Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA SAGU

BASAH DAN USAHA DANGE (RUJI) DI KECAMATAN


MALANGKE BARAT KABUPATEN LUWU UTARA

PROPOSAL

NURLELAH

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA SAGU
BASAH DAN USAHA DANGE (RUJI) DI KECAMATAN
MALANGKE BARAT KABUPATEN LUWU UTARA

PROPOSAL

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan


Matakuliah Metodologi Penelitian Agribisnis pada
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako

Oleh

NURLELAH
E 321 18 195

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kindangen dan Malia 2006, h.45 sagu (Metroxylon sp.) adalah tanaman asli

Indonesia, dan merupakan sumber pangan yang paling tua bagi masyarakat di berbagai

daerah. Sagu diduga berasal dari Maluku dan Irian; karena itu sagu mempunyai arti

khusus sebagai pangan tradisional bagi penduduk setempat. Hingga saat ini belum ada

data pasti yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Diduga, budidaya sagu

di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat sama kunonya dengan pemanfaatan kurma

di Mesopotamia. Di wilayah Indonesia Bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan

sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di Maluku dan Irian Jaya.

Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan sagu yang paling maju saat ini adalah di

Malaysia.

Kabupaten Luwu Utara merupakan sentra produksi sagu di Sulawesi Selatan

dengan luas lahan 1.552 Ha. Tingginya persentase masyarakat yang sangat sering

mengkonsumsi sagu di Kabupaten Luwu Utara disebabkan karena sebagian besar

masyarakat sekitar Luwu Utara menjadikan sagu sebagai makanan pokok kedua setelah

beras. Alasan bagi masyarakat kabupaten Luwu Utara mengkonsumsi sagu karena

rasanya yang enak dan sudah merupakan kebiasaan secara turun temurun.

Salah satu hasil olahan sagu yang diminati yaitu dange (ruji). Teksturnya yang

kasar dan aroma yang khas sehingga dange disukai sebagai pengganti nasi.
Seiring isu potensial sagu untuk menjadikannya sebagai bahan pangan alternatif bagi

masyarakat Indonesia selain padi.

(Samad 2007, h.15) teknologi budidaya dan pengolahan sagu sudah dipandang

serius oleh pemerintah. Karena sagu merupakan potensi yang sangat besar untuk

pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sebagai sumber energy. Sagu dapat diolah

dengan bermacam-macam panganan, selain memberikan manfaat bagi tubuh dan juga

memberi nilai tambah. Setelah diolah menjadi roti biskuit, mie dan nasi, serta banyak lagi

yang lainnya yang dapat diolah dari bahan tepung sagu.

Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara merupakan kawasan pesisir

yang memiliki potensi sebagai habitat tanaman rumbia, ternyata dapat memberikan

keuntungan tersendiri untuk kemandirian ekonomi bagi masyarakat di Kecamatan

Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara.

Pertumbuhan usaha sagu di Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara

sangat berjalan pesat, terutama pada daerah pinggiran maupun aliran sungai (DAS),

Banyak masyarakat di Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara mengolah

sagunya secara alami. Selain untuk kebutuhan sehari-hari (sendiri) juga bisa dibuat kue

tradisonal yang dibuat pada hari-hari besar Islam dan diperjual-belikan. Maka pendapatan

yang diperoleh dalam jangka 1 minggu sebanyak 5-10 batang, 1 batang terdapat 100 kg

tepung sagu, dan bila 5-10 batang maka diperoleh tepung sagu sebanyak 500-1000 kg,

dan harga per kg sagu sebesar Rp.4000,- maka pendapatan pengusaha sagu per minggu

sebanyak Rp.2000.000 sampai dengan Rp.4.000.000,-


Perbedaan pendapatan tersebut di atas, dikarenakan cara pengolahan sagu di

wilayah tersebut. Ada yang secara modern dan ada yang secara konvensional. Di samping

itu, pendapatan tersebut dapat berbeda tingkatannya, yang diakibatkan beberapa hal,

diantaranya adanya proses lebih lanjut dari suatu produk yang diolah maupun diusahakan,

sehingga tingkatan pendapatan perlu dianalisis untuk mengetahui perbedaan pendapatan

dari setiap produk yang diusahakan.

Hasil survey awal yang telah peneliti lakukan di Kecamatan Malangke Barat

Kabupaten Luwu Utara menunjukkan bahwa pengolahan sagu basah dan produk dange

cukup berpotensi. Namun yang menjadi permasalahannya adalah tingkat pendapatan dari

sagu basah belum secara maksimal diusahakan sehingga secara 3 ekonomi belum

diketahui berapa perbandingan (margin usaha) dari maupun usaha dange. Hal tersebut

sesuai dengan hasil observasi awal yang telah peneliti lakukan menunjukkan perbedaan

bahwa pendapatan sagu basah berbeda dengan pendapatan usaha dange oleh para

pengusaha sagu yang ada di Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara.

Misalnya, rata-rata pendapatan yang diperoleh pada usaha sagu basah sebesar

Rp.2.000.000 sampai dengan Rp.4.000.000 per tujuh hari. Sedangkan pendapatan pada

usaha dange sebesar Rp.3.000.000 sampai dengan Rp.6.000.000 per sepuluh hari. Hasil

tersebut menunjukkan bahwa terjadi selisih pendapatan yang cukup memberikan

kontribusi bagi peningkatan pendapatan para pengusaha sagu kering.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan adapun rumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Usaha Dange (Ruji) di

Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan adapun

tujuan penelitian adalah:

1. Untuk menganalisis Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Usaha dange

(Ruji) di Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Tanaman Sagu Tanaman sagu (Metroxylon spp) secara taksonomi masuk ke dalam

ordo spadiciflora, family palmae, genus Metroxylon, spesies Metroxylon spp. Kata

Metroxylon berasal dari bahasa Yunani, yaitu Metro berarti isi batang dan xylon yang

berarti xylem (Tenda, dkk., 2009). Menurut Bintoro, dkk. (2010) sagu dari genus

Metroxylon dapat digolongkan dalam dua golongan besar. Pertama, sagu yang berbunga

atau berbuah dua kali (Pleomanthic) dengan kandungan pati rendah dan kedua, tanaman

sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic) yang mempunyai kandungan pati

tinggi sehingga bernilai ekonomis untuk diusahakan. Golongan yang pertama terdiri atas

spesies Metroxylon filarae dan Metroxylon elatum, sedang golongan yang kedua terdiri

atas 5 spesies penting yaitu M.rumphii (sagu tuni), M.sagus (sagu molat), M.siivester

(sagu ihur), M.longispinum (sagu makanaru) dan M.microcantum (sagu rotan). Sagu ihur,

tuni dan molat adalah spesies sagu yang memiliki arti ekonomi untuk diusahakan.

Menurut Syakir dan Karmawati (2013) dari segi morfologi, sagu tumbuh dalam

bentuk rumpun, terdiri atas 1-8 batang sagu yang pada pangkal tanaman tumbuh 5-7

batang anakan. Pada kondisi liar rumpun sagu akan melebar dengan jumlah anakan yang

banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Tajuk pohon terbentuk dan pelepah yang

berdaun sirip dengan ketinggian pohon dapat mencapai 8-17 m tergantung jenis dan

tempat tumbuh.
Menurut Maherawati, dkk. (2011) batang sagu merupakan bagian yang terpenting

dari tanaman ini karena merupakan gudang penyimpan aci atau karbohidrat yang lingkup

penggunaannya dalam industri sangat luas seperti industri pangan, pakan, alkohol dan

industri lainnya. Batang sagu berbentuk silinder tingginya dapat mencapai 10-15 m

dengan diameter 35-50 cm bahkan dapat lebih besar. Umumnya bagian bawah batang

bentuknya lebih besar dari yang atas dan kandungan pati lebih tinggi.

Syakir dan Karmawati, (2013) bentuk daun memancang (lanceolatus), agak lebar

dengan tulang daun di tengah. Pada tulang daun terdapat banyak daun dengan ruas-ruas

daun yang mudah patah. Daun sagu mirip dengan daun kelapa tetapi mempunyai pelepah

seperti daun pinang. Pada waktu muda pelepah tersusun berlapis tetapi pada waktu

dewasa akan terlepas. Pada tanaman dewasa sagu memiliki 18 tangkai daun dengan

panjang sekitar 5 sampai 7 meter. Dalam setiap tangkai terdapat 50 pasang daun dengan

panjang 60 sampai 180 cm dan lebar sekitar 5 cm. Pada tanah liat dengan penyinaran

baik, daun sagu yang terbentuk pada waktu muda berwarna hijau tua, kemudian menjadi

coklat kemerah-merahan apabila sudah tua. Tanaman sagu berbunga pada umur antara

10-15 tahun tergantung jenis dan lingkungan tempat tumbuh dan sesudah itu pohonnya

akan mati. Awal fase berbunga dimulai dengan keluarnya daun bendera yang berukuran

lebih pendek dari daun sebelumnya.

Hasil pengamatan Flach (1983) bunga sagu bercabang banyak terdiri dari cabang

primer, sekunder dan tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan

betina, namun bunga jantan tepung sarinya punah sebelum bunga betina mekar. Oleh
karenanya tanaman sagu dikategorikan dengan tanaman menyerbuk silang sehingga

tanaman yang tumbuh sendiri jarang sekali membentuk buah.

Tirta, dkk, (2013) lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang

berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah

berwarna cokelat dan bereaksi agak asam. Selanjutnya dikatakan habitat yang demikian

cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan sagu.

Pada tanah-tanah yang tidak cukup mengandung mikroorganisme pertumbuhan sagu

kurang baik. Selain itu pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang

disuplai dari air tawar terutama unsur P, K, Ca, dan Mg. Apabila akar napas sagu

terendam terus menerus, maka pertumbuhan sagu terhambat dan pembentukan aci atau

karbohidrat dalam batang juga terhambat.

Reza, (2011) Salah satu hasil produksi masyarakat pedesaan yang dapat

dikembangkan adalah makanan khas masyarakat Luwu yaitu Dange (ruji). Dange (ruji)

merupakan makanan siap saji yang terbuat dari sagu yang berbentuk kotak tipis yang

selalu disajikan bersama makanan khas Luwu lainnya seperti kapurung, lawa dan pocco.

Sayangnya perkembangan usaha dange (ruji) menjadi kuliner khas Luwu kurang

diperhatikan oleh pemerintah, padahal kontribusi dange (ruji) dalam kuliner khas Luwu

juga sangat tinggi karena dange (ruji) merupakan makanan khas yang selalu ada dalam

menu-menu acara keluarga. Hal tersebut yang mengurangi minat masyarakat dalam

mengembangkan produksi dange (ruji) agar memberikan keuntungan dalam suatu proses

produksi karena selain dange (ruji) di mata pemerintah kurang memberikan perhatian

juga karena harga dange (ruji) yang terbilang cukup murah.


Masyarakat Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara Barat sebagian besar

adalah petani tambak, namun beberapa keluarga menjalankan usaha produksi dange

(ruji).

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Biaya

Menurut Mulyadi (2007, h.8): “Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang

diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk

mencapai tujuan tertentu.”. Dari definisi ini, ada empat unsur pokok dalam biaya, yaitu:

1) Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi

2) Diukur dalam satuan uang

3) Yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi

4) Pengorbanan tersebut untuk memperoleh manfaat saat ini dan/atau mendatang.

Dengan demikian, biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dengan

satuan uang, untuk memperoleh barang atau jasa yang diharapkan memberikan manfaat

saat ini maupun akan datang. Pengorbanan sumber ekonomis tersebut bisa merupakan

biaya historis dan biaya masa yang akan datang. Sedangkan dalam arti sempit biaya dapat

diartikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva atau secara

tidak langsung untuk memperoleh penghasilan, disebut dengan harga pokok (Mulyadi

2007, h.8).

2.2.2 Analisis Biaya

Untuk menghitung total biaya produksi dapat dihitung dengan menggunakan rumus

TC = TVC + TFC
Keterangan : TC = Total Biaya (dalam Rupiah)

TVC = Total Biaya Variabel (dalam rupiah)

TFC = Total Biaya Tetap (dalam rupiah)

(Sumber : Suratiyah 2008, h.38)

2.2.3 Pendapatan

Pendapatan dapat diartikan arus masuk aktiva dan atau penyelesaian kewajiban dan

penyerahan atau produksi barang, pemberian jasa, dan aktivitas pencarian laba lainnya

yang merupakan operasi yang utama atau besar yang berkesinambungan selama suatu

periode. Pendapatan yang dihasilkan dapat terjadi setiap saat dan dapat juga terjadi pada

waktu tertentu secara berkala (Johan 2011, h.61).

Pendapatan pada prinsipnya mempunyai sifat menambah atau menaikkan harta atau

menurunkan kewajiban perusahaa, tetapi tidak semua yang menambah atau menaikkan

harta/kekayaan perusahaan dapat dikategorikan pendapatan seperti halnya penilaian

kembali aktiva tetapi meningkatkan harta perusahaan sehingga menimbulkan perkiraan

baru yaitu perkiraan penyusaian modal. Pendapatan juga meliputi semua sumber ekonomi

yang diterima perusahaan, dari transaksi penjualan barang atau jasa kepada pihak lain

seperti pertukaran aktiva bunga atau sebagainya (Firdaus 2008, h.35).

2.2.4 Pendapatan Usaha

Pendapatan menurut Ibrahim (2008, h.62), dalam pengertian ilmu ekonomi adalah

hasil berupa uang atau material lainnya, yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau

jasa-jasa manusia bebas.


Pendapatan adalah “arus masuk atau peningkatan lainnya atas aktiva sebuah entitas

atau penyelesaian kewajiban (atau kombinasi dari keduanya) selama satu periode dari

pengiriman atau produksi barang, penyediaan jasa atau 8 aktivitas lain yang merupakan

operasi utama atau sentral entitas yang sedang berlangsung” (Umar 2009, h.41).

Dalam konteks akutansi, kata “Income diartikan sebagai penghasilan dan kata

revenue sebagai pendapatan, penghasilan (income) meliputi baik pendapatan (revenue)

maupun keuntungan (gain)”.

Menurut Suratiyah (2008, h.39), pendapatan dihitung melalui pengurangan antara

penerimaan dengan total biaya untuk satu kali proses produksi, dihitung dengan rumus :

Pendapatan : TR = P.Q

Keterangan :

TR = Penerimaan Total (dalam rupiah)

P = Harga Jual Per unit (dalam rupiah)

Q = Jumlah Produksi (unit)

2.2.5 Keuntungan

Untuk mengetahui keuntungan dalam suatu usaha, maka dapat digunakan rumus sebagai

berikut: π = TR – TC 9

Keterangan :

π = Total Keuntungan (dalam rupiah)

TR = Total Penerimaan (dalam rupaih)

TC = Total Biaya (dalam rupiah)

2.2.6 Proses Pembuatan Tepung Sagu


Pada dasarnya, tepung sagu dibuat dari empulur batang sagu. Tahapan proses

pembuatan tepung sagu secara umum meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan

pembelahan, penokokan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan dan

pengemasan (Johan 2011, h.46).

Ditinjau dari cara dan alat yang digunakan, pembuatan tepung sagu yang dilakukan

di daerah-daerah penghasil sagu di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan atas cara

tradisional, semi-mekanis dan mekanis (Kindangen dan Malia 2006, h.51).

a. Pembuatan Tepung Sagu Secara Tradisional

Pada umumnya cara ini banyak dijumpai di Maluku, Papua, Sulawesi dan Kalimantan.

Pengambilan tepung sagu secara tradisional umumnya diusahakan oleh penduduk

setempat, dan digunakan sebagai bahan makanan pokok sehari-hari (Kindangen dan

Malia 2003, h.52).

Penebangan pohon sagu dilakukan secara gotong-royong dengan menggunakan

peralatan sederhana, seperti parang atau kampak. Selanjutnya, batang sagu dibersihkan

dan dipotong-potong sepanjang 1- 2 meter; kemudian potongan-potongan ini dibelah dua.

Empulur batang yang mengandung tepung dihancurkan dengan alat yang disebut nanni;

dan pekerjaan menghancurkan empulur sagu ini disebut menokok. Penokokan empulur

dikerjakan sedemikian rupa sehingga empulur cukup hancur dan pati mudah dipisahkan

dari serat-serat empulur. Empulur yang telah ditokok akan berwarna kecoklatan bila

disimpan di udara terbuka dalam waktu lebih dari sehari. Oleh karena itu, empulur yang

ditokok dalam satu hari harus diatur sedemikian rupa agar pemisahan tepung dapat

diselesaikan pada hari yang sama. Penokokan dapat dilanjutkan pada hari berikutnya
sampai seluruh batang habis ditokok. Dengan cara tradisional ini, penokokan satu pohon

sagu dapat diselesaikan dalam waktu 1 – 3 minggu (Johan 2011, h.47).

Shinta (2005) empulur hasil tokokan kemudian dipisahkan untuk dilarutkan dan

disaring tepungnya di tempat tersendiri. Pelarutan tepung sagu dilakukan dengan cara

peremasan dengan tangan, dan dibantu dengan penyiraman air. Di beberapa daerah, air

yang digunakan berasal dari rawa-rawa yang ada di lokasi tersebut di Maluku, tempat

pelarutan tepung sagu disebut sahani, yang terbuat dari pelepah sagu dan pada ujungnya

diberi sabut kelapa sebagai penyaring

Tepung sagu yang terlarut kemudian dialirkan dengan menggunakan kulit batang

sagu yang telah diambil empulurnya. Tepung sagu ini kemudian diendapkan, dan

dipisahkan dari airnya. Tepung yang diperoleh dari cara tradisional ini masih basah, dan

biasanya dikemas dalam anyaman daun sagu yang disebut tumang; di Luwu Sulawesi

Selatan disebut balabba dan di Kendari disebut basung. Sagu yang sudah dikemas ini

kemudian disimpan dalam jangka waktu tertentu sebagai persediaan pangan rumah

tangga; dan sebagian lainnya dijual (Suratyah 2008, h.30).

Karena sagu yang sudah dikemas ini masih basah, maka penyimpanan hanya dapat

dilakukan selama beberapa hari. Biasanya, cendawan atau mikroba lainnya akan tumbuh,

dan mengakibatkan tepung sagu berbau asam setelah beberapa hari penyimpanan.

b. Pembuatan Tepung Sagu Secara Semi-mekanis


Pembuatan tepung sagu secara semi-mekanis pada prinsipnya sama dengan cara

tradisional. Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat atau mesin pada sebagian

proses pembuatan sagu dengan cara semi-mekanis ini. Misalnya, pada proses

penghancuran empulur digunakan mesin pemarut; pada proses pelarutan tepung sagu

digunakan alat berupa bak atau tangki yang dilengkapi dengan pengaduk mekanik; dan

pada proses pemisahan tepung sagu digunakan saringan yang digerakkan dengan motor

diesel (Samad 2003, h.39).

Cara semi-mekanis ini banyak digunakan oleh penghasil sagu di daerah Luwu

Sulawesi Selatan, dan daerah Riau, khususnya di daerah Selat Panjang. Secara umum,

cara semi-mekanis ini diawali dengan memotong-motong pohon sagu yang telah

ditebang, dengan ukuran 0,5-1 meter.

Potongan-potongan ini kemudian dikupas kulitnya, dibelah-belah, dan diparut.

Selanjutnya, hasil parutan ditampung dalam bak kayu yang dilengkapi dengan pengaduk

yang berputar secara mekanis. Pengadukan biasanya dilakukan dalam dua tahap, dengan

tujuan agar seluruh tepung terlepas dari serat-seratnya. Selanjutnya campuran yang terdiri

dari serat-serat, tepung dan air dialirkan ke saringan silinder berputar yang terdiri dari

beberapa tingkat. Hasil penyaringan berupa bubur ditampung dalam bak-bak kayu untuk

proses pengendapan tepung. Endapan tepung ini kemudian dicuci kembali dalam bak atau

tangki yang dilengkapi pengaduk, dan diendapkan lebih lanjut. Tepung sagu basah yang

diperoleh kemudian dijemur dan digiling dengan alat penggiling (grinder) selanjutnya,

tepung yang sudah digiling dimasukkan ke dalam karung-karung goni, dan siap untuk

dipasarkan (Pramuda, et.al., 2006, h.19).


c. Pembuatan Tepung Sagu Secara Mekanis

Pada pembuatan tepung sagu secara mekanis ini, urut-urutan prosesnya sama dengan

cara semi-mekanis. Akan tetapi, pembuatan tepung sagu dengan cara mekanis ini

dilakukan melalui suatu sistem yang kontinyu, dan biasanya dalam bentuk sebuah pabrik

pengolahan. Untuk mempercepat prosesnya pada pabrik pabrik yang sudah modern,

seperti di Sarawak Malaysia, proses pengendapan tepung dilakukan dengan

menggunakan alat centrifuge atau spinner; dan pengeringannya dilakukan dengan

menggunakan alat pengering buatan. Produk tepung sagu yang dihasilkan dari pabrik-

pabrik pengolahan ini adalah berupa tepung kering, sehingga memiliki daya simpan yang

lebih lama (Pangloli dan Royaningsih 2003, h.41).

d. Ciri-ciri dan Sifat Tepung Sagu

Tepung sagu merupakan salah satu sumber kalori; dan juga mengandung beberapa

komponen lain, seperti mineral fosfor. Jumlah kalori dan kandungan kimia dari setiap 100

gram tepung sagu. Komponen yang paling dominan dalam tepung sagu adalah pati. Pati

adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati

ini berupa butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau, dan tidak

mempunyai rasa. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka ragam

sesuai dengan sumbernya. Pati sagu berbentuk elips lonjong, dan berukuran relatif lebih

besar dari pati serealia (Pangloli dan Royaningsih 2008, h.47).

e. Pemanfaatan Tepung Sagu


Bagi sebagian masyarakat Indonesia seperti penduduk di Papua dan Maluku, dan

sebagian Sulawesi seperti Kendari dan Luwu/Palopo, sagu merupakan pangan utama

sejak zaman dahulu. Demikian pula, pemanfaatan sagu untuk pembuatan makanan

tradisional sudah lama dikenal oleh penduduk di daerah-daerah penghasil sagu baik di

Indonesia maupun di Papua Nugini dan Malaysia. Beberapa jenis produk makanan

tradisional dari sagu, antara lain adalah 16 papeda, dange, sagu lempeng, buburnee, sinoli,

bagea, sinonggi dan sebagainya (Pramuda, et.al., 2006, h.32)

Tepung sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan makanan

yang lebih moderen. Jenis-jenis makanan yang terbuat dari tepung- tepungan pada

umumnya berbahan baku tepung terigu, tapioka atau tepung beras atau bahan-bahan lain

yang sejenis. Jenis-jenis makanan seperti itu sudah dikenal secara luas oleh masyarakat,

bersifat lebih komersial dan diproduksi dengan alat semi-mekanis atau mekanis.

Beberapa contohnya adalah roti, biskuit, mie, sohun, kerupuk, bihun dan sebagainya

(Pramuda, et.al., 2006, h.33).

Seperti halnya dengan jenis karbohidrat lainnya, tepung sagu juga dapat

dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan utama maupun sebagai bahan tambahan

dalam berbagai jenis industri, seperti industri pangan, industri makanan ternak, industri

kertas, industri perekat, industri kosmetika, industri kimia, dan industri energi. Dengan

demikian pemanfaatan dan pendayagunaan sagu dapat menunjang berbagai macam

industri, baik industri kecil, menengah maupun industri teknologi tinggi (Samad 2007,

h.47).
Dalam pemanfaatannya dalam industri-industri tersebut, tepung sagu dapat langsung

digunakan tanpa harus dimodifikasi terlebih dahulu. Akan tetapi dalam beberapa hal,

tepung sagu perlu dimodifikasi terlebih dahulu sebelum dapat diaplikasikan. Modifikasi

ini dapat dilakukan secara fisik maupun kimia, dan menghasilkan berbagai jenis produk,

seperti dekstrin, glukosa, fruktosa, etanol, asam-asam organik, protein sel tunggal, dan

senyawa kimia lainnya. Produkproduk ini kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku

maupun pendukung dalam industri-industri tersebut (Pangloli dan Royaningsih 2008,

h.43).

2.2.7 Proses Pembuatan Dange ( Ruji)

a. Alat Pembuatan Dange (Ruji)

Alat yang lazim dalam pembuatan dange adalah cetakan dange (ruji) yang terbuat dari

tanah liat berukuran 15x17 cm yang setiap cetakannya menghasilkan 15 lembar ruji

(dange) yang ukuran 10x4 cm, talang besar sebagai tempat untuk pendingin ruji (dange),

penyaring tepung, tapis besar sebagai tempat penghalusan tepung sagu dan tungku kayu.

b. Bahan Pembuatan Dange (Ruji)

Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat dange (ruji) adalah 3 balabba (tumang)

tepung sagu dan kantong plastik. Dange (ruji) merupakan salah satu makanan siap khas

saji yang proses pembuatannya sangat mudah namun membutuhkan ketekunan untuk

menghasilkan dange (ruji) yang baik dan berkualitas.

Umumnya dange (ruji) yang berkualitas memiliki ciri-ciri yang putih bersih dan memiliki

tekstur tang tidak terlalu keras.

Adapun langkah-langkah pembuatan dange (ruji) adalah:


a. Tepung sagu dikeringkan agar proses penghalusan dapat dilakukan dengan baik.

b. Setelah tepung sagu tidak terlalu lembab atau memeiliki tekstur tidak mudah

terhambur, selanjutnya dilakukan penghalusan

d. dan pemisahan sisa-sisa ampas

dari pohon sagu dengan menggunakan ayakan atau alat yang berfungsi untuk menyaring

tepung sagu sehingga mengasilkan tepung sagu yang halus dan lembut.

c. Setelah proses penyaringan tepung sagu selesai, selanjutnya dilakukan

proses pemanasan cetakan ruji (dange) yang terbuat dari tanah liat sampai benar-benar

panas lalu api dimatikan dan tepung sagu dimasukkan ke dalam cetakan ruji yang panas

tanpa api.

d. Diperikirakan selama 5-7 menit, kemudian sagu dibalik agar setiap isinya masak

merata.

e. Ruji (dange) hasil produksi kemudian dikemas menggunakan kantong plastik untuk

selanjutnya dilakukan proses pemasaran hingga ke tangan konsumen


2.2.8 Faktor –Faktor Internal ( Kelemahan Dan Kelebihan) Dan Faktor Eksternal

(Peluang dan Ancaman) Usaha Dange

Kekuatan dan Kelemahan Usaha Dange di Luwu Utara

Usaha Dange (Ruji) di Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara

merupakan pemasok utama untuk pasar di sekitar Tana Luwu. Adapun kekuatan pada

usaha dange (ruji) di Kabupaten Luwu Utara yaitu: (1) Masyarakat lebih menyukai

mengkombinasikan dange dengan kapurung (makanan khas luwu); (2) Harga yang

diterapkan saat ini sudah sesuai dengan ekspektasi pelanggan; (3) Nilai investasi kecil;

(4) Proses produksinya mudah; (5) Produk tidak cepat basi.

Beberapa kelemahan usaha dange (ruji) di Kabupaten Luwu Utara yaitu: (1) Belum ada

pengembangan produk dari dange; (2) Wilayah distribusi masih terbatas di sekitar

wilayah Tana Luwu, meski sesekali perantau di wilayah papua memesan untuk bekal ole-

ole; (3) Promosi produk dange masih sangat kurang; (5) Pembukuan/pencatatan dan

akuntansi oleh para pelaku usaha denge belum ada; (6) Pelaku usaha adalah tenaga kerja

satu-satunya; (7) Alat pembuatan dange masih menggunakan alat sederhana; (8) Kemasan

kurang menarik dan belum cukup baik untuk mengoptimalkan ketahanan produk agar

dapat bertahan lama; (9) produk mudah ditiru

Peluang dan Ancaman Usaha Dange ( Ruji) di Kecamatan Malangke Barat

Kabupaten Luwu Utara

Peluang pada usaha dange: (1) Kondisi perekonomian masyarakat Tana Luwu

sebagai konsumen terbesar makanan dange tidak menghambat usaha ini; (2) Dange sudah

menjadi budaya dalam dunia kuliner masyarakat Luwu Utara, tidak lengkap makan
kapurung, pacco, parede tanpa ada dange; (3) Permintaan pasar besar; (4) Adanya

kebijakan pemerintah daerah untuk pengembangan wilayah budidaya sagu, sehingga

menjamin ketersediaan bahan baku.

Adapun ancaman pada usaha dange (ruji) di Kabupaten Luwu Utara: (1) belum ada

campur tangan pemerintah pada upaya pengembangan usaha kecil para pelaku usaha

dange di Kabupaten Luwu Utara; (2) Pendapatan pelaku usaha dari usaha dange tergolong

kecil; (3) pedagang maupun produsen yang belum mampu membuat strategi harga; (4)

produk olahan dengan bahan dasar sagu makin banyak; (5) produk makanan semakin

variatif; (6) bahan baku musiman.


III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu

Utara. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purpossive) dengan

pertimbangan bahwa Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara merupakan

salah satu penghasil tanaman sagu terbesar di luwu utara. Penelitian akan dlaksanakan

pada bulan November s/d Desember Tahun 2020.

3.2 Penentuan Responden

Responden dalam penelitian ini adalah sebagian pengusaha sagu basah dan usaha

dange (ruji).

3.3 Jenis dan Sumber data

Data yang diikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

Pengumpulan data primer dengan cara observasi dan wawancara langsung dengan

pengusaha responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (Questionaire), sedangkan

data sekunder diperoleh dari literatur- leteratur dan instansi/dinas terait dan sumber –

sumber tertulis lainnya yang dapat mendukung.

3.4 Metode Analisis Data

Hasil data yang telah diperoleh, selanjutnya diolah dan dianalisis lebih mendalam

dalam bentuk tabel dan uraian. Dengan tujuan Untuk mengetahui Analisis Perbandingan

Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Usaha Dange (Ruji) di Kecamatan Malangke Barat

Kabupaten Luwu Utara maka digunakan rumus sebagai berikut :


3.4.1 Pendapatan Usaha

Pendapatan : TR = P.Q ................................(1)

Keterangan : TR = Penerimaan Total (dalam rupiah)

P = Harga Jual Per unit (dalam rupiah)

Q = Jumlah Produksi (unit)

3.4.2 Biaya Usaha

Untuk menghitung total biaya produksi dapat dihitung dengan menggunakan rumus : TC

= TVC + TFC ...................................... (2)

Keterangan : TC = Total Biaya (dalam Rupiah)

TVC = Total Biaya Variabel (dalam rupiah)

TFC = Total Biaya Tetap (dalam rupiah)

3.4.3 Keuntungan Usaha

Untuk mengetahui keuntungan dalam suatu usaha, maka dapat digunakan rumus sebagai

berikut: π = TR – TC...................................... (3)

Keterangan : π = Total Keuntungan (dalam rupiah)

TR = Total Penerimaan (dalam rupaih)

TC = Total Biaya (dalam rupiah)


DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2014. Data Statistik Hasil Pertanian Kabupaten Simuelue. BPS. Simuelue.

Firdaus, Muhammad. 2008. Manajemen Agriusaha. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Flach, M. 1983. Yield potensial of the sago palm (Metroxylon sago) and its. realization.

First International Sago Symposium. Kuching, 5-7 juli. Pp. 157-177.

Ibrahim, Yacop. 2008. Studi Kelayakan Usaha. Cetakan Ke – 5 Rineka Cipta. Jakarta.

Johan, Suito. 2011. Studi kelayakan pengembangan usaha Sagu. Graha Ilmu Yogyakarta.

Iqbal, Muhammad. 2011. http.google.com. Penelitian Tentang Mie Instan Berbahan Baku

Tepung Sagu. Diakses Tanggal 24 November 2014.

Kindangen, J. G. dan I. E. Malia. 2006. Pengembangan Potensi dan Pemberdayaan Petani

Sagu di Sulawasi Utara. Dalam Prosiding Seminar Sagu Nasional Sagu untuk Ketahanan

Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Lukminto, H. 2007. Strategi Industri Pangan Menghadapi Pasar Global. Majalah Pangan

No. 33, Vol. IX.

Maherawati, R.B. Lestari, dan Haryadi. 2011. Karakteristik pati dari batang sagu

kalimantan barat pada tahap pertumbuhan yang berbeda. Agritech Fakultas Teknologi

Pertanian UGM, 31 (1), 44-47.


Mulyadi, 2007. Akutansi Biaya. Yogyakarta : Kanisius.

Pangloli. P. dan Royaningsih. 2006. Pengaruh Substitusi Terigu Dengan Pati Sagu dalam

Pembuatan Biscuits Marie dan Cracker. Dalam Prosiding Simposium Sagu. Jakarta : Budi

Karya. Pranamuda, M. Y. Tokiwa dan H. Tanaka. 2006. Pemanfaatan Pati Sagu Sebagai

Bahan Baku Biodegradable Plastik. Jakarta : Cipta Karya. Samad, M. Y. 2007.

Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Sagu. Jakarta : Budi Karya.

Reza (2011). Analisis pendapatan usaha dange di kecamatan masamba kabupaten luwu

utara. Universitas Cokroaminito. Palopo

Shinta, A., 2005. Ilmu Usahatani. Diktat Kuliah Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Suratiyah, K. 2008. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suryana, A. 2005. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005- 2009.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Syakir, M dan E. Karmawati. 2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon spp.) sebagai

Bahan Baku Bioenergi. Perspektif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 12

(2) 57-64.

Tenda, E.T., R.T.P. Hutapea, dan M. Syakir. 2009. Sagu tanaman perkebunan penghasil

bahan bakar nabati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hal 143-160.
Tirta, P.W.W.K., N. Indrianti, dan R. Ekafitri. 2013. Potensi tanaman sagu (Metroxylon

sp.) dalam mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Pangan, 22 (1), 61-78

Umar, Husein 2009. Studi Kelayakan Usaha. Edisi 3 Revisi. Gramedia Pustaka Utama.

Jakata

Anda mungkin juga menyukai