Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

EKONOMI PALA NASIONAL DAN DUNIA

Disusun oleh :

Aidha Rusita Putri (18/427720/PN/15500)

Alfi Nur Fadhillah (18/427721/PN/15501)

Julia Wahyu Anida (18/427732/PN/15512)

Mifta Nurlyfianisa H (18/427737/PN/15517)

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
A. PRODUKSI
a. Perkembangan Skala Usaha
Dahulu, pala merupakan salah satu tanaman rempah yang menjadi rebutan
bangsa – bangsa yang datang ke Indonesia seperti portugis pada tahun 1511. Biji
dan kulitnya dibawa ke Eropa dan dijual dengan harga yang sangat mahal. Harga
yang tinggi ini merupakan perangsang bagi bengsa – bangsa lain untuk datang ke
Indonesia. Pada zaman Vederetion Of Company (V.O.C), system tataniaga pala dan
cengkeh telah tertata dengan baik, sehingga pala bisa memberikan konstribusi
terhadap pendapatan yang signifikan bagi negeri Belanda. Kemudian pada tahun
1748 tanaman ini dikembangkan ke daerah Minahasa dan Kepulauan Sanger
Talaud, Sumatera Barat dan Bengkulu. Kemudian menyusul di Jawa, Aceh dan
Lampung. Pada zaman kekuasaan inggris, tanaman ini disebarkan pada beberapa
daerah jajahan tetapi tidak berhasil baik, di Malaya dikalahkan oleh karet, di pulau
kecil India Barat (Grenada) dapat berhasil baik sehingga daerah ini menjadi saingan
Indonesia dalam ekspor pala di dunia (Rahadian, 2009).
Komoditas pala merupakan komoditas penting dan potensial dalam
perekonomian nasional. Penting karena menjadi penyumbang pendapatan uatama
antara lain bagi petani di wilayah Timur Indonesia, khususnya di daerah sentra
produksi pala. Potensial karena mampu mensuplay 60-75% kebutuhan pasar dunia
serta mempunyai banyak manfaat baik dalam bentuk mentah ataupun produk
turunannya. Disamping itu hampir semua bagian buahnya dapat dimanfaatkan, pala
termasuk tanaman yang mempunyai keunggulan komparatif alamiah karena
berumur panjang, daunnya tidak pernah mengalami musim gugur sepanjang tahun
sehingga baik untuk penghijauan dan dapat tumbuh dengan pemeliharaan minim.
Dengan demikian potensi pala cukup kompetitif dan dapat diandalkan dalam
membantu pertumbuhan perekonomian di daerah sentra produksi. Bagian tanaman
pala yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi adalah biji, buah, dan fulinya yang
digunakan sebagai bahan industri minuman, makanan, farmasi dan kosmetik.
Pengusahaan tanaman pala di Indonesia merupakan pertanaman rakyat dan sudah
sejak lama diusahakan. Perkembangan volume ekspor biji pala Indonesia selama 5
(lima) tahun terakhir (2005-2009) mengalami fluktuasi, ekspor terendah pada tahun
2010 sebesar 14.186 ton dengan nilai US$ 86.096.00. Bentuk komoditas pala yang
diekspor oleh Indonesia adalah bentuk biji pala, dan fuli (Nurul, 2015). Pada tahun
2007, kebutuhan pala dunia mencapai 76 % dipenuhi oleh Indonesia, 20 % oleh
Grenada dan selebihnya oleh Sri Langka, India dan Papua New Guinea. Pala
Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh perkebunan rakyat yaitu sekitar 99%,
dengan cara penanganan pascapanen yang masih tradisional dengan peralatan
seadanya dan dilakukan kurang higienis. Sehingga masalah yang dihadapi pala
Indonesia yaitu rendahnya mutu, dimana hal ini berpengaruh terhadap harga.
Disamping itu rendahnya mutu pala Indonesia disebabkan oleh beragamnya jenis
pala, waktu panen yang kurang tepat, penyimpanan dan pengemasan yang kurang
baik serta tercampurnya dengan pala hutan. Waktu panen yang kurang tepat saat
pala masih muda menyebabkan buah jadi keriput. Sedangkan penyimpanan dan
pengemasan yang kurang baik memberi peluang jamur untuk tumbuh. Kondisi
seperti ini mengakibatkan kualitas pala kurang baik yang dapat menurunkan
kepercayaan para importir luar negeri terhadap Indonesia. Hal ini dibuktikan
dengan adanya penolakan produk pala oleh negara Uni Eropa karena tercemar oleh
aflatoxin pada periode tahun 2010-2011, dimana pala dari Indonesia mengandung
aflatoxin melebihi kadar ambang yang diperbolehkan. Berdasarkan kenyataan
tersebut, maka perlu disiapkan panduan bagi petani/ kelompok tani, petugas
lapangan dan pelaku usaha dalam menerapkan perlakuan pascapanen yang baik dan
benar dalam bentuk Pedoman Pascapanen yang mengacu pada prinsip-prinsip Good
Handling Practices (GHP) dan Good Agricultural Practices (GAP) untuk
menghasilkan biji dan fuli pala yang bermutu. Penerapan GAP dan GHP menjadi
jaminan bagi konsumen, bahwa produk yang dipasarkan diperoleh dari hasil
serangkaian proses yang efisien, produktif dan ramah lingkungan. Dengan
demikian petani akan mendapatkan nilai tambah berupa insentif peningkatan harga
dan jaminan pasar yang memadai.
b. Lahan
Penggunaan lahan dalam produksi pala di Indonesia mengalami kenaikan tiap
tahunnya. Seharusnya hal tersebut berbanding lurus dengan hasil produksi. Berikut
adalah tabel luas area produksi Pala pada tahun 2000—2005:
c. Produktifitas
Produksi pala relatif stabil dan cenderung meningkat sejak tahun 1994 yang
berkisar antara 20 ribu ton per tahun. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan (2006)
produksi pala Indonesia dari tahun 2000 sampai 2005 berkisar antara 20.010 –
23.600 ton, sedangkan luas areal dari 59,5–74,7 ribu ha (Tabel 5). Dari tabel
tersebut terlihat adanya kecenderungan terjadinya peningkatan luas areal dan
produksi pala setiap tahunnya. Peningkatan produksi buah pala sendiri berkisar
antara 3-5% per tahun. Dari luas areal pertanaman pala tersebut sebagian besar
(99%) berasal dari perkebunan rakyat, sedangkan sisanya berasal dari
perkebunan Negara dan swasta. Berdasarkan ketersediaan potensi bahan baku,
daerah-daerah yang potensial untuk pengembangan usaha manisan pala adalah
daerah penghasil pala utama di Indonesia seperti Sulawesi Utara, Maluku, Nangroe
Aceh Darussalam, Papua, Sulawesi Selatan, Sumatra Barat dan Jawa Barat.
Produktivitas tanaman pala Indonesia terutama untuk perkebunan rakyat relatif
stabil dari tahun ke tahun dan ada kecenderungan meningkat sejak tahun 2000
tetapi masih jauh lebih rendah dibanding negara penghasil pala lainnya seperti
Grenada.
Nilai rata-rata produktivitas Pala Indonesia di atas 500 kg/ha. Rendahnya
produktivitas tanaman pala terutama di Maluku disebabkan petani tidak bisa
menentukan harga sendiri sehingga tidak merangsang minat petani untuk
memelihara tanamannya.
d. Budidaya Tanaman Pala
1. Asal benih
Asal benih tanaman pala yang digunakan oleh petani di tiga kecamatan
kabupaten Sangihe ada yang berasal dari pohon induk dan ada juga yang bukan
berasal dari pohon induk.
2. Waktu Penanaman Bibit

Umur bibit yang ditanam petani di tiga kecamatan umumnya berbeda karena
sumber bibit maupun perlakuan terhadap benih pala tidak sama. Menurut Suwarto
dkk (2014), bibit dapat dipindahkan dari tempat persemaian ke lahan setelah
tingginya mencapai 15 cm atau setelah berumur 6 bulan. Untuk mendapatkan bibit
yang lebih kuat, masa persemaian diperpanjang hingga 1,5 tahun atau tinggi
tanaman mencapai 60 – 90 cm

3. Jarak tanam

Jarak tanam yang diterapkan oleh petani pala di tiga kecamatan kabupaten
Sangihe masih sangat bervariasi. Jarak tanam yang diterapkan oleh petani pala di
lokasi studi masih sangat bervariasi. Jarak tanam ini masih sangat tergantung dari
jarak tanaman kelapa dan cengkeh sebagai tanaman utama sedangkan petani yang
menanam pala secara monokultur biasanya menggunakan jarak tanam disesuaikan
dengan luas lahan yang dimiliki.Di samping itu juga karena dipengaruhi oleh
keadaan topografi wilayah yang sebagian besar merupakan tanah berbukit sampai
bergunung hingga terjal. Hal ini berpengaruh pada jumlah produksi yang dihasilkan
tidak maksimal, apalagi keberadaan kebun merupakan kebun campuran.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani untuk jarak tanam 10 m x 10 m,
luas lahan 1 ha bisa menghasilkan 100 pohon tanaman pala dengan produksi biji
pala basah sebesar 2000 kg/ha. Selanjutnya untuk tanaman umur 6 – 10 tahun
sebesar 3 – 5 kg per pohon, umur tanaman 10 – 20 sebesar 5 – 10 kg per pohon dan
untuk umur tanaman lebih dari 20 tahun, berat basah sebesar 10 – 20 kg per
pohon.Menurut Ruhnayat dan Martini (2015), jarak tanaman pala yang diperbanyak
secara generatif adalah 9 x 10 m atau 10 x 10m.

4. Jenis Pupuk

Jenis pupuk yang digunakan oleh petani ada dua yaitu pupuk kimia dan pupuk
organik. Untuk petani yangmelakukan pemupukan pada tanaman pala, diperoleh
informasi bahwa jenis pupuk yang digunakan terbagi dua yaitu pupuk organik dan
pupuk anorganik atau pupuk kimia. Pupuk anorganik yang digunakan petani berupa
phonska, urea, KCl, plant catalys, mitra flora dan ada juga yang menggunakan
pupuk tablet.Sedangkan untuk pupuk organic berupa pupuk kandang dan pupuk
organik cair yang diberikan pada saat pembibitan.

B. PERKEMBANGAN HARGA
a. Harga Nasional
Perkembangan harga rata-rata produsen paladi pasar dalam negeri di
Indonesia cenderung meningkat, yaitu dari Rp. 36.647,-/kg pada tahun 2010dan
pada tahun 2015menjadiRp. 50.541,-/kg (Gambar 3.8). Rata-rata pertumbuhan pada
periode tersebut sebesar 7,25%.Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2014dengan
persentase kenaikan sebesar 7,60% terhadap tahun sebelumnya.
Perkembangan harga paladi tingkat produsen di Indonesia disajikan pada
Lampiran 8.Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik Maluku tahun 2006,
bahwa harga biji pala kering di Maluku berkisar antara Rp30.000−Rp40.000/kg,
fuli kering Rp50.000/kg, dan minyak pala kasar Rp300.000/kg. Bila
diasumsikan produksi biji 1.000 kg dan fuli 200 kg/ha/tahun, maka nilai produksi
biji pala dan fuli mencapai Rp50 juta. Dari produksi pala 1.000 kg/ha/
tahun dengan rendemen minyak 10%, akan dihasilkan minyak pala 100
kg/ha/tahun dengan nilai Rp30 juta. Pada tahun 2003, Provinsi Maluku
menghasilkan 5.000 ton biji pala dengan jumlah yang diekspor 1.163 ton(Badan
Pusat Statistik Maluku 2006)
b. Harga Internasional
Hargapaladi tingkat produsencukupbervariasi antara negara yang satu dengan
negara lainnya. Menurut data FAO, Srilankaadalah negara dengan harga produsen
palatertinggi di dunia, yaitu sebesar US$ 18.794/ton(Gambar 4.13). Sedangkan

Grafik 1. Negara dengan Harga Pala tertinggi di dunia


Indonesia pada tahun 2009-2013 tidak tercatat ke dalam Food and
Agriculture Organization (FAO)sehingga datanya masih belum terisi.

C. PERKEMBANGAN KONSUMSI (5 tahun terakhir)


Analisis konsumsi komoditi pala dalam negeri merupakan analisis konsumsi
pala di Indonesia berdasarkan data pengeluaran untuk konsumsi dari hasil SUSENAS
Badan Pusat Statistik. Data pengeluaran untuk konsumsi pala SUSENAS diperoleh
dalam satuan kg/kapita sehingga harus dikalikan dengan jumlah penduduk agar
diperoleh konsumsi nasional. Karena keterbatasan ketersediaan data, analisis untuk
proyeksi konsumsi pala hanya menggunakan model analisis trend linear (trend analysis
linear). Periode series data yang digunakan adalah tahunan.
Konsumsi pala merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan daya saing
pala Indonesia di pasar domestik maupun di pasar dunia. Perdagangan pala Indonesia
umumnya lebih beriorientasi ekspor dibandingkan untuk konsumsi domestik. Hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dari Badan Pusat Statistik menunjukkan
perkembangan konsumsi pala untuk konsumsi langsung pada tahun 2002-2015 cukup
berfluktuasi (Gambar 3.7). Konsumsi pala di Indonesia selama periode tersebut
meningkat sebesar 9,87% per tahun. Lonjakan konsumsi yang cukup signifikan terjadi
pada tahun 2005, dimana konsumsi pala naik dari 0,001 kg/kapita pada tahun 2004
menjadi 0,003 kg/kapita atau naik 200,00% dibandingkan tahun sebelumnya.
Perkembangan konsumsi pala di Indonesia untuk konsumsi langsung disajikan pada
gambar grafik. Konsumsi tersebut belum termasuk konsumsi untuk industri olahan
pala, seperti industri makanan berbahan baku pala, minyak pala dan lain sebagainya.
16

Grafik 2. Perkembangan Konsumsi Pala di Indonesia, 2002-2015

D. PEMASARAN
Dalam perkembangan perekonomian sekarang, Pemasaran memegang peranan
penting dalam menghubungkan produsen dengan konsumen sehingga memberikan nilai
tambah besar dalam kegiatan perekonomian. Menurut Kotler (2009) pemasaran adalah
suatu proses social dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernialai kepada pihak lain. Manusia
harus menemukan kebutuhan terlebih dahulu, sebelum memenuhinya. Usaha untuk
memenuhi kebutuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengadakan suatu
hubungan, dengan demikian pemasaran bisa juga diartikan suatu usaha memuaskan
kebutuhan pembeli dan penjual.
Menurut Suad dan Suwarsono (2000), untuk melakukan studi kelayakan,
terlebih dahulu perlu dilakukan aspek-aspek yang akan diteliti, salah satunya
adalah aspek pasar. Aspek pasar dan pemasaran meliputi:
1. Permintaan, baik secara total ataupun diperinci menurut daerah, jenis
konsumen, perusahaan besar pemakai.
2. Penawaran, baik yang berasal dari dalam negeri maupun juga yang berasal
dari impor. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ini, seperti jenis
barang yang bisa menyaingi.
3. Harga, dilakukan perbandingan dengan barang-barang impor, produksi
dalam negeri lainnya.
4. Program pemasaran, mencakup strategi pemasaran yang akan
dipergunakan.
5. Perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan, market share yang bias
dikuasai perusahaan.
Pola pemasaran biji dan fuli pala sama seperti komoditas pertanian lainnya.
Distribusi barang dari petani sampai ke tingkat eksportir melalui pedagang perantara
(pengumpul) terlebih dahulu. Dalam dunia pemasaran internasional biji pala dan fuli
pala dikenal 2 jalur yaitu: yang pertama, dari produsen ke negara-negara industri dan
negara berkembang; sedangkan yang kedua, dari negara industri dan negara
pengimpor biji dan fuli pala, untuk tujuan ekspor kembali ke Palanegara-negara
industri lainnya.
Dalam hal pemasaran dikenal adanya distribusi. Saluran distribusi merupakan
saluran yang digunakan oleh produsen untuk menyalurkan barang dari produsen
sampai ke konsumen. Menurut Irawan dkk (1996), distribusi juga dikenal sebagai
saluran distribusi atau perantara. Dalam praktiknya system pemasaran dipengaruhi
oleh faktor lingkungan baik dari luar maupun dari dalam perusahaan sendiri.
Pemasaran dari pelaku dan kekuatan di luar perusahaan dan mempengaruhi
kemampuan manajemen pemasaran dalam mengembangkan dan mendapatkan
transaksi yang berhasil dengan konsumen sasaran. Produk yang akan dipasarkan
merupakan keputusan distribusi menyangkut kemudahan akses terhadap barang atau
jasa bagi para pelanggan. Tempat dimana produk tersedia dalam saluran distriibusi
dan outlet yang memungkinkan konsumen dengan mudah memperoleh suatu produk.
Pada dasarnya tujuan akhir seorang pengusaha adalah membuat keuntungan. Oleh
karena itu, maka ia harus mampu menjual barang yang dihasilkannya dengan harga
yang lebih tinggi daripada biaya yang dikeluarkan. Dalam hubungannya dengan
masalah inilah, maka pasar menjadi relevan. Luas pasar ditentukan tiga unsur, yaitu:
jumlah penduduk, pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan. Disamping unsur
tersebut, ada pula beberapa hal yang mempengaruhi suatu pasar. Pertama adalah
berkaitan dengan biaya angkutan, dengan biaya angkutan yang cenderung makin
rendah maka industri makin bebas untuk menentukan lokasi. Keadaan ini
mengakibatkan daerah perkotaan dengan pasarnya yang luas makin menarik sebagai
lokasi industri dan perusahaan. Pasar mempengaruhi lokasi menyangkut tentang biaya
distribusi. Lokasi yang kurang tepat dapat menambah biaya distribusi yang tercermin
dalam biaya yang relative cukup tinggi dibandingkan dengan biaya produksi
(Djojodipuro, 1992).

E. PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR (5 tahun terakhir)

Pala dikenal sebagai tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomis dan
multiguna karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri.
Biji , fuli dan minyak pala merupakan komoditas ekspor dan digunakan dalam berbai
industri baik pangan, minuman maupun fashion. Sampai saat ini Indonesia merupakan
salah satu pemasok utama biji dan fuli pala ke pasar dunia sekitar 60%. Sebagai
komoditas ekspor, pala mempunyai prospek yang baik karena selalu dan akan selalu
dibutuhkan sdalam berbagai industri makanan , minuman, obat-obatan dan lain-lain.
Indonesia merupakan salah satu pengekspor pala terbesar di dunia yang memiliki
pangsa pasar mencapai 60% . Indonesia merupakan negara pengekspor terbesar
produk pala di Uni Eropa. Produk pala Indonesia mencakup produk dengan kode HS
yaitu HS 090811, 090812, 090821, dan 090822 terkait dengan produk biji pala
dihancurkan, biji pala utuh, bunga pala dihancurkan, dan bunga pala utuh. Ekspor pala
Indonesia (kode HS 090811, 090812, 090821, dan 090822) ke Uni Eropa mencapai
puncaknya pada tahun 2011 dengan nilai 61058 ribu US Dollar. Jika dilihat dari
penguasaan pasar, market share pala dan bunga pala utuh sebesar 63,42% dan 77,74%
sedangkan market share pala dan bunga pala olahan sebesar 34,87% dan 47,75%.
Secara umum Indonesia lebih mendominasi perdagangan pala dan bunga pala utuh
(HS 090811 dan 090821) daripada produk pala dan bunga pala olahan (HS 090812
dan 090822). Padahal konsumsi pala di Uni Eropa terutama ditujukan sebagai
penambah cita rasa, bahan saus, sup dsb sehingga nilai tambah produk (added value)
sangat diperlukan. Beberapa negara yang tidak memiliki lahan perkebunan pala
seperti Vietnam dan Belanda justru berpotensi mendesak posisi Indonesia di peringkat
pertama dengan market share pala dan bunga pala olahan berturut-turut sebesar
berkisar 12%-20%. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspor pala Indonesia kurang
berfokus pada peningkatan nilai tambah produk. Pala Indonesia di Pasar Belanda,
Italia, Amerika, dan Jerman memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi dalam
rentang tahun 2001-2011 jika dilihat dari nilai Export Product Dynamic (EPD)
(Raharti, 2013). Walaupun Indonesia menjadi negara pengekspor pala terbesar ke Uni
Eropa dari tahun 2007-2016, nilai ekspor pala Indonesia ke Uni Eropa untuk masing-
masing HS 090811, 090812, 090821, dan 090822 tersebut terus mengalami tren
penurunan, dimana pada tahun 2016, nilai ekspor turun menjadi 33129 ribu USS$
Dollar (trademap, 2017). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan,
perkembangan volume ekspor pala di Indonesia selama periode tahun 1980-2015 cukup
berfluktuasi namun cenderung meningkat. Rata-rata peningkatan volume ekspor dalam
periode tersebut sebesar 6,68% per tahun. Volume ekspor pala pada tahun 1980 sebesar
7,48 ribu ton, dan meningkat hingga mencapai volume ekspor tertinggi pada tahun 2015
sebesar 17,02 ribu ton. Sedangkan perkembangan volume impor pala tahun 1980-2015
cenderung stabil dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 56,32% per tahun. Tahun 1980-
1990 Indonesia tidak melakukan impor pala, impor pala baru dilakukan dari tahun 1991-
2015 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 78,85%. Pada tahun 1991 impor pala
sebesar 347 ton dan mengalami penurunan pada tahun 2015 menjadi 96 ton.

2016
Grafik 3. Perkembangan volume ekspor impor pala disajikan secara rinci pada

F. KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kebijakan pemerintah mengenai pedoman produksi, sertifikasi, peredaran dan


pengawasan benih tanaman pala diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 320 / Kpts/ KB.020/10/ 2015. Sedangkan untuk
pascapanen tanaman pala diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53
Tahun 2012. Berdasarkan data rata-rata produksi palaIndonesia tahun 2012-2016,
sentra produksi paladi Indonesia terdapat di 5(lima) provinsi, yaituAceh, Maluku
Utara, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua Barat. Kelimaprovinsi tersebut
memberikan kontribusi kumulatif sebesar 86,71%.Acehmenempati urutan
pertama dengan kontribusi sebesar 25,46% per tahun. Peringkat kedua ditempati
oleh Maluku Utaradengan kontribusi sebesar 19,89% per tahun, diikuti oleh
Sulawesi Utara, Malukudan Papua Baratdengan kontribusi masing-masing sebesar
14,79%, 14,65%dan11,93%(Gambar3.4), sedangkan kontribusi produksi dari
provinsi lainnyasebesar13,29%. Sebagaiprovinsi sentra produksi palautama,
Provinsi Acehsebagai penghasilpalatersebar di beberapa kabupaten.Pada tahun
2014 produksi palaterbesar berasal dari Kabupaten AcehSelatandengan produksi
sebesar 7,56ribu tonatau 91,83% dari total produksi palaProvinsi Aceh. Kabupaten
penghasil palaterbesar lainnya adalah Kabupaten Aceh Barat Daya dengan
produksi sebesar 287ton (3,48%), diikuti oleh Kabupaten Simeuluedengan
produksi 83ton (1,01%). Kabupaten penghasil palalainnya memberikan kontribusi
kurang dari 3%.Seluruh palayang dihasilkandi Provinsi Acehberasal dari PR.

Grafik 4. Konstribusi Produksi Pala Beberapa Provinsi 2011 – 2016

Provinsi Maluku Utaramerupakan provinsi penghasil palakedua di


Indonesia.Sebaran produksi paladi Provinsi Maluku Utaraterdapat di
limakabupaten (Lampiran 6).Kabupaten Halmahera Tengahmenempati posisi
pertama dengan produksi palasebesar 1,80ributon atau 29,97% dari total produksi
paladi Maluku Utara, diikuti oleh Kabupaten Halmahera Utara(27,91%), Halmahera
Barat(10,84%), Halmahera Selatan(6,60%)dan Taliabu(5,44%).Kabupaten lainnya
memberikan kontribusi kurang dari 20%
Perkembangan harga rata-rata produsen paladi pasar dalam negeri di
Indonesia cenderung meningkat, yaitu dari Rp. 36.647,-/kg pada tahun 2010dan pada
tahun 2015menjadiRp. 50.541,-/kg (Gambar 3.8). Rata-rata pertumbuhan pada
periode tersebut sebesar 7,25%.Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2014dengan
persentase kenaikan sebesar 7,60% terhadap tahun sebelumnya. Perkembangan
harga paladi tingkat produsen di Indonesia disajikan pada Lampiran
8.Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik Maluku tahun 2006, bahwa harga
biji pala kering di Maluku berkisar antara Rp30.000−Rp40.000/kg, fuli kering
Rp50.000/kg, dan minyak pala kasar Rp300.000/kg. Bila diasumsikan produksi
biji 1.000 kg dan fuli 200 kg/ha/tahun, maka nilai produksi biji pala dan fuli
mencapai Rp50 juta. Dari produksi pala 1.000 kg/ha/ tahun dengan
rendemen minyak 10%, akan dihasilkan minyak pala 100 kg/ha/tahun dengan nilai
Rp30 juta. Pada tahun 2003, Provinsi Maluku menghasilkan 5.000 ton biji
pala dengan jumlah yang diekspor 1.163 ton(Badan Pusat Statistik Maluku 2006)

Gambar Produksi Pala di Beberapa Kabupaten di Provinsi Maluku Utara, 2014

G. PEMBAHASAN
a. Permasalahan
Pemasaran biji pala rakyat di Maluku belum tertata dalam satu sistem pemasaran
karena belum ada lembaga yang menangani pemasaran biji pala secara khusus.
Petani masih bebas menjual hasil pala pada pedagang kecil di desa atau di kota
kecamatan dan pedagang kecil kecamatan menjual di Kabupaten atau di kota
Provinsi. Transportasi masih merupakan kendala utama dalam pemasaran hasil biji
pala. Umumnya prasarana jalan dan jembatan menghubungkan sentra-sentra
produksi pala sebagian besar belum terbangun, sehingga biaya usahatani menjadi
tinggi dan harga jual kurang bersaing. Permasalahan yang akan diangkat adalah
tentang seberapa besar perbedaan harga di tingkat petani dengan konsumen akhir
dilihat dari kegiatan dan fungsi-fungsi pemasraan yang dilakukan petani dan
lembaga pemasaran dalam rantai pemasaran pala sehingga diketahui bagian
keuntungan yang diterima oleh petani produsen dan lembaga pemasaran, besarnya
margin di setiap lembaga pemasaran, kendala yang dihadapi dalam memasarkan dan
efisiensi pemasaran pala di kota Ternate.

b. Alternatif Solusi

Biji pala dari produsen untuk sampai ke konsumen akhir melalui beberapa
tahapan. Pada pemasaran biji pala dijumpai beberapa macam saluran pemasaran.
Saluran pemasaran yang dipakai berbeda antara produsen yang satu dengan
produsen yang lain. Setiap produsen bebas menentukan saluran pemasaran yang
akan digunakan agar produk mereka bisa sampai ke konsumen.
Dalam hal ini biji pala dari produsen menuju konsumen akhir dalam bentuk
beras melalui tahapan-tahapan yang melibatkan beberapa lembaga pemasaran.
Penyampaian barang dari produsen hingga konsumen akhir ini menggunakan
saluran pemasaran yang beragam tergantung dari jumlah pedagang perantara yang
terlibat.

c. Implementasi
Pada saluran ini produsen biji pala menjual langsung ke pedagang besar di pasar
kemudian dari pedagang besar dijual kembali ke ekportir antar pulau di daerah
Bitung, Manado dan Surabaya melalui pelabuhan Ahmad Yani, Kota Ternate.
Produsen menjual dalam bentuk biji pala kering yang harga jualnya di tentukan oleh
pasar dalam hal ini pedagang besar. Sebelum dipasarkan biasanya produsen
mengumpulkan hasil panen dalam jumlah besar kemudian dijemur hingga kering
dan disortir untuk mendapatkan kondisi biji pala yang baik.

H. KESIMPULAN
Pala dikenal sebagai tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomis
danmultiguna karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan dalam
berbagaiindustri. Biji, fuli dan minyak pala merupakan komoditas ekspor dan
digunakandalam industri makanan dan minuman. Minyak yang berasal dari biji, fuli
dandaun banyak digunakan untuk industri obat-obatan, parfum dan kosmetik.Secara
komersial biji pala dan fuli merupakan bagian terpenting dari buah pala dan
dapat dibuat menjadi berbagai produk antara lain minyak atsiri danoleoresin.Pada
prinsipnya komponen dalam biji pala dan fuli terdiri dari minyakatsiri, minyak lemak,
protein, selulosa, pentosan, pati, resin dan mineral-mineral.
DAFTAR PUSTAKA

Guenther, Emest. 1987. Minyak Atsiri jilid 1 Cetakan 1. Penerbit Universitas


Indonesia, Jakarta. www. Litbang.deptan.go.id /Agribisnis diakss pada
hari minggu, tanggal 8 Desember 2013 pukul 17.00 wib.
Hermani dan Tri mawarti. 2006. Peningkatan Mutu Minyak Atsiri Melalui Proses
Pemurnian. Nalai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Bogor
Ketaren, S dan B Djatmiko. 1978. Minyak Atsiri Bersumber Dari Bunga .
Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta IPB : Bogor

Anda mungkin juga menyukai