Anda di halaman 1dari 3

wri-indonesia.

org

3 Cara untuk Mengatasi Deforestasi Hutan


Tropis Hingga 2020
7-9 minutes

Artikel ini disusun bersama Carita Chan, intern di Forest Initiative WRI.

Semenjak krisis deforestasi hutan tropis mencapai tingkat urgensi yang baru akibat kebakaran
hutan yang meluas di Indonesia, sebuah pertanyaan penting muncul ke permukaan, bagaimana
dunia dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat akan produk hutan sementara di
waktu yang bersamaan masih melestarikan ekosistem hutan? Minggu ini, beberapa perusahaan
terbesar di dunia akan bergabung bersama para pejabat pemerintah Amerika Serikat dan
Indonesia di Jakarta dalam pertemuan Tropical Forest Alliance 2020 (TFA 2020) untuk
membahas permasalahan tersebut.

Pertemuan ini terjadi tiga tahun setelah Consumer Goods Forum (CGF), sebuah forum yang
beranggotakan 400 perusahan barang konsumsi terbesar di dunia dari 70 negara, mengumumkan
komitmen mereka untuk menggunakan hanya komoditas yang bebas deforestasi (deforestation-
free) dalam rantai pasokan mereka dan membantu usaha untuk mencapai tingkat deforestasi
sebesar nol persen pada tahun 2020. TFA 2020, sebuah kemitraan pemerintah-swasta yang
dibentuk pada Rio+20 Summit tahun 2012, bertujuan untuk menyediakan pedoman yang jelas
dalam mengimplementasikan komitmen forum. Komitmen CGF dapat secara signifikan
mempengaruhi cara komoditas tersebut diproduksi: perusahaan-perusahaan di dalam forum
tersebut jika digabungkan mempunyai total penjualan lebih dari $3 triliun setiap tahunnya, dan
termasuk di dalamnya merek-merek ternama seperti Unilever, Johnson&Johnson, Walmart, dan
IKEA. Pertemuan TFA 2020 akan mendiskusikan beberapa cara yang dapat dilakukan CGF
untuk mencapai tujuannya dan mengembangkan industri secara umum. Beberapa cara yang
paling signifikan untuk dibicarakan meliputi:

1. Lahan yang Terdegradasi

Salah satu isu yang paling mendesak di Indonesia adalah pembukaan hutan primer dan lahan
gambut untuk mengembangkan pertanian. Analisis yang dilakukan oleh WRI menemukan bahwa
terdapat peluang yang besar untuk memindahkan pengembangan agrobisnis ke lahan-lahan yang
telah terdegradasi yang telah terbuka, dan memiliki keanekaragaman hayati dan cadangan karbon
yang rendah. Konsep ini telah mendapatkan perhatian, namun pertanyaan tetap muncul mengenai
bagaimana mendefinisikan lahan yang terdegradasi, demikian pula tantangan dan peluang dalam
mengembangkan lahan tersebut.

WRI dan mitra kerjanya telah bekerja untuk mengidentifikasi lahan yang terdegradasi yang
cocok untuk produksi kelapa sawit, menggunakan kriteria biofisika, ekonomi, sosial, dan hukum.
Kami telah mengembangkan metodologi riset di Pulau Kalimantan, Indonesia. Hasil yang kami
peroleh mengindikasikan bahwa secara potensial terdapat 14 juta hektar lahan terdegradasi di
Kalimantan yang cocok digunakan untuk mengembangkan kelapa sawit. Ini merupakan
kesempatan yang sangat luar biasa untuk memenuhi target produksi komoditas sekaligus
menghormati komitmen CGF untuk mengatasi deforestasi.

Sejak 2010, mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan
komitmennya untuk memanfaatkan lahan yang telah terdegradasi untuk pengembangan
komoditas, yang telah memunculkan ketertarikan awal dari industri kelapa sawit dan membantu
menyebarluaskan kebijakan-kebijakan pemerintah seputar isu tersebut. Wadah multi-stakeholder
seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) turut mengeluarkan pedoman mengenai
bagaimana mengembangkan kelapa sawit tanpa mengkonversi hutan lebih lanjut.

2. Pengawasan Hutan

Produsen komoditas yang memiliki komitmen untuk mengatasi deforestasi dapat turut
memanfaatkan perkembangan teknologi terbaru dalam pengawasan hutan dan teknologi satelit.
Teknologi tersebut dapat meningkatkan transparansi di dalam rantai pasokan perusahaan.
Program seperti Forest Cover Analyzer, Eyes on the Forest, dan Global Forest Watch 2.0 yang
akan segera diluncurkan, memungkinkan setiap orang dengan koneksi internet untuk melihat di
mana dan kapan perubahan tutupan hutan terjadi di suatu wilayah tertentu. Pemerintah Indonesia
juga memiliki berbagai inisiatif pengawasan hutan di dalam badan-badan pemerintah yang
berbeda.

Selama kabut asap minggu lalu, sebagai contohnya, WRI mempublikasikan data yang
menunjukkan bahwa kebakaran di Indonesia kemungkinan berhubungan dengan pembukaan
lahan yang dilakukan oleh komoditas terbesar di Indonesia, kayu pulp dan kelapa sawit. Ini
bukanlah tren yang baru – terdapat peningkatan permintaan secara global terhadap kedua
komoditas tersebut, dan di masa lalu, produksi seringkali mengorbankan hutan. Perkiraan
menunjukkan bahwa 57 persen deforestasi di Indonesia disebabkan oleh perkebunan kelapa
sawit, dengan 20 persen berasal dari pulp dan kertas. Kemampuan untuk menunjukkan secara
cepat di mana dan kapan kebakaran hutan terjadi dan menentukan siapa yang bertanggung jawab,
belum pernah terjadi sebelumnya. Inovasi-inovasi tersebut dapat membantu pemerintah,
perusahaan, dan masyarakat dalam mengawasi dan mengurangi deforestasi secara cepat dan
efektif.

3. Sertifikasi Hukum dan Sukarela

Usaha penting lainnya dalam mencapai tingkat deforestasi nol persen adalah memanfaatkan
secara efektif berbagai mekanisme sertifikasi dan persyaratan hukum yang mewajibkan praktik-
praktik yang berkelanjutan. Standar-standar tersebut meliputi kriteria dan prinsip-prinsip yang
disusun secara seksama yang menjadi pedoman dalam mengolah dan memproduksi komoditas
dan dituangkan ke dalam seperangkat best practices, seperti melarang pembakaran dan
deforestasi di hutan primer dan lahan gambut. Sebagai imbalan dari mematuhi persyaratan
tersebut, sebuah produk dapat ditandai sebagai produk yang berkelanjutan (sustainable).
Perusahaan menggunakan skema-skema sertifikasi tersebut untuk memastikan bahwa sebuah
produk dibuat dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Banyak perusahaan yang tergabung ke
dalam CGF telah berkomitmen untuk memenuhi larangan deforestasi yang mereka janjikan
dengan menggunakan hanya produk-produk yang bersertifikat.

Di sisi produksi komoditas, terdapat beberapa standar seperti sertifikasi RSPO yang dilakukan
secara sukarela atau versi Indonesia (ISPO) yang serupa namun diwajibkan secara hukum. Untuk
pulp dan kertas, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia menjadi sistem verifikasi
hukum kayu secara nasional. Di tingkat internasional, Forest Stewardship Council (FSC) dan
Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) merupakan standar sertifikasi
yang cukup dikenal dan dilakukan secara sukarela yang menjadi pedoman perusahaan untuk
mencapai best practices.

Pertemuan TFA 2020 merupakan peluang yang sangat menarik. Perusahaan-perusahaan


komoditas terbesar di dunia akan bergabung bersama para pembuat kebijakan untuk
mendiskusikan cara-cara praktis dan terjangkau untuk mencapai tingkat deforestasi nol persen
pada tahun 2020. Mengumpulkan mereka bersama-sama dapat membantu mengidentifikasi
solusi-solusi yang telah berhasil dijalankan dan mengembangkannya untuk menghasilkan
perubahan global yang lebih berarti.

Anda mungkin juga menyukai