PROPOSAL
NURLELAH
PROPOSAL
Oleh
NURLELAH
E 321 18 195
Kindangen dan Malia 2006, h.45 sagu (Metroxylon sp.) adalah tanaman asli
Indonesia, dan merupakan sumber pangan yang paling tua bagi masyarakat di berbagai
daerah. Sagu diduga berasal dari Maluku dan Irian; karena itu sagu mempunyai arti
khusus sebagai pangan tradisional bagi penduduk setempat. Hingga saat ini belum ada
data pasti yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Diduga, budidaya sagu
di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat sama kunonya dengan pemanfaatan kurma
sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di Maluku dan Irian Jaya.
Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan sagu yang paling maju saat ini adalah di
Malaysia.
dengan luas lahan 1.552 Ha. Tingginya persentase masyarakat yang sangat sering
masyarakat sekitar Luwu Utara menjadikan sagu sebagai makanan pokok kedua setelah
beras. Alasan bagi masyarakat kabupaten Luwu Utara mengkonsumsi sagu karena
rasanya yang enak dan sudah merupakan kebiasaan secara turun temurun.
Salah satu hasil olahan sagu yang diminati yaitu dange (ruji). Teksturnya yang
kasar dan aroma yang khas sehingga dange disukai sebagai pengganti nasi.
Seiring isu potensial sagu untuk menjadikannya sebagai bahan pangan alternatif bagi
(Samad 2007, h.15) teknologi budidaya dan pengolahan sagu sudah dipandang
serius oleh pemerintah. Karena sagu merupakan potensi yang sangat besar untuk
pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sebagai sumber energy. Sagu dapat diolah
dengan bermacam-macam panganan, selain memberikan manfaat bagi tubuh dan juga
memberi nilai tambah. Setelah diolah menjadi roti biskuit, mie dan nasi, serta banyak lagi
yang memiliki potensi sebagai habitat tanaman rumbia, ternyata dapat memberikan
sangat berjalan pesat, terutama pada daerah pinggiran maupun aliran sungai (DAS),
sagunya secara alami. Selain untuk kebutuhan sehari-hari (sendiri) juga bisa dibuat kue
tradisonal yang dibuat pada hari-hari besar Islam dan diperjual-belikan. Maka pendapatan
yang diperoleh dalam jangka 1 minggu sebanyak 5-10 batang, 1 batang terdapat 100 kg
tepung sagu, dan bila 5-10 batang maka diperoleh tepung sagu sebanyak 500-1000 kg,
dan harga per kg sagu sebesar Rp.4000,- maka pendapatan pengusaha sagu per minggu
wilayah tersebut. Ada yang secara modern dan ada yang secara konvensional. Di samping
itu, pendapatan tersebut dapat berbeda tingkatannya, yang diakibatkan beberapa hal,
diantaranya adanya proses lebih lanjut dari suatu produk yang diolah maupun diusahakan,
Hasil survey awal yang telah peneliti lakukan di Kecamatan Malangke Barat
Kabupaten Luwu Utara menunjukkan bahwa pengolahan sagu basah dan produk dange
cukup berpotensi. Namun yang menjadi permasalahannya adalah tingkat pendapatan dari
sagu basah belum secara maksimal diusahakan sehingga secara 3 ekonomi belum
diketahui berapa perbandingan (margin usaha) dari maupun usaha dange. Hal tersebut
sesuai dengan hasil observasi awal yang telah peneliti lakukan menunjukkan perbedaan
bahwa pendapatan sagu basah berbeda dengan pendapatan usaha dange oleh para
pengusaha sagu yang ada di Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara.
Misalnya, rata-rata pendapatan yang diperoleh pada usaha sagu basah sebesar
Rp.2.000.000 sampai dengan Rp.4.000.000 per tujuh hari. Sedangkan pendapatan pada
usaha dange sebesar Rp.3.000.000 sampai dengan Rp.6.000.000 per sepuluh hari. Hasil
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan adapun rumusan masalah dalam
1. Bagaimana Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Usaha Dange (Ruji) di
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan adapun
1. Untuk menganalisis Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Usaha dange
Tanaman Sagu Tanaman sagu (Metroxylon spp) secara taksonomi masuk ke dalam
ordo spadiciflora, family palmae, genus Metroxylon, spesies Metroxylon spp. Kata
Metroxylon berasal dari bahasa Yunani, yaitu Metro berarti isi batang dan xylon yang
berarti xylem (Tenda, dkk., 2009). Menurut Bintoro, dkk. (2010) sagu dari genus
Metroxylon dapat digolongkan dalam dua golongan besar. Pertama, sagu yang berbunga
atau berbuah dua kali (Pleomanthic) dengan kandungan pati rendah dan kedua, tanaman
sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic) yang mempunyai kandungan pati
tinggi sehingga bernilai ekonomis untuk diusahakan. Golongan yang pertama terdiri atas
spesies Metroxylon filarae dan Metroxylon elatum, sedang golongan yang kedua terdiri
atas 5 spesies penting yaitu M.rumphii (sagu tuni), M.sagus (sagu molat), M.siivester
(sagu ihur), M.longispinum (sagu makanaru) dan M.microcantum (sagu rotan). Sagu ihur,
tuni dan molat adalah spesies sagu yang memiliki arti ekonomi untuk diusahakan.
Menurut Syakir dan Karmawati (2013) dari segi morfologi, sagu tumbuh dalam
bentuk rumpun, terdiri atas 1-8 batang sagu yang pada pangkal tanaman tumbuh 5-7
batang anakan. Pada kondisi liar rumpun sagu akan melebar dengan jumlah anakan yang
banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Tajuk pohon terbentuk dan pelepah yang
berdaun sirip dengan ketinggian pohon dapat mencapai 8-17 m tergantung jenis dan
tempat tumbuh.
Menurut Maherawati, dkk. (2011) batang sagu merupakan bagian yang terpenting
dari tanaman ini karena merupakan gudang penyimpan aci atau karbohidrat yang lingkup
penggunaannya dalam industri sangat luas seperti industri pangan, pakan, alkohol dan
industri lainnya. Batang sagu berbentuk silinder tingginya dapat mencapai 10-15 m
dengan diameter 35-50 cm bahkan dapat lebih besar. Umumnya bagian bawah batang
bentuknya lebih besar dari yang atas dan kandungan pati lebih tinggi.
Syakir dan Karmawati, (2013) bentuk daun memancang (lanceolatus), agak lebar
dengan tulang daun di tengah. Pada tulang daun terdapat banyak daun dengan ruas-ruas
daun yang mudah patah. Daun sagu mirip dengan daun kelapa tetapi mempunyai pelepah
seperti daun pinang. Pada waktu muda pelepah tersusun berlapis tetapi pada waktu
dewasa akan terlepas. Pada tanaman dewasa sagu memiliki 18 tangkai daun dengan
panjang sekitar 5 sampai 7 meter. Dalam setiap tangkai terdapat 50 pasang daun dengan
panjang 60 sampai 180 cm dan lebar sekitar 5 cm. Pada tanah liat dengan penyinaran
baik, daun sagu yang terbentuk pada waktu muda berwarna hijau tua, kemudian menjadi
coklat kemerah-merahan apabila sudah tua. Tanaman sagu berbunga pada umur antara
10-15 tahun tergantung jenis dan lingkungan tempat tumbuh dan sesudah itu pohonnya
akan mati. Awal fase berbunga dimulai dengan keluarnya daun bendera yang berukuran
Hasil pengamatan Flach (1983) bunga sagu bercabang banyak terdiri dari cabang
primer, sekunder dan tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan
betina, namun bunga jantan tepung sarinya punah sebelum bunga betina mekar. Oleh
karenanya tanaman sagu dikategorikan dengan tanaman menyerbuk silang sehingga
Tirta, dkk, (2013) lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang
berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah
berwarna cokelat dan bereaksi agak asam. Selanjutnya dikatakan habitat yang demikian
cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan sagu.
kurang baik. Selain itu pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang
disuplai dari air tawar terutama unsur P, K, Ca, dan Mg. Apabila akar napas sagu
terendam terus menerus, maka pertumbuhan sagu terhambat dan pembentukan aci atau
Reza, (2011) Salah satu hasil produksi masyarakat pedesaan yang dapat
dikembangkan adalah makanan khas masyarakat Luwu yaitu Dange (ruji). Dange (ruji)
merupakan makanan siap saji yang terbuat dari sagu yang berbentuk kotak tipis yang
selalu disajikan bersama makanan khas Luwu lainnya seperti kapurung, lawa dan pocco.
Sayangnya perkembangan usaha dange (ruji) menjadi kuliner khas Luwu kurang
diperhatikan oleh pemerintah, padahal kontribusi dange (ruji) dalam kuliner khas Luwu
juga sangat tinggi karena dange (ruji) merupakan makanan khas yang selalu ada dalam
menu-menu acara keluarga. Hal tersebut yang mengurangi minat masyarakat dalam
mengembangkan produksi dange (ruji) agar memberikan keuntungan dalam suatu proses
produksi karena selain dange (ruji) di mata pemerintah kurang memberikan perhatian
adalah petani tambak, namun beberapa keluarga menjalankan usaha produksi dange
(ruji).
2.2.1 Biaya
Menurut Mulyadi (2007, h.8): “Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang
diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk
mencapai tujuan tertentu.”. Dari definisi ini, ada empat unsur pokok dalam biaya, yaitu:
Dengan demikian, biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dengan
satuan uang, untuk memperoleh barang atau jasa yang diharapkan memberikan manfaat
saat ini maupun akan datang. Pengorbanan sumber ekonomis tersebut bisa merupakan
biaya historis dan biaya masa yang akan datang. Sedangkan dalam arti sempit biaya dapat
diartikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva atau secara
tidak langsung untuk memperoleh penghasilan, disebut dengan harga pokok (Mulyadi
2007, h.8).
Untuk menghitung total biaya produksi dapat dihitung dengan menggunakan rumus
TC = TVC + TFC
Keterangan : TC = Total Biaya (dalam Rupiah)
2.2.3 Pendapatan
Pendapatan dapat diartikan arus masuk aktiva dan atau penyelesaian kewajiban dan
penyerahan atau produksi barang, pemberian jasa, dan aktivitas pencarian laba lainnya
yang merupakan operasi yang utama atau besar yang berkesinambungan selama suatu
periode. Pendapatan yang dihasilkan dapat terjadi setiap saat dan dapat juga terjadi pada
Pendapatan pada prinsipnya mempunyai sifat menambah atau menaikkan harta atau
menurunkan kewajiban perusahaa, tetapi tidak semua yang menambah atau menaikkan
baru yaitu perkiraan penyusaian modal. Pendapatan juga meliputi semua sumber ekonomi
yang diterima perusahaan, dari transaksi penjualan barang atau jasa kepada pihak lain
Pendapatan menurut Ibrahim (2008, h.62), dalam pengertian ilmu ekonomi adalah
hasil berupa uang atau material lainnya, yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau
atau penyelesaian kewajiban (atau kombinasi dari keduanya) selama satu periode dari
pengiriman atau produksi barang, penyediaan jasa atau 8 aktivitas lain yang merupakan
operasi utama atau sentral entitas yang sedang berlangsung” (Umar 2009, h.41).
Dalam konteks akutansi, kata “Income diartikan sebagai penghasilan dan kata
penerimaan dengan total biaya untuk satu kali proses produksi, dihitung dengan rumus :
Pendapatan : TR = P.Q
Keterangan :
2.2.5 Keuntungan
Untuk mengetahui keuntungan dalam suatu usaha, maka dapat digunakan rumus sebagai
berikut: π = TR – TC 9
Keterangan :
pembuatan tepung sagu secara umum meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan
Ditinjau dari cara dan alat yang digunakan, pembuatan tepung sagu yang dilakukan
di daerah-daerah penghasil sagu di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan atas cara
Pada umumnya cara ini banyak dijumpai di Maluku, Papua, Sulawesi dan Kalimantan.
setempat, dan digunakan sebagai bahan makanan pokok sehari-hari (Kindangen dan
peralatan sederhana, seperti parang atau kampak. Selanjutnya, batang sagu dibersihkan
Empulur batang yang mengandung tepung dihancurkan dengan alat yang disebut nanni;
dan pekerjaan menghancurkan empulur sagu ini disebut menokok. Penokokan empulur
dikerjakan sedemikian rupa sehingga empulur cukup hancur dan pati mudah dipisahkan
dari serat-serat empulur. Empulur yang telah ditokok akan berwarna kecoklatan bila
disimpan di udara terbuka dalam waktu lebih dari sehari. Oleh karena itu, empulur yang
ditokok dalam satu hari harus diatur sedemikian rupa agar pemisahan tepung dapat
diselesaikan pada hari yang sama. Penokokan dapat dilanjutkan pada hari berikutnya
sampai seluruh batang habis ditokok. Dengan cara tradisional ini, penokokan satu pohon
Shinta (2005) empulur hasil tokokan kemudian dipisahkan untuk dilarutkan dan
disaring tepungnya di tempat tersendiri. Pelarutan tepung sagu dilakukan dengan cara
peremasan dengan tangan, dan dibantu dengan penyiraman air. Di beberapa daerah, air
yang digunakan berasal dari rawa-rawa yang ada di lokasi tersebut di Maluku, tempat
pelarutan tepung sagu disebut sahani, yang terbuat dari pelepah sagu dan pada ujungnya
Tepung sagu yang terlarut kemudian dialirkan dengan menggunakan kulit batang
sagu yang telah diambil empulurnya. Tepung sagu ini kemudian diendapkan, dan
dipisahkan dari airnya. Tepung yang diperoleh dari cara tradisional ini masih basah, dan
biasanya dikemas dalam anyaman daun sagu yang disebut tumang; di Luwu Sulawesi
Selatan disebut balabba dan di Kendari disebut basung. Sagu yang sudah dikemas ini
kemudian disimpan dalam jangka waktu tertentu sebagai persediaan pangan rumah
Karena sagu yang sudah dikemas ini masih basah, maka penyimpanan hanya dapat
dilakukan selama beberapa hari. Biasanya, cendawan atau mikroba lainnya akan tumbuh,
dan mengakibatkan tepung sagu berbau asam setelah beberapa hari penyimpanan.
tradisional. Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat atau mesin pada sebagian
proses pembuatan sagu dengan cara semi-mekanis ini. Misalnya, pada proses
penghancuran empulur digunakan mesin pemarut; pada proses pelarutan tepung sagu
digunakan alat berupa bak atau tangki yang dilengkapi dengan pengaduk mekanik; dan
pada proses pemisahan tepung sagu digunakan saringan yang digerakkan dengan motor
Cara semi-mekanis ini banyak digunakan oleh penghasil sagu di daerah Luwu
Sulawesi Selatan, dan daerah Riau, khususnya di daerah Selat Panjang. Secara umum,
cara semi-mekanis ini diawali dengan memotong-motong pohon sagu yang telah
Selanjutnya, hasil parutan ditampung dalam bak kayu yang dilengkapi dengan pengaduk
yang berputar secara mekanis. Pengadukan biasanya dilakukan dalam dua tahap, dengan
tujuan agar seluruh tepung terlepas dari serat-seratnya. Selanjutnya campuran yang terdiri
dari serat-serat, tepung dan air dialirkan ke saringan silinder berputar yang terdiri dari
beberapa tingkat. Hasil penyaringan berupa bubur ditampung dalam bak-bak kayu untuk
proses pengendapan tepung. Endapan tepung ini kemudian dicuci kembali dalam bak atau
tangki yang dilengkapi pengaduk, dan diendapkan lebih lanjut. Tepung sagu basah yang
diperoleh kemudian dijemur dan digiling dengan alat penggiling (grinder) selanjutnya,
tepung yang sudah digiling dimasukkan ke dalam karung-karung goni, dan siap untuk
Pada pembuatan tepung sagu secara mekanis ini, urut-urutan prosesnya sama dengan
cara semi-mekanis. Akan tetapi, pembuatan tepung sagu dengan cara mekanis ini
dilakukan melalui suatu sistem yang kontinyu, dan biasanya dalam bentuk sebuah pabrik
pengolahan. Untuk mempercepat prosesnya pada pabrik pabrik yang sudah modern,
menggunakan alat pengering buatan. Produk tepung sagu yang dihasilkan dari pabrik-
pabrik pengolahan ini adalah berupa tepung kering, sehingga memiliki daya simpan yang
Tepung sagu merupakan salah satu sumber kalori; dan juga mengandung beberapa
komponen lain, seperti mineral fosfor. Jumlah kalori dan kandungan kimia dari setiap 100
gram tepung sagu. Komponen yang paling dominan dalam tepung sagu adalah pati. Pati
adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati
ini berupa butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau, dan tidak
mempunyai rasa. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka ragam
sesuai dengan sumbernya. Pati sagu berbentuk elips lonjong, dan berukuran relatif lebih
sebagian Sulawesi seperti Kendari dan Luwu/Palopo, sagu merupakan pangan utama
sejak zaman dahulu. Demikian pula, pemanfaatan sagu untuk pembuatan makanan
tradisional sudah lama dikenal oleh penduduk di daerah-daerah penghasil sagu baik di
Indonesia maupun di Papua Nugini dan Malaysia. Beberapa jenis produk makanan
tradisional dari sagu, antara lain adalah 16 papeda, dange, sagu lempeng, buburnee, sinoli,
Tepung sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan makanan
yang lebih moderen. Jenis-jenis makanan yang terbuat dari tepung- tepungan pada
umumnya berbahan baku tepung terigu, tapioka atau tepung beras atau bahan-bahan lain
yang sejenis. Jenis-jenis makanan seperti itu sudah dikenal secara luas oleh masyarakat,
bersifat lebih komersial dan diproduksi dengan alat semi-mekanis atau mekanis.
Beberapa contohnya adalah roti, biskuit, mie, sohun, kerupuk, bihun dan sebagainya
Seperti halnya dengan jenis karbohidrat lainnya, tepung sagu juga dapat
dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan utama maupun sebagai bahan tambahan
dalam berbagai jenis industri, seperti industri pangan, industri makanan ternak, industri
kertas, industri perekat, industri kosmetika, industri kimia, dan industri energi. Dengan
industri, baik industri kecil, menengah maupun industri teknologi tinggi (Samad 2007,
h.47).
Dalam pemanfaatannya dalam industri-industri tersebut, tepung sagu dapat langsung
digunakan tanpa harus dimodifikasi terlebih dahulu. Akan tetapi dalam beberapa hal,
tepung sagu perlu dimodifikasi terlebih dahulu sebelum dapat diaplikasikan. Modifikasi
ini dapat dilakukan secara fisik maupun kimia, dan menghasilkan berbagai jenis produk,
seperti dekstrin, glukosa, fruktosa, etanol, asam-asam organik, protein sel tunggal, dan
senyawa kimia lainnya. Produkproduk ini kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku
h.43).
Alat yang lazim dalam pembuatan dange adalah cetakan dange (ruji) yang terbuat dari
tanah liat berukuran 15x17 cm yang setiap cetakannya menghasilkan 15 lembar ruji
(dange) yang ukuran 10x4 cm, talang besar sebagai tempat untuk pendingin ruji (dange),
penyaring tepung, tapis besar sebagai tempat penghalusan tepung sagu dan tungku kayu.
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat dange (ruji) adalah 3 balabba (tumang)
tepung sagu dan kantong plastik. Dange (ruji) merupakan salah satu makanan siap khas
saji yang proses pembuatannya sangat mudah namun membutuhkan ketekunan untuk
Umumnya dange (ruji) yang berkualitas memiliki ciri-ciri yang putih bersih dan memiliki
b. Setelah tepung sagu tidak terlalu lembab atau memeiliki tekstur tidak mudah
dari pohon sagu dengan menggunakan ayakan atau alat yang berfungsi untuk menyaring
tepung sagu sehingga mengasilkan tepung sagu yang halus dan lembut.
proses pemanasan cetakan ruji (dange) yang terbuat dari tanah liat sampai benar-benar
panas lalu api dimatikan dan tepung sagu dimasukkan ke dalam cetakan ruji yang panas
tanpa api.
d. Diperikirakan selama 5-7 menit, kemudian sagu dibalik agar setiap isinya masak
merata.
e. Ruji (dange) hasil produksi kemudian dikemas menggunakan kantong plastik untuk
merupakan pemasok utama untuk pasar di sekitar Tana Luwu. Adapun kekuatan pada
usaha dange (ruji) di Kabupaten Luwu Utara yaitu: (1) Masyarakat lebih menyukai
mengkombinasikan dange dengan kapurung (makanan khas luwu); (2) Harga yang
diterapkan saat ini sudah sesuai dengan ekspektasi pelanggan; (3) Nilai investasi kecil;
Beberapa kelemahan usaha dange (ruji) di Kabupaten Luwu Utara yaitu: (1) Belum ada
pengembangan produk dari dange; (2) Wilayah distribusi masih terbatas di sekitar
wilayah Tana Luwu, meski sesekali perantau di wilayah papua memesan untuk bekal ole-
ole; (3) Promosi produk dange masih sangat kurang; (5) Pembukuan/pencatatan dan
akuntansi oleh para pelaku usaha denge belum ada; (6) Pelaku usaha adalah tenaga kerja
satu-satunya; (7) Alat pembuatan dange masih menggunakan alat sederhana; (8) Kemasan
kurang menarik dan belum cukup baik untuk mengoptimalkan ketahanan produk agar
Peluang pada usaha dange: (1) Kondisi perekonomian masyarakat Tana Luwu
sebagai konsumen terbesar makanan dange tidak menghambat usaha ini; (2) Dange sudah
menjadi budaya dalam dunia kuliner masyarakat Luwu Utara, tidak lengkap makan
kapurung, pacco, parede tanpa ada dange; (3) Permintaan pasar besar; (4) Adanya
Adapun ancaman pada usaha dange (ruji) di Kabupaten Luwu Utara: (1) belum ada
campur tangan pemerintah pada upaya pengembangan usaha kecil para pelaku usaha
dange di Kabupaten Luwu Utara; (2) Pendapatan pelaku usaha dari usaha dange tergolong
kecil; (3) pedagang maupun produsen yang belum mampu membuat strategi harga; (4)
produk olahan dengan bahan dasar sagu makin banyak; (5) produk makanan semakin
salah satu penghasil tanaman sagu terbesar di luwu utara. Penelitian akan dlaksanakan
Responden dalam penelitian ini adalah sebagian pengusaha sagu basah dan usaha
dange (ruji).
Data yang diikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dengan cara observasi dan wawancara langsung dengan
data sekunder diperoleh dari literatur- leteratur dan instansi/dinas terait dan sumber –
Hasil data yang telah diperoleh, selanjutnya diolah dan dianalisis lebih mendalam
dalam bentuk tabel dan uraian. Dengan tujuan Untuk mengetahui Analisis Perbandingan
Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Usaha Dange (Ruji) di Kecamatan Malangke Barat
Untuk menghitung total biaya produksi dapat dihitung dengan menggunakan rumus : TC
Untuk mengetahui keuntungan dalam suatu usaha, maka dapat digunakan rumus sebagai
Anonymous. 2014. Data Statistik Hasil Pertanian Kabupaten Simuelue. BPS. Simuelue.
Flach, M. 1983. Yield potensial of the sago palm (Metroxylon sago) and its. realization.
Ibrahim, Yacop. 2008. Studi Kelayakan Usaha. Cetakan Ke – 5 Rineka Cipta. Jakarta.
Johan, Suito. 2011. Studi kelayakan pengembangan usaha Sagu. Graha Ilmu Yogyakarta.
Iqbal, Muhammad. 2011. http.google.com. Penelitian Tentang Mie Instan Berbahan Baku
Sagu di Sulawasi Utara. Dalam Prosiding Seminar Sagu Nasional Sagu untuk Ketahanan
Lukminto, H. 2007. Strategi Industri Pangan Menghadapi Pasar Global. Majalah Pangan
Maherawati, R.B. Lestari, dan Haryadi. 2011. Karakteristik pati dari batang sagu
kalimantan barat pada tahap pertumbuhan yang berbeda. Agritech Fakultas Teknologi
Pangloli. P. dan Royaningsih. 2006. Pengaruh Substitusi Terigu Dengan Pati Sagu dalam
Pembuatan Biscuits Marie dan Cracker. Dalam Prosiding Simposium Sagu. Jakarta : Budi
Karya. Pranamuda, M. Y. Tokiwa dan H. Tanaka. 2006. Pemanfaatan Pati Sagu Sebagai
Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Sagu. Jakarta : Budi Karya.
Reza (2011). Analisis pendapatan usaha dange di kecamatan masamba kabupaten luwu
Shinta, A., 2005. Ilmu Usahatani. Diktat Kuliah Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Suryana, A. 2005. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005- 2009.
Syakir, M dan E. Karmawati. 2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon spp.) sebagai
(2) 57-64.
Tenda, E.T., R.T.P. Hutapea, dan M. Syakir. 2009. Sagu tanaman perkebunan penghasil
bahan bakar nabati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hal 143-160.
Tirta, P.W.W.K., N. Indrianti, dan R. Ekafitri. 2013. Potensi tanaman sagu (Metroxylon
Umar, Husein 2009. Studi Kelayakan Usaha. Edisi 3 Revisi. Gramedia Pustaka Utama.
Jakata