Anda di halaman 1dari 6

PEMBERLAKUAN EPR (EXTENDED PRODUCER RESPONSIBILITY)

SEBAGAI SOLUSI PENGENDALIAN SAMPAH

EPR atau Extended Producer Responsibillity merupakan sebuah konsep yang


dibuat guna memasukkan biaya-biaya lingkungan kedalam proses produksi sampai
nantinya barang yang diproduksi tersebut tidak terpakai lagi. Dengan adanya konsep ini
dimaksudkan agar produsen dapat ikut bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan
dari kemasan-kemasan yang diproduksi oleh mereka.

Melihat jauh ke belakang konsep EPR ( Extended Producer Responsibility )


pertama kali dikemukakan secara resmi di Swedia oleh Thomas Lindhqvist pada tahun
1990 dalam laporan yang ia serahkan kepada Kementrian Lingkungan Hidup Swedia.
Dalam laporannya tertulis “ EPR adalah sebuah strategi perlindungan lingkungan untuk
mencapai tujuan lingkungan dari penurunan total dampak lingkungan dari suatu produk,
dengan membuat produsen bertanggung jawab untuk siklus hidup produk dan terutama
untuk pengembalian kembali, daur ulang, dan pembuangan akhir.’

Tujuan konsep EPR ini yaitu mendorong industri yang ada agar dapat
meminimalisir pemakaian bahan-bahan yang sulit terurai dan merancang kemasan suatu
produk dengan bahan-bahan yang eco-lingkungan. Tidak hanya itu, industri yang ada pun
harus bertanggung jawab secara fisik dan finansial terhadap barang-barang yang mereka
hasilkan. Perancangan mengenai suatu produk, pemilihan bahan, proses pembuatan,
pemakaian produk sampai ke tahap pembuangan pun harus dirancang sebelum membuat
suatu produk agar nantinya barang yang sampai ke masyarakat tidak menjadi salah satu
penyebab banyaknya sampah saat ini.

Tentu saja didalam sebuah konsep akan terdapat keuntungan dan kerugian jika
nantinya konsep tersebut diterapkan. Keuntungan dengan adanya konsep EPR ini ialah
mendorong kreativitas industri demi terciptanya kemasan yang eco-lingkungan, selain itu
dengan adanya konsep ini kita dapat menekan penurunan angka secara signifikan
sampah-sampah yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti ketika konsep EPR ini
diberlakukan di negara Jerman pada tahun 1991. Ketika konsep ini diberlakukan, Jerman
berhasil mengurangi angka konsumsi kemasan per kapita dari angka 94,2 kg menjadi 84
kg pada tahun 1998.

Tidak hanya menghasilkan berbagai macam keuntungan saja, nyatanya konsep ini
pun dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Penerapan konsep ini nantinya akan
menekan industri yang mau tidak mau menaikkan harga sebuah produk karena biaya
lingkungan dimasukkan ke dalam biaya produksi. Hal ini mempunyai efek panjang yaitu
terjadinya inflasi karena barang-barang yang beredar di masyarakat menjadi tidak
terjangkau. Belum lagi seperti barang-barang elektronik atau yang lebih sering disebut E
waste menghasilkan kandungan-kandungan seperti Timbal, Berilium, Merkuri, BFR
(Brominated Flame Retardants) yang terbukti memiliki dampak negatif terhadap
kesehatan dan lingkungan. Mendaur ulang barang-barang elektronik pun bukanlah
perkara mudah, dibutuhkan ketelitian dan biaya yang tidak murah untuk melakukannya.
Nantinya, karena pengolah E Waste itulah yang membuat harga barang-barang elektronik
semakin tidak terkendali.

Dalam penerapannya, ternyata pemerintah Indonesia telah berupaya dalam


mewujudkan konsep EPR di Indonesia. Terbukti dalam UU No. 18 tahun 2008 pasal 14
yang berbunyi, “Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang
berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau
produknya.” Dan pasal 15 yang berbunyi, “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau
barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.” selain
itu konsep EPR ini juga diatur dalam PP No. 81 tahun 2012 tentang Pengolahan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga. Di dalam peraturan tersebut
dengan jelas di gamblangkan tentang kewajiban produsen untuk melakukan Reduce,
Reuce, Recycle atau yang kita kenal dengan istilah 3R terhadap barang-barang hasil
produksi mereka.

Lantas apa yang masih membuat sampah di Indonesia kian hari kian meningkat,
mengingat begitu banyak regulasi yang dibuat guna menanggulangi permasalahan
sampah yang ada? Apakah ini merupakan kesalahan pemerintah ? Masyarakat? Terdapat
2 kemungkinan mengapa regulasi tersebut tidak dapat berjalan dengan sebagaimana
mestinya. Pertama, kurangnya sosialisasi mengenai regulasi tersebut entah kepada
masyarakat maupun industri yang ada di Indonesia dan kurangnya fungsi pengawasan
oleh DPR terhadap UU yang berlaku. Kedua, masyarakat mengetahui tentang adanya
regulasi tersebut tetapi tidak ada sanksi yang tegas jika mereka lalai dalam menjalankan
kewajibannya, jadi mereka acap kali abai menjalankan kewajiban mereka. Ini
membuktikan sanksi yang ada tidak dapat menimbulkan efek jera kepada para industri
yang masih memproduksi suatu barang yang didalamnya terdapat bahan-bahan yang sulit
terurai secara alami.

Bukan hanya itu saja masih banyak lagi tantangan yang harus dihadapi oleh
bangsa Indonesia jika ingin menerapkan konsep EPR. Sulitnya mengubah pola hidup
masyarakat yang cenderung membuang langsung sampah rumah tangga tanpa memilah-
memilah kembali masuk dalam kategori mana sampah yang mereka buang. Ketiga,
lemahnya pengawasan oleh pemerintah terhadap produk-produk yang menghasilkan
bahan-bahan yang sulit terurai. Hal ini membuat industri yang ada sesuka hati dalam
memilih bahan yang akan digunakan dalam proses produksi mereka

Dalam mewujudkan konsep EPR di Indonesia tentunya dibutuhkan kolaborasi


dari semua lembaga yang terlibat didalamnya. Dalam konsep ini dibutuhkan kerjasama
antara badan legislatif yaitu DPR dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian
Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan yang paling penting adalah
masyarakat Indonesia. Sebagai badan legislatif yang berwenang untuk menyusun,
membahas, dan menetapkan Undang-Undang bersama Presiden. DPR pun mempunyai
andil besar dalam penerapan konsep EPR di Indonesia ini dalam pembuatan suatu regulasi
yang sah terkait pertanggungjawaban sampah yang dihasilkan oleh produsen.

Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai suatu upaya penerapan EPR di
Indonesia adalah, sebagai berikut :

1. Sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya memilah sampah


Dewasa ini, pola hidup masyarakat yang masih menyatuka berbagai jenis
sampah dalam satu wadah plastik membuat proses daur ulang sampah tersebut
terlalu memakan banyak waktu. Diharapkan dengan adanya sosialisasi secara
merata kepada seluruh masyarakat Indonesia tentang pentingnya memilah
sampah akan membuat proses mendaur ulang sampah menjadi lebih mudah
2. Mengkaji lebih lanjut tentang kebijakan EPR di Indonesia
Peraturan yang ada pada saat ini dirasa belum terlalu berarti bagi para
produsen di Indonesia, nyatanya saja masih banyak produsen yang
memproduksi sebuah produk dan memakai barang-barang yang sulit terurai.
Dengan ini sebagai legislator kita perlu lebih lanjut mengkaji ulang peraturan
yang ada dan jika nanti peraturan yang ada tidak pas dengan keadaan sekarang
maka nanti kita dapat merevisinya.
3. Menghentikan subsidi terhadap bahan-bahan yang sulit terurai
Dengan menghentikan subsidi terhadap barang-barang yang sulit terurai ini
merupakan salah satu upaya agar para produsen memutar otak kembali untuk
membuat sebuah produk tanpa melibatkan baha-bahan yang sulit terurai
tersebut.
4. Memberikan subsidi untuk bahan-bahan eco-lingkungan
Pemberian subsidi terhadap bahan-bahan eco-lingkungan dapat mengurangi
biaya produksi yang dikeluarkan oleh produsen. Ini juga merupakan sebuah
langkah tepat guna mengendalikan sampah yang sulit terurai.
5. Memanfaatkan teknologi
Kita pun harus terus mengkaji manfaat dari pemberlakuan EPR tersebut
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang telah berkembang pesat saat
ini. Dengan teknologi pun kita dapat mengembangkan inovasi-inovasi untuk
mengendalikan sampah yang sulit terurai ini.
6. Memaksimalkan fungsi DPR RI yaitu fungsi pengawasan
Mengawasi berjalannya sebuah peraturan yang dibuat adalah salah satu fungsi
dari DPR RI yaitu fungsi pengawasan, jika kita dapat memaksimalkan peran
ini maka semua peraturan yang ada di Indonesia ini akan berjalan dengan
sebagaimana mestinya, begitu pula dengan persoalan sampah.

Mengubah pola hidup seseorang tentu saja membutuhkan waktu yang sangat
lama, kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan keyakinan kita bahwa sewaktu-waktu
pola hidup seseorang akan berubah. Ini harus dibarengi dengan sebuah aksi yang di
pelopori oleh sebuah komunitas, organisasi ataupun yang lain-lain. Begitu pula dengan
masalah sampah, perlu adanya tindakan nyata untuk menanganinya salah satunya ialah
kebijakan EPR (Extended Producer Responsibility), dengan adanya kebijakan ini kita pun
dapat mengurangi permasalahan sampah yang menjadi isu hangat di tengah-tengah
masyarakat kita ini, tanpa adanya kesadaran dari masyarakat bahwa menjaga lingkungan
itu penting, maka Indonesia dalam beberapa tahun ke depan pun akan lebih buruk lagi,
oleh karena itulah industri-industri yang ada di Indonesia harus turut andil dalam
mengatasi permasalahan sampah yang ada demi terciptanya lingkungan yang layak, sehat,
dan aman untuk kita tempati.
DAFTAR PUSTAKA

1. Uang Online (2012, 27 April). Pengertian dan Tujuan Extended Producer


Responsibility (EPR). Dikutip tanggal 16 Juli 2019 :
http://trikmeningkatkanadsense.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-tujuan-
extended-producer.html
2. Extended Producer Responsibility. Dikutip tanggal 16 Juli 2019 dari Wikipedia :
https://en.wikipedia.org/wiki/Extended_producer_responsibility
3. Majalah Ilmiah Universitas Pandanaran (2013). Dampak Kandungan Logam
Berat Dalam Sampah Elektronik (E Waste) terhadap Kesehatan dan Lingkungan.
Dikutip tanggal 16 Juli 2019 :
https://jurnal.unpand.ac.id/index.php/dinsain/article/view/145
4. Pemerintah Indonesia. 2008. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah. Lembaran Negara RI Tahun 2008, No. 69. Sekretariat
Negara. Jakarta.
5. Pemerintah Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Samppah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No.188. Sekretariat Negara. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai