AD
AD
Lingkungan hidup merupakan segala sesuatu yang ada disekitar manusia, meliputi
unsur biotik, abiotik, dan unsur sosial budaya, dan memiliki hubungan timbal balik
dengan manusia dan perilakunya. Unsur biotik merujuk pada komponen yang
memiliki ciri ciri makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan.
ads
AD
Unsur abiotik merujuk kepada komponen tidak hidup, berupa batu-batuan, tanah, air,
iklim, dan sebagainya. Sedangkan unsur sosial budaya merujuk pada keyakinan,
norma, nilai dalam masyarakat, dan sebagainya. Ketiga unsur lingkungan hidup
saling berhubungan dan merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Berikut
adalah upaya pelestarian lingkungan hidup :
Oleh Pemerintah
Upaya pemerintah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup adalah sebagai berikut:
Pemerintah dalam upayanya untuk mewujudkan kehidupan negara yang adil dan
makmur mencanangkan program pembangunan berwawasan lingkungan, atau juga
dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan. Program ini merupakan upaya
peningkatan kualitas hidup dengan tetap memperhatikan faktor lingkungan. Gagasan
penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan yaitu:
UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber alam hayati dan ekosistemnya
UU No. 5 tahun 1994 tentang Konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati
UU No. 6 tahun 1994 tentang Konvensi PBB mengenai perubahan iklim
UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah
UU No. 19 tahun 2009 tentang pengesahan konvensi Stockholm tentang bahan
pencemar organik yang persistan
UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Pada tahun 1991, pemerintah membentuk suatu badan khusus untuk melakukan
pengendalian dan pelestarian lingkungan hidup. Tugas pokok dari Badan
Pengendalian Lingkungan, adalah (1) Menanggulangi kasus pencemaran, baik
pencemaran udara, pencemaran tanah, maupun pencemaran air, (2) mengawasi
bahan berbahaya dan beracun, (3) melakukan analisis mengenai dampak lingkungan.
Upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan pemerintah antara
lain:
Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan rob bukan terjadi begitu saja.
Bencana ini utamanya terjadi karena kurangnya daerah resapan air hujan akibat
penggundulan hutan. Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan bangunan
membuat tanah menjadi lemah dalam menyerap air. Akibatnya lapisan tanah terkikis
dan terjadilah erosi. Dengan adanya erosi terus menerus dan tidak adanya penahan
tanah, maka longsorpun mudah terjadi. Begitu juga dengan terjadinya abrasi.
Karang dan hutan bakau diambil untuk keperluan pribadi tanpa memperhatikan
lingkungan, sehingga tidak ada penghalang ombak laut. Bahaya semacam ini dapat
dihindarkan dengan melakukan reboisasi (penanaman hutan yang gundul) serta
melakukan reklamasi hutan bakau. Dengan adanya penahan tanah terhadap air hujan
atau ombak, maka kemungkinan terjadi bencana banjir, longsor, dan rob bisa
berkurang. Di wilayah padat penduduk bisa disiasati dengan melakukan penanaman
pohon-pohon buah atau tanaman hias disekitar rumah. Selain membantu tanah untuk
meresap air, lingkungan sekitar rumah terlihat lebih hidup dengan adanya tanaman.
Sponsors Link
AD
AD
Air-air yang tergenang di sampah plastik peran besar dalam daur hidup
nyamuk yang membawa penyakit malaria atau demam berdarah. Bukan hanya
limbah sampah, pabrik yang dekat aliran sungai juga sering membuang limbahnya
pada sungai. Pembuangan limbah seperti ini masih perlu banyak dievaluasi karena
pada kenyataannya limbah yang dibuang banyak yang mengandung logam
berat. Bahaya logam berat bagi lingkungan sangat besar. Selain baunya yang
menyengat, logam berat dapat meracuni ikan dan bersifat karsiogenik bagi tubuh
manusia.
Dampak pencemaran udara bukan hanya menimpa manusia tetapi juga unsur biotik
dan abiotik di lingkungan hidup. Pencemaran udara utamanya berasal dari asap
kendaraan bermotor dan limbah asap pabrik. Wilayah dengan pencemaran udara
yang tinggi terlihat banyak kabut yang menutupi cahaya matahari. Akibat
kekurangan cahaya pada tumbuhan dan hewan dapat dilihat dari cara mereka
beradaptasi. Cara hewan beradaptasi dengan lingkungan berpolusi contohnya
seperti warna kupu kupu pada wilayah industri biasanya lebih gelap. Pencemaran
udara dapat dikurang dengan beberapa cara, diantaranya:
Menanam pohon atau tanaman hias disepanjang jalan raya untuk mengurangi polusi
asap kendaraan.
Membangun taman kota di beberapa tempat di kota besar.
Mengolah kembali limbah pabrik agar setelah dilepaskan ke udara tidak mengandung
zat-zat yang dapat merusak lingkungan.
Mengurangi jumlah kendaraan bermotor
Optimalisasi penggunaan kendaraan publik massal seperti kereta dan bus sehingga
pengguna kendaraan pribadi berkurang.
Sponsors Link
AD
4. Tidak melakukan perburuan liar dan perusakan alam
Semua unsur dalam lingkungan hidup saling berinteraksi dan mengalami hubungan
timbal balik. Untuk itu perlu disadari bahwa dengan merusak alam dengan
melakukan penebangan ilegal, perburuan liar, hingga perusakan hutan akan
merusak rantai makanan dan pada akhirnya akan berimbas kepada kehidupan
manusia. Oleh karena itu, pelaku perusakan lingkungan hidup harus diberi sanksi
yang berat agar ada rasa jera untuk mengulangi perbuatannya. Pada lingkungan
laut contohnya, penggunaan pukat harimau dan bom ikan sebaiknya dihentikan dan
diberi sanksi yang tegas karena mengancam ekosistem dan kehidupan biota
laut didalamnya.
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki banyak akan
kekayaan alamnya yang sangat beragam, meliputi tanah, air, dan ada lagi yang lebih terkenal saat ini
yaitu tanah galian yang biasa di sebut oleh banyak pengusaha sebagai pertambangan. Mulai dari
tambang emas, tembaga, perak, minyak , batu bara, gas bumi, industri semen dan masih banyak lagi
yang lainya. Dalam rangka menuju tahap industrialisasi di indonesia, menjadi bagian untuk pelaksanaan
pembangunan, dengan tujuan pemenuhan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat, serta untuk
cadagan pembangunan masa yang akan datang. Tak lepas dari itu semua tentunya banyak dampak yang
di timbulkan dari kegiatan penambangan tersebut. Untuk itu pelu adanya kaidah dasar yang menjadi
landasan untuk pembangunan dan melindungi linkungan hidup.
Kewenangan dan tugas pemerintah untuk melindungi sumber insani di negara indonesia demi
kesejahteraan bersama. Berdasarkan UU.No.23/1997 di jelaskan bahwa lingkunagan hidup merupakan
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan makhluk hidup, diantaranya manusia beserta
perilakunya,yang dapat mempengarui kelagsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia itu sendiri,
dan makhluk hidup lainya. Lingkungan hidup di indonesia mempunyai sebuah sistem yang meliputi
lingkungan sosial , lingkungan alam, lingkungan buatan dari ke tiga sistem tersebut saling berkaitan atau
saling mempengaruai atara satu sistem dengan sistem yang lainya. Ketahanan dai masing-masing
subsitem akan berpengaruh pada kondisi keseimbangan lingkungan hidup itu sendiri. Demi ntuk
menjamin kelangsungan lingkungan hidup kondisi inilah yang perlu di jaga dengan tujuan mampu
memberikan peningkatan kualitas kehidupan semua makhluk yang ada di dalamnya.
Ada sebuah filosofi yang akan dicapai dalam hal pengelolaan sumber daya alam yangdidasarkan
pada sebuah prinsip Otonomi Daerah, diantaranya yaitu masyarakat yang tinggal
didaerah seharusnya mendapatkan manfaat yang nyata dari keberadaan sumber daya
alam yang dimiliki daerahnya. Namun hal ini akan terwujud dengan
efektif apabila pelaksanaan pengelolaaan lingkungan hidup didasarkan pada prinsip otonomi
daerah, dan itupun dapat di laksanakan di antaranya oleh aparatur pemerintah daerah, berbagai dunia
usaha, serta masyarakat. Berbagai cara telah di terapkan, namun masih saja tetap muncul berbagai
problem yang di sebabkan oleh kurangnya pengelolaan lingkungan hidup. Kini setatus dan kualitas dari
llingkungan hidup, serta SDA di indonesia dalam keadaan buruk dan menurun hal itu akan
membahayakan kehidupan manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Pengelolaan serta pembangunan lingkungan hidup yang ada di Indonesia berlansung belum
lama dan itupun baru dirintis saat menjelang Pelita III. Oleh karena itu, dalam kurun waktu yang tidak
lama Indonesia telah banyak melakukan tindakan untuk mulai menangani lingkungan hidup di
sekitarnya. Hal ini dapat di lihat dari hasil utama pengembangan lingkungan hidup yang nampak dengan
munculnya kepedulian dan kesadaran di kalangan masyarakat. Selain itu juga nampak dalam
peningkatan upaya swadaya masyarakat, seperti tercermin dalam kegiatan nyata keikutsertaan
masyarakat umum dalam memecahkan problem, terkait dengan pencemaran yang ada di lingkungan
maupun di daerahnya. Melihat 20 tahun sebelumnya, bahwa istilah lingkungan hidup itu sendiri belum
di kenal luas oleh masyarakat.
Semenjak munculnya Pembangunan Jangka Panjang (PJP) pertama kalinya konsep dan kebijakan
lingkungan hidup itu mengalami perkembagan yang begitu berarti. Selama Pelita III di bidang lingkungan
hidup diatasi oleh Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Men-PPLH)
dengan memprioritaskan pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak”, hal
itu dengan tujuan supaya lingkungan serta pembangunan tidak lagi di permasalahkan atau di
pertentangkan. Pada tahap Pelita IV, kini bidang lingkungan hidup berada di bawah naungan Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH), dengan lebih memprioritaskan pada
keserasian antara kependudukan dan lingkungan hidup. Pada tahap Pelita V kebijaksanaan lingkungan
hidup sebelumnya di amandemen dengan mempertimbangkan keterkaitan antara tiga unsur, yaitu
lingkungan hidup, kependudukan dan pembangunan guna untuk mewujudkan konsep pembangunan
seterusnya.
Pembangunan itu pun hanya berlanjut pada generasi ke generasi, dan apabila dalam
penanganan dari ketiga bidang tersebut di lakukan secara seimbang maupun serasi pastinya akan bisa
mencapai apa yang jadi tujuan negara tesebut. Bila penduduk tidak bisa di dukung oleh lingkungan dan
sumber daya alam serta menunjang sumber daya manusia, maka dari itu bisa di mungkinkan dapa
berjalan, namun tidak lepas dari timbulnya ancaman yang ada pada kualitas dan daya dukung dari
lingkungan tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakuknya, yang mempengaruhi
kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU. No.
23/1997). Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidaklah mengenal batas wilayah baik wilayah
negara maupun wilayah administratif, akan tetapi jika lingkungan hidup dikaitkan dengan
pengelolaannya maka harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaan tersebut. Lingkungan hidup
Indonesia sebagai suatu sistem yang terdiri dari lingkungan sosial (sociosystem), lingkungan buatan
(technosystem) dan lingkungan alam (ecosystem) dimana ke-tiga sub sistem ini saling berinteraksi
(saling mempengaruhi). Ketahanan masing-masing subsistem ini akan meningkatkan kondisi seimbang
dan ketahanan lingkungan hidup, dimana kondisi ini akan memberikan jaminan suatu yang
berkelanjutan yang tentunya akan memberikan peningkatan kualitas hidup setiap makhluk hidup di
dalamnya.
1. Kebijakan pelestarian air perlu menempatkan sub sistem produksi air, distribusi air, dan konsumsi air
dalam satu kesatuan yang meyeluruh dan terkait untuk menuju pada pencapaian pola keseimbangan
antar sub sistem tersebut.
2. Kebijakan sub sistem Produksi Air, meliputi (1) Konservasi ekosistem DAS dan sumber air untuk
menjamin pasokan air; (2) Mencegah dan memulihkan kerusakan lingkungan terutama pada ekosistem
DAS, (3) Mengendalikan pencemaran untuk menjaga dan meningkatkan mutu air; (4) Optimalisasi
pemanfaatan air hujan.
3. Kebijakan konsumsi air yang hemat dan efisien untuk mendukung pelestarian air.
4. Kebijakan sub sistem distribusi air, meliputi (1) merencanakan peruntukan air permukaan dan air tanah
(2) meningkatkan infrastruktur yang memadai.
5. Kebijakan penataan ruang, meliputi (1) Menetapkan rencana tata ruang sesuai daya dukung dan daya
tampung lingkungan (2) Konsistensi pemanfaatan ruang; (3) pengawasan penataan ruang, (4)
Meningkatkan akses informasi.
6. Kebijakan kelembagaan, meliputi (1) membentuk lembaga pengelola air, (2) mekanisme penyelesaian
sengketa air (3) Valuasi ekonomi, (4) insentif ekonomi.
Pokok-pokok kebijakan sumber daya alam dan lingkungan hidup di bidang energi adalah:
1. Kebijakan pencegahan pencemaran; Baku Mutu Limbah Cair penambangan batu bara, Baku Mutu
kualitas udara ambient dan emisi gas buang kendaraan bermotor, dan pelaksanaan AMDAL pada setiap
kegiatan penambangan.
3. Kebijakan penguatan security of supply, dengan upaya penyediaan bahan bakar campuran BBM seperti
gahosol, biodisel, dll.
6. Kebijakan pemenfaatan energi terbarukan, dengan dorongan investasi dan inovasi teknologi.
Dengan kondisi dan status lingkungan hidup di Indonesia, Pemerintah juga telah
menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, dengan sasaran yang ingin
dicapai adalah membaiknya sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Tujuannya
untuk mencapai keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal
pertumbuhan ekonomi (kontribusi sektor perikanan, kehutanan, pertambangan dan mineral terhadap
PBD) dengan aspek perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem
kehidupan secara luas. Adanya keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan.
Untuk itu, pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) di seluruh sektor, baik di pusat maupun di daerah, menjadi suatu keharusan.
Yang dimaksud dengan sustainable development adalah upaya memenuhi kebutuhan generasi
masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Seluruh kegiatannya harus
dilandasi tiga pilar pembangunan secara seimbang, yaitu menguntungkan secara ekonomi (economically
viable), diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah lingkungan (environmentally sound).
Prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk instrumen kebijakan maupun investasi pembangunan
jangka menengah di seluruh sektor dan bidang yang terkait dengan sasaran pembangunan sumber daya
alam dan lingkungan hidup, seperti di bawah ini:
A. Bidang Pengairan
1. Meningkatnya kualitas air sungai khususnya di seluruh DAS kritis disertai pengendalian dan pemantauan
secara kontinyu;
2. Terjaganya danau dan situ, khususnya di Jabodetabek, dengan kualitas air yang memenuhi syarat;
3. Berkurangnya pencemaran air dan tanah di kota kota besar disertai pengendalian dan pemantauan
terpadu antar sektor;
4. Terkendalinya kualitas air laut melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi wilayah darat
dan laut;
5. membaiknya kualitas udara perkotaan khususnya di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, didukung
oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah lingkungan;
6. Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon (ODS/Ozone Depleting Substances) secara bertahap dan
sama sekali hapus pada tahun 2010; (7)
10. Regionalisasi pengelolaan TPA secara profesional untuk mengantisipasi keterbatasan lahan di
Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya;
11. Mengupayakan berdirinya satu fasilitas pengelolaan limbah B3 yang baru di sekitar pusat kegiatan
induatri;
12. Tersusunya aturan pendanaan lingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi kecilnya
pembiayaan sektor lingkungan hidup;
13. Sosialisasi berbagai perjanjian internasional kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan
daerah;
14. Membaiknya sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi internasional untuk memperjuangkan
kepentingan nasional; dan
15. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
B. Bidang Kehutanan
1. Tegaknya hukum, khususnya dalam pemberantasan illegal loging dan penyelundupan kayu;
2. Pengukuhan kawasan hutan dalam tata ruang seluruh propinsi di Indonesia, setidaknya 30 persen dari
luas hutan yang telah ditata batas;
4. Meningkatnya hasil hutan non kayu sebesar 30 persen dari produksi (2004);
5. Bertambahnya hutan tanaman industri (HTI), seluas 3 juta hektar, sebagai basis pengembangan ekonomi
hutan;
6. Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 141 DAS prioritas untuk menjamin pasokan air dari sistem
penopang kehidupan lainnya;
7. Desentralisasi kehutanan melalui pembagian wewenang dan tangghung jawab yang disepakati oleh
Pusat dan Daerah;
8. Berkembangnya kemitraan antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan
lestari; dan
C. Bidang Kelautan
2. Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara terpadu;
1. Optimalisasi peran migas dalam penerimaan negara guna menunjang pertumbuhan ekonomi;
3. Terjaminnya pasokan migas dan [produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri;
4. Terselesaikannya Undang undang Pertambangan sebagai pengganti Undang undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang Pokok Pokok Pertambangan;
5. Meningkatnya investasi pertambangan dengan perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha;
Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi
perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi manfaat ekonomi dan
sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan
cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Sasaran pembangunan
di atas dibuat agar sumber daya alam dapat tetap mendukung perekonomian nasional dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan
hidupnya, agar kelak tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
4. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah;
dan
5. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai
kontrol sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup.
Untuk menterjemahkan sasaran pembangunan dan arah kebijakan di atas, maka pembangunan
sumber daya alam dan lingkungan hidup jangka menengah 2004-2009 akan mencakup program-
program sebagai berikut:
7. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup;
8. Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup;
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah
perusakan atau pencemaran lingkungan hidup yang di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara
sehingga masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.Adapun kegiatan
pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:
1. Pemantauan kualitas udara dan badan air secara kontinyu dan terkoordinasi antar daerah dan antar
sektor;
4. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan di sektor transportasi dan energi dalam upaya megurangi
polusi udara perkotaan;
5. Spsialisasi penggunaan teknologi bersih dan ekoefisiensi di berbagai kegiatan manufaktur dan
transportasi;
6. Perbaikan sistem perdagangan dan impor bahan perusak lapisan ozon (ODS) hingga akhir tahu 2007 dan
penghapusan ODS pada tahun 2010;
7. Pengkajian mendalam terhadap dampak perubahan iklim global pada sektor sektor tertentu;
8. Adaptasi dampak perubahan iklim pada rencana strategis sektor maupun rencana pembangunan
daerah;
9. Peningkatan produksi dan penggunaan pupuk kompos yang berasal dari sampah perkotaan;
10. Peningkatan peran sektor informal khsususnya pemulung dan lapak dalam upaya pemisahan sampah
dan 3 R;
11. Pengkajian pendirian perusahaan TPA regional di beberapa kota besar, khususnya Jabodetabek dan
Bandung;
14. Penetapan dana alokasi khusus (DAK) sebagai kompensasi daerah yang memiliki dan menjaga kawasan
lindung;
15. Pengintegrasian biaya-biaya lingkungan ke dalam biaya produksi termasuk pengembangan pajak
progresif dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
16. Pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, termasuk teknologi tradisional dalam
pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan limbah, dan teknlogi industri yang ramah lingkungan, serta;
17. Perumusan aturan dan mekanisme pelaksanaan tentang alternatif pendanaan lingkungan seperti DNS
(Debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), retribusi lingkungan, dan sebagainya.
1. Membantu kaum miskin karena konon, maka tak punya pilihan untuk bertahan selain merusak
lingkungan;
2. Pembangunan atas kekuatan sendiri yang dipagari oleh daya dukung lingkungan;
3. Pembangunan dengan biaya efektif dan menggunakan parameter ekonomi non konvensional;
4. Perbaikan lingkungan kesehatan, penyediaan air bersih dan tempat tinggal untuk setiap manusia;
Agenda 21, program aksi PBB yang dihasilkan KTT Bumi Rio De Janeiro 1992, pernyataan tentang
prinsio-prinsip kehutanan, konvensi tentang perubahan iklim dan konvensi tentang kekanekaragaman
hayati. Sustainable development dalam terminologi ekonomi, diartikan sebagai suatu pembangunan
yang tidak pernah punah – development that last, pearce and barbier(Adiningsih, 2002:5). Secara lebih
spesifik dapat diartikan sebagai suatu pembangunan ekonomi yang memakimumkan kualitas kehidupan
generasi sekarang yang tidak menyebabkan penurunan kualitas kehidupan generasi mendatang. Kualitas
hidup tidak hanya mencakup aspek kebutuhan ekonomi namun juga kebutuhan akan alam yang bersih,
sehat dan tingkat kehidupan sosial yang diinginkan.
Dapat dikatakan pembangunan yang berindikator pada keberhasilan eknomi, social, budaya dan
kesehatan saja adalah sebuah kegagalan sebab harus di ukur dari keberhasilan pelestarian lingkungan
hidup yang menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang untuk dapat disebut sebagai
pembangunan yang berhasil. Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Lingkungan Hidup di Rio De
Janeiro Brasil tahun 1992 menghasilkan sejumlah prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang
harus bisa dilaksanakan oleh setiap negara peserta dan penandatanganan Deklarai Bumi terdapat 5
(lima) prinsip yang sangat penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, yaitu :
2. Prinsip kehati-hatian;
5. pencemar membayar.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Bagi Pemerintah dalam mengambil kebijakan dan pengelolan lingkungan hidup sebaiknya harus
diperhatikan lagi secara baik dan benar sehingga keputusan yang tetapkan tidak ada lagi ada hambatan
dalam menjalankan kebijakan tersebut. Permasalaan yang ada juga harus diperhatikan secara teliti
sehingga dapat dilihat dimana letak dari faktor pecemaran lingkungan yang ada. Jika solusi telah
didapatka pemerintah sebaiknya bersosialisasi dengan masyarakat untuk bersama-sama menjaga
lingkungan kita. Sehingga masyarakat lambat-laun akan lebih memperhatikan lingkungan hidup yang
ada disekitarnya. Sebaiknya juga, pemerintah harus membuat peraturan bagi masyarakat yang tidak
memperhatikan lingkungan dan masih menggangap hal ini sepele harus diberi sansi bagi yang
melanggar sehingga masyarakat benar-benar memperhatikan masalah ini.
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Memasuki era yang modern atau lebih dikenal dengan globalisasi, masalah demi masalah
muncul sebagai akibat yang ditimbulkan oleh era tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap
makhluk hidup utamanya manusia tidak dapat lepas dari dampak globalisasi tersebut, karena makhluk
hiduplah pelaku utama dari kegiatan tersebut. Oleh karena itu, setiap manusia harus senantiasa
waspada terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kegiatan yang dilakukannya terutama dalam
melakukan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan.
Aspek yang paling sensitif terhadap dampak era yang serba industri seperti sekarang ini adalah
lingkungan. Besar kecilnya kegiatan manusia pasti akan berdampak pada kualitas lingkungan. Dengan
demikian, manusia sebagai pelaku utama lingkungan harus senantiasa mengendalikan dan menjaga
lingkungan agar tidak mengalami kerusakan.
Di Indonesia, masalah lingkungan merupakan masalah yang cukup serius yang harus segera
diatasi. Lingkungan hidup Indonesia yang dulu dikenal sangat ramah dan hijau kini seakan berubah
menjadi ancaaman bagi masyarakatnya. Betapa tidak, tingkat kerusakan lingkungan di indonesia sangat
besar. Pencemaran lingkungan dan aktifitas penebangan hutan secara illegal merupakan penyebab
utamanya.
Banyaknya bencana yang sering terjadi di tanah air seperti banjir dan tanah longsor merupakan
bukti betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan di era globalisasi. Kesadaran untuk hidup
lebih baik harus senantiasa dipegang oleh manusia khusunya yang tinggal di kota-kota besar karena
manusialah penyebab utama terjadinya bencana tersebut. Tanpa manusia sadari, ketika membuang
sampah di sembarang tempat, menebang pohon tanpa perencanaan adalah suatu aktifitas yang
membahayakan kehidupannya.
Tingkat eksploitasi dan konsumsi energi fosil yang terlalu berlebihan selama beberapa dekade
ke belakang serta pengrusakan hutan dan rendahnya usaha konservasi lahan menyebabkan terjadinya
berbagai masalah lingkungan yang parah di Indonesia. Masalah lingkungan yang terjadi diantarannya
global warming, polusi dan pencemaran lingkungan. Semua masalah itu berujung pada terjadinya
degradasi lingkungan yang mengancam aktifitas kehidupan manusia. Lingkungan yang terdegradasi
tidak mampu lagi menyokong aktifitas kehidupan manusia dengan baik
Oleh karena hal-hal tersebut, pemerintah indonesia senantiasa berupaya untuk melestarikan
lingkungan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan aturan yang bertujuan untuk melestarikan
dan menjaga kualitas lingkungan secara berkesinambungan. Aturan dan kebijakan tersebut hingga kini
disebut sebagai kebijakan lingkungan.
B. RUMUSAN MASALAH
2. Bagaimanakah kebijakan-kebijakan lingkungan yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan kegiatan
pembangunan?
2. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan lingkungan yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan
kegiatan pembangunan.
D. MANFAAT PENULISAN
3. Menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang mempunyai obyek kajian yang sama.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia menjadi masalah serius yang harus segera
dilaksanakan mengingat besarnya tingkat kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Upaya–upaya
tersebut berkaitan erat dengan kegiatan-kegiatan manusia yang selama ini dianggap dapat mengancam
kelestarian dan kestabilan lingkungan. Dengan dilakukannya upaya tersebut diharapkan dapat
mengurangi bahkan menghilangkan kerusakan lingkungan.
Salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah tingginya tingkat pencemaran lingkungan,
seperti pencemaran tanah yang diakibatkan oleh pembuangan sampah yang sembarangan. Pencemaran
tersebut mempunyai dampak yang sangat luas dan sangat merugikan manusia. Oleh karena itu, harus
diupayakan pengurangan pencemaran lingkungan bila perlu meniadakan sama sekali.
Untuk mengatasi tingkat kerusakan lingkungan berbagai upaya yang telah dilakukan guna
meminimalisir dampak kerusakan tersebut, antara lain:
AMDAL (Analisi Mengenai Dampak Lingkungan) didefinisikan sebagai suatu hasil studi mengenai
dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan sebagai bahan
pertimbangan pengambilan suatu keputusan.
Dengan adanya AMDAL dampak kegiatan yang dilakukan khususnya yang berkaitan dengan
lingkungan dapat diminimalkan, karena telah ada perencanaan yang matang sebelum melakukan suatu
kegiatan.
3. Menerapkan Prinsip Pemeliharaan Daya Dukung Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
· Prinsip Mengurangi (Reduce) yaitu penghematan, pengendalian, efisiensi sumber daya alam serta
mencari sumber alternatif yang bersifat ramah lingkungan dan banyak tersedia di alam.
· Prinsip Memakai Ulang (Reuse) yaitu hasil-hasil produksi primer sumber daya alam yang dapat terpakai
tetapi masih memiliki nilai guna untuk kebutuhan lainnya tanpa proses daur ulang.
· Prinsip Daur Ulang (Recycle) yaitu pengolahan kembali bahan bekas dalam bentuk sampah yang tidak
mempunyai nilai ekonomi menjadi suatu barang yang berharga dan berguna bagi kehidupan manusia.
Hal–hal yang berhubungan dengan pelestarian daya dukung lingkungan harus senantiasa
dilakukan, sehingga lingkungan juga dapat memberikan yang terbaik bagi makhluk yang hidup di bumi
ini.
Pengelolaan limbah secara benar dimaksudkan agar limbah yang dihasilkan oleh suatu kegiatan
dapat dikelolah secara benar agar tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Dengan
demikian, tingkat pencemaran dapat diminimalkan sehingga tidak merugikan mahkluk hidup.
Masih banyak lagi upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka melestarikan dan
menstabilkan kualitas lingkungan. Kesemua upaya tersebut secara umum bertujuan agar kegiatan yang
dilakukan manusia dapat dikuarangi bahkan ditiadakan dmapaknya sehingga tidak membahayakan serta
tidak merugikan manusia di bumi ini.
1. Tercapainya keselarasan antara hubungan manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun
manusia seutuhnya
Lingkungan hidup sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta mahkluk hidup lain. Masalah lingkungan
di indoneesia mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Kebijaksanaan lingkungan sangat erat
sekali hubungannya dengan kegiatan pembangunan.
Pancasila sebagai dasar negara daan falsafah negara memberikan keyakinan bagi bangsa
indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan, keserasian dan
keseimbangan baik keseimbangan dalam hubungannya dengan tuhan, hubungannya dengan sesama
manusia maupun hubungannya dengan alam. Sedangkan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 yakni bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnyauntuk kemakmuran rakyat.
Kebijakan lingkungan merupakan jiwa dari Manajemen Lingungan karena berisi pernyataan
komitmen atau niat manajemen puncak. Tanpa ada niat tentu saja tidak ada alasan atau penggerak
bagi diterapkannya pengelolaan lingkungan yang baik di Indonesia. Kebijakan lingkungan merupakan
salah satu perwujudan misi dan visi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang merupakan alasan
utama kenapa suatu suatu kegiatan berdiri dan dijalankan. Komitmen-komitmen di dalam kebijakan
diperlukan sebagai arahan dan panduan bagi para karyawan perusahaan.
Kebijakan lingkungan suatu perusahaan di suatu lokasi harus sejalan dengan kebijakan
lingkungan yang ditetapkan pemerintah karena sulit untuk membayangkan suatu sinergi di dalam satu
kebijakan jika berbeda kebijakan dan arah pengembangan. Selain itu, tujuan/sasaran lingkungan dan
PML(Program Manajemen Lingkungan) harus memiliki hubungan erat dengan kebijakan-kebijakan
perusahaan lainnya seperti sasaran produksi tahunan, sasaran mutu atau kecelakaan kerja. Hal ini
penting sebagai bukti bahwa masalah-masalah lingkungan sudah diintegrasikan dengan keseluruhan misi
perusahaan dan bukan semata-mata sebagai pelengkap.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam menentukan kebijakan lingkungan suatu kebijakan
yaitu:
2. Sesuai dengan sifat, skala, dan dampak lingkungan kegiatan produk atau jasa.
4. Memberikan kerangka kerja untuk membuat dan mengakaji tujuan dan sasaran lingkungan.
Kebijakan lingkungan tidak memiliki arti jika tidak dapat diwujudkan dalam praktek kerja
sehari-hari melalui elemen-elemen lain dalam standar. Tidak ada gunanya karyawan dapat menghafal
kata demi kata dalam kebijakan lingkungan tetapi mereka tidak mengenali bahaya dari asam sulfat
sehingga bekerja tanpa sarung tangan atau tidak mengetahui tujuan dari pemilahan limbah menurut
jenisnya sehingga semua jenis sampah dibuang dilokasi yang sama
Persepsi salah yang berkembang adalah Klausa Kebijakan lingkungan cukup dipenuhi dengan
menyodorkan kepada auditor eksternal berupa bukti-bukti pelatihan, tanda absensi, poster-poster, dll.
Semua itu merupakan alat untuk mensosialisasikan kebijakan lingkungan semata.
Dalam kaitannya dengan energi, kebijakan lingkungan merupakan hal yang penting demi
menjaga kestabilan energi nasional. Terdapat beberapa konsep kebijakan pengelolaan energi yang
dapat diaplikasikan demi mencegah terjadinya krisis energi nasional. Hal pertama yang harus dilakukan
yaitu peningkatan efisiensi pemanfaatan energi di segala bidang. Energi harus digunakan sebaik-baiknya
demi pemenuhan kebutuhan yang benar-benar penting. Penghematan energi masih relevan untuk
dilakukan karena fenomena yang ada sekarang yaitu masyarakat menganggap energi sebagai barang
yang murah dan mudah didapat sehingga sering dihambur-hamburkan. Untuk itu, perlu dilakukan
berbagai penerangan dan penyuluhan publik terkait pentingnya menjaga ketersediaan energi dengan
cara menghemat pemakaian energi dan peningkatan efisiensi pemanfaaatan energi.
Pengembangan kebijakan dan pengelolaan teknologi di bidang energi dan lingkungan perlu dilakukan
dengan bijaksana demi mencegah terjadinya krisis energi serta degradasi lingkungan global. Konsep
kebijakan pengelolaan energi yang dapat dilakukan yaitu peningkatan efisiensi pemanfaatan energi serta
pengembangan diversifikasi energi dan sumber energi terbarukan. Selain mengelola kebijakan energi,
sektor-sektor yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan energi juga perlu diatur agar
pengelolaan energi dapat dilakukan secara komprehensif. Beberapa sektor yang mendapat perhatian
khusu terkait tata kelola energi yaitu sektor transportasi, tata ruang dan bangunan.Pada akhirnya
diharapkan sumber daya energi dapat dimanfaatkan dengan berwawasan lingkungan. Kombinasi
kebijakan tentang konservasi, diversifikasi dan efisiensi energi perlu dirancang demi penyediaan energi
yang berkelanjutan.
Beberapa kebijakan lingkungan yang ada di dunia khususnya di indonesia antara lain:
1. Kebijakan Internasional
· Eco development concepts deklarasi rio thejeniro tahun 1992 (sustaible development concepts)
· 1973 = pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya secara rasional tanpa merusak tata
lingkungan
· 1997 = pelestarian lingkungan dengan mengembangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk
kesejahteraan rakyat
· Pendapat Masyarakat
· Analisis Profesional
· Rekomendasi Pejabat Pemerintah
Selain itu pada pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pengelolaan lingkungan hidup merupakan keseluruhan proses yang meliputi penyusunan berturut-turut:
Secara umum manfaat dari adaanya pengelolaan lingkungan yang benar dan kebijakan
lingkungan di indonesia, antara lain:
1. Memberikan petunjuk bagi pelaksanaan kegiatan sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan
lingkungan.
4. Menjadikan lingkungan sebagai tempat menempuh kehidupan yang tentram dan sejahtera.
5. Menyadarkan makhluk utamanya manusia untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan agar tercipta
hubungan yang harmonis diantara keduanya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia menjadi masalah serius yang harus segera
dilaksanakan mengingat besarnya tingkat kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Upaya–upaya
tersebut berkaitan erat dengan kegiatan-kegiatan manusia yang selama ini dianggap dapat mengancam
kelestarian dan kestabilan lingkungan. Dengan dilakukannya upaya tersebut diharapkan dapat
mengurangi bahkan menghilangkan kerusakan lingkungan.
Beberapa kebijakan lingkungan yang ada di dunia khususnya di indonesia antara lain:
1. Kebijakan Internasional
· Eco development concepts deklarasi rio thejeniro tahun 1992 (sustaible development concepts)
· 1973 = pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya secara rasional tanpa merusak tata
lingkungan
· 1997 = pelestarian lingkungan dengan mengembangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk
kesejahteraan rakyat
· Pendapat Masyarakat
· Analisis Profesional
Selain itu pada pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pengelolaan lingkungan hidup merupakan keseluruhan proses yang meliputi penyusunan berturut-turut:
B. SARAN
1. Kepada pemerintah agar senantiasa melaksanakan upaya pelesetarian lingkungan agar kerusakan
lingkungan tidak meluas dan tidak mengancam kehidupan manusia.
2. Kepada masyarakat agar senantiasa melestarikan lingkungan agar lingkungan tetap stabil, seimbang dan
menjadi tempat yang nyaman untuk kelangsungan hidup makhluk hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Ulfiah, Siti. 2010. Ilmu Pengetahuan Alam. Surakarta; Citra Pustaka Mandiri.
www.dostoc.com
www.google.com
www. quality-club.com
www.scribd.com
www.wikipedia.co.id
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
Demi mencukupi kualitas hidupnya, manusia berlomba – lomba mengeruh hasil kekeyaan alam
yang sangat berlimpah khususnya di bumi pertiwi Negara Indonesia, Hal ini dapat kita dari
banyaknya kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia baik melalui kegiatan eksploitasi secara
besar-besaran, pencemaran lingkungan oleh limbah pabrik, dan lain-lain sehingga menyebabkan
kondisi alam yang rusak parah dan akhirnya merugikan manusia itu sendiri.
Dalam hal ini yang menjadi sasaran utama kebijakan Negara adalah pihak – pihak yang
terkait yang secara sengaja merusak tanpa melihat efek yang ditimbulkan dari segala macam
kegiatan yang dapat merusak lingkungan, terlebih – lebih saat ini Indonesia mendapat
peringkat sebagai Negara yang memiliki kerusakan lingkungan nomor 4 setelah Amerika Serikat,
Brasil dan China.
1. Mengeluarkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang Tata Guna
Tanah.
2. Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
3. Memberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL (Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan).
4. Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian Lingkungan, dengan tujuan
pokoknya:
1) Menanggulangi kasus pencemaran.
Selain Pemerintah sebagai pembuat kebijakan (legislatif) dan pengontrol saja, pemerintah juga
telah melakukan beberapa beberapa langkah konkret, antara lain:
a) Melakukan pembaharuan teknologi yang ramah lingkungan, dengan mendukung serta
memberikan dana bagi institusi atai individu yang melakukan pembaharuan teknologi tersebut.
Misalnya teknologi Biogas, Biopori, dan minyak biji jarak.
b) Mengajak perusahaan – perusahaan yang bergerak di bidang lingkungan dan SDA untuk
ikut serta menjaga SDA yang ada, dengan mendorong mereka melakukan corporate sosial
responsibility (CSR) sebagai bentuk tanggung jawab terhadap eksploitasi SDA yang dilakukan,
dengan membuat UU perihal kewajiban perusahaan melakukan CSR.
Selain Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh pemerintah, Sebagai warga
negara yang baik, kita harus menunjukan seberapa besar Perwujudan cinta tanah air kepada
Negara, namunSebelum kita menunjukan perwujudan cinta tanah air sebaiknya kita mengetahui
dulu sebenarnya apa makna atau pengertian dari cinta tanah air itu terlebih dahulu.
Cinta tanah air ialah sebuah rasa bangga yang ada pada diri orang seseorang terhadap
tanah air,bangsa dan Negaranya sendiri yang diwujudkan dengan tindakan-tindakan yang
dapat menjadi kebanggaan bangsa serta dapat mengharumkan nama bangsa nya di
Negara luar. Cinta tanah air bukan hanya semata dalam hal itu saya tetapi bias dalam pengertian
lain yaitu berupa pembelaan diri bangsa dari serangan luar yang bias mengancam bangsa dan
Negara kita serta rela berkorban dalam bentuk apapun dengan ikhlas serta sepenuh hati untuk
Negaranya dalam hal yang baik tentukan positif. Perwujudan cinta tanah air dapat mencangkup
banyak lingkungan dalam mewujudkannya.
Perwujudan cinta tanah air dengan menanamkan kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian
lingkungan hidup di sekitarnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. hal ini dikarenakan
kita tinggal dan hidup dengan lingkungan sehingga berbagai perilaku yang kita lakukan kepada
lingkungan akan berdampak kepada diri kita sendiri. Dan juga sebagai aktor yang secara
langsung lebih mengetahui kondisi lingkungan serta sumber daya alam dibandingkan dengan
pemerintah, kita memiliki beban serta tanggung jawab yang sama dalam merawat dan menjaga
keutuhan serta kualitas sumber daya agar penggunaan sumber daya dapat terus berkelanjutan.
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
30
PERJANJIAN INTERNASIONAL DI BIDANG LINGKUNGAN LAUT YANG
TELAH DIRATIFIKASI INDONESIA
UncategorizedAdd comments
Abstrak
Perjanjian Internasional di bidang kelautan yang sejak dulu telah dirundingkan, kini berkembang dengan pesat. Puncak dari
berbagai perundingan mengenai masalah kelautan adalah diadakannya Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum
Laut (United Nations Conference on the Law of the Sea) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konperensi ini telah
ditandatangani suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir seluruh permasalahan di bidang kelautan. Perjanjian
internasional ini dikenal dengan nama Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS).Pemerintah Indonesia sudah sejak lama turut aktif dalam berbagai perundingan mengenai terbentuknya berbagai
perjanjian internasional di bidang kelautan khususnya lingkungan laut (environmental of the sea). Dengan menandatangani hasil
berbagai konperensi hukum laut, maka diperlukan suatu langkah untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut. Salah satu cara
adalah meratifikasi perjanjian internasional tersebut agar berlaku menjadi hukum nasional. Studi ini memberikan gambaran
mengenai hukum perjanjian lingkungan laut (environmental law of the sea treaties). Selain itu studi ini juga menggambarkan
bahwa cukup banyak perjanjian internasional (baik yang bersifat publik maupun perdata) yang telah diratifikasi Pemerintah
Indonesia dan alasan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
studi pustaka. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah berbagai perjanjian
internasional di bidang kelautan diratifikasi, masih diperlukan beberapa langkah serta tindak lanjut untuk menerapkannya.
Implementasi perjanjian internasional ini antara lain dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan yang bersifat umum maupun
teknis. Dalam penelitian ini telah menemukan ada langkah tindak lanjutnya dengan dikeluarkan beberapa peraturan pelaksana
baik dalam bentuk undang-undang hingga keputusan menteri. 1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Permasalahan
Hingga saat ini, cukup banyak perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang telah berhasil disepakati.
(UNEP,1993;Ball&Stuart,1991;Pramudianto,1995). Perkembangan perjanjian internasional yang lahir di abad 20 ini, nampaknya
berkaitan erat dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi tinggi dan bahan berbahaya yang menimbulkan dampak yang luas
bagi masalah sumberdaya di laut. Karena itu perjanjian internasional di bidang kelautan kini lebih bersifat multilateral dan
menerapkannya secara global dengan penekanan pada persoalan kepemilikan bersama yang antara lain mengarah pada
prinsip Common Heritage of Mankinds. (Abdurrasyid, 1991; Agoes,1988;Danusaputro,1982)
Hukum internasional mengenal beberapa cara bagi suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional yang
salah satu diantaranya adalah ratifikasi (Kusumaatmadja,1976;Parthiana,1990;Likadja,1988;Situni,1989). Dalam hal ini suatu
instrumen perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam suatu
perundingan umumnya masih membutuhkan adanya penegasan kembali. Penegasan kembali ini dapat dilakukan melalui lembaga
ratifikasi. (Suryono,1984;Suwardi,1991;Kusumohamidjojo,1986) Setelah dilakukan tindakan ratifikasi, naskah perjanjian
internasional tersebut dapat dikirim kembali ke tempat penyimpanan (depository) naskah perjanjian sebagai bukti keterikatan
suatu negara terhadap perjanjian internasional tersebut. Namun hal yang perlu dicatat bahwa tidak seluruh perjanjian
internasional membutuhkan ratifikasi untuk dapat diberlakukan. Karena itu ada beberapa ahli menyatakan bahwa ratifikasi hanya
sekedar memberikan pernyataan formal keterikatan terhadap suatu perjanjian internasional.
(Anwar,1991;Suraputra,1991;Kantaatmadja;1991;Agoes,1988;Suryono,1984)
Konsep yang berlaku umum di dalam hukum internasional ini juga diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Sesudah
menandatangani perjanjian-perjanjian internasional tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian melakukan tindakan ratifikasi baik
melalui Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Produk hukum nasional hasil ratifikasi yang dikeluarkan oleh
Presiden berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan hasil ratifikasi melalui persetujuan DPR dikeluarkan dalam
bentuk undang-undang (UU). Hingga sekarang ketentuan hukum mengenai ratifikasi masih berpedoman pada Pasal 11 Undang-
undang Dasar 1945 dan Surat Presiden Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2826/HK/60 tanggal 22 Oktober 1960
perihal Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain.
Dalam prakteknya, ratifikasi yang telah dilakukan oleh Indonesia terhadap perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang
kelautan khususnya lingkungan laut kebanyakan berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan dalam bentuk Undang-
undang (UU) masih sangat sedikit. Hal ini berhubungan dengan klasifikasi perjanjian internasional itu sendiri yang pada
umumnya menganggap perjanjian internasional bidang lingkungan laut kurang memiliki dampak politik yang penting. Walaupun
demikian ada beberapa perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang lingkungan laut yang memiliki dampak politik
sangat penting dan mempengaruhi masa depan Indonesia telah berhasil disetujui oleh DPR melalui bentuk undang-undang.
Sebagai contoh adalah Undang-undang No. 17 tahun 1985 yang mengesahkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. 1.2.
Identifikasi MasalahPermasalahan yang timbul mengenai tata cara ratifikasi terhadap berbagai perjanjian internasional dilihat
dari pandangan yuridis selama ini karena ketentuan hukum nasional belum memadai. Dasar hukum mengenai tata cara
meratifikasi yang selama ini ada tidak memberikan prosedur yang jelas dan baku. Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 tidak
menyebutkan dengan tegas adanya kata ratifikasi dan tidak memberikan kejelasan prosedural mengenai tata cara meratifikasi
suatu perjanjian internasional. Surat Presiden No 2826/Hk/60 bahkan berada di luar tata urutan perundang-undangan berdasarkan
Ketetapan MPR No. XX/1966 mengenai Sumber Tertib Hukum. Kemudian timbul masalah lagi, yaitu bagaimana menentukan
atau mengkriteriakan jenis perjanjian internasional yang penting dan perjanjian internasional yang kurang penting. Permasalahan
ini akan menimbulkan akibat pada perjanjian internasional di bidang lingkungan laut yang dalam meratifikasi ternyata
menghasilkan dua produk hukum nasional yaitu berbentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan berbentuk Undang-undang (UU).
Hal ini menimbulkan suatu akibat bahwa ternyata perjanjian di bidang lingkungan laut ada yang dikategorikan sangat penting dan
ada yang kurang penting. Berbagai perjanjian internasional di bidang lingkungan laut telah berhasil dibentuk. Namun hal ini
membutuhkan keterikatan yang pasti yaitu dapat berupa ratifikasi, penerimaan atau persetujuan. Bagi Pemerintah Indonesia
ratifikasi menjadi hal yang penting karena akan mempengaruhi sistem hukum nasional Indonesia dan dapat memberikan
wawasan baru bagi ketentuan hukum nasional. 1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana produk hukum internasional di bidang kelautan khususnya dalam
perjanjian internasional bidang hukum lingkungan laut telah diimplementasikan ke dalam hukum nasional. Sedangkan tujuan
penelitian adalah :
1. Mengetahui informasi berbagai perjanjian internasional bidang kelautan yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.
2. Mengetahui sejauhmana tindak lanjut pelaksanaan atas ratifikasi perjanjian internasional ini
1. Memberikan informasi dasar khususnya yang menyangkut peraturan internasional di bidang lingkungan laut yang telah
diratifikasi Pemerintah Indonesia
4. Memberikan bahan masukan untuk pengambil keputusan dalam menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi
1.5. Lingkup StudiPenelitian ini dibatasi pada permasalahan hukum lingkungan laut, khususnya ratifikasi atas perjanjian
internasional.
2. METODE PENELITIAN
2.1. MetodologiMetode yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian deskriptif dengan cara menginventarisasi berbagai
ketentuan atau peraturan hukum internasional yang telah diratifikasi. Selain itu dilakukan juga studi pustaka untuk mencari
berbagai informasi mengenai perjanjian internasional yang diratifikasi. 2.2. Penentuan SampelDari seluruh peraturan yang
menyangkut perjanjian internasional yang telah ditandatangani atau diratifikasi, sampel yang diambil hanya pada perjanjian
internasional yang khususnya menyangkut atau berkaitan dengan persoalan lingkungan laut yang telah diratifikasi. Setelah itu
dilakukan penelusuran peraturan hukum nasional yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dalam menerapkan ketentuan ratifikasi
ini. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah setiap peraturan nasional yang berkaitan dengan pokok bahasan yang ada dalam
perjanjian internasional selalu disebutkan hasil ratifikasinya. 2.3. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu
bahwa :Ratifikasi atas beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan laut oleh Pemerintah Indonesia akan ditindaklanjuti
dengan peraturan pelaksanaan.
Indonesia sebagai salah satu anggota Intergovernmental Maritime Consultative Organization(Sekarang : IMO) tidak keberatan
untuk menandatangani dan meratifikasi konvensi ini. Ratifikasi atas konvensi ini juga memperhatikan Konvensi Mengenai
Keselamatan di Laut (Convention for the Safety Life at the Sea/SOLAS) 1960 yang telah diratifikasi. Hal ini dinyatakan dalam
Keputusan Presiden sebagai berikut :
Pada tahun 1974, Konvensi Mengenai Keselamatan di Laut atau dikenal dengan SOLAS Convention 1960 diperbaharui dan
diganti. Delegasi Indonesia dalam proses perundingan konvensi ini hadir dan turut menandatangani SOLAS Convention 1974. Hal
ini dinyatakan secara tegas dalam Keputusan Presiden No. 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention for the
Safety of Life at Sea, 1974 :
“ bahwa sebagai pengganti International Convention for the Safety of Life at Sea, 1960, konperensi internasional tentang
keselamatan jiwa di laut 1974 telah menghasilkan International Convention for the Safety of Life at Sea 1974, yang telah
ditandatangani oleh delegasi pemerintah Republik Indonesia di London pada tanggal 1 November 1974.”
Seperti telah dinyatakan dalam pasal 25 Konvensi Laut Lepas 1958 yang menyatakan semua negara diminta untuk bekerjasama
dalam mengambil tindakan terhadap pencemaran di laut, maka pada tanggal 29 November tahun 1969 di kota Brusel negara-
negara IMO telah menandatangani suatu konvensi internasional. Konvensi ini bernama Konvensi Internasional Mengenai
Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage). Delegasi Pemerintah Indonesia turut menandatangani konvensi ini seperti tercantum dalam ratifikasi atas konvensi ini
yaitu melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 yang menyatakan :
“Membaca : a. bahwa sebagai hasil sidang International Legal Conference on Marine Polution Damage, di Brusel pada
tanggal 29 November 1969, delegasi Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani International Convention on Civil
Liability for Oil Pollution Damage.”
Konvensi ini terdiri dari 21 pasal dan bertujuan untuk menjamin ganti rugi yang sesuai untuk seseorang yang menderita akibat
pencemaran minyak di laut. Selain itu negara-negara harus bertanggungjawab terhadap pencemaran di laut yang dinyatakan
dalam Keppres sebagai berikut :
“bahwa konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang pertanggungjawaban antar negara peserta konvensi atas
pengotoran laut oleh minyak.”
Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki laut yang luas, maka kebutuhan akan suatu ketentuan hukum
internasional mengenai pencemaran di laut menjadi sangat penting. Apalagi letak yang strategis yaitu di antara 2 benua dan 2
samudera serta banyak dilalui kapal-kapal dari negara-negara lain. Kebutuhan untuk meratifikasi konvensi ini menjadi semakin
penting ketika kasus pencemaran minyak oleh kapal tanker “Showa Maru” yang mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu
negara korban pencemaran. Sehingga hal ini menjadi pertimbangan penting untuk melindungi perairan Indonesia seperti
dinyatakan dalam Keppres sebagai berikut :
“bahwa untuk mencegah pengotoran laut yang disebabkan oleh minyak di sepanjang perairan Indonesia, Pemerintah Republik
Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas.”
Dua tahun kemudian pada tanggal 18 Desember 1971 negara-negara IMCO kembali mengadakan pertemuan di Brussels yang
hasilnya menandatangani International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil
Pollution Damage. Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun
1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil
Pollution Damage. Dalam Keputusan Presiden ini dinyatakan :
“bahwa konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang diwajibkan kepada pemilik kapal yang
menimbulkan pengotoran atau pencemaran di sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh minyak yang berasal dari kapal.”
Meningkatnya kegiatan perekonomian khususnya di bidang pengangkutan minyak melalui kapal-kapal tanker telah menimbulkan
berbagai permasalahan baru. Seperti terjadinya pencemaran minyak akibat meningkatnya lalu lintas kapal-kapal tanker yang
melewati perairan Indonesia. Hal ini juga telah menjadi bahan pertimbangan atas diratifikasinya konvensi tersebut yang
dinyatakan :
“bahwa karena lalulintas kapal-kapal tangki di sepanjang perairan Indonesia semakin meningkat yang mungkin dapat
menimbulkan pengotoran minyak yang berasal dari kapal-kapal tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia memandang
perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas;”
Namun demikian pada tanggal 10 Maret 1998 ratifikasi konvensi ini dicabut oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden No. 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi
perekonomian Pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam salah satu bagian pertimbangan
yang menyatakan :
“bahwa keanggotaan Pemerintah Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a telah dibebani kontribusi yang
memberatkan Anggaran Negara. “
Dengan demikian alasan pokok atas pengunduran diri terhadap International Convention on the Establishment of an
International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 adalah alasan ekonomi.
Kapal-kapal tanker maupun kapal-kapal lainnya dalam pengoperasiannya sering membuang “balast” yang menyebabkan
terjadinya pencemaran di perairan. Karena itu untuk mengatur masalah pencemaran yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal
laut maka pada tahun 1973 di kota London telah ditandatangani Konvensi Internasional Mengenai Pencegahan Pencemaran yang
Berasal dari Kapal (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships). Lima tahun kemudian yaitu pada
tanggal 17 Februari 1978 disetujui sebuah protokol dari konvensi ini yaitu Protocol of 1978 Relating to the International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships. Konvensi dan protokol ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978,
merupakan hasil Konperensi mengenai Pencemaran di Laut dari kapal-kapal (International Conference on Marine Pollution from
Ships) dan Konperensi Internasional mengenai Keamanan Kapal Tanker dan Pencegahan Pencemaran (International Conference
on Tanker Safety and Pollution Prevention). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dan protokolnya melalui
Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 tertanggal 9 September 1986 tentang Pengesahan International Convention for the
Prevention Pollution from Ships, 1973, beserta, Protocol of 1978 Relating to the International Convention for The Prevention of
Pollution from Ships, 1973. Bagi Pemerintah Indonesia ratifikasi ini menjadi sangat penting karena merupakan upaya mencegah
pencemaran di perairan Indonesia dan melindungi lingkungan laut di wilayah teritorial maupun di Zone Ekonomi Eksklusif. Hal
ini dinyatakan dalam pertimbangan Keputusan Presiden di bawah ini :
“bahwa untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dari bahaya pencemaran yang berasal dari pengoperasian kapal-kapal.
Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk ikut serta menjadi pihak di dalam konvensi beserta protokol tersebut.”
Berkaitan dengan perkembangan hukum laut internasional, Pemerintah Indonesia kembali turut serta dalam berbagai perundingan
mengenai dibentuknya suatu konvensi hukum laut internasional. Hingga pada akhirnya tanggal 10 Desember 1982 telah
ditandatangani Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau yang disebut
UNCLOS 1982. Konvensi ini pada tanggal 16 November 1994 telah memenuhi syarat ratifikasi (minimal 60 negara meratifikasi)
sehingga dapat diberlakukan. Dari mulai ditandatangani konvensi ini hingga mencapai tahap diberlakukannya konvensi ini telah
memakan jangka waktu yang cukup lama yaitu hampir 12 tahun. Hal ini disebabkan banyak konsep baru diatur di dalam
konvensi ini seperti konsep negara kepulauan, perlindungan lingkungan laut, pembentukan Mahkamah Dasar Laut, Pembentukan
Otorita Dasar Laut dll. Konvensi ini terdiri dari Pembukaan, 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran. Isi konvensi tersebut terdiri dari
bab-bab yang mengatur masalah laut territorial dan zona tambahan, kemudian selat yang digunakan untuk pelayaran
Internasional, serta mengenai negara kepulauan. Ada bab-bab lain yang mengatur Zona Ekonomi Eksklusif, landas Kontinen, laut
lepas, dan masalah Rezim Pulau. Selain itu, konvensi mengatur mengenai laut teritorial atau setengah tertutup, hak negara tak
berpantai untuk masuk ke dalam dan ke luar laut, serta masalah kebebasan melakukan transit. Adapula bab-bab yang mengatur
masalah kawasan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Riset Ilmiah Kelautan, Pengembangan dan Alih Teknologi
Kelautan, serta mengenai Penyelesaian Sengketa.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tertanggal 31 Desember 1985.
Berkaitan dengan peningkatan kerjasama internasional khususnya kerjasama selatan-selatan di bidang kelautan, maka pada
tanggal 7 September 1990 di kota Arusha,Tanzania telah dibentuk suatu Organisasi Hubungan Kerjasama Lautan Hindia melalui
suatu persetujuan yang dinamakan Agreement on the Organization for Indian Ocean Marine Affair Cooperation (IOMAC).
Melalui Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1993 tertanggal 16 September 1993 persetujuan pembentukan organisasi ini telah
diratifikasi. Ratifikasi atas persetujuan ini tercantum dalam pertimbangannya yang menyatakan :
“bahwa di Arusha, Tanzania pada tanggal 7 September 1990 Delegasi Republik Indonesia telah menandatangani Agreement on
the Organization for Indian Ocean Marine Affairs Cooperation(IOMAC) yang mengatur kerjasama masalah kelautan di
Samudera Hindia.”
Beberapa konvensi lainnya yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia di bidang kelautan adalah International Convention for
Safe Containers melalui Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1989 tertanggal 17 Juli 1989, International Convention for Standard
of Training, Certification and Watch Keeping for Seaferers 1978 melalui Keputusan Presiden No 60 Tahun 1986 tertanggal 4
Desember 1986, Convention on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea 1960 yang diratifikasi melalui
Keputusan Presiden No. 107 tahun 1968. Konvensi ini kemudian diganti dengan Convention on the International Regulation for
Preventing Collisions at Sea 1972 yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1979 tertanggal 11 Oktober 1979.
Di Tabel 1 ditunjukkan data perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.
Tabel 1
9. International Convention for the Safety of KEPPRES No. 65/19809 Pengaturan Mengenai
Life at Sea 1974 Desember 1980 Keselamatan di Laut
10. Protocol of 1978 Relating to the KEPPRES No. Protokol Mengenai Ke-
International Convention for the Safety of 21/198829 Juni 1988 selamatan di Laut.
Life at Sea 1974
13. United Nations Convention on Law Of The Undang-undang No. Pengaturan Mengenai
Sea (UNCLOS) 1982 17/198531 Desember Masalah Kelautan
1985
SUMBER : Pramudianto, A. 1993. Ratifikasi Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup (Belum diterbitkan)
Selain itu dalam hubungan internasional Indonesia akan berperan lebih besar lagi dengan keterlibatannya dalam kegiatan-
kegiatan penting yang berkaitan dengan perjanjian internasional tersebut, seperti dalam penyusunan peraturan-peraturan
perjanjian internasional dalam bentuk protocol, annex, maupun amandement. Tindakan meratifikasi suatu perjanjian
internasional bagi Indonesia dapat meningkatkan kerjasama internasional dan hubungan yang luas. Selain itu bantuan luar negeri
baik yang berupa pendanaan maupun alih teknologi serta bantuan ilmiah seperti yang telah tercantum dalam suatu perjanjian
internasional dapat memberikan keuntungan untuk meningkatkan dan mendorong pembangunan nasional.
Ratifikasi atas suatu perjanjian internasional harus diimplementasikan melalui ketentuan-ketentuan yang bersifat tindaklanjut atas
perjanjian internasional tersebut. Selama ini ada beberapa peraturan mengenai tindak lanjut atas perjanjian internasional yang
telah dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh ketentuan perundang-undangan nasional
yang merupakan tindak lanjut dari suatu perjanjian internasional bidang kelautan yang telah diratifikasi dengan menyebutkan
secara tegas adanya ratifikasi tersebut.
Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Undang-undang
tersebut terdiri atas 7 bab dan 27 pasal yang mengatur hal-hal mengenai: wilayah perairan Indonesia, hak lintas bagi kapal-kapal
asing, pemanfaatan-pengelolaan-perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia, serta penegakan hukum di perairan
Indonesia. Undang-undang ini merupakan penyesuaian atas diratifikasinya Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982
khususnya pada Bab IV konvensi tersebut. Penyesuaian undang-undang ini atas konvensi tersebut dinyatakan pada bagian
menimbang huruf c yang menyatakan :
“ bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV
Konvensi tersebut pada huruf b.”
Dasar hukum undang-undang ini juga menyebutkan ratifikasi atas Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. Dalam bagian
mengingat dinyatakan pasal 5 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Undang-undang No. 17/1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. 3.2.2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974
tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Ekploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah
Lepas Pantai.
Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 65 pasal dan 12 bab. Bab-bab ini diantaranya mengatur masalah instalasi pertambangan,
pipa penyaluran, penyelidikan geologis dan geofisik, penyelidikan dasar, penggunaan bahan peledak. Peraturan pemerintah ini
juga menata mengenai usaha pemanfaatan seperti: pemboran eksplorasi, pemboran pengembangan dan pemboran penilaian,
kemudian produksi, penimbunan, pemuatan dan konservasi. Mengenai masalah jurisdiksi, mengatur mengenai daerah perbatasan,
wewenang penyidikan, dan ketentuan pidana.
Peraturan pemerintah ini merupakan tindak lanjut diratifikasinya tiga Konvensi Hukum Laut 1958 yaitu Konvensi Mengenai Laut
Lepas, Konvensi Mengenai Landas Kontinen dan Konvensi Mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas melalui
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang produk hukumnya berupa undang-undang. Dalam peraturan pemerintah ini secara
tegas dinyatakan adanya ratifikasi yang tercantum sebagai berikut :
“ Mengingat : 6. Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai
Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 276, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2318).”
3.2.3. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 167/HM.207/PHB-86 tertanggal 27 Oktober 1986 tentang Sertifikat
Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Bahan
Cair Beracun.
Keputusan Menteri perhubungan ini dikeluarkan dalam upaya melindungi lingkungan laut. Selain itu juga dinyatakan secara
tegas bahwa Pemerintah Indonesia turut meratifikasi Konvensi Internasional Tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal 1978
dan Protokol 1978. Hal ini dinyatakan dalam bagian pertimbangan keputusan yang menyatakan :
Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan laut dengan Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986,
pada tanggal 9 September 1986, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Konvensi Internasional tentang Pencegahan
Pencemaran dari Kapal 1978 dan Protokol 1978 konvensi tersebut (International Convention for the Prevention of Pollution
from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating thereto).”
Keputusan menteri ini juga merupakan tindak lanjut atas diratifikasinya konvensi
“b. bahwa sebagai tindaklanjut dari pengesahan Konvensi tersebut dipandang perlu menetapkan peraturan tentang Sertifikat
Internasional Pencegahan pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat Internasional Pencemaran oleh Bahan Cair Beracun bagi
Setiap Kapal yang Memasuki atau Berada di Pelabuhan atau Terminal Lepas Pantai Indonesia.” 3.2.4. Keputusan Menteri
Perhubungan No. KM 215/AL.506/PHB-87 tertanggal 19 September 1987 tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan
Limbah dari Kapal.
Keputusan Menteri Perhubungan ini juga merupakan upaya melindungi kelestarian lingkungan laut dan sebagai tindak lanjut atas
diratifikasinya International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating
thereto. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangannya:
“ b. bahwa sebagai tindak lanjut dari pengesahan atas Konvensi tersebut, perlu menetapkan peraturan tentang Pengadaan
Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal.”
Dalam bagian mengingat juga ditegaskan adanya ratifikasi atas konvensi ini seperti dinyatakan:
“ Mengingat : 4. Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 (BN. No. 4437 hal 88) tentang Pengesahan International Convention
for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating to International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships, 1973” 3.2.5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
Kep-45/MENLH/11/1996 tertanggal 19 Nopember 1996 tentang Program Pantai Lestari.
Keputusan Menteri Negara LH ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan di wilayah
pantai. Keputusan ini juga berkaitan dengan tindak lanjut ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Pencegahan Pencemaran
yang Berasal dari Kapal (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 and Their Protocol) yang
menyatakan :
“ Mengingat : 7. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships 1973 beserta protokol.”
Masih banyak peraturan pelaksanaan lainnya yang merupakan tindak lanjut ratifikasi atas perjanjian internasional di bidang
lingkungan laut. Dari hasil studi ini hampir semua perjanjian internasional bidang lingkungan laut telah dilaksanakan melalui
berbagai produk hukum yang dikeluarkan khususnya produk hukum yang bersifat teknis.
Pemerintah Indonesia telah ikut terlibat dalam perundingan pembentukan beberapa perjanjian internasional bidang lingkungan
laut. Keterlibatan ini menimbulkan akibat dengan ditandatanganinya perjanjian internasional tersebut. Penandatanganan yang
selanjutnya diratifikasi akan berpengaruh ke dalam hukum nasional. Sebagai langkah berikutnya adalah tindak lanjut untuk
melaksanakan perjanjian internasional itu dengan mengeluarkan berbagai produk hukum nasional. Hal ini telah dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang menyangkut masalah pelaksanaan atas perjanjian
internasional tersebut. Berbagai produk hukum nasional telah dikeluarkan sebagai pelaksanaan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi walaupun belum seluruhnya terlaksana. Dengan demikian hal ini telah menjawab hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini bahwa beberapa perjanjian internasional bidang kelautan yang telah ditandatangani dan diratifikasi ternyata telah
ditindaklanjuti melalui peraturan pelaksanaan dalam berbagai bentuk produk hukum nasional.
4.2. Saran
1. Untuk menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi ini perlu disesuaikan dengan posisi Indonesia agar tidak
menimbulkan pertentangan atau konflik hukum.
2. Masih ada beberapa pasal dalam perjanjian internasional yang belum dilaksanakan. Hal ini perlu untuk kepentingan
Indonesia khususnya yang menyangkut persoalan kerjasama internasional dan bantuan teknik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, Priyatna. 1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian Internasional, Majalah Hukum
Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN ,Jakarta.
Agoes, Etty R. 1988. Masalah Sekitar Ratifikasi Dan Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 : Antara Teori dan
Praktek, dalam Yoyon A (ed). Percikan Gagasan Tentang Hukum, FH UNPAR, Bandung.
Anwar, H Agustiar. 1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian-perjanjian Internasional, Majalah Hukum
Nasional No. 1 Tahun 1991 BPHN, Jakarta.
Ball, Simon & Stuart Bell. 1991. Environmental Law, Blackstone Press Limited, London.
Danusaputro, Munadjat St. 1982. Hukum Lingkungan, Buku IV: Global, Bina Cipta, Bandung.
Kantaatmadja, Mieke Komar. 1991. Instrumen nasional untuk ratifikasi Perjanjian Internasional- Suatu Studi Kasus, Majalah
Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Pertama, Bina Cipta, Bandung.
Kusumohamidjojo, Budiono. 1986. Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung.
Likadja, Frans E. 1988. Desain Instruksional : Dasar Hukum Internasional, PT Ghalia Indonesia, Jakarta.
Pramudianto, A. 1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Majalah Hukum Pro Justititia Tahun
XIII No. 4 Oktober 1995.
Situni, Wisnu. 1989. Reformulasi Sumber-sumber Hukum Internasional, CV Mandar Maju, Bandung
Suraputra, Sidik D. 1991. Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Hukum Nasional Indonesia, Majalah Hukum Nasional, No
1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta.
Suryono, Edy. 1984. Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, CV Remaja Karya, Bandung.
(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Tahun 1999)
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
Ramsar
Tujuan dari perjanjian ini adalah perlindungan hukum lingkungan dan pelestarian sumber daya planet lahan
basah.Dalam kerangka pada tahun 1971 itu diadopsi oleh perjanjian internasional tentang perlindungan
lingkungan.Itu terjadi di kota Iran Ramsar.Konvensi menjelaskan item yang masing-masing negara mengambil
bagian di dalamnya, dan Komite Internasional dapat membantu untuk melindungi penduduk dari lingkungan
lahan basah:
AD
eka.
Mendorong langkah-langkah teratur untuk menjaga kualitas air, perikanan, pertanian dan rekreasi.
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam perlindungan sumber daya.
Memperkuat pengetahuan dan meningkatkan pendidikan di bidang sumber daya lahan basah.Anggota
Konvensi terus bertemu secara teratur di seluruh dunia untuk meninjau dan meningkatkan keamanan sumber
daya.Pada tahun 1987, kota Kanada Regina (Saskatchewan) diubah.
keanekaragaman hayati;
penggunaan terbarukan komponennya;
pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya
genetik.
Dengan kata lain, obyek perjanjian adalah pengembangan strategi nasional untuk konservasi dan penggunaan
yang tepat dari keanekaragaman hayati.Konvensi ini juga termasuk dalam perjanjian internasional tentang
perlindungan lingkungan, contoh yang dalam artikel.2010 dinyatakan sebagai Tahun Keanekaragaman Hayati
Internasional.
Helsinki Convention
Helsinki Konvensi diadopsi untuk melindungi lingkungan laut di Laut Baltik.Perjanjian internasional pertama
tentang perlindungan lingkungan dalam kerangka yang ditandatangani pada tahun 1974, negara-negara seperti
Denmark, Finlandia, Barat dan Jerman Timur, Polandia, Uni Soviet dan Swedia, dan mulai berlaku 3 Mei 1980
Konvensi kedua ditandatangani pada tahun 1992Cekoslowakia, Denmark, Estonia, Uni Eropa, Finlandia,
Jerman, Latvia, Lithuania, Polandia, Rusia dan Swedia.Negara peserta, untuk mengadopsi perjanjian
internasional untuk perlindungan lingkungan, telah berkomitmen untuk mengatur semua tindakan yang
diperlukan untuk mencegah dan mengurangi polusi untuk membantu dalam pemulihan keseimbangan ekologi
Laut Baltik.Juga, satu set langkah-langkah untuk mencegah atau meminimalkan kerusakan yang disebabkan
lingkungan kecelakaan.Polutan organik
Konvensi mereka ditandatangani pada tahun 2001 di Stockholm, dan mulai berlaku pada Mei 2004. Tujuannya
adalah penghapusan atau pengurangan produksi polutan tersebut.Poin kunci dari kesepakatan perlindungan
lingkungan termasuk persyaratan untuk negara-negara maju untuk menyediakan sumber daya keuangan dan
langkah-langkah tambahan untuk menghilangkan produksi dan penggunaan POPs sengaja diproduksi, dan
menghilangkan POPs sengaja diproduksi, di mana layak, dan pembuangan limbah yang benar.
1. Tidak pernah, dalam keadaan apapun, untuk memperoleh atau mempertahankan senjata biologis.
2. menghancurkan atau mengalihkan ke tujuan damai senjata biologi dan sumber daya terkait.Transfer
3. untuk senjata biologis siapa pun, tidak untuk membantu dalam akuisisi dan pelestarian.
4. mengambil langkah-langkah nasional yang diperlukan untuk pelaksanaan BWC di pasar domestik.
5. Konseling bilateral maupun multilateral pada isu-isu yang terkait dengan pelaksanaan BWC.
6. membuat query di Dewan Keamanan PBB untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dari Konvensi dan
menghormati keputusan selanjutnya.
7. Membantu Serikat membahayakan pelanggaran BWC.
8. melakukan segala kemungkinan untuk mempromosikan penggunaan damai ilmu biologi dan
teknologi.
CITES (SITUS)
Situs-- Konvensi, ditandatangani pada tahun 1973 di Washington dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975
tentang penjualan flora dan fauna liar, yang saat ini di bawah ancaman kepunahan.Ini adalah salah satu yang
terbesar dan tertua dari perjanjian yang ada dalam sejarah.Konvensi internasional ini mengatur dan memonitor
perdagangan spesies hewan dan tumbuhan tertentu.Ini dikembangkan sistem lisensi khusus untuk
mengendalikan semua impor, ekspor dan re-ekspor.Masing-masing pihak pada Konvensi adalah untuk
menciptakan sebuah badan tunggal (atau lebih) kontrol, yang akan bertanggung jawab untuk pengelolaan
sistem perizinan, serta setidaknya satu tubuh ilmiah untuk memberi nasihat tentang dampak perdagangan pada
spesies tertentu dari hewan atau tumbuhan dunia.Di bawah perlindungan Situs-sekitar 5.000 spesies hewan dan
29.000 spesies tanaman.Masing-masing dapat ditemukan dalam Lampiran Konvensi, serta tingkat ancaman
dan batas perdagangan.
\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
1.Protokol Montreal,1987
2.KTTBumi(EarthSummit),1992
3.Protokol Kyoto,1997
4.KTTPemanasanGlobal(GlobalWarmingSummit),2007
5. PNBL
Yang pertama adalah Protokol Montreal. Protokol Montreal adalah sebuah perjanjian internasional
yang dirancang untuk melindungi lapisan ozon dengan meniadakan sejumlah zat yang diyakini
bertanggung jawab atas berkurangnya lapisan ozon. Perjanjian Internasional ini terbuka untuk
ditandatangani pada 16 September 1987 dan berlaku sejak 1 Januari 1989. Protokol Montreal
mengandung inti bagi penetapan batas dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi
pemakaian enersi zat fosil yang bakal meningkatkan emisi CO2 Gas Rumah Kaca (GRK) ke angkasa.
Akan tetapi tetap saja negara-negara industri tidak bersedia menerapkan persetujuan yang dianggap
mampu merusak industri dan perekonomian negaranya.Setelah perjanjian itu dibuat, ini menjadi salah
satu perjanjian internasional yang berhasil dan tersukses. Ini berarti upaya ini cukup berhasil dan bisa
diperoleh hasil yang cukup memuaskan.
Yang kedua adalah KTT Bumi 1992, yaitu KTT Bumi yang dilakukan di Rio de Janeiro. Ini adalah suatu
perjanjian Negara-negara yang bernegosiasi untuk membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam
mengurangi emisi gas rumah kaca. KTT Bumi tersebut merupakan tindak lanjut dari Konferensi sejenis
di Montreal tahun 1985 yang menghasilkan Protokol Montreal. KTT ini ditolak oleh Amerika Serikat.
Amerika Serikat tidak menyetujui Deklarasi Bumi dari KTT Bumi 1992 itu adalah pasal yang
menetapkan bahwa negara-negara industri kaya harus mengurangi emisi Gas Rumah Kaca-GRK (gas
yang berasal dari enersi fosilnya). KTT Bumi diplot untuk melahirkan sebuah visi bersama memasuki
milenium ketiga, “Agenda 21”, dimana tekanannya pada kerjasama merawat lingkungan global, dan
membantu pembangunan berkelanjutan bagi negara-negara berkembang.
Yang ketiga adalah Protokol Kyoto. Kyoto, Jepang sebagai tuan rumah KTT yang diselenggarakan oleh
UNEP berhasil dilahirkan sebuah Protokol Kyoto 1997. Protokol Kyoto (setelah melalui perdebatan
sengit) ini bertujuan menurunkan suhu panas bumi dengan mengurangi atau menghilangkan produksi
GRK. Tiap Negara , terutama negara industri kaya, diwajibkan untuk menurunkan prosentase emisi
GRK-nya ke udara. Ini juga lumayan bagus untuk mengurangi pencemaran udara agar lapisan ozon
tidak terlalu cepat berlubang. Akhirnya Protokol Kyoto kesepakatan internasional dengan tujuan
mengekang buangan GRK diberlakukan 15 Februari 2005, tujuh tahun setelah pengesahannya pada
konferensi PBB (UN Environmental Program) di Kyoto 1997.
Yang keempat adalah KTT Pemanasan Global (Global Warming Summit),2007. Ini dilakukan untuk
membuat kesepakatan politik mengenai pemanasan global. Ini dilakukan di kota Bali. Para pemimpin
sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah-kaca dan untuk meningkatkan penggunaan sumber
energi yang dapat terus dihasilkan, sedikitnya 20 persen menjelang tahun 2020. Walau pun begitu,
sumber energi dapat terus dihasilkan, seperti listrik dari tenaga air, tenaga surya dan tenaga angin,
akan menggantikan bahan-bahan bakar dari fosil yang sangat menimbulkan polusi, seperti minyak
dan batubara. KTT ini adalah lanjutan dari Protokol Kyoto.
Selanjutnya adalah PNBL. PNBL adalah Pembangunan Negara Berwawasan Lingkungan. Ini dilakukan
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan
kesejahterahan hidup manusia seutuhnya. Namun yang terjadi adalah kondisi lingkungan global saat
ini memburuk sejalan dengan pertumbuhan pembangunan negara-negara di dunia yang kurang
berwawasan lingkungan, bahkan di Indonesia juga. Hasil pengamatan para ahli menunjukkan bahwa
pada satu abad terakhir ini telah terjadi peningkatan suhu global sebagai akibat meningkatnya
konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Peningkatan ini menyebabkan terjadinya efek rumah
kaca sehingga suhu udara di permukaan bumi meningkat, yang dikenal dengan pemanasan global
serta terjadinya perubahan pola iklim. Jika tidak ada upaya pengurangan emisi, maka bumi akan
semakin panas. Kondisi ini menyebabkan es di kutub mencair dan meningkatkan permukaan air laut
sehingga pulau-pulau kecil menjadi tenggelam. Saya pernah membaca di Koran bahwa 76 pulau di
Indonesia telah hilang karena tenggelam. Ini karena efek dari pemanasan global yang mengakibatkan
es di kutub mencair dan berakibat banjir/ air di bumi meningkat.
PNBL adalah lanjutan dari semua KTT dan semua Protokol yang dibuat oleh Negara Indonesia sendiri.
Kesimpulan dari saya, semua hal diatas adalah cara pencegahan dan perbaikan terhadap pelestarian
lingkungan. Semua hal itu bertujuan baik karena akan memperbaiki lingkungan yang lama-kelamaan
ini semakin rusak. Oleh karena itu , mari kita lakukan PNBL dan mari kita mulai untuk mengurangi
penggunaan CFC, kendaraan bermotor, AC/Freon, dan lain-lain. Sekian dan terima kasih.
Sumber :
http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=whatwedo.climate_law_kyoto&language=i
http://www.isei.or.id/page.php?id=5okt0511
www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/Milestone.htm
http://www.pelangi.or.id/textonly.php?area=dbase&did=24〈=
http://128.11.143.113/indonesian/archive/2007-02/2007-02-13-voa10.cfm
http://konservasipapua.blogspot.com/2007/08/biak-pembangunan-harus-berwawasan.html
\\\\\\\\\\\
1. Protokol Montreal
Merupakan kelanjutan konvensi Wina tentang Perubahan Iklim. Protokol Montreal ini mengatur kesepakatan
antarnegara yang meratifikasi untuk mengurangi ecara bertahap penggunaan CFC sampai menjelang tahun
2000. Tujuan protokol ini adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak negatif
kegiatan manusia yang merusak lapisan ozon
2. Protokol Kyoto
Protokol koto mengatur kerangka kerja tentang konvensi perubahan iklim, protokol ini dilengkapi dengan
dua Annex, yaitu Annex A dan Annex B. Annex A mengenai gas-gas rumah kaca yang terdiri dari atas: CO 2,
CH4, N2O, PFC, dan FC6. Annex B mengenai kategori energi, industri energii, industri manufaktur. Annex ini
merupakan perhitungan pembatasan atau reduksi gas-gas rumah kacayang menjadi komitmen para pihak.
3. Konvensi Basel
Lengkapnya adalah: Convention on thr Control of Transboundary Movements on Hazardous Waste and their
Disposal. Konvensi ini mengatur tentang pengawasan perpindahan lalu lintas batsa limbah B3 dan
pembuangannya/penyimpanannya. Konvensi ini melarang ekspor limbah beracun ke negara yang tidak
mampu mengelola secara berwawasanlingkungan. Indonesia telah meratifikasi konvensi basel melalui
Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1993
4. Deklarasi Rio
Kesepakatan tidak mengikat (nonlegally binding) yang dihasilkan dalam KTT Rio 1992 memuat Pinsip-
Prinsip Dasar Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan. Prinsip- prinsip
Deklarasi Rio meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. untuk mencapai pembangunan berkelnjutan perlindungan lingkungan harus menjadi bagian integral dari
proses pembangunan dan tidak terpisah dari proses tersebut.
b. isu-isu lingkungan harus ditangani dengan partisipasi dari rakyat dalam tiap langkahnya.
c. negara harus memfasilitasi dan mendorong kesadaan masyarakat dan partisipasi mereka dengan
menyediakan informasi secara luas.
Konvensi ini mengatur perlindungan keragaman hayati. Setiap neagra mempunyai hak berdaulat untuk
memanfaatkan sumber daya hayatinya sesuai denagan kebijakan lingkungannya. Konvensi ini bertujan
menagatur pemnafaaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang
dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik secara adil dan merata. Indoensia meratidikasi Undang-
Undang nomor 5 tahtn 1992 tentang Pengesahan Konvensi Keragaman Hayati tanggal 1 Agustus 1994.
Konvensi tentang perubahan Iklim dihailkan melalui KTT Rio 1992. Konvensi ini bertujuan untuk mencapai
kestabilan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegahkondisi yang
membahayakan sistem iklim dalam jangka waktu cukup agar ekosistem dapat menyesuaikan diri denagan
perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1994 tentang Konvensi PBB
mengenai Perubahan Iklim tanggal 23 Agustus 1994.
7. Agenda 21
Agenda 21 merupakan dokumen yang dihalirkan pada saat KTT Rio, bersifat sangat penting karena sifatnya
yang komprehensif. Agenda ini memuat program dan strategi rinci untuk mendorong pembangunan
berkelanjutan di seleruh negara di dunia, agenda ini bersufat Non-legally Binding. Untuk menajga
penerapan Agenda-21 UNCED membentuk Commission for Suistainable Development (CSD)
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan
1. Pembangunan Berkelanjutan
Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama kali pada
masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on
Environment and Development(WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi
tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan[1]. Secara sekilas,
definisi seperti ini terlihat begitu sederhana, akan tetap issu yang berkembang cepat serta mendalam
nyatanya membuat ruang lingkupnya menjadi semakin kompleks.
Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga pilar pokok,
yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan
lainnya. Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja
memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus
berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan
juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk
memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik.[2]
Lebih lanjut, apabila ditarik melalui persepektif kerangka hukum internasional, Dominic McGoldrick
merumuskan pembangunan berkelanjutan yang ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-
pilar tesebut dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum
ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia internasional.[3] Dengan demikian, antara
pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang
begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga
Pasal 28J UUD 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan
ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma hak asasi manusia
di dalam UUD 1945 memiliki substansi dan pengaturan yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM
yang bersifat universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR,
ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya.[4]
Terkait dengan issu perubahan iklim, maka perlu juga diperhatikan hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan
yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Asas-asas pembangunan
berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED tersebut, terdiri dari: (1) keadilan antargenerasi
(intergenerational equity); (2) keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity); (3) prinsip
pencegahan dini (precautionary principle); (4) perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of
biological diversity); dan (5) internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and incentive
mechanism). Kemudian, salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan
yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard)
dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk
pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang
lebih aman di abad ke-21.[5]
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan berkelanjutan dikemukakan secara rinci dalam
deklarasi dan perjanjin internasional yang dihasilkan melalui melalui konferebsi PBB tentang lingkungan dn
pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro pada tahun
1992. Dari berbagai dokumen yang dihasilkan pada konferensi itu, scara formal terdapat lima prinsip utama
dari pembangunan berkelanjutan, yaitu:
1.Prinsip Keadilan Antargenerasi (Intergenerational Equity Principle), prinsip ini mengndung makna bahwa
setip generasi umat masnusia di dunia memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam
kondisi yang buruk akibat perbuatan generasi sebelumnya
2. Prinsip keadilan dalam satu generasi (Intergenerational Equity Principle), prinsip keadilan dalam satu
generasi merupakan prinsip yang berbicara tentang keadilan di dalam sebuah generasi umat manusia, di
mana beban dari permasalahan lingkungan ahrus dipikul bersama oleh masyarakatdalam satu generasi
3. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle), prinsip pencegahan dini mengandungsuatu pengertian
bahwa apabila ada ancaman yang berart atau adanya ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat
dipulihkan serta ketiadaan temuan atau pembuktian ilmiah yang konsklusifdan pasti, tidak dapat dijaidkan
alasan untk menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
4. Prinsip Kerlindungan Keragaman Hayati, perlindungan keragaman hayati merupakan prasyarat dari
berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan antargenerasi. Perlindungan keragaman hayati diperlukan
demi pencegahan dini
5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan, kerusakan lingkungan dapat dilihat sebagai external cost dari
suatu kegiatan ekonomi yang diderita oleh pihak yang tidak terlbat dalam kegiatan ekonomi tersebut. Jadi,
keruskaan lingkungan merupakan external cost yang harus ditanggung oelh kegiatan pelaku ekonomi. Oelh
kaena itu, biaya kerusakan lingkungan harus di integrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber alam tersebut.
Kelima prinsip tersebut di atas dikenal sebagai prinsip pokok dari pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Kemudian, kelima prinsip tersebut oleh sebagaian besar peserta KTT bumi 1992
dijadikan landasan hukum lingkungan, baik tingkat global (sebagaimna tertuang dalam deklarasi dan
dokumen-dokumen Internasional yang dihasilkan melalui KTT Bumi 1992) maupun tingkat nasional
sebagiman tertuang dalam Undang-Undang nomor23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan,
sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan
baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Untuk menciptakan konsep pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (CBESD), maka diperlukanlah pokok-pokok kebijaksanaan yang
di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:[6]
a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses
perencanaan proyek;
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi
bekas pembangunan, serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;
g.Pengembanan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan
hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa
melalui penerapan hukum lingkungan;
Dari uraian di atas, maka sudah tampak jelas bahwa terdapat kesesuaian antara norma “berwawasan
lingkungan” dengan perubahan iklim. Segala strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan
secara khusus ketika aktor-aktor negara ingin melaksanakan aktivitas perekonomian. Secara teoritis dan
praktis, penilaian sumber daya alam dengan berdasarkan biaya moneter dari kegaiatan ekstraksi dan
distribusi sumber daya semata sering telah mengakibatkan kurangnya insentif bagi penggunaan sumber
daya yang sustainable (berkelanjutan). Ada dua kepentingan yang saling dibutuhkan suatu bangsa saat ini
yakni kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan. Kuatnya saling interaksi dan ketergantungan
dua faktor itu maka diperlukan pendekatan yang cocok bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan atau
pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development).
Selanjutnya dengan kegiatan konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya untuk kegiatan produksi
mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan yang menjadi beban dan biaya lingkungan masyarakat.
Untuk mendukung penggunaan sumber daya yang sustainable maka biaya lingkungan akibat degradasi itu
harus diintegrasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi yang tidak hanya pada pola konsumsi dan
perdagangan tetapi juga sumber daya seperti laut, air segar, dan hutan-hutan, dan sumber daya alam
lainnya.
Integrasi ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan yang berkelanjutan tergantung banyak factor.
Menurut Lonergan (1993) untuk menjamin terlaksananya pembangunan yang berwawasan lingkungan, ada
tiga dimensi penting yang harus dipertimbangkan. Pertama adalah dimensi ekonomi yang menghubungkan
pengaruh-pengaruh unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber daya
alam diperlakukan dalam analisa ekonomi. Kedua, adalah dimensi politik yang mencangkup proses politik
yang menentukan penampilan dan sosok pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan
pada suatu negara. Diamensi ini juga termasuk peranan agen masyarakat, struktur sosial dan pengaruhnya
terhadap lingkungan. Ketiga, adalah dimensi sosial dan budaya yang mengaitkan antara tradisi atau
sejarah, dominasi ilmu pengetahuan barat, serta pola pemikiran dan tradisi agama. Ketiga dimensi ini
berinteraksi satu sama lain untuk mendorong terciptanya pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, keterkaitan antara aktivitas ekonomi dan lingkungan dikaji dalam bidang
ilmu yang dikenal sebagai ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Ekonomi Sumber Daya dan
Lingkungan ini mengkhususkan kajian tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan yang meliputi: (1)
analisa dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi ummat manusia seperti kegiatan produksi dan konsumsi
barang dan jasa; (2) analisa dampak ekonomi terhadap kerusakan alam seperti kesehatan manusia dan
hewan; kerusakan terhadap lingkungan fisik (buatan manusia) seperti bangunan, intalasi dan lain
sebagainya; serta (3) mempelajari pilihan dan tingkah laku manusia dalam memecahkan konflik yang
berkaitan dengan perubahan lingkungan, bagaimana manusia sebagai individu maupun kelompok dalam
melakukan kompromi (tradeoff) antara nilai ekonomi dan lingkungan atau memasukan unsur lingkungan
dalam analisa ekonominya.
Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dan kualitas lingkungan inilah yang melatarbelakangi berkembangnya
konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan tidak lepas dari
bagaimana keterkaitan antara lingkungan sebagai asset dan aktivitas ekonomi sebagai basis bagi kajian
ekonomi yang berdimensi lingkungan.
[1] Pan Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum
Konstitusi.” Dalam World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common
Future, Oxford University Press, Oxford, 1987, hlm. 43.
[2] Pan Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum
Konstitusi.” dalam Thomas A. Easton, ed., Taking Sides: Clashing Views on Controversial Environmental
Issues, McGraw Hill, 2008, hlm. 28-33.
[3] Pan Mohamad Faiz. “Perubahan Iklim dan Perlindungan Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum
Konstitusi.” Dalam Dominic McGoldrick, “Sustainable Development and Human Rights: An Integrated
Conception”,
[4] Pan Mohamad Faiz, Human Rights Protection and Constitutional Review: A Basic Foundation of
Sustainable Development in Indonesia, makalah dipresentasikan pada ISSM 2008 di Delft, Belanda pada
tanggal 13 Mei 2007.
[5] Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 104-
107
[6] Surna T. Djajadiningrat, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I No. 1/1994, ICEL, Jakarta, hlm. 6-9.