Anda di halaman 1dari 29

EFEKTIVITAS KEBERADAAN GREENPEACE TERHADAP

KOMITMEN NOL DEFORESTASI OLEH PERUSAHAAN


KELAPA SAWIT ASIAN AGRI DI RIAU TAHUN 2018

PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan sebagai sebagian syarat memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 pada
program studi yang ada di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

RISKI MADANI

1764201013

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ABDURRAB

2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

DAFTAR GAMBAR....................................................................................

DAFTAR TABEL........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................

1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................

1.4 Hipotesa......................................................................................

1.5 Ruang Lingkup Penelitian........................................................

1.6 Manfaat Penelitian.....................................................................

1.7 Sistematika Penulisan................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Penelitian Terdahulu................................................................

II.2 Kerangka Teori.........................................................................

II.3 Variable Penelitian...................................................................

II.4 Variable Konsepsional..............................................................

II.5 Definisi Operasional.................................................................

2
BAB III METODE PENELITIAN

III.1 Pendekatan Penelitian.............................................................

III.2 Sifat Atau Jenis Penelitian......................................................

III.3 Bentuk Penelitian....................................................................

III.4 Sumber Data............................................................................

III.5 Teknik Pengumpulan Data.....................................................

Kerangka pemikiran........................................................................

Daftar Pustaka.................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan penghasil minyak kelapa sawit terbesar didunia, sektor kelapa sawit

juga menjadi salah satu perkebunan terbesar di Indonesia khususnya di Riau. Perkebunan

kelapa sawit merupakan salah satu penyebab terjadinya deforetasi untuk pemperluas lahan

perkebunan. Saat ini, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan

angka produksi terakhir tercatat mencapai produksi kelapa sawit tercatat terus bertambah

dari sebesar 31,07 juta ton pada 2015 menjadi 31,49 juta ton setahun setelahnya. Lonjakan

tertinggi pada 2017-2018 yakni dari 34,94 juta ton menjadi 42,88 juta ton atau naik sekitar

22,72%. Pada tahun 2019, produksinya mencapai 48,42 juta ton atau meningkat 12,92% dari

tahun sebelumnya yakni 42,88 juta ton. ( Badan Pusat Statistik 2019)

Ini yang menyebabkan Greenpeace ikut serta dalam kampanye komitmen nol deforestasi,

Greenpeace merupakan salah satu organiasi internasional lingkungan yang independen.

Greenpeace memiliki 26 kantor perwakilan yang terebar dalam lingkup nasional maupun

regional yang mengatur kegitan oprasional di lebih dari 55 negara dunia, seluruh perwakilan

berada di naungan pusat Greenpeace yang terletak di Amsterdam, Belanda. Luasnya cakupan

wilayah kerja Greenpeace menggambarkan komitmen Greenpeace untuk menjaga lingkungan

tidak hanya untuk beberapa negara tapi seluruh bumi. Melalui kampanye, program dan

strategi yang dibuat oleh organisasi tersebut. Greenpeace ingin mengekspos bagaimana

keadaan lingkungan yang ruak dari tahun ke tahun.

4
Pada tahun 2015 Greenpeace menyatakan, setidaknya ratusan perusahaan perkebunan

sawit memberikan andil deforestasi yang cukup tinggi, Greenpeace kampanye khusus

menekan dan mendesak perusahaan sawit menjalakan komitmen menekan deforestai

pembukaan lahan besar besaran. Deforestasi telah menjadi isu internasional yang hangat ,

terutama di negara -

negara yang memiliki hutan tropis yang luas. Deforestasi merupakan pengubahan area hutan

menjadi lahan tidak berhutan secara permanen, untuk aktivitas manusia. Secara tidak

langsung, deforestasi mengubah fungsi hutan yang awalnya untuk pelestarian lingkungan

serta ekosistemnya menjadi kepentingan manusia Keprihatinan yang di kemukakan

berkaitan dengan efek rumah kaca, karena hutan adalah paru – paru bumi. Negara – negara

yang melaksanakan program pemanfaatan hutan kini berada di bawah tekanan internasional

agar mengambil langkah - langkah untuk memperlambat laju deforestasi.

Proses deforestai dan degradasi hutan alam provinsi Riau terjadi sangat cepat. Provinsi

Riau telah kehilangan tutupan hutan alam seluas 4,6 jutaan ha, tutupan hutan berupa gambut

maupun non gambut. Degradasi lahan gabut terjadi akibat pola pemanfaatan yang kurang

memperhatikan karakteristik dan kerentanan lahan gambut. komitmen nol-deforestasi

menuntut adanya keselarasan antara tata kelola sektor publik dan swasta. Ini perlu

kesepakatan tentang visi berkelanjutan yang didukung oleh kebijakan publik; kemajuan

dalam penyelesaian tenurial lahan; penegakan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat

dan daerah; serta implementasi kebijakan untuk merasionalisasi perluasan perkebunan kelapa

sawit yang dikelola petani kecil dan menengah.

Kebijakan mengurangi deforestasi yang tidak direncanakan dilakukan melalui alokasi

lahan terdegrasidan lahan yang secara komersil tidakproduktif untuk membangun silvikultur

intensif. Salah satu upaya penegakan hukum untuk mengurangi konversi hutan ke perkebunan

5
kelapa sawit ialah dengan menghentikan pemberian izin untuk penggunaan hutan produksi

konversi bagi pembangunan perkebunan.

Pengolaan yang dilakukan atas hutan dan lahan gambut harus dilakukan melalui

pendekatan ekosistem sehingga tidak terbatas pada batas administratif. Rehabilitas hutan dan

lahan ( RHL ) merupakan bagian dari sistem pengolaan hutan dan lahan, yang di tempatkan

daerah yang banyak di aliri oleh sungai, rehabilitas mengambil posisi untuk mengii

keenjangan ketika sitem perlindungan tidak mengimbangi hasil hasil dari sistem hutan dan

lahan sehingga terjadi deforestasi dan degrasi fungsi hutan dan lahan. Luasnya lahan gambut

di daerah Riau perlu di kelola secara bijaksana sehingga dapat memberikan nilai tambah

tanpa merusak fungsi alami lahan gambut. ( Maharani, 2011 )

Asian Agri adalah salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia yang memproduksi

minyak sawit mentah yang dikelola secara berkelanjutan. Asian Agri berdiri sejaktahun 1979,

Asian Agri saat ini telah berkembang menjadi salah satu perusahaan sawit terbesar di Asia

yang mengelola perkebunan kelapa sawit seluas 100.000 Hektar di Sumatra utara, Riau dan

Jambi, serta didukung oleh 25.000 orang karyawan yang bergabung dan berkembang bersama

perusahaan. Asian Agri memulai proses pengelolaan dari pembibitan, penanaman, hingga

pengengolahan tandan buah segar untuk menghasilkan buah sawit berkelanjutan dipabrik

yang berteknologi tinggi dan ramah lingkungan. Asian Agri merupakan pelopor program

kemitraan petani kelapa sawit dengan tujuan mendukung peningkatan kesejahteraan keluarga

petani serta mendorong pengolaan indutri kelapa sawit nasional yang berkelanjutan, melalui

kebijakan keberlanjutan peruahaan Asian Agri senantiasa berkomitmen dalam menerapkan

praktik terbaik untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat, negara, iklim, pelanggan

dan perusahaan. ( Putradi pamungkas, 2019)

6
Asian Agri berkomitmen untuk mendukung kebijakan konservasi hutan atau yang biasa

diebut Zero Deforestation, dan melestarikan hutan dengan stok karbon tinggi ( HCS ). Asian

Agri telah membentuk technical commitee ( TC ) yang bertugas untuk mengklasifikasikan

hutan mana saja yang memiliki HCS, menentukan metedologi HCS, menetukan ambang

batas untuk emisi gas rumah kaca, dan juga menentukan faktor yang mempengaruhi

lingkungan sosial dan ekonomi daerah tersebut.

Rumusan Masalah

Dari uraian diatas bahwa komitmen nol deforetasi menuntut adanya keselarasan antara

tata kelola sektor publik dan swasta, ini perlu kesepakatan tentang visi berkelanjutan yang

didukung oleh kebijakan publik, kemajuan dalam penyelesaian tenurial lahan, penegakan

peraturan perundang undangan di tingkat pusat dan daerah, implementasi kebijakan untuk

merasionaliasi perluasan perkebunan kelapa sawit yang dikelola petani kecil dan menengah

serta adanya dukungan atau kampanye dari organisasi seperti Greenpeace. Sehingga penuli

memfokuskan pada suatu pertanyaan yaitu : Bagaimana efektivitasan Greenpeace

terhadap komitmen Nol Deforestasi terhadap perusahaan kelapa sawit Asian Agri di

Riau ?

1.2 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui kebijakan peruahaan kelapa sawit Asian Agri dengan adanya

keefektivitasan dari organisai Greenprace

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian merupakan sebuah batasan- batasan dalam penelitian. Batasan

yang dimaksud dipenelitian ini adalah untuk memperjelas batasan yang di teliti seperti

tempat yang diteliti, materi yang diteliti, dan subjek yang diteliti agar lebih jelas dan

menghindari kesalahan dari penelitian ini.

7
1.4 Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini ditujukan untuk bisa mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan

dan juga bisa menjadi referensi bagi mahaiswa/i yang ingin meneleliti tentang

Greenpeace dan komitmen Nol Deforestasi Indonesia khuusnya di Riau sebagai

penelitian terdahulunya.

b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

perusahaan kelapa sawit yang belum melaksanakan kebijakan Nol Deforestasi

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bagian ini berisikan pendahuluan yang merupakan latar belakang, perumusan masalah,

tujuan penelitian, hipotesa, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini menguraikan tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari penelitian terdahulu,

kerangka teoritis, variabel penelitian, definisi konseptual dan definisi operasional.

BAB III METODOLOGI

Dalam bab ini membahas tentang metode atau pendekatan penelitian, jenis penelitian,

bentuk penelitian, sumber data, dan teknik pengumpulan data.

BAB IV EFEKTIVITAS KEBERADAAN GREENPEACE TERHADAP

KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI PADA PERUSAHAAN KELAPA SAWIT

ASIAN AGRI

8
Bab ini akan menjelaskan dan menggambarkan apa saja langkah yang dilakukan oleh

organiai internasional Greenpeace dalam menekan lajunya deforestasi di hutan Indonesia

khususnya di daerah Riau.

BAB V KESIMPULAN

Dalam bab ini berisikan penutup dan atau kesimpulan yang merupakan jawaban dari hasil

penelitian.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan umber lampau dari hasil penelitian atau referensi

terdahulu, apabila akan melakukan sebuah penelitian yang nantinya akan dibandingkan

dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian terdahulu ini berfungsi

sebagai acuan untuk dapat memperluas dan memperdalam teori yang akan digunakan dalam

melakukan penelitian. Biasanya penelitian terdahulu yang digunakan seringkali dari

penelitian yang terlibat secara langung dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian

terdahulu merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam melakukan sebuah

penelitian, karna menjadi sebuah tolak ukur untuk dapat mempertegas pentingnya penelitian

yang akan dilakukan. Dalam penelitian penulis mengambil beberapa literatur terdahulu yaitu

sebagai berikut :

Penelitian pertama yang berjudul “Deforestasi dan Isu Pemanfaatan Lahan

yang Berkelanjutan di Indonesia” yang di tulis oleh Syaid A. Boenjamin. Dalam penelitian

ini membahas keprihatinan mengenai deforestasi teruma berpusat pada degrasi lingkungan

lokal. Ketika pepohonan ditebang, tanah kehilangan pelindung, erosi meningkat dan material

organik tersapu. Jika suatu area dibakar atau ditanami selama beberapa tahun, tunas pohon

hancur. Dalam hal ini tanah menjadi rusak dan kapasitas hutan untuk beregenerasi berkurang.

Dipihak lain, deforestasi yang terjadi diatas mata air dapat meningkatkan ketidak teraturan

aliran sungai, akibat kurangnya pertahanan dibagian hulu, hujan yang turun mengalir dengan

cepat dan terkonsentrasi pada aliran air, sehingga menimbulkan banjir bandang selama

musim kemarau, aliran sungai berkurang dan akhirnya akan mengurangi aliran air bersih bagi

para pemakai rumah tangga dan industri. Deforestasi terjadi dengan biaya ekonomis, dengan

10
merapkan nilai-nilI ekonomis atas setiap kegiatan yang berkaitan dengan deforetasi dan

kekayaan bahwa penebangan adalahcara yang paling menguntungkan untuk memanfaatkan

hutan.

Selanjutnya penelitian kedua yang berjudul “ Kebijakan Pemerintah Provinsi Riau

Terhadap Implementasi REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest

Degradation Plus) di Riau ” dalam jurnal yang di tulis oleh Maharani yaitu berdasarkan

komitmen pemerintahindonesia pada tingkat nasional dan internasional untuk mengatasi

tantangan perubahan iklim serta untuk menggunakan imbalan karbon hutan untuk menata

reformasi sektor kehutanan. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisinya dari

penggunaan lahan kehutanan sebesar setidaknya 26% pada tahun 2020. Salah satu cara yang

direncanakan oleh Indonesia untuk memenuhi sasaran ini ialah dengan mengurangi emisinya

dari deforestasi dan degrasi hutan, melalui menganime REDD+ dengan melaksanakan

mekanisme ini Indonesia akan memenuhi syarat untuk menerima pembayaran keuangan

berdasarkan kredit karbon hutan.

Beberapa tantangan kontekstual perlu ditangani untuk menciptakan keadaan yang

memungkinkan bagi REDD+.Persoalan yang sama juga harus diatasi untuk memperbaiki tata

kelola hutan. Keberhasilan implementasi REDD+ bergantung pada perbaikan sistem tata

kelola seluruh lahan hutan dan lahan bergambut dalam kawasan hutan dan APL. Dalam

tatanan masyarakat dan sistem kelembagaan pemerintah yang sekarang, perbaikan itu hanya

dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan business as unusual´ yaitu Membangun

paradigma baru dan berbagai komponen sistem kelembagaan (aturan, mekanisme, hubungan

antar lembaga, tata kelola) dengan cara yang berbeda.

Selanjutnya penelitian ketiga yang berjudul, “strategi Greenpeace melindungi hutan

Indonesia tahun 2007-2015” dalam jurnal yang ditulis oleh Fauzan Yusrifan yaitu pada

11
November 2010 Greenpeace membuat laporan tentang ketidakseriusan pemerintah Indonesia

dalam pengalihan fungsi hutan. Pdahal sebelumnya, pemerintah Indonesia yang pada aat itu

dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang berkomitme untuk mengurangi ga rumah

kaca ebesar 41% eperti yang dikemukakan dalam pertemuan G20. Greenpeace

mengindikasikan bahwa pemerintah Indoneia justru akan terus mendukung ekspansi bisnis

kelapa sawit dan kerta. Upaya pemerintah Indonesia ini menggunakan internaional climate

funding dari beberapa organisasi internaional dan negara, alah satunya Norwegia yang

mencapai 1 miliar US$. Tindakan pemerintah Indonesia ini tentu membawa angin segar bagi

peruahaan pelaku deforestasi dalam meningkatan kan produksi minyak kelapa sawit dan

kertas Indoneia beberapa tahun kedepan. Ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia

tidak memfokuskan pada fenomena deforestasi dalam pengurangan karbon dari emisi gas

rumah kacayang mana justru deforestasi adlah salah satu yang menyebabkan tingginya emisi

gas rumah kaca di Indonesia.

Lobbying adalah cara greenpeace untuk bernegosiasi dengan pihak pihak terkait

seperti peerintah ataupun kepala perusahaan pemproduksi hail hutan ataupun perusahaan

pembeli hasil hutan, dalam langkah ini greenpeace melakukan upaya untuk merumuskan

solusi-solusi untuk melindungi hutan. Greenpeace mendukung upaya pemerintah Indonesia

untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ebesar 26% dengan pertumbuhan ekonomi 7%setiap

tahunnya, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ini Greenpeace berharap agar pemerintah

Indonesia menekankan padaa kebeijakan moratorium.

Selanjutnya penelitian yang keempat “Optimalisasi dana sawit dan pengaturan

instrumen fiskal penggunaan lahan hutan untuk perkebunan dalam upaya mengurangi

deforestasi” dalam buku yang ditulis oleh Fitri Nurfatriani, Ramawati, Galih Kartika Sari,

Heru Komarudin tentang, Besarnya penerimaan negara dari sektor perkebunan dan industri

minyak sawit ternyata belum sepenuhnya diimbangi dengan adanya kebijakan ekonomi dan

12
fiskal yang berperan dalam memberi insentif bagi para pelaku usaha dan para pihak untuk

mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Pendapatan dari sektor pajak yang

dikenakan kepada produk kelapa sawit dan turunannya serta pajak perkebunan (pajak

pertambahan nilai/PPN dan pajak penghasilan/PPh) dikelola dan disetor ke pemerintah pusat

dan kembali ke daerah dengan mekanisme dana perimbangan. Angkaangka penerimaan dari

sektor sawit meningkat baik di tingkat nasional maupun daerah. Secara umum, sektor

perkebunan di daerah, khususnya di lokasi studi di Provinsi Kalimantan Barat dan

Kalimantan Tengah, memberikan kontribusi cukup besar terhadap penerimaan negara.

Namun diketahui bahwa peningkatan produksi CPO dan nilai ekspor minyak kelapa

sawit serta luasan kebun sawit tidak diiringi oleh persentase penerimaan pajak sektor sawit

yang justru persentasenya menurun. Belum adanya mekanisme dana bagi hasil yang berasal

dari sektor perkebunan kelapa sawit, seperti halnya sektor kehutanan dan pertambangan, yang

langsung disalurkan ke daerah-daerah penghasil menjadi salah satu isu penting bagi para

pihak di daerah. Hal tersebut menjadi disinsentif dalam upaya mendorong peran pemerintah

daerah di dalam mengawasi dan membangun perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Untuk mendorong para pelaku usaha di bidang perkebunan kelapa sawit menerapkan prinsip

dan praktik berkelanjutan seperti tertuang di dalam standar ISPO dan standar keberlanjutan

minyak sawit lainnya, perlu dikembangkan berbagai insentif. Dalam rangka mengurangi laju

deforestasi dan konversi hutan dan mencegah perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam

kawasan hutan, juga perlu dikembangkan insentif dan dinsentif melalui penerapan kebijakan

fiskal dalam penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

Selanjutnya penelitian keli ma “Tuntutan Greenpeace Tehadap Sinar Mas Group

Terkait Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Di Indonesia (Tahun 2008-2011)” dalam jurnal

yang ditulis oleh Cinthya Geni Asri mengatakan yaitu terlepas dari Greenpeace memiliki

tujuan lain dengan menggalakkan isu lingkungan di Indonesia, akan tetapi di pihak lain,

13
kerusakan hutan itu memang bukan suatu hal yang dilebih-lebihkan. Kenyataan yang terlihat

memang itulah adanya, bahwa alam Indonesia tengah mengalami kehancuran dengan isu

penebangan liar, pembukaan lahan baru, ekspansi perkebunan, hilangnya secara perlahan

habitat Orang Utan, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, dan berkurangnya areal pangan bagi

penduduk sekitar. Perubahan iklim telah menjadi ancaman terbesar masa depan bumi. Jika

kita tidak

menghentikan penebangan hutan yang tidak bertanggung jawab ini, maka kemajuan yang

dicapai dalam perang mengatasi perubahan iklim menjadi kurang berarti. Hal inilah yang

menjadi senjata bagi Greenpeace untuk menekan perlunya kebijakan dalam menanggulangi

deforestasi. Jadi, Greenpeace dengan berbagai perspektif yang berbeda memiliki tujuan baik

untuk Indonesia.

Penelitian yang keenam“Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi

Amazon” dalam jurnalnya yang ditulis oleh Kartika Yustika Mandala Putri Pertama,

dalam perannya sebagai kompetitor pemerintah, Greenpeace memiliki daya saing dengan

pemerintah dalam hal intelektual, namun perlu dipertegas bahwa peran ini bukan merupakan

tujuan ataupun bagian dari strategi Greenpeace. Peran Greenpeace sebagai kompetitor

pemerintah muncul karena kondisi yang secara tidak langsung menjelaskan posisi

Greenpeace. Kemampuan Greenpeace dalam meneliti dan mengajukan solusi lebih cepat

daripada pemerintah, sehingga kondisi ini menjadikan Greenpeace sebagai pemegang peran

kompetitor pemerintah. Kedua, Greenpeace berperan sebagai mobilisator opini public

merupakan peran yang umum ditemukan dalam setiap NGO, karena setiap melakukan

kampanye maka tujuan yang ditergetkan oleh NGO adalah dukungan dari masyarakat.

Mobilisasi opini publik yang dijalankan oleh Greenpeace bersifat bottom-up, di mana target

pertama Greenpeace merupakan konsumen, kemudian beranjak pada perusahaan retailers

makanan atau produk jadi (yang berhubungan langsung dari konsumen), lalu menarget

14
perusahaan pengolahan kedelai hingga kemudian perusahaan multinasional Cargill sebagai

perusahaan terbesar. Ketiga, peran Greenpeace sebagai pengawas dan penilai, yaitu ketika

Greenpeace berdasarkan objektifnya dengan sukarela memastikan bahwa Moratorium

Kedelai berjalan sesuai dengan mekanisme, yaitu dengan melakukan penerjunan langsung di

lapangan. Kepatuhan pemerintah merupakan efek sekunder yang dapat muncul apabila

mekanisme Moratorium Kedelai telah berhasil membawa Hasil sesuai yang

ditargetkan.Dalam analisis tingkat pengaruh yang dimiliki Greenpeace, Greenpeace memiliki

pengaruh dalam Moratorium Kedelai di Brazil. Dengan menggunakan teori tingkat pengaruh

dari Betsill, Terbukti terjadi perubahan kondisi dalam setiap indikator pembentukan isu dan

agenda, indikator proses negosiasi, dan indikator hasil. Adanya perubahan perilaku aktor lain

akibat aktivitas Greenpeace, menandakan bahwa Greenpeace berpengaruh. Oleh karenanya

untuk dapat menganalisis tingkat pengaruh dari Greenpeace, maka penulis perlu untuk

memetakan peran yang dijalankan dan meneliti strategi yang dilakukan oleh Greenpeace agar

dapat melihat pengaruh Greenpeace melalui perbandingan.

15
2.1.1 Kerangka Pemikiran

Research Problem

Komitmen nol deforetasi menuntut adanya keselarasan antara tata kelola sektor publik dan swasta, ini perlu
kesepakatan tentang visi berkelanjutan yang didukung oleh kebijakan publik, kemajuan dalam penyelesaian
tenurial lahan, penegakan peraturan perundang undangan di tingkat pusat dan daerah, implementasi
kebijakan untuk merasionaliasi perluasan perkebunan kelapa sawit yang dikelola petani kecil dan menengah
serta adanya dukungan atau kampanye dari organisasi Greenpeace.

Penelitian Terdahulu

a. Syaid A. Boenjamin. “Deforestasi dan Isu Pemanfaatan Lahan

yang Berkelanjutan di Indonesia” membahas keprihatinan mengenai deforestasi teruma berpusat pada

degrasi lingkungan lokal. Ketika pepohonan ditebang, tanah kehilangan pelindung, erosi meningkat dan

material organik tersapu. Adanya perubahan perilaku aktor lain akibat aktivitas Greenpeace, menandakan

bahwa Greenpeace berpengaruh. Oleh karenanya untuk dapat menganalisis tingkat pengaruh dari

Greenpeace, maka penulis perlu untuk memetakan peran yang dijalankan dan meneliti strategi yang

dilakukan oleh Greenpeace agar dapat melihat pengaruh Greenpeace melalui perbandingan.

b. Maharani. “Kebijakan Pemerintah Provinsi Riau Terhadap Implementasi REDD+ (Reducing Emission

from Deforestation and Forest Degradation Plus) di Riau”. Menjelaskan salah satu cara yang direncanakan

oleh Indonesia untuk memenuhi sasaran ini ialah dengan mengurangi emisinya dari deforestasi dan degrasi

hutan, melalui menganime REDD+ dengan melaksanakan mekanisme ini Indonesia akan memenuhi syarat

untuk menerima pembayaran keuangan berdasarkan kredit karbon hutan.

c. Fauzan Yusrifan. “Strategi Greenpeace melindungi hutan Indonesia tahun 2007-2015” menjelaskan bahwa

Lobbying adalah cara greenpeace untuk bernegosiasi dengan pihak pihak terkait seperti peerintah ataupun

kepala perusahaan pemproduksi hail hutan ataupun perusahaan pembeli hasil hutan, dalam langkah ini

greenpeace melakukan upaya untuk merumuskan solusi-solusi untuk melindungi hutan. Greenpeace

mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ebesar 26% dengan

pertumbuhan ekonomi 7%setiap tahunnya, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ini Greenpeace berharap

agar pemerintah Indonesia menekankan padaa kebeijakan moratorium.

16
d. Fitri Nurfatriani, Ramawati, Galih Kartika Sari, Heru Komarudin. “Optimalisasi dana sawit dan

pengaturan instrumen fiskal penggunaan lahan hutan untuk perkebunan dalam upaya mengurangi

deforestasi” menjelaskan Dalam rangka mengurangi laju deforestasi dan konversi hutan dan mencegah
perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam kawasan hutan, juga perlu dikembangkan insentif dan dinsentif

melalui penerapan kebijakan fiskal dalam penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

e. Cinthya Geni Asri. “Tuntutan Greenpeace Tehadap Sinar Mas Group Terkait Perdagangan Minyak

Kelapa Sawit Di Indonesia (Tahun 2008-2011)” mengatakan yaitu terlepas dari Greenpeace memiliki

tujuan lain dengan menggalakkan isu lingkungan di Indonesia, akan tetapi di pihak lain, kerusakan hutan itu

memang bukan suatu hal yang dilebih-lebihkan. Kenyataan yang terlihat memang itulah adanya, bahwa

alam Indonesia tengah mengalami kehancuran dengan isu penebangan liar, pembukaan lahan baru, ekspansi

perkebunan, hilangnya secara perlahan habitat Orang Utan, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, dan

berkurangnya areal pangan bagi penduduk sekitar.

f. Kartika Yustika Mandala Putri Pertama.“Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon”

menjelaskan dalam perannya sebagai kompetitor pemerintah, Greenpeace memiliki daya saing dengan

pemerintah dalam hal intelektual, namun perlu dipertegas bahwa peran ini bukan merupakan tujuan ataupun

bagian dari strategi Greenpeace. Peran Greenpeace sebagai kompetitor pemerintah muncul karena kondisi

yang secara tidak langsung menjelaskan posisi Greenpeace. Kemampuan Greenpeace dalam meneliti dan

mengajukan solusi lebih cepat daripada pemerintah, sehingga kondisi ini menjadikan Greenpeace sebagai

pemegang peran kompetitor pemerintah

Rumusan Masalah

Bagaimana efektivitasan Greenpeace terhadap komitmen Nol Deforestasi terhadap perusahaan kelapa
sawit Asian Agri di Riau ?

Variabel Mandiri

a) Greenpeace sebagai Instrumen

b) Greenpeace sebagai Arena, dan

c) Greenpeace sebagai Aktor Independen

Teori / Konsep

Efektivitas organisasi internasional


17
2.2 Kerangka Teori

Untuk membantu penulis dalam proses penelitian dan juga sebagai landasan untuk

memperkuat analisis, maka penulis menggunakan teori yang sesuai dengan masalah yang ada

untuk dijadikan sebagai pedoman. Kerangka teoritis akan menjelaskan mengenai efektivitas

keberadaan greenpeace terhadap komitmen nol deforestasi oleh perusahaan kelapa sawit

asian agri di riau tahun 2018. Landasan teoritis yang digunakan sebagai Tool of Analisys

dalam membahas permasalahan yang menjadi topik pada penelitian ini, yang akan diuraikan

sebagai berikut :

A. Hubungan Internasional / Global civil society

Definisi tradisional kajian Hubungan Internasional dimaknai sebagai hubungan

antarnegara dengan isu yang berkaitan perang dan damai. Definisi klasik tersebut

menempatkan negara (state) merupakan aktor utama dalam studi HI. Seiring

perkembangannya, studi HI mengalami perkembangan dalam ranah teori, keragaman isu, dan

metode penelitian. Selain itu, perkembangan kajian tidak hanya terkungkung pada aktor

negara, namun memberikan ruang pada aktor lain di luar aktor negara (Soetjipto,2018).

Perkembangan studi HI dapat dilihat dengan mampunya studi HI memasuki ranah kajian

Global Civil Society (GCS)/Masyarakat Sipil Global. Global civil society merupakan kajian

dalam studi HI yang terkait dengan isu-isu globalisasi, Non-Governmental Organization

(NGO), masyarakat sipil, dan isu-isu lainnya. Kemunculan global civil society sekaligus

diiringi kemunculan global social movement (gerakan sosial global) yang merupakan

gabungan masyarakat dari berbagai elemen yang berjuang bersama dalam urusan

ketidakadilan global, ketimpangan sosial, penindasan kaum perempuan, kerusakan

lingkungan hidup, serta keserakahan korporasi bisnis (Hadiwinata,2006).

18
Glasius dalam Ruhiat (2019) berupaya mengkategorikan model global civil society

movement dalam empat kategori. Pertama, kelompok yang berusaha menyediakan social

services yang efektif, fleksibel, serta efisien dari apa yang disediakan negara (golongan

liberal). Kedua, kelompok yang berfokus pada perubahan progresif melalui akuntabilitas

penguasa atas hak asasi manusia dan lingkungan (golongan liberal). Ketiga, kelompok yang

melakukan aksi kolektif untuk melakukan perlawanan terhadap kapitalisme global dan

hegemoni neo-imperial (golongan radikal). Keempat, kelompok yang memiliki kesadaran

bahwa globalisasi adalah kontestasi b nyak kepentingan normative (golongan postmodern).

Adapun Dahbour (2005) mengungkapkan bahwa global civil society cenderung

membentuk suatu komunitas. Dahbour membagi menjadi tiga jenis. Pertama, global trading

community, komunitas yang berjuang dalam pemerataan kesejahteraan dan pendapatan

ekonomi. Komunitas ini didominasi oleh kaum internasionalis. Kedua, global legal

community, komunitas dengan tujuan mewujudkan keadilan dengan cara menetapkan standar

hukum dan justifikasi. Ketiga, community of autonomous communities, komunitas yang

memiliki fokus pada otonomi tiap-tiap komunitas dan tetap memperhatikan perbedaan

Sementara itu, Scholte (2002) mempunyai pemahaman bahwa Global civil society

adalah pihak yang berada diluar negara dan pasar, upaya-upaya yang dilakukan jelas, bersifat

organized fashion, memiliki tujuan utama untuk membentuk kebijakan, 18 norma dan

struktur sosial yang saling berkaitan. Scholte (2002) mengemukakan pendapatnya mengenai

global civil society; “Pada akhirnya, dewasa ini banyak asosiasi sipil yang memiliki

organisasi bersifat global. Di satu sisi, apa yang dimaksud dengan masyarakat sipil global

mencakup ribuan agen lintas batas, seperti halnya lobi-lobi bisnis, konfederasi serikat

pekerja, badan-badan keagamaan, NGO, dan organisasi non-komersial lainnya. Agen-agen

tersebut memiliki keanggotaan lintas batas dan mempertahankan operasinya di banyak negara

secara bersamaan.”

19
B. Organisasi Non-Pemerintah Lingkungan (Greenpeace)

NGO mengalami perkembangan pesat dan mampu melahirkan berbagai macam NGO

di berbagai ruang lingkup, meliputi Hak Asasi Manusia, Pendidikan, lingkungan, kesehatan,

dan sebagainya. Salah satu NGO yang memiliki peran penting saat ini adalah NGO

lingkungan. Hal ini dikarenakan isu lingkungan telah menjadi wacana global, disamping isu

hak asasi manusia dan isu gender. Berawal dari isu sederhana tentang pelestarian alam demi

tujuan rekreasionaI, isu lingkungan kemudian bergulir, berproses, dan melembaga sebagai

gerakan yang banyak dilakukan oleh NGO lingkungan.

2.3 Variabel Penelitian

2.3.1 Variabel Independen

Variabel independen sering disebut sebagai variable stimulus, prediktor, antecedent.

Dalam bahasa indonesia sering disebut variabel bebas. Variabel bebas adalah merupakan

variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel

dependen (terikat) (Sugiyono, 2015:39). Dalam penelitian ini variabel independen adalah

efektivitas greenpeace.

2.3.2 Greenpeace

Gerakan lingkungan (environmental movement) merupakan proses sosial yang

mampu mengangkat isu lingkungan menjadi isu bersifat global hingga akhirnya masyarakat

global peduli terhadap isu tersebut. Akar sejarah gerakan lingkungan bisa ditelusuri dari

pertengahan abad ke-19 di Eropa dan Amerika Serikat. Sejak abad ke19, telah munculnya

gerakan lingkungan di Inggris. Pada masa tersebut, gerakan lingkungan dibedakan ke dalam

tiga kategori. Pertama, kelompok yang peduli terhadap pelestarian daerah pinggiran

(countryside) yang mana dianggap sebagai tempat bagi orang perkotaan yang ingin meliha

20
tempat indah dan berguna menghilangkan penat. Kedua, kelompok yang peduli terhadap

konservasi alami. Kelompok ini berlandaskan pada a1asan ilmiah untuk mempromosikan

pelestarian alam. Ketiga, kelompok yang secara khusus tertarik pada upaya perlindungan

terhadap binatang-binatang tertentu. Latar be1akang gerakan ini adalah adanya perlakuan

yang kejam terhadap binatang oleh kelas pekerja perkotaan dan kaum aristokrat, seperti

perlakuan terhadap kuda penarik kereta, penggunaan binatang untuk umpan berburu, dan

lain-lain. (Garner, 1996).

Aktor dalam gerakan hijau berasal dari individu sampai organisasi-organisasi berskala

internasional. Menurut Parkin (1988) dalam Suharko (1998) ,dalam Ruhiat (2019)

menyatakan aktor atau agen gerakan hijau dapat dibedakan ke dalam empat kategori, yakni:

pertama, orang-orang yang mampu mencontohkan penerapan gaya hidup hijau, seperti alnya

para petani organik, orang yang mampu mengembangkan teknologi alternatif dan lain-lain.

Kedua, para kelompok penekan berisu tungga1. Ketiga, kelompok orang yang memiliki

pekerjaan dan kemampuan sekaligus mampu melakukan propaganda, seperti partai politik,

gereja, universitas, dan lain-lain. Keempat, secara distingtif partai politik hijau (green party).

2.3.3 Variabel Depeden

Variabel Dependen sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam

bahasa indonesia sering disebut variable terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang

dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2015:39). Dalam

penelitian ini variabel independen adalah komitmen nol deforestasi.

2.3.4 Komitmen Nol Deforestasi

Indonesia adalah produsen terbesar minyak sawit dunia dan termasuk “10 Besar”

produsen P&P. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi penguatan komitmen di Indonesia

21
yang diestimasi kehilangan hutan tahunannya pada 2006–2010 mencapai 690.000 ha

(Margono et al. dalam Pirard ; dkk ; 2018) dan dengan ancaman terhadap hutan terus

berlangsung. Pada 2011, Golden Agri-Resources (GAR) menjadi perusahaan yang pertama

menyatakan ikrar noldeforestasi. Kemudian dikuti oleh kerjasama GAR, Greenpeace dan The

Forest Trust, sebuah entitas pemantau hutan independen (Greenpeace; Poynton dalam Pirard ;

dkk ; 2018 ). Hasilnya adalah tersusunnya pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCS)2 yang

kemudian menjadi rujukan bagi ikrar lain (mis. Wilmar 2013 dalam Pirard ; dkk ; 2018 ).

Pada 2014, muncul dua kelompok atau koalisi produsen sawit besar, yaitu Indonesian Palm

Oil Pledge (IPOP) dan Sustainable Palm Oil Manifesto (SPOM). Kelompok tersebut

menyatakan ikrarnya, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Selain isu deforestasi,

mereka juga menyoroti isu-isu sosial, hak atas lahan, konflik dan petani – yang kemudian

menjadi bahan perdebatan penting saat itu (IPOP 2015 dalam Pirard ; dkk ; 2018 ). Kedua

kelompok tersebut mengiklankan ikrar mereka, menyebarluaskan pengetahuan dan kemajuan

mereka dalam menjalankan komitmen, mengkoordinir aktivitas dan lobi. Mereka juga

berupaya menjawab isu teknis. SPOM merupakan contoh baik inisiatif yang menghasilkan

panduan praktis untuk mengidentifikasi kawasan-kawasan konservasi potensial (Nature 2015

dalam Pirard ; dkk ; 2018). Secara bersamaan, dua grup usaha besar P&P yang beroperasi di

Indonesia – Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacifik Resources International Holding

(APRIL) – mengumumkan komitmen nol- deforestasi dalam dua tahun terakhir, dan

melabelinya dengan nama masing-masing Forest Conservation Policy (Kebijakan Konservasi

Hutan) dan Sustainable Forest Management Policy (Kebijakan Manajemen Hutan

Berkelanjutan). Kebijakan ini melarang perusahaan-perusahaan pemasok pabrik yang

produksi seratnya terkait dengan konversi hutan. Kebijakan ini menandai perubahan dramatis

dari praktik sebelumnya. Kebijakan ini diperluas pada pemasok pihak ketiga, dan menyentuh

22
isu sosial dan pemanfaatan lahan gambut. Kebijakan ini sejalan dengan praktik di sektor

kelapa sawit. (Pirard ; dkk ; 2018).

Kemunculan komitmen bebas deforestasi didorong oleh efektif-nya kampanye LSM

sebagai reaksi dari tekanan konsumen yang ingin menyelamatkan hutan tropis tersisa.

Kebijakan lain atau standar berkelanjutan (mis. RSPO), terhambat, antara lain oleh lemahnya

kepatuhan dan penegakan hukum. Oleh karena itu, komitmen noldeforestasi muncul sebagai

titik puncak Deklarasi Hutan New York pada September 2014. Ketika itu sejumlah

pemerintahan juga berkomitmen untuk menghentikan laju hilangnya hutan alam pada 2030.

Nol-deforestasi menghadapi berbagai isu antara lain hitungan kehilangan hutan kotor atau

bersih (yaitu apakah deforestasi di satu lokasi bisa dikompensasi oleh restorasi di tempat

lain), dan juga implikasi sosioekonomi. Noldeforestasi juga dipertanyakan dari sudut pandang

konseptual. Konsep komitmen nol-deforestasi dapat dilihat dari dua cara pandang. Pertama,

komitmen yang tegas dan umum dari perusahaan-perusahaan sepanjang rantai pasok yang

disertai beberapa indikator yang dapat diverifikasi bahwa produksi komoditas telah bebas

dari deforestasi. Kedua, produk-produk yang terkait deforestasi secara bertahap dikeluarkan

dari rantai pasok, setidaknya untuk para pelaku utama. Pendekatan pertama berimplikasi

bahwa metodologi yang telah disepakati diterapkan secara sistematis di lapangan untuk

menghindari hilangnya tutupan hutan, yang dimaksudkan untuk menghentikan laju

deforestasi akibat pembangunan pertanian. Pendekatan ini mengandalkan metode seperti Stok

Karbon Tinggi (HCS) dan Nilai Karbon Tinggi (HCV) dalam menentukan areal sebagai

hutan dan bagian yang seharusnya dilindungi dan tidak dibuka untuk pembangunan .

Pendekatan kedua memuat visi bahwa perluasan areal pertanian menyisakan sebanyak

mungkin hutan alam penting . Visi ini menjadi latar belakang keputusan di mana perluasan

pertanian seharusnya dilakukan untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan yang

lebih luas. Dalam cakupan lebih luas tersebut, kita bisa melihat, misalnya, adanya perbedaan

23
standar untuk perusahaan dan petani. Petani menikmati standar lingkungan lebih longgar

larena alasan kepentingan pragmatis (sulit menghindari konversi hutan dalam praktiknya) dan

keadilan (diasumsikan bahwa perluasan lahan petani akan lebih berkontribusi pada

penghidupan masyarakat miskin). Konsep nol-deforestasi menghadapi resistensi dari

pemerintah Indonesia, karena dua alasan utama: (i) secara de facto komitmen ini

menghambat pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada manajemen lahan produktif, dan (ii)

petani dan sejumlah perusahaan akan kehilangan usahanya (Jakarta Post 29 Agustus 2015).

Pemerintah mempromosikan standar sendiri, dan menyatakan bahwa mereka akan menjamin

tingkat berkelanjutan yang dapat diterima tanpa terikat dengan analisis HCV/HCS yang ketat.

Dengan kata lain, ada kekhawatiran bahwa analisis teknis menggunakan HCV/HCS

mengalahkan tujuan politik dan visi pembangunan. Dalam konteks ini, tantangan utama

perdebatan adalah merekonsiliasi beragam pendekatan, dengan memberi prioritas pada

komitmen yang disertai indikator yang terukur untuk menjamin akuntabilitasnya, atau dengan

mengarusutamakan konsep berkelanjutan yang arahnya yang ditetapkan melalui kebijakan

publik. Isu utama dalam konteks ini adalah nasib banyak investor skala kecil dan menengah –

apakah mereka akan mampu beroperasi tanpa terjebak pada rantai suplai bernilai lebih

rendah. (Pirard ; dkk ; 2018).

2.4 Variabel Konsepsional

Global Civil Society adalah masyarakat sipil global mencakup ribuan agen lintas batas,

seperti halnya lobi-lobi bisnis, konfederasi serikat pekerja, badan-badan keagamaan, NGO,

dan organisasi non-komersial lainnya. Agen-agen tersebut memiliki keanggotaan lintas batas

dan mempertahankan operasinya di banyak negara secara bersamaan.

NGO ( Non Governmental Organizations) merupakan setiap kelompok nirlaba, kelompok

warga negara yang sukarela, yang diorganisasikan pada tinhgkat lokal, nasional atau

24
internasional. berorientasi pada tugas dan didorong oleh orang dengan keperntingan bersama,

NGO mampu melakukan berbagai layanan dan fungsi kemanusiaan, membawa kepentingan

warga negara kepada pemerintah, memantau kebijakan dan mendorong partisipasi politik di

tingkat masyarakat. NGO menyediakan analisis dan keahlian, berfungsi sebagai mekanisme

peringatan dini dan membantu memantau dan mengimplementasikan perjanjian internasional.

beberapa NGO berfokus pada isu-isu spesifik seperti hak asasi manusia, lingkungan atau

kesehatan.

Greenpeace merupakan proses sosial yang mampu mengangkat isu lingkungan menjadi isu

bersifat global hingga akhirnya masyarakat global peduli terhadap isu tersebut. Akar sejarah

gerakan lingkungan bisa ditelusuri dari pertengahan abad ke-19 di Eropa dan Amerika

Serikat. Sejak abad ke19, telah munculnya gerakan lingkungan di Inggris.

Komitmen Nol Deforestasi merupakan kebijakan yang melarang perusahaan-perusahaan

pemasok pabrik yang produksi seratnya terkait dengan konversi hutan. Kebijakan ini

menandai perubahan dramatis dari praktik sebelumnya. Kebijakan ini diperluas pada

pemasok pihak ketiga, dan menyentuh isu sosial dan pemanfaatan lahan gambut. Kebijakan

ini sejalan dengan praktik di sektor kelapa sawit. (Pirard ; dkk ; 2018).

2.5 Defenisi Operasional

Penelitian ini menjelaskan bagaimana keberadaan organisasi greenpeace sebagai

organisasi non pemerintah (NGO) terhadap komitmen nol deforestasi oleh perusahaan kelapa

sawit asian agri riau yang menggunakan berbagai strategi, program, dan kampanye yang

digagas oleh seluruh elemen yang di dalam organisasi, Greenpeace ingin mengekspos

masalah lingkungan yang semakin mengancam dari tahun ke tahun dan mendorong

dirumuskannya solusi untuk masa depan yang hijau. Untuk itu Greenpeace berusaha keras

untuk: 1) melindungi segala bentuk keanekaragaman hayati; 2) mencegah polusi dan

25
penyalahgunaan lautan, darat, udara, dan air; 3) mengakhiri semua ancaman nuklir; 4)

mempromosikan perdamaian, global disarmament, dan non-violence (Greenpeace t.t).

Penelitian ini mengunakan variabel mandiri di mana Peneliti membahas keberadaan

organisasi greenpeace sebagai organisasi non pemerintah (NGO) terhadap komitmen nol

deforestasi oleh perusahaan kelapa sawit asian agri riau yang dibagi menjadi tiga :

a) Greenpeace sebagai Instrumen

b) Greenpeace sebagai Arena, dan

c) Greenpeace sebagai Aktor Independen

26
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu metode

yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang

diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang mendalam

tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok,

masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu dari sudut

pandang yang utuh, komprehensif, dan holistic. Penelitian kualitatif bertujuan untuk

mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif

partisipan (Bogdan & Biklen, 1992: 22).

3.2 Sifat atau Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan tipe ekplanatif. Metode kualitatif

atau yang lebih dikenal dengan istilah grounded research pada dasarnya didasarkan pada cara

induktif tentang teori relasi dan data, berbeda dengan metode kuantitatif yang bertujuan untuk

menelaah teori menjadi kuisioner sebagai instrumen pengumpulan data, tetapi penelitian

kualitatif juga dan harus berperan dalam pengujian teori. Metode ini menekankan pada

pemahaman dunia sosial melalui pemeriksaan atau interpretasi interpretasi peserta terhadap

dunianya melalui observasi, dokumen, dan wawancara. Eksplanatif merupakan prosedur

pemecahan masalah yang diselidiki dengan memberikan penjelasan sebab akibat atau

hubungan variabel independen dan variabel dependen dari obyek penelitian

a. Metode Pengumpulan Data

27
Metode pengumpulan data kualitatif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

studi pustaka dengan mengumpulkan berita, film, dan dokumen. Metode ini dipilih karena

keterbatasan peneliti dalam melakukan partisipasi, observasi dan wawancara di lapangan.

Ada dua kategori dokumen yaitu primer yang berasal dari laporan atau rilis resmi, dan

dokumen sekunder melalui berita, publikasi, majalah, halaman web, dan buku. Ada beberapa

pertanyaan yang perlu dijawab untuk menilai kualitas dokumen (Richard & Kirsten, 2012:

32)

 Keaslian: apakah bukti asli atau tidak perlu dipertanyakan?

 Kredibilitas: apakah bukti bebas dari kesalahan dan distorsi?

 Keterwakilan: apakah itu tipikal dari jenisnya atau apakah itu tipikal?

 Artinya: apakah buktinya jelas dan dapat dipahami?

b. Metode analisis

Ada tiga pendekatan untuk menafsirkan data di luar analisis isi: analisis isi kualitatif;

semiotika; dan hermeneutika. Penelitian ini akan menggunakan yang pertama, dimulai

dengan mencari tema-tema pokok dalam materi, mengklasifikasikan data dan mengutip,

melakukan triangulasi, menyusunnya dalam garis waktu, kemudian memverifikasi ke dalam

proposisi teori.

28
DAFTAR PUSTAKA

Bogdan, R. C., Biklen, S. K., 1992, Qualitative Research for Education: an Introduction to

Theory and Methods, Boston: Allyn & Bacon.

Dahbour,O.,(2005) Three Models Of Global Community

Garner, RDbert,(1996),Environmental Politics,Prentice Hall, London

Hadiwinata, B. S. (2006). Bourdieu, Neoliberalisme, Intelektual Dan Gerakan. Sosial Global.

Melintas, 22 (1), hlm. 471 – 485

Ruhiat, F. (2019). Peran Greenpeace Dalam Isu Deforestasi Di Kalimantan Timur (2013-

2016).

Pirard, R., Gnych, S., Pacecho, P., Lawry, S.(2018). Komitmen nol-deforestasi di Indonesia.

Info Brief CIFOR, No. 216,1-8.

Scholte, Jan Aart. 2000. Globalization: a critical introduction. New York: St. Martin’s Press

Inc.

Ani Soetjipto dkk, (2018.)Transnasionalisme : Peran Aktor Non Negara Dalam. Hubungan

Internasional, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 

29

Anda mungkin juga menyukai