Anda di halaman 1dari 40

Budidaya Kelapa Sawit Di Lahan Tidur

Implikasinya terhadap aspek teknis, ekonomi, keanekaragaman hayati, iklim, hukum dan kebijakan

Oleh Denis Ruysschaert, Adji Darsoyo, Rizwan Zen, Gunung Gea, Ian Singleton Edited by Steven Claudell Alih bahasa oleh Adji Darsoyo dan Gunung Gea

November 2011

Denis Ruysschaert, dkk. 2012. Budidaya Kelapa Sawit Di Lahan Tidur, YEL/PanEco/ICRAF Diterbitkan oleh: YEL www.yelweb.org www.paneco.ch www.worldagroforestry.org

DAFTAR ISI
Pengantar............................................................................................................................. Bab 1. Potensi Yang Tersedia: Luasan dan Lokasi Lahan-lahan Tidur................................... 2 5

1.1. Definisi...................................................................................................................... 5 1.2. Kuantitas dan Luasan Lahan-lahan Terdegradasi ..................................................... 6 1.3. Lahan Yang Dapat Dimanfaatkan.............................................................................. 11 Bab 2. Hak Atas Tanah & Petani .......................................................................................... 13 Bab 3. Mengembangkan Lahan Tidur Bersama Petani ........................................................ 15 3.1. Petani Di Lahan Tidur ............................................................................................... 15 3.2. Mengatasi Hambatan Yang Dialami Petani Dalam Memanfaatkan Lahan Tidur .............................................................................................................. 15 3.3. Organisasi Petani ..................................................................................................... 17 3.4. Ekonomi Perkebunan ............................................................................................... 19 3.5. Akses Pasar............................................................................................................... 20 Bab 4. Dampak Terhadap Keanekaragaman Hayati............................................................. 21 4.1. Melestarikan Suatu Areal ......................................................................................... 22 4.2. Menggunakan Metode Ramah Lingkungan .............................................................. 23 Bab 5. Perubahan Iklim ....................................................................................................... 28 Bab 6. Kesimpulan Dan Jalan Untuk Kemajuan ................................................................... 29 Daftar Pustaka...................................................................................................................... 31

PENGANTAR
Publikasi ini memberikan gambaran yang lengkap mengenai implikasi-implikasi dalam pembangunan kelapa sawit di lahan tidur yang ditujukan kepada pemangku kebijakan dan para pengusaha. Publikasi ini dibuat berdasarkan proyek lapang unik yang diinisiasi oleh PanEco Foundation dan didukung oleh Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO) serta pemangkupemangku kepentingan lainnya. Implementasi proyek tersebut di lapangan dilakukan oleh lembaga non pemerintah, yaitu Yayasan Ekosistem Lestari. Proyek pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di lahan tidur ini merupakan realisasi pelaksanaan resolusi yang dihasilkan dalam Sidang Umum RSPO ( General Assembly) pada tahun 2006 sebagai dukungan terhadap PanEco Foundation yang berbasis di Swiss untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di atas lahan yang sebagiannya terdegradasi dan tidak produktif di Provinsi Aceh, dengan mengacu pada Prinsip dan Kriteria RSPO. Lebih jauh lagi, Sidang Umum RSPO 2008 mengeluarkan resolusi untuk mengambil langkah-langkah guna menghentikan kerusakan Hutan Rawa Tripa di Aceh akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Dimulai pada bulan Mei 2009 dengan nama proyek Studi Percontohan Untuk Budidaya Kelapa Sawit Di Lahan Tidur Sesuai Dengan Pedoman RSPO, Dalam Konteks Pengalihan Konsesi Perkebunan Kelapa Sawit Yang Mengancam Hutan Rawa Gambut Pesisir Yang Terakhir Yang Tersisa di Aceh, proyek ini merupakan kerjasama antara Biodiversity and Agricultural Commodities Program (BACP) yang merupakan bagian dari International Finance Cooperation (IFC), The World Agro Forestry Centre (ICRAF), PT. Socfin Indonesia (Socfindo), Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LESOS), PanEco and Yayasan Ekosistem Lestari (YEL). Cordaid dan Yves Rocher juga berpartisipasi dalam penyediaan dana tambahan. Proyek serupa bernama POTICO (Palm Oil, Timber, Carbon Offset) yang dikembangkan oleh World Resources Institute (WRI) dan mencakup keseluruhan wilayah Indonesia, baru-baru ini mendapat perhatian politik yang cukup besar. POTICO menggunakan metode pertukaran lahan dalam memfasilitasi penyebaran penerapan kelapa sawit berkelanjutan dan menghindari pembukaan hutan pada saat yang bersamaan. POTICO bekerja sama dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki izin untuk membuka perkebunan baru di lahan yang berhutan dan kaya akan kandungan karbon. Dalam lingkup program POTICO perusahaan berkomitmen untuk melestarikan lahan mereka dan WRI berupaya untuk mendapatkan lahan tidur yang cocok sebagai alternatif penggantinya.

Latar belakang: minat untuk mengembangkan lahan tidur sebagai perkebunan kelapa sawit secara umum di Provinsi Aceh dan daerah lain di Indonesia .
Indonesia telah mengambil kebijakan yang ambisius, di satu sisi ingin menjaga hutannya dan, disisi lain, mengembangkan perkebunan sawit berskala besar. Di tingkat nasional, dalam periode pertama pemerintahannya (2004-2009) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan iklim investasi yang ramah yang mempromosikan minyak sawit sebagai komoditi nomor satu di Indonesia hingga mampu mengungguli Malaysia di pasar ekspor (Dunia Esai, 2010). Dalam periode pemerintahan kedua (2009-2014), Indonesia melanjutkan dukungan terhadap sektor agribisnis termasuk upaya perluasan perkebunan kelapa sawit (Sumber: Waspada, 2010; Dunia Esai, 2010). Tujuan-tujuan ambisius kemudian dipersiapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014 oleh Bappenas untuk pengembangan sektor kelapa sawit
2

berdasarkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 (Bappenas, 2010). Rencana ini konsisten dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2010-2025 yang disusun oleh Bappenas di tahun 2004 (Bappenas, 2004; Abusyadza, 2007). Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia mempersiapkan tujuan ambisius lainnya dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Dalam Konferensi Kerangka Kerja PBB Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen pada Desember 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan penurunan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia sejumlah 26% pada tahun 2020 secara mandiri dan hingga 40% dengan dukungan masyarakat internasional. Penurunan tersebut hanya mungkin untuk direalisasikan dengan melestarikan hutan-hutan yang tersisa, khususnya hutan-hutan rawa gambut yang kaya akan kandungan karbon. Dalam konteks tersebut, Indonesia menerapkan moratorium perizinan baru selama 2 tahun pada kuartal pertama tahun 2011 sebagai bagian dari kesepakatan antara Indonesia-Norwegia dalam melestarikan hutan sebagai kontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim. Namun demikian, dukungan terhadap pengembangan kelapa sawit dan pelestarian hutan merupakan dua kebijakan yang sekilas sangat bertolak belakang satu sama lain (UNEP, 2011). Daerah utama pengembangan perkebunan kelapa sawit terbatas hanya di daerah dataran rendah. Kebanyakan pengembangan perkebunan kelapa sawit hingga saat ini telah mengorbankan lahan dataran rendah temasuk hutan rawa gambut (World Bank, 2006; Koh L.P. dan Ghazoul J., 2010). Secara luas, sebagai dampak dari perluasan kelapa sawit, walaupun bukan satu-satunya sebab, Sumatera kehilangan hampir tiga perempat dari areal hutan dataran rendahnya yang berada di bawah ketinggian 150m dpl (dengan komposisi 76% di tanah mineral dan 63% di lahan gambut) antara tahun 1985 hingga 2007 (WWF, 2010). Perusakan hutan-hutan dataran rendah berkontribusi terhadap perubahan iklim karena hutan-hutan tersebut menyimpan cadangan karbon sebesar antara 170 hingga 250 ton karbon per hektar (Malhi Y., et al, 2006; Chave J., et al, 2008; Lewis, et al, 2009). Hutan-hutan tersebut juga sangat penting bagi keanekaragaman hayati (WWF, 2010), khususnya orangutan. Penyebaran kera besar yang terkenal ini terbatas pada wilayah hutan dataran rendah. Sebagai akibatnya, populasi dari kedua jenisnya menurun dengan cepat. Kenyataannya, orangutan kalimantan saat ini diperkirakan hanya tersisa 54.000 di alam liar dan terdaftar sebagai terancam punah oleh IUCN, sementara orangutan sumatera keberadaannya lebih memprihatinkan lagi dengan jumlah sekitar hanya 6.600 dan berstatus sudah sangat terancam punah atau kritis. (Wich et al, 2008). Jika hal ini berlanjut, tentunya orangutan sumatera dapat menjadi kera besar modern dunia yang punah di alam liar dalam waktu singkat. Untuk menyelaraskan pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan pelestarian hutan, langkahlangkah alternatif praktis, yang memungkinkan pelaksanaanya tanpa pembukaan hutan, sangat dibutuhkan. Penggunaan lahan-lahan tidur sebagai perkebunan kelapa sawit menggantikan lahan yang berhutan tampaknya menjadi opsi yang sangat menjanjikan, baik dalam mendukung pengembangan perkebunan sawit maupun pelestarian hutan untuk tujuan-tujuan pemeliharaan iklim dan keanekaragaman hayati. Di Indonesia terdapat sekitar 7,3 juta hektar lahan tidur yang sebagiannya terdegradasi (Jawa Post, 2010), 200.000 hektar di antaranya berada di Provinsi Aceh (Aceh Green, 2008). Di bawah kepemimpinan Gubernur Provinsi Aceh Irwandi Yusuf, sejak 2006 Provinsi Aceh dengan status otonomi khusus yang baru saja didapat (sebagai hasil dari konflik separatis yang berkepanjangan) telah berusaha untuk mengembangkan ekonomi hijau berdasarkan pada pengelolaan hutan yang sehat. Pada bulan April tahun 2007 Gubernur Aceh mengeluarkan moratorium penebangan hutan dan, pada Konferensi UNFCCC di bulan Desember tahun 2007,
3

Strategi Pengembangan Ekonomi dan Investasi Hijau. Hasil dari kedua kebijakan tersebut mambuat Aceh sebagai wilayah yang memiliki visi ke depan dan potensi yang besar dalam kaitannya dengan pelaksanaan studi percontohan pembangunan perkebunan kelapa sawit di lahan tidur dan peningkatan penerapannya secara bertahap. Oleh karena itu, pelaksanaan studi percontohan yang berdekatan dengan wilayah hutan rawa gambut Tripa di Kabupaten Nagan Raya di Provinsi Aceh tersebut menjadi sangat simbolik. Tripa merupakan wilayah yang terintegrasi dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang kaya akan keanekaragaman hayati dan merupakan salah satu dari tiga hutan rawa gambut penting yang tersisa di Aceh. Di era 90-an, ketika hutan yang ada di Tripa masih dalam kondisi baik, kawasan tersebut menaungi sekitar lebih dari 1.000 orangutan sumatera. Sekarang, areal hutan di Tripa menghilang dengan cepat akibat konversi lahan untuk digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit berskala besar sehingga kerusakan total kawasan rawa gambut Tripa diperkirakan akan terjadi di tahun 2015 (UNEP, 2011). Tripa merupakan satu dari tiga kawasan rawa gambut berhutan yang tersisa di pesisir pantai barat Aceh. Dua lainnya adalah rawa Kluet dan rawa Singkil. Secara administratif, ketiga rawa tersebut terletak di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Dua Kabupaten terakhir merupakan lokasi dari kawasan rawa Tripa. Kawasan pesisir pantai barat ini terkenal akan bentang alam yang unik, yang merupakan campuran antara kawasan pegunungan, kawasan pesisir dan ekosistem rawa. Ketiga rawa gambut tersebut di atas merupakan bagian dari Ekosistem Leuser yang terkenal di dunia akan keanekaragaman hayati yang bernilai tinggi. Selain itu, rawa Kluet merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser dan rawa Singkil merupakan bagian dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil, keduanya merupakan kawasan konservasi yang sangat ketat dilindungi. Meskipun secara formal ditunjuk sebagai kawasan konservasi, Ekosistem Leuser tetap sangat rentan terhadap eksploitasi dan pemanfaatan dengan tujuan komersial serta perambahan melalui aktivitas pertanian. Masyarakat sekitar juga menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan penggembalaan dan sumber kayu serta pengumpulan hasil alam lainnya. Sebagai pengganti untuk pembukaan hutan primer menjadi lahan pertanian baru, pemanfaatan lahan tidur merupakan alternatif praktis untuk aktivitas yang produktif dan menguntungkan.

BAB 1 POTENSI YANG TERSEDIA: LUASAN DAN LOKASI LAHAN-LAHAN TIDUR


Meskipun pemerintah dan media sering menyebutkan adanya 7,3 juta hektar lahan tidur secara keseluruhan di Indonesia (Jawa Post, 2010), dengan 200.000 hektar di Provinsi Aceh saja, (Aceh Green, 2008), saat ini belum ada peta-peta definitif dan akurat yang menunjukkan areal tersebut secara rinci. Oleh sebab itu YEL telah menghasilkan peta-peta yang menunjukkan lokasi lahan tidur di 4 kabupaten yang memiliki hutan rawa gambut di Aceh (yaitu Aceh Singkil, Aceh Selatan, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya) dengan menggunakan teknik-teknik penginderaan jauh (Landsat TM, dari tahun 2009 dan citra-citra SPOT 4 dari tahun 2006) yang didukung dengan validasi lapangan ( ground truthing). Hasilnya adalah informasi yang akurat dan sangat menguntungkan. Pendekatan tiga tahap digunakan dalam mengidentifikasi lahan tidur potensial yang ada. Pertama adalah mendefinisikan istilah lahan tidur. Kedua, melalui penilaian terkait berapa jumlah lahan yang ada dan cocok dengan definisi tersebut. Ketiga, melalui analisa terhadap lahan tidur yang potensial terkait kepemilikan dan kualitas lahan serta melakukan penilaian atas ketersediaan lahan yang sebenarnya untuk kebutuhan pengembangan kelapa sawit.

1.1. Definisi
Istilah terdegradasi mengacu pada tutupan lahan. Lahan tersebut pada awalnya merupakan hutan primer yang pernah dibuka. Dalam hal ini, istilah terdegradasi hanya mengacu pada vegetasi di lahan tersebut dan tidak merujuk misalnya pada degradasi kualitas lahan. Dalam banyak kasus, lahan yang terdegradasi pada awalnya adalah hutan yang kemudian dikonversi untuk lahan pertanian beberapa tahun atau dekade yang lalu. Setelah sekian tahun, beberapa areal ditinggalkan karena konflik sosial (contohnya konflik separatis di Aceh) atau karena lahan tersebut terbukti tidak cocok untuk tanaman tertentu. Setelah ditinggalkan, lahan-lahan yang terdegradasi tersebut berkembang sejalan dengan waktu menjadi padang rumput, semak belukar dan bahkan menjadi hutan sekunder. Setelah istilah lahan terdegradasi menjadi penting, dibutuhkan evaluasi kuantitatif. Perhitungan rata-rata cadangan karbon di atas tanah dalam perkebunan kelapa sawit adalah 40 ton karbon/ha, sehingga konversi dari lahan yang memiliki lebih banyak kandungan karbon menyebabkan Hutang Karbon, sementara konversi lahan yang cadangan karbonnya lebih rendah menyebabkan peningkatan cadangan karbon (Chase L.D.C and Henson I.E., 2010). Jadi, nilai cadangan karbon dapat berfungsi sebagai ambang batas untuk lahan yang bisa digolongkan sebagai lahan yang terdegradasi. Ambang batas 40 ton karbon/ha jauh dibawah yang dibutuhkan untuk habitat orangutan, karena orangutan hidup di bawah naungan hutan dataran rendah berkualitas tinggi, dengan karakterisitik cadangan karbon jauh di atas 100 ton karbon/ha. Berdasarkan definisi di atas, lahan terdegradasi memiliki banyak kesamaan sifat dengan lahan tidur. Sementara lahan tidur dapat didefinisikan sebagai lahan terbengkalai yang ditinggalkan hingga ditumbuhi secara alami, bukan dengan bibit atau pohon muda. Contohnya termasuk lahan yang ditebangi oleh HPH dan/atau dibuka untuk keperluan pertanian atau perkebunan, tetapi menjadi
5

terbengkalai selama minimum 2 hingga 3 tahun. Lahan seperti ini cenderung kelihatan tandus (jika dibandingkan dengan hutan atau perkebunan atau pertanian lainnya), kebanyakan ditumbuhi oleh vegetasi yang tidak produktif seperti rerumputan, semak dan belukar. Dalam istilah penginderaan jauh, lahan seperti ini biasanya dapat di sub-kategorikan sebagai semak, padang rumput atau tanah tandus.

1.2. Kuantitas dan Luasan Lahan-lahan Terdegradasi


Aceh Singkil Kabupaten Aceh Selatan Aceh BaratDaya Nagan Raya

Total hektar
Jumlah lokasi Luas rata-rata (ha)

4.313
58 74

21.475
77 279

15.637
38 412

31.925
101 316

Total 73.350 274 268

Tabel 1: Jumlah lahan terdegradasi dan luas rata-rata


Di 4 kabupaten yang dijelajahi di kawasan pantai Barat Aceh, jumlah total areal lahan terdegradasi sangat signifikan, yaitu lebih dari 73.000 ha (Tabel 1). Namun demikian, jika melihat penyebaran lahan terdegradasi di setiap kabupaten (Gambar 1, 2, 3 dan 4), terlihat bahwa lahan terdegradasi cenderung sangat terbagi-bagi dan terfragmentasi, terdiri dari areal-areal kecil antara 50 hingga 500 ha (rata-rata keseluruhan 268 ha) tersebar relatif merata di setiap kabupaten. Konsekuensi terjelas dari kondisi ini, yang pertama adalah kesulitan dalam pemanfaatan lahan terdegradasi yang terpisah-pisah untuk perkebunan kelapa sawit skala besar dan biasanya merupakan satu kesatuan (4.000 15.000 ha), yang merupakan praktek bisnis yang lazim dilakukan oleh para perusahaan besar yang bergerak dalam industri kelapa sawit. Akan menjadi sulit, atau pada umumnya tidak menguntungkan, untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit diatas lokasi-lokasi lahan terdegradasi yang terpisah-pisah, karena kondisi seperti ini akan menimbulkan biaya transportasi dan pekerja yang tinggi, dsb.

Gambar 1: Penyebaran lahan-lahan terdegradasi yang berhubungan dengan rawa gambut di Kabupaten AcehSingkil.

Gambar 2:
8

Penyebaran lahan-lahan terdegradasi dan peta situasi hutan rawa gambut di Kabupaten Aceh Selatan.

Gambar 3: Penyebaran lahan-lahan terdegradasi dan peta situasi hutan rawa gambut di Kabupaten Aceh Barat Daya.

Gambar 4:

Penyebaran lahan-lahan terdegradasi dan peta situasi hutan rawa gambut di Kabupaten Nagan Raya.

10

1.3. Lahan Yang Dapat Dimanfaatkan


Sekilas kita sudah melihat adanya lebih dari 73.000 ha lahan terdegradasi di 4 kabupaten yang dijelajahi. Namun demikian, sebagian dari lahan-lahan tersebut kenyataanya tidak cocok untuk dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit, karena jenis lahan yang tidak layak (contohnya dalam kasus rawa gambut) atau karena status hukum dari lahan-lahan tersebut yang tidak mengizinkan aktivitas pertanian (contohnya kawasan yang dilindungi). Aceh Singkil 1.391 0 1.975 947 Kabupaten Aceh Aceh Selatan BaratDaya 9.266 9.838 3.727 2.542 706 7.776 0 3.257 Nagan Raya 9.546 3.605 1.895 16.879

Total 30.041 9.874 4.576 28.859 73.350

Rawa gambut yang telah dibuka Lahan mineral - Kawasan lindung berhutan yang dibuka Lahan mineral yang dibuka di areal yang ditetapkan sebagai kawasan hutan Lahan mineral yang sudah dibuka di areal yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan

Total hektar

4.313

21.475

15.637

31.925

Tabel 2: Status lahan dan jenis tanah dari lahan-lahan terdegradasi di 4 kabupaten
Tabel 2 menunjukkan bahwa hanya 39% dari lahan terdegradasi yang diidentifikasi, mendekati 29.000 ha, merupakan lahan mineral dan tidak merupakan bagian dari hutan negara (berada di bawah status Area Penggunaan Lain atau APL). Lahan tersebut cocok untuk digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Perkiraan dari hasil perhitungan tersebut terhadap seluruh kabupaten di Provinsi Aceh (18 kabupaten) mudah dibayangkan bahwa total lahan terdegradasi serupa yang ada di wilayah provinsi tersebut dapat mencapai sekitar 200.000 ha seperti disebut dalam laporan Aceh Green. Potensi pembangunan perkebunan kelapa sawit di lahan-lahan terdegradasi tersebut menggantikan peralihan fungsi hutan primer akan menjadi opsi yang sangat bisa dilakukan. Lahan gambut yang dibuka meliputi 41% (30.000 ha) lahan terdegradasi yang teridentifikasi di 4 kabupaten. Lahan gambut sangat tidak ideal untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian atau perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit, karena membutuhkan investasi tinggi, perawatan intensif (drainase dan perawatan lahan gambut) dan pemakaian pupuk dalam jumlah besar. Lebih lanjut lagi, pembangunan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sudah pasti menyebabkan emisi Gas Rumah Kaca secara besar-besaran akibat dari penebangan, drainase, dan oksidasi gambut itu sendiri. Dalam konteks keseluruhan, dari perubahan iklim dan perlindungan hutan, rehabilitasi lahan gambut yang telah dibuka, untuk mengembalikan fungsi alaminya sebagai hutan lahan basah, bertolak belakang dengan pemanfaatan sebagai areal perkebunan kelapa sawit, dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi melalui skema REDD (Reduction Emissions from Deforestation and forest Degradation; UNEP, 2011).

11

Sekitar 13% dari seluruh lahan terdegradasi yang diidentifikasi di 4 kabupaten, atau sekitar 9.874 ha, merupakan bagian dari Kawasan Konservasi atau kawasan yang dilindungi, yang ketat perlindungannya dan dialokasikan sebagai areal rehabilitasi hutan. Terakhir, 6% dari seluruh lahan terdegradasi, atau 4.567 ha, merupakan bagian dari hutan produksi yang terus berkembang dan harus dikelola secara berkelanjutan untuk penebangan kayu atau untuk agroforestri dan tidak untuk dikonversi menjadi perkebunan sawit.

12

BAB 2 HAK ATAS TANAH & PETANI


Lahan terdegradasi sering dianggap sebagai lahan terbuang yang tersedia untuk pemanfaatan. Namun demikian, seseorang pada kenyatannya telah mengalih-fungsikan lahan berhutan menjadi lahan terdegradasi atau lahan tidur, dan orang tersebut biasanya akan mengklaim kepemilikannya atas lahan tersebut. Sebelum memanfaatkan lahan seperti ini untuk perkebunan kelapa sawit, hal terpenting adalah menelusuri kepemilikannya. Permasalahan hak atas tanah adalah sangat penting bagi proyek studi percontohan yang diinisiasi oleh PanEco. Di awal kegiatan, Pemerintah Kabupaten Nagan Raya menyediakan lahan tidur seluas sekitar 100 ha. Pada prakteknya, lahan tidur tersebut dimiliki oleh sejumlah anggota masyarakat lokal dan masing-masing dari mereka mengklaim kepemilikan atas bagian dari lahan tidur tersebut. Aspek pertama dalam proyek ini adalah memperhitungkan seluruh anggota masyarakat lokal yang, baik secara formal (dengan sertifikat tanah) maupun non-formal (melalui jalur hak adat), masingmasing mengklaim kepemilikan atas bagian-bagian dari lahan tidur tersebut. Pelibatan anggota masyarakat tersebut dalam proyek ini dimulai dengan menentukan secara akurat lokasi dan luasan yang tepat dari lahan yang diklaim secara individual, dilanjutkan dengan menyertakan mereka dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit dan manggabungkan mereka dalam satu wadah organisasi yaitu Credit Union yang pada saat ini mengelola keseluruhan areal perkebunan. Hal tersebut merupakan permasalahan yang kompleks, tidak hanya terkait dengan jumlah anggota masyarakat yang terlibat. Lahan-lahan individual tersebut yang merupakan bagian dari lahan tidur tadi cenderung memiliki luasan antara 0,5 2 ha dan kepemilikannya melibatkan lebih dari 60 orang (lihat Gambar 5). Hal-hal tersebut diatas mengarah pada dua tantangan utama dalam mengembangkan lahan terdegradasi menjadi perkebunan kelapa sawit: 1. Masing-masing tuntutan atas kepemilikan lahan harus di selidiki dan segala perdebatan harus diselesaikan sebelum adanya pekerjaan di lahan tersebut. 2. Masing-masing pemilik yang diakui menyetujui untuk berpartisipasi dalam studi percontohan (masing-masing memiliki alternatif untuk memutuskan menjual lahan atau ketidakterlibatan dalam skema studi percontohan). Kedua proses tersebut di atas, memperjelas kepemilikan lahan dan meyakinkan pemilik lahan yang berpotensi sebagai petani sawit tersebut sangat memakan waktu. Lebih dari itu, terlepas dari upaya maksimal yang dilakukan oleh PanEco, beberapa hak atas kepemilikan tanah tidak memadai penelusurannya dan beberapa dari masyarakat tersebut tidak berharap untuk terlibat dalam studi percontohan. Segera setelah kedua tantangan tersebut dilalui, masalah terakhir terkait hak atas tanah adalah mendapatkan sertifikat kepemilikan tanah bagi mereka yang belum memilikinya. Hal ini khususnya merupakan proses yang panjang di Indonesia dan dapat memakan waktu lebih dari dua tahun. Program studi percontohan ini pada awalnya mencoba memfasilitasi melalui jalur alternatif yang semestinya mudah dan biayanya rendah dalam mendapatkan sertifikat tanah. Namun ternyata jalur tersebut merupakan proses yang kompleks dan sangat birokratis serta membutuhkan beberapa tahun hingga dikeluarkannya sertifikat. Program studi percontohan ini sekarang mengalokasikan

13

biaya untuk mendapatkan sertifikat tanah melalui prosedur normal dengan harapan prosesnya dapat lebih cepat, walaupun biayanya lebih tinggi. Meskipun secara teknis tidak dibutuhkan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit, dan konsensus serta kesepakatan bisa dianggap cukup, sertifikat tanah tetap merupakan bentuk pengamanan terhadap kepemilikan tanah. Lebih penting lagi, sertifikat tanah dapat digunakan sebagai agunan untuk mendapatkan modal dari bank. Hal ini sangat penting karena perkebunan kelapa sawit membutuhkan modal yang besar sekurang-kurangnya dalam empat tahun pertama, dimulai sejak persiapan lahan hingga panen perdana.

Gambar 5: Peta kepemilikan lahan di lahan studi percontohan desa Lamie.


14

BAB 3 MENGEMBANGKAN LAHAN TIDUR BERSAMA PETANI


3.1. Petani di Lahan Tidur
Masyarakat lokal merupakan pemilik dari lahan tidur. Mereka merupakan masyarakat Aceh setempat atau berasal dari Jawa. Masyarakat Aceh setempat hidup secara tradisional di pesisir atau di pinggiran sungai, yang didominasi oleh nelayan atau petani yang melakukan pertanian ekstensif, yang mana jumlah modal dan tenaga kerja jauh lebih kecil dibanding luasan lahan. Masyarakat Jawa di daerah tersebut merupakan pendatang yang ikut dalam program transmigrasi di tahun 80-an. Tipe pemilik lahan-lahan tidur tersebut rata-rata laki-laki berusia 40 tahun. Lebih dari setengah (57%) adalah petani, 10% pekerja di sektor swasta dan 5% bekerja sebagai buruh di perusahaanperusahaan perkebunan kelapa sawit. Sisanya bekerja sebagai pegawai negeri, tidak memiliki pekerjaan tetap atau pengangguran. Taraf pendidikan mereka tergolong rendah, hanya kira-kira 1/3 dari mereka lulusan SMA. Di sisi lain, tingkat kesuburan mereka cukup tinggi, yaitu mendekati tiga, yang merupakan isu penting jika dipandang dari segi lingkungan dan keberlangsungan. Pendapatan rata-rata perbulan dari anggota studi percontohan tersebut berkisar antara Rp. 1,2 hingga Rp. 1,6 juta (US$ 120 US$ 160). 70% dari rata-rata pendapatan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pendapatan utama para anggota studi percontohan RSPO tersebut berasal dari pertanian. Sebagian besar mereka melakukan budidaya cokelat di atas 0,5 hingga 1 ha lahan. Alasan mereka memilih cokelat sebagai tanaman perkebunan adalah modal dan biaya perawatan yang rendah, proses panen yang mudah dan harga pasar yang kompetitif. Dalam pembangunan perkebunan, peternakan dan pertanian, petani lokal dalam sejarahnya tidak memilik akses untuk melakukan pinjaman bank atau ke lembaga pinjaman lainnya. Sebagian besar anggota studi percontohan (87%) mengandalkan modal pribadi untuk menghasilkan pendapatan dari perkebunan maupun pertanian. Oleh karena itu, dukungan kepada para anggota studi percontohan RSPO tersebut sangat dianjurkan agar mereka dapat memiliki modal di kemudian hari, baik melalui koperasi atau credit union yang berfungsi dengan baik. Dari sudut pandang petani, pembangunan perkebunan kelapa sawit di lahan tidur tidak memungkinkan berdasarkan tiga alasan utama selain dari tantangan terkait kepemilikan lahan yang sudah disebutkan di atas. Ketiga alasan tersebut adalah: a. Modal untuk menutupi biaya di muka. b. Akses untuk mendapatkan bibit yang baik dan dukungan teknis yang dibutuhkan untuk memulai usaha pekebunan. c. Para petani enggan untuk mengambil risiko.

3.2. Mengatasi Hambatan Yang Dialami Petani Dalam Memanfaatkan Lahan Tidur
Tidak adanya modal untuk menutup biaya di muka merupakan kunci permasalahan dari sudut pandang petani. Perkebunan kelapa sawit merupakan investasi modal besar (lebih dari Rp. 25
15

juta/ha) dan hampir keseluruhan petani tidak memiliki dokumen kepemilikan yang dapat dijadikan agunan untuk pinjaman bank. PanEco telah menyediakan dana talangan untuk membiayai pekerjaan-pekerjaan awal yang penting (pembersihan lahan, pemupukan awal dan kacangan). Dana talangan ini kemudian disatukan dengan pinjaman petani pada Credit Union untuk membantu dalam menjembatani kebutuhan pembiayaan. Seperti dijelaskan dalam bab 3.4 di bawah ini, tujuh tahun pertama dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit biasanya menimbulkan kerugian finansial, sehingga akses untuk mendapatkan modal menjadi aspek yang sangat penting.
Petani menghadapi sejumlah rintangan dalam memaksimalkan potensi mereka melalui produksi kelapa sawit dan pada saat bersamaan mempertahankan produksi lokal dan kemandirian. Terdapat beberapa contoh tentang inovasi-inovasi dalam menangani permasalahan tersebut dan meningkatkan kontribusi petani terhadap kelapa sawit berkelanjutan. Berikut contoh-contoh rintangan dan penanganannya:

Status kepemilikan :

Perdebatan dan ketidak pastian akan kepemilikan lahan tersebar luas dan dapat menimbulkan kekerasan. Di saat kebijakan publik yang kuat sangat penting dalam menyelesaikan konflik lahan yang berkepanjangan, inisiatif perusahaan dan lembaga pemerintah dalam meningkatkan keadilan dan transparansi telah mencakup pemberian status kepemilikan lahan secara penuh segera setelah pinjaman dilunasi, melampaui sistem perundang-undang dalam hal penyelesaian konflik lahan, dan pengelolaan lahan secara bersama-sama dibanding dengan kepemilikan blok-blok lahan secara individual. dapat memenuhi kebutuhan dasar atas agunan dan pinjaman minimum untuk menjamin pembiayaan dari bank. Solusi utama adalah lembaga keuangan mikro yang meliputi pinjaman tanpa bunga untuk hasil-hasil tertentu, persyaratan dan kebijakan yang dapat dinegosiasikan terhadap pangakuan kepemilikan tanah dalam bentuk selain sertifikat resmi. Akses informasi yang dapat dipercaya tentang harga dan kebijakan harga, peluang pasar, aspek-aspek teknis tentang produksi dan pengelolaan, dan yang lebih mendasar, tentang hak dan pilihan di bawah undang-undang nasional atau kesepakatan resmi juga merupakan kesulitan utama. Jawaban untuk permasalahan tersebut mencakup penyediaan infromasi oleh LSM dan lembaga internasional, dengan jangkauan geografis yang lebih spesifik. pengembangan awal perkebunan kelapa sawit sering merampas kecukupan lahan dan ketersediaan waktu untuk memberi makan keluarga. Pengembangan perkebunan tumpang sari dengan tanaman kelapa sawit muda serta penyisihan lahan perkebunan untuk tanaman lainnya menjadi lebih sering dilakukan. Beberapa perusahaan telah memperkenalkan skema perburuhan untuk petani dan buruh dalam mambantu mereka untuk membagi waktunya secara optimal. Petani yang bekerja sendiri pada khususnya rentan terhadap fluktuasi harga. Hal ini merupakan insentif utama untuk bergabung atau tetap bersama dengan petani lain dalam skema yang didukung. Pembelian hasil oleh pabrik secara monopsoni dan rendahnya posisi tawar antara petani memperburuk permasalahan yang ada. Inovasi baru telah mengintegrasikan index harga standard nasional dan internasional serta munculnya pabrik-pabrik skala kecil yang berdiri sendiri, tetapi asuransi resmi untuk petani kelapa sawit masih sulit untuk diwujudkan.

Menjamin ketersediaan modal untuk menutupi biaya dimuka: Petani biasanya tidak

Mendapatkan infromasi yang baik terkait masalah teknis, kebijakan dan pasar:

Penyeimbangan antara hasil bumi untuk perdagangan dan ketahanan pangan:

Mengatasi risiko pasar:

Kotak 1: Rintangan untuk petani (Vermeulen, S. and Goad, N. 2006)

16

Terkait kurangnya kemampuan untuk pengadaan bibit dan mendapatkan dukungan teknis yang dibutuhkan di awal persiapan, hal tersebut diatasi dengan dukungan melalui kemitraan dengan PT. Socfindo. Yang terpenting dari kemitraan tersebut adalah, ketika petani anggota studi percontohan dijanjikan bibit dari PT. Socfindo, mereka sungguh-sungguh menunjukkan keinginan untuk terlibat dalam proyek tersebut dan berhasrat untuk mengembangkan perkebunan mereka. Penawaran bantuan awal tersebut oleh PT. Socfindo dan oleh PanEco untuk pembangunan perkebunan sangat penting dalam memformalkan komitmen para petani. Petani pada akhirnya cenderung untuk meminimalisir risiko dan pembagian waktu dalam mengembangkan lahan tidurnya. Sibuk dengan kehidupan sehari-hari, kebanyakan petani tidak lagi memiliki waktu untuk mengembangkan lahan tidurnya menjadi perkebunan sawit, walaupun modal dan pendampingan teknis telah diberikan. Hanya beberapa petani bekerja secara langsung di lahannya. Yang lain mengontrakkan pekerjaannya kepada petani lainnya (pada umumnya kerabat) untuk membersihkan dan menyiapkan lahannya. Studi percontohan ini telah berjuang keras untuk beradaptasi dengan segala masing-masing situasi di atas. Perbedaan antara pendekatanpendekatan yang dilakukan oleh masing-masing petani mencerminkan ketersediaan dana dan waktu yang dapat mereka gunakan untuk lahan tidur mereka, juga keinginan mereka secara umum untuk meminimalisir risiko. Dengan pendapatan yang tinggi, para petani cenderung untuk membayar kerabat-kerabatnya dan cenderung untuk lebih terlibat langsung dalam studi percontohan ini. Mereka mengambil risiko finansial yang tinggi, tetapi berharap akan pendapatan yang besar. Dengan pendapatan kecil, petani cenderung untuk bekerja seminimal mungkin dan sesungguhnya meminimalisir keterlibatan mereka dalam studi percontohan. Mereka mengambil risiko finansial yang lebih rendah. Kesimpulannya, semua rintangan-rintangan utama dalam mengembangkan produksi kelapa sawit di lahan tidur bersama petani sangat mirip dengan kunci permasalahan dalam mengembangkan kelapa sawit dengan petani untuk semua jenis lahan (Susila W.R., Bourgeois R. 2007, Kotak 1). Perbedaannya di sini adalah bahwa tidak ada konflik kebutuhan antara tanaman untuk diperdagangkan dan ketahanan pangan, karena pembangunan di atas lahan tidur tidak meggantikan tanaman pangan yang sudah ada.

3.3. Organisasi Petani


Tantangan awal yang terakhir, dan mungkin juga yang terpenting untuk diatasi dalam jangka panjang terkait upaya pemanfaatan lahan tidur bersama petani, adalah fakta akan adanya petani mandiri. Mereka memiliki potensi untuk melakukan budidaya tanaman tanpa bantuan pemerintah atau perusahaan. Tanpa bantuan, mereka menjual hasil tanamannya ke pabrik lokal secara langsung atau melalui pedagang. Situasi seperti ini di awal pemanfaatan lahan tidur menjadi perkebunan kelapa sawit dapat menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. Petani mandiri tentunya mendapatkan penghasilan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan petani yang mendapatkan bantuan atau pemilik lahan kolektif (Kotak 2), karena petani mandiri hasil panennya lebih rendah (akibat kurangnya dukungan teknis untuk pembangunan perkebunan) dan cenderung untuk menjual hasil panennya dengan harga yang juga lebih rendah (akibat lemahnya posisi tawar). Berdasarkan kebudayaan, latar belakang pendidikan dan pengalaman hidup mereka, kadangkadang sulit untuk petani untuk mengandalkan atau untuk bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, juga tidak mudah bagi mereka untuk memuwujudkan solidaritas dalam bersama-sama mencapai tujuan yang sama. Petani lebih memilih untuk meminjam uang dari rentenir atau dari lembaga pertanian di desa dibandingkan dari lembaga lain. Prosesnya terkadang lebih mudah dan tidak
17

membutuhkan agunan. Selama para petani menghasilkan produk pertanian secara berkala, yang mereka jual kepada rentenir/tengkulak yang menguasai harga, mereka bisa mendapatkan pinjaman yang mereka butuhkan. Sistem seperti ini sudah ada sejak lama dan mengarah pada situasi dimana petani tidak memiliki sumber alternatif lain untuk mendapatkan modal yang dapat diinvestasikan untuk perkebunan baru. Walaupun sistem ini merugikan petani, mereka biasanya tidak melihat alternatif lain.

Petani yang dibantu: Petani yang membudidayakan kelapa sawit dangan dukungan
langsung, baik dari pemerintah atau perusahaan swasta. Konsep dasarnya adalah, lembaga pemerintah atau perusahaan perkebunan swasta menyediakan pendampingan teknis dan pengadaan cadangan bibit, pupuk dan pestisida berbasis pinjaman, kadang-kadang sebagiannya disubsidi oleh pemerintah. Kemungkinan ada kontrak lisan atau tertulis yang membatasi kesepakatan dan kemungkinan mencakup jaminan penjualan termasuk harga penggilingan. Contoh petani dengan bantuan di Indonesia adalah perkebunan inti-plasma (PIR) dan beragam skema-skema alokasi dan rehabilitasi lahan di Malaysia (RISDA, FELCRA, FELDA).

Skema kepemilikan kolektif merupakan opsi lain untuk masyarakat lokal dengan status
kepemilikan lahan atau hak adat atas tanah yang diakui. Skema ini merupakan penyewaan tanah atau usaha patungan, dimana pemilik lahan menyewakan hak penggunaan lahannya kepada perusahaan perkebunan atau dengan skema bagi hasil yang didasarkan pada nilai ekuitas lahannya. Skema ini bukan merupakan model baku untuk petani, tapi dapat dijadikan sebagai alternatif menarik untuk pemilik lahan lokal. Konsep Baru di Malaysia (Sabah dan Serawak) serta skema Lease-lease-back (sewa dan menyewakan kembali) di Papua Nugini merupakan model yang ada saat ini.

Kotak 2: Perbedaan antara petani (Sumber: Vermeulen, S. and Goad, N. 2006).


Oleh karena itu, tantangan utama adalah membentuk suatu organisasi yang dapat menjalankan aspek teknis (akses bibit, pengelolaan pupuk, penyewaan peralatan dll.) dan aspek pasar (negosiasi harga yang pantas, menjamin kualitas). Pembentukan organisasi seperti ini juga merupakan tuntutan dari sudut pandang adanya aktor-aktor dalam rantai pasokan, khususnya perusahaan kelapa sawit dan pedagang, yang lebih mengutamakan untuk bernegosiasi dengan satu aktor untuk keseluruhan daripada dengan sejumlah pemain-pemain kecil. Dalam kasus studi percontohan, Credit Union yang dinamakan Credit Union (CU) Makmur Indah Lestari, telah dibentuk sejak awal Juli 2009 berdasarkan alasan-alasan di atas. Namun demikian, dalam perkembangannya sebagai Credit Union yang efektif harus mampu mengatasi sejumlah permasalahan struktural, baik internal maupun eksternal. Secara internal, perkembangan sebuah Credit Union merupakan proses yang panjang, karena masyarakat lokal, terutama di Aceh, tidak terbiasa dalam membuat keputusan dan bekerja di sektor perkebunan secara kolektif. Budaya saling percaya dan berkolaborasi harus ditumbuhkan terlebih dahulu. Mengidentifikasi, dan selanjutnya menentukan petani-petani yang akan menjadi bagian dalam membangun perkebunan kelapa sawit merupakan proses pembelajaran, dimana masyarakat lokal memiliki minat untuk turut ambil bagian dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit dan kemudian setuju untuk menjadi anggota Credit Union . Setiap tahap dalam aktivitas tersebut (seperti identifikasi kepemilikan lahan, kesepakatan untuk membangun perkebunan kelapa sawit dan kesepakatan untuk menjadi anggota dari Credit Union ) membutuhkan negosiasi secara individual dengan masing-masing petani dan mereka pun bebas untuk memutuskan apakah mereka bergabung atau tidak. Dari sisi eksternal, pembangunan Credit Union (CU) juga menghadapi tantangan-tantangan dalam mendemonstrasikan bahwa lembaga tersebut berfungsi dengan baik dan benar selama satu tahun untuk mendapatkan akreditasi formal sebagai badan hukum dari Pemerintah Kabupaten. Setelah itu,
18

barulah CU dapat mengajukan pinjaman. Sulit bagi CU untuk berfungsi jika tidak teregistrasi secara resmi, karena tanpa itu CU tidak dapat diakui sebagai lembaga mitra oleh pihak-pihak ketiga.

3.4. Ekonomi Perkebunan


Dalam dua tahun pertama pembangunannya, sulit untuk mendapatkan gambaran akurat tentang apa tepatnya yang akan terjadi dalam 20 tahun siklus perkebunan kelapa sawit. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membangun perkebunan kelapa sawit di atas lahan tidur relatif mudah dan secara keseluruhan pembangunannya sama seperti yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit kecil lainnya. Namun, iklim (kelembaban dan suhu) dan jumlah pupuk yang digunakan menjadi faktor yang menentukan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit. Terkait dengan keberadaan lahan tidur dalam konteks ini, yang berbatasan dengan daerah penghasil kelapa sawit tertinggi di dunia (Jacquemard J.Ch., et al, 2010), dapat diasumsikan bahwa iklim di daerah ini sangat cocok. Terkait pupuk, program ini berupaya keras untuk memberikan pupuk yang optimal dengan menggunakan metode organik. Bertolak dari kondisi iklim yang sangat sesuai, proyeksi finansial dari studi percontohan ini diasumsikan sebagai berikut: perkebunan akan merugi dalam kurun waktu tujuh tahun pertama pelaksanaannya, empat tahun pertama hanya investasi tanpa panen. Selain itu, CU juga akan menderita kerugian finansial selama tiga tahun berturut-turut setelah masa pra-panen dikarenakan produksi tandan buah segar yang rendah, sehingga penjualannya tidak dapat menutupi biaya dan pengeluaran maupun bunga. Nilai investasi yang ditanamkan untuk studi percontohan ini hingga panen perdana (empat tahun pertama) adalah senilai Rp. 26.979.700/ha (US$ 3.140 dengan nilai tukar Rp. 8.600 / US$ 1). 52% dari biaya investasi adalah untuk membiayai pekerja, sementara sisanya digunakan untuk peralatan, perlengkapan dan material (seperti bibit dan pupuk). Biaya pemeliharaan tanaman pertahun selama masa usia panen (pasca panen perdana) bervariasi tergantung usia tanaman sawit. Selama masa usia panen, biaya untuk pekerja berjumlah sekitar

Break Even Point (BEP)

Gambar 6: Aspek ekonomi dari studi percontohan


19

55% dari keseluruhan biaya perawatan tanaman. Lebih jauh lagi, sebagian besar biaya terkait perawatan infrastruktur adalah untuk pekerja. Pendapatan utama bagi para petani dalam skema studi percontohan berasal dari penjualan tandan buah segar. Jika pengelolaan finansial dilakukan dengan baik oleh CU, dimulai sejak tahun ke 7 (Titik Impas atau Break Even Point, Gambar 6), para anggota studi percontohan akan mulai dapat membayar cicilan kredit investasi dan modal kerja. Kredit investasi diproyeksikan dapat dilunasi dalam kurun waktu 8 tahun, sementara modal kerja selama 6 tahun. Pendapatan rata-rata per hektar per tahun diprediksi sebesar Rp. 5.014.227 (US$ 583) atau Rp. 250.714 per hektar per panen (dengan asumsi dua kali panen per tahun selama 10 bulan dalam satu tahun). Sepanjang usia tanaman (satu siklus tanam), jumlah investasi diperkirakan sebesar 69% dari total pendapatan kumulatif secara keseluruhan. Periode pengembaliannya selama 11 tahun. Berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan terhadap proyek ini, Rasio Biaya dan Keuntungan ( Benefit Cost Ratio ) lebih besar dari 1, berarti proyek ini layak secara finansial.

3.5. Akses Pasar


Terkait akses pasar, terdapat dua lokasi penjualan terdekat untuk menjual tandan buah segar (seperti di Kecamatan Darul Makmur di Kabupaten Nagan Raya), dimana terdapat beberapa perkebunan kelapa sawit skala besar yang beroperasi di wilayah tersebut sebagai tempat penjualan hasil panen. Seperti disebutkan sebelumnya, berbagai upaya akan dilakukan untuk memastikan bahwa hasil panen dijual melalui CU. Dengan cara ini tidak hanya diharapkan akan mendapatkan harga yang pantas, tetapi juga penting untuk membedakan hasil panen tersebut dengan hasil panen dari perkebunan sawit yang dibangun melalui pelaksanaan operasi yang normal atau konvensional ( business-as-usual) di wilayah ini melalui alih fungsi hutan adat untuk menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Dalam kasus pemanfaatan lahan terdegradasi untuk perkebunan kelapa sawit, tentunya sangat diharapkan bahwa harga premium dapat dicapai untuk produk yang dihasilkan, karena secara langsung melibatkan petani dan masyarakat lokal serta menghargai keanekaragaman hayati. Terkait keanekaragaman hayati, PanEco memutuskan untuk menggunakan metode pertanian organik sejak awal. Sangat mungkin untuk melampaui persyaratan RSPO yang masih memberlakukan penggunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya, dan memilih untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Oleh karena itu, produk ini mungkin mendapatkan akses untuk ceruk pasar. Selain itu juga penting untuk menyinggung bahwa dengan menggunakan metode pertanian organik dalam memanfaatkan lahan tidur, perkebunan yang dibangun diatasnya tidak hanya meminimalisir dampak terhadap lingkungan, tetapi juga menawarkan kesempatan bagi petani yang terlibat untuk menghasilkan pupuknya sendiri. Hal ini mengurangi biaya pemeliharaan dan pada saat yang bersamaan membuka peluang usaha baru.

20

BAB 4 DAMPAK TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI


Secara umum diasumsikan bahwa lahan terdegradasi merupakan lahan terbuang dengan nilai keanekaragaman hayati yang rendah. Pada saat bersamaan, ada pendapat lain bahwa lahan terdegradasi atau lahan tidur dapat merupakan habitat khas untuk sejumlah jenis tanaman atau jenis hewan. Perdebatan masih berjalan, terutama akibat kurangnya informasi secara umum mengenai lahan terdegradasi yang hingga sekarang sangat kurang dipelajari. Dengan mempelajari perubahan dan tren dalam keanekaragaman hayati di areal studi percontohan, PanEco dapat memberikan sekilas jawaban terhadap permasalahan ini. Terdapat dua pandangan yang saling mengimbangi untuk di adopsi dalam mepelajari dampak pemanfaatan lahan terdegradasi sebagai perkebunan kelapa sawit terhadap keaneka-ragaman hayati. Di satu sisi, perlu dipertimbangkan dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit di tingkatan lokasinya. Dari sudut pandang tersebut menjadi penting untuk Gambar 7 : Peta lokasi dan tutupan lahan studi percontohan di desa melakukan zonasi terhadap lokasi Lamie. pembangunannya dan mengalokasikan peruntukan lahan yang berbeda, seperti areal konservasi dan areal untuk kelapa sawit. Yang terpenting di tingkat ini dari sudut pandang konservasi keanekaragaman hayati adalah untuk mencoba mengalokasikan areal terluas yang berkesinambungan sebagai lahan konservasi. Karena luasan areal yang disisihkan untuk konservasi sangat bergantung pada keputusan para pemilik lahan, dalam hal ini para petani, pertanyaan utama adalah: berapa luas mereka dapat dibujuk untuk menyisihkan lahannya? Di sisi lain, perlu ditinjau permasalahannya dari sudut pandang tingkat mikro, di tingkat lahan itu sendiri, dalam zonasi yang sudah dibentuk. Dalam kasus ini, hal yang penting adalah untuk memonitor secara efektif perubahan-perubahan yang muncul di dalam areal yang terbagi atas
21

peruntukan yang berbeda. Dalam kasus studi percontohan, hal ini meliputi areal yang telah disisihkan untuk konservasi, areal yang telah dibersihkan dan ditanami (yaitu areal yang telah ditanami) dan sisa dari lahan terdegradasi tersebut yang belum dibersihkan maupun ditanami dengan kelapa sawit.

4.1. Melestarikan Suatu Areal


Hasil keseluruhan dari perilaku normal oleh masing-masing individu menuju ke arah transformasi seluruh lahan terdegradasi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, karena setiap petani secara alami akan berusaha untuk memaksimalkan hasil dari kelapa sawitnya yang ditanam di lahan masing-masing. Sebagai akibatnya, perusakan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi ( High Value Conservation Forest - HCVF) yang layaknya di sisihkan untuk konservasi, seperti dijelaskan dalam Prinsip dan Keriteria (P&K) RSPO, menjadi taruhannya. Dalam skenario seperti ini, bagaimana petani lokal yang mencari keuntungan besar dapat mematuhi persyaratan yang tertuang dalam P&K RSPO tentang HCVF. Pada awalnya, area konservasi di dalam lahan studi percontohan ditetapkan setelah mencocokkan dengan P&K RSPO. Menurut Kriteria 7.3 RSPO tentang konservasi HCVF untuk kepentingan biologi dan perundang-undangan Indonesia (Kotak 3), areal hutan sekunder di dalam lahan studi percontohan layak untuk disisihkan sebagai areal konservasi. Areal seluas 4,3 ha tersebut sebagian besar merupakan satu kesatuan blok berhutan dengan beberapa fragment-fragmen terpisah. Meskipun demikian, dari sudut pandang petani, penting untuk dicatat bahwa areal tersebut mewakili 5% dari keseluruhan lahan yang dimiliki petani yang digunakan untuk studi percontohan. Hal ini menunjukkan persentasi substansial dari keseluruhan luas lahan yang nantinya tidak akan digunakan, atau secara efektif mereka kehilangan lahan yang dapat digunakan untuk peningkatan ekonomi. Namun perlu juga disadari bahwa sudut pandang petani seperti itu tidak mempertimbangkan bahwa areal konservasi dapat memberikan keuntungan ekonomi yang sebenarnya bagi perkebunan kelapa sawit, seperti contohnya sebagai tempat bernaungnya para predator dan satwa serta tanaman penting lainnya yang dapat berperan dalam menanggulangi hama serta penyakit yang berpotensi merugikan bagi tanaman kelapa sawit dan produktivitasnya.

Jenis-jenis yang terdaftar dalam Daftar Merah IUCN ( IUCN Red List) tentang Jenis-jenis Yang Terancam dan ditemukan di lahan studi percontohan meliputi ungka tangan putih ( Hylobates lar), kedih ( Presbytis thomasi), beruang madu ( Ursus malayanus), tikus kepala putih ( Maxomys whiteheadi) dan 13 jenis burung, termasuk punai besar ( Treron capellei). Jejak harimau sumatera ( Panthera tigris sumatrae ) juga ditemukan di lahan studi percontohan. Tiga jenis kantung semar juga ditemukan di sini: Nepenthes albomarginata , Nepenthes ampullaria , dan Nepenthes gracilis, semuanya merupakan tumbuhan carnivora yang dilindungi undang-undang sejak 1999. 12 jenis burung dengan kategori hampir terancam dan sangat tergantung pada hutan juga terdeteksi di areal ini, seperti juga tiga jenis reptil dan amfibi yang terancam (meskipun mereka juga berada di luar batas areal studi percontohan ketika terlihat, tapi kemungkinan besar mereka sangat sering mengunjungi areal pecontohan tersebut).

Kotak 3: Jenis-jenis terancam yang ditemukan di areal studi percontohan.

22

Setelah menetapkan areal HCVF sesuai P&C RSPO, dua opsi yang berbeda mulai dibahas (Gambar 8 dan 9). Opsi 1 merujuk pada pelestarian sebagian besar areal yang ditumbuhi kembali atau hutan sekunder (opsi konservasi yang terbaik) dan Opsi 2 merujuk pada pelestarian areal yang paling sesuai dengan realita sosial para petani. Setelah berdiskusi panjang lebar terkait kedua opsi tersebut, petani akhirnya memutuskan untuk memilih Opsi 2. Para petani secara berkelompok setuju untuk memberikan kompensasi kepada 2 anggotanya yang menyerahkan lahannya, atau sebagian besar lahannya, untuk dikonservasi. Disepakati bersama untuk membeli lahan tersebut berdasarkan harga pasar per hektar untuk lahan pertanian di Kabupaten Nagan Raya senilai Rp. 10 juta/ha (sekitar US$ 1.100). Sayangnya, ketika kelompok sudah memutuskan dan sepakat untuk memilih opsi 2, hal ini tidak terwujud. Petani yang telah setuju untuk menerima kompensasi atas lahan yang ia sisihkan untuk areal konservasi sesuai pembahasan sebelumnya menolak kesepakatan kolektif yang telah diambil. Petani tersebut memutuskan untuk keluar dari keanggotaan studi percontohan dan membangun kebun kelapa sawitnya sediri secara mandiri. Namun demikian, petani lainnya yang menyisihkan sebagian kecil lahannya sebagai bagian dari areal konservasi, menawarkan sebagian besar lahannya sebagai pengganti. Lahannya memang berbatasan dengan areal yang dimiliki oleh petani yang pada akhirnya menolak untuk menyerahkan lahannya sebagai areal konservasi. Berdasarkan kondisi vegetasi yang sama (hutan sekunder) dengan areal yang sebelumnya terpilih untuk dikonservasi, hal tersebut menjadi solusi praktis dan pemilik lahan konservasi pengganti mendapat kompensasi sesuai dengan yang telah disepakati sebelumnya. Penerapan yang ketat terhadap P&K RSPO terkait HCVF, sebagai acuan dalam mengidentifikasi dan menetapkan areal konservasi di dalam areal perkebunan, merupakan awal yang baik dalam menentukan areal untuk dilindungi dilihat dari sudut pandang ekosistem. Meskipun demikian, dalam kasus seperti studi percontohan ini, para petani menjadi bagian terpenting sebagai pengambil keputusan karena mereka adalah pemilik lahan yang sesungguhnya. Proses yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa terlepas adanya keinginan baik dan proses yang panjang dalam pengambilan keputusan kolektif, masing-masing pemangku kepentingan dan keputusan yang mereka ambil dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap apa yang dihasilkan dalam proses implementasi di lapangan. Untuk itu, hal seperti ini sering menimbulkan tuntutan akan kompromi-kompromi lain guna mencapai suatu tujuan, dalam kasus ini penyisihan lahan untuk areal konservasi di lahan studi percontohan. Selama proses negosiasi dan implementasinya, luasan areal yang dikonservasi menyusut dengan mencolok akibat minat petani yang kuat untuk memanfaatkan lahan cenderung mengesampingkan pertimbangan keanekaragaman hayati. Total luas awal areal konservasi adalah 4,3 ha, dengan Opsi 1 seluas 3,7 ha dan Opsi 2 seluas 2,8 ha. Para petani memilih Opsi 2, tetapi ketika mereka berupaya untuk mengimplementasikan pilihannya, hanya satu petani yang sepakat untuk menjadikan sebagian lahannya sebagai areal konservasi, dan itupun akhirnya hanya menghasilkan penyisihan lahan seluas 2,32 ha (54% dari rencana awal) untuk areal konservasi di lahan studi percontohan.

4.2. Menggunakan Metode Ramah Lingkungan


PanEco memonitor beragam indikator dampak lingkungan di tiga areal dalam lahan studi percontohan yang telah ditetapkan sebelumnya: di areal konservasi, di areal yang belum dibersihkan dan ditanami dan di areal yang telah ditanami. Di setiap areal dilakukan survei berkala seperti survey burung, reptil dan amfibi, mamalia kecil, serangga, vegetasi, plankton dan bentos.
23

Gambar 8: Opsi 1: Mempertahankan satu kesatuan blok hutan dan membersihkan fragmen-fragment yang tersebar dan merestorasi bagian lahan terdegradasi yang tidak dikonversi (warna hijau tua) di dalam blok.

Gambar 9: Opsi 2: Membersihkan areal "kaca jam" yang merupakan bagian dari blok yang besar dan areal yang terfragmentasi, serta merestorasi bagian areal terdegradasi yang tidak dikonversi dalam blok tersebut (warna hijau tua).

24

Untuk setiap parameter keanekaragaman hayati yang ditetapkan untuk melakukan studi, ada tiga indikator utama yang dimonitor: 1. Jumlah individu (jika memungkinkan). 2. Jumlah jenis dan ordo (jika memungkinkan). 3. Jumlah jenis yang terancam sesuai Daftar Merah IUCN, lampiran I dan II CITES dan daftar jenis-jenis yang dilindungi sesuai peraturan perundangan di Indonesia. Program ini juga memonitor kualitas air dan tanah. Temuan pertama yang mencolok adalah penemuan sejumlah jenis tanaman dan satwa penting di lahan tidur tersebut: lebih dari 100 jenis burung, 25 jenis reptil dan amfibi, mendekati 300 jenis serangga yang beragam, lebih dari 10 jenis mamalia kecil dan satu jenis beruang, serta bukti bahwa harimau sumatera terkadang mendatangi areal tersebut. Keberagaman ini tentunya merupakan akibat dari keragaman habitat yang tersisa, baik yang berada di lahan studi percontohan maupun di areal sekitarnya. Secara keseluruhan, survei yang dilakukan di lahan studi percontohan sejak 2009, mulai dari kondisi awal sebagai lahan terdegradasi hingga perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun (walaupun usianya masih muda) dengan areal konservasi terkait dan bagian lahan terdegradasi yang masih tersisa, menunjukkan sebagian besar jenis-jenis yang sama dari tahun ke tahun. Jumlah dan populasi dari jenis-jenis yang ada terlihat menurun, tetapi hanya untuk beberapa takson. Hanya komunitas jenis burung yang tampaknya menghilang sekitar 20% hingga 30% dari jenis-jenis yang ada pada awalnya. Serangga, setelah menghilang pada awalnya, tampaknya mulai kembali, begitupun dengan reptil dan amfibi. Populasi mamalia sejauh ini terlihat stabil. Hal ini mungkin berhubungan langsung dengan adanya areal yang dikonservasi dan penggunaan metode pertanian organik yang sensitif terhadap keanekaragaman hayati sejak awal pembangunan perkebunan percontohan tersebut. Metode pertanian organik hampir pasti telah berkontribusi hingga batas tertentu dalam mempertahankan populasi jenis-jenis yang ada dan memfasilitasi pendudukan kembali areal percontohan oleh jenis-jenis tersebut, terutama oleh tanaman dan serangga, dan yang terpenting satwa lainnya. Tanaman dan serangga merupakan dua kategori dasar bagi rantai makanan, dan oleh karena itu sangat menentukan apakah jenis-jenis lain dapat bertahan dalam areal tertentu. Dibentuknya areal konservasi secara efektif telah mempertahankan sebagian besar jenis tanaman dan satwa yang dilindungi, kecuali, dan sangat penting, burung. Satu-satunya jenis burung terancam adalah punai besar ( Treron capellei), tidak lagi terlihat seperti 12 jenis lainnya yang berstatus hampir terancam. Kesimpulan termudah yang dapat diambil dari sudut pandang konservasi burung yang terancam punah adalah bahwa keputusan untuk menyisihkan 2,7 ha areal konservasi di lahan studi percontohan secara nyata hanya memberikan dampak positif jangka panjang yang kecil atau tidak berdampak sama sekali terhadap keberadaan jenis-jenis burung yang saat ini terancam punah. Hal ini selaras dengan penemuan baru tentang populasi burung di fragmen hutan dalam bentang luasan perkebunan sawit di berbagai daerah lain, seperti tertulis dalam Edwards, et al., 2010, yang mengusulkan bahwa investasi apapun untuk mempertahankan fragmenfragmen hutan sebaiknya dialihkan untuk pelestarian satu kesatuan hutan yang masih luas. Kekhawatiran serupa juga berlaku bagi berbagai jenis mamalia yang masih terdapat di areal konservasi, karena mereka mungkin membutuhkan areal yang lebih luas untuk bertahan hidup
25

dalam jangka panjang. Meskipun demikian, kesimpulan ini masih dalam peninjauan ulang, karena areal konservasi kecil dapat menjadi sumber makanan penting dan tempat singgah bagi burungburung dari daerah sekitar atau bahkan dari daerah yang jauh, termasuk juga beberapa jenis yang terancam. Keterkaitan satu sama lain sering menentukan, dan segala upaya untuk mengevaluasi pentingnya area konservasi, meskipun kecil, harus dilihat dari sudut pandang bentang alam, khususnya ketika mempertimbangkan jenis-jenis satwa yang membutuhkan bentang luas berpotensi besar. Bahkan hutan konservasi ukuran kecil terlihat jelas mampu mempertahankan spesies maupun individu-individu flora dan fauna dalam jumlah besar, walaupun jenis-jenis tersebut bukan merupakan yang dilindungi di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa areal konservasi masih merupakan hal penting bagi konservasi keanekaragaman hayati di tingkat lokal dan regional. Hal ini didukung oleh beberapa kesimpulan dari studi-studi lintasan populasi spesies di fragmen-fragmen hutan (contohnya Benedick, et al 2006, Struebig. et al, 2008, Struebig, et al, 2011). Analisa tentang beragam jenis peruntukan lahan menunjukkan bahwa penggunaan dari metode yang paling ramah lingkungan, yaitu metode pertanian organik, menawarkan potensi pengendalian hama dan penyakit, karena kekayaan akan keanekaragaman hayati di tingkat lokal dapat menjaga keseimbangan ekosistem dengan memaksimalkan kemungkinan terhadap berlanjutnya fungsi alami terkait hubungan antara predator dan mangsa. Meskipun demikian, mempertahankan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik terkait jumlah spesies maupun jumlah individu, dapat memberikan berbagai efek positif maupun negatif. Beberapa spesies dapat berkembang menjadi hama yang menyerang kelapa sawit dan beberapa lainnya menjadi predator yang mengendalikan hama tersebut. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk berusaha sekeras mungkin untuk mempertahankan keseimbangan ekologis dan, bila benar-benar penting, melengkapinya dengan aksi-aksi melawan hama tertentu. Hama berpotensi tinggi yang ditemukan di tahap awal pengembangan pekebunan percontohan ini adalah: tikus hitam yang menurut petani menyerang tanaman muda dan kemudian buah kelapa sawit, kumbang badak ( Oryctes rhinoceros) yang menyerang jantung sawit, ulat api ( Parasa lepida ) yang memakan daun kelapa sawit dan menyebabkan penurunan produktivitas kelapa sawit secara signifikan, serta ilalang dari jenis yang sangat ganas dan harus dikendalikan. Tikus dimangsa oleh burung pemangsa, khususnya elang tikus ( Elanus axillaris) - sepasang jenis ini terdeteksi di areal percontohan - dan burung hantu dari jenis Tyto alba , yang mungkin akan menduduki areal ini secara alami atau didatangkan dengan cara membangun kotak-kotak sarang khusus. Tikus tentunya juga dimangsa oleh ular yang, sayangnya, status konservasinya sangat kurang diketahui di areal ini karena tidak dikhususkan dalam studi-studi lapangan. Oleh karena itu, kelanjutan penggunaan metode pertanian organik merupakan hal penting dalam mendukung pengendalian hama secara alami oleh pemangsa/predator alaminya, sehingga mendorong dan memfasilitasi kelangsungan hidup spesies-spesies tersebut di area studi percontohan. Kebanyakan pemangsa serangga adalah burung. Kedasih, spesies yang dapat ditemukan di areal hutan yang berbatasan dengan areal studi percontohan, merupakan pemangsa utama ulat api. Jenis pemangsa serangga lainnya yang tak terhitung jumlahnya mengendalikan hama ulat dan kumbang pemakan daun. Serangga juga dikendalikan oleh serangga lain, seperti spesies predator dari jenis Mantidea dan Dermoptera serta dari banyak jenis Coleoptera dan spesies parasit seperti mayoritas jenis Hymnoptera dan beberapa dari jenis Diptera . Yang menarik adalah bahwa banyak spesies dari ordo tersebut yang ditemukan di areal konservasi. Studi percontohan ini juga mempertimbangkan untuk menanam spesies-spesies tanaman yang menguntungkan sebagai tambahan untuk
26

mendorong dan menaungi para predator hama-hama kelapa sawit di sepanjang batas lahan studi percontohan. Tanaman yang tergolong berpotensi meliputi jenis-jenis Tunera subulata , Cassia cobanensis dan Antiginon leptopus.
Imperata cylindrical, jenis ilalang dominan yang tumbuh rapat menutupi lahan terdegradasi sebelum

dijadikan lahan studi percontohan ini masih menjadi masalah. Tumbuhan ini menyebarkan diri baik melalui biji-biji kecil yang mudah diterbangkan angin maupun melalui rimpangnya. Penanggulangan jenis Imperata cylindrica secara manual penting untuk dilakukan, tetapi juga sulit, karena sistem rimpang yang padat menghambat tumbuh kembangnya tanaman lain yang menguntungkan, khususnya LCC ( Land Cover Crop ) atau kacangan yang ditanam sebelum penanaman sawit dilakukan. Herbisida biasanya digunakan untuk mengatasi jenis ilalang yang agresif ini, tapi proyek percontohan ini keberatan untuk menggunakannya karena sejak awal mengadopsi metode pengendalian hama secara organik. Situasi ini harus diatasi dengan hati-hati dan membutuhkan untuk mengambil keputusan atas bagaimana cara terbaik untuk mengatasinya, mengingat sertifikasi organik untuk kelapa sawit yang dihasilkan dapat dilakukan di tingkat yang lebih lanjut, walaupun beberapa bahan kimia digunakan di awal pengembangan perkebunan tersebut. Sebagai tambahan terkait perannya dalam penanggulangan hama dan penyakit, peran yang tepat dari areal konservasi di tahun-tahun mendatang juga penting untuk dibahas, baik dari sudut pandang petani karena bisa memperkaya nilai ekonomi, contohnya dengan menambah spesies tanaman penghasil kayu atau berbagai pohon dan tanaman bernilai ekonomi lainnya, maupun dari sudut pandang keanekaragaman hayati dalam meningkatkan potensi konservasi keanekaragaman hayatinya, contohnya dengan menambahkan tanaman yang dapat menarik bagi spesies-spesies yang terancam punah.

27

BAB 5 PERUBAHAN IKLIM


Dalam berbagai kasus, pengembangan perkebunan kelapa sawit di atas lahan mineral yang terdegradasi berdampak positif terhadap mitigasi perubahan iklim. Perkebunan kelapa sawit dipastikan menyimpan 40 ton karbon/ha selama 25 tahun siklusnya dengan puncaknya sebesar 60 hingga 80 ton karbon/ha pada masa dewasa. Jumlah ini melebihi yang disimpan oleh padang rumput, semak dan belukar yang tumbuh di sebagian besar lahan terdegradasi. Namun demikian, jika lahan terdegradasi merupakan hutan sekunder, konversi menjadi perkebunan kelapa sawit bisa menimbulkan emisi karbon. Untungnya, seperti dijelaskan dalam bab mengenai keanekaragaman hayati, hutan sekunder harus dipertahankan sebagai areal konservasi terkait nilai keanekaragaman hayati yang merupakan HCVF menurut P&K RSPO. Pengembangan perkebunan kelapa sawit dari lahan mineral yang terdegradasi secara tidak langsung juga memiliki dampak positif terhadap mitigasi perubahan iklim karena lahan berhutan, terutama hutan rawa gambut, tidak selayaknya digunakan untuk pengembangan kelapa sawit. Hutan rawa gambut dataran rendah menghilang dari wilayah Asia Tenggara dengan laju penurunan sekitar 100.000 ha/tahun, sebagian besar dikonversi menjadi lahan budidaya perkebunan (IRIN, 2011). Perusahaan-perusahaan sawit besar di Indonesia terkenal memiliki simpanan berupa bidangbidang lahan yang luas dalam bentuk konsesi atas lahan hutan rawa gambut yang belum di buka (Greenpeace, 2008). Konversi hutan hujan terutama hutan rawa gambut melepaskan Gas Rumah Kaca dalam jumlah besar. Di atas tanah, dalam pohon dan serasah, konversi hutan dataran rendah tropis melepaskan antara 170 hingga 250 ton karbon/ha, termasuk di Sumatera (Tata H.L. and van Noordwijk M., 2010). Di bawah tanah, di lapisan gambut, pengeringan dan oksidasi lahan gambut melepaskan carbon dalam jumlah besar ke dalam atmosfer, dan hal ini diperburuk dengan pembakaran lahan dan penggunaan pupuk kimia. Pembakaran lahan gambut dilarang keras dalam undang-undang Indonesia dan juga dalam P&K RSPO. Meskipun demikian, kebakaran di lahan gambut masih sangat sering terjadi di negara ini. Kebakaran melepaskan sedikitnya 50 ton karbon/ha (Page S.E., et al, 2000; Siegert F., et al., 2002; Page S.E. et al., 2002). Setelah penebangan dan kemungkinan pembakaran lahan untuk membersihkan sisa-sisa vegetasi yang tertinggal, perkebunan kelapa sawit membangun kanal-kanal menurunkan tinggi permukaan air pada lahan gambut. Hal ini menyebabkan pengeringan dan oksidasi lahan gambut yang terpapar ke udara terbuka. Walaupun masih menjadi perdebatan, karena rendahnya koefisien dari korelasi yang timbul, diperkirakan untuk setiap 10 cm yang dikeringkan, 2,5 ton karbon (atau 9 ton karbondioksida) per hektar dilepaskan setiap tahunnya (Hooijer, A.,Silvius, M., Wosten H. and Page, S. 2006). Bahkan dengan praktek pengelolaan terbaik ( Best Management Practices), dengan kedalaman kanal yang berkisar antara 50 hingga 70 cm, hal ini tetap mengarah pada hilangnya kandungan karbon sebesar 14 ton/ha setiap tahunnya.

28

BAB 6 KESIMPULAN DAN JALAN UNTUK KEMAJUAN


Pemanfaatan lahan mineral terdegradasi untuk menjamin pasokan kelapa sawit dan untuk melindungi keanekaragaman hayati dari hutan hujan dataran rendah sekilas merupakan opsi yang sangat menarik yang menggabungkan dua opsi yang tampaknya saling bertolak belakang: pengembangan ekonomi melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit dan perlindungan hutan sebagai mitigasi perubahan iklim. Sebagai tambahan, pengembangan perkebunan sawit di lahan terdegradasi berdampak positif terhadap mitigasi perubahan iklim. Kenyataannya, studi yang kami lakukan menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan mineral terdegradasi memberikan keuntungan ekonomi yang sama atau bahkan lebih baik dibanding pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui alih fungsi hutan (Gambar 6). Pengembangan di lahan mineral tentunya tidak menghadirkan tantangan teknis secara khusus jika dibandingkan dengan pengembangan kelapa sawit secara klasik di lahan hutan adat atau hutan primer. Lebih lanjut lagi, pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan mineral terdegradasi secara ekonomis lebih menguntungkan dibanding pengembangan di atas lahan gambut, disebabkan oleh biaya investasi yang lebih rendah dibanding investasi di lahan gambut serta hasil panen bisa lebih tinggi. Dengan menerapkan praktek pengelolaan terbaik, analisa finansial telah menunjukkan bahwa lahan terdegradasi menawarkan tingkat keuntungan yang lebih unggul kepada petani kelapa sawit dibandingkan lahan gambut yang berhutan maupun tidak berhutan (BAPPENAS, 2009). Nyatanya, pekerjaan kami di lapangan menunjukkan bahwa preferensi untuk perkebunan di lahan gambut dibanding di lahan terdegradasi lebih dikarenakan rendahnya klaim atas kepemilikan lahan oleh masyarakat lokal, yang penyelesaiannya memakan waktu dan rentan konflik. Kemungkinan menghasilkan pendapatan melalui penebangan hutan primer, sebelum menjadikannya lahan perkebunan kelapa sawit, menjadi insentif tambahan, walaupun hal ini tampaknya lebih sekunder dan lebih kecil dibandingkan dengan masalah lahan yang kompleks. Sebagai tambahan terhadap keuntungan finansial yang positif, pengembangan lahan terdegradasi menjadi perkebunan kelapa sawit juga memiliki keuntungan dalam mitigasi perubahan iklim dan dampak yang rendah terhadap keanekaragaman hayati, terutama jika kunci areal konservasi dapat diidentifikasi dan dipertahankan. Bahkan jika area konservasi tersebut sulit untuk dipertahankan, pembangunan konsesi kelapa sawit di areal terdegradasi berdampak lebih rendah terhadap iklim dan keanekaragaman hayati dibanding pengembangannya di lahan berhutan, dan khususnya di lahan hutan rawa gambut. Bertolak dari hal tersebut di atas, hasil pertama dari studi percontohan memberikan gambaran akan kasus yang kuat tentang pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan terdegradasi, termasuk pertukaran lahan di sektor perkebunan dari lahan gambut ke lahan mineral. Namun demikian, dua kunci kebijakan yang menjadi rintangan telah teridentifikasi dan merupakan masalah yang terlebih dahulu perlu diatasi untuk mengoptimalkan produksi kelapa sawit dan menjamin areal konservasi: jumlah dan jenis lahan terdegradasi yang tersedia dan keinginan petani lokal untuk turut berpartisipasi.

Jumlah dan jenis lahan terdegradasi yang tersedia


Lahan terdegradasi terdapat seluas antara 50 hingga 500 Ha, tersebar secara acak diseluruh 4
29

kabupaten yang dijelajahi, sehingga menjadi tidak mungkin untuk mengajukan pertukaran lahan dengan konsesi kelapa sawit skala besar yang melakukan praktek bisnis secara normal/konvensional dengan lahan seluas 3.000 hingga 30.000 Ha dan menggantikannya dengan lahan terdegradasi. Lebih jauh lagi, lahan dalam potongan-potongan kecil tersebut sekilas tidak menjadi ketertarikan langsung bagi sektor kelapa sawit diakibatkan skala ekonomi yang mencakup biaya ekstra untuk transportasi dan komunikasi antara lahan-lahan sempit yang terpisah satu sama lain, bertolak belakang dengan beberapa lahan yang luas.

Partisipasi petani lokal dan bentuk usaha


Permasalahan kebijakan lainnya adalah bahwa lahan terdegradasi didefinisikan sebagai lahan yang didegradasi sebelumnya oleh masyarakat lain, yang mungkin akan mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut. Oleh karena itu, pengembangan lahan terdegradasi memerlukan kejelasan atas hak kepemilikan dan izin dari pemiliknya. Kepemilikan lahan sebagai jaminan merupakan prasyarat untuk melakukan investasi usaha yang serius terhadap lahan tersebut. Ditambah lagi, para petani tersebut cenderung hanya memiliki 0,5 hingga 2 Ha lahan, yang berarti banyaknya jumlah yang terlibat, waktu yang panjang dan konflik potensial. Petani lokal juga sangat ingin untuk mendapat keuntungan dari pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit dalam konteks mata pencaharian mereka dan sistem pertanian, karena mereka ingin memiliki ketahanan terhadap fluktuasi pasar dan tidak selamanya bergantung pada pertanian mono-kultur. Namun demikian, dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit, para petani lokal sering tidak memiliki persyaratan dasar seperti material (bibit dan pupuk), pengetahuan teknis (pengelolaan tanaman, koperasi) dan akses pasar tanpa perantara, untuk dapat melakukan keputusan berdasarkan informasi yang baik. Menanggulangi kedua kekurangan tersebut membutuhkan reformasi di sektor kelapa sawit, intervensi yang dibutuhkan dari pemerintah dan dukungan sektor swasta. Perusahaan yang menginginkan untuk memanfaatkan lahan-lahan terdegradasi perlu meninjau kembali praktek-praktek usaha mereka untuk lebih diarahkan kepada model usaha kemitraan dengan masyarakat atau inovasi berbasis perkebunan rakyat, daripada tahap produksi primer, sehingga menimbulkan solusi baru yang saling menguntungkan ( win-win-solution ) antara perusahaan dan petani. Intervensi pemerintah juga dibutuhkan dalam memperjelas kepimilikan tanah, memfasilitasi proses penjelasannya dan sertifikasi kepemilikan lahan pribadi atau mengembangkan skema pengakuan hak adat atas tanah untuk memiliki dan menggunakan. Opsi kedua di atas mungkin menjadi penting, karena hak untuk menggunakan menjadi kunci untuk pemanfaatan lahan, sementara hak untuk memiliki menjadi kontra-produktif karena para petani secara individual dapat menjual lahan pribadinya daripada berpartisipasi dalam pembangunan lokal secara kolektif. Intervensi pemerintah juga dapat menjadi penting jika merujuk pada akses untuk hal-hal teknis (contohnya bibit) dan akses untuk informasi pasar yang akurat dan terbaru.

30

DAFTAR PUSTAKA
Abusyadza, 2007. http://abusyadza.wordpress.com/2007/01/17/rpjpn-diundangkan-2025pendapatan-per-kapita-mencapai-6000-dollar-as/#more-10). Aceh Green, 2008. Green Economic Development and Investement Strategy for Aceh, Indonesia. Bappenas, 2004. (http://www.bappenas.go.id/node/42/462/tahun-2005-2025-per-25-februari-2004/; BAPPENAS, 2009. Reducing carbon missions from Indonesias peat lands. Interim Report of a MultiDisciplinary Study. December 2009 Bappenas, 2010. (http://www.bappenas.go.id/node/0/2518/buku-rpjmn-2010-2014/); Benedick, S., Hill J.K., Mustaffa N., Chey V.K., Maryati M., Searle J.B. Schilthuizen M. and K. C. Hamer K.C., 2006. Impacts of rain forest fragmentation on butterflies in northern Borneo: species richness, turnover and the value of small fragments Journal of Applied Ecology, 2006 43, 967977 Chase L.D.C and Henson I.E. (201 0) A detailed greenhouse gas budget for palm oil production . International Journal for Agricultural Sustainability 8 (3) 199-214. Chave J., Olivier J., Bongers F., Chatelet P., Forget P.M., van der Meer P, Norden N., Riera B. and Charles-Dominique P., 2008. Above-ground biomass and productivity in rain forest of eastern South America . Journal of Tropical Ecology 24: 355-366. Dunia Essai, 2010 http://www.duniaesai.com/index.php/direktori/esai/42-lingkungan/428-kebijakansawit-sby-mengulang-sejarah-penjajahan-dan-orde-baru.html); access 10 October 2011 Greenpeace, 2008. How Unilever Palm Oil Suppliers Are Burning Up Borneo. Greenpeace. http://www.greenpeace.org.uk/media/reports/burning-up-borneo. 15 September 2011 Hooijer, A.,Silvius, M., Wosten H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia . Delft Hydraulics report Q3943 http://www.irinnews.org/report.aspx?reportID=92841 IRIN, 2011. INDONESIA: Mixed response to forest moratorium . 30 May 2011 IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 201 1 .1 . <http://www.iucnredlist.org>. Downloaded on 16 June 2011 Jacquemard J.Ch., Suryana E., Cochard B., De Franqueville H., Breton F., Syaputra I., Dermawan E. and Permadi P., 2010. Intensification of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) plantation efficiency through planting material: New results and developments. Paper presented at IOPC Transforming Oil Palm Industry. 1-3 June 2010, Jogja Expo Center, Yogyakarta, Indonesia. Jawa Post, 2010. Bpk Joyo Winoto, head of National Land Agency, 22 March 2010. 7,3, Juta Ha Lahan Ternantar Ditertibkan In Jawa Post, march 2010. :www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=59809

31

Koh Lian Pin and Ghazoul Jabourg, 2010. Saptially explicit scenario analysis for reconciling agricultural expansion, forest protection, and carbon conservation in Indonesia . Sustainability science. Records of the National Academy of Sciences. www.pnas.org/cg/doi/10.1073/PNAS.1000530/07 Lewis S.L., Lopez-Gonzalez G., Sonk B., Affum-Baffoe K., Baker T.R.M., Ojo L.O., Phillips O.L., Reitsma J.M., White L., Comiskey J.A., Marie-Noel D., Ewango C.E.N., Feldpausch T.R., Hamilton A.C., Gloor M., Hart T., Hladik A., Lloyd J., Lovett J.C., Makana J.R., Malhi Y., Mbago F.M., Ndangalasi H.J., Peacock J., Peh K.S.H., Seil D., Sunderland T., Swine M.D., Taplin J., Talor D., Thomas S.C., Votere R. and Woll H., 2009. Increasing carbon storage in intact African tropical forests. Nature 457: 1003-1006. Malhi Y., Wood D., Baker T.R., Wright J., Phillips O.L., Cochrane T., Meir P., Chave J., Almeida S., Arroyo L., Higuchi N., Killeen T.J., Laurance S.G., Laurance W.F., Lewis S.L., Monteagudo A., Neill D.A., Vargas P.N., Pitman N.C.A., Quesada C.A., Salomao R., Silva J.N.M., Lezama A.T., Terborgh J., Martinez R.V. and Vicenti B., 2006. The regional variation of the above ground biomass in old-growth Amazonian forests. Global Change Biology 12: 1107-1138. Page S.E., Rieley J.O., Boehm H.-D.V., Siegert F. and Muhamad N.Z., 2000. Impact of the 1997 Fires on the Peatlands of Central Kalimantan, Indonesia. In: Proceedings of the 1 1 th International Peat Congress, Quebec, Canada. International Peat Society. Pp. 962-970. Page S.E., Siegert F., Rieley J.O., Boehm H.-D.V., Jaya A. and Limin S., 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1 997. Nature 420: Siegert F., Boehm H.-D. V., Rieley J.O., Page S.E., Jauhiainen J., Vasander H. and Jaya A., 2002. Peat fires in Central Kalimantan, Indonesia: Fire impacts and carbon release. In: Rieley J.O. and Page S.E. and Setiadi B. Peatlands for People: Natural Resource Functions and Sustainable Management. Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland, Jakarta, Indonesia, 22-23 August 2001. BPPT and Indonesian Peat Association. Pp. 142-154. Struebig M, Kingston T., Jean Petit E., Le Comber S., Zubaid A., Mohd-Adnan A.and Rossiter S., 2011. Parallel declines in species and genetic diversity in tropical forest fragments. Ecology Letters (2011). Struebig, M. J., Kingston T., Zubaidc A., Mohd-Adnanc A., Rossitera S.J., 2008. Conservation value of forest fragments to Palaeotropical bats. Biological Conservation141 (2008) 21122126. Susila W.R., Bourgeois R. 2007. In the name of growth and equity : The future of oil palm smallholders in Indonesia . Moussons (9-10, n) ( nspcial) : 87-107. Tata HL, van Noordwijk M, eds. 2010. Human livelihoods, ecosystem services and the habitat of the Sumatran orangutan: rapid assessment in Batang Toru and Tripa . Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office UNEP, 2011. Orangutans and the Economics of Sustainable Forest Management in Sumatra. UNEP/GRASP/PanEco/YEL/ICRAF/GRID-Arendal Vermeulen, S. and Goad, N. 2006. Towards better practice in smallholder palm oil production. Natural Resource Issues Series No. 5. International Institute for Environment and Development. London, UK. Waspada, 2010, http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=84187: pemerintah-resmi-canangkan-industri-hilir-sawit&catid=18:bisnis&Itemid=95,
32

Wich S.A., Meijaard E., Marshall A.J., Husson S., Ancrenaz M., Lacy R.C., van Schaik C.P., Sugardjito J., Simorangkir T., Taylo-Holzer K., Doughty M., Supriatna J., Dennis R., Gumal M., Knott C.D. and Singleton I., 2008. Distribution and conservation status of the orangutan (Pongo spp.) on Borneo and Sumatra: How many remain? Oryx 42: 329-339. World Bank, 2006. Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, And Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia WWF, 2010. Sumatras Forest, their Wildlife and the Climate windows in the 1 985, 1 990, 2000 and 2009 . By WWF

33

Anda mungkin juga menyukai