ABSTRACT
Key words : social institution, farmers group alliance, agriculture revitalization, local
autonomy, empowerment
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Dari sisi iklim makro, dunia pertanian di Indonesia saat ini berada pada
babak baru dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang tergolong memiliki
perspektif mendasar dan luas. Dua di antara kebijakan tersebut adalah
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
1
pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025
dan telah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan
impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun
1980-an. Kelahiran UU ini dapat pula mempunyai makna sebagai upaya untuk
mewujudkan revitalisasi pertanian arti luas, meliputi pertanian, perikanan dan
kehutanan.
Pada kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap
merupakan bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di
tingkat mikro. Di tingkat makro, satu kelembagaan baru yang akan lahir adalah
Badan Koordinasi Penyuluhan sebagai lembaga pemerintah non departemen, yang
akan merumuskan secara terperinci tentang metode penyuluhan, strategi
penyuluhan, dan kebijakan penyuluhan.
Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya
Pos Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Departemen
Pertanian menargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya
yang berbasiskan pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru, meskipun
semenjak awal 1990-an Gapoktan telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi
pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi
lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa
dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk
fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi,
pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang
dibutuhkan petani.
Tulisan ini menjadi penting, karena sampai saat ini, konsep dan strategi
pembentukan dan pengembangan Gapoktan tersebut masih dimatangkan
rumusannya di tingkat Deptan. Dalam konteks tersebut, tulisan ini berupaya
memberikan peringatan dan arahan kepada semua pihak berkenaan dengan
pengembangan kelembagaan petani di perdesaan umumnya dan secara khusus
untuk pengembangan Gapoktan.
Point utama yang ingin disampaikan adalah perlu dihindari
pengembangan kelembagaan dengan konsep cetak biru (blue print approach)
yang seragam, karena telah memperlihatkan kegagalan. Pemberdayaan petani dan
usaha kecil di perdesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan
kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan
kelompok dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang.
Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum
sebagai wadah untuk pemberdayaan masyarakat secara hakiki. Introduksi
kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan
lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak
tumbuh. Tulisan ini ingin mengkaji secara kritis kebijakan Deptan untuk
2
pengembangan Gapoktan, serta mengidentifikasi berbagai hambatan dan tanta-
ngan yang akan dihadapi.
3
7). Tampaknya pembedaan seperti ini mengikuti pembedaan yang dilakukan
banyak kalangan, bahwa ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah berbeda. Dalam
dokumen RPPK, berbagai kelembagaan yang dimaksud dalam ”kebijakan
pengembangan kelembagaan” adalah berupa lembaga keuangan perdesaan, sistem
perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu
produk-produk. Sementara, dalam ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi
petani” terdapat kelembagaan ketahanan pangan di perdesaan, dan kelembagaan
ekonomi petani di perdesaan.
Pembedaan seperti ini memperlihatkan bahwa “kelembagaan” adalah
sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan “organisasi” berada di level
petani, sebagaimana yang dianut kalangan ahli “ekonomi kelembagaan”. Menurut
North (2005), institution adalah “the rules of the game”, sedangkan organizations
adalah “their entrepreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin
(2005), yang berpendapat bahwa “institutions determine social organization”.
Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup.
Memperhatikan dokumen RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat
dipilah menjadi tiga level, yaitu level di pemerintahan daerah, dan level lokal di
tingkat petani. Level pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena
dengan semangat otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi
relative besar. Kelembagaan di pusat mengaitkan tata hubungan kerja antar
departemen, lembaga, atau stakeholders. Pada tataran ini, kewenangan utama
kelembagaan adalah dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang
perlu dirumuskan misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis
produksi berupa kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak,
kepemilikan dan penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas; dan
kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian.
Pada tataran pusat tersebut terdapat banyak kebijakan dan strategi yang
terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada
di berbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan
perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan
infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan,
kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan,
fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan
organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam
dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan
pengembangan ketahanan pangan.
Implementasi kelembagaan dalam revitalisasi pembangunan pertanian
diharapkan tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan dalam pengembangan
kelembagaan yang sudah lalu. Untuk itu, para pelaksana perlu memahami tentang
“analisis kelembagaan”. Dalam World Bank (2005a), institutional analysis adalah
“... helps to identify the constraints within an organization that can undermine
Saat ini, meskipun dengan kondisi yang bervariasi, di tingkat desa telah
ada berbagai kelembagaan ekonomi petani, yaitu kelompok tani dan koperasi.
Dalam konteks peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, Deptan akan
melakukan penguatan kelompok tani dan pengembangan koperasi tani pada 436
kabupaten/kota di 32 propinsi, mengaktifkan forum pertemuan penyuluh
swakarsa, pertemuan kontak tani, serta pendataan dan penumbuhan kelompok tani
dan kelembagaan ekonomi petani.
Secara konseptual, tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat
memainkan peran tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan
sebuah lembaga adalah sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya
P3A), untuk tujuan aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk
pengembangan usaha (KUA dan koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi
(kelompok Pencapir), untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain.
Khusus untuk kegiatan ekonomi, terdapat banyak lembaga perdesaan yang
diarahkan sebagai lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi,
dan Kelompok Usaha Agribisnis. Secara konseptual, masing-masing lembaga
dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Koperasi sebagai contoh,
dapat menjalankan seluruh aktivitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir.
Namun, ada keengganan sebagian pihak untuk menggunakan ”koperasi” sebagai
entry point untuk pengembangan ekonomi petani, yang mungkin karena kesan
negatif yang selama ini disandangnya. Gapoktan pada hakekatnya bukanlah
lembaga dengan fungsi yang baru sama sekali, namun hanyalah lembaga yang
dapat dipilih (opsi) di samping lembaga-lembaga lain yang juga terlibat dalam
aktivitas ekonomi secara langsung.
Pengembangan Gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan
aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah
terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga
penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada
prinsipnya, lembaga Gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi,
namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap
pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, Gapoktan diharapkan
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
5
dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan.
Namun demikian, jika Gapoktan dinilai lebih mampu menjalankan peranannya
dibandingkan dengan kios saprodi ataupun pedagang pengumpul, maka Gapoktan
dapat menggantikan peranan mereka.
Untuk menjalankan fungsi pemenuhan kebutuhan informasi teknologi
pertanian ataupun informasi pasar, Deptan akan membenahi kelembagaan
penyuluhan. Penataan kelembagaan penyuluhan pertanian mulai dari propinsi
sampai ke desa, yaitu berupa bantuan sewa/kontrak bagi 1698 BPP,
pengembangan 88 BPP Model di 6 Propinsi RPPK, serta penguatan kelompok tani
dan pengembangan koperasi tani (Badan SDM Pertanian, 2006). Selain itu, akan
dilakukan pengangkatan 3.000 tenaga penyuluh pertanian honorer, revisi SK
Menkowasbangpan No. 19/1999 tentang jabatan fungsional penyuluh pertanian
dan angka kreditnya. Selain itu juga ada penyediaan Biaya Operasional Penyuluh
(BOP) bagi 26.820 orang penyuluh pertanian, penyediaan alat komunikasi, dan
penyusunan buku kerja bagi penyuluh pertanian.
Pengembangan kelembagaan saat ini tidak lagi sama dengan era Bimas.
Keberhasilan Program Bimas dahulu didukung secara sistematis dan terstruktur
yaitu didukung oleh political will dan birokrasi yang kuat, sentralistis, penyediaan
subsidi, delivery system yang baik, anggaran yang cukup besar, organisasi
penyuluhan, serta prasarana dan sarana yang memadai. Penyuluh menjadi agen
untuk berbagai fungsi, tidak hanya menghantarkan teknologi, tapi juga pemenuhan
saprotan dan modal usahatani. Dengan skala pekerjaan yang besar tersebut,
penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak mungkin dilaksanakan dengan
pendekatan individu, namun dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan
ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat
membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun
sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari usahataninya.
Menurut laporan Deptan (2006), sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah
kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi
tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S. Sekarang ini 375 kabupaten/kota atau 86
persen dari total kabupaten/kota mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian
dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh
Pertanian. Sisanya, yaitu 61 kabupaten/kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak
jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang
terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187
Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %).
7
bank sehingga menyulitkan permodalan petani, infrastruktur yang belum
memadai, sistim alih teknologi yang belum lancar, fluktuasi harga dan lemahnya
posisi tawar petani. Gapoktan dibangun dalam upaya untuk memperkuat posisi daya
tawar petani berhadapan dengan pihak luar (external institutions).
Ga pokta n m e nj a di le m ba ga ge r ba ng ( gate way ins ti t ut i on)
ya ng menjalankan fungsi representatif bagi seluruh petani dan kelembagaan-
kelembagaan lain yang levelnya lebih rendah. Ia diharapkan menjadi gerbang
tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tapi juga pemenuhan modal, kebutuhan
pasar, dan informasi.
9
gabungan kelompok yang merupakan wahana untuk memperjuangkan nasib para
anggotanya sesuai dengan aspirasi, kondisi sosial, ekonomi dan budaya setempat.
Masyarakat, melalui gapoktan juga diharapkan mampu mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
bersama.
Ketiga, mulai tahun 2007, Gapoktan dianggap sebagai Lembaga Usaha
Ekonomi Perdesaan (LUEP) sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal
(DPM), yaitu dana pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani
pada saat panen raya, sehingga harga tidak terlalu jatuh. Kegiatan DPM-LUEP
telah dimulai semenjak tahun 2003, namun baru mulai tahun 2007 Gapoktan dapat
sebagai penerima. Dalam konteks ini, Gapoktan bertindak sebagai “pedagang
gabah”, dimana ia akan membeli gabah dari petani lalu menjualkannya berikut
berbagai fungsi pemasaran lainnya.
Dengan memperhatikan banyaknya fungsi yang akan dijalankan, maka
khusus dari kalangan Deptan, tiap Gapoktan akan didukung dari program
penyuluhan dan penguatan kelompok dari Badan Pengembangan SDM Pertanian,
penguatan akses teknologi tepat guna dari Badan Litbang Pertanian, dukungan
infrastruktur pertanian dari Ditjen. Pengelolaan Lahan dan Air, bantuan dan
pembinaan usaha pengolahan dan pemasaran dari Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian, serta dukungan permodalan dari program KKP dan
atau Dana Penjaminan. Selain dari Deptan, Gapoktan juga akan berinteraksi
dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, Departemen Dalam
Negeri. Agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata
pelibatan setiap Gapoktan berada di Dinas Pertanian setempat bekerjasama dengan
penyuluh lapangan di wilayah Gapoktan tersebut berada.
11
semakin menguat, dan jangan hanya memposisikan “kelembagaan sebagai alat
proyek”. Setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan
kelembagaan, termasuk Gapoktan, yaitu: (1) konteks otonomi daerah, (2)
pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan (3)
kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal. Penyelenggaraan
otonomi daerah ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip
dasar kemandirian lokal, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk
mengembangkan dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar
mampu memanfaatkan ruang yang tercipta. Pengembangan Gapoktan sebagai
salah satu komponen kelembagaan perdesaan, saling terkait secara fungsional
dengan konsep otonomi daerah, pemberdayaan, dan kemandirian lokal.
13
pendekatan yang "one solution fits all" dalam pengembangan kelembagaan.
Secara konseptual, otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkem-
bangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and balances
antara pemerintah dengan warganya.
15
yang ada, dan cenderung akan mengabaikan karakteristik tatanan. Sebaliknya
upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu
mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan.
Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu alternatif pendekatan
pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi
pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
diharapkan dapat diposisikan sebagai pendekatan pembangunan bangsa Indonesia,
atau minimal sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan atau paradigma
pembangunan Indonesia.
Pemberdayaan desa khususnya pemberdayaan politik masyarakat desa,
mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau
merupakan paradox pemberdayaan desa. Pada satu sisi, pemberdayaan desa
seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni
kehidupan seluruh warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara satu
tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa.
Interkoneksitas seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi harmoni
yang dimaksudkan sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoxal ini maka
penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah
sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan desa haruslah bersifat
kasuistik, dan kontekstual, yang disusun secara otonom masing-masing daerah.
Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah
berbasis pada prinsip dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi
masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk
memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan
wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi
prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada
kondisi masing-masing masyarakat.
Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila
dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai
serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun
secara sistematis, Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi
seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog diban-
dingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini
(Amien, 2005).
Tabel 1. Matrik Fungsi-fungsi Agribisnis beserta Opsi Lembaga-lembaga yang dapat Menjalankan
Fungsi Tersebut dalam Kegiatan Pertanian di Perdesaan
17
Dari tabel tersebut terlihat, bahwa sebuah kelompok tani yang berjalan
baik misalnya, bahkan dapat menjalankan seluruh fungsi agribisnis tersebut tanpa
bantuan kelembagaan lain. Di sisi lain, dari tabel matrik tersebut juga terlihat
bahwa untuk pemenuhan saprotan dan permodalan dapat menggunakan jasa
kelompok tani, koperasi, dan juga gapoktan. Sementara untuk pemenuhan
informasi teknologi dapat menggunakan wadah kelompok tani, Gapoktan, Pos
Penyuluhan Desa, Klinik Agribisnis, dan Kelompok Pencapir (Pendengar,
Pembaca, dan Pirsawan).
Dengan konfigurasi seperti itu, maka setiap pilihan apa kelembagaan yang
akan digunakan sangat tergantung kepada berbagai hal, di antaranya adalah skala
kegiatan, luas obyek sasaran, metode yang digunakan, efektivitas dan efisiensi.
Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah lembaga apa yang paling siap untuk
diajak bekerjasama. Namun pertanyaan yang terus menggelitik adalah: apakah kita
memang membutuhkan seluruh kelembagaan tersebut di satu desa?
Kedua, sediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan kelembagaan.
Pihak pelaksana mesti mampu menyesuaikan diri dengan kelembagaan petani
yang akan dikembangkan. Kesalahan selama ini adalah karena menganggap
bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka, bukan pada
superstrukturnya, padahal mungkin permasalahan (dan sumber permasalahan) ada
pada pelaksana. Satu hal yang harus digarisbawahi sebagaimana sudah sering
diingatkan adalah, agar pihak pelaksana menyediakan waktu yang cukup untuk
mengembangkan sampai cukup mandiri. Masa tahun anggaran yang satu tahun
tidak akan cukup untuk menumbuhkan Gapoktan menjadi mandiri.
Ketiga, perlu dihindari sikap yang memandang desa sebagai satu unit
interaksi sosial ekonomi yang otonom dan padu. Meskipun Gapoktan bekerja
dalam satu unit desa, namun perlu dibangun jejaring sosial (social network)
dengan Gapoktan lain. Relasi yang dibangun bukan bersifat hierarkhis-
administratif, namun lebih ke fungsional-ekonomi. Dalam hal peran Gapoktan
sebagai lembaga pemasaran, maka relasi jangan membatasi diri hanya dengan
lembaga formal. Relasi dengan para pelaku tata niaga, yang cenderung
menerapkan suasana nonformal, perlu dibina dengan menerapkan prinsip saling
menguntungkan dan keadilan.
Keempat, Gapoktan lebih banyak berperan di luar aktivitas produksi atau
usahatani, karena kegiatan tersebut telah dijalankan oleh kelompok-kelompok tani
serta petani secara individual. Untuk terlibat dalam mekanisme pasar, maka
Gapoktan harus merancang diri sebagai sebuah kelembagaan ekonomi dengan
beberapa karakteristiknya adalah mengutamakan keuntungan, efisien, kalkulatif,
dan menciptakan relasi-relasi yang personal dengan mitra usaha.
Kelima, Gapoktan hanyalah salah satu komponen dalam pengembangan
kelembagaan masyarakat perdesaan. Lebih khusus lagi, Gapoktan hanya bergerak
di bidang pertanian. Dengan demikian, pengembangan Gapoktan haruslah berada
dalam kerangka strategi yang lebih besar. Gapoktan hanyalah alat atau wadah
PENUTUP
19
Pembentukan dan penumbuh Gapoktan mestilah ditempatkan dalam
konteks yang lebih luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian
masyarakat menuju pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural
Development). Gapoktan hanyalah alat, dan merupakan salah satu opsi kelemba-
gaan yang dapat dipilih; bukan tujuan dan juga bukan keharusan. Penggunaan
kelembagaan yang semata-mata hanya untuk mensukseskan kegiatan lain, dan
bukan untuk pengembangan kelembagaan itu sendiri, sebagaimana selama ini;
hanya akan berakhir dengan lembaga-lembaga Gapoktan yang semu, yang tidak
akan pernah eksis secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A., Supena F., Syahyuti, dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline Program PHT
Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan Penelitian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
2005 – 2025. Dalam: http://www.litbang.deptan.go.id/rppk, 25 oktober 2005.
Badan SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan Pengembangan SDM Pertanian tahun
2006. Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM Pertanian Februari 2006. badan
SDM Pertanian, Deptan. Jakarta.
Basri, Faisal H. 2005. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas Brawijaya,
Malang. (http://128.8.56. 1 08/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang tantangan.
pdf., 22 Maret 2005).
Boyne, George A. 1996. Competition and Local Government: A Public Choice
Perspective. Urban Studies 33, 4-5: 703-721.
Chapman, J.I. 1999. Local Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of
California. Lincoln Institute of Land Policy Working Paper
(http://www.lincolninst.edu, 6 April 2005).
Deptan. 2006. Bahan Rapat Kerja Deptan dengan DPD-RI, tanggal 19 Juni 2006. Deptan,
Jakarta.
Kirlin, John J. 1996. The Big Questions of Public Administration in a Democracy. Public
Administration Review 56, 5 (September/October): 416-4320.
North, Douglass C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/
laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2005.
Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press
Ltd., London. Hal. 266.
Robin, Lionel. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu/user/schmid/
bromley.htm, 25 Oktober 2005.
21