Anda di halaman 1dari 9

Kabar Baru|17 Agustus 2021

Peran Off Taker dalam Perhutanan Sosial


Petani perhutanan sosial membutuhkan off taker. Unit bisnis yang menghubungkan komoditas
hutan ke pasar lebih besar.

Pramono Dwi Susetyo

DALAM perhutanan sosial dikenal istilah off taker atau penjamin komoditas hasil hutan
kelompok tani hutan. Mereka bisa perusahaan swasta atau perusahaan negara. Off taker biasanya
menghubungkan komoditas petani ke pasar lebih besar.

Pasal 203 Peraturan pemerintah Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan menyebut
bahwa pemanfaatan hutan melalui pengelolaan perhutanan sosial untuk mewujudkan kelestarian
hutan, kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan menampung dinamika sosial budaya.
Caranya dengan memberikan persetujuan, pengakuan, dan peningkatan kapasitas kepada
masyarakat.

Untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, masyarakat diminta


berhimpun dalam kelompok tani hutan (KTH) sebagai pemegang persetujuan pengelolaan
perhutanan sosial. Mereka mendapatkan kesempatan membuat kegiatan usaha dari hak
mengelola tersebut. Kelompok tani itu disebut kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).

KUPS harus berhasil tidak hanya dalam mengelola kawasan hutan, juga mengelola
kelembagaan, dan yang lebih penting lagi berhasil mengelola usahanya. Selama ini, masalah
krusial yang dihadapi oleh kelompok tani rumpun pertanian adalah kendala dalam memasarkan
komoditas hasil hutan.

Untuk mendukungnya, pemerintah memberikan kredit murah melalui kredit usaha rakyat (KUR)
dengan bunga rendah melalui bank-bank pemerintah. Syaratnya melibatkan “off taker”,  baik
dari BUMN maupun swasta.

Peran off taker dalam perhutanan sosial tampak dari kegiatan perhutanan yang telah melakukan
kegiatan kelola usaha yang lengkap. Namun,  dari total KUPS sebanyak 5.208 kelompok, yang
membutuhkan peran off taker hanya sekitar 461 unit atau 9,22%.

Hingga akhir Desember 2020, jumlah KUPS yang terbentuk sebanyak 7.408 dengan realisasi
lahan hutan yang distribusikan seluas 4,7 juta hektare. Pada saat ini di 6.725 lokasi perhutanan
sosial telah memiliki 1.250 pendamping.

Meskipun off taker mempunyai peran strategis dan penting dalam pengembangan usaha KUPS,
faktanya off taker belum memberikan peran yang signifikan kepada KUPS. Peran off taker
masih terbatas di Pulau Jawa dan Bali.

Untuk mendongkrak dan menaikkan kelas KUPS pemula (blue) menjadi KUPS yang siap
dilayani off taker butuh dua tingkatan atau level kenaikan kelas. Untuk menilai kualitas KUPS
diperlukan proses dan waktu.
Realisasi perhutanan sosial hingga Juni 2021

Dari indikator capaian proses pendampingan perhutanan sosial dalam buku Panduan
Pendampingan Perhutanan Sosial, proses naik kelas dari kelola kawasan ke kelola kelembagaan
membutuhkan waktu minimal dua tahun. Demikian juga, dari kelola kelembagaan ke kelola
usaha juga membutuhkan waktu  2-5  tahun.

Peran off taker dalam memfasilitasi KUPS akan menonjol apabila KUPS yang akan difasilitasi
setidak-tidaknya lebih dari 50%. Pada akhir tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan jumlah KUPS sebanyak 45.400
unit.

Dikutip dari : https://www.forestdigest.com/detail/1274/apa-itu-off-taker


Presiden Jokowi: Peran BUMN, Swasta Besar, BUMD Bukan
Semata-Mata Sebagai Offtaker, Tapi Dampingi Korporasi Petani
dan Nelayan Sampai Terbangun Sebuah Model Bisnis Yang Betul-
Betul Berjalan
Oleh : Kormen Barus | Selasa, 06 Oktober 2020 - 12:28 WIB

Presiden Joko Widodo

INDUSTRY.co.id, Jakarta-Sektor pertanian menjadi penyumbang tertinggi bagi pertumbuhan


ekonomi nasional kuartal II di tengah pandemi Covid-19. Pencapaian sektor pertanian yang
mampu tumbuh 16,24 persen saat ini harus terus dijaga dan dijadikan sebagai sebuah momentum
untuk meningkatkan kesejahteraan petani maupun nelayan.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo sering membahas mengenai korporasi
petani dan nelayan dengan tujuan meningkatkan taraf hidup mereka serta mewujudkan
transformasi ekonomi. Saat memimpin rapat terbatas dengan topik yang sama pada Selasa, 6
Oktober 2020, melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kepala
Negara kembali menyinggung hal itu sekaligus melakukan pembahasan yang lebih detail
bersama jajaran terkait.

“Sudah sering saya sampaikan bahwa petani dan nelayan ini perlu didorong untuk berkelompok
dalam jumlah yang besar dan berada dalam sebuah korporasi sehingga diperoleh skala ekonomi
yang efisien yang bisa mempermudah petani dan nelayan dalam mengakses pembiayaan,
informasi, teknologi, dan meningkatkan efisiensi maupun memperkuat pemasarannya,” ujarnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan pula perubahan pola pikir dari yang semula hanya
berfokus pada urusan budidaya pertanian menjadi sekaligus memikirkan aspek komersialisasi
dan pemasaran dari hasil pertanian. Sehingga yang harus dilakukan ke depannya ialah
membangun proses bisnis terintegrasi mulai dari produksi hingga proses setelah panen.

Kepala Negara sendiri melihat sistem korporasi petani dan nelayan masih belum berjalan
optimal di lapangan. Banyak kelompok tani dan nelayan yang bermunculan, namun masih belum
menggarap secara serius proses dan model bisnis yang memiliki ekosistem berkesinambungan
dan terhubung dengan BUMN atau bahkan pihak swasta.

“Karena itu saya menekankan beberapa hal. Pertama, saya minta kita fokus membangun satu
atau maksimal dua model bisnis korporasi petani atau korporasi nelayan di sebuah provinsi
sampai betul-betul jadi sehingga ini nanti bisa dijadikan contoh oleh provinsi lain dan kelompok
petani serta nelayan yang lain,” kata Presiden.

Presiden meyakini bahwa apabila terdapat satu contoh sukses dari korporasi petani dan nelayan
yang telah memiliki model bisnisnya, maka akan lebih banyak kelompok tani dan nelayan yang
ingin mengikuti dan mengembangkan hal yang serupa di tempat mereka masing-masing.

Selain itu, Kepala Negara juga menginstruksikan agar peran BUMN dan pihak swasta tidak
hanya terbatas sebagai pembeli hasil panen, melainkan turut mendampingi kelompok tani
tersebut agar dapat berkembang lebih jauh secara bersama-sama.

“Peran BUMN, swasta besar, atau BUMD bukan semata-mata sebagai offtaker, tapi juga
mendampingi mereka. Mendampingi korporasi petani dan nelayan sampai terbangun sebuah
model bisnis yang betul-betul berjalan. Ini yang belum ada,” tuturnya.

Model bisnis yang hendak dibangun tersebut di antaranya ialah proses pengolahan hasil panen
mulai dari pengemasan, branding, strategi pemasaran, termasuk menghubungkan semua itu
dengan sistem perbankan, para inovator teknologi, dan manajemen yang mampu mengelola
semuanya dengan baik. Setelah semua hal tersebut dapat terbentuk, maka langkah selanjutnya
yang harus dilakukan ialah memperkuat ekosistem bisnisnya melalui regulasi yang mendukung.

“Ketiga, yang kita perkuat adalah ekosistem bisnisnya yang dilakukan secara terpadu. Karena itu
saya minta kementerian dan lembaga memperkuat ekosistem yang kondusif bagi pengembangan
korporasi petani dan nelayan melalui penyiapan regulasi yang mendukung ke arah itu,”
tandasnya.

Dikutip dari : https://www.industry.co.id/read/75148/presiden-jokowi-peran-bumn-swasta-


besar-bumd-bukan-semata-mata-sebagai-offtaker-tapi-dampingi-korporasi-petani-dan-
nelayan-sampai-terbangun-sebuah-model-bisnis-yang-betul-betul-berjalan
BADAN USAHA MILIK DAERAH PEMASARAN HASIL HUTAN
(BUMD-PHH) SEBAGAI PENGGERAK PEREKONOMIAN DI
TENGAH PENDEMI DAN RESESI
Oleh: Ir. M. Mardhiansyah, S.Hut., M.Sc., IPU.

September 4, 2021

Pergeseran paradigma pengelolaan hutan di Indonesia ke arah Perhutanan Sosial (PS) membuka ruang
partisipasi masyarakat dalam ikut serta mengelola hutan dan mendapatkan akses ekonomi untuk
menghadirkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan hutan dan usaha kehutanan yang selama ini
dicitrakan sebagai usaha skala besar dengan investasi tinggi secara bertahap bergeser ke arah terbukanya
akses masyarakat untuk mengelola hutan dan mengembangkan usaha kehutanan dalam skala kecil dan
menengah.

Perorangan atau kelompok masyarakat berkesempatan untuk mengelola hutan dan mengembangkan
usaha kehutanan.

Pengelolaan hutan di tingkat tapak berbasis KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) sesuai amanah Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah pula memberikan fleksibelitas pengelolaan
hutan di tingkat tapak. Pengelolaan KPH memiliki potensi untuk mengembangkan usaha kehutanan di
wilayahnya dengan tetap memperhatikan prinsip kelastarian. Dengan prinsip Badan Layanan Umum
(BLU) KPH bergeliat untuk mengoptimalkan potensi hutan di kawasannya untuk memperoleh nilai
ekonomi yang optimal dan kesejahteraan bagi masyarakat disekitarnya.

Propinsi Riau sebagai salah satu propinsi yang sangat “sexy” terkait lingkungan hidup dan kehutanan
khususnya kebakaran hutan dan lahan telah merasakan “sengsara membawa nikmat”. Derita kabut asap
kebakaran hutan dan lahan telah pula menjemput berbagai lembaga donor untuk mensponsori berbagai
kegiatan dan program pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang secara umum dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat. Berlimpahnya program dan dana pemberdayaan masyarakat tersebut semestinya sangat
prospektif untuk mensejahterakan masyarakat. Namun secara jujur dipahami bahwa hal tersebut belum
seutuhnya terwujud sesuai harapan. Tak jarang kegiatan dan program yang berlimpah tersebut membuat
persepsi dan pola prilaku oknum di masyarakat menjadi “primitif” dengan anggapan bahwa program
tersebut sebagai “proyek” atau “rejeki sesaat” sehingga begitu masa program berakhir maka tidak lagi
ditindaklanjuti dan memanfaatkan potensi produktifnya. Semestinya program tersebut merupakan
stimulus dan penggerak untuk ditindaklanjuti keberlanjutannya seterusnya bukan hanya sebatas masa
program berjalan. Berbagai program pemberdayaan sebagai pendekatan penyelamatan dan pelestarian
lingkungan hidup dan kehutanan yang dilakukan baik oleh NGO, lembaga swasta maupun lembaga
pemerintah secara umum berorientasi pada optimalisasi potensi hasil hutan bukan kayu dengan
menerapkan prinsip pengelolaan hutan lestari.

Realita yang tersaji saat ini di masyarakat, telah mulai tumbuh dan berkembang usaha kehutanan
khususnya hasil hutan bukan kayu yang dikelola oleh masyarakat sebagai hasil fasilitasi program-
program yang sudah dijalankan. Produk hasil hutan bukan kayu yang sedang menjadi primadona di
masyarakat saat ini seperti madu lebah, madu kelulut, aren, gaharu, kopi, nenas dan lain sebagainya.
Masih banyak potensi hasil hutan bukan kayu yang belum dioptimalkan karena keterbatasan
pengetahuan, teknologi maupun akses produksi. Di antara kendala utama yang dihadapi dalam program
pemberdayaan masyarakat khususnya usaha hasil hutan adalah sisi pemasarannya. Akses pasar yang
masih terbatas membuat potensi usaha hasil hutan belum teroptimalkan dengan baik dalam
menggerakkan perekonomian masyarakat. Selain kendala akses pasar yang masih terbatas, distribusi dan
jaringan pemasaran juga menjadi kendala.
Persoalan infrastruktur di daerah seperti transportasi, listrik dan air ikut serta berkontribusi menghambat
pemasaran dan produksi serta optimalisasi nilai tambah ekonomi dari produk-produk tersebut. Aspek
permodalan dan produksi meski merupakan kendala namun tidak menjadi sesuatu yang krusial karena
adanya dukungan dan pendampingan banyak pihak.

Tumbuh dan berkembangnya usaha hasil hutan harus didukung dan dipotimalkan, jangan dibiarkan “layu
dan rebah sebelum berkembang”. Potensi yang sudah mulai menggeliat sebagai hasil dari program yang
sudah ada tersebut harus didukung dan dioptimalkan khususnya memfasilitasi sisi pemasarannya. Untuk
itu keberadaan Badan Usaha Milik Daerah Pemasaran Hasil Hutan (BUMD-PHH) menjadi sangat
strategis dan prospektif memainkan peran sebagai penampung produk hasil hutan produksi masyarakat
baik dari PS atau KPH atau bentuk lainnya yang selanjutnya dengan pendekatan bisnis, menyalurkan dan
memasarkan produk-produk tersebut. Dengan demikian, segala produk hasil hutan masyarakat dapat
ditampung atau memiliki pasar yang pasti. Selanjutnya BUMD-PHH yang memfasilitasi pasar yang lebih
luas bukan hanya pasar regional, nasional bahkan internasional.

BUMD-PHH harus diperankan sebagai agen yang memfasilitasi produk hasil hutan masyarakat. Artinya
masyarakat tidak dibiarkan sendiri berjuang dan bertarung dalam rimba perdagangan dan pemasaran
yang lebih besar. Pengelolaan BUMD-PHH dengan pendekatan syariah atau bagi hasil yang
sesungguhnya sudah juga diterapkan pada manajemen Koperasi, dirasakan akan sangat membantu
pendapatan masyarakat sepanjang tahun. Dinamika fluktuatif harga bisa dikontrol dan distabilkan dengan
pengaturan tata niaga dan perencanaan produksi serta bagi hasil akhir tahun.

BUMD-PHH merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah daerah untuk memfasilitasi program PS atau
KPH maupun program kemitraan pemberdayaan masyarakat dimungkinkan untuk dapat diwujudkan
dengan dukungan permodalan dan kebijakann akan lebih optimal. Pemerintah Daerah akan mendapatkan
peningkatan PAD dari usaha ekonomi produktif tersebut. BUMD-PHH mampu ditumbuh kembangkan
menjadi penggerak perekonomian masyarakat khususnya menggeliatkan pengelolaan hutan dan usaha
kehutanan oleh masyarakat. Segala usaha dan produk yang dihasilkannya memiliki kepastian pasar dan
nilai ekonomi yang lebih stabil dan terjamin. Dengan demikian tujuan pengembangan PS maupun KPH
serta program pemberdayaan masyarakat akan terwujud lebih produktif dan bermanfaat.

Usaha kehutanan yang ditumbuhkembangkan secara umum tentunya berorientasi pada pasar untuk
mendapatkan nilai ekonomi yang kompetitif tanpa mengorbankan fungsi ekologi/lingkungan dan peran
tanggung jawab sosial sebagai bentuk pengelolaan hutan lestari. Dari sisi Pasar, Propinisi Riau memiliki
keunggulan komperatif yang sangat potensial untuk hasil hutan kayu karena memiliki Industri
Pengolahan hasil hutan kayu yang berskala internasional. Jika selama ini berorientasi pada industri pulp
untuk kertas, namun sekarang sudah berkembang pada industri serat untuk tujuan tekstil serta produk
berbahan serat lainnya. Kondisi ini membuat usaha pengelolaan hutan menghasilkan kayu menjadi
potensi ekonomi yang prosepektif bagi kesejahteraan masyarakat. Luasan kawasan hutan yang semakin
berkurang namun kebutuhan hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu terus meningkat. Tekanan dan
kepentingan terhadap kawasan hutan berdampak pada tingginya kompetisi penguasaan dan pemanfaatan
kawasan hutan sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Dengan demikian koorperasi tidak lagi harus
menguasai kawasan hutan secara dominan apa lagi perluasan kawasan, namun Pemerintah dapat
memberikan kepercayaan dan hak pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat termasuk masyarakat
Hukum Adat untuk diselanjutnya dibangun kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan. Kolaborasi
atau kerjasama dengan masyarakat sekitarnya untuk mengelola hutan dapat dilakukan melalui skema
Perhutanan Sosial (Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan
kemitraan kehutanan).

Realitas dan anugerah Allah SWT pada Negeri ini khususnya Propinsi Riau tersebut semestinya menjadi
berkah untuk kesejahteraan masyarakatnya bukan malah menjadi malapetaka dan mengorbankan para
pihak. Legitimasi dan ruang akses Masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola hutan tanah bukanlah
sebuah kompetisi menang kalah dengan usaha dan industi kehutanan. Namun harus berjalan sinergis
saling mendukung dan menguntungkan. Kebutuhan usaha dan industri kehutanan dapat didukung
pemenuhannya oleh hasil pengelolan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat.

Pendekatan pengelolaan hutan dengan Model Agroforestri dapat menjadi model yang prospektif karena
produk yang dihasilkan tidak hanya kayu namun juga produk lainnya seperti tanaman pangan, tanaman
hortikultura, perikanan, peternakan dan jasa lingkungan. Potensi hasil hutan bukan kayu sebagai potensi
ekonomi yang dapat diperoleh masyakarat sebagai pendapatan harian, mingguan atau bulanan disamping
produksi kayu diakhir daurnya. Dengan demikian pasar yang membutuhkan kayu dapat terfasilitasi dan
kebutuhan harian masyarakat dapat terpenuhi. Pendekatan Ekstensifikasi hutan (Extension forestry) yang
merupakan penanaman tanaman keras (pohon) diluar kawasan hutan juga merupakan sebuah skema yang
juga strategis dan prospektif.

Segenap potensi yang besar dan strategis tersebut akan dapat dioptimalkan jika digerakan oleh adanya
jaminan pasar dengan pemberdayaan peran BUMD-PHH. Secara nasional BUMN yang khusus bergerak
untuk memfasilitasi pemasaran hasil hutan juga belum terlihat jelas dan optimal sebagaimana peran
Bulog untuk sektor logistik pangan. Khusus di Propinsi Riau keberadaan BUMD yang mengurusi
pemasaran hasil hutan berupa BUMD-PHH ini menjadi sesuatu yang sangat strategis dan produktif
seiring dengan program Riau Hijau. BUMD-PHH ini juga sangat potesial di kembangkan di Propinsi lain
di Indonesia bahkan juga di Kabupaten/Kota. Di tengah Pendemi Covid-19 yang memicu resesi akibiat
terhambatnya geliat dan pertumbuhan ekonomi, maka sangat dibutuhkan trobosan untuk menggerakkan
perekonomian agar kembali pulih untuk mensejahterakan masyarakat. Fakta telah mencatat bahwa sektor
Agrokomplek yang diantaranya sub sektor kehutanan adalah sektor yang tangguh dan tetap tumbuh
menopang perekonomian bangsa di tengah resesi ekonomi. Untuk itu perlu dijadikan fokus perhatian dan
aksi nyata para pihak untuk mewujudkan BUMD-PHH untuk menggerakkan perekonomian di saat
pendemi dan resesi ini. Untuk mewujudkan hal tersebut sangat diperlukan ruang diskusi menghimpun
gagasan dan pandangan terkait hal tersebut dan membangun kerja kolaborasi. Beradaptasilah dengan
kelaziman baru untuk bangkit di tengah pendemi.

Ir. M. Mardhiansyah, S.Hut., M.Sc., IPU. adalah Dosen Jurusan Kehutanan FP UNRI – Koordinator
DPW FKKM Riau

Dikutip dari : https://riaukepri.com/2021/09/04/badan-usaha-milik-daerah-pemasaran-hasil-


hutan-bumd-phh-sebagai-penggerak-perekonomian-di-tengah-pendemi-dan-resesi/
pemprov.lampung
BANDARLAMPUNG - Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) memilih Lampung sebagai daerah kajian
buat merumuskan rancangan kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan ketahanan pangan
demi memperkokoh keamanan nasional.

Alasan Tim Wantannas memilih Lampung, provinsi ini merupakan daerah penyangga (hinterland) bagi
ibukota negara lewat penguatan ketahanan pangan demi kepentingan nasional. Selain Lampung, Tim
juga mengkaji Provinsi Banten.

Sekdaprov Fahrizal Darminto, menerima Tim Kajian Daerah Sekretariat Jenderal Wantannas, Laksda TNI
Gregorius Agung dan Laksma TNI Palgunadi, Kolonel Laut (S) Darmansyah Nasution di Ruang Sakai
Sambayan, Rabu (27/10/2021).

Dijelaskan Sekdaprov Fahrizal Darminto, strategi Pemprov Lampung dalam mewujudkan ketahanan
pangan melalui platform Kartu Petani Berjaya (KPB). Lampung didominasi sektor pertanian, perikanan
dan kehutanan.

Provinsi ini menjadi salah satu lumbung pangan nasional yang menghasilkan pasokan sebanyak kurang
lebih 40% bagi pemenuhan kebutuhan pangan Jakarta.

Strategi dan inovasi yang dilakukan dalam menjaga dunia usaha, UMKM, dan IKM berupa peningkatan
ekspor, akselerasi investasi, dan juga pembangunan infrastruktur.

Fahrizal Darminto menambahkan surplus komoditi unggulan Lampung lainnya adalah beras, singkong,
nanas, lada, pisang, kakao, kedelai, jagung, tebu, kopi, karet dan kelapa.

Turunnya volume ekspor komoditas pertanian dan perkebunan diatasi lewat hilirisasi komoditi unggulan
melalui percepatan terwujudnya kawasan industri dan pengembangan food estate.

Dalam pertemuan tersebut, Fahrizal didampingi Kadis Kelautan, Perkebunan, Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kaban Perencanaan dan Pembangunan, Kaban Kesbangpol, Plt. Kadis Lingkungan Hidup,
Sekertaris Dinas Pariwisata dan Ekraf, Kabag Biro Perekonomian.

Dijelaskan Laksda TNI Gregorius Agung, Setjen Wantannas adalah lembaga pemerintah non-
departemen/kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Jokowi selaku
ketua Wantannas.

Setjen Wantannas mempunyai tugas merumuskan rancangan kebijakan dan strategi nasional dalam
rangka pembinaan ketahanan nasional untuk menjamin pencapaian tujuan dan kepentingan nasional
Indonesia.

pemprov.lampung
Dalam menyelenggarakan tugas tersebut, Setjen Wantannas mempunyai fungsi perumusan rancangan
ketetapan kebijakan dan strategi nasional dalam rangka pembinaan ketahanan nasional, perumusan
rancangan ketetapan kebijakan dan strategi nasional.
.
Semua tunjuan tersebut dalam rangka menjamin keselamatan bangsa dan negara dari ancaman
terhadap kedaulatan, persatuan, kesatuan, kelangsungan hidup bangsa dan negara.
.
Tujuan lainnya, penyusunan perkiraan risiko pembangunan nasional yang dihadapi dalam kurun waktu
tertentu dan rancangan ketetapan kebijakan dan strategi nasional dalam rangka merehabilitasi akibat
risiko pembangunan.
.
Disamping tugas pokoknya, melalui Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Bela
Negara Tahun 2018-2019, Setjen Wantannas diinstruksikan untuk mengoordinasikan kementerian,
lembaga, dan pemerintah daerah. (Diskominfotik Provinsi Lampung).

Dikutip dari : https://www.instagram.com/p/CVhmyo5PqZE/?utm_medium=share_sheet

Anda mungkin juga menyukai