Anda di halaman 1dari 7

Tugas Individu

MK. METODOLOGI PENELITIAN PERTANIAN


“Filosofi Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam Pertanian
Berkelanjutan”

Oleh :
ASRIANI MANSUR
D1A116027
AGRIBISNIS A

JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
MENGANALISIS PERADIGMA BARU PERTANIAN BERKELANJUTAN
SECARA FILSAFAT ILMU

1. Ontologi (Teori/ Paradigma Baru)


Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan
pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan
“potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian.
Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita
I kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program
“industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih
populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP
dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial.
Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes
terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I
pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5%
per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan
meningkatkan program-program pemerataan “termanja kan” oleh bonanza
minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah
untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun
segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi
ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya
dari Jepang.
Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan
antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model
pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan
sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian.
Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness”
(agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin
mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada
kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha
agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian
dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap
relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian
juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis atau Institut Pertanian
(INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak
kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi
kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi
menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak
School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu
departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah
kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa
yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok
bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita.

2. Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)


Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan
oleh angenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat
dari paian keempat dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga akan
terlihat nerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika
pembangunan hanya rkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi,
tetapi dengan merusak gkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi
menimbulkan kerugian, rena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk
memperbaiki lingkungan lebih sar dari manfaat ekonomi yang diperoleh.
Begitu pula dengan pembangunan ng mengabaikan pembangunan
kelembagaan sehingga memunculkan senjangan ekonomi dan sosial.
Kesenjangan sering kali menjadi alasan jadinya konflik bahkan dalam
bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme. onflik seperti ini tentu akan
memberikan dampak negatif bagi pembangunan di asa yang akan datang.
Fenomena kesenjangan pendapatan dan kerusakan lingkungan akan
lebih pantau bila ukuran pembangunan yang dipergunakan juga sensitif
terhadap uran kesenjangan dan kualitas lingkungan. Indikator
pembangunan rkelanjutan yang berkembang selama ini di Indonesia belum
mencakup empat mensi pembangunan berkelanjutan secara utuh.
Penghitungan Produk Domestik uto (PDB) hijau hanya melibatkan dimensi
ekonomi dan lingkungan. Penelitian ntang genuine saving hanya menyentuh
dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. kuran pembangunan berkelanjutan
berupa indeks komposit pernah pula digagas eh beberapa institusi dan
peneliti. Namun indeks komposit ini juga masih elibatkan dimensi ekonomi,
sosial dan lingkungan. Dimensi kelembagaan tidak munculkan sebagai
dimensi tersendiri, namun secara implisit tergabung pada mensi sosial.
Karena indikator kelembagaan hanya bagian kecil dari dimensi sial, maka
bobot kelembagaan dalam indeks komposit menjadi sangat kecil, dahal
permasalahan kesenjangan yang menjadi salah satu indikator lembagaan
cukup menonjol di Indonesia.
Pembangunan berkelanjutan, yang memunculkan dimensi
kelembagaan bagai dimensi tersendiri, dipandang sangat tepat untuk
kondisi Indonesia. ondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya
perhatian pada dimensi lembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain.
Sebagai dimensi tersendiri lembagaan akan memiliki bobot yang lebih
besar dalam mengukur capaian mbangunan. Untuk itu, penyusunan indeks
komposit yang memasukkan empat mensi pembangunan berkelanjutan
ekonomi, sosial, lingkungan dan lembagaan) akan menjadi bagian penting
dari pembangunan berkelanjutan pada mumnya, dan khususnya untuk
pembangunan kelembagaan.
Selain menjabarkan pembangunan berkelanjutan ke dalam empat
dimensi, angenberg juga mengidentifikasi empat modal pembangunan.
Keempat modal mbangunan tersebut adalah man-made capital, human
capital, natural pitaldansocial capital. Keseimbangan penggunaan
keempat modal tersebut akan mendorong terciptanya pembangunan
berkelanjutan. Hingga saat ini, rhatian terhadap tiga modal yang pertama
lebih dominan dibandingkan dengan odal yang terakhir. Padahal di sisi
lain, modal sosial diduga dapat mereduksi rmasalahan pembangunan yang
telah disebutkan sebelumnya. Modal sosial harapkan akan mampu
mengurangi terjadinya kesenjangan pendapatan dengan norma saling
membantu. Modal sosial juga diduga mampu mencegah lingkungan
dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial juga menjadi ama untuk dapat
mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai salah satu dalam
pembangunan, sudah sepatutnya modal sosial mendapatkan yang
seimbang dengan modal yang lain.

3. Akseologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)


Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi
Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya
pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian
berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan
namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan
demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam
pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila
Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada
pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau
perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti
memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-
program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan
petani. Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk
miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman
raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual
gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu
Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi
Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani
tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya
tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli
tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh
petani tebu rakyat.
Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau
mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua
topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat
istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan
bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan
pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di
antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat
berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan
buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain
yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah
tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan
merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian
dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi
pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian,
yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan
sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan
pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang
menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan
kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
DAFTAR PUSTAKA

Idawati. 2016. Analisis Perubahan Paradigma Pertanian Agribisnis Menuju


Pertanian Berkelanjutan Secara Filsafat Ilmu di Indonesia.
https://www.academia.edu/32442220/MAKALAH_UTS_FILSAFAT_I
LMU.docx.

Anda mungkin juga menyukai