Anda di halaman 1dari 238

Editor:

Sali Susiana

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN:
DIMENSI SOSIAL, EKONOMI,
DAN LINGKUNGAN

Diterbitkan oleh:
P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika
2015
Judul:
Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
xii+226 hlm.; 15.5x23 cm
ISBN: 978-602-1247-52-5
Cetakan Pertama, 2015
Penulis:
Mohammad Mulyadi
Tri Rini Puji Lestari
Faridah Alawiyah
Dinar Wahyuni
Herlina Astri
Dina Martiany
Edmira Rivani
Sri Nurhayati Qodriyatun
Editor:
Sali Susiana
Desain Sampul:
Abue
Tata Letak:
Zaki
Penyelia Aksara:
Helmi Yusuf
Diterbitkan oleh:
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
Gedung Nusantara I Lt. 2
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270
Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245
Bersama:
Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/DIY/2012
Kantor Pusat:
Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta
Telp. +62 274-6882748
Perwakilan Jabodetabek:
Perum Wismamas Blok E1 No. 43-44, Cinangka, Sawangan, Kota Depok
Telp. (021) 7417244

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/
atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas


perkenan-Nya para Peneliti Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen
DPR RI dapat menerbitkan buku yang bertajuk “Pembangunan
Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan”.
Buku ini terdiri dari tiga bagian, pertama, berisi kajian tentang
dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan. Secara khusus bagian
ini menyoroti konsep pembangunan sebagai upaya peningkatan
kualitas hidup manusia, pembangunan kesehatan, program Indonesia
pintar, penanggunlangan kemiskinan, dan kesetaraan gender. Kedua,
berisi analisis tentang dimensi ekonomi pembagunan berkelanjutan.
Bagian ini menelaah tentang peran sektor pertanian dalam
pembangunan berkelanjutan. Sementara bagian ketiga berisi kajian
tentang dimensi lingkungan yang secara khusus menelaah mitigasi
dan adaptasi pemerintah daerah dalam menghadapi perubahan iklim.
Buku ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
tentang implementasi konsep pembangunan berkelanjutan di
Indonesia. Akhirnya, saya mengapresiasi setinggi-tingginya atas
penerbitan buku ini, dan mengucapkan terima kasih kepada para
peneliti P3DI Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi yang telah
berupaya menuangkan pemikirannya dalam buku ini, serta berharap
semoga di masa mendatang peneliti P3DI dapat menghasilkan buku-
buku berkualitas lainnya.

Jakarta, Oktober 2015


Kepala Pusat Pengkajian, Pengolahan Data
dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI

Dr. Rahaju Setya Wardani, S.H., M.M.

Kata Pengantar iii


PROLOG

Pembangunan berkelanjutan bukanlah sebuah isu baru. Pada


era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan
ekonomi merupakan satu-satunya tujuan bagi dilaksanakannya
suatu pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Akan
tetapi pada era pembangunan berkelanjutan saat ini, tiga tahapan
pembangunan wajib dilakukan oleh setiap negara. Tahap pertama
dasar pertimbangannya adalah keseimbangan ekologi. Tahap kedua
dasar pertimbangannya pada aspek keadilan sosial. Dan pada tahap
ketiga, dasar pertimbangan mencakup aspek aspirasi politis dan
sosial budaya dari masyarakat setempat.
Gagasan pembangunan berkelanjutan dimulai ketika Brundtland
Comission merumuskan dan mendefinisikan istilah pembangunan
berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan adalah
“Memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan”. Pembangunan sebagai sebuah
gagasan, prinsip, dan konsep berkaitan dengan bagaimana hal
ini kemudian diimplementasikan dalam kehidupan manusia.
Pembangunan berkelanjutan tidak hanya berkonsentrasi pada isu-
isu lingkungan. Lebih luas dari itu, pembangunan berkelanjutan
mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan, terutama relasi
antara aspek lingkungan, aspek sosial, dan aspek ekonomi dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan yang dipraktikkan oleh
perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Praktik-
praktik pembangunan berkelanjutan terkait juga relasinya dengan
pemerintah.
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan
berwawasan jangka panjang, yang meliputi jangka waktu
antargenerasi dan berupaya menyediakan sumber daya yang cukup
dan lingkungan yang sehat sehingga dapat mendukung kehidupan.

Prolog v
Kemunculan konsep ini berkaitan erat dengan kesadaran tentang
tatanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, dengan inti pada
kepentingan ekonomi. Konsep ini mengandung asumsi bahwa sifat
sebuah pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
harus didasarkan atau sesuai dengan perencanaan infrastrukturnya.
Beberapa dimensi ruang wilayah dari pembangunan
berkelanjutan antara lain:
1. Pengentasan Kemiskinan. Merupakan masalah mendasar
yang harus segera ditanggulangi. Kemiskinan adalah salah
satu penyebab kemerosotan lingkungan dan dampak
negatif dari pembangunan. Sebaliknya kemerosotan daya
dukung lingkungan dapat menjadi penyebab muncul dan
berkembangnya kemiskinan.
2. Pola Konsumsi dan Pola Produksi. Pola konsumsi kebutuhan
dasar dan pola hidup melalui pola produksi yang tidak
berkelanjutan merupakan salah satu penyebab utama kerusakan
lingkungan. Selama ini belum ada kebijakan yang secara
eksplisit mendorong pola konsumsi dan pola produksi yang
berkelanjutan. Di kalangan masyarakat kota, telah berkembang
gaya hidup konsumtif yang tidak lagi mengonsumsi atas dasar
nilai guna dan nilai pakai, tetapi berdasarkan simbol, citra, atau
image.
3. Dinamika Kependudukan. Dalam perencanaan pembangunan,
dilakukan upaya untuk memahami keterkaitan antara variabel
kependudukan dan lingkungan, serta dalam kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan. Hal ini sebagai upaya untuk
mengatasi kemerosotan sumber daya alam, yakni dengan
menekan angka kelahiran, sehingga tercipta keseimbangan
antara penduduk dan lingkungan dalam satu wilayah dan/atau
antarwilayah.
4. Pengelolaan dan Peningkatan Kesehatan. Merupakan hal yang
penting, sebab tingkat kesehatan masyarakat berhubungan erat
dengan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan. Hubungan ini
bersifat timbal balik, terkadang pembangunan sosial ekonomi
akan memengaruhi kualitas lingkungan, terkadang kualitas
lingkungan akan memengaruhi kesehatan, dan kesehatan
yang merupakan modal dasar dalam pembangunan akan
memengaruhi proses pembangunan itu sendiri. Pemenuhan

vi Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


kebutuhan pangan, sandang, dan papan yang layak sangat
menentukan terhadap kesehatan.
5. Pengembangan Perumahan dan Permukiman. Dalam
pemanfaatan ruang wilayah, dengan dinamika kependudukan
yang terus berkembang akan didominasi untuk permukiman
(human settlement). Pada suatu permukiman (baik perkotaan
maupun pedesaan), 40% sampai dengan 60% akan didominasi
oleh kawasan perumahan.
Aspek penting dari pembangunan berkelanjutan adalah
penekanan proses partisipatif. Oleh karena itu, pembangunan
berkelanjutan tidak hanya diasumsikan sebagai suatu kebijakan
yang lahir dari minoritas kecil teknokrat atau pembuat kebijakan,
namun menekankan peran penting masyarakat dan kaum minoritas
di dalamnya. Dengan demikian, bagian penting yang menjadi
penekanan dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana menyertakan beragam pemangku kepentingan dalam
penentuan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
berbagai permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan,
yang akan dilihat melalui berbagai dimensi, yaitu sosial, ekonomi,
dan lingkungan. Sesuai dengan judulnya, maka bagian pertama
akan menyajikan dimensi sosial pembangunan berkelanjutan.
Pada bagian ini terdapat enam tulisan yang membahas mengenai
beberapa aspek. Dimulai dengan Bab I, yang memuat tulisan
Mohammad Mulyadi berjudul “Pembangunan: Analisis Kritis Upaya
Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia”. Pada Bab II, Tri Rini Puji
Lestari membahas kaitan antara kesehatan dan pembangunan
berkelanjutan melalui tulisan berjudul “Pembangunan Kesehatan
dan Pembangunan Berkelanjutan”.
Dalam Bab III Faridah Alawiyah memaparkan kaitan antara
aspek pendidikan dengan pembangunan berkelanjutan dalam
tulisan berjudul “Program Indonesia Pintar dan Pembangunan
Berkelanjutan”. Pada bab selanjutnya, yaitu Bab IV, kemiskinan
sebagai salah satu wajah pembangunan ditampilkan oleh Dinar
Wahyuni melalui tulisannya yang berjudul “Penanggulangan
Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah Menuju
Pembangunan Berkelanjutan”. Kemiskinan juga menjadi fokus

Prolog vii
bahasan Herlina Astri, yang menulis tentang “Pembangunan
Berkelanjutan dan Penanggulangan Kemiskinan” yang merupakan
tulisan pada Bab V. Bagian pertama buku ini ditutup oleh sebuah
tulisan berperspektif gender berjudul “Kesetaraan Gender dalam
Sustainable Development Goals” yang ditulis oleh Dina Martiany.
Bagian kedua buku ini menampilkan kaitan antara aspek
ekonomi dengan pembangunan berkelanjutan. Edmira Rivani
menuliskannya dalam Bab VII melalui tulisan berjudul “Peran
Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan”. Sebagai
penutup buku ini, dimensi lingkungan sebagai salah satu dimensi
dalam pembangunan berkelanjutan juga menjadi fokus bahasan.
Hal itu dituangkan oleh Sri Nurhayati Qodriyatun ke dalam tulisan
berjudul “Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah dalam
Menghadapi Perubahan Iklim”.

Jakarta, Oktober 2015

Sali Susiana

viii Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii


PROLOG........................................................................................................................v
DAFTAR ISI............................................................................................................... ix

BAGIAN PERTAMA:
DIMENSI SOSIAL

BAB I PEMBANGUNAN:
ANALISIS KRITIS UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS HIDUP MANUSIA
oleh: Mohammad Mulyadi..................................................................................... 3
I. Pendahuluan............................................................................................ 3
II. Konsep Pembangunan......................................................................... 5
III. Paradigma Pembangunan Sosial..................................................... 9
IV. Paradigma Pembangunan yang
Berpusat pada Rakyat........................................................................11
V. Realitas Masalah Pembangunan dan
Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Manusia
di Indonesia............................................................................................18
VI. Penutup....................................................................................................29
Daftar Pustaka................................................................................................31
BAB II PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
oleh: Tri Rini Puji Lestari.....................................................................................33
I. Pendahuluan..........................................................................................33
II. Konsep Pembangunan Berkelanjutan.........................................35
III. Pembangunan Kesehatan dalam
Pencapaian Target SDGs...................................................................44
IV. Simpulan..................................................................................................50
Daftar Pustaka................................................................................................52

Daftar isi ix
BAB III PROGRAM INDONESIA PINTAR DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
oleh: Faridah Alawiyah........................................................................................55
I. Pendahuluan..........................................................................................55
II. Program Indonesia Pintar................................................................61
III. Tujuan, Kriteria Sasaran, dan
Mekanisme Program Indonesia Pintar.......................................66
IV. Impelementasi PIP dan Permasalahannya................................71
V. Penutup....................................................................................................78
Daftar Pustaka................................................................................................80
BAB IV PENANGGULANGAN KEMISKINAN
BERBASIS PEMBERDAYAAN
KOMITE SEKOLAH MENUJU
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
oleh: Dinar Wahyuni..............................................................................................85
I. Pendahuluan..........................................................................................85
II. Memaknai Konsep Kemiskinan......................................................87
III. Kemiskinan dan Pendidikan dalam
Pembangunan Berkelanjutan.........................................................89
IV. Pemberdayaan Komite Sekolah.....................................................91
V. Kemiskinan dan Pemberdayaan
melalui Pendidikan..............................................................................94
VI. Komite Sekolah sebagai Wujud Partisipasi
Masyarakat dalam Pendidikan.......................................................96
VII. Gambaran Komite Sekolah di Indonesia.................................100
VIII. Strategi Pemberdayaan Komite Sekolah.................................101
IX. Penutup.................................................................................................105
Daftar Pustaka.............................................................................................107
BAB V PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
oleh: Herlina Astri................................................................................................111
I. Pendahuluan.......................................................................................111
II. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia............................112
III. Kondisi Kemiskinan di Indonesia...............................................116
IV. Penanganan Kemiskinan................................................................118
V. Penutup.................................................................................................122
Daftar Pustaka.............................................................................................124

x Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


BAB VI KESETARAAN GENDER DALAM
SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS(SDGs)
oleh: Dina Martiany............................................................................................125
I. Pendahuluan.......................................................................................125
II. Proses Menuju
Sustainable Development Goals (SDGs)....................................129
III. Kesetaraan Gender dalam
Sustainable Development/SDGs..................................................136
IV. Mainstreaming Perspektif Gender dalam SDGs...................143
V. Tujuan 5. Mencapai Kesetaraan Gender dan
Memberdayakan Perempuan dan
Anak Perempuan...............................................................................144
VI. Penutup.................................................................................................151
Daftar Pustaka.............................................................................................152

BAGIAN KEDUA
DIMENSI EKONOMI

BAB VII PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM


PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
oleh: Edmira Rivani............................................................................................157
I. Pendahuluan.......................................................................................157
II. Peran Sektor Pertanian dalam
Pembangunan Berkelanjutan......................................................158
III. Permasalahan Utama Bidang Pertanian..................................163
IV. Agenda Kebijakan.............................................................................170
V. Penutup.................................................................................................172
Daftar Pustaka.............................................................................................174

BAGIAN KETIGA
DIMENSI LINGKUNGAN

BAB VIII UPAYA MITIGASI DAN


ADAPTASI PEMERINTAH DAERAH DALAM
MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
oleh: Sri Nurhayati Qodriyatun......................................................................179
I. Pendahuluan.......................................................................................179

Daftar isi xi
II. Kota Berketahanan Iklim:
Kebijakan Pemerintah dan
Partisipasi Masyarakat Menghadapi
Perubahan Iklim................................................................................182
III. Upaya Mitigasi dan Adaptasi Daerah dalam
Menghadapi Perubahan Iklim.....................................................188
IV. Penutup.................................................................................................205
Daftar Pustaka.............................................................................................208
EPILOG....................................................................................................................211
INDEKS...................................................................................................................217
BIOGRAFI PENULIS..........................................................................................222

xii Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


BAGIAN PERTAMA

DIMENSI SOSIAL
BAB I
PEMBANGUNAN:
ANALISIS KRITIS UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS HIDUP MANUSIA
Mohammad Mulyadi

I. Pendahuluan
Isu pembangunan tidak lepas dari konsep pembangunan
berkelanjutan, di mana proses pembangunan yang berprinsip
“memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan” menjadi sangat penting karena
berkaitan erat dengan bagaimana mencari jalan untuk memajukan
ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal
alam. Munculnya isu pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) seiring dengan gagasan merebaknya masalah
lingkungan. Hal ini ditandai dengan paradigma pembangunan
ekonomi konvensional dengan mengejar pertumbuhan ekonomi
semata, namun melahirkan kerusakan lingkungan dan sumber daya
alam (SDA). Karena itu, pembangunan berwawasan lingkungan
hidup yangberkelanjutan menjadi penting untuk dikaji oleh berbagai
negara di dunia.
Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung dalam
UNCHE (United Nations Conference on the Human Environment)
melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada tanggal 5–16
Juni 1972 di Stockholm Swedia. KTT ini merupakan pertemuan
pertama kali yang berupaya mendorong paradigma pembangunan
berkelanjutan dengan menghadirkan pemimpin-pemimpin dunia
dan pakar-pakar lingkungan. Fokus pertemuan adalah evolusi bagi
konsep perlindungan lingkungan hidup manusia sebagai elemen
krusial dalam agenda pembangunan.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 3


Pada pertemuan tersebut sudah digali konsep keberlanjutan
yang menyatakan hubungan antara pembangunan ekonomi, kualitas
lingkungan, dan keadilan sosial, meski belum memberikan rumusan
bagi pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Hasil-hasil pertemuan
UNCHE dikenal sebagai Stockholm Declaration, yang merumuskan
2 norma, yaitu (1) prinsip 21 yang berkaitan dengan kerusakan
lingkungan lintas batas internasional; dan (2) prinsip 24 yang
berkaitan dengan kewajiban bekerja sama.
Hasil monumental dari pertemuan tersebut adalah dibentuknya
United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 1975
yang dimaksudkan untuk mendorong kerja sama lingkungan
internasional. Di tingkat nasional, negara-negara mulai merancang
atau memperbaiki kelembagaan lingkungannya, baik organisasi
lingkungan maupun peraturan perundang-undangan yang
menyangkut lingkungan (Rogers et al., 2008).
Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut mengambil
langkah-langkah seperti mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor
16 Tahun 1972 untuk membentuk panitia antardepartemen yang
disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah
di Bidang Lingkungan Hidup guna merumuskan dan mengembangkan
rencana kerja di bidang lingkungan hidup. Hasil kerja panitia, dianut
pertama kali dalam GBHN Indonesia tahun 1973 dengan nama
pembangunan berwawasan lingkungan. Tiga tahun kemudian,
Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1975
yang merupakan dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan
Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokoknya menelaah secara
nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan
teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang serta
implikasi sosial, ekonomi, ekologi, dan politis dari pola-pola tersebut.
Pembangunan yang ada selama ini sering dikonotasikan
sebagai pembangunan ekonomi. Hal ini dilandasi asumsi bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menciptakan kemakmuran
bagi semua rakyat. Selanjutnya keberhasilan pembangunandiukur
dengan GNP yang tinggi, inflasi yang rendah, dan stabilitas nilai
rupiah terhadap mata uang asing. Padahal pencapaian ekonomi
tersebut sangat sangat bergantung padasituasi dan kondisi ekonomi
politik global, yang tentu saja tidak dapat dikendalikan sepenuhnya
oleh negara manapun, termasuk Indonesia.

4 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Belajar dari perjalanan pembangunan yang telah ditempuh
sejak negara kita merdeka, pendekatan pembangunan sudah
selayaknya diubah. Penekanan pada pembangunan ekonomi
ternyata lebih banyak menghadirkan ketidakpastian. Padahal
Indonesia memerlukan suatu kepastian berkesinambungan dalam
mengarahkan pembangunan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah diamanatkan dalam konstitusi. Karena itu, fokus perhatian
pembangunan harus diarahkan pada pembangunan manusia.
Dengan menempatkan fokus pada pembangunan manusia,
maka pola pikir di kalangan pemerintah dan masyarakat bahwa
upaya untuk memperbanyak pilihan-pilihan seperti kesehatan dan
pendidikan sebagai penghamburan biaya harus diubah. Pola pikir
yang harus ditanamkan adalah pembangunan manusia merupakan
investasi untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih baik di masa kini
dan masa yang akan datang.
Di antara berbagai pemicu, ada dua hal yang sangat penting dan
nyata yangmenuntut Indonesia untuk segera berubah. Pertama, era
reformasi telah membawakehidupan bangsa dari otokrasi ke alam
yang lebih demokratis. dengan perubahan ini, pembangunan kini dan
mendatang harus melibatkan semua pemangku kepentingan baik
pmerintah pusat, daerah, serta lembaga-lembaga non-pemerintah
dan dunia usaha. Ditambah dengan kondisi keuangan negara yang
baru perlahan mulai membaik, pemerintah memang tidak lagi
secara sendirian dapat memenuhi semua kebutuhan warganya. Oleh
karena itu, partisipasi seluruh pemangku kepentingan adalah suatu
yang mutlak untuk menjamin program pembangunan yang lebih
kredibel, yang dapat diterima secara luas, dan dapat dilaksanakan
dari segi finansial, teknik maupun politik.

II. Konsep Pembangunan


Sebelum membahas tentang konsep pembangunan manusia,
ada baiknya terlebih dahulu dibahas tentang konsep pembangunan,
karena konsep pembangunan manusia merupakan salah satu bentuk
pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Berawal dari sifat manusia yang selalu menginginkan
sesuatu yang lebih baik. Hal tersebut sudah merupakan dimensi
biologis dan psikologis manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya di dunia.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 5


Semakin lama manusia hidup di dunia, semakin banyak
pula tuntutan akan pemenuhan kebutuhan tersebut, yang tidak
selamanya dapat diperoleh dengan mudah dari alam semesta ini.
Semakin banyak manusia yang membutuhkannya semakin terbatas
pula sumber pemenuhan kebutuhan tersebut. Keterbatasan sumber-
sumber inilah yang menyebabkan manusia mulai berpikir, bagaimana
cara untuk mendapatkan kebutuhan itu. Proses berpikir dan cara
untuk memenuhi kebutuhan itulah yang akan menjadi bagian dari
kebudayaan suatu masyarakat, termasuk proses perkembangan
teknologi dan perkembangan masyarakatnya. Perkembangan
masyarakat ini pada dasarnya adalah proses perubahan, di mana
pembangunan itu sendiri adalah proses perubahan yang dilakukan
secara sengaja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
bersangkutan.
Pembangunan manusia tidak saja bermaksud membina
hubungan dan kehidupan setiap orang untuk hidup bermasyarakat,
melainkan juga untuk membangun masyarakat karena setiap satuan
masyarakat memiliki community power. Menurut Nelson W. Polsby
dalam The International Encyclopedia of the Social Sciences (1972)
sebagaimana dikutip Ndraha (1987:40) bahwa suatu masyarakat bisa
kehilangan kekuatannya jika masyarakat itu mengalami community
disorganization, karena itu untuk mengatasinya, maka community
development atau pembangunan masyarakat dilancarkan.
Pengertian perubahan sosial yang direncanakan dan diarahkan
adalah suatu usaha yang direncanakan untuk memodifikasi sikap
dan tingkah laku individu atau kelompok yang dijadikan sasaran
perubahan, yang dilakukan oleh agen perubahan dengan cara
memperkenalkan ide-ide baru atau mengadakan inovasi ke dalam
sistem sosial untuk mencapai tujuan seperti yang direncanakan
oleh para agen tersebut atau organisasinya (pemerintah, LSM, dan
kelompok-kelompok dalam masyarakat). Birokrasi merupakan
agen perubahan sosial. Birokrasi meliputi birokrasi publik (yang
beraktivitas dalam struktur pemerintahan) dan birokrasi privat
(yang beraktivitas dalam kehidupan organisasi swasta).
Pelaksanaan pembangunan pada negara-negara yang sedang
berkembang dengan strategi ekonomi, ternyata tidak menjamin
distribusi pendapatan nasional dan harapan “trickle down effect”,
bahkan tidak menguntungkan sekelompok masyarakat miskin

6 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


(Supriatna, 2003:15). Strategi pembangunan dengan pertumbuhan
ekonomi sering mengabaikan masalah pemerataan, karena hasil
pembangunan terkonsentrasi pada sekelompok komunitas, sehingga
masalah pembangunan pada negara berkembang semakin kompleks
yang ditandai dengan pengangguran, urbanisasi, marginalisasi
kemiskinan.
Pada akhir dasa warsa 1950-an istilah ‘pembangunan’ sering
dianggap sebagai ‘obat’ terhadap berbagai macam masalah yang
muncul dalam masyarakat. Era awal dari pembahasan mengenai
teori pembangunan adalah dikemukakannya ‘Teori Pertumbuhan’.
Menurut Clark (1991:20) “pemikiran mengenai teori pertumbuhan
berasal dari pandangan kaum ekonom ortodoks yang melihat
‘pembangunan’ sebagai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya
diasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan”.
Sekitar tahun 1980-an, strategi pembangunan mulai bergeser
menjadi pertumbuhan dan pemerataan pembangunan (growth and
equity of strategy development). Strategi ini pun masih mengalami
masalah lainnya, yaitu adanya ketergantungan negara berkembang
kepada negara maju berupa investasi, bantuan luar negeri dan
pinjaman. Kemudian sejak memasuki abad ke-21 muncul strategi
baru, yaitu diterapkannya konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) yang didukung dengan konsep
pembangunan manusia (human development).
Dengan mengutip Denis Gaulet, Suwandi (1997:5) menjelaskan
bahwa dalam usaha menuju kehidupan yang baik, sedikitnya ada
tiga pokok (core values) sebagai konsep pokok dalam memahami
pembangunan yaitu: kemandirian hidup (life sustenance), harga
diri (self esteem), kemerdekaan (freedom). Melihat konsepsi yang
diberikan oleh Suwandi tersebut, jelas bahwa proses pembangunan
dititik beratkan pada bagaimana individu-individu yang menjadi
objek pembangunan harus mampu mengembangkan sikap mental
kemandirian, guna mendukung proses pembangunan yang
dijalankan.
Sehubungan dengan kegiatan pembangunan tersebut, maka
pembangunan itu sendiri mempunyai pengertian sebagai berikut:
1. Siagian (1992:1): Suatu usaha atau rangkaian dari perubahan
yang berencana yang dilaksanakan secara sadar oleh suatu
bangsa, negara dan pemerintah dalam rangka pembinaan bangsa.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 7


2. Tjokroamidjojo (1992:13): Proses pengendalian usaha
(administrasi) negara/pemerintah untuk merealisasikan
pertumbuhan yang direncanakan kearah suatu keadaan yang
dianggap lebih baik demi kemajuan di dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa.
3. Supriatna (2003:29): Sebagai sistem mencakup komponen
a) masukan terdiri dari nilai, sumber daya manusia dan alam,
budaya, kelembagaan masyarakat; b) proses, kemampuan
organisasi dan manajemen pemerintahan dalam melaksanakan
program pembangunan; c) keluaran, berupa perubahan kualitas
perilaku manusia yang berakses pada kognisi, afeksi dan
keterampilan yang berkaitan dengan taraf hidupnya.
Dari beberapa pengertian atau definisi tentang pembangunan itu,
dapat disimpulkan bahwa pembangunan mengandung pengertian:
1. Pembangunan sebagai suatu perubahan dalam arti mewujudkan
suatu kondisi kehidupan masyarakat yang lebih baik.
2. Pembangunan sebagai suatu proses usaha/kegiatan perubahan
yang secara sadar dilakukan, artinya pembangunan didasarkan
pada suatu rencana yang disusun secara baik untuk satu kurun
waktu tertentu.
3. Pembangunan sebagai pertumbuhan yaitu kemampuan suatu
bangsa untuk terus berkembang baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
4. Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
Pembangunan sering diidentikkan dengan perubahan. Dengan
demikian, jika membicarakan pembangunan, maka kata kuncinya
adalah perubahan(baik yang berlangsung secara lamban atau evolusi
maupun secara cepat atau revolusi) yang pada akhirnya mengarah
pada perbaikan taraf hidup masyarakat baik secara kualitas maupun
kuantitas dalam menggunakan sumber-sumber yang ada.
Pembangunan pada hakikatnya adalah proses perubahan yang
diharapkan menghasilkan perbaikan hidup masyarakat baik secara
kualitas maupun kuantitas, maka setiap perubahan tersebut akan
sangat ditentukan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sumber
daya manusia (SDM). SDM merupakan modal dasar pembangunan
yang utama. SDM yang mana? SDM yang menjadi modal dasar

8 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


pembangunan adalah manusia yang terampil dan terdidik. Manusia
yang terdidik, terlatih, dan terampil akan mampu menangani
masalah. Sebaliknya manusia yang tidak terdidik, terlatih, dan
terampil justru akan memberatkan negara karena mereka tidak
bisa menjadi bagian dari orang yang menyelesaikan masalah
pembangunan, tetapi justrumenjadi beban.
Dengan demikian, ketika dikatakan bahwa SDM sebagai
modal dasar pembangunan tersebut harus dilihat dari dua sisi.
Jika SDM yang ada adalah orang-orang yang terdidik dan terlatih
maka banyaknya orang justru menjadi positif karena akan mampu
menangani masalah-masalah pembangunan. Sebaliknya jika SDM
yang ada tersebut tidak terdidik dan terlatih maka banyaknya SDM
menjadi beban dalam pembangunan.

III. Paradigma Pembangunan Sosial


Berkembangnya konsep pembangunan sosial karena
kekecewaan akibat kegagalan pembangunan yang mengutamakan
pertumbuhan ekonomi, di mana ukuran utamanya adalah
peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan per kapita.
Negara-negara yang berhasil dalam pembangunan, ternyata
memberikan perhatian yang cukup terhadap pembangunan di
bidang sosial. Misalnya perhatian kepada manusia dan lembaga-
lembaga sosial yang harus menjalankan pembangunan itu. Investasi
di bidang sumber daya manusia, menjadi tema pokok pembangunan
sosial sama pentingnya dengan investasi untuk prasarana ekonomi.
Pembangunan sumber daya manusia menunjukkan
pertumbuhan tidak hanya dihasilkan penambahan stok modal dan
jumlah tenaga kerja, tetapi juga yang kemudian disebut total factor
productivity, akibat perubahan teknologi dan peningkatan kualitas
SDM. Atas dasar itu berkembang konsep human capital. Investasi
dalam modal manusia, seperti pendidikan, pelatihan dan kesehatan
merupakan sumber pertumbuhan yang tidak kalah pentingnya
dibanding investasi pada modal fisik. Selain itu tujuan pembangunan
ekonomi dan pembangunan sosial sama yaitu menciptakan
kesejahteraan bagi manusia namun sudut pandangnya berbeda.
Pembangunan di negara-negara berkembang pada umumnya,
sekarang ini berlangsung dalam keadaan dunia yang sedang
mengalami proses globalisasi. Hal ini berarti bahwa proses

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 9


pembangunan sosial tidak dapat dilepaskan dari proses globalisasi.
Pembangunan sosial merupakan suatu pendekatan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat dan merupakan suatu proses perubahan
sosial yang direncanakan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
Pembangunan sosial berupaya menawarkan perspektif makro
tentang kesejahteraan sosial yang juga berhubungan dengan berbagai
macam strategi yang berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupan
untuk semua penduduk, melalui pendekatan yang komperhensif
dan dinamis untuk mengangkat kesejahteraan sosial. Berdasarkan
kondisi tersebut, diperlukan adanya kebijakan pembangunan
sosial terkonsentrasi pada apa yang diimplikasikan pemerintah
sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan
kemasyarakatan, dan program-program tunjangan sosial lainnya.
Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan pembangunan sosial
memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan),
dan pengembangan (developmental). Kebijakan pembangunan
sosial merupakan ketetapan yang didesain secara kolektif untuk
mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi
masalah sosial (fungsi kuratif), dan mempromosikan kesejahteraan
(fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara
(state obligation) dalam memenuhi hak-hak warganya. Terkait
dengan kondisi saat ini, titik penting pembangunan sosial adalah
mengupayakan agar berbagai masalah sosial seperti kemiskinan,
keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial dan penyimpangan
perilaku, ketertinggalan, keterpencilan, serta korban bencana
dan akibat tindakan kekerasan dapat ditangani secara terencana,
terpadu dan berkesinambungan.
Menurut Midgley (2005:37) pembangunan sosial adalah suatu
proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk
mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan
menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang
dinamis. Di mana dapat dilihat bahwa pembangunan sosial tidak akan
terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu pula sebaliknya
pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan
peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh.
Sementara Edi Suharto mengartikan pembangunan sosial sebagai

10 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


pendekatan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia secara paripurna, yakni memenuhi kebutuhan
manusia yang terentang mulai dari kebutuhan fisik sampai sosial.
Dalam kaitannya dengan pembangunan sosial, kata sosial dapat
diartikan baik secara luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996:43).
Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai
bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut
aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektivitas. Istilah
sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi,
pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian.
Dalam arti sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan
sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial
atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan
kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan
kelompok rentan (vulnerable group).
Kata sosial di sini menyangkut program-program dan atau
pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah
sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik
dan psikis, tuna sosial dan tuna susila, kenakalan remaja, anak dan
jompo terlantar. Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan
sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian
sempit, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial.
Beberapa program yang menjadi pusat perhatian pembangunan
sosial mencakup pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan,
perumahan, dan pengentasan kemiskinan.
Secara konseptual pembangunan sosial terdiri dari
pembangunan manusia (human development) dan pembangunan
kesejahteraan sosial (social welfare development). Pembangunan
manusia memfokuskan perhatiannya pada peningkatan modal
manusia (human capital) yang diukur melalui dua indikator utama;
pendidikan (misalnya angka melek huruf) dan kesehatan (misalnya
angka harapan hidup). Sementara itu, pembangunan kesejahteraan
sosial lebih berorientasi pada peningkatan modal sosial (social
capital) yang dapat dilihat dari indikator keberfungsian sosial (social
functioning) yang mencakup kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar, melaksanakan peran sosial serta menghadapi goncangan dan
tekanan kehidupan.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 11


Lebih lanjut Midgley (2005:38–41) mengajukan 8 aspek yang
perlu diperhatikan, di antaranya:
1. Proses pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan
ekonomi.
2. Pembangunan sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin
ilmu (interdisipliner) berdasarkan berbagai ilmu sosial yang
berbeda.
3. Konsep pembangunan sosial lebih menekankan pada proses.
4. Proses perubahan yang progresif.
5. Proses pembangunan sosial bersifat intervensi.
6. Tujuan pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam
strategi, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan
menghubungkan intervensi sosial dengan usaha pembangunan
ekonomi.
7. Pembangunan sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh
serta ruang lingkupnya lebih bersifat inklusif atau universal.
8. Tujuan pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan
sosial.
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan
sosial adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit
berusaha mengintegrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai
kesatuan dari proses pembangunan yang dinamis, membentuk dua
sisi dari satu mata uang yang sama. Pembangunan sosial tidak akan
terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu pula sebaliknya
pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan
peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh.
Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh
pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Paling tidak hal-
hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah
(a) social services, (b) social welfare services, dan (c) community
development. Meminjam asumsi Todaro (M. P. Todaro, 1989:92),
ada 3 sasaran yang seyogyanya dicapai dalam pembangunan sosial,
yaitu: (1) meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi
barang-barang kebutuhan pokok; (2) meningkatkan taraf hidup,
yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan
kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar

12 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya
akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi
juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu atau sebagai
suatu bangsa; (3) memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang
tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan
mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan hanya dalam
hubungan dengan orang dan negara lain tetapi juga terhadap
kebodohan dan kesengsaraan manusia. Pembangunan, dengan
demikian, harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak
yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial,
sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional (Prayitno, 2009:56).

IV. Paradigma Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat


Pembangunan pada hakikatnya adalah upaya untuk memperbaiki
atau meningkatkan kesejahteraan sosial manusia. Hal ini ditegaskan
secara internasional melalui Deklarasi Hak Atas Pembangunan,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).1 Dalam deklarasi PBB tersebut,
terdapat beberapa pasal yang mengharuskan proses pembangunan
suatu negara memerhatikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
Negara bukan hanya membuat kebijakan yang memberikan
keistimewaan bagi sebagian masyarakat yang memiliki akses besar
terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Dalam Pasal 2 deklarasi
tersebut ditekankan bahwa manusia adalah stakeholder utama dalam
pembangunan sekaligus merupakan peserta aktif dan penerima
manfaat dari pembangunan. Pasal tersebut juga mengharuskan
keterlibatan aktif negara dalam mengambil sejumlah kebijakan untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia secara berkelanjutan, yaitu
melalui prinsip keterlibatannya secara aktif, bebas, dan berkeadilan.
Menurut Rochman (1997:32) peran negara dalam menjamin
dan memenuhi HAM dalam pembangunan terlihat pada peran aktif
negara dalam menjamin dan memenuhi hak tersebut. Peran negara
ini harus dilaksanakan, karena tujuan dari kebijakan negara itu
sendiri adalah untuk mengubah sebuah kondisi menjadi lebih baik.
Di samping itu, di tengah struktur kapitalisme global yang timpang,
beberapa pendapat ahli menyatakan bahwa negara tidak bisa
menyerahkan kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat


1
Disahkan oleh Sidang Umum PBB tanggal 4 Desember 1986.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 13


kepada mekanisme pasar atau kalangan swasta. Asumsinya bahwa
peran swasta dalam penyediaan pelayanan publik dasar tidak akan
pernah lepas dari kepentingan untuk mendapatkan keuntungan
(profit oriented). Konsekuensi logis dari hal ini adalah kenaikan
biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan publik dasar tersebut. Dengan demikian, fungsi negara
tidak dapat direduksi hanya menjadi penjaga keamanan, penegakan
hukum pelaksanaan pekerjaan dan pranata-pranata umum saja.
Pada dasarnya, terdapat tiga domain dalam sebuah proses
pembangunan, yaitu domain ekonomi, domain sosial, dan domain
ekologi. Himpunan bagian yang saling beririsan di antara ketiga
domain tersebut menghasilkan paradigma pembangunan yang
kemudian dikenal sebagai paradigma pembangunan berkelanjutan
(sustainable development), yaitu:
1. Pembangunan sosial (social development);
2. Pembangunan berwawasan lingkungan (environmental
development);
3. Pembangunan yang berpusatkan pada rakyat (people centered
development).
Kelemahan utama pembangunan berkelanjutan di Indonesia
ialah tidak adanya tolok ukur pada ketiga domain tersebut. Tolok
ukur tersebut harus mencerminkan berbagai isu penting dan
aspirasi pemerintah serta aspirasi masyarakat Indonesia, sehingga
pembangunan berkelanjutan dapat merespon berbagai isu-isu penting.
Menurut Abdoellah (2007:83–87) tolok ukur yang harus digunakan
dalam implementasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah:
1. Pembangunan berkelanjutan yang pro-Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
2. Pembangunan berkelanjutan yang pro-lingkungan hidup;
3. Pembangunan berkelanjutan yang pro-rakyat miskin;
4. Pembangunan berkelanjutan yang pro-kesetaraan gender;
5. Pembangunan berkelanjutan yang pro-lapangan pekerjaan;
6. Pembangunan berkelanjutan yang anti-korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Dengan adanya tolok ukur yang dapat dihitung secara kuantitatif,
maka perkembangan pembangunan dapat dipantau secara periodik
apakah berfokus pada pembangunan manusia atau tidak. Hasil

14 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


pantauan tolok ukur perkembangan pembangunan yang berfokus pada
manusia merupakan tolok ukur eksekutif baik di pusat atau di daerah.
Dengan demikian enam pilar pembangunan berkelanjutan mempunyai
peran ganda, yaitu sebagai panduan arah pembangunan berkelanjutan
dan untuk memacu terlaksananya pembangunan berkelanjutan
dengan fokus pada pembangunan manusia. Dengan menyimak
besarnya masing-masing unsur yang digunakan untuk menghitung
indeks bersangkutan, dapat diketahui unsur mana yang masih rendah,
sehingga dapat dilakukan usaha untuk mengoreksi unsur tersebut.
Dengan demikian pada masing-masing tahap pembangunan, usaha
dapat dikerahkan untuk memperkuat unsur yang lemah.
Sebagaimana dengan permasalahan di atas, pembangunan yang
selama ini dilakukan di negara kita dan umumnya negara-negara lain
selalu diidentikkan dengan pembangunan secara fisik (pembangunan
infrastruktur). Akibatnya manusia sebagai subjek dan objek
pembangunan sering kali tidak mendapatkan perhatian yang serius
oleh Pemerintah Indonesia, padahal hakikatnya pembangunan yang
dilakukan seharusnya berorientasi pada pembangunan manusia.
Untuk mencapai hal itu, pada tahun 1990, pertama kalinya UNDP
mempublikasikan Human Development Report (HDR) yang berfokus
pada pembangunan manusia. Fokus utama HDR lebih pada aspek-
aspek nonfisik pembangunan. HDR disusun dan dipublikasikan
terutama ditujukan untuk membantu tiap pemerintahan suatu
negara yang rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kesulitan
untuk mengembangkan model pembangunan yang secara holistik
memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Tidak hanya sekadar
mempertinggi pendapatan per kapita yang terkadang malah
berdampak pada masalah ketimpangan.
HDR/IPM dikembangkan oleh ahli ekonomi bernama Amartya
Sen (India) dan Mahbub ul Haq (Pakistan), dibantu oleh Gustav
Ranis (Yale University) dan Lord Meghnad Desai (London School of
Economics) pada 1990. Sejak itu indeks ini digunakan pada laporan
IPM tahunan Program pembangunan PBB. HDR merupakan salah
satu instrumen penting bagi UNDP.
Indeks Pembangunan Manusia, disingkat IPM atau dalam
bahasa Inggrisnya Human Development Index (HDI) merupakan
indeks pembangunan manusia yang digunakan untuk mengukur
pencapaian hasil dari pembangunan suatu daerah atau wilayah

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 15


dalam 3 dimensi dasar pembangunan, yaitu: (1) lamanya hidup, (2)
pengetahuan/ tingkat pendidikan dan (3) standar hidup layak.
Pada dasarnya, ide dan gagasan tentang pembangunan yang
berpusat pada manusia (people centered development), diawali
dengan pemahaman tentang ekologi manusia, yang menjadi
pusat perhatian pembangunan. Dengan demikian, pembangunan
harus menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan proses
pembangunan harus menguntungkan semua pihak.
Strategi pembangunan yang berpusat pada manusia memiliki
tujuan akhir untuk memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan
aspirasi-aspirasi serta harapan individu dan kolektif dalam konsep
tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang sedang berlaku.
Tujuan objektif dalam strategi pembangunan berpusat pada manusia
pada intinya adalah untuk memberantas kemiskinan dan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan.
Seiring dengan berkembangnya pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi, maka berkembang pendekatan yang
berpusat pada manusia atau rakyat. Model pendekatan pembangunan
yang berpusat pada manusia sebenarnya merupakan antitesis dari model
pembangunan yang berorientasi pada produksi, termasuk di dalamnya
model-model pembangunan ekonomi yang memposisikan pemenuhan
kebutuhan sistem produksi lebih utama daripada kebutuhan rakyat.
Secara sederhana, Korten (1993:183) menyatakan bahwa
pembangunan yang berpusat pada produksi lebih memusatkan
perhatian pada: Industri dan bukan pertanian, padahal mayoritas
penduduk dunia memperoleh mata pencaharian mereka dari
pertanian; Daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan; Pemilikan
aset produktif yang terpusat, dan bukan aset produktif yang luas;
Investasi-investasi pembangunan lebih menguntungkan kelompok
yang sedikit dan bukannya yang banyak; Penggunaan modal yang
optimal dan bukan penggunaan sumber daya manusia yang optimal.
Berdasarkan hal tersebut, model pembangunan yang berpusat
pada manusia merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan
hasil produksi pembangunan guna memenuhi kebutuhan penduduk
yang sangat banyak dan terus bertambah. Akan tetapi, peningkatan
tersebut harus dicapai dengan cara-cara yang sesuai dengan asas-
asas dasar partisipasi dan keadilan dan hasil-hasil itu harus dapat
dilestarikan untuk kelangsungan hidup manusia di dunia ini.

16 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia
lebih menekankan kepada pemberdayaan, yaitu menekankan
kenyataan pengalaman masyarakat dalam sejarah penjajahan dan
posisinya dalam tata ekonomi internasional. Karena itu pendekatan
ini berpendapat bahwa masyarakat harus menggugat struktur dan
situasi keterbelakangan secara simultan dalam berbagai tahapan.
Konsep pembangunan berpusat pada manusia memandang
inisiatif dan kreativitas dari rakyat sebagai sumber daya
pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material
dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses
pembangunan. Selanjutnya Korten (1993:84) mengemukakan tiga
tema penting yang dianggap menentukan bagi konsep perencanaan
pembangunan yang berpusat pada manusia, yaitu:
1. Penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha
swadaya kaum miskin guna menangani kebutuhan-kebutuhan
mereka sendiri;
2. Kesadaran bahwa walau sektor modern merupakan sumber
utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi
sektor tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan
sebagai besar rumah tangga miskin;
3. Kebutuhan akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam
usaha membangun kemampuan para penerima bantuan
yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya
berdasarkan sumber-sumber daya lokal.
Dengan demikian, pendekatan pembangunan yang berpusat pada
manusia berupaya membangkitkan kesadaran masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan agar mereka dapat
memberikan ide atau gagasan yang menjadi kebutuhan dasar mereka.
Paradigma lama pembangunan lebih menekankan pada
dominasi peran pemerintah baik sebagai perencana, pelaksana
maupun sebagai pengendali pelaksanaan pembangunan, sedangkan
masyarakat hanya sebagai penerima manfaat hasil pembangunan.
Dengan adanya paradigma baru pembangunan, maka peran
pemerintah hanyalah sebagai motivator dan fasilitator, sedangkan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian serta pengawasan
pembangunan dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang
memiliki akses resmi untuk berperan bersama dengan pemerintah.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 17


V. Realitas Masalah Pembangunan dan Upaya Peningkatan
Kualitas Hidup Manusia di Indonesia
Sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya hingga kini,
kemiskinan tetap menjadi isu utama dalam proses pembangunan.
Kemiskinan memang menjadi salah satu masalah utama umat manusiadi
belahan bumi manapun sejak dulu. Kemiskinan merupakan fenomena
sosial yang bersifat umum, bukan merupakan fenomena yang bersifat
khusus pada masyarakat yang berlatar belakang, suku bangsa, dan
agama. Namun kemiskinan menjadi ukuran martabat suatu bangsa.
Bangsa yang rakyatnya makmur memiliki martabat dan akan
disegani oleh bangsa-bangsa lain. Singapura misalnya, dari sisi
geografis dan demografis bukanlah negara besar, tetapi karena
kehidupan rakyatnya sejahtera, Singapura menjadi negara yang
disegani dan diperhitungkan dalam setiap pergaulan internasional.
Sebaliknya, dari sisi geografis maupun demografis Indonesia boleh
dikatakan negara besar, tetapi karena jumlah penduduk miskinnya
banyak dan pendapatan per kapita penduduknya rendah, Indonesia
menjadi negara yang mudah dilecehkan dan didikte oleh negara lain.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi perubahan dan tantangan
pembangunan ke depan yang semakin berat. Di dalam negeri,
terjadi arus demokratisasi dan otonomi yang deras. Sedangkan dari
luar negeri, arus globalisasi dan perdagangan bebas semakin tidak
tertahankan. Tanpa perencanaan pembangunan yang baik, Indonesia
tidak akan mampu mengambil peluang dan mengantisipasi ancaman
bagi penanggulangan kemiskinan.
Kemiskinan bisa dipandang sebagai dua hal. Sebagai sebab dan
sebagai akibat. Sebagai sebab, kemiskinan adalah akar dari sebagian
besar terjadinya tindak kriminalitas. Kita sering kali mendengar atau
membaca berita tentang pencurian, perampokan atau pembunuhan
yang bermotif kemiskinan ekonomi pelakunya. Tidak sedikit
pula berita tentang kasus-kasus bunuh diri atau kelaparan yang
disebabkan kemiskinan. Dari sisi ini, kita dapat memandang bahwa
kemiskinan adalah sebuah fenomena yang dapat membuat hidup
manusia menjadi sangat tidak berarti dalam mengarungi hidup
dan kehidupan ini. Sedangkan sebagai sebuah akibat, kemiskinan
merupakan suatu produk pembangunan yang tidak tepat sasaran.
Beberapa pengamat sosial-ekonomi berpendapat bahwa pada
dasarnya kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia

18 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


lebih disebabkan karena program pemerintah dilaksanakan tanpa
melibatkan masyarakat dari tahap perencanaan hingga pengawasan dan
evaluasi. Perencanaan pembangunan yang dilakukan tanpa melibatkan
masyarakat akan menghasilkan peminggiran dan keterasingan.
Masyarakat hanya menjadi penonton dari proses pembangunan yang
dilakukan. Masyarakat hanya menjadi objek pembangunan, bukan
subjek. Pendekatan partisipatif menjadi syarat mutlak sebuah proses
pembangunan. Partisipasi yang dimaksud meliputi keseluruhan tahapan
pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi. Dengan demikian, rakyatlah yang akan menjadi pembuat
keputusan (decision making) dalam keseluruhan proses pembangunan.
Pembangunan yang dilakukan pada era pemerintahan orde
baru yang sentralistik, seluruh kebijakan pembangunan dilakukan
secara “top-down”. Dalam kaitan ini, masyarakat dilibatkan dalam
pelaksanaan kegiatan terutama dalam membantu dana maupun
tenaga. Pada saat itu partisipasi dipandang sebagai proses mobilisasi
yaitu penggerakkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan.
Meski model ini memiliki keunggulan karena pelaksanaan
pembangunan dapat dilakukan secara cepat, namun kelemahan
yang dijumpai adalah masyarakat sering merasa tidak memiliki dan
tidak merasakan manfaat dari kegiatan pembangunan itu.
Penyertaan masyarakat sebagai subjek pembangunan adalah
suatu keniscaayaan dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan
nasional. Ini berarti masyarakat diberi peluang untuk berperan aktif
mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi setiap tahap
pembangunan yang diprogramkan.
Nilai-nilai kedaulatan selayaknya dibangun sebagai kebutuhan
kolektif masyarakat dan bebas dari kepentingan individu dan atau
golongan. Perlunya keterlibatan masyarakat ini dianggap sangat
penting, karena pembangunan yang terlalu menekankan peranan
pemerintah birokrasi (bercirikan top down) mendapat kritikan tajam,
di mana kurang peka terhadap kebutuhan lokal Korten (1988:87).
Sementara itu, pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan
masyarakat dalam pelaksanaan program-program pembangunan,
berarti memberikan peluang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengarahkan sumber daya, potensi, merencanakan serta membuat
keputusan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pembangunan yang
akan menyejahterakan mereka, sehingga mereka berdaya.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 19


Segala hal yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam
pembangunan tentu saja menjadi sebab rendah-tingginya tingkat
kemiskinan di Indonesia atau yang disebut dengan kemiskinan
struktural. Banyak bukti yang dapat kita lihat di negeri ini yang
menjadi penyebab kemiskinan struktural, misalnya perilaku korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang sudah mendarah daging pada pejabat
tinggi sampai pejabat rendah di negeri ini. Usaha untuk memutuskan
rantai lingkaran setan ini menjadi sulit disembuhkan. Begitu juga
sistem perekonomian “kapitalistik” yang diterapkan di Indonesia
sistem ekonomi itu sangat memihak golongan konglomerat yang
semakin memperparah keadaan rakyat miskin.
Fenomena kapitalistik itu tampak dari menjamurnya minimarket
yang membuat pasar-pasar tradisional dan warung-warung rakyat
yang menjadi sumber pendapatan sebagian masyarakat Indonesia
yang berprofesi pedagang menjadi sangat sulit untuk bertahan
di tengah kepungan ritel modern. Pemerintah seolah tutup mata,
padahal keberadaan minimarket terus menggusur pedagang
tradisional serta warung-warung rakyat ini.
Akibatnya para pedagang tradisional tersebut tidak mampu
bersaing dan berada pada kondisi di mana ia harus gulung tikar.
Bagi pedagang yang memiliki modal besar dalam berdagang, tentu
tidak sulit untuk beralih profesi. Tetapi bagi mereka yang memiliki
modal kecil, hasil pinjaman dari bank pula, tentu akan menjadi sulit
dalam mempertahankan pendapatannya.
Dampak dari semua ini, perlahan tetapi pasti adalah rendahnya taraf
hidup masyarakat (miskin). Di beberapa daerah seperti DKI Jakarta,
aturan perundang-undangan seperti peraturan daerahatau peraturan
pendukung lainnya sudah jelas. Dalam Perda DKI No. 2 Tahun 2002
sendiri sudah diatur zonasi antara toko modern dengan berbagai kelas
dengan pasar tradisional atau dengan UKM yang berada di lingkungan
tersebut. Persoalannya adalah ada oknum yang memegang pena dan
dengan mudah memberikan izin, padahal persyaratan yang dimiliki
untuk mendirikan pasar/toko modern tidak lengkap. Artinya perilaku
birokrasi sangat dipengaruhi oleh kekuatan uang.
Fenomena tersebut di atas adalah salah satu contoh bentuk
pemiskinan yang disebabkan oleh perilaku birokrasi yang buruk.
Rakyat yang harusnya dijadikan subjek pembangunan oleh negara,
justru hanya menjadi objek pembangunan. Kekayaan negara yang

20 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


harusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dijual melalui program
privatisasi. Secara tidak langsung, usaha tersebut bagaikan merampok
kekayaan rakyat untuk dipersembahkan pada golongan manusia lain
yang sibuk menghabiskan umurnya untuk menumpuk kekayaannya.
Ia sibuk dengan dirinya sendiri, berlomba-lomba memenuhi semua
keinginannya (bukan kebutuhan) yang tidak terbatas, sedangkan orang
yang ada disekitarnya sedang kesulitan mencari makan.
Tetapi yang paling utama, kemiskinan adalah produk dari sistem
ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan
yang tidak adil. Mengapa distribusi sangat buruk? karena sistem
dan kebijakan pengambil keputusanlah yang membuat itu semua.
Sementara itu, kaum kaya dengan sejumlah modal yang dimilikinya
mampu menambah kekayaannya dengan seenaknya, dan yang lebih
parah lagi mereka mampu masuk kedalam jantung dan darah para
pengambil kebijakan, sehingga sebagian besar produk kebijakan
yang diambil adalah pesanan dari mereka kaum kaya agar dapat
memenuhi kebutuhan usahanya untuk menumpuk kekayaan yang
dimilikinya. Kenyataan yang sekarang terjadi adalah kebijakan
negara mengakibatkan adanya kelompok masyarakat yang terjebak
dalam kemiskinan (poverty trap), deprivasi (social deprivation),
isolasi, ketidakberdayaan dan ketiadaan akses kepada sumber daya
alam, sarana dan prasarana sosial ekonomi dan kesenjangan.
Kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih kepada bentuk
kemiskinan struktural atau buatan, karena sebenarnya secara
alamiah Indonesia mempunyai cukup potensi dan sumber daya
yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang
membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu
mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur
ini menyebabkan tidak adanyapemerataan, tidak berkembangnya
kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan
serta dipinggirkannya peran dan partisipasi masyarakat dalam setiap
pelaksanaan pembangunan yang terindikasi dengan melemahnya
tingkat keswadayaan masyarakat.
Kemiskinan di negara ini muncul sebagai akibat dari model
pembangunan di Indonesia yang lebih menekankan pada
pertumbuhan ekonomi secara berlebihan (economic overtone) dan
mengabaikan perhatian pada aspek budaya kehidupan bangsa.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 21


Kemiskinan merupakan faktor dominan yang memengaruhi
persoalan kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan,
kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Problema buta huruf, putus
sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human
trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya
adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang
ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan
jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak
hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-
negara maju. Menurut Sriharini (2001: 114–115) beberapa bentuk
kebijakan yang berdampak pada kemiskinan adalah:
1. Rendahnya taraf pendidikan;
2. Rendahnya derajat kesehatan;
3. Terbatasnya lapangan kerja; dan
4. Kondisi keterisolasian.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Sriharini tersebut,
maka untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terkait dengan
kebijakan pembangunanyang berdampak pada pembangunan, maka
ada beberapa hal yang sebaiknya di lakukan oleh pemerintah yaitu:
1) Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting dalam
meningkatkan kualitas manusia, untuk menghadapi tantangan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Oleh
karena itu, dalam batang tubuh UUD 1945 diamanatkan pentingnya
pendidikan bagi seluruh warga negara seperti tertuang dalam Pasal
28B ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1). Pendidikan merupakan hak dasar
yang harus diprioritaskan. Dipenuhinya hak tersebut akan memberi
landasan yang kuat bagi peningkatan kualitas pembangunan manusia
Indonesia. Khairuddin (2000:149) mengatakan bahwa: melalui
pendidikan orang akan mampu untuk memikirkan dan berusaha untuk
meningkatkan taraf hidupnya. Di samping itu, daya serap bagi mereka
yang mempunyai pendidikan dan pengetahuan lebih tinggi jelas lebih
tinggi pula dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan dan
pengetahuan yang lebih rendah. Seperti yang dinyatakan oleh Pounds &
Garretson (1967:19) yang dikutip Khairuddin (2000:149–150) bahwa:
“In this periode of rapidly expanding knowledge it becomes of greater

22 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


information to the individual to know how to solve his problem, how to
find the information, when needed, and how to verify it.” Dengan demikian
taraf pendidikan yang sangat rendah pada umumnya bergandengan
dengan informasi dan pengertian yang serba terbatas. Dengan
demikian, segala kesempatan (access) pun serba terbatas. Pendidikan
menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas,
khususnya warga kurang mampu. Hal ini meningkatkan angka putus
sekolah pada masyarakat miskin yang pada gilirannya berdampak
pada peningkatan angka pengangguran, anak jalanan, pekerja anak dan
kriminalitas. Apabila pendidikan tidak mampu lagi menjadi pemutus
rantai kemiskinan, maka anak-anak akan menjadi korban yang paling
nyata dari dampak sosial yang ditimbulkannya. Dalam jangka panjang
lemahnya investasi sosial di bidang pendidikan akan memperburuk
keberdayaan masyarakat dan menghambat pembangunan kualitas
sumber daya manusia. Sampai kini, bangsa ini belum menempatkan
pendidikan sebagai panglima pembangunan nasional. Padahal bila
dikaji dan ditafsirkan lebih mendalam kandungan UUD 1945 itu, ada
dua sisi yang harus menjadi titik berat perhatian bangsa Indonesia.
Pertama, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan
wajib mengikuti pendidikan dasar. Kedua, negara wajib menyukseskan
bidang pendidikan melalui tanggung jawab pembiayaan pendidikan.
Sektor pendidikan sebenarnya tidak masuk dalam wilayah politik
namun justru sering dipolitisasi oleh para pengambil kebijakan. Karena
itu, DPR sebaiknya proaktif meminta penegasan dari pemerintah
apakah pemerintah memang sungguh-sungguh memerhatikan sektor
pendidikan nasional. Alokasi dana pendidikan dalam Undang Undang
Dasar 1945 pada Pasal 31 ayat (4) dengan jelas mengamanahkan bahwa
negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhikebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini direalisasikan oleh
pemerintah dengan adanya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat (1). Tetapi dalam kenyataannnya
belum bisa terpenuhi, karena anggaran 20% tersebut seperti yang
diputuskan Mahkamah Konstitusi juga termasuk gaji guru. Sehingga
dana yang benar-benar dialokasikan langsung untuk peserta didik tidak
lagi mencapai 20%. Alangkah baiknya jika Pemerintah Daerahmampu
menganggarkan sebenar-benarnya 20% dari anggaran APBD mereka

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 23


(tidak termasuk gaji guru), sehingga mereka tidak hanyaberkutat pada
pemenuhan fasilitas dan infrastruktur dunia pendidikan semata tetapi
dapat lebih memerhatikan bagaimana meningkatkan kualitas dunia
pendidikan kita. Sulitnya Pemerintah Daerah menambah alokasi dana
pendidikan selain karena memang kemampuan daerah yang masih
rendah juga sering kali berbenturan dengan kepentingan masyarakat
lainnya, di mana Pemerintah Daerah dihadapkan pada pilihan prioritas
yang sangat berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Minimnya
alokasi anggaran yang disediakan pemerintah menyebabkan privatisasi
dan kapitalisasi dunia pendidikan yang membebani peserta didik dan
orang tua kian menguat. Logikanya, guna mendukung program wajib
belajar pemerintah menggratiskan pendidikan untuk jenjang SD s.d.
SMP. Pengalihan alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh
pemerintah yang sebagian diperuntukkan bagi sektor pendidikan dan
kesehatan mungkin bisa menjadi penghibur meski pada dasarnya,
pendanaan sektor pendidikan seharusnya tidak mempersyaratkan
naiknya harga BBM. Dana kompensasi bidang pendidikan yang
bersumber dari pengalihan alokasi subsidi BBM direncanakan
terdistribusi dalam bentuk beasiswa.
2) Meningkatkan Taraf Hidup Kesehatan Masyarakat
Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan
serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dibutuhkan
perubahan cara pandang (mindset) dari paradigma sakit ke paradigma
sehat. Masyarakat miskin menghadapi masalah keterbatasan akses
layanan kesehatan dan rendahnya status kesehatan yang berdampak
pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari
nafkah, terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh
dan berkembang, dan rendahnya derajat kesehatan ibu. Penyebab
utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain
kecukupan pangan adalah keterbatasan akses terhadap layanan
kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya
pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan
kesehatan reproduksi. Selain itu jarak fasilitas layanan kesehatan yang
jauh dan biaya yang mahal merupakan penyebab utama rendahnya
aksesibilitas masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan yang
bermutu. Indikator ketiadaan akses, sebagai ukuran tingkat kesulitan

24 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


menjangkau tempat layanan kesehatan terdekat. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat miskin sulit untuk menjangkau layanan kesehatan
dan adanya kesenjangan antarwilayah dalam layanan kesehatan.
Masalah lain adalah rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang
disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan,
dan kurangnya sarana kesehatan. Pemanfaatan layanan kesehatan
oleh kelompok masyarakat miskin umumnya jauh lebih rendah
dibanding kelompok kaya. Praktik petugas kesehatan yang paling
sering dimanfaatkan oleh masyarakat miskin adalah bidan dan mantri
yang lokasinya terdekat dari tempat tinggal mereka. Kecenderungan
penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata dan terpusat di
daerah perkotaan mengurangi akses terhadap pelayanan kesehatan
bermutu. Masalah lain dalam perluasan akses layanan kesehatan
bagi masyarakat miskin adalah rendahnya anggaran yang tersedia
bagi pembangunan dan pelayanan kesehatan. Penyebab utama dari
rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah keterbatasan
akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan
kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup
sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi. Pembangunan
kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan
kualitas SDM. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya ketersediaan jumlah
tenaga medis terlatih yang melayani masyarakat miskin terutama pada
daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan. Banyak puskesmas belum
memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan
ini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata.
Indikator lainnya yaitu tingkat jumlah kematian bayi. Masih tingginya
penyebaran penyakit menular di masyarakat disebabkan oleh banyak
faktor yaitu rendahnya kesadaran perilaku hidup bersih di masyarakat
dan kurangnya ketersediaan fasilitas air bersih serta sanitasi. Fenomena
seperti ini biasanya terdapat di lingkungan pemukiman kumuh dan
pinggiran sungai. Masyarakat miskin yang tinggal di pinggiran sungai
sangat tergantung pada perubahan permukaan air sungai. Pada saat
musim kemarau, mereka terpaksa harus membeli air minum yang
cukup mahal. Bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli,
mereka terpaksa mengambil air dari sungai. Buruknya perencanaan
anggaran di bidang kesehatan masyarakat dapat dilihat dari rendahnya
tingkat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan hususnya bagi
masyarakat miskin sangat memprihatinkan. Masih banyak warga

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 25


miskin dan tidak mampu yang seharusnya mendapat jaminan pelayanan
kesehatan gratis, ternyata masih banyak yang belum memperoleh
pelayanan tersebut, walau Pemerintah Pusat telah melaksanakan
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan beberapa
daerah memiliki Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Sementara itu, bantuan kesehatan yang dialokasikan kepada rakyat
miskin sebaiknya bukan hanya akses berobat secara gratis, karena
kesehatan sama sekali tidak identik dengan berobat. Berobat hanyalah
salah satu bagian dari upaya memelihara kesehatan. Yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana masyarakat bisa mendapatkan fasilitas
sehat untuk upaya mencegah sakit.
3) Menyediakan Lapangan Kerja
Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu
menyerap para pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun.
Tingginya angka pengangguran tidak hanya menimbulkan masalah-
masalah di bidang ekonomi, melainkan juga berbagai masalah di
bidang sosial, seperti kemiskinan dan kerawanan sosial. Pengangguran
merupakan salah satu masalah pokok pembangunan. Dalam hal ini
lapangan kerja menjadi wahana untuk menempatkan manusia pada
posisi sentral pembangunan. Lapangan kerja juga merupakan sumber
pendapatan. Dengan demikian Sumodiningrat (2003:5) menyatakan
bahwa: Manusia atau angkatan kerja merupakan salah satu faktor
produksi, sehingga bila timbul pengangguran pada suatu masyarakat
berarti alokasi sumber daya dan produksi nasional relatif kurang optimal.
Karena itu, penyediaan lapangan kerja merupakan salah satu prioritas
pembangunan sebagai cara memperluas pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya agar rakyat dapat hidup layak. Kesempatan kerja
merupakan suatu kesempatan yang diberikan kepada orang lain untuk
menempati posisi pekerjaan yang sesuai dengan kriteria yang diperlukan.
Pada waktu sekarang ini banyak data statistik yang mengungkapkan
semakin tingginya tingkat pengangguran setiap tahunnya di Indonesia.
Mengingat masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan
terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya peluang
mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha,
dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi
pekerja anak dan pekerja perempuan. Terbatasnya lapangan pekerjaan
yang tersedia saat ini sering kali menyebabkan mereka terpaksa

26 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang
memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya. Belum
berhasil diatasinya masalah ketenagakerjaan yang terpuruk ketika krisis
dan kurangnya perluasan kesempatan kerja dapat dilihat dari kondisi
ketenagakerjaan yang menunjukkan belum adanya perbaikan. Tingginya
tingkat pengangguran usia muda memerlukan perhatian khusus, karena
usia muda merupakan transisi dari sekolah dan bekerja. Selain itu, usia
muda merupakan tingkat usia yang paling rentan terhadap kemiskinan
yang disebabkan karena tiga hal: (1) rumah tangga miskin mempunyai
jumlah tanggungan (orang muda yang masih dalam tanggungan) besar;
(2) kemiskinan sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Banyak pemuda yang berasal dari keluarga miskin sehingga
terpaksa bekerja di usia yang sangat muda untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan biasanya mendapatkan pekerjaan yang tidak tetap dengan
upah rendah; (3) kaum muda merupakan masa transisi ke arah mandiri,
mereka pada umumnya menemukan kesulitan mendapatkan pekerjaan
produktif karena kurangnya pengetahuan dan integrasi dalam pasar
kerja. Kebijakan perluasan kesempatan kerja dihadapkan pada dilema
antara kebutuhan untuk menciptakan pasar tenaga kerja yang mampu
memberi insentif peningkatan investasi industri yang bersifat padat
karya, dan perlunya perlindungan pekerja terhadap kepastian kerja dan
upah yang layak.
4) Memberikan Aksesibilitas kepada Masyarakat
Keterisolasian membuat penduduk yang tinggal di daerah itu sulit
meningkatkan taraf hidup mereka. Jika sakit, mereka harus pergi ke
puskesmas di desa tetangga melintasi perbukitan. Jika ingin bersekolah
mereka harus berjalan melintasi sungai masuk keluar hutan. Informasi
tentang bagaimana mengolah sumber daya pertanian dan perikanan
menjadi lebih bernilaipun mereka tidak dapatkan. Menjadi daerah yang
terisolasi, tentu sangat sulit bagi masyarakatnya untuk berkembang.
Keterisolasian membuat bahan kebutuhan pokok masyarakat menjadi
mahal, distribusi sumber daya menjadi sangat sulit sehingga hasil
produksi menjadi kurang bernilai. Di beberapa daerah, hasil pertanian,
perkebunan dan perikanan menjadi busuk akibat buruknya sarana jalan
dan jembatan yang harus dilalui oleh masyarakat untuk mengantarkan
hasil produksinya itu ke tempat lain. Di bidang pendidikan, keterisolasian
tampak pada distribusi tenaga kependidikan yang minim, di beberapa

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 27


daerah ada sekolah yang gurunya harus mengajar dalam tiga kelas yang
berbeda. Bahkan ada sekolah yang gurunya hanya satu orang, hal ini
diperparah oleh kondisi jalan dan jarak sekolah yang harus ditempuh
berpuluh-puluh kilometer untuk sampai ke sekolah tersebut. Di bidang
kesehatan, keterisolasian tampak pada distribusi tenaga kesehatan yang
minim, di beberapa daerah tidak tersedia puskesmas pembantu apalagi
puskesmas yang layak sebagai tempat masyarakat untuk berobat. Hal
ini diperparah oleh tidak adanya dokter, bidan dan mantri yang mau
mengabdikan dirinya untuk membantu masyarakat untuk berobat. Oleh
sebab itu, pembangunan daerah yang terisolasi ini merupakan upaya
terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas
dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik,
menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya
sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat
Indonesia lainnya. Pembangunan daerah terisolasi ini tidak hanya
meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan
(bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah
maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup
di daerah terisolasi memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar
dari pemerintah.
Keempat penyebab yang diuraikan tersebut, yaitu keterbatasan
pendidikan, keterbatasan kesehatan, keterbatasan lapangan kerja
dan keterisolasian menunjukkan adanya lingkaran kemiskinan.
Rumah tangga miskin pada umumnya berpendidikan rendah karena
berpendidikan rendah, maka produktivitasnya pun rendah, sehingga
imbalan yang diterima tidak cukup memadai untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimum antara lain kebutuhan pangan, sandang,
kesehatan, perumahan dan pendidikan, yang diperlukan untuk dapat
hidup dan bekerja. Begitu pun dengan rumah tangga miskin, pada
umumnya mereka memiliki tingkat kesehatan yang rendah sehingga
mereka sering sakit-sakitan dalam bekerja memenuhi kebutuhan
hidupnya. Akibatnya rumah tangga miskin akan menghasilkan
keluarga-keluarga miskin pada generasi berikutnya. Keterisolasian
dan keterbatasan lapangan kerjajuga menghambat pengembangan
kegiatan sosial ekonomi dan membatasi peran serta penduduk miskin
dalam kegiatan pembangunan.

28 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


VI. Penutup
Paradigma pembangunan manusia yang dikembangkan oleh
United Nations Development Programme (UNDP) merupakan sebuah
proses memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dengan demikian
penduduk merupakan tujuan akhir dan pembangunan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan pembangunan
manusia tersebut terdapat empat hal pokok yang harus diperhatikan,
yaitu produktivitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan.
Konsep pembangunan manusia seutuhnya merupakan konsep
yang menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk baik
secara fisik maupunmental spritual. Bahkan secara eksplisit
disebutkan bahwa pembangunan yang dilakukan menitikberatkan
pada pembangunan sumber daya manusia yang seiring dengan
pertumbuhan ekonomi. Pembangunan sumber daya manusia secara
fisik dan mental mengandung makna peningkatan kapasitas dasar
penduduk yang kemudian akan memperbesar kesempatan untuk
dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Dampak yang bisa kita saksikan darirendahnya kualitas
hidupmanusia adalah sering kali masyarakat tidak bisa ikut
menikmatihasil pembangunan dan justru menjadi korban
pembangunan, sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan dan
bahkan mengalami penurunan kualitas kehidupan. Dalam istilah Robert
Chamber dalam Sriharini (2007:115) disebut sebagai deprivation
trap (perangkap kemiskinan). Adapun unsur-unsur yang terkandung
dalam perangkapkemiskinan adalah kerentanan, kelemahan jasmani,
ketidakberdayaan, dan isolasi, sehingga kemiskinan merupakan
persoalan yang multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor
ekonomi semata, tetapi juga sosial, budaya, dan politik.
Kesalahan negara dalam menata kualitas hidup manusia hingga
menghasilkan kemiskinan struktural, disebabkan oleh penerapan sistem
pembangunan yang berorientasi ekonomi. Menurut pandangan kapitalis,
peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi harus
diupayakan seminimal mungkin. Bahkan, diharapkan negara hanya
berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu,
siapa yang berperan secara langsung menangani masalah sosial dan
ekonomi? Tidak lain adalah masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena
itulah, dalam masyarakat kapitalis kita jumpai banyak sekali yayasan. Di
antaranya ada yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan sebagainya.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 29


Selain itu, kita jumpai pula banyak program swastanisasi badan usaha
milik negara. Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara
kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara
juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi
pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan berkompetisi
secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan
yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan
sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah
hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.
Rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia saat ini adalah buah
dari diterapkannya sistem kapitalisme yang sangat individualistis.
Dalam pandangan kaum kapitalis, meningkatkan kualitas hidup
manusia merupakan tanggung jawab individu manusia itu sendiri.
Kaum kapitalis menganggap kualitas hidup manusia bukan merupakan
beban bagi umat, negara, atau kaum hartawan. Oleh karena itu,
dengan memahami salah satu akar masalah kualitas hidup manusia,
maka kita akan lebih mudah untuk memahami fenomena kemiskinan,
pengangguran, dan ketimpangan yang terjadi di sekitar kita.
Kualitas hidup manusia Indonesia bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri, terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi terwujud sebagai
hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan
manusia. Aspek-aspek yang utama adalah sosial dan ekonomi.
Karenanyarendahnya kualitas hidup manusia suatu negara atau
masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh agama, kepercayaan,
sikap hidup dan adat istiadat, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel-
variabel lain, seperti: faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Muara dari semua faktor penyebab rendahnyakualitas hidup
manusia disebabkan oleh model pembangunan yang hanya
berorientasi pada pembangunan ekonomi semata. Oleh karenanya,
model pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan
ekonomi adalah tidak tepat. Model pertumbuhan ekonomi hanya
mengejar indikator pendapatan, sementara pembangunan manusia
bertujuan lebih luas hingga mencakup aspek sosial, kultural dan
politik. Selain itu untuk mencapai tujuan pembangunan manusia,
pemerintah perlu meningkatkan anggaran di bidang pendidikan,
kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan memudahkan akses
masyarakat untuk mencapai, kesempatan ekonomi, kesempatan
sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain).

30 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


DAFTAR PUSTAKA

Clark, John. 1991. Democratizing Development: The Role of Voluntary


Organizations. Connecticut: Kumarian Press, Inc.
Hendargo, Imam. 1995. “Kemitraan Nasional dalam Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan” (Makalah). Jakarta:
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Hikmat, Harry. 1995. “Paradigma Pembangunan dan Implikasi dalam
Perencanaan Sosial” (tidak dipublikasikan). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat,
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta:CIDES.
Korten, D. C. 1993. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan
Agenda Global Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan.
Midgley, James. 2005 Pembangunan Sosial: perspektif Pembangunan
dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta:Ditperta Islam Departemen
Agama RI.
Ndraha, Taliziduhu. 1987. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Bina Aksara.
Rochman, Meuthia G. etal. 1997. HAM Sebagai Parameter
Pembangunan. Jakarta: ELSAM.
Rogers PP, Jalal KF, dan Boyd JA.2008. An Introduction to Sustainable
Development. London:Glen Educational Foundation, Inc.
Siagian, Sondang P. 1992. Administrasi Pembangunan: Konsep,
Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sriharini. 2007. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin.
Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.

Pembangunan: Analisis Kritis Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia 31


Sumodiningrat, Gunawan. 2003. Kebijakan Penanggulangan
Kemiskinan Indonesia 2003: Agenda Kini Dan Ke Depan. Jakarta:
Komite Penanggulangan Kemiskinan.
Supriatna, Tjahya. 2003. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suwandi, I Made. 1997. Administrasi Pembangunan. Jakarta: FISIP UI
Press.
Tjokroadmijojo, Bintoro, 1992. Kebijaksanaan dan Administrasi
Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga,
Edisi Keempat Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Sumarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan
Pembangunan (Edisi Kesepuluh). Jakarta: Djambatan.
Sugandhy, Aca dan Rustam Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta:
Bumi Aksara.

32 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


BAB II
PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Tri Rini Puji Lestari

I. Pendahuluan
Kesehatan adalah hak setiap manusia. Deklarasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia artikel ke-25 menyebutkan bahwa
“tiap orang mempunyai hak untuk hidup pada standar yang layak
untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka, dan keluarga mereka,
termasuk hak untuk mendapat makanan, perumahan, dan pelayanan
kesehatan” (“everyone has the right to a standard of living adequate
for the health and well-being of himself and of his family, including
food, clothing, housing, and medical care”). Artikel ini kemudian
digemakan dalam konstitusi WHO, dan diratifikasi oleh banyak
konvensi internasional lainnya.1
Di Indonesia, kesehatan sebagai hak asasi manusia secara
tegas diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, di mana
dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal
ini melandasi pemikiran bahwa sehat sebagai hak asasi manusia dan
sehat sebagai investasi.2
Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya diarahkan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga


1
Farid Anfasa Moeloek, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Peningkatan
Derajat Kesehatan Masyarakat”, Makalah Disajikan pada Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14–18 Juli 2003, hlm. 2.

2
Titin Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di
Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2007, hlm. 2.

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 33


merupakan modal penting bagi keberhasilan pembangunan
bangsa. Pada lingkup terkecil di level keluarga, kesehatan adalah
modal untuk lebih produktif dalam bekerja dan juga meningkatkan
kapasitas belajar bagi anak-anak sekolah. Di lingkup yang lebih
luas, penduduk yang memiliki tingkat kesehatan baik menjadi
modal berharga dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
menurunkan tingkat kemiskinan dan sebagainya. Jika suatu negara
dengan kesehatan rakyatnya kurang terurus, akibatnya sumber
daya manusianya rendah dan akan sulit bersaing dengan negara-
negara lain di tengah sengitnya kompetisi global serta akan lebih
berat menghadapai tantangan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan program-program
pembangunan berkelanjutan yang direncanakan untuk mencapai
derajat kesehatan yang lebih baik pada masyarakat.
Pada bulan September tahun 2000, perwakilan-perwakilan dari
189 negara telah menandatangani deklarasi yang disebut sebagai
Millennium Declaration. Millennium Declaration ini mengandung 8
poin yang harus dicapai (Millennium Development Goals) sebelum
tahun 2015. Pertama, memberantas kemiskinan dan kelaparan
ekstrim. Kedua, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua. Ketiga,
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Keempat, menurunkan angka kematian anak. Kelima, meningkatkan
kesehatan ibu hamil. Keenam, memerangi HIV/AIDs, malaria, dan
penyakit lainnya. Ketujuh, memastikan kelestarian lingkungan. Dan
kedelapan, mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Kedelapan tujuan tersebut masing memiliki target, ada yang bersifat
kualitatif dan kuantitatif.3
Tujuan pembangunan dalam Millennium Development
Goals (MDGs) sebagai nomenklatur tidak berhenti pada tahun
2015. Hal ini dikarenakan masih banyak persoalan yang belum
bisa dituntaskan oleh pemerintah, seperti menurunkan angka
kematian ibu melahirkan dan penyebaran virus HIV/AIDS, serta
akses air bersih dan sanitasi dasar. Untuk itu pada awal Januari
2015, PBB telah mengubah arah dan tujuan pembangunan global
dari MDGs 2015 menjadi Sustainable Development Goals (SDGs)


3
Bappenas, Ringkasan Eksekutif. Strategi Akselerasi Pencapaian Target MDGs
2015, Jakarta: Bappenas, 2014. hlm. 1.

34 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


atau pembangunan berkelanjutan 2030. SDGs adalah upaya untuk
melanjutkan tindak lanjut secara luas dipublikasikannya MDGs,
yang telah dilaksanakan dari tahun 2000 sampai 2015. SDGs juga
dicanangkan untuk melanjutkan tujuan utama MDGs yang belum
tercapai dan SDGs merupakan bentuk penyempurnaan dari MDGs.
Selain itu, SDGs juga terbuka bagi beberapa isu pembangunan
yang muncul sejak MDGs lahir di tahun 2000, seperti ketersediaan
anggaran, perubahan iklim, ketersediaan energi, dan lainnya.4
Pembangunan kesehatan dan pembangunan berkelanjutan
adalah dua hal yang saling berkaitan. Karena terciptanya masyarakat
sehat adalah salah satu indikator dalam keberhasilan penerapan
konsep pembangunan berkelanjutan di suatu negara. Ada dua
prinsip dasar dalam konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu
prinsip kehati-hatian (precautionary principles) dan ketidakpastian
(uncertainty). Kedua prinsip inilah yang akan menuntun arah
pembangunan menuju pembangunan yang berkeadilan dan
pencapaian keseimbangan tiga dimensi kehidupan yaitu lingkungan,
ekonomi, dan sosial.5
Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya manusia
untuk memperbaiki mutu kehidupan dengan tetap berusaha
tidak melampaui ekosistem yang mendukung kehidupannya.
Dewasa ini masalah pembangunan berkelanjutan telah dijadikan
sebagai isu penting yang perlu terus disosialisasikan di tengah
masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian berikut ini
akan menguraikan lebih lanjut bagaimana konsep pembangunan
berkelanjutan dan upaya pembangunan kesehatan dalam pencapaian
target pembangunan berkelanjutan 2030.

II. Konsep Pembangunan Berkelanjutan


Sejak Januari 2015 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
telah mencanangkan SDGs menggantikan MDGs sebagai acuan
perundingan pembangunan. SDGs ini tidak terpisah dari pencapaian
MDGs, SDGs merupakan bentuk penyempurnaan dari MDGs. Konsep
SDGs ini diperlukan sebagai kerangka pembangunan baru yang

4
Renata Irena, “SDGs Gantikan MDGs sebagai Acuan Perundingan Pembangunan”,
http://www.antaranews.com/berita/453769/sdgs-gantikan-mdgs-sebagai-
acuan-perundingan-pembangunan, diakses 9 September 2015.

5
Ibid.

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 35


mengakomodasi semua perubahan yang terjadi pasca-2015-MDGs.
Terutama berkaitan dengan perubahan situasi dunia sejak tahun 2000
mengenai isu depletion sumber daya alam, kerusakan lingkungan,
perubahan iklim semakin krusial, perlindungan sosial, food and energy
security, dan pembangunan yang lebih berpihak pada kaum miskin.6
Menurut ketua World Commission on Environment and
Development (WCED) Gro Harlem Brundtland dalam Baker (2006),
pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak saja
harus memenuhi kebutuhan dan bermanfaat bagi perkembangan
dunia saat ini namun juga harus memenuhi kebutuhan manusia
di masa depan. Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi manusia. Dengan demikian, pembangunan
berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang ingin menyelaraskan
pertumbuhan dan peningkatan kualitas hidup manusia, yang di
dalamnya termasuk sosial dan ekonomi, dengan pemeliharaan
ekosistem lingkungan.7
Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut, ada
tiga pilar yang menjadi indikator dalam konsep pengembangan SDGs
yaitu, pertama indikator yang melekat pada pembangunan manusia
(human development), di antaranya pendidikan, kesehatan. Indikator
kedua yang melekat pada lingkungan kecilnya (social economic
development), seperti ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan,
serta pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, indikator ketiga melekat
pada lingkungan yang lebih besar (environmental development), berupa
ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan yang baik.8
Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World
Summit 20059 menyebutkan, ada tiga dimensi yang saling terkait
dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan,
yaitu:

6
“United Nations Conference on Environment & Development“, http://
sustainabledevelopment.un.org/content/documents/Agenda21.pdf, diakses
10 Maret 2013.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
“Portal Pembangunan Berkelanjutan“, http://en.wikipedia.org/wiki/
Portal:Sustainable_development, diakses 9 Juni 2015.

36 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Gambar 1.
Scheme of sustainable development: at the confluence of three
preoccupations
Pada gambar di atas, skema pembangunan berkelanjutan
(sustainable) berada pada titik temu tiga pilar tersebut. Untuk
itu, pembangunan berkelanjutan menekankan pada penyelesaian
masalah secara terintegrasi dan komprehensif dengan
memerhatikan ketiga pilar tersebut. Untuk pilar lingkungan,
konsep pembangunan berkelanjutan didukung oleh tiga perjanjian
dan konferensi, yaitu Stockholm Conference tahun 1972, Brundtland
Commission tahun 1987, dan Earth Summit tahun 1992. Sedangkan
dalam pilar ekonomi, pembangunan berkelanjutan ini didukung
oleh adanya perdagangan yang seimbang yang dirumuskan
oleh  World Trade Organizations (WTO) dengan menggandeng
beberapa Non-Governmental Organizations (NGO) seperti Oxfam
International, The World Development Movement, WWF, dan Third
World Network. Kemudian di dalam pilar sosial didukung oleh
pencetusan Millennium Development Goals (MDGs) di tahun 2002
dan World Summit tahun 2002.10
Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang
sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan
pun sangat multidimensi dan multi-interpretasi. Menurut Heal

10
Ibid.

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 37


(Fauzi: 2004),11 konsep keberlanjutan mengandung dua dimensi:
Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain
menyangkut apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Kedua
adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber
daya alam dan lingkungan.
Ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan berkelanjutan, yaitu:12
1. Pemerataan dan Keadilan (Equity and Justice). Pemerataan
dan keadilan di sini menyangkut dimensi etika, yakni adanya
kesenjangan antara negara atau daerah yang kaya dan miskin
serta masa depan generasi mendatang yang tidak dapat
dikompromikan dengan kegiatan generasi masa kini. Karena itu
aspek pemerataan dan keadilan ini harus dijawab baik untuk
generasi masa kini maupun untuk generasi mendatang. Karena
itu strategi dan perencanaan pembangunan harus dilandasi
premis seperti: distribusi tenaga kesehatan, distribusi fasilitas
pelayanan kesehatan, pemerataan peran dan kesempatan kaum
wanita, kelompok marjinal, dan sebagainya.
2. Pendekatan Integratif (Integrative Approach). Pembangunan
berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia
dengan alam. Manusia memengaruhi alam dengan cara-cara
yang bermanfaat atau merusak. Keberlanjutan masa depan
hanya dimungkinkan bila pengertian tentang kompleksnya
keterkaitan antara sistem alam dan sosial dapat dipahami
dan cara-cara yang integrative (terpadu) diterapkan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
3. Perspektif Jangka Panjang (Long Term Perspective).
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dilaksanakan
penilaian yang berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur
pengenaan discounting. Perspektif jangka panjang merupakan
visi dari pembangunan berkelanjutan sedangkan saat ini
visi jangka pendek masih mendominasi dalam pengambilan
keputusan.


11
Askar Jaya, Konsep Pembangunan Berkelanjutan, Bogor: Program S3 Institut
Pertanian Bogor, 2004, hlm. 5.

12
Julissar An-N, “Pembangunan Berkelanjutan dan Elevansinya untuk Indonesia”,
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005, hlm. 48.

38 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


4. Keberlanjutan Ekologis (Ecological Sustainability). Keberlanjutan
ekologis menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Untuk
menjamin keberlanjutan ekologis integritas tatanan lingkungan
harus dipelihara melalui upaya-upaya peningkatan daya
dukung, daya asimilasi, dan keberlanjutan pemanfaatan sumber
daya yang dapat dipulihkan (renewable resources).
5. Keberlanjutan Ekonomi (Economic Sustainability). Menjamin
kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi
ekonomi. Tiga unsur utama untuk mencapai keberlanjutan
ekonomi makro yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi
yang berkesinambungan, serta meningkatkan kemakmuran dan
distribusi kemakmuran.
6. Keberlanjutan Sosial Budaya (Social Cultural Sustainability).
Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dan budaya dinyatakan
dalam keadilan sosial, harga diri manusia, dan peningkatan
kualitas hidup seluruh manusia. Keberlanjutan segi sosial
budaya mempunyai sasaran: stabilitas penduduk, pemenuhan
kebutuhan dasar manusia, memelihara keanekaragaman
budaya, serta mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam
pengambilan keputusan.
7. Keberlanjutan Politik (Political Sustainability). Keberlanjutan
politik dicirikan dengan adanya penghormatan terhadap hak
asasi manusia, demokrasi, serta kepastian kesediaan pangan,
air, dan pemukiman.
8. Keberlanjutan Pertahanan dan Keamanan (Defense and Security
Sustainability). Keberlanjutan kemampuan menghadapi dan
mengatasi tantangan, ancaman, gangguan baik dari dalam
maupun dari luar yang langsung dan tidak langsung dapat
membahayakan integritas, identitas, keberlangsungan negara
dan bangsa.
Implementasi dari kedelapan komponen di atas dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok analisis, yaitu analisis
biaya ekonomi (economic cost analysis), analisis biaya lingkungan
(environmental cost analysis), dan analisis biaya sosial (sosial cost
analysis). Suatu perencanaan proyek-proyek pembangunan yang
dikatakan berkelanjutan (sustainable) harus dibuktikan dengan
analisis, bahwa manfaat atau benefit lebih besar dari cost (economic

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 39


cost + environmental cost + sosial cost), atau bila sebaliknya, proyek-
proyek pembangunan tersebut dikatakan tidak berkelanjutan.
Untuk mengetahui keberhasilan rencana pembangunan dan
implementasinya perlu dilakukan evaluasi. Sesuai dengan teknik dan
jenis perencanaannya, evaluasi dapat dilakukan dengan pendekatan
mikro seperti evaluasi proyek (project evaluation), evaluasi sektoral
(sectoral evaluation) atau dengan pendekatan makro seperti evaluasi
komprehensif (comprehensive evaluation).
Adapun indikator yang digunakan untuk mengevaluasi
keberhasilan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang
(seperti Indonesia), menurut Todaro (1989) umumnya dengan
mengemukakan beberapa indikator, yaitu:13
1. Pendapatan Nasional. Pendapatan Nasional Bruto (Gross
National Product/GNP) suatu negara adalah hasil dari aktivitas
perekonomian secara keseluruhan dari negara tersebut.
Pendapatan Nasional Bruto per Kapita sering digunakan
sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di
suatu negara. Bagi negara-negara berkembang yang umumnya
pendapatannya hanya berasal dari dalam negeri (domestic)
GNP lebih dikenal dengan istilah Gross Domestic Product (GDP)
atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Konsep pendapatan ini
dapat diturunkan ke tingkat regional.
2. Pertumbuhan Ekonomi. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
diukur dengan persentase peningkatan GNP atau GDP dari tahun
ke tahun. Sering pula diukur dalam bentuk rata-rata per periode
tertentu, misalnya per 5 tahun, 10 tahun, atau 20 tahun sesuai
dengan kebutuhan analisis. Sebagai contoh, menurut sistem
klasifikasi PBB, negara-negara yang tergolong “paling tidak
berkembang” (underdeveloped) hanya mempunyai rata-rata
pertumbuhan GNP minus 0,3% per tahun antara tahun 1965
sampai 1985. Sedangkan pada negara-negara yang tergolong
“berkembang” (developing) mempunyai rata-rata pertumbuhan
GNP sebesar 3,7% per tahun pada periode yang sama.
3. Pendapatan per Kapita. Pendapatan rata-rata per kapita diukur
dari GDP pada tahun tertentu dibagi jumlah penduduk pada
tahun yang sama, biasanya dikalkulasi dalam Dolar Amerika


13
Ibid, hlm. 50–54.

40 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Serikat (US$). Ukuran ini baru menunjukkan potensi tingkat
kesejahteraan ekonomi secara umum, belum bisa menunjukkan
tingkat pemerataan kesejahteraan ekonomi yang sesungguhnya.
Dengan kata lain, pada suatu negara yang pendapatan rata-rata
per kapita-nya tinggi mungkin saja sebagian besar rakyatnya
masih hidup dalam kemiskinan.
4. Distribusi Pendapatan Nasional. Untuk lebih memperoleh
gambaran yang sesungguhnya tentang pemerataan kesejahteraan
ekonomi perlu diketahui distribusi pendapatan. Distribusi
pendapatan sering diukur dengan membagi penduduk menjadi
5 atau 10 kelompok (quintiles atau deciles) sesuai dengan tingkat
pendapatannya. Kemudian menetapkan proporsi yang diterima
oleh masing-masing kelompok pendapatan. Cara lain yang lazim
digunakan untuk melihat distribusi pendapatan adalah dengan
menggunakan Kurva Lorenz. Semakin besar cekungan kurva
semakin tinggi tingkat ketidakmerataan. Selanjutnya ukuran
distribusi pendapatan dapat diukur dengan “rasio konsentrasi
gini” (gini consentration ratio) atau lebih sederhana disebut dengan
koefisien gini.14 Dalam praktiknya, koefisien gini pada negara-negara
yang dikenal begitu tajam ketimpangan kesejahteraan di kalangan
penduduknya berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Sedangkan untuk
negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal paling merata,
Koefisien gini berkisar antara 0,20 sampai 0,35.
5. Kemiskinan. Tingkat kemiskinan diukur dengan menentukan
konsep “kemiskinan absolut” (absolute poverty) atau “garis
kemiskinan” (poverty line), yaitu: “tingkat pendapatan minimum
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum
terhadap makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin
kelangsungan hidup”.
Angka Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) di atas akan
berbeda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu
daerah ke daerah lainnya, serta berubah dari waktu ke waktu.
Pernah ditetapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar
US$125,-/orang/tahun (atas dasar harga konstan 1980). Itu


14
Koefisien Gini adalah ukuran ketidakseimbangan/ketimpangan (pendapatan,
kesejahteraan) agregat (keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol
(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 41


berarti seseorang yang konsumsinya kurang dari US$125,- per
tahun dapat digolongkan berada di bawah garis kemiskinan atau
berada dalam kemiskinan absolut. Besar-kecilnya persentase
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan/berada
dalam kemiskinan absolut menunjukkan tingkat kesejahteraan
ekonomi rakyat dari suatu negara.
6. Kesehatan Masyarakat. Tingkat kesehatan masyarakat dapat
terukur dari “Harapan Hidup Rata-rata” (Life Expectancy Rate) dan
“Tingkat Kematian Bayi Rata-rata” (Infant Mortality Rate) yaitu
jumlah bayi yang mati sebelum usia 1 tahun setiap 1.000 kelahiran.
Harapan Hidup Rata-rata di negara-negara paling terbelakang di
dunia pada tahun 1988 misalnya hanya mencapai 49 tahun, dibanding
dengan 57 tahun di negara-negara dunia ketiga dan 73 tahun di
negara-negara maju. Sedangkan Tingkat Kematian Bayi Rata-rata
mencapai 124 di negara-negara yang terbelakang dibanding 96 di
negara-negara berkembang dan 15 di negara-negara maju.
7. Pendidikan Masyarakat. Salah satu indikator penting untuk
mengukur tingkat pendidikan masyarakat adalah “Tingkat
Melek Huruf” (Literacy) atau sebaliknya “Tingkat Buta Huruf”
(Iliteracy). Sebagai contoh, di antara negara-negara yang paling
terbelakang Tingkat Melek Huruf Rata-rata hanya mencapai
34% dari jumlah penduduk dibanding dengan di negara-negara
berkembang dan negara-negara maju yang mencapai masing-
masing 65% dan 99%.
8. Produktivitas Masyarakat. Konsep produktivitas masyarakat
sangatlah kompleks. Pada dasarnya produktivitas masyarakat
adalah kemampuan individu-individu dalam masyarakat
tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Hal
itu meliputi keterampilan, kemampuan manajerial, daya kreasi,
serta emosi dan ambisi untuk hidup lebih sejahtera. Tingkat
produktivitas tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang
lebih rendah dibanding negara-negara maju. Produktivitas yang
rendah tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kelesuan fisik
dan ketidakmampuan fisik maupun mental untuk menahan
tekanan pekerjaan sehari-hari.
9. Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk (Population
Growth) dihitung dari “Tingkat Kelahiran” (Birth Rate) dikurangi
“Tingkat Kematian” (Mortality Rate). Tingkat kelahiran di negara-

42 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


negara berkembang pada umumnya sangat tinggi yaitu berkisar
antara 30–40 setiap 1.000 penduduk per tahun, sedangkan di
negara-negara maju hanya kurang dari setengahnya. Sementara
itu “Tingkat Kematian” (jumlah orang yang meninggal setiap 1.000
penduduk per tahun) di negara-negara berkembang juga relatif
tinggi dibanding dengan negara-negara maju. Karena adanya
usaha-usaha perbaikan kesehatan di negara-negara berkembang,
tingkat kematian juga menjadi relatif rendah. Akibatnya “Rata-rata
Pertumbuhan Penduduk” di negara-negara berkembang menjadi
sekitar 2,1% dibandingkan dengan 0,6% di negara-negara maju.
10. Pengangguran dan Setengah Menganggur. Pengertian dari
“setengah menganggur” (underemployment) adalah penduduk
kota atau desa yang bekerja di bawah jam kerja normal (harian,
mingguan, atau musiman), meliputi juga mereka yang berkerja
secara normal dengan waktu penuh tapi produktivitasnya
rendah. Sedangkan “pengangguran terbuka” (unemployed)
adalah penduduk yang mampu dan ingin bekerja tetapi tidak
tersedia lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka di
dunia ketiga saat ini kira-kira 10% hingga 15% dari angkatan
kerja perkotaan. Angka dari mereka yang setengah menganggur
di perkotaan maupun pedesaan diperkirakan jauh lebih
besar. Untuk mengukur pembangunan manusia dan mutu
kehidupan manusia, United Nations Development Program
(UNDP) menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index/HDI). HDI mempunyai tiga komponen
sebagai berikut:
a. Panjang Usia yang diukur dari harapan hidup sejak lahir;
b. Tingkat pengetahuan atau pendidikan yang diukur dari
tingkat melek huruf dewasa serta lamanya bersekolah; dan
c. Pendapatan yang diukur dari Produk Domestik Bruto.
Sebagai acuan perundingan pembangunan, ada 17 tujuan SDGs
yang akan dicapai pada tahun 2030 yaitu:15
1. Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana-mana.
2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan
peningkatan gizi, dan mempromosikan pertanian berkelanjutan.


15
Rohim Miftahul, “Membandingkan MDGs dengan SDGs”, http://citiscope.org/
story/2014/comparing-mdgs-and-sdgs, diakses 24 Agustus 2015.

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 43


3. Pastikan hidup sehat dan mempromosikan kesejahteraan bagi
semua pada segala usia.
4. Menjamin kualitas pendidikan inklusif dan adil dan
mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua.
5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua
perempuan dan anak perempuan.
6. Memastikan ketersediaan dan pengelolaan yang berkelanjutan
air dan sanitasi untuk semua.
7. Menjamin akses ke energi yang terjangkau, dapat diandalkan,
berkelanjutan, dan modern untuk semua.
8. Mempromosikan pertumbuhan yang berkelanjutan, inklusif dan
berkelanjutan ekonomi, kesempatan kerja penuh dan produktif
dan pekerjaan yang layak untuk semua.
9. Membangun infrastruktur tangguh, mempromosikan
industrialisasi inklusif dan berkelanjutan dan mendorong inovasi.
10. Mengurangi ketimpangan dalam dan di antara negara-negara.
11. Membuat kota-kota dan pemukiman manusia inklusif, aman,
tangguh, dan berkelanjutan.
12. Pastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan.
13. Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim
dan dampaknya.
14. Melestarikan dan berkelanjutan menggunakan samudera, laut,
dan sumber daya kelautan untuk pembangunan berkelanjutan.
15. Melindungi, memulihkan, dan meningkatkan pemanfaatan
berkelanjutan ekosistem darat, berkelanjutan mengelola hutan,
memerangi desertifikasi, dan menghentikan dan membalikkan
degradasi lahan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman
hayati.
16. Mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk
pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap
keadilan bagi semua dan membangun institusi yang efektif,
akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.
17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan
global untuk pembangunan berkelanjutan.

III. Pembangunan Kesehatan dalam Pencapaian Target SDGs


Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada
isu-isu lingkungan. Kesehatan masyarakat merupakan salah

44 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


satu indikator dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan di bidang kesehatan
melekat pada pembangunan manusia (Human Development) dengan
mempertimbangkan keseimbangan dari ketiga dimensi yaitu sosial,
ekonomi, dan lingkungan.
Pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya dapat terwujud, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, pembangunan kesehatan masyarakat sangat
berperan dalam proses pembangunan berkelanjutan. Hal ini karena
pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya diarahkan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga merupakan
modal penting bagi keberhasilan pembangunan bangsa.
Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan keluarga,
kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk
belajar di sekolah. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental
akan lebih energik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan
penghasilan yang tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di negara-
negara sedang berkembang, di mana proporsi terbesar dari
angkatan kerja masih bekerja secara manual. Di Indonesia sebagai
contoh, tenaga kerja laki-laki yang menderita anemia menyebabkan
20% kurang produktif jika dibandingkan dengan tenaga kerja laki-
laki yang tidak menderita anemia. Selanjutnya, anak yang sehat
mempunyai kemampuan belajar lebih baik dan akan tumbuh
menjadi dewasa yang lebih terdidik. Dalam keluarga yang sehat,
pendidikan anak cenderung untuk tidak terputus jika dibandingkan
dengan keluarga yang tidak sehat.16
Pada tingkat makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang
baik merupakan masukan (input) penting untuk menurunkan
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi
jangka panjang. Beberapa pengalaman sejarah besar membuktikan
berhasilnya tinggal landas ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi
yang cepat didukung oleh terobosan penting di bidang kesehatan


16
Ibid.

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 45


masyarakat, pemberantasan penyakit dan peningkatan gizi. Hal ini
antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri, Jepang, dan
Amerika Selatan pada awal abad ke-20, dan pembangunan di Eropa
Selatan dan Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun
1960-an.17
Selain itu, dari penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Prof.
Robert Fogel,18 didapat bahwa peningkatan ketersediaan jumlah
kalori untuk bekerja selama 200 tahun yang lalu mempunyai
kontribusi terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita seperti
terjadi di Perancis dan Inggris. Melalui peningkatan produktivitas
tenaga kerja dan pemberian kalori yang cukup, Fogel memperkirakan
bahwa perbaikan gizi memberikan kontribusi sebanyak 30%
terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita di Inggris. Bukti-bukti
makro ekonomi juga didapat bahwa negara-negara dengan kondisi
kesehatan dan pendidikan yang rendah, menghadapi tantangan
yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan jika
dibandingkan dengan negara yang lebih baik keadaan kesehatan dan
pendidikannya. Pada negara-negara dengan tingkat angka kematian
bayi yang rendah akan menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi pada periode tertentu. Selain itu, terdapat korelasi yang
kuat antara tingkat kesehatan yang baik dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Secara statistik diperkirakan bahwa setiap
peningkatan 10% dari angka harapan hidup (AHH) waktu lahir akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal 0.3–0.4% pertahun,
jika faktor-faktor pertumbuhan lainnya tetap. Dengan demikian,
perbedaan tingkat pertumbuhan tahunan antara negara-negara
maju yang mempunyai AHH tinggi (77 tahun) dengan negara-negara
sedang berkembang dengan AHH rendah (49 tahun) adalah sekitar
1,6%, dan pengaruh ini akan terakumulasi terus-menerus.
Di Indonesia, pemerintah telah mengarusutamakan MDGs
dalam pembangunan sejak tahap perencanaan dan penganggaran
sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005–2025, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009
17
Admawikarta Arum, Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi,
Jakarta: Bappenas, 2009, hlm. 2.
18
Ibid.

46 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


dan 2010–2014, serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen
anggarannya. Bahkan dengan berlandaskan strategi pro-growth,
pro-job, pro-poor, dan pro-environment, alokasi dana dalam anggaran
pusat dan daerah untuk mendukung pencapaian berbagai sasaran
MDGs terus ditingkatkan setiap tahunnya. Kemitraan produktif
dengan masyarakat madani dan sektor swasta juga berkontribusi
terhadap percepatan pencapaian MDGs.
Selama 10 tahun pelaksanaan pembangunan kesehatan masih
dirasa kurang akselerasinya, kurang merata, dan pada umumnya
kurang tinggi mutunya (RPJMN Tahun 2010–2014). Sedangkan
secara spesifik masalah kesehatan yang dialami adalah: (1)
Pemerataan, mutu, dan keterjangkauan upaya kesehatan masih
belum optimal; (2) Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
kesehatan masih terbatas; (3) Pengelolaan, informasi dan hukum
kesehatan masih kurang memadai; (4) Dukungan sumber daya
kesehatan terbatas; (5) Lingkungan strategis masih kurang
mendukung; (6) Rawan pangan dan rawan gizi masih ada; dan (7)
Derajat kesehatan masyarakat umumnya masih rendah.19
Terkait pencapaian tujuan MDGs yang akan berakhir pada akhir
tahun 2015, pencapaian target MDGs bidang kesehatan dianggap
masih belum maksimal. Masih banyak persoalan yang belum bisa
dituntaskan oleh pemerintah,20 khususnya terkait dengan pertama,
menurunnya angka kematian ibu melahirkan. Pada tujuan MDGs
adalah menurunkan angka kematian ibu melahirkan hingga 3/4-
nya dari angka pada tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio tahun
1990 adalah sekitar 450, maka target MDGs sekitar 110 pada tahun
2015. Target tersebut tampaknya masih sulit dicapai. Karena Angka
Kematian Ibu (AKI) saat ini sebesar 228 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi, terutama di daerah-
daerah yang lebih miskin dan terpencil. Berbagai potensi kematian
bisa dicegah apabila para ibu memperoleh perawatan yang tepat
sewaktu persalinan. Kenyataannya, sekitar 60% persalinan di
Indonesia berlangsung di rumah. Dan jika sang ibu sampai di rumah
sakit, belum tentu ia akan mendapatkan bantuan yang diperlukan
karena banyak rumah sakit kabupaten kekurangan staf dan tidak

Ibid, hlm. 4.
19

Bappenas, op. cit., hlm. 1–3.


20

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 47


memiliki layanan 24 jam. Karena itu, diperlukan upaya memperbaiki
perawatan di pusat-pusat kesehatan. Pada tahun 2006 proporsi
persalinan yang dibantu oleh tenaga persalinan terlatih, baik staf
rumah sakit, pusat kesehatan atau bidan desa, baru mencapai
72,4%. Angka ini sangat bervariasi di seluruh Indonesia, mulai dari
39% di Gorontalo hingga 98% di Jakarta. Selain itu, data lain juga
menunjukkan bahwa saat ini sekitar seperlima perempuan hamil
kekurangan gizi dan separuhnya menderita anemia.
Kedua, menurunnya penyebaran virus HIV/AIDS. Tujuan
keenam dalam MDGs adalah menangani berbagai penyakit menular
paling berbahaya dan urutan teratasnya adalah HIV/AIDS. Jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2007 yang hidup dengan virus HIV
diperkirakan antara 172.000 dan 219.000 orang, sebagian besar
adalah laki-laki (0,1% dari jumlah penduduk). Menurut Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 sampai Maret
2007, tercatat 8.988 kasus AIDS – 1.994 orang di antaranya telah
meninggal. Target MDGs untuk HIV/AIDS adalah menghentikan
laju penyebaran serta membalikkan kecenderungannya pada 2015.
Saat ini, dua hal tersebut belum terlaksana karena di hampir semua
daerah di Indonesia keadaannya tidak terkendalikan. Masalah
utama kita saat ini adalah rendahnya kesadaran tentang isu-isu
HIV/AIDS serta terbatasnya layanan untuk menjalankan tes dan
pengobatan. Sedangkan kegiatan yang diarahkan pada pencegahan
dan penanganan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS relatif
kabur dan tidak secara jelas dinyatakan, sehingga tidak ditemukan
secara langsung kegiatan yang diarahkan untuk pencegahan dan
penanganan IMS dan HIV/AIDS. Selain itu, kurangnya pengalaman
untuk menanganinya dan anggapan bahwa ini hanyalah masalah
kelompok risiko tinggi atau mereka yang sudah tertular.
Masalah yang ketiga adalah akses air bersih dan sanitasi dasar
yang masih rendah. Dalam MDGs tujuan yang akan dicapai adalah
menurunkan separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses
yang berkelanjutan terhadap air minum yang aman dan sanitasi
dasar pada 2015. Pada tahun 2006, 52,1% penduduk memiliki
akses terhadap air minum yang aman dan kita hampir berhasil
untuk mencapai target 67%. Untuk sanitasi kita nampaknya telah
melampaui target 65%, karena telah mencapai cakupan sebesar
69.3%, meski banyak dari pencapaian ini berkualitas rendah.

48 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Pembangunan kesehatan pasca-2015 menjadi tantangan
tersendiri. Selain harus melanjutkan beberapa target MDGs karena
diperkirakan tidak akan selesai pada akhir 2015 ke dalam agenda
SDGs, di sisi lain Indonesia juga sedang menghadapi tantangan
pembangunan kesehatan yaitu: (1) mengurangi kesenjangan status
kesehatan masyarakat dan akses terhadap pelayanan kesehatan
antarwilayah, tingkat sosial ekonomi, dan gender; (2) meningkatkan
jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan yang memadai; (3)
meningkatkan akses terhadap fasilitas kesehatan; dan (4)
mengurangi beban ganda penyakit yaitu pola penyakit yang diderita
oleh sebagian besar masyarakat yaitu penyakit infeksi menular,
namun pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit
tidak menular serta meningkatnya penyalahgunaan narkotik dan
obat-obat terlarang.21
Karakteristik tantangan pembangunan kesehatan di Indonesia
tersebut, menuntut penanganan multi-sektoral dan multi-level
pemerintahan. Untuk itu upaya pembangunan kesehatan dalam
rangka pencapaian target SDGs tidak dapat dilakukan oleh
sektoral kesehatan saja. Kementerian Kesehatan dalam hal ini
tidak lagi menjadi ujung tombak tunggal, karena sekitar 70% dari
permasalahan kesehatan terkait erat dengan permasalahan non-
kesehatan, seperti ketersediaan infrastruktur, tingkat kesejahteraan
keluarga, tingkat pendidikan, dan kesetaraan gender. Selain itu, era
desentralisasi telah mendorong sektor kesehatan untuk beradaptasi
dengan pembagian dan terkadang tumpang tindih kewenangan
antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa pembangunan
kesehatan berkembang semakin kompleks, perubahan terjadi dengan
cepat dan sering kurang menentu. Untuk itu pada pembangunan
berkelanjutan 2030 diperlukan pemikiran dasar pembangunan
kesehatan yang kuat. Pemikiran dasar pembangunan kesehatan
tersebut pada hakikatnya merupakan makna dari pelaksanaan
paradigma sehat yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kesehatan (RPJPK) Tahun


21
Ibid, hlm. 118–119.

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 49


2005–2015.22 Selain itu, penyempurnaan pembangunan kesehatan
dalam bentuk SDGs perlu dilakukan melalui sejumlah pendekatan
yang dipandang perlu dengan tetap melibatkan peran aktif warga
dunia bagi terciptanya kepentingan global yang lebih luas. Hal
itu bertujuan agar agenda ambisius para pemimpin dunia dalam
mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup dalam
program sebelumnya, yakni MDGs dapat berkelanjutan.
Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan lebih
menekankan pada penyelesaian masalah secara terintegrasi dan
komprehensif. Jika dikaitkan dengan pembangunan kesehatan,
sebagai contoh dalam pengendalian penyakit menular seperti
malaria, dapat dikendalikan dengan dukungan masyarakat melalui
partisipasi aktif dan kemitraan pemerintah dengan berbagai
pemangku kepentingan di berbagai sektor/lintas sektor. Oleh
karena itu pengendaliannya tidak hanya dari sisi vektor, melainkan
juga perlu mengintegrasikan dengan berbagai aspek, seperti sosial-
budaya masyarakat, program dan kebijakan pemerintah yang
pro-rakyat, serta lingkungan. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Achmadi (2011), bahwa dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan penduduk, maka prinsip-prinsip kesehatan masyarakat
harus dipegang teguh. Prinsip-prinsip itu adalah berbasis
masyarakat, berorientasi kepada pencegahan, adanya keterlibatan
atau partisipasi masyarakat, bersifat lintas sektoral dan lintas
ilmu, dan terorganisasi dengan baik dalam arti kelembagaan yang
efektif dan bertanggung jawab (akuntabilitas publik), sehingga
keberlanjutan sosial, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan
lingkungan dapat dicapai.23

IV. Penutup
Pembangunan berkelanjutan merupakan bentuk
penyempurnaan dari pembangunan milenium yang dilakukan
melalui sejumlah pendekatan yang dipandang perlu dengan tetap
melibatkan peran aktif warga dunia bagi terciptanya kepentingan


22
Hapsara Habib Rachmat, Percepatan Pembangunan Kesehatan Di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013, hlm. 3.

23
Panji W Dhewantara, “Atasi Masalah Kesehatan Sesuai Kerangka Pembangunan
Berkelanjutan“, Buletin Inside, Edisi 10 Vol. VI No.01/Juni 2011, Ciamis:
Litbang P2B2, 2011, hlm. 49.

50 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


global yang lebih luas. Kesehatan merupakan isu krusial yang
harus dihadapi setiap negara karena berkorelasi langsung dengan
pengembangan integritas pribadi setiap individu supaya dapat
hidup produktif dan bermartabat.
Kesehatan dan pembangunan berkelanjutan adalah dua hal
yang saling berkaitan. Terciptanya masyarakat sehat adalah salah
satu indikator dalam keberhasilan penerapan konsep pembangunan
berkelanjutan. Upaya pembangunan kesehatan dalam pencapaian
target SDGs, dihadapkan pada berbagai masalah dan tantangan
kesehatan yang kompleks. Untuk itu dalam upaya pemecahan
masalah kesehatan perlu memerhatikan keterkaitan berbagai
dimensi yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan serta pendekatan
interdisiplin.

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 51


DAFTAR PUSTAKA

Admawikarta, Arum, Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan


Ekonomi, Jakarta: Bappenas, 2009.
An-N, Julissar, Pembangunan Berkelanjutan Dan Elevansinya Untuk
Indonesia, Jakarta: Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Ahmadi, UF, Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
Baker, Susan, Theoretical and Conceptual of Sustainable
Developmen, London: Routledge, 2006.
Bappenas, Ringkasan Eksekutif. Strategi Akselerasi Pencapaian
Target Mdgs 2015, Jakarta: Bappenas, 2014.
Dhewantara, Panji, W, “Atasi Masalah Kesehatan Sesuai Kerangka
Pembangunan Berkelanjutan”, Buletin Inside, Edisi 10 Vol. VI
No.01/Juni 2011, Ciamis: Litbang P2B2, 2011.
Jaya, Askar, Konsep Pembangunan Berkelanjutan, Bogor: Program S3
Institut Pertanian Bogor, 2004.
Kurnia, Titin, Slamet, Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai
HAM Di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2007.
Moeloek, Farid, Anfasa, “Pembangunan Berkelanjutan Dalam
Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat”, Makalah Disajikan
Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema
Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
Dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14–18 Juli 2003
Rachmat, Hapsara, Habib, Percepatan Pembangunan Kesehatan Di
Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013.

52 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


United Nations Conference on Environment & Development  (online)
dalam http://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/
Agenda21 pdf, diakses 10 Maret 2013.
Portal Pembangunan Berkelanjutan, http://en.wikipedia.org/wiki/
Portal: Sustainable_development, diakses 9 Juni 2015.
Rohim Miftahul, Membandingkan MDGs dengan SDGs, http://
citiscope.org/story/2014/comparing-mdgs-and-sdgs, diakses
24 Agustus 2015.

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan 53


BAB III
PROGRAM INDONESIA PINTAR
DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Faridah Alawiyah

I. Pendahuluan
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan
yang berprinsip untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (World
Commission Environmental an Development, 1987).1 Pembangunan
berkelanjutan juga dapat diartikan sebagai pembangunan yang
menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan yang menjaga kualitas
lingkungan hidup masyarakat yang didukung oleh tata kelola yang
menjaga pelaksanaan pembangunan yang akan meningkatkan
kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.2
Namun, ruang lingkup pembangunan berkelanjutan tidak hanya
berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan hidup, tetapi mencakup
tiga lingkup kebijakan yakni pembangunan ekonomi, pembangunan
sosial, dan perlindungan lingkungan.3 Khusus dalam pembangunan
sosial, pembangunan difokuskan untuk meningkatkan taraf hidup


1
United Nations (a), Report of the World Commission on Environment and
Development: Our Commen Future, (online), http://www.un-documents.net/
our-common-future.pdf, diakses tanggal 29 Juli 2015.

2
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019: Buku II Agenda Pembangunan Bidang, Jakarta:
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, hlm. 1.

3
United Nations (b), Resolution adopted by the General Assembly 60/1. 2005
World Summit Outcome, (online), http://www.un.org/womenwatch/ods/A-
RES-60-1-E.pdf, diakses tanggal 29 Juli 2015.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 55


seluruh masyarakat. Dengan demikian pembangunan sosial terdiri
dari pembangunan manusia (human development) dan pembangunan
kesejahteraan sosial (social welfare).4
Pembangunan manusia sendiri merupakan suatu pendekatan
pembangunan baru yang dimulai pada akhir tahun 1980-an atau
awal tahun 1990-an yang menempatkan manusia sebagai titik
sentral pembangunan. Konsep ini merupakan komitmen dari lebih
189 pemimpin dunia dalam Sidang Umum PBB tentang Program
Pembangunan Manusia Abad Milenium. Melalui pendekatan ini,
negara-negara di dunia ditempatkan dalam urutan berdasarkan
pencapaian indikator yang disebut Human Development Indeks (HDI)
yang bertumpu pada ukuran panjangnya usia harapan hidup, rata-rata
lamanya pendidikan dan kemampuan ekonomi penduduk sebagai
usaha keberhasilan dalam mengatasi kemiskinan, meningkatkan
kesehatan, dan kecerdasan anak bangsa.5 Modal manusia juga
merupakan salah satu komponen sumber daya yang disyaratkan
dalam membangun suatu bangsa, selain modal ekonomi (economic
capital) dan modal sosial (social capital).6 Saat ini modal manusia
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia telah tertinggal dibandingkan
dengan negara-negara di kawasan. Untuk itulah, pembangunan ke
depan diharapkan pemerintah dapat memperkokoh modal manusia.
Pendidikan diharapkan mampu mencetak manusia Indonesia
sebagai modal membangun bangsa karena pendidikan senantiasa
merupakan pintu gerbang kemajuan bangsa.
Pendidikan merupakan investasi nyata bagi kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk menghadapi kehidupan
yang terus mengalami perubahan, setiap orang harus selalu siap
dengan tingkat kemampuan yang sesuai dengan kondisi kehidupan.
Kemampuan tersebut merupakan hasil dari proses pendidikan dan
pembelajaran yang dilaksanakan di institusi pendidikan. Dengan
mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran, maka akan dapat
meningkatkan kemampuan diri dan selanjutnya dapat berperan aktif


4
James Midgley, Social Development: Theory and Practice, London: Sage
Publication, 2014, hlm 250.

5
Haryono Suyono, Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya, http://www.
pelita.or.id/baca.php?id=85850, diakses tanggal 29 Juli 2015.

6
Teguh Wiyono, Rekontruksi Pendidikan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, hlm, 6.

56 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


dalam kehidupan.7 Begitu pentingnya masalah pendidikan sehingga
proses tersebut diselenggarakan di berbagai tempat, bahkan di
tempat-tempat terpencil sekalipun. Setiap orang tua harus terus
berusaha agar anak-anaknya mempunyai kesempatan mengikuti
proses pendidikan.8
Pendidikan juga merupakan hak dasar bagi setiap warga negara
Indonesia. Hak ini sesungguhnya telah dijamin oleh konstitusi
sebagai mana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan
bahwa:
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Selanjutnya Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945 juga menyatakan
bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 12 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh
pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya
agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab,


7
Mohammad Saroni (a), Orang Miskin Harus Sekolah, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media Grup, 2010, hlm. 195-196.

8
Mohammad Saroni (b), Pendidikan Untuk Orang Miskin, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media Grup, 2013, hlm. 77-88.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 57


berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional juga menyebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga
negara. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya Pasal 13 menyatakan bahwa negara mengakui hak setiap orang
atas pendidikan dan merealisasikan dengan pemenuhan pendidikan
dasar bagi semua orang secara cuma-cuma, pendidikan lanjutan dan
pendidikan tinggi gratis secara bertahap, mendorong pendidikan dasar,
mengembangkan sistem sekolah yang aktif, sistem beasiswa yang
memadai, kesejahteraan guru yang memadai, serta kebebasan memilih
sekolah dan pendidikan agama.
Namun demikian, pada kenyataannya saat ini belum semua warga
negara menikmati pendidikan sebagai hak dasar mereka. Sebagai
contoh terdapat ribuan anak di Brebes, Jawa Tengah yang putus sekolah
akibat kesulitan ekonomi orang tuanya, bahkan 1.000 anak tercatat
sebagai pekerja anak di berbagai sektor.9 Hal yang sama juga terjadi di
Bojonegoro, di mana dalam tiga tahun terakhir tercatat sekitar 5.000
siswa SD, SLTP, dan SLTA yang tidak melanjutkan sekolah karena
kesulitan ekonomi, dinikahkan pada usia dini, pengaruh lingkungan,
dan ikut bekerja.10 Data yang dihimpun UNICEF menyebutkan terdapat
2,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah yang
sebagian besar diakibatkan karena alasan finansial. Tercatat terdapat
7 persen anak usia 5-17 tahun yang terlibat dalam pekerjaan anak.11
Banyak anak yang putus sekolah karena harus membantu perekonomian
keluarga sehingga mereka tidak memperoleh hak pendidikan. Di lain
pihak lebih banyak lagi penduduk yang harus hidup di bawah garis
kemiskinan karena pendidikannya tidak memadai sehingga mereka
gagal mengangkat harkat dan martabatnya.


9
Metronews, “Di Brebes, Ribuan Anak Masih Putus Sekolah”, 5 Agustus 2015,
(online), http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/08/05/418496/di-
brebes-ribuan-anak-masih-putus-sekolah, diakses tanggal 30 Juli 2015.
10
Okezone, “5.000 Anak di Bojonegoro Putus Sekolah”, 17 Juni 2015, (online),
http://news.okezone.com/read/2015/07/17/340/1182901/5-000-anak-di-
bojonegoro-putus-sekolah, diakses tanggal 30 Juli 2015.
11
Unicef, Indonesia: Laporan Tahunan 2012, (online), http://www.unicef.org/
indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_(Ind)_130731.pdf, diakses tanggal 17
Juni 2015.

58 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Saat ini kemiskinan masih merupakan momok bagi masyarakat
Indonesia sehingga mereka tidak mampu memperoleh haknya dalam
mendapatkan pendidikan yang memadai. Penelitian yang dilakukan
oleh Ni Ayu Krisna Dewi, Anjuman Zukhri, dan I Ketut Dunia
menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab anak putus sekolah
usia pendidikan dasar di kecamatan Gerokgak tahun 2012-2013
adalah alasan ekonomi keluarga.12 Hal yang serupa juga dikemukakan
oleh Resi Anggun Sutiasnah yang menyebutkan bahwa faktor ekonomi
keluarga merupakan faktor yang paling dominan menyebabkan
anak putus sekolah.13 Kondisi finansial orang tua siswa yang lemah
ini menyebabkan siswa tidak mampu melanjutkan pendidikannya
sehingga haknya mendapatkan pendidikan terabaikan.
Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat pendidikan dasar di
Indonesia juga masih jauh di bawah beberapa negara di kawasan
ASEAN. APM tingkat pendidikan dasar di Indonesia menduduki
rangking 85 dari 144 negara di dunia dengan nilai APM sebesar
92,0, jauh di bawah Singapura (1), Vietnam (29), Laos (56), Thailand
(58), dan Malaysia (60). Sementara itu, Angka Partisipasi Kasar
(APK) tingkat pendidikan menengah di Indonesia juga masih jauh
di bawah negara-negara lain, di mana Indonesia menempati ranking
92 dengan nilai APK sebesar 82,5. Indonesia masih tertinggal
dibandingkan dengan Singapura (16), Thailand (79), dan Filipina
(89).14 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masih banyak
terdapat masyarakat di Indonesia yang belum memiliki akses untuk
memperoleh haknya mendapatkan pendidikan.
Sebenarnya pemerintah tidak menutup mata terhadap
permasalahan pendidikan di Indonesia, khususnya keterbatasan


12
Ni Ayu Krisna Dewi, Anjuman Zukhri, dan I Ketut Dunia, Analisis Faktor-Faktor
Penyebab Anak Putus Sekolah Usia Pendidikan Dasar Di Kecamatan Gerokgak
Tahun 2012-2013, E-Journal Undiksha Vol.4 No.1 Tahun 2014, (online),
http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPE/article/viewFile/1898/1650,
diakses tanggal 30 Juni 2015.

13
Resi Anggun Sutiasnah, Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah: Studi
Madrasah Ibtidayah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Wathan
Pusaran 8 Kecamatan Enok Kabupaten Indragiri Hilir, Jurnal Jom Fisip, Vol. 2
No. 1, Februari 2015.

14
World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2014-2015,
(online), http://www3.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessRepo
rt_2014-15.pdf, diakses tanggal 30 Juni 2015.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 59


akses masyarakat pada pendidikan. Untuk mengupayakan perluasan
dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara Indonesia, pemerintah telah menerbitkan
Program Wajib Belajar 9 Tahun sebagaimana tertuang pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar. Program ini bertujuan memberikan pendidikan minimal
bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi
dirinya agar dapat hidup mandiri dalam masyarakat atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk menuntaskan wajib
belajar sembilan tahun pemerintah telah mengeluarkan berbagai
formulasi kebijakan untuk meningkatkan akses dan mutu pendidikan
dasar seperti penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM).
Selanjutnya, untuk menjaga kesinambungan dan konsekuensi
logis keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pemerintah
juga telah menyiapkan program pendidikan menengah universal 12
tahun/rintisan wajib belajar 12 tahun. Program ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas penduduk Indonesia dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, peningkatan
kehidupan sosial politik serta kesejahteraan masyarakat.15 Sasaran
dari program ini adalah pada tahun 2020 semua lulusan SMP/
sederajat dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah dengan
tempat yang tersedia (dalam jarak terjangkau), waktu yang tersedia
(bagi yang sudah bekerja), biaya yang terjangkau, kualitas pendidikan
yang terjaga, terbuka bagi semua, dan adanya jaminan kepastian
bagi yang berminat. Program pendidikan menengah universal 12
tahun/rintisan wajib belajar 12 tahun akan dimulai pada tahun 2016.
Program ini diharapkan dapat memberikan kesempatan luas kepada
warga negara Indonesia untuk mengikuti pendidikan menengah yang
bermutu, difasilitasi pemerintah, pembiayaan ditanggung bersama
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.16

15
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (a), Pendidikan Menengah
Universal 12 Tahun, disampaikan dalam rapat kerja Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Jakarta, 6 Maret 2012.
16
Antaranews, “Kemendikbud: Wajib Belajar 12 Tahun dimulai 2016”, 23 Juni
2015, http://www.antaranews.com/berita/503076/kemendikbud-wajib-
belajar-12-tahun-dimulai-2016, diakses tanggal 30 Juli 2015.

60 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Perhatian pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia
terlihat nyata juga pada era Presiden Jokowi. Pada akhir tahun
2014, Pemerintahan Presiden Jokowi telah meluncurkan Program
Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP). Program
KIP ini merupakan salah satu bagian program pemerintah dalam
rangka penanggulangan kemiskinan melalui program Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS) yang merupakan kartu penanda keluarga kurang
mampu, sebagai pengganti Kartu Perlindungan Sosial (KPS). KKS
memiliki tiga produk kartu yaitu Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera
(KSKS), Kartu Indonesa Sehat (KIS), dan Kartu Indonesa Pintar
(KIP). Ketiga kartu ini diharapkan mempermudah masyarakat untuk
memperolah pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Melalui pelaksanaan program tersebut, diperkenalkan penggunaan
teknologi untuk menjangkau masyarakat kurang mampu agar
penyaluran program dapat lebih baik dan efisien. Khusus bagi
pendidikan, KIP menjamin dan memastikan seluruh anak usia
sekolah dari keluarga kurang mampu terdaftar sebagai penerima
bantuan tunai pendidikan sampai lulus SMA/SMK/MA.

II. Program Indonesia Pintar


Program Indonesia Pintar (PIP) adalah suatu program pemberian
bantuan tunai pendidikan kepada anak usia sekolah yang berasal
dari keluarga kurang mampu. Program ini diluncurkan oleh Presiden
Joko Widodo pada awal November 2014. Program ini tercermin
dari dibagikannya Kartu Indonesia Pintar (KIP) bersamaan dengan
peluncuran Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan Kartu Indonesia
Sehat (KIS) pada tanggal 3 November 2014 ke sejumlah masyarakat.
Program bantuan pendidikan melalui PIP ini ditandai dengan
pemberian KIP kepada siswa/anak usia sekolah yang berasal dari
keluarga kurang mampu. KIP diberikan sebagai penanda/identitas
untuk menjamin dan memastikan seluruh anak usia sekolah dari
keluarga kurang mampu terdaftar sebagai penerima bantuan ini
baik melalui jalur pendidikan formal (mulai SD/MI hingga anak lulus
SMA/SMK/MA) maupun melalui jalur pendidikan informal dan non-
formal. Melalui KIP, anak usia sekolah dari keluarga tidak mampu
akan menerima dana tunai dari pemerintah secara reguler. Pada
tahap awal program yakni bulan November–Desember 2014, KIP
hanya diberikan kepada 161.840 anak siswa di sekolah/madrasah di

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 61


19 Kabupaten/Kota yang telah terdaftar sebagai penerima manfaat
program BSM pada Tahun Ajaran 2013/2014. Selanjutnya pada
tahun 2015 ini KIP akan diberikan secara bertahap sesuai dengan
tahapan kriteria penerima PIP.17
PIP merupakan suatu program pengembangan dan
penyempurnaan dari program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
yang merupakan program pemerintahan sebelumnya untuk
meningkatkan akses pada pendidikan bagi warga negara. Namun
demikian, terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara BSM
dengan PIP, yakni pertama, BSM hanya menjangkau rakyat miskin,
sementara PIP menjangkau rakyat miskin dan rentan miskin. Kedua,
BSM hanya mencakup peserta didik yang sekarang di sekolah
sementara PIP mencakup anak usia sekolah yang tidak melanjutkan
sekolah, putus sekolah, dan anak penyandang masalah kesejahteraan
sosial. Ketiga, BSM hanya berlaku di sekolah formal/madrasah
sementara PIP tidak hanya berlaku pada sekolah formal/madrasah
tetapi berlaku juga di pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat,
sanggar kegiatan belajar, dan lembaga kursus (termasuk balai
latihan kerja). Keempat, BSM tidak menghimbau anak yang tidak
bersekolah untuk bersekolah sementara PIP menghimbau sekolah
untuk menerima kembali anak yang tidak bersekolah.18
Pelaksanaan PIP ditujukan untuk meningkatkan akses bagi
anak-anak berusia sekolah (6-21 tahun) guna mendapatkan layanan
pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah dalam
rangka mendukung pelaksanaan Pendidikan Menengah Universal/
Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun. Program ini selaras dengan
arah kebijakan dan strategi pembangunan berkelanjutan dalam
rangka meningkatkan uaya berkelanjutan sosial melalui strategi
peningkatan keterjangkauan layanan dan akses pendidikan.19 Selain
itu, PIP juga bertujuan untuk mencegah peserta didik dari putus


17
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (b), “Siapa saja sasaran penerima
KIP”, (online), http://pengaduanpip.kemdikbud.go.id/index.php, diakses
tanggal 29 Juli 2015.

18
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (c), Program Indonesia Pintar (PIP)
Melalui Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun, disampaikan dalam kegiatan
Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan, Depok, 29-31 Maret 2015.

19
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, op. cit, hlm. 2-3.

62 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan akibat kesulitan ekonomi
keluarganya. Program ini diharapkan juga dapat menarik siswa
putus sekolah atau tidak melanjutkan agar kembali mendapatkan
layanan pendidikan di sekolah/Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)/
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)/Lembaga Kursus
Pelatihan (LKP)/satuan pendidikan nonformal lainnya dan Balai
Latihan Kerja (BLK).
Pada saat awal diluncurkan program ini, muncul beberapa
kritik atas ketiadaan dasar hukum pelaksanaan PIP, mengingat
nomenklatur PIP belum dikenal dalam Nota Keuangan dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2015. PIP
baru muncul dalam Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBNP) Tahun 2015 sehingga untuk
kelancaran pelaksanaan penggunaan anggaran dalam APBN Tahun
2015 digunakanlah nomenklatur program penyaluran dana BSM/
PIP. Pada dasarnya landasan hukum dilaksanakannya program ini
mengacu pada:20
1. UUD 1945
Pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia merupakan
salah satu dari tujuan bangsa ini yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Hal ini ditegaskan juga dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pada ayat
(2) disebutkan pula bahwa setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Anggaran
yang harus disediakan oleh pemerintah dalam rangka menyediakan
pendidikan bagi warganya pun tidak main-main, mencapai 20
persen dari APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), sebagaimana tercantum pada ayat (4).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Kewajiban pemerintah untuk menyediaan pendanaan bagi
pendidikan juga dikuatkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana dalam

20
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (d), Program Indonesia Pintar,
Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panja PIP Komisi X
DPR RI tanggal 27 Mei 2015.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 63


Pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak antara lain untuk mendapatkan beasiswa
bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya dan mendapat biaya pendidikan bagi mereka yang
orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
Dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberi bantuan
biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik yang orang
tuanya atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya dan
dapat memberikan beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi.
Untuk mendukung pelaksanaan PIP ini, pemerintah telah
mengeluarkan dua peraturan. Pertama, Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Simpanan
Keluarga Sehat Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program
Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif. Instruksi
Presiden RI Nomor 7 Tahun 2014 lahir dalam rangka untuk
mendukung pelaksanaan PIP yang bertujuan untuk membangun
keluarga produktif. Adapun materi Instruksi Presiden tersebut
meliputi:
1. Meningkatkan koordinasi dengan Menteri Sosial, Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K),
dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dalam penetapan
sasaran PIP;
2. Menyediakan KIP sejumlah penerima PIP untuk siswa SD, SMP,
SMA, dan SMK;
3. Membayarkan manfaat PIP beserta tambahan manfaat lainnya
kepada siswa penerima PIP yang berada di sekolah yang dikelola
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
4. Melaksanakan sosialisasi secara intensif kepada penerima PIP;
5. Menjadi pengguna anggaran dalam pelaksanaan PIP di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
6. Melaporkan pelaksanaan PIP sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan kepada Menteri
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(Menko PMK).

64 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Kedua, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan. Peraturan ini lahir dalam upaya meningkatkan
efektivitas dan efisiensi program percepatan penanggulangan
kemiskinan sehingga perlu dilakukan upaya-upaya penajaman
program perlindungan sosial. Adapun materi Peraturan Presiden
tersebut meliputi:
1. Untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan, Pemerintah
menetapkan program perlindungan sosial yang meliputi
Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia
Pintar, dan Program Indonesia Sehat.
2. Untuk menjamin ketepatan sasaran program perlindungan
sosial maka pendataan dilaksanakan oleh Kementerian/
Lembaga Pemerintah Non- Kementerian terkait. Dalam hal PIP
maka pendataan dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
3. Dalam pelaksanaan program perlindungan sosial tersebut
Pemerintah menerbitkan kartu identitas bagi penerima program
perlindungan sosial salah satunya Kartu Indonesia Pintar untuk
penerima Program Indonesia Pintar.
4. Pemerintah akan membentuk Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan.
5. Pendanaan bagi pelaksanaan program percepatan
penanggulangan kemiskinan bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, dan sumber pendanaan lain yang tidak mengikat.
Sebelum dilaksanakannya PIP pada tahun 2015 ini, Pemerintah
juga telah melakukan beberapa program dalam rangka memberikan
bantuan pendanaan bagi anak/siswa didik yang tidak mampu.
Pertama, Program Beasiswa bagi Siswa Miskin diluncurkan pada
tahun 2005-2011 yang diperuntukkan bagi siswa SD, SMP, SMA,
dan SMK. Kriteria sasaran penerima dalam program ini adalah
penerima beasiswa berdasarkan indeks kemiskinan. Lembaga yang
menyalurkan bantuan adalah PT. Pos Indonesia. Kedua, Program
Beasiswa untuk Siswa Miskin pada jenjang SD, Program Subsidi
Siswa Miskin pada jenjang SMP, dan Program Bantuan Khusus Murid
SMA dan SMK. Program ini dilaksanakan pada tahun 2012 dengan

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 65


sasaran penerima diprioritaskan berdasarkan surat keterangan
miskin. Lembaga penyalur yang dipercaya adalah PT. Pos Indonesia.
Ketiga, Program Bantuan Siswa Miskin yang dilaksanakan pada
tahun 2013-2014. Sasaran penerima diprioritaskan untuk siswa
dari keluarga penerima KPS dan korban bencana. Selain PT. Pos
Indonesia, lembaga penyalur dana juga melalui Bank Pembangunan
Daerah dan Bank Rakyat Indonesia (BRI).

III. Tujuan, Kriteria Sasaran, dan Mekanisme Program


Indonesia Pintar
Kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang mendesak
dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan
yang sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi
beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak
melalui pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan
untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat. Berbagai
program ekonomi yang langsung menyentuh masyarakat memang
berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun
upaya memutus rantai kemiskinan akan lebih strategis melalui jalur
pendidikan.21 Sebagai salah satu program perlindungan sosial, PIP
memiliki tujuan yang lebih spesifik, yakni:
1. Menjamin anak usia 6-21 tahun mendapatkan layanan
pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah untuk
mendukung Wajib Belajar 12 Tahun.
2. Mencegah peserta didik putus sekolah atau tidak melanjutkan
pendidikan akibat kesulitan ekonomi.
3. Menarik siswa putus sekolah atau tidak melanjutkan agar
kembali mendapatkan layanan pendidikan di sekolah/madrasah/
pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM)/sanggar
kegiatan belajar (SKB)/lembaga kursus dan pelatihan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 12 Tahun 2015 tentang Program Indonesia Pintar, terdapat
kriteria sasaran dari PIP, yaitu:
1. Siswa/anak dari keluarga pemegang Kartu Perlindungan Sosial/
Kartu Keluarga Sejahtera (KPS/KKS).

Udiutomo, P., Syafi’ie, M., & Puspitasari, D., Bagai Pungguk Merindukan
21

Pendidikan Gratis, Bogor: Dompet Dhuafa – Makmal Pendidikan, 2015, hlm. 119.

66 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


2. Siswa/anak dari keluarga pemegang KPS/KKS/KIP yang belum
menerima BSM 2014.
3. Siswa/anak dari keluarga peserta Program Keluarga Harapan
(PKH) non- KPS.
4. Siswa/anak yang berstatus yatim piatu/yatim/piatu dari
panti sosial/panti asuhan.
5. Siswa/anak berusia 6 sampai dengan 21 tahun yang tidak
bersekolah (drop out) yang diharapkan kembali bersekolah.
6. Siswa/anak yang terkena dampak ekonomi akibat bencana alam.
7. Siswa dari keluarga miskin/rentan miskin yang terancam putus
sekolah atau siswa/anak dengan pertimbangan khusus lainnya
seperti:
a. Kelainan fisik, korban musibah, dari orang tua PHK, di
daerah konflik, dari keluarga terpidana, berada di LAPAS,
memiliki lebih dari 3 saudara yang tinggal serumah;
b. SMK yang menempuh studi keahlian kelompok bidang:
Pertanian (bidang Agrobisnis, Agroteknologi), Perikanan,
Peternakan, Kehutanan, dan Pelayaran/Kemaritiman.
8. Peserta pada lembaga kursus atau satuan pendidikan nonformal
lainnya.
Pelaksanaan PIP pada tahun 2015 tidak lagi melibatkan PT. Pos
Indonesia sebagai lembaga penyalur dana, melainkan hanya melibatkan
Bank BRI untuk jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMK serta Bank BNI
untuk jenjang pendidikan SMA. Kedua lembaga penyalur tersebut
akan menyediakan layanan Tabunganku, di mana layanan tersebut
memiliki fasilitas setoran awal nol rupiah, saldo minimum nol rupiah,
biaya administrasi bulanan nol rupiah, biaya transfer ke rekening
penerima nol rupiah, dan bunga nol persen. Adapun dasar penetapan
kedua lembaga tersebut sebagai lembaga penyalur dana PIP adalah
Perjanjian Kerja sama No. PDM-FUN/099-LG/2015 tanggal 22 Mei
2015 tentang Perjanjian Kerja sama PT. BNI (Persero) Tbk sebagai
Lembaga Penyalur Dana Bantuan Siswa Miskin/Program Indonesia
Pintar Sekolah Menengah Atas Tahun 201522, Perjanjian Kerja Sama


22
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Penyaluran Dana Bantua Siswa
Miskin/Program Indonesia Pintar (PIP), disampaikan dalam Rapat Dengar
Pendapat dengan Panitia Kerja Program Indonesia Pintar Komisi X DPR RI,
tanggal 15 Juni 2015.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 67


PT. BRI (Persero) Tbk dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
No.674/C2/KU/2015 & B.350-DIR/HBL.1/06/2015 tanggal 3 Juni
2015, Perjanjian Kerja sama PT. BRI (Persero) Tbk dengan Direktorat
Jenderal Pendidikan Sekolah Menengah Pertama No. 1185/C3/
KU/2015 & B.351-DIR/HBL.1/06/2015 tanggal 3 Juni 2015, dan
Perjanjian Kerja Sama PT. BRI (Persero) Tbk dengan Direktorat
Jenderal Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan No.2412/D3.5/
KU/2015 & B.352-DIR/HBL.1/06/2015 tanggal 3 Juni 2015.23
Mekanisme penggunaan KIP untuk mendapatkan bantuan
pendidikan pada tahun 2015 bagi siswa/peserta didik yang berada
di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedikit
berbeda dengan mekanisme penggunaan KIP bagi siswa/peserta
didik yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Adapun
mekanisme penggunaan KIP adalah sebagai berikut:24
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Pertama, siswa yang sudah memiliki KIP membawa kartu
tersebut ke sekolah tempat siswa tersebut terdaftar. Kedua, sekolah
akan mencatat data siswa tersebut dengan benar sesuai format,
merekapitulasi data semua siswa pemilik KIP dan mengirimkan
rekapitulasi tersebut ke Dinas Pendidikan dan Kankemenag
Kabupaten/Kota. Ketiga, setelah data diterima Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota mengirimkan semua hasil rekapitulasi sekolah di
Kabupaten/Kota tersebut ke Kemendikbud dengan menembuskan
ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi. Keempat,
Kemendikbud akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Penetapan
siswa penerima manfaat KIP dan mengirimkan SK tersebut ke Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota dan daftar penerima manfaat KIP ke
lembaga/bank penyalur yang ditunjuk. Kelima, Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota akan mengirimkan surat pemberitahuan dan daftar
penerima manfaat KIP ke sekolah serta lokasi dan waktu pengambilan
dana bantuan. Keenam, sekolah memberitahukan ke siswa/orang
23
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Jawaban Pokok-Pokok Rapat
Dengar Pendapat Umum Panitia Kerja Program Indonesia Pintar (PIP) Dengan
Bank BRI, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Kerja
Program Indonesia Pintar Komisi X DPR RI, tanggal 15 Juni 2015.
24
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (e), “Tanya Jawab Mengenai Kartu
Indonesia Pintar (KIP)”, (online), http://pengaduanpip.kemdikbud.go.id/faq.
php, diakses tanggal 30 Juli 2015.

68 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


tua waktu pengambilan dana bantuan. Ketujuh, siswa/orang tua
mengambil dana bantuan ke lembaga/bank penyalur yang ditunjuk.
2. Kementerian Agama
Pertama, siswa yang sudah memiliki KIP membawa
kartu tersebut ke madrasah tempat siswa tersebut terdaftar.
Kedua, untuk Madrasah Swasta, Kepala Madrasah mencatat
dan merekapitulasi siswa yang memiliki KIP dan siswa dari
keluarga penerima KPS/KKS berdasarkan format untuk kemudian
merekapitulasi nama siswa tersebut sebagai penerima manfaat
KIP. Ketiga, Kepala Madrasah Swasta membuat Surat Keputusan
(SK) Penetapan Siswa Penerima manfaat KIP, berita acara SK serta
Rekapitulasi Siswa Calon Penerima manfaat KIP dan mengirim
seluruh salinan format ke Kantor Kementerian Agama/Kankemenag
Kabupaten/Kota. Untuk Madrasah Negeri yang memiliki
DIPA/anggaran sendiri, rekapitulasi siswa penerima manfaat
KIP dikirimkan ke Kankemenag Kabupaten/Kota. Keempat,
Kankemenag Kabupaten/Kota merekapitulasi usulan siswa calon
penerima manfaat program dan menetapkan seluruh penerima
manfaat yang memiliki KIP serta anak/siswa dari keluarga KPS/
KKS yang belum menerima KIP. Kelima, menerbitkan SK Daftar
Siswa Calon Penerima manfaat KIP serta Rekapitulasi Siswa dan
kemudian mengirimkan seluruh salinan ke Kantor Wilayah/Kanwil
Kementerian Agama Provinsi. Keenam, Kanwil Kementerian Agama
Provinsi merekapitulasi siswa penerima manfaat dari Kankemenag
Kabupaten/Kota dan menetapkan seluruh penerima BSM yang
memiliki KIP serta anak/siswa dari keluarga KPS/KKS sebagai
penerima manfaat KIP. Ketujuh, Kanwil Kementerian Agama
Provinsi menerbitkan Surat Keputusan (SK) dan rekapitulasi
siswa penerima manfaat program kemudian mengirimkan salinan
SK ke Kankemenag Kabupaten/Kota untuk kemudian diteruskan
ke madrasah untuk diinformasikan kepada siswa penerima manfaat
program melalui KIP. Kedelapan, madrasah memberitahukan ke
siswa/orang tua waktu pengambilan dana bantuan. Kesembilan,
siswa/orang tua mengambil dana bantuan ke lembaga/bank
penyalur yang ditunjuk.
Dalam pelaksanaan PIP pemerintah pusat, khususnya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu untuk bekerja sama

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 69


dan berkoordinasi dengan pemerintahan daerah baik pemerintahan
provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota. Masing-masing
memiliki peran dan fungsi yang berbeda dalam pelaksanaan PIP.
Selain itu pemangku kepentingan, sekolah/lembaga pendidikan, dan
lembaga penyalur juga memiliki peran dan fungsinya sendiri dalam
pelaksanaan PIP. Ada pun peran dan fungsi pihak-pihak yang terkait
dengan PIP adalah sebagai berikut:25
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berperan untuk
menetapkan juknis; melakukan sosialisasi dan koordinasi; melakukan
identifikasi, kompilasi, dan sinkronisasi data; menetapkan SK
penerima; menetapkan lembaga penyalur; menginformasikan SK
penerima, melayani pengaduan; dan melakukan pemantauan dan
pelaporan.
2. Pemerintahan Provinsi
Pemerintahan provinsi memiliki peran untu melakukan
sosialisasi dan mengoordinasikan program; melakukan koordinasi
dan sinkronisasi program; mendorong anak usia sekolah 6-21 tahun
agar bersekolah; dan melakukan pemantauan.
3. Pemerintahan Kabupaten/Kota
Pemerintahan Kabupaten/Kota berperan untuk melakukan
sosialisasi dan koordinasi program; menyampaikan/mengetahui
calon penerima program; menyampaikan usulan dari sekolah/
lembaga pendidikan; melakukan pemantauan; dan melayani
pengaduan.
4. Pemangku Kepentingan
Pemangku kepentingan memiliki peran untuk mengusulkan
peserta didik calon penerima BSM/PIP; menyebarluaskan informasi;
memantau proses pelaksanaan BSM/PIP.
5. Sekolah/Lembaga Pendidikan
Sekolah/lembaga pendidikan berperan untuk melakukan
seleksi dan mengusulkan siswa/peserta didik melalui Dapodik;
menyampaikan informasi pencairan kepada siswa/peserta didik;
membuat surat keterangan untuk pengambilan dana; melakukan
pemantauan dan pengarahan program; menerima pendaftaran anak


25
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (d), Op.cit.

70 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


usia sekolah yang tidak bersekolah; dan memberikan persetujuan
atau penolakan atas pengajuan pencairan kolektif.
6. Lembaga Penyalur
Lembaga penyalur memiliki peran untuk menyampaikan
informasi pencairan kepada siswa/peserta didik melalui dinas
atau sekolah; meyalurkan dana manfaat; melakukan pelaporan
penyaluran; bertanggung jawab terhadap penyaluran; dan
melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan Kabupaten/Kota.

IV. Implementasi PIP dan Permasalahannya


Pada tahap awal pelaksanaan PIP di bulan November –
Desember 2014, pendistribusian KIP diberikan kepada 161.840
siswa di sekolah/madrasah di 19 Kabupaten/Kota yang telah
terdaftar sebagai penerima manfaat Program BSM Tahun Ajaran
2013/2014.26 Selanjutnya pada tahun 2015, penyaluran program ini
dilaksanakan secara bertahap, di mana tahap I dilaksanakan pada
bulan April 2015, tahap II dilaksanakan bulan Juni 2015, dan tahap III
dilaksanakan jika kuota tahap I dan tahap II tidak terpenuhi. Khusus
bagi anak/siswa yang terdampak korban bencana penyaluran
tidak dilakukan melalui pentahapan. Berikut tabel rencana tahap
penyaluran BSM/PIP tahun 2015.
Tabel 1. Rencana Tahap Penyaluran BSM/PIP Tahun 2015
JUMLAH
TAHAP LANGKAH DAN SUMBER DATA
SASARAN
Tahap I Penerima BSM tahun 2014 dari KPS (hasil 6.293.825
(April integrasi dengan BDT)
2015)
Siswa dari keluarga pemegang KPS/KKS yang 3.744.418
belum menerima BSM tahun 2014 dan sudah entry
(update data) ke Dapodik
Tahap II Siswa peserta PKH non-KPS 2.500.000
(Juni
Siswa dari panti sosial, siswa yatim dan/atau piatu 250.000
2015)
Anak usia sekolah (6-21 tahun per 2015) tidak 3.600.000
bersekolah yang diharapkan bersekolah


26
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (e), Op.Cit.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 71


Tahap III Siswa miskin usulan sekolah 1.432.027
(jika kuota
Tahap I
dan Tahap
II tidak
terpenuhi)
Non Tahap Siswa korban bencana 100.000
JUMLAH 17.920.270
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.

Jumlah manfaat yang disalurkan PIP melalui KIP masih sama


seperti jumlah manfaat pada Program BSM, dengan besaran dana
akan bervariasi sesuai dengan jenjang pendidikan. Pada jenjang
pendidikan Sekolah Dasar (SD) menerima dana sebesar Rp450.000,
jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) menerima dana sebesar
Rp750.000, dan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) menerima dana sebesar Rp1.000.000.27
Pada tahun 2015 ini diproyeksikan jumlah penerima PIP sebesar
20.371.843 anak dengan rincian 17.920.270 anak calon penerima
PIP dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan 2.451.573
anak calon penerima PIP dari Kementerian Agama.28
Selanjutnya, data penerima sasaran ditentukan berdasarkan
Data Pokok Pendidikan-Kebudayaan (Dapodik) yang merupakan
suatu sistem pengelolaan data pendidikan dan kebudayaan yang
terintegrasi, untuk menunjang tata kelola data dan informasi yang
terpadu.29 Dapodik merupakan konsep pengelolaan data pendidikan
yang bersifat terpadu sehingga program-program pembangunan
pendidikan dapat terarah dan akan mempermudah dalam menyusun
perencanaan, monitoring, dan evaluasi pembangunan pendidikan
dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang merata dan tepat
sasaran. Mekanisme alur data dan pengelolaan data dalam Dapodik
tergambar dalam Gambar 1.

27
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (d), Op. cit.
28
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (c), Op. Cit.
29
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (f), “Dapodik”, (online), http://
dapodik.data.kemdikbud.go.id/ diakses tanggal 2 Agustus 2015.

72 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.
Gambar 1. Alur Data dan Informasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Dapodik disusun sedemikian rupa sehingga data yang diperoleh
merupakan data yang sahih sesuai dengan kondisi di lapangan.
Untuk menjaga kualitas data, maka disusunlah tiga tahapan alur
data dan informasi yang dikelola oleh unit yang berbeda, tahapan
pengumpulan, pengelolaan (Quality Control), dan pendayagunaan.
Dalam alur data dan informasi, data dikumpulkan oleh
Direktorat Jenderal, kemudian diintegrasikan dan diverifikasi-
validasi oleh Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP). Semua data
harus berangkat dari data individual lembaga (satuan pendidikan),
individual pendidik dan tenaga kependidikan, dan individual peserta
didik. Selanjutnya data digunakan oleh unit yang terkait dalam
menyusun program-program pembinaan dan pembangunan.
Sebagai program pengembangan dan penyempurnaan yang baru
dilaksanakan di tahun ini, terdapat beberapa permasalahan yang
dihadapi PIP. Hal tersebut diungkapkan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan yang mengatakan adanya beberapa kendala, antara
lain persoalan data, mekanisme dan koordinasi, serta sinkronisasi
data.30 Persoalan verifikasi data penerima KIP terhambat pada
sulitnya sosialisasi PIP kepada masyarakat luas sehingga belum
sepenuhnya tersosisalisasi. Kondisi topografi Indonesia yang
banyak memiliki wilayah yang sulit dijangkau yang mengakibatkan
masih banyaknya wilayah yang menyulitkan sosialisasi PIP. Selain


30
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (g), Penjelasan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan pada Rapat Kerja Komisi X DPR RI, disampaikan pada rapat
kerja antara Menteri Keuangan dengan Komisi X DPR RI tanggal 10 Juni 2015.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 73


itu, pemasukan data ke dalam data Dapodik juga masih mengalami
kendala terutama untuk pendataan sasaran PIP anak usia sekolah
yang tidak bersekolah. Di samping itu, kartu berbasis keluarga yang
terdiri dari KKS, KIS, dan KIP perlu adanya sinkronisasi data antara
kementerian terkait bukan hanya Kemendikbud, dan dikarenakan
belum ada satu sistem utuh sehingga ini pun menjadi penghambat
tersebarnya KIP.
Dalam menghadapi berbagai hambatan tersebut, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah mengambil beberapa langkah
sebagai berikut:31
1. Memperbanyak saluran informasi dan sosialisasi melalui media
cetak dan elektronik, serta rapat koordinasi dengan pihak
terkait.
2. Menyediakan aplikasi Verifikasi Indonesia Pintar yang
terintegrasi dengan Dapodik sehingga memudahkan pengisian
di tingkat satuan pendidikan.
3. Berkoordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, lembaga-lembaga kursus dan pelatihan,
serta pemerintahan daerah.
4. Memberikan instruksi agar pada semua rapat koordinasi yang
dilaksanakan oleh Kementerian dengan pemerintahan daerah
akan diisi dengan pemberian informasi tentang pembagian
tugas antara Kementerian dan pemerintah daerah.
5. Mempercepat pemuktahiran data sasaran untuk pemesanan
pencetakan dan pengiriman kartu (KKS, KIS, dan KIP).
Selain permasalahan teknis tersebut, terdapat beberapa hal
yang perlu dikritisi dan dicarikan solusi untuk perbaikan program
ini, antara lain pertama, selain ditujukan untuk pendidikan formal,
juga menyasar pendidikan nonformal. Hal ini akan menimbulkan
permasalahan mengingat pendidikan nonformal banyak yang
belum terakreditasi atau belum terdaftar. Selain itu, lokasi belajar
pendidikan nonformal tersebut terkadang berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain.
Kedua, sasaran yang belum jelas dan tidak berdokumen seperti
keberadaan anak terlantar, secara prinsip eksistensi mereka nyata
namun secara administratif keberadaan anak terlantar tidak secara


31
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (g), Ibid.

74 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


jelas diketahui. Hal ini akan menimbulkan permasalahan dalam
pelaksanaan PIP bagi anak terlantar, mengingat sulitnya mendeteksi
keberadaan mereka, padahal ini juga menjadi kewajiban negara
dalam memenuhi hak dasar pendididikan.
Ketiga, kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan sulit
dijangkau menjadi kendala dalam penyaluran dana bagi masyarakat
di daerah terpencil. Dua lembaga penyalur yang ditunjuk, yakni Bank
BRI dan BNI belum tentu tersedia di kecamatan-kecamatan pelosok
dan terpencil, pemerintah tentunya harus dapat memastikan
penyaluran dana tersebut sampai pada semua anak usia sekolah
yang berhak mendapatkan bantuan.
Keempat, dipilihnya dua bank penyalur yakni Bank BRI dan
BNI juga menjadi kendala tersendiri mengingat masih banyak dari
masyarakat di Indonesia yang belum memahami dan menggunakan
jasa bank. Masyarakat Indonesia yang memiliki akses ke formal
institusi keuangan, khususnya perbankan hanya mencapai 49
persen dari populasi.32 Survei yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun
2011 bahkan menyatakan bahwa hanya 20 persen orang dewasa
di Indonesia yang memiliki rekening di bank. Hal senada juga
disampaikan oleh Bank Indonesia dalam survei Neraca Keuangan
Rumah Tangga di tahun 2011 menyebutkan bahwa hanya 48 persen
rumah tangga yang memiliki rekening di bank.33 Berdasarkan data
tersebut, lebih dari setengah penduduk di Indonesia yang belum
memahami dan menggunakan jasa perbankan, sementara industri
perbankan merupakan industri yang rigid dan kompleks dalam
aturan tata kelola perusahaan. Dengan demikian dikhawatirkan
akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi masyarakat yang akan
mencairkan dananya.
Kelima, dan yang terpenting adalah peningkatan akses
pendidikan melalui PIP harus diiringi dengan peningkatan mutu
pendidikan Indonesia. Negara telah berupaya untuk memberikan


32
Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, National Strategy for Financial
Inclusion Fostering Economic Growth and Accelerating Poverty Reduction,
Jakarta: Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, 2012, hlm. 3.

33
Bank Indonesia, Financial Inclusion Development Policy in Indonesia, (online),
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/presentation/wcms_216688.pdf, diakses tanggal 2
Agustus 2015.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 75


yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan dasar agar warga negara
dipastikan memperoleh pendidikan dasar untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Akan tetapi, hal tersebut juga perlu didukung
juga dengan pendidikan bermutu yang disediakan, baik dalam
pendidikan formal maupun nonformal yang diusung dalam PIP ini.
Yang dikhawatirkan tujuan awal program ini adalah agar semua
anak usia sekolah memperoleh pendidikan yang merata akan tetapi
satuan pendidikannya sendiri tidak siap sehingga justru menjadikan
kualitas pendidikan menjadi buruk. Kualitas pendidikan suatu
negara juga menjadi kunci keberhasilan negara tersebut dalam
melaksanakan pembangunan. Manfaat pendidikan selain bernilai
intrinsik juga bernilai ekstrinsik.34 Keuntungan dapat dirasakan
tidak hanya untuk individu yang bersangkutan (individual benefits)
melainkan juga untuk masyarakatnya (sosial benefits). Realitas di
lapangan masalah kuantitas dan kualitas satuan pendidikan saat
ini merupakan hal yang sangat dilematis. Sebagai contoh, idealnya
suatu sekolah SD memiliki enam orang guru kelas, dua guru bidang
studi, satu kepala sekolah, dan satu pesuruh.35 Namun kenyataannya,
di banyak pedesaan di Indonesia jumlah guru SD hanya sekitar
3-4 orang, bahkan ada satu guru untuk satu sekolah merangkap
juga sebagai pesuruh. Namun di lain pihak, di daerah perkotaan
dengan sarana dan prasarana yang baik, terjadi penumpukan guru.
Guru SD di perkotaan bisa mencapai 11-14 orang guru dan kepala
sekolah.36 Dengan demikian pemerataan guru antara di pedesaan
dan di perkotaan masih terdapat kesenjangan yang sangat besar
sehingga berpengaruh pada kesenjangan kualitas pendidikan antara
di pedesaan dengan di perkotaan.
Hal lain yang penting dalam menunjang kualitas pendidikan
adalah tersedianya sarana dan prasarana atau fasilitas pendukung
pendidikan. Salah satu fasilitas pendukung pendidikan adalah
ketersediaan bangunan sekolah. Namun pada kenyataannya, masih
banyak kondisi sekolah yang sangat memprihatinkan dan rawan
ambruk sehingga mengancam keselamatan siswa didik. Salah satu


34
Suhardan, Dadang, Riduwan, dan Enas, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan,
Bandung: Alfabeta, 2012, hlm. 16.
35
Dharmaningtyas, “Guru Kontrak Memboroskan Anggaran”, Kompas, 22
Agustus 2002.
36
Chan, S.M. & Sam, T.T., Op. Cit, hlm. 57-58.

76 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


contoh adalah ambruknya sekolah SMP Negeri 1 Sampang pada
bulan November 2014 lalu yang menyebabkan 17 orang mengalami
luka-luka.37 Tahun 2013 lalu, data Kementerian dan Kebudayaan
menyebutkan bahwa masih terdapat 5.325 ruang kelas yang rusak
berat.38
Untuk melakukan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia,
diperlukan suatu kebijakan yang luar biasa dalam bentuk reformasi
pendidikan. Beberapa langkah yang harus dilakukan untuk
mereformasi kebijakan pendidikan di Indonesia yaitu:39
1. Komitmen Politik
Pendidikan hendaknya jangan hanya dijadikan sebagai
komoditas orasi politik, tetapi merupakan suatu komitmen dan
prioritas yang harus dilaksanakan. Pendidikan yang bermutu
memerlukan dana memadai dan pengelolaan yang terbuka. Dengan
demikian semua unsur yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan
bermutu perlu diperhatikan, antara lain mutu guru, tersedianya alat
bantu, buku-buku yang mudah didapat, dan bangunan pendidikan
yang memadai.
2. Reformasi Birokrasi
Berdasaran penelitian Bank Dunia, birokrasi pendidikan di
Indonesia termasuk yang terbesar di mana 1,8 juta pegawai birokrasi
menangani 2,7 juta tenaga pendidikan. Birokrasi yang demikian
besar tentu dipertanyakan profesionalisme sekaligus efisiensinya.
3. Pemetaan Pendidikan
Keadaan mutu pendidikan di berbagai daerah di Indonesia
sangat beragam. Hal ini tercermin dari pelaksanaan ujian nasional
dalam beberapa tahun ini. Namun demikian, fungsi ujian nasional
tidak memberikan gambaran apa-apa mengenai peta permasalahan
pendidikan nasional. Ujian nasional lebih memfokuskan pada


37
Antaranews, “Dua Gedung Sekolah di Sampang Ambruk”, 29 November 2014,
(online), http://www.antaranews.com/berita/466869/dua-gedung-sekolah-
di-sampang-ambruk, diakses tanggal 2 Agustus 2015.
38
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (h), “Target 2014, Seluruh Ruang
Kelas Berat Direhabilitasi”, 31 Desember 2013, (online), http://www.
kemdiknas.go.id/kemdikbud/node/1981, diakses tanggal 2 Agustus 2015.
39
Teguh Wiyono, Rekontruksi Pendidikan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, hlm. 107.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 77


angka-angka kelulusan yang nota bene masih rendah di mana
manfaatnya bukan untuk peserta didik. Ujian nasional seharusnya
berfungsi sebagai pemetaan keadaan pendidikan secara nasional
dan berdasarkan peta tersebut dirumuskanlah kebijakan-kebijakan
yang lebih tepat untuk memecahkan masalah bagi peningkatan
mutu pendidikan nasional.
4. Hubungan Pendidikan dan Kebudayaan
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang
saling membutuhkan atau interaktif. Pendidikan adalah proses
pemanusiaan yang terjadi dalam hubungan antara manusia.
Dalam hubungan antar-manusia itulah terjadinya suatu budaya.
Namun kondisi saat ini pendidikan telah memberikan prioritas
kepada pengembangan akal dan mengabaikan nilai-nilai luhur
yang ada dalam kebudayaan Indonesia. Intelektualisme telah
mengalahkan pendidikan budi pekerti yang tidak mendapat tempat
di dalam kurikulum, pendidikan agama telah berubah menjadi
pengajaran agama yang dapat diujikan. Untuk itulah diperlukan
membangun kembali hubungan integratif antara pendidikan dan
kebudayaan sehingga menjadikan proses pendidikan sebagai proses
pembudayaan.

V. Penutup
Pendidikan merupakan salah satu modal dalam membangun
suatu bangsa selain modal ekonomi dan modal sosial. Selain itu,
pendidikan juga merupakan hak dasar bagi setiap warga negara
Indonesia sebagaimana telah dituangkan dalam UUD 1945 yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan serta warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dalam rangka untuk
melaksanakan kewajibannya, pemerintahan baru telah meluncurkan
program penanggulangan kemiskinan di mana di dalamnya terdapat
Program Indonesia Pintar.
Program ini adalah suatu program pemberian bantuan tunai
pendidikan kepada anak usia sekolah yang berasal dari keluarga
kurang mampu yang ditujukan salah satunya untuk meningkatkan
akses bagi anak-anak berusia sekolah (6-21 tahun) guna mendapatkan
layanan pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah.

78 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Pada tahap awal pelaksaan PIP di bulan November-Desember
2014, KIP diberikan kepada 161 ribu siswa yang selanjutnya secara
bertahap dengan target penyaluran hingga kepada 17.920 ribu anak
calon penerima PIP dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dan 2.451 ribu anak calon penerima PIP dari Kementerian Agama.
Dalam pelaksanaan PIP, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengalami beberapa kendala seperti masalah pada
verifikasi data sasaran calon penerima, mekanisme koordinasi
dengan instansi terkait di tingkat daerah belum maksimal, dan
sinkronisasi data antara Kementerian/Lembaga terkait yang
belum optimal dalam program KKS, KIS, dan KIP. Namun demikian,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan
berbagai upaya agar program ini dapat berhasil dengan baik, seperti
memperbanyak saluran informasi dan sosialisasi melalui media
cetak dan elektronik, menyediakan aplikasi Verifikasi Indonesia
Pintar yang terintegrasi dengan Dapodik, berkoordinasi dengan
Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
lembaga-lembaga kursus dan pelatihan, serta pemerintahan daerah.
Meski program ini mendukung perluasan akses pendidikan
bagi masyarakat, namun terdapat beberapa hal yang perlu tetap
mendapat perhatian sebagai upaya untuk perbaikan program ini
ke depan antara lain: perhatian terhadap pendidikan nonformal,
sasaran anak yang secara kehadiran nyata namun secara
administratif sulit dicari agar tetap mendapat perhatian juga. Kondisi
geografis Indonesia yang sangat luas dan sulit dijangkau sementara
lembaga penyalur belum tentu tersedia di seluruh daerah-daerah,
khususnya daerah terpencil. Permasalahan lain adalah lebih dari 50
persen penduduk Indonesia yang belum memiliki akses ke sektor
perbankan, sementara lembaga penyalur hanya Bank BRI dan BNI
akan menimbulkan kesulitan tersendiri di lapangan. Selain itu,
upaya pemerataan akses pendidikan juga perlu memerhatikan
peningkatan mutu pendidikan itu sendiri, penyiapan guru, sarana,
dan prasarana serta upaya lain untuk terus meningkatkan mutu
pendidikan harus terus dilakukan.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 79


DAFTAR PUSTAKA

Antaranews, “Kemendikbud: Wajib Belajar 12 Tahun dimulai 2016”,


23 Juni 2015, http://www.antaranews.com/berita/503076/
kemendikbud-wajib-belajar-12-tahun-dimulai-2016, diakses
tanggal 30 Juli 2015.
Antaranews, “Dua Gedung Sekolah di Sampang Ambruk”, 29
November 2014, (online), http://www.antaranews.com/
berita/466869/dua-gedung-sekolah-di-sampang-ambruk,
diakses tanggal 2 Agustus 2015.
Bank Indonesia, Financial Inclusion Development Policy in Indonesia,
(online), http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---
asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/presentation/
wcms_216688.pdf, diakses tanggal 2 Agustus 2015.
Chan, S.M. & Sam, T.T., Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dharmaningtyas, “Guru Kontrak Memboroskan Anggaran”, Kompas,
22 Agustus 2002.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014
tentang Pelaksanaan Simpanan Keluarga Sehat Sejahtera,
Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk
Membangun Keluarga Produktif.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (a), Pendidikan
Menengah Universal 12 Tahun, disampaikan dalam rapat kerja
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 6 Maret
2012.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (b), “Siapa saja sasaran
penerima KIP”, (online), http://pengaduanpip.kemdikbud.
go.id/index.php, diakses tanggal 29 Juli 2015.

80 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (c), Program Indonesia
Pintar (PIP) Melalui Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun,
disampaikan dalam kegiatan Rembuk Nasional Pendidikan dan
Kebudayaan, Depok, 29-31 Maret 2015.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (d), Program Indonesia
Pintar, Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan
Panja PIP Komisi X DPR RI tanggal 27 Mei 2015.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (e), “Tanya Jawab Mengenai
Kartu Indonesia Pintar (KIP)”, (online), http://pengaduanpip.
kemdikbud.go.id/faq.php, diakses tanggal 30 Juli 2015.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (f), “Dapodik”, (online), http://
Dapodik.data.kemdikbud.go.id/ diakses tanggal 2 Agustus 2015.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (g), Penjelasan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada Rapat Kerja Komisi X DPR RI,
disampaikan pada rapat kerja antara Menteri Keuangan dengan
Komisi X DPR RI tanggal 10 Juni 2015.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (h), “Target 2014, Seluruh
Ruang Kelas Berat Direhabilitasi”, 31 Desember 2013, (online),
http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/node/1981, diakses
tanggal 2 Agustus 2015.
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Rancangan Awal
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019:
Buku II Agenda Pembangunan Bidang, Jakarta: Kementerian
Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Metronews, “Di Brebes, Ribuan Anak Masih Putus Sekolah”, 5
Agustus 2015, (online), http://jateng.metrotvnews.com/
read/2015/08/05/418496/di-brebes-ribuan-anak-masih-
putus-sekolah, diakses tanggal 30 Juli 2015.
Midgley, J., Social Development: Theory and Practice, London: Sage
Publication, 2014.
Mohammad Saroni (a), Orang Miskin Harus Sekolah, Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media Grup, 2010.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 81


Mohammad Saroni (b), Pendidikan Untuk Orang Miskin, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media Grup, 2013.
Okezone, “5.000 Anak di Bojonegoro Putus Sekolah”, 17 Juni 2015,
(online), http://news.okezone.com/read/2015/07/17/340/118
2901/5-000-anak-di-bojonegoro-putus-sekolah, diakses tanggal
30 Juli 2015.
Ni Ayu Krisna Dewi, Anjuman Zukhri, dan I Ketut Dunia, Analisis
Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Usia Pendidikan
Dasar Di Kecamatan Gerokgak Tahun 2012-2013, E-Journal
Undiksha Vol.4 No.1 Tahun 2014, (online), http://ejournal.
undiksha.ac.id/index.php/JJPE/article/viewFile/1898/1650,
diakses tanggal 30 Juni 2015.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 166 Tahun 2014
tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008
tentang Wajib Belajar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008
tentang Pendanaan Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun
2015 tentang Program Indonesia Pintar.
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Penyaluran Dana Bantua
Siswa Miskin/Program Indonesia Pintar (PIP), disampaikan
dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Kerja Program
Indonesia Pintar Komisi X DPR RI, tanggal 15 Juni 2015.
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Jawaban Pokok-Pokok
Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Kerja Program Indonesia
Pintar (PIP) Dengan Bank BRI, disampaikan dalam Rapat Dengar
Pendapat dengan Panitia Kerja Program Indonesia Pintar Komisi
X DPR RI, tanggal 15 Juni 2015.
Resi Anggun Sutiasnah, Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah:
Studi Madrasah Ibtidayah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Nurul Wathan Pusaran 8 Kecamatan Enok Kabupaten Indragiri
Hilir, Jurnal Jom Fisip, Vol. 2 No. 1, Februari 2015.

82 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, National Strategy for
Financial Inclusion Fostering Economic Growth and Accelerating
Poverty Reduction, Jakarta: Sekretariat Wakil Presiden Republik
Indonesia, 2012.
Suhardan, Dadang, Riduwan, dan Enas, Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2012.
Suyono, H., Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya, (online),
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=85850, diakses tanggal
29 Juli 2015.
Teguh Wiyono, Rekontruksi Pendidikan Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Udiutomo, P., Syafi’ie, M., & Puspitasari, D., Bagai Pungguk
Merindukan Pendidikan Gratis, Bogor: Dompet Dhuafa – Makmal
Pendidikan, 2015.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
United Nations (a), Report of the World Commission on Environment
and Development: Our Commen Future, (online), http://www.
un-documents.net/our-common-future.pdf, diakses tanggal 29
Juli 2015.
United Nations (b), Resolution adopted by the General Assembly 60/1.
2005 World Summit Outcome, (online), http://www.un.org/
womenwatch/ods/A-RES-60-1-E.pdf, diakses tanggal 29 Juli 2015.
Unicef, Indonesia: Laporan Tahunan 2012, (online), http://
www.unicef.org/indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_
(Ind)_130731.pdf, diakses tanggal 17 Juni 2015.
World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2014-
2015, (online), http://www3.weforum.org/docs/WEF_Global
CompetitivenessReport_2014-15.pdf, diakses tanggal 30 Juni
2015.

Program Indonesia Pintar dan Pembangunan Berkelanjutan 83


BAB IV
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
BERBASIS PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH
MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Dinar Wahyuni

I. Pendahuluan
Munculnya gagasan pembangunan berkelanjutan bermula ketika
sistem perekonomian global mengakibatkan munculnya kesenjangan
sosial, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan. Ancaman kehancuran
ekosistem diperparah dengan perubahan iklim global akibat aktivitas
industri yang terus berlangsung. Sistem perekonomian tidak dapat
berhenti, namun dapat berganti arah sehingga keberlanjutan
lingkungan masih terjaga untuk generasi yang akan datang. Dalam
kondisi demikian, pembangunan berwawasan lingkungan yang
berkelanjutan menjadi penting untuk dikaji.
Dalam perkembangannya, peta jalan menuju pembangunan
berkelanjutan mulai menunjukkan hasil. Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Bumi yang berlangsung di Rio de Jeneiro tahun 1992 telah
menghasilkan lima dokumen yang terdiri dari dua kesepakatan
internasional, yakni dua pernyataan tentang prinsip dan sebuah
agenda langkah utama tentang pembangunan berkelanjutan di
seluruh dunia.1 Wujud dokumen tersebut adalah Deklarasi Rio
tentang lingkungan dan pembangunan dengan 27 asas serta Agenda
21 tentang cara mengupayakan pembangunan berkelanjutan dari
segi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup menjelang abad 21.
Seruan untuk menginternalisasi lingkungan ke dalam
pembangunan terus dilakukan dalam berbagai pertemuan


1
Surna Tjahja Djajadiningrat dan Sutanto Hardjolukito, Demi Bumi, Demi Kita,
Dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau, Jakarta: Media
Indonesia Publishing, 2013, hlm. 34.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 85


internasional bertema lingkungan. KTT Milenium pada bulan
September 2000 misalnya, menghasilkan kesepakatan MDGs
dengan delapan goals, di mana goal ke-7 terkait isu lingkungan
hidup. Kemudian KTT MDGs di New York tahun 2010 mencetuskan
pemikiran konsep New Development Agenda Post-2015 untuk
pertama kalinya. Selanjutnya KTT Pembangunan Berkelanjutan di Rio
de Jeneiro pada tahun 2012 (Rio+20) juga menghasilkan dokumen
“The Future We Want” yang mencantumkan Sustainable Development
Goals (SDGs) dan agenda pembangunan pasca-2015 sebagai agenda
sidang. Salah satu isu penting yang dibahas adalah pemberantasan
kemiskinan sebagai tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat
ini dan syarat mutlak bagi pembangunan berkelanjutan.2 Karena
itu, Rio+20 menegaskan kembali komitmen untuk membebaskan
manusia dari kemiskinan sebagai hal yang mendesak.
Bagi Indonesia, dokumen hasil KTT+20 menjadi rujukan bagi
pelaksanaan pembangunan nasional. Pemerintah menindaklanjuti
kesepakatan tersebut dengan pengarustamaan pembangunan
berkelanjutan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah
Nasional (RPJMN). Salah satu agenda RPJMN 2015-2019 adalah
pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah
dan desa-desa melalui peletakan dasar dimulainya desentralisasi
asimetris, pemerataan pembangunan antar-wilayah terutama
kawasan Indonesia timur, dan penanggulangan kemiskinan.
Kemiskinan telah menjadi isu global yang mendesak untuk
ditangani. Meski angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan
penurunan, namun kesenjangan antar-penduduk semakin lebar.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah diupayakan
walau hasilnya tidak selalu menggembirakan. Beberapa pengamat
berpendapat bahwa selama ini program-program penanggulangan
kemiskinan yang ada masih sebatas pemberian bantuan sosial,
misalnya penyediaan beras bersubsidi untuk masyarakat miskin
(raskin). Raskin merupakan subsidi pangan dalam bentuk beras yang
diperuntukkan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Tujuan
dari raskin untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga
sasaran melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok


2
Open Working Group proposal for Sustainable Development Goals, https://
sustainabledevelopment.un.org/sdgsproposal, diakses 4 September 2015.

86 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


dalam bentuk beras dan mencegah penurunan konsumsi energi dan
protein.3 Program bantuan sosial yang lain adalah Bantuan Langsung
Tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan harga BBM yang
digulirkan tahun 2005. Efektivitas pelaksanaan BLT berdasarkan
berbagai pemantauan mencapai hampir 55 persen. Namun program
ini terbukti belum mampu menekan angka kemiskinan pada saat itu.
Data BPS menunjukkan terjadinya peningkatan angka kemiskinan
sebesar 3,95 juta orang sepanjang tahun 2005 sampai 2006.4 Dalam
jangka panjang, bantuan yang bersifat charity akan menimbulkan
ketergantungan sehingga ketika program bantuan sosial telah selesai,
tidak ada keberlanjutan program. Oleh karena itu, diperlukan upaya
perubahan secara menyeluruh dalam penanggulangan kemiskinan.
Pemberdayaan muncul sebagai solusi alternatif dalam
penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan bisa dilakukan melalui
berbagai bidang seperti pendidikan, lingkungan, maupun kesehatan.
Tulisan ini ingin mengkaji lebih jauh tentang upaya penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan Komite Sekolah menuju
pembangunan berkelanjutan. Pendidikan dipilih dalam implementasi
pembangunan berkelanjutan karena merupakan instrumen kuat
yang efektif untuk menggerakkan bangsa ke arah kemajuan secara
lebih berkelanjutan.

II. Memaknai Konsep Kemiskinan


Kemiskinan mempunyai definisi yang sangat beragam. Secara
umum kemiskinan adalah kondisi di mana seseorang tidak memiliki
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Definisi yang lebih
lengkap tentang kemiskinan dikemukakan oleh John Friedman.
Menurut Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk
mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial
itu menurut Friedman meliputi: pertama, modal produktif atas
aset, misalnya tanah perumahan, peralatan, dan kesehatan; kedua,
sumber keuangan, seperti pendapatan dan kredit yang memadai;


3
Raskin, Beras Bersubsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, http://
www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-i/beras-bersubsidi-bagi-
masyarakat-berpenghasilan-rendah-raskin/, diakses 25 Agustus 2015.

4
Program BLT Tak Menekan Angka Kemiskinan, http://www.indosiar.com/
fokus/program-blt-tak-menekan-angka-kemiskinan_69766.html, diakses 25
Agustus 2015.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 87


ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk
mencapai kepentingan bersama, seperti koperasi; keempat, jaringan
sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan
dan ketrampilan yang memadai; dan kelima, informasi-informasi
yang berguna untuk kehidupan.5
Berdasarkan beberapa tinjauan tentang konsep kemiskinan,
kemiskinan dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu kemiskinan
absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, dan kemiskinan
kultural. Kemiskinan absolut merupakan tingkat ketidakberdayaan
individu atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum
untuk dapat bertahan hidup seperti pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kemiskinan relatif terkait
dengan kesenjangan distribusi pendapatan dengan rata-rata
distribusi, di mana pendapatan individu berada pada posisi di atas
garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat pendapatan masyarakat sekitarnya.6 Berbeda dengan dua
konsep sebelumnya, kemiskinan struktural lebih terkait dengan
faktor-faktor ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik.7 Kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat
mengakibatkan ketimpangan pendapatan. Sementara kemiskinan
kultural lebih pada sikap dan perilaku individu atau masyarakat
yang dipengaruhi oleh faktor budaya seperti malas, boros, dan tidak
kreatif yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan. Selain empat
dimensi tersebut, kajian Bank Dunia pada tahun 2007 membuktikan
bahwa kemiskinan di Indonesia menampilkan sisi lain dari fenomena
kemiskinan yaitu kemiskinan rentan.8
Menyadari kompleksitas persoalan kemiskinan, maka kebijakan
penanggulangan kemiskinan perlu memerhatikan berbagai dimensi
kemiskinan. Bagong Suyanto membagi kebijakan pengentasan


5
Chambers dalam Bagong Suyanto, Anatomi Kemiskinan dan Strategi
Penanganannya; Fakta Kemiskinan Masyarakat Pesisir, Kepulauan, Perkotaan
dan Dampak dari Pembangunan di Indonesia, Malang: Intrans Publishing,
2013, hlm. 2.

6
Oos M. Nawas, Pemberdayaan Masyarakat Di Era Global, Bandung: Alfabeta,
2014, hlm. 84.

7
Moch. Nurhasim, et al., Model Kebijakan yang Memihak Kelompok/Orang
Miskin Berbasis Good Governance, Jakarta: LIPI Press, 2014, hlm. 19.

8
Ibid.

88 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


kemiskinanmenjaditigakelompok,yakni:kelompokfilantropis,reformis,
dan revolusioner. Kelompok filantropis tidak memandang kemiskinan
dari struktur dan kelembagaan dalam masyarakat. Menurut kelompok
ini untuk meningkatkan keadaan masyarakat miskin dilakukan melalui
upaya kemanusiaan secara langsung tanpa mengubah lembaga
dan struktur yang ada. Sedangkan kelompok reformis memandang
bahwa kesalahan berfungsinya sistem kemasyarakatan yang menjadi
penyebab sosial genetis dari kemalangan ekonomi, keterbelakangan
sosial, dan kultur rakyat. Karena itu untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat miskin cukup dengan memperbaiki sistem sosial yang ada.
Lain halnya dengan kelompok revolusioner yang berpandangan bahwa
kemiskinan disebabkan oleh sistem sosial dan kelembagaan yang ada.
Dengan pandangan itu, kelompok ini mencoba mengembangkan suatu
program transportasi atas sistem sosial dan basis ekonominya ke atas.9

III.
Kemiskinan dan Pendidikan dalam Pembangunan
Berkelanjutan
Sebelum membahas tentang kaitan antara pemberdayaan dan
pembangunan berkelanjutan, terlebih dahulu akan didefinisikan
konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan
didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan
masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang. Dalam
pengertian tersebut terdapat dua gagasan penting, yakni kebutuhan
terkait kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan
manusia, dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi
teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.10 Karena itu,
pemanfaatan sumber daya alam harus didasarkan pada pemahaman
akan kompleksnya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial.
Pembangunan dilaksanakan dengan pendekatan integratif antara
ketiga elemen, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan secara dinamis.


9
Bagong Suyanto, Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya; Fakta
Kemiskinan Masyarakat Pesisir, Kepulauan, Perkotaan dan Dampak dari
Pebangunan di Indonesia, Malang: Intrans Publishing, 2013, hlm. 8.
10
Surna Tjahja Djajadiningrat&Sutanto Harjdjolukito, Demi Bumi Demi Kita, Dari
Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau, Jakarta: Media Indonesia
Publishing, 2013, hlm. 60.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 89


Konsep pembangunan berkelanjutan belum final disepakati. Namun
demikian, usulan target pencapaian pembangunan berkelanjutan yang
telah disepakati dalam Rio+20 adalah sebagai berikut:11
1. Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana-mana.
2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan
peningkatan gizi, dan mempromosikan pertanian berkelanjutan.
3. Pastikan hidup sehat dan mempromosikan kesejahteraan bagi
semua pada segala usia.
4. Menjamin kualitas pendidikan inklusif dan adil dan
mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup untuk
semua.
5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua
perempuan dan anak perempuan.
6. Memastikan ketersediaan dan pengelolaan yang berkelanjutan
air dan sanitasi untuk semua.
7. Menjamin akses ke energi yang terjangkau, dapat diandalkan,
berkelanjutan, dan modern untuk semua.
8. Mempromosikan pertumbuhan yang berkelanjutan, inklusif dan
berkelanjutan ekonomi, kesempatan kerja penuh dan produktif
dan pekerjaan yang layak untuk semua.
9. Membangun infrastruktur tangguh, mempromosikan
industrialisasi inklusif dan berkelanjutan, dan mendorong inovasi.
10. Mengurangi ketimpangan dalam dan di antara negara-negara.
11. Membuat kota-kota dan pemukiman manusia inklusif, aman,
tangguh, dan berkelanjutan.
12. Pastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan.
13. Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim
dan dampaknya.
14. Melestarikan dan berkelanjutan menggunakan samudera, laut,
dan sumber daya kelautan untuk pembangunan berkelanjutan.
15. Melindungi, memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan
berkelanjutan ekosistem darat, berkelanjutan mengelola hutan,
memerangi desertifikasi, dan menghentikan dan membalikkan
degradasi lahan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman
hayati.

Sutainable Development Goals, https://sustainabledevelopment.un.org/


11

unsystem, diakses 13 Agustus 2015.

90 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


16. Mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk
pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap
keadilan bagi semua dan membangun institusi yang efektif,
akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.
17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan
global untuk pembangunan berkelanjutan.
Dari target-target pencapaian pembangunan berkelanjutan
tersebut, kemiskinan merupakan masalah utama yang harus segera
ditangani. Salah satu strategi untuk menanggulangi kemiskinan
adalah melalui peningkatan kualitas pendidikan. Dengan demikian
kemiskinan dan pendidikan merupakan dua hal yang saling
terkait dalam mencapai target SDGs. Upaya meningkatkan kualitas
pendidikan dapat diwujudkan melalui pemberdayaan dalam
pendidikan. Salah satu bentuknya adalah melalui pemberdayaan
Komite Sekolah.
Desentralisasi pendidikan telah memberikan kewenangan
bagi sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan di tingkat
sekolah sesuai karakteristik dan kebutuhan masyarakat. Konsep
ini memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat yang dapat
diwujudkan melalui Komite Sekolah. Komite Sekolah merupakan
wahana yang menjembatani hubungan tripusat pendidikan, yaitu
sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia. Untuk mengoptimalkan peran tersebut,
dilakukan pemberdayaan Komite Sekolah. Dengan demikian
pemberdayaan Komite Sekolah akan mendukung peningkatan mutu
layanan pendidikan yang berkelanjutan.

IV. Pemberdayaan Komite Sekolah


Istilah pemberdayaan pada awalnya dipakai dalam bidang
pendidikan non-formal oleh Kindervatter, yaitu proses peningkatan
warga belajar untuk ikut dalam pengambilan keputusan, sumber-
sumber daya yang berpengaruh pada kehidupan mereka.
Kindervatter memberikan batasan pemberdayaan pada produk
akhir proses pemberdayaan, yaitu masyarakat memperoleh
pemahaman dan mampu mengontrol daya sosial, ekonomi, dan
politik agar bisa meningkatkan kedudukannya di masyarakat. Dalam
hal ini, peningkatan kedudukan di masyarakat meliputi akses, daya

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 91


pengungkit (daya tawar kolektif), pillihan-pilihan (memiliki peluang
untuk memilih), status, kemampuan refleksi kritis (memanfaatkan
pengalaman untuk mengukur potensi keunggulan yang dimiliki atas
berbagai peluang pilihan dalam pemecahan masalah), legitimasi
(ada pertimbangan ahli yang membenarkan terhadap alasan-
alasan rasional atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat), displin
(menetapkan standar mutu untuk pekerjaan yang dilakukan orang
lain), dan persepsi kreatif (pandangan yang lebih positif dan inovatif
terhadap hubungan diri dan lingkungannya).12
Berbeda dengan Kindervatten, Wallerstein memandang
pemberdayaan sebagai proses aksi sosial yang meningkatkan partisipasi
orang, organisasi, dan masyarakat menuju tujuan meningkatnya
pengawasan individu dan masyarakat, memperbaiki kehidupan
masyarakat, dan keadilan sosial.13 Dengan demikian pemberdayaan
merupakan proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan
merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan keberdayaan
kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, sebagaimana
diungkapkan Payne, pemberdayaan bertujuan untuk keadilan sosial
dengan memberikan ketenteraman kepada masyarakat yang lebih besar
serta persamaan politik dan sosial melalui upaya saling membantu dan
belajar melalui pengembangan langkah kecil guna tercapainya tujuan
yang lebih besar.14 Dalam konteks ini, pemberdayaan tidak hanya
menekankan pada hasil, tetapi lebih pada proses.
Dalam pemberdayaan, partisipasi merupakan syarat utama
berlangsungnya proses pemberdayaan. Hal ini sejalan dengan
pandangan Mikkelsen yang menggambarkan partisipasi sebagai proses
pemberdayaan. Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dalam
proses mengidentifikasi masalah dan potensi yang ada, memilih dan
mengambil keputusan tentang solusi dari masalah yang dihadapi,
melaksanakan keputusan tersebut dan mengevaluasi perubahan yang
terjadi.15 Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat dalam pendidikan
12
Karna Sobahi & Cucu Suhana, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pendidikan Di
Era Otonomi Daerah, Bandung: Cakra, 2011, hlm. 95.
13
Ibid, hlm. 95.
14
Payne dalam Alfitri, Community Development: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 23.

15
Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 2008, hlm. 108-111.

92 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah. Komite Sekolah mewakili
orang tua murid sebagai patner sekolah dalam penyelenggaraan
pendidikan sehingga dapat selaras dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat. Mengingat peran Komite Sekolah yang cukup besar, maka
perlu dilakukan pemberdayaan. Tujuannya, agar Komite Sekolah dapat
melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal.
Dari beberapa kajian konsep pemberdayaan, teori yang relevan
dengan pemberdayaan Komite Sekolah adalah teori pemberdayaan
yang dikemukakan Pranarka dan Vidhyanika. Menurut Pranarka
dan Vidhyandika, proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan, yaitu kecenderungan primer, yang menekankan
pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan,
kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih
berdaya serta kecenderungan sekunder yang lebih menekankan
pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu
agar mempunyai kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya melalui proses dialog.16 Dalam konteks ini,
pemberdayaan Komite Sekolah dapat dilakukan melalui pendekatan
instruksi dan stimulasi. Pendekatan instruksi dilakukan melalui
reorganisasi, restrukturisasi, dan revitalisasi. Proses ini bertujuan
untuk membangun kemandirian melalui organisasi. Sedangkan
stimulasi lebih pada proses pemberian stimulan, dorongan atau
motivasi agar individu atau masyarakat mempunyai kemampuan
menentukan kebutuhan hidupnya melalui proses dialog. Karna
Sobahi dan Cucu Suhana menambahkan satu pendekatan lagi, yakni
sosialisasi, berupa proses pemberian pemahaman tentang peran
serta masyarakat dan tanggung jawabnya terhadap pendidikan.17
Dari ketiga pendekatan tersebut diharapkan Komite Sekolah
benar-benar dapat menjadi lembaga masyarakat yang mampu
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan serta
mengembangkan pola kemitraan antara sekolah dan masyarakat.

V. Kemiskinan dan Pemberdayaan melalui Pendidikan


Tantangan terhadap pembangunan berkelanjutan cukup beragam.
Masalah pertama yang harus segera ditangani adalah kemiskinan. Saat


16
Karna Sobahi & Cucu Suhana, ohlm. cit., hlm. 104.

17
Ibid., hlm. 96.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 93


ini kemiskinan bukan lagi sekadar masalah negara-negara berkembang.
Tren kemiskinan mengalami sedikit pergeseran dalam proporsi angka
kemiskinan di negara berkembang dengan negara maju. Di tengah
keberhasilan negara-negara berkembang seperti Brazil, Rusia, India,
China dan South Afrika (BRICS), dalam menurunkan angka kemiskinan,
negara maju seperti Kanada, Amerika Serikat dan Uni Eropa justru
mengalami peningkatan jumlah kemiskinan. Demikian juga 130 negara
berkembang masih menghadapi masalah kemiskinan.18
Indonesia termasuk negara yang masih berjuang untuk
menanggulangi kemiskinan. Secara umum, angka kemiskinan
Indonesia terus menurun. Namun ketimpangan pendapatan di
Indonesia semakin terlihat jelas seperti ditunjukkan tabel berikut.
Tabel 1. Statistik Angka Kemiskinan di Indonesia Tahun 2010-201419
Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
Kemiskinan Relatif 13.3 12.5 11.7 11.5 11.0
Kemiskinan Absolut 31 30 29 29 28
Koefisien Gini 0.38 0.41 0.41 0.41 -
Sumber: Bank Dunia dan BPS.

Tabel 1 memperlihatkan penurunan angka kemiskinan dalam


kurun waktu lima tahun terakhir. Penurunan tersebut tidak lepas
dari upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan melalui
berbagai program pro-rakyat. Meski belum bisa dikatakan maksimal,
akan tetapi tren penurunan menunjukkan bahwa program-program
penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan pemerintah telah
memberikan efek positif bagi peningkatan kemampuan masyarakat.
Selain penurunan angka kemiskinan, persoalan lain yang perlu
ditangani adalah distribusi pendapatan yang belum merata. Tahun
2011, koefisien gini mengalami peningkatan dibanding tahun

18
Pergeseran Isu Kemiskinan Global Dari BRICS Ke AS dan UE, http://
www.kompasiana.com/www.kalimbuang.blogspot.com/pergeseran-isu-
kemiskinan-global-dari-briics-ke-as-dan-ue_5529544e6ea834a5628b456d,
diakses 1 September 2015.
19
Kemiskinan Di Indonesia, http://www.indonesia-investments.com/id/
keuangan/angka-ekonomi-makro/kemiskinan/item301, diakses 25 Agustus
2015.

94 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


sebelumnya 2010. Meski pada tiga tahun berikutnya, berada pada
angka yang sama 0.41, namun ketimpangan antar-penduduk semakin
terlihat jelas. Sebaran penduduk miskin juga tidak merata di seluruh
wilayah Indonesia. Pada tahun 2011, persentase terbesar berada di
wilayah perdesaan di Pulau Jawa, kemudian Pulau Sumatera.
Selain penduduk kategori miskin, di Indonesia juga terdapat
penduduk yang rentan miskin. Kelompok ini perlu lebih diperhatikan
karena mereka mudah jatuh lagi ke kondisi miskin. Berdasarkan
data BPS, selama tahun 2008-2009, dari 60 juta keluarga miskin,
sekitar 1,5 juta rumah tangga miskin berhasil keluar dari kategori
miskin tetapi masih rentan terhadap kemiskinan. Sedangkan 2,1 juta
keluarga miskin berhasil keluar dari kategori sangat miskin tetapi
tetap miskin dan sebanyak 0,9 juta keluarga miskin berhasil keluar
dari kondisi sangat miskin tetapi jatuh lagi dalam kemiskinan.20
Melihat kondisi kemiskinan yang dialami sebagian penduduk di
Indonesia, perlu dilakukan upaya penanggulangan kemiskinan yang
lebih tepat sasaran. Salah satunya melalui pemberdayaan dalam
pendidikan. Upaya pemberdayaan dipilih karena penanggulangan
kemiskinan dapat dimulai dari peningkatan kualitas individu.
Individu yang lebih mengetahui persoalan dan potensi yang ada di
masyarakat sehingga keputusan untuk memilih alternatif solusi dari
masalah yang dihadapi ada dalam diri masing-masing individu.
Pemberdayaan dalam pendidikan dapat diwujudkan dalam
bentuk partisipasi. Hal ini dilandasi pemahaman bahwa pendidikan
merupakan tanggung jawab semua satuan pendidikan. Jika sebelum
otonomi daerah, pengembangan pendidikan menjadi tanggung
jawab pemerintah, maka bergulirnya otonomi daerah menuntut
pengalihan sebagian besar tanggung jawab pengembangan dan
penyelenggaraan pendidikan kepada orang tua peserta didik dan
masyarakat. Prinsip dasar dari otonomi daerah adalah tumbuhnya
kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan.
Sedangkan pemerintah berperan sebagai mitra kerja masyarakat.
Dengan demikian kemajuan pendidikan di tingkat daerah akan
banyak bergantung pada partisipasi orang tua peserta didik,
masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
Tantangan Kemiskinan Pada 2015, http://www.republika.co.id/berita/
20

koran/pareto/15/01/02/nhjny6-tantangan-kemiskinan-pada-2015, diakses
1 September 2015.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 95


Partisipasi masyarakat dalam pendidikan sangat luas. Pasal 3
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta
Masyarakat dalam Pendidikan Nasional menyebutkan bentuk peran
serta masyarakat adalah:
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan;
2. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan;
3. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli;
4. Pengadaan dan/atau penyelenggaraan program pendidikan yang
belum diadakan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah;
5. Pengadaan dana dan pemberian bantuan lainnya;
6. Pengadaan dan pemberian bantuan sarana belajar;
7. Pemberian kesempatan untuk magang;
8. Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan
pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional;
9. Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan
penentuan kebijaksanaan dan/atau penyelenggaraan
pengembangan pendidikan;
10. Pemberian bantuan dan kerja sama dalam kegiatan penelitian
dan pengembangan; dan
11. Keikutsertaan dalam program pendidikan dan/atau penelitian
yang diselenggarakan oleh Pemerintah di dalam dan/atau di
luar negeri.
Berbagai bentuk partisipasi masyarakat tersebut apabila
diimplementasikan menunjukkan telah terjadi pergeseran peran
masyarakat menjadi stakeholder pendidikan yang aktif. Masyarakat yang
dilibatkan sebagai subjek pendidikan akan mempunyai kesempatan
untuk mengembangkan dan memberdayakan diri. Dari sini diharapkan
akan tumbuh kesadaran masyarakat pentingnya pendidikan untuk
keluar dari berbagai permasalahan hidup termasuk kemiskinan.

VI. Komite Sekolah sebagai Wujud Partisipasi Masyarakat


dalam Pendidikan
Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah menuntut adanya
perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Pendidikan akan mengalami perubahan dalam pengelolaan dari
sentralistik menjadi desentralistik. Desentralisasi pendidikan
memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk

96 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


membuat perencanaan dan membuat keputusan atas permasalahan
yang dihadapi di bidang pendidikan. Kondisi ini menuntut
pemerintah daerah untuk lebih terbuka mengakomodasi munculnya
gejala-gejala perubahan di masyarakat.
Di tingkat kabupaten/kota, desentralisasi pendidikan
memberikan peluang kepada sekolah untuk membuat kebijakan
masing-masing atas dasar konsep pendidikan berbasis masyarakat
(PBM) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). PBM melihat
pendidikan sebagai proses dan masyarakat sebagai fasilitator
yang dapat menyebabkan perubahan untuk menjadi lebih baik.
Sedangkan MBS merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah
yang memberikan kewenangan pengambilan keputusan yang lebih
luas kepada sekolah disertai partisipasi masyarakat yang tinggi.
Pada prinsipnya kedua pendekatan ini menekankan pada pelibatan
masyarakat dan orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan
pendidikan. Kunci keberhasilannya terletak pada partisipasi
masyarakat dan orang tua peserta didik.
Partisipasi masyarakat dapat diwujudkan dalam suatu wadah
yang dapat menampung aspirasi, menggali potensi dan kebutuhan
masyarakat demi tercapainya demokratisasi, transparansi, dan
akuntabilitas pendidikan. Salah satu wadah tersebut adalah Komite
Sekolah. Dasar hukum pembentukan Komite Sekolah adalah Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional 2000-2004 yang menyatakan bahwa dalam rangka
pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat maka perlu
dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi
serta Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Penjabarannya
ada dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Kepmendiknas)
Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Selain itu, Komite Sekolah juga ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas). Pasal 56 ayat 3 UU Sisdiknas menjelaskan bahwa Komite
Sekolah merupakan lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Komite Sekolah merupakan badan baru yang lebih
mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 97


sekolah. Tujuan pembentukannya untuk mewadahi dan menyalurkan
aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan
operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan,
meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan serta
menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan
demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang
bermutu di satuan pendidikan. 21
Berbeda dengan badan-badan sejenis yang membantu
pembiayaan kegiatan belajar mengajar seperti POM (Persatuan
Orang Tua Murid), Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG),
dan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3), maka Komite
Sekolah mempunyai peran dan fungsi yang lebih luas, yaitu:22
1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan
pelaksanan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
2. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial,
pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan
di satuan pendidikan.
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi
dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di
satuan pendidikan.
4. Mediator antara pemerintah dengan masyarakat di satuan
pendidikan.
Sebagai mediator, Komite Sekolah memfasilitasi berbagai
masukan dan keluhan dari masyarakat terkait kebijakan
pendidikan yang ditetapkan sekolah. Masukan dari masyarakat
selanjutnya akan dikomunikasikan dengan pihak sekolah
untuk dilakukan perbaikan. Kemudian Komite Sekolah akan
mensosialisasikan hasil penyempurnaan program tersebut
kepada masyarakat.
Sedangkan fungsi Komite Sekolah yaitu:23
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat
terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
21
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
22
Ibid.
23
Ibid.

98 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


2. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/
organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah
berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan
berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
Komite Sekolah dibentuk berdasarkan musyawarah
stakeholder pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sebagai
representasi dari berbagai unsur yang bertanggung jawab terhadap
peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan. Karena itu,
keanggotaan Komite Sekolah berasal dari unsur-unsur yang ada
dalam masyarakat seperti orang tua/wali peserta didik, tokoh
masyarakat, tokoh pendidikan, dunia usaha, organisasi profesi
pendidikan, wakil alumni, dan wakil peserta didik. Di samping itu,
unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan,
Badan Pertimbangan Desa dapat pula dilibatkan sebagai anggota
Komite Sekolah.
Sinergi antara Komite Sekolah dan sekolah menyebabkan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah dan
masyarakat sebagai mitra kerja. Melalui Komite Sekolah masyarakat
dapat menyalurkan berbagai aspirasi dan partisipasi demi kemajuan
pendidikan di daerahnya. Di samping itu, orang tua peserta didik
berhak memantau penggunaan anggaran pendidikan di sekolah.
Apabila ditemukan penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan
alokasi, maka orang tua peserta didik dapat menuntut pihak sekolah.
Mekanisme pembentukan Komite Sekolah melalui beberapa
tahapan. Pada tahap awal akan dibentuk panitia persiapan oleh
kepala satuan pendidikan dan/atau oleh masyarakat. Panitia
persiapan berjumlah sekurang-kurangnya lima orang yang terdiri
atas kalangan praktisi pendidikan (guru, kepala satuan pendidikan,
penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM peduli
pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan
industri), dan orang tua peserta didik. Selanjutnya, panitia persiapan
bertugas mempersiapkan pembentukan Komite Sekolah dengan
langkah-langkah sebagai berikut: (1) mengadakan forum sosialisasi
kepada masyarakat tentang Komite Sekolah menurut keputusan
ini; (2) menyusun kriteria dan mengidentifikasi calon anggota
berdasarkan usulan dari masyarakat; (3) menyeleksi anggota

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 99


berdasarkan usulan dari masyarakat; (4) mengumumkan nama-
nama calon anggota kepada masyarakat; menyusun nama-nama
anggota terpilih; (5) memfasilitasi pemilihan pengurus dan anggota
Komite Sekolah; dan (6) menyampaikan nama pengurus dan
anggota Komite Sekolah kepada kepala satuan pendidikan. Calon
anggota Komite Sekolah yang disepakati dalam musyawarah atau
mendapat dukungan suara terbanyak melalui pemungutan suara
secara langsung menjadi anggota Komite Sekolah sesuai dengan
jumlah anggota yang disepakati dari masing-masing unsur.24

VII. Gambaran Komite Sekolah Di Indonesia


Idealnya, kehadiran Komite Sekolah akan memberikan warna
baru dalam peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan akan
berjalan sesuai prinsip demokrasi, di mana sekolah, orang tua
peserta didik, dan masyarakat dapat berpartisipasi dan bertanggung
jawab atas penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Namun dalam
implementasi, Komite Sekolah belum dapat menjalankan perannya
secara optimal. Bahkan beberapa kalangan memberikan tanggapan
negatif dengan hadirnya Komite Sekolah. Beberapa faktor diindikasi
menjadi penyebab, yakni: pertama, banyak anggota Komite Sekolah
yang kurang memahami peran dan fungsi Komite Sekolah. Sebagian
menganggap Komite Sekolah merupakan badan pengganti BP3 yang
berganti baju sehingga hanya berperan dalam penggalangan dana.
Komite Sekolah dipandang sebagai prasyarat bagi sekolah untuk
menerima dana block grand. Kedua, mekanisme pembentukan
anggota Komite Sekolah belum sesuai dengan aturan yang ada.
Ada indikasi bahwa pembentukan pengurus dan anggota Komite
Sekolah lebih didominasi oleh Kepala Sekolah. Anggota yang terpilih
lebih didasarkan pada hubungan kedekatan dengan Kepala Sekolah
sehingga beberapa anggota Komite Sekolah kurang kompeten.
Ketiga, kapasitas SDM Komite Sekolah di beberapa daerah masih
rendah. Kurangnya pengetahuan dan wawasan pengurus Komite
Sekolah dalam manajemen pendidikan menjadi kendala bagi mereka
dalam menjalankan peran dan fungsinya. Keempat, banyak Komite
Sekolah yang telah dibentuk belum memiliki anggaran dasar (AD) dan
anggaran rumah tang­ga (ART) yang disusun berdasarkan aspirasi


24
Ibid.

100 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


orang tua dan masyarakat sebagai komponen utama stakeholder
pendidikan. Kelima, banyak sekolah yang kurang melibatkan peran
Komite Sekolah, terutama dalam hal penyusunan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), dan rencana penggunaan
dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Akibatnya, peran Komite
sekolah terbatas. Hal ini akan menimbulkan kecurigaan Komite
Sekolah terhadap pihak sekolah yang berujung konflik. Keenam,
komitmen pemerintah masih rendah terhadap Komite Sekolah.
Akibatnya terjadi disfungsi Komite Sekolah.
Beberapa kasus terkait Komite Sekolah antara lain: kasus
dugaan korupsi dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp556 juta untuk
merehabilitasi ruang kelas SDN Baros Mandiri 5 tahun anggaran
2012. Dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Kepala
Sekolah dan Ketua Komite Sekolah.25 Kasus lain adalah konflik
Komite Sekolah dengan pihak manajemen SMAN 70 Jakarta yang
berakhir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dari beberapa kasus
ini tampak bahwa masih banyak Komite Sekolah yang belum mampu
menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal. Hubungan
antara Kepala Sekolah dan Komite Sekolah kurang harmonis. Peran
pengontrol transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran
pembangunan sekolah justru dijalankan oleh Kepala Sekolah tanpa
melibatkan Komite Sekolah. Hal ini disebabkan Komite Sekolah
tidak dilibatkan dalam proses pembangunan dan penyusunan
RAPBS. Selain itu, Komite Sekolah hanya dimanfaatkan sebagai
badan legalitas untuk memperoleh dana block grand.

VIII. Strategi Pemberdayaan Komite Sekolah


Melihat belum optimalnya peran Komite Sekolah, maka
perlu strategi pemberdayaan Komite Sekolah. Berdasarkan teori
pemberdayaan yang dikemukakan Pranarka dan Vidhyanika, maka
pemberdayaan Komite Sekolah dapat dilakukan melalui pendekatan
instruksi dan stimulasi. Pendekatan instruksi dilakukan melalui
reorganisasi, restrukturisasi, dan revitalisasi sehingga terbangun
kemandirian melalui organisasi. Proses reorganisasi, restrukturisasi,

25
Kepala SDN Baros Mandiri 5 dan Ketua Komite Jadi Tersangka Kasus DAK,
http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2014/09/11/296520/
kepala-sdn-baros-mandiri-5-dan-ketua-komite-jadi-tersangka-kasus-dak,
diakses 2 September 2015.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 101


dan revitalisasi dapat dimulai dari organisasi. Sebuah organisasi
dapat berjalan apabila semua anggota dan pengurus organisasi
memiliki visi yang sama. Dalam hal ini, tujuan pembentukan Komite
Sekolah adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di setiap
satuan pendidikan. Atas dasar ini, setiap anggota Komite Sekolah
harus menjalankan peran dan fungsi sesuai tujuan pembentukannya.
Komite Sekolah tidak boleh mengambil fungsi pelaksanaan satuan
pendidikan, dalam pengertian tidak mengambil fungsi sebagai
pelaksana, pemerintah, atau birokrasi. Selain itu, dalam sebuah
organisasi diperlukan kerja sama tim yang solid dan efektif.
Untuk itu perlu dibangun kinerja dalam suatu teamwork. Seluruh
anggota Komite Sekolah harus bekerja sama secara aktif dengan
menggunakan keahlian masing-masing untuk mencapai tujuan dari
Komite Sekolah.
Setelah organisasi memiliki minimal syarat sebuah organisasi,
selanjutnya Komite Sekolah mulai menyusun program kerja
organisasi. Diawali dengan mengidentifikasi masalah-masalah
akademik dan non- akademik. Hal yang perlu diingat adalah program
kerja dan kebijakan yang dibuat Komite Sekolah perlu diselaraskan
dengan tujuan pembentukan Komite Sekolah. Karena itu Komite
Sekolah melakukan konsolidasi organisasi terlebih dahulu.
Kemudian program kerja disusun sesuai prioritas yang mendukung
peningkatan mutu pendidikan.
Strategi pemberdayaan kedua adalah stimulasi. Mulai tahun
2011, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan
pemberdayaan Komite Sekolah dengan memberikan bantuan
sosial. Pemberian bantuan sosial tersebut dimaksudkan untuk
memperkuat kelembagaan Komite Sekolah sebagai bagian dari
program pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan. Pada tahun anggaran 2015, bantuan sosial Komite
Sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) dianggarkan sebesar Rp25 juta,
sedang Komite Sekolah untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)
sebesar Rp30 juta setiap Komite Sekolah. Dibandingkan dengan
bantuan sosial yang diberikan pada tahun anggaran sebelumnya,
bantuan sosial pada tahun ini jauh lebih besar. Jumlah Komite
Sekolah juga meningkat, yakni 220 Komite Sekolah SD, dan 100

102 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Komite Sekolah SMP.26 Proses untuk memperoleh bansos tersebut
melalui seleksi berdasarkan proposal yang dikirimkan kepada Ditjen
Pendidikan Dasar.
Tahun 2015, penggunaan dana bantuan sosial hanya untuk dua
kegiatan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah dan daerah.
Dalam hal ini Komite Sekolah yang akan menentukan kegiatannya.
Kegiatan pertama adalah Budaya Literasi Sekolah (BLS) untuk
meningkatkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi warga
sekolah. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah membuat
perpustakaan kelas, majalah dinding, mengadakan perlombaan
(pidato, debat masalah pendidikan, karya tulis siswa, matematika,
dongeng cerita rakyat, paduan suara, cerdas cermat antar- sekolah,
pelatihan komputer). Kegiatan kedua adalah Kegiatan Kreatif
dan Produktif (KKP), yakni kegiatan yang baru dan produktif
untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Komite Sekolah seperti
mendirikan koperasi Komite Sekolah, membuat bank sampah,
taman obat sekolah, pelatihan keterampilan, pelatihan manajemen
pengelolaan keuangan, dan meningkatkan kerja sama dengan
dunia usaha untuk penggalangan dana CSR. Sesuai dengan konsep
pemberdayaan, maka pemberian bantuan sosial harus disertai
upaya pemantauan dan penilaian atas ketepatan penggunaan dana
bantuan sosial tersebut. Komite Sekolah yang mempunyai program
kerja yang kreatif dan produktif serta menjalankan peran dengan
baik, layak mendapatkan bantuan sosial. Dengan demikian bantuan
sosial tidak sekadar bantuan yang bersifat charity tetapi ada
keberlanjutan program menuju peningkatan mutu pendidikan.
Pendekatan pemberdayaan ketiga adalah sosialisasi. Sosialisasi
berkaitan dengan tujuan pembentukan Komite Sekolah serta peran
dan fungsi Komite Sekolah. Selama ini persoalan yang muncul
adalah sebagian masyarakat belum memahami peran dan fungsi
Komite Sekolah. Karena itu, sosialisasi perlu terus dilakukan secara
komprehensif baik kepada masyarakat, sekolah, maupun anggota
Komite Sekolah. Tujuannya adalah untuk menghindari persepsi

Suparlan, Penggunaan Bansos Komite Sekolah: 1. Meningkatkan Budaya


26

Literasi Sekolah, 2. Program Kreatif dan Produktif Komite Sekolah, http://


suparlan.com/1906/2015/04/29/penggunaan-bansos-komite-sekolah-
meningkatkan-budaya-literasi-sekolah-program-kreatif-dan-produktif-
komite-sekolah/, diakses 3 September 2015.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 103


yang salah terhadap peran masing-masing dalam penyelenggaraan
pendidikan. Kegiatan sosialisasi dapat dilaksanakan dalam bentuk
workshop, seminar, dialog maupun melalui media massa. Era kemajuan
teknologi ditandai dengan adanya ketergantungan masyarakat akan
informasi, baik melalui media cetak maupun elektronik.27 Karena itu,
dukungan media massa akan lebih membantu upaya memperkenalkan
Komite Sekolah kepada masyarakat sehingga tumbuh kesadaran
dalam masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
Sosialisasi perlu dilanjutkan dengan kegiatan pendampingan.
Kegiatan pendampingan berkaitan dengan peran dan fungsi Komite
Sekolah yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen
pendidikan di tingkat sekolah. Berlakunya MBS memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada sekolah untuk menyusun proses
pembelajaran yang kondusif sesuai kebutuhan dan potensi masyarakat.
Dalam konteks inilah Komite Sekolah berperan sebagai mitra kerja
sekolah untuk membantu pelaksanaan manajemen pendidikan di
sekolah. Untuk mendukung pelaksanaan peran tersebut, Komite
Sekolah perlu didampingi. Kegiatan pendampingan dilakukan oleh
Dewan Pendidikan kabupaten/kota melalui fasilitatornya. Fasilitator ini
yang akan melakukan pendampingan kepada Komite Sekolah. Karena
itu, fasilitator dituntut untuk mampu mengintegrasikan tiga aspek,
yakni optimalisasi fasilitasi, waktu yang disediakan, dan optimalisasi
partisipasi masyarakat. Dalam konteks ini, tugas fasilitator adalah:
(1) memberikan fasilitasi Komite Sekolah, khususnya dalam proses
pembentukan Komite Sekolah; (2) memberikan pendampingan dalam
perumusan program dan kegiatan Komite Sekolah selaras dengan
peran dan fungsi Komite Sekolah; (3) membentuk Komite Sekolah Inti
dan Komite Sekolah Imbas; (4) membangun forum komunikasi Komite
Sekolah di tingkat kabupaten/kota; dan (5) memberikan fasilitasi
untuk menjalin hubungan yang tidak harmonis antara Komite Sekolah
dengan pihak sekolah, serta dunia usaha dan industri.28 Mengingat
peran fasilitator yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan

27
Oos M. Nawas, Pemberdayaan Masyarakat Di Era Global, Bandung: Alfabeta,
2014, hlm. 106.

28
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, 2007, hlm. 21.

104 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


pemberdayaan, maka fasilitator dituntut untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya dalam mendesain program
pemberdayaan Komite Sekolah. Upaya tersebut dapat dilakukan
melalui TOT (training of trainer) pemberdayaan Komite Sekolah.
Program pemberdayaan Komite Sekolah dapat dinilai berhasil
jika telah tercapai beberapa indikator sebagai berikut:29
1. Proses pembentukan Komite Sekolah tidak lagi dilakukan secara
instan, tetapi melalui proses dan mekanisme yang demokratis,
transparan, dan akuntabel sesuai dengan AD/ART.
2. Komite Sekolah telah menjadi lembaga masyarakat yang
mandiri, dengan melaksanakan prinsip manajemen yang
demokratis, transparan, dan akuntabel.
3. Komite Sekolah telah menjadi lembaga masyarakat yang diakui
eksistensinya secara mantap oleh pemangku kepentingan.
4. Komite Sekolah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan
institusi terkait untuk melaksanakan peran dan fungsinya
secara optimal.
5. Komite Sekolah memiliki semangat kemitraan dengan
pemerintah daerah dan satuan pendidikan sekolah/madrasah.
6. Permasalahan yang akan muncul antara Komite Sekolah dan
satuan pendidikan sekolah/madrasah dan Komite Sekolah
dapat diselesaikan secara mandiri oleh kedua belah pihak.
7. Komite Sekolah dapat melaksanakan peran dan fungsinya
secara optimal untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan
di daerah dan satuan pendidikan sekolah/madrasah masing-
masing.

IX. Penutup
Isu penanggulangan kemiskinan dan lingkungan hidup akhir-
akhir ini berkembang di dunia internasional. Asumsinya adalah
kemiskinan akan menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan
hidup. Karena itu, penanggulangan kemiskinan menjadi poin penting
yang menentukan keberhasilan pembangunan berkelanjutan.
Tanpa strategi penanggulangan kemiskinan yang komprehensif,
maka upaya masyarakat internasional melaksanakan agenda
pembangunan berkelanjutan akan sia-sia.


29
Ibid, hlm. 26-27.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 105


Upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan sebagai
strategi nasional yang tidak boleh ditawar lagi. Kelompok miskin
di Indonesia membutuhkan kebijakan yang diarahkan langsung
pada akar permasalahannya, yakni meningkatkan kemampuan
individu. Bagian yang tertinggal dalam individu harus ditingkatkan
kemampuannya melalui pemberdayaan. Pemberdayaan dapat
diwujudkan dalam bentuk partisipasi dalam pendidikan. Dalam hal
ini, partisipasi ditekankan pada keterlibatan aktif dari masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan melalui Komite Sekolah. Komite
Sekolah merupakan representasi dari berbagai unsur pendidikan
yang bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Peran dan fungsi Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari
pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat sekolah. Untuk
mendukung peran tersebut, Komite Sekolah perlu diberdayakan.
Pemberdayaan Komite Sekolah dilakukan melalui pendekatan
instruksi, stimulasi, dan sosialiasasi. Pendekatan instruksi
dilakukan melalui reorganisasi, restrukturisasi, dan revitalisasi
sehingga terbangun kemandirian melalui organisasi. Sedangkan
pendekatan stimulasi dilakukan melalui pemberian bantuan sosial
untuk memperkuat kelembagaan Komite Sekolah. Tahun 2015,
bantuan sosial harus digunakan untuk dua kegiatan, yaitu Budaya
Literasi Sekolah dan Kegiatan Kreatif dan Produktif. Pendekatan
sosialisasi dilaksanakan dalam bentuk workshop, seminar, dialog,
maupun melalui media massa. Tujuannya untuk menumbuhkan
pemahaman dalam masyarakat tentang peran dan fungsi Komite
Sekolah. Sosialisasi diikuti dengan kegiatan pendampingan Komite
Sekolah oleh fasilitator dari Dewan Pendidikan tingkat kabupaten/
kota. Dengan upaya pemberdayaan diharapkan Komite Sekolah
benar-benar dapat mengembangkan pola kemitraan antara sekolah
dan masyarakat menuju peningkatan mutu pendidikan yang
berkelanjutan.
Eksistensi Komite Sekolah perlu didukung peraturan daerah
sehingga aspek-aspek legalitas dan mekanisme kontrol Komite
Sekolah semakin kuat. Pembentukan Komite Sekolah yang memiliki
kekuatan hukum akan menumbuhkan sikap kehati-hatian dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang maju dan berkualitas
merupakan sarana untuk mengangkat masyarakat dari berbagai
ketertinggalan, termasuk kemiskinan.

106 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adi, Isbandi Rukminto. Intervensi Komunitas Pengembangan
Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta:
Rajawali, 2008.
Alfitri. Community Development: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Suyanto, Bagong. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya;
Fakta Kemiskinan Masyarakat Pesisir, Kepulauan, Perkotaan
dan Dampak dari Pebangunan di Indonesia. Malang: Intrans
Publishing, 2013.
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah. Pemberdayaan Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, 2007.
Djajadiningrat, Surna Tjahja dan Sutanto Hardjolukito. Demi Bumi,
Demi Kita, Dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi
Hijau. Jakarta: Media Indonesia Publishing, 2013.
Nawas, Oos M. Pemberdayaan Masyarakat Di Era Global. Bandung:
Alfabeta, 2014.
Nurhasim, Moch., et al. Model Kebijakan yang Memihak Kelompok/
Orang Miskin Berbasis Good Governance. Jakarta: LIPI Press,
2014.
Sobahi, Karna&Cucu Suhana. Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Pendidikan Di Era Otonomi Daerah. Bandung: Cakra, 2011.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 107


Artikel dalam Internet
Suparlan, Penggunaan Bansos Komite Sekolah: 1. Meningkatkan
Budaya Literasi Sekolah, 2. Program Kreatif dan Produktif
Komite Sekolah. http://suparlan.com/1906/2015/04/29/
penggunaan-bansos-komite-sekolah-meningkatkan-budaya-
literasi-sekolah-program-kreatif-dan-produktif-komite-
sekolah/, diakses 3 September 2015.

Tulisan dalam Internet


Kemiskinan Di Indonesia. (http://www.indonesia-investments.
com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/kemiskinan/
item301, diakses 25 Agustus 2015).
Kepala SDN Baros Mandiri 5 dan Ketua Komite Jadi Tersangka
Kasus DAK. (http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-
raya/2014/09/11/296520/kepala-sdn-baros-mandiri-5-dan-
ketua-komite-jadi-tersangka-kasus-dak, diakses 2 September
2015).
Open Working Group proposal for Sustainable Development Goals.
(https://sustainabledevelopment.un.org/sdgsproposal, diakses
4 September 2015).
Pergeseran Isu Kemiskinan Global Dari BRICS Ke AS dan UE.
(http://www.kompasiana.com/www.kalimbuang.blogspot.
com/pergeseran-isu-kemiskinan-global-dari-briics-ke-as-dan-
ue_5529544e6ea834a5628b456d, diakses 1 September 2015).
Program BLT Tak Menekan Angka Kemiskinan. (http://www.
indosiar.com/fokus/program-blt-tak-menekan-angka-
kemiskinan_69766.html, diakses 25 Agustus 2015).
Raskin, Beras Bersubsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
(http://www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-i/beras-
bersubsidi-bagi-masyarakat-berpenghasilan-rendah-raskin/,
diakses 25 Agustus 2015).
Sutainable Development Goals. (https://sustainabledevelopment.
un.org/ unsystem, diakses 13 Agustus 2015).

108 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Tantangan Kemiskinan Pada 2015, (http://www.republika.
co.id/berita/koran/pareto/15/01/02/nhjny6-tantangan-
kemiskinan-pada-2015, diakses 1 September 2015).

Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992
tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Republlik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional 2000-2004.

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Komite Sekolah 109


110 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
BAB V
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Herlina Astri

I. Pendahuluan
Pembangunan berkelanjutan merupakan bentuk baru dalam
pembangunan, yang mengedepankan aspek lingkungan dan
pemanfaatan sumber daya untuk jangka panjang. Pembangunan
berkelanjutan juga terkait dengan aspek ekonomi untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terutama dalam penanganan
kemiskinan, sebab saat ini di Indonesia kemiskinan menjadi fokus
utama dalam perbaikan kondisi ekonomi masyarakat. Banyak
sekali kebijakan pemerintah yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut, khususnya untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
Kemiskinan banyak dikaitkan dengan peningkatan ekonomi,
yang kadang dalam pelaksanaannya kurang memerhatikan keadaan
untuk jangka panjang. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan
dapat menjadi suatu bentuk rancangan yang dapat digunakan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pembangunan yang
memerhatikan keberlanjutan untuk jangka panjang. Pembangunan
berkelanjutan menjadi model pembangunan yang memerhatikan
segi sumber daya dan lingkungan.
Pembangunan yang dilakukan di Indonesia berubah seiring
dengan perubahan sistem pemerintahan yang terjadi. Sisa-sisa
pembangunan di setiap pemerintahan ada yang memberikan dampak
pada kenaikan tingkat kemiskinan. Pembangunan sebagai penyebab
kemiskinan terkait dengan adanya utang yang belum dilunasi dan
pihak terkait yang lepas tangan akan keadaan tersebut. Pelaksanaan
kebijakan dan pembangunan untuk mengatasi kemiskinan pun
menjadi hal yang banyak menjadi sorotan untuk segera dibenahi.

Pembangunan Berkelanjutan dan Penanggulangan Kemiskinan 111


Penanganan kemiskinan merupakan pekerjaan berat yang harus
ditanggung oleh pemerintah. Program-program yang dijalankan
seharusnya sesuai dengan karakteristik wilayah, di mana untuk
masing-masing wilayah memiliki karakteristik yang berbeda, baik
itu dari segi sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA),
maupun sosiokultur yang ada dalam masyarakat. Jangan sampai
program yang dilakukan sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, apalagi masyarakat tidak mengetahui dan kekurangan
akses atas program yang dijalankan.

II. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia


Dalam perkembangan saat ini, negara-negara yang tergolong
maju berupaya untuk menekan laju degradasi lingkungan, namun
hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di negara-
negara berkembang. Transisi demografi yang terjadi di negara-
negara berkembang menyebabkan terjadinya urbanisasi secara
besar-besaran. Fenomena tersebut dapat ditemukan di beberapa
kota besar di wilayah Asia Tenggara. Jumlah penduduk yang
sangat berbeda jauh antara kota besar dengan kota kecil, di mana
kondisi ini lebih dikenal dengan istilah primate city. Namun jumlah
penduduk yang besar ini tidak mampu didukung oleh lingkungan
yang menopangnya.
Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan tata
guna lahan di perkotaan. Mereka yang tidak mampu membeli lahan
di pusat kota mulai mendirikan bangunan di kawasan-kawasan yang
berfungsi sebagai kawasan lindung, seperti bantaran sungai, hutan
kota, rawa, dan lain-lain, sehingga para pakar lingkungan di negara
maju menilai bahwa penurunan daya dukung lingkungan yang
terjadi di dunia disebabkan oleh fenomena kemiskinan yang tidak
kunjung berakhir di negara berkembang.
Konsep umum strategi pembangunan berkelanjutan dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Pembangunan yang menjamin pemerataan dan keadilan
sosial
Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan
sosial harus dilandasi hal-hal sebagai berikut: (1) Meratanya
distribusi sumber lahan dan faktor produksi; (2) Meratanya peran
dan kesempatan perempuan; (3) Meratanya ekonomi yang dicapai

112 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


dengan keseimbangan distribusi kesejahteraan. Namun pemerataan
bukanlah hal yang secara langsung dapat dicapai. Pemerataan adalah
konsep yang relatif dan tidak secara langsung dapat diukur. Dimensi
etika pembangunan berkelanjutan adalah hal yang menyeluruh,
kesenjangan pendapatan negara kaya dan miskin semakin
melebar, walau pemerataan di banyak negara sudah meningkat.
Aspek etika lainnya yang perlu menjadi perhatian pembangunan
berkelanjutan adalah prospek generasi masa datang yang tidak
dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini. Ini
berarti pembangunan generasi masa kini perlu mempertimbangkan
generasi masa datang dalam memenuhi kebutuhannya.
2. Pembangunan yang menghargai keanekaragaman
Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk
memastikan bahwa SDA selalu tersedia secara berkelanjutan
untuk masa kini dan masa datang. Keanekaragaman hayati juga
merupakan dasar bagi keseimbangan ekosistem. Pemeliharaan
keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan yang merata
terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi
berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti.
3. Pembangunan yang mengunakan pendekatan integratif
Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan
antara manusia dengan alam. Manusia memengaruhi alam dengan
cara yang bermanfaat atau merusak. Hanya dengan memanfaatkan
pengertian tentang kompleksnya keterkaitan antara sistem alam
dan sistem sosial maka pelaksanaan pembangunan lebih integratif.
Hal ini merupakan tantangan utama dalam kelembagaan.
4. Pembangunan yang meminta perspektif jangka panjang
Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih dari masa depan.
Implikasi pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang
melandasi penilaian ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan
dilaksanakannya penilaian yang berbeda dengan asumsi normal
dalam prosedur discounting. Persepsi jangka panjang adalah
perspektif pembangunan yang berkelanjutan. Hingga saat ini
kerangka jangka pendek masih mendominasi pemikiran para
pengambil keputusan ekonomi.
Menurut Emil Salim, pembangunan berkelanjutan harus diarahkan
pada pemberantasan kemiskinan (sasaran ekonomi), perimbangan:

Pembangunan Berkelanjutan dan Penanggulangan Kemiskinan 113


ekuiti sosial yang adil (sasaran sosial) dan kualitas tinggi, kehidupan
lingkungan hidup (sasaran lingkungan).1 Untuk ini secara sadar
diusahakan investasi dalam modal ekonomi (finansial, modalmesin,
dan lain-lain), modal sosial (investasi pendidikan, kesehatan, dan
keakraban sosial) dan modal lingkungan (investasi SDA diperbaharui
dan daurulang serta substitusi SDA yang tidak terbaharui).
Menurut Marlina, pembangunan berkelanjutan tidak saja
berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas dari itu,
pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan:
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan
lingkungan (selanjutnya disebut 3 pilar pembangunan berkelanjutan).2
Aspek sosial, maksudnya pembangunan yang berdimensi pada
manusia dalam hal interaksi, inter-relasi, dan interdependensi,
yang erat kaitannya juga dengan aspek budaya. Tidak hanya pada
permasalahan ekonomi, pembangunan berkelanjutan untuk
menjaga keberlangsungan budaya dari sebuah masyarakat supaya
sebuah msyarakat tetap bisa eksis untuk menjalani kehidupan
serta mempunyai sampai masa mendatang. Faktor lingkungan
(ekologi) yang diperlukan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan ialah: (1) Terpeliharanya proses ekologi yang esensial;
(2) Tersedianya sumber daya yang cukup; dan (3) Lingkungan
sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.3
Sosok final dari konsep pembangunan berkelanjutan di
Indonesia belum terlihat jelas meski berbagai konvensi internasional
dan pertemuan-pertemuan besar diikuti dan disepakati. Namun
demikian, secara garis besar proses pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia meliputi tindakan-tindakan di bidang
kebijakan publik, antara lain:4


1
Salim, Emil.2003. “Orasi Ilmiah Pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup”.
Kampus IPB Baranangsiang, SainsDan Pembangunan Berkelanjutan, hlm. 2.

2
Marlina, Ani. 2009. Karakteristik Untuk Mendefinisikan Sustainable. Wordpress:
Jakarta, hlm. 20.

3
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Djambatan: Jakarta, hlm. 161.

4
Kusumaatmadja, Sarwono. “Pembangunan Berkelanjutan untuk Mengatasi
Kemiskinan dan Pengembangan Sikap Masyarakat terhadap Produk Ramah
Lingkungan”. Lihat: http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Mengatasi
kemiskinan dan pengembangan sikap masyarakat – sarwono kusumaatmadja.
pdf, diakses tanggal 10 Juni 2015.

114 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


1. Kebijakan konservasi dan diversifikasi energi ke arah
pengurangan penggunaan energi fosil dan makin dominannya
penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan.
2. Kebijakan kependudukan untuk menahan laju pertumbuhan
penduduk sampai ke tingkat yang dapat ditenggang oleh
keberadaan SDA dan dapat terlayani baik oleh fasilitas publik di
bidang kesejahteraan rakyat.
3. Kebijakan spasial untuk menjamin penggunaan ruang wilayah
sehingga berbagai kegiatan ekonomi manusia dapat berjalan
secara serasi didukung oleh infrastruktur fisik yang memadai,
sekaligus juga menyediakan sebagian ruang alam di darat dan
di perairan untuk konservasi SDA.
4. Kebijakan untuk menanamkan budaya dan gaya hidup hemat,
bersih, dan sehat, sehingga kualitas hidup manusia dapat
terjamin dengan menghindarkan pemborosan energi, material,
dan mengurangi tindakan medik kuratif.
5. Kebijakan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan
untuk menjamin tersedianya kebutuhan dasar manusia akan air
bersih, udara bersih, sumber-sumber makanan, dan pencegahan
bencana.
6. Kebijakan di bidang hukum, informasi, pemerintahan, ekonomi,
fiskal, dan pendidikan dan lainnya untuk menunjang hal-hal di
atas.
Menurut Salim, konsep pembangunan berkelanjutan ini didasari
oleh lima ide pokok besar, yaitu:5 Pertama, proses pembangunan
harus berlangsung secara berlanjut, terus-menerus, dan kontinu,
yang ditopang oleh sumber alam, kualitas lingkungan, dan manusia
yang berkembang secara berlanjut pula. Kedua, sumber alam
(terutama udara, air, dan tanah) memiliki ambang batas, di mana
penggunaannya akan menciutkan kuantitas dan kualitasnya. Ketiga,
kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup.
Keempat, bahwa pola penggunaan sumber alam saat ini mestinya
tidak menutup kemungkinan memilih opsi atau pilihan lain di masa
depan. Dan kelima, pembangunan berkelanjutan mengandaikan


5
“Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan atau Principle of Sustainability
Development” lihat: http://www.bangazul.com/prinsip-prinsip-
pembangunan-berkelanjutan/, diakses tanggal 22 Juni 2015.

Pembangunan Berkelanjutan dan Penanggulangan Kemiskinan 115


solidaritas transgenerasi, sehingga kesejahteraan bagi generasi
sekarang tidak mengurangi kemungkinan bagi generasi selanjutnya
untuk meningkatkan kesejahteraannya pula.
Dari sudut pembangunan berkelanjutan, maka masalah
lingkungan telah menjadi bagian dari pemicu meluasnya proses
pemiskinan, terutama pada lapisan masyarakat yang rentan
terhadap dampak negatif pencemaran dan perusakan lingkungan.
Krisis di Indonesia menyebabkan turunnya kapasitas pemerintah
untuk melakukan proteksi lingkungan sehingga kemampuan
pemerintah untuk melanjutkan pelayanan dasar pada masyarakat
miskin juga berkurang. Oleh karena itu bagi sebagian besar orang
Indonesia yang terlilit kemiskinan, pembangunan bukan saja tidak
lagi relevan, namun juga menjadi salah satu ancaman. Ini yang
menyebabkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan sering
mendapat perlawanan sebagai bentuk defensif untuk menghindar
dari pemiskinan tersebut.

III. Kondisi Kemiskinan di Indonesia


Kemiskinan merupakan salah satu contoh ketidakadilan yang
dialami suatu kelompok (masyarakat pra-sejahtera). Ketidakadilan
itu terlihat dari tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka
untuk bertahan hidup dalam kesehatan yang baik, sulitnya mendapat
akses ke pelayanan publik (sanitasi sehat, air bersih, pengelolaan
sampah) rumah sehat, pelayanan pendidikan, dan sebagainya.
Ketidakadilan juga terlihat dari tidak adanya akses kepemilikan hak
atas tanah yang mereka huni. Sebagai akibat itu semua, sulit bagi
mereka untuk mendapat akses ke pekerjaan yang baik dan stabil.
Ketidakadilan itu menyebabkan masyarakat miskin tetap menjadi
miskin dan mengancam proses pembangunan berkelanjutan.
Kerusakan lingkungan, kondisi permukiman buruk atau kumuh
dalam suatu kawasan memperlihatkan bahwa kawasan tersebut
sedang dalam proses tidak berkelanjutan.
Saat ini masalah kemiskinan merupakan masalah mendesak
yang dihadapi di Indonesia. Yang paling terlihat jelas adalah kondisi
jutaan penduduk yang tinggal di permukiman kumuh dan liar.
Kondisi kekumuhan ini menunjukkan seriusnya permasalahan
sosial ekonomi, politik, dan lingkungan yang bermuara pada kondisi
kemiskinan. Kerusakan lingkungan hidup merupakan ancaman

116 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


utama bagi proses pembangunan berkelanjutan dengan melihat
tujuan dari pembangunan berkelanjutan yaitu mencapai masyarakat
sejahtera (masyarakat berkelanjutan) dalam lingkungan hidup yang
berkelanjutan.6 Berikut adalah tabel angka kemiskinan di Indonesia:
Tabel. 2.2.1 Angka Kemiskinan di Indonesia
Berdasarkan Sifat Absolut dan RelatifTahun 2009–2014
Kategori
Tahun Kemiskinan Absolut (dalam Kemiskinan Relatif
jutaan) (% dari Populasi)
2009 33 14,2
2010 31 13,3
2011 30 12,5
2012 29 11,7
2013 29 11,5
2014 28 11,0
Sumber: Badan Pusat Statistik, Kemiskinan di Indonesia. Lihat:http://www.indonesia-
investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/kemiskinan/item301,
diakses tanggal 16 Juni 2015.

Tabel tersebut menunjukkan penurunan kemiskinan nasional


secara perlahan. Namun pada kenyataannya pemerintah Indonesia
menggunakan persyaratan dan kondisi yang tidak ketat terkait
definisi garis kemiskinan ini. Dalam beberapa tahun terakhir angka
kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan yang signifikan.
Meski demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa
depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu
keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis
kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk
mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Sejalan dengan berkurangnya
kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah
garis kemiskinan yang saat ini harus dibantu untuk bangkit. Ini lebih
rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan
yang berjalan lebih lambat dari sebelumnya.7


6
Djody Gondokusumo, Madrim. 2005. Bunga Rampai: Pembangunan Kota
Indonesia Dalam Abad 21, Konsep dan Pedekatan Pembangunan Perkotaan di
Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, hlm. 405.

7
Kemiskinan di Indonesia. op. cit.

Pembangunan Berkelanjutan dan Penanggulangan Kemiskinan 117


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan
tidaklah statis. Orang miskin bukanlah orang yang pasif. Mereka
sebenarnya seorang manajer dengan seperangkat aset yang ada
di seputar diri dan lingkungannya. Keadaan ini terjadi pada orang
yang miskin yang hidup di negara yang tidak menerapkan sistem
negara kesejahteraan (welfare state). Sistem tersebut dianggap
mampu melindungi warganya menghadapi kondisi-kondisi yang
memburuk yang dapat diatasi oleh dirinya sendiri. Kelangsungan
hidup individu dalam situasi sering sekali tergantung pada keluarga
yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu warga
lainnya dengan memberikan bantuan keuangan, tempat tinggal, dan
lain-lain.
Pendekatan kemiskinan yang berkembang selama ini perlu
dilengkapi dengan konsep keberfungsian sosial yang lebih
menggunakan demokrasi-sosial. Pemaknaan keberfungsian sosial
ini akan lebih memperjelas analisis mengenai bagaimana orang
miskin mengatasi kemiskinannya, serta bagaimana struktur rumah
tangga, keluarga kekerabatan, dan jaringan sosial memengaruhi
kehidupan orang miskin. Paradigma baru lebih menekankan pada
“apa yang dimiliki si miskin” daripada ”apa yang tidak dimiliki si
miskin.”8

IV. Penanganan Kemiskinan


Penanganan kemiskinan merupakan salah satu masalah
pembangunan yang sangat kompleks dan mempunyai dimensi
tantangan, baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Oleh
karenanya hal ini tidak bisa dilepaskan dari strategi nasional untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan di suatu negara. Secara
umum ada 3 persyaratan pokok bagi tercapainya pembangunan
berkelanjutan, yaitu: (1) Pengentasan kemiskinan; (2) Perubahan
pola konsumsi dan produksi yang tidak menunjang keberlanjutan;
dan (3) Perlindungan dan pengelolaan SDA secara lestari. Selain
itu penanganan kemiskinan juga tidak mungkin berjalan tanpa
adanya tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hal

8
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung:
Refika Aditama, hlm. 148.

118 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


tersebut menjadi dasar terlaksananya pembangunan berkelanjutan
termasuk dan terutama di Indonesia, yang di antaranya ditandai
oleh berjalannya:
1. Sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, dan
bertanggung jawab kepada publik;
2. Kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dirancang dan
dilaksanakan secara terpadu dan partisipatif;
3. Lembaga-lembaga demokratis yang tanggap (responsif)
terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat;
4. Peraturan hukum dan perundang-undangan yang ditaati dan
dilaksanakan secara konsisten dan adil;
5. Upaya pemberantasan korupsi yang dilaksanakan secara tegas
tanpa pandang bulu; dan
6. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
serta hak-hak dan kepentingan masyarakat adat dan kelompok
masyarakat rentan.
Beberapa langkah tersebut juga wajib disertai dengan strategi
dan langkah lain yang menunjang. Misalnya konsep pembangunan
berkelanjutan yang ditujukan untuk menangani kemiskinan, juga
harus memerhatikan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pengadaan air bersih dan sanitasi yang
memadai serta peningkatan akses pada sumber daya dan layanan
energi yang handal, ramah lingkungan, dan terjangkau serta layak
secara ekonomi dan sosial. Pengadaan air minum yang bersih dan
sanitasi yang memadai bukan hanya penting untuk melindungi
kesehatan manusia dan lingkungan pada umumnya, tetapi terutama
karena merupakan kebutuhan pokok bagi mayoritas penduduk
miskin yang tidak mendapat akses pada sanitasi dasar yang
mereka butuhkan untuk hidup secara layak. Oleh karena itu perlu
dikembangkan sistem sanitasi rumah tangga yang efisien, praktik
dan teknologi yang terjangkau dan dapat diterima secara sosial-
budaya, serta mengembangkan sistem dan mekanisme pembiayaan
untuk pengelolaan sumber daya air dan pengadaan air bersih bagi
masyarakat yang tidak dilandasi pertimbangan komersial.
Masyarakat miskin di Indonesia juga sangat membutuhkan
sumber daya dan layanan energi yang ramah lingkungan dan
terjangkau secara ekonomi. Ini berarti harus dihindari dan dikurangi

Pembangunan Berkelanjutan dan Penanggulangan Kemiskinan 119


penggunaan kayu bakar yang diambil dari hutan atau kebun, atau
penggunaan bahan energi fossil fuel seperti minyak bumi dan batu
bara yang kotor, di mana akan menimbulkan pencemaran udara,
dan membawa dampak pada perubahan iklim. Langkah perubahan
ini membutuhkan perangkat kebijakan dan sistem yang menunjang
transisi ke arah peningkatan efisiensi energi, penggunaan energi
terbarukan (renewable energy), energi bio-massa, dan penggunaan
bahan bakar fosil cair dari gas yang lebih bersih yang lebih akrab
lingkungan, lebih murah, dan dapat diterima secara sosial.
Strategi penanganan kemiskinan tidak akan berhasil apabila
tidak diintegrasikan ke dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan
yang mampu mengubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara
produksi yang tidak menunjang keberlanjutan SDA dan lingkungan
hidup. Sebab makin luas dari besarnya kerusakan, degradasi dan
pencemaran lingkungan yang terjadi selama ini, merupakan akibat
langsung dari penggunaan dan pemanfaatan SDA terutama yang
tidak terbarukan secara berlebihan dan tidak bertanggungjawab
oleh sistem industri modern.
Selama ini program-program pengentasan kemiskinan telah
banyak dilakukan oleh pemerintah. Namun tidak sedikit yang hanya
bersifat reaktif dan temporer, di mana tidak memiliki keberlanjutan
untuk menyelesaikan masalah kemiskinan tersebut secara tuntas.
Upaya penanganan kemiskinan tersebut dilakukan melalui berbagai
program, antara lain Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman
Sosial (JPS), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), dan sebagainya.
Berbagai program tersebut sebagian besar bersifat top down
sehingga masyarakat miskin yang merupakan sasaran program
kurang begitu berperan dalam program-program yang diberikan.9
Program-program penanganan kemiskinan umumnya
menempatkan warga miskin sebagai objek pembangunan sehingga
masih kurang dirasakan manfaatnya. Hal ini perlu dievaluasi kembali.
Dapat dikatakan upaya penanganan kemiskinan dalam konsep
pembangunan berkelanjutan, pemerintah perlu lebih melibatkan


9
Tontowi, Ahmad. 2010. Tesis: Studi Implementasi Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Desa Purbayan Kecamatan Baki Kabupaten
Sukoharjo. Surakarta: Program Pasca Sarjana Magister Administrasi Publik
UNS, hlm. 4.

120 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


warga miskin sebagai subjeknya. Hal ini diharapkan mampu membuat
masyarakat menjadi lebih mandiri dan berinisiatif untuk melakukan
program-program sendiri.10 Di sini pemerintah memegang peranan
penting dalam memberikan solusi bagi penanganan kemiskinan.
Program-program yang diberikan sebaiknya bersifat mendukung
penanganan kemiskinan tersebut. Ini menjadi tolok ukur kesadaran
pemerintah untuk merespons setiap kesulitan yang dialami rakyatnya.
Program-program penanganan kemiskinan yang dilakukan oleh
beberapa kementerian yang melakukan peningkatan kesejahteraan
rakyat juga sangat beragam. Beberapa di antaranya misalnya, bantuan
pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok, sampai bantuan uang tunai.
Program-program tersebut memiliki sasaran utama masyarakat yang
dikategorikan miskin, yang sebagian besar tinggal di daerah kota dan
pinggiran kota. Dalam pelaksanaannya, apabila mengesampingkan
beberapa penyimpangan yang mungkin terjadi, program-program yang
dilaksanakan memang cukup memberikan kemudahan untuk membantu
kehidupan masyarakat yang dikategorikan miskin. Permasalahan
pembanguan ekonomi pun dapat diperbaiki dan memberikan jalan keluar
yang baik dalam hal kesejahteraan sosial terutama bagi masyarakat yang
dikategorikan miskin. Seperti yang dinyatakan oleh Basri bahwa format
baru pembangunan ekonomi Indonesia tidak boleh lagi memisahkan di
antara keduanya,11 melainkan harus padu (built in) di dalam strategi dan
setiap kebijakan pembangunan.12
Program penanggulangan kemiskinan juga harus memberikan
solusi baru demi terjadinya kesinambungan secara meningkat dari
waktu ke waktu. Salah satu yang harus dilihat adalah usaha mikro
ekonomi yang merupakan usaha kecil yang ada banyak terdapat di
kalangan masyarakat kecil atau pedesaan. Beberapa pemberdayaan
usaha mikro bertujuan untuk:
1. Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan
lingkungan yang mampu mendorong pengembangan UMKM
secara sistemik, mandiri; dan berkelanjutan.


10
Ibid., hlm. 6.

11
Yang dimaksud “keduanya” dalam pernyataan tersebut adalah mengenai
kesejahteraan sosial yang dapat dicapai dengan kemakmuran dan keadilan
dengan prasyarat demokrasi.

12
Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi
Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga, hlm. 113.

Pembangunan Berkelanjutan dan Penanggulangan Kemiskinan 121


2. Menciptakan sistem penjaminan untuk mendukung kegiatan
ekonomi produktif usaha mikro.
3. Menyediakan bantuan teknis dan pendampingan secara
manajerial guna meningkatkan “status usaha” usaha mikro agar
feasible dan bankable dalam jangka panjang.
4. Penataan dan penguatan kelembagaan keuangan mikro untuk
memperluas jangkauan pelayanan keuangan kepada usaha
mikro secara cepat, tepat, mudah, dan sistematis.
Pengentasan kemiskinan pada dasarnya sudah direalisasikan oleh
pemerintah. hanya saja kenyataan di lapangan sering tidak sama dengan
dengan program yang dicanangkan. Tidak tepat sasaran menjadi salah
satu aspek yang menghambat penanggulangan kemiskinan. Aspek dari
berbagai sudut pandang juga menjadi salah satu penyebab kemiskinan
tetap ada dan bahkan terus meningkat. Dalam menanggulangi
kemiskinan pemerintah juga harus melihat bagaimana situasi yang
berkembang dari tahun ke tahun, karena perkembangan dari dahulu
sampai sekarang terjadi perubahan yang yang sangat besar, terutama
dalam bidang teknologi informasi. Sudah selayaknya masyarakat bisa
bersaing dengan era globalisasi yang semakin meningkat dan canggih.
Penanganan kemiskinan merupakan pekerjaan berat yang harus
ditanggung oleh pemerintah. Program-program yang dijalankan
harusnya sesuai dengan karakteristik wilayah, di mana untuk
masing-masing wilayah memiliki karakteristik yang berbeda, baik
itu dari segi SDM, SDA, maupun sosiokultur yang ada di masyarakat.
Jangan sampai program yang dijalankan sebenarnya tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Apalagi masyarakat sendiri tidak
mengetahui atau kekurangan akses atas program yang dijalankan.
Dengan terjadinya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat,
maka program pengentasan kemiskinan akan berjalan dengan
baik sesuai dengan aturan yang berlaku dan tepat pada sasaran
yang dituju. Hal ini tentunya juga membantu pemerintah untuk
mengawasi terjadinya penyelewengan yang dilakukan oleh oknum-
oknum yang lebih mementingkan kepentingan pribadi.

V. Penutup
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang
sederhana namun kompleks. Pengertian keberlanjutan pun sangat

122 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


multidimensi dan multi-interpretasi. Pembangunan berkelanjutan
harus memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek pemahaman, yaitu:
keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keberlanjutan
sosial. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan mempunyai
tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (efisiensi dan pertumbuhan),
tujuan ekologi (konservasi SDA) dan tujuan sosial (mengurangi
kemiskinan dan pemerataan).
Banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan pedoman
dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Membuat
pedoman atau prinsip-prinsip tersebut merupakan suatu tantangan
yang menarik, karena sistem sosial dan ekonomi serta kondisi
ekologi tiap negara sangat beragam. Jadi tidak ada model solusi
umum yang dapat dibuat. Setiap negara harus menyusun model
solusinya sendiri, yang disesuaikan dengan konteks, kebutuhan,
kondisi, dan peluang yang ada.
Pembangunan berkelanjutan berhubungan erat dengan masalah
etika, mengingat bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
berorientasi pada masa depan dan memfokuskan diri pada masalah
kemiskinan. Dari sisi etika lingkungan, pembangunan berkelanjutan
telah menjadi agenda internasional, termasuk Indonesia. Namun
pada kenyataannya, pembangunan yang dijalankan di Indonesia
selama ini dirasakan kurang atau bahkan dapat dikatakan tidak
memerhatikan kaidah-kaidah konsep pembangunan berkelanjutan.
Hal ini dapat terlihat antara lain dalam masalah kerusakan hutan,
konversi lahan, pencemaran udara, pembuangan limbah, kesenjangan
sosial, tingginya jumlah penduduk miskin dan menjamurnya budaya
korupsi. Dalam mengimplementasikan konsep pembangunan
berkelanjutan, diperlukan adanya segitiga kemitraan antara
pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat madani dalam hubungan
kesetaraan dengan mengindahkan hukum ekonomi, alam-ekologi,
dan peradaban.

Pembangunan Berkelanjutan dan Penanggulangan Kemiskinan 123


DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan


Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Djody Gondokusumo, Madrim. 2005. Bunga Rampai: Pembangunan Kota
Indonesia Dalam Abad 21, Konsep dan Pedekatan Pembangunan
Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
“Kemiskinan di Indonesia”. Lihat:http://www.indonesia-investments.
com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/kemiskinan/item301,
diakses tanggal 16 Juni 2015.
Kusumaatmadja, Sarwono. “Pembangunan Berkelanjutan untuk
Mengatasi Kemiskinan dan Pengembangan Sikap Masyarakat
terhadap Produk Ramah Lingkungan”. Lihat: http://www.
lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Mengatasi kemiskinan dan
pengembangan sikap masyarakat – sarwono kusumaatmadja.
pdf, diakses tanggal 10 Juni 2015.
Marlina, Ani. 2009. Karakteristik Untuk Mendefinisikan Sustainable.
Wordpress: Jakarta.
“Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan atau Principle of
Sustainability Development” lihat: http://www.bangazul.com/
prinsip-prinsip-pembangunan-berkelanjutan/, diakses tanggal 22
Juni 2015.
Salim, Emil. 2003. Orasi Ilmiah Pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup.
Kampus IPB Baranangsiang, Sains Dan Pembangunan Berkelanjutan.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Djambatan: Jakarta.
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan
Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.

124 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


BAB VI
KESETARAAN GENDER DALAM
SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGS)
Dina Martiany

“Gender equality is more than a goal in itself. It is a precondition for meeting the
challenge of reducing poverty, promoting sustainable development and building
good governance.” (Kofi Annan)

I. Pendahuluan
Millennium Development Goals (MDGs) sebagai kerangka kerja
pembangunan global telah berakhir pada September 2015 yang lalu.
Sejak dicanangkan dalam United Nation Millennium Summit tahun
2000, sebanyak 189 negara di dunia berupaya untuk mencapai
delapan target pembangunan yang dituangkan dalam MDGs.
Profesor Jeffrey. D. Sachs1 menyebutkan bahwa MDGs telah menjadi
tonggak metode mobilisasi global yang historis dan efektif dalam
mencapai rangkaian prioritas pembangunan sosial yang penting
di seluruh dunia. Negara-negara di dunia secara bersama-sama
menunjukkan kepedulian global mengenai kemiskinan, kelaparan,
angka pendidikan dasar, ketidaksetaraan gender, dan kerusakan
lingkungan. Berbagai prioritas penting dalam pembangunan
dikemas dalam delapan target MDGs yang mudah dipahami, dengan
menetapkan indikator dan jangka waktu tertentu. MDGs menjadi
lebih mendorong pencapaian kesadaran global (global awareness),
akuntabilitas politik (political accountability), peningkatan metrik


1
Profesor Jeffrey D. Sachs merupakan ekonom dan pakar Sustainable
Development Goals dari Earth Institute, Universitas Columbia, Amerika dan
Direktur the Sustainable Development Solutions Network (SDSN) United
Nations.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 125


(improved metrics), saran sosial (social feedback), dan tekanan
publik (public pressure).2
Salah satu keberhasilan pencapaian MDGs dapat dilihat dari
menurunnya kondisi kemiskinan ekstrim secara signifikan selama
lebih dari dua dekade terakhir. Pada tahun 1990, hampir setengah
dari populasi negara berkembang hidup dengan pendapatan per
hari kurang dari US$1,25; pada tahun 2015 menurun hingga menjadi
14 persen. Jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan ekstrim
pun telah menurun lebih dari setengahnya, yaitu dari 1,9 miliar pada
tahun 1990 menjadi 836 juta pada tahun 2015. Mayoritas progress
tersebut terjadi sejak tahun 2000. Di Indonesia, data Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan persentase
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional hingga
akhir 2014 sebanyak 11,25 persen dari 15,10 persen pada tahun
1990. Pencapaian ini memang belum sesuai dengan target 7,55
persen yang diharapkan dapat dicapai pada akhir 2015, namun telah
menunjukkan kemajuan yang cukup berarti.3
Di samping laporan keberhasilan MDGs, masih terdapat pula
permasalahan yang belum terselesaikan dan target yang belum
tercapai. United Nations (UN) dalam The Millennium Development
Goals Report: 20154 menyebutkan beberapa hambatan tersebut,
yaitu: a) perempuan masih mengalami diskriminasi dalam
memperoleh akses pekerjaan, aset ekonomi, dan partisipasi dalam
pengambilan keputusan di ruang publik dan privat. Perempuan
juga lebih banyak hidup dalam kemiskinan dibandingkan dengan
laki laki; b) adanya kesenjangan yang besar antara rumah tangga


2
Jeffrey.D.Sachs.“FromMillenniumDevelopmentGoalstoSustainableDevelopment
Goals”, Lancet 2012, Volume 379, Juni 2012, http://www.sciencedirect.
com/science?_ob=PdfExcerptURL&_imagekey=1s2.0S014067361260685
0main.pdf&_piikey=S0140673612606850&_cdi=271074&_orig=article&_
zone=centerpane&_fmt=abst&_eid=1s2.0S0140673612606850&_user=129755
12&md5=bc3c0176a904607405eba89298d67e76&ie=/excerpt.pdf

3
“Pemerintah Nyerah Kejar Target Kemiskinan MDG”. Berita pada http://
economy.okezone.com/read/2015/08/12/320/1194840/pemerintah
nyerah kejar target kemiskinan mdgs, 12 Agustus 2015, diakses pada tanggal
18 Agustus 2015.

4
United Nations. The Millennium Development Goals Report: 2015 (Summary),
New York: United Nations. 2015.

126 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


kaya dan miskin, dan antara desa dan kota; c) perubahan iklim dan
kerusakan lingkungan sangat mengkhawatirkan; d) konflik masih
menjadi ancaman terbesar bagi pembangunan manusia; dan e)
jutaan orang miskin masih hidup dalam kemiskinan dan kelaparan,
tanpa akses terhadap layanan dasar.
Di Indonesia, indikator target MDGs yang paling sulit dicapai
adalah penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), sebagai indikator
MDGs goal ke-5: meningkatkan kesehatan ibu. Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012 menunjukkan AKI
berada pada angka 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup,
padahal target yang diharapkan dapat dicapai pada akhir MDGs
tahun 2015 sebesar 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup.
Menurut The United Nations Population Fund (UNFPA), sejak tahun
2007 Indonesia tercatat sebagai negara dengan AKI tertinggi di Asia
Tenggara, dengan 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup.5
Tujuan yang belum dapat dicapai melalui MDGs, akan dilanjutkan
dalam framework pembangunan global yang baru, selama lima belas
tahun mendatang. Pada tanggal 25–27 September 2015 dalam United
Nations (UN) Summit sebanyak 193 negara peserta telah menyepakati
Post-2015 Development Agenda atau Sustainable Development Goals/
SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Berbeda dengan
proses penyusunan MDGs, penyusunan SDGs dilakukan dengan
melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil. Sejak 19 Juli
2014, The UN General Assembly’s Open Working Group on Sustainable
Development Goals (OWG) telah mengusulkan 17 SDGs dengan 169
target, yang mencakup berbagai area pembangunan berkelanjutan.
Berbagai tujuan tersebut mengintegrasikan dan tidak memisahkan,
serta menyeimbangkan ketiga dimensi sustainable development:
ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Salah satu isu penting yang menjadi tujuan SDGs adalah
pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan seluruh
perempuan, serta anak perempuan (achieve gender equality and


5
“Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan Efektivitas Jaminan Kesehatan
Nasional untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu”. Women Research Institute
pada http://wri.or.id/166 current project id/perempuan kesehatan/angka
kematian ibu/654 ringkasan eksekutif penelitian kebijakan efektivitas
jaminan kesehatan nasional untuk menurunkan angka kematian ibu#.VdLoz_
nKFY8, Jakarta, tanpa tahun.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 127


empower all women and girls). Pada bagian Preamble (Pembukaan)
dokumen hasil UN Summit 25–27 September 2015: Transforming
Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development, disebutkan
bahwa deklarasi SDGs ini merupakan skala dan ambisi tujuan
pembangunan universal yang baru. Tujuan pembangunan yang
berupaya mewujudkan hak asasi manusia untuk semua, mencapai
kesetaraan gender dan pemberdayaan seluruh perempuan dan anak
perempuan.
Kesetaraan gender merupakan isu yang terus berkembang dan
sangat terkait dengan berbagai isu pembangunan lainnya. Tujuan
SDGs akan lebih cepat tercapai apabila berbagai area pembangunan
SDGs mengintegrasikan perspektif gender di dalamnya. Tujuan
kesetaraan gender dapat dilihat sebagai stand alone goal (tujuan
yang berdiri sendiri), maupun sebagai tujuan yang diarusutamakan
dalam tujuan lainnya dengan target dan indikator yang tepat
(mainstreaming gender into other goals through appropriate target
and indicators).6 Sebagaimana disampaikan oleh Kofi Annan,
mantan Sekjen PBB, bahwa: “kesetaraan gender sesungguhnya
lebih dari sekadar tujuan itu sendiri, tetapi merupakan kondisi
awal untuk mencapai tujuan pengurangan kemiskinan, mendorong
pembangunan berkelanjutan dan membangun pemerintahan yang
baik (gender equality is more than a goal in itself. It is a precondition
for meeting the challenge of reducing poverty, promoting sustainable
development and building good governance)”.
Kesetaraan gender secara eksplisit juga termasuk dalam salah
satu butir MDGs, yaitu tujuan ke-3 meningkatkan kesetaraan
gender dan memberdayakan perempuan (promote gender equality
and empower women). Meski demikian, hampir setiap butir MDGs
terkait dengan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,
misalnya: tujuan ke-1 menanggulangi kemiskinan dan kelaparan;
tujuan ke-2 pendidikan dasar untuk semua; tujuan ke-4 menurunkan
angka kematian anak; tujuan ke-5 meningkatkan kesehatan ibu;
tujuan ke-6 memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular
lainnya; dan tujuan ke-7 memastikan kelestarian lingkungan hidup.


6
UN Women. A transformative Stand Alone Goal on Achieving Gender Equality,
Women’s Rights and Women’s Empowerment: Imperative and Key Components.
New York: UN Women, 2013.

128 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Upaya pencapaian target target MDGs terkait kesetaraan gender
yang masih belum sesuai harapan akan dilanjutkan melalui SDGs.
Hasil survei yang dilakukan oleh UN Women7 memperkuat
argumen bahwa mengaitkan kesetaraan gender dan sustainable
development sangat penting karena beberapa alasan berikut ini:
Pertama, terkait moral dan etika yang sangat mendesak, yaitu:
mencapai kesetaraan gender dan mewujudkan hak asasi manusia,
harkat, dan kemampuan perempuan dari berbagai kelompok;
merupakan persyaratan utama dalam pembangunan berkelanjutan.
Kedua, merupakan kritik terhadap ketidakseimbangan impact dari
kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta tekanan terhadap
perempuan dan anak perempuan, di mana hal ini dapat merusak
hak asasi dan peran vital mereka dalam membangun keluarga dan
komunitas mereka. Ketiga, alasan yang paling signifikan, yaitu:
pentingnya membangun sumber daya/lembaga dan kemampuan
perempuan, untuk mewujudkan sinergi yang lebih baik antara
kesetaraan gender dan sustainable development.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tulisan ini akan
mendeskripsikan lebih jauh mengenai tujuan kesetaraan gender
dalam sustainable development. Selain itu, akan ditelusuri pula
bagaimana jalan panjang proses penyusunan SDGs, sehingga dapat
dilihat bahwa isu kesetaraan gender sangat terkait erat dengan ketiga
dimensi dalam sustainable development. Adapun permasalahan yang
akan dibahas lebih mendalam pada tulisan ini, yaitu: (1) Bagaimana
proses penyusunan SDGs; (2) Bagaimana konsep tujuan kesetaraan
gender dalam sustainable development/SDGs; dan (3) Bagaimana
mainstreaming perspektif gender dalam SDGs?

II. Proses Menuju Sustainable Development Goals (SDGs)


Istilah sustainable development atau pembangunan
berkelanjutan dipopulerkan dalam Our Common Future, suatu
laporan yang dipublikasikan oleh World Commission on Environment
and Development pada tahun 1987. Laporan ini dikenal juga
dengan sebutan “Brundtland Report”. Di dalamnya dijabarkan
pengertian dasar dari sustainable development, yaitu pembangunan


7
UN Women. The World Survey on the Role of Women in Development: Gender
Equality and Sustainable Development, 2014, hlm. 12.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 129


yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan
mereka (development which meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own
needs).
Pada tahun 1992 para pemimpin dunia menyusun prinsip
prinsip sustainable development dalam United Nations Conference on
Environment and Development atau Earth Summit di Rio de Janeiro,
Brazil. Hasil pertemuan ini dirumuskan dalam Agenda 21 dan
menjadi awal komitmen kerja sama global baru melalui sustainable
development yang mencakup tiga pilar utama, yaitu: pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan.
Konsep sustainable development ini dibutuhkan sebagai
kerangka pembangunan global yang baru, untuk mengakomodasi
perubahan perubahan yang terjadi pasca-MDGs 2015. Senior
Advisor INFID (International NGO Forum on Indonesian Development)
Michael Bobby Hoelman mengatakan bahwa SDGs sangat penting,
karena permasalahan global yang menjadi target SDGs juga
merupakan permasalahan pembangunan yang dihadapi Indonesia,
antara lain: kemiskinan, pendidikan, kesehatan ibu dan anak, serta
pelestarian lingkungan.8 Oleh sebab itu, sudah semestinya Indonesia
memberikan perhatian terhadap tujuan MDGs yang masih tertinggal,
untuk dilanjutkan dan dicapai melalui SDGs.
Penyusunan pembangunan berkelanjutan dilakukan melalui
dua jalur utama, yaitu:9 pertama, jalur Member State Led,
yang merupakan proses antarnegara untuk membangun dan
mengembangkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Proses
ini sering disebut sebagai jalur SDGs. Proses SDGs disetujui
dalam UN Conference on Sustainable Development (Rio+20), di
mana para negara peserta menyetujui untuk melakukan proses


8
Berita Tempo online, “Jokowi Didesak Datang ke Sidang Umum PBB
Lanjutkan Misi Ini”, tanggal 9 Agustus 2015, http://nasional.tempo.co/read/
news/2015/08/09/078690254/jokowi didesak datang ke sidang umum pbb
lanjutkan misi ini, diakses pada 18 Agustus 2015.
9
Hamong Santono dan Sugeng Bahagijo. Pembangunan Global Baru:
Perkembangan Penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015, Briefing Paper.
Jakarta: INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), Januari
2015.

130 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


intergovernmental. Berdasarkan pertemuan Rio+20 disepakati
pembentukan Open Working Group on Sustainable Development
Goals (OWG SDGs). Selain itu, Rio+20 juga menyepakati dibentuknya
Intergovernmental Committee of Experts on Sustainable Development
Financing (ICESDF) dan High Level Political Forum (HLPF).
Mekanisme utama untuk keterlibatan masyarakat sipil dalam
OWG SDGs adalah melalui Major Group System yang mewakili
sembilan kelompok, yaitu: perempuan, anak dan pemuda,
masyarakat adat, bisnis dan industri, serikat pekerja, otoritas
lokal, organisasi masyarakat sipil (civil society organizations/CSO),
ilmuwan, dan petani. Tujuannya adalah untuk mengembangkan
tujuan pembangunan berkelanjutan global atau apa yang dikenal
dengan Sustainable Development Goals/SDGs untuk kemudian
disetujui dalam Sidang Umum PBB.
Kedua, Jalur United Nations Secretary General Led, yaitu
proses yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa
Bangsa (Sekjen PBB). Proses ini dilakukan melalui rangkaian diskusi
dan konsultasi di tingkat nasional, regional, dan global. Jalur ini
sering disebut sebagai jalur Post MDGs. Dimulai sejak High Level
Plenary (HLP) Meeting of the General Assembly on the MDGs pada
tahun 2010. Selama HLP Meeting tersebut selain menyerukan
percepatan perkembangan MDGs, para pemerintah negara peserta
juga menginisiasi langkah langkah lanjutan menuju Agenda
Pembangunan Pasca- 2015. Beberapa proses yang dilakukan dalam
jalur ini yaitu:
–– Dibentuknya UN System Task Team;
–– Konsultasi Tematik, Nasional, dan Global. Proses ini dipimpin
oleh UN Development Group (UNDG) untuk melakukan konsultasi
terhadap 11 tema dan konsultasi di 88 negara, serta membuat
survei global secara online;
–– High Level Panel (HLP) of Eminent Persons; untuk memberikan
masukan terkait penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015.
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono10
ditunjuk menjadi salah satu co chair, bersama dengan Presiden
Liberia Mrs. Ellen Johnson Sirleaf, dan Perdana Menteri Inggris
David Cameron; dan


10
Presiden Republik Indonesia periode 2004–2009 dan 2009–2014.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 131


–– Laporan Sekretaris Jenderal PBB. Proses ini mengeluarkan
laporan rekomendasi dari Sekjen PBB untuk Agenda
pembangunan Pasca-2015. Terdapat dua laporan yang sudah
dirilis, yaitu:“a Life of Dignity for All” dan “The Road to Dignity
by 2030: Ending Poverty, Transforming All Lives and Protecting
The Planet”.

Sumber: UN Foundation and Dalberg Analysis.


Gambar 1.
Proses Penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015
HLP of Eminent Persons pada 30 Mei 2013 mengeluarkan
laporan dengan judul: “a New Global Partnership: Eradicate Poverty
and Transform Economies through Sustainable Development”. Di
dalamnya, HLP menyerukan agar Agenda Pembangunan Pasca-2015
disusun berdasarkan lima prinsip pergeseran yang transformatif
(transformative shift) berikut:
a) Leave No One Behind. Setelah tahun 2015, harus ada pergeseran
prinsip dari “mengurangi” menjadi “mengakhiri” kemiskinan
ekstrim dalam berbagai bentuk. Harus dapat dipastikan tidak
ada seorang pun, baik karena etnis, gender, geografi, disabilitas,
ras, atau status lainnya terpinggirkan dari memperoleh
kesempatan ekonomi dasar dan hak asasi.

132 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


b) Put Sustainable Development at the Core. Sustainable
development harus mengintegrasikan dimensi sosial, ekonomi,
dan lingkungan yang berkelanjutan. Negara negara di dunia harus
segera bertindak untuk memperlambat kecepatan perubahan
iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan,
menimbulkan ancaman terhadap kemanusiaan (unprecedented
threats), dan belum pernah terjadi sebelumnya.
c) Transform Economies for Jobs and Inclusive Growth.
Transformasi ekonomi dapat mengakhiri kemiskinan ekstrim
dan meningkatkan mata pencaharian, dengan memanfaatkan
inovasi, teknologi, dan bisnis potensial. Diversifikasi ekonomi
yang lebih banyak dan kesempatan yang semakin terbuka akan
mendorong terjadinya inklusi sosial dan mengembangkan pola
konsumsi dan produksi berkelanjutan.
d) Build Peace and Effective, Open and Accountable Institutions
for All. Kebebasan dari konflik dan kekerasan merupakan hak
manusia yang fundamental dan fondasi esensial untuk membangun
masyarakat yang damai dan sejahtera. Pada saat yang sama,
masyarakat dari seluruh dunia mengharapkan pemerintah mereka
untuk jujur, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan mereka.
Agenda Pembangunan Pasca-2015 merupakan perubahan yang
fundamental, untuk mengakui perdamaian dan pemerintahan yang
baik (good governance) sebagai elemen inti dari kesejahteraan,
bukan sebagai pilihan ekstra; dan
e) Forge a New Global Partnership. Semangat solidaritas, kerja
sama, dan akuntabilitas mutual harus menjadi penyokong Agenda
Pembangunan Pasca-2015. Kerja sama baru ini didasarkan pada
pemahaman umum mengenai kemanusiaan; dan dikembangkan
berdasarkan respek dan keuntungan mutual. Pusat perhatian
difokuskan pada manusia, termasuk mereka yang terkena
dampak kemiskinan dan eksklusi, perempuan, pemuda, lansia,
orang dengan disabilitas, dan masyarakat pribumi/adat. Kerja
sama ini juga harus melibatkan CSO, institusi multilateral,
pemerintah lokal dan nasional, komunitas akademi dan sains,
dunia usaha, dan filantropis perorangan.
Kedua jalur tersebut (Member State Led dan United Nations
Secretary General Led) kemudian digabungkan untuk menuju proses

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 133


intergovernmental negotiations (perundingan intergovernmental)
yang dimulai sejak Januari 2015. Sebagai akhir dari proses ini, telah
dilakukan intergovernmental negotiation terhadap Outcome Document
pada tanggal 22–25 Juni 2015, dilanjutkan pada tanggal 20–24 Juli
2015 dan 27–31 Juli 2015. Sebagai hasil dari proses tersebut, pada
tanggal 1 Agustus 2015 dikeluarkan dokumen final untuk diadopsi
oleh negara negara di dunia, yaitu: Transforming Our World: The 2030
Agenda for Sustainable Development.11 Dokumen ini telah disahkan
dan diadopsi dalam 69th UN General Assembly pada tanggal 25–27
September 2015 di New York. Dalam dokumen final itu disebutkan 17
butir Sustainable Development Goals sebagai berikut:

Sumber: www.sustainabledevelopment.un.org, 2015.


Gambar 2.
Sustainable Development Goals (SDGs)
• Goal 1. End poverty in all its forms everywhere (mengakhiri segala
bentuk kemiskinan di seluruh tempat);
• Goal 2. End hunger, achieve food security and improved nutrition
and promote sustainable agriculture (mengakhiri kelaparan,
mencapai ketahanan pangan, peningkatan nutrisi, dan
meningkatkan pertanian berkelanjutan);


11
“Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development”, 2015.
Dokumen final dalam proses penyusunan SDGs ini merupakan agenda aksi bagi
masyarakat, planet dan kesejahteraan. Dikeluarkan oleh UN pada 1 Agustus 2015,
https://sustainabledevelopment.un.org/post2015/transformingourworld,diakses
pada tanggal 18 Agustus 2015.

134 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


• Goal 3. Ensure healthy lives and promote well being for all
at all ages (memastikan hidup sehat dan mempromosikan
kesejahteraan untuk seluruh orang pada semua usia);
• Goal 4. Ensure inclusive and equitable quality education and
promote lifelong learning opportunities for all (memastikan
kualitas pendidikan yang inklusif dan layak, serta mendorong
kesempatan untuk pembelajaran seumur hidup untuk semua);
• Goal 5. Achieve gender equality and empower all women and girls
(mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
dan anak perempuan);
• Goal 6. Ensure availability and sustainable management of
water and sanitation for all (memastikan ketersediaan dan
keberlanjutan manajemen air dan sanitasi untuk semua);
• Goal 7. Ensure access to affordable, reliable, sustainable, and
modern energy for all (memastikan akses terhadap energi
yang terjangkau, terpercaya, berkelanjutan dan modern untuk
semua);
• Goal 8. Promote sustained, inclusive and sustainable economic
growth, full and productive employment and decent work for
all (mendorong secara terus-menerus pertumbuhan ekonomi
yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh waktu dan
produktif, dan pekerjaan yang layak untuk semua;
• Goal 9. Build resilient infrastructure, promote inclusive and
sustainable industrialization and foster innovation (membangun
infrastruktur yang tahan lama, mendorong industri yang inklusif
dan berkelanjutan, dan mengembangkan inovasi);
• Goal 10. Reduce inequality within and among countries
(mengurangi ketidaksetaraan di antara negara negara di dunia);
• Goal 11. Make cities and human settlements inclusive, safe,
resilient, and sustainable (membuat kota dan permukiman yang
inklusif, aman, kokoh, dan berkelanjutan);
• Goal 12. Ensure sustainable consumption and production patterns
(memastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan);
• Goal 13. Take urgent action to combat climate change and its
impacts (mengambil langkah mendesak untuk memberantas
perubahan iklim dan dampaknya);
• Goal 14. Conserve and sustainably use the oceans, seas and
marine resources for sustainable development (melindungi dan

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 135


melestarikan penggunaan samudera, lautan, dan sumber daya
kelautan untuk pembangunan berkelanjutan);
• Goal 15. Protect, restore and promote sustainable use of terrestrial
ecosystems, sustainably manage forests, combat desertification,
and halt reverse land degradation and halt biodiversity loss
(melindungi, memulihkan, dan meningkatkan keberlanjutan
penggunaan ekosistem terestrial/daratan, mengelola hutan
secara berkelanjutan, memberantas desertifikasi, dan
menghentikan degradasi cadangan tanah, dan menghentikan
kehilangan biodiversitas/keanekaragaman hayati);
• Goal 16. Promote peaceful and inclusive societies for sustainable
development, provide access to justice for all and build effective,
accountable and inclusive institutions at all levels (mendorong
masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan; menyediakan akses terhadap keadilan untuk
semua; dan membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan
inklusif, di semua level); dan
• Goal 17. Strengthen the means of implementation and revitalize
the global partnership for sustainable development (memperkuat
makna dari implementasi dan merevitalisasi kerja sama global
untuk pembangunan berkelanjutan).

III. Kesetaran Gender dalam Sustainable Development/SDGs


Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetaraan
gender, termasuk di dalamnya melakukan pemberdayaan
perempuan dan pemenuhan hak perempuan, dapat menjadi
katalisator dalam pencapaian tujuan pembangunan global lainnya.
Sebagai contoh, sebagaimana yang terjadi pada pencapaian MDGs,
hampir seluruh butir MDGs sangat terkait dengan kesetaraan
gender. Butir ke-5 MDGs yaitu meningkatkan kesehatan ibu, salah
satu indikatornya adalah menurunkan AKI pada saat melahirkan.
Pemenuhan indikator ini akan dapat tercapai apabila hak kesehatan
reproduksi perempuan/ibu hamil terpenuhi. Secara kasat mata
indikator ini juga terkait dengan akses perempuan terhadap
pendidikan dan informasi; yaitu: agar mengetahui kebutuhan
nutrisi yang diperlukan selama kehamilan, pentingnya pemeriksaan
berkala, dan melahirkan yang aman. Bahkan terkait pula dengan
ada atau tidaknya hak perempuan dalam pengambilan keputusan,

136 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan atas tubuhnya,
seperti mengatur jarak kehamilan, memilih alat kontrasepsi yang
cocok dengan dirinya, dan memilih untuk melahirkan di bidan yang
berpengalaman.
Kesetaraan gender bukan hanya tujuan yang berdiri sendiri,
namun terkait dengan berbagai tujuan dalam agenda pembangunan
global. Berbagai fakta menunjukkan, memberdayakan perempuan
secara tidak langsung juga akan memberdayakan kemanusiaan
(empowering women, empowers humanity). Mencapai kesetaraan
gender merupakan hal yang kritikal dalam sustainable development.
Dokumen hasil United Nations Conference on Environment and
Development atau Earth Summit Tahun 1992 meletakkan global
framework untuk mengatasi tantangan yang dihadapi komunitas
global dalam tiga dimensi pembangunan berkelanjutan.
Prinsip ke-20 Rio Declaration (on Environment and Development)
menyebutkan bahwa perempuan memiliki peran vital dalam
pengelolaan dan pembangunan lingkungan. Partisipasi penuh
perempuan merupakan hal yang sangat esensial untuk mencapai
sustainable development.12 Sementara itu, Bab/chapter ke-24
Agenda 21 merekomendasikan kepada pemerintah nasional untuk
mengembangkan strategi yang dapat mengurangi tantangan atau
hambatan konstitusional, legal, administratif, budaya, perilaku,
sosial, dan ekonomi, yang dapat menghalangi perempuan untuk
berpartisipasi penuh dalam pembangunan berkelanjutan dan
kehidupan publik.13
Pernyataan tentang pentingnya kesetaraan gender dalam
sustainable development juga terdapat pada dokumen hasil Fourth
World Conference on Women di Beijing pada September 1995, yang
dikenal dengan Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA).


12
Rio Declaration adalah dokumen hasil United Nations Conference on
Environment and Development, Rio de Janeiro, 3 14 Juni 1992. Berisikan
27 prinsip dasar yang menekankan keterkaitan antara pembangunan dan
lingkungan. Dokumen dapat dilihat pada http://www.unep.org/Documents.
Multilingual/Default.asp?documentid=78&articleid=1163, diakses tanggal 20
Agustus 2015.

13
Agenda 21, Dokumen hasil United Nations Conference on Environment and
Development, Rio de Janeiro, 3 14 Juni 1992, dokumen dapat diakses pada
https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/Agenda21.pdf.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 137


Ditegaskan bahwa manusia adalah pusat perhatian dari sustainable
development; dan perempuan memiliki peran penting dalam
membangun keberlanjutan tersebut, yaitu menyuarakan tentang
pola konsumsi dan produksi, serta pengelolaan sumber daya alam.
Pengurangan kemiskinan berdasarkan pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, pembangunan sosial, perlindungan lingkungan,
dan keadilan sosial membutuhkan keterlibatan perempuan dalam
pembangunan sosial dan ekonomi, dan kesempatan yang setara,
serta partisipasi sepenuhnya dari perempuan maupun laki laki
sebagai agen dan penerima manfaat sustainable development.14
BPFA ini merupakan titik awal dimensi baru dalam diskursus
pembangunan, dengan adanya pergeseran dari pendekatan spesifik
perempuan (Women in Development/WID) menjadi fokus pada
relasi gender (Gender and Development/GAD). Fokus pembangunan
tidak hanya melihat pada permasalahan “perempuan”, melainkan
dilakukan dengan mengidentifikasi pengarusutamaan gender, hak
asasi manusia, dan pembangunan partnership antara perempuan
dan laki laki sebagai strategi dasar dalam mencapai kesetaraan
gender.
Dalam The Future We Want, dokumen hasil United Nations
Conference on Sustainable Development (UNCSD), di Rio de Janeiro
pada 20–22 Juni 2012 diakui bahwa kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan sangat penting bagi ketiga dimensi
sustainable development dan masa depan dunia. Di dalamnya

Beijing Declaration Platform for Action, merupakan hasil dari Fourth World
14

Conference on Women, 4 15 September 1995, di Beijing. Dalam deklarasi


disebutkan dua belas kritikal area yang menjadi perhatian dalam pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender. Adapun ke-12 area kritis dalam BPfA, yaitu:
1) perempuan dan kemiskinan; 2) pendidikan dan pelatihan untuk perempuan;
3) perempuan dan kesehatan; 4) kekerasan terhadap perempuan; 5) perempuan
dan konflik senjata; 6) perempuan dan ekonomi; 7) perempuan dalam
kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) mekanisme
institusional untuk kemajuan perempuan; 9) hak hak asasi perempuan; 10)
perempuan dan media massa; 11) perempuan dan lingkungan; dan 12) anak
anak perempuan. Sampai saat ini, dokumen penting BPFA masih terus berlanjut
menjadi kerangka aksi bagi perjuangan global dalam menghadapi permasalahan
dan hambatan pemberdayaan perempuan di seluruh dunia. Dokumen dapat
dibaca pada http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing/pdf/BDPfA%20E.
pdf, diakses tanggal 17 Agustus 2015.

138 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


ditekankan bahwa sustainable development harus inklusif dan
people centered, serta dapat memberikan manfaat dan melibatkan
seluruh masyarakat. Deklarasi ini seakan menguatkan kembali
komitmen bangsa bangsa di dunia untuk memastikan hak, akses,
dan kesempatan yang setara bagi perempuan berpartisipasi dalam
ekonomi, masyarakat, dan pengambilan keputusan politik.
Laporan UN Task Team kepada Sekjen PBB “Realizing the Future
We Want for All” menekankan kepentingan kritikal dari kesetaraan
gender sebagai hak asasi manusia dan inti dari tujuan pembangunan,
dan menekankan bahwa diskriminasi terhadap perempuan dan
anak perempuan menghambat kemajuan dalam seluruh bidang
pembangunan. Disebutkan dalam laporan tersebut: “pemberdayaan
perempuan dan anak perempuan, serta perlindungan hak mereka
harus menjadi pusat bagian dari agenda pembangunan pasca-2015.”15
Meski isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
sangat penting dalam setiap dimensi sustainable development,
namun tidak cukup hanya itu saja. Merupakan hal yang imperatif
untuk melakukan pendekatan yang terintegrasi. Diperlukan adanya
perubahan menjadi model sustainable development di mana dimensi
ekonomi, sosial, dan lingkungannya melibatkan perempuan sebagai
penerima manfaat, pemimpin, dan kontributor dalam pertumbuhan
inklusif, layak secara sosial, dan adil; serta dapat mengelola sumber
daya dan lingkungan secara efektif. Berikut ini gambaran mengenai
pendekatan terintegrasi (integrated approach) yang dapat dilakukan
dalam setiap dimensi sustainable development:16
Dimensi Ekonomi: pertumbuhan inklusif adalah elemen kritikal
dalam memastikan hasil pembangunan terdistribusikan secara adil.
Ketika perempuan memiliki akses terhadap sumber daya, kesempatan,
dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, mereka akan
berada pada posisi yang lebih baik sebagai penggerak pembangunan,
serta dapat memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi
yang sustainable dan inklusif. Bukti bukti menunjukkan bahwa
hal ini tidak hanya menguntungkan bagi perempuan, tetapi juga


15
“Realizing the Future We Want For All: Report to the Secretary General.
2012”. UN Task Team, http://www.un.org/millenniumgoals/pdf/Post_2015_
UNTTreport.pdf, diakses pada tanggal 20 Agustus 2015.

16
The Future Women Want: a Vision of Sustainable Development for All. 2012. UN
Women, United States, hlm. 9.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 139


berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Langkah selanjutnya
dibutuhkan untuk mengintegrasikan perspektif kesetaraan gender
dan pemberdayaan perempuan ke dalam kebijakan dan strategi untuk
pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, infrastruktur
ekonomi dan keuangan, serta untuk memberikan akses yang
setara kepada perempuan dan laki laki terhadap aset dan sumber
daya produktif (misalnya: tanah, properti, dan sumber keuangan),
pekerjaan yang layak dan pelayanan dasar (misalnya: energi dan air).
Dimensi Sosial: kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
merupakan aspek fundamental dalam keadilan sosial. Normal sosial,
stereotip gender, akses yang tidak merata dan terbatas terhadap
sumber daya, layanan kesehatan, dan pendidikan, membatasi
kemampuan perempuan untuk berpartipasi secara penuh dan
setara dalam setiap aspek kehidupan. Kebijakan sosial yang
mencakup prinsip prinsip inklusivitas, keadilan, dan keberlanjutan
lingkungan akan berkontribusi dalam membentuk lingkungan agar
lebih distributif dan memberikan keuntungan untuk kelompok
perempuan dan laki laki yang berbeda beda, dan secara konsekuen
mempercepat pencapaian sustainable development.
Dimensi Lingkungan: dalam dimensi ini, perempuan sering kali
berperan sebagai produsen pertanian, pekerja, dan pengelola sumber
daya; dan dapat berkontribusi antara lain, untuk: a) memengaruhi
produksi dan konsumsi berkelanjutan; b) menjaga lingkungan alam
dan biodiversitas; c) melestarikan pengetahuan tradisional; dan d)
mengalokasikan sumber daya yang memadai dan berkelanjutan di
dalam rumah tangga dan komunitas. Bagi perempuan yang hidup
dalam kemiskinan, mereka harus mampu mengelola dengan baik
pemanfaatan sumber daya yang langka seperti air dan energi. Sebagai
petani perempuan, kadangkala mereka harus membuat keputusan
di bawah kondisi penuh keterbatasan yang sering kali memerlukan
tindakan yang mengabaikan prinsip sustainable development.
Kondisi ini akan menjadi permasalahan ketika dikonfrontasikan
dengan potensi kerusakan lingkungan, sehingga akan memengaruhi
pola konsumsi mereka dan manajemen sumber daya alam yang
dilakukan oleh komunitas. Oleh karenanya, mempersiapkan
perempuan untuk memiliki kesempatan, sumber daya, dan
melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan terkait

140 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


lingkungan akan meningkatkan kehidupan sosial dan kesejahteraan
mereka dan memberikan keuntungan bagi seluruh komunitas.
Selanjutnya, dalam The Road to Dignity by 2030: Ending Poverty,
Transforming All Lives and Protecting the Planet Synthesis Report of
the Secretary General on the Post 2015 Agenda yang dikeluarkan pada
Desember 2014, disebutkan enam elemen esensial yang seharusnya
dimasukkan dalam SDGs. Keenam elemen tersebut akan membantu
membingkai dan memperkuat agenda sustainable development yang
universal, terintegrasi, dan transformatif. Adanya elemen ini akan
memastikan ambisi yang dinyatakan oleh negara negara peserta
(member states) dalam hasil dari OWG dapat dikomunikasikan dan
disampaikan pada tingkat negara masing masing. Keenam elemen
tersebut, yaitu:

Sumber: United Nations, 2014.


Gambar 3. Enam Elemen Esensial dalam SDGs

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 141


1) Dignity: to end poverty and fight inequalities (Harkat/Martabat,
untuk mengakhiri kemiskinan dan melawan ketidakadilan);
2) People: to ensure healthy lives, knowledge, and the inclusion of
women and Children (Manusia, untuk memastikan kehidupan
yang sehat, dan menyertakan perempuan dan anak anak);
3) Prosperity: to grow a strong, inclusive, and transformative
economy (Kesejahteraan, untuk menumbuhkan ekonomi yang
kuat, inklusif, dan transformatif);
4) Planet: to protect our ecosystems for all societies and our children
(Planet: untuk melindungi ekosistem demi seluruh masyarakat
dan anak anak kita);
5) Justice: to promote safe and peaceful societies, and strong
institutions (Keadilan, untuk mendorong masyarakat yang aman
dan damai, dan institusi yang kuat); dan
6) Partnership: to catalyse global solidarity for sustainable
development (Kerja sama: untuk mengkatalisasikan solidaritas
global untuk pembangunan berkelanjutan).
Dalam keenam elemen tersebut, disampaikan pentingnya
melibatkan perempuan dalam sustainable development. Berangkat
dari kesadaran bahwa selama ini permasalahan perempuan dan
anak–anak masih menjadi pekerjaan yang belum terselesaikan
dalam MDGs. Perempuan, bersama–sama dengan dan anak–
anak dan pemuda harus dipastikan memiliki akses sepenuhnya
terhadap layanan kesehatan. Melalui sustainable development harus
dipastikan zero tolerance adanya kekerasan terhadap perempuan
atau eksploitasi perempuan dan anak perempuan. Mereka harus
memiliki akses yang setara kepada layanan jasa keuangan, hak
untuk memiliki tanah, dan aset lainnya.
Agenda Pembangunan Pasca-2015 ini sudah semestinya
ditujukan untuk menyediakan layanan kesehatan universal, yang
mudah akses dan terjangkau; mengakhiri AKI, kematian anak dan
bayi, dan malnutrisi; memastikan ketersediaan obat obatan dasar;
memenuhi hak kesehatan reproduksi perempuan; mengurangi
malaria dan membangun masa depan bebas AIDS dan tuberkolosis;
mengurangi beban penyakit penyakit lainnya; mendorong perilaku
hidup sehat, termasuk yang berkaitan dengan air, sanitasi, dan
higenitas.

142 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


IV. Mainstreaming Perspektif Gender dalam SDGs
Uraian pada bab bab sebelumnya telah menjelaskan pentingnya
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai tujuan
transformatif yang terkait dengan setiap dimensi sustainable
development. Selain sebagai a stand alone goal, atau suatu tujuan
yang berdiri sendiri/sebagai target spesifik, tujuan kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan juga harus diintegrasikan
atau diarusutamakan (mainstreaming) dalam tujuan lainnya. Hal ini
untuk memastikan pencapaian yang berarti dari tujuan sustainable
development di bidang lainnya, dengan mengatasi permasalahan
diskriminasi berbasis gender pada area spesifik tersebut.
UN Women mengajukan usulan tiga target prioritas yang harus
termasuk dalam framework tujuan pembangunan pasca-2015, untuk
mengatasi kesetaraan gender, hak perempuan, dan pemberdayaan
perempuan. Inklusi/menyertakan seluruh isu kesetaraan gender
dan perempuan dalam tujuan transformatif yang berdiri sendiri
(transformative stand alone goal), akan mampu mengatasi penyebab
struktural terjadinya ketidaksetaraan gender yang menghambat
pemberdayaan perempuan dan realisasi hak mereka sepenuhnya.
Target dan indikator yang diusulkan bertujuan untuk memonitor
perubahan melalui kesetaraan relasi antara laki–laki dan perempuan,
dengan tetap memberikan perhatian pada berbagai variasi faktor
penyebab tersubordinasinya perempuan, seperti: kelas, ras, etnis,
lokasi geografis, disabilitas, seksualitas, dan faktor penyebab
diskriminasi dan ekslusi lainnya.
Adapun ketiga area target UN Women yang menunjukkan
elemen inti (core element) dari kesetaraan gender, hak perempuan,
dan pemberdayaan perempuan, yaitu:
a) Bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan
(freedom from violence against women and girls). Tindakan
konkret yang diperlukan untuk mengurangi kelemahan,
ketakutan dan/atau pengalaman akan kekerasan harus menjadi
pusat perhatian dari setiap framework pembangunan di masa
depan. Kekerasan dapat menyebabkan kerugian besar, baik
secara fisik maupun psikologis kepada perempuan dan anak
perempuan, menjadi pelanggaran hak asasi mereka, membatasi
kemampuan untuk memenuhi potensi mereka, dan kemampuan
memperoleh pendapatan.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 143


b) Kesetaraan gender dalam kapabilitas dan sumber daya
(gender equality in capabilities and resources). Diperlukan
pendistribusian kapabilitas, dengan urgensi yang diperbaharui,
demi untuk membangun ketahanan ekonomi dan sosial
perempuan. Kapabilitas perempuan itu mencakup, antara lain:
kesehatan seksual dan reproduksi, hak–hak reproduksi bagi
perempuan dan anak perempuan, sumber daya dan peluang,
misalnya: seperti aset produktif (termasuk tanah), pekerjaan
yang layak, dan upah yang setara.
c) Kesetaraan gender dalam kekuasaan pengambilan keputusan
di institusi publik dan privat (Gender equality in decision making
power in public and private institutions). Rendahnya jumlah
perempuan dalam institusi pengambilan keputusan, dari parlemen
tingkat nasional sampai tingkat daerah harus ditingkatkan. Hal ini
penting untuk memastikan bahwa perempuan dapat berpartisipasi
aktif dalam lembaga–lembaga demokratis dan suara mereka
didengar dalam forum publik dan privat. Kurangnya suara dalam
pengambilan keputusan juga ditemukan di lembaga lembaga
kunci yang memengaruhi opini publik dan mempromosikan
akuntabilitas, seperti media dan masyarakat sipil serta di lembaga
privat, misalnya: dalam manajemen dan tata kelola perusahaan.
Ketiga core element tersebut menjadi prinsip dasar dalam
finalisasi tujuan kesetaraan gender. Setelah berbagai proses panjang,
pada akhirnya dalam dokumen Transforming Our World: The 2030
Agenda for Sustainable Development, disebutkan tujuan kesetaraan
gender yang berdiri sendiri dalam Goal 5 SDGs.

V. Tujuan 5. Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan


Perempuan dan Anak Perempuan
5.1 Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
dan anak perempuan di mana pun;
5.2 Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
dan anak perempuan di ruang publik dan privat, termasuk
trafficking, kekerasan seksual dan eksploitasi bentuk lainnya;
5.3 Menghapuskan segala praktik yang berbahaya/berdampak
buruk, seperti: pernikahan dini/anak anak secara paksa dan
sunat perempuan;

144 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


5.4 Mengakui dan menghargai pelayanan dan pekerjaan domestik
yang tidak dibayar, melalui penyediaan kebijakan layanan
publik, infrastruktur, dan perlindungan sosial, dan peningkatan
pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga dan keluarga,
yang sesuai secara nasional;
5.5 Memastikan partisipasi perempuan yang sepenuhnya dan
efektif, serta kesempatan yang setara untuk menjadi pemimpin
di semua tingkatan pengambilan keputusan, baik dalam bidang
politik, ekonomi, dan ruang publik lainnya;
5.6 Memastikan akses universal terhadap kesehatan seksual dan
reproduksi, serta hak reproduktif sebagaimana yang disepakati
sesuai dengan program aksi International Conference on
Population and Development (ICPD) dan Beijing Platform for
Action, termasuk dokumen hasil konferensi tinjauannya.
5.a. Melakukan perubahan untuk memberikan hak kesetaraan bagi
perempuan terhadap sumber daya ekonomi, warisan, dan
sumber daya alam; sesuai dengan hukum nasional;
5.b Meningkatkan penggunaan teknologi yang memadai, terutama
teknologi informasi dan komunikasi, serta meningkatkan
pemberdayaan perempuan; dan
5.c Mengadopsi dan memperkuat penyuaraan kebijakan dan
penegakan legislasi untuk meningkatkan kesetaraan gender
dan memberdayakan seluruh perempuan dan anak perempuan
di semua tingkatan.
Tujuan dan target yang dirumuskan dalam Goal 5 SDGs tersebut
hanya menggambarkan prinsip prinsip dasar kesetaraan gender yang
ingin dicapai. Dalam pelaksanaannya, negara negara pengadopsi
mesti mengimplementasikan dalam program dan kegiatan yang
tepat, sehingga dapat mencapai target. Mosser17 berpendapat bahwa
permasalahan penting dalam implementasi perencanaan gender
adalah pada saat merumuskan kebijakan gender menjadi lebih
praktis (program dan kegiatan). Proses ini harus didukung dengan
analisis gender, data terpilah, dan dilakukan oleh pakar gender.


17
Caroline. O. N. Moser. Gender Planning and Development: Theory, Practice, &
Training. London dan New York, Routledge: 1995.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 145


Goal 5. Achieve gender equality and empower all women and girls
5.1 End all forms of discrimination against all women and girls everywhere
5.2 Eliminate all forms of violence against all women and girls in the public
and private spheres, including trafficking and sexual and other types of
exploitation
5.3 Eliminate all harmful practices, such as child, early and forced marriage and
female genital mutilation
5.4 Recognize and value unpaid care and domestic work through the provision
of public services, infrastructure and social protection policies and the
promotion of shared responsibility within the household and the family as
nationally appropriate
5.5 Ensure women’s full and effective participation and equal opportunities for
leadership at all levels of decision making in political, economic and public life
5.6 Ensure universal access to sexual and reproductive health and reproductive
rights as agreed in accordance with the Programme of Action of the
International Conference on Population and Development and the Beijing
Platform for Action and the outcome documents of their review conferences
5.a Undertake reforms to give women equal rights to economic resources,
as well as access to ownership and control over land and other forms of
property, financial services, inheritance and natural resources, in accordance
with national laws
5.b Enhance the use of enabling technology, in particular information and
communications technology, to promote the empowerment of women
5.c Adopt and strengthen sound policies and enforceable legislation for the
promotion of gender equality and the empowerment of all women and girls
at all levels

Selain itu, diperlukan pula pendekatan yang lebih komprehensif


dengan mengintegrasikan atau mengarusutamakan (mainstreaming)
perspektif gender dalam tujuan SDGs lainnya. Secara umum
tujuan tujuan lainnya memang tidak terlihat seperti ada kaitannya
dengan kesetaraan gender. Meski demikian, dalam setiap bidang
pembangunan selalu ada keterkaitan dengan isu kesetaraan gender,
pemberdayaan perempuan, dan hak perempuan, terutama yang
terkait dengan partisipasi perempuan. Hasil pembangunan memiliki
perbedaan dampak bagi perempuan dan laki laki, dan akses terhadap
hasil pembangunan. Goal 5 menjadi prinsip dan indikator yang akan
dicapai melalui pencapaian tujuan lainnya. Apabila implementasi
berbagai program untuk mencapai target seluruh tujuan SDGs
dilakukan dengan perspektif gender, maka selain tercapainya tujuan
SDGs berbagai bidang, tujuan kesetaraan gender juga akan tercapai.

146 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Berikut ini akan diuraikan contoh mainstreaming perspektif
gender dalam beberapa tujuan SDGs lainnya:
• Goal 6. Water and sanitation (air dan sanitasi)
Air merupakan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup,
dari minum dan mempersiapkan makanan, mandi, mencuci, irigasi
tanaman, dan sumber air untuk ternak. Dalam berbagai komunitas
masyarakat, air memegang peran meningkatkan perekonomian,
terutama sebagai salah satu sumber energi hijau. Jalur air
(waterways) juga masih menjadi sistem transportasi air terintegrasi
di beberapa negara. Meski akses setara terhadap air minum yang
aman dianggap sebagai hak asasi esensial bagi setiap orang, namun
keterbatasan akses air menimbulkan dampak gender yang spesifik.
Air merupakan pusat dari seluruh cakupan aktivitas domestik,
yang dalam banyak kultur masih dilihat sebagai area pekerjaan
perempuan: memasak, mengurus hewan peliharaan, irigasi
pertanian, kebersihan rumah tangga, mengurus orang sakit, bersih
bersih, mencuci, dan membuang sampah.18 Perempuan akan lebih
membutuhkan banyak air untuk higenitas kesehatan reproduksinya,
misalnya saat hamil dan menstruasi. Dalam berbagai komunitas,
rata rata mengambil air menjadi tugas perempuan. Perempuan
dan anak perempuan di berbagai belahan dunia terpaksa berjalan
sangat jauh untuk mengambil air dari sumbernya atau menuju
akses sanitasi. Sering kali tugas ini berisiko dari sisi keamanan/
keselamatan bila mereka tinggal di wilayah konflik, pasca-
bencana, atau daerah tertinggal. Dari sisi kesehatan, berjalan kaki
dengan membawa beban air yang berat selama berjam jam dapat
berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan mengurangi
waktu produktif mereka untuk melakukan pekerjaan lainnya.
Selama ini, banyak proyek air dan sanitasi gagal karena minimnya
keterlibatan komunitas lokal, terutama perempuan sebagai ujung
tombak pengguna air bersih. Memastikan penyediaan air bersih dan
sanitasi yang layak membutuhkan tata kelola air partisipatoris, di


18
United Nations (UN) Water. 2005. “Water for Life Decade 2005 2015”. Dalam
rangka mendukung percepatan pencapaian MDGs, Sidang Umum UN juga
menetapkan Tahun 2005 2015 sebagai periode Ïnternational Decade for
Action: “Water for Life”. Dasawarsa ini dimulai pada tanggal 22 Maret 2005,
yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day).www.
un.org/waterforlifedecade/pdf/waterforlifebklt e.pdf.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 147


mana suara perempuan diperlukan untuk memberikan informasi
dalam penyusunan kebijakan, pengambilan keputusan, dan
pengelolaan fasilitas air dan sanitasi. Pembangunan fasilitas air dan
sanitasi juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa
perempuan memerlukan fasilitas yang aman, bersih, dan memiliki
privasi/tertutup. Upaya untuk meningkatkan layanan air bersih
dan sanitasi perlu difokuskan pada kualitas ketersediaan air, jarak
menuju fasilitas tersebut, dan privasi untuk perempuan.
• Goal 7. Energy (energi)
Energi merupakan persyaratan dan katalisator (faktor percepatan)
untuk meningkatkan pembangunan sosial ekonomi, mengurangi
kemiskinan, dan memajukan kesetaraan gender. Meningkatkan layanan
energi dapat mengurangi beban kerja domestik perempuan dan anak
perempuan, sehingga mereka dapat melakukan aktivitas produktif
lain. Mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan tungku bahan
bakar tradisional yang tidak efektif juga akan menurunkan polusi udara
dalam ruangan. Energi terbarukan dan bersih sangat dibutuhkan untuk
keberlanjutan lingkungan dan mitigasi climate change. Saat ini sebanyak
1,4 miliar orang memiliki keterbatasan akses terhadap berbagai bentuk
energi modern, sekitar 2,7 miliar orang di dunia masih menggunakan
tungku (perapian terbuka) dan kompor tradisional untuk memasak
dan menghangatkan udara.19 Di Indonesia, sebanyak 24 juta dari 60
juta rumah tangga masih menggunakan tungku tradisional berbahan
bakar kayu/ranting pohon untuk memasak.20 Menurut Dr. Kirk
Smith, seorang profesor kesehatan lingkungan global dari Universitas
California, Berkeley, memasak menggunakan tungku perapian terbuka
sama saja dengan membakar 400 batang rokok secara bersamaan.21
19
UNEP. Green Economy Report 2011, pada Bab “Energi Terbarukan” (Renewable
Energy). 2011. www.unep.org/greeneconomy/greeneconomyreport/tabid/
29846/default.aspx., diakses pada tanggal 11 Agustus 2015.
20
“Cleaner Cook Stoves for a Healthier Indonesia”. 3 November 2014. http://www.
worldbank.org/en/news/feature/2014/11/03/cleaner cook stoves for a healthier
indonesia
21
Kirk Smith, Dr. Clean Household Energy Can Save People’s Lives. Maret 2014.
Profesor Kirk Smith merupakan seorang pakar kesehatan lingkungan global
dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat; telah melakukan
penelitian dan pengukuran dampak polusi udara akibat tungku/perapian
terbuka tradisional, sejak tahun 1970. Pada tahun 2012, sebanyak 1,7 juta
kematian prematur terjadi di Asia Tenggara, akibat dari polusi udara dapur

148 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Hal ini menyebabkan polusi udara di dalam rumah dan memengaruhi
kesehatan perempuan dan anak perempuan. Perempuan dan anak
perempuan memikul tanggung jawab utama untuk mengumpulkan
bahan bakar, seperti: kayu, kotoran ternak, dan sampah dari tanaman).
Banyak komunitas di seluruh dunia telah berpindah dari sumber energi
tradisional ke sumber energi bersih, seperti solar (tenaga matahari) dan
tenaga angin. Perempuan mulai berperan aktif dan menjadi pemimpin
dalam membentuk inisiatif energi yang kolaboratif dan berbasis
komunitas. Peran serta perempuan ini harus lebih banyak ditingkatkan
di berbagai komunitas masyarakat. Oleh karena itu, pasca-2015
dibutuhkan suatu paradigma pembangunan baru yang menempatkan
manusia sebagai pusat dari akses energi, efisiensi, dan keberlanjutan.
Akses terhadap energi berkelanjutan harus menjadi hak sosial ekonomi
masyarakat. Dengan titik berat pada perlindungan terhadap kelompok
yang membutuhkan energi paling banyak, yaitu kelompok rentan
perempuan dan anak perempuan. Energi yang bersih, terjangkau, dan
terbarukan hanya dapat diwujudkan dengan adanya kerja sama antara
berbagai stakeholders, pemerintah, komunitas internasional, bersama
sama dengan masyarakat sipil dan sektor swasta, dengan implementasi
kebijakan yang lintas sektoral, pedesaan dan perkotaan.
• Goal 11. Sustainable Cities (kota berkelanjutan)
Menurut prakiraan, hingga tahun 2050 di seluruh dunia jumlah
masyarakat yang tinggal di perkotaan akan lebih banyak daripada di
pedesaan. Antara tahun 2009 dan 2050, populasi dunia diperkirakan
akan meningkat sebanyak 2,3 miliar, dari 6,8 miliar menjadi 9,1 miliar.
Populasi yang tinggal di area perkotaan, diproyeksikan bertambah
sebanyak 2,9 miliar, dari 3,4 miliar pada 2009 menjadi 6,3 miliar pada
2050.22 Faktor pendorong utama terjadinya pergeseran ini adalah

rumah tangga. Menurutnya, bahkan sampai tahun 2014 ini masih belum
banyak perubahan kondisi. Penjelasan ini diperoleh dari http://www.who.int/
features/2014/clean household energy/en/, diakses pada tanggal 27 Agustus 2015.

22
United Nations (UN). World Urbanization Prospects: The 2009 Revision. United
Nations Population Division. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=
&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=0CDEQFjAEahUKEwjZ
loOY6tLHAhVNHo4KHbOVDnQ&url=http%3A%2F%2Fwww.ctchealth.org.
cn%2Ffile%2F2011061610.pdf&ei=bAbkVdmwDc28uASzq7qgBw&usg=A
FQjCNElSlnSjsiLp3IRkTi88eirehFKfQ, New York: 2010, hlm. 1. Diakses pada
tanggal 26 Agustus 2015.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 149


migrasi perkotaan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang
lebih mudah, dan ketersediaan sistem pelayanan publik lainnya. Meski
demikian, urbanisasi menimbulkan berbagai permasalahan terkait
dengan infrastruktur yang tidak berkelanjutan, kerusakan lingkungan,
dan kemiskinan. Permasalahan sosial dan lingkungan banyak terjadi di
perkotaan, misalnya: tuna wisma, kriminalitas, dan polusi. Kekerasan
juga menjadi permasalahan yang sering terjadi di perkotaan yang
memiliki permasalahan kompleks, baik di negara maju maupun negara
berkembang. Perempuan dan anak perempuan menghadapi ancaman
kekerasan seksual, pelecehan di jalanan, transportasi publik, dan di
lingkungan tempat tinggal mereka. Di samping itu, di perkotaan jumlah
perempuan sebagai kepala keluarga semakin meningkat dan memiliki
permasalahan tersendiri. Untuk mengatasi kondisi ini, diperlukan
partisipasi politik perempuan untuk memobilisasi dukungan terhadap
berbagai permasalahan yang ada. Diperlukan pula pakar kesetaraan
gender dalam perumusan perencanaan dan desain pembangunan
perkotaan, termasuk yang terkait dengan infrastruktur dan fasilitas
pelayanan dasar. Agar kepentingan perempuan dapat disuarakan dan
masuk dalam perencanaan pembangunan perkotaan. Membangun
dan menransformasikan suatu kota dengan people centered dan
sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan
kesejahteraan sosial merupakan suatu hal yang penting untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan.
Selain ketiga contoh di atas, mainstreaming perspektif gender
dalam SDGs juga dapat dilakukan melalui tujuan lainnya. Apabila
dicermati, hampir seluruh bidang SDGs terkait dengan isu kesetaraan
gender. Perempuan merupakan warga masyarakat yang memiliki
hak dan kesempatan yang sama dengan laki–laki, sehingga seluruh
bidang pembangunan akan membutuhkan partisipasi dari keduanya.
Baik perempuan dan laki–laki, sama sama berhak memperoleh akses
terhadap sumber daya dan menikmati hasil pembangunan.
Tujuan mulia pencapaian kesetaraan gender hanya akan dapat
terwujud apabila sejak masa perencanaan pembangunan di masing
masing negara telah mempertimbangkan gender di dalamnya. Kebijakan
di tingkat nasional dan lokal harus lebih berperspektif gender dan mampu
mengakomodasi kepentingan perempuan. Mainstreaming perspektif
gender didukung dengan kerangka kerja analisis yang memadai, data

150 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


terpilah berdasarkan jenis kelamin, dan penelitian berbasis gender, serta
dukungan pakar gender dalam penyusunan kebijakan dan program.

VI. Penutup
Pada tanggal 25–27 September 2015, dalam 69th UN General
Assembly telah disahkan suatu kerangka pembangunan global
yang baru, Sustainable Development Goals (SDGs). Negara negara
peserta akan segera mengadopsi dan mengimplementasikannya
di tingkat nasional dan daerah. Konsep sustainable development
ini dibutuhkan untuk mengakomodasi perubahan perubahan yang
terjadi pasca-MDGs 2015. Salah satu tujuan yang diharapkan dapat
dicapai melalui SDGs adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan. Tujuan ini masih dianggap sebagai unfinished bussines
dari MDGs. Goal 5 mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan
perempuan dan anak perempuan merupakan katalisator yang dapat
mempercepat pencapaian SDGs dalam berbagai bidang lainnya.
Selama proses perumusan SDGs, para stake holders sangat meyakini
bahwa selain sebagai a stand alone goal (tujuan yang berdiri sendiri),
kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan tetap harus
diintegrasikan atau mainstreaming melalui tujuan SDGs lainnya.
Implementasi bidang bidang SDGs dengan berperspektif
gender, selain akan mendorong pemenuhan target spesifik SDGs,
tujuan kesetaraan gender pun akan tercapai. Tujuan yang berdiri
sendiri dibutuhkan untuk mengarahkan perubahan lebih lanjut dan
mendorong transformasi penyelesaian permasalahan ketidakadilan
gender. Sementara itu, sinergitas antara tujuan kesetaraan gender
dan tujuan lainnya akan mempercepat pemenuhan indikator yang
telah ditetapkan sebagai ukuran dari masing masing tujuan.
Segala bentuk kerangka kerja pembangunan global, termasuk
SDGs, harus didukung dengan implementasi yang berperspektif
gender, termasuk pembiayaan pembangunan, peningkatan sharing
pengetahuan, capacity building, pengembangan dan transfer teknologi,
serta pengumpulan dan pertukaran data. Perspektif gender harus
menjadi pusat dari setiap area pembangunan, dan partisipasi
perempuan sebagai kunci dari desain, implementasi, monitoring, dan
evaluasi. Hal ini akan membantu memastikan bahwa perempuan dan
laki–laki sama sama berkontribusi dan mendapatkan manfaat yang
sama dari pembangunan, dan ketidaksetaraan akan dapat diselesaikan.

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 151


DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Makalah


Moser, Caroline. O. N. Gender Planning and Development: Theory,
Practice, & Training. London dan New York, Routledge: 1995.
Sachs, Jeffrey. D. From Millennium Development Goals to
Sustainable Development Goals, Lancet 2012, Volume
379, Juni 2012, http://www.sciencedirect.com/science?_
ob=PdfExcerptURL&_imagekey=1s2.0S014067361260685
0main.pdf&_piikey=S0140673612606850&_cdi=271074&_
orig=article&_zone=centerpane&_fmt=abst&_eid=1s2.0
S0140673612606850&_user=12975512&md5=bc3c0176a904
607405eba89298d67e76&ie=/excerpt.pdf.
Santono, Hamong dan Sugeng Bahagijo. Pembangunan Global Baru:
Perkembangan Penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015.
INFID (International NGO Forum on Indonesian Development):
Briefing Paper, Jakarta: Januari 2015.

Dokumen Internasional
United Nations. The Millennium Development Goals Report: 2015
(Summary). New York, United States of America: 2015.
United Nations (UN). Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development. 1 Agustus 2015, https://sustainable
development.un.org/post2015/transformingourworld, diakses
pada tanggal 18 Agustus 2015.
United Nations (UN). Beijing Declaration Platform for Action. Beijing,
Cina: 1995, http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing/
pdf/BDPfA%20E.pdf, diakses tanggal 17 Agustus 2015.

152 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


UN Task Team. Realizing the Future We Want For All: Report to the
Secretary General. 2012, http://www.un.org/millenniumgoals/
pdf/Post_2015_UNTTreport.pdf, diakses pada tanggal 20
Agustus 2015.
UN Women. The Future Women Want: a Vision of Sustainable
Development for All. United States of America: 2012, hal. 9.
UNEP. Green Economy Report 2011. 2011. www.unep.org/
greeneconomy/greeneconomyreport/tabid/29846/default.
aspx., diakses pada tanggal 11 Agustus 2015.
United Nations Conference on Environment and Development. Rio
Declaration, Rio de Janeiro, Brazil: 1992. http://www.unep.org/
Documents.Multilingual/Default.asp?documentid=78&article
id=1163, diakses tanggal 20 Agustus 2015.
United Nations Conference on Environment and Development.Agenda
21. Rio de Janeiro, Brazil: 1992, https://sustainabledevelopment.
un.org/content/documents/Agenda21.pdf, diakses pada 20
Agustus 2015.
UN Women. A transformative Stand Alone Goal on Achieving
Gender Equality, Women’s Rights and Women’s Empowerment:
Imperative and Key Components. 2013.
UN Women. The World Survey on the Role of Women in Development:
Gender Equality and Sustainable Development. 2014, hal. 12.

Berita Surat Kabar Online dan Feature


Cleaner Cook Stoves for a Healthier Indonesia. 3 November 2014.
http://www.worldbank.org/en/news/feature/2014/11/03/
cleaner cook stoves for a healthier indonesia
Pemerintah Nyerah Kejar Target Kemiskinan MDG, http://economy.
okezone.com/read/2015/08/12/320/1194840/pemerintah
nyerah kejar target kemiskinan mdgs, 12 Agustus 2015, diakses
pada tanggal 18 Agustus 2015.
Smith, Kirk. Clean Household Energy Can Save People’s Lives. Maret
2014.http://www.who.int/features/2014/cleanhousehold
energy/en/

Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 153


Tempo online. Jokowi Didesak Datang ke Sidang Umum PBB
Lanjutkan Misi Ini, 9 Agustus 2015, http://nasional.tempo.co/
read/news/2015/08/09/078690254/jokowi didesak datang
ke sidang umum pbb lanjutkan misi ini, diakses pada 18 Agustus
2015.

154 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


BAGIAN KEDUA:

DIMENSI EKONOMI
BAB VII
PERAN SEKTOR PERTANIAN
DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Edmira Rivani

I. Pendahuluan
Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting
dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi
yang dominan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
dalam pencapaian tujuan pembangunan perekonomian nasional.
Kontribusi dominan sektor pertanian khususnya dalam pemantapan
ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan
kerja, dan pemerataan pendapatan. Secara garis besar kebijakan
pembangunan pertanian diprioritaskan kepada beberapa program
kerja yang dijabarkan ke dalam beberapa kegiatan, dengan tujuan
untuk mencapai sasaran dari pembangunan pertanian.
Perhatian terhadap pembangunan berkelanjutan dimulai sejak
munculnya kekhawatiran R. Malthus atas ketersediaan lahan di Inggris
akibat ledakan penduduk tahun 1798. Kemudian pada tahun 1972,
Meadow, dkk menerbitkan buku yang berjudul The Limit to Growth.
Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi
akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam sehingga
penyediaan barang dan jasa yang berasal dari sumber daya alam tidak
akan dapat dilakukan secara terus-menerus.1 Pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di sektor
pertanian. Konsep pembangunan berkelanjutan dimulai akhir tahun
1980 an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya
yang terfokus pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti


1
A. Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan aplikasi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 23.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 157


telah menimbulkan degradasi kualitas lingkungan hidup. Indonesia
merupakan negara yang memiliki keunggulan komperatif (comparative
adventage) untuk sektor pertanian. Keunggulan ini merupakan
modal fundamental bagi pertumbuhan ekonomi yang perlu didorong
dan dikelola dengan baik. Kegiatan ekonomi yang memanfaatkan
keunggulan komparatif akan memberikan perkembangan bukan hanya
pada sektor itu saja melainkan sektor lain yang saling terkait.2
Sektor pertanian Indonesia tentu memiliki komoditi penting
atau unggulan untuk dikembangkan sebagai pendorong utama
(prime mover) bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional maupun
regional. Pengembangan komoditi unggulan di sektor pertanian
pada suatu daerah merupakan suatu strategi regional untuk memacu
pertumbuhan ekonomi, sehingga memberikan efek pengganda
(multiplier effect) pada sub sektor lainnya. Bukti empiris menunjukkan
ketika terjadi krisis ekonomi 1997, sektor pertanian mampu bertahan
dan memberikan kontribusi bagi perekonomian secara keseluruhan.
Data BPS 1998 menunjukkan, secara nasional sektor pertanian
tumbuh 0,22%, saat kondisi perekonomian Indonesia mengalami
penurunan hingga 13,68%. Bukti empiris itu menunjukkan ketika
sektor konstruksi, industri, dan manufaktur mengalami kontraksi
hebat, sektor pertanian dengan komoditi unggulannya mampu
tumbuh positif dan tatkala sektor-sektor lain melakukan pemutusan
hubungan kerja, justru penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian
meningkat. Demikian juga dengan ekspor produk pertanian mengalami
peningkatan.3 Berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini akan melihat
peran sektor pertanian dalam pembangunan berkelanjutan.

II. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan4


Sektor pertanian memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan berkelanjutan. Peran tersebut mencakup peran


2
M. Kuncoro, Strategi, Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif ?, Erlangga.
Jakarta, 2005, hlm.42.

3
S. Friyatno, Analisis Penerapan Intensifikasi Usahatani Padi Sawah Pasca
Krisis Ekonomi (Kasus di Kabupaten Subang, Jawa Barat). Makalah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI, 2001.

4
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/
Bappenas), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
Setengah Abad Terakhir, Penerbit Kanisius, Jakarta, 2005, hlm. 305 – 309.

158 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


dalam ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan
pendapatan dan penanggulangan kemiskinan, peningkatan
devisa, pertumbuhan ekonomi, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pelaksanaan tersebut tergambar dalam fakta empiris yang tercermin
dari sumbangan sektor pertanian pada PDB dan banyaknya
masyarakat yang bergantung dan bergerak di sektor pertanian.
Selain itu, masih banyaknya masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan semakin mempertegas dasar kita untuk menjadikan
sektor pertanian sebagai penggerak perekonomian nasional.
1. Peran dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB)
Pada tahun 1996 PDB sektor pertanian, termasuk pula
kehutanan dan perikanan, adalah sebesar Rp63,8 triliun. Nilai ini
terus meningkat menjadi Rp66,4 triliun pada tahun 2000. Besarnya
PDB pertanian tersebut memberikan kontribusi sekitar 17%
terhadap PDB nasional. Bila dibandingkan dengan sektor lain, maka
kontribusi PDB pertanian menduduki urutan kedua setelah sektor
industri manufaktur. Di samping kontribusi langsung terhadap PDB
yang cukup signifikan, sektor pertanian juga telah menunjukkan
ketangguhan dalam menjaga stabilitas ekonomi pada masa krisis
perekonomian nasional. Ketangguhan sektor ini ditunjukkan oleh
kemampuannya untuk tetap tumbuh secara positif pada masa krisis
1998 sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami
kontraksi yang sangat hebat, yaitu sebesar 13,7%.
2. Peran dalam penyerapan tenaga kerja
Sektor pertanian berikut sistem agribisnisnya sangat dominan
perannya dalam penyerapan tenaga kerja, yang mampu menyerap
45,0% dari total penyerapan tenaga kerja nasional, atau menempati
urutan pertama dalam penyerapan tenaga kerja. Apalagi jika kita
menyimak struktur ketenagakerjaan pedesaan, maka peran strategis
sektor pertanian bahkan lebih tidak terbantahkan. Dalam tahun 1997
struktur kesempatan kerja pedesaan secara agregat menunjukkan
bahwa sektor pertanian memegang 58,8% dari kesempatan kerja
pedesaan, yang secara absolut besarnya 57,5 juta orang. Peran
sektor pertanian di luar Jawa juga lebih besar, yaitu sebesar 66,9%
dibandingkan dengan di Jawa yang besarnya 50,65%. Sebaliknya,
sektor non-pertanian di Jawa hanya menyumbang 33,1% dan di luar
Jawa menyumbang 49,4% kesempatan kerja, yang pada umumnya

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 159


berupa jasa perdagangan, jasa kemasyarakatan, bangunan, dan jasa
pengangkutan. Keadaan ini menunjukkan masih tetap dominannya
peran sektor pertanian dalam perekonomian rumah tangga
pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Kegiatan di luar sektor
pertanian masih relatif kecil dan sedang bertumbuh serta tidak
bisa dilepaskan keterkaitannya kegiatan di pertanian. Selanjutnya,
selama masa kontraksi ekonomi nasional akibat krisis pada tahun
1998, di mana penyerapan tenaga kerja nasional menurun sebesar
2,13% atau 6,4 juta orang di semua sektor ekonomi (kecuali listrik),
maka sektor agribisnis justru mampu meningkatkan kapasitas
penyerapan tenaga kerja sebanyak 0,4 juta orang. Fakta empiris
ini menunjukkan bahwa sektor agribisnis masih merupakan sektor
yang paling tangguh dalam menghadapi krisis dan paling berjasa
dalam menampung pengangguran sebagai akibat krisis ekonomi.
3. Peran sebagai penghasil devisa
Kontribusi agribisnis dalam total nilai ekspor Indonesia pada
tahun 1990 mencapai 43%, dan meningkat menjadi sekitar 49%
pada tahun 1995. Sementara itu impor Indonesia, pangsa impor
sektor agribisnis relatif kecil dan cenderung menurun. Pada
tahun 1990 pangsa impor sektor agribisnis hanya sekitar 24%
dan menurun menjadi sekitar 16% pada tahun 1995. Selanjutnya,
selama masa krisis, ekspor produk pertanian juga mengalami
peningkatan yang cukup besar. Pada tahun 1998 ekspor pertanian
tahun 1998 naik sebesar 26,5%. Peningkatan ekspor pertanian
selama masa krisis (1991–1998) jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata sebelum krisis yakni hanya sebesar 4,5% per
tahun (1982–1997). Sebaliknya ekspor produk manufaktur turun
sebesar 4,2% selama tahun 1997–1998. Hampir semua ekspor
produk industri berbahan baku impor turun kecuali semen. Namun
ekspor produk agroindustri yang berbasis pada sumber daya lokal
seperti minyak atsiri, asam lemak, barang anyaman (kecuali minyak
sawit) mengalami peningkatan. Meski sebagian dari kenaikan
ini disebabkan oleh meningkatnya nilai mata uang dolar, namun
dengan rendah atau hampir tidak adanya komponen impor di
sektor pertanian, maka kenaikan tersebut masih merupakan suatu
bukti empiris pembangunan ekonomi dengan menggunakan sektor
pertanian sebagai penggerak utama akan dapat meningkatkan

160 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan devisa
negara. Peran sektor pertanian lain yang juga sangat penting adalah
dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah, sesuai tujuan
pokok dari pelaksanaan otonomi daerah, yaitu untuk mempercepat
perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien
untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan
berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini
sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap didayagunakan untuk
pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis
seperti sumber daya alam (lahan, air, keragaman hayati, agro-
klimat), sumber daya manusia di bidang agribisnis, dan teknologi di
bidang agribisnis. Selain itu, sektor agribisnis adalah penyumbang
terbesar dalam produk domestik regional bruto (PDRB) dan ekspor
daerah. Dalam penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha di
setiap daerah sebagian besar juga disumbang oleh sektor agribisnis.
Oleh karena itu, pembangunan agribisnis untuk mempercepat
pembangunan ekonomi daerah merupakan pilihan yang paling
rasional. Dengan kata lain, pembangunan agribisnis perlu dijadikan
sebagai pilar pembangunan ekonomi wilayah.
4. Peranan dalam pelestarian lingkungan hidup
Dewasa ini, keprihatinan akan kemerosotan mutu lingkungan
hidup bukan lagi sebatas isu lokal suatu negara melainkan sudah
menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Kemerosotan mutu
lingkungan hidup saat ini telah sampai pada tingkat yang dapat
mengancam kelangsungan hidup manusia tidak hanya di sekitarnya
namun juga seluruh manusia di muka bumi. Pembangunan agribisnis
mempunyai potensi untuk dapat mencegah dan memperbaiki
kemerosotan mutu lingkungan hidup melalui beberapa cara.
Pertama, pembangunan agribisnis akan membuka kesempatan
ekonomi yang luas di setiap daerah (ruang). Kesempatan ekonomi
tersebut akan menarik penyebaran penduduk beserta aktivitasnya,
sehingga tekanan penduduk pada suatu ruang tertentu dapat
dikurangi. Kedua, pembangunan agribisnis yang pada dasarnya
mendayagunakan keragaman hayati, dapat mempertahankan
keberadaan keanekaragaman hayati. Ketiga, pembangunan
agribisnis yang antara lain mendayagunakan pertumbuhan
keragaman tumbuhan, pada dasarnya merupakan “perkebunan

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 161


karbon” yang efektif dalam mengurangi emisi gas karbon atmosfir
yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global. Keempat,
pembangunan agribisnis akan menghasilkan produk yang bersfiat
biodegradable yang dapat terurai secara alamiah. Produk agribisnis
yang biodegradable ini akan dapat mengurangi penggunaan produk
petrokimia yang non-biodegradable. Kelima, pembangunan
agribisnis yang bergerak dari factor-driven ke capital driven dan
kemudian kepada innovation-driven dalam menghasilkan nilai
tambah dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
Meski ada sebagian orang yang berpendapat bahwa pemanfaatan
hutan, pembukaan lahan perkebunan, dan penangkapan hasil
laut justru berkompetisi dengan pelestarian lingkungan, namun
kemajuan teknologi pertanian saat ini telah dapat menciptakan dan
menerapkan berbagai jenis teknologi ramah lingkungan. Berbagai
jenis teknologi sistem usaha tani ramah lingkungan telah tersedia
dan siap untuk diterapkan di lapangan, yaitu: (a) Sistem usaha
tani berwawasan konservasi tanah yang meliputi pembuatan
teras, pengelolaan bahan organik, tanaman lorong (alley cropping),
rehabilitasi lahan melalui penutup tanah di mana komoditas
pertanian sebagai bagian dari subsistem; (b) Sistem pertanian
berkelanjutan dengan masukan rendah (low input sustainable
agriculture), yaitu melalui efisiensi penggunaan pupuk yang mudah
hilang (nitrogen) dan pengunaan pupuk hijau; serta (c) Wanatani
(agroforestry), yaitu melalui pengendalian erosi, melestarikan
keanekaragaman hayati dan mengkonservasi carbon (C)-organik,
dan pengembalian unsur-unsur hara secara berimbang.
Mencermati berbagai manfaat penempatan sektor pertanian
sebagai penggerak utama perekonomian merupakan suatu peluang
yang sangat besar sekaligus beban atau liabilities. Dengan masih
banyaknya masyarakat yang bernaung di bawah sektor pertanian,
dengan tingkat pendidikan rata-rata dan produktivitas yang relatif
rendah dan skala lahan yang terbatas serta tingkat kemiskinan yang
relatif lebih tinggi dibanding sektor lain, maka hal ini merupakan
tantangan yang sangat besar. Selain itu, pembangunan yang
bertumpu pada sumber daya alam saja akan mempunyai tingkat
pengembangan yang sangat terbatas dan tidak dapat menciptakan
increment sebesar yang dapat diberikan oleh sektor manufaktur

162 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


dan sektor jasa. Diversifikasi usaha dapat menstabilkan pendapatan
dari sektor pertanian yang fluktuatif dan relatif dipengaruhi musim,
namun tetap belum dapat menghasilkan lonjakan nilai tambah yang
dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara. Pengembangan
produk unggulan dan eksotik dapat meningkatkan diferensiasi
produk, namun juga belum dapat diharapkan memberikan
tambahan pendapatan yang secara nasional signifikan. Dengan kata
lain, jika sektor pertanian masih bergerak di tingkat primer (on-
farm) semata-mata maka akan sulit untuk dapat dijadikan prime
mover pertumbuhan ekonomi nasional. Pertanyaannya kemudian
adalah, strategi apa yang diterapkan untuk dapat menciptakan
lonjakan tambahan pendapatan ekonomi dengan tetap bertumpu
pada sektor pertanian. Jawabannya adalah dengan tetap bertumpu
pada sektor pertanian namun mengembangkan produk pertanian ke
tingkat yang lebih tinggi pada industrial ladder yang dikenal sebagai
agroindustri.

III. Permasalahan Utama Bidang Pertanian


Beberapa persoalan utama yang dihadapi sektor pertanian
adalah: pertama, stagnasi produk pertanian. Dalam dua puluh
tahun terakhir ini terjadi stagnasi produksi di hampir semua sektor
tanaman pangan. Peningkatan produksi tahunan rata–rata di atas 4%
sebagaimana tahun 1970 hingga 1980an tidak pernah lagi tercapai.
Produksi sebagian besar disumbangkan oleh perluasan areal atau
peningkatan Indeks Pertanaman. Penggunaan pupuk sintetik
meningkat luar biasa tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan
produksi. Pemakaian pupuk urea untuk tanaman pangan pada tahun
2009 dibanding tahun 2000 meningkat 80,8%, TSP/SP36 sebesar
302%, ZA/AS 371%, dan NPK 8220% (Gambar 1), tetapi produksi
padi hanya meningkat dari 51,90 juta ton Gabah Kering Giling (GKG)
menjadi 60,93 juta ton GKG.5


5
D. A Santosa, Kedaulatan Petani Mengatasi Dampak Perubahan Iklim. Jakarta:
Agrimedia, 2011, hlm. 37–41.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 163


Sumber: Kementerian Pertanian, 2011, diolah.
Gambar 1.
Penggunaan Pupuk Sintetik (dalam ribu ton)
Untuk Pertanian Tahun 2000 dan 2009
Selain itu petani juga memiliki ketergantungan yang semakin
tinggi terhadap input pertanian yang sebagian besar harus diimpor
dari luar negeri. Hampir 100% pestisida untuk membasmi gulma,
insekta, dan penyakit merupakan produk perusahaan multinasional.
Demikian juga untuk pupuk P dan K juga harus diimpor dari luar
negeri. Lenyapnya ribuan varietas lokal karya petani menyebabkan
benih karya perusahaan asing mendominasi sistem pertanian
kita. Sekitar 90% varietas padi hibrida merupakan produk impor.
Perusahaan multinasional juga menguasai 90% pasar untuk jagung
hibrida dan 78% pasar benih hortikultur. Kemampuan petani dan
pemulia tanaman di Indonesia melemah karena lenyapnya sumber
daya genetik pertanian.
Kedua, piramida struktur pertanian dan ketimpangan agrarian.
Pola piramida struktur pertanian dan pangan yang ada saat ini
mendudukkan agribisnis, produsen benih dan input pertanian,
pertanian korporasi, pertanian kapitalistik, dan spekulen pangan
di puncak piramida dengan jumlah kurang dari 500.000 orang
(Gambar 2). Mereka juga sekaligus mendapatkan akses dan fasilitas
mewah dari pemerintah. Sedangkan dasar piramida tersusun dari
26,13 juta keluarga petani kecil atau 91 juta jiwa. Puncak piramida

164 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


tersebut menekan ke bawah dan menyebabkan 5 juta keluarga
petani kecil tercerabut dari lahan mereka dalam 10 tahun terakhir
ini dan menjadi penyusun masyarakat miskin kota. Jumlah rumah
tangga petani menurun dari 31,17 juta pada tahun 2003 menjadi
sebesar 26,126 juta pada tahun 2013.6

TNC agribisnis, pengusaha besar,


industri pangan, pedagang dan
spekulan pangan

Petani gurem, petani keluarga,


petani tradisional, buruh tani

Sumber: Kementerian Pertanian, 2011, diolah.


Gambar 2.
Piramida Struktur Pertanian Indonesia
Selain itu ketersediaan lahan pangan per kapita juga sangat
sempit. Untuk lahan sawah, per kapita penduduk Indonesia hanya
memiliki 326,2 m2, sedangkan lahan kering yang sebagian besar
kurang produktif sebesar 568,7 m2, yang jauh lebih rendah dengan
beberapa negara tetangga kita yaitu Vietnam (960 m2), Thailand
(5226 m2), China (1120 m2), India (1591 m2), dan Australia (26.264
m2).
Lahan pertanian pangan yang menjadi gantungan hidup 91,91
juta jiwa hanya bertambah dari 7,77 juta ha pada tahun 1996
menjadi 8 juta ha pada tahun 2012 atau hanya bertambah kira–kira
2,96%. Ironisnya lahan perkebunan yang dimiliki sangat sedikit
orang bertambah dari 8,77 juta ha (1996) menjadi 21,41 juta ha, atau
bertambah 144%. Ketimpangan agrarian semakin terus membesar
sehingga sekarang ini 0,2% penduduk menguasai 56% aset nasional
yang sebagian besar berupa tanah. Disisi lain di Pulau Jawa 49,5%
petani tidak berlahan sedangkan di luar Jawa jumlahnya mencapai
18,7%.


6
Badan Pusat Statistik. Sensus Pertanian 2013, Jakarta 2014.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 165


Ketiga, konversi dan kerusakan lahan pertanian. Ketersediaan lahan
pangan yang sangat sempit diperburuk dengan konversi lahan pertanian
ke non-pertanian serta konversi kepemilikan lahan dari petani ke non-
petani yang jumlahnya dalam 10 tahun terakhir ini meningkat pesat.
Konversi lahan pertanian ke non-pertanian diperkirakan sebesar 60.000
hektar per tahun, yang terkompensasi sebagian dari perluasan lahan
pertanian terutama di luar Jawa. Proses deagrarianisasi juga berlangsung
pesat terutama di wilayah-wilayah pertanian luar Jawa yang berdekatan
dengan kawasan pertambangan. Lahan-lahan pertanian terbengkalai
atau dijual dan diubah menjadi kawasan pertambangan.
Hal lainnya yang sangat serius adalah konversi kepemilikan lahan
dari petani ke non-petani terutama di Pulau Jawa. Proses ini akan
mengakselerasi perubahan penggunaan lahan untuk kepentingan
pertanian ke non-pertanian, menyebabkan petani tercerabut dari
lahannya yang kemudian menjadi penyusun masyarakat miskin kota.
Sebagai contoh berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2013 di Jawa
Tengah, jumlah rumah tangga petani yang mengelola lahan kurang dari
1.000 m2 menurun sebesar 1,32 juta. Keluarga tani lainnya yang memiliki
luasan lahan lebih tinggi yaitu 1.000–1.999 m2 yang bertambah jumlahnya
sebanyak 8.658 rumah tangga pertanian yang kemungkinan disebabkan
karena pergeseran kepemilikan dari kategori luasan yang lebih tinggi ke
yang lebih rendah. Ironisnya untuk kategori rumah tangga petani yang
berlahan 2.000–4.999, 5.000–9.999, 10.000–19.999, 20.000–29.999 dan
>= 30.000 m2 justru menurun semua (lihat Tabel 1). Dengan demikian
kesimpulan sementara yang diambil oleh pemerintah bahwa penurunan
jumlah rumah tangga petani menyebabkan peningkatan luasan lahan
yang dikuasai oleh rumah tangga petani dari 0,41 ha (2003) menjadi 0,89
ha (2013) adalah sangat menyesatkan. Hal yang terjadi sesungguhnya
adalah perubahan kepemilikan lahan dari petani ke non-petani.
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Rumah Tangga Petani
Berdasarkan Golongan Luas Lahan di Jawa Tengah
Golongan Rumah Tangga Pertanian Rumah Tangga Pertanian
Luas Lahan (m2) 2003 2013
<1.000 2.189.774 865.987
1.000 – 1.999 912.343 921.001
2.000 – 4.999 1.602.712 1.553.181

166 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


5.000 – 9.999 759.977 681.252
10.000 – 19.999 247.838 214.041
20.000 – 29.999 39.684 35.017
>=30.000 20.473 20.140
Jumlah 5.770.801 4.290.619
Sumber: Sensus Pertanian, BPS 2014.

Salah satu permasalahan besar lainnya adalah pengelolaan air.


Konsep sederhana tetapi sudah banyak dilupakan dalam 30 tahun
terakhir adalah jangan biarkan air mengalir sampai jauh. Hanya 10%
air irigasi yang bisa dikendalikan yang jauh dari nilai ideal sebesar
50%.7 Sebanyak 50% dari 798.372 hektar jaringan irigasi strategis
nasional di pulau Jawa rusak hingga rusak parah, dan sekitar 27%
dari seluruh jaringan irigasi nasional perlu rehabilitasi ringan
hingga berat.8 Pola budi daya pertanian yang tidak ramah alam
serta pemaksaan tanah untuk bekerja sepanjang waktu juga telah
menyebabkan terdegradasinya lahan-lahan pertanian di Indonesia.
Keempat, kelembagaan, kebijakan fiskal, dan statistik
pertanian. Reforma agraria yang telah dicanangkan pemerintahan
saat ini sejak tahun 2005 praktis tidak memberikan dampak bagi
petani kecil. Reforma agraria dalam bentuk redistribusi aset dan
pemberian akses bagi petani kecil berjalan sangat minimal sehingga
tidak meningkatkan kesejahteraan petani maupun peningkatan
penguasaan aset berupa tanah bagi mereka. Sebagian besar
persoalan pelaksanaan reforma agraria bersumber pada beberapa
masalah pokok berikut: (1) rendahnya dukungan politik dan
penegakan hukum; (2) peraturan perundang-undangan yang tidak
secara jelas dan tegas mengatur; (3) ketiadan akses reforma untuk
memastikan penggunaan tanah secara optimal oleh penerima tanah;
(4) data dan informasi serta pembiayaan kurang memadai; dan (5)
lemahnya lembaga pelaksana dan kualitas sumber daya manusia.9


7
Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia, Kebijakan Ekonomi dan
Sektor Strategis Nasional, Seperti disampaikan dalam workshop Kebijakan
Ekonomi dan Sektor Strategis Nasional yang diselenggarakan oleh Sekretariat
Jenderal DPR RI bekerja sama dengan CORE Indonesia, 2015.

8
Dirjen SDA Kementerian PU, Jakarta 2014.

9
D. A. Santosa, Politik Pangan Global, Kompas, Opini 30 Desember 2013, hlm. 6.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 167


Kebijakan fiskal di sektor pertanian dan pangan selama ini tidak
tepat sasaran dan kurang berpihak untuk petani miskin. Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, dalam 10 tahun terakhir ini terjadi
peningkatan impor pangan yang luar biasa tinggi. Ironisnya dalam
periode yang sama terjadi peningkatan tajam anggaran sektor
pertanian yang disediakan APBN setiap tahunnya. Total anggaran
yang disediakan untuk sektor pertanian dan pangan pada tahun
2004 sebesar Rp10,1 triliun rupiah.10 Anggaran tersebut meningkat
menjadi Rp12,6 triliun rupiah pada tahun 2005, Rp49,8 triliun
rupiah pada tahun 2009 dan Rp71,9 triliun rupiah pada tahun 201311
atau terjadi peningkatan sebesar 611% dalam kurun waktu kurang
dari 10 tahun. Anggaran tersebut terdistribusi untuk Kementerian
Pertanian, irigasi, subsidi, transfer ke daerah dan belanja lain-lain
berupa cadangan beras pemerintah, cadangan stabilisasi pangan,
cadangan benih nasional, dan cadangan ketahanan pangan.
Beberapa anggaran yang seharusnya dapat dimanfaatkan
langsung oleh petani tidak terjadi sehingga sebagian anggaran
tersebut jatuh ke tangan pengusaha besar atau Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Anggaran yang digunakan terutama untuk subsidi
benih, pupuk dan input pertanian lainnya tidak tepat sasaran
sehingga dampaknya terhadap peningkatan produksi pangan tidak
terlalu signifikan.
Statistik pertanian merupakan permasalahan serius lainnya.
Angka konsumsi dan angka produksi padi sebagai salah satu contoh
merupakan data statistik penting yang mendasarkan diri pada
asumsi dan formula yang sudah tidak tepat sehingga harus segera
direvitalisasi. Perbaikan data harus disandarkan pada kondisi nol
tanpa pertimbangan kepentingan politik maupun penilaian kinerja
kementerian terkait.12 Buruknya data statistik tidak hanya beras,
tetapi juga sebagian besar data produksi dan konsumsi komoditas
lainnya. Kebijakan pangan yang disandarkan pada data yang buruk
akan menghasilkan kebijakan yang salah yang pada akhirnya
merugikan kita semua, terutama petani kecil sebagai pelaku
produsen pangan.

10
Laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2004.
11
Pusat kebijakan APBN – Badan Kebijakan Fiskal, 2014.
12
CORE Indonesia, Op. Cit.

168 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Kelima, perubahan iklim. Perubahan iklim secara langsung akan
berdampak terhadap perubahan agro-ekologi, sedangkan secara
tidak langsung berdampak terhadap pertumbuhan dan distribusi
pendapatan yang akan mengubah permintaan dan jenis pangan.13
Bila semua negara bahu- membahu dan berhasil menurunkan emisi
secara drastis, peningkatan suhu masih tetap terjadi, yaitu sebesar
1,10C hingga 2,90C pada tahun 2100. Bila berbagai kesepakatan
hanya di atas kertas dan kecenderungan yang ada tetap seperti saat
ini maka suhu global akan meningkat antara 2,40C hingga 6,40C.
Perubahan iklim akan memberikan dampak terbesar terhadap
negara-negara berkembang yang sebagian besar berada di wilayah
tropika.
Perubahan iklim akan menyebabkan kemampuan menyediakan
pangan negara berkembang untuk penduduknya semakin
memburuk, terutama yang berada di wilayah tropika. Berbagai
model iklim memprediksi terjadinya peningkatan evapotranspirasi
dan menurunnya lengas (moisture) tanah. Beberapa wilayah
pertanian kemungkinan menjadi tidak layak untuk ditanami dan
luasan padang rumput untuk peternakan menjadi menurun karena
musim kering yang lebih panjang. Untuk Indonesia yang memiliki
pantai terpanjang keempat di dunia, dengan pusat-pusat produksi
pangannya pada wilayah berdekatan dengan pantai, ancaman
penurunan produksi pangan menjadi semakin besar. Tenggelamnya
lahan-lahan sawah tepi pantai dan intrusi air laut akan menjadi
persoalan biasa di masa depan. Kejadian tahun 2010 yang berlanjut
pada tahun ini tentang meningkatnya serangan wereng, ulat, dan
beberapa penyakit tanaman merupakan contoh nyata bagaimana
perubahan iklim berdampak langsung terhadap pertanian.
Sebaliknya, elevasi CO2 dari sekitar 379 ppm saat ini menjadi
>550 ppm pada tahun 2100 diperkirakan berdampak positif terhadap
fotosintesis, pembentukan biomassa, dan produktivitas tanaman.
Bila faktor-faktor lainnya dalam kondisi optimum, peningkatan level
CO2 hingga 550 ppm akan meningkatkan produktivitas padi, kedelai,
dan gandum (tanaman C3) sekitar 10% hingga 20%. Untuk tanaman
kelompok C4, misalnya jagung dan tebu peningkatan produktivitas

D. A. Santosa, Kedaulatan Petani Mengatasi Dampak Perubahan Iklim,


13

Agrimedia, 2011.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 169


tidak terlalu signifikan, yaitu sekitar 0% hingga 10%. Efek positif
peningkatan CO2 atmosfer kemungkinan tidak bisa mengimbangi
kerusakan yang ditimbulkan akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim akan berpengaruh terhadap lahan pertanian di
berbagai belahan dunia. Meski total lahan pertanian dunia relatif tidak
berubah, yaitu pada angka sekitar 2.600 juta hektar, perubahan iklim
akan menyebabkan dampak yang berbeda-beda antar-wilayah. Resiko
akibat perubahan iklim yang sangat mengkhawatirkan bagi negara
berkembang adalah perubahan kesesuaian lahan dan penurunan
produksi pertanian utama sekitar 135 juta hektar hanya karena
perubahan iklim. Akibat perubahan iklim juga akan ada penambahan
lahan yang mula-mula tidak sesuai untuk pertanian menjadi sesuai
yang berjumlah sekitar 25 juta hektar. Dengan demikian total hilangnya
lahan pertanian di negara berkembang sekitar 110 juta hektar.
Sebaliknya, bagi negara maju yang berada di wilayah sedang
atau dingin, perubahan iklim justru berdampak positif terhadap
luasan lahan pertanian mereka. Lahan pertanian produktif mereka
akan bertambah sekitar 160 juta hektar. Peningkatan luas lahan
pertanian produktif di negara maju juga berdampak positif terhadap
produksi pertanian mereka. Pada tahun 2025, diperkirakan Eropa
dan Amerika Utara akan mengalami surplus pangan sebesar 352 juta
ton. Meski demikian secara total kondisi pangan dunia yang harus
memenuhi kebutuhan 8,04 miliar penduduk tetap mengkhawatirkan
karena defisit diperkirakan masih sebesar 69 juta ton.
Semua hal tersebut di atas menyebabkan upaya peningkatan
produksi pangan semakin sulit dilakukan. Negara-negara produsen
pangan utama di masa depan semakin protektif sehingga jumlah
pangan yang bisa diperdagangkan semakin lama semakin sedikit.
Kekacauan iklim akan menyebabkan banjir dan kekeringan menjadi
semakin sering terjadi yang menyebabkan instabilitas produksi pangan
di masa depan. Instabilitas akan menciptakan pasokan dan stok pangan
yang sangat fluktuatif. Dua kondisi tersebut ditambah dengan konversi
pangan ke energi akan menyebabkan harga pangan semakin tinggi.

IV. Agenda Kebijakan


Dengan memahami peran sektor pertanian dalam pembangunan
berkelanjutan serta permasalahan yang ada, maka terdapat beberapa
sejumlah agenda penting yang dapat dilakukan, yaitu:

170 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


1. Demokratisasi Pertanian dan Kedaulatan Petani
Hingga saat ini hampir semua kebijakan pertanian dirumuskan
oleh pemerintah, DPR dan kalangan pengusaha. Hal tersebut
menyebabkan banyak rencana kebijakan pertanian menjadi
bermasalah bagi petani. Dalam kedaulatan pangan, petani kecil
wajib dilibatkan dalam penetapan kebijakan pertanian baik di pusat
maupun daerah.
Di berbagai distrik di India, demokratisasi pertanian telah
dilaksanakan dengan membentuk ‘‘farmer jury“. Setiap kebijakan
yang akan dilaksanakan pemerintah diputuskan oleh suatu panel
yang terdiri dari para petani. Melalui pola ini kebijakan yang sering
kali tidak tepat sasaran bisa diminimalisasi sehingga akhirnya benar-
benar menguntungkan bagi petani kecil. Peningkatan kedaulatan
petani juga berpengaruh besar terhadap terwujudnya kedaulatan
pangan. Petani perlu difasilitasi sehingga kedaulatan mereka atas
benih, input pertanian lainnya dan teknologi dapat meningkat. Dari
berbagai diskusi dengan kelompok-kelompok tani yang mandiri dan
berdaulat, produktivitas pertanian mereka rata-rata 25% hingga
50% lebih tinggi dibanding petani lainnya. Produktivitas yang
tinggi tersebut secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan
kesejahteraan mereka.
2. Reforma Agraria
Saat ini diperlukan pengawalan terus-menerus pelaksanaan
reforma agraria sehingga petani kecil dan tuan tanah memiliki akses
terhadap lahan serta upaya terkait lainnya untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka.
3. Akses Petani Terhadap Sumber daya Produktif
Reforma agararia berkaitan juga dengan akses petani kecil
terhadap sumber daya produktif yang meliputi air, sumber daya
genetik dan sumber daya alam. Tiga hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap keberlanjutan usaha tani, hanya sayangnya akses ke sumber
daya tersebut bukan semakin menguat tetapi semakin melemah,
misalnya upaya privatasasi air yang menguntungkan pemodal serta
bergesernya penguasaan benih dari petani ke pengusaha.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 171


4. Pertanian Agroekologi
Sistem pertanian agroekologi menjadi dasar banyak gerakan
petani kecil di seluruh dunia dan dijadikan penciri kedaulatan
pangan. Agroekologi sering direduksi menjadi pertanian organik
yang menolak sama sekali penggunaan pupuk kimia, pestisida,
herbisida, dan benih transgenik. Agroekologi tidak berarti sama
dengan pertanian organik, meski beberapa konsep seperti menjaga
kesehatan tanah, ekosistem, dan manusia sama antar- keduanya.
Agroekologi didefinisikan sebagai penerapan ilmu ekologi mengenai
distribusi dan kelimpahan organisme di lingkungan pertanian untuk
meningkatkan hasil pertanian dan melindungi tanaman dari serangan
hama dan penyakit. Kekuatan pendorong di belakang gerakan
agroekologi adalah kritik ekonomi politik terhadap pertanian
modern. Banyak ilmuwan meyakini bahwa perubahan radikal dalam
ekonomi politik serta ekonomi moral dapat menurunkan dampak
negatif pertanian modern.
5. Rasionalisme Hijau
Diskursus lingkungan untuk ketahanan pangan adalah
rasionalisme ekonomi karena entitas utama dalam ketahanan
pangan adalah aktor-aktor ekonomi. Hubungan antar-aktor adalah
kompetisi dan motivasi aktor merupakan kebutuhan pribadi
(rational self interest). Berkebalikan dengan hal tersebut adalah
rasionalisme hijau. Kedaulatan pangan memproklamasikan
pengakuan tentang kompleksitas produksi pangan, hubungan
komunal antar- petani serta petani dengan alam dan penggunaan
sistem produksi agroekologi. Berbeda dengan gerakan hijau lainnya,
diskursus rasionalisme hijau dalam kedaulatan pangan kurang
bersentuhan dengan politik formal.14

V. Penutup
Pembangunan berkelanjutan bukan hanya bertumpu pada
aspek lingkungan hidup, tetapi juga pada pembangunan ekonomi
dan sosial, yang satu sama lain saling berkaitan. Dalam kaitan itu,
implementasi pembangunan pertanian berkelanjutan bukan hanya
tugas dari Kementerian Pertanian atau Kementerian Lingkungan


14
CORE Indonesia, op. Cit.

172 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Hidup saja namun juga terkait dengan institusi yang luas. Sayangnya
justru dalam koordinasi dan kerja sama antar-instansi dan antar-
sektor merupakan titik lemah pelaksanaan pembangunan kita
selama ini, sehingga harus ada komitmen politik yang kuat agar baik
pembangunan ekonomi dan sosial dapat mengintegrasikan aspek
lingkungan secara utuh. Salah satu penyebab kegagalan dalam
implementasi pembangunan berkelanjutan adalah pendekatan
penerapan secara sektoral dan parsial. Pendekatan yang egosektoral
tersebut mengakibatkan banyak komitmen Indonesia pada banyak
konvensi dan kesepakatan internasional tidak dapat dilaksanakan
secara penuh di lapangan. Pendekatan egosektoral tersebut juga
yang menyebabkan dalam era persaingan global saat ini, Indonesia
selalu ketinggalan dan belum memperlihatkan komitmen tinggi
terhadap berbagai kesepakatan global. Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan mengharuskan penerapan secara terpadu, lintas
sektoral, dan lintas disiplin ilmu, baik pada tingkat pusat dan/atau
daerah. Otonomi daerah pada pemerintahan kabupaten/kota atau di
tingkat provinsi, dengan segala kekuasaannya juga nampaknya akan
sangat efektif mendukung pelaksanaan pembangunan pertanian
berkelanjutan yang berbasis konsep, program, serta strategi
pencapaian program tersebut di tingkat daerah. Bagaimanapun
otonomi daerah dapat dijadikan payung kekuatan untuk melakukan
sinergisitas program-program secara lintas sektoral, mengingat
implementasi kegiatan pembangunan pertanian berkelanjutan
masih memerlukan dukungan dari berbagai sektor yang terkait,
dalam kerangka kebijakan perencanaan pembangunan daerah yang
lebih holistik. Di tingkat nasional, sinergisitas konsep, program,
serta startegi pencapaian pembangunan berkelanjutan dan juga
pembangunan pertanian berkelanjutan, secara bersama-sama
dijadikan program terpadu di antara berbagai sektor pembangunan,
dalam hal ini melalui koordinasi berbagai lembaga kementerian
yang ada dan sekaligus terkait dengan program pembangunan
nasional, sehingga program pembangunan berkelanjutan maupun
pembangunan pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 173


DAFTAR PUSTAKA

Angus, I. Food Crisis: World Hunger, Agricusiness, and the Food


Sovereignty Alternative (Part Two), Climate and Capitalism,
2008.
Global Food Security Index.”Global Food Security Index“. The
Economist Intelligence Unit. 2014.
Santosa, D. A. Kedaulatan Petani Mengatasi Dampak Perubahan
Iklim. Jakarta: Agrimedia, 2011.
Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori
dan aplikasi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Friyatno, S. 2001. Analisis Penerapan Intensifikasi Usahatani Padi
Sawah Pasca Krisis Ekonomi (Kasus di Kabupaten Subang,
Jawa Barat). Makalah. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian RI.
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Kementerian
PPN/Bappenas). 2005. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi
di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir. Penerbit Kanisius,
Jakarta.
Kuncoro, M. 2005. Strategi, Bagaimana Meraih Keunggulan
Kompetitif ?. Erlangga. Jakarta.
Kuncoro, M. 2009. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi 3.
Erlangga. Jakarta.
Nainggolan, H, L. 2011. Peranan Analisis Komoditi Unggulan Bagi
Pengembangan Tanaman Pangan Dalam rangka Menciptakan
Kemandirian Pangan di Kabupaten Toba Samosir. Buletin
Ketahanan Pangan, Vol. 4 No. 1 : 26–35. Bulan Oktober 2011.
Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara. Medan.

174 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Sutamihardja, 2004. Perubahan Lingkungan Global. Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana. IPB. Bogor.
Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi.
Bumi Aksara. Jakarta.
Tindaon, F dan Nainggolan, H. L. 2011. Studi Kelayakan Penerapan
Bioteknologi Pertanian Dalam Pengembangan Tanaman Pangan
Jagung di Lahan Perkebunan di Sumatera Utara. Makalah
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan
Indonesia (PATPI), di Medan.
Turner, P. K, D. Pearce, and I, Bateman. 1993. Environmental
Economic: An elementary introduction. John Hopkins University
Press, Baltimore.
Widayanto, B. 2000. Kajian Sektor Unggulan dan Transformasi
Struktur Perekonomian di Kabupaten Sleman. DIY Dalam Jurnal
Dinamika Sosial Ekonomi Pertanian. Volume 1. No. 2000.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Berkelanjutan 175


BAGIAN KETIGA:

DIMENSI LINGKUNGAN
BAB VIII
UPAYA MITIGASI DAN ADAPTASI PEMERINTAH DAERAH
DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
Sri Nurhayati Qodriyatun

I. Pendahuluan
Hasil Sensus BPS tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia
mencapai 234,2 juta jiwa dengan penyebaran 60% (140 juta jiwa)
tinggal di Pulau Jawa dan 50% (114 juta jiwa) tinggal di kawasan
perkotaan. Tingkat pertumbuhan penduduk di perkotaan pun cukup
signifikan, 5,89% per tahun, jauh di atas tingkat pertumbuhan rata-
rata nasional (1,17% per tahun). Kondisi ini diperkirakan akan terus
meningkat. Pada tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk perkotaan
akan mencapai 152 juta jiwa (65%).1 Pertumbuhan penduduk
perkotaan yang tinggi ini akan menimbulkan permasalahan perkotaan
seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial,
dan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau.
Akhir-akhir ini, permasalahan kota-kota di Indonesia juga
diperberat dengan hadirnya fenomena perubahan iklim. Perubahan
iklim berdampak signifikan terhadap pembangunan perkotaan.
Dampak yang sangat serius berkaitan dengan kesehatan masyarakat,
penghidupan penduduk (livelihoods), dan penyelamatan asset yang
ada. Dampak tersebut semakin buruk dirasakan oleh penduduk
miskin. Perubahan iklim telah menimbulkan cuaca ekstrim yang
mengakibatkan kekeringan yang amat sangat di musim kemarau dan
curah hujan yang tinggi di musim penghujan. Bahkan pada kota-kota
yang berada di kawasan pesisir, perubahan iklim juga mengakibatkan


1
Direktorat Perkotaan Perdesaan Bappenas dan Direktorat Bina Program
Cipta Karya PU, Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
(KSPN) 2010 – 2025, (Jakarta: Direktorat Perkotaan Perdesaan Bappenas dan
Direktorat Bina Program Cipta Karya PU, 2010), p.1.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 179


naiknya permukaan air laut dan gelombang tinggi. Akibatnya terjadi
krisis air ketika musim kemarau, dan banjir ketika musim penghujan.2
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam Synthesis
Report Summary for Policymakers, memproyeksikan beberapa akibat
yang mungkin muncul sebagai dampak perubahan iklim ekstrim di
daerah perkotaan di kawasan Asia Timur, seperti kualitas udara kota
yang menurun, gangguan transportasi karena adanya salju, masalah
kualitas air, kematian akibat panas yang meningkat, menurunnya
kualitas hidup penduduk di daerah panas, migrasi ke daerah perkotaan
meningkat, dan gangguan terhadap pasokan air untuk minum.3
Kota-kota di Indonesia juga terkena dampak dari perubahan iklim.
Laporan terbaru Bank Dunia (Juni 2013) memperkirakan tahun 2050
Indonesia akan mengalami dampak perubahan iklim yang lebih berat
berupa cuaca ekstrim, di antaranya meningkatnya intensitas angin
puting beliung, gelombang panas (heat waves) dan kekeringan yang
sangat sulit ditanggulangi. Studi terbaru Bank Dunia ini menunjukkan
bahwa kawasan Asia Tenggara akan menghadapi dampak yang serius
dengan kenaikan temperatur permukaan bumi yang mencapai 2–4oC.
Pesisir pantai di seluruh kawasan Asia Tenggara akan mengalami
kenaikan air laut 10–15% lebih tinggi dibandingkan rata-rata kenaikan
permukaan air laut global. Kenaikan temperatur sebesar 4oC akan
menyebabkan kota-kota yang terletak di pesisir dengan kepadatan
populasi yang tinggi akan terpapar oleh intensitas badai yang meningkat,
kenaikan permukaan air laut dalam jangka panjang, serta banjir di
pesisir seketika (sudden onset). Tingginya risiko permukaan air laut
akan semakin diperparah bila kota-kota di kawasan pesisir tersebut
juga mengalami penurunan tanah (land subsidence).4 Kementerian
Lingkungan Hidup dalam Laporan Nasional Variabilitas Iklim dan
Perubahan Iklim Indonesia 2007 mencatat 70% kota-kota di Indonesia


2
The World Bank, Guide to Climate Change Adaptation in Cities, (Washington:
Urban Development and Local Government Unit, Sustainable Development
Netword, The world Bank, 2011), p.3.

3
Neeraj Prasad, Federica Ranghieri, Fatima Shah, Zoe Trohanis, Earl Kessler,
Ravi Sinha, Kota Berketahanan Iklim: Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan
terhadap Bencana, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2010), p. 9.

4
Teddy Kurniawan, “Studi Perubahan Iklim Mengancam Pembangunan
Indonesia”, (http://www.beritasatu.com/iptek/120929-studi-perubahan-
iklim-mengancam-pembangunan-indonesia.html, diakses 1 Agustus 2013).

180 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


yang berada di kawasan pesisir seperti Jakarta, Semarang, Surabaya,
Denpasar, Samarinda, Makasar, Manado, dan Ambon sudah dihadapkan
pada masalah kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim.
Selain itu, kota-kota besar juga dihadapkan pada meningkatnya suhu
udara di atas kenaikan suhu rata-rata bumi 0,8oC, terutama di kawasan
yang padat bangunan.5
Terkait perubahan iklim, Pemerintah Indonesia memiliki
kebijakan untuk mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam
berbagai sektor pembangunan, termasuk pembangunan perkotaan,
dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk
masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah juga telah menyusun
dokumen Rencana Aksi Nasional untuk Menghadapi Perubahan Iklim
(RAN-PI), National Development Plan: Indonesia Respond on Climate
Change, dan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR).
Dokumen-dokumen tersebut menjadi acuan bagi semua sektor
dalam melaksanakan upaya-upaya terkoordinasi dan terintegrasi
untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Mengingat sebagian besar kewenangan pemerintah pusat telah
didesentralisasikan ke pemerintah daerah, maka upaya menghadapi
perubahan iklim juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
dan menjadi bagian dalam perencanaan pembangunan di daerah.
Pada awalnya fokus penanggulangan perubahan iklim lebih
banyak membahas upaya mitigasi untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca. Namun dengan tingginya kerentanan kota dan kawasan
perkotaan terhadap dampak perubahan iklim, saat ini banyak fokus
program dan inisiatif yang lebih mengarah pada upaya adaptasi.
Upaya adaptasi dalam skala kota serta membangun ketahanan kota
terhadap perubahan iklim dirasa juga perlu dilakukan. Ada beberapa
program yang dikembangkan oleh pihak ketiga dalam rangka
perubahan iklim, seperti The Asian Cities Climate Resiliance Network
(ACCRN), GIZ-PAKLIM - Policy Advice for Environment and Climate,
Climate Resiliance Cities (CRC), dan The Stakeholders Coordination,
Advocacy, Linkages and Engagement for Resilience (Scale-R). Selain
itu juga ada program dari pemerintah pusat, yaitu Program Kampung
Iklim. Masing-masing program memiliki fokus yang berbeda-beda.

5
Nirwono Joga, “Kota-kota di Indonesia dan Perubahan Iklim”, (http://www.
investor.co.id/home/kota-kota-di-indonesia-dan-perubahan-iklim/21164,
diakses 1 agustus 2013).

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 181


Permasalahannya, kualitas lingkungan hidup perkotaan cenderung
terus menurun. Daerah perkotaan banyak dihadapkan pada masalah
kebersihan (sampah yang belum terkelola dengan baik), ruang terbuka
hijau (RTH) yang terus berkurang, serta pencemaran air, tanah, dan
udara yang terus meningkat, termasuk di dalamnya isu perubahan
iklim yang dampaknya semakin dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain,
kapasitas aparatur pemerintah relatif kurang memadai dibandingkan
dengan besarnya masalah lingkungan perkotaan yang harus dihadapi,
antara lain peraturan, pendanaan, organisasi, sumber daya manusia,
dan keterpaduan perencanaan.6 Berbagai permasalahan tersebut
mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perkotaan
yang secara tidak langsung akan berdampak pada menurunnya
kualitas hidup masyarakat perkotaan. Dampak tersebut akan semakin
menurunkan kesejahteraan hidup masyarakat miskin. Tulisan ini
merupakan hasil penelitian pada tahun 2013 yang dilakukan di Kota
Semarang dan Kota Bandar Lampung, dua kota yang secara geografis
memiliki kawasan pesisir yang rawan terhadap dampak perubahan
iklim. Penelitian bertujuan mengidentifikasi kesiapan daerah dalam
menghadapi dan mengatasi perubahan iklim. Ada pun fokus yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana upaya pemerintah daerah
dalam menghadapi dan mengatasi perubahan iklim.

II. Kota Berketahanan Iklim: Kebijakan Pemerintah


Menghadapi Perubahan Iklim
1. Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai
dengan berubahnya komposisi gas-gas yang menyusun atmosfir.
Perubahan ini sudah melampaui batas variabel alami dari iklim.
Terdapat konsensus luas di kalangan komunitas ilmiah bahwa
perubahan iklim disebabkan oleh emisi gas-gas rumah kaca yang
dihasilkan oleh aktivitas-aktivitas manusia.7 Karena disebabkan oleh
kegiatan-kegiatan antropogenik, maka Badan PBB mendefinisikan
perubahan iklim sebagai: “adanya kegiatan manusia yang mengubah

6
Siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup, “Rapat Koordinasi Nasional
Program Adipura” (http://www.menlh.go.id/sp-rapat-koordinasi-nasional-
program-adipura/, di akses 2 Agustus 2013).

7
IPCC, 2001, dalam Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi
Konvensi Perubahan Iklim, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003), p. 12.

182 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami
yang diamati selama periode waktu tertentu.”8
Perubahan iklim berdampak negatif bagi Indonesia. Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 5 pulau utama
dan 30 kelompok kepulauan yang lebih kecil mencakup 17.500
pulau, luas Indonesia 3,1 juta km2 wilayah perairan dan sekitar 2
juta km2 luas daratan, dengan panjang garis pantai 81.000 km.
Sebagian besar kepulauan Indonesia rentan terhadap gempa bumi
dan gelombang tinggi. Hal ini disebabkan posisi Indonesia yang
berada di atas dua paparan yaitu Paparan Arafura-Sahul (bagian
dari gabungan Australia dan New Guinea). Karakteristik geografis
dan geologis Indonesia tersebut sangat rentan terhadap perubahan
iklim. Secara umum model global perubahan iklim memperkirakan
seluruh wilayah Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur
dengan laju yang lebih rendah dibandingkan wilayah sub-tropis.
Contoh, Jakarta mengalami laju perubahan temperatur 1,420C setiap
seratus tahun untuk bulan Juli. Selanjutnya wilayah Indonesia di
bagian selatan garis ekuator seperti Jawa dan Bali awal musim hujan
rata-rata diperkirakan akan mundur dan intensitas hujan musim
hujan cenderung meningkat sementara curah hujan musim kemarau
cenderung menurun sehingga risiko kebanjiran dan kekeringan akan
semakin meningkat. Untuk wilayah Indonesia bagian utara ekuator,
pola perubahan hujan cenderung sebaliknya. Demikian juga dengan
kenaikan permukaan air laut, beberapa lokasi di Indonesia kenaikan
permukaan air laut sudah mencapai 8 mm per tahun.9
World Bank melihat bahwa dunia perkotaan saat ini berada pada
masa yang unik, karena dihadapkan pada tiga pergerakan yang datang
beriringan yaitu sosial, politik, dan keuangan sehingga memengaruhi
bentuk kota-kota di masa depan. Tiga pergerakan tersebut adalah
urbanisasi, desentralisasi, dan pembangunan pasar modal domestik.
Perubahan iklim akan memengaruhi perkembangan kota di masa depan.
Karena populasi dunia bergerak ke kota, dan setengah dari populasi dunia
ada di perkotaan. Pada tahun 2030 sedikitnya 61% populasi dunia akan
tinggal di kota. Kota di dunia yang sedang berkembang akan menyerap

8
UNFCCC, article 1 (2).

9
Bakosurtanal, 2002, dalam Kementerian Lingkungan Hidup, Rencana
Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim, (Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup, 2007).

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 183


95% dari seluruh pertumbuhan perkotaan dan akan menjadi kediaman
bagi hampir 4 miliar penduduk atau 80% dari populasi perkotaan
dunia. Seiring dengan itu, kemiskinan yang pada mulanya tersebar
di pedesaan, saat ini terkonsentrasi di daerah pinggiran perkotaan.10
Demikian juga dengan kota-kota di Indonesia. Merujuk Sensus BPS tahun
2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai sekitar 234,2 juta dan
menempatkan Indonesia sebagai negara ke-empat terbesar setelah Cina,
India dan Amerika Serikat. Persebaran penduduk Indonesia pun tidak
merata. Sekitar 60 persen penduduk Indonesia (140 juta jiwa) tinggal
di Pulau Jawa, dengan kepadatan 1.003 jiwa/km2. Diperkirakan sekitar
50% penduduk (114 juta jiwa) tinggal di kawasan perkotaan, dengan
tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu 5,89% per tahun,
sementara tingkat pertumbuhan nasional rata-rata hanya 1,17% per
tahun. Diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk perkotaan akan
mencapai 152 juta jiwa (65 persen) dan sisanya tersebar di kawasan
perdesaan yang mencakup 82,3 persen luas wilayah.11
Pertambahan penduduk perkotaan pada umumnya didominasi
oleh tingginya arus urbanisasi (perpindahan penduduk dari kawasan
perdesaaan ke kawasan perkotaan). Urbanisasi telah menyebabkan
munculnya tekanan kebutuhan perluasan kawasan permukiman
di kawasan pinggiran kota. Urbanisasi juga mengubah pola hidup
penduduk dari pedesaan, dari agraris ke non-agraris. Berbagai
hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi perkotaan saat ini.
Tingginya arus urbanisasi di banyak kota di Indonesia, mendesak
kondisi ekologis kawasan perkotaan yang ada.
Dalam tiga dasa warsa terakhir, kota-kota di Indonesia mengalami
penurunan kualitas lingkungan hidup yang luar biasa. Ruang terbuka
hijau (RTH) perkotaan berkurang dari rata-rata 35 persen menjadi kurang
dari 10 persen. Lahan-lahan produktif dan persawahan teknis mengalami
alih fungsi menjadi pabrik-pabrik maupun rumah-rumah hunian dengan
laju di atas 50.000 hektar per-tahun. Kawasan kumuh menempati ruang-
ruang yang bersifat lindung seperti bantaran sungai, di bawah SUTET,
kolong jembatan, atau daerah kawasan resapan (catchment area), serta
ruang-ruang lainnya yang tidak dialokasikan sebagai ruang hunian. Di
sisi lain desakan investor memaksa pengembangan kawasan hunian

10
Neeraj Prasad dkk., Op.Cit, p. 5.

11
Direktorat Perkotaan Perdesaan Bappenas dan Direktorat Bina Program Cipta
Karya PU, Op.Cit.

184 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


pada lokasi-lokasi yang seharusnya dilindungi seperti sempadan pantai,
kawasan rawa, kawasan genangan (retention basin). Beberapa RTH dan
jalur hijau yang ada banyak dimanfaatkan untuk keperluan lain yang
tidak semestinya, seperti untuk SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum), hunian ilegal, kios-kios pedagang kaki lima (PKL).12 Sementara
transportasi massal tidak dikembangkan secara baik sehingga kemacetan
dan polusi udara semakin memperparah kondisi kota-kota di Indonesia.
Demikian juga pengelolaan sampahnya. Sampah kota tidak dikelola
dengan baik sehingga menghasilkan gas methan yang mencemari udara.
Pengembangan kota-kota seperti itu telah memberikan sumbangan
terhadap emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global
dan munculnya perubahan iklim ekstrem. Sumber emisi gas rumah
kaca di kota dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil untuk listrik,
transportasi, industri, rumah tangga, dan lain sebagainya. Berdasarkan
kajian Hayu Parasati,13 rumah tangga di Pulau Jawa memberikan
kontribusi emisi CO2 terbesar yang bersumber dari penggunaan energi
lebih dari 100 juta ton per tahun. Industri di Pulau Jawa memberikan
kontribusi emisi CO2 terbesar, meningkat dari 103 juta ton pada tahun
2003 menjadi 24 juta ton pada tahun 2005. Kemudian penggunaan
kendaraan bermotor di Pulau Jawa pada tahun 2007 memberikan
kontribusi emisi CO2 terbesar sebesar 40 juta ton, 16 juta ton di antaranya
berasal dari Provinsi DKI Jakarta.
Penurunan kualitas lingkungan kawasan perkotaan tersebut
semakin memperparah kerentanan kawasan perkotaan terhadap
dampak perubahan iklim. Ada beberapa alasan mengapa kota dan
kawasan perkotaan perlu mendapatkan perhatian dalam kerangka
penanganan dampak perubahan iklim, yaitu:14


12
Doni J. Widiantono, Kota Berkelanjutan: Membangun Kota Tanpa Luka, (http://
bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/Kota%20Berkelanjutan%20
Membangun%20Kota%20Tanpa%20Luka-DR.Ir.Doni%20J.Wididantono,M.
Eng.Sc.PDF, diakses 12 April 2013).
13
Hayu Parasati, “Kebijakan Perkotaan Terkait Perubahan Iklim”, Buletin
Tataruang, Edisi Januari-Februari, 2012, p. 15-18.
14
Wahyu Mulyana, “Kota dan Perubahan Iklim: Strategi Ketahanan Kota
Menghadapi Dampak Perubahan Iklim” dalam Urban and Regional Development
Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, Bungai Rampai Pembangunan
Kota Indonesia dalam Abad 21, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan
di Indonesia, Edisi 2, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2011), p.71-90.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 185


a. Pesatnya pertambahan jumlah penduduk perkotaan.
Diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk perkotaan di
Indonesia akan mencapai angka 68% dari total penduduk.
b. Kota sebagai mesin penggerak ekonomi dan pusat produksi
sekaligus produksi.
c. Kota penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kontribusi kota
sekitar 80% dari emisi transportasi dan penggunaan energi
sebesar 75%.
d. Kota mengalami penurunan kondisi lingkungan.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya konsentrasi
penduduk miskin di perkotaan. Penduduk miskin kawasan perkotaan
menjadi masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan
iklim karena keterbatasan sumber daya dan kapasitas yang dimiliki
untuk mengantisipasi dampak-dampak tersebut. Untuk itu mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan.
2. Kota Berketahanan Iklim
Istilah kota berketahanan iklim muncul setelah IPCC, 2007,
melaporkan kemungkinan-kemungkinan dampak perubahan iklim
ekstrim yang akan mengenai sebagian besar kota-kota di dunia,
terutama di kawasan Asia Timur. Laporan IPCC tersebut mendorong
Bank Dunia menyusun pedoman bagi pemerintah-pemerintah kota
di Asia Timur untuk menghadapi perubahan iklim. Pedoman tersebut
sebagai alat bagi pemerintah kota untuk menghadapi dampak
perubahan iklim dengan menggunakan pendekatan jalur ganda, yaitu
dengan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui mitigasi
(program-program efisiensi energi, penggunaan bahan bakar non-
fosil, pengendalian pemekaran perkotaan yang tidak teratur/urban
sprawl, angkutan publik yang lebih baik, pendaurulangan limbah/
sampah dan reklamasi air limbah) dan adaptasi (program untuk
meminimalisasi dampak keadaan dan bencana akibat perubahan
iklim).15
Pemerintah Indonesia sudah memasukkan upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan. Dalam
RPJPN 2005–2025, perubahan iklim menjadi salah satu tantangan yang
harus dihadapi dalam pembangunan, termasuk dalam pembangunan


15
Neeraj Prasad dkk, Op.Cit, p. xvii.

186 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


kota. Kemudian diterjemahkan dalam RPJMN 2004–2009 dan
RPJMN 2010–2014 dalam kebijakan-kebijakan pembangunan untuk
mengantisipasi perubahan iklim. Upaya antisipasi perubahan iklim
lebih spesifik dituangkan dalam dokumen Rencana Aksi Nasional
Perubahan Iklim (RAN-PI) dan National Development Plan: Indonesia
Respond on Climate Change, dan Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR). Adapun agenda mitigasi diarahkan untuk mereduksi
emisi GRK pada sektor-sektor ekonomi prioritas, yaitu sektor energi,
kehutanan, pertanian-perikanan, dan infrastruktur yang didasarkan
pada penetapan sasaran-sasaran reduksi persektornya. Sedangkan
agenda adaptasi diarahkan untuk mengembangkan pola pembangunan
yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali
cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan.16
Upaya mitigasi dan adaptasi tersebut diinternalisasikan ke
dalam pembangunan perkotaan. Dalam dokumen Kebijakan dan
Strategi Perkotaan Nasional (KSPN) 2010–2025, salah satu kebijakan
pembangunan perkotaan adalah mendorong kota-kota meningkatkan
kualitas kesehatan lingkungan dan siap menghadapi perubahan
iklim serta adaptif terhadap kemungkinan bencana. Kebijakan
tersebut dijabarkan dalam 4 strategi, yaitu (1) penerapan mekanisme
pengendalian yang kuat terhadap kegiatan pembangunan kota agar
tidak merusak lingkungan melalui mekanisme insentif disinsentif;
(2) peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan pelibatan aktif
masyarakat dalam mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat
dan adaptif terhadap bencana dan perubahan iklim; (3) dukungan
teknis dan finansial bagi kota-kota yang mampu mewujudkan
perbaikan kualitas lingkungan kota yang sehat dan siap menghadapi
kemungkinan bencana serta perubahan iklim; dan (4) percepatan
penyusunan regulasi khususnya dalam bidang transportasi dalam
upaya mengurangi efek rumah kaca melalui pengurangan emisi CO2.17
Namun dalam pengembangan kota ke arah kota yang
berketahanan iklim harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar
pembangunan perkotaan, yaitu:18


16
Kementerian Lingkungan Hidup, 2007, Op.Cit., p.27.

17
Direktorat Perkotaan Perdesaan Bappenas dan Direktorat Bina Program Cipta
Karya PU, Op.Cit,, p. 27.

18
Ibid

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 187


1. Bahwa kota merupakan “entitas sosio-spasial”, artinya fisik
dan ruang mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat. Oleh karena itu, upaya pembangunan kota tidak
dapat lepas dari upaya pengembangan masyarakatnya;
2. Bahwa kota merupakan bagian dari lingkungan sekitarnya, baik
lingkungan yang bersifat alami seperti hutan, sungai, daerah
aliran sungai, teluk, laut, dan pegunungan, maupun lingkungan
buatan seperti kawasan perdesaan atau perkotaan. Oleh karena
itu, kota tidak hanya mengakomodasi kebutuhan bagi masyarakat
dan lingkungan di dalamnya, tetapi juga harus berkontribusi
positif terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya sehingga
pembangunan kota harus mempertimbangkan kondisi geografis
dan historis setempat;
3. Bahwa kota-kota di Indonesia bersifat “terbuka” artinya
memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga, seperti
golongan kaya maupun miskin, asli atau pendatang, perbedaan
agama, suku, maupun identitas pribadi lainnya; dan
4. Bahwa kota harus mampu berkompetisi dalam perkembangan
ekonomi global dengan memanfaatkan potensi sosial dan
kreativitas lokal.
Dari sinilah dimungkinkan bahwa setiap kota akan memiliki
kebijakan yang berbeda dalam menghadapi perubahan iklim.
Potensi sosial dan kreativitas lokal akan melahirkan kebijakan yang
berbeda antar-pemerintah kota.

III. Upaya Mitigasi dan Adaptasi Daerah dalam Menghadapi


Perubahan Iklim
1. Dampak Perubahan Iklim di Kota Semarang dan Kota
Bandar Lampung
Dampak perubahan iklim bagi setiap daerah akan berbeda-
beda tergantung pada kondisi lingkungan hidup setiap daerah.
Perubahan iklim di Kota Semarang terlihat dari kenaikan suhu
permukaan, meningkatnya intensitas hujan, kenaikan muka air laut
dan perubahan pola cuaca yang ekstrim. Salah satu bukti terjadinya
perubahan iklim di Kota Semarang adalah kenaikan suhu rata-rata
bulanan dalam 100 tahun terakhir. Kenaikan muka air laut terjadi
sejak tahun 1985, dan diperkirakan terus meningkat 40 sampai 80

188 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


cm dalam 100 tahun ke depan.19 Adapun dampak perubahan iklim
yang dirasakan oleh masyarakat Kota Semarang antara lain:20
Pertama, banjir yang semakin meningkat luasannya dan
intensitasnya. Ada beberapa tipe banjir di kota Semarang, yaitu
banjir kiriman, banjir lokal, dan banjir rob (tidal inundation). Banjir
kiriman terjadi secara periodik setiap tahun dan melanda daerah
sekitar pertemuan Kali Kreo, Kali Kripik, dan Kali Garang sampai
di Kampung Bendungan. Banjir kiriman terjadi karena peningkatan
debit air sungai yang mengalir di DAS Garang, DAS Kreo, dan DAS
Kripik yang disebabkan oleh intensitas hujan yang besar atau
intensitas hujan yang sama namun jatuh pada wilayah yang telah
mengalami konversi penggunaan lahan. Banjir lokal lebih bersifat
setempat, sesuai dengan atau seluas kawasan yang tertumpah air
hujan. Banjir lokal terjadi karena tingginya intensitas hujan, belum
tersedianya sarana drainase yang memadai, dan penggunaan
saluran yang masih untuk berbagai tujuan (mutipurpose) baik untuk
penyaluran air hujan, limbah, dan sampah rumah tangga. Sementara
banjir rob terjadi karena (a) permukaan tanah yang lebih rendah
daripada muka pasang air laut; (b) bertambah tingginya pasang air
laut; (c) sedimentasi dari daerah atas (bukit) ke muara sungai (Kali
Semarang, Banjir Kanal Barat, Kali Silandak, Kali Banger, Silandak
Flood Way, Baru Flood Way, dan Kali Asing) maupun sedimentasi
air laut karena pasang surut, pengaruh gelombang, dan arus sejajar
pantai. Banjir rob terjadi pada saat air laut pasang, khususnya ketika
pasang purnama. Setiap terjadi air laut pasang sebagian wilayah
Kota Semarang khususnya daerah pantai seluas 3.100 ha akan
terjadi banjir. Kondisi ini menjadikan infrastruktur jalan, fasilitas
sosial, dan fasilitas umum lainnya termasuk di dalamnya kendaraan
menjadi rentan terhadap kerusakan. Banjir rob juga mengakibatkan
naiknya salinitas (kadar garam terlarut dalam air), tercemarnya
sumur air, terganggunya sektor bisnis, dan kerusakan bangunan.

19
Mulyana, Wahyu., David Dodman, Sainan Zhang, dan Daniel Schensul.
“Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Metropolitan
Semarang, Analisis Spasial dan Kependudukan”. Technical Briefing UNFPA.
Oktober 2013.
20
Gunawan Wicaksono, Sekretaris Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang,
Wawancara, Kantor BLH Kota Semarang, 8 Oktober 2013.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 189


Kedua, kekeringan dan krisis air bersih. Kebutuhan air bersih
di Kota Semarang selama ini dipenuhi dari PDAM, air tanah, dan air
permukaan (air sungai Kali Garang). Pelayanan PDAM tahun 2010
hanya mampu mencukupi 40% dari kebutuhan air masyarakat. 21
Sementara air tanah yang dimanfaatkan adalah air tanah dangkal dan
air tanah dalam, yang menurut perhitungan pada tahun 2030 Kota
Semarang akan mengalami defisit air tanah. 22 Berdasarkan studi
CCROM (Center for Climate Risk and Opportunity Management) IPB
tahun 2010, sejumlah bagian wilayah Kota Semarang teridentifikasi
mengalami kekeringan karena jauh dari sumber air.23
Ketiga, erosi pantai (abrasi). Erosi pantai terjadi karena
gelombang laut yang bergerak ke arah pantai mampu mengikis
bahkan memecahkan batu-batu karang di pantai kemudian diangkut
ke tempat lain di sekitarnya atau ke arah laut dan samudra. Daerah
yang cukup parah mengalami erosi pantai adalah Pantai Semarang
Bagian Barat (Kecamatan Tugu dan Semarang Barat). Di kedua daerah
tersebut terjadi penurunan fungsi lahan karena erosi pantai dan
penggenangan air laut di kawasan tambak. Kerusakan pantai terjadi
sepanjang kurang lebih 2,25 km di Kecamatan Tugu dan kurang lebih
0,5 km di Kecamatan Semarang Barat Kelurahan Tambakharjo.24
Erosi pantai di Kota Semarang tidak hanya dipengaruhi tingginya
sedimentasi sejumlah alur sungai yang bermuara di pantai utara
Kota Semarang, tetapi juga disebabkan oleh banyaknya bangunan
yang berdiri di pinggiran pantai. Reklamasi Pantai Marina dan
Pelabuhan Tanjung Emas diperkirakan menjadi penyebab terjadinya
erosi pantai di pesisir Semarang bagian timur, bahkan hingga ke
21
Purnomo Dwi Sasongko (Bappeda Kota Semarang), “Kebijakan Adaptasi
perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana Kota Semarang”, makalah
yang dipresentasikan dalam Lolakarya Nasional Integrasi Adaptasi Perubahan
Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana Dalam Kebijakan Pembangunan dan
Penganggaran Keuangan Daerah, di Hotel Grand Kemang Jakarta, 29 Maret 2012.
22
Agus Susanto, “Strategi Konservasi Pemanfaatan Air Tanah sebagai Sumber
Air Bersih di Kota Semarang yang Berkelanjutan” (http://www.pustaka.ut.ac.
id/…iding2/fmipa201037.pdf. diakses 1 Desember 2013).
23
Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang, Laporan Akhir Kegiatan Penyusunan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kota Semarang Tahun 2011, tidak diterbitkan.
24
Saputro, M. Seno dan Muhammad Nawawi, Analisis Abrasi Pantai Semarang
Bagian Barat, Tesis, (Semarang: Fakultas Teknik Universitas Diponegoro,
2010), p.2.

190 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Perubahan iklim juga berdampak terhadap Kota Bandar
Lampung. Berdasarkan analisis terhadap data iklim historis, Kota
Bandar Lampung terjadi perubahan tren dan variabilitas iklim
seperti suhu dan curah hujan. Hal tersebut dapat dilihat dari tren
peningkatan suhu permukaan rata-rata selama 100 tahun terakhir.
Perubahan curah hujan musiman juga ditemukan pergeseran, yaitu
pergeseran awal musim dan perubahan frekuensi curah hujan
ekstrim. 25 Adanya kejadian iklim ekstrim tersebut berdampak pada
munculnya berbagai bencana seperti: 26 (1) banjir yang meningkat
secara kuantitas (frekuensi) dan kualitas (luasan kawasan). Di
Kota Bandar Lampung teridentifikasi ada 42 lokasi yang rawan
banjir.27 Banjir mengakibatkan tambak masyarakat pesisir yang
berprofesi sebagai nelayan terendam, sehingga terjadi gagal
panen; (2) kenaikan air permukaan laut dan erosi pantai (abrasi)
yang berdampak langsung terhadap nelayan atau penduduk yang
bermukim di kawasan pesisir.28 Rumah mereka rusak, apalagi
rumah mereka umumnya semi-permanen. Akibat lain adalah air
bersih menjadi mahal, terjadi intrusi air laut, rusaknya biota laut,
dan terganggunya mata pencaharian mereka. Selain itu, masyarakat
juga mengalami kesulitan mencari ikan; (3) kekeringan yang
berdampak sulitnya mendapatkan air bersih, muncul penyakit yang
diakibatkan air yang tidak bersih, dan terjadi gagal panen; (4) Erosi
dan longsor. Topografi Kota Bandar Lampung yang berbukit dengan
pemandangan alam laut mendorong penduduk memanfaatkan
gunung dan bukit sebagai alternatif tempat tinggal. Banyak lahan
beralih fungsi menjadi kawasan tempat tinggal. Akibatnya ketika
musim hujan tiba dengan intensitas yang tinggi, bencana longsor
dan erosi kerap terjadi. Umumnya yang terkena dampak longsor
adalah masyarakat miskin yang banyak tinggal di kaki bukit;29 (5)

25
Kelompok Kerja Kota, Strategi Ketahanan Kota Bandar Lampung Terhadap
Perubahan Iklim 2011-2030, (Bandar Lampung: Asian Cities Climate Change
Resiliance Network (ACCRN), 2011), p.4.

26
Desti Mega Putri, Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda Kota Bandar, Wawancara,
Kantor Bappeda Kota Bandar Lampung, 26 September 2013.

27
Dokumen Rencana Strategis dan Rencana Aksi Daerah Mitigasi Bencana Kota
Bandar Lampung Tahun 2009 – 2013.

28
Ibid.

29
Ibid.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 191


Bencana angin puting beliung sebagai akibat dari intensitas curah
hujan yang semakin tinggi disertai angin karena rusaknya pohon
sebagai pelindung jika terjadi angin kencang.30
2. Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Kota
Semarang dan Kota Bandar Lampung
Perubahan iklim telah berdampak negatif bagi Kota Semarang
dan Kota Bandar Lampung. Pemerintah daerah perlu melakukan
upaya untuk menghadapi perubahan iklim tersebut dengan mengacu
pada kebijakan nasional, seperti tertuang dalam RPJMN 2004–2009,
RPJMN 2010–2014, Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi
Perubahan Iklim (RAN-PI), dan Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR).
Setiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam
melakukan upaya mitigasi dan adaptasi di daerahnya, disesuaikan
dengan kondisi kerentanan wilayahnya dari perubahan iklim.
Untuk Kota Semarang kebijakan pengendalian dampak perubahan
iklim dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan kebijakan
Ruang Terbuka Hijau (RTH). Terakhir Pemerintah Kota Semarang
menyusun Strategi Perubahan Iklim Terpadu Kota Semarang
Tahun 2010–2020. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa
kebijakan pengendalian perubahan iklim Kota Semarang sampai
tahun 2020 ke depan diarahkan untuk membawa masyarakat
Kota Semarang menuju suatu kehidupan masyarakat yang tangguh
dalam menghadapi tantangan iklim dan efisien dalam menggunakan
sumber daya dan energi. Pemerintah Kota Semarang memiliki target
untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 4% dari emisi
business as usual (BAU) pada tahun 2020.
Adapun kebijakan umum untuk mencapai tujuan pengendalian
perubahan iklim di Kota Semarang adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia baik
di pemerintah kota, kelompok swadaya masyarakat dan sektor
swasta agar mampu mengelola sumber dan dampak perubahan
iklim secara efektif.


30
Ibid.

192 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


b. Meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam dan
energi dalam proses pembangunan, produksi dan operasi
kegiatan baik di sektor publik maupun swasta.
c. Mendorong dan memfasilitasi dialog dan kerja sama antara
pemerintah kota, sektor swasta, dan masyarakat.
Kebijakan-kebijakan tersebut akan dilakukan melalui 7 strategi:
1. Peningkatan efisiensi energi yang dilakukan melalui rencana
aksi:
a. Green procurement di Pengadaan Barang Pemerintah. Untuk
mendukung program ini dilakukan sosialisasi panduan, tips
dan triks hemat energi, dan diselenggarakan lomba hemat
energi antarSKPD.
b. Peningkatan efisiensi energi pada LPJU (lampu penerangan
jalan umum) dan reklame. Akan dibangun sistem informasi
pengelolaan LPJU dan reklame dan pengembangan
intelligent light management system (meteran, LHE, diming
system, sistem pemantauan).
c. Peningkatan pengelolaan kendaraan dinas, akan dilakukan
dengan mengatur jumlah cc dan usia kendaraan dinas,
kontrak perawatan, restrukturisasi kendaraan yang
hemat BBM, peningkatan layanan bus karyawan dan
pengembangan system pool di kantor.
d. Manajemen penggunaan BBM, dilakukan dengan cara
penggantian BBM dengan BBM yang lebih rendah emisi
seperti biosolar, pertamax, gas) di stasiun BBM, pengaturan
voucher BBM dan BBM non bersubsidi bagi kendaraan
dinas.
e. Manajemen lalu lintas, yaitu dengan melakukan pemantauan
kepadatan lalu lintas dan distribusi arus lalu lintas melalui
optimalisasi matriks asal tujuan, serta penerapan 3 in 1 dan
car free day di kawasan-kawasan tertentu.
f. Peningkatan pengelolaan angkutan massal, yang dilakukan
dengan penambahan armada baru BRT Trans Semarang
(200 bus), peremajaan angkutan umum massal (300 bus),
dan pengembangan disinsentif kendaraan pribadi seperti
menaikkan tarif parkir, 3 in 1, dan car free day. Peningkatan
angkutan massal dilakukan dengan membangun bus rapid

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 193


transid (BRT) yang direncanakan 3 koridor. Saat ini sudah
dibangun 2 koridor yaitu koridor I Mangkang - Penggaron
dan koridor II Terboyo – Sisemut/Ungaran.31
g. Pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif. Direncanakan
akan memanfaatan gas methan dari IPAL sebagai pengganti
LPG.
h. Kampanye dan pelatihan smart driving pada sopir-sopir di
lingkungan pemerintah kota.
2. Pengembangan sistem pengelolaan limbah terpadu yang akan
dilakukan melalui rencana aksi:
a. Pembangunan sarana dan prasarana daur ulang sampah:
pembangunan TPST/tempat pengolahan sampah terpadu
(16 unit s.d. tahun 2020); pembangunan rumah pilah (7
unit); sosialisasi dan fasilitasi kegiatan pengelolaan sampah;
dan optimalisasi 15 TPST yang telah ada.
b. Gerakan kebersihan dan pengelolaan sampah: kampanye
pengurangan sampah, gerakan bersih-bersih kota baik di
sungai, laut, drainase dan ruang publik.
c. Penegakan perda kebersihan.
d. Program Kali Bersih (Prokasih): pemantauan dan
pengendalian kualitas air sungai dari pencemaran dan
limbah.
e. Optimalisasi pengolahan sampah di TPA Jatibarang melalui
intermediary transfer facility: peningkatan kapasitas
pengolahan sampah menjadi kompos; pemanfaatan residu
sampah (yang tidak bisa dikomposkan) untuk sumber
energi.
f. Penyuluhan dan pengawasan sanitasi lingkungan
(penyuluhan manfaat dan penggunaan septic tank).
g. Pengembangan IPAL (instalasi pengolahan air limbah)
domestik terpadu berbasis masyarakat. Akan dibangun 20
IPAL dan pemanfaatan biogas dari IPAL tersebut. Selain itu
juga pemerintah daerah akan menyediakan bantuan teknis
(4 tenaga ahli) dan bantuan pengadaan lahan di 20 lokasi.
3. Pengendalian penyakit menular terkait dampak perubahan iklim
yang akan dilakukan melalui rencana aksi:
Bambang Kuntarso, Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika,
31

Wawancara, Kantor Dinas Hubkominfo Kota Semarang, 10 Oktober 2013.

194 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


a. Pengembangan sistem peringatan dini pengendalian
perubahan iklim: pemetaan kawasan rawan penyakit
menular serta kajian dan perencanaan sistem komunikasi
dan koordinasi kesehatan.
b. Pelaksanaan Perda pengendalian DBD (Perda Kota
Semarang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Penyakit Deman
Berdarah Dengue).
c. Peningkatan advokasi dukungan CSR.
d. Pengembangan kapasitas petugas kesehatan dan
masyarakat dalam sistem pengendalian penyakit: pelatihan
trainer dan kader Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
peningkatan gerakan 3 M (menguras, menutup, mengubur)
dan PSN, serta perbaikan metode penyuluhan.
e. Pengembangan posko kesehatan di daerah rawan penyakit
menular: pemetaan kawasan rawan penyakit menular,
pembangunan posko kesehatan, dan pelatihan kader.
f. Implementasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
di masyarakat: sosialisasi dan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam promosi PHBS.
4. Peningkatan penyediaan dan pelayanan air bersih yang dilakukan
melalui rencana aksi:
a. Penyaluran bantuan air bersih (tangki air hydrant umum)
ke lokasi-lokasi yang rawan kekeringan di musim kemarau.
b. Pemanenan air hujan (rain harvesting). Direncanakan
dibangun 10 fasilitas pemanenan air hujan.
c. Pemeliharaan dan perbaikan sumur umum: identifikasi dan
pemetaan sumur yang terkontaminasi. Terkait program
ini, Pemerintah daerah memberikan bantuan rehabilitasi
sumur.
d. Gerakan hemat air.
e. Peningkatan instalasi pengolahan air bersih.
f. Pengendalian pemanfaatan air bawah tanah: dikaji
penambahan pajak terhadap pemanfaatan air bawah tanah
dan dilakukan penertiban sumur-sumur air bawah tanah
liar.
g. Gerakan penghijauan: pembangunan pusat pembibitan,
pemilihan vegetasi yang sesuai, dan penanaman pohon oleh
pemerintah, swasta dan masyarakat.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 195


5. Peningkatan kapasitas kesiapsiagaan bencana terkait perubahan
iklim yang akan dilakukan melalui rencana aksi:
a. Peningkatan pendidikan pengelolaan bencana dan
perubahan iklim: integrasi pembelajaran siaga bencana dan
perubahan iklim di pendidikan dasar.
b. Penguatan kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD): pelatihan trainer siaga bencana, pelatihan
taruna siaga bencana, dan sosialisasi kawasan rawan
bencana.
c. Pembangunan sistem kesiagaan bencana banjir: kajian dan
perencanaan sistem peringatan dini (early warning system),
koordinasi dengan daerah asal banjir, dan membangun
system evakuasi dan perlindungan (flood shelter).
d. Pengembangan talud vegetatif pencegah longsor:
indentifikasi kawasan rawan longsor dan dilakukan
pembangunan talud vegetatif.
e. Bantuan rehabilitasi rumah dan kebutuhan pokok:
pemberian santunan biaya pengobatan/bantuan sosial,
pembagian sembako pasca-bencana, pemberian stimulus
rehabilitasi rumah.
f. Pengembangan pusat perubahan iklim perkotaan.
6. Pengendalian dampak banjir dan rob yang akan dilakukan
melalui rencana aksi:
a. Peninggian sarana prasarana umum yang dilakukan
berdasarkan kajian dan perencanaan peninggian sarana
dan prasarana (seperti jalan, jembatan, tempat pelelangan
ikan, puskesmas, sekolah, kantor pemerintahan).
b. Pembangunan alat penahan ombak/APO di bibir pantai
yang terkena abrasi.
c. Pengembangan sabuk hijau (green belt) mangrove:
penertiban sempadan pantai dan rehabilitasi dan
penanaman kawasan sempadan pantai dengan mangrove.
d. Pembuatan tanggul dan floodway yang dibuat didasarkan
kajian dan perencanaan floodway dan tanggul.
e. Penambahan dan penataan pompa dan rumah pompa.
f. Normalisasi sungai yang dilakukan dengan perbaikan alur
sungai.

196 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


g. Peremajaan kawasan terdampak rob dan banjir dengan
menambah kawasan ruang terbuka hijau.
h. Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir: pelatihan dan
fasiltiasi budidaya alternatif dan pengelolaan ketahanan
pangan, dan pelatihan dan fasilitasi pemanfaatan limbah
perikanan.
7. Pengendalian bangunan dan pemanfaatan ruang yang dilakukan
melalui rencana aksi:
a. Pengembangan pedoman pengawasan bangunan:
pengembangan pedoman struktur bangunan, penyusunan
SOP pengawasan, dan sosialisasi prosedur pengawasan.
b. Peningkatan pengawasan pelaksanaan IMB: penambahan
personil pengawas sebanyak 4 orang, selain dilakukan
peningkatan kapasitas tim pengawas IMB.
c. Pengaturan dan penertiban pemanfaatan lahan termasuk di
kawasan hulu sehingga pemanfaatan lahan sesuai dengan
peruntukannnya.
d. Pengembangan panduan bangunan ramah lingkungan
termasuk di dalamnya aspek pengelolaan energi, limbah,
air bersih/hujan, dan sirkulasi udara di bangunan.
e. Evaluasi dan integrasi perubahan iklim dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) termasuk di dalamnya evaluasi
pola dan pemanfaatan ruang dan integrasi risiko iklim dan
GRK dalam rencana pola dan pemanfaatan ruang.
f. Peningkatan ruang terbuka hijau (RTH): pembangunan
taman-taman kota sebagai ruang publik hijau dan
peningkatan jumlah dan distribusi ruang terbuka hijau.
Dari berbagai program tersebut ada 12 program yang ditujukan
untuk mitigasi perubahan iklim yaitu green procurement di
Pengadaan Barang Pemerintah (strategi 1), peningkatan efisiensi
energi pada LPJU dan reklame (strategi 1), manajemen penggunaan
BBM (strategi 1), peningkatan pengelolaan angkutan massal (strategi
1), pembangunan sarana dan prasarana daur ulang sampah (strategi
2), optimalisasi pengelolaan sampah di TPA Jatibarang melalui
intermediary transfer facility (strategi 2), pengembangan IPAL
domestic berbasis masyarakat (strategi 2), gerakan penghijauan
(strategi 4), pengembangan sabuk hijau (green belt) mangrove

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 197


(strategi 6), penambahan dan penataan pompa dan rumah pompa
(strategi 6), dan peningkatan ruang terbuka hijau (strategi 7).
Adapun program yang ditujukan untuk adaptasi perubahan
iklim yaitu sistem peringatan dini banjir (flood early warning system
DAS Beringin 2012–2015), program pengurangan kejadian penyakit
vector (action changing the incidence of vector-borne endemic diseases
2013–2016), perkuatan ketahanan masyarakat pesisir melalui
perkuatan ekosistem dan alternatif mata pencaharian (enhancing
coastal community resilience by strengthening ecosystem services and
developing alternative livelihoods in Semarang City 2013–2016), dan
upstream conservation of the Garang river basin melalui kegiatan
agro-forestry yang berkelanjutan dan mekanisme kredit mikro.
Berbagai rencana aksi tersebut tidak secara keseluruhan berjalan
sebagaimana diharapkan. Seperti rencana aksi yang dilakukan
BLHD Kota Semarang dalam kegiatan Rain Water Harvesting/RWH
(pemanenan air hujan). Kegiatan yang dilakukan sejak 2011, dimulai
dengan membangun 15 instalasi RWH skala rumah tangga dan 1
titik instalasi RWH skala komunal yang dapat melayani kebutuhan
air untuk toilet sekolah (SD Tandang 3) dengan 581 siswa dan 20
guru, dan memasok air bersih untuk 50–60 rumah tangga di desa
Wonosari. Kemudian tahun 2012 dibangun 23 instalasi RWH
skala rumah tangga.32 Namun kegiatan RWH yang dilakukan oleh
komunitas yang ada di desa Wonosari tidak berkembang. Dalam
kegiatan RWH yang disentuh adalah pola pikir masyarakat untuk
memanfaatkan air hujan yang ada untuk persediaan ketika musim
kemarau tiba. Untuk mengubah pola pikir masyarakat dibutuhkan
waktu. Karena program hanya dilakukan sekadar proyek, program
RWH yang dilakukan di komunitas tidak berjalan.33
Demikian juga kegiatan Flood Early Warning System - Sistem
Peringatan Dini Banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Beringin. Dalam
pelaksanaan program ini, BLHD dibantu LSM Bintari yang bertindak
sebagai pendamping masyarakat dalam antisipasi banjir DAS Beringin.
Dalam rangka pelaksanaan program ini masyarakat dilatih untuk


32
Gunawan Wicaksono, Sekretaris Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang,
Wawancara, Kota Semarang, 8 Oktober 2013.

33
Akademisi Undip dan LSM Bintari, FGD, Fakultas Ilmu Lingkungan Universitas
Diponegoro, 10 Oktober 2013; masyarakat di DAS Beringin, wawancara,
Kecamatan Ngaliyan, 11 Oktober 2013.

198 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


pertolongan pertama, evakuasi korban dan kecelakaan akibat banjir.
Masyarakat juga dibuatkan jalur evakuasi. Namun program ini menjadi
kurang berarti jika tidak diiringi dengan kebijakan pengendalian
alih fungsi lahan di kawasan hulu. Telah terjadi perubahan fungsi
lahan di kawasan hulu yang semula merupakan kawasan catchment
area menjadi kawasan perumahan. Rusaknya kawasan hulu telah
memperbesar terjadinya banjir di kawasan ini.
Berbagai program aksi pemerintah daerah dalam
pelaksanaannya dihadapkan pada banyak kendala, seperti:
a. Kurangnya atau tidak adanya kemauan politik dan visi yang kuat
dari kepala daerah. Tidak adanya kemauan politik dan komitmen
dari kepala daerah terhadap adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim berpengaruh terhadap penentuan prioritas pembangunan
yang akan dilakukan dan anggaran yang dialokasikan untuk
kegiatan-kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
b. Koordinasi antar-SKPD lemah sehingga program antar-SKPD
tidak terkoordinasi dengan baik. Program adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim terkesan saling tumpang tindih.
c. Ketergantungan Kota Semarang terhadap daerah sekitarnya
berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masa depan Kota Semarang.
d. Lemahnya SDM yang ada di pemerintahan maupun di masyarakat
menghilangkan kesempatan adaptasi untuk mengembangkan
ketahanan terhadap perubahan iklim. Dalam arti untuk SDM
di pemerintahan, belum semua sektor memahami tentang
perubahan iklim. Tidak adanya atau minimnya pengetahuan
SDM pemerintahan akan isu perubahan iklim menyulitkan
untuk pelaksanaan program-program adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim. Demikian juga dengan SDM masyarakat
dengan pengetahuan yang minim akan isu perubahan iklim
sehingga tidak muncul kesadaran masyarakat untuk melakukan
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Untuk Kota Bandar Lampung, upaya menghadapi perubahan
iklim belum tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan
daerah. Kebijakan mitigasi perubahan iklim tersebar dalam berbagai
kebijakan sektor, yaitu:34


34
Desti Mega Putri, Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda Kota Bandar, Wawancara,
Kantor Bappeda Kota Bandar Lampung, 26 September 2013.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 199


a. Di sektor perhubungan, Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung
mulai tahun 2011 memperkenalkan angkutan umum massal
(mass rapid transportation) Trans Bandar Lampung. Upaya ini
dilakukan untuk mengurangi emisi CO2 dan pencemaran udara.
b. Di sektor lingkungan hidup, Badan Pengendalian Lingkungan
Daerah (BPLD) Kota Bandar Lampung melakukan pengukuran
uji emisi. Uji emisi sudah dilakukan sejak tahun 2010,
tetapi pelaksanaan pada tahun 2010 masih dilakukan oleh
Kementeriaan Lingkungan Hidup. Kemudian tahun 2011
dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi Lampung
melalui dana dekonsentrasi. Baru pada tahun 2013 pelaksanaan
uji emisi dilakukan oleh pemerintah kota Bandar Lampung,
melalui BPLD Kota Bandar lampung.35
c. Di sektor pekerjaan umum, Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kota Bandar Lampung melakukan efisiensi energi penerangan
jalan dengan menggunakan system timer, sistem sensor cahaya,
dan penggunaan lampu solar cell (panel surya).
d. Di sektor kehutanan dan pekerjaan umum, Dinas Pertanian,
Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan beserta Dinas
Kebersihan dan Pertamanan akan menambah luasan ruang
terbuka hijau (RTH). Saat ini RTH Kota Bandar Lampung
diperkirakan baru mencapai 28–29%.
Sementara kebijakan adaptasi perubahan iklim dilakukan
Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam arahan kegiatan ACCRN
(The Asian Cities Climate Change Resiliance Network). Kota Bandar
Lampung menjadi salah satu kota yang dijadikan pilot project
ACCRN sejak tahun 2009 hingga 2014. Ada beberapa dokumen yang
disusun dalam rangka adaptasi perubahan iklim, yaitu: (1) dokumen
studi kerentanan terhadap perubahan iklim; (2) dokumen strategi
adaptasi perubahan iklim; dan (3) dokumen indikator ketahanan
terhadap perubahan iklim. Berdasarkan ketiga dokumen tersebut,
Pemerintah Kota Bandar Lampung menyusun strategi adaptasi
sebagai berikut:


35
Sekretaris BPLD, Kasie Penataan Lingkungan Hidup, Kabid Konservasi, Kabid
Pertambangan, Kabid Pengawasan dan Pengendalian, dan Kasub Program
BPLD Kota Bandar Lampung, Wawancara, Kantor BPLD Kota Bandar Lampung,
24 September 2013.

200 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


a. Untuk menghadapi musim kemarau akan dilakukan
pengembangan PDAM Way Rilau melalui penambangan sumber
air baku dari Way Sekampung dan rehabilitasi lahan kritis hulu
Sungai Way Kuripan (Way Jernih dan Way Betung);
b. Untuk menghadapi musim penghujan akan dilakukan
perbaikan sistem drainase, penanganan sampah terpadu, dan
pembangunan sistem air limbah perkotaan.
Strategi adaptasi tersebut akan dilakukan oleh beberapa sektor,
yaitu:
a. Sektor air bersih, diprioritaskan untuk (1) meningkatkan
cakupan layanan air bersih yang akan dilakukan melalui
pengadaan air baku, pemeliharaan dan pembangunan sarana
dan prasarana air bersih, pengadaan hidran umum dan
tangki air, dan pengembangan teknologi air bersih; dan (2)
penghematan air dan pemanfaatan kembali yang dilakukan
melalui pengadaan lahan lokasi dam dan embung, pembangunan
dan pemeliharaan dam dan embung, penerapan Rain Water
Harvesting (pemanenan air hujan atau tabungan air hujan), dan
penyimpanan air di drainase primer (main drain).
b. Sektor lingkungan hidup, diprioritaskan pada (1) rehabilitasi
hutan dan lahan kritis yang dilakukan melalui penyusunan
rencana pengelolaan hutan dan lahan kritis, inventarisasi ruang
terbuka hijau, penghijauan gunung, bukit, wilayah resapan air dan
bantaran sungai, penanaman mangrove, pengadaan lahan untuk
ruang terbuka hijau dan wilayah tangkapan air serta pemantauan
dan pengawasan; (2) pembuatan sumur resapan dan biopori
yang dilakukan melalui kajian wilayah wajib sumur resapan
dan biopori, pembuatan peraturan daerah, serta pemantauan
dan pengawasan; (3) pengelolaan limbah rumah tangga, pasar,
dan industri secara terpadu yang dilakukan melalui penyusunan
master plan Air Limbah dan detail engineering design (DED)
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpadu, pengadaan
lahan lokasi pembangunan IPAL, pembuatan IPAL terpadu untuk
rumah tangga dan industri, serta pemantauan dan pengawasan.
c. Sektor infrastruktur diprioritaskan pada (1) pembangunan
talud di sekitar wilayah rawan longsor yang dilakukan melalui
pembangunan dan pemeliharaan talud; (2) pembangunan dan

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 201


pemeliharaan drainase terpadu yang dilakukan melalui evaluasi
Master plan drainase, penyusunan DED, pembangunan jaringan
drainase, pemeliharaan jaringan drainase, dan pengerukan
sungai; (3) pengelolaan sampah secara terpadu yang dilakukan
melalui studi manajemen sampah, pemberdayaan SOKLI,
pengembangan pengelolaan sampah rumah tangga melalui 4R
+ P (reduce, reuse, recycle, replace dan participation); dan (4)
penataan pemukiman yang tahan terhadap perubahan iklim
dan bencana yang dilakukan melalui inventarisasi pemukiman
rawan bencana, penyusunan DED, permukiman kembali
(resettlement), pembangunan rusunawa (rumah susun sewa)
atau rusunami (rumah susun milik), rumah panggung dan
penyediaan infrastruktur pada lokasi evakuasi bencana.
d. Sektor kelautan, pesisir, dan perikanan, sektor diprioritas pada (1)
pembangunan tanggul pemecah ombak yang dilakukan melalui
kajian penerapan tanggul pemecah ombak dan pembangunan
dan pemeliharaan tanggul; (2) pengendalian intrusi air laut yang
dilakukan melalui studi intrusi air laut, pengendalian pemanfaatan
air bawah tanah, serta pemantauan dan pengawasan; (3)
penyaringan air payau yang dilakukan melalui pengembangan
teknologi pengolahan air payau dan penyaringan air payau; dan
(4) penyelamatan biota laut yang dilakukan melalui inventarisasi
kondisi biota laut, penyelamatan biota laut, pengendalian limbah,
serta pemantauan dan pengawasan.
e. Sektor pengembangan sumber daya manusia diprioritaskan pada
(1) pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui sosialisasi
tentang dampak dan upaya adaptasi perubahan iklim, penyusunan
kurikulum pendidikan adaptasi perubahan iklim, pelatihan
kurikulum kepada tenaga pendidik, implementasi kurikulum
menjadi muatan lokal dalam pendidikan formal, pelatihan
keterampilan kepada masyarakat rentan, nelayan, perempuan
dan pemuda, fasilitasi akses permodalan, pengembangan sistem
peringatan dini; (2) pengembangan asuransi.
f. sektor pengembangan kapasitas kelembagaan, diprioritaskan pada
(1) penegakan peraturan daerah (perda) yang dilakukan melalui
evaluasi terhadap pelaksanaan perda yang berkaitan dengan
lingkungan hidup, penyusunan perda baru, serta penegakan dan
pengawasan perda; (2) pembentukan unit pelaksana teknis (UPT)

202 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


yang dilakukan melalui pembentukan UPT, pengadaan sarana dan
prasana UPT, dan fasilitasi kerja sama dengan instansi lain.
Dalam pelaksanaannya, tidak semua kebijakan yang disusun
terlaksana dengan baik. Seperti pengembangan mass rapid yang
dilakukan dalam rangka untuk mengurangi emisi CO2 di Kota
Bandar Lampung. Dalam pelaksanaannya pengembangan mass rapid
terkendala oleh beberapa hal. Pertama, mass rapid dikembangkan oleh
swasta tanpa subsidi dari pemerintah kota. Hal ini cukup memberatkan
bagi pihak swasta untuk mengembangkannya karena mereka harus
menyiapkan infrastrukturnya, seperti jalur bus, halte, dll. Kedua,
pengembangan mass rapid tidak sejalan dengan pembangunan kota.
Sebagai contoh, pada mulanya sudah dibangun 7 koridor namun saat
ini hanya tinggal 2 koridor yang berfungsi karena adanya pembangunan
jalan layang yang dilakukan pemerintah kota yang mematikan jalur
yang sudah dibangun untuk mass rapid. Kemudian penggunaan lampu
solar cell yang dinilai tidak efektif untuk penerangan jalan, karena
lampu solar cell kurang terang. Kebijakan ini kemudian dihapuskan dan
penerangan jalan kembali menggunakan lampu dari PLN.
Hal lainnya yang juga tidak berjalan dengan baik adalah
upaya menambah luasan ruang terbuka hijau. Ada kebijakan dari
pemerintah kota Bandar Lampung bahwa setiap pengembang hanya
boleh membangun kawasannya sebesar 60%, sedangkan sisanya
40% untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial. RTH dapat dimasukkan
dalam fasilitas umum dan fasilitas sosial. Bentuknya dapat berupa
embung, taman bermain, dll yang berfungsi sebagai daerah tangkapan
air atau cadangan air jika terjadi kebakaran. Namun kebijakan
ini bentuknya hanya himbauan yang diberikan saat pengembang
mengajukan proses perizinan sehingga dalam pelaksanaannya tidak
efektif.36 Sementara itu, Dinas Pekerjaan Umum dan Sumber Daya Air
Kota Bandar Lampung yang memiliki kewenangan untuk membangun
embung tidak dapat melakukannya karena terkendala pada kebijakan
pemerintah Kota Bandar Lampung yang tidak mengizinkan adanya
penggantian tanah untuk pembangunan.37

36
Sekretaris BPLD, Kasie Penataan Lingkungan Hidup, Kabid Konservasi, Kabid
Pertambangan, Kabid Pengawasan dan Pengendalian, dan Kasub Program,
wawancara, Kantor BPLD Kota Bandar Lampung, 24 September 2013.

37
Pejabat di Dinas Pekerjaan Umum dan Sumber Daya Air Kota Bandar Lampung,
wawancara, Kantor Dinas PU dan SDA Bandar Lampung, 26 September 2013.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 203


Pelaksanaan perbaikan drainase juga mengalami kesulitan,
terutama untuk daerah permukiman. Kendalanya adalah masalah
kewenangan. Kewenangan pemerintah kota adalah drainase jalan
kota dan drainase lingkungan. Ketika ada masalah pada drainase
jalan utama yang merupakan kewenangan pemerintah pusat (Dinas
PU Provinsi) maka Dinas PU-SDA Kota tidak dapat melakukan apa-
apa karena bukan kewenangannya. Kendala lainnya adalah adanya
keterbatasan lahan perkotaan. Ketika secara ketentuan drainase
yang harus dibangun adalah 80 cm tetapi lahan yang tersedia hanya
60 cm maka pihak Dinaspun hanya akan membangun sesuai lahan
yang tersedia. Perbedaan ukuran dari yang seharusnya tentunya
menjadikan drainase tidak dapat bekerja secara optimal.38
Upaya lainnya yang juga mengalami kendala dalam pelaksanaan
adalah pengelolaan sampah terpadu. Pengelolaan sampah terpadu
dihadapkan pada masalah ego sektoral dari masing-masing SKPD
dan rendahnya rendahnya kesadaran masyarakat untuk membuang
sampah pada tempatnya. Masih banyak masyarakat yang membuang
sampah pada badan air (sungai, got, saluran air) mengakibatkan
sampah sering menghambat aliran sungai/drainase yang ada dan
ketika musim penghujan tiba terjadi penumpukan sampah di kawasan
pesisir. Ego sektoral mengakibatkan sampah di kawasan pesisir dan
sampah yang menumpuk di sungai atau drainase tidak tertangani.
Pihak Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan sampah di Kota Bandar Lampung merasa itu
bukan kewenangan mereka. Namun dinas-dinas lain yang terkait,
yaitu Dinas Pekerjaan Umum dan Sumber Daya Air, Badan Lingkungan
Hidup Daerah, dan Dinas Kelautan dan Perikanan merasa itu juga
bukan kewenangan mereka. Pada akhirnya, sampah di drainase, di
sungai, atau di kawasan pesisir tidak tertangani.39
Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang disusun oleh
Pemerintah Kota Bandar Lampung seharusnya melibatkan semua


38
Ibid.

39
Pejabat di Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung, Wawancara,
Kantor Dinas KP Kota Bandar Lampung, 27 September 2013; Pejabat Badan
Lingkungan Hidup Daerah Kota Bandar Lampung, Wawancara, Kantor BLHD
Kota Bandar Lampung, 24 September 2013; dan Pejabat Dinas Pekerjaan
Umum dan Sumber Daya Air Provinsi Lampung, Wawancara, Kantor Dinas PU
dan SDA Provinsi Lampung, 26 September 2013.

204 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


SKPD yang ada. Namun pada pelaksanaanya tidak semua SKPD terlibat.
Seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung. Dinas
Kelautan dan Perikanan mempunyai kewenangan di sektor kelautan,
pesisir, dan perikanan. Dalam strategi adaptasi perubahan iklim, sektor
kelautan, pesisir, dan perikanan termasuk salah satu sektor yang terkena
dampak dan yang direncanakan harus melakukan berbagai upaya
adaptasi. Namun pada kenyataannya, rencana upaya-upaya adaptasi
seperti yang tertuang dalam dokumen strategi adaptasi perubahan
iklim tidak sejalan dengan rencana kegiatan di SKPD.40 Tidak sejalannya
rencana program SKPD dengan rencana strategi adaptasi karena tidak
adanya komunikasi yang baik antara Bappeda selaku leading sector
dalam penyusunan strategi adaptasi perubahan iklim dengan SKPD
yang ada. Tidak adanya komunikasi yang baik antarSKPD yang terkait
inilah yang menjadikan upaya-upaya adaptasi atau mitigasi perubahan
iklim tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

IV. Penutup
Perubahan iklim berdampak terhadap kehidupan masyarakat
di daerah perkotaan, terutama perkotaan yang memiliki kawasan
pesisir. Perubahan iklim telah meningkatkan intensitas angin
puting beliung, gelombang panas, dan kekeringan yang sulit
ditanggulangi. Kota Semarang dan Kota Bandar Lampung adalah
dua kota di Indonesia yang terkena dampak buruk dari perubahan
iklim. Dampak perubahan iklim bagi Kota Semarang terlihat dari
terjadinya kenaikan suhu permukaan, meningkatnya intensitas
hujan, kenaikan muka air laut dan perubahan pola cuaca yang
ekstrim. Akibat perubahan iklim tersebut antara lain, banjir baik
banjir kiriman, banjir lokal maupun banjir rob yang semakin
meningkat luasan dan intensitasnya, kekeringan dan krisis air
bersih, serta erosi pantai (abrasi). Sedangkan bagi Kota Bandar
Lampung perubahan iklim mengakibatkan meluasnya kawasan yang
terkena banjir (bertambahnya lokasi banjir), kenaikan air laut dan
abrasi, kekeringan ketika musim kemarau, erosi dan longsor, serta
puting beliung. Untuk masyarakat di kawasan pesisir yang sebagian
besar nelayan, perubahan iklim berdampak terhadap kehidupan


40
Pejabat di Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung, Wawancara,
Kantor Dinas KP Kota Bandar Lampung, 27 September 2013.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 205


sosial ekonominya. Terjadinya banjir rob, pasang air laut, dan angin
kencang berpotensi terhadap gagal panen dikarenakan nelayan
tidak bisa melaut. Sementara dampak perubahan iklim bagi Kota
Semarang antara lain banjir (banjir karena sungai meluap, banjir
karena drainase tidak berfungsi, banjir kiriman, dan banjir karena
air laut pasang/rob), kekeringan, dan erosi pantai (abrasi).
Kedua daerah tersebut menyadari perlunya upaya untuk
menghadapi perubahan iklim berupa upaya adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim. Kebijakan Kota Semarang dalam menghadapi
perubahan iklim secara umum adalah: (a) Meningkatkan kualitas dan
kapasitas sumber daya manusia baik di pemerintah kota, kelompok
swadaya masyarakat dan sektor swasta agar mampu mengelola sumber
dan dampak perubahan iklim secara efektif; (b) Meningkatkan efisiensi
penggunaan sumber daya alam dan energi dalam proses pembangunan,
produksi dan operasi kegiatan baik di sektor publik maupun swasta;
dan (c) Mendorong dan memfasilitasi dialog dan kerja sama antara
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Kebijakan umum tersebut dilakukan dalam beberapa aksi,
yaitu: (a) Peningkatan efisiensi energi; (b) Pengembangan sistem
pengelolaan limbah terpadu; (c) Pengendalian penyakit menular
terkait dampak perubahan iklim; (d) Peningkatan penyediaan dan
pelayanan air bersih; (e) Peningkatan kapasitas kesiapsiagaan
bencana terkait perubahan iklim; (f) Pengendalian dampak banjir
dan rob; dan (g) Pengendalian bangunan dan pemanfaatan ruang.
Namun tidak semua rencana berjalan baik. Hal ini terjadi karena
kegiatan yang dibuat tidak menyentuh pada pola pikir masyarakat
sehingga tidak berkelanjutan. Kendala yang dihadapi pemerintah
adalah kurangnya atau tidak adanya kemauan politik dan visi
yang kuat dari Kepala Daerah, lemahnya koordinasi antar-SKPD,
ketergantungan Kota Semarang terhadap daerah sekitar, dan
lemahnya SDM yang ada di pemerintahan dan di masyarakat.
Sementara kebijakan Kota Bandar Lampung dalam menghadapi
perubahan iklim adalah melakukan pengembangan mass rapid
transportation, pengukuran uji emisi, efisiensi energi penerangan
jalan, menambah luasan RTH, meningkatkan cakupan layanan
air bersih, penghematan air dan pemanfaatan kembali air,
rehabilitasi hutan dan lahan kritis, pembuatan sumur resapan dan
biopori, pengelolaan limbah secara terpadu, pembangunan talud,

206 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


pembangunan dan pemeliharaan drainase terpadu, pengelolaan
sampah terpadu, penataan pemukiman yang tahan terhadap
perubahan iklim dan bencana, pembangunan tanggul pemecah
ombak, pengendalian intrusi air laut, penyaringan air payau,
penyelamatan biota laut, pemberdayaan masyarakat, pengembangan
asuransi, penegakan perda, dan pembentukan UPT.
Seperti halnya Kota Semarang, tidak semua kebijakan berjalan
dengan baik. Beberapa kebijakan yang tidak berjalan sebagaimana
diharapkan antara lain, pengembangan mass rapid transportation,
penambahan RTH, perbaikan drainase, dan pengelolaan sampah
terpadu. Pelaksanaan kebijakan terkendala oleh tidak semua SKPD
dilibatkan dalam pelaksanaan kebijakan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim. Selain itu, kebijakan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim tidak sejalan dengan program SKPD. Atau dengan
kata lain tidak ada perencanaan pembangunan yang terintegrasi
antar-semua sektor. Hal ini terjadi karena tidak adanya komunikasi
yang baik antar-sektor.
Keberhasilan pembangunan selain ditentukan oleh perencanaan
yang baik, pada hakikatnya juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan tersebut.
Mengutip pendapat Conyers yang menyatakan bahwa partisipasi
masyarakat adalah salah satu elemen penting dalam pembangunan
karena tiga hal. Pertama, merupakan alat guna memperoleh informasi
mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang
tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek
akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek
atau program pembangunan jika mereka merasa dilibatkan dalam
proses persiapan dan perencanaan. Ketiga, partisipasi masyarakat
merupakan suatu hak demokrasi bagi masyarakat.41
Oleh karena itu ke depan, pemerintah daerah seharusnya
melibatkan masyarakat dalam kebijakan mitigasi dan adaptasi,
baik dalam perencanaan kebijakan maupun dalam pelaksanaannya.
Karena setiap anggota masyarakat mempunyai hak untuk terlibat
dalam pembuatan keputusan yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerahnya. Keterlibatannya dapat secara langsung atau melalui
intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.

41
Diana Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, (Yogyakarta: UGM Press,
1991), p. 154-155.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 207


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Conyers, Diana., Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta:
UGM Press, 1991.
Mulyana, Wahyu., “Kota dan Perubahan Iklim: Strategi Ketahanan
Kota Menghadapi Dampak Perubahan Iklim” dalam Urban and
Regional Development Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto
Soegijoko, Bungai Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam
Abad 21, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di
Indonesia, Edisi 2, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2011), p.71–90.
Murdiyarso, Daniel., Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi
Perubahan Iklim. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003.
Prasad, Neeraj., Federica Ranghieri, Fatima Shah, Zoe Trohanis, Earl
Kessler, Ravi Sinha, Kota Berketahanan Iklim: Pedoman Dasar
Pengurangan Kerentanan terhadap Bencana, Jakarta: Penerbit
Salemba Empat, 2010.
Saputro, M. Seno., Muhammad Nawawi, “Analisis Abrasi Pantai
Semarang Bagian Barat,” Tesis, Semarang: Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro, 2010.

Artikel dalam jurnal, working paper, majalah, dan surat kabar


Mulyana, Wahyu., David Dodman, Sainan Zhang, dan Daniel Schensul.
“Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan
Metropolitan Semarang, Analisis Spasial dan Kependudukan”.
Technical Briefing UNFPA. Oktober 2013.
Parasati, Hayu., “Kebijakan Perkotaan Terkait Perubahan Iklim”,
Buletin Tataruang, Edisi Januari–Februari, 2012, pp. 15–18.

208 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Artikel dalam seminar/pertemuan
Sasongko, Purnomo Dwi., “Kebijakan Adaptasi perubahan Iklim dan
Pengurangan Resiko Bencana Kota Semarang”, makalah yang
dipresentasikan dalam Lolakarya Nasional Integrasi Adaptasi
Perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana Dalam
Kebijakan Pembangunan dan Penganggaran Keuangan Daerah,
di Hotel Grand Kemang Jakarta, 29 Maret 2012.

Artikel dalam internet


Joga. Nirwono., “Kota-kota di Indonesia dan Perubahan Iklim”,
(http://www.investor.co.id/home/kota-kota-di-indonesia-
dan-perubahan-iklim/21164, diakses 1 agustus 2013).
Kurniawan, Teddy., “Studi Perubahan Iklim Mengancam
Pembangunan Indonesia”, (http://www.beritasatu.
com/iptek/120929-studi-perubahan-iklim-mengancam-
pembangunan-indonesia.html, diakses 1 Agustus 2013).
Siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup, “Rapat Koordinasi
Nasional Program Adipura” (http://www.menlh.go.id/sp-
rapat-koordinasi-nasional-program-adipura/, di akses 2
Agustus 2013).
Susanto, Agus., “Strategi Konservasi Pemanfaatan Air Tanah sebagai
Sumber Air Bersih di Kota Semarang yang Berkelanjutan”
(http://www.pustaka.ut.ac.id/…iding2/fmipa201037.pdf.
diakses 1 Desember 2013).
Widiantono, Doni J., Kota Berkelanjutan: Membangun Kota Tanpa
Luka, (http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/
Kota%20Berkelanjutan%20Membangun%20Kota%20
Tanpa%20Luka-DR.Ir.Doni%20J.Wididantono,M.Eng.Sc.PDF,
diakses 12 April 2013).

Dokumen
Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang, Laporan Akhir Kegiatan
Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kota Semarang
Tahun 2011, tidak diterbitkan.

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Pemerintah Daerah 209


Direktorat Perkotaan Perdesaan Bappenas dan Direktorat Bina
Program Cipta Karya PU. Kebijakan dan Strategi Pembangunan
Perkotaan Nasional (KSPN) 2010 – 2025. Jakarta: Direktorat
Perkotaan Perdesaan Bappenas dan Direktorat Bina Program
Cipta Karya PU, 2010.
Kementerian Lingkungan Hidup. Rencana Aksi Nasional Dalam
Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta: Kementerian Lingkungan
Hidup, 2007.
The World Bank. Guide to Climate Change Adaptation in Cities.
Washington: Urban Development and Local Government Unit,
Sustainable Development Netword, The world Bank, 2011.
Kelompok Kerja Kota, Strategi Ketahanan Kota Bandar Lampung
Terhadap Perubahan Iklim 2011–2030. Bandar Lampung: Asian
Cities Climate Change Resiliance Network (ACCRN), 2011.
Rencana Strategis dan Rencana Aksi Daerah Mitigasi Bencana Kota
Bandar Lampung Tahun 2009 – 2013.

210 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


EPILOG

Sebagaimana konsep lainnya, pembangunan selalu dinamis


dan berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dan
kebutuhan masyarakat. Apabila dahulu pembangunan lebih
memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi, maka seiring
dengan kerusakan alam yang terus terjadi, muncullah kemudian
konsep pembangunan berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan.
Dalam konteks ini, tawaran yang diajukan oleh Mohammad
Mulyadi dalam bab awal buku ini menjadi relevan. Munculnya isu
pembangunan berkelanjutan (sustainable development)seiring
dengan gagasan merebaknya masalah lingkungan yang ditimbulkan
oleh pembangunan yang masih mengikuti paradigma pembangunan
ekonomi konvensional menurut penulis menjadi penting untuk
dikaji. Mengingat pembangunan manusia bertujuan lebih luas dan
mencakup aspek sosial, kultural, dan politik, makauntuk mencapai
tujuan pembangunan manusia, pemerintah perlu meningkatkan
anggaran di bidang pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan
kerja dan memudahkan akses masyarakat untuk mencapai
kesempatan ekonomidan kesempatan sosial lainnya, terutama
pendidikan dan kesehatan.
Kesehatan sebagai salah satu aspek pembangunan memegang
peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu dalam paradigma pembangunan berkelanjutan,
aspek ini juga perlu mendapat perhatian khusus. Tulisan Tri Rini Puji
Lestari padaBab II menunjukkan bahwa kesehatan merupakan isu
krusial yang harus dihadapi oleh setiap negara karena berkorelasi
langsung dengan pengembangan integritas pribadi setiap individu
sehingga dapat hidup secara produktif dan bermartabat. Terciptanya
masyarakat sehat adalah salah satu indikator keberhasilan
penerapan konsep pembangunan berkelanjutan. Untuk itu berbagai
hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam upaya pembangunan

Epilog 211
kesehatan dalam pencapaian target SDGs perlu dipecahkan dengan
memerhatikan keterkaitan berbagai dimensi yaitu sosial, ekonomi,
dan lingkungan serta menggunakan pendekatan interdisiplin.
Aspek sosial lain yang tidak kalah penting dalam pembangunan
adalah pendidikan. Tulisan dalam Bab III yang ditulis oleh Faridah
Alawiyah menunjukkan kaitan antara aspek pendidikan dengan
pembangunan berkelanjutan. Penulis fokus pada Program Indonesia
Pintar yang diluncurkan oleh pemerintah, sebuah program
pemberian bantuan tunai pendidikan kepada anak usia sekolah yang
berasal dari keluarga kurang mampu untuk meningkatkan akses bagi
anak-anak berusia sekolah (6–21 tahun) guna mendapatkan layanan
pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah. Menurut
penulis, pemerintah telah berupaya mengatasi berbagai kendala
dalam program ini. Namun demikian, terdapat beberapa catatan
yang perlu mendapat perhatian sebagai upaya untuk perbaikan
program ini ke depan, antara lain pendidikan nonformal, kondisi
geografis Indonesia, akses ke sektorperbankan, serta penyiapan
guru, sarana, dan prasarana pendidikan.
Kemiskinan sebagai salah satu “musuh” pembangunan juga
perlu mendapat perhatian jika kita membicarakan masalah
pembangunan. Untuk melawan kemiskinan, berbagai sektor
dikerahkan, melalui berbagai kebijakan, program, dan kegiatan
masing-masing sektor. Salah satunya adalah penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan Komite Sekolah. Isu ini diangkat
oleh Dinar Wahyuni dan tampil pada Bab IV. Penulis berasumsi
kemiskinan menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup,
sehingga penanggulangan kemiskinan menjadi poin penting yang
menentukan keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Kelompok
miskin di Indonesia membutuhkan kebijakan yang diarahkan
langsung pada akar permasalahannya, yakni meningkatkan
kemampuan individu melalui pemberdayaan. Pemberdayaan ini
dapat diwujudkan dalam bentuk partisipasi dalam pendidikan.
Dalam hal ini, partisipasi ditekankan pada keterlibatan aktif dari
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui Komite
Sekolah, karena lembaga ini merupakan representasi dari berbagai
unsur pendidikan yang bertanggung jawab terhadap peningkatan
mutu pendidikan.

212 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Masih menjadikan kemiskinan sebagai fokus bahasan, Herlina
Astri pada Bab V menekankan pentingnya pemahaman terhadap
aspek-aspek pembangunan berkelanjutan, yaitu keberlanjutan
ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keberlanjutan sosial.
Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga
tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (efisiensi dan pertumbuhan),
tujuan ekologi (konservasi sumber daya alam), dan tujuan sosial
(mengurangi kemiskinan dan pemerataan). Penulis menyayangkan
fakta bahwa selama ini pembangunan yang dijalankan di Indonesia
tidak memerhatikan kaidah-kaidahkonsep pembangunan
berkelanjutan, yang dapat diihat antara lain dalam masalah
kerusakan hutan, konversi lahan, pencemaran udara, pembuangan
limbah, kesenjangan sosial, tingginya jumlah penduduk miskin,
dan menjamurnya budaya korupsi. Untuk itu diusulkan agar dalam
mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan,
diperlukan adanya segitiga kemitraan antara pemerintah, dunia
bisnis, dan masyarakat madani dalam hubungan kesetaraan dengan
mengindahkan hukum ekonomi, alam-ekologi, dan peradaban.
Perspektif gender juga perlu dihadirkan sebagai salah
satu aspek pembangunan berkelanjutan. Dina Martiany dalam
Bab VI buku ini memaparkanpentingnya kesetaraan gender
dan pemberdayaan perempuan sebagai katalisator yang dapat
mempercepat pencapaian SDGs dalam berbagai bidang lainnya.
Perspektif gender akan mendorong pemenuhan target spesifik SDGs
sekaligus mencapai tujuan kesetaraan gender. Sinergitas antara
tujuan kesetaraan gender dan tujuan lainnya akan mempercepat
pemenuhan indikator yang telah ditetapkan sebagai ukuran dari
masing-masing tujuan. Oleh karena itu segala bentuk kerangka
kerja pembangunan global, termasuk SDGs, harus didukung dengan
implementasi yang berperspektif gender, termasuk pembiayaan
pembangunan, peningkatan sharing pengetahuan, capacity-building,
pengembangan dan transfer teknologi, serta pengumpulan dan
pertukaran data. Perspektif gender harus menjadi pusat dari setiap
area pembangunan, dan partisipasi perempuan sebagai kunci dari
desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi.
Selain aspek sosial, pembangunan berkelanjutan juga perlu
memerhatikan aspek ekonomi. Bagian kedua buku ini menampilkan
kaitan antara aspek ekonomi dengan pembangunan berkelanjutan

Epilog 213
melalui tulisan Edmira Rivani yang memaparkan peran sektor
pertanian dalam pembangunan berkelanjutan. Penulis menyatakan
bahwa salah satu penyebab kegagalan dalam implementasi
pembangunan berkelanjutan adalah pendekatan penerapan
secara sektoral dan parsial. Pendekatan yang egosektoral tersebut
mengakibatkan banyak komitmen Indonesia pada banyak konvensi
dan kesepakatan internasional tidak dapat dilaksanakan secara
penuh di lapangan. Pendekatan egosektoral tersebut juga yang
menyebabkan dalam era persaingan global saat ini, Indonesia selalu
ketinggalan dan belum memperlihatkan komitmen tinggi terhadap
berbagai kesepakatan global. Oleh karena itu dibutuhkan penerapan
secara terpadu, lintas sektoral, dan lintas disiplin ilmu, baik pada
tingkat pusat dan/atau daerah.
Last but not least, dimensi lingkungan sebagai salah satu
dimensi dalam pembangunan berkelanjutan juga menjadi fokus
bahasan dalam buku ini. Sri Nurhayati Qodriyatun pada akhir
buku ini menekankan pentingnya upaya mitigasi dan adaptasi
dalam menghadapi perubahan iklim, terutama yang dilakukan
oleh pemerintah daerah. Hasil penelitian penulis di dua kota yaitu
Semarang dan Lampung menunjukkan bahwa perubahan iklim telah
membawa berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat. Dampak
perubahan iklim bagi Kota Semarang terlihat dari terjadinya
kenaikan suhu permukaan, meningkatnya intensitas hujan, kenaikan
muka air laut dan perubahan pola cuaca yang ekstrim. Sementara
bagi Kota Bandar Lampung perubahan iklim mengakibatkan
meluasnya kawasan yang terkena banjir (bertambahnya lokasi
banjir), kenaikan air laut dan abrasi, kekeringan ketika musim
kemarau, erosi dan longsor, serta puting beliung. Oleh karena itu
ke depan, pemerintah daerah seharusnya melibatkan masyarakat
dalam kebijakan mitigasi dan adaptasi, baik dalam perencanaan
kebijakan maupun dalam pelaksanaannya.
Dari delapan tulisan yang ada dalam buku ini, ada satu benang
merah yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan, yaitu bahwa
pembangunan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang memiliki
beragam aspek, dan keseluruhan aspek tersebut harus mendapat
perhatian jika kita menginginkan tujuan pembangunan berkelanjutan
dapat tercapai. Untuk itu, prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu
“memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan

214 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


kebutuhan generasi masa depan”, harus tetap kita pegang teguh dan
menjadi acuan bagi semua pihak terkait sehingga prinsip tersebut
tidak sekadar menjadi sebuah slogan.

Jakarta, Oktober 2015

Sali Susiana

Epilog 215
INDEKS

A 130, 131, 133, 134, 135, 136,


Access, 23, 135, 136, 146, 137, 138, 140, 142, 149, 150,
Achmadi, 50 157, 158, 162, 170, 172, 173,
Amartya Sen, 15 198, 206
Amerika Selatan, 46 BBM, 24, 87, 193, 198
Anggaran Pendapatan dan Belanja Benefit, 39
Negara (APBN), 63 Bojonegoro, 58
Anggaran Pendapatan dan Belanja Brazil, 94, 130
Negara Perubahan (APBNP), Brebes, 58
63 Budaya Literasi Sekolah (BLS), 103
Angka Partisipasi Murni (APM), 59
Angka Kematian Ibu (AKI), 47, 127 C
Anjuman Zukhri, 59 China, 94, 165
APBD, 23, 63 Community development, 6, 12
Asia Timur, 46, 180, 186 Community power, 6
Australia, 165, 183 Community disorganization, 6
Core values, 7
B Cost, 39, 40
Badan Pembantu Penyelenggara
Pendidikan (BP3), 98 D
Balai Latihan Kerja (BLK), 63 Decision making, 19, 144, 146
Bantuan Siswa Miskin (BSM), 60, 62 Deklarasi Universal, 33
Bantuan Operasional Sekolah Dimensi Sosial, 133, 140
(BOS), 60, 101 Demokratis, 5, 98, 105, 119, 144
Berkelanjutan, 3, 4, 7, 13, 14, 15, 29, Demografis, 18
33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 43, Denis Gaulet, 7
44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 55, 62, Deprivation trap, 29
66, 85, 86, 87, 89, 90, 91, 94, Disadvantaged group, 11
106, 107, 111, 112, 113, 114, Discounting, 38, 113
115, 116, 117, 118, 119, 120, DKI Jakarta, 20, 186
121, 122, 123, 127, 128, 129, DPR, 23, 171

Indeks 217
E HIV/AIDs , 34, 48, 128
Edi Suharto, 10 Human development, 7, 11, 15, 36,
Economic overtone, 21 43, 45, 56
Ekonomi, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, Human capital , 9, 11
14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 26, 28, Human Development Index/HDI, 43
29, 30, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, Human trafficking, 22
41, 42, 44, 45, 46, 48, 50, 51, 55,
56, 58, 59, 60, 63, 66, 67, 78, 85, I
88, 89, 90, 92, 111, 112, 113, 114, I Ketut Dunia, 59
115, 116, 119, 121, 122, 123, India, 15, 94, 165, 171, 184
126, 127, 129, 130, 132, 133, Indonesia, 4, 5, 14, 15, 18, 20, 21, 22,
135, 137, 138, 138, 139, 140, 23, 26, 28, 30, 33, 40, 45, 46, 47,
142, 144, 145, 148, 149, 157, 48, 49, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
158, 159, 160, 161, 163, 172, 63, 64, 65, 66, 67, 73, 74, 75, 76,
173, 186, 187, 188, 197, 199 77, 78, 79, 86, 88, 91, 94, 95, 100,
Environmental development, 14, 36 106, 111, 112, 114, 116, 117,
Equity and Justice, 38 119, 121, 123, 127, 130, 131,
Eropa Selatan, 46 148, 158, 160, 164, 165, 167,
169, 173, 179, 180, 181, 183,
F 184, 185, 186, 187, 188, 206
Filipina, 59 Infant Mortality Rate, 42
Freedom, 7, 143 Inflasi , 4
Inpres Desa Tertinggal (IDT), 120
Integrative Approach, 38
G
Interdisipliner, 12
GBHN, 4 Internasional , 4, 13, 18, 33, 41, 58,
GNP, 4, 40 85, 86, 106, 114, 123, 149, 161,
Geografis, 18, 75, 79, 143, 182, 183, 173
188 Investasi, 5, 7, 9, 16, 23, 24, 25, 27,
Gerokgak, 59 33, 45, 56, 114
Gross Domestic Product (GDP), 40 Infeksi Menular Seksual (IMS), 48
Gro Harlem Brundtland, 36 IPM, 15
Gross National Product/GNP, 40
growth and equity of strategy
J
development, 7
Gustav Ranis, 15 Jawa Tengah, 58, 166
Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas), 26
H
Jaminan Kesehatan Daerah
Hak Asasi Manusia (HAM), 13 (Jamkesda), 26
HDR, 15 Jepang, 46

218 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


K Lord Meghnad Desai, 15
Kanada , 94 London School of Economics, 15
Kartasasmita, 11
Kartu Indonesia Pintar (KIP), 61 M
Kartu Indonesa Sehat (KIS), 61 Makro, 10, 39, 40, 45, 46
Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), 61 Mahbub ul Haq, 15
Kartu Perlindungan Sosial (KPS), 61 Mahkamah Konstitusi, 23
Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera Malaria, 34, 50, 128, 142
(KSKS), 61 Manajemen Berbasis Sekolah
Kapitalis, 29, 30, 164 (MBS), 97
Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), 41 Memodifikasi, 6
Kegiatan Kreatif dan Produktif Menko PMK , 64
(KKP), 103 Midgley, 10, 12
Khairuddin, 22 Millennium Declaration , 34
Komite sekolah, 85, 87, 91, 93, 97, Millennium Development Goals
98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, (MDGs), 34, 37, 125
105, 106, 107, 109, Mindset , 24
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), 3,
85 N
Konsep Pembangunan, 3, 5, 7, 9, 12,
Nasional Bruto, 40
17, 29, 35, 37, 51, 89, 90, 114,
Nelson W. Polsby , 6
115, 119, 120, 122, 123, 157
New York, 86, 134
Korten, 16, 17, 19
Ni Ayu Krisna Dewi, 59
Kurva Lorenz, 41
Non-Governmental Organizations
(NGO), 37
L
Lembaga Kursus Pelatihan (LKP), O
63
Otokrasi, 5
Life Expectancy Rate, 42
Orde baru, 19
Lingkungan, 3, 4, 14, 20, 25, 33, 34,
35, 36, 37, 38, 39, 44, 45, 47, 50,
51, 55, 58, 64, 85, 86, 87, 89, 90, P
106, 111, 112, 114, 115, 116, Pakistan, 15
117, 119, 120, 121, 123, 125, Paradigma, 3, 9, 13, 14, 17, 24, 29,
127, 128, 129, 130, 133, 137, 49, 118, 149
138, 139, 140, 141, 148, 150, Pembangunan, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
158, 159, 161, 162, 172, 173, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,
180, 182, 185, 186, 187, 188, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29,
189, 194, 195, 197, 200, 201, 30, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40,
203, 204, 205 43, 44, 45, 46, 47, 49, 50, 51, 55,

Indeks 219
56, 62, 64, 66, 72, 73, 76, 85, 86, Q
87, 88, 89, 90, 91, 94, 97, 101, Quintiles atau deciles, 41
106, 111, 112, 113, 114, 115, Quality Control , 73
116, 117, 118, 119, 120, 121,
122, 123, 125, 126, 127, 128,
R
129, 130, 131, 132, 133, 136,
137, 138, 139, 142, 143, 146, Rencana Aksi Nasional Perubahan
148, 149, 150, 151, 157, 158, Iklim (RAN-PI), 187
160, 161, 162, 172, 173, 179, Rencana Anggaran Pendapatan dan
181, 184, 187, 188, 192, 193, Belanja Sekolah (RAPBS), 101
194, 195, 196, 197, 198, 199, Revolusi industri , 46
200, 201, 202, 203, 204, 206, Rio de Jeneiro, 85, 86
207, 208 Rochman, 13
Pendapatan Domestik Bruto (PDB), Rogers, 4
40 RPJMN , 46, 47, 86, 187
People centered development, 14, 16 RPJPK, 46, 47, 86, 187, 192
Persatuan Orang Tua Murid dan Rusia, 94
Guru (POMG), 98
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), S
13, 35 Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), 63,
Prayitno, 13 66
Presiden, 4, 61, 64, 65, 131 Sekolah Dasar (SD), 72, 103
Profit oriented, 14 Sekolah Menengah Atas (SMA), 72
Program Indonesia Pintar (PIP), 61 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Program Keluarga Harapan (PKH), 67 72
Program Penanggulangan Kemiskinan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ,
Perkotaan (P2KP), 120 72, 103
Program Pengembangan Kecamatan Singapura, 18, 59
(PPK), 120 Social capital, 11, 56
Politik global 4 Social deprivation, 21
POM (Persatuan Orang Tua Murid), Social functioning, 11
98 Social welfare development , 11
Poverty trap, 21 Social welfare services, 12
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat South Afrika, 94
(PKBM), 63, 66 Suwandi, 7
Pusat Data dan Statistik Pendidikan Sriharini, 22, 29
(PDSP), 73 Stockholm Swedia, 3
Puskesmas, 25, 27, 28, 196 Stockholm Conference, 37
Stockholm Declaration, 4

220 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


self esteem, 7 Top down, 19, 120
state obligation, 10
Supriatna, 7, 8 U
Sumber daya manusia (SDM), 8, 112 UKM, 20
Survei Demografi dan Kesehatan Uncertainty, 35
Indonesia (SDKI), 127 UNCHE, 3, 4
Stakeholder, 13, 96, 99, 101, 149, UNDP, 15, 29, 43
181 UNICEF, 58
Sumodiningrat, 26 Uni Eropa, 94
Sumber Daya Alam (SDA), 3, 112 United Nations Environment
Sustainable Development Goals Programme (UNEP), 4
(SDGs), 34, 86, 125, 129, 151 UUD 1945, 22, 23, 57, 63, 78
Sustainable development, 3, 7, 14,
34, 86, 125, 127, 128, 129, 130,
V
133, 134, 135, 136, 137, 138,
139, 140, 141, 142, 143, 144, Vietnam, 59, 165
151, 157 Vulnerable group, 11
Swedia, 3
W
T WHO, 33
Thailand, 59, 165 World Commission on Environment
The International Encyclopedia of and Development (WCED), 36
the Social Sciences, 6 World Summit, 36, 37
Tim Nasional Percepatan World Trade Organizations (WTO),
Penanggulangan Kemiskinan 37
(TNP2K), 64
Tjokroamidjojo, 8 Y
Trickle down effect, 6 Yale University, 15
Total factor productivity, 9

Indeks 221
BIOGRAFI

Dina Martiany. Lahir di Bandar Lampung, 16 Maret 1982.


Menyelesaikan S-1 Hukum Ekonomi di Universitas Lampung
pada tahun 2003, kemudian melanjutkan S-2 Kajian Gender di
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Gender Universitas Indonesia.
Saat ini merupakan Peneliti Muda Bidang Kesejahteraan Sosial
dengan Kepakaran Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. Beberapa
tulisan ilmiah yang telah diterbitkan antara lain: “Perspektif Gender
dalam Pengelolaan Sumber Daya Air pada Sustainable Development
Goals (SDGs) tahun 2013”; “Pelindungan Perempuan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) PRT di Hong Kong” dalam Buku Tenaga Kerja:
Perspektif Hukum, Ekonomi, dan Sosial (2013); dan ”Kesetaraan
Gender dalam Pembangunan Inklusif Disabilitas”, dalam buku:
Pemenuhan dan Pelindungan Hak-Hak Penyandang Disabilitas
(2014). Alamat e-mail: dina8333@gmail.com.
Dinar Wahyuni. Peneliti Muda Bidang Sosiologi pada Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana Sosiatri Universitas Gadjah Mada
tahun 2004 dan Magister Sosiologi di institusi yang sama tahun 2007.
Minat profesional pada isu-isu masalah sosial, ketenagakerjaan, dan
kebijakan sosial. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 antara
lain Analisis Permasalahan Data Kemiskinan: Basis Data Terpadu;
Perdagangan Orang: Faktor Penyebab, Dampak Sosial, Pencegahan,
dan Penanganan (Studi Di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Provinsi Kepulauan Riau). Tulisan yang dihasilkan lebih banyak
mencermati permasalahan sosial, seperti: Pengembangan Potensi
Pariwisata Sebagai Alternatif Pemberdayaan KAT Di Kepulauan
Raja Ampat (2014); “Kebijakan Pendidikan yang Ramah terhadap
Penyandang Disabilitas” dalam buku Pemenuhan dan Pelindungan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas (2014); Pencapaian Pendidikan

222 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Dasar di Indonesia dalam MDGs (2014); dan Migrasi Internasional
dan Pembangunan dalam Jurnal Kajian Vol. 18, No. 4, Desember
2013. Peneliti dapat dihubungi di alamat e-mail: hi_dins@yahoo.
com.
Edmira Rivani. Menyelesaikan studi S1 pada jurusan Statistika
– Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Padjadjaran, dan melanjutkan pendidikan Pascasarjana pada
Jurusan Statistika Terapan – Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Bekerja di Sekretariat
Jenderal DPR RI sejak tahun 2009 sebagai Peneliti Ekonomi dan
Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI). Beberapa topik penelitian tentang ekonomi dan
kebijakan publik yang telah dilakukan penulis antara lain: Kebijakan
Sektor Pertanian dan Pemberdayaan Petani, Pembiayaan dalam
Perumahan Rakyat: Studi Implementasi Rancangan Undang-Undang
tentang Tabungan Perumahan Rakyat; Pembentukan Kawasan
Pariwisata Khusus dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Pariwisata
Nasional; Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Pembangunan Daerah
Otonomi Baru; dan Strategi Kebijakan Pengendalian Inflasi di
Daerah Pasca-Kebijakan Baru Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: edmira.rivani@dpr.go.id
atau rif_green@yahoo.com.
Faridah Alawiyah. Peneliti Muda dengan kepakaran Studi Pendidikan
pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jendral DPR RI. Magister Pengembangan Kurikulum
Universitas Pendidikan Indonesia. Tulisan yang pernah diterbitkan
antara lain: “Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi”, “Pendidikan Dasar
di Kabupaten Mimika dalam Rangka Pencapaian MDGs 2015”, “Akses
Pendidikan Tinggi dan Penyebarannya”, “Undang-Undang Pendidikan
Tinggi dan Keterjangkauan Pendidikan”. Dapat dihubungi melalui
e-mail: faridah.alawiyah@dpr.go.id.
Herlina Astri. Menyelesaikan Pendidikan Sp-1 Pekerjaan Sosial
Klinis di STKS Bandung (2006-2008). Menjadi peneliti Bidang Kerja
Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI sejak tahun 2009. Minat profesional di
bidang ilmu Pekerjaan Sosial dengan kepakaran evaluasi program
sosial, kebijakan sosial & pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.

Biografi Penulis 223


Menjadi anggota tim asistensi untuk RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
(2014 dan 2015). Tulisan yang pernah dipublikasikan antara
lain (1) “Peningkatan Eksistensi Diri Penyandang Disabilitas
melalui Rehabilitasi Berbasis Masyarakat” dalam buku Pemenuhan
dan Pelindungan Hak-Hak Penyandang Disabilitas; (2) “Jalan
Panjang Penegakan Aturan Pornografi di Indonesia” dalam buku
Permasalahan Pembangunan Pasca-Pemerintahan SBY; (3) “Evaluasi
Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di
Daerah Perdesaaan” dalam buku Kebijakan Pemerintahan SBY; (4)
“Meningkatkan Pengawasan pada Pekerja Anak di Jermal” dalam
buku Tenaga Kerja: Perspektif Hukum, Ekonomi, dan Sosial. Dapat
dihubungi di alamat e-mail: herlina.astri@gmail.com.
Mohammad Mulyadi. Lahir di Makassar, 13 Maret 1976.
Menyelesaikan studi Ahli Pemerintahan (AP) di Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor tahun 1998,
Magister Sosiologi Universitas Indonesia tahun 2002, Doktor Ilmu
Sosial Universitas Padjadjaran tahun 2008. Saat ini penulis aktif
sebagai peneliti di P3DI Setjen DPR RI dan mengajar di beberapa
perguruan tinggi di Jakarta. Di samping itu, juga menjadi konsultan
peneliti di beberapa lembaga pemerintah dan swasta. Aktivitas
keseharian banyak didedikasikan untuk menulis isu-isu sosial
politik dan menjadi pembicara di beberapa seminar, workshop,
dan bimbingan teknis aparatur pemerintahan daerah dan Anggota
DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota se Indonesia. Tulisan dalam bentuk
buku antara lain: 1) Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Masyarakat Desa; 2) Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, serta
Praktik Kombinasinya dalam Penelitian Sosial; 3) Selamatkan Hati
Kita; 4) Organisasi Masyarakat, Konsep dan Aplikasinya dalam
Kehidupan Sosial; 5) Metode Penelitian Praktis, Kuantitatif dan
Kualitatif; 6) Kemiskinan, Identifikasi Penyebab dan Strategi
Penanggulangannya; 7) Desa, Dinamika Kehidupan Sosial di Desa;
8) Pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(bagian dari buku); 9) Konsep Dasar dan Perkembangan Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia (bagian dari buku); 10) Strategi
Pemberdayaan Masyarakat melalui CSR. Penulis dapat dihubungi di
alamat e-mail: mohammadmulyadi@yahoo.co.id.

224 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Sali Susiana. Peneliti Utama Bidang Studi Kemasyarakatan Studi
Khusus Gender pada P3DI Setjen DPR RI. Menjadi peneliti P3DI
sejak tahun 1996. Pendidikan sarjana dari Jurusan Sosiologi FISIPOL
Universitas Gadjah Mada (1995) dan Magister dari Kajian Wanita
Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2005). Menjadi anggota
tim asistensi untuk Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di
Saudi Arabia (2011); Tim Pengawas DPR RI untuk Perlindungan TKI
(2014 dan 2015); dan beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU),
antara lain RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (2011),
RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (2011-2014), dan
RUU tentang Penyandang Disabilitas (2015). Melakukan berbagai
penelitian yang berkaitan dengan isu gender dan perempuan, antara
lain: Peran Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Kesehatan
Reproduksi Perempuan (2015); Penerapan Konsep Perencanaan
dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dalam Pembangunan
Daerah (2014); Rekrutmen Perempuan Calon Anggota DPRD
Provinsi: Implementasi Kuota 30% Keterwakilan Perempuan
dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Pemilu 2014 (2013); dan
Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Proses
Legislasi dan Penyusunan Anggaran atas biaya United Nations
Development Program (2008). Menjadi editor dan kontributor
dari beberapa buku yang diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR RI dan
menulis beberapa artikel mengenai isu perempuan dan gender pada
jurnal ilmiah dan surat kabar. Buku yang telah diterbitkan yaitu
Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan (2011);
dan Representasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif (2013).
Sri Nurhayati Qodriyatun. Lahir di Yogyakarta, 19 November
1970. Menyelesaikan pendidikan sarjana Sosiologi di Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada tahun 1993 dan Magister
Ilmu Lingkungan di Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas
Indonesia tahun 2005. Penulis bekerja di Setjen DPR RI sejak 1996
dan menjadi peneliti pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi Setjen DPR RI sejak tahun 1999. Penulis aktif melakukan
penelitian berbagai permasalahan sosial yang terkait dengan masalah
lingkungan hidup. Beberapa hasil penelitian sudah dipublikasikan
dalam beberapa jurnal ilmiah nasional dan buku, antara lain:
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat melalui Pengelolaan

Biografi Penulis 225


Sampah Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2008 (Jurnal, 2014);
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sampah (Studi Kasus Kabupaten
Gianyar) (Bunga Rampai, 2014); Penanganan Kebakaran Hutan dan
Lahan: Permasalahan yang Belum Terselesaikan (Bunga Rampai,
2014); Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kota
Batam melalui Pemberdayaan Masyarakat (Jurnal, 2013); Restorasi
Ekosistem di Hutan Produksi: Kontribusi terhadap Konservasi dan
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan (Bunga Rampai, 2013);
Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan Konservasi:
Studi Pemberdayaan Masyarakat melalui Model Desa Konservasi
(Buku, 2013). Penulis juga aktif terlibat dalam penyusunan Naskah
Akademis dan pembahasan undang-undang di DPR RI, antara
lain: UU tentang Pangan (2013), UU tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani (2013), UU tentang Konservasi Tanah dan Air
(2014). E-mail: sri.qodriyatun@dpr.go.id.
Tri Rini Puji Lestari. Lahir di Jakarta, 8 Mei 1969. Peneliti bidang
Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI ) Setjen DPR RI. Masuk
sebagai CPNS pada 1 Maret 1998. Diangkat menjadi PNS 1 Mei 1999
dan diangkat menjadi peneliti pada 1 Agustus 2000. Pendidikan S1
diselesaikan pada tahun 1997 dan S2 pada tahun 2004 di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Sejak tahun 2000
penulis aktif melakukan penelitian di bidang kesehatan masyarakat
dan membuat karya tulis ilmiah dibukukan dan di jurnal ilmiah
baik terakreditasi maupun belum terakreditasi. Karya tulis ilmiah
yang sudah dihasilkan selama dua tahun terakhir di antaranya
Kebijakan Penyediaan Obat di Era Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN); Implementasi BPJS Bidang Kesehatan 2014, Pendidikan
Keperawatan: Upaya untuk Menghasilkan Tenaga Perawat
Berkualitas, Ketersediaan Obat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional, dan Peran UU
Nakes dan Tantangan Masalah Kesehatan Indonesia. Alamat e-mail
tririnipl@hotmail.com.

226 Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai