Anda di halaman 1dari 17

REAKSI CAHAYA FOTOSINTESIS DAN ASPEK-ASPEK FOTOFISILOGI

PENDAHULUAN

Matahari telah diciptakan Tuhan sebagai sumber energi yang sangat besar bagi alam
ini. Fotosintesis merupakan satu-satunya proses di alam ini yang dapat memanen
energi yang berasal dari cahaya matahari menjadi energi kimia yang sangat berguna
bagi semua makhluk hidup. Bahkan dengan proses ini sumber daya energi bagi
kehidupan telah disediakan baik melalui proses yang telah berjalan berabad-abad yang
lalu seperti tumpukan batubara dan cadangan minyak maupun berbagai jenis
tumbuhan yang hingga hari ini masih tumbuh. Oleh karenanya mempelajari aspek-
aspek dasar dari pemanenan energi ini khususnya pada tumbuhan merupakan sesuatu
yang sangat penting baik dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan kita saat
ini maupun sebagai upaya memelihari kelestarian sumber energi ini untuk masa
mendatang.
Secara sederhana fotosintesis merupakan proses pemanfaatan energi matahari
untuk membentuk senyawa karbohidrat dari senyawa sederhana yang ada di alam
yaitu gas CO2 dan air. Secara skematis dapat dituliskan:
ENERGI

6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2


Karbon Air Karbohidrat Oksigen
Dioksida

Dalam proses pembentukan karbohidrat ini diperlukan energi yang pada awalnya
berasal dari energi cahaya dari matahari. Namun pemanfaatan energi ini memerlukan
serangkaian proses sehingga energi yang ada dalam bentuk gelombang
elektromagnetik tersebut dapat diubah menjadi energi kimia (ATP dan NADPH) yang
dikenal dengan reaksi terang. Hasil reaksi terang inii (ATP dan NADPH)
selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam reaksi metabolisme khususnya reduksi CO2.
Dalam bab ini akan dipelajari terjadinya proses pemanfaatan energi ini dengan
mengawali pengenalan terhadap karakteristik energi cahaya, struktur dari piranti yang
terlibat dalam fotosintesis dan konsep dasar dari reaksi terang fotosintesis. Selain itu
juga akan dibahas beberapa aspek dari cahaya dalam hubungannya dengan proses-
proses fotofisiologi di dalam tumbuhan. Pada bagian berikutnya akan dibahas
tentang aspek-aspek metabolisme dari reaksi reduksi karbon dalam fotosintesis,
perbedaan-perbedaan dalam meabolisme karbon antara tumbuhan C3, C4 dan CAM
dan aspek-aspek lingkungan yang mempengaruhi fotosintesis.

CAHAYA MATAHARI SEBAGAI SUMBER ENERGI

Cahaya memiliki sifat partikel dan gelombang. Sebagai gelombang, cahaya di kenali
berdasarkan panjang gelombangnya (λ) yang menunjukkan jarak antara dua puncak.
Satuan lain yang sering digunakan dalam gelombang cahaya adalah frekuensi (ν),
yang menunjukkan jumlah puncak gelombang yang melewati suatu titik pada periode
waktu tertentu. Hubungan antara panjang gelombang, frekuensi dan kecepatan dapat
dituliskan sebagai:
c=λν
Dimana c adalah kecepatan gelombang cahaya (3.0 x 108 m/dt)
Cahaya matahari merupakan gelombang elektromagnetik dengan spektrum
yang sangat luas mulai dari panjang gelombang kurang dari 10-3 hingga lebih dari
1010. Namun mata kita hanya sensitive terhadap sebegian kecil dari gelombang
cahaya, yaitu yang dikenal dengan cahaya tampak, pada kisaran panjang gelombang
antara lebih kurang 350-750 nm. Gambaran tentang spektrum cahaya, panjang
gelombang dan energinya dapat dilihat pada Gambar 1.

sinar infra Gelombang Gelomban


sinar X UV
Gamma me rah mikro g radio

Cahaya Tampak

380 450 500 550 600 650 700 750 nm

Peningkatan
Peningkatan Energi

Gambar 1. Radiasi gelombang elektromegnetik dengan spektrum cahaya tampak


sebagai bagian kecil dari energi yang dihasilkan matahari yang sampai
ke permukaan bumi.

Di lain pihak cahaya juga mempunyai sifat sebagai suatu partikel yang satuan
terkecilnya disebut sebagai foton. Setiap foton memiliki sejumlah energi yang disebut
quantum (jamak: quanta). Besarnya energi dari foton tergantung frekuensinya, yang
dapat digambarkan dengan rumus berikut:

λ = hv
Eq = hc /λ

Dimana h adalah tetapan yang disebut sebagan Konstanta Plank yang besarnya
adalah 6.62 x 10-34 Joul detik/foton, sedangkan c adalah kecepatan cahaya (3.0 x 108
m per detik). Dengan demikian, foton dari cahaya merah dengan panjang gelombang
660 nm memiliki energi sebesar:

[(6.62x10-34J det foton-1)(3x108m det-1)]/(6.6 x 10-7m) = 3.01 x 10-19 J.foton-1

Semakin besar panjang gelombang akan menurunkan tingaket energi dari foton.

Dengan melihat cahaya sebagai gelombang, tumbuhan memiliki respons yang


berbeda beda terhadap cahaya tergantung pada panjang gelombangnya. Berkaitan
dengan ini cahaya merah (l.k. 670 nm) dan biru (l.k. 425 nm) adalah yang paling
besar pengaruhnya terhadap proses fotosintesis. Pengaruh kedua jenis spektrum ini
terlihat baik pada tingkat selular/molekular maupun pada tingkat pertanaman di
lapangan. Artinya, pada tingkat molekular dapat dilihat dari respon pigmen yang
berperan dalam fotosintesis, yaitu klorofil maupun karoten. Sebagai contoh saja
klorofil memiliki puncak spektrum aksi pada kisaran cahaya biru dan merah. Hal ini
menunjukkan bahwa pigment tersebut menyerap sangat banyak spektrum cahaya biru
dan merah, sedangkan cahaya lain khusunya cahaya hijau (panjang gelombang 550
nm) praktis dipantulkan hampir seluruhnya. Inilah yang menyebabkan mengapa di
mata kita daun berwarna hijau. Perhatikan spektrum aksi dari beberapa pigmen pada
daun tumbuhan yang berperan proses fotosintesis (Gambar 2).
Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh respon tumbuhan secara utuh. Yaitu
apabila tumbuhan disinari dengan berbagai panjang gelombang, maka laju fotosintesis
neto akan mencapai puncaknya pada kisaran panjang gelombang biru dan merah
(Gambar 2). Sedangkan pada cahaya hijau atau infra merah, laju fotosintesis yang
terjadai sangat rendah. Kesesuaian antara respon pigmen tumbuhan (klorofil) dan
respon tumbuhan secara utuh terhadap kedua jenis spektrum cahaya tersebut
memperkuat hipotesis bahwa spektrum aksi fotosintesis tumbuhan adalah pada cahaya
biru dan merah yang nanti akan kita bahas pada bagian berikutnya.

Panjang gelombang
efektif untuk fotosintesis
Laju Fotosintesis

Absorbsi cahaya
oleh klorofil a

400 500 600 700

Panjang Gelombang (nm)


Biru Hijau Kuning Jingga Merah

Gambar 2. Spektrum aksi fotosintesis secara umus pada kisaran gelombang biru dan
merah. Garis yang utuh menggambarkan spektrum absorbsi pigmen
klorofil dan garis putus-putus menggambarkan kisaran panjang gelombang
yang efektif untuk fotosintesis.

Penyerapan cahaya dan konversi energi

Apabila suatu pigment menyerap cahaya, maka akan terjadi transfer energi.
Suatu molekul klorofil yang ada dalam keadaan tingkat energi terendah dikenal
sebagai dalam keadaan ground state yang dilambangkan dengan Chl. Apabila
molekul klorofil menyerap energi foton maka klorofil tersebut akan mengalami
eksitasi dan memiliki tingkat energi yang lebih tinggi yang sering dilambangkan
dengan Chl*. Secara persamaan matematik dapat dituliskan:

Chl + hv ! Chl*
Apabila hal ini terjadi, maka distribusi elektron dan tingkat energi dari klorofil
tersebut akan berbeda (Chl* memiliki tingkat energi yang berbeda dengan Chl).
Karena masing-masing spektrum dan panjang gelombang memiliki tingkat energi
yang berbeda, maka cahaya biru memiliki pengaruh yang berbeda dengan cahaya
merah. Secara skematis pengaruh kedua cahaya tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Karena cahaya biru memiliki tingkat energi yang lebih besar dari cahaya merah, maka
klorofil yang menyerap cahaya biru akan memiliki tingkat energi tertinggi. Namun
dalam kondisi ini biasanya klorofil tidak stabil dan biasanya akan segera melepaskan
energinya ke sekitarnya dalam bentuk energi panas yang kemudian memasuki tingkat
energi yang lebih rendah (fase tereksitasi terendah), yang tingkat energinya relatif
sama dengan apabila menyerap spektrum merah (Gambar 3).

Status tereksitasi
Biru tertinggi Biru

Panas -
hilang
Absorpsi cahaya biru

Status tereksitasi
Merah
terendah
Merah
Reaksi fotokimia
cahaya merah

Panas absorpsi
Absorpsi

Fluorescence Fluorescence

Ground state

Gambar 3. Pada bagian sebelah kiri menggambarkan peningakatan status energi dari
klorofil yang mendapatkan penyinaran dengan cahaya biru (status
tereksitasi tertinggi)dan merah (status tereksitasi rendah) dan penyaluran
energi hingga klorofil kembali pada fase dasar (ground state). Pada
bagian kanan digambarkan spektrum aksi cahaya biru dan merah dan
spektrum dari hasil fluorescence.

Pada tingkat tereksitasi terendah inilah beberapa kemungkinan penyaluran energi


terjadi. Kemungkinan pertama energi akan segera dilepaskan kembali dalam bentuk
panas, dan ini umumnya yang cukup besar terjadi pada tumbuhan di alam.
Kemungkinan kedua, energi akan dimanfaatkan untuk reaksi fotokimia dari
fotosintesis untuk membentuk ATP dan NADPH. Besarnya/proporsi energi yang
digunakan untuk proses-proses fotokimia ini sering juga disebut sebagai
photochemical quenching. Kemungkinan ketiga, energi akan dilepaskan perlahan
secara radiatif sebagai foton pada panjang gelombang yang lebih panjang yaitu
melalui fluorescence (Gambar 3). Kemungkinan keempat klorofil mungkin akan
menyalurkan energinya kepada molekul lain seperti molekul oksigen. Peristiwa ini
merupakan salah satu konsekuensi dari tumbuhan yang hidup pada keadaan oksidatif,
banyak mengandung oksigen, sehingga oksigen yang menerima energi itu bisa
berubah menjadi radikal bebas seperti anion superoksida (O2-), maupun singlet
oksigen (1O2) yang dapat menyebabkan kerusakan pada membran.
Kempat bentuk penyaluran energi ini merupakan suatu kemungkinan umum
dari meknisme energi dalam sistem cahaya fotosintesis. Pada kondisi yang
lingkungan yang baik/cocok untuk tanaman, maka penyaluran dalam bentuk reaksi
fotokimia relatif besar, sehingga proses fotosintesis akan berjalan dengan laju yang
tinggi, sejalan dengan tingginya laju transport elektron dalam reaksi terang
fotosintesis. Namun dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti
cekaman kekeringan, keasaman dan suhu rendah/tinggi, penyaluran energi ke arah
reaksi fotokimia akan mengalami hambatan. Pada suasana tersebut laju fotosintesis
tumbuhan akan menurun akibat manurunnya pembukaan stomata, sehingga
menurunkan laju pemasukan CO2 ke sisi aktif fotosintesis. Akibatnya kebutuhan ATP
dan senyawa pereduksi (NADPH) pun menurun, sehingga laju transport elektron
terhambat. Jika hal ini terjadi tumbuhan mungkin akan memperbanyak penyaluran
energi ke dalam bentuk panas yang dalam istilah sering disebut non-photochemical
quenching. Jika penyaluran energi dalam bentuk panas ini tidak terjadi dengan baik
maka klorofil mungkin akan mentransfer energinya ke oksigen sehingga
menghasilkan oksigen radikal. Keadaan yang demikian jika terjadi, maka tumbuhan
akan mengalami stres oksidasi (oxidative stress). Walaupun demikian, tumbuhan
memiliki mekanisme penghindaran terhadap keadaan seperti ini, yang akan dibahas
pada bagian fisiologi stress.
Pada pembahasan kita selanjutnya akan lebih banyak kita lihat energi yang
disalurkan untuk reaksi fotokimia. Karena energi inilah yang akan dimanfaatkan
untuk proses fotosintesis. Perubahan energi ini sangat unik dan khas, dimana energi
gelombang elektromegnetik dari cahaya matahari dirubah menjadi energi kimia yaitu
dalam bentuk ATP dan NADPH.

Sistem cahaya I (PSI) dan II (PSII) dalam fotosintesis tumbuhan tinggi


Dalam pengaturan sistem penyerapan energi khususnya pada tumbuhan tinggi
terdapat dua sistem cahaya (photosystem, disingkat PS), yaitu sistem cahaya I (PSI)
dan sistem cahaya II (PSII). Fungsi dan kerja dari kedua sistem cahaya ini telah
dibuktikan dalam percobaan yang dilakukan oleh Emerson pada akhir tahun 1950 an.
Dia mengukur laju fotosintesis dengan dua panjang gelombang yang berbeda yaitu
merah (680 nm) dan merah jauh (700 nm) serta gabungan keduanya. Dia mendapati
bahwa penyinaran dengan sinar keduanya menghasilkan laju fotosintesis yang jauh
lebih tinggi dari pada total laju fotosintesis hasil penyinaran dengan cahaya tunggal
saja (Gambar 4). Hasil percobaan ini telah mendukung ditemukannya dua komplek
sistem fotokimia yang dikenal dengan sistem cahaya I dan sistem cahaya II (PSI dan
PSII) yang bekerja secara berurutan untuk mengahasilkan simpanan energi
fotosintesis.
Sistem cahaya I menyerap cahaya pada panjang gelombang lebih dari 680 nm
atau disebut sebagai cahaya merah-jauh (far-red light), sehingga sering dilambangkan
sebagai sistem cahaya pada 700 nm atau (P700); sementara sistem cahaya II (PSII)
bekerja pada panjang gelombang 680 nm atau cahaya merah, dan tidak bekerja
dengan cahaya merah jauh, sehingga sering disebut sebagai P680. Ketergantungan
dari kedua sistem cahaya terhadap panjang gelombang yang spesifik ini menyebabkan
kedua sistem cahaya ini memiliki perbedaan ciri yang cukup menyolok, yaitu:
- PSI dalam kerjanya dapat menghasilkan reduktan yang kuat sehingga dapat
mereduksi NADP+ menjadi NADPH, dan menghasilkan oksidan yang lemah.
- PSII sebaliknya menghasilkan oksidan yang kuat sehingga mampu
mengoksidasi air (H2O) menjadi oksigen dan lemah kemampuannya
mereduksi.
Karena keduanya memiliki kemampuan yang berbeda yang saling melengkapi, maka
kedua sistem cahaya ini bekerja secara paralel. Keduanya dihubungkan oleh adanya
rangkaian transport elektron. Hubungan antara kedua sistem cahaya ini (PSI dan
PSII) dapat digambarkan pada skema berikut (Gambar 5).

Kombinasi
merah -
merah jauh

Merah jauh Merah

Gambar 4. Efek peningkatan dari cahaya. Jika cahaya merah (680 nm) dan merah
jauh (700 nm) diberikan pada tumbuhan, maka peningkatan laju
fotosintesis jauh lebih besar dari pada saat tumbuhan mendapatkan hanya
satu jenis panjang gelombang.
Reduktan kuat
e-
Reduktan lemah P700* NADP+
P680*
e-
NADPH
H2 O Rantai transport e -
elektron
-
e-
e Oksidan lemah
-
e P700
Oksidan kuat
P680 PSI
O2 + H+ PSII Cahaya merah-jauh

Cahaya merah

Gambar 5. Hubungan antara sistem cahaya I dan II, spektrum kerja dan
kemampuannya dalam mengoksidasi dan mereduksi.
Walaupun mekanisme kerja dari kedua sistem cahaya tersebut berjalan paralel
sebagaimana pada Gambar 5, kedua sistem cahaya ini kedudukannya di dalam
membran tilakoid tidak berada dalam posisi yang saling berdampingan. Sistem
cahaya II (PSII) umumnya banyak di jumpai pada membran tilakoid yang saling
bertumpukan (seperti piring) di dalam granum, sedangkan sistem cahaya I (PSI)
terdapat pada membran yang tidak berada di dalam granum tapi di bagian tepi yaitu
yang berada dalam/menghadap stroma (Perhatikan Gambar 6).

Gambar 6. Pengaturan kompleks protein pada membran tilakoid (garis tebal warna
gelap). Sistem cahaya II (PSII) (dilambangkan dengan oval) umumnya
terdapat pada bagian membran tilakoid yang saling bertumpuk dalam
granum, sedangkan sistem cahaya I (PSI) (digambarkan dengan lambang
jantung) terdapat pada bagian yang tidak bertumpuk dan di bagian
membran yang ada di stroma, demikian juga kompleks protein ATP-
sintase (dilambangkan seperti lingkaran lonjong dan tongkat). Di sela-
sela antara PSII umumnya ditempati oleh komplek pemanen cahaya
(Light harvesting complex).

Dari gambaran ini jelas bahwa kedua sistem cahaya ini letaknya agak terpisah.
Dari hasil percobaan juga menunjukkan bahwa di dalam kloroplas, jumlah PSII relatif
lebih banyak dari pada PSI dengan perbandingan berkisar 1.5:1, walaupun
perbandingan ini mungkin berubah tergantung kondisi cahaya. Pemisahan ini
mengindikasikan bahwa beberapa molekul pembawa elektron yang menjembatani
PSII dan PSI akan tersedia sehingga elektron dapat berdifusi dan ditransfer dari
bagian grana ke bagian stroma.

PERAN PIGMEN FOTOSINTESIS (KLOROFIL) DAN PENYALURAN ENERGI


Dalam reaksi terang fotosintesis, salah satu elemen yang sangat penting adalah
pigmen tumbuhan. Pada tumbuhan tinggi pigmen yang ada dan berperan dalam
fotosintesis adalah klorofil a, klorofil b dan karotenoid. Klorofil a memiliki peran
sentral untuk menyerap dan menyalurkan energi cahaya ke pusat reaksi untuk
mengeksitasi elektron. Klorofil b dan karoten berperan penting sebagai pigmen
antena. Pada beberapa jenis bakteri, seperti bakteri belerang, yang berperan penting
dalam pusat reaksi adakah pigmen bekterioklorofil. Pada beberapa organisme,
pigmen lain yang ikut berperan juga adalah pikobiliprotein.
Secara mayoritas peran pigmen-pigmen tersebut adalah sebagai kompleks
antena (light-harvesting antenna complex LHC) yang mengumpulkan cahaya untuk
diberikan kepada pusat reaksi (reaction centre complex) dimana terjadi reaksi-reaksi
oksidasi reduksi untuk menyimpan energi jangka-panjang (long-term energy).
Gambaran tentang hubungan antara kompleks antena dan pusat reaksi seperti terlihat
pada Gambar 7 berikut.
Struktur dari kompleks antena (LHCII) telah diteliti dengan kombinasi
pengamatan menggunakan mikroskop elektron dan kristalografi elektron oleh
penelitia dari Jerman (Kuhlbrandt dan kawannya tahun 1994). Struktur ini terdiri dari
kombinasi tiga ulir-α yang mengikat sekitar 15 molekul klorofil a dan b dan sedikit
karotenoid. Sketsa gambar LHCII dapat dilihat pada Gambar 8. Cahaya yang diserap
oleh karoten atau klorofil b di dalam LHC segera ditransfer ke klorofil a dan pigmen
antena lainnya yang dekat hubungannya dengan pusat reaksi .

Kompleks antena LHC Pusat reaksi

Molekul pigmen
Akseptor
e-

Pusat Reaksi

Donor
e-

Transfer energi Transfer elektron

Gambar 7. Konsep dasar penyaluran energi dalam fotosintesis. Beberapa pigmen


yang berperan sebagai antena menyerap energi yang kemudian
disalurkan ke pusat reaksi dimana reksi-reaksi kimia terjadi, yaitu energi
disalurkan dari pigmen klorofil ke molekul penerima elektron.
Membran
tilakoid

Gambar 8. Kompleks antena pada PSII (Light harvesting complex, LHCII).


Kompleks ini terdiri dari protein trimerik yang mengandung klorofil a, b
dan karotenoid. Kompleks ini berada di bagian pinggir dari pusat reaksi.

Pusat reaksi
Penelitian terhadap pusat reaksi dari sistem cahaya II (PSII) menunjukkan
bahwa kompleks ini terdiri dari banyak unit protein yang kompleks. Sebagai titik
utama dari dari pusat reaksi adalah dua jenis protein yang dikenal dengan protein D1
dan D2 dilengkapi dengan protein lainnya seperti CP43 dan CP47. Pada PSII
tumbuhan tinggi biasanya terdapat dua pusat reaksi dilengkapi dengan beberapa
kompleks antena (LHCII), sehingga disebut sebagai dimeric multisubunit protein.
Gambar 9 memperlihatkan sketsa PSII dilihat dari bagian lumen tilakoid, yaitu pusat
reaksi yang dari dimer kompleks protein D1 dan D2 dan kompleks antena. Selain itu
pada pusat reaksi juga terdapat protein ektrinsik yang berperan dalam pemecahan air
membentuk oksigen.
Pusat reaksi dari PSI dan PSII menyerap cahaya dengan panjang gelombang
yang berbeda. Pusat reaksi dari sistem cahaya I (PSI) menyerap cahaya secara
maksimal pada panjang gelombang 700 nm. Itulah sebabnya klorofil pada PSI
disebut sebagai P700 (P berasal dari kata Pigmen). Adapun PSII menyerap cahaya
maksimum pada panjang gelombang 680 sehingga disebut sebagai P680. Pada
bakteri fotosintetik ungu dengan pigmen pada pusat reaksinya bakterioklorofil
menyerap cahaya maksimum pada panjang gelombang 870 nm sehingga disebut
sebagai P870.
LHCII
CP26

Kompleks antena
CP43 CP29

D1
CP47
D2
D2 Pusat reaksi
CP47

D1
CP29 CP43

CP26
LHCII

Gambar 9. Struktur dari kompleks protein PSII pada tumbuhan tinggi yang terdiri
dari sepasang protein kompleks pusat reaksi dan kompleks antena. Pusat
reaksi meripakan padangan (dimer) kompleks protein D1 dan D2 serta
CP43 dan CP47.

Mekanisme Transport Elektron

Sebagaimana yang telah dijalaskan terdahulu bahwa tumbuhan tinggi memiliki


dua jenis sistem cahaya (PSI dan PSII) yang berjalan secara berturutan, maka pada
pokok bahasan ini akan kita lihat mekanismenya secara agak mendetail. Mekanisme
ini melibatkan proses transport elektron yang bersumber dari H2O melewati dua
sistem cahaya yang akhirnya diterima oleh penerima elektron terakhir yaitu NADP+.
Secara skematis lintasan elektron ini membentuk formasi huruf “Z” sehingga dikenal
sebagai skema Z (zigzag). Dalam rangkaian proses ini melibatkan sekurangnya 4
kompleks protein utama, yaitu: sistem cahaya II (PSII), kompleks sitokrom b6f, sistem
cahaya I (PSI) dan kompleks ATP sintase. Keempat kompleks protein ini berada di
dalam membran tilakoid yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 10.
Secara garis besar keempat kompleks protein tersebut memiliki fungsi yang
saling terkait sebagai berikut:
1. Sistem cahaya II (PSII) mengoksidasi air menjadi oksigen dengan melepaskan
proton ke dalam lumen (bagian dalam tilakoid).
2. Kompleks sitokrom b6f menerima elektron dari PSII kemudian mengirimnya
ke PSI dengan disertai juga pemompaan proton dari stroma ke lumen.
3. Sistem cahaya I (PSI) mereduksi NADP+ menjadi NADPH di dalam stroma
dengan bantuan feredoksin dan enzim Flavoprotein-NADP reduktase (FNR).
4. Kompleks ATP sintase memproduksi ATP dengan memanfaatkan energi yang
diperoleh dari kembalinya proton (H+) berdifusi dari lumen ke stroma.
(Lumen)

P700* 5

Ao

A1
P680* FsSx
FsSA
Pheo
1 FsSB
3
QA Fd 6

QB Sit b FNR
H2O
Q
2 1 FeSR NADP+
Sit f
Kompleks
pembentukan 4 PC
NADPH
Oksigen P700*

YZ Cahaya
O2 + H+ P680
Cahaya

Gambar 10. Formasi kompleks protein yang bekerja dalam konversi energi cahaya
menjadi ATP dan NADPH di dalam membran tilakoid dengan
melibatkan kompleks PSII, sitokrom, PSI dan enzim ATP sintase (atas)
dan sistem transport elektron antara PSII dan PSI dengan konsep “Z”
(bawah).

Secara detail rangkaian transport elektron ini memiliki tahap-tahap


sebagaimana yang dijelaskan pada Gambar 10 (bawah). Pada tahap pertama (1) baik
pada PSII maupun PSI, pusat reaksi akan menyerap foton dan pada PSII, klorofil yang
tereksitasi akan mentransfer elektronnya ke feofitin (Pheo). Pada sisi oksidasi dari
PSII akibat teroksidasi oleh cahaya (memberikan elektronnya), maka akan direduksi
kembali oleh Yz yang menerima elektron dari air (2). Pada sisi reduksi PSII (P680*),
feofitin mentransfer elektronnya ke akseptor plastoquinon QA dan QB (3). Selanjutnya
sitokrom b6f akan mentransfer elektronnya ke plastosianin sehingga mereduksi P700
(4). Elektron selanjutnya akan melalui satu seri protein besi-sulfur (FeSx, FeSA,
FeSB) dan mentransfernya ke feredoksin, Fd (5). Dan akhirnya digunakan oleh
kompleks enzim feredoksin-NADP reduktase (FNR) untuk mereduksi NADP+
menjadi NADPH.
Dalam proses transfer elektron ini, salah satu komponen yang cukup berperan
penting khususnya dalam membangkitkan gradien H+ antara lumen dan stroma adalah
kompleks sitokrom b6f. Kompleks ini selain menyediakan tempat bagi aliran
elektron juga berperan dalam mentransfer proton (H+) dari stroma ke lumen.
Kompleks protein ini terdiri dari banyak subunit yang memiliki dua hame tipe b dan
satu heme tipe c (sitokrom f). Selain itu juga mengandung kompleks protein besi-
sulfur Rieske (FeSR). Komponen-komponen ini berperan penting dalam transport
elektron dan pemompaan proton. Gambar 11 memberikan penjelasan ringkas tentang
mekanisme transfer elektron dan pemompaan proton pada kompleks sitokrom b6f.

Oksidasi QH2 pertama


Stroma _ Q
*
Q e-
QH2 Cyt b
PSII e - Cyt b PSI
e-
Q
e-
e- FeSR
Lumen Cyt f PC
2H+
e-

Oksidasi QH2 kedua

Stroma 2H+ Q*
-
e
QH2 Cyt b
PSII e - Cyt b PSI
QH2 e-
Q
- e-
e FeSR
Cyt f PC
Lumen +
2H
e-

Gambar 11. Diagram transport elektron dan pemompaan proton pada sitokrom b6f
berlangsung melalui oksidasi plastohidroquinon (QH2) dalam dua tahap
untuk memompa 4 H+ dari stroma ke lumen dan mentransfer 2 elektron
ke PSI.

Pada tahap pertama, plastohidroquinon (QH2) yang dihasilkan dari proses dalam PSII
dioksidasi sehingga mentransfer 2 elektronnya ke protein FeSR dan sitokrom b
bersamaan dengan pemompaan proton ke lumen. Elektron yang diterima FeSR
diberikan ke sitokrom f kemudian plastosianin dan terakhir untuk mereduksi PSI.
Elektron satunya akhirnya ditransfer ke quinon (Q) membentuk semiquinon Q*.
Tahap berikutnya QH2 yang kedua dioksidasi dan proses transfer elektron berjalan
hampir sama dengan tahap pertama. Namun dari sitokrom b elektron diberikan
semiquinon membentuk QH2 dengan mengambil proton (2H+) dari stroma. Kesemua
proses memnyebabkan terjadinya pemompaan 4 proton dari stroma ke lumen untuk
setiap 2 elektron yang ditransfer ke PSI (P700).

Aliran elektron siklik memproduksi ATP tanpa pembentukan NADPH


Seperti dijelaskan sebelumnya, PSII dan PSI berada pada jenis membran yang
berbeda (Gambar 6). Walaupun demikian kompleks sitokrom b6f terdapat baik di
dalam daerah grana maupun stroma dimana PSI berada. Keberadaan ini
memungkinkan dalam kondisi tertentu terjadi lintasan elektron dari sisi reduksi P700
(PSI) kemudian melewati kompleks sitokrom b6f dan kembali ke P700. Kejadian ini
disebut sebagai lintasan elektron siklik. Jika ini terjadi maka tidak akan terbentuk
NADPH, karena elektron tidak diterimakan NADP+ tetapi kembali lagi ke sisi
oksidasi dari P700. Pada waktu terjadi lintasan elektron siklik, P700 tidak
memerlukan tambahan elektron dari PSII, sehingga independen terhadap PSII.
Lintasan elektron siklik untuk memproduksi banyak ATP terutama penting bagi
kloroplas sel-sel seludang pembuluh pada tumbuhan C4. Aliran elektron siklil juga
penting bagi tumbuhan dalam menghadapi stress khususnya pada awal periode stres.

Aksi herbisida dalam menghentikan aliran elektron pada PSII dan PSI
Aliran elektron merupakan bagian penting dari proses pemanenan energi untuk
membentuk ATP. Oleh karenanya terhentinya aliran elektron akan menyebabkan
terjadinya kondisi kritis yang membahayakan tumbuhan, karena tumbuhan kehilangan
kemampuan mensintesis ATP. Kejadian ini akan dialami apabila tumbuhan
disemprot dengan herbisida tertentu. Satu jenis herbisida dikenal sebagai
diuron/DCMU (diklorofenil dimetil urea), yang dapat memblok aliran elektron dari
PSII dengan bertindak sebagai kompetitor situs aktif dari plastoquinon QB (Gambar
12). Jenis herbisida lain yang dikenal sebagai paraquat dapat memblok aliran elektron
pada PSI ke NADP+ dengan bertindak sebagai penerima elektron kemudian
mereaksikannya dengan oksigen membentuk superoksida O2- atau spesies oksigen
reaktif yang dapat merusak komponen lipid dari membran kloroplas. Kedua senyawa
tersebut menyebabkan kerusakan dan kematian pada tumbuhan.
Paraquat
P700 *

P680* DCMU NADP+

QA
QB
NADPH
H2O
P700
O2
P680

Gambar 12. Mekanisme aksi dari dua jenis herbisida (DCMU dan paraquat), yaitu
menghambat aliran elektron pada PSII dan PSI.
Transport proton dan sintesis ATP melalui mekanisme kemiosmosis
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa aliran elektron melintasi pembawa
elektron dan kompleks sitokrom b6f menyebabkan terjadinya pemompaan proton dari
atroma ke lumen. Akibatnya terjadi perbedaan konsentrasi proton antara lumen yang
sangat banyak konsentrasi H+ dan stroma yang rendah konsentrasi H+nya. Perbedaan
ini sebagaimana hukum termodinamika menyebabkan adanya sumber energi bebas.
Dari sisi potensial listrik, lumen lebih bermuatan positif dari pada stroma. Selain itu
perbedaan konsentrasi H+ juga menyebabkan terjadinya perbedaan pH antara lumen
yang sangat asam dan stroma yang lebih bersifat alkalin. Adanya perbedaan inilah
yang memungkinkan terjadinya aliran H+ dari lumen ke stroma melalui suatu protein
saluran yang terlibat dengan pembentukan ATP, yaitu enzim ATP sintase. Paristiwa
ini dikenal dengan mekanisme kemiosmosis.
Bukti tentang terjadinya kemiosmosis dalam sintesis ATP telah ditunjukkan
dengan suatu percobaan yang sangat bagus oleh Andre Jagendorf dan koleganya.
Mereka membuat suspensi tilakoid dari kloroplas dalam larutan bufer per pH 4 selama
beberapa waktu hingga seluruh bagian dari tilakoid baik bagian lumen maupun bagian
stroma ber-pH 4. Kemudian secara cepat suspensi tilakoid tersebut dipindahkan ke
dalam larutan bufer per-pH 8. Tak lam kemudian didapati sejumlah besar ATP yang
terbentuk dari ADP dan Pi melalui proses ini walaupun dilakukan tanpa cahaya dan
tanpa transfer elektron.
Dalam menjelaskan pemebentukan ATP ini Mitchell mengajukan rumusan
bahwa energi yang tersedia untuk sintesis ATP (∆p) adalah merupakan jumlah
potensial kimia proton dan potensial lisntrik antar membran dengan rumus umum:
∆p = ∆E – 59(pHi – pHo)
∆E adalah potensial listrik antar membran
pHi – pHo (∆pH) adalah perbedaan pH antar membran
angka 59 adalah konstanta proporsionalitas per unit pH pada suhu 25oC.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, enzim ATP sintase sebagaimana PSI


hanya terdapat pada bagian stroma atau pada membran yang tidak memebentuk
tumpukan. Dengan demikian pembentukan ATP hanya terjadi di bagian tersbut.
Sehingga proton yang dihasilkan dari kompleks sitokrom b6f maupun dari oksidasi air
di bagian tengah grana harus bergerak menuju lokasi dimana ATP sintase berada.
Posisi enzim ATP sintase di dalam membran mungkin juga terkait dengan
struktur protein in yang relatif besar (400 kDa). Selain ATP sintase, enzim ini juga
dikenal sebagai ATP-ase (jika terkait dengan hidrolisis ATP atau pemnfaatan ATP
menjadi ADP). Enzim ini terdiri daru dua bagian, yaitu baguan yang hidrofobik (CFo)
dan bagian yang menempel pada stroma (CF1). CFo terbenam dalam membran
membentuk saluran sehingga proton (H+) dapat melewati saluran ini. CF1 tersusun
dari beberapa peptida termasuk tiga pasang peptida α dan β yang susunannya
menyerupai kupasan buah jeruk. Hal yang menarik dari susunan ATP sintase ini
adalah bahwa bagian dari CFo dapat berputar saat terjadi reaksi. Gambar struktur
ATP sintase dapat dilihat pada Gambar 13.

Sistem pengaturan dan perbaikan perangkat fotosintesis


Makhluk yang berfotosintesis akan selalu dihadapkan pada kondisi yang mungkin
membahayakan dan merusak. Hal ini karena penyerapan energi dari cahaya matahari
mungkin berlebih dibandingkan dengan kebutuhannya untuk menjalankan reaksi-
reaksi biokimia. Contoh kasus umum yang sering terjadi adalah ketika tumbuhan
mengalami cekaman suhu rendah, kekeringan atau cekaman lainnya, tumbuhan akan
menutup stomatanya untuk mengurangi penguapan. Akibatnya tumbuhan mengalami
penurunan laju fotosintesis karena CO2 yang masuk melalui stomata terhambat. Pada
saat cahaya tinggi keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan yang serius,
karena energi yang besar dari cahaya matahari tidak bisa dimanfaatkan untuk reaksi
biokimia dengan baik. Akibat kelebihan (ketidak seimbangan pemanfaatan) energi
tersebut dapat menyebabkan terbentuknya senyawa beracun yang dikenal dengan
istilah reactive oxygen species (ROS), seperti superoksida, singlet oksigen, dan
peroksida. Senyawa-senyawa ini jika terakumulasi dalam jaringan dapat merusak
komponen lemak membran sehingga menyebabkan kerusakan pada kloroplas.
Kejadian ini dikenal dengan istilah fotoinhibition (gejala hambat cahaya), yaitu
terjadinya hambatan fotosintesis akibat energi cahaya tinggi yang tidak dapat
disalurkan secara baik oleh tumbuhan yang sedang mengalami kondisi cekaman
tertentu sehingga menimbulkan kerusakan.
Karena variasi yang tinggi dari lingkungan, menyebabkan tumbuhan hampir
selalu menghadapi kondisi yang membahayakan di atas. Oleh karenanya adalah
karunia Tuhan bahwa tumbuhan memiliki berbagai mekanisme penyelamatan
terhadap kemungkinan hambat cahaya. Secara sederhana mekanisme penyelamatan
itu meliputi beberapa tahap:
1. Tahap dasar yang dimiliki tumbuhan, yaitu dengan pengaturan sistem pigmen
antena, sehingga energi yang diterima dapat terdistribusi dengan tepat
termasuk keseimbangan antara PSII dan PSI.
2. Penyaluran termal. Mekanisme kedua ini adalah mekanisme yang penting dan
terdepan setelah pengaturan sistem antena. Dalam keadaan cekaman,
mekanisme ini diduga adalah sistem penyaluran energi paling efektif dan
paling besar. Untuk mekanisme ini diperlukan suatu rangkaian proses yang
melibatkan beberapa reaksi kimia antara lain melalui siklus xantofil yang akan
dibahas kemudian.
3. Pengaturan pada tingkat biokimia. Pada tumbuhan C3 penurunan fotosintesis
akibat penutupan stomata saat stress biasanya diikuti dengan peningkatan
fotorespirasi yang cukup tajam, sehingga secara biokimiawi energi hasil
reaksi terang masih tetap terpakai. Walaupun fotosintesis neto mengalami
penurunan, yaitu akibat meningkatnya fotorespirasi.
4. Peningkatan fungsi dari sistem antioksidan. Ini biasanya terkait dengan
meningkatnya pembentukan oksidan termasuk radikal bebas dari reactive
oxygen species. Beberapa mekanisme melibatkan enzim seperti enzim
superoksida dismutase (SOD), glutation reduktase (GR), askorbat peroksidase
(APX), atau melibatkan senyawa-senyawa antioksidan seperti asam askorbat,
α-tokoferol, glutation, β-karoten dan sebagainya.
5. Sistem pemilihan dan sintesis komponen yang rusak. Beberapa percobaan
menunjukkan bahwa kerusakan pada komponen protein D1 pada PSII terjadi
akibat cekaman suhu rendah. Kerusakan yang serius biasanya terkat juga
dengan lambatnya kemampuan tumbuhan untuk mereparasi kerusakan
termasuk pembentukan kembali protein D1.

Salah satu mekanisme penting dalam penyaluran energi saat tumbuhan mengalami
kelebihan energi adalah disalurkan melalui panas. Peristiwa ini dikenal sebagai non-
photochemical quenching, yaitu penyaluran klorofil fluorescence bukan untuk reaksi
biokimia tetapi dalam bentuk pelepasan panas. Akibatnya sebagian besar dari hasil
eksitasi di dalam sistem antena yang telah mendapat cahaya yang banyak dilepaskan
dalam bentuk panas. Mekanisme ini diyakini berperan penting dalam melindungi
perangkat fotosintesis dari eksitasi yang berlebihan sehingga terhindar dari kerusakan.
Walaupun mekanisme yang pasti belum ditemukan, mekanisme ini melibatkan
senyawa-senyawa karotenoid yang disebut xantofil. Ada 3 jenis senyawa xantofil
yaitu violaksantin, anteraksantin dan zeaksantin yang terlibat dalam mekanisme
penyaluran energi melalui panas.
Ketiga senyawa xantofil tersebut saling berinterkonfersi sejalan dengan
perubahan cahaya yang diterima tumbuhan. Ketika cahaya sangat tinggi violaksantin
akan dirubah menjadi zeaksantin melalui intermediat anteraksantin. Jika intensitas
cahaya menurun yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu zeaksantin akan diubah menjadi
violaksantin. Perubahan ini diduga berkaitan dengan perubahan pH dari lumen.
Ikatan antara proton dan zeaksantin dengan protein antena pemanen cahaya (LHC)
diduga menyebabkan perubahan konformasi yang menyebabkan terjadinya pelepasan
panas. Proses ini berkaitan dengan peran dari protein PsbS di dalam PSII.

Mekanisme penyaluran energi dan pencegahan terhadap kerusakan akibat cahaya


tinggi

LIGHT

Adjustment of
Chl antenna size

Light harvesting

Thermal dissipation
Photochemistry

CO2 fixation
Photorespiration
Water-water cycle
PS I cycle e- transport Generation of
Oxidizing molecules

Antioxidant systems
Target of photo-oxidative damage
Repair and
New synthesis
Net photodamage

Photoinhibition
Enzim ATP sintase

Anda mungkin juga menyukai