Anda di halaman 1dari 23

AKSARA: Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rendah Karbon

Indonesia

Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat dalam penanggulangan perubahan iklim. Komitmen


tersebut tercermin dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011. Di dalamnya, dijelaskan
target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dibandingkan dengan baseline
emisi pada tahun 2020, yang dijalankan melalui kebijakan Rencana Aksi Nasional/Daerah
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD-GRK). Bersamaan dengan berakhirnya
Perpres tersebut di tahun 2020, penurunan emisi saja dinilai tidak cukup dalam menjawab
tantangan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Dalam merespon tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan Paris Agreement
(Penurunan emisi GRK sebesar 29% terhadap baseline emisi di tahun 2030), Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas memperkenalkan paradigma pembangunan
baru yang disebut Pembangunan Rendah Karbon (PRK). PRK bertujuan untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang selaras dengan kelestarian lingkungan
melalui pertimbangan daya dukung dan daya tampung dalam perumusan kebijakan-kebijakan
dan perencanaan pembangunan.

Sejak tahun 2012, Kementerian PPN/Bappenas secara aktif melakukan pemantauan


pelaksanaan RAN/RAD-GRK melalui mekanisme Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan
(PEP). Pada tahun 2017, mekanisme ini dikembangkan menjadi sebuah portal online yang
dikenal dengan sistem PEP Online. Sistem ini telah mencatat 12.433 aksi mitigasi GRK yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan capaian potensi penurunan emisi adalah
sebesar 22,5% hingga tahun 2017. Hasil rekapitulasi tahunan di dalam sistem PEP Online
selanjutnya dilaporkan kepada Presiden melalui Kementerian Koordinator Perekonomian.

Seiring dengan perubahan paradigma perencanaan pembangunan, Kementerian


PPN/Bappenas melakukan pengembangan sistem pemantauan yang selama ini telah
dilakukan melalui PEP Online. AKSARA hadir sebagai perwujudan transformasi PEP Online
dalam mengakomodir upaya pemantauan indikator-indikator pembangunan rendah karbon
seperti intensitas emisi dengan tetap memantau potensi penurunan emisi karbon. Dengan
mengusung nilai transparan, akurat, lengkap, konsisten dan terintegrasi, AKSARA
menghadirkan fitur-fitur:

1. AKSARA-Rancang adalah bagian terdepan dari AKSARA yang bertujuan membantu


pemerintah pusat dan daerah dalam merancang dan merencanakan berbagai intervensi
pembangunan rendah karbon.
2. AKSARA-Sangkala. AKSARA-sangkala adalah sebuah modul yang mampu
memberikan evaluasi yang berimbang terhadap pencapaian target pembangunan
rendah karbon di pusat maupun daerah.
3. AKSARA-Kumawas menghadirkan berbagai fasilitas bagi pemerintah pusat dan
daerah
dalam memantau implementasi dari aktivitas-aktivitas pembangunan rendah karbon
yang telah dijalankan.
4. AKSARA-Biwara memberikan informasi yang lengkap, teratur dan terpercaya untuk
berbagai pemangku kepentingan tentang keseluruhan proses pelaksanaan
pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Pengembangan AKSARA didukung oleh proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Jerman (MRV-MMI) melalui pendanaan International Climate Initiative dari
Kementerian Federal untuk Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keselamatan Nuklir
(IKI-BMU) yang diimplementasikan oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale
Zusammenarbeit (GIZ) dan World Agroforestry (ICRAF).

Dengan transformasi ini, Kementerian PPN/Bappenas berharap AKSARA dapat menjadi


pusat data yang berperan penting dalam pembangunan rendah karbon di Indonesia.

Selamat Hari Mangrove Sedunia

Tanggal 26 Juli merupakan Hari Mangrove Sedunia. Indonesia sebagai negara maritim,
dengan dua per tiga luas wilayahnya adalah lautan serta panjang garis pantai mencapai
108.000 km Indonesia memiliki luas hutan mangrove terbesar di dunia. Luas bakau di
Indonesia mencapai 25 persen dari total luas mangrove di dunia. Namun sebagian kondisinya
kritis.

Mangrove sangat berkaitan dengan perubahan iklim

Hutan mangrove atau hutan bakau tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak di
garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut tepatnya di daerah pantai dan sekitar
muara sungai, sehingga tumbuhan yang hidup di hutan mangrove bersifat unik karena
merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Mangrove juga
dianggap sebagai tumbuhan dewa karena semua bagiannya bermanfaat bagi manusia hingga
biota laut. Mangrove memberikan oksigen melalui sekresi daunnya, batang mangrove
menopang menjaga pesisir dan akarnya seperi cakar yang mengokohkan pulau pulau.

Hutan mangrove berperan untuk mencegah erosi dan abrasi pantai, membentuk pulau dan
menstabilkan daerah pesisir, pencegah dan penyaring limbah secara alami, mencagah intrusi
air laut, sebagai tempat hidup dan sumber makanan beberapa jenis satwa seperti ikan-ikan
kecil, kepiting, kura-kura, burung, monyet dan hewan lainnya yang tinggal di wilayah
mangrove.

Bisakah kamu bayangkan bila hutan mangrove di Indonesia kritis? Kesehatan mangrove
merupakan salah satu penentu kesehatan ekosistem pesisir dan tentunya berkaitan dengan
sumber penghidupan karena mangrove mendukung produktivitas perikanan dan budidaya di
sekitarnya.

Lebih luasnya, pelestarian  ekosistem mangrove akan mendukung ekonomi biru. Ekonomi
biru (blue economic) adalah pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut untuk pertumbuhan
ekonomi meningkatkan mata pencaharian dan pekerjaan, serta kesehatan ekosistem laut
Ekonomi biru mencakup banyak kegiatan mulai dari transportasi laut, perikanan, penggunaan
energi terbarukan, pariwisata, hingga perubahan iklim.

Dampak dari perubahan iklim pada laut misalnya kenaikan muka air laut, erosi wilayah
pesisir, mengubah pola arus samudera dan pengasaman sangat mengejutkan. Pada saat yang
sama, lautan merupakan penyerap karbon yang penting dan membantu mengurangi
perubahan iklim Dengan menjaga ekosistem mangrove maka artinya kita telah melakukan
mitigasi bencana yang dapat disebabkan oleh beragam perubahan tersebut.

Sehingga dengan menjaga ekosistem mangrove artinya kamu tidak hanya melindungi daratan
dari erosi, tapi juga menjaga kestabilan ekosistem laut! Mari sadari bahwa setiap konservasi
yang kita lakukan akan sangat berdampak pada masa depan bumi kita.

Jaga Hutan Mangrove untuk Pesisir Tangguh!

Selamat Hari Bumi Sedunia

Peringatan Hari Bumi ini bertujuan untuk mengajak lebih banyak masyarakat untuk menjaga
kesehatan lingkungan demi mencegah krisis yang semakin buruk.Umur bumi saat ini sudah
mencapai 4,543 miliar tahun. Sangat jelas bahwa umur bumi nyatanya sudah lebih tua
daripada umur kita sekarang. Nah, semakin tua umur bumi maka semakin besar pula resiko
dari berbagai ancaman yang dapat membuat bumi kita kian hari semakin melemah
kondisinya. Oleh karena hal tersebut, penting untuk kita sebagai generasi penerus lingkungan
untuk tahu ancaman apa saja yang berdampak buruk pada bumi. Salah satunya yaitu ancaman
(makro / mikro) plastik yang semakin bertambah jumlahnya karena adanya kebutuhan plastik
di kehidupan sehari – hari yang berdampak signifikan pada lingkungan baik di daratan hingga
lautan.

Kebutuhan Plastik

Plastik tidak pernah lepas dari kehidupan manusia saat ini karena sifatnya yang serbaguna,
ringan, kuat, dan yang paling utama adalah murah. Namun di balik kelebihannya, plastik
menimbulkan masalah besar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Awal mula diciptakannya
kantong plastik adalah untuk dipakai berkali-kali karena sifatnya yang tahan air dan bisa
dicuci, namun karena harganya yang sangat murah, kebanyakan orang meggunakan kantong
plastik hanya untuk sekali pakai dan dibuang.

Selain itu berbagai macam produk makanan dan keperluan rumah tangga mayoritas
menggunakan plastik sebagai wadah. Hal inilah yang menyebabkan plastik menjadi
permasalahan besar di seluruh dunia. Meningkatnya jumlah populasi penduduk menyebabkan
penggunaan plastik meningkat. Tahun 2002, tercatat 1,9 juta ton, tahun 2003 naik menjadi
2,1 juta ton, selanjutnya tahun 2004 naik lagi menjadi 2,3 juta ton per tahun. Pada tahun
2010, kebutuhan plastik sekitar 2,4 juta ton, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 2,6 juta
ton hingga kian bertambah saat ini di 2021.

Mega dan Makro Plastik

Selain mengurangi estetika, sampah plastik berdampak langsung pada organisme laut, seperti
terjerat oleh plastik dan membuat penyumbatan pada saluran pencernaan (Gregory 2009).
Organisme laut seperti penyu sering ditemukan mati dengan isi perut yang dipenuhi plastik
berukuran besar (makroplastik dan megaplastik). Konsumsi plastik oleh hewan air dapat
menyebabkan pendarahan internal dan bisul, serta penyumbatan pada saluran pencernaan
(Wright et al. 2013). Dalam penelitian Jamaluddin Jompa, peneliti terumbu karang dari
Universitas Hasanuddin, Makassar, dan peneliti lainnya tahun 2018 yang dipublikasikan di
Science Magazine mengungkapkan bahwa terumbu karang yang tertutup oleh plastik dapat
mati karena tidak mendapatkan sinar matahari untuk hidup.

Mikroplastik
Tidak hanya makroplastik dan megaplastik, mikroplastik juga menjadi masalah serius. Plastik
berukuran kurang dari 5mm ini terlihat seperti organisme planktonik yang merupakan
makanan bagi biota laut (Wright et al. 2013). Biota laut yang diketahui mengakumulasi
mikroplastik diantaranya adalah kopepoda dan kepiting (Cole et al. 2013), kima dan kerang
biru (Van Cauwenberghe & Janssen 2014). Dampak langsung mikroplastik yang masuk ke
tubuh organisme tersebut dapat mengganggu kinerja saluran pencernaan (Cole et al. 2013)
dan sebagai pembawa bahan pencemar organik lain yang teradsorpsi pada mikroplastik
(Teuten et al. 2009).

Bersiap Menghadapi Disrupsi Iklim

Perundingan iklim di Madrid gagal menyepakati peningkatkan target penurunan emisi global
dan mengatasi dampak lain perubahan iklim. Kegagalan negosiasi itu semestinya tak
menyurutkan adaptasi dan mitigasi nasional.

Perundingan iklim di Madrid gagal menyepakati peningkatkan target penurunan emisi global,
merumuskan skema perdagangan karbon dan transfer teknologi, hingga pendanaan bagi
negara-negara terdampak. Namun, kegagalan global ini tak harus melemahkan mitigasi dan
adaptasi kita, karena bagaimanapun dampak perubahan iklim telah datang, bahkan semakin
cepat dan kuat.

Negosiasi iklim pada 2 Desember hingga 15 Desember 2019 ini merupakan yang terlama
dalam sejarah 25 tahun Pertemuan Para Pihak-Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (COP-UNFCCC). Delegasi dari hampir 200 negara bergulat selama lebih
dari 40 jam tambahan, setelah dua minggu dari waktu yang direncanakan habis.

Namun, mereka gagal menjawab seruan utama dari ilmuwan untuk meningkatkan target
penurunan emisi agar kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat celsius, bahkan
seharusnya kurang dari 1,5 derajat celsius, dibandingkan tahun 1850-an. Mereka abai
terhadap gelombang unjuk rasa yang digelar di dalam maupun di luar kompleks pertemuan
iklim.

Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB Patricia Espinosa mengakui kegagalan pertemuan
iklim kali ini. Menurut dia, konferensi tidak menghasilkan kesepakatan sesuai amanat Artikel
6 Kesepakatan Paris tentang pedoman pasar karbon yang sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan ambisi penurunan emisi dan sumber dana untuk adaptasi.

Tanda-tanda kegagalan perundingan sebenarnya telah terlihat sejak awal, ketika Presiden
Amerika Serikat Donald Trump mulai memproses kemunduran mereka dari Perjanjian Paris
2015. Alasannya, Perjanjian Paris yang mewajibkan tiap negara untuk menurunkan emisinya
mulai tahun 2020 itu akan mengganggu ekonomi mereka.

Penarikan mundur negara dengan emisi terbesar ini, secara psikologis memicu pesimisme
dalam COP25. Apalagi, sepanjang perundingan, negara dengan emisi lebih tinggi, yang
digalang Amerika, hampir selalu bertentangan dengan negara-negara lebih kecil dan rentan.
Sekalipun 114 negara membentuk Aliansi Ambisi Iklim dan menyatakan bakal meningkatkan
rencana penurunan emisi, namun tidak ada keputusan bersama yang mengikat. Apalagi,
negara-negara pengemisi utama seperti Amerika, China, Brazil, India, hingga Indonesia juga
tidak menunjukkan sikap hendak meningkatkan ambisi penurunan emisi melalui Kontribusi
yang Ditentukan Secara Nasional (NCDs) yang akan dijalankan mulai tahun 2020.

Untuk negara berkembang, kegamangan mereka terutama disebabkan negara-negara maju


masih enggan meningkatkan dukungan di bidang keuangan, teknologi dan pengembangan
kapasitas, yang tanpa itu mereka tidak dapat membangun dengan rendah karbon dan
memperkuat ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.

Perdebatan juga berlarut-larut tentang bagaimana memberikan pendanaan kepada negara-


negara miskin yang telah menghadapi naiknya permukaan laut, kekeringan, dan konsekuensi
lain dari perubahan iklim yang telah hadir.

Mereka akhirnya, banyak agenda penting yang harusnya diputuskan dalam COP25 ditunda
pembahasannya hingga tahun depan dalam COP 26 di Glasgow, Inggris.

Disrupsi Global

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan, kegagalan perundingan iklim ini
akan meningkatkan risiko yang harus ditanggung umat manusia. Jutaan orang akan dipaksa
bermigrasi karena iklim, selain juga sejumlah lapangan pekerjaan, terutama di sektor
pertanian dan perikanan yang bakal terpukul. Kegagalan perundingan ini dikhawatirkan bakal
memicu gejolak sosial lebih besar.

“Komunitas internasional kehilangan kesempatan penting untuk menunjukkan peningkatan


ambisi pada mitigasi, adaptasi dan keuangan untuk mengatasi krisis iklim,” kata dia.

Kita memang sudah nyaris kehilangan waktu untuk mengerem laju pemanasan global.
Catatan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu global pada September 2019 sudah 1,1
derajat celcius lebih panas dibandingkan sebelum Revolusi Industri sekitar 1850.

Para ilmuwan telah memperingatkan, dengan tren saat ini, efek pemanasan global akan terus
berlanjut dengan sendirinya karena bagian-bagian dari sistem iklim, terutama perairan dan es
telanjut mencair. Dengan tren lima juta ton emisi karbon dioksida dilepas ke atmosfer tiap
jam, Bumi telah mendekati titik kritis iklim (tipping point), dan kondisi itu tidak mudah
dibalikkan lagi sekalipun kita kemudian menurunkan emisi. Tren emisi ini bisa memicu
kenaikan suhu Bumi
bisa mencapai 3-5
derajat celcius pada
akhir abad ini. Situasi
ini tentu bakal
berdampak sangat besar
bagi seluruh kehidupan
di BuSelain
menurunkan luas
permukaan daratan
karena bertambahnya
muka lautan akibat
mencairnya es, paerubahan itu bisa menyebabkan perubahan pola hujan dan musim, serta
berkurangnya air tawar. Perubahan ini bakal menurunkan daya dukung Bumi menyediakan
makanan. Risiko kematian akibat bencana banjir, badai, gelombang panas, dan kekeringan
bakal meningkat, selain juga meluasnya serangan penyakit, terutama yang ditularkan
nyamuk.

Mitigasi dan Adaptasi

Kegagalan disepakatinya Buku Aturan Paris karena perundingan Article 6 menemui jalan
buntu, tidak lantas membuat Indonesia mengabaikan kewajiban penurunan emisi. Kita sudah
memiliki target pengurangan emisi, bahkan perencanaan pembangunan jangka panjang
rendah karbon yang harus diwujudkan.

Sejumlah studi menunjukkan, selain memicu disrupsi sosial ekonomi, transisi pembangunan
rendah karbon sebenarnya juga menjadi peluang bagi Indonesia. Tren global menunjukkan
biaya teknologi terbarukan, seperti solar panel untuk tenaga surya, akan terus menurun.
Belum lagi, Indonesia juga sumber energi panas bumi, yang potensinya mencapai 25.300
megawatt (MW), namun yang dimanfaatkan baru 2.000 MW.

Seperti disampaikan tokoh perubahan iklim Al Gore, dalam diskusi di Paviliun Indonesia di
COP25, solusi untuk menghadapi persoalan perubahan iklim saat ini telah tersedia, namun
membutuhkan komitmen untuk menerapkannya. Misalnya, terkait sektor energi yang menjadi
penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca juga sudah banyak alternatifnya. “Kabar baiknya,
harga dari listrik berbahan baku tenaga surya dan angin bakal menjadi lebih murah,” kata dia.

Sebaliknya, batu bara akan semakin mahal, termasuk juga dampak yang harus ditanggung.
Kalau kita terus berinvestasi energi berbasis batubara seperti terjadi saat ini, akan butuh biaya
besar untuk beralih ke energi terbarukan,

Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bahwa pembangunan rendah


karbon di sektor energi berpeluang meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia 6
persen dan membuka peluang pekerjaan baru 15,3 persen pada 2045. Selain memperbaiki
mutu lingkungan, pembangunan rendah emisi akan menambah PDB Indonesia 5,4 triliun
dollar AS pada 2045 dan mengurangi kematian dini 40.000 orang.

Artinya sebenarnya kita mempunyai modal untuk melakukan pengurangan emisi secara
nasional dengan target sendiri dan menggunakan sumber daya sendiri. Selain mitigasi, yang
juga harus segera disiapkan adalah adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia termasuk yang paling rawan. Data Bappenas dalam
Rencana Adaptasi Nasional Indonesia, sekitar 90 persen desa di Indonesia rentan terdampak
perubahan iklim skala moderta dan tinggi. Sekitar 102.000 km garis pantai Indonesia
memiliki beragam tingkat kerentanan, dan 1.800 km di antaranya termasuk kategori sangat
rentan.
Konservasi Sumber Mata Air Blok Utara Lereng Pegunungan Dieng
Kabupaten Batang sebagai upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Peningkatan infiltrasi daerah imbuhan dengan membangun 200 unit sumur resapan dan
penanaman MPTS di 2 desa kabupaten Batang

Keluaran:

1. Tertanamnya 2.000 bibit tanaman yang bisa meresapkan air dan sekaligus
memberikan dampak ekonomi kepada masyrakat. Tanaman yang bisa ditanam adalah
Cengkeh, Aren, Sukun, Bambu dll.
2. Terbangunya 200 unit SR didaerah imbuhan mata air Bismo yaitu di Desa Bismo dan
Keteleng Kecamatan Blado kabupaten Batang Jawa Tengah
3. Adanya peraturan desa (Perdes) tentang tata kelola lingkungan dan perlindungan
sumber Air di Desa keteleng
4. Adanya mekanisme kerjasama antara KSM dengan PDAM terkait perlindungan
sumber MA Bismo
5. Terbentuknya kelembagaan/forum antar stake holder terkait perlindungan MA bismo

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim


di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Risiko

Sektor perikanan tangkap Indonesia, beserta sub-sektor turunannya terkait penghidupan


masyarakat pesisir, terkena dampak perubahan iklim.

Keluaran:

1. Dokumen Profil Risiko perubahan iklim pada sektor perikanan tangkap di wilayah
kajian. Dokumen ini lebih ditujukan kepada pihak pemerintah pusat dan daerah serta
perguruan tinggi terkait dengan sektor perikanan tangkap
2. Dokumen Rekomendasi Kebijakan dan Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan
Iklim (RAD-API) sektor perikanan tangkap (Summary for Policy-maker) untuk
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
3. Dokumen rekomendasi teknis dan modul implementasi strategi penangkapan ikan
yang tangguh terhadap perubahan iklim bagi stakeholders perikanan tangkap.

Pantau Pembangunan Rendah Karbon Lewat AKSARA


Bappenas meluncurkan Aplikasi Perencanaan Pemantauan Aksi
Pembangunan yang disingkat AKSARA.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan


Nasional (Bappenas) meluncurkan Aplikasi Perencanaan Pemantauan Aksi Pembangunan
(AKSARA).

AKSARA hadir untuk memantau implementasi pembangunan rendah karbon (PRK) dan
berketahanan iklim (PBI) yang tercatat dalam RPJMN 2020-2024.
Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam mengatakan bahwa selain untuk memantau
dan melaporkan, AKSARA juga membantu pemerintah dalam melakukan evaluasi.

“Kita bisa evaluasi apakah suatu pembangunan sudah bagus atau ada yang kurang di sana-
sini, jadi bisa diperbaiki,” katanya dalam kegiatan “A Journey of AKSARA”, Kamis (14/10).

Menurut Medrilzam, AKSARA memiliki empat tujuan utama. Pertama, menyediakan data
dan informasi perihal PRK dan PBI di Indonesia secara akurat, transparan, dan partisipatif.

“Langkah transparansi ini harus kita tingkatkan, bahkan hal ini juga diminta oleh PBB,”
ungkapnya.

Kedua, menyediakan sistem pengumpulan dan pelaporan capaian aksi PRK dan PBI
kolaboratif lintas sektoral.

“Kolaboratif lintas sektoral itu juga terjadi antara pusat dan daerah,” ujarnya.

Ketiga, mendukung kredibilitas dan transparansi pelaporan pencapaian penurunan emisi dan
kerugian ekonomi yang dihindari kepada masyarakat internasional.

Keempat menyediakan data yang dapat digunakan dalam proses evaluasi dan perencanaan
pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim yang lebih baik ke depannya.

“AKSARA dapat diakses di laman pprk.bappenas.go.id/aksara,” papar Medrilzam.

PELUNCURAN DAN LOKAKARYA AKSARA APLIKASI PERENCANAAN DAN


PEMANTAUAN RENDAH KARBON INDONESIA

Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat dalam penanggulangan perubahan iklim. Komitmen


tersebut tercermin dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011. Di dalamnya, dijelaskan
target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dibandingkan dengan baseline
emisi pada tahun 2020, yang dijalankan melalui kebijakan Rencana Aksi Nasional/Daerah
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD-GRK). Bersamaan dengan berakhirnya
Perpres tersebut di tahun 2020, penurunan emisi saja dinilai tidak cukup dalam menjawab
tantangan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Dalam merespon tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan Paris Agreement
(Penurunan emisi GRK sebesar 29% terhadap baseline emisi di tahun 2030), Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas memperkenalkan paradigma pembangunan
baru yang disebut Pembangunan Rendah Karbon (PRK). PRK bertujuan untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang selaras dengan kelestarian lingkungan
melalui pertimbangan daya dukung dan daya tampung dalam perumusan kebijakan-kebijakan
dan perencanaan pembangunan.

Sejak tahun 2012, Kementerian PPN/Bappenas secara aktif melakukan pemantauan


pelaksanaan RAN/RAD-GRK melalui mekanisme Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan
(PEP). Pada tahun 2017, mekanisme ini dikembangkan menjadi sebuah portal online yang
dikenal dengan sistem PEP Online. Sistem ini telah mencatat 12.433 aksi mitigasi GRK yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan capaian potensi penurunan emisi adalah
sebesar 22,5% hingga tahun 2017. Hasil rekapitulasi tahunan di dalam sistem PEP Online
selanjutnya dilaporkan kepada Presiden melalui Kementerian Koordinator Perekonomian.

Seiring dengan perubahan paradigma perencanaan pembangunan, Kementerian


PPN/Bappenas melakukan pengembangan sistem pemantauan yang selama ini telah
dilakukan melalui PEP Online. AKSARA hadir sebagai perwujudan transformasi PEP Online
dalam mengakomodir upaya pemantauan indikator-indikator pembangunan rendah karbon
seperti intensitas emisi dengan tetap memantau potensi penurunan emisi karbon. Dengan
mengusung nilai transparan, akurat, lengkap, konsisten dan terintegrasi, AKSARA
menghadirkan fitur-fitur:

1. AKSARA-Rancang adalah bagian terdepan dari AKSARA yang bertujuan membantu


pemerintah pusat dan daerah dalam merancang dan merencanakan berbagai intervensi
pembangunan rendah karbon.
2. AKSARA-Sangkala. AKSARA-sangkala adalah sebuah modul yang mampu
memberikan evaluasi yang berimbang terhadap pencapaian target pembangunan
rendah karbon di pusat maupun daerah.
3. AKSARA-Kumawas menghadirkan berbagai fasilitas bagi pemerintah pusat dan
daerah
dalam memantau implementasi dari aktivitas-aktivitas pembangunan rendah karbon
yang telah dijalankan.
4. AKSARA-Biwara memberikan informasi yang lengkap, teratur dan terpercaya untuk
berbagai pemangku kepentingan tentang keseluruhan proses pelaksanaan
pembangunan rendah karbon di Indonesia.

Pengembangan AKSARA didukung oleh proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Jerman (MRV-MMI) melalui pendanaan International Climate Initiative dari
Kementerian Federal untuk Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keselamatan Nuklir
(IKI-BMU) yang diimplementasikan oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale
Zusammenarbeit (GIZ) dan World Agroforestry (ICRAF). 

Dengan transformasi ini, Kementerian PPN/Bappenas berharap AKSARA dapat menjadi


pusat data yang berperan penting dalam pembangunan rendah karbon di Indonesia.

Manfaat Aplikasi AKSARA Buatan Bappenas

Kementerian PPN/Bappenas melalui inisiatif pembangunan rendah karbon (PRK)


menjawab tantangan penanganan persoalan perubahan iklim agar penurunan emisi gas rumah
kaca sejalan dengan agenda-agenda pembangunan berkelanjutan lain seperti pertumbuhan
ekonomi, dan pengentasan kemiskinan.

Di bawah kebijakan PRK, pemerintah memobilisasi sumber daya dan menggerakkan elemen
pusat, daerah dan lintas sektor untuk membuat rencana aksi serta mengimplementasikan aksi-
aksi nyata pembangunan rendah karbon.

Mengacu pada mandat Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, Kementerian
PPN/Bappenas bersama dengan kementerian teknis lainnya telah menyusun mekanisme
pemantauan kegiatan penanganan perubahan iklim.
Dimulai pada tahun 2012, proses yang dilakukan secara kontinyu, transparan dan partisipatif
ini melahirkan sebuah portal Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) yang bernama
Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon (AKSARA).

AKSARA diresmikan pada tahun 2019 sebagai portal terintegrasi yang membantu
Pemerintah Indonesia dalam memenuhi komitmen penurunan emisi GRK sebesar 29% di
tahun 2030.

AKSARA merupakan platform untuk mencatat PRK dan ketahanan iklim (PBI) secara
transparan, akurat, komprehensif, konsisten, dan terintegrasi. Selain itu, aplikasi ini juga
dapat menyediakan data dan informasi yang akurat, transparan, dan partisipatif tentang aksi
LCDI di Indonesia. Serta menyediakan sistem untuk mengumpulkan dan melaporkan
pencapaian aksi LCDI kerja sama pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung
pembangunan rendah karbon di Indonesia.

AKSARA dibentuk untuk mendukung kredibilitas dan transparansi pelaporan pencapaian


penurunan emisi rumah kaca dan pembangunan rendah karbon di Indonesia kepada
masyarakat internasional dan  menyediakan data terkini untuk proses evaluasi dan
perencanaan aksi pembangunan rendah karbon yang lebih baik di masa depan.

Proses PEP yang dilakukan melalui sistem AKSARA ini dilakukan pada tataran nasional
(kementerian/lembaga) dan daerah di 34 provinsi. AKSARA digunakan untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan dari program/kegiatan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja
yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) kementerian/lembaga (K/L) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Khususnya Prioritas Nasional 6 (PN6) Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan


Bencana dan Perubahan Iklim khususnya (1) Program Prioritas 2 : Peningkatan Ketahanan Bencana
dan Perubahan Iklim dan (2) Program Prioritas 3 : Pembangunan Rendah Karbon.

“Menurunnya kualitas daya dukung dan daya tampung lingkungan akan berdampak pada
produktivitas dan keberlangsungan hidup, ini merupakan salah satu dampak perubahan iklim
yang paling dirasakan,” jelas Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian
PPN/Bappenas.

Lebih lanjut, Medrilzam memaparkan AKSARA hadir sebagai alat bantu dan wadah/platform
perekaman aksi pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim yang transparan, akurat,
lengkap, konsisten dan terintegrasi.

Dari hasil pelaporan yang dilakukan kementerian/lembaga dan 34 provinsi mulai tahun 2010 – 2020,
tercatat 20.209 aksi PRK yang sudah dilaporkan melalui AKSARA. Dari pelaporan tahun 2020, nilai
capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 24,13% terhadap baseline tahun 2020.
Sedangkan untuk nilai capaian penurunan intensitas emisi GRK tercatat sebesar 25,37% terhadap
baseline tahun 2020.

AKSARA membantu proses perekaman aksi dan perhitungan nilai pengurangan kerugian
ekonomi sebagai hasil implementasi aksi PBI, secara otomatis berdasarkan metodologi yang
telah disepakati nasional. Dari hasil pelaporan Tahun 2020 pada aplikasi AKSARA, aksi PBI
di Indonesia mampu mengurangi kerugian ekonomi sebesar 33,96 triliun rupiah dari target
52,91 triliun rupiah atau sebesar 64,18%.
Capaian pengurangan potensi kerugian tersebut merupakan total pencapaian dari empat (4)
sektor PBI yaitu Kelautan dan Pesisir sebesar Rp 18,31T, Sektor Air sebesar Rp 0,75T,
Sektor Pertanian sebesar Rp 8,38T, dan Sektor Kesehatan sebesar Rp 0,39T.

Sebagai bentuk apresiasi kepada 34 provinsi, Kementerian PPN/Bappenas memberikan


penghargaan provinsi terbaik dalam pelaporan aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK)
kepada tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Bappenas
menetapkan empat kriteria penilaian.

Yaitu: 1) Konsistensi pelaporan aksi Pembangunan Rendah Karbon Daerah pada setiap sektor
mulai tahun 2010 – 2020; 2) Pelibatan kabupaten/kota dalam pelaporan aksi; 3)
Pengarusutamaan Pembangunan Rendah Karbon dalam RPJMD; dan 4) Jumlah penurunan
emisi.

Penghargaan tersebut diberikan dalam rangkaian LCDI Week 2021 di hari keempat, 14
Oktober 2021, webinar bertema “A Journey of AKSARA” yang menceritakan proses
transformasi pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) hingga menjadi AKSARA aksi
Pembangunan Rendah Karbon yang dirintis Bappenas sejak tahun 2013 hingga saat ini.

Tujuan webinar ini untuk memberikan informasi kepada peserta tentang pengembangan
aplikasi pemantauan pembangunan rendah karbon dan aksi ketahanan iklim, terkait dengan
upaya untuk mendukung dalam membangun masa depan berkelanjutan yang lebih baik
menuju ekonomi hijau.

Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, menyatakan sejak 14 Februari 2019 Provinsi Jawa
Tengah berkomitmen melakukan integrasi perencanaan daerah menuju perencanaan
Pembangunan Rendah Karbon.

Pada tahun 2020 Jawa Tengah, melaporkan 2205 aksi PRK yang berpotensi menurunkan
emisi sebesar 10,47 juta ton CO2 ekuivalen.

Ganjar mengakui, monitoring aksi PRK sangat terbantu dengan adanya aplikasi AKSARA
serta partisipasi aktif kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah.

“Untuk keberlanjutannya, kami meyakini ini adalah kerja panjang pemerintah Provinsi Jawa
Tengah, maka kami siap mengintegrasikan RPJMD dengan PRK,”

Lanjut Ganjar, “Selain itu karena ini menyangkut hajat orang banyak, dunia industri juga
kami ajak rembugan agar sama-sama memiliki satu tujuan, bahwa saat ini pembangunan
yang kita lakukan harus berorientasi rendah karbon. Semoga kita diberi kekuatan untuk
istiqomah dalam gerakan merawat bumi dan menjaga alam ini,” papar Ganjar Pranowo.

Bappenas Kawal Aksi Pembangunan Rendah Karbon Daerah Melalui


Aplikasi AKSARA

SEMARANG[Kampusnesia] – Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan


Pembangunan Nasional/Bappenas melalui Sekretariat Program Pembangunan Rendah
Karbon (PPRK) bersama Bappeda Provinsi Jawa Tengah
Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
melalui Sekretariat Program Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) bersama Bappeda
Provinsi Jawa Tengah menggelar kegiatan sosialisasi Pembangunan Rendah Karbon,
sekaligus Workshop PEP Aksi Pembangunan Rendah Karbon.

Kegiatan itu digelar melalui Aplikasi AKSARA untuk Provinsi Jawa Tengah yang dihadiri
seluruh 35 Kabupaten/Kota secara daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan) selama
tiga hari mulai 8 hingga10 Maret 2021 di Kota Semarang.

Kegiatan ini, sebagai upaya untuk memperkuat komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
pelaksanaan PRK, sekaligus peningkatan kapasitas SDM Pemkab/Pemkot dalam pelaksanaan
Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan penurunan emisi  gas rumah kaca (GRK) melalui
Aplikasi AKSARA.

Irfan Darliazi Yananto SE MenvRscEc Perwakilan Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas


yang menyampaikan mengenai Pembangunan Rendah Karbon dan mengharapkan agar
kegiatan ini dapat memperkuat PRK sebagai salah satu elemen penting dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jateng.

“PRK memiliki dua fokus utama meliputi perbaikan kualitas perencanaan pembangunan
menuju ekonomi hijau dan pelaksanaan PRK pada lima bidang,  energi, lahan, industri,
limbah dan kawasan pesisir dan lautan (blue carbon). Kami berharap provinsi Jawa Tengah
dapat memperkuat pencapaian tersebut dengan adanya kegiatan ini, ” ujarnya, Selasa (9/3).

Menurutnyam, AKSARA tidak hanya untuk pemantauan dan evaluasi, tetapi dapat juga akan
dikembangkan untuk tujuan perencanaan. Modul perencanaan masih dalam proses, saat ini
sudah berjalan untuk pemantauan dan evaluasi.

Sementara itu, Ir Agung Tejo Prabowo MM Kabid Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
(IPW), yang mewakili PLH Sekda Provinsi Jawa Tengah menuturkan berdasarkan rekaman
pelaporan data AKSARA Pemprov Jawa Tengah telah dilakukan 1.314 aksi mitigasi
perubahan iklim, dengan capaian potensi penurunan emisi GRK kumulatif mencapai 9,58 juta
ton CO2eq (karbon dioksida equivalen) hingga 2020.

Kegiatan ini, lanjutnya,  ke depan diharapkan dapat didukung dengan pelaporan dari 35
Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dalam mengelola dan melaporkan
kegiatan yang mendukung pengurangan emisi GRK di wilayah masing-masing.

“Kami menyambut baik kegiatan yang dilaksanakan oleh Sekretariat PPRK Bappenas di
Provinsi Jawa Tengah dengan tema yang kami tetapkan bersama ‘Peran Emisi Pengurangan
GRK Daerah sebagai Kinerja Pembangunan Daerah’,  artinya capaian masing-masing
Pemkab/Pemkot dalam PEP penurunan GRK melalui aplikasi AKSARA akan kami nilai
sebagai bagian dari kinerja pembangunan daerah,” tutur Agung.

Seiring dengan perubahan paradigma perencanaan pembangunan, Kementerian


PPN/Bappenas melakukan pemutakhiran sistem pemantauan yang selama ini telah dilakukan
melalui PEP Online menjadi aplikasi AKSARA sebagai perwujudan transformasi PEP Online
dalam mengakomodir upaya pemantauan indikator-indikator pembangunan rendah karbon
seperti intensitas emisi dengan tetap memantau potensi penurunan emisi karbon.
Dalam pelaksanaan PRK, tutur Agung, tidak hanya aspek daya dukung dan daya tampung
yang menjadi fokus analisis, namun juga aspek ekonomi dan sosial.  Contohnya adalah hutan
mangrove yang memiliki potensi unggul di ketiga aspek tersebut.

Menurutnya, selain mengurangi emisi GRK dengan menyerap karbon, mangrove dapat
meningkatkan keberlanjutan lingkungan sekitarnya dengan menahan abrasi dan menjadi
habitat bagi biota pesisir.

Di aspek ekonomi, dia menambahkan pengelolaan hutan bakau yang baik dapat menjadi
peluang ekonomi bagi kelompok masyarakat sekitarnya melalui penciptaan ekowisata yang
menyerap tenaga kerja lokal dan meningkatkan pendapatan mereka.

Aplikasi AKSARA bertujuan untuk mendukung kegiatan perencanaan, pemantauan dan


evaluasi PRK. AKSARA menjadi platform perekaman aksi PRK yang transparan, akurat,
lengkap, konsisten, dan terintegrasi.

Bahkan Aplikasi AKSARA dapat diakses melalui laman pprk.bappenas.go.id/AKSARA


untuk menggali berbagai informasi mengenai Pembangunan Rendah Karbon baik di tingkat
nasional maupun daerah. (rs)

Protokol Kyoto
Protokol Kyoto, (nama resmi bahasa Inggris: Kyoto Protocol to the UNFCCC), adalah
sebuah traktat internasional yang memperpanjang Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim
PBB (UNFCCC) untuk mengurangkan emisi gas rumah kaca. Ia berdasarkan konsensus
ilmiah yang menyatakan bahwa pemanasan global disebabkan oleh emisi CO2 pada atmosfer
Bumi.

Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangkan emisi


karbon dioksida (CO2) dan enam gas rumah kaca lain, yaitu metana (CH4), dinitrogen
monoksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC) , perfluorokarbon (PFC), belerang heksafluorida
(SF6), dan nitrogen trifluorida (NF3), atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka
menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan
perubahan iklim.

Protokol ini dinegosiasikan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997, dan dibuka untuk
penandatanganan pada 16 Maret 1998, dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai
berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18
November 2004.

Persetujuan Paris, yang dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015, adalah penerus
Protokol Kyoto karena ia telah melewati tanggal kedaluwarsanya pada tahun 2020.

Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan
mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan
dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan
perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan
sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah
kaca - karbon dioksida, metana, nitrous oxide, belerang heksafluorida, HFC, dan PFC - yang
dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional
berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk
Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. "
[1][pranala nonaktif permanen]

Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB
(UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak
dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak
luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak
Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.

Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang
disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.

Status persetujuan

Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara,
yang mewakili 61% dari seluruh emisi [2]. Negara-negara tidak perlu menanda tangani
persetujuan tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda tanganan hanyalah aksi simbolis
saja. Daftar terbaru para pihak yang telah meratifikasinya ada di sini [3] Diarsipkan 2009-02-
21 di Wayback Machine..

Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, ia mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah tanggal
saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang
bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen dari seluruh emisi karbon dioksida pada
1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan,
persetujuan atau pemasukan." Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23
Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004
memenuhi syarat "55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16
Februari 2005.

Status terkini para pemerintah

Lihat pula: Daftar penanda tangan Protokol Kyoto

Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada,
Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta
Rumania dan Bulgaria.

Ada dua negara yang telah menandatangani namun belum meratifikasi protokol tersebut:

 Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi)


 Kazakstan
Pada awalnya AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah
bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau
persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. [4] Namun pada awal Desember 2007
Australia akhirnya ikut seta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan
di negera tersebut.

Mitigasi perubahan iklim


Mitigasi perubahan iklim merupakan suatu usaha untuk mengurangi risiko terhadap
peningkatan emisi gas rumah kaca.[1] Mitigasi tersebut telah dicoba baik dari pemerintahan
dan kelompok pecinta lingkungan.[1] Menurut data, tiga negara yang paling banyak
menyumbang emisi gas rumah kaca yaitu, Amerika, Cina, dan Indonesia.[2] Prediksi
mengenai dampak perubahan iklim di antaranya, di Asia Tenggara pada tahun 2050 akan
mengalami krisi air bersih. Di Eropa, akan terjadi gelombang panas dan penyebaran penyakit
yang sangat cepat. Selain itu, akibat suhu yang tinggi akan terjadi kekeringan dan gagal
panen. Di Indonesia sendiri, diprediksi sebesar 45% lahan pertanian akan mengalami
kerusakan dan sebanyak 2000 pulau akan ikut terendam akibat air laut yang naik. Oleh
karena itu, pemerintah Indonesia sangat serius berkontribusi aktif untuk turut serta dalam
penanganan perubahan iklim. Komitmen Indonesia dalam perubahan iklim ditingkat
internasional terwujud dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa–Bangsa Mengenai Perubahan Iklim,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim, dan Undang-Undang
No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework
Convention on Climate Change[2]. Selain itu, Komitmen Indonesia dalam perubahan iklim
ditingkat nasional terwujud dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Nationally Determined Contribution
(NDC) sebagai implementasi dari Paris Agreement.[2] Komitmen Indonesia dalam perubahan
iklim ditingkat daerah terwujud dalam Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK)
yang diaktualisasikan sesuai Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 dan telah disepakati oleh
34 provinsi di Indonesia.[2]

Pihak Pemerintah

Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia
dengan mengeluarkan program Kampung Iklim (Proklim) yang dicanangkan oleh Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.[1] Sistematika pelaksanaannya dengan melakukan
sosialisasi dan memberikan penghargaan kepada masyarakat lokal yang turut serta dalam
membantu mitigasi perubahan iklim. Pelaksanaan Program Kampung Iklim merujuk pada
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 84 tahun 2016. Implementasi
yang diharapkan dari Kampung Iklim yaitu:

1. Pengelolaan sampah limbah padat dan cair.[1]


2. Penggunaan energi baru terbarukan dan konservasi energi.[1]
3. Budidaya pertanian rendah emisi gas rumah kaca.[1]
4. Peningkatan tutupan vegetasi[1].
5. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.[1]

Selain itu strategi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mitigasi perubahan iklim di
antaranya:

1. Memperkuat kapasistas pemerintah daerah dalam mendukung upaya daerah dalam


mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim[1].
2. Menjalin kemitraan dengan kementrian/lembaga terkait pemerintah daerah dunia usaha
dan lembaga non-pemerintah.[1]
3. Mendorong komitmen pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk
mendukung pelaksanaan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta kegiatan
ekonomi masyarakat.[1]
4. Meningkatkan pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna yang mendukung upaya
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal serta kegiatan ekonomi masyarakat.[1]

Sektor Kehutanan

Salah satu sektor yang mempunyai andil dalam meningkatnya emisi gas rumah kaca yaitu
sektor kehutanan. Hal tersebut diakibatkan dari kegiatan pengalihan fungsi lahan hutan
(deforestasi), yang disertai dengan perusakan hutan dengan skala yang luas. Salah satu cara
yang telah dilakukan untuk mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca di Indonesia yaitu
dengan penanaman bibit pohon. Selain itu, pihak pemerintah turut serta membangun Hutan
Rakyat, Hutan Tanaman Industri, dan Hutan Kemasyarakatan.[3] Selain itu, mengelola tata air
dan pemeliharaan jaringan reklamasi pada rawa.[3]

Sektor Pertanian

Di bidang pertanian, salah satu penyebab yang turut serta menyumbang emisi gas rumah kaca
yaitu kegiatan pembakaran, kegiatan pemupukan, pelapukan, dan proses respirasi.[3] Oleh
karena itu proyek mitigasi untuk sektor pertanian mempunyai fokus pada penerapan
teknologi budidaya tanaman, pemanfaatan pupuk organik, penerapan bioenergi dan kompos,
serta penggunaan teknologi  biogas dan pakan untuk bisa membantu mengurangi emisi gas
rumah kaca.[3]

Sektor Limbah Rumah Tangga

Pengurangan emisi gas rumah kaca tak terhindar dari hal mendasar di kehidupan sehari-hari.
Contohnya sampah yang menumpuk baik yang jenisnya organik dan anorganik. Oleh karena
itu beberapa cara yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat di antaranya
meningkatkan pengelolaan limbah air di daerah perkotaan, menerapkan teknik 3R (Reduce,
Reuse, dan Recycle) dalam proses penanggulangan timbunan sampah, perbaikan dan
rehabilitasi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan pemanfaatan daur ulang sampah
menjadi bahan produksi energi yang ramah lingkungan.[3]

Sektor Energi dan Transportasi

Beberapa cara yang digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor energi dan
transportasi yaitu dengan menggunakan bahan bakar yang lebih bersih atau fuelswitching.
Selain itu, turut serta mengoptimalisasikan energi terbarukan yang meliputi energi angin,
energi panas, dan energi bumi. Mengoptimalisasikan pengganti minyak bumi dan
mengoptimalisasikan energi nuklir. Selain itu, untuk transportasi massal diharapkan
menggunakan yang rendah akan emisi serta ramah lingkungan. Strategi yang dilakukan yaitu
mengubah pola penggunaan kendaraan pribadi ke pola transportasi rendah karbon.[3]

Lembaga Non-Pemerintah

Di Kecamatan Gunung Sahilan Provinsi Riau terdapat sebuah proyek yang sangat
mendukung mitigasi perubahan iklim. Proyek tersebut dikelola oleh PT Industri Riau
Andalan Pulp and Paper (RAPP).[1] Bantuan yang diberikan oleh RAPP di antaranya berupa
sarana produksi rumah bibit, penghijauan, dan pembuatan biogas. Selain itu RAPP juga
membantu dalam hal administrasi legalitas serta pembinaan peternakan, perikanan, dan
pertanian. Isi dari kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat yaitu membuat biopori  dan
tidak melakukan pembakaran lahan dengan sewenang-wenang. Dalam hal pengumpulan
sampah sudah bisa membedakan jenis sampah.[1]

Perusahaan-perusahaan swasta seharusnya melaporkan jumlah emisi gas rumah kaca yang
dihasilkan secara jujur dan transparan.[4] Dari pelaporan yang transparan, diharapkan mampu
memberikan kerangka dan batasan-batasan pencapaian mitigasi perubahan iklim yang sudah
dan akan dilaksanakan. Oleh karena itu, perusahaan diharapkan mampu bekerja sama untuk
membantu mitigasi perubahan iklim.[4] Kontribusi nyata yang dilakukan oleh perusahaan
yang peduli terhadap perubahan iklim dengan menetapkan target berbasis sains. Perusahaan
mempunyai target untuk menjaga panas bumi di bawah 2oC. Perusahan yang telah
menerapkan basis sains yaitu Mahindra Group. Cara lain untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca di lembaga non-pemerintah, dengan menerapkan harga karbon disetiap perusahaan. Cara
ini bisa dilakukan dengan pendekatan perdagangan karbon, pajak karbon, batasan internal,
dan bayangan harga. Selain target, ada juga advokasi yang perlu diperkuat. Salah satu pihak
swasta yang mau bekerja sama dalam membuat kebijakan perubahan iklim yaitu We Mean
Business Coalition dan UN Global Compact (UNGC). Kebijakan yang dibuat berisi aturan
penting bagi setiap pemimpin yang ingin mempraktikkan rancangan perubahan iklim pasca
Persetujuan Paris. Salah satu hasilnya tertuang dalam Climate Action Playbook 2018.[4]

Kerja Sama

Indonesia menjalin kerja sama dengan negara Jepang dibidang mitigasi perubahan iklim
dengan probram BlueCares.[5] Program ini memiliki tujuan untuk melestarikan ekosistem di
pesisir laut dengan mengoptimalkan "karbon biru". Sebagai tindak lanjut dari program ini
perlu diadakannya penelitian dibidang ekologi, modeling, geokimia, dan sosial-ekonomi,
yang dikaitkan dengan aktivitas karbon biru.[5] Program ini berlangsung sejak tahun 2017-
2022. Dampak bagi negara Indonesia yaitu terbangunnya laboratorium blue carbon yang
berlokasi di Instalasi Teknologi Perikanan, Pasar Minggu, Jakarta.[5]

Di Korea Selatan diadakan sebuah perogram nasional untuk menangani dampak perubahan
iklim. Program itu bernama green growth.[6] Tujuan dari program ini yaitu menghimbau agar
masyarakat Korea Selatan mandiri dalam mitigasi perubahan iklim. Hal ini dikarenakan,
Korea Selatan termasuk negara dengan penyumbang tertinggi di dunia terhadap peningkatan
emisi gas rumah kaca. Green growth pertama kali diperkenalkan tahun 2001. Namun,
Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak baru menetapkan green growth menjadi kebijakan
nasional pada tahun 2008.[6] Setelah kebijakan itu ditetapkan, seluruh aktivitas ekonomi
beralih menuju ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.[6]
Pembiayaan

Sumber biaya untuk mitigasi perubahan iklim diperoleh dari berbagai sumber, di antaranya
sumber publik dan sumber swasta. Biaya tersebut dialokasikan untuk pembiayaan lokal dan
nasional.[7] Pada tahun 2009 dibentuk suatu organisasi yang mempunyai tugas sebagai
koordinator pengumpulan dana dari berbagai sumber untuk pembiayaan program perubahan
iklim. Organisasi itu bernama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).[8] Program
pertama yang dilakukan ICCTF yaitu melaksanakan rehabilitasi Hutan Kemasyarakatan
(Hkm) di Desa Lito, Kabupaten Sumbawa seluas 200 hektar (Ha). Dari proyek tersebut
Indonesia Climate Change Trust Fund dinobatkan sebagai pencertus agroforestri.[8] Menurut
Indonesia’s First Mitigation Fiscal Framework, bahwa biaya yang diperlukan untuk mitigasi
perubahan iklim hingga tahun 2020 sebesar Rp. 670 triliun (USD 70,5 miliar), sedangkan
bagi Indonesia baru mampu membiayai 23% dari total biaya mitigasi perubahan iklim.[

Deforestasi
Deforestasi atau penggundulan hutan adalah kegiatan penebangan hutan atau tegakan
pohon sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nonhutan, [1] seperti
pertanian dan perkebunan, peternakan, atau permukiman. Di antara 15–18 juta hektare hutan,
tanah seluas Bangladesh, dimusnah setiap tahun. Rata-rata 2.400 pokok ditebang setiap
menit.[2]

Istilah deforestasi sering disalahartikan untuk menggambarkan kegiatan penebangan yang


semua pohonnya di suatu daerah ditebang habis. Namun, di daerah beriklim sedang yang
cukup lengas, penebangan semua pohon—sesuai dengan langkah-langkah pelaksanaan
kehutanan yang berkelanjutan—tepatnya disebut sebagai 'panen permudaan'.[3] Di daerah
tersebut, permudaan alami oleh tegakan hutan biasanya tidak akan terjadi tanpa gangguan,
baik secara alami maupun akibat manusia.[4] Selain itu, akibat dari panen permudaan sering
kali mirip dengan gangguan alami, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati setelah
perusakan hutan hujan yang terjadi secara alami.[5][6]

Deforestasi dapat terjadi karena pelbagai alasan: pohon atau arang yang diperoleh dari hutan
dapat digunakan atau dijual untuk bahan bakar atau sebagai kayu saja, sedangkan lahannya
dapat dialihgunakan sebagai padang rumput untuk ternak, perkebunan untuk barang
dagangan, atau untuk permukiman. Penebangan pohon tanpa penghutanan kembali
(reforestasi) yang cukup dapat merusak lingkungan tinggal (habitat), hilangnya
keanekaragaman hayati, dan kegersangan. Penebangan juga berdampak buruk terhadap
penyitaan hayati (biosekuestrasi) karbon dioksida dari udara. Daerah-daerah yang telah
ditebang habis biasanya mengalami pengikisan tanah yang parah dan sering menjadi gurun.

Pengabaian atau ketidaktahuan nilai hakiki atau intrinsik, kurangnya nilai yang terwariskan,
kelengahan dalam pengelolaan hutan, dan hukum lingkungan yang kurang memadai
merupakan beberapa alasan yang memungkinkan terjadinya deforestasi secara besar-besaran.
Banyak negara di dunia mengalami deforestasi terus-menerus, baik secara alami maupun
akibat manusia. Deforestasi dapat menyebabkan kepunahan, perubahan iklim, penggurunan,
dan ketersingkiran penduduk semula. Perubahan tersebut juga pernah terjadi pada masa lalu
dan dapat dibuktikan melalui penelitian rekaman fosil.[5] Akan tetapi, angka deforestasi bersih
sudah tidak lagi meningkat di antara negara-negara dengan PDB per kapita yang sedikitnya
AS$4.600.[7][8]

Penyebab

Deforestasi setiap tahun.

Perubahan luasnya kawasan hutan setiap tahun.

Banyak deforestasi pada masa kini terjadi karena penyelewengan kuasa pemerintahan di
kalangan lembaga pemerintah,[9][10] ketidakadilan dalam pembagian kekayaan dan kekuasaan,
[11]
pertumbuhan penduduk[12] dan ledakan penduduk,[13][14] maupun urbanisasi.[15] Globalisasi
sering kali dipandang sebagai akar penyebab lain yang mengakibatkan deforestasi, [16][17]
meskipun ada pula dampak baik dari globalisasi (datangnya tenaga kerja, modal, barang
dagangan dan gagasan baru) yang telah menggalakkan pemulihan hutan setempat.[18]

Pada tahun 2000, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menemukan bahwa "peran
dinamika penduduk dalam keadaan setempat dapat berubah-ubah dari sangat berpengaruh
hingga tidak berpengaruh sama sekali," dan deforestasi dapat terjadi karena "tekanan
penduduk dan kemandekan keadaan ekonomi, masyarakat maupun teknologi."[12]

Terjadinya kemerosotan ekosistem hutan juga dapat berakar dari dorongan-dorongan


ekonomi yang menonjolkan keuntungan pengalihgunaan hutan dibandingkan pelestarian
hutan.[19] Banyak kegunaan hutan yang penting yang tidak memiliki pasar sehingga tidak ada
nilai ekonomi yang bermanfaat bagi para pemilik hutan atau masyarakat yang bergantung
pada hutan untuk kesejahteraan mereka.[19] Dari sudut pandang negara berkembang,
hilangnya manfaat hutan (sebagai penyerap karbon atau cagar keanekaragaman hayati),
ketika sebagian besar sisa pohonnya dikirim ke negara-negara maju, merupakan hal yang
tidak adil karena tidak ada imbalan yang cukup untuk jasa tersebut. Negara-negara
berkembang merasa beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, telah mendapatkan
banyak manfaat dengan menebang hutannya sendiri berabad-abad yang lalu, dan dinilai tidak
pantas apabila negara-negara maju tidak membiarkan negara-negara berkembang memiliki
kesempatan yang sama: bahwa negara miskin tidak harus menanggung biaya pelestarian
karena negara kayalah yang telah menciptakan masalahnya.[20]

Para pakar tidak sepakat bahwa pembalakan besar-besaran bagi perdagangan memainkan
peran penting bagi deforestasi global.[21][22] Beberapa pakar berpendapat bahwa orang miskin
lebih cenderung menebangi hutan karena mereka tidak punya jalan keluar yang lain. Ada juga
yang berpendapat bahwa masyarakat miskin tidak mampu membayar bahan dan tenaga kerja
yang diperlukan untuk menebang hutan.[21] Hasil dari salah satu pengkajian deforestasi
menyatakan bahwa hanya 8% penebangan hutan beriklim panas terjadi karena peningkatan
jumlah penduduk oleh angka kesuburan yang tinggi

Gas rumah kaca


Efek rumah kaca pada permukaan bumi yang disebabkan oleh radiasi matahari dan gas rumah kaca.

Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca.
Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul
akibat aktivitas manusia, terutamanya dengan pembakaran bahan bakar fosil. Tanpa gas
rumah kaca, suhu rata-rata di permukaan Bumi dikira akan menjadi di bawah titik beku air,
tetapi, adanya terlalu banyak gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global.[1]

Gas rumah kaca paling banyak yang ada di atmosfer Bumi adalah uap air (H2O), karbon
dioksida (CO2), metana (CH4) dan dinitrogen monoksida (N2O). Karbon dioksida timbul dari
berbagai proses alami seperti: letusan gunung berapi, kebakaran hutan, pernapasan hewan
(yang menghirup oksigen dan menghembuskan CO2). Namun, sejak Revolusi Industri,
konsentrasi CO2 pada atmosfer Bumi telah naik hampir 50%, dari 280 ppm pada tahun 1750
hingga 415 ppm pada tahun 2022.[2]

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim menyimpulkan bahwa emisi gas rumah kaca
oleh manusia harus dikurangkan setengahnya sebelum tahun 2030 dan mencapai 'nol bersih'
pada 2050 untuk membatasi pemanasan global kepada 1,5 °C,[3] aksi yang disetujui oleh
hampir 200 negara dalam Persetujuan Paris sejak tahun 2015.
Jenis

Pemaksaan radiasi (radiative forcing) dari beberapa faktor yang berkontribusi kepada perubahan
iklim menurut Laporan Penilaian Keenam IPCC.

Daftar gas rumah kaca paling banyak yang ada di atmosfer Bumi menurut fraksi molnya di
dunia (diurutkan secara menurun):[4][5]

 Uap air (H2O)


 Karbon dioksida (CO2)
 Metana (CH4)
 Dinitrogen monoksida (N2O)
 Ozon (O3)
 Klorofluorokarbons (CFC dan HCFC)
 Hidrofluorokarbon (HFC)
 Fluorokarbon (CF4, C2F6, dll.), SF6, dan NF3

Uap air

Meningkatnya uap air di Boulder, Colorado.


Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap
sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan
aktivitas manusia secara langsung memengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal
seperti di dekat sawah yang diirigasi.

Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca
akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di
troposfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air
mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca; yang mengakibatkan meningkatnya
temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus
berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air
berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan
gas-gas rumah kaca seperti CO2.[6] Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat
secara tidak langsung melalui terbentuknya awan.

Karbon dioksida
Lihat pula: Karbon dioksida pada atmosfer Bumi

Manusia telah meningkatkan jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka
membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menghangatkan bangunan,
menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan
yang mampu menyerap karbon dioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk
diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian.

Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer,
aktivitas manusia yang melepaskan karbon dioksida ke udara jauh lebih cepat dari
kemampuan alam untuk menguranginya. Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul
karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi
karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar,
pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Estimasi
yang lebih tinggi malah memperkirakan bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat
bila dibandingkan masa sebelum Revolusi Industri.

Metana

Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia
merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila
dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara,
gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di
tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat dikeluarkan oleh hewan-hewan tertentu,
terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri
pada pertengahan 1700-an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah kali
lipat.

Dinitrogen monoksida

Dinitrogen monoksida (N2O) adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan
terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat
menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah
meningkat 16 persen bila dibandingkan masa pre-industri.
Gas lainnya

Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi
dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) terbentuk selama
manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi termal, mebel, dan tempat duduk
di kendaraan. Refrigerasi di beberapa negara berkembang masih menggunakan
klorofluorokarbon (CFC), salah satu refrigeran, sebagai media pendingin yang selain mampu
menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (bagian atmosfer mengandungi ozon
dan melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet; lihat juga penipisan ozon). Selama masa abad
ke-20, gas-gas ini telah terakumulasi di atmosfer, tetapi sejak 1995, untuk mengikuti
peraturan yang ditetapkan dalam Protokol Montreal tentang substansi-substansi yang
menipiskan Lapisan Ozon, konsentrasi gas-gas ini mulai makin sedikit dilepas ke udara.

Para ilmuan telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas yang dihasilkan dari proses
manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada tahun 2000, para ilmuan
mengidentifikasi bahan baru yang meningkat secara substansial di atmosfer. Bahan tersebut
adalah trifluorometil sulfur pentafluorida. Konsentrasi gas ini di atmosfer meningkat dengan
sangat cepat, yang walaupun masih tergolong langka di atmosfer tetapi gas ini mampu
menangkap panas jauh lebih besar dari gas-gas rumah kaca yang telah dikenal sebelumnya.
Hingga saat ini sumber industri penghasil gas ini masih belum teridentifikasi.

Anda mungkin juga menyukai