akan diikuti dengan penurunan kebutuhan air (Manik et al., 2012). 3.3 Jadwal Irigasi Jadwal irigasi ditentukan berdasarkan kriteria yang optimal dari tanggal penanaman pertama. Pemberian irigasi pada lahan diberikan berdasarkan ketersediaan dan kelembaban pada tanah. Pada laporan ini, kriteria yang digunakan yaitu Irrigation timing: Irigate at fixed waterdepth (100%) dan Irrigation Application: Refil Soil to water depth (100 mm) dengan Irrigation efficiency 100%. Berikut merupakan hasil analisis berdasarkan kriteria tersebut.
Gambar 4. Jadwal Irigasi
Data tersebut yang akan digunakan untuk mengetahui jumlah kebutuhan air yang harus diterapkan pada lahan yang ditentukan sehingga dapat memenuhi nutrisi pada tanaman padi dan efisien terhadap penggunaan air yang berkelanjutan. Pada hasil analisa program Cropwat 8.0 dengan kriteria Irrigation timing: Irigate at fixed waterdepth (100%) dan Irrigation Application: Refil Soil to water depth (100 mm) dengan Irrigation efficiency 100% dapat diketahui bahwa jadwal irigasi tanaman padi dilakukan sebanyak 7 kali selama masa penanaman budidaya tanaman padi yakni 4 September, 19 September, 21 September, 27 September, 9 Oktober, 21 Oktober, dan 21 Januari. Penjadwalan irigasi tersebut dapat diketahui masing-masing besaran jumlah irigasi bersih yang berturut-turut sebesar 49.7 mm; 98.0 mm; 56.1 mm; 95.6 mm; 96.9 mm; dan 100.7 mm. Sehingga total irigasi bersih yang diperlukan sebesar 497.0 mm. Selain itu, untuk total irigasi kotor yang diperlukan pada budidaya tanaman padi sebesar 710.0 mm. Total kerugian perkolasi yang didapatkan yaitu sebesar 506.2 mm. Nilai kebutuhan air irigasi aktual dengan penggunaan air aktual oleh tanaman keduanya memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 434.2 mm. Dengan adanya kriteria tersebut, dapat dikatakan bahwa pemilihan kriteria irigasi sangat efektif 100%. Dalam melakukan penjadwalan irigasi sangat diperlukan adanya pengetahuan mengenai kadar air tanah yang tersedia untuk suatu tanaman, sehingga dapat memperkirakan tanggal awal pemberian air untuk tanaman sebelum terjadinya cekaman. 3.4 Skema Irigasi Adapun hasil dari data skema irigasi menggunakan aplikasi cropwat 8.0 sebagai berikut.
Gambar 5. Skema Irigasi
Berdasarkan gambar tabel skema irigasi di atas, dapat diketahui bahwa hasil akhir dari pengimputan data climate, rain, soil, crop, CWR, dan ditinjau dari schedule serta crop pattern jumlah irigasi tertinggi pada bulan September yang membutuhkan jumlah irigasi sebesar 308.0 mm/bulan. 3.5 Grafik Neraca Air Adapun hasil dari garfik neraca air menggunakan aplikasi cropwat 8.0 sebagai berikut.
Gambar 6. Grafik Neraca Air
Grafik di atas menunjukkan bahwa seberapa besar suatu lahan tanaman padi kehilangan air sehingga membutuhkan irigasi yang cukup besar pula. Diketahui bahwa jumlah irigasi tertinggi didapatkan pada bulan September. Semakin rendah bar yang ditunjukkan pada grafik, maka potensi kehilangan air pada lahan akan sedikit. BAB IV SISTEM IRIGASI DAN DESAIN Budidaya tanaman padi dariawal penanaman membutuhkan pengairan hingga masa panennya karena persediaan air yang cukup bagi tanaman padi akan berpengaruh terhadap tingkat produksinya. Pada tanaman padi kebutuhan air irigasinya mencakupi evapotranspirasi, banyaknya air yang hilang akibat perkolasi maupun rembesan, serta pengairan awal yang diberikan pada padi sesuai kebutuhannya untuk penjenuhan tanah (Fuadi et al., 2016). Irigasi yang sesuai untuk lahan persawahan atau komoditas tanaman padi pada umumnya adalah surface irrigation (irigasi permukaan). Irigasi permukaan merupakan sistem irigasi yang mengaliri atau menyadap air langsung di sungai melalui bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran irigasi sampai kelahan pertanian yang dikenal dengan nama saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier (Doloksaribu dan Lolo, 2012). Namun, dalam penggunaan air harus melakukan penghematan air sangatlah dibutuhkan karena jumlah kebutuhan air yang saat ini terus meningkat. Sistem irigasi permukaan ini digunakan pada komoditas padi karna mudah dalam penerapannya dan tidak membutuhkan biaya yang cukup tinggi dalam pengoperasiannya, dalam komoditas padi, pemberian air melalui sistem irigasi permukaan dapat dilakukan karena banyaknya kebutuhan air yang dibutuhkan oleh tanaman tersebut, dan sistem irigasi tersebut juga memiliki keunggula yaitu sederhana dalam penerapannya dengan biaya yang tidak cukup tinggi (Eoh et al., 2019). Penggunaannya sistem irigasi permukaan diawali dengan mengambil air yang telah tersedia dari sumbernya seperti bendungan, maupun sungai kemudia air tersebut akan disalurkan pada lahan pertanian menggun akan pipa maupun salah dengan memanfaatkan gaya gravitasi sehingga air akan turun dari tanah yang lebih tinggi dengan sistem aliran yang diberikan diatur secara terjadwal dengan volume yang sudah ditentukan. Sistem irigasi permukaan dapat diterapkan dengan penggenangan, hal tersebut dikarenakan penggenangan adalah sistem irigasi permukaan yang sederhana dan mudah untuk diterapkan. Adapun cara lain yaitu dengan peluapan, di mana dilakukan penggenangan secara terkendali. Penerapan sistem irigasi permukaan den gan dua cara tersebut bisa dilakukan dengan menampung air, baik dari hujan maupun dari sumur ke sebuah bangunan penangkap atau sebuah kolam untuk menampung air yang disebut dengan embung. Sistem irigasi permukaan bisa diterapkan dengan penggenangan, hal tersebut dikarenakan penggenangan adalah sistem irigasi permukaan yang sederhana dan mudah untuk diterapkan. Penggunaan sistem irigasi permukaan memiliki tingkat permukaan air yang lebih tinggi dari elevasi lahan yang akan dialiri biasanya berkisar 10 cm - 15 cm (Idjuni, 2011). Air irigasi tersebut akan mengalir di permukaan tanah dari pangkal hingga ke ujung lahan dan meresap ke dalam tanah yang membasahi daerah perakaran tanaman. Syarat penting dalam menentukan sistem irigasi permukaan adalah perencanaan distribusi air yang tepat untuk mengendalikan tingkat aliran air irigasi sehingga penyebaran air seragam ke seluruh petakan. Adapun cara lain yaitu dengan peluapan, di mana dilakukan penggenangan secara terkendali. Penerapan sistem irigasi permukaan dengan dua cara tersebut bisa dilakukan dengan menampung air, baik dari hujan maupun dari sumur ke sebuah bangunan penangkap atau sebuah kolam untuk menampung air yang disebut dengan embung (Haryati, 2014). Berdasarkan penjabaran diatas, maka desain irigasi permukaan yang akan digunakan adalah sebagai berikut: Gambar 7. Desain Irigasi Permukaan Padi Prosedur pelaksanaan irigasi permukaan adalah dengan menggunakan debit yang cukup besar maka aliran akan mencapai bagian ujung secepat mungkin dan dapat meresap ke dalam tanah dengan merata. Sebelum atau setelah air mencapai bagian ujung lahan, kita dapat memperkecil debit aliran airnya hingga sejumlah air yang dikehendaki telah meresap. Aliran air ini dapat dihentikan sampai seluruh lahan telah tergenangi oleh air. Irigasi permukaan terbagi menjadi 3 yaitu irigasi basin, irigasi border, dan irigasi alur. Maka pada lokasi 7 sistem irigasi yang tepat untuk diterapkan adalah irigasi border. Irigasi border merupakan sistem irigasi dimana lahan pertanian dialiri air yang dibagi menjadi luasan terkecil dengan galengan berukuran 10 x 100 m 2 hingga 20 x 300 m 2. Sifat irigasi ini adalah memberikan air dalam jumlah yang seragam di lahan (Mustawa et al., 2017). Berdasarkan gambar yang telah disajikan dapat dilihat bahwa, sistem irigasi border ini terdapat beberapa bagian meliputi pipa, saluran pembawa dan saluran buangan. Aliran air sistem irigasi border berasal dari saluran pembawa yang dialirkan melalui pipa dan berakhir di saluran pembuang dengan debit air sebesar 1,2 L/detik/Ha, memiliki panjang 180-400 m dan lebar 10-30 m. Mulai dari mengolah tanah, persemaian, masa pertumbuhan, dan masa pertumbuhan yang rata-rata membutuhkan air sebesar 1,2 L/detik/Ha. Berdasarkan data yang telah diperoleh dari Cropwatt dapat diketahui bahwa nilai efisiensi irigasinya pada lokasi 7 sebesar 50%. Nilai efisiensi tersebut tergolong dalam sistem irigasi permukaan (surface irrigation). BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian data input dan observasi yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam aplikasi CROPWAT terdapat dua jenis data, yaitu data masukan (input) dan data keluaran (output). Selain berperan dalam menentukan kebutuhan air untuk tanaman tertentu, aplikasi CROPWAT juga memiliki kemampuan untuk mengatur jadwal penyiraman yang sesuai dengan perkembangan tahapan pertu mbuhan tanaman tersebut. Proses perhitungan kebutuhan air irigasi ini telah dilakukan di lokasi ke- 7, yang berada di bawah pengawasan stasiun pengamatan Kalianget, terletak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Tanaman yang ditanam di lokasi ini adalah padi dengan menggunakan sistem irigasi permukaan berjenis border, hal ini sesuai dengan kondisi dataran rendah tempat lokasi tersebut berada. Hasil perhitungan kebutuhan irigasi dengan program cropwat menunjukkan bahwa komoditas padi yang ditanam pada 24 September 2023 akan panen pada 21 Januari 2024. Kriteria penjadwalan yang dilakukan adalah dengan Irrigation timing: Irigate at fixed waterdepth (100%) dan Irrigation Application: Refil Soil to water depth (100 mm) dengan Irrigation efficiency 100%, yang mana menunjukkan bahwa irigasi diberikan sebanyak 7 kali selama masa penanaman yakni 4 September, 19 September, 21 September, 27 September, 9 Oktober, 21 Oktober, dan 21 Januari.dengan total irigasi bersih yang diperlukan sebesar 497.0 mm. DAFTAR PUSTAKA Asdak C., 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada University Press dalam Prachmayandini, R., 2012. Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra Modis (Studi Kasus: Das Cimadur, Banten). [Skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor. BPS. 2016. Kondisi Wilayah Kabupaten Sumenep. Badan Pusat Statistika. Doloksaribu, A., dan D.P. Lolo. 2012. Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi Melalui Pembangunan Long Storage. Jurnal Ilmiah Mustek Anim Ha, 1(3): 184-194. Dwiratna, N. P. S., Nawawi, G dan Asdak, C. 2013. Analisis Curah Hujan dan Aplikasinya dalam Penetapan Jadwal dan Pola Tanam Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bandung. Jurnal Bionatura, 15(1). Fibriana, R., Y. S. Ginting., E. Ferdiansyah., S. Mubarak. 2018. Analisis Besar atau Laju Evapotranspirasi pada Daerahah Terbuka. Jurnal Agroekoteknologi dan Ilmu Pertanian, 2(2):130-137. Eoh, M.G.N., J. Andjarwirawan, dan R. Lim. 2019. Sistem Kontrol dan Monitoring pH Air serta Kepekatan Nutrisi pada Budidaya Hidroponik Jenis Sayur dengan Teknik Deep Flow Techcnique. Jurnal Infra, 7(2): 101-106. Fuadi, N.A., M.J. Yanuar, Purwanto, dan S.D. Tarigan. 2016. Kajian Kebutuhan Air dan Produktivitas Air Padi Sawah dengan Sistem Pemberian Air Secara SRI dan Konvensional Menggunakan Irigasi Pipa. Jurnal Irigasi, 11(1): 23-32. Hariyanti, KS., T. June., Y. Koesmaryono., R. Hidayat., A. Pramudia. 2019. Penentuan Waktu Tanam dan Kebutuhan Air Tanaman Padi, Jagung, Kedelai dan Bawang Merah di Provinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal Tanah dan Iklim. 43 (1): 83-92. Haryati, U. 2014. Teknologi Irigasi Suplemen untuk Adaptasi Perubahan Iklim pada Pertanian Lahan Kering. Jurnal Sumberdaya Lahan, 8(1): 43-57. Idjudin, A. A. 2011. Peranan konservasi lahan dalam pengelolaan perkebunan. Jurnal sumberdaya lahan, 5(2): 103-116. Manik, T. K., R. B. Rosadi, dan A. Karyanto. 2012. Evaluasi Metode Penman -Monteith dalam Menduga Laju Evapotranspirasi Standar (ETo ) di Dataran Rendah Provinsi Lampung, Indonesia. Jurnal Keteknikan Pertanian. 26(2) : 121-128. Mustawa, M., S.H. Abdullah, dan G.M.D. Putra. 2017. Analisis Efisiensi Irigasi Tetes pada Berbagai Tekstur Tanah untuk Tanaman Sawi (Brassica juncea). Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, 5(2): 408-421. Shalsabillah, H., Amri, K. dan Gunawan, G., 2018. Analisis kebutuhan air irigasi menggunakan metode Cropwat Version 8.0. Inersia: Jurnal Teknik Sipil, 10(2), pp.61-68. Wiraatmaja, I. W. 2017. Suhu, Energi Matahari, dan Air dalam Hubungan dengan Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Udayana. Yendri, O. 2020. Permasalahan Pengelolaan Air pada Daerah Irigasi. Kabupaten Banyumas: Penerbit Pena Persada.