Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan ternak ruminansia di negara- negara tropis pada umumnya
lebih banyak menekankan pada sistem peternakan yang tidak menimbulkan
persaingan dalam penggunaan lahan dan kebutuhan pangan. Oleh karena itu,
ternak ruminansia memainkan peranan yang penting karena kemampuannya
mengkonversi bahan pakan yang tidak digunakan oleh ternak monogastrik,
menjadi daging dan susu, serta tenaga olah tanah dan pengangkutan. Namun,
kekurangan hijauan pakan yang selalu terjadi terutama di musim kemarau
mengharuskan penggunaan pakan inkonvensional, seperti jerami serealia atau
kacang-kacangan dan limbah lain dari perkebunan atau industri hasil
pertanian/perkebunan.
Indonesia pernah memproduksi tebu terbesar ke-5 di dunia (Wahid dkk.,
1999) dan secara nasional areal perkebunan
tebu

tebu

diperluas.

Perkebunan

di Indonesia yang hampir seluruhnya dikuasai perusahaan besar pernah

mengalami penurunan areal tanam sejak tahun 2000 (388.500 ha) hingga tahun
2003 (340.300 ha), lalu diperluas kembali sampai ke luar Jawa hingga 358.000
ha pada tahun 2005 yang berhasil menaikkan produksi gula 8,17% dibandingkan
dengan tahun 2003, tetapi poduktivitas gula tahun 2005 (6,02 ton/ha) lebih
rendah dari tahun 2004 (6,28 ton/ha) (BPS, 2006). Melimpahnya

limbah

perkebunan tebu dan hasil samping industri gula terutama pada bulan-bulan
Mei Oktober, adalah bersamaan dengan musim kemarau dimana ketersediaan
hijauan pakan pada umumnya sangat terbatas. Seandainya perluasan areal
pengembangan tebu dilakukan dengan sistem yang ada seperti Tebu Rakyat
Intensifikasi (TRI) atau bentuk lain dikaitkan dengan agribisnis peternakan
ruminansia, maka industri perkebunan dapat mengatasi kendala menumpuknya
limbah;

sebaliknya

pengembangan ternak ruminansia dapat mendasarkan

usahanya pada pemanfaatan limbah tersebut sebagai pakan.

Pemanfaatan serat limbah tebu di Indonesia masih terbatas pada pucuk


tebu, itupun belum secara meluas (Zulbardi dkk., 1999). Salah satu
keterbatasan dari serat limbah tebu dan industri gula adalah kecernaannya yang
rendah dan daya konsumsi oleh ternak tidak sebanyak pada rumput .Musofie
(1987) melaporkan bahwa pucuk tebu hanya mampu dikonsumsi oleh sapi
sebanyak kurang dari 1% dari bobot hidup (dalam hitungan bahan kering). Oleh
karena itu, limbah perkebunan ini perlu diproses dulu sebelum diberikan pada
ternak, sedangkan untuk optimasi produksi ternak, perlu suplementasi zat
tertentu, dan suplementasi substrat dari bahan pakan yang akan tersedia di usus
halus.
Pucuk tebu dapat dimanfaatkan untuk pakan sapi dan kerbau. Ferreiro dan
Preston dkk .(1976) dalam

menggemukkan

sapi

dengan

batang

tebu

cacahan tanpa batas, menghasilkan pertambahan bobot hidup 0,7 kg/hari.


Mungkin karena batang tebu mengandung banyak energi dari gula yang
dikandungnya. Angka yang sama dicapai pada pemberian pucuk tebu yang
ditambah urea dan 1 kg katul/hari, tetapi konsumsi pakan meningkat, sehingga
efisiensinya

sedikit

berkurang.

Dalam

hal

ini banyaknya urea yang

ditambahkan tidak disebutkan.


Adanya pucuk tebu yang berlimpah di musim kemarau diharapkan dapat
mengurangi ketergantungan ternak akan rumput yang sangat tidak mencukupi.
Hal ini memungkinkan karena mutu pucuk tebu tidak kalah dengan rumput
Gajah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimana perbandingan kandungan nutrisi pada daun tebu kering
sebelum dan sesudah di fermentasi ?
2. Bagaimana cara membuat pakan ternak hasil fermentasi daun tebu kering ?
3. Bagaimana pengaruh ragi S.cereviseae yang digunakan dalam proses
pembuatan daun tebu kering sebagai pakan ternak?
1.3 Batasan Masalah

Mengingat luasnya permasalahan dan untuk menghindari adanya salah


pengertian, maka pembatasan dalam masalah ini adalah :
1. Daun tebu kering diperoleh dari perkebunan tebu kecamatan sawit sebrang
kab.Langkat
2.

Jenis ragi yang digunakan adalah ragi untuk roti atau tape yaitu
Saccharomycess Cereviseae.

3. Parameter yang dianalisis dari kadar abu,serat kasar, protein dan lemak.
1.4 Tujuan Penelitian
1.

Mengetahui pengaruh jenis ragi, pH , dan suhu terhadap proses


fermentasi.

2. Mengetahui

kadar

nutrisi

yang

difermentasikan.

BAB II
3

dihasilkan

setelah

daun

tebu

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tebu (Saccharum officinarum L.) dan Limbahnya


Tanaman tebu tumbuh di daerah tropika dan subtropika sampai batas
garis

isotherm 20oC yaitu antara 19oLU sampai 35oLS. Tanaman tebu

dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah seperti alluvial, grumusol, latosol,
dan regosol dengan ketinggian antara 0 sampai 1400 m di atas permukaan laut
(Indrawanto dkk., 2010). Hal ini sangat mendukung dalam upaya perluasan area
pertanaman tebu untuk memenuhi kebutuhan gula yang terus meningkat. Total
perkebunan tebu yang ada di Indonesia terdiri atas 50% perkebunan rakyat,
30% perkebunan swasta, dan hanya 20% perkebunan negara .
Proses pemanenan tebu dihasilkan limbah berupa daun kering yang
disebut klenthekan atau daduk, pucuk tebu, dan sogolan (pangkal tebu).
Sedangkan dalam proses pengolahan gula di pabrik gula (PG) menghasilkan
kurang lebih 5% gula .Sedangkan ampas tebu (bagas) yang dihasilkan adalah
15%, tetes (molasse) 3%, sisanya adalah blotong, abu, dan air (Gambar 1).
Banyaknya limbah yang dihasilkan dari pertanian tebu maupun proses pengolahan
gula menjadikan tanaman tebu prospektif untuk dijadikan alternatif pemenuhan
sumber bahan baku pakan ternak.

Gambar 1. Komponen tanaman tebu dan limbahnya (Murni dkk., 2008)

Limbah tebu yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak adalah pucuk, daun, bagas,
dan molasse, sedangkan limbah lain seperti abu dan blotong dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik Jumlah terbanyak limbah yang tersedia adalah daun dan pucuk tebu sebesar 13,6 juta ton
per tahun dan jumlah limbah molasse lebih sedikit sekitar 615.933 ton per tahun (Tabel 1). Limbah
berupa daun, pucuk, dan bagas belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak.Dengan
demikian dibutuhkan banyak inovasi dan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan limbah tebu
untuk pakan ternak,sehingga diharapkan dapat tercapai system pertanian zero waste yaitu limbah
dapat dimanfaatkan semua tanpa ada yang terbuang dan mencemari lingkungan.
Tabel 1. Produksi tebu nasional 2010 dan limbahnya
Uraian
Luas lahan (ha)
Produksi tebu (ton)
Limbah pucuk tebu :
-Pucuk/daun(ton)
-Bagas(ton)
-Molasse (ton)

Jumlah
418.259
34.218.549
13.687.420
3.079.669
615.933

Sumber: Ditjenbun (2011); Murni dkk. (2008)


Pucuk tebu dan daun sangat potensial dimanfaatkan untuk pakan, di samping jumlahnya
yang banyak juga memiliki total kecernaan yang relatif tinggi sesuai dengan standar pakan, tetapi
mempunyai kandungan protein rendah. Bagas berkadar protein rendah, sebesar 2,7% dan berkadar
serat kasar tinggi sebesar 43% (Tabel 2). Sifat-sifat limbah tebu tersebut perlu diproses dengan
teknologi ramah lingkungan untuk meningkatkan nilai nutrisi dan daya cerna pakan berbahan baku
bagas atau daun/ pucuk tebu dengan pembuatan pakan probiotik.
Tabel 2.Kandungan nutrisi komponen tebu
Komponen
Pucuk
Molasses
Bagas
Protein(%)
5,5
4,5
2,7
Serat(%)
35
0
43
Lemak(%)
1,4
0
2,2
Kadar abu (%)
5,3
7,3
0
Total Kecernaan(%) 43-62
80
33
Sumber: Foulkes (1986); Musofie (1987); Indraningsih dkk., (2006)

Kisaran standar pakan


12-15
15-21
2-3
58-65

2.2 Pakan Ternak


Ternak ruminansia berperan penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional,
khususnya dalam penyediaan daging untuk mewujudkan program swasembada daging tahun 2014.
Selain itu, ternak ruminansia bersifat komplementer dan suplementer dalam sistem usaha tani
karena berfungsi dan berperan dalam penyediaan tenaga kerja, sumber pendapatan, dan pupuk
organik. Ternak ruminansia, khususnya sapi, memberi kontribusi daging sebesar 71% terhadap
5

kebutuhan daging masyarakat Indonesia, dan sisanya (29%) berasal dari impor. Sebaliknya,
kebutuhan susu sapi sebagian besar (75%) dipenuhi dari impor, dan sisanya (25%) dari produksi
dalam negeri. Oleh karena itu, upaya meningkatkan produktivitas ternak ruminansia perlu
mendapat prioritas dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging dan susu (Kuswadi,2011).
Produksi daging dalam negeri pada tahun 2011 sebesar 2.468.220 ton, sebagian besar
(66,56%) berasal dari ternak unggas dan selebihnya (33,43%) dari herbivora yang didominasi oleh
ruminansia. Rendahnya kontribusi daging ternak ruminansia disebabkan oleh lambatnya laju
kenaikan populasi dan produksi dibanding ternak unggas karena kurangnya pakan, baik kuantitas
maupun kualitasnya (Ditjennak, 2011). Oleh karena itu, limbah dari tanaman perkebunan
berpeluang besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak melalui inovasi teknologi pakan.
Ternak ruminansia mengonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan
kebutuhannya (Tabel 3).
Tabel 3.Kebutuhan nutrien sapi
Zat Nutrisi

Rata-rata Konsumsi (g/ekor/hari)


Sapi jantan Sapi dara
Berat badan (kg)
300
300
Pertambahan bobot badan harian(kg) 0,5
0,5
Bahan kering (Kg)
7,0
7,1
Energi metabolism (Mcal)
13,4
3,8
Total nutrient dicerna (kg)
3,7
13,8
Protein kasar (g)
679,0
423,0
Kalsium (g)
19,0
14,0
Fosfor (g)
14,0
14,0
Sumber: Umiyasih dan Anggraeny (2007)

Sejalan dengan pertumbuhan, perkembangan kondisi, serta tingkat produksi ternak,


konsumsi pakan juga akan meningkat. Ternak akan mengonsumsi jumlah pakan tertentu sesuai
dengan konsentrasi gizi dalam pakannya terutama kandungan energinya. Selain itu konsumsi pakan
antara lain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, umur, kesehatan, tingkat produksi, bentuk pakan,
palatabilitas, dan kepadatan. Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat
dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terdiri atas temperatur lingkungan, palatabilitas, konsentrasi
nutrisi, bentuk pakan, dan faktor internal yang terdiri dari selera, status fisiologi, bobot tubuh, dan
produksi .Kualitas pakan ternak tergantung pada komposisi nutrisi yang terkandung di dalamnya
terutama pada bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan tingkat kecernaan. Pakan
utama sapi terdiri atas hijauan, limbah tanaman pertanian atau perkebunan, kacang-kacangan, dan
konsentrat.
Produktivitas sapi potong tergantung pada pakan yang diberikan, oleh karena itu pakan
ternak harus memperhatikan mutu, jumlah, dan ketersediaan. Hijauan pakan umumnya berupa
rumput dan semak. Pada musim hujan, ketersediaan hijauan tersebut berlimpah, namun pada
musim kemarau jumlahnya terbatas. Dengan menyimpannya dalam bentuk kering, hijauan tersebut
dapat dimanfaatkan pada musim kemarau. Limbah daun tebu ketika musim panen tersedia
melimpah sehingga dibutuhkan proses pengolahan, baik melalui pembuatan silase dengan proses
fermentasi maupun dalam bentuk bahan baku konsentrat untuk meningkatkan nilai nutrisi dan daya
simpan lebih lama. Menurut Rusdi (1992), proses fermentasi pakan dapat meningkatkan protein,
palatable, dan daya simpan. Di samping itu, pembuatan pakan fermentasi dapat diperkaya dengan
mikroba probiotik yang dapat meningkatkan daya cerna pakan dan memperbaiki sistem pencernaan
sapi.
Pemanfaatan Limbah Tebu Sebagai Pakan
Perkebunan tebu menghasilkan limbah yang cukup banyak berupa bagas dan daun tebu
(pucuk tebu dan daun klenthekan). Menurut Tarmidi dan Hidayat (2004) salah satu alternatif yang
dapat dilakukan untuk menyediakan pakan yang memadai sebagai pengganti hijauan konvensional
adalah dengan memanfaatkan ampas tebu (bagas). Bagas mengandung dua komponen yaitu kulit
batang yang disebut rind dan bagian dalam berupa serat berwarna putih yang disebut pith. Kedua
limbah ini bercampur menjadi satu ketika proses penggilingan tebu di pabrik gula. Bagas dapat
dijadikan sebagai bahan pakan terutama untuk sapi perah. Namun ampas tebu tergolong pakan
serat berkualitas rendah karena kandungan protein, lemak kasar, abu, serat kasar, dan kecernaan
yang masih rendah.
7

Limbah pucuk tebu biasanya diberikan kepada ternak dalam keadaan segar, dikeringkan
atau dijadikan silase. Sedangkan daun klenthekan yang kering dan mudah terbakar biasanya oleh
masyarakat dimanfaatkan untuk bahan bakar meskipun dapat juga dimanfaatkan sebagai pakan
dengan nilai nutrisi yang rendah dibandingkan pucuk tebu. Pucuk tebu segar mampu memenuhi
kebutuhan zat makanan untuk hidup pokok ternak sapi tetapi untuk produksi harus ditambahkan
konsentrat sumber protein.
Menurut Indraningsih dkk. (2006) kisaran standar pakan adalah: kadar protein 12 15%,
serat kasar 1521%, kadar abu 23%, kadar lemak 0%, dan tingkat kecernaan 5865%. Dengan
demikian, kandungan nutrisi bagas dan pucuk tebu masih belum memenuhi standar pakan
sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan nilai nutrisi dari limbah tersebut dengan proses
fermentasi yang relative mudah dan ramah lingkungan.
Pakan Ternak Fermentasi
Kendala utama pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan untuk pakan ternak adalah
nilai nutrisi dan kecernaan yang rendah. Kecernaan pakan diperbaiki melalui perlakuan fisik,
kimiawi, biologis, dan suplementasi bahan pakan bergizi tinggi untuk mengurangi beban kerja
rumen dalam mencerna pakan. Lignin secara fisik dan kimia merupakan faktor utama penyebab
ketidakmampuan ternak mencerna bahan pakan. Lignin secara kimia berikatan dengan
komponen karbohidrat struktural dan secara fisik bertindak

sebagai penghalang proses

perombakan dinding sel oleh mikroba rumen (Murni dkk., 2008). Upaya pemanfaatan bakteri
selulolitik, hemiselulolitik, dan lignolitik pada pembuatan pakan fermentasi dari limbah tebu
diharapkan dapat meningkatkan nilai nutrisi dan daya cerna pakan ternak.
Di Indonesia Saccharomyces cereviseae sebagai khamir telah dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk keperluan pembuatan roti dan tape singkong. Selain untuk keperluan
pembuatan roti juga telah dilakukan berbagai usaha penelitian untuk ternak. Menurut Ahmad
(2005) khamir dipakai untuk meningkatkan kesehatan ternak yaitu sebagai probiotik dan
imunostimulan dalam bentuk feed additive (pakan tambahan). Ternak yang dapat mengonsumsi
S.

cereviseae adalah golongan ikan, ruminansia, dan unggas. Keuntungan penggunaan S.

cereviseae sebagai probiotik adalah tidak membunuh mikroba bahkan menambah jumlah
mikroba yang menguntungkan. Imunostimulan berfungsi untuk meningkatkan kesehatan tubuh
dengan cara meningkatkan sistem pertahanan terhadap penyakit yang disebabkan bakteri,
8

cendawan, dan virus. Saccharomyces cereviseae dapat dimanfaatkan dalam formulasi pakan
fermentasi dari limbah tebu untuk meningkatkan nilai tambah dan memberikan kesehatan pada
tubuh ternak. Pemberian Saccharomyces cereviseae pada ternak ruminansia dapat meningkatkan
produksi susu rata-rata sebesar 4,3% dan pertambahan bobot badan rata-rata sebesar 8,7% .
2.3 Saccharomyces Cereviseae
S. cereviseae merupakan khamir sejati tergolong eukariot yang secara morfologi hanya
membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi
oleh strainnya. Dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui "budding cell" .
Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia
bagi pertumbuhan sel . Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna
kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora
1-8 buah. Taksonomi Saccharomyces spp. menurut SANGER (2004), sebagai berikut :
Super Kingdom : Eukaryota
Phylum : Fungi
Subphylum : Ascomycota
Class : Saccharomycetes
Order : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Saccharomyces
Species : Saccharomyces cereviseae
Khamir dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun gula
kompleks disakarida yaitu sukrosa. Selain itu untuk menunjang kebutuhan hidup diperlukan
oksigen, karbohidrat, dan nitrogen .Pada uji fermentasi gula- gula mempunyai reaksi positif pada
gula dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, raffinosa, trehalosa, dan negatif pada gula laktosa.
Saccharomyces Cereviseae sebagai probiotik
Menurut definisi probiotik adalah imbuhan pakan berbentuk mikroba hidup yang
menguntungkan

dan

mempengaruhi

induk

semang

melalui

perbaikan

keseimbangan

mikroorganisme dalam saluran pencernaan. Sedangkan prebiotik adalah bahan makanan yang
tidak tercerna dan memberikan keuntungan pada inang melalui simulasi yang selektif terhadap
9

pertumbuhan aktivitas dari satu atau sejumlah bakteri yang terdapat di dalam kolon . Di bidang
peternakan penggunaan probiotik bermanfaat untuk kesehatan, produksi dan pencegahan
penyakit . Selanjutnya Soeharsono (1994) mengemukakan bahwa mikroba yang termasuk dalam
kelompok probiotik bila mempunyai ciri sebagai berikut yaitu : dapat diproduksi dalam skala
industri, jika disimpan di lapangan akan stabil dalam jangka waktu yang lama, mikroorganisme
harus dapat hidup kembali di dalam saluran pencernaan, dan memberikan manfaat pada induk
semang . Cole (1991) menyatakan probiotik merupakan salah satu pilihan pakan tambahan pada
ternak yang sehat dan aman bagi lingkungan .
Shin dkk. (1989) menyatakan bahwa S. cereviseae termasuk salah satu mikroba yang
umum dipakai untuk ternak sebagai probiotik, bersama-sama dengan bakteri dan cendawan
lainnya seperti Aspergillus niger, A. oryzae, Bacillus pumilus, B. centuss, Lactobacillus
acidophilus, Saccharomyces crimers, Streptococcus lactis dan S. termophilus . Pengujian
terhadap S. cereviseae yang dipakai sebagai feed additive dalam bentuk probiotik terlebih dahulu
diuji secara in vitro dengan melakukan uji kemampuan daya hidup terhadap asam-asam organik,
garam empedu, dan pH rendah . Tedesco dkk. (1994) mendapatkan korelasi dari pemberian S.
cereviseae terhadap bakteri pada kelinci, yaitu dengan cara mengurangi jumlah bakteri pathogen
dan meningkatkan jumlah bakteri aerob, anaerob yang menguntungkan di dalam usus.
Kumprecht dkk. (1994) memberikan campuran S. cereviseae dengan Streptococcus faecum pada
ayam broiler sehingga jumlah kuman Eschericha coli berkurang sebesar 50% di dalam
sekumnya. Selanjutnya Kompiang (2002) menggunakan "khamir (ragi) laut" dengan S.
cereviseae di dalam pakan ayam dan mendapatkan hasil yang positif yaitu meningkatnya bobot
badan setelah pemberian S. cereviseae. Selanjutnya Kumprechtova dkk. (2000) memberi S.
cereviseae 47 dengan dosis 200 g/100 kg pakan untuk meningkatkan penampilan daging dan
mengurangi bau amonia nitrogen pada feses ayam . Hasil lain dari pemberian S. cereviseae ialah
meningkatkan penampilan bobot ayam dan secara in vitro mampu menekan pertumbuhan S.
typhimurium meski secara in vivo tidak memberikan hasil yang signifikan.
Pemberian S. cereviseae pada ternak ruminansia akan meningkatkan bakteri selulolitik
dan asam laktat pada saluran pencernaan . Meski tidak semua memberikan respon positif
terhadap pemberian pakan imbuhan ini namun pada sapi dapat meningkatkan produksi susu ratarata sebesar 4,3% dan pertambahan bobot badan rata-rata sebesar 8,7%. ada ternak domba
dilakukan pencampuran S cereviseae dengan Bioplus di dalam ransum untuk mendapatkan
10

peningkatan bobot badan serta menurunkan konversi pakan dan basil yang diperoleh
menunjukkan korelasi yang positif yaitu dengan dosis 4 g/hari (1 g S. cereviseae ekivalen
mengandung 14 x 1010 koloni) menghasilkan konversi pakan sebesar 6 kg/kg pertambahan
bobot badan . Namun tidak semua isolat S.cereviseae dapat digunakan sebagai probiotik, karena
harus melalui beberapa macam seleksi dan dari sejumlah khamir tersebut hanya sedikit yang
dapat digunakan, misalnya seperti yang diteliti oleh Agarwal dkk. (2000), dari 9 isolat yang diuji
hanya 1 yang dapat digunakan sebagai probiotik . Melihat keberhasilan penelitian-penelitian di
atas maka S. cereviseae dapat digunakan sebagai probiotik namun beberapa faktor harus
diperhatikan sebagai bahan pertimbangan seperti ekonomi, pengaruh buruk terhadap ternak, zat
khasiat yang terkandung di dalamnya .
Dari segi ekonomi harus diperhitungkan ongkos produksi dalam skala besar
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh . Perlu dipertimbangkan pengaruh buruk jika
pemberian secara berlebihan akan mengganggu keseimbangan microflora di dalam tubuh
sehingga

mengakibatkan

terjadinya

pengaruh

patogen

pada

ternak

yaitu

penyakit

"Saccharomikosis " . Bila zat khasiatnya dapat diolah berupa prebiotik mungkin akan lebih baik
dan efisien seperti Beta D-glukan untuk imunostimulan yang diperoleh dari dinding sel
S.cereviseae.
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pembuatan Pakan Ternak Hasil Fermentasi
1.Suhu
Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa suhu yang optimal untuk biodigester adalah 30-35 C,
kisaran suhu ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan mikroorganisme dan
produksi nutrisi di dalam biodigester dengan lama proses yang pendek. Jika suhu turun menjadi

10 C, produksi akan terhenti. Apabila mikroorganisme bekerja pada suhu 40 C produksi akan
berjalan dengan cepat hanya beberapa jam dan untuk selanjutnya akan berjalan perlahan-lahan.

11

2.pH
Pada awal proses perombakan, derajat keasaman akan selalu turun karena sejumlah
mikroorganisme tertentu akan mengubah sampah organik menjadi asam organik. Dalam proses
selanjutnya, mikroorganisme jenis lainnya

akan memakan asam

organik

yang

akan

menyebabkan pH menjadi naik kembali mendekati netral. pH yang ideal dalam proses
perombakan adalah antara 6-8 dengan tingkat masih diterima adalah pH 5 (minimum) dan pH
12 (maksimum). pH pada proses perombakan anaerob biasa berlangsung antara 6,6 - 7,6.
Saccharomyces cereviseae dapat tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, tetapi untuk
melakukan proses fermentasi alkohol, dibutuhkan kondisi anaerob.

12

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.

Tempat Penelitian
Pengujian kandungan nutrisi hasil fermentasi dilakukan di Laboratorium Kimia
Universitas Negeri Medan, Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20221. Proses
pembuatan pakan ternak fermentasi dilakukan di perkebunan tebu kecamatan sawit sebrang
kab.Langkat

3.2.

Alat dan Bahan


1. Alat :
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
2.

Pisau
Digester
Pengaduk
Ember
Alat titrasi
pH meter
Termometer 100 C
Bahan

- Kertas saring whatman


- Corong Buchner
- labu kjehdal
- Cawan porselen
- Erlenmeyer 500 mL
- Pemanas Bunsen
- alat destilasi

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :


- Urea
- H2SO4 1,25 %
- Ragi (saccharomycess Cereviseae)
- etanol 96 %
- Air
- Daun tebu kering
- Amonia 6%
- NaOH 4%
- Dedak
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1

- indikator Fenolftalein

Tahap Preparasi daun Tebu kering

Daun tebu yang sudah kering dikumpulkan dan dicacah dengan mesin pencacah menjadi potongpotongan yang kecil.
3.3.2

Tahap Pembuatan Silase dengan Fermentasi


13

Silase adalah bahan pangan (pakan) hasil olahan yang disimpan untuk persediaan makanan
ternak.Adapun prosedur Fermentasinya adalah :
1.
2.
3.

Daun tebu yang sudah dicacah dimasukkan dalam tabung digester ukuran 3,5 m2
Menambahkan air sampai daun tebu tenggelam
Ditambahkan starter dedak
sebagai sumber protein tambahan, dengan
perbandingan 1:3 dengan daun tebu kering lalu diaduk sampai semua bahan

4.
5.
6.

berbentuk bubur
Campuran kemudian ditambahkan Urea sebanyak 3% dari dari bahan daun tebu
Ditambahkan ragi Saccharomycess Cereviseae sebanyak 6 % dari total campuran
Setelah semua bahan dicampurkan,dimulai proses fermentasi secara anaerob

7.

selama 4 hari.
Ke dalam silase hasil fermentasi ditambahkan NaOH 4 % sebanyak 2 % dari total
hasil.

3.3.3. Parameter yang diukur sesuai dengan SNI-01-2891-1992.


1. Serat Kasar
Cara kerja :
-

Timbang dengan seksama 2 g- 4 g sampel. Bebaskan lemaknya dengan cara ekstraksi


dengan cara soklet atau dengan cara mengaduk sampel dalam pelarut etanol sebanyak 3 x

.Keringkan sampel dalam Erlenmeyer 500 mL.


Tambahkan 50 mL H2SO4 1,25 %, kemudian didihkan selama 30 menit .
Tambahkan 50 mL NaOH 3,25 % dan didihkan lagi selama 30 menit.
Dalam keadaan panas ,saring dengan Buchner yang berisi kertas saring Whatman 54,51

yang telah dikeringkan dan di ketahui bobotnya.


Cuci endapan yang terdapat pada kertas saring berturut-turut dengan H 2SO4 1,25 %, dan

etanol 96 %
Angkat kertas saring beserta isinya,masukkan ke dalam kotak timbang yang telah
diketahui bobotnya,keringkan pada suhu 105C,dinginkan sampai bobot tetap.
14

[3.1]

2.Bahan Kering
Jumlah bahan kering yang hilang selama fermentasi dapat dihitung :

[3.2]

Keterangan :
A = Berat sampel sebelum fermentasi (g)
B = Berat sampel setelah fermentasi (g)
BK0= Bahan kering sebelum fermentasi (%)
BK 1 = Bahan kering setelah fermentasi (%)

3.Kadar Abu
Cara Kerja :
-

Timbang dengan seksama 2 g-3 g sampel kedalam sebuah cawan porselen yang telah

diketahui bobotnya,untuk cairan uapkan diatas penangas air sampai kering


Arangkan diatas nyala pembakar ,lalu abukan dalm tanur listrik pada suhu maksimum

550C sampai pengabuan sempurna.


Dinginkan dalam desikator,lalu timbang sampai bobot tetap

Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan :

[3.3]

Keterangan :
Z=berat total setelah diabukan
15

X=berat cawan porselen


Y=berat sampel
4.

Kadar Protein :
-

Timbang 1 gr cuplikan,masukkan kedalam labu kjehdal 100 mL


Tambahkan 2 g campuran pereaksi selen dan 25 mL H2SO4 pekat
Panaskan diatas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi

jernih kehijau-hijauan sekitar 2 jam.


Biarkan dingin,kemudian encerkan dan masukkan kedalam labu ukur 100 mL
Pipet 5 mL larutan dan masukkan kedalam alat penyuling destilasi tambahkan 5 mL

NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP .


Sulingkan selama kurang lebih 10 menit,sebagai penampung gunakan 10 mL larutan

asam borat 2 % yang telah dicampur indikator


Bilas ujung pendingin dengan air suling.
Titrasi dengan larutan HCl 0,01 N
Kerjakan untuk penetapan blanko.
Perhitungan kadar protein :

[3.4]
Dimana :

W adalah Berat sampel


V1 adalah volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitran sampel
V2 adalah Volume HCl yang dipergunakan penitran blanko
N adalah Normalitas HCl
Fk adalah protein dari : - makanan secara umum 6,25
-susu dan hasil olahannya 6,38
-Minyak kacang 5,46
Fp adalah faktor pengenceran.

5.

Kadar lemak
16

Cara kerja : Metode ekstraksi


-

Timbang 1 g- 2 g sampel,masukkan kedalam selongsong kertas yang dialasi dengan

kapas
Sumbat selongsong kertas berisi sampel dengan kapas,keringkan dalam oven pada suhu
tidak lebih 80C selama 1 jam,kemudian masukkan dalam alat soklet yang telah dengan

labu berisi batu didih yang dikeringkan dan diketahui bobotnya


Ekstrak dengan heksana atau pelarut lainnya selama 6 jam.
Sulingkan heksana dan keringkan ekstrak lemak dalam oven pada suhu 105C.
Dinginkan dan timbang. Ulangi pengeringan sampai tercapai bobot tetap.

Perhitungan :

[3.5]
Dimana : W adalah bobot sampel (g)
W1 adalah bobot lemak sebelum di ekstraksi (g)
W2 adalah bobot lemak setelah di ekstraksi (g)

17

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pembuatan Pakan Fermentasi dengan Penambahan NaOH 4%


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pucuk tebu yang direaksikan dengan NaOH (4%)
menaikkan konsumsi dan kecernaan bahan kering, yang juga dalam penggunaannya ditambah
bahan pakan sumber protein dan pati yang lolos dari pencernaan di rumen, seperti dedak. Dengan
kata lain penambahan NaOH pada pakan akan melembutkan struktur pakan tersebut sehingga
mudah untuk dicerna oleh ternak .Praperlakuan maupun penambahan konsentrat atau 2 hijauan
bergizi tinggi dapat menaikkan kecernaan dan konsumsi pakan, pertambahan bobot hidup,
produksi dan kualitas susu. Perlakuan amoniasi dengan urea juga telah terbukti mempunyai
pengaruh yang baik untuk pakan. Proses amoniasi lebih lanjut juga akan memberikan
keuntungan yaitu meningkatkan kecernaan pakan. Setelah terurai menjadi NH 3 molekul air NH3
dan CO akan mengalami hidrolisis. Dengan demikian amoniasi akan serupa dengan perlakuan
alkali. Amoniasi dapat menurunkan kadar zat makanan yang sukar bahkan tidak dicerna oleh
ternak. Yang berakibat meningkatkan kecernaan pakan lebih jauh.
4.2 Pengaruh Pemberian Saccharomycess Cereviseae Pada daun tebu Kering
Komposisi kimia S. cereviseae terdiri atas : protein kasar 50-52%, karbohidrat ; 30-37%;
lemase 4-5%; dan mineral 7-8% .
Tabel 4.Komposisi sel khamir S. cereviseae
Senyawa
Abu
Asam Nukleat
Lemak
Nitrogen
Sumber : Suriawiria (1990)

Jumlah(%)
5,0-9,5
6,0-12,0
2,0-6,0
7,5-6,5

18

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemberian S. cereviseae pada ternak ruminansia


akan meningkatkan bakteri selulolitik dan asam laktat pada saluran pencernaan . Meski tidak
semua memberikan respon positif terhadap pemberian pakan imbuhan ini namun pada sapi dapat
meningkatkan produksi susu rata-rata sebesar 4,3% dan pertambahan bobot badan rata-rata
sebesar 8,7%. Selain itu pemberian sel khamir ini meningkatkan kandungan nutrisi pada pakan
ternak hasil fermentasi daun tebu kering.
4.3 Hasil Analisis kandungan nutrisi
Hasil penelitian berdasarkan cara pengujian SNI-01-2891-1992 menunjukkan bahwa
penggunaan silase pucuk tebu dalam makanan ternak lebih baik daripada pucuk tebu segar.
Penambahan dedak pada pucuk tebu dalam ransum kambing dan domba dapat meningkatkan
konsumsi dan koefisien cerna zat zat makanan dan pemberian pakan ternak fermentasi pada sapi
Bali jantan meningkatkan konsumsi ballan kering dan tidak mempengaruhi kandungan gizi
produksi dagingnya. Pernberian pakan ternak fermentasi pada pedet sapi perah lebih
meningkatkan pertambahan bobot badan, akan tetapi berdampak penurunan produksi bila
diberikan kepada sapi perah laktasi.
Hasil percobaan analisis kandungan nutrisi dapat dilihat dalam tabel 5 dibawah ini.
Adapun reaksi uji kadar protein adalah sebagai berikut :

Tahap destruksi

R CH

COOH

H2SO4

NH3 + CO2 + H2O

NH2

As.amino
2 NH3 + H2SO4

Tahap destilasi

(NH4)2SO4 + 2NaOH
NH3

(NH4)2SO4
hasil destruksi

+ HCl
berlebih

2 NH3

+ 2 H2O + Na2SO4

NH4Cl

Tahap titrasi
HCl + NaOH

NaCl + H2O
19

Kemudian kadar kandungan protein dapat dihitung melalui persamaan [3.4]


Tabel 5. Perbandingan kandungan nutrisi pucuk tebu segar dengan pakan hasil fermentasi.
Zat

Nutrisi

Pucuk Tebu
Kering/silase (%)
Fermentasi (%)

Makanan
Protein
4,48
Serat Kasar
46,99
Abu
12,56
Lemak
1,04
Bahan Kering
33,69
Sumber : Musofie,dkk (1985)

5,31
33,76
7,95
1,21
91,61

SNI 3148-2:2009

12-14 %
15-21 %
Max 12 %
2-3 %
-

Keterangan : kandungan nutrisi pakan ternak ditetapkan pada SNI 3148-2:2009


Melihat kandungan nutrisi yang dapat dicerna dari pucuk tebu kering yang relatif rendah
dari hasil fermentasi maka dapat dikatakan pemanfaatan proses fermentasi pucuk daun tebu
kering lebih bernilai tinggi dan baik untuk pemeliharaan ternak .
Suplementasi pakan kaya protein dan energi juga telah dilaporkan pada sapi yang diberi
pucuk tebu dalam bentuk silase. Deville dkk (1979) melaporkan, pucuk tebu fermentasi masingmasing diberikan sebanyak 3% dari bobot hidup dan dedak padi pada sapi menghasilkan
pertambahan bobot hidup (PBHH) 0,580 0,751 kg/ekor/hari jika pucuk tebu dalam bentuk
segar, dan PBHH sedikit lebih rendah (0,566 0,671 kg/ekor/hari) jika dalam bentuk silase.

20

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Hasil fermentasi pada daun tebu kering dapat meningkatkan kandungan nutrisi yang
tinggi bagi pakan ternak jika dibandingkan dengan silase pada biasanya.
2. Pemberian sel khamir S.cereviseae yang tepat meningkatkan produksi gizi tambahan
pada daun tebu saat fermentasi.
3. Dalam proses fermentasi factor suhu,pH dan konsentrasi substrat yang berpengaruh
terhadap keberhasilan pengolahan pakan ternak dari daun tebu kering.
4. Pemberian pakan ternak hasil fermentasi dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup
pada ternak peliharaan.
5. Penambahan NaOH 4 % membuat pakan menjadi lebih halus dan mudah dicerna.
5.2 Saran
Saran yang disampaikan untuk pembaca :
1. Selama proses fermentasi supaya diperhatikan factor-faktor yang dapat menyebabkan
kegagalan fermentasi.
2. Sebaiknya daun tebu yang kering ,dijadikan silase terlebih dahulu untuk menurunkan
kadar abu dan serat kasar.
3. Sebaiknya untuk uji kualitas kandungan nutrisi pakan ternak dilakukan sesuai ketentuan
SNI-01-2891-1992

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R.Z. 2005. Pemanfaatan khamir Saccharomyces cereviseae untuk ternak. Wartazoa
15(1):4555.
Dhiaul Khuluq, Ahmad.2012. Potensi Pemanfaatan Limbah Tebu sebagai Pakan Fermentasi
Probiotik . Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 4(1), April 2012:37-45
21

ISSN: 2085-6717.Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jln. Raya Karangploso,
Kotak Pos 199, Malang
Ditjenbun. 2011. Swasembada gula nasional. Bimbingan teknis tebu. Direktorat Tanaman
Semusim, Direktorat Jenderal Perkebunan: Jakarta.
Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan). 2011. Production livestockin
Indonesia, 20072011. Ditjennak:Jakarta
Foulkes, D. 1986. Practical feeding sytems for roughages based on sugarcane and its
byproducts. IDPADAB.Canberra.p.:1126.
Galina ,M.A., F. Perez-Gil , R.M.A Ortiz , J.D. Hummel , R.E. rskov.2003. E ffect of slow
release urea supplementation on fattening of steers fed sugar cane tops (Saccharum
ofcinarum) and maize (Zea mays): ruminal fermentation, feed intake and digestibility.
Livestock Production Science 83 (2003) 111. Facultad de Estudios Superiores
Cuautitlan, Departamento de Ciencias Pecuarias, Campo 4, Universidad Nacional
Autonoma Mexico. :Instituto Nacional de Nutricion Salvador Zubiran, Tlalpan, Mexico
Universidad de Colima, Colima, Mexico
Kuswadi. 2011. Teknologi pemanfaatan pakan local untuk menunjang peningkatan produksi
ternak ruminansia. Puslitbangnak. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(3):189204 Balai
Penelitian Ternak :Bogor Indonesia
M .Zulbardi., Tatit Sugiarti, N. Hidayati, Dan Abdurrays Ambarkarto.1999. Peluang
Pemanfaatan Limbah Tanaman Tebu Untuk Penggemukan Sapi Potong Di Lahan Kering.
Wartazoa Vol. 8 No. 2 Th. 1999 .Balai Penelitian Ternak .Bogor Indonesia
Musofie, A., N.K. Wardhani., S.Tedjowahjono. 1983. Penggunaan pucuk tebu pada sapi bali
jantan muda.Proseding Seminar Penelitian Peternakan: Bogor.

Sandi ,Sofia.Asep Indra M. Ali, dan Nugroho Arianto.2012. Kualitas Nutrisi Silase Pucuk Tebu
(Saccaharum officinarum) dengan Penambahan Inokulan Effective Microorganisme4
(EM-4) VOL.1 NO.1 Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sriwijaya.Palembang
SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman
SNI 3148-2:2009. Pakan Konsentrat Sapi Potong.
22

23

Anda mungkin juga menyukai