INTISARI
Hingga sekarang pembangunan di Jawa Timur telah banyak menjangkau daerah pesisir.
Peningkatan penduduk, kebutuhan ekspor dan konsumsi hasil laut menyebabkan pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut meningkat cepat. Produksi ikan laut Jawa Timur pada tahun 1999
adalah 288.816 ton yang berarti telah melampaui potensi sebesar 287.987 ton hasil
maksimum yang boleh ditangkap (MSY). Keadaan tersebut mengisyaratkan bahwa
pemanfaatan sumberdaya ikan laut telah memasuki tahapan yang kritis.
Selama ini sebagian besar masyarakat pesisir belum memperoleh manfaat yang besar dari
pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, pembangunan desa-desa di kawasan pesisir Jawa
Timur perlu semakin lebih memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan
setempat. Di pihak lain, status sumberdaya di wilayah pesisir Jawa Timur juga menunjukkan
kondisi lingkungan dengan tingkat pencemaran yang makin meningkat, sumberdaya habitat
hutan mangrove dan terumbu karang yang menunjukkan tingkat kerusakan yang makin serius.
Propinsi Jawa Timur memiliki tidak kurang dari 79 pulau-pulau kecil yang terpusat di wilayah
Madura Kepulauan. Jumlah tersebut merupakan 0,44% jumlah pulau di Indonesia yang
mencapai 17.000 buah. Secara ekologi, pulau-pulau kecil sangat rentan, sebagian belum
didiami penduduk, dan memiliki keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi.
Wilayah perairan laut Jawa Timur dapat dibagi menjadi lima tipikal wilayah sumberdaya, yaitu
(a) Wilayah Utara yang merupakan perairan Laut Jawa, dengan tipikal sumberdaya ikan yang
didominasi ikan layang (Decapterus spp.)dan ikan kuningan (Upenius spp.); (b) Wilayah
Madura Kepulauan, dengan tipikal sumberdaya ikan karang, (c) Wilayah Selat Madura dengan
tipikal ikan kurisi (Nemeptherus spp.), (d) Wilayah Laut Muncar dengan tipikal mono-species
ikan lemuru (Sardinella spp.) dan (e) Wilayah Selatan dengan tipikal sumberdaya ikan tongkol
dan tuna (Thunnus spp.). Pengawasan laut yang relatif lemah membuat kesulitan dalam
mengatasi pelanggaran dalam pengaturan penangkapan ikan.
Keadaan seperti di atas membutuhkan penanganan daerah pesisir dan laut yang lebih baik,
khususnya mencakup aspek wawasan, strategi, keterpaduan, penegakan hukum, pengelolaan
dan pengendalian sumberdaya serta penguatan kelembagaan, sehingga pemanfaatan
sumberdaya diharapkan dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan secara
berkelanjutan.
I. PENDAHULUAN
1.2.1. Visi
Wilayah laut dan pesisir beserta segenap sumberdaya dan jasa-jasa yang terkandung di
dalamnya, merupakan sumber penghidupan dan sumber pembangunan yang dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan, untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dalam
mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, maju dan mandiri.
1.2.2. Misi
Atas dasar visi tersebut, untuk mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, maju
dan mandiri,maka misi pengelolaan terpadu sumberdaya pesisr dan laut disusun sebagai
berikut :
(1) penataan & perencanaan terpadu;
(2) memperkuat kelembagaan;
(3) memperkuat pemantauan dan keterlibatan masyarakat;
(4) meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
(5) pembangunan wilayah kepulauan terpencil
(6) menjamin pengelolaan dan pengamanan wilayah dan sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan;
1.2.3. Tujuan
Tujuan pengelolaan terpadu sumberdaya dan lingkungan coastal zones di Jawa
Timur adalah sebagai berikut :
(1) keterpaduan dalam pembuatan perencanaan pengelolaan coastal zone;
(2) memperkuat kemampuan institusi;
(3) pengendalian sumberdaya perikanan pada tingkat MSY;
(4) pemberdayaan masyarakat;
(5) pemanfaatan pulau kecil sebatas keperluan masyarakat lokal; dan
(6) optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan wilayah ZEE Selatan Jawa Timur.
Coastal zone Jawa Timur mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesejahteraan
masyarakat pedesaan pantai dan pembangunan ekonomi wilayah secara keseluruhan. Wilayah
ini mengandung berbagai sumberdaya dan potensi ekonomi seperti aneka jenis ikan, obyek
wisata dan potensi geografis yang mendukung jalur lalulintas angkutan laut. Selain daripada
itu wilayah perairan pantai ini secara ekologis sangat kompleks dan rumit serta peka terhadap
berbagai macam gangguan alam dan gangguan oleh manusia.
Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki kawasan laut hampir empat kali luas
daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Propinsi Iawa Timur memiliki kawasan
4
pesisir dan lautan yang luas beserta kandungan kekayaan sumberdaya hayati laut yang
melimpah, seperti ikan, rumput laut, hutan mangrove, terumbu karang, dan biota lainnya.
Sumberdaya hayati laut ini merupakan sumber pangan masa depan yang wajib dikembangkan
dan dilestarikan agar dapat tetap menjadi penunjang utama bagi kesejahteraan masyarakat.
Usaha peningkatan pendayagunaan sumberdaya hayati laut berperan ganda. Selain
meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat nelayan, penyediaan pangan khusus
protein hewani, dan juga dapat meningkatkan pendapatan negara. Berbagai permasalahan dapat
muncul oleh pemanfaatan pesisir dan lautan yang mengabaikan prinsip-prinsip linkungan. Laut
sering diperlakukan sebagai penampung sampah, limbah industri dan limpasan bahan kimia
pertanian. Ekaploitasi wilayah pesisir dan laut kian meluas, sehingga mempunyai dampak
negatif terhadap sumberdaya hayati laut.
Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai
sifat yang kompleks, dinamis, dan unik karena pengaruh dari dua ekosistem, yaitu ekosistem
lautan dan daratan. Di lain pihak wilayah pesisir merupakan wilayah tempat berbagai kegiatan
sosial dan ekonomi, antara lain, pemukiman, industri, perhubungan, dan areal produksi per-
tambakan. Sebagai suatu kawasan yang penting, keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
pesisir hanya dimungkinkan dapat dicapai jika pengelolaan pesisir didasarkan pendekatan
pengelolaan lingkungan secara ramah dan terpadu.
Pendekatan tersebut memerlukan pemahaman terhadap karakteristik dari struktur,
fungsi, dan dinamika lingkungan wilayah pesisir. Pendekatan harus diarahkan pada pencapaian
keseimbangan antara potensi dan daya dukung sumberdaya alam, dipadukan dengan kebutuhan
sosial dan mengakomodasikan kegiatan kehidupan yang ada.
Pada hakekatnya pembangunan perikanan merupakan kegiatan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani dan nelayan melalui pengelolaan sumberdaya alam
dengan faktor produksi berupa tenaga kerja manusia, teknologi dan modal. Oleh karena itu
pembangunan perikanan diarahkan untuk mendapatkan hasil guna dan daya guna yang optimal
secara berkelanjutan yang berarti mengandung muatan teknologi, ekonomis, ekologis dan
sosiokultural. Aspek teknologi menunjang adanya efisiensi dan produktifitas, aspek eknomis
menghendaki adanya niali tambah yang selalu meningkat. Sementara itu aspek ekologis
mensyaratkan pembangunan sekaligus memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sedangkan aspek sosiokultural menunjang pemerataan yang menekankan pada pengembangan
sumberdaya manusia (SDM) dan kelembagaannya yang mengakomodasikan sepenuhnya
kebutuhan dan keterlibatan masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
Nelayan Jawa Timur berdasarkan pada jangkauan daerah penangkapannya dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) nelayan yang bekerja di pantai; 2) lepas pantai, dan
3) laut lepas (samudera). Daerah-daerah penangkapan ini pada kenyataannnya tidak dapat
dipisahkan secara tegas. Pengelompokan ini berkaitan erat dengan kedalaman perairan, yang
kemudian mempengaruhi jenis ikan yang diburu pada masing-masing unit kerja, alat tangkap
yang dipakai, armada penangkapan dan modal kerja yang diperlukan. Disampin itu daerah-
daerah penangkapan ini, sampai saat ini masih didominasi oleh usaha nelayan skala kecil.
Wilayah pesisir dan lautan merupakan sumberdaya milik bersama (common property
resources), sehingga berlaku rejim open acces management artinya, siapa saja boleh
memanfaatkan wilayah ini untuk berbagai kepentingan. Setiap pengguna ingin memanfaatkan
secara maksimal dan sukar dilakukan pengendalian. Sifat dari kepemilikan bersama ini juga
menyebabkan pengguna (users) menjadi kurang peduli terhadap status sumberdaya, dan
cendrung menggunakan cara-cara yang disktruktif demi keuntungan jangka pendek. Sehingga
sering kali terjadi kehancuran ekosistem sebagai akibat dari tragedi bersama (tragedy of the
mommon).
Dengan karakteristik wilayah pesisir dan lautan seperti di atas, maka jelas bahwa
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan hanya dapat terwujud
jika pengelolaannya dilakukan secara teradu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainabble development principles) dan pendekatan pembangunan secara
5
Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karean tidak adanya aturan yang
jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan
pesisir dan lautan;
(8) Lemahnya penegakan hukum. Hukum pengelolaan wilayah pesisir dan laut
meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi
oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan manusia dengan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan adanya undang-undang
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan seharusnya maslaha
perbaikan lingkungan pesisir menjadi fokus utama dalam pengelolaan suatu
kawasan atau wilayah pesisir. Tetapi pada kenyataannya kerusakan wilayah
pesisir dan degradasi habitat selalu terjadi dan terus berlangsung. Hal ini karena
lemahnya penegakan hukum (law enforcement);
kualitas atau degradasi dan memerlukan penanganan yang serius. Sebagian hutan mangrove
dikonversi dan sebagian lainnya mengalami degradasi akibat over-eksploitasi. Statistik
menunjukkan bahwa luas hutan mangrove ini menunjukkan kecenderungan yang menurun dari
tahun ke tahun. Kawasan hutan mangrove ini dibuka untuk pemukiman, lokasi industri,
budidaya tambak, dan lainnya. Aktivitas-aktivitas ini secara tidak langsung juga berdampak
pada penurunan produksi perikanan tangkap dan budidaya. Selain itu, meningkatnya kebu-
tuhan kayu bakar juga mendorong over-eksploitasi hutan mangrove, aktivitas penanaman
kembali sangat terbatas. Dalam situasi seperti ini habitata dasar dan fungsi ekologisnya akan
hilang dan kehilangan ini seringkali nilainya lebih besar dibandingkan dengan nilai yang
dihasilkan oleh aktivitas substitutenya.
Terumbu karang di beberapa lokasi menunjukkan gangguan akibat siltasi dan
sedimentasi atau penurunan kualitas air laut akibat aktivitas aktivitas yang membuang limbah
ke perairan pantai. Beberapa spesies karang yang eksotik dipanen untuk pasar akuarium.
Kunjungan wisata ke ekosistem terumbu karang ini juga dapat berdampak buruk kalau
melampaui batas kongestinya. Perkembangan perkampungan nelayan, indutri, wisata pantai,
pelabuhan dan dermaga di sepanjang pantai secara langsung dan tidak langsung juga mempu
nyai sumbangan terhadap penurunan kualitas ekosistem pantai. Pencemaran terutama dapat
disebabkan oleh pembuangan limbah domestik cair dan padat dari daratan.
Tipe Ekosistem:
Aktivitas Ra- Delt Estu Ba- Peter- Sea- Trbu Pesi- Pulau
pembangunan wa a -aria kau nakan grass karng sir kecil
Pertanian/perikanan - - = -
Kehutanan - - - - -
Aqua-kultur dan - - - -
Marikultur
Penangakapan ikan - - - - -
Pengerukan - - = - - -
Pelabuhan - - = - - -
Pelayaran - - - -
Pembangkit listrik - - - -
Industri - - - = - - -
Pertambangan - - - = - - - -
Minyak & gas bumi - - - - - - -
Pemukiman - - - - - - - -
Pembuangan limbah - - - - - - -
Pemanfaatan air - -
Manajemen garis - - - - - -
pantai
Penggunaan - - - - - - -
sumberdaya pantai
berupa input material/teknologi, input kebijakan; (ii) dengan merekayasa kelembagaan yang
mengatur interaksi antar komponen tersebut sehingga perilakunya dapat lebih baik
memanfaatkan input yang ada, dan (iii) kombinasi antara (i) dan (ii).
A. Sub-sistem Perairan Pantai dan Pesisir
Dalam sistem wilayah pedesaan pantai, sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup
pedesaan mempunyai peranan ganda, yaitu sebagai produsen input bagi sub-sistem
ekonomi, produsen jasa amenitas bagi manusia, dan sebagai tempat pembuangan limbah.
Dalam ketiga hal ini potensi dan kemampuan sumberdaya alam ditentukan oleh
karakteristik dan kualitas.
B. Sub-sistem Ekonomi Wilayah Pedesaan
Perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh kemampuannya menghasilakan barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan domistiknya dan/atau dipasarkan keluar daerah dengan
keuntungan kompetitif. Sehubungan dengan hal ini maka kegiatan ekonomi dapat
dibedakan menjadi kegiatansektor bisnis yang menghasilakan produk untuk pasar
domistik.
Di wilayah pedesaan pantai umumnya kegiatan ekonomi di sektor basis sangat dominan,
produk-produk dari kegiatan ekonomi di sektor ini berupa komoditi primer dan sekunder
dari perikanan tangkap yang dipasarkan ke luar daerah. Dengan demikian pembinaan
pada sektor ini diharapkan dapat mengangkat sub-sistem perekonomian secara
kesluruhan. Permasalahan yang sering di jumpai adalah rendahnya keunggulan kompetitif
produk dipasaran bebas, dan rendahnya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh
masyarakat pedesaan pantai.
Tiga ciri penting dari kegiatan ekonomi sektor basis di pedesaan pantai adalah (i) kegiatan
penangkapan memperlakukan yang mahal dan biaya operasi yang banyak, (ii) operasi
penangkapan memerlukan tenaga kerja yang banyak dan koperatif, dan (iii) hasil
tangkapan harus dipasarkan ke luar daerah dalam bentuk segar dan/atau olahan. Ketiga
ciri ini akan menentukan perilaku sektor basis dan pada akhirnya akan berdampak pada
bentuk kelembagaan non-formal yang berkembang di pedesaan pantai.
C. Sub-sistem Kelembagaan Sosial
Sebagaimana disinggung sebelumnya, diwilayah pedesaan pantai telah berkem-bang
kelembagaan non-formal yang spesifik sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang ada.
Suatu teladan bentuk kelembagaan non-formal ini dapat ditemukan dalam hal
penangkapan dengan purse-seine atau penangkapan dengan payang. Kelembagaan armada
penangkapan ini ditandapi oleh eratnya hubungan antara nelayan pendega, juragan laut,
juragan darat, pengolah ikan dan pedagang ikan (dari dalam atau luar daerah).
Kelembagaan operasional penagkapan ini ternyata berdampak pada kelembagaan bagi
hasil yang berlaku, dan selanjutnya akan menentukan distribusi pendapatan dalam
masyarakat pedesaan pantai.
Hingga batas-batas tertentu kelembagaan seperti di atas bersama dengan kelembagaan-
kelembagaan lainnya akan menentukan peluang- peluang transformasi struktural di
wilayah pedesaan pantai. Besarnya peluang tersebut ditentukan oleh kesiapan
kelembagaan yang ada (formal dan non-formal) untuk mengakomodasikan gaya- gaya
perubahan yang berasal dari dari dalam dan luar. Selanjutnya tingkat kesiapan tersebut
oleh (i) efektifitas mekanisme kerja kelembagaan untuk menggalang partisipasi segenap
masyarakat secara proporsional sesuai dengan kepentingannya.
D. Sub-sistem Sarana dan Prasarana Fisik
Sub-sistem ini secara langsung berkaitan dengan sub-sistem kelembagaan sosial (formal
dan non-formal). Secara fungsional sub-sistem ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (i)
sarana dan prasaran ekonomi, (ii) sarana dan prasarana penunjang aktivitas kehidupan
manusia.
Sarana dan prasarana produksi menjadi salah satu prasyarat penting dalam menentukan
perilaku sub-sistem ekonomi. Pada kenyataannya tingkat penguasaan sarana produksi ini
akan menentukan posisi dalam kelembagaan bagi hasil dalam penangkapan.
10
A. Perkembangan Produksi.
Salah satu tujuan pokok pembangunan perikanan adalah meningkatkan produksi
perikanan dan produktifitas usaha perikanan dan meningkatkan kebutuhan bahan pangan yang
lebih merata dalam rangka perbaikan gizi dan menciptakan lingkungan yang sehat.
Pembangunan perikanan pada hakekatnya adalah memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa
merusak sumberdaya perikanan itu sendiri. Oleh karena itu inventarisasi dan identifikasi jenis
dan potensi sumberdaya alam sangat diperlukan. Dengan memperhatikan data produksi
perikanan tahun 1990 maka tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sudah dikelola
secara keseluruhan baru mencapai sekitar 40%.
Sumberdaya perairan laut ternyata masih belum sepenuhya dimanfaatkan ; karenanya
pengelolaan perairan laut diutamakan pada daerah-daerah pantai selatan terutama peningkatan
pemanfaatan ZEE dan perairan kepulauan Madura. Pada cabang usaha penangkapan ,
diversiifikasi komoditas diarahkan untuk menghasilkan jenis-jenis ikan yang disukai pasar
manca negara antara lain jenis ikan tuna, cakalang maupun udang barang (Lobster), yang
dihasilkan dikawasan laut selatan Jawa Timur. Seiring dengan pengembangan kegiatan
penangkapan ikan tuna dan cakalang, maka kebutuhan ikan bandeng umpan menjadi semakin
meningkat.
C. Budidaya Laut
Budidaya laut diarahkan pada rintisan pengembangan terhadap komoditi hasil
perikanan yang sesuai dengan selera pasar dan sebagai pemasok kebutuhan dalam negeri
maupun pasar luar negeri. Dari berbagai jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis
seperti Gracilaria sp, Gelidium sp, Hypnea sp, dan Euchema sp. Di Selat Madura, Jawa Timur
memiliki perairan laut yang potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut. Potensi
tersebut tersebar di sepanjang Pantai Madura Kepulauan dan Bawean Kepulauan. Potensi
perairan laut yang tersebar terdapat di Kabupaten Sumenep yaitu Kecamatan Dungkek,
Gapura, Giligenting, Seronggi Raas, Sapekan dan Pulau Kangean sekitar 750 Ha.
12
bangkan usahanya, akibatnya kehidupannya sangat tergantung pada pemilik perahu (juragan)
yang diikutinya. Kalau keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, maka dimasa datang pendega
menjadi kelompok yang tertinggal.
masyarakat pantai, (iii) pembinaan prilaku masyarakat untuk tidak terlalu mengarah kepada
prilaku konsuntif. Upaya pembanguan ekonomi pedesaan pantai melalui keterkaitan antara
sektor primer (penangkapan) dan sektor-sektor sekunder (industri pengolahan hasil perikanan).
Dengan demikian kebijakan pembinaan pantai harus bertumpu "kedua unsur pokok", yaitu (i).
industrialisasi pedesaan untuk mengolah hasil-hasil ikan tangkapan, dan (ii). inovasi teknologi
penangkapan untuk memperbesar hasil tangkapan.
Akan tetapi dua unsur pokok ini saja masih belum bisa menjamin keberhasilan
pemabanguan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat pedesaan
pantai. Tiga macam "unsur penunjang" yang dipersyaratkan adalah :
(i). pembenahan kelambagaan perkreditan dan bagi hasil,
(ii). renovasi sistem pemasaran yang mampu mengalokasikan nilai tambah yang lebih
besar kepada masyarakat pedesaan pantai, dan
(iii). Pembinaan perilaku masyarakat dan kelembagaan sosial yang ada untuk dapat
menjaga keseimbangan antara perilaku konsuntif dan produktif.
kerja yang ada, meningkatkan pendapatan nelayan pendaga, perbaikan kualitas manusia dan
taraf hidup keluarga nelayan secara keseluruhan.
Proses tranformasi tersebut pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari proses industrialisasi pedesaan pantai secara keseluruhan. Dalam proses inovasi teknologi
penangkapan ikan terkait erat dengan tersedianya input dan sarana pembantu lainya, yang
biasanya ased modal. Pada saat ini hampir di seluruh pedesaan pantai yang diteliti telah
berkembang suatu sistem penyediaan modal maupun kredit bagi-hasil yang beroprasi secara
informal, yaitu untuk "memotori" perubahan dan inovasi teknologi penangkapan ikan yang
telah ada sampai sekarang. Sistem permodalan bagi hasil tersbut ternyata telah menjadi unsur
penunjang inovasi teknologi penangkapan memerlukan unsur penunjang permodalan dan
pemasaran yang "built in" seperti kelembagaan perkreditan bagi hasil jika mental kebaharian
telah tumbuh yang memungkinkan kehidupan sebagian terbesar di laut.
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh pada tanah aluvial di pantai dan sekitar
muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon
Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Exoecaria, Xyloccarpus,
Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Dengan demikian, ekosistem bakau ialah ekosistem pantai
yang komponen tumbuhannya ialah hutan, beserta fauna dan habitatnya yang khas. Lokasi
ekosistem bakau ini umumnya adalah pantai-pantai dengan teluk dangkal, estuari, delta, bagian
terlindung dari tanjung, selat yang terlindung dari ombak serta tempat-tempat lain yang serupa.
Tanahnya bervariasi dari lumpur, lempung, gambut dan pasir.
Ekosistem hutan bakau sangat unik dan sangat potensial. Secara ekonomis, hutan
bakau merupakan penghasil berbagai bahan baku industri, kayu bakar, arang, bahan penyamak,
mendukung upaya budidaya perikanan, dan lain-lain. Secara ekologis hutan bakau mempunyai
fungsi penting karena menjadi tempat lindung bagi banyak jenis flora maupun fauna. Hal ini
sering membawa pada pertentangan kepentingan dalam pemanfaatannya. Di Indonesia, dan
Jawa Timur khususnya, sesungguhnya pertentangan ini dapat terhindarkan apabila semua pihak
dapat menyadari peran lindung hutan bakau tersebut sesunggunya juga mencakup
perlindungan terhadap kualitas lingkungan yang menjamin kelestarian usaha-usaha produksi
16
seperti hasil hutan, tambak dan perikanan pada umumnya. Secara rinci peran lindung hutan
bakau adalah sebagai berikut:
(a). Bersifat khas dan strategis untuk menyangga kelestarian kehidupan biota darat dan
perairan baik laut maupun tawar.
(b). Sebagai penyangga produktivitas wilayah usaha perairan pantai dan laut.
(c). Berperanan besar untuk melindungi pantai dan menghambat lepasnya butir-butir tanah ke
lautan bebas serta mempercepat pengendapan pantai.
Secara teoritis daya regenerasi hutan bakau cukup kuat, sehingga sering dapat
dengan lebih mudah dipulihkan apabila mengalami kerusakan, terutama bila dibandingkan
dengan kawasan ekologis lainnya seperti terumbu karang. Namun demikian, apabila sampai
muncul kerusakan di kawasan hutan bakau hal yang mungkin sulit dikembalikan adalah
hilangnya beberapa jenis flora maupun fauna langka dari kawasan hutan yang rusak tersebut.
Selain dari itu, sesuai dengan perannya seperti tersebut di atas, kerusakan hutan bakau
umumnya berpengaruh luas terhadap ekosistem lainnya yang terkait dengannya.
Pada dasarnya kondisi ekosistem pantai di Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan atas ciri-ciri fisik pantainya. Kelompok pertama umumnya berada di
kawasan pantai selatan Jawa Timur yang mempunyai pantai terjal, berbatu dengan ombak yang
besar menghantam pantai setiap saat. Kelompok kedua umumnya berada di sepanjang pantai
utara Jawa timur yang relatif landai, berlumpur dengan ombak yang relatif tenang dan arus air
lambat. Kondisi fisik seperti inilah yang menjadi alasan mengapa kawasan bakau lebih banyak
di pantai utara dibandingkan pantai selatan Jawa Timur.
Berdasarkan atas nilai indeks sensitivitas lingkungan yang ditetapkan oleh Kantor
Menteri Lingkungan Hidup (Anonymous, 1987), dengan kriteria fisik seperti tersebut, pantai
utara dapat dianggap lebih sensitif terhadap pengaruh faktor pencemaran dibandingkan pantai
selatan. Pada hal justru pantai utara Jawa Timur yang mempunyai perkembangan sosial-
ekonomi pesat. Dari sini dapat dipahami mengapa banyak kawasan bakau di pantai utara Jawa
Timur yang telah rusak, dan berubah fungsi seiring dengan pesatnya perkembangan sosial-
ekonomi. Data tahun 1991 yang berhasil dikumpulkan oleh Marsoedi, et al., menunjukkan
bahwa dari kurang lebih 859 km hutan bakau sepanjang pantai Jawa Timur, 230 ha dinyatakan
rusak berat dan dari 700 ha rusak ringan. Selanjutnya dari hasil survei kasar, dengan pemilihan
tempat secara acak, di kawasan pantai utara Jawa Timur tidak dijumpai hutan bakau (Sumitro,
1992). Hasil pengamatan visual menunjukkan pohon-pohon bakau pada umumnya hanya
terdapat pada galengan tambak atau saluran irigasi atau dalam bentuk gerumbul-gerumbul kecil
di sekitar pemukiman penduduk. Hasil penelitian Fandeli (1992) juga menunjukkan hal yang
serupa. hasil pengamatannya di kawasan pantai Probolinggo dan sekitarnya menunjukkan
bahwa umumnya hutan mangrove merupakan jalur sempit sejajar dengan jalan raya Surabaya-
Banyuwangi yang terputus-putus di berbagai tempat oleh karena pemukiman atau peruntukkan
lainnya. Lebar areal hutan paling panjang adalah 175m, dan umumnya berkisar antara 50-60 m.
Secara umum kawasan hutan bakau tersebut tidak lagi sebagai hutan lindung melainkan telah
bergeser ke fungsi produksi. Hal ini tentu tidak bersesuaian lagi dengan status mereka yang
merupakan kawasan hutan lindung milik perum perhutani. Hal serupa juga di jumpai di
kawasan Blambangan-Banyuwangi (Soebiantoro, 1992). Tampaknya kawasan pantai utara
Jawa Timur sudah tidak lagi mempunyai kawasan hutan bakau perawan kecuali di kawasan-
kawasan konservasi seperti Baluran.
Usaha penanaman kembali pohon bakau ternyata telah banyak dilakukan di sepanjang
pantai utara dan pantai madura termasuk madura kepulauan (Marsoedi, et al., 1991).
Umumnya penghijauan dilakukan oleh instansi di bawah departemen kehutanan, termasuk
Perhutani, dan Badan Konservasi Sumberdaya Alam Daerah (BKSDA). Lokasi penghijauan
meliputi beberapa daerah di kabupaten-kabupaten Banyuwangi, Jember, Situbondo, Malang,
Blitar, Pacitan, Trenggalek, Sumenep dan Bangkalan. Namun demikian, usaha penanaman
17
kembali sering tidak bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan bakau, tetapi sekedar
menghijaukan kawasan bakau, dan sering dikaitkan dengan kepentingan pertambakan baik
yang modern maupun tradisional. Menurut hasil sigi di Jawa Timur, total usaha penghijauan di
luar usaha konservasi dan pengamanan hutan bakau tersebut telah dilakukan pada kawasan
bakau seluas kurang lebih 1250 ha (Marsoedi, et al., 1991).
Hasil penelitian Marsoedi et al. (1991) tersebut juga menanpakan secara jelas sekali
besarnya pengaruh laju tekanan pemukiman penduduk, pertumbuhan budidaya tambak,
perindustrian dan lain-lain kegiatan ekonomi terhadap laju penyusutan kawasan bakau ini di
sepanjang pantai utara Jawa Timur dan Madura. Sayangnya, data rinci dalam skala yang lebih
teliti mengenai laju perluasan wilayah tambak dan penyusutan hutan bakau di Jawa Timur
sampai saat ini amat sulit didapatkan, meskipun dari hasil kuwesener dan wawancara terhadap
instansi terkait seperti, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, dan Pemerintah Daerah
(BAPPEDA) setempat, mereka umumnya mengkategorikan masalah penyusutan luasan hutan
bakau dan usaha penghijauan kembali kawasan bakau sebagai masalah yang mendesak untuk
ditangani.
Data hasil inventarisasi kasar yang telah dilakukan di beberapa kawasan pantai Jawa
Timur, (Sumitro, 1992) menunjukkan ada dua puluh tujuh jenis tumbuhan bakau. Umumnya
dari genus Rhizophora, Avicenia, Exoecaria, dan Acanthus. Selain itu juga dapat dengan
mudah terlihat, di kawasan pantai utara yang landai, adanya kemunculan lahan atau daratan
baru seiiring dengan laju sedimentasi di daerah estuari. Suksesi ekosistem bakau di lahan baru
ini terlihat sering terganggu oleh aktivitas perambahan untuk tujuan-tujuan pertambakan atau
ladang pembuatan garam. Seperti halnya laju penyusutan hutan bakau, data akurat mengenai
laju pertambahan daratan baru serta aktivitas perambahan oleh penduduk tidak pernah ada.
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dengan berbagai macam
fungsi dengan formasi khas daerah tropika dan terdapat di pantai rendah yang tenang serta
berlumpur sedikit berpasir dengan pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove juga
berperanan penting sebagai penunjang ekosistem wilayah pesisir terutama bagi kesejahteraan
masyarakatnya. Fungsi mangrove dilihat dari fungsi fisik, mampu berperan menahan
gempuran ombak dan angin, serta intrusi air laut ke daratan dan fungsi kimia berperan
menghasilkan bahan organik melalui dekomposisi orga nisme tanah mangrove. Sedang
secara ekologis mampu menunjang kehidupan organisme-organisme yang secara langsung
maupun tidak langsung hidupnya tergantung dari mangrove, karena mangrove mampu sebagai
jembatan antara daratan dan lautan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa ekosistem mangrove
meru pakan suatu kawasan ekosistem rumit karena terkait dengan ekosistem darat dan
ekosistem lepas pantai di luarnya. Secara ekonomis mampu menunjang kesejahteraan
masyarakat sekitar pantai disebabkan mangrove bisa dimanfaatkan dalam hal kayu dan non
kayunya. Sayangnya mangrove terma suk kawasan yang labil sehingga dikenal sebagai
"fragile ecosystem" bila terjadi perubahan pengaruh pe-nunjang pertumbuhan dan perkem-
bangannya. Sehingga banyak kawasan -kawasan yang rusak akibat eksploitasi yang berlebihan
tanpa mengetahui keseimbangan antara perkembangan regenerasi dan pemanenan. Maka
sebagai usaha pelestariannya adalah dengan peremajaan atau penanaman kembali atau yang
dikenal dibidang kehutanan dengan istilah permudaan buatan bagi hutan mangrove.
Permudaan buatan adalah suatu kegiatan dalam usaha memperoleh hasil yang
dikehendaki dengan penggu naan jenis bibit yang sesuai zone pertumbuhan dan jarak tanam
yang dikehendaki. Sedang di satu sisi bahwa pelaksanaan permudaan buatan sering kali
mengalami kegagalan. Untuk itu, diperlukan adanya suatu penelitian dari usaha permudaan
buatan tersebut dengan pengukur beberapa variabel yang terkait. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui prosentase tumbuh dan keberhasilan permudaan buatan jenis R. mucronata
L.
18
Menurut hasil kajian Arifin Arief dan Agus Sugianto (1998), luas areal penelitian
30,81 ha dengan jarak tanam 3 x 2 m merupakan hasil penanaman sejak 12 Januari 1996
pada daerah bertopografi datar sedikit bergelombang dan beriklim tipe E klasifikasi Schmidt-
Ferguson. Curah hujan daerah pene litian rata-rata mencapai 1000-1500 mm dengan jenis tanah
regusol dan gromosol kelabu, dengan bahan endapan pasir dan liat. Didalam pemilihan biji
dipilih pada buah yang telah mengalami perubahan warna kuning pada bagian antara biji
dengan hipokotil serta sesuai dari zone pertumbuhannya.
Diameter yang didapatkan secara rata-rata di seluruh petak ukur adalah 1,73 cm dan
terbesar adalah 2,21 pada petak ukur 6 dengan ketebalan sedi-mentasi 10,02 cm. Salinitas
pada petak ukur didapatkan rata-rata sebesar 2,83 persen, hal ini disebabkan terjadinya curah
hujan yang selalu berubah. Untuk salinitas sebenarnya tidak dibutuhkan terlalu tinggi bagi
pertumbuhan tanaman tetapi bila terjadi salinitas yang tinggi, maka tanaman akan beradaptasi
karena sifatnya yang halophyt. Proses ini melalui perakaran disekresikan serta disalurkan ke
bagian-bagian tubuh tanaman terutama bagian daun-daun tua, karenanya pada daun tua ditemui
kadar garam yang relatif tinggi. Sesuai Soeroyo (1993) bahwa mangrove mampu memin
dahkan garam dengan cara menyim pannya dalam daun yang lebih tua, karenanya konsentrasi
kadar garam pada daun tua lebih tinggi.
Kemiringan permukaan tanah ternyata mempengaruhi lamanya dan perluasan
genangan. Pasang surut pada daerah genangan membawa serasah dan tebal sedimentasi yang
berdampak bisa tumbuh dan berkem bangnya mangrove. Faktor physio graphy berpengaruh
terhadap zonasi terutama dalam hal salinitas air dan serasah (Anonimous, 1995). Kemi-ringan
lahan sangat berpengaruh juga terhadap ketebalan sedimentasi yang terbawa air pasang dan
aliran sungai. Pada petak ukur didapatkan genang an air setinggi 21,72 yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan permudaan buatan dengan rata-rata diameter 1,73 cm dan tinggi semai
tanaman rata-rata 43,16 cm. Sehingga kawasan mang-rove dengan empang parit yang mampu
menahan genangan ketika terjadi surut, mampu membuat tanah selalu dalam kondisi lunak.
Terdapat korelasi antara jenis tegakandengan pasang surut dan lamanya genangan air
(Soemodihardjo, 1979), sebab semakin ke atas daratan arus pasang surut semakin kecil dan
kandungan lumpur dengan bahan organik tanah yang tinggi (Marsono dan Setyono, 1993).
Dimana kondisi lunak akan merangsang organisme tanah untuk membuat lubang-lubang
tanah sebagai penunjang aerasi udara bagi perna-fasan akar-akar mangrove. Lubang-lubang ini
membawa oksigen ke bagaian akar tegakan mangrove (Ewuisie, 1980). Kondisi tanah
dengan analisis fisik secara mekanik diperoleh tanah bersifat lempung liat berpasir (33,3 %)
serta banyak ditemui orga nisme jenis kepiting, grifil dan cacing pantai yang beraktifitas
membuat lubang-lubang tanah. Jenis tanah ini secara umum sangat disukai oleh organisme
tanah pantai disebabkan sangat mudah untuk ditem bus. Disamping itu, bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sendiri jenis organisme ini sangat menunjang karena proses
dekomposisi dan hasil endapan serta seresah terjadi pada jenis tanah ini. Organisme tanah yang
disebut makrobentos sangat berpe-ranan dalam proses penghancuran seresah dan dekomposisi.
Makro-bentos mampu mencerna daun segar dan memproduksi hingga membantu eksport unsur
hara (Sukardjo, 1993). Hasil proses ini akan mengha silkan bahan organik tanah sebagai
penunjang pertumbuhan dan perkem bangan mangrove permudaan buatan. Daun mangrove
yang mulai membu suk mengandung 3,1 persen protein dan setelah 12 bulan meningkat
sampai 21 persen (Heald, 1971). Berarti bisa dipastikan bahwa hasil prosentase pertumbuhan
diperoleh rata-rata sebesar 82,57 salah satu sebab adanya proses tersebut. Sehingga R.
mucronata sangat sesuai tumbuh dan berkembang pada daerah zone dengan keadaan di atas
yang bersifat salinitas, tanah dan pasang surut serta sedimentasi yang terjadi.
Menurut Arief dan Sugianto (1998), Rhizophora mucronata L. mampu mengalami
pertumbuhan dan perkembangan sebesar 83 persen dalam suasana lingkungan dengan
salinitas sebesar 5,1 persen, sedimentasi setebal 11,5 cm dan tinggi genangan 29 cm.
Suatu hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kelemahan menejemen hutan
bakau menyangkut banyak hal, meliputi sistem silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan
pengorganisasian/pelembagaan, pelaksanaan program kerja, dan pengawasannya. Ciri dari
kelemahan menejemen tersebut antara lain adalah data luasan kawasan hutan bakau yang tidak
akurat. Di Jawa Timur data luasan hutan bakau tersebut sering bervariasi menyolok antar
instansi terkait satu dengan lainnya. Hal ini tentu amat menyulitkan dalam pelaksanaan tata
ruang, pemanfaatan maupun rehabilitasinya. Selain dalam hal menejemen, permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan kawasan bakau di Jatim diduga juga berhubungan dengan
terjadinya degradasi hutan bakau akibat pencurian kayu, perambahan yang tidak terkendali
serta pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Permasalahan terakhir ini lebih terkait dengan
kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan bakau yang belum sepenuhnya
mendukung pengelolaan hutan bakau secara lestari. Dari sini terlihat bahwa pengelolaan hutan
bakau secara lestari harus terkait dengan pendidikan kesadaran berkonservasi, peningkatan
lapangan kerja, kesempatan kerja, peningkatan akses untuk memperoleh informasi, modal kerja
dan sarana produksi bagi penduduk di sekitar kawasan bakau.
3.3.1. Pendahuluan
Beranekaragam tipe ekosistem khas dijumpai di wilayah pesisir-pantai Pasir putih dan
sekitarnya, seperti hutan mangrove, terumbu karang, rumput laut, estuarin, delta dan rawa
pantai non bakau. Selain menyediakan berbagai sumberdaya alam, tatanan lingkungan ini
berfungsi sebagai penyangga kehidupan.
Terumbu karang merupakan ekosistem khas, yang didalamnya terkandung
keanekaragaman biota laut yang unik dan menarik. Produktivitas dan kekayaan jenis terumbu
karang boleh dikata sebanding dengan hutan hujan tropika (Anonimous, 1992). Sebagai salah
satu ekosistem di dunia yang secara ekologis paling produktif dan beragam, serta seringkali
20
merupakan daerah yang paling cantik bentuknya. Hal lain yang menarik perhatian dari
ekosistem terumbu karang terutama adalah besarnya kelimpahan dan keragaman biota yang
berasosiasi.
Sebagai ekosistem perairan yang memiliki produktivitas tinggi, terumbu karang juga
merupakan habitat dari berbagai jenis organisme laut. Terumbu karang berfungsi sebegai
pelindung fisik, tempat tinggal, mencari makan, berpijah dan berkembang biak berbagai biota
laut. Diperkirakan sekitar 260 jenis ikan hias hidup di perairan terumbu karang, dan sepertiga
seluruh jenis ikan kehidupannya bergantung pada lestarinya terumbu karang. Disisi lain
terumbu karang dapat dijadikan sebagai bahan bangunan, bahan baku industri pupuk dan
farmasi.
Di perairan laut Indonsia diperkirakan luas terumbu karang mencapai 6.800 km 2,
membentang sepanjang 17.500 km (Anonimous, 1992). Sebagian sudah ditetapkan menjadi
taman nasional luat, antara lain di daerah Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa,
Bunaken Sulawesi Utara yang terkenal sebagai Taman Nasional Laut, disamping itu juga
perairan laut Madura Kepulauan terdapat terumbu karang yang lamam dikenal oleh nelayan
dan merupakan daerah perburuan /penangkapan ikan-ikan karang yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi, seperti ikan kerapu, kakap dan ikan hias.
Dalam dekade terakhir ini terumbu karang baik langsung maupun tidak langsung telah
dimanfaatkan oleh manusia secara optimal tanpa kendali, antara lain usaha penangkapan ikan
karang baik sebagai ikan hias maupun sebagai konsumsi secara besar-besaran yang
menggunakan racun "potassium cyanida (KCN)", pengambilan karang untuk bahan bangunan
dan tidak kalah pesatnya pemanfaatan daerah terumbu karang sebagai taman laut dijadikan
objek wisata bahari. Menurut Salm (1984) hasil tangkapan ikan di perairan terumbu karang dan
sekitarnya dapat mencapai 5.000 kg/nelayan/tahun.
Penelitian tentang kondisi ekologi terumbu karang di Indonesia tergolong masih
sedikit, pada hal perairan laut Indonesia demikian luasnya dan sangat kaya akan sumberdaya
terumbu karangnya. Sementara itu eksploitasi terhadap terumbu karang untuk berbagai tujuan
terus berlangsung tanpa memperhatikan keadaan ekologisnya. Hal ini apabila terjadi terus
menerus akan mengakibatkan kepunahan terumbu karang yang ada. Sebagai salah satu
ekosistem yang secara ekologis merupakan habitat berbagai jenis organisme laut, maka
sangatlah perlu dijaga kelisteriannya.
Berdasarkan pemikiran di atas upaya konservasi dan pengelolaan terumbu karang
sebagai sumberdaya sangat penting dan berdimensi ganda, pendekatan bioekologi terumbu
karang serta alternatif pemanfaatan sumberdaya ikan-ikan karang melalui paket teknologi alat
tangkap long line pot dan usaha budidaya laut harus dilakukan secara terintegrasi.
Konservasi dan pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkembang sangat
penting artinya. Oleh karena itu ekosistem terumbu karang yang sangat produktif dapat
mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang dapat berfungsi secara
optimal, maka produksi ikan-ikan karang akan dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan
dan akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat, untuk masa kini
dan masa yang akan datang. Konservasi dan pengelolaan terumbu karang haruslah secara
menyeluruh baik ekosistem terumbu karang itu sendiri maupun sumberdaya ikan yang
berasosiasi dengan terumbu karang, serta melibatkan masyarakat pengguna dengan
memperbaiki terumbu karang yang telah rusak melaui pembuatan terumbu karang buatan.
Disamping itu mencari alternatif pemanfaatan sumberdaya ikan-ikan karang melalui paket
teknologi alat tangkap yang ramah lingkungan serta pengalihan usaha ke budidaya laut, yang
layak dan memberikan prosfek yang cerah untuk meningkatkan pendapatan khususnya nelayan
setempat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia saat ini
adalah 14 % dalam kondisi kritis, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % kondisi masih bagus
21
dan kira-kira hanya 7 % yang kondisinya sangat bagus. Bertambahnya berbagai aktivitas
manusia yang berorientasi di daerah terumbu karang akan menambah tekanan dan sebagai
dampaknya adalah turunnya kualitas terumbu karang. Jika kegiatan yang berhubungan dengan
terumbu karang tidak segera dilakukan dengan baik maka prosentas terumbu karang dengan
kriteria kritis akan bertambah dengan cepat (Anonymous, 1992). Di beberapa bagian perairan
laut saat ini berlansung perusakan terumbu karang sudah pada tingkat yang menghawatirkan,
sebagai akibat pengeksploitasiannya yang tidak terkendali, antara lain Teluk Ambon (Yusron
dan Syahaetua, 1987) dan di pantai Lombok Barat, Nusa Tenggara (Sutarna dkk., 1987) serta
Kepulauan Seribu. Keadaan serupa terjadi pula pada daerah terumbu karang di perairan Pasir
Putih Selat Madura, terutama pengambilan karang sebagai hiasan dan bahan bangunan serta
usaha penangkapan berbagai jenis ikan hias yang menggunakan bahan racun pada kadar
tertentu dengan tujuan agar supaya ikan tertangkap dalam keadaan pingsan. Hal ini jelas akan
berpengaruh terhadap ekosistem teumbu karang yang ada disekitarnya.
Terumbu karang berfungsi sebagai daerah perlindungan, tempat berkembang biak,
mencari makan dan berpijah bagi berbagai jenis biota laut, mempunyai kestabilan, aneka-
ragam spesies dan ekosistem beradaptasi secara baik melalui simbiose internal dan intra
komunitas. Akan tetapi tidak kebal terhadap gangguan aktivitas manusia dan mudah sekali
diserang oleh faktor-faktor perusak (ekosistem yang fragile) (Odum, 1971). Di sisi lain
terumbu karang sebagai sumberdaya dieksploitasi sebagai bahan bangunan, bahan baku
industri pupuk dan farmasi tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ekologi.
Adanya kerusakan terumbu karang akan mengakibatkan pula perubahan keragaman
organisme penghuni terumbu karang Menurut Risk (1972) di perairan terumbu karang terdapat
indikasi adanya hubungan antara keragaman spesies ikan dengan kompleksitas substrat. Daerah
yang mempunyai keragaman spesies karang yang lebih banyak akan lebih bervariasi populasi
ikannya. Makin kompleks populasi karang akan memberikan pula relung (niche) ekologi yang
lebih banyak bagi ikan-ikan karang. Mengingat terumbu karang mempunyai arti penting baik
ditinjau dari segi ekologi sebagai penyangga kehidupan maupun segi potensi ekonomi berupa
usaha perikanan, industri dan pariwisata, perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
1980; Ditlev, 1980; Nybakken, 1983; Berwick, 1983). Menurut Berwick (1983) dan Nybakken
(1983), tidak ada terumbu karang yang berkembang pada perairan yang suhu minimum
tahunannya di bawah 18o C. Perkembangan optimal untuk terumbu karang adalah pada perai-
ran yang suhu rata-rata tahunannya (23 o - 25o) C, sedangkan suhu maksimum yang dapat
ditoleransi oleh terumbu karang adalah (36 o - 40o) C (Nybakken, 1983). Menurut Berwick
(1983) suhu optimum bagi terumbu karang berkisar antara (25o - 29o) C, sedangkan suhu
maksimumnya berkisar antara (35o - 38o) C, tergantung pada jenisnya.
Penetrasi cahaya matahari memainkan peranan penting dalam pembentukan terumbu
karang, karena cahaya matahari menentukan berlangsungnya proses fotosintesa bagi alga yang
bersimbiosa di dalam jaringan karang (Berwick, 1983). Oleh karena itu distribusi vertikal
terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk. Barnes (1980)
menyatakan bahwa terumbu karang dapat hidup sampai kedalaman 60 m, menurut Ditlev
(1980) pada perairan yang jernih di se-kitar samudera terumbu karang dapat mencapai
kedalaman lebih dari 80 m, menurut Vaughan dalam Sukarno (1981) kedalam maksimum
untuk terumbu karang adalah 45 m. Nybakken (1983) menyatakan bahwa terumbu karang tidak
dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari (50 - 70) m dan kebanyakan terumbu
karanmg tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang.
Terumbu karang, terutama karang hermatipik merupakan organisme laut sejati dan
kebanyakan spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari salinitas normal air laut ( 30 - 35 ) o/oo Nybakken, 198; Berwick, 1983). Faktor-
faktor pembatas bagi kehidupan, distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah
suhu, cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, arus (pergerakan) air, dan substrat (Barnes,
1980; Nybakken, 1983; Bewick, 1983). Untuk hidupnya terumbu karang memerlukan air laut
yang bersih dan jernih, apabila terjadi kekeruhan pada air laut akan mempengaruhi penetrasi
cahaya matahari sehingga laju pertumbuhan dan produksi terumbu karang (Berwick, 1983).
Arus diperlukan oleh terumbu karang, tersedianya aliran suplai makanan berupa plankton dan
oksigen serta terhindarnya karang dari timbunan endapan (Sukarno, 1981). Selanjutnya
dinyatakan bahwa substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk membentuk
koloni baru.
rata di terumbu karang sehingga memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat
penting dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken, 1983; Nontji, 1984). Oleh karena itu
karang hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan
tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif. Kebutuhan akan
cahaya matahari tidak diragukan lagi adalah untuk zooxanthellae (Nybakken, 1983; Suharsono,
1984). Goreau (1961, dalam Nybakken, 1983) menyatakan bahwa zooxanthellae meningkatkan
laju proses kalsifikasi (pembentuk kapur) yang dilakukan oleh karang dan laju pertumbuhan
koloni karang. Namun mekanisme zooxan-thellae meningkatkan laju pertumbuhan kerangka
karang sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Tetapi Barnes (1980) menjelaskan bahwa
adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat
dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berukut :
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Sub kelas : Zooantharia
Ordo : Scleractinia
Sub ordo : Atrocoeniina
Famili : Pocilloporiidae, Acroporidae
Sub ordo : Agariciidae, Thamnasteriidae,
Fungiidae,Siderastredae,
Poritidae
Sub ordo : Faviina
Famili : Faviidae, Trachyphyllidae,
Merulinidae, Oculinidae,
Mussidae, Meandrinidae,
Pectinidae.
Sub ordo : Caryophylliina, Famili : Caryophylliidae
Sub ordo : Dendrophylliina, Famili : Dendrophylliidae
Sub kelas : Octocorallia
Ordo : Stolonifera, Famili : Tubiporidae
Ordo : Coenothecalia, Famili : Helioporidae
Kelas : Hydrazoa
Ordo : Milleporina, Famili : Milleporidae
Ordo : Stylasterina, Famili : Stylasteridae
zooxanthellae (Nybakken, 1982; Suharsono, 1984), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthel-
lae yang bersimbiose berada di dalam jaringan gastroderm. Umumnya ukuran diameter polyp
karang yang berbentuk koloni 1 - 3 mm, sedangkan beberapa jenis yang soliter ada yang
mencapai 25 cm.
Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh epidermis
yang berada di pertengahan bawah polyp. Proses sekresi ini menghasilkan rangka cawan
(skeletal cup), dimana polyp karang menetap. Cawan tersebut dinamakan calyx, dinding yang
mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada
bagian lantai terdapat dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating cacareous septa).
Disamping memberikan tempat hidup bagi polyp karang, cangkang (terutama
sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polyp memjadi kecil dan
berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes,
1980). Karang merupakan hewan karnivora, seperti pada sebagian besar anggota filumnya.
Karang memiliki tentakel yang dipenuhi oleh kapsul-kapsul berduri (nematoksis) yang
dipergunakan untuk menyengat dan menangkap mangsa (Nybakken, 1983). Menurut Barnes
(1980) karang memangsa ikan-ikan kecil sampai zooplankton, tergantung dari ukuran polyp
karang. Umumnya berkontraksi.
Selain mendapatkan makanan dari luar tubuhnya karang juga mendapatkan bahan
makanan dari alga zooxanthellae yang bersimbiose dengannya. Hal ini dibuktikan oleh
Frazisket (1969, dalam Nybakken, 1983), bila karang tidak menperoleh makanan,
zooxanthellae menyediakan makanan.
hasil tangkapan ikan di perairan terumbu karang dan sekitarnya dapat mencapai 5.000
kg/nelayan/tahun.
Kekayaan jenis ikan karang sebanding dengan jenis karang yang ada. Dapat dikatakan
bahwa daerah pusat indo Pasifik, Kepulauan Filipina dan Indonesia yang kaya akan keragaman
jenis karangnya mempunyai sejumlah besar spesies ikan dan jumlah tersebut menurun pada
daerah yang semakin jauh dari kepulauan. Salah satu pendapat menerangkan bahwa diversitas
spesies ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat yang terdapat di
terumbu karang. Pendapat lain menyatakan bahwa ikan-ikan tersebut memang memiliki relung
(niche) ekologi yang lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya bergerak
(berakomodasi) di dalam area tertentu. Maka sebagai akibatnya ikan-ikan karan terbatas dan
terlokalisasi di area tertentu pada terumbu karang( Nybakken, 1988).
Fisiografi dasar perairan adalah faktor utama yang menentukan distribusi dan
kelimpahan ikan-ikan karang. Oleh karena itu keberadaan ikan-ikan karang juga sangat
dipengaruhi oleh kondisi atau kesehatan terumbu karang, yang biasanya ditujukan oleh
prosentase penutupan karang hidup (life coverage). Perbedaan habitat terumbu karang dapat
mendukung adanya perbedaan kumpulan ikan-ikan. Oleh karena itu interaksi intra dan inter
spesies berperan penting dalam penentuan perwilayahan (spacing, sehingga banyak ikan-ikan
yang menempati wilayah tertentu.
Dua kelompok ikan yang secara aktif memangsa koloni karang, yaitu jenis yang
memakan karang (famili Tetra-odontidae, Monocanthidae, Balistidae, chaetodontidae) dan
jenis omnivora yang mencabut polyp karang untuk mendapatkan algae yang berlindung di
dalaam rangka karang (famili Acnthuridae, Scaridae). Ikan yang omnivora jumlahnya
mencapai 50 70 %, hampir meliputi semua ikan di terumbu karang (famili Tetra-odontidae,
Monocanthidae, Balistidae, chaetodontidae). Kelompok ke dua sekitar 15 % adalah ikan
herbivora dan pem-angsa karang. Hanya beberapa spesies saja yang planktivora (Clupeidae,
Atherinidae) dan karnivora.
26
Piskovora Besar
(hiu, kerapu, karangida, barakuda
Pemangsa karang
(ikan buntal,
ikan kakatua)
Zooplankton
-
Herbivora
ikan pakol,ikan Pemangsa detritus Invertebrata
bibir, belosoh (belanak) bentik
-
Gambar 3.3. Hubungan trofik pada ikan-ikan karang (Sumber: Connel, 1977
dalam Nybakken, 1988)
3.4.1. Pendahuluan
Inventarisasi rumput laut di beberapa tempat di Indonesia telah dilakukan sejak lama.
Diantara jenis-jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia, Heyne pada tahun 1922 mencatat
21 jenis rumput laut yang bermanfaat. Daftar jenis-jenis rumput laut tersebut telah ditambah
dan diperluas oleh Zaneveld pada tahun 1955 dengan memasukkan jenis-jenis yang ekonomis
dari kawasan Asia Tenggara. Dari berbagai jenis rumput laut yang bermanfaat di Indonesia,
Kelas Rhodophyceae dapat menghasilkan agar-agar dan karaginan.
Indonesia dan Filipina merupakan negara penghasil Eucheuma terbesar dengan
produksi sebesar 85 % dari jumlah total tanaman tersebut di dunia. Produksi tersebut
27
didapatkan dari hasil budidaya yang dimulai pada tahun delapan puluhan (Risjani, 1999). Pada
saat ini produksi dan nilai ekspor Eucheuma dari Indonesia ke beberapa negara naik seiring
dengan fluktuasi nilai dolar Amerika. Negara produsen Gracilaria yang terbesar adalah Chili
dengan produksi mencapai sekitar 47 ribu ton berat kering per tahun, sedangkan Indonesia
menghasilkan sekitar 2 ribu ton berat kering per tahun pada kurun waktu lima tahun terakhir.
Eucheuma alvarezii atau yang disebut dalam dunia perdagangan dengan Eucheuma
cottonii adalah rumput laut yang mempunyai banyak kegunaan, mengandung karaginan yang
banyak dibutuhkan oleh dunia industri. Seiring dengan adanya krisis ekonomi yang melanda
Indonesia sejak 1997 yang lalu, dan dengan menurunnya nilai rupiah terhadap beberapa mata
uang asing telah membuat terpuruknya beberapa usaha komoditas tertentu. Sebaliknya
komoditas yang mempunyai pasaran ekspor seperti Eucheuma alvarezii, dalam kenyataannya
menambah nilai ekspor dan devisa negara.
Rumput laut tumbuh hampir di seluruh hidrosfir sampai batas kedalaman kurang dari
300 meter, suatu kedalaman dimana masih dapat ditembus oleh cahaya matahari. Cahaya
matahari adalah faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh tanaman laut guna melakukan
fotosintesa. Rumput laut hidup sebagai filobentos dengan menancapkan atau melekatkan
dirinya pada substrat pasir, karang, fragmen karang mati, kulit kerang, batu ataupun kayu.
Faktor-faktor oseanografis (fisika, kimiawi, dan dinamika) dan macam-macam substrat
sangatlah menentukan terhadap pertumbuhan rumput laut. Iklim dan letak geografis
menentukan pula jenis-jenis rumput laut yang tumbuh.
Rhodophyceae mengandung bahan yang disebut agar-agar dan karaginan. Zat-zat
tersebut adalah fikoloid berbentuk polysacharida. Algin dapat diekstrak dari Phaeophyta. Agar-
agar, Karaginan, dan Algin adalah produk hasil olahan rumput laut dan merupakan zat yang
cukup penting dalam dunia perdagangan dan industri. Kadar agar-agar, karaginan dan algin
yang dikandung oleh rumput laut tidaklah sama. Tinggi rendahnya kandungan tersebut
tergantung pada jenis rumput lautnya, bahkan juga daerah dan iklim ikut mempengaruhi
kadarnya.(Soegiarto et al., 1978; Perez et al., 1992)
Rumput laut jenis Gelidium spp. Gracilaria spp. dan Hypnea spp. merupakan bahan
dasar pokok untuk pembuatan agar-agar di Indonesia, baik oleh perusahaan ataupun industri
rumah. Jenis rumput laut yang belum diolah tetapi cukup penting adalah Eucheuma spp.
terutama mengandung bahan karaginan, jenis ini umumnya diekspor.
Menurut Perez, et al. (1992) ada empat jenis karaginan, yaitu iota, yang dihasilkan
oleh Eucheuma spinosum, lambda yang dihasilkan dari Chondrus crispus dan betha yang
dihasilkan dari Eucheuma gelatinae, sedangkan Eucheuma alvarezii menghasilkan karaginan
jenis kappa. Dalam dunia industri karaginan berbentuk garam dengan Sodium, Calcium dan
Potasium. Aplikasi Karaginan hasil ekstraksi Eucheuma dipakai dalam berbagai industri, yaitu:
Idustri pangan : Karaginan digunakan sebagai gel, penebal, suspensi dan
stabilisator. Aplikasi zat ini dapat dijumpai pada produk-produk coklat, puding, es
krim, susu evaporasi, keju, jelly rendah kalori dan makanan hewan piaraan.
Industri konsumsi rumah tangga : Zat ini digunakan sebagai agen tambahan pada
produk seperti pasta gigi, shampo, kosmetik, dan produk farmasi.
Agar atau dalam bahasa populernya agar-agar yang dikandung rumput laut jenis ini
merupakan produk hasil olahan rumput laut dan zat yang cukup penting dalam dunia
perdagangan dan industri. Menurut Perez, et al. (1992) agar biasa dipakai dengan
menggunakan kode E 407. Aplikasi agar hasil ekstraksi Gracilaria dipakai dalam berbagai
industri, yaitu:
Idustri pangan, selain yang dikenal sebagai 'agar-agar', zat ini digunakan sebagai
gel, penebal, suspensi dan stabilisator.
Industri kosmetik, farmasi dan bioteknologi.
28
Disamping mengandung bahan atau zat yang seperti tersebut diatas, rumput laut juga
memiliki kandungan-kandungan lain. Kandungan air, lemak, protein, karbohidrat, serat kasar
dalam beberapa jenis rumput laut juga berbeda bergantung jenisnya.
Budidaya rumput laut dapat diterapkan secara generatif melalui perkembangan spora
dan vegetatif melalui pekembangan stek thallus. Cara pertama masih belum dikembangkan
khususnya untuk rumput laut jenis Eucheuma dan Gracilaria, kecuali beberapa jenis dari
golongan Phaeophyceae. Di Indonesia telah dikenal sistem budidaya berdasarkan sifat
reproduksi vegetatif yang dapat dilakukan dengan mudah. Sistem ini dilakukan berdasarkan
kemampuan setiap potong thallus untuk tumbuh dan membuat percabangan baru. Berdasarkan
sifat reproduksi vegetatif ini dikenal dua metode yang sudah banyak diterapkan yaitu metode
lepas dasar dan metode rakit.
Metoda lepas dasar biasanya diterapkan pada perairan terumbu karang dengan dasar
perairan yang terdiri dari pasir bercampur pecahan karang dan kedalaman waktu surut antara
30-60 cm. Biasanya thallus tanaman diikatkan pada seuatas tali yang direntangkan dalam air
dengan bantuan patok kayu atau bambu yang ditancapkan kedasar pasir. Metode ini sering
ditemukan di daerah pantai Nusa Penida, Bali, dan di perairan sesuai dengan kondisi
lingkungannya yang mendukung metode lepas dasar. Metode ini diterapkan berdasarkan
metode yang dilakukan di perairan Filipina, sehingga Perez, et al (1992) menyebut metode ini
dengan metode/sistem Filipina.
Metode rakit yang banyak diterapkan di Jawa Timur ini praktis dilakukan pada
perairan dengan kedalaman air pada saat surut lebih dari 60 cm. Rakit biasanya terbuat dari
bambu berupa petak atau persegi panjang yang ukurannya dibuat sesuai keinginan petani.
3.4.2. Permasalahan
Inventarisasi dan penilaian potensi sumberdaya rumput laut merupakan salah satu
langkah awal dalam perencanaan pengembangan potensi sumberdaya perikanan. Inventarisasi
usaha dan sumberdaya rumput laut di Jawa Timur belum dilakukan dan kurangnya informasi
tentang hal ini menyebabkan sulitnya memperoleh data-data yang dibutuhkan bagi setiap
institusi, lembaga, pengusaha dan nelayan.
Seperti telah disebutkan diatas, di Jawa Timur terdapat berbagai spesies yang
ekonomis penting dan dapat dikembangkan, tetapi pada kenyataanya di Indonesia pada
umumnya dan di Jawa timur pada khususnya hanya 2 jenis yang banyak dikenal oleh
masyarakat pantai dan telah dibudidaya, yaitu Eucheuma dan Gracilaria. Pengembangan
sumberdaya spesies lain yang potensial belum dilakukan dan banyak spesies lain yang belum
dikenal.
Disamping itu data statistik Perikanan, khususnya tentang sumberdaya rumput laut,
dianggap masih belum lengkap dan masih memerlukan penyempurnaan dalam penyajiannya.
Mengingat pentingnya informasi sumberdaya ini, dan sedikit serta terbatasnya informasi
sumberdaya rumput laut di Jawa Timur, maka penelitian tentang potensi sumberdaya rumput
laut di Jawa Timur perlu dilakukan.
No Rumput laut
1 Gelidium spp.
2 Gelidiella spp.
3 Gracilaria spp.
4 Eucheuma spinosum
5 Eucheuma cottonii
6 Hypnea spp.
Disamping jenis jenis yang tumbuh secara alami, terdapat pula jenis-jenis yang telah
dibudidayakan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, diantaranya:
Eucheuma
Eucheuma yang banyak dijumpai di Indonesia adalah Eucheuma cottonii atau
alvarezii dan Eucheuma spinosum yang merupakan jenis rumput laut bermanfaat karena
menghasilkan karaginan yang dipakai oleh industri. Jenis ini adalah jenis rumput laut merah
(Rhodophyceae) dengan sistematika (Dawson, 1946) termasuk klas Rhodophyceae (alga
merah), Ordo Ceramiales dan Famili Solieriaceae. Jenis rumput laut ini mengandung karaginan
yang merupakan fikoloid berbentuk polysacharida. Kadar zat ini yang dikandung oleh genus
Eucheuma berbeda satu dengan lainnya. Tinggi rendahnya kandungan tersebut tergantung pada
jenis (varietas) rumput lautnya, juga daerah dan iklim ikut mempengaruhi kadarnya.
Gracilaria
Selain Eucheuma yang menghasilkan karaginan, jenis lain seperti Gracilaria juga
bermanfaat karena menghasilkan agar yang dipakai oleh industri. Jenis ini adalah jenis rumput
laut merah (Rhodophyceae) yang menurut sistematika Dawson (1946) berada dibawah ordo
Gigartinales.
1. Iklim
Temperatur berkisar antara 15 - 30oC, dan kisaran optimumnya 18-20oC. Curah hujan tidak
menjadi masalah jika sumber air tawar (sungai) tersedia.
2. Tanah
Persyaratan kebutuhan tanah untuk pencetakan tambak adalah : kedalaman tanam minimum 75
cm, permeabilitas sedang, drainase agak cepat hingga agak baik, tingkat kesuburan tanah
sedang, tekstur pasir berlempung hingga liat (tipe 1:1) dengan reaksi tanah (pH ) antara 5.2 -
8.5 dan kisaran optimumnya 6.0-7.0.
3. Hasil
Produksi ikan tambak yang diusahakan pada berbagai kondisi lahan dan manajemen belum
diperoleh data yang akurat.
Temperatur (tc)
Temperatur rataan (oC) 12-24 24-27 27-30 > 30
10-12 8-10 <8
Ketersediaan air (wa)
Sumber air tawar berlimpah cukup Kurang Tdk ada
Amplitudo pasang surut (m) 1-2 2-3 0.5-1 <0.5
3-3.5 >3.5
Ketersediaan oksigen (oa)
Oksigen Banyak Cukup Agk kurang Kurang
Tanah (rc)
Tekstur h, s ah Ak k
Bahan kasar (%) <15 15-35 35-55 >55
Kedalaman tanah (cm) >100 75-100 40-75 <40
Gambut:
Ketebalan (cm( <50 50-100 100-150 >150
+ dg sisipan/pengkayaan <50 50-150 150-200 >200
Kematangan Saprik+ Saprik Hemik Fibrik
Hemik+ Febrik+
Bahaya sulfidik (cm):
Kedalaman sulfidik (cm) >100 75-100 50-75 <50
4.1. Pendahuluan
Aktivitas pembangunan tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan hidup. Kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk
menunjang kebutuhan pembangunan bersifat tidak tak-terbatas. Hal ini mengandung makna
bahwa sejalan dengan peningkatan kebutuhan pembangunan, mau tidak mau tingkat
kelangkaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup akan semakin nyata. Dalam
hubungan ini, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam bernegara telah menggariskan
bahwa pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh
masyarakat. Dalam melaksanakan pembangunan, penggunaan sumberdaya alam dan jasa
lingkungan hidup harus sebijaksana mungkin sehingga tidak mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang dapat mengancam kelestariannya.
Penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam proses pembangunan
harus memperhatikan konservasi dan upaya rehabilitasi untuk melestarikannya, keseimbagan
alam harus dijaga, dan timbulnya dampak negatif harus dikendalikan seminimum mungkin.
31
Dalam hubungan ini maka penting diketahui secara tepat potensi dan kondisi sumber-daya
alam dan lingkungan hidup yang ada sekarang serta kecenderungan-kecenderungan di masa
mendatang. Selain itu juga perlu diperhitungkan kerusakan dan degradasi lingkungan hidup
akibat eksploitasi sumberdaya alam. Untuk itu perlu diketahui berbagai metode untuk menilai
potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebagai dasar bagi penyusunan kebijakan
pengelolaannya.
Kegiatan pembangunan memerlukan modal dasar sumber daya alam untuk me-wujudkan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Hal ini berkonsekuensi pada tingkat
pemanfaatan sumberdaya alam yang cukup tinggi, yang dapat mengarah kepada eksplotasi
sumberdaya alam dan pada akhirnya dapat mengurangi ketersediaan sumber daya alam.
Sehubungan dengan hal ini maka optimasi penggunaan sumberdaya alam harus dapat
dicapai dengan keterpaduan pertimbangan aspek-aspek ekonomi dan keles-tarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Sumberdaya alam kelautan dapat meliputi semua benda hidup dan mati yang ada di laut.
Namun demikian penggunaan istilah "sumberdaya alam" secara tradisional menunjuk
kepada sumberdaya dan sistem-sistem yang terdapat secara alamiah dan berguna bagi
manusia atau dapat dimanfaatkan oleh manusia pada tingkat teknologi, ekonomi dan
sosial-budaya yang ada. Akan tetapi pada jaman sekarang pengertian tersebut harus
diperluas untuk dapat mencakup sistem-sistem lingkungan dan sistem-sistem ekologi
(ekosistem).
Penggunaan sumberdaya alam mencakup konsumsi langsung seperti ikan hasil
tangkapan, hasil tambak air-payau, wisata-bahari, garam, dan kayu bakau. Dalam beberapa
kasus ternyata sumberdaya alam dapat bersifat multi-guna.
Beberapa cadangan sumberdaya alam bersifat dapat diperbarui (renewable) oleh
proses alamiah atau dibantu manusia, sedangkan sumberdaya alam lainnya tidak dapat
diperbarui (non-renewable). Radiasi surya, angin, enerji pasang-surut, budidaya perikanan,
dan air permukaan dianggap sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbarui; sedangkan bijih
mineral dan bahan bakar fosil dianggap tidak dapat diperbarui. Sifat dapat-pulih ini seringkali
sangat tergantung pada metode pengelolaan non-destruktif yang diterapkan, karena beberapa
macam perubahan sumberdaya alam sifatnya tidak dapat balik (irreversible).
(4). "Peranan dan pentingnya sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup
kelautan" sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi .
Kebanyakan analisis mengenai sebab-sebab pertumbuhan ekonomi telah
a. Perubahan teknologi
Kemajuan teknologi telah memungkinkan terjadinya hal-hal penting yang secara
langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kelangkaan sumberdaya alam, yaitu: (a)
peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam; (b) peningkatan 'recovery' sumberdaya
alam, baik dengan jalan meminimumkan limbah ataupun dengan meng-gunakan bahan mentah
yang kualitasnya lebih rendah; (c) memungkinkan penggunaan sumberdaya alam yang semula
belum dapat digunakan; (d) memungkinkan penciptaan produk baru untuk mendukung fungsi
dari produk yang lama.
b. Substitusi sumberdaya
Sumberdaya yang kualitasnya kurang baik menggantikan sumberdaya yang
kualitasnya lebih baik. Misalnya, substitusi dalam proses produksi pakan ternak terjadi antara
tepung ikan dan tepung non-ikan. Substitusi dalam sektor konsumsi, misalnya konsumsi ikan
hasil tangkapan dna ikan hasil budidaya.
d. Penemuan ("Discovery")
Perluasan metode-metode eksplorasi tradisional untuk menemukan deposit baru.
Penyempurnaan teknik eksplorasi, seperti metode geo-fisik dan geo-kimia, pengamatan dengan
satelit, dan lainnya.
dan (2) teknik-teknik yang membantu menetapkan konteks untuk evaluasi kebijakan atau
kegiatan .
Fase
Pra-Problem
Fase Alarmed
Pasca discovery &
Problem Euphoric
enthusiasm
Penurunan Perhitungan
minat publik biaya perkem
secara ber- bangan situasi
tahap lingkungan.
Para analis sumberdaya alam dapat membujuk pemerintah untuk melengkapi instrumentasi
dengan generasi satelit mutakhir untuk menyempurnakan data yang tersedia dari foto
LANDSAT. Harus disadari bahwa satelit pertama yang pernah diluncurkan telah
dirancang secara khusus untuk menyediakan data sumberdaya bumi masih merupakan
satelit percobaan. Dua satelit LANDSAT berikutnya sangat berguna bagi peneliti untuk
meman tau bencana alam, polusi dan perubahan tataguna lahan. Sedangkan LANDSAT-4
dan generasi satelit yang lebih baru akan meningkatkan resolusi gambarnya sehingga
kualitas informasinya lebih baik.
manfaat per unit biaya terbukti sangat berguna dalam menjawab tiga tipe pertanyaan.
Apakah proyek layak? Apakah proyek mempunyai ukuran otimum, yang kalau dilampaui
akan meningkatkan skala dis-ekonomiknya? Manakah di antara beberapa proyek yang
harus dipilih?. ABM dapat membantu dalam menetapkan kelayakan program atau
memilih salah satu di antaranya. Kelemahan dari analisis ini terletak pada pemili han
peubah yang dimasukkan dalam ABM dan dalam prosedur perhitungan yang diadopsi
untuk mengkonversi peubah-peubah menjadi satuan moneter. Beberapa peubah seperti
kehidupan alami yang akan dilindungi sebagai akibat dari tindakan pengendalian
pembangunan merupakan manfaat yang intangible. Dan berapa nilai moneter yang harus
diberikan kepadanya?.
ABM akan dapat bekerja sebagai alat bantu yang efektif hanya apabila landasan
hukum dan prosedur diterapkan secara jujur oleh seluruh pihak yang terlibat dalam proses
keputusan politik.
Penggunaan analisis resiko dalam evaluasi proyek cenderung untuk memperluas analisis
biaya-manfaat konvensional (menambahkan dimensi resiko) dan pendugaan dampak
lingkungan (mengevaluasi alternatif lokasi dengan alasan keamanan). Teknik analisis
resiko telah berkembang dalam hubungannya dengan perkembangan instalasi- instalasi
yang mengadung bahaya potensial, seperti pusat pembangkit bertenaga nuklir, fasilitas
enerji gas cair dan industri pengolahan.
Pada saat sekarang salah satu metode untuk menentukan peluang terjadinya bencana
ialah dengan "analisis fault-tree atau event-tree, analisis pohon kejadian". Teknik analisis
"fault-tree" ini digunakan untuk meramalkan perkiraan kegagalan sistem kalau pengalaman
aktual dari kegagalan tersebut sangat rendah. Agar supaya teknik ini dapat diaplikasikan,
tingkat kegagalan dari komponen-komponen sistem harus diketahui. Sedangkan teknik analisis
pohon-kejadian digunakan untuk kondisi yang sebaliknya. Misalkan saja, seseorang
mengasumsikan bahwa suatu kejadian initial telah terjadi dan cabang-cabang dari kejadian ini
dilacak melalui sistem. Dari analisis sifat ini maka peluang terjadinya "peristiwa" dihitung
bersama dengan konsekwensi-konsekwensinya. Dalam kasus pusat pembangkit tenaga nuklir
dan fasilitas gas cair, penyebaran spatial polutan-polutan-nya diukur dengan melalui
pemodelan kondisi cuaca pada berbagai waktu dalam setahun.
Komparatif analisis resiko dan analisis biaya manfaat merupakan prosedur utama yang
lazim digunakan untuk menduga akseptabilitas suatu resiko. Hingga sekarang para
pembuat kebijakan lebih cenderung untuk menerima bahwa benefit-benefit dibarengi
dengan tingkat resiko yang rendah dibandingkan dengan resiko dalam kehidupan sehari-
hari.
Melalui berbagai cara telah dapat dibuktikan bahwa ketersediaan sumberdaya alam
akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Informasi tentang sektor-sektor
ekonomi penghasil komoditi sumberdaya alam sangat diperlukan untuk (1) lebih memahami
ide-ide tentang pola pemanfaatan sumberdaya alam yang optimum secara sosial, (2) bagaimana
mekanisme pasar kompetitif mendekati pola-pola pemanfaatan sumberdaya alam yang optimal-
lestari, dan (3) menentukan hubungan yang ada antara harga komoditi sumberdaya alam, biaya
produksi, dan biaya kelangkaan dengan kelangkaan fisik.
Meskipun karakterisasi dari pola penggunaan sumberdaya alam secara optimum-sosial
masih sangat abstrak, namun ia mampu menyediakan peringatan terhadap keragaan dari
berbagai macam struktur pasar. Dengan adanya gejala-gejala meningkatnya harga-harga
produk ikan, dan diikuti oleh kekhawatiran tentang ketersediaan sumberdaya kelautan dapat
38
habis, maka telah muncul berbagai keraguan tentang konsep bahwa "free enterprise di dalam
tatanan pasar bebas" akan mampu mewujudkan pola pemanfaatan sumberdaya alam dapat-
habis secara optimum-sosial. Harus dibedakan antara kebutusan-keputusan jangka pendek dan
jangka panjang. Sangatlah logis bahwa kecenderungan jangka panjang akan mencerminkan
pola pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Dalam banyak hal tentang kelautan
kita tertarik dalam masalah jangka panjang, dan kita ingin mengkaji bagaimana mekanisme
pasar diharapkan dapat bekerja mengalokasikan sumberdaya kelautan atas waktu yang
panjang. Bagaimana pasar realistis menentukan pola penggunaan sumberdaya alam
dibandingkan dengan pola penggu naan optimum teoritis. Pasar-pasar ini juga akan
menghasilkan data yang dapat kita kaji, data tentang harga komoditi sumberdaya alam, renta-
bilitas kelangkaan, biaya ekstraksi, kuantitas yang diproduksi, dan kuantitas yang diperkirakan
ada dalam cadangan. Apa yang dapat kita kaji dari data ini tentang efektivitas mekanisme
pasar aktual? Dapatkah kita mendeteksi kapan perekonomian nasional atau global akan
mengalami krisis sumberdaya alam? Dan akhirnya dapatkah kita mempermasalahkan
kemanfaatan beberapa variabel sebagai indeks kelangkaan sumberdaya alam.
V. BIDANG PRIORITAS
Perkembangan produksi ikan menurut jenis ikan dan wilayah tersebut dapat ditunjukkan hal
sebagai berikut :
1. Ikan layang : mendominasi di perairan Utara dan Madura Kepulauan. Di Selat
Madura pernah mencapai produksi sekitar 25.000 ton ikan layang, yaitu pada tahun 1989,
namun kemudian turun kembali. Fluktuasi produksi ikan layang selama tahun 1979
1999 cenderung stabil;
2. Ikan lemuru : mendominasi di perairan Muncar dan Selatan Jawa Timur. Produksi
ikan lemuru nampak sangat fluktuatif, dari tahun 1979 1999, produksinya cenderung
terus meningkat;
3. Ikan tembang : mendominasi di perairan Selat Madura Jawa Timur. Ada
kecenderungan produksi dengan trend menurun;
4. Ikan tongkol : mendominasi di perairan Madura Kepulauan, Selat Madura, Muncar
dan Selatan Jawa Timur. Di semua wilayah menunjukkan kecenderungan peningkatan
produksi; Pada tahun 1989 terjadi produksi puncak di Selat Madura;
5. Ikan teri : mendominasi di perairan Utara dengan fluktuasi produksi yang tinggi. Di
Selat Madura cukup dominanan dan berkembang relatif stabil.
6. Ikan kembung : mendominasi di perairan Selat Madura dan Wilayah Utara Jawa
Timur. Ada kecenderungan trend yang meningkat;
7. Ikan peperek : mendominasi di perairan Utara dan Selat Madura dengan
kecenderungan produksi yang terus meningkat;
8. Udang : mendominasi di perairan Utara dan Selat Madura. Produksi sangat
berfluktuasi dan ada kecenderungan menurun;
9. Ikan cucut : mendominasi di perairan Selatan dan Utara Jawa Timur. Ada
kecenderungan produksi yang makin menurun;
43
10. Ikan kakap : mendominasi di Madura Kepulauan dan Selat Madura. Ada
kecenderungan produksi makin menurun.
Propinsi Jawa Timur dengan luas perairan laut mencapai 64% dengan panjang pantai
sekitar 1.600 Km, maka jangkauan perencanaan dan pengawasan pengelolaan begitu
kompleks, sehingga strategi pembangunan yang top-down akan makin terasa tidak efektif.
Dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah, maka peranserta daerah Kabupaten dan Kota
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir menjadi lebih besar.
Pada tiga dekade pembangunan selama ini, aktifitas pembangunan yang berkembang
di wilayah pesisir, seperti kawasan industri, tambak intensif, wisata dan pertanian intensif
kesemuanya telah membawa dampak positif dan negatif. Pembangunan yang dilaksanakan di
wilayah laut dan pesisir selama ini ternyata masih belum banyak dirasakan oleh masyarakat
pesisir, sedangkan penduduk dan lembaga yang berada di luar kawasan lebih menikmati
manfaatnya.
Masyarakat pesisir Jawa Timur pada umumnya sebagian masih banyak tertinggal
dan menghadapi dampak negatif derap pembangunan, seperti lingkungan yang kumuh dengan
genangan polutan hasil industri. Dari data Direktorat Jenderal Perikanan diketahui bahwa dari
22.917 (34%) desa miskin di Indonesia, sejumlah 4.377 (19,1%) merupakan desa pesisir.
Masalah yang muncul pada desa pesisir yang miskin, pada umumnya adalah
1. Perumahan padat dengan tingkat pendidikan RT. nelayan dibawah standard;
2. Kondisi ketimpangan ekonomi yang mencolok;
3. Kesadaran komunitas dalam pengelolaan sumberdaya sangat lemah;
4. Peluang lapangan kerja alternatif sangat terbatas;
5. Pekerjaan melaut dilakukan dengan teknologi kapal dan alat tangkap skala kecil,
dengan jangkauan wilayah penangkapan yang terbatas dan terkonsentrasi di perairan pantai
yang padat tangkap.
Sesungguhnya telah banyak program dan paket teknologi yang dikembangkan untuk
memberdayakan ekonomi masyarakat pesisr. Hanya saja terbentur pada alternatif lapangan
kerja di pedesaan pantai yang sangat terbatas, sehingga selalu terjadi tambahan nelayan miskin
dengan teknologi skala kecil dan sederhana yang memasuki wilayah laut dan pesisir, sehingga
makin meningkatkan tekanan pengurasan sumberdaya pantai yang semakin padat. Akibatnya
berlangsungnya lingkaran setan kemiskinan masyarakat pesisir menjadi tidak terhindarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Brower, D.J. dan D.S. Carol. 1984. Coastal Zone Management as Land Use Planning. National
Planning Association. Washington D.C.
Chapman, V.J. (ed.). 1977. Wet Coastal Ecosystems. Ecosystems of the World. Vol. 1. Elsevier
Scientific Publishing Co., New York.
Clark, J.R. 1976. Coastal Ecological Considerations for Management of the Coastal Zone. The
Conservation Foundation. Washington D.C.
Clark, J.R. 1983. Coastal Ecosystem Management: A Technical Manual for the Conservation of
Coastal Zone Resources. The Conservation Foundation. Florida, USA.
Clark, J.R. 1985. Coastal Resources Management: Development Case Studies. Research
Planning Institute. South Carolina.
Clark,J.R., J.Bantz, dan J.A.Zinn. 1980. Coastal Environmental Management: Guidelines for
Conservation of Resources and Protection Against Storm Hazards. Washington, D.C.
Dahl, A.l. 1978. Coral Reef Monitoring Handbook. South Pacific Commission, Noumea, New
Caledonia.
Dinas Perikanan Prop. Jawa Timur (1979-1999) : Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur
Tahun 1979 1999.
FAO. 1982. Management and Utilization of Mangroves in Asia and Pasific Region.
Environmen Paper #3. Rome. FAO.
Hamilton, L. S. and S.C. Snedaker (eds.). 1984. Handbook for Mangrove Area Management. E-
W Environment and Policy Institute, Honolulu, Hawaii.
49
Hilborn, Ray and Carl J. Walters (1992) : Quantitive Fisheries Stock Assessment. Chapman
and Hall. London.
Ilyas Baker dan Pramuk Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and
Management for Thailand. The UNESCO MAB and COMAR Programmes. Regional
Office for Science and Technology for Southeast Asia, Jakarta 10002, Indonesia.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1996) : Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional
Untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Knox, G.A. dan T.Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in
Southeast Asia. UNESCO and East-WestCentre, Hawaii.
Odum, W.E. 1976. Ecological Guidelines for Tropical Coastal Development. IUCN.
Snedaker,S.C. dan C.D. Getter. 1985. Coastal Resources Management Guidelines, Coastal
Publication No.2. Research Planning Institute, Inc. In Cooperation with NPS, USDI,
USAID, Washington D.C..
Sorenson, J.C., S.T. McCreary, dan M.J. Hersman. 1984. Institutional Arrangements for
Management of Coastal Resources. Coastal Publication No. 1. Washington D.C.