Dunia bisnis mempengaruhi bagian lingkungan yang rapuh dengan berbagai
cara. Mereka mengkonsumsi energi dalam jumlah yang sangat besar, yang akan meningkatkan konsumsi bahan bakar dari fosil seperti batu bara dan minyak untuk kebutuhan energi mereka. Aktivitas ini mencemari atmosfir dengan karbon dioksida serta belerang, yaitu zat-zat yang diyakini oleh banyak ahli akan mengakibatkan perubahan iklim secara dramatis. Lalu siapa yang akan membayar untuk kegiatan pembersihan lingkungan? Banyak pemimpin bisnis menawarkan satu jawaban—uang pajak harus digunakan untuk pembersihan lingkungan dan menjaganya tetap bersih. Mereka beralasan bahwa bisnis bukanlah satu-satunya sumber pencemaran, sehingga bisnis tidak boleh dipaksa untuk menyerap seluruh biaya pembersihan. Pemerhati lingkungan tidak setuju. Mereka percaya bahwa biaya pengolahan dan pembuangan limbah idustri yang tepat termasuk beban dalam melakukan bisnis. Dalam kasus mana pun, konsumen mungkin akan membayar sebagian besar biaya—baik dalam bentuk pajak atau harga yang lebih tinggi untuk barang dan jasa. Dan saat ini, perusahaan-perusahaan di semua industri meneliti berbagai cara untuk menghemat energi, mengurangi emisi dan polusi, mengurangi limbah, serta bukan kebetulan, juga menghemat uang dan meningkatkan keuntungan. “Ini adalah persoalan keberlangsungan hidup pada Abad ke-21,” ujar salah seorang eksekutif program konservasi air The Coca-Cola Company. Tekanan dari pemerintah dan masyarakat telah menyebabkan banyak perusahaan mengevaluasi ulang dampak mereka terhadap lingkungan. Bagi banyak manajer, menemukan cara untuk meminimalkan polusi dan kerusakan ligkungan lainnya yang disebabkan oleh produk atau proses operasi mereka telah menjadi masalah ekonomi, sosial, dan hukum yang penting. Penghematan energi oleh perusahaan dapat dilakukan dengan cara mencari alternatif energi lainnya seperti penggunaan tenaga surya, tenaga listrik, dan lain sebagainya. Dari sumber energi tersebut kiranya energi matahari dapat memberikan prospek penggunaan yang baik di masa depan mengingat bahaya yang hampir tidak ada, biayanya murah dan bebas polusi. Begitu juga pada penggunaan tenaga listrik dapat menimbulkan teknologi yang baru. General Motors, Honda, Toyota, dan Ford, misalnya, telah mengembangkan mobil listrik yang mereka harapkan dapat menggantikan kendaraan masa kini yang memakai pembakaran gas. Para pembuat kendaraan mendorong pengembangan kendaraan bertenaga listrik dalam merespon usaha pemerintah untuk menghemat energi dari alam dan mengontrol polusi. Penghematan energi pada kenyataannya juga dapat menghemat pengeluaran cukup banyak. Untuk jangka panjang, penghematan seperti ini juga akan berpengaruh pada kelestarian sumber-sumber yang ada, berarti pula semakin lama dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Solusi lainnya yang dapat diterima oleh para kalangan bisnis dalam hal penghematan energy dan konservasi lingkungan adalah daur ulang (recycling)— yaitu, pemrosesan ulang bahan-bahan yang telah digunakan untuk digunakan kembali. Daur ulang bisa memberikan banyak bahan baku yang dibutuhkan pabrik-pabrik, sehingga melestarikan sumber daya alam dunia dan mengurangi sampah. Salah satu contoh bentuk konservasi lingkungan oleh perusahaan WWF- Indonesia adalah dengan mengendalikan kerusakan ekosistem-ekosistem alami dan mengoptimalkan pendayagunaan ekosistem-ekosistem terdegradasi melalui penerapan ‘best practices’ pada setiap bentuk pengelolaan sumber daya hayati, termasuk pengeolaan hutan, rehabilitasi dan restorasi lahan. Usaha konservasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh WWF-Indonesia, namun WWF-Indonesia juga menggalang kerjasama dengan perusahaan Indonesia Forest and Trade Network yaitu PT Bangkit Jaya Semesta (trade), PT Kayu Permata (trade), dan PT Sari Kusuma (trade and forest) dan 12 perusahaan lainnya yang tergabung dalam Nusa Hijau. WWF telah melakukan berbagai upaya untuk mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab di Indonesia dengan melibatkan para stakeholder local. Untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh para pendukung dan praktisi kehutanan yang bertanggung jawab, WWF telah membentuk Global Forest and Trade Network (GFTN) untuk memfasilitasi hubungan antara perusahaan yang mempunyai komitmen untuk menjalankan dan mendukung kehutanan yang bertanggung jawab, GFTN menciptakan kondisi pasar yang mendukung konservasi hutan di dunia serta pada saat yang sama menyediakan keuntungan ekonomi dan sosial bagi industri dan masyarakat yang bergantung pada hutan. Pada program tersebut, para anggota GFTN dapat memperoleh manfaat seperti informasi dan pelatihan sertifikasi di seluruh dunia, pengembangan kebijakan perusahaan untuk memperbaiki praktek pengelolaan hutannya, bantuan teknis dan pelatihan untuk menuju pengelolaan hutan lestari, akses ke global trade fairs, pembentukan regu kerja dan advokasi dalam upaya menuju sertifikasi, serta publisitas di tingkat lokal maupun internasional (http://www.wwf.or.id/?2929). Kepedulian terhadap lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan juga akan memengaruhi selera konsumen terhadap perusahaan. Banyak konsumen yang memiliki kesan positif terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Untuk menargetkan konsumen tersebut, perusahaan sering kali menggunakan pemasaran ramah lingkungan (green marketing), sebagai strategi pemasaran yang mempromosikan metodi produk dan produksi yang ramah lingkungan. Namun, suatu perusahaan tidak dapat dengan mudah mengklaim bahwa barang atau jasanya ramah lingkungan. Suatu perusahaan harus mampu membuktikan bahwa setiap klaim suatu produk terkait lingkungan telah diverifikasi dengan bukti ilmiah yang dapat diandalkan.