Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ANDI FAHIRA INDRIANI

NIM : M011191232
KELAS : ILMU KAYU B

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mendorong dan menerapkan optimalisasi


dan diversifikasi pemanfaatan sumber daya hutan, tak hanya kayu tetapi berbagai
potensi lain seperti produk bukan kayu sampai jasa lingkungan.

Indroyono Soesilo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI)


mengatakan, pengembangan hasil hutan bukan kayu melalui ujicoba pasokan bahan
baku herbal, minyak atsiri dan lain-lain mulai dilakukan.

Ada juga pengembangan energi terbarukan berbasis biomassa melalui ujicoba pasokan
kayu untuk industri wood pellet dan industri biomassa di Kalimantan Barat, Gorontalo,
dan Papua.

APHI juga mengembangkan jasa lingkungan melalui penyerapan karbon stok. Mereka
sudah penjajakan awal kerjasama dengan mitra dengan proyek percontohan
perhitungan karbon di area izin.

Diversifikasi lain, katanya, pengembangan ekowisata. APHI telah membahas dengan


para pihak terkait dan uji coba di Kaltim. Mereka mengintegrasi dan sinergi dengan
wisata unggulan yang dicanangkan pemerintah.

Hal lain juga dengan menjalin kerjasama dengan PNORS untuk mengembangkan


sistem pemasaran dan perdagangan hasil hutan secara online berbasis Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), dalam bentuk bursa produk hasil hutan Indonesia
secara online, yang rilis awal 2018 di Semarang.

Dengan sistem ini telah mengunggah data anggota APHI ke sistem ITX, 252, terdiri dari
161 hutan alam dan 91 hutan tanaman. Produk yang sudah dijual melalui katalog go
alive berasal dari 10 perusahaan.

Dia mengatakan, kendala yang mereka hadapi adalah beban pengenaan PNBP dan
belum ada regulasi yang mendorong pengembangan multiusaha.

“Kami berharap, kebijakan insentif bagi pemegang izin sejalan dengan peningkatan
karbon stok dan penurunan emisi dalam bentuk result based payment dapat diterbitkan,
sejalan dengan akan mulai perhitungan capaian NDC (nationally determined
contribution-red) pada 2020,” katanya dalam diskusi di Jakarta, November lalu.

Indroyono bilang, sebagai bagian dari implementasi program perhutanan sosial dalam
memberikan akses lebih luas kepada warga, APHI tandatangani nota kesepahaman
dengan Perum Perhutani, pemegang izin HTI dan masyarakat di dalam dan sekitar
hutan dalam bentuk kemitraan kehutanan.

“APHI terus mendorong anggota memperluas MoU kepada anggota-anggota APHI lain
serta mengimplementasikan di lapangan,” katanya.

 
Rota
n, salah satu produk hutan bukan kayu. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

APHI juga sudah menjalin diskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mencari
peluang dan opsi-opsi pendanaan bagi investasi kehutanan.

Setelah terbentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Indroyono


berharap, opsi-opsi pendanaan makin terbuka. Dalam operasional, katanya, izin
anggota APHI juga bersinggungan dengan penerapan kebijakan pemerintah yang
bersifat lintas sektoral, misal, kebijakan penerapan PBB di Kementerian Keuangan.
Juga, perizinan terintegrasi elektronik atau online single submission (OSS) di
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan kebijakan wajib usaha kehutanan
mengurus perizinan terminal khusus maupun pemanfaatan garis pantai di Kementerian
Perhubungan. Pemegang izin hutan yang sudah memperoleh izin terminal khusus 34,
izin pemanfaatan garis pantai 60, dan 19 masih proses.

Pilihan optimalisasi pemanfaatan hutan produksi melalui multiusaha kehutanan dengan


tetap mempertahankan hasil hutan kayu. “Juga pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
dan jasa lingkungan merupakan pilihan rasional untuk meningkatkan kinerja pemegang
izin saat ini.”

Terobosan regulasi multiusaha dalam satu perizinan, guna mendorong pelaku usaha
menerapkan optimalisasi pemanfaatan hasil hutan, katanya, banyak ditunggu kalangan
usaha.

APHI, katanya, telah menyusun peta jalan pembangunan hutan produksi tahun 2019-
2045 guna penyempurnaan roadmap 2016.

“Penyempurnaan ini untuk merespon dinamika kebijakan pemerintah seperti


perhutanan sosial, tuntutan sinergitas dengan target-target industri kehutanan dan
kebutuhan mendorong konfigurasi bisnis baru kehutanan,” katanya.

Dalam peta jalan, APHI melirik pengembangan potensi jasa lingkungan seperti
ekowisata dan perdagangan karbon. Peta jalan juga menargetkan, ada 155 izin hutan
dan KPH sebagai obyek ekowisata dengan target kunjungan 233.000 orang.

Ada juga 37 jenis produk hasil hutan bukan kayu di 93 KPH seluruh Indonesia yang
berpotensi dikembangkan lebih lanjut.

Target lain dari areal hutan tanaman, menghasilkan bahan baku industri kayu pada
2045 sebanyak 269,05 juta ton m3 per tahun.

Bambang Hendroyono, Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), KLHK
mengatakan, pemerintah melakukan berbagai langkah koreksi bidang kehutanan
dengan fokus penataan ulang sumber daya hutan.
Berbagai langkah itu, katanya, antara lain, implementasi efektif moratorium izin baru di
hutan alam primer dan gambut, tak buka lahan gambut baru, mengedepankan izin
akses bagi masyarakat dengan perhutanan sosial. Juga, pengawasan pelaksanaan izin
dan mencabut HPH/HTI tak aktif, mengendalikan izin selektif dengan luasan terbatas
untuk izin baru HPH/HTI serta mendorong kerja sama perhutanan sosial sebagai off-
taker dan membangun konfigurasi bisnis baru.

Bambang tak menampik, masih banyak permasalahan sektor kehutanan. Dia bilang,
regulasi belum sepenuhnya mendukung investasi pengelolaan hutan produksi. Tata
batas kawasan perizinan pun, katanya, belum selesai hingga tak menjamin kepastian
usaha.

Meski begitu, katanya, KLHK sudah membuat berbagai kebijakan pengelolaan hutan
produksi, seperti penyederhanaan regulasi untuk investasi dan perizinan, sinkronisasi
tugas dan kewenangan pusat dan daerah dalam urusan pemerintah konkuren. Lalu,
peningkatan produktivitas hutan produksi, teknik silvikultur intensif, multi usaha di dalam
pemanfaatan izin dan diversifikasi produk hasil hutan.

“Kami juga memberi akses kelola hutan produksi pada masyarakat seperti HTR dan
kemitraan kehutanan. Juga optimalisasi bahan baku yang terintegrasi industri
pengolahan hasil hutan kayu, dan jasa lingkungan.”

  

Masih menjanjikan?

Kejayaan industri kehutanan sudah meredup. Komoditas kayu tak lagi jadi primadona
sebagai sektor yang menggerek sumber devisa negara. Indroyono Soesilo,
mengatakan, pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah
berkomitmen mendorong investasi, peningkatan ekspor, dan pembukaan lapangan
kerja.

“Ada harapan besar bisnis kehutanan sehat. Ini dimaknai sebagai kemampuan entitas
bisnis kehutanan secara finansial menguntungkan dalam menjalankan usaha,
menghasilkan manfaat untuk shareholder, karyawan, dan masyarakat luas,” katanya.

Usaha kehutanan, katanya, harus kompetitif dengan menghasilkan produk hutan dan
olahan berkualitas tinggi dengan biaya efisien bernilai tambah dan daya saing tinggi.

Dari aspek berkelanjutan, usaha kehutanan harus mampu menjalankan bisnis jangka
panjang dengan berbasiskan pada prinsip kelestarian produksi, sosial dan lingkungan.

 
Air Terj un Bojokan, di Siberut,
hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk
dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra?
Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah menerbitkan peraturan-
peraturan penting dalam meningkatkan investasi usaha kehutanan. Antara lain, dengan
mengeluarkan Permen LHK No. P.10/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan
Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologi Gambut. Ada juga
Peraturan Menteri LHK No 11/2019 tentang Perubahan Permen No 30/ 2014 tentang
Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dan rencana kerja usaha hutan
tanaman industri, dan Permen No.62/2019 tentang Pembangunan HTI.

“Kami juga mendapatkan informasi, beberapa kebijakan lain sedang revisi dan proses
pengundangan. Antara lain, peraturan pemenuhan tenaga teknis kehutanan dan tata
usaha kayu dan bukan kayu. Kami berharap dalam waktu dekat ini, revisi peraturan-
peraturan tersebut dapat segera diundangkan dan berdampak positif bagi dunia usaha,”
katanya.

Sepanjang 2019, katanya, APHI fokus merespon perubahan konfigurasi bisnis,


lingkungan dan sosial dan pengembangan inovasi berbasis pokok-pokok isu strategis.
Isu-isu ini seperti pemantapan areal kerja dan pemanfaatan kawasan hutan, dan
penyederhanaan proses bisnis pengelolaan hutan. Kemudian, optimalisasi
pemanfaatan kawasan melalui pengembangan pangan, energi, ekowisata maupun jasa
lingkungan. Juga, perdagangan dan pemasaran hasil hutan, pungutan pajak maupun
PNBP sektor kehutanan serta pendanaan.

Dia katakan, pencapaian selama 2019, antara lain nilai ekspor produk kayu olahan
menunjukkan peningkatan cukup mengesankan. Pada 2014, nilai ekspor kayu olahan
tercatat US$6,59 miliar, pada 2018 sebesar US$12,17 miliar, naik 84,67 %. Sampai
September 2019, nilai ekspor US$8,66 miliar mengalami penurunan 6,57%,
dibandingkan tahun lalu periode sama US$9,27 miliar.

Sektor hulu, periode 2014–2018, produksi kayu dari hutan alam relatif stagnan rata-rata
sekitar 5,7 juta meter kubik m3). Ada kenaikan, pada 2018 sebesar 7 juta m3, dari 5,8
juta m3 pada 2014, tetapi kenaikan di tahun 2018 cenderung sesaat. Dalam 2019,
produksi hutan alam tren menurun. Data sampai September 2019, produksi kayu bulat
alam 4,38 juta m3.

Untuk hutan tanaman, periode 2014-2018, ada kenaikan dan tren terus naik. Pada
2014, produksi 26 juta m3, 2018 (40 juta m3), naik 53,84 %. Dalam 2019 sampai
September, produksi kayu tanaman 28,78 juta m3.

“Kinerja produksi ini belum diikuti prestasi penanaman, cenderung turun terus.”
Tahun 2014, realisasi tanaman tahunan mencapai 0,56 juta hektar. Pada 2018, hanya
mencapai 0,20 juta hektar, sampai September tahun ini 0,19 juta hektar.

“Apabila realisasi tanaman tak ditingkatkan, khawatir akan menurunkan kemampuan


pasokan bahan baku tanaman ke industri pada masa-masa mendatang,” katanya.

Menurut Indroyono, harga kayu bulat hutan alam sejak Triwulan IV 2018 hingga kini
sangat rendah dan tertekan. Saat ini, harga kayu balok meranti Rp1,3 juta perm3,
dibandingkan Triwulan I– III 2018 mencapai Rp2,6 juta perm3. Total biaya produksi
sekitar Rp1,5 juta perm3.

Kalau kondisi ini terus berlanjut sampai 2020, dia prediksi sebagian besar hutan alam
akan terhenti operasional. Dari total produksi kayu hutan alam, 80% untuk mensuplai
industri plywood, sisanya industri kayu olahan.

“Rendahnya, harga kayu karena harga plywood Indonesia jatuh. Perlu ada jalan keluar
mengatasi permasalahan ini. Karena akan mempengaruhi pendapatan devisa secara
keseluruhan dari sektor kehutanan,” katanya.

Dia juga bilang, penetapan areal izin hutan yang telah tata batas belum ada
peningkatan signifikan. Sampai September 2019, sebanyak 26 izin hutan alam yang
ditetapkan tata batas, meningkat sedikit dari 2018, yaitu 25 unit manajemen . Untuk izin
hutan tanaman industri yang selesai penetapan tata batas hingga September 2019 ada
59 unit, naik 11% dari 2018 (53).

Sisi lain, katanya, investasi memerlukan kepastian hukum dan areal. Rendahnya
capaian progres tata batas karena antara lain prosedur dan tahapan panjang, berujung
pada biaya pelaksanaan tata batas. “Kami berharap ada terobosan kebijakan untuk
mendorong percepatan tata batas.”

Perolehan rencana kerja tahunan 2019 untuk izin hutan alam sebanyak 201 dari 257
unit, naik dibandingkan tahun 2018, hanya 198 dari 254 unit. Sedangkan perolehan
RKT izin HTI 2019 sebanyak 147 unit, naik 15% dari 2018 mencapai 125 unit.

“Peningkatan jumlah anggota yang beroperasi ini merupakan dampak dari peningkatan
harga jual kayu bulat tahun 2018,” katanya.

Sepanjang 2019, katanya, upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut


terus intensif dengan dukungan kebijakan yang mendorong investasi. Sebanyak 47 izin
HTI telah revisi rencana kerja usaha sesuai Permen No 11/2019 dan 48 izin HTI.
Sebanyak 68 dari 83 izin HTI telah menyusun dokumen rencana pemulihan ekosistem
gambut.

Anda mungkin juga menyukai