PENDAHULUAN
Matahari telah diciptakan Tuhan sebagai sumber energi yang sangat besar bagi alam
ini. Fotosintesis merupakan satu-satunya proses di alam ini yang dapat memanen
energi yang berasal dari cahaya matahari menjadi energi kimia yang sangat berguna
bagi semua makhluk hidup. Bahkan dengan proses ini sumber daya energi bagi
kehidupan telah disediakan baik melalui proses yang telah berjalan berabad-abad yang
lalu seperti tumpukan batubara dan cadangan minyak maupun berbagai jenis
tumbuhan yang hingga hari ini masih tumbuh. Oleh karenanya mempelajari aspek-
aspek dasar dari pemanenan energi ini khususnya pada tumbuhan merupakan sesuatu
yang sangat penting baik dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan kita saat
ini maupun sebagai upaya memelihari kelestarian sumber energi ini untuk masa
mendatang.
Secara sederhana fotosintesis merupakan proses pemanfaatan energi matahari
untuk membentuk senyawa karbohidrat dari senyawa sederhana yang ada di alam
yaitu gas CO2 dan air. Secara skematis dapat dituliskan:
ENERGI
Dalam proses pembentukan karbohidrat ini diperlukan energi yang pada awalnya
berasal dari energi cahaya dari matahari. Namun pemanfaatan energi ini memerlukan
serangkaian proses sehingga energi yang ada dalam bentuk gelombang
elektromagnetik tersebut dapat diubah menjadi energi kimia (ATP dan NADPH) yang
dikenal dengan reaksi terang. Hasil reaksi terang inii (ATP dan NADPH)
selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam reaksi metabolisme khususnya reduksi CO2.
Dalam bab ini akan dipelajari terjadinya proses pemanfaatan energi ini dengan
mengawali pengenalan terhadap karakteristik energi cahaya, struktur dari piranti yang
terlibat dalam fotosintesis dan konsep dasar dari reaksi terang fotosintesis. Selain itu
juga akan dibahas beberapa aspek dari cahaya dalam hubungannya dengan proses-
proses fotofisiologi di dalam tumbuhan. Pada bagian berikutnya akan dibahas
tentang aspek-aspek metabolisme dari reaksi reduksi karbon dalam fotosintesis,
perbedaan-perbedaan dalam meabolisme karbon antara tumbuhan C3, C4 dan CAM
dan aspek-aspek lingkungan yang mempengaruhi fotosintesis.
Cahaya memiliki sifat partikel dan gelombang. Sebagai gelombang, cahaya di kenali
berdasarkan panjang gelombangnya (λ) yang menunjukkan jarak antara dua puncak.
Satuan lain yang sering digunakan dalam gelombang cahaya adalah frekuensi (ν),
yang menunjukkan jumlah puncak gelombang yang melewati suatu titik pada periode
waktu tertentu. Hubungan antara panjang gelombang, frekuensi dan kecepatan dapat
dituliskan sebagai:
c=λν
Dimana c adalah kecepatan gelombang cahaya (3.0 x 108 m/dt)
Cahaya matahari merupakan gelombang elektromagnetik dengan spektrum
yang sangat luas mulai dari panjang gelombang kurang dari 10-3 hingga lebih dari
1010. Namun mata kita hanya sensitive terhadap sebegian kecil dari gelombang
cahaya, yaitu yang dikenal dengan cahaya tampak, pada kisaran panjang gelombang
antara lebih kurang 350-750 nm. Gambaran tentang spektrum cahaya, panjang
gelombang dan energinya dapat dilihat pada Gambar 1.
Cahaya Tampak
Peningkatan
Peningkatan Energi
Di lain pihak cahaya juga mempunyai sifat sebagai suatu partikel yang satuan
terkecilnya disebut sebagai foton. Setiap foton memiliki sejumlah energi yang disebut
quantum (jamak: quanta). Besarnya energi dari foton tergantung frekuensinya, yang
dapat digambarkan dengan rumus berikut:
λ = hv
Eq = hc /λ
Dimana h adalah tetapan yang disebut sebagan Konstanta Plank yang besarnya
adalah 6.62 x 10-34 Joul detik/foton, sedangkan c adalah kecepatan cahaya (3.0 x 108
m per detik). Dengan demikian, foton dari cahaya merah dengan panjang gelombang
660 nm memiliki energi sebesar:
Semakin besar panjang gelombang akan menurunkan tingaket energi dari foton.
Panjang gelombang
efektif untuk fotosintesis
Laju Fotosintesis
Absorbsi cahaya
oleh klorofil a
Gambar 2. Spektrum aksi fotosintesis secara umus pada kisaran gelombang biru dan
merah. Garis yang utuh menggambarkan spektrum absorbsi pigmen
klorofil dan garis putus-putus menggambarkan kisaran panjang gelombang
yang efektif untuk fotosintesis.
Apabila suatu pigment menyerap cahaya, maka akan terjadi transfer energi.
Suatu molekul klorofil yang ada dalam keadaan tingkat energi terendah dikenal
sebagai dalam keadaan ground state yang dilambangkan dengan Chl. Apabila
molekul klorofil menyerap energi foton maka klorofil tersebut akan mengalami
eksitasi dan memiliki tingkat energi yang lebih tinggi yang sering dilambangkan
dengan Chl*. Secara persamaan matematik dapat dituliskan:
Chl + hv ! Chl*
Apabila hal ini terjadi, maka distribusi elektron dan tingkat energi dari klorofil
tersebut akan berbeda (Chl* memiliki tingkat energi yang berbeda dengan Chl).
Karena masing-masing spektrum dan panjang gelombang memiliki tingkat energi
yang berbeda, maka cahaya biru memiliki pengaruh yang berbeda dengan cahaya
merah. Secara skematis pengaruh kedua cahaya tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Karena cahaya biru memiliki tingkat energi yang lebih besar dari cahaya merah, maka
klorofil yang menyerap cahaya biru akan memiliki tingkat energi tertinggi. Namun
dalam kondisi ini biasanya klorofil tidak stabil dan biasanya akan segera melepaskan
energinya ke sekitarnya dalam bentuk energi panas yang kemudian memasuki tingkat
energi yang lebih rendah (fase tereksitasi terendah), yang tingkat energinya relatif
sama dengan apabila menyerap spektrum merah (Gambar 3).
Status tereksitasi
Biru tertinggi Biru
Panas -
hilang
Absorpsi cahaya biru
Status tereksitasi
Merah
terendah
Merah
Reaksi fotokimia
cahaya merah
Panas absorpsi
Absorpsi
Fluorescence Fluorescence
Ground state
Gambar 3. Pada bagian sebelah kiri menggambarkan peningakatan status energi dari
klorofil yang mendapatkan penyinaran dengan cahaya biru (status
tereksitasi tertinggi)dan merah (status tereksitasi rendah) dan penyaluran
energi hingga klorofil kembali pada fase dasar (ground state). Pada
bagian kanan digambarkan spektrum aksi cahaya biru dan merah dan
spektrum dari hasil fluorescence.
Kombinasi
merah -
merah jauh
Gambar 4. Efek peningkatan dari cahaya. Jika cahaya merah (680 nm) dan merah
jauh (700 nm) diberikan pada tumbuhan, maka peningkatan laju
fotosintesis jauh lebih besar dari pada saat tumbuhan mendapatkan hanya
satu jenis panjang gelombang.
Reduktan kuat
e-
Reduktan lemah P700* NADP+
P680*
e-
NADPH
H2 O Rantai transport e -
elektron
-
e-
e Oksidan lemah
-
e P700
Oksidan kuat
P680 PSI
O2 + H+ PSII Cahaya merah-jauh
Cahaya merah
Gambar 5. Hubungan antara sistem cahaya I dan II, spektrum kerja dan
kemampuannya dalam mengoksidasi dan mereduksi.
Walaupun mekanisme kerja dari kedua sistem cahaya tersebut berjalan paralel
sebagaimana pada Gambar 5, kedua sistem cahaya ini kedudukannya di dalam
membran tilakoid tidak berada dalam posisi yang saling berdampingan. Sistem
cahaya II (PSII) umumnya banyak di jumpai pada membran tilakoid yang saling
bertumpukan (seperti piring) di dalam granum, sedangkan sistem cahaya I (PSI)
terdapat pada membran yang tidak berada di dalam granum tapi di bagian tepi yaitu
yang berada dalam/menghadap stroma (Perhatikan Gambar 6).
Gambar 6. Pengaturan kompleks protein pada membran tilakoid (garis tebal warna
gelap). Sistem cahaya II (PSII) (dilambangkan dengan oval) umumnya
terdapat pada bagian membran tilakoid yang saling bertumpuk dalam
granum, sedangkan sistem cahaya I (PSI) (digambarkan dengan lambang
jantung) terdapat pada bagian yang tidak bertumpuk dan di bagian
membran yang ada di stroma, demikian juga kompleks protein ATP-
sintase (dilambangkan seperti lingkaran lonjong dan tongkat). Di sela-
sela antara PSII umumnya ditempati oleh komplek pemanen cahaya
(Light harvesting complex).
Dari gambaran ini jelas bahwa kedua sistem cahaya ini letaknya agak terpisah.
Dari hasil percobaan juga menunjukkan bahwa di dalam kloroplas, jumlah PSII relatif
lebih banyak dari pada PSI dengan perbandingan berkisar 1.5:1, walaupun
perbandingan ini mungkin berubah tergantung kondisi cahaya. Pemisahan ini
mengindikasikan bahwa beberapa molekul pembawa elektron yang menjembatani
PSII dan PSI akan tersedia sehingga elektron dapat berdifusi dan ditransfer dari
bagian grana ke bagian stroma.
Molekul pigmen
Akseptor
e-
Pusat Reaksi
Donor
e-
Pusat reaksi
Penelitian terhadap pusat reaksi dari sistem cahaya II (PSII) menunjukkan
bahwa kompleks ini terdiri dari banyak unit protein yang kompleks. Sebagai titik
utama dari dari pusat reaksi adalah dua jenis protein yang dikenal dengan protein D1
dan D2 dilengkapi dengan protein lainnya seperti CP43 dan CP47. Pada PSII
tumbuhan tinggi biasanya terdapat dua pusat reaksi dilengkapi dengan beberapa
kompleks antena (LHCII), sehingga disebut sebagai dimeric multisubunit protein.
Gambar 9 memperlihatkan sketsa PSII dilihat dari bagian lumen tilakoid, yaitu pusat
reaksi yang dari dimer kompleks protein D1 dan D2 dan kompleks antena. Selain itu
pada pusat reaksi juga terdapat protein ektrinsik yang berperan dalam pemecahan air
membentuk oksigen.
Pusat reaksi dari PSI dan PSII menyerap cahaya dengan panjang gelombang
yang berbeda. Pusat reaksi dari sistem cahaya I (PSI) menyerap cahaya secara
maksimal pada panjang gelombang 700 nm. Itulah sebabnya klorofil pada PSI
disebut sebagai P700 (P berasal dari kata Pigmen). Adapun PSII menyerap cahaya
maksimum pada panjang gelombang 680 sehingga disebut sebagai P680. Pada
bakteri fotosintetik ungu dengan pigmen pada pusat reaksinya bakterioklorofil
menyerap cahaya maksimum pada panjang gelombang 870 nm sehingga disebut
sebagai P870.
LHCII
CP26
Kompleks antena
CP43 CP29
D1
CP47
D2
D2 Pusat reaksi
CP47
D1
CP29 CP43
CP26
LHCII
Gambar 9. Struktur dari kompleks protein PSII pada tumbuhan tinggi yang terdiri
dari sepasang protein kompleks pusat reaksi dan kompleks antena. Pusat
reaksi meripakan padangan (dimer) kompleks protein D1 dan D2 serta
CP43 dan CP47.
P700* 5
Ao
A1
P680* FsSx
FsSA
Pheo
1 FsSB
3
QA Fd 6
QB Sit b FNR
H2O
Q
2 1 FeSR NADP+
Sit f
Kompleks
pembentukan 4 PC
NADPH
Oksigen P700*
YZ Cahaya
O2 + H+ P680
Cahaya
Gambar 10. Formasi kompleks protein yang bekerja dalam konversi energi cahaya
menjadi ATP dan NADPH di dalam membran tilakoid dengan
melibatkan kompleks PSII, sitokrom, PSI dan enzim ATP sintase (atas)
dan sistem transport elektron antara PSII dan PSI dengan konsep “Z”
(bawah).
Stroma 2H+ Q*
-
e
QH2 Cyt b
PSII e - Cyt b PSI
QH2 e-
Q
- e-
e FeSR
Cyt f PC
Lumen +
2H
e-
Gambar 11. Diagram transport elektron dan pemompaan proton pada sitokrom b6f
berlangsung melalui oksidasi plastohidroquinon (QH2) dalam dua tahap
untuk memompa 4 H+ dari stroma ke lumen dan mentransfer 2 elektron
ke PSI.
Pada tahap pertama, plastohidroquinon (QH2) yang dihasilkan dari proses dalam PSII
dioksidasi sehingga mentransfer 2 elektronnya ke protein FeSR dan sitokrom b
bersamaan dengan pemompaan proton ke lumen. Elektron yang diterima FeSR
diberikan ke sitokrom f kemudian plastosianin dan terakhir untuk mereduksi PSI.
Elektron satunya akhirnya ditransfer ke quinon (Q) membentuk semiquinon Q*.
Tahap berikutnya QH2 yang kedua dioksidasi dan proses transfer elektron berjalan
hampir sama dengan tahap pertama. Namun dari sitokrom b elektron diberikan
semiquinon membentuk QH2 dengan mengambil proton (2H+) dari stroma. Kesemua
proses memnyebabkan terjadinya pemompaan 4 proton dari stroma ke lumen untuk
setiap 2 elektron yang ditransfer ke PSI (P700).
Aksi herbisida dalam menghentikan aliran elektron pada PSII dan PSI
Aliran elektron merupakan bagian penting dari proses pemanenan energi untuk
membentuk ATP. Oleh karenanya terhentinya aliran elektron akan menyebabkan
terjadinya kondisi kritis yang membahayakan tumbuhan, karena tumbuhan kehilangan
kemampuan mensintesis ATP. Kejadian ini akan dialami apabila tumbuhan
disemprot dengan herbisida tertentu. Satu jenis herbisida dikenal sebagai
diuron/DCMU (diklorofenil dimetil urea), yang dapat memblok aliran elektron dari
PSII dengan bertindak sebagai kompetitor situs aktif dari plastoquinon QB (Gambar
12). Jenis herbisida lain yang dikenal sebagai paraquat dapat memblok aliran elektron
pada PSI ke NADP+ dengan bertindak sebagai penerima elektron kemudian
mereaksikannya dengan oksigen membentuk superoksida O2- atau spesies oksigen
reaktif yang dapat merusak komponen lipid dari membran kloroplas. Kedua senyawa
tersebut menyebabkan kerusakan dan kematian pada tumbuhan.
Paraquat
P700 *
QA
QB
NADPH
H2O
P700
O2
P680
Gambar 12. Mekanisme aksi dari dua jenis herbisida (DCMU dan paraquat), yaitu
menghambat aliran elektron pada PSII dan PSI.
Transport proton dan sintesis ATP melalui mekanisme kemiosmosis
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa aliran elektron melintasi pembawa
elektron dan kompleks sitokrom b6f menyebabkan terjadinya pemompaan proton dari
atroma ke lumen. Akibatnya terjadi perbedaan konsentrasi proton antara lumen yang
sangat banyak konsentrasi H+ dan stroma yang rendah konsentrasi H+nya. Perbedaan
ini sebagaimana hukum termodinamika menyebabkan adanya sumber energi bebas.
Dari sisi potensial listrik, lumen lebih bermuatan positif dari pada stroma. Selain itu
perbedaan konsentrasi H+ juga menyebabkan terjadinya perbedaan pH antara lumen
yang sangat asam dan stroma yang lebih bersifat alkalin. Adanya perbedaan inilah
yang memungkinkan terjadinya aliran H+ dari lumen ke stroma melalui suatu protein
saluran yang terlibat dengan pembentukan ATP, yaitu enzim ATP sintase. Paristiwa
ini dikenal dengan mekanisme kemiosmosis.
Bukti tentang terjadinya kemiosmosis dalam sintesis ATP telah ditunjukkan
dengan suatu percobaan yang sangat bagus oleh Andre Jagendorf dan koleganya.
Mereka membuat suspensi tilakoid dari kloroplas dalam larutan bufer per pH 4 selama
beberapa waktu hingga seluruh bagian dari tilakoid baik bagian lumen maupun bagian
stroma ber-pH 4. Kemudian secara cepat suspensi tilakoid tersebut dipindahkan ke
dalam larutan bufer per-pH 8. Tak lam kemudian didapati sejumlah besar ATP yang
terbentuk dari ADP dan Pi melalui proses ini walaupun dilakukan tanpa cahaya dan
tanpa transfer elektron.
Dalam menjelaskan pemebentukan ATP ini Mitchell mengajukan rumusan
bahwa energi yang tersedia untuk sintesis ATP (∆p) adalah merupakan jumlah
potensial kimia proton dan potensial lisntrik antar membran dengan rumus umum:
∆p = ∆E – 59(pHi – pHo)
∆E adalah potensial listrik antar membran
pHi – pHo (∆pH) adalah perbedaan pH antar membran
angka 59 adalah konstanta proporsionalitas per unit pH pada suhu 25oC.
Salah satu mekanisme penting dalam penyaluran energi saat tumbuhan mengalami
kelebihan energi adalah disalurkan melalui panas. Peristiwa ini dikenal sebagai non-
photochemical quenching, yaitu penyaluran klorofil fluorescence bukan untuk reaksi
biokimia tetapi dalam bentuk pelepasan panas. Akibatnya sebagian besar dari hasil
eksitasi di dalam sistem antena yang telah mendapat cahaya yang banyak dilepaskan
dalam bentuk panas. Mekanisme ini diyakini berperan penting dalam melindungi
perangkat fotosintesis dari eksitasi yang berlebihan sehingga terhindar dari kerusakan.
Walaupun mekanisme yang pasti belum ditemukan, mekanisme ini melibatkan
senyawa-senyawa karotenoid yang disebut xantofil. Ada 3 jenis senyawa xantofil
yaitu violaksantin, anteraksantin dan zeaksantin yang terlibat dalam mekanisme
penyaluran energi melalui panas.
Ketiga senyawa xantofil tersebut saling berinterkonfersi sejalan dengan
perubahan cahaya yang diterima tumbuhan. Ketika cahaya sangat tinggi violaksantin
akan dirubah menjadi zeaksantin melalui intermediat anteraksantin. Jika intensitas
cahaya menurun yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu zeaksantin akan diubah menjadi
violaksantin. Perubahan ini diduga berkaitan dengan perubahan pH dari lumen.
Ikatan antara proton dan zeaksantin dengan protein antena pemanen cahaya (LHC)
diduga menyebabkan perubahan konformasi yang menyebabkan terjadinya pelepasan
panas. Proses ini berkaitan dengan peran dari protein PsbS di dalam PSII.
LIGHT
Adjustment of
Chl antenna size
Light harvesting
Thermal dissipation
Photochemistry
CO2 fixation
Photorespiration
Water-water cycle
PS I cycle e- transport Generation of
Oxidizing molecules
Antioxidant systems
Target of photo-oxidative damage
Repair and
New synthesis
Net photodamage
Photoinhibition
Enzim ATP sintase