Anda di halaman 1dari 18

DISTRIBUSI MIKROPLASTIK DI EKOSISTEM MANGROVE,

KABUPATEN MEMPAWAH

CHINDA SETIA LESTARI SIMAMORA


NIM H1081151009

USULAN PENELITIAN

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
Judul Usulan Penelitian : Distribusi Sampah Laut Di Ekosistem Mangrove,
Mempawah
Nama : Chinda Setia Lestari Simamora
NIM : H1081151009
Program Studi : Ilmu Kelautan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

NIP………….. NIP/NIDK ………….

Mengetahui,

Ketua Jurusan Ilmu Kelautan

Nora Idiawari, S.Si, M.Si.


NIP 1975101520006042001
1. Latar Belakang

Ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang telah mengalami pencemaran


yang diakibatkan polusi yang berasal dari daratan. Dampak kontaminasi tersebut terjadi
secara global maupun lokal yang disebabkan oleh manusia di ekosistem mangrove (Nor
and Obbard, 2014), pantai (Leite, et al., 2014), dan lautan terbuka (Cózar, et al., 2014).
Kontaminasi tersebut terjadi baik dalam bentuk limbah cair maupun padat. Contoh dari
limbah padat adalah sampah plastik, logam, kertas, kaca, dan kertas (Abu-Hilal and Al-
Najjar, 2004, 2009; Leite, et al., 2014) yang mencemari pantai, lautan dangkal, hingga
lautan terbuka dengan jumlah yang diperkirakan antara 7.000 dan 35.000 ton (Cózar,
et al., 2014) dalam bentuk potongan makro maupun mikro plastik (Cole, et al., 2011;
Lima, et al., 2014).
Permasalahan sampah di Indonesia merupakan masalah yang belum
terselesaikan hingga saat ini Jambeck (2015) menyatakan bahwa Indonesia masuk
dalam peringkat kedua dunia setelah Cina menghasilkan sampah plastik di perairan
mencapai 187,2 juta ton. Hal itu berkaitan dengan data dari Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan yang menyebutkan bahwa plastik hasil dari 100 toko atau
anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu 1 tahun saja,
telah mencapai 10,95 juta lembar sampah kantong plastik. Jumlah itu ternyata setara
dengan luasan 65,7 hektar kantong plastik. Plastik merupakan polimer organik sintetis
dan memiliki karakteristik bahan yang cocok digunakan dalam kehidupan sehari-hari
(Derraik, 2002). Menurut Kemenperin (2013), sekitar 1,9 juta ton plastik diproduksi
selama tahun 2013 di Indonesia dengan rata-rata produksi 1,65 juta ton/tahun.
Thompson (2006) memperkirakan bahwa 10% dari semua plastik yang baru diproduksi
akan dibuang melalui sungai dan berakhir di laut. Hal ini berarti sekitar 165 ribu ton
plastik/tahun akan bermuara di perairan laut Indonesia.
Sampah di mangrove secara umum
Mikroplastik
Penelitian orang
Kawasan mangrove di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat merupakan
daerah ekowisata yang berkonsep edukasi. Kawasan mangrove ini merupakan
ekowisata yang di ramai dikunjungi, baik dari masyarakat setempat maupun
masyarakat luar. Kondisi MMP (Mempawah Mangrove Park) yang ramai dikunjungi
dan dekat dengan laut berhubungan langsung dengan aktivitas warga sehingga terjadi
penumpukan sampah. Sampah berasal dari masyarakat yang berkunjung maupun aliran
dari laut. Potensi efek sampah laut secara kimia cenderung meningkat seiring
menurunnya ukuran partikel plastik (mikroplastik), sedangkan efek secara fisik
meningkat seiring meningkatnya ukuran makrodebris (UNEP, 2011). Makrodebris
memberikan dampak secara fisika seperti menutup permukaan sedimen dan mencegah
pertumbuhan benih mangrove (Smith, 2012).
Penelitian ini terfokus pada mikroplastik (salah satu tipe mikrodebris). Potensi
sampah menjadi masalah utama pencemaran pesisir, namun sedikit informasi
kuantitatif mengenai pencemaran sampah laut di ekosistem mangrove. Selain itu,
permasalahan sampah laut belum menjadi perhatian dalam menentukan strategi
pengelolaan ekosistem mangrove. Distribusi mikroplastik di ekosistem mangrove
merupakan informasi kuantitatif dalam menentukan strategi pengelolaan ekosistem
mangrove di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

2. Perumusan Masalah
Keberadaan sampah laut di ekosistem mangrove memberikan dampak yang buruk
bagi lingkungan ekosistem, terutama bagi tumbuhan mangrove itu sendiri. Sampah laut
ini berasal dari beberapa sumber baik dari masyarakat yang berkunjung maupun
bawaan dari aliran laut. Berdasarkan pernyataan berikut maka dapat dirumuskan
masalah yaitu apa saja jenis dan kelipahan sampah mikroplastik yang terdapat di
ekosistem mangrove.

3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari pelaksanaan penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui jenis sampah mikroplastik yang teradapat di ekosistem mangrove
2. Mengetahui kelimpahan sampah mikroplastik di ekosistem mangrove.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi dasar dalam mengatasi masalah
pencemaran sampah mikroplastik di ekosistem mangrove.

5. Tinjauan Pustaka
a. Mangrove
Ekosistem mangrove (bakau) adalah ekosistem yang berada di daerah tepi pantai
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove berada di antara level
pasang naik tertinggi sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata pada
daerah pantai yang terlindungi (Supriharyono, 2009), dan menjadi pendukung
ekosistem di sepanjang garis pantai di kawasan tropis (Donato dkk, 2012). Manfaat
ekosistem mangrove yang berhubungan dengan fungsi fisik adalah sebagai mitigasi
bencana seperti peredam gelombang dan angin badai bagi daerah disekitarnya,
pelindung pantai dari abrasi, gelombang air pasang (rob), tsunami, penahan lumpur dan
perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, pencegah intrusi air laut
ke daratan, serta dapat menjadi penetralisir pencemaran perairan pada batas tertentu
(Lasibani dan Eni, 2009). Manfaat lain dari ekosistem mangrove ini adalah sebagai
obyek daya tarik wisata alam dan atraksi ekowisata (Sudiarta, 2006; Wiharyanto dan
Laga, 2010) dan sebagai sumber tanaman obat (Supriyanto dkk, 2014) dan berfungsi
sebagai habitat berbagai jenis satwa. Ekosistem mangrove berperan penting dalam
pengembangan perikanan pantai (Heriyanto dan Subiandono, 2012); karena merupakan
tempat berkembang biak, memijah, dan membesarkan bagi beberapa jenis ikan, kerang,
kepiting, dan udang (Kariada dan Andin, 2014; Djohan, 2007). Hutan mangrove
menyediakan perlindungan dan makanan berupa bahan organik ke dalam rantai makan
(Hogarth, 2001). Bagian kanopi mangrove pun merupakan habitat untuk berbagai jenis
hewan darat, seperti monyet, serangga, burung, dan kelelawar (Supriharyono, 2009).
Kayu pohon mangrove juga dimanfaatkan sebagai kayu bakar, bahan pembuatan arang
kayu, bahan bagunan, dan bahan baku bubur kertas (Saprudin dan Halidah, 2012).

b. MMP (Mempawah Mangrove Park)


Ekowisata mangrove di Desa Pasir Kecamatan Mempawah Hilir Kabupaten
Mempawah yang terletak di daerah pesisir, memiliki ekosistem mangrove dengan
keindahan flora dan faunanya. Keindahan ekosistem mangrove tersebut oleh salah satu
organisasi yaitu Mempawah Mangrove Conservation (MMC) dijadikan sebagai
ekowisata yang berbasis konservasi dan pelestarian hutan mangrove yang dinamakan
Mempawah Mangrove Park (MMP). Mempawah Mangrove Park (MMP) diresmikan
langsung oleh Wakil Bupati Mempawah yang disaksikan langsung oleh Kepala Bank
Indonesia perwakilan Kalimantan barat, Dwi Suslamanto pada tanggal 23 Agustus
2016.

c. Sampah Laut (Marine Debris)


Sampah merupakan segala bentuk limbah yang ditimbulkan dari kegiatan manusia
maupun binatang yang biasanya berbentuk padat dan secara umum sudah dibuang,
tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan lagi. Sampah secara sederhana dapat diartikan
sebagai sesuatu yang tidak dapat difungsikan lagi sebagaimana mestinya (Renwarin,
2002). Hadiwiyoto (1983) dalam Mandasari (2014) mengungkapkan ciri-ciri dari
sampah yaitu merupakan bahan sisa, baik bahan-bahan yang sudah tidak digunakan
lagi (barang bekas) maupun bahan yang sudah tidak diambil bagian utamanya,
merupakan bahan yang sudah tidak ada harganya, bahan buangan yang tidak berguna
dan banyak menimbulkan masalah pencemaran dan gangguan pada kelestarian
lingkungan.
NOAA (2013) mendeskripsikan sampah laut (marine debris) sebagai benda padat
persistent, diproduksi atau diproses oleh manusia, secara langsung atau tidak langsung,
sengaja atau tidak sengaja, dibuang atau ditinggalkan di dalam lingkungan laut.
Sampah yang berasal dari aktivitas daratan seperti tempat pembuangan akhir yang
berada dekat dengan pantai atau sampah yang terbawa saluran-saluran air dan sungai
di perkotaan, selain itu adanya kegiatan dumping dan pembuangan dari kendaraan laut
juga ikut menyumbang banyaknya sampah di lautan. Tipe sampah laut di antaranya
plastik, kain, busa, styrofoam (untuk selanjutnya menerangkan gabus), kaca, keramik,
logam, kertas, karet, dan kayu. Kategori ukuran digunakan untuk mengklasifikasikan
marine debris, yaitu megadebris (> 100 mm), makrodebris (> 20-100 mm), mesodebris
(> 5-20 mm), dan mikrodebris (0.3-5 mm).
Marine debris pada umumnya dihasilkan dari kegiatan antropogenik, hal ini
merupakan ancaman langsung terhadap habitat laut, kesehatan manusia, dan
keselamatan navigasi, sehingga mengakibatkan kerugian aspek sosial-ekonomi yang
serius. Penyebaran sampah laut sangat memprihatinkan yaitu 14 miliar ton sampah
dibuang setiap tahun di lautan (Hetherington, et al, 2005).

d. Sampah Plastik
Sampah merupakan ancaman polusi yang saat ini menjadi masalah terbesar di
dunia. Sampah dapat berasal dari daratan, yang kemudian dibawa oleh aliran air laut
dan berakhir di daratan kembali (Opfer et al., 2012). Salah satu jenis sampah yang
paling banyak terdapat di wilayah daratan maupun lautan ialah jenis sampah plastik
lalu diikuti oleh jenis sampah lainnya.
Plastik merupakan konsumsi umum bagi masyarakat modern, sebagian besar
konsumsi plastik hanya digunakan sekali. Akibatnya, tumpukan sampah plastik akan
mencemari lingkungan dan menjadi sampah laut (Wang, et al, 2016). Cauwenberghe,
et al. (2013), menyatakan bahwa diperkirakan sekitar 10% sampah khususnya sampah
plastik yang telah diproduksi dan sudah digunakan dibuang ke perairan. Secara global,
prensentasi sampah yang mencemari laut adalah sampah plastik yang mencapai 60-
80% dari keseluruhan sampah di laut, sementara di beberapa tempat presentasi tersebut
mencapai 90-95% dari keseluruhan sampah di laut. Tidak ada data ilmiah yang kuat
mengenai asal-usul sampah tersebut, namun diperkirakan 80% berasal dari daratan dan
20% berasal dari kapal.
Sampah plastik dapat merusak ekosistem dan biota laut yang memakan sampah
plastik yang telah terurai, dan menyimpan substansi-substansi kimia yang telah diserap
oleh kepingan plastik didalam tubuh biota laut tersebut. Substansi-substansi kimia
berbahaya tersebut adalah Polychlorinated Biphenyl (PCB), dan
Dichlorodiphenyldichloroethylene (DDE), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH),
dan Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT). Substansi-substansi tersebut termasuk
kedalam kategori bahan pencemar organik yang persisten (Stockholm Convention on
Persistent Organic Pollutants).

Tabel 1. Kelas-kelas plastik yang biasa ditemui di lingkungan laut

Kelas Plastik Berat Jenis Persentase Produk


Produksi
Low-density 0,91 – 0,93 21% kantong plastik, botol, jaring,
polyethylene sedotan
(LDPE LLDPE)
High-density 0,94 17% kendi susu dan jus
polyethylene
(HDPE)
Polypropylene 0,85 – 0,83 24% tali, tutup botol, jaring
(PP)
Polystyrene (PS) 1,05 6% peralatan plastik, wadah
makanan
Foamed pelampung, kotak umpan,
Polystyrene cangkir busa
Nylon (PA) < 3% jaring dan perangkap
Thermoplastic 1,37 7% botol minuman plastik
Polyester (PET)
Poly(vinyl 1,38 19% film plastik, botol, cangkir
chloride) (PVC)
Cellulose Acetate filter rokok
(CA)

e. Mikroplastik

Salah satu masalah yang berkaitan dengan pencemaran plastik adalah keberadaan
mikroplastik di lingkungan. Plastik dapat terdegradasi oleh oksidasi termal UV dan / atau
proses mekanis membentuk ukuran mikroskopis (Andrady, 2011; Wagner, et al., 2014).
Sampah plastik yang berukuran mikrometer disebut sebagai mikroplastik. Selain sebagai
plastik yang terdegradasi secara mekanis, mikroplastik di lingkungan juga bisa berasal dari
microbeads yang terkandung dalam kosmetik dan kain (Browne, et al., 2011; Fendall and
Sewell, 2009). Banyak penelitian mengkategorikan mikroplastik sebagai sampah plastik
dengan ukuran tidak lebih dari 5mm (Arthur et al, 2009; Wright et al, 2013), sementara
beberapa kategori mikroplastik sebagai sampah plastik dengan ukuran di bawah 1 mm
(Browne, et al., 2011; Van Cauwenberghe, et al., 2013).
Mikroplastik merupakan salah satu bagian dari sampah lautan yang apabila
menumpuk di wilayah perairan akan menyebabkan terganggunya rantai makanan pada ikan.
Mikroplastik berpotensi mengancam lebih serius dibanding dengan material plastik yang
berukuran besar sebagai organisme yang mendiami tingkatan tropik yang lebih rendah,
seperti plankton yang mempunyai partikel rentan terhadap proses pencernaan mikroplastik
sebagai akibatnya dapat mempengaruhi organisme tropik tingkat tinggi melalui proses
bioakumulasi. Hasil uji laboratorium menunjukan bahwa mikroplastik dapat dicerna oleh
organisme laut ketika salah satu partikel dari mikroplastik dapat menyerupai makanan
(Boerger et al., 2010; Browne et al., 2008; Lusher et al., 2013; Van Cauwenberghe et al., 2013).
Temuan signifikan baru-baru ini adalah terdapatnya partikel plastik atau disebut
dengan mikroplastik di lautan di seluruh dunia (Barnes, et al., 2009) termasuk bahkan
di Antartika (Zarfl dan Matthies, 2010). Sampel dari permukaan perairan atau dari
pantai fraksi sampah ini termasuk perawan pelet resin, pelet masterbatch majemuk dan
lebih kecil potongan plastik yang berasal dari puing-puing plastik yang lebih besar
(Moore, 2008). Istilah 'microplastics' dan 'microlitter' telah ditetapkan berbeda oleh
berbagai peneliti. Gregory and Andrady (2003) microlitter didefinisikan sebagai
partikel nyaris tak terlihat yang melewati 500 lm saringan tetapi disimpan oleh 67 lm
sieve (0,06-0,5 mm dalam diameter) sementara partikel yang lebih besar dari ini disebut
mesolitter. Tidak seperti mikro fragmen yang lebih besar tidak mudah terlihat mata
telanjang; bahkan resin-pellet (mesoplastik) dicampur dengan pasir tidak mudah
dilihat. Sampling bersih tentu saja tidak mengumpulkan mikro kecil dan tidak ada
prosedur standar yang dapat diterima saat ini tersedia untuk pencacahan mereka dalam
air atau pasir. Itu mengikuti hanya prosedur yang disarankan yang berasal dari yang
diterbitkan laporan serta pengalaman pribadi dari penulis. Sampel air disaring melalui
saringan kasar untuk dibuang mesolitter. Sampel sedimen atau pasir dicairkan dalam
air garam untuk memungkinkan mikroplastik mengapung ke permukaan. Garam
mineral bisa dilarutkan dalam sampel air laut atau lumpur yang dikumpulkan untuk
ditingkatkan kerapatan air secukupnya untuk mengapung fragmen plastik. Sampel dari
air permukaan dengan mikropartikel mengambang secara hati-hati dihilangkan untuk
belajar. Mengkonsentrasikan sampel sampel air laut dengan evapora- tion juga dapat
berkonsentrasi pada sampah mikroplastik di permukaan. Mikroplastik dalam sampel
air permukaan dapat di visualisasikan di bawah mikroskop menggunakan pewarna
lipofilik (seperti Nil Merah) untuk mewarnai ( Andrady, 2010 ). Sampel air juga
mengandung mikrobiota seperti plankton dengan kisaran ukuran yang sama tetapi ini
tidak akan diwarnai oleh pewarna lipofilik. Suspensi mikroplastik dapat diidentifikasi
menggunakan mikroskop optik, mikroskop elektron, spektroskopi Raman dan FTIR
spektroskopi.
f. Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan perairan dapat digunakan dalam menduga kualitas dan


biologi akan mempengaruhi kualitas perairan itu sendiri. Beberapa parameter tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Suhu
Suhu merupakan factor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan
dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara umum disebut
metabolisme, hanya berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit. Karena
sebagian besar organisme laut juga bersifat poikilometrik dan suhu air laut bervariasi
menurut garis lintang, maka penyebaran organisme laut sangat mengikuti perbedaan
suhu lautan secara geografik (Nybakken, 1992). Suhu dapat membatasi sebaran hewan-
hewan benthos berkisar antara 25 ºC-31 ºC. Suhu yang baik bagi pertumbuhan hewan-
hewan benthos berkisar antara 28 ºC (Sastry, 1963 dalam Harahap, 1987).
2. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988
dalam Effendi, 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah
semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh
klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan
g/kg atau promil (‰) (Effendi, 2003). Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama,
dapat dikatakan konstan walaupun terdapat sedikit perbedaan, tetapi tidak
mempengaruhi ekologi secara nyata. Salinitas air laut biasanya berkisar antara 32-37,5
ppt, sedangkan salinitas rata-rata untuk kima dapat hidup adalah 32‰ (Mcconnaughey
dan Zottoli, 1983).
3.Kecerahan
Kecerahan merupakan suatu ukuran transparansi perairan yang ditentukan
secara visual dengan menggunakan secchi disk. Keadaan cuaca, kekeruhan air, dan
waktu pengamatan sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Pengukuran
sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003). Nilai kecerahan ≥5 m
merupakan baku mutu air laut yang diperbolehkan untuk biota laut (KepMenLH no 51
tahun 2004).
4. Derajat keasaman (pH)
Jumlah ion hydrogen dalam suatu larutan merupakan penunjuk tingkat keasaman.
Lebih banyak ion H+ berarti lebih asam suatu larutan dan lebih sedikit ion H+ berarti
lebih basa larutan tersebut. Keasaman dan kebasaan diukur dengan skala logaritma
antara 1-14 satuan. Satuan ini disebut pH dan skalanya adalah pH. Air laut mempunyai
pH yang agak basa, sifat basa dari air laut tersebut disebabkan oleh ion Natrium, kalium
dan kalsium yang terlarut didalamnya (Nybakken, 1992). Menurut suin (1992),
pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kolorimetri, dengan kertas pH atau
dengan pH meter. Penentuan pH harus dilakukan di tempat, karena perubahan kimia
yang mungkin terjadi salama penyimpanan sampel air akan mengubah nilai yang
sebenarnya.
5. Kekeruhan
6. TTS

6. Metodologi
a. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan januari sampai bulan maret 2018 di kawasan
MMP (Mempawah Mangrove Park), Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Wilayah pengambilan sampel terdiri atas enam stasiun. Masing-masing stasiun terdiri
atas substasiun yang tersusun sistematis dari batas mangrove terluar (dekat laut) ke
batas mangrove terdalam (dekat darat) (Gambar 1). Analisis sampel dilakukan di
Laboratorium Matematika Ilmu Pengetahuan dan Alam.

PETA PENELITIAN
b. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, secchi disk, pipet,
refraksi, kolorimetri, elektrometri, petridis, gelas jar, aluminium foil, saringan
bertingkat, mikroskop monokuler, Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
NaCl jenuh.

c. Prosedur pengumpulan data


Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh dengan melakukan
observasi langsung dilapangan (in situ) dan analisis sampel di laboratorium (ex situ).
Data primer meliputi kelimpahan dan bobot mikroplastik, kualitas air, dan kualitas
sedimen.

d. Metode survei mikroplastik


Pengambilan sampel sedimen (1L) dilakukan dengan corer berdasarkan tiga
stratifikasi kedalaman (0-30 cm). Penempatan corer dilakukan secara acak pada
substasiun di batas mangrove terluar dan batas mangrove terdalam. Pemisahan partikel
mikroplastik (0.045-5 mm) dari sedimen mangrove dilakukan dengan beberapa tahap
(Gambar 2), yaitu pengeringan, pengurangan volume, pemisahan densitas,
penyaringan, dan pemilahan secara visual.
Gambar 2. Skema posisi substasiun pengambilan sampel

Gambar 3. Tahapan analisis mikroplastik

Pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 105 °C selama 72 jam. Tahap
pengurangan volume sedimen kering dilakukan dengan penyaringan (ukuran 5 mm)
(Hidalgo-Ruz, et al. 2012). Tahap pemisahan densitas dilakukan dengan
mencampurkan sampel sedimen kering (1 kg) dan larutan NaCl jenuh (3L) kemudian
campuran diaduk selama 2 menit (Claessens, et al. 2011). Plastik yang mengapung
merupakan polystyrene, polyethylene, dan polypropylene. Tahap penyaringan
dilakukan dengan menyaring supernatan (ukuran 45 μm). Partikel mikroplastik dipilah
secara visual menggunakan mikroskop monokuler dan dikelompokkan ke dalam empat
jenis, yaitu film, fiber, fragmen, dan pelet. Parameter yang diambil adalah kelimpahan
(partikel kg-1 sedimen kering) (Hidalgo-Ruz, et al. 2012). Film merupakan polimer
plastik sekunder yang berasal dari fragmentasi kantong plastik atau plastik kemasan
dan memiliki densitas terendah. Fiber merupakan serat plastik memanjang yang
berasal dari fragmentasi monofilament jaring ikan, tali, dan kain sintetis. Fragmen
merupakan hasil potongan produk plastik dengan polimer sintetis yang sangat kuat.
Pelet merupakan mikroplastik primer yang langsung diproduksi oleh pabrik sebagai
bahan baku pembuatan produk plastik (Kingfisher, 2011).

e. Metode analisis kualitas perairan


Parameter kualitas air laut yang diamati merupakan parameter yang terkait
dengan pencemaran limbah padat berdasarkan UNESCO-WHO-UNEP (1996).
Parameter fisika meliputi suhu, kecerahan, kekeruhan, dan total suspended solid (TSS).
Parameter kimia meliputi pH, salinitas. Metode yang digunakan untuk analisis kualitas
air mengacu pada APHA-AWWA-WEF (2012).

f. Analisis data
Data kelimpahan mikroplastik dianalisis secara statistik. Uji Kruskal-Wallis
digunakan untuk memeriksa adanya beda nyata nonparametrik meliputi kelimpahan
dan komposisi mikroplastik antar stasiun, substasiun, dan kedalaman. Jika hasil
pengujian mengindikasikan berbeda nyata, maka uji Mann-Whitney digunakan untuk
mengidentifikasi beda nyata antara dua kelompok (Claessens, et al. 2011). Spearman
Rank Correlation digunakan untuk memeriksa adanya hubungan nonparametrik
meliputi kelimpahan mikroplastik, dan kelimpahan mikroplastik anta kedalaman
(Goldstein, et al. 2013). Kesamaan karakteristik antarstasiun ditentukan berdasarkan
kelimpahan makrodebris dan kerapatan jenis mangrove dengan menggunakan
Euclidean Distance (Costa, et al. 2011). Peta distribusi makrodebris dibuat dengan
menggunakan analisis spasial.

7. Rencana Jadwal Penelitian


Jenis Kegiatan Bulan
1 2 3
1 Survey awal lokasi penelitian dan
persiapan penelitian
2 Pelaksanaan penelitian
3 Analisis data dan pembahasan
4 Penyusunan laporan

DAFTAR PUSTAKA
(UNEP) United Nations Environment Programme. 2011. UNEP Year Book 2011:
Emerging Issues in Our Global Environment. Nairobi (KE): UNEP. 79 p.

APHA; AWWA; WEF [American Public Health Association; American Water Works
Association; Water Environment Federation]. 2012. Standard Methods for the
Examination of Water and Wastewater. 22nd ed. APHA. Washington DC (US).

Abu-Hilal, A., & Al-Najjar, T, 2004. Litter Pollution on the Jordanian Shores of the
Gulf of Aqaba (Red Sea). Mar. Environ. Res. 58:39-63.

Abu-Hilal, A., & Al-Najjar, T, 2009. Marine Litter in Coral Reef Areas Along the
Jordan Gulf of Aqaba, Red Sea. J. Environ. Manag. 90:1043-1049.

Bengen DG. 2000. Pedoman Teknis: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor.

Claessens M, De Meester S, Van Landuyt L, De Clerck K, Janssen CR. 2011.


Occurrence and distribution of microplastics in marine sediments along the
Belgian coast. Mar Pollut Bull 62: 2199-2204.

Costa MF, Silva-Cavalcanti JS, Barbosa CC, Portugal JL, Barletta M. 2011. Plastics
buried in the inter-tidal plain of a tropical estuarine ecosystem. J Coast Res (64):
339-343.
Cole, M., P. Lindeque, C. Halsband & Galloway, T.S., 2011. Microplastics as
Contaminants in the Marine Environment: A review. Mar.Pollut. Bull.
62:2588–2597.

Cózar, A., F. Echevarría, J.I. González-Gordillo, X.Irigoien, B. Úbeda, S. Hernández-


León,Á.T. Palma, S. Navarro, J. García-de-Lomas, A. Ruiz, M.L. Fernández-
de-Puelles& Duarte, C.M., 2014. Plastic Debris in the Open Ocean. PNAS. 1-
6 pp.

Derraik JGB. 2002. The pollution of the marine environment by plastic debris: a
review. Marine Pollution Bulletin. 44: 842-852.

Eviati, Sulaeman. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan
Pupuk. Ed ke-2. Balai Penelitian Tanah. Bogor.

Hidalgo-Ruz V, Gutow L, Thompson RC, Thiel M. 2012. Microplastics in the marine


environment: a review of the methods used for identification and quantification.
Environ Sci Technol 46: 3060- 3075.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Jakarta
(ID): KemenLH.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu
Air Laut. Lamp. 3. Untuk Biota Laut.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta (ID): KemenLH.

Kingfisher J. 2011. Micro-Plastic Debris Accumulation on Puget Sound Beaches. Port


Townsend Marine Science Center.

Leite, A.S., L.L. Santos, Y. Costa & Hatje, V., 2014. Influence of Proximity to an
Urban Center in the Pattern of Contamination by Marine Debris. Marine
pollution bulletin. 81:242-247.

NOAA [National Oceanic and Atmospheric Administration]. 2013. Programmatic


Environmental Assessment (PEA) for the NOAA Marine Debris Program
(MDP). NOAA. Maryland (US).

Nor, N. H. M., & Obbard, J. P., 2014. Microplastics in Singapore’s coastal mangrove
ecosystems. Marine pollution bulletin, 79(1-2), 278-283.
Nybakken, J.W., 1992, Biologi Laut Suatu Pendekatan Biologis, PT Gramedia, Jakarta.

McConnaughey, B.H. dan Zottoli., 1983, Introduction to Marine Biolog, Mosby Co.
St. Louis, Toronto.

Peters K, Flaherty T. 2011. Marine Debris in Gulf Saint Vincent Bioregion.


Government of South Australia. Adelaide, AU.

Rosewater, J., 1965, The Family Tridacnidae in The Indo Pacific. Indo – Pacific. Indo
– Pacific Mollusca :Vol 1 / no.6. The Department of Mollusca: Academy of
Natural Science of Philadelphia, Pennsilvania. pp: 347–396

Smith SDA, Markic A. 2013. Estimates of marine debris accumulation on beaches are
strongly affected by the temporal scale of sampling. Plos One. 8 (12): 1- 6.doi:
10.1371/journal.pone.0083694.

Smith SDA. 2012. Marine debris: A proximate threat to marine sustainability in


Bootless Bay, Papua New Guinea. Mar Pollut Bull 64: 1880- 1883.doi:
10.1016/j.marpolbul.2012.06.013.

Suin, M.N., 2003, Ekologi Populasi, Universitas Andalas, Padang.

UNESCO; WHO; UNEP [United Nations Educational Scientific and Cultural


Organization; World Health Organization; United Nations Environment
Programme]. 1996. Water Quality Assessments. A Guide to the Use of Biota,
Sediments, and Water in Environmental Monitoring. 2nd ed. Cambridge
University Press. Cambridge (GB).

Anda mungkin juga menyukai