PENELITIAN TA 2008
KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI
PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM
BESARAN KARAKTERISTIK MARKETABLE SURPLUS BERAS
Oleh :
Nunung Kusnadi
Rita Nurmalina
Nyak Ilham
Eva Yolynda Aviny
Sri S. P. Lestari
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
2008
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
1. Perubahan iklim berimplikasi pada arah perkembangan pasokan pangan dunia.
Diprediksikan bahwa ketahanan pangan sebagian besar negara-negara berkembang,
terutama yang berpenduduk banyak, menghadapi situasi yang rawan. Karena itu
dibutuhkan penyesuaian dalam strategi kebijakan pangan dengan memperhatikan pada
karakteristik pasokan dan permintaan pangan utama yaitu beras dikaitkan dengan
konteks kebijakan ekonomi secara keseluruhan.
2. Mengantisipasi kondisi tersebut dengan kebijakan yang efektif sangat kompleks karena
karakteristik produsen beras di Indonesia tidak sepenuhnya dapat didefinisikan secara
tegas. Sebagian besar dari produsen adalah penduduk miskin yang juga merupakan
konsumen. Di sisi lain, karakteristik permintaan beras Indonesia juga kompleks karena
variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan tidak hanya mencakup dimensi
ekonomi tetapi juga sosial budaya.
3. Selama ini, instrumen kebijakan yang direkomendasikan berdasar pada hasil studi
lingkup makro, sehingga secara empiris masih banyak persoalan yang belum teratasi.
Untuk merumuskan kebijakan yang tepat tidak hanya berdasar pada studi-studi makro
semata, tetapi juga berdasar pada hasil studi lingkup mikro.Salah satu studi mikro yang
penting adalah aspek marketable surplus pada tingkat rumah tangga petani yang
dikelompokkan menurut agroekosistem.
4. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani
menurut kategorinya dalam konteks marketable surplus padi pada beberapa
agroekosistem; (2) mengetahui cara dan bentuk penjualan produksi padi yang dihasilkan
petani dan implikasinya terhadap karakteristik marketable surplus beras menurut waktu;
(3) menganalisis faktor-faktor ekonomi dan sosial budaya yang mempengaruhi sikap dan
perilaku petani dalam pemasaran padi dan atau beras; (4) menganalisis pengaruh
kenaikan harga gabah dan atau beras terhadap kesejahteraan petani pada berbagai tipe
agroekosistem; dan (5) merumuskan saran kebijakan di bidang tataniaga gabah dan
atau beras yang berorientasi pada kesejahteraan petani.
Metoda Penelitian
5. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil penelitian PATANAS dan JBIC dan
menggunakan data primer pada sembilan provinsi: Sumut, Lampung, Jabar, Jateng,
Jatim, Kalsel, Sulsel, Sulut, dan NTB. Pada masing-masing provinsi dipilih 3-4
kabupaten, sehingga setiap provinsi ada sembilan desa. Dari 36 desa penelitian terbagi
menjadi agroekosistem sawah (21 desa) dan agroekosistem non sawah (15 desa).
Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara pada petani dan FGD
pada tokoh masyarakat desa.
6. Model empirik yang dibangun merupakan persamaan tunggal linear yang diduga dengan
metode Ordinary Least Squares (OLS). Untuk memperdalam analisis juga dilakukan
analisis deskriptif terutama untuk data kualitatif dan kuantitatif yang belum terakomodasi
dalam model ekonometrika di atas.
ekonomi petani. Perbedaan yang terjadi hanya pada besaran semata. Nilai marketed
surplus beras di Pulau Jawa (81,85 %) lebih besar dibandingkan di luar Pulau Jawa
(77,04 % dan 76,94%). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh: (1) usahatani padi
sawah di Pulau Jawa lebih terspesialisasi sehingga produksi lebih tinggi, proporsi
pendapatan usahatani padi lebih besar; (2) perbedaan pasar tenaga kerja di Pulau Jawa
lebih kompetitif dan semakin sulit dan cara penjualan dengan tebasan lebih banyak; dan
(3) luas lahan yang dimiliki di luar Jawa lebih merata, sehingga walau pengaruhnya ada
namun tidak begitu nyata.
12. Karakteristik sosial ekonomi seperti jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif
terhadap marketed surplus. Makin besar jumlah anggota keluarga makin kecil marketed
surplus beras karena hasil produksi yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga
menjadi lebih banyak. Jumlah anggota rumah tangga terkait juga dengan penggunaan
tenaga kerja dalam usahatani. Makin besar jumlah anggota keluarga seharusnya
proporsi tenaga kerja luar keluarga yang digunakan dalam usahatani semakin kecil.
Namun hal sebaliknya dapat terjadi, karena kesempatan untuk bekerja di usahatani
rendah akibat ada anggota keluarga yang masih sekolah atau berusaha di sektor non
pertanian. Hal ini sangat terkait juga dengan sistem upah. Jika pembayaran upah
menggunakan uang tunai yang bersumber bukan dari hasil penjualan gabah pada
musim tersebut maka proporsi tenaga kerja luar keluarga yang besar tidak akan
menurunkan marketed surplus beras. Namun jika pembayaran upah menggunakan
sistem bawon akan menurunkan marketed surplus beras. Dengan demikian karakteristik
proporsi tenaga kerja luar keluarga sifatnya tidak unik.
13. Besaran marketed surplus beras di setiap agroekosistem juga konsisten dengan
besaran proporsi pendapatan padi terhadap pendapatan total rumahtangga. Proporsi
pendapatan padi terhadap total pendapatan rumahtangga tertinggi terjadi di pulau Jawa
pada agroekosistem sawah. Hal ini menunjukkan bahwa pada agroekosistem ini padi
menjadi komoditas utama dan menyumbang pendapatan relatif lebih besar dibandingkan
pada agroekosistem sawah dan non sawah di luar pulau Jawa. Tingginya proposi
pendapatan padi tersebut secara konsisten berhubungan positif dengan marketed
surplus beras. Secara umum hal ini menunjukkan adanya pilihan antara menempatkan
beras sebagai produk subsisten atau produk komersial. Hasil analisis ini dapat
mengindikasikan bahwa pada agroekosistem sawah beras merupakan produk komersial.
14. Semakin luas lahan yang dikuasai rumahtangga petani marketed surplus beras semakin
besar. Hal ini secara konsisten terjadi di seluruh agroekosistem yang dipelajari. Artinya,
dilihat dari luas penguasaan lahan, perbedaan agroekosistem tidak menghasilkan
perbedaan arah marketed surplus beras. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa
persoalan semakin menyempitnya luas penguasaan lahan oleh rumahtangga petani
dapat mengganggu marketed surplus beras.
Cara dan Bentuk Penjualan Produksi Padi yang Dihasilkan Petani
15. Pada agroekosistem sawah, jumlah petani yang melakukan penjualan lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah petani di agroekosistem non sawah. Hal menarik adalah
bahwa cara penjualan sekaligus dan bertahap paling banyak dilakukan oleh petani dan
telah berlangsung lama di masyarakat petani. Alasan menjual sekaligus adalah
terbatasnya jumlah tenaga kerja, petani butuh uang tunai segera untuk rumahtangga
dan tidak tersedianya fasilitas pengolahan dan penyimpanan gabah sehingga lebih baik
dijual sekaligus. Alasan menjual secara bertahap adalah kertersediaan fasilitas
pengolahan dan penyimpanan serta menunggu harga naik. Perilaku menunggu harga
naik memperkuat dugaan bahwa marketed surplus beras di Pulau Jawa responsif
terhadap harga beras. Alasan yang sama terlihat tidak menonjol di luar Pulau Jawa. Hal
ini mengindikasikan bahwa marketed surplus beras di luar Pulau Jawa tidak responsif
terhadap harga beras.
16. Cara penjualan lain adalah tebasan. Pada daerah tertentu cara ini masih relatif baru,
atau bahkan pada daerah tertentu cara tebasan belum ada. Dengan demikian penjualan
dengan cara tebasan tidak terdapat pada setiap daerah. Dilihat dari cara penyerahan
barang (padi) cara penjualan tebasan sebenarnya sama dengan cara penjulan
sekaligus. Namun ciri khas dari cara penjualan dengan tebasan adalah padi tidak
sempat dipanen oleh petani. Padi diserahkan kepada pembeli dalam keadaan masih
belum dipanen. Alasan menggunakan cara ini adalah keterbatasan tenaga kerja,
kebutuhan uang tunai dan menghindari risiko gagal panen.
17. Sebagian besar petani di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa menjual gabah secara
sekaligus dalam bentuk GKP. Demikian halnya dengan penjualan secara bertahap
menghasilkan kecenderungan yang sama antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa.
Penjualan secara bertahap banyak dilakukan dalam bentuk GKS dan sedikit dalam
bentuk GKG atau beras. Bentuk penjualan yang lebih banyak dalam bentuk tidak terolah
(GKP) dibandingkan dengan terolah (GKG dan beras) pada agroekosistem sawah
berlaku sama di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa.
18. Pilihan bentuk gabah yang dijual petani sudah lama berjalan tanpa banyak mengalami
perubahan. Artinya petani belum banyak melakukan diversifikasi vetikal pada industri
hilir beras. Sarana pengolahan padi tidak banyak dikembangkan di tingkat petani diduga
karena memerlukan investasi mahal terutama bagi petani yang menghasilkan padi
dalam jumlah sedikit. Investasi dalam bentuk lumbung, lantai jemur, dryer dan blower,
memerlukan investasi tidak sedikit. Oleh karena itu industri pengolahan hasil
berkembang di luar petani seperti pabrik beras (PB) dan Rice Milling Unit (RMU). Untuk
menghasilkan beras petani cenderung memanfaatkan jasa dari PB atau RMU tersebut.
Konsekuensi dari masalah ini adalah maka nilai tambah yang diciptakan akan terbagi
pada PB atau RMU sehingga kurang memberi insentif bagi petani untuk menjual dalam
bentuk beras. Stabilitas harga beras yang secara efektif dilakukan oleh pemerintah
dalam upaya melindungi konsumen beras juga mengurangi insentif ekonomi bagi petani
untuk menjual dalam bentuk beras.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus
19. Secara umum faktor yang berpengaruh positif terhadap adalah harga beras ,
pendapatan total rumahtangga [etani, dan luas lahan yang dimiliki petani. Pada
agroekosistem sawah di pulau Jawa pengaruhnya nyata dan marketed surplus responsif
terhadap harga beras. Berbeda dengan di agroekosistem sawah di luar pulau Jawa dan
agroekosistem non-sawah di luar pulau Jawa, marketed surplus tidak responsif terhadap
harga beras. Secara statistik juga tidak lebih berpengaruh nyata. Sementara itu
hubungan harga jagung dan harga singkong dengan marketed surplus secara umum
tidak dapat dijelaskan dengan baik. Hasil ini mengindikasikan bahwa bahwa perilaku
petani dalam mengalokasikan beras yang dikonsumsi dan dijual tidak
mempertimbangkan harga jagung. Perilaku seperti ini mengindikasikan bahwa beras
merupakan makanan pokok yang tidak mudah disubstitusi oleh singkong atau jagung.
Pada agroekosistem sawah di pulau Jawa pendapatan total berpengaruh nyata namun
ukuran elastitisas tidak responsif. Hal ini mengindikasikan bahwa beras merupakan
kebutuhan konsumsi keluarga yang dapat dipenuhi dari produksi usahatani sendiri atau
dari pasar. Pendapatan total rumahtangga yang tinggi memungkinkan rumahtangga
Kesimpulan
23. Secara umum studi ini menunjukkan bahwa berdasarkan besaran dan faktor-faktor yang
mempengaruhi besaran marketable surplus telah terjadi perubahan orientasi petani
dalam mengusahakan padi dari subsisten ke arah komersial sejalan dengan
perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan infrastruktur. Namun
demikian, ciri-ciri subsistensi masih tetap melekat pada komoditas padi.
24. Marketable surplus di agroekosistem sawah rata-rata lebih besar dibandingkan dengan
marketable surplus di agroekosistem non-sawah. Marketable surplus juga lebih besar di
Pulau Jawa dibandingkan dengan marketable surplus di Luar Pulau Jawa. Perbedaan
tersebut dapat disebabkan oleh: usahatani padi sawah di Pulau Jawa lebih
terspesialisasi, proporsi pendapatan usahatani padi lebih besar; perbedaan pasar
tenaga kerja di Pulau Jawa lebih kompetitif dan semakin sulit dan cara penjualan dengan
tebasan lebih banyak; dan luas lahan yang dimiliki di luar Jawa lebih merata, sehingga
walau pengaruhnya ada namun tidak begitu nyata.
25. Sebagian besar petani pada agroekosistem sawah pada MH dan MK di Jawa dan Luar
Jawa menjual hasil gabahnya secara sekaligus kemudian diikuti dengan cara bertahap
dan tebasan. Alasan melakukan penjualan secara sekaligus karena butuh uang tunai,
mengurangi risiko, dan kurang sarana. Jika dipilah berdasarkan daerah Jawa dan luar
Jawa alasan utamanya sama, namun besarannya yang berbeda. Pada agroekosistem
sawah bentuk gabah yang penjualannya sekaligus sebagian besar berupa gabah kering
panen (GKP) dan pada cara penjualan bertahap bentuk gabah yang dijual umumnya
dalam bentuk GKS dan sebagian telah menjualnya dalam bentuk GKP. Pada
agroekosistem non-sawah, keterbatasan produksi menyebabkan gabah yang dihasilkan
sebagian digunakan untuk konsumsi, sisa untuk konsumsi dijual dengan cara bertahap,
karena itu pada lokasi ini banyak petani yang menjual secara bertahap dalam bentuk
GKS.
26. Karakterisitik sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap marketable surplus
adalah jumlah anggota keluarga dan pendapatan total rumahtangga. Semakin besar
jumlah keluarga marketable surplus semakin kecil, dan sebaliknya semakin besar
pendapatan rumahtangga marketable semakin besar. Variabel lain, yaitu luas lahan dan
proporsi penggunaan tenaga kerja luar keluarga secara statistik tidak berpengaruh
nyata. Namun ada kecenderungan semakin luas lahan usahatani yang dikuasai petani
marketable surplus semakin besar, sebaliknya ada kecenderungan semakin besar
proporsi jumlah penggunaan tenaga kerja luar keluarga marketable surplus semakin
kecil.
27. Perbaikan harga gabah cenderung lebih efektif dirasakan petani pada agroekosistem
sawah dibandingkan dengan agroekosistem non sawah. Namun tidak banyak
mempengaruhi pengelolaan usahatani akibat kepemilikan lahan yang sempit, fasilitas
irigasi yang terbatas, dan harga pupuk yang makin mahal.
Saran Kebijakan
28. Pengembangan sentra produksi padi sebaiknya difokuskan pada daerah dengan sistem
irigasi yang lebih baik. Pada sisi lain, pada agroekosistem non-sawah lebih difokuskan
pada tanaman yang sesuai dengan agroekosistemnya. Pertanaman padi di
agroekosisten non sawah hanya sebagai pelengkap. Dengan demikian menjadi lebih
fokus dalam pemanfaatan sumberdaya alam (air), tenaga (penyuluh) dan dana
pembangunan. Namun agar sistem distribusi beras/gabah dari agroekosistem sawah
dan non sawah tidak terhambat diperlukan infrastrukutr pemasaran yang baik. Akan
lebih baik jika dalam satu kawasan tertentu terdapat kawasan agroekosistem sawah
yang mampu memasok gabah/beras untuk kawasan agroekosisten non sawah dan
pusat-pusat perkotaan di kawasan tersebut.
29. mengembangkan prgram kredit mikro untuk membiayai penggunaan tenaga kerja luar
keluarga dan biaya produksi yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
30. Untuk meningkatkan keefektifan kebijakan harga beras harus diikuti dengan kebijakan
dalam peningkatan sarana irigasi dan pengendalian harga input.