Anda di halaman 1dari 276

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
AGROFORESTRI SAWIT: MITOS ATAU FAKTA?
Budiadi, dkk.

Editor:
Hero Marhaento
Hery Santoso

Tata Letak : Deje


Desain Sampul : Mangun_art
Ilustrasi Sampul : Toni Malakian

Diterbitkan oleh:
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Interlude 2022,
Yogyakarta.

Yogyakarta
Interlude
Cetakan I, Agustus 2022
xiv+ 260hlm; 15 × 23 cm

ISBN : 978-623-6470-67-1

Interlude
Sumber Kulon, RT 03 RW 30, Kalitirto
Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Tlp/WA: 0822 8157 2158
Pos-el: Interludepenerbit@gmail.com
AGROFORESTRI SAWIT,
MUNGKINKAH MENJADI
SOLUSI PERMANEN?

Irfan Bakhtiar
Direktur Program SPOS Indonesia, Yayasan Kehati

Bagi perekonomian Indonesia satu dekade terakhir, minyak


sawit merupakan primadona ekspor dan menjadi komoditas
andalan meninggalkan komoditas-komoditas lain yang pernah
menjadi andalan Indonesia seperti kayu, minyak bumi, dan
bahkan mulai melewati nilai ekspor batu bara. Pada tahun 2021,
BPS mencatat nilai ekspor sawit sebesar USD 28,52 miliar, lebih
besar dari nilai ekspor batu bara yang mencapai USD 23,82 miliar.
Besarnya nilai ekspor tahun 2021 tersebut juga tidak terlepas dari
kenaikan harga CPO internasional, di mana Indonesia merupakan
penghasil terbesar, dan menguasai lebih dari 50% pasar dunia.
Meskipun, pada periode awal hingga pertengahan 2022, minyak
sawit menjadi komoditas yang sangat kontroversial dengan
kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di pasar dalam
negeri.
Menengok ke belakang, booming kelapa sawit tidak
terlepas dari dukungan pemerintah yang besar-besaran terhadap
pengembangan komoditas ini. Berbagai kebijakan, terutama pada
1980an dan awal 1990an, benar-benar memanjakan pengembangan
perkebunan kelapa sawit. Tercatat sejak tahun 1993, muncul
peraturan tentang izin lokasi, yang salah satunya ditujukan untuk

v
memudahkan pengembangan komoditas ini. Belum lagi dengan
banyaknya program pemerintah untuk pengembangan sawit,
seperti Transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (Trans–PIR), program
inti–plasma, dan program pengembangan kebun rakyat yang
lain, selain kemudahan perizinan perkebunan sejak tahun-tahun
tersebut. Tidak heran, perkembangan luasan perkebunan kelapa
sawit dapat dikatakan cukup eksponensial. Dari luasan perkebunan
sawit yang hanya 300 ribuan hektar pada tahun 1980 (catatan
GAPKI), pada tahun 2019 Kementerian Pertanian RI mencatat
luasan tutupan sawit sebesar 16,38 juta hektar. Tidak semua kebun
itu tercatat kepemilikannya, karena system pendataan perkebunan
di Indonesia yang belum kuat.
Meskipun tidak tercatat kepemilikannya, satu hal yang
nampak dari perkebunan kelapa sawit, yang menjadikannya cukup
mudah diidentifikasi adalah pola tanamnya yang monokultur.
Hampir semua perkebunan sawit, terutama perkebunan besar,
dikembangkan secara monokultur, dengan umur yang hamper
sama. Dengan demikian, tajuk sawit tersebut dapat secara mudah
dikenali dari foto udara. Meskipun di banyak tempat, para pekebun
kecil mengembangkan kelapa sawit sebagai bagian dari tanaman
campuran yang mereka kembangkan di kebun-kebun mereka.
Seiring dengan perkembangan luasan perkebunan sawit,
terjadi konversi lahan yang cukup signifikan pula. Lahan-lahan
pertanian, ladang berpindah, kebun karet, dan kebun kakao, banyak
dikonversi menjadi kelapa sawit terutama di Sumatera, Kalimantan,
dan Sulawesi. Bahkan, Kawasan hutanpun banyak yang dikonversi
menjadi perkebunan sawit, legal ataupun illegal, oleh pengusaha,
ataupun oleh pekebun. Laporan Yayasan Auriga tahun 2021
menunjukkan bahwa selama 20 tahun terakhir (2000–2019) terjadi
konversi langsung dari hutan alam menjadi perkebunan sawit
sebesar 2,9 juta hektar, selain konversi tidak langsung atau konversi
dari Kawasan hutan non hutan alam. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan juga mencatat bahwa terdapat 3,47 juta
hektar sawit yang ditanam secara illegal di Kawasan hutan di
seluruh Indonesia.

vi
Sebagaimana disebutkan di atas, sebagian besar perkebunan
sawit dibangun dengan pola monokultur. Di semua tempat,
perkebunan sawit hampir tidak bervariasi. Jarak tanam 9 x 9,
pola yang sejajar, dan hampir tanpa tanaman lain yang hidup di
sela-selanya. Variasi ragam tumbuhan biasanya terjadi di kebun
rakyat, yang kadang menanam pisang, karet, durian, jengkol,
atau tanaman buah buahan lain di antara sawit-sawit mereka. Hal
ini merupakan gambaran pengembangan sawit sebagai tanaman
industry. Argumen efisiensi dan optimalisasi selalu menjadi
pertimbangan. Efisiensi tenaga dalam melakukan pemanenan dan
pemeliharaan, serta optimalisasi dalam melakukan pemupukan
dan pemberantasan hama.
Beberapa amatan di lapangan menunjukkan pola-pola
monokultur ini memiliki dampak yang cukup signifikan. Kebakaran
lahan di kebun sawit atau lahan yang baru dibuka, selain karena
disebabkan pembakaran untuk pembukaan lahan, juga disebabkan
karena kondisinya yang homogen dan terbuka, serta ketersediaan
bahan bakar yang melimpah. Dari sisi hidrologi, sawit monokultur
juga seringkali ditengarai menjadi penyebab mengeringnya mata
air. Hal ini bisa jadi disebabkan karena kebutuhan sawit akan air
yang besar, namun juga dapat terjadi karena minimnya penyerapan
air oleh tanah yang tertutup oleh seresah sawit. Belum lagi risiko
hilangnya habitat satwa liar dan potensi keanekaragaman hayati
yang lain, menambah catatan akan risiko sawit monokultur.
Gagasan agroforestri sawit, atau sawit campur, atau
kebun sawit campur, merupakan sebuah ide yang diharapkan
bisa mengurangi risiko kerusakan yang ditimbulkan oleh
sawit monokultur. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
agroforestri sawit, yang sebenarnya telah dikembangkan oleh
pekebun di banyak tempat, diharapkan dapat menjadi jalan tengah
bagi pemanfaatan nilai ekonomi sawit, mempertahankan atau
memulihkan fungsi ekosistem lahan, dan juga di saat-saat tertentu
bisa memperkuat resiliensi pelaku usaha (terutama pekebun)
sawit pada saat terjadi guncangan terhadap harga tandan buah
segar. Gagasan ini selama ini dianggap tidak masuk akal, karena

vii
tidak feasible secara bisnis, tidak efisien, dan tidak menghasilkan
kemanfaatan yang maksimal. Hadirnya buku ini memberikan
gambaran bahwa tentangan terhadap gagasan agroforestri sawit
atau sawit campur merupakan mitos yang tidak selamanya benar.
Harapannya, dengan buku ini, dan juga dengan berkembangnya
agroforestri sawit di lapangan, bisa didapatkan jalan tengah bagi
penyelesaian sawit di Kawasan hutan yang permanen. Jika memang
konsep ini nantinya terbukti feasible, tidak ada salahnya jika pola
agroforestri sawit dapat diterapkan dalam jangka Panjang, tanpa
perlu berdebat atas status sawit sebagai tanaman hutan atau bukan,
ataupun sawit boleh bertahan di Kawasan hutan hanya satu daur
atau lebih.

viii
CAIRNYA ‘KETEGANGAN’
ANTARA SAWIT DAN HUTAN

Sambas Sabarnurdin
Guru Besar bidang Agroforestri, Fakultas Kehutanan UGM
Ketua the South East Asia Network for Agroforestry Education
(SEANAFE) 1998–2003

Lanskap terestrial dipengaruhi oleh praktek manajemen


lahan bidang pertanian, kehutanan maupun kegiatan lainnya.
kesalahan praktek dan pengaruh perubahan iklim serta rantai
peristiwa berikutnya menyebabkan lanskap utuh menjadi mosaic
kompleks lanskap terdegradasi yang berubah secara dinamis. oleh
karena itu diperlukan strategi pola penggunaan lahan yang yang
tepat untuk membalikkan tren ini. Banyak studi menunjukkan
bahwa kondisi sosial-budaya dapat memandu metode pendekatan
restorasi hutan yang digunakan dengan mempertimbangkan biaya,
manfaat keanekaragaman hayati, dan peningkatan kesejahteraan
manusia dan peran hutan dalam landskap.
Pendekatan pertanian dan kehutanan cerdas dalam bentuk
agroforestri bisa memberikan peluang untuk mencampurkan
(blending) basis ekologi hutan dengan kepentingan kesejahteraan
untuk mempercepat pengembalian kondisi lingkungan yang
lebih baik. Hutan alam bisa dijadikan acuan karena ekosistemnya
memiliki keseimbangan ekologi, dimana biodiversitas, siklus
nutrisi tertutup dan dinamika pemeliharaan kesuburan telah
mampu memberikan pembelajaran terbaik kepada manusia dalam
pemanfaatan sumberdaya alam.

ix
Langkah koreksi terhadap ketelanjuran sawit yang telah
terjadi adalah tindakan restorasi berkelanjutan untuk mendapatkan
kembali fungsi ekologis dan meningkatkan kesejahteraan manusia
di seluruh lanskap yang terdegradasi. Dari sisi ini Strategi jangka
benah (SJB) merupakan jalan tengah yang paling rasional untuk
mengatasi konflik kepentingan masyarakat karena pengembalian
ke kondisi close to nature dilakukan tanpa meninggalkan tanaman
sawit yang ada. Strategi SJB ini akan berhenti pada bentuk
agroforest (crop tree and forest tree combination) dengan sawit
sebagai companion cash crop karena daurnya lebih pendek.
Tutupan pohon permanen adalah tujuan restorasi hutan dan
pendekatan lanskap dengan agroforestri adalah realisasi teknologi
hijau, yang ramah lingkungan. Informasi yang telah diperoleh tim
strategi jangka benah (SJB) fahutan UGM menunjukkan bahwa
pola tanaman campur sudah dipraktekkan petani di berbagai
tempat dalam skala kecil menengah dengan berbagai pola dan
terbukti dapat meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga
untuk tidak bergantung pada komoditas tunggal. Pekebun sawit
rakyat telah bisa diyakinkan bahwa keberadaan pohon meranti
diantara tanaman sawit bisa memberikan fasilitasi bagi daya hidup,
pertumbuhan dan produksi buah kelapa sawit. Bagaimanapun,
informasi ini amat menarik karena dapat menjadi alternative pada
pendapat para pekebun sawit yg cenderung mengharamkan jenis
pohon lain hidup bercampur dikebun sawitnya.
Dengan mengacu pada ekosistem hutan ini, maka tidak
ada alasan untuk mempertahankan sistem monokultur sawit
dalam bisnis berbasis lahan dalam wilayah tropika ini. dan ikut
memptaktekkan SJB ini memberikan peluang legalisasi bagi petani
untuk mengelola komoditasnya melalui program perhutanan sosial.
Karena inovasi baru ini belum seluruhnya kompatibel
dengan infrastruktur dan budaya yang ada, maka diperlukan
dukungan kebijakan pemerintah yang kuat dalam pembiayaan dan
pembimbingan lapangan yang tepat terutama karena pendekatan
lanskap adalah kerangka kerja untuk mengintegrasikan kebijakan
nasional dalam berbagai bentuk praktek penggunaan lahan dalam

x
lanskap secara adil, berkelanjutan sekaligus untuk memperkuat
upaya mengurangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Namun demikian, pendekatan lanskap ini bukan resep
mujarab untuk setiap keadaan, tetapi bersifat spesifik karena
perlakuan yang dinilai tepat untuk satu lanskap tertentu belum
tentu tepat untuk dipakai pada yang lanskap lain. Kontekstualisasi
masalah adalah hal penting untuk suksesnya suatu pendekatan,
dan kontekstualisasi ini dapat menjadi proses standar dalam opsi
penyelesaian masalah penggunaan lahan secara terintegrasi antar
sektor, demi kepentingan yang lebih luas
Akhirnya diharapkan pendekatan SJB ini menjadi awal
cairnya ‘ketegangan’ antara sawit dan hutan. Karena ketika jenis-
jenis tutupan lahan tersebut ada di dalam satu unit lanskap, maka
informasi kumulatif tentang kapasitas serapan karbon berbagai
penggunaan yang ada di dalam lanskap bisa diperlakukan sebagai
penyerap dan penyimpan karbon dalam sebuah ruang penyangga
kehidupan, dalam hal ini, lanskap yang ‘sehat’

xi
DAFTAR ISI

Pengantar Agroforestri Sawit, Mungkinkah Menjadi


Solusi Permanen? .................................................... v
Oleh: Irfan Bakhtiar
Pengantar Cairnya ‘Ketegangan’ Antara Sawit dan Hutan..... vii
Oleh: Sambas Sabarnurdin

Bagian 1 Prolog
Agroforestri Sawit: Dulu, Sekarang, dan Masa
Depan.......................................................................... 1
Oleh: Budiadi
Bagian 2 Kons ep Ag roforest r i Sawit dan Peluang
Pengembangan........................................................... 6
Oleh: Budiadi, Bambang Supriyanto
Bagian 3 Perhitungan Produktivitas Agroforestri Kelapa
Sawit dan Pengaturan Kalender Panen................... 46
Oleh: Eka Tarwaca Susila Putra, Yanarita,
Darmawati Ridho, Muhamad Guruh Susanto,
Stevie Vista Nissauqodry
Bagian 4 Keberlanjutan Agroforestri Sawit ..........................  134
Oleh: Bambang Irawan, Hero Marhaento, Bambang
Supriyanto, Muhamad Guruh Susanto, Darmawati
Ridho, Stevie Vista Nissauqodry
Bagian 5 Keuntungan Ekologis Agroforestri Sawit ..............  180
Oleh: Muhammad Ali Imron, Cahyandra Tresno
Anggoro, Hastin Ambar Asti

xiii
Bagian 6 Implementasi Agroforestri Sawit dalam Skema
Strategi Jangka Benah ...............................................  214
Oleh: Ari Susanti, Slamet Riyanto, Muhammad
Iqbal Nur Madjid, San Afri Awang, Hero
Marhaento, Bambang Supriyanto
Bagian 7 Menata Kelembagaan Strategi Jangka Benah......... 228
Oleh: Slamet Riyanto, Ari Susanti, Muhammad
Iqbal Nur Madjid, San Afri Awang, Bambang
Supriyanto
Bagian 8 Epilog
Inovasi Kebijakan Penyelesaian Keterlanjuran
Kebun Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan.......... 252
Oleh: Bambang Supriyanto

xiv
BAGIAN 1 P R O L O G

AGROFORESTRI SAWIT:
DULU, SEKARANG, DAN MASA DEPAN

Oleh:
Budiadi

Sepanjang sejarah perkembangan peradaban manusia,


dengan akal budinya, manusia berusaha untuk selalu memperbaiki
kualitas hidupnya. Sisi mulia dari semangat untuk tumbuh
berkembang ini adalah bagaimana manusia akan berusaha
semakin bermanfaat untuk alam lingkungannya, dengan semangat
kelestarian kehidupan bersama. Namun demikian, sisi negatif
dari semangat tersebut adalah usaha pemanfaatan dan eksploitasi
sumberdaya alam hampir tidak mengenal batas. Trade off selalu
terjadi antara semangat ekologi-sosial dan semangat pertumbuhan
ekonomi. Sisi gelap manusia ini mendominasi pemanfaatan
sumberdaya alam, selama masih bisa diambil, maka semuanya
diambil hingga habis, baru berpikir tentang pemulihan, kelestarian
dan kehidupan masa depan.
Selama ini kita dibuai dengan jargon-jargon tentang
kekayaan alam tropika Indonesia. Negeri Indonesia memang
kaya, namun pemanfaatan sumberdaya alam harus bermartabat
dan bertanggung jawab. Negara kita ditakdirkan berada dalam
kondisi terbaik dalam hal penyediaan sumberdaya (resources) untuk
produktivitas tanaman, yaitu cahaya matahari, air dan kesuburan

1
tanah. Nature-nya, produktivitas lahan merupakan resultante dari
optimalisasi sumberdaya, maka usaha pemanfaatan lahan tidak
boleh menyia-nyiakan ketersediaan sumberdaya yang melimpah
tersebut. Hutan alam tropis biasanya digunakan sebagai acuan atau
referens dalam usaha atau bisnis berbasis lahan. Apa dan bagaimana
ciri-ciri hutan alam tropis tersebut? Hutan alam tropis merupakan
sistem yang efisien dalam penggunaan sumberdaya, secara alami
tertata sesuai dengan karakter adaptabilitas ekologi masing-
masing komponen. Hal tersebut ditunjukkan dengan struktur dan
komposisi yang kompleks, di mana masing-masing komponen
berada dalam kondisi yang tepat mengisi ruang ekosistem.
Selain itu, hutan alam tropis juga melakukan proses alami yang
berjalan terus menerus dalam merawat produktivitasnya, yakni
dengan berlangsungnya siklus nutrisi yang tertutup dan minim
kehilangan karena pencucian (leaching) atau pemanenan (Begon
et al. 1996; Ashton & Ducey 2000) Hutan alam tropis memberikan
pembelajaran terbaik dalam usaha pemanfaatan sumberdaya, oleh
sebab itu sudah semestinya manusia dengan akal budinya bisa
berusaha mendekati sistem alami (close to nature) tersebut agar
kelestarian kehidupan bisa tercapai.
Agroforestri adalah sebuah cabang ilmu yang relatif baru,
karena baru lahir tahun 1970-an (Nair 1993). Agroforestri tidak
didesain, tetapi sudah ada dan berkembang bersama dengan
perkembangan manusia dalam usaha berbasis lahan. Agroforestri
adalah pemanfaatan lahan yang efisien, karena sumberdaya yang
tersedia digunakan oleh masing-masing komponen sesuai dengan
kebutuhan untuk tumbuh dan berproduksi. Secara sosial, karena
manusia semakin bertambah, sedangkan lahan pertanian semakin
terbatas, maka seperti dua sisi mata uang, dua kepentingan ini
saling mendukung wacana bahwa penerapan agroforestri adalah
sebuah keniscayaan. Dengan mengacu pada ekosistem hutan
tropis tersebut, maka sudah semestinya sistem-sistem agroforestri
dibangun sebagai sistem yang kompleks. Dengan kata lain,
sebenarnya tidak ada alasan kuat untuk mengembangkan sistem
monokultur dalam bisnis berbasis lahan di wilayah tropika ini.
Para ahli sudah mengembangkan alat monitoring produktivitas

2
sistem agroforestri, agar bisa dibandingkan dengan sistem
monokultur, misalnya dengan pendekatan rasio kesetaraan lahan
(land equivalent ratio, LER) (Nair 1993) dan uji kemplementaritas.
LER juga digunakan untuk mengukur terjadi tidaknya interaksi
negatif (atau kompetisi) antarkomponen, dan bisa diarahkan untuk
menjadi interaksi yang positif (atau komplementer).
Berkembangnya pertanaman kelapa sawit monokultur
di Indonesia tidak lepas dari trade off dalam pemanfaatan
sumberdaya lahan. Upaya pembangunan perkebunan kelapa
sawit monokultur yang sangat masif hingga mencapai angkat 16,6
juta ha saat ini, menyisakan pertanyaan, apakah kebun-kebun
sawit sudah dikembangkan dengan prinsip-prinsip kelestarian
ekosistem? Apakah sudah ada tapak acuan (reference site) yang
terbaik agar produktivitas tandan buah sawit (TBS) tinggi tanpa
harus menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti
banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau?
Bukankah kelapa sawit (lebih tepat jika disebutkan nama ilmiahnya
agar tidak salah tunjuk species, yaitu Elaeis guineensis Jacq.) ini
ditemukan para ahli dulu juga berada pada sistem kompleks hutan
alam di Afrika? Lalu alasan apa yang menyebabkan perkebunan
sawit harus menanam secara monokultur? Jika yang menjadi
perhatian adalah kemungkinan bahwa kelapa sawit harus hidup
di tempat terbuka dengan cahaya matahari penuh, sebenarnya hal
ini tidak sepenuhnya tepat. Menurut ahli agronomi, kelapa sawit
sebenarnya bisa tumbuh optimal pada kondisi penyinaran sekitar
600 photosynthetic photon flux density (PPFD) (Jaafar & Ibrahim
2012), atau dengan intensitas cahaya relatif sekitar 80%, artinya
tidak di lahan terbuka.
Buku ini disusun dalam rangka untuk membuktikan
atau menunjukkan bukti bahwa kelapa sawit bisa ditanam
bersama-sama dengan jenis pohon-pohonan lainnya. Hasil-hasil
pengamatan lapangan dan pendampingan kepada petani sawit di
Jambi, Kalimantan Tengah dan Riau dihimpun, dan dilengkapi
dengan asumsi atau alasan-alasan ilmiah yang mendukungnya.
Meskipun banyak kajian menunjukkan dampak-dampak negatif

3
kebun kelapa sawit monokultur, namun ide-ide yang berkembang
dan bergerak dalam buku ini mangacu prinsip positifistik
tentang sistem campuran atau agroforestri, dibandingkan sekadar
mengkritisi dampak-dampak pertanaman monokultur. Justru
melalui kunjungan kepada petani, kita belajar bahwa pohon-
pohonan bisa memberikan fasilitasi bagi daya hidup, pertumbuhan
dan produksi buah kelapa sawit.

Pada umur sawit 7 tahun, saat itu sudah berbuah, kami


tanam meranti. Setelah meranti umur 4 tahun (artinya
kelapa sawit umur 11 tahun) saat itu, terjadi ledakan
(=peningkatan drastis) produksi buah sawit yang dicampur
meranti ini. Kami menduga, meranti menyerap air tanah
dan membagikannya kepada kelapa sawit, sehingga daun
kelapa sawit selalu hijau dan buahnya banyak.
(Tobing, petani penggarap kebun sawit rakyat, Desa
Penghidupan, Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Riau,
tanggal 31 Maret 2022).

Buku ini mengelaborasi berbagai cara pandang penulis


dengan latar belakang yang berbeda, dengan menunjukkan
keunggulan-keunggulan sistem agroforestri kelapa sawit, namun
terbatas pada aspek-aspek biofisik. Pada Bab II dijelaskan tentang
konsep dasar dan beberapa persyaratan agroforestri tropika, dengan
beberapa contoh praktek baik pada petani smallholder. Selanjutnya
Bab III lebih detail mengkaji dan menjelaskan tentang aspek-
aspek agronomi, serta pemeliharaan produktivitas kelapa sawit
berdasarkan karakter agronominya. Bab IV menguraikan aspek-
aspek tentang pemeliharaan tapak untuk kelestarian produksi,
termasuk bukti-bukti ekologis bahwa agroforestri kelapa sawit
lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya. Bab V menguraikan
dampak-dampak ekologi agroforestri sawit dalam hal biodiversitas
flora dan fauna, secara konseptual maupun bukti-bukti hasil
pengamatan. Buku ini diterbitkan dengan berharap memberi
manfaat luas dalam pengembangan sistem berbasis lahan yang
efisien, produktif dan lestari, untuk mengisi rumpang atau gap
keilmuan, serta mendekatkan konsep dengan praktik di lapangan.

4
DAFTAR PUSTAKA
Ashton MS. and Ducey MJ (2000) Agroforestry Systems as
Successional Analogs to Native Forests. In: Ashton
M.S. and Montagnini F. _eds_, The Silvicultural Basis
for Agroforestry Systems. CRC Press LLC, USA, pp.
207 – 228
Begon M, Harper JL and Townsend CR (1996) Ecology: Individuals,
Populations and Communities; Third Edition. Blackwell
Science Ltd, USA. 1068 pp
Jaafar HZE and Ibrahim MH (2012} Photosynthesis and Quantum
Yield of Oil Palm Seedlings to Elevated Carbon Dioxide.
In: Najafpour M. M. Advances in Photosynthesis -
Fundamental Aspects [Internet]. London: IntechOpen;
600 p.
Nair PKR (1993) An Introduction to Agroforestry. Kluwer
Academis Publishers, Dordrecht, The Netherlands 499
pp

5
BAGIAN 2
KONSEP AGROFORESTRI SAWIT
DAN PELUANG PENGEMBANGAN

Oleh:
Budiadi, Bambang Supriyanto

2.1. KONSEP AGROFORESTRI TROPIKA

2.1.1 Batasan dan pendekatan


Agroforestri adalah sistem atau teknologi pengelolaan
lahan dengan cara mengkombinasikan tanaman kayu atau
woody perennial dengan tanaman pertanian atau crop dan/atau
ternak atau livestock atau komponen lainnya (Nair, 1993). Dari
batasan-batasan agroforestri yang telah diespakati selama ini,
tanaman kayu diposisikan sebagai komponen utama yang harus
ada, sedangkan tanaman pertanian, ternak, ikan dll. merupakan
komponen tambahan. Agroforestri yang paling sederhana
sekalipun melibatkan minimal dua komponen, sehingga dalam
konsep umum agroforestri tidak dikenal sistem monokultur.
Sebagai konsekuensi dari sistem kombinasi, maka dipastikan bahwa
pada sistem agroforestri pasti terjadi hubungan timbal balik atau
interaksi antarkomponen, baik negatif (yaitu kompetisi) atau positif
(yaitu mutualistik atau fasilitatif). Dengan adanya dua atau lebih
komponen dalam sistem agroforestri, maka interaksi tersebut tidak
bisa dihindarkan. Interaksi negatif menimbulkan kerugian pada

6
salah satu atau semua komponen, sedangkan interaksi positif akan
menguntungkan semua komponen.
Sistem budidaya agroforestri adalah teknik kombinasi
pengelolaan vegetasi, ternak, ikan dan atau serangga lebah
madu yang berada di lingkungan di mana manusia menjadi
sentral dalam pengelolaannya. Sistem ini ditandai dengan peran
manusia secara sengaja untuk melakukan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya/resources, serta mengarahkan semua
proses interaksi antar komponen agroforestri tersebut sesuai
keinginan pengelolanya. Karena adanya pengelolaan oleh manusia,
maka sistem tersebut produktif. Namun demikian, proses-proses
dan siklus alami dalam sistem relatif terbuka, sehingga tingkat
sustainabilitas-nya relatif rendah.
Para ahli mengatakan bahwa, usaha manusia dalam mengelola
agroforestri harus mengedepankan tiga atribut, yaitu produktivitas,
sustainabilitas dan adoptabilitas (sosial). Untuk mencapai tujuan
produktivitas jangka panjang, i.e., sustainabilitas, maka referens
utk pengelolaan sistem agroforestri adalah ekosistem hutan alam
(Ashton & Ducey 2000). Keberadaan manusia menunjukkan
tingkat adoptabilitas sistem tersebut sehingga bisa meningkatkan
produktivitas lahan, dengan cara mengatur agar komposisi,
pola tanam dan proses-proses dalam interaksi antarkomponan
diarahkan untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga
kelestariannya dalam jangka panjang. Perbedaan paling nyata antara
sistem agroforestri dengan ekosistem hutan alam adalah bahwa
semua komponen dalam agroforestri merupakan domesticated
and cultured species, sedangkan pada ekosistem hutan alam adalah
under domesticated atau species liar.

2.1.2 Kunci keberhasilan sistem agroforestri


Para ahli merumuskan beberapa prasyarat untuk menjamin
keberhasilan agroforestri, yaitu:
a. Pemilihan jenis yang tepat
Pemilihan jenis (-jenis) yang tepat akan sangat menentukan
dan menjadi prasyarat utama keberhasilan pengelolaan agroforestri.

7
Dalam hal ini, pemilihan jenis tanaman kayu melibatkan keilmuan
silvikultur atau budidaya pohon-pohonan, yang menetapkan tahap
pemilihan jenis ini melalui kajian kesesuaian jenis dengan tapak
(site-and-species matching) (Nyland 2001). Pendekatan silvikultur
diawali dengan kajian kondisi tapak melalui pengukuran langsung,
terhadap kualitas tanah (edaphic factor) dan kondisi iklim makro
(climatic factor). Pendekatan ini sebenarnya tidak berlaku hanya
pada sistem kehutanan, karena umumnya dilakukan juga pada
sistem pertanian berbasis lahan (farming system). Perbedaan dengan
sistem pertanian adalah, pemilihan jenis pada sistem kehutanan
lebih membutuhkan kecermatan dan kehati-hatian, karena hasil
atau luaran atau output yang menunjukkan ketepatan pemilihan
jenis baru akan diketahui dalam waktu yang relatif lama. Misalnya,
untuk tujuan produksi kayu pertukangan maka dipilihkan tanaman
jati. Padahal jati tumbuh relatif lambat dan hasil produksi baru
diketahui dalam beberapa puluh tahun kemudian. Keberhasilan
atau kegagalan pemilihan jenis baru diketahui setelah jangka waktu
yang lama, jika terjadi kegagalan maka kerugian yang ditanggung
akan cukup besar khususnya berkaitan dengan investasi berupa
waktu. Hal ini berbeda dengan tanaman pertanian yang hasil
pemilihan jenis bisa dievaluasi dalam waktu yang relatif singkat.
Selain pengukuran langsung terhadap faktor tanah dan
iklim, cara pemilihan jenis bisa dilakukan secara tidak langsung
dengan mendasarkan pada tegakan atau hutan aduan, dengan cara
melakukan studi dan identifikasi jenis pohon-pohonan yang hidup
normal pada kondisi tapak tertentu. Cara ini ditempuh jika kondisi
ekosistem hutan masih bagus atau masih tersedia sebagai acuan.
Selain pemilihan jenis pada level species, keberhasilan
budidaya pohon-pohon juga ditentukan lebih lanjut oleh proses
seleksi pada level genetik, yakni bagaimana pengelola menggunakan
jenis unggul yang sesuai dengan tapak. Seperti halnya pada sistem
pertanian, pemuliaan pohon memiliki peran yang penting untuk
mendukung budidaya produktif berbasis kayu ini.
Pada sisi yang lain, terdapat perbedaan khas antara pemilihan
jenis menurut ilmu silvikultur konvensional dengan silvikultur

8
untuk agroforestri. Selain kesesuaian jenis (suitable), pemilihan
jenis kayu pada sistem agroforestri juga mempertimbangkan
kesesuaian kombinasi jenis (compatible). Jenis yang sesuai untuk
suatu tapak dalam kaidah silvikultur umum biasanya mengarah
pada sistem satu jenis atau monokultur, sedangkan untuk
sistem campura agroforestri adalah jenis (-jenis) tersebut bisa
dikombinasikan dengan jenis tanaman lain, termasuk tanaman
pertanian dan ternak. Sistem agroforestri membutuhkan lebih
banyak perhatian dari aspek seni (art), selain aspek ilmu (science)
saja. Keberhasilan memilih jenis (-jenis) yang bisa dikombinasikan
ini akan menentukan arah interaksi antarkomponen, menuju pada
interaksi yang positif dan mengurangi interaksi yang negatif.
b. Keberhasilan dalam memanfaatkan peran-peran penting dari
pohon-pohonan
Keberhasilan pengelolaan agroforestri ditentukan oleh
pemahaman bahwa pohon-pohonan memiliki banyak pengaruh
positif terhadap ekosistem. Di antara peran besar pohon-pohonan
dalam ekosistem hutan adalah memproduksi biomasa daun atau
seresah (litter) dalam jumlah besar dan dijatuhkan ke permukaan
tanah. Daun adalah organ tanaman yang mudah dirombak dan
proses perombakan atau dekomposisi ini memerankan proses kunci
siklus nutrisi yang tertutup pada ekosistem hutan (alam). Produksi
seresah yang besar dan waktu siklus hidup pohon-pohonan yang
panjang menghasilkan timbunan bahan organik pada tanah
permukaan (top soil). Secara umum, masyarakat tradisional yang
mempraktekkan perladangan berpindah paham bahwa tanah-
tanah dari hasil pembukaan hutan subur secara alamiah. Sistem
perladangan berpindah pada masyarakat sekitar hutan berlangsung
karena ketersediaan lahan hutan yang subur tersebut.
c. Keberhasilan dalam mengarahkan interaksi antarkomponen
Dengan adanya dua atau lebih komponen dalam
sistem agroforestri, maka interaksi antarkomponen pasti
terjadi. Berdasarkan hasil atau luaran komponen kayu dan
komponen lainnya, interaksi antarkomponen dalam agroforestri
dikelompokkan menjadi tiga macam (berdasarkan Nair 1993):

9
- Komplementer
Interaksi komplementer terjadi jika hasil tanaman kayu
meningkat diikuti oleh peningkatan hasil komponen
lainnya. Jenis interaksi ini dianggap sulit terjadi, kecuali
pengelola agroforestri benar-benar bisa berhasil memilih
jenis dan mengatur pola tanam secara tepat. Contoh interaksi
komplementer adalah kombinasi tegakan sengon dengan kopi
dan kapulaga pada agroforestri di daerah pegunungan Menoreh.
Meningkatnya pertumbuhan sengon, diikuti oleh peningkatan
produksi buah kopi dan kapulaga, karena kedua jenis tanaman
ini membutuhkan naungan dari pohon sengon. Dalam hal
ini, pohon sengon tidak menimbulkan efek kompetisi cahaya
matahari, tetapi justru memberikan naungan pada kopi dan
kapulaga karena alaminya kedua jenis ini rentan stress karena
radiasi matahari langsung.
- Suplementer
Interaksi suplementer terjadi ketika hasil dari salah satu
komponen meningkat, namun tidak diikuti oleh peningkatan
atau penurunan produksi komponen lainnya. Salah satu ciri
khas agroforestri dalam hal interaksi komplementer adalah
peningkatan produksi pohon-pohonan menjadi syarat
keberhasilan sistem agroforestri, meskipun produksi komponen
lainnya tetap. Contoh yang dari interaksi suplementer adalah
agroforestri sengon dengan tanaman nanas di lahan Perum
Perhutani KPH Kediri, pertambahan ukuran sengon tidak
diikuti dengan peningkatan produksi buah nanas di bawahnya.
- Kompetitif
Interaksi kompetitif merupakan bentuk interaksi yang
paling dikhawatirkan terjadi pada sistem agroforestri
karena persaingan penggunaan resource dari masing-masing
komponen. Karena pengaruh ketidakcocokan kombinasi
komponen agroforestri, penurunan produksi salah satu
komponen diikuti oleh penurunan produksi komponen lainnya.

10
2.1.3 Resource sharing dan produktivitas sistem agroforestri
Secara sederhana, agroforestri diartikan sebagai usaha
manusia untuk memanfaatkan lahan dengan cara mengoptimalkan
penggunaan sumberdaya oleh semua komponen di dalamnya (FAO
2015). Agroforestri merupakan sistem dan teknologi pemanfaatan
lahan dengan menjadikan pohon-pohonan sebagai komponen
utama dalam pengelolaan, sehingga semua upaya dilakukan
untuk mendukung keberhasilan pertumbuhan dan produktivitas
pohon-pohonan dalam skala mikro untuk membentuk tegakan,
menjadikan ekosistem hutan hingga mendukung fungsi bentang
lahan (landscape). Meskipun demikian, usaha manusia untuk
memanfaatkan lahan yang tersedia untuk menghasilkan berbagai
produk tersebut menyebabkan perlunya prioritas produksi. Dalam
hal ini, manusia atau petani secara pragmatis akan memilih
komoditas yang paling strategis untuk pemenuhan kebutuhannya
atau bernilai tinggi yang diperoleh secara instan atau jangka
pendek. Meskipun pragmatis, sebenarnya usaha seperti ini sudah
mempertimbangkan untung-rugi dari bisnis berbasis lahan, karena
nilai manfaat dari investasi yang dikeluarkan diharapkan bisa segera
diperoleh.
Sejak lahirnya istilah agroforestri dan diakuinya agroforestri
sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, maka konsep
memadukan komponen kehutanan dengan pertanian atau
peternakan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap
produktivitas lahan akibat kompetisi yang terjadi (Bertsch-
Hoermann et al. 2021). Meskipun alat ukur sudah tersedia (misalnya
land equivalent ratio, LER dan analisis complementarity), namun
pencampuran kemungkinan akan menurunkan produksi karena
dampak interaksi kompetitif antarkomponen dalam agroforestri.
Kekhawatiran ini sangat masuk akal, karena sumberdaya atau
resource yang ada digunakan oleh banyak komponen, sehingga
bisa terjadi persaingan bahkan seleksi alam, yang kuat yang akan
menang; ditandai dengan rendahnya produktivitas gabungan
dibandingkan jika lahan yang ada digunakan untuk satu
produk tunggal dalam bentuk monokultur. Dalam hal ini, para

11
ahli memberikan clue berupa konsep resource sharing, yakni
pemanfaatan sumberdaya secara bersama-sama.
Sumberdaya untuk budidaya tanaman ada tiga macam,
yakni cahaya matahari, nutrisi di dalam tanah dan air tanah atau
kelembaban tanah (soil moisture) (Uchida 2000; Hopkins and
Huner 2010). Cahaya matahari bersifat given, dan kondisinya sangat
melimpah di daerah tropis. Sayangnya dalam budidaya tanaman,
pemanfaatan cahaya matahari terkadang hanya sederhana
untuk dimaksimalkan untuk hasil tunggal, berupa pertanaman
monokultur. Dalam hal ini pertanaman monokultur merupakan
sistem yang boros energi matahari, atau bisa dikatakan tidak
efisien. Pertanaman monokultur biasanya diatur secara horizontal,
sehingga menghasilkan lapisan tajuk tunggal atau satu strata
saja. Secara alamiah, di alam (yaitu hutan alam) disajikan contoh
bagaimana memanfaatkan energi matahari secara efisien, dengan
sistem campuran kompleks dengan lapisan tajuk berlapis-lapis atau
multi stratum. Secara alamiah pula diajarkan bahwa masing-masing
komponen dalam hutan campuran tersebut memiliki karakter yang
beragam, dan berbeda dalam hal kebutuhan akan energi matahari.
Secara umum dijelaskan, bahwa energi atau radiasi matahari yang
mencapai ekosistem hutan alam dipantulkan kembali sebanyak
11%, diserap oleh lapisan tajuk pohon-pohon dominan sebanyak
79%, sisanya didistribusikan ke lapisan sekunder sebanyak 7%,
lapisan tumbuhan bawah 2% dan mencapai lantai hutan 2%
(Begon et al. 1996). Hutan alam mencontohkan satu aspek
dalam pemanfaatan energi secara efisien dalam bentuk ekosistem
campuran yang kompleks.
Di wilayah tropika, air atau kelembaban tanah juga
merupakan sumberdaya yang given, kecuali atas rekayasa manusia
untuk mengubah kondisinya dengan teknologi irigasi. Teknologi
irigasi hanya mungkin dilakukan pada tempat-tempat tertentu
di mana sumber air tersedia, dan tidak dilakukan di lahan-lahan
miring dan remote. Air untuk pertumbuhan tanaman bersumber
utamanya dari curah hujan atau presipitasi. Meskipun melimpah,
namun pemanfaatan air oleh tanaman juga harus efisien.

12
Pertanaman monokultur juga menunjukkan adanya inefisiensi
penggunaan sumberdaya air ini. Seperti halnya kebutuhan
akan cahaya matahari, karakter tanaman dalam hal kebutuhan
air ini juga bervariasi, sehingga tanaman juga dikelompokkan
berdasarkan efisiensi penggunaan air (water-use efficeincy, WUE).
Adanya variasi karakter terhadap air ini juga menunjukkan bahwa
di alam tanaman-tanaman dapat hidup secara alami dengan berbagi
sumberdaya tersebut, sehingga membentuk ekosistem campuran.
Jenis sumberdaya yang ketiga adalah nutrisi di dalam tanah.
Jika dibandingkan dengan cahaya matahari dan air, maka nutrisi
yang tersedia di dalam tanah pada wilayah tropika dianggap
sebagai faktor pembatas atau limiting factor untuk produktivitas
lahan. Pertumbuhan tanaman di wilayah tropika diakui cepat,
yang menunjukkan tingkat penggunaan sumberdaya yang besar.
Jika tidak diimbangi dengan pengembalian yang seimbang, maka
akan terjadi ketimpangan produktivitas jangka panjang. Jika
cahaya matahari dan air (hujan) adalah bersifat given, maka kunci
pemeliharaan produktivitas jangka panjang adalah bagaimana cara
pengembalian nutrisi ke dalam tanah melalui proses alami maupun
buatan. Pemanfaatan resource yang seimbang ini dicontohkan
pada sistem hutan alam (Ashton & Ducey 2000). Keberhasilan
efisiensi pemanfaatan nutrisi pada ekosistem untuk mendukung
produktivitas tanaman dikenal dengan istilah Nutrient-use
Efficiency (NUE) (Hiremath and Ewel 2001; Rawal et al. 2022).
Para ahli menyimpulkan, ekosistem hutan alam yang efisien dalam
penggunaan nutrisi sebagai analog suksesi semua sistem berbasis
lahan, termasuk agroforestri.
Tanah tropika kadang dianggap subur, karena banyak
ditutupi vegetasi yang dengan kerapatan tinggi. Padahal, tutupan
biomasa itu justru menunjukkan bahwa tingkat kandungan nutrisi
yang tersimpan di dalam tanah relatif kecil. Beberapa kelemahan
tanah-tanah tropis adalah sebagai berikut:
• Sangat beragam, seperti halnya pada tanah di wilayah temperate
• Siklus nutrisi dan dekomposisi sangat tinggi, tetapi tidak
berbeda dengan di wilayah temperate dalam hal kualitas dan

13
kefektifannya
• Kesuburan rendah, penyimpanan nutrisi rendah, keracunan Al,
rendah kandungan fosfor, keasaman relatif tinggi (khususnya
tanah Oxisol dan Ultisol)
• Struktur tanah lemah
• Kurangnya populasi rhizobium dan pengikat N
• (Nair 1993).

2.2 KELESTARIAN JANGKA PANJANG DAN PENGELOLAAN


SIKLUS NUTRISI
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, kunci
keberhasilan sistem agroforestri tropika adalah pengelolaan bahan
organik atau nutrisi. Produksi biomasa yang besar yang diperankan
pohon-pohonan melalui produksi seresah (litter), menentukan
keberlanjutan sistem agroforestri. Teknik manajemen nutrisi ini
unik untuk sistem agroforestri, dengan acuan bahwa siklus bahan
organik diarahkan supaya menyerupai sistem hutan alam. Kajian
tentang produksi biomasa dan siklusnya pada sistem-sistem
agroforestri harus selalu ditingkatkan, mengingat keragaman jenis
dan kombinasi jenis pada berbagai wilayah. Salah satu contoh
kajian yang menunjukkan bahwa siklus organik pada sistem
agroforestri mendekati sistem hutan alam, ditunjukkan dengan
kajian pengukuran laju pencucian/leaching (Gambar 2.1) yang
membuktikan bahwa sistem agroforestri berada di antara sistem
kehutanan dan pertanian.

14
Gambar 2.1. Rata-rata pencucian/leaching nitrat (kg/ha/th) pada tiga sistem
pertanaman
(Sumber: penelitian INRA Restinclieres, Perancis; data tidak dipublikasikan)

Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, salah satu


kunci keberhasilan suatu pola tanam agroforestri ditentukan oleh
bagaimana kita memanfaatkan aspek menguntungkan (benefeciary)
dari keberadaan pohon dengan sebaik-baiknya. Pohon memiliki
sifat-sifat yang menguntungkan antara lain mampu memelihara
kesuburan tanah melalui proses-proses alami. Proses pemeliharaan
lingkungan dari erosi permukaan, banjir, angin, abrasi pantai dan
sebagainya merupakan manfaat-manfaat ekologis yang lain dari
budidaya kayu.
Pengaruh pohon terhadap kesuburan tanah tergantung
kepada karakteristik recycle nutrisi, yakni kandungan kimia dan
tingkat dekomposisi dari seresah daunnya (Jahed et al. 2014;
Gebrewahid et al. 2019). Kedua karakter ini disebut sebagai
kualitas seresah. Setiap jenis pohon memiliki seresah yang berbeda-
beda dalam hal kualitas. Seresah yang cepat terdekomposisi
dan kandungan kimia atau nutrisi yang relatif besar merupakan
jenis yang ideal untuk dipilih untuk sistem agroforestri. Namun
demikian, seresah yang lebih tahan lama, proses dekomposisi
lama dan memberikan nutrisi yang sedikit demi sedikit, bisa
menjadi merupakan penutup tanah yang baik untuk jangka lebih
panjang. Jenis tanaman kayu dengan jumlah seresah yang besar
dan dekomposisi lambat menghasilkan akumulasi bahan organik

15
yang besar di atas tanah (Swift et al. 1979; Issac and Nair 2005;
Madritch & Cardinale 2007). Jenis ini tepat untuk melindungi tanah
dari erosi permukaan, namun tidak menghendaki produktivitas
ekosistem yang tinggi.
Pemilihan jenis dalam pertanaman agroforestri dengan
mempertimbangkan produksi dan kualitas seresah ini menjadi
langkah keputusan yang penting untuk pemeliharaan produktivitas
lahan jangka panjang. Apalagi kalau sudah dilengkapi pertimbangan
tentang jenis-jenis yang memiliki kemampuan tambahan misalnya
kelompok legum (Legumisae) yang berasosiasi dengan bakteri
penambat N alami atau jenis-jenis pohon lain yang bekerjasama
dengan jamur mikoriza untuk membantu penyerapan unsur P
alami (Bucking et al. 2012). Seresah dari kedua kelompok pohon
ini, dikombinasikan dengan karakter kualitas seresah yang baik,
akan memperkaya nutrisi di tanah permukaan secara terus
menerus. Kedua kelompok jenis pohon dengan simbiosis khusus
ini sangat penting dipertimbangkan untuk sistem pertanaman di
daerah tropis, karena tuntutan produktivitas lahan yang tinggi atau
kondisi di mana pupuk anorganik sulit diperoleh.

2.2.1 Konsep pemompaan nutrisi


Pohon-pohonan merupakan agen yang tidak tergantikan
dalam memelihara kesuburan lahan secara alami. Selain karena
produksi bahan organik yang besar, sistem perakaran pohon
yang dalam dan luas akan menangkap unsur hara yang ada pada
berbagai lapisan tanah yang dalam (Gambar 2.2) atau yang terlepas
karena tidak diserap oleh tanaman lain. Hasil penyerapan ini
dikirim ke daun untuk proses produksi bahan organik selanjutnya,
yang sebagian disimpan pada jaringan kayu, buah atau biji. Daun
merupakan organ fotosintetik (photosynthetic organ) yang pada
saatnya akan rontok, dan alaminya seresah daun mudah dirombak,
berbeda dengan jaringan kayu yang awet (persistent). Dengan
perombakan ini, maka proses pengembalian bahan organik dan
nutrisi ke dalam ekosistem kembali sudah selesai. Seluruh proses
penyerapan kembali melalui akar dan pengembalian ke tanah ini

16
dikenal dengan pemompaan nutrisi (nutrient pumping) (Sarvade
et al. 2018), dan hanya bisa dilakukan oleh pohon-pohonan.

Gambar 2.2. Siklus nutrisi di dalam ekosistem hutan dan sebaran sistem
perakaran pohon-pohonan pada lapisan tanah
(Sumber: Young 1989)

Proses nutrient pumping adalah melalui penyerapan nutrisi


oleh pohon-pohonan yang berperakaran dalam (bukan pohon-
pohonan dengan tipe perakaran dangkal atau serabut), terhadap
nutrisi yang tercuci ke dalam lapisan tanah yang dalam, kemudian
nutrisi masuk ke dalam proses metabolisme, yang pada akhirnya
jatuh ke permukaan tanah dalam bentuk seresah atau litterfall.
Para ahli agroforestri merekomendasikan pohon-pohon dari
jenis legum (famili Leguminosae) untuk dipilih sebagai species
agroforestri, karena memiliki kandungan hara nitrogen yang tinggi
dalam biomasanya

2.2.2. Nutrient-use efficiency (NUE)


Jenis tanaman kayu memiliki kemampuan memanfaatkan
nutrisi (NUE, nutrient-use efficiency) serta laju dekomposisi seresah
yang berbeda-beda. NUE adalah perbandingan antara nutrisi
yang diserap dari dalam tanah dengan nutrisi yang dikembalikan
ke ekosistem melalui seresah (Hirose 1975; Ewel and Hiremath

17
1998). NUE adalah kebalikan dari nutrient-cycling indeks (NCI).
Jenis pohon dengan NUE yang rendah (dar artinya NCI tinggi)
adalah pohon-pohon mampu menyerap banyak nutrisi dari
tanah dan mengembalikan ke ekosistem dalam jumlah besar pula.
Pohon dengan NUE yang rendah belum tentu merupakan jenis
yang tepat untuk agroforest, karena tergantung kepada tujuan
pengelolaannya. Seresah pohon-pohonan juga memiliki sifat
yang berbeda-beda dalam hal dekomposisi/penghancurannya.
Seresah pohon tertentu cepat terdekomposisi, sementara seresah
pohon yang lain membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun
untuk mengembalikan nutrisi ke dalam tanah. Laju dekomposisi
seresah yang cepat juga belum tentu sesuai untuk agroforest. Sebagai
misal, untuk tanah-tanah kritis dibutuhkan jenis pohon yang
memproduksi seresah dalam jumlah besar, tetapi dekomposisinya
lambat.

2.2.3 Pruning
Pruning adalah salah satu teknik pemeliharaan tegakan
yang dilaksanakan khususnya pada tegakan atau hutan tanaman,
berupa pemangkasan cabang-cabang kayu. Secara konsep,
pruning dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas batang yang
ditujukan untuk produksi kayu, yang bebas dari mata kayu (Nyland
2001). Oleh sebab itu, pruning erat kaitan dengan aplikasi teknik
silvikultur untuk, khususnya, produksi kayu pertukangan atau
timber.
Pruning dalam konsep tradisional adalah untuk memusatkan
pertumbuhan pada batang pokok (central leader), dan mengurangi
cabang-cabang tidak berguna, tidak sehat atau mati (James 2004).
Secara fisiologis, pruning dapat mengurangi laju pertumbuhan
secara sementara karena berkurangnya tajuk/foliage, namun pada
akhirnya justru bisa meningkatkan pertumbuhan pada cabang dan
daun-daun aktif. Dalam hal pada tegakan untuk dimanfaatkan
bagian tanaman lainnya, misalnya buah, bunga, kulit batang,
getah/resin dan lain-lain yang masuk dalam kelompok hasil hutan
bukan kayu (HHBK), maka teknik pruning ini bisa berbeda atau

18
perlu disesuaikan. Bagaimana penerapan teknik pruning atau
pemangkasan ini diadopsi dalam sistem agroforestri?
Selain untuk tujuan produksi kayu/timber dan bukan kayu,
dalam sistem agroforestri, pemangkasan cabang ditujukan untuk
tujuan-tujuan lain, misalnya:
a. Pollarding, adalah teknik pemangkasan tajuk atau cabang
dalam rangka untuk menumbuhkan cabang-cabang yang
lebih banyak. Cabang tersebut akan dipanen secara periodik
untuk dimanfaatkan kayunya pada sistem produksi kayu
bakar, daunnya pada sistem produksi pakan ternak. Pada
hutan tanaman kayu putih, pollarding dilakukan setiap tahun
untuk dimanfaatkan daun dan rantingnya dalam proses
produksi minyak kayu putih.
b. Lopping adalah teknik pemangkasan tajuk yang khas pada
sistem agroforestri, khususnya untuk dimanfaatkan sebagai
sumber biomasa dan nutrisi yang dikembalikan ke tanah.
Daun-daun dari pohon-pohonan pada sistem agroforestri
dipangkas pada waktu tertentu, untuk mempercepat
kembalinya biomasa atau nutrisi ke dalam tanah, dan tidak
perlu menunggu jatuhnya seresah. Jika diterapkan dengan
baik, yakni dengan memperhitungkan lamanya waktu
dekomposisi biomasa tersebut, maka pengembalian ini
akan sinkron atau tepat waktu dengan kebutuhan tanaman.
Misalnya, dekomposisi berlangsung 4 bulan, maka lopping
bisa dilaksanakan bulan Juli atau Agustus, sehingga pada
saat turun hujan di bulan Oktober-November sudah tersedia
dalam bentuk nutrisi bagi tanaman.
Pemilihan spesies dan pengaturan pola tanam sangat
menentukan keberhasilan suatu sistem agroforestri. Oleh sebab
itu, pengetahuan tentang sifat-sifat species tanaman meliputi
kebutuhannya (toleransi dan intoleransi) akan cahaya matahari,
sifat-sifat perakaran, ciri-ciri pertumbuhan, tingkat produktivitas,
NUE dan lain-lain untuk masing-masing jenis perlu dipahami
dengan benar. Oleh sebab itu, dalam aplikasi pengetahuan siklus
nutrisi dan NUE ini, maka diperlukan:

19
• Pemilihan spesies kayu yang berperakaran dalam agroforestri
diharapkan dapat meningkatkan nutrient pumping, melapukkan
lapisan tanah yang keras.
• Pemilihan species yang mampu mengikat nitrogen (N2)
dan mencampur dengan komponen lain, mempercepat
penambahan ke tanah melalui pruning, pollarding dan lopping.
• Sinkronisasi antara pelepasan nutrisi dari biomasa pohon
dengan kebutuhan tanaman melalui pengaturan kualitas,
kuantitas, ketepatan waktu dan cara aplikasinya melalui mulsa
atau sheet mulching.
• Pengelolaan kandungan organik tanah (SOM) akan membantu
keseimbangan nutrisi dan produktivitas tanah.
• Dalam agroforestri dimungkinkan untuk menurunkan
hilangnya nutrisi melalui konservasi tanah.
Dalam hal dekomposisi seresah, C:N ratio dari biomasa
menentukan cepat lambatnya laju dekomposisi (Janssen 1996).
Akan tetapi, C:N ratio tidak cukup untuk mengatakan baik tidaknya
bahan organik yang dihasilkan suatu jenis tanaman. Suatu tanaman
yang menghasilkan bahan organik yang kaya akan nutrisi dan
mudah terdekomposisi merupakan dua kriteria yang biasanya
dipakai dalam pemilihan species. Akan tetapi laju dekomposisi
yang terlalu cepat juga kurang baik karena melebihi kebutuhan,
sehingga justru tidak efisien. Pada beberapa kondisi, menanam
ground cover crop akan lebih efisien tanpa pengembalian biomasa
secara buatan.

2.2.4 Pentingnya mikrobia di tanah tropika


Sebagaimana diketahui, tanah-tanah tropika sebenarnya
memiliki kekahatan atau deficiency unsur makro, khususnya N dan
P. Dua unsur ini termasuk dalam kelompok unsur makro, karena
dibutuhkan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan tanaman.
Meskipun cahaya matahari dan air yang melimpah di daerah tropis
ini, namun karena terjadinya kekahatan unsur makro, maka hal
tersebut akan menjadi faktor pembatas produksi tanaman.
Unsur N (nitrogen, N2) sebenarnya tersedia secara melimpah
di alam, yaitu di udara sebanyak 78-80%, namun dalam bentuk gas

20
(Maxwell 2004). Unsur ini hanya bisa dimanfaatkan atau tersedia
bagi tanaman melalui tiga macam proses:
a. Pengikatan secara industri, yang dibentuk menjadi kristal
pupuk anorganik.
b. Pengikatan secara alami melalui terjadinya petir.
c. Pengikatan secara alami oleh tumbuh-tumbuhan yang
memiliki simbiosis mutualisme dengan bakteri pengikat
nitrogen jenis Rhizobium sp atau Frankia sp. Bakteri ini
tumbuh pada jaringan perakaran tanaman dan membentuk
bintil akar.

Dengan kondisi yang ada dan kebutuhan produktivitas


tanaman yang tinggi, maka proses pengikatan N di alam menjadi
pilihan yang terbaik. Apalagi dalam kondisi harga pupuk kimia
(misalnya pupuk NPK) yang kurang terjangkau atau tidak bisa
mudah diperoleh oleh petani. Dalam agroforestri, jenis-jenis
tanaman yang memiliki kemampuan bekerjasama dengan bakteri
pengikat N2 dari udara (khususnya dari kelompok Leguminosae
atau polong-polongan) mendapatkan prioritas tinggi untuk
ditanam, dibandingkan jenis lainnya. Dalam prakteknya, jenis-jenis
yang cukup dikenal petani misalnya sengon (Falcataria moluccana),
petai (Parkia sp), lamtoro (Leucaena leucocephala), Acacia sp. dan
lain-lain merupakan jenis-jenis yang disarankan untuk tujuan
peningkatan kesuburan N di dalam ekosistem agroforestri.
Selain N, unsur P (fosfor) juga dibutuhkan tanaman dalam
jumlah besar untuk pertumbuhannya. Sama dengan pupuk N,
pupuk P yang diproduksi oleh pabrik juga tidak mudah diperoleh
atau harganya relatif mahal. Untuk itulah, kebutuhan akan unsur
P ini antara lain dipenuhi melalui kerjasama simbiotik antara
tanaman dengan jamur mikoriza. Seperti halnya bakteri Rhizobium,
jamur mikoriza tumbuh pada bagian akar tanaman, dan membantu
penyerapan P dari dalam tanah. Banyak jenis tanaman kayu tropika
secara alami bersimbiosis dengan mikoriza, termasuk meranti
(Shorea spp.) di hutan alam atau melinjo (Gnetum gnemon) yang
biasa tumbuh di pekarangan masyarakat.

21
Dengan adanya bakteri (Rhizobium sp.) dan jamur mikoriza,
maka tanaman-tanaman tropika bisa mendapatkan cukup pasokan
unsur N dan P. Mekanisme penyerapan atau pengikatan unsur
melalui simbiosis tersebut umumnya melalui jaringan akar, dan
setelah masuk ke dalam sistem metabolisme tanaman, maka
jaringan tanaman akan diperkaya dengan unsur tersebut. Jika
daun tanaman tersebut jatuh ke permukaan tanah sebagai seresah,
maka tanah tersebut akan mendapatkan pasokan biomasa yang
mengandung lebih banyak unsur tersebut dibandingkan seresah
tanaman umumnya. Oleh sebab itu, siklus unsur hara N dan P di
daerah tropika ini sangat tergantung kepada terjadinya simbiosis
dengan kedua kelompok mikrobia tersebut. Dengan habitusnya
yang besar, pohon-pohonan yang bersimbiosis dengan kedua
mikrobia tersebut akan memproduksi seresah dalam jumlah
besar sepanjang waktu, lebih besar daripada jenis-jenis tanaman
semusim.

2.3 TEKNIK PEMILIHAN JENIS PRODUKTIF

2.3.1 Komponen utama dalam agroforestri


Dua kunci sukses dalam bisnis berbasis pertanian atau
farming system, baik bidang pertanian maupun kehutanan adalah:
(1) ketepatan pemilihan jenis, dan (2) keberhasilan pengaturan
pola tanam (Budiadi et al. 2021). Ketepatan penentuan jenis
dikembangkan oleh dua cabang ilmu pertanian yang terpisah,
yaitu agronomi untuk tanaman-tanaman pertanian (seasonal crop)
dan silvikultur untuk tanaman-tanaman kehutanan (perennial
tree). Meskipun terpisah, namun kedua cabang ilmu tersebut
menggunakan konsep yang sama dalam pemilihan jenis yaitu
site-species matching yang artinya mencocok-cocokkan kondisi
tapak dengan jenis tanaman yang tepat. Dua cabang ilmu budidaya
tersebut berkembang sangat maju, namun cenderung mengarah
kepada pengelolaan sistem monokultur yang dianggap lebih
produktif dan mudah dikelola (manageable), dibandingkan sistem
campuran. Dengan kata lain, usaha pertanian dan kehutanan
dilaksanakan secara terpisah (segregasi), bukan terpadu (integrasi).

22
Dalam hal pemilihan jenis tanaman kayu-kayuan, maka cara
pandang agronomi dan silvikultur agak berbeda dengan agroforestri.
Dalam agronomi dan silvikultur, ekosistem disederhanakan agar
mudah dikelola, sedangkan dalam agroforestri justru ekosistem
yang semakin kompleks semakin baik, sejauh bisa dikelola oleh
manusia. Oleh sebab itu untuk jenis kayu pun dipilih dari jenis-jenis
yang bisa berinteraksi positif (komplementer atau fasilitatif), dan
menghindarkan yang menyebabkan interaksi negatif (kompetisi).
Dalam hal ini, dukungan ilmu tentang pengenalan atau fenologi
jenis dan karakter fisiologis tanaman sangat penting, karena
akan memastikan jenis-jenis tersebut cocok pada tapak sekaligus
bisa dicampur (kompatibel). Jika hal ini tidak dipahami dalam
pemilihan dan pencampuran jenis, alih-alih meningkatkan
produktivitas malahan akan menurunkan hasil budidaya.
Agroforestri mengarah kepada penyatuan usaha budidaya
kehutanan dan pertanian, baik pada level kecil (plot) atau pada
level luas (lanskap). Di sinilah tantangan bagi para ahli budidaya,
sekaligus peluang untuk peningkatan produktivitas lahan, yang
mungkin di luar ranah para ahli agronomi atau silvikultur. Seperti
diuraikan di atas, kondisi menguntungkan di wilayah tropika harus
dimanfaatkan dengan baik dalam usaha pertanian ini, dengan
mengoptimalkan ruang tumbuh dan mengefisienkan penggunaan
sumberdaya. Dalam sistem campuran ini, maka jenis-jenis pohon
memerankan sebagai komponen utama yang akan menjadi kunci
pemeliharaan produktivitas dan kelestarian ekosistem tersebut.

2.3.2 Multi-purpose tree species (MPTS) dan Hasil hutan non-kayu


(HHNK)
Jika di dalam silvikultur konvensional pengelolaan tegakan
diarahkan untuk produksi kayu yang cenderung eksploitatif,
agroforestri mengarah kepada pemanfaatan produk selain kayu
yang lebih ramah lingkungan, yang dikenal dengan hasil hutan
non kayu (HHNK) atau non timber forest products (NTFPs).
Selain berbasis produknya, jenis-jenis kayu dalam agroforestri
diklasifikasikan berdasarkan pada manfaat atau fungsinya, yang
dikenal dengan multi purpose tree species (MPTS) atau multi purpose

23
trees and shrubs (MPTs) (Nair 1993). Pengertian MPTS lebih luas
daripada NTFP, namun keduanya sebenarnya bersesuaian. Selain
itu, MPTS tidak hanya dikelompokkan berdasarkan produk fisik
yang bisa dipanen namun juga fungsi-fungsi lainnya, termasuk
fungsi ekologi. Di sinilah sebenarnya cakupan jenis-jenis tanaman
kayu pada agroforestri lebih luas dan tidak hanya kayu (beyond
timber) dibandingkan pada silvikultur.
Pilihan jenis untuk agroforestri di wilayah tropika sangat
banyak. Untuk jenis-jenis NTFP pilihan jenis bisa dikelompokkan
lebih detail sebagai berikut:
a. Getah/resin, misalnya damar, pinus, karet, jelutung.
b. Buah (fruit) atau biji-bijian (nut), misalnya durian, nangka,
cempedak, rambutan, tengkawang, kenari, jambu mete,
kemiri, nyamplung dll.
c. Bunga, misalnya kenanga untuk minyak kenanga.
d. Daun, misalnya kayu putih (untuk minyak atsiri), lamtoro
(untuk pakan ternak).
e. Kulit kayu, misalnya kayu manis.
f. Bagian cabang dan kayu untuk kayu bakar dan kayu energi.
g. Bagian dari batang pokok untuk produksi gaharu atau minyak
cendana, tepung sagu, batang dan serat bambu, rotan dll.
2.3.3 Teknik Pengaturan Pola Tanam
Dalam agroforestri, selain masalah pemilihan jenis dan
ketepatan kombinasinya, tahap selanjutnya dalam pengelolaan
adalah pengaturan pola tanam. Teknik yang tepat dalam pengaturan
pola tanam akan menentukan keberhasilan pemanfaatan
sumberdaya oleh masing-masing komponen secara optimal.
Dalam hal pengaturan pola tanam, para ahli menggunakan
istilah pengaturan komponen, yakni keberadaan masing-masing
komponen dalam ekosistem baik secara keruangan (spatial
arrangement) maupun secara pengaturan waktu (seqeuential atau
temporal arrangement) (MacDicken & Vergara 1990). Kedua macam
pengaturan komponen ini bisa menjadi titik kritis keberhasilan
pengelolaan agroforestri khususnya di daerah tropis di mana
sumberdaya tersedia, jenis pilihan tanaman cukup banyak dengan

24
berbagai kemampuan adaptasi dalam bentuk campuran. Dalam hal
ini, seorang pengelola sistem agroforestri harus mengenal dengan
baik karakteristik fenologi dan pertumbuhan tanaman, sehingga
bekal ilmu atau pengetahuan dasar tentang taksonomi dan fisiologi
tanaman perlu diperkuat. Misalnya tentang taksonomi, seorang
pengelola harus memastikan jenis atau varietas tanaman yang
ditanamnya, di mana tuntutan ini lebih besar dibandingkan kalau
dia mengelola sistem monokultur. Demikian juga tentang fisiologi
tanaman, yang akan menentukan adaptasi tanaman terhadap sistem
campuran, misalnya terkait dengan toleransi tanaman terhadap
naungan. Hal ini tentu tidak menjadi pertimbangan penting
pada sistem monokultur. Tentang dukungan ilmu-ilmu dasar ini
terhadap ilmu dan teknologi agroforestri perlu dirumuskan lebih
lanjut agar meningkatkan kualitas resource sharing yang terjadi.
Kalau tidak, alir-alih peningkatan malah penurunan produktivitas
yang terjadi, karena kurangnya pemahaman tentang karakter
species, varietas, pola tanam dan interaksi antarkomponen.

2.3.4. Spatial arrangement: horizontal and vertical arrangement


Ketersediaan lahan menjadi prasyarat utama untuk dikelola
dalam usaha berbasis pertanian. Namun demikian, lahan budidaya
ini semakin terbatas seiring dengan pertumbuhan penduduk. Pola-
pola agroforestri berkembang pada kondisi di mana penduduk
semakin padat dan lahan budidaya semakin terbatas. Berdasarkan
ketersediaan lahan, maka pengaturan pola tanam ini terbagi
menjadi tiga tingkatan yaitu:
a. Tingkat yang paling sederhana, yakni jika lahan masih tersedia
luas, maka pengaturan pola tanaman lebih bersifat horizontal
(horizontal arrangement), yakni dengan pengaturan jarak
antar tanaman. Keberhasilan pengaturan pola ini tidak terkait
dengan interaksi antarkomponen, karena pada dasarnya
semua komponen berada pada ruang tumbuh yang optimal
dan intensitas kompetisi relatif kecil. Pola semacam ini
biasanya tergambar pada sistem-sistem monokultur yang
intensif, seperti pertanaman padi atau jagung, kebun kelapa
sawit atau hutan tanaman Acacia mangium.

25
b. Tingkat menengah, yakni jika lahan budidaya sudah mulai
terbatas, maka pola tanam horizontal ditingkatkan dengan
pertimbangan pengaturan kombinasi jenis. Dengan
pengaturan ini akan terbentuk pola agroforestri sederhana,
di mana interaksi negatif antarkomponen akan terjadi pada
tingkat ringan hingga menengah. Kompetisi dapat dihindari
dengan pengaturan tajuk secara horizontal, sehingga jika tidak
terjadi persinggungan tajuk dan bisa dipastikan tidak terjadi
kompetisi. Pengaturan pada level ini memenuhi kebutuhan
produksi yang lebih beragam dibandingkan pola monokultur.
Dalam konsep umum agoforestri, pola tanam pada tingkat
menengah ini digambarkan sebagai representasi pola-pola
tanam yang paling umum (MacDicken & Vergara 1990),
dengan berdasarkan pengaturan komponen yang terdiri dari:
1) Trees along border (TAB), adalah pola agroforestri
sederhana di mana pohon-pohonan menjadi pembatas
lahan budidaya, atau tersebar pada bagian-bagian tepi
lahan.
2) Alternate rows, adalah pola agroforestri sederhana, di
mana pohon-pohonan ditanam pada baris-baris yang
teratur secara bergantian.
3) Alternate strips atau alley cropping, adalah pola agroforestri
dengan menanam dua atau lebih baris pohon-pohonan
secara bergantian dengan lahan untuk pertanian. Karena
adanya dua baris atau lebih pohon-pohonan itu, maka
dalam perkembangannya membentuk lorong-lorong
lahan pertanian, sehingga disebut pola lorong.
4) Random mixture adalah pola agroforestri sederhana
yang pola tanamnya tidak secara khusus diatur, sehingga
merupakan kombinasi tidak beraturan antara komponen
pohon dengan komponen lainnya.
c. Tingkat komplek, yakni jika lahan budidaya sangat terbatas,
sehingga dibutuhkan pengaturan secara vertikal (vertical
arrangement). Pada tingkat ini dibutuhkan banyak
pengetahuan dasar tentang karakteristik species tanaman,
karena pada saat ditanam akan diatur tajuk masing-masing

26
mengisi lapisan tajuk atau stratum yang beragam, dari atas
hingga permukaan tanah. Pohon-pohon yang besar dan
tinggi mengisi lapisan tajuk teratas, selanjutnya jenis pohon
yang relatif tahan terhadap naungan ringan mengisi lapisan
di bawahnya dan seterusnya, sekurang-kurangnya tiga lapisan
tajuk. Secara keilmuan, pola komplek ini bisa diterapkan
karena memang sumberdaya utama yakni energi dari cahaya
matahari tidak terbatas, dan pilihan jenis dengan berbagai
karakteristiknya tersedia, khususnya di daerah tropis.
2.3.5 Pentingnya penerapan penataan secara sekuen atau
simultan
Dalam usaha untuk pemanfaatan sumberdaya yang efisien,
maka pengaturan komponen agroforestri secara spasial saja
tidak cukup. Pengaturan kehadiran atau ketidakhadiran suatu
komponen oleh pengelola bisa dilakukan secara sengaja sepanjang
waktu pengelolaan lahan, baik secara sekuen (sequential) atau
simultan (simultanous). Dengan mempertimbangkan persyaratan
hidup masing-masing komponen terhadap sumberdaya yang
tersedia, maka satu komponen bisa ditanam terlebih dahulu
dan komponen yang lainnya bisa menyusul. Jika model-model
tersebut bisa dikembangkan secara lebih baik dan menyesuaikan
pertimbangan kebutuhan petani sendiri, maka akan terbentuk
struktur-struktur tegakan yang komplek dalam hal jumlah jenis
maupun stratum tajuknya pada setiap unit lahan. Contoh model
pengaturan tata waktu sepanjang waktu berdasarkan tahun
penanaman dan pemanenan hasil ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Model-model seperti tersebut perlu dibuat simulasi dengan alat
bantu komputerisasi yang baik, dengan input berbagai informasi
persyaratan hidup tanaman, kondisi tanah dan iklim di tapak,
intensitas pengelolaan yang diinginkan, termasuk pertimbangan
sosial lainnya. Di lapangan, mestinya dikembangkan demonstration
plot yang beragam dan dipantau kondisinya dalam jangka waktu
yang lama.

27
28
-Tahun ke
Jenis Tanaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sawit √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sengon √ √ √ √ √
Jengkol √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Petai √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kopi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Jagung √ √ √
Jahe √ √ √ √ √
Garut √ √ √ √ √ √ √ √ √
Porang √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kapulaga √ √ √ √ √ √ √ √
Keterangan:

Tanam
√ Panen
Gambar 2.3. Contoh model pengaturan budidaya intensif tanaman agroforestri sepanjang waktu
2.4 MASA DEPAN AGROFORESTRI TROPIKA

2.4.1 Agroforestri intensif


Agroforestri telah berkembang seiring dengan peradaban
manusia dalam memanfaatkan lahan, yakni diawali ketika manusia
berubah tradisi dari bertani ke bercocok tanam (Nair 1993).
Selain sejarahnya yang sudah panjang, agroforestri merupakan
sistem pertanaman yang paling dinamis karena perkembangannya
dipengaruhi oleh, khususnya, perkembangan sosial. Namun
demikian, ilmu agroforestri sendiri baru berkembang sejak
tahun 1970-an, sehingga secara umum sistem agroforestri yang
berkembang di masyarakat adalah sistem-sistem tradisional.
Artinya, sistem tersebut sudah menjadi bagian hidup masyarakat
petani dengan nilai adoptabilitas yang tinggi, namun masih
menggunakan pendekatan-pendekatan tradisional dalam
pengelolaannya. Dalam perkembangannya, para pemerhati
dan ilmuwan agroforestri berkomitmen untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan agroforestri pada berbagai wilayah dengan
pendekatan keilmuan yang lebih kuat, sehingga akan meningkatkan
manfaat bagi masyarakat atau pengelolanya. Tahap ini menandai
berkembangnya agroforestri modern, yaitu pengayaan terhadap
sistem-sistem agroforestri eksisting dengan pendekatan keilmuan
dan pemanfaatan teknologi yang lebih baik.
Salah satu agenda agroforestri modern adalah penggabungan
(integrasi) pendekatan kehutanan (budidaya hutan atau silvikultur)
dengan pendekatan pertanian (budidaya pertanian atau agronomi)
(Gambar 2.4.). Di bidang kehutanan telah dikembangkan
teknik silvikultur intensif, yang merupakan usaha peningkatan
produktivitas tanaman dengan pengembangan bening unggul,
manipulasi tempat tumbuh dan perlindungan terhadap gangguan
(hama-penyakit) (Sukotjo 2009; Pinno et al. 2021). Teknik
silvikultur intensif telah berkembang dalam beberapa dekade
terakhir, namun orientasi usaha kehutanan adalah untuk
khususnya produksi kayu pertukangan (timber). Ke depannya,
perlu dikembangkan silvikultur intensif untuk hasil-hasil bukan
kayu (HHBK) dan produksi lainnya dari tanaman kayu pada

29
sistem agroforestri. Silvikultur intensif pada sistem agroforestri
kemungkinan berbeda dengan pada sistem kehutanan, mengingat
perbedaan jenis komoditas dan orientasi pengelolaan.

Gambar 2.4. Skema pendekatan agroforestri intensif dalam pengelolaan lahan


dengan penggabungan (integrasi) teknis silvikultur intensi dan panca usaha
pertanian (Budiadi et al. 2021)

Di bidang pertanian, sudah dikenal sejak lama usaha


peningkatan produktivitas lahan dengan panca usaha pertanian,
yang meliputi pengembangan benih unggul, pengolahan tanah,
pemupukan, pengendalian hama-penyakit dan irigasi. Penerapan
panca usaha pertanian juga perlu dilakukan untuk tanaman
semusim pada sistem agroforestri, yang kemungkinan juga
membutuhkan penyesuaian yang berbeda karena jenis komoditas
dan orientasi produksi yang berbeda pula. Sebagian besar tanaman
semusim pada sistem agroforestri adalah tumbuhan bawah,
yang berbeda kebutuhan akan cahaya matahari dengan tanaman
semusim yang sudah dikenal, misalnya padi, jagung dan kedelai
(pajale). Sistem agroforestri juga tidak mengenal irigasi sebagai
persyaratan budidaya, karena biasanya dikembangkan pada lahan-
lahan kering (upland), lereng dan kondisi fisik lainnya yang berbeda
dengan usaha pertanian intensif.
Pengembangan agroforestri modern semestinya menganut
penggabungan silvikultur intensif dan agronomi intensif, yang
bisa dikenal dengan istilah agroforestri intensif (Budiadi et al.

30
2021). Agroforestri intensif membutuhkan pendekatan keilmuan
yang berbeda dengan silvikultur atau agronomi, namun dalam
beberapa hal kemungkinan sama hanya memerlukan penyesuaian-
penyesuaian.

2.4.2 Skema perkembangan sistem Agroforestri di daerah tropis


Persoalan perkembangan sistem agroforestri tropika juga
dijelaskan oleh Elevitch & Wilkinson (2000), dengan menunjukkan
bahwa seiring dengan perkembangan penduduk dan keterbatasan
lahan, maka sistem-sistem pengelolaan lahan akan berubah dari
sederhana menjadi komplek, dari monokultur menjadi multi-
species, dan dari strata tunggal menjadi multi-strata.
Single species tree crops )e.g. Tree crops with single understory Multiple tree crops with Multi-species, multi-storied system
forestry, orchard, etc. crops understory crop

Gambar 2.5. Perkembangan sistem pemanfaatan lahan di Asia Pasifik (sumber


Elevitch & Wilkinson 2000)

Perkembangan sistem pemanfaatan lahan yang ditunjukkan


oleh Gambar 2.5. tidak bisa dihindari. Pada dasarnya, semakin
kompleks sistem agroforestri, maka akan semakin baik dipandang
dari segi ekologi, ekonomi dan sosial. Persyaratan pengelolaan
agroforestri komplek adalah dikuasainya sistem budidaya intensif,
mulai dari pengenalan persyaratan tumbuh tanaman, pengaturan
pola tanam dll., serta tersedianya pasar komoditas yang beragam.

2.5 PELUANG PENGEMBANGAN AGROFORESTRI SAWIT


Beberapa teori dan konsep yang diuraikan di atas,
dipergunakan untuk menguji isu atau wacana tentang apakah kelapa
sawit sebagai tanaman primadona daerah topis bisa dikelola dalam
sistem agroforestri. Berbagai contoh pengembangan agroforestri
sawit telah dikembangkan oleh para petani di berbagai daerah dan

31
negara. Di Indonesia telah dikembangkan secara tradisional oleh
petani di Sumatra (misalnya di Jambi dan Riau) dan Kalimantan
(khususnya Kalimantan Tengah), maupun dalam bentuk penelitian
ilmiah di Jambi (Donfak et al. 2011) dan negara-negara lainnya
(misalnya Ashraf et al. 2018, Hofner 2021).

2.5.1 Menempatkan kelapa sawit sebagai tanaman pertanian


(cash)-crop component
Agroforestri kelapa sawit merupakan sistem pertanaman
yang paling banyak disebut dalam publikasi ilmiah dalam tiga
tahun terakhir, selain agroforestri karet (Budiadi et al. 2021). Hal
ini tidak terlepas dari peluang pemanfaatan lahan secara efisien
untuk multi kepentingan, khususnya terkait dengan peningkatan
nilai lahan untuk kepentingan ekonomi masyarakat.
Ada banyak informasi tentang bagaimana petani atau
masyarakat mengembangkan agroforestri sawit secara mandiri
pada lahan bekas hutan sekunder, dengan tingkat adoptabilitas
yang tinggi, karena hasil panen yang menjanjikan nilai ekonomi
yang tinggi dibanding tanaman lain. Budidaya sawit monokultur
membutuhkan biaya dan perhatian yang besar, sehingga jika terjadi
gangguan atau kerusakan ekosistem, maka dampaknya sangat besar
(Ajudin 2020). Untuk mengantisipasi dampak-dampak ekologis,
disarankan untuk mengintervensi kebun sawit monokultur yang
sudah dewasa dengan jenis-jenis tanaman produktif lainnya,
seperti jengkol, petai, durian, karet (Zemp et al. 2019) menyerupai
ekosistem hutan campuran.
Secara alami, kelapa sawit (Elaeis guineesis Jacq) sebenarnya
bisa beradaptasi dengan sistem campuran dan mengisi salah satu
stratum tajuk hutan alam. Selain itu, meskipun tergolong Palmae,
kelapa sawit bisa tumbuh optimal pada kondisi pencahayaan
80% (Jaafar & Ibrahim 2012), artinya justru bisa hidup lebih
baik di bawah naungan ringan. Kondisi kelapa sawit saat ini
yang sudah mengalami proses lanjut dalam domestikasi (highly
domisticated) menyebabkan seolah-olah pertanaman kelapa sawit
harus monokultur. Dalam konteks agroforestri, maka kelapa sawit
ditempatkan sebagai tanaman musiman (cash-crop component),

32
bukan sebagai pohon. Hal ini sebenarnya terkait dengan peran
kelapa sawit yang kurang baik terhadap fungsi-fungsi ekologi,
sehingga pengayaan dengan tanaman kayu-kayuan (hutan) menjadi
prasyarat untuk terbentuknya ekosistem agroforestri kelapa sawit.
Tentang manfaat-manfaat ekologi pertanaman campuran ini
disampaikan oleh para petani agroforestri sawit, khususnya dalam
hal perbaikan kondisi iklim mikro di bawah tegakan.

2.5.2 Agroforestri sawit-meranti, sebuah pembelajaran penting


dari keputusan yang ekstrim
Berbagai contoh agroforestri sawit telah berkembang
di masyarakat petani, namun agroforestri sawit-meranti yang
dikelola anggota Kelompok Tani Talang Panjang Lestari, di Desa
Penghidupan, Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Kabupaten Kampar,
Riau adalah contoh ekstrim dan pilihan sulit, namun ternyata
petani sawit berhasil mempraktekkan, bahkan mengambil banyak
pelajaran. Biasanya pilihan yang moderat untuk tanaman kayu
adalah adalah jenis-jenis MPTS atau HHBK (buah-buahan seperti
durian, jengkol atau petani) atau pohon-pohonan fast growing
seperti sengon. Pilihan-pilihan MPTS atau HHBK sebenarnya
sangat masuk akal, karena petani umumnya berpikir tentang hasil
jangka pendek dan komoditas yang mudah diserap pasar. Namun
demikian, petani di Sumatra (khususnya di Jambi dan Riau)
memiliki pengalaman tradisional dengan tanaman meranti sebagai
sumber bahan baku kayu pertukangan. Pengalaman tradisional
itu mempengaruhi persepsi mereka terhadap pohon-pohonan,
misalnya persepsi tentang pemenuhan kebutuhan kayu konstruksi
di masa depan yang semakin langka, karena hutan alam semakin
rusak.
Agroforestri sawit-meranti di Desa Penghidupan mungkin
tidak didesain dengan pola pengaturan spasial dan temporal
tertentu, bahkan bisa dikatakan terjadi tanpa sengaja. Namun
pikiran terkait dengan jenis alternatif untuk memenuhi kebutuhan
kayu itu menjadi awal mula terbangunnya sistem sawit-meranti,
gayung bersambut dengan program rehabilitasi lahan di bawah
BPDAS Indragiri Rokan waktu itu. Kira-kira tahun 2004-2005

33
BPDAS Indragiri Rokan membagikan bibit meranti (antara lain
jenis Shorea platyclados dan S. leprosula) kepada petani. Di wilayah
desa tersebut, kemudian petani menanam bibit meranti di bawah
kebun sawit umur 7 tahun. Petani menerapkan pola tanam sisipan,
yaitu menanam meranti pada jalur kotor dan pada titik-titik
pertemuan tajuk di antara empat batang kelapa sawit, sehingga
mengisi ruang spasial yang relatif kosong. Meranti tumbuh baik
dan cepat, karena sifatnya yang toleran (atau gap oppotunist), dan
berada pada kondisi yang tepat di bawah naungan sawit umur
7 tahun. Beberapa pelajaran dan pengalaman inilah yang perlu
dibukukan dengan baik dalam perencanaan agroforestri sawit,
yakni:
a. Pemilihan jenis kayu yang tepat, antara lain meranti (pun
harus dipastikan nama speciesnya misalnya S. leprosula atau
S. platyclados) dengan sifat toleransinya terhadap naungan
b. Pola tanam sisipan justru menguntungkan tanaman meranti
yang membutuhkan naungan sementara
c. Tata waktu penanaman, dalam hal ini pada umur sawit 7-8
tahun dianggap yang paling tepat. Pada umur tersebut, sawit
sudah berproduksi dan sudah memberikan cukup naungan
untuk bibit meranti. Belum ada contoh kasus tentang tata
waktu yang tepat untuk jenis lainnya.

Hingga saat ini, agroforestri sawit-meranti Desa Penghidupan


dianggap praktek baik yang berhasil meningkatkan produktivitas
lahan, sekaligus memberikan harapan pengelolaan kebun kelapa
sawit yang lebih ramah lingkungan dan prospektif. Sistem sawit-
meranti ini dipraktekkan pada level tegakan, yang dulunya banyak
diragukan bahwa sawit bisa dicampur dan berinteraksi langsung
dengan pohon-pohonan. Namun demikian, bukan kompetisi yang
terjadi malah hubungan yang fasilitatif antara kedua komponen.
Dari kacamata ekologi, sawit-meranti adalah sebuah lompatan yang
berdampak besar pada level tapak maupun lanskap.
Setelah 15 tahun berjalan (tahun 2022), petani sawit
mendapatkan pelajaran penting ketahanan ekonomi dengan

34
keberadaan meranti dari kebun sawitnya. Awalnya tidak banyak
yang berpikir bahwa meranti akan menjadi penopang hidup petani
sawit, khususnya pada saatnya akan dilakukan replanting sawit.
Pada saat sawit berumur 25 tahun dan sudah tidak produktif, maka
replanting akan dilakukan dengan menebang dan membongkar
tanaman, menyiapkan lahan kembali, membeli bibit, menanam
dan memelihara hingga umur 3-5 tahun baru mulai berbuah. Biaya
replanting kelapa sawit rata-rata adalah Rp 50.000.000 per ha,
dan selama sawit belum berproduksi kembali, maka petani kecil/
smallholder akan kesulitan untuk bertahan hidup. Hasil tebangan
meranti pada saat pembongkaran sawit akan menjadi penopang
hidup petani hingga sawit berproduksi kembali, termasuk akan
menjadi sumber modal utama biaya replanting yang relatif besar.
Perkiraan nilai kayu meranti pada umur 17-20 tahun dengan
diameter di atas 40 cm dipasarkan dengan harga Rp 3.500.000 per
m3, akan sangat signifikan untuk menopang kehidupan petani
pada periode replanting tersebut.

35
Gambar 2.6. Tegakan sawit-meranti di Desa Penghidupan, Kecamatan Kampar
Kiri Tengah, Kabupaten Kampar, Riau. (a) Kondisi tegakan campuran yang baik
dan optimal, (b) Pohon meranti umur 18 tahun dengan diameter rata-rata di
atas 40 cm, (c) Pohon meranti yang tumbuh meliuk-liuk menunjukkan bahwa
posisi penanaman awal yang kurang tepat pada titik ketersediaan cahaya
matahari.

2.5.3 Masa depan agroforestri sawit-meranti


Di bawah ini adalah beberapa catatan tentang agroforestri
sawit-meranti, yang berbasis pengalaman petani, namun
membutuhkan kajian ilmiah untuk peningkatan kualitas
pengelolaan di masa mendatang.
a, Persyaratan agar tanaman kelapa sawit bisa dicampur dengan
pohon-pohonan lainnya adalah bahwa benih sawit harus
unggul. Jika tidak demikian, pada umur 18 tahun produksi
buah sawit akan menurun karena kurang bisa bertahan di
bawah tajuk meranti.

36
Gambar 2.7. Posisi pohon meranti dan sebaran tajuk sawit yang baik, diawali
dengan penggunaan bibit unggul sawit dan pemilihan jenis meranti yang
sesuai, serta posisi dan tata waktu penanaman yang tepat

b. Untuk sementara, jenis meranti terbaik adalah S. platyclados


dan S. leprosula, karena toleransinya dianggap paling sesuai.
Mungkin jika menggunakan jenis meranti lain, bahkan
jenis pohon yang lain, akan menyebabkan perlakuan, tata
waktu, pola tanam yang berbeda, dan akan menghasilkan
produktivitas lahan yang berbeda pula. Pemilihan jenis, pola

37
tanam, tata waktu dan perlakuan-perlakuan yang tepat untuk
setiap model agroforestri sawit mungkin bisa beragam, namun
ada hal-hal yang bersifat umum yang bisa menjadi sumber
pembelajaran dan objek kajian di masa mendatang.
c Dugaan bahwa pohon meranti umur empat tahun sudah
membentuk iklim mikro (khususnya kelembaban tanah dan
udara) di bawah tegakan, dan membantu produktivitas buah
sawit perlu dibuktikan dengan pengukuran dan kajian ilmiah.
Selain itu diduga terjadi pemompaan air (water pumping)
meranti yang meningkatkan kelembaban tanah kebun sawit
yang biasanya kering. Pada musim kemarau produksi buah
sawit pada sistem monokultur menurun, sedangkan pada
agroforestri sawit-meranti tetap bertahan produktivitasnya.
Hasil kajian di Jambi menunjukkan bahwa agroforestri sawit
bisa menurunkan suhu permukaan tanah (Donfak et al. 2011),
yang membuktikan adanya perbaikan iklim mikro.
d. Proses pemompaan nutrisi (nutrient pumping) dan berbagi
nutrisi (nutrient sharing) antara tanaman meranti dan sawit.
Tentang hal ini sudah bisa dibuktikan dengan kajian ilmiah
tentang produksi seresah meranti (Gambar 2.8), dekomposisi
dan siklus nutrisi. Akar meranti yang yang dalam dan luas
berfungsi memompa nutrisi (khususnya unsur mikro) dan
menjatuhkan seresah ke permukaan tanah, sedangkan pohon
meranti memperoleh manfaat pupuk yang diberikan kepada
sawit, namun tercuci karena tidak terserap. Diketahui pula
bahwa sebagian besar pohon meranti berasosiasi dengan
jamur mikoriza pada bagian akar, sehingga bisa meningkatkan
ketersediaan unsur P di dalam ekosistem. P merupakan
salah satu unsur makro yang ketersediaannya terbatas
di tanah-tanah tropika. Dengan demikian, keberadaan
meranti pada kebun agroforestri sawit bisa meningkatkan
efisiensi penggunaan nutrisi dalam ekosistem. Selain itu
didukung oleh temuan bahwa populasi dan biodiversitas agen
dekomposer yang terdiri dari makrofauna tanah meningkat
pada sistem agroforestri sawit (Ashraf et al. 2018), sehingga
bisa meningkatkan efisiensi siklus nutrisi.

38
Gambar 2.8. Produksi seresah meranti yang relatif besar bisa menjadi
penopang siklus nutrisi yang baik di bawah kebun kelapa sawit

e. Praktek pemanfaatan pelepah sawit pada jalur kotor di mana


tanaman meranti ditanam (Gambar 2.9), perlu mendapatkan
perhatian. Pelepah dan daun sawit kemungkinan cukup
lama terdekomposisi, karena nila C/N rasio yang tinggi.
Dalam kondisi ini, aktivitas mikroba dekomposer justru
akan merugikan, karena selama perkembang biakannya
membutuhkan nutrisi yang sebenarnya tersedia untuk
tanaman. Proses ini dikenal dengan istilah imobilisasi. Untuk
itu, perlu dipertimbangkan untuk mengatur penimbunan
pelepah sawit dengan baik dan tidak langsung berada di
pangkal batang meranti, atau akan lebih baik dengan teknologi
pengolahan seresah menjadi pupuk organik.

39
Gambar 2.9. Timbunan pelepah sawit pada pangkal pohon meranti,
kemungkinan kurang menguntungkan karena akan menyebabkan kekurangan
nutrisi tertentu karena C/N rasio bahan organik tersebut yang masih tinggi

f. Pada umur 16 tahun meranti membentuk stratum tajuk


teratas, dan tajuk sawit di bawahnya. Penataan strata tajuk
sangat penting agar resource sharing berjalan dengan baik, jadi
tidak acak. Untuk selanjutnya, perlu dipikirkan intensifikasi
pengelolaan dengan menambah stratum tajuk di bawah
sawit, misalnya kopi dan tumbuhan bawah. Legum cover
crop sudah dikenal di kebun sawit, yang memungkinkan
peningkatan kualitas ekosistem dan siklus nutrisi yang lebih
baik, khususnya untuk pasokan unsur N ke tanah.
g. Tegakan sawit-meranti di Desa Penghidupan adalah contoh
praktek baik yang dianggap berhasil. Namun demikian, kondisi
kerapatan tanaman meranti tidak sempurna, karena persen
hidup meranti hanya sekitar 40% saja. Apakah tegakan perlu
disempurnakan? Sepertinya dengan mempertimbangkan
ukuran tajuk meranti yang cukup dominan di atas sawit, maka
40% meranti berhasil bisa dianggap cukup asalkan sebarannya
merata. Dalam hal ini, penyempurnaan tegakan bisa dilakukan

40
dengan memperkaya jenis-jenis produktif di bawah tajuk
kelapa sawit, misalnya kopi, atau tumbuhan bawah bernilai
ekonomi tinggi seperti kelompok umbi-umbian dan herbal.
Peningkatan intensitas pengelolaan agroforestri menjadi
peluang dan tantang masa depan agroforestri sawit yang lebih
produktif, lestari dan adaptable.

DAFTAR PUSTAKA
Ajudin RS (2020) Taksiran nilai kerugian ekonomi kehilangan
produktivitas akibat konflik antara manusia dan gajah
Sumatra di lahan pertanian lanskap Bukit Tigapuluh.
Skripsi S1 Fakultas Kehutanan UGM.
Ashraf M, Zulkifli R, Sanusi R, Tohiran KA, Terhem R, Moslim R,
Norhisham AR, Ashton-Butt A, Azhar B (2018) Alley-
cropping system can boost arthropod biodiversity and
ecosystem functions in oil
Ashton MS and Ducey MJ (2000) Agroforestry Systems as
Successional Analogs to Native Forests. In: Ashton
M.S. and Montagnini F. _eds_, The Silvicultural Basis
for Agroforestry Systems. CRC Press LLC, USA, pp.
207 – 228
Begon M, Harper JL and Townsend CR (1996) Ecology: Individuals,
Populations and Communities; Third Edition. Blackwell
Science Ltd, USA. 1068 pp
B er tsch-Ho ermann B, Egger C, Gaub e V, Gingrich S
(2021) Agroforestry trade-offs between biomass
provision and aboveground carbon sequestration in the
alpine Eisenwurzen region, Austria. Reg Environ Change.
Vol 21, 77.
Bücking H, Liepold E, and Ambilwade P (2012) The Role of the
Mycorrhizal Symbiosis in Nutrient Uptake of Plants and
the Regulatory Mechanisms Underlying These Transport
Processes. In: Plant Science. Eds Dhal NK and Sahu SC.
IntechOpen: London.

41
Budiadi, Jihad AN, and Lestari LD (2021) An Overview and Future
Outlook of Indonesian Agroforestri: a Bibliographic and
Literature Review E3S Web of Conferences 305, 07002
Donfack LS Roll A, Ells aßer F, Ehbrecht M, Irawan B, Holscher
D, Knohl A, Kreft H, Siahaan EJ, Sundawati L, Stieglerf
C, Zemp DC (2021) Microclimate and land surface
temperature in a biodiversity enriched oil palm
plantation. Forest Ecology and Management 497 (2021)
119480
Elevitch CR, Wilkonson KM (2000) Agroforestry Guides for Pacific
Islands. Permanent Agriculture Resources. 248 pp
Erik Hoffner (2021) Can palm oil be grown sustainably? Agroforestri
research suggests it can, and without chemicals. https://
news.mongabay.com/2021/03/in-brazil-palm-oil-is-
being-grown-sustainably-via-agroforestri/ diakses 15
April 2022
Ewel JJ and Hiremath AJ. (1998) Nutrient Use Efficiency and the
Management of Degraded Lands In Ecology Today:
An Anthology of Contemporary Ecological Research.
Eds: Gopal B, Pathak PS, and Saxena KG. International
Scientific Publications: New Delhi.
Food and Agriculture Organization of the United Nations,
International Fund for Agricultural Development,
& World Food Programme (2015). The state of food
insecurity in the world 2015. Meeting the 2015
International hunger targets: Taking stock of uneven
progress. Rome, Italy: FAO.
Gebrewahid Y, Teka K, Gebre-Egziabhier T, Tewolde-Berhan S,
Birhane E, Eyasu G, Meresa E. (2019) Dispersed trees
on smallholder farms enhance soil fertility in semi-arid
Ethiopia. Ecological Processes, Vol 8 (38).
Hiremath AJ and Ewel JJ. (2001) Ecosystem Nutrient Use Efficiency,
Productivity, and Nutrient Accrual in Model Tropical
Communities. Ecosystem, Vol 4:669-682.

42
Hirose T. (1975) Relations between turnover rate, resource utility,
and structure of some plant populations: a study in
the matter budgets. Journal of the Faculty of Science,
University of Tokyo, Section III: Botany 11: 355-407.
Hopkins WG and Huner NPA. (2010) Introduction to Plant
Physiology Fourth Edition. Wiley. USA
Isaac SR, Nair MA. (2005) Biodegradation of leaf litters in the
warm humid tropics of Kerala, India. Soil Biol Biochem
37:1656–1664
Jaafar HZE and Ibrahim MH (2012} Photosynthesis and Quantum
Yield of Oil Palm Seedlings to Elevated Carbon Dioxide.
In: Najafpour M. M. Advances in Photosynthesis -
Fundamental Aspects [Internet]. London: IntechOpen;
600 p.
Jahed RR, Hosseini SM, and Kooch Y. (2014) The effect of natural
and planted forest stands on soil fertility in the Hyrcanian
region, Iran. Biodiversitas, Vol 15 (2): 206-214.
James R. (2004) Plantation Silviculture High Pruning. In:
Encyclopedia of Forest Sciences. Eds: Burnley J.
Academic Press: Cambridge.
Janssen BH (1996) Nitrogen mineralization in relation to C:N ratio
and decomposability of organic materials. Plant and Soil
181: 39-45
MacDicken KG and Vergara NT (1990) Agroforestry: Classification
and Management. John Wiley and Sons, New York. 382
pp
Madritch MD and Cardinale BJ. (2007) Impacts of tree species
diversity on litter decomposition in northern temperate
forests of Wisconsin, USA: a multi-site experiment along
a latitudinal gradient, Plant and Soil 292 (1–2): 147– 159.
Maxwell GR (2004) Synthetic Nitrogen Products, A Practical Guide
to the Products and Processes. Springer New York, NY.
432 p.

43
Nair PKR (1993) An Introduction to Agroforestry. Kluwer
Academis Publishers, Dordrecht, The Netherlands 499
pp
Nyland RD (2001) Silviculture: Concepts and Applications.
McGraw-Hill Science/Engineering/Math; 2nd edition
O’Hara KL. (2016) What is close-to-nature silviculture in a
changing world? Forestry 89: 1–6
Pinno BD, Hossain KL, Gooding T, LiefffersVJ. (2021) Opportunities
and Challenges for Intensive Silviculture in Alberta,
Canada. Forests, vol 12 (6) 791.
Rawal N, Pande KR, Shrestha R, Vista SP. (2022) Nutrient use
efficiency (NUE) of wheat (Triticum aestivum L.)
as affected by NPK fertilization. PlosOne, Vol 17(1):
e0262771.
Sarvade S, Gautam DS, Upadhyay VB, Sahu RK, Shrivastava AK,
Kaushal R, Singh R and Yewale AG. (2018) Agroforestry
and Soil Health: An Overview. In Agroforestry for
Climate Resilience and Rural Livelihood. Eds: Inder D
et al. Scientific Publisher: India.
Sukotjo (2009) Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). UGM Press,
Yogyakarta, 455 pp
Swift MJ, Heal OW, Anderson JM. (1979) Decomposition in
terrestrial ecosystems. Oxford: Blackwell Scientific
Publications
Tapia JFD, Doliente SS, Samsatli S. (2021) How much land is
available for sustainable palm oil? (2021) Land Use
Policy 102 (2021): 105187
Uchida R. (2000) Plant Nutrient Management in Hawaii’s Soils. In:
Approaches for Tropical and Subtropical Agriculture.
Eds: Silva JA and Uchida R. College of Tropical
Agriculture and Human Resources, University of Hawaii
at Manoa.
Young A. (1989) Agroforestry for Soil Conservation. CAB
International, London, 276 pp.

44
Zemp DC, Ehbrecht M, Seidel D, Ammer C, Craven D, Erkelenz J,
Irawan B, Sundawati, Hölscher D, Kreft H (2019) Mixed-
species tree plantings enhance structural complexity
in oil palm plantations. Agriculture, Ecosystems and
Environment 283: 106564.

45
BAGIAN 3
PERHITUNGAN PRODUKTIVITAS
AGROFORESTRI KELAPA SAWIT
DAN PENGATURAN KALENDER PANEN

Oleh:
Eka Tarwaca Susila Putra, Yanarita, Darmawati Ridho,
Muhamad Guruh Susanto, Stevie Vista Nissauqodry

Strategi Jangka Benah (SJB) merupakan solusi “keterlanjuran”


kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan melalui upaya sosio-
teknis-kebijakan untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem
hutan yang terlanjur rusak dan kehilangan fungsi ekologinya.
Menurut Purwanto et al. (2020), upaya perbaikan “keterlanjuran”
ini dilakukan secara bertahap dan komprehensif melalui penguatan
kelembagaan, tindakan silvikultur yang terjadwal, dan dukungan
kebijakan. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan
Tengah (2021) tutupan kebun sawit yang masuk ke dalam kawasan
hutan di propinsi tersebut seluas 600.000 ha. Fakultas Kehutanan
UGM Bersama Yayasan Kehati yang berperan dalam membidani
SJB melakukan pilot project di Kalimantan Tengah khususnya di
Desa Pangkut kabupaten Kotawaringin Barat dan Desa Karang Sari
Kabupaten Kotawaringin Timur sejak tahun 2019. Penelitian ini
mencoba mendapatkan informasi lapangan yang komprehensif dari
karakteristik kebun kelapa sawit yang ikut dalam pilot project SJB
mulai dari bibit, pemeliharaan, produktifitas dan alasan pemilihan
jenis non-kelapa sawit yang diharapkan dapat memperbaiki struktur
vegetasi dan ekosistem lingkungan dari yang bersifat monokultur

46
“kelapa sawit” menuju kebun polikultur “keanekaragaman jenis”
yang juga memberikan nilai tambah ekonomi bagi petani.
Evaluasi terhadap situasi teknis maupun sosial yang
berkembang di lokasi lahan yang menjadi area demplot telah
dilakukan. Evaluasi dilakukan melalui pengumpulan data primer
terhadap keseluruhan aspek secara komprehensif baik yang
terkait teknis maupun sosial menggunakan metode quisioner.
Pengumpulan data menggunakan quisioner terhadap responden
yaitu petani yang terlibat dalam pilot project SJB sebanyak 30
responden, terdiri dari 20 reponden dari Desa Pangkut dan 10
responden dari Desa Karang Sari, keduanya terletak di Propinsi
Kalimantan Tengah. Analisis data telah dilakukan secara deskriftif
kualitatif dan menjadi bagian komprehensif dari tulisan di bab ini.
Berdasarkan luas lahan kebun kelapa sawit yang dikelola,
dapat dibagi ke dalam 3 kelas, yaitu (1) luas lahan < 1 ha; (2) luas
lahan 1-3 ha; dan luas lahan >3 ha. Sedangkan berdasarkan umur
tanam kelapa sawit juga dapat dibagi ke dalam 3 kelas, yaitu (1)
umur tanam kelapa sawit >10 tahun; (2) umur tanam kelapa sawit
5–10 tahun; dan (3) umur tanam sawit < 5 tahun. Mendasarkan
hasil evaluasi terhadap sampel petani pengelola pertanaman kelapa
sawit, dari sisi luasan lahan yang dikelola mayoritas berada pada
kisaran 1–3 hektar dengan proporsi sebanyak 80%. Sedangkan
petani yang luasan lahannya kurang dari 1 hektar maupun lebih
dari 3 hektar masing-masing proporsinya hanya 10%. Sedangkan
berdasarkan umur tanam kelapa sawit yang paling dominan adalah
pada umur 5-10 tahun sebanyak 62% responden. Umur tanam
kelapa sawit yang paling tua adalah 15 tahun dan yang paling muda
1 tahun. Secara lengkap distribusi sampel petani mendasarkan pada
kelas variabel luasan lahan maupun umur tegakan kelapa sawit yang
dikelola disajikan pada Tabel 3.1.

47
Tabel 3.1. Proporsi sampel petani berdasarkan luas lahan dan umur tanam
kelapa sawit
Desa (orang)
No Kriteria Kelas Jumlah %
Pangkut Karang Sari
1 Luas Lahan (ha) <1 3 0 3 10%
1-3 15 9 24 80%
>3 2 1 3 10%
2 Umur Tanam Sawit >10 0 4 4 15%
(tahun)
5-10 11 5 16 62%
<5 5 1 6 23%

Tabel 3.1 juga memberikan informasi bahwa jumlah sampel


petani kelapa sawit yang memiliki luasan lahan 1-3 ha jumlahnya
paling banyak yaitu 24 orang. Luas lahan sampel petani yang paling
sempit adalah 0,7 ha dan yang paling luas adalah 5,1 ha. Jarak
tanam tegakan kelapa sawit di Desa Pangkut dari 20 responden
sebanyak 19 responden adalah 8x7 m, dan hanya 1 responden
yang jarak tanamnya 8x9 m. Hal yang berbeda dijumpai pada
sampel petani yang berada di Desa Karang Sari. Di Desa Karang
Sari, jarak tanam pohon kelapa sawit dari 10 responden sebanyak
9 responden adalah 8x9 m, dan hanya 1 responden yang jarak
tanamnya 8x7m. Jarak tanam kelapa sawit ini cukup menentukan
bagi kesuksesan program pengkayaan jenis melalui skenario
agroforestri karena terkait dengan ketercukupan ruang bagi jenis
lain yang diintroduksikan maupun potensi terjadinya kompetisi
diantara tegakan kelapa sawit dengan non-kelapa sawit. Jarak
tanam kelapa sawit yang lebih lebar memungkinkan dilakukannya
banyak strategi ketika dilakukan introduksi jenis non-kelapa sawit,
termasuk banyak pilihan dalam hal bentuk pola tanam khusus bagi
tanaman kehutanan yang diintroduksikan.

48
3.1. PENGELOLAAN BAHAN TANAM UNGGUL TEGAKAN
KELAPA SAWIT

3.1.1. Penggunaan Kecambah Bersertifikat


Agroforestri kelapa sawit memiliki potensi besar untuk
menjadi sistem produksi yang secara teknis fisibel (technically
feasible), secara ekonomis viable (economically viable), secara sosial
dapat diterima (soacially acceptable), berkelanjutan (sustainable) dan
ramah lingkungan (ecofriendly). Salah satu syarat paling awal yang
harus dapat dipenuhi supaya hal-hal tersebut dapat diwujudkan
yaitu penggunaan bahan tanam kelapa sawit yang bermutu.
Bahan tanam bermutu adalah bahan tanam yang bersertifikat dan
dihasilkan oleh produsen benih legal yang telah mendapatkan
pengesahan dari Kementerian Pertanian. Sampai dengan saat
ini, terdapat sebanyak sepuluh produsen benih kelapa sawit yang
secara resmi mendapatkan ijin dari Kementerian Pertanian sebagai
produsen benih legal yaitu a) Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS),
Medan, b) PT. Socfindo, c) PT. London Sumatera (Lonsum), d) PT.
Bina Sawit Makmur (Sampoerna Agro), e) PT. Dami Mas (Sinar
Mas Agro Resources and Technology), f) PT. Tunggal Yunus Estate
(Asian Agri Group), g) PT. Tania Selatan (Wilmar International),
h) PT. Bakti Tani Nusantara, i) PT. Sarana Inti Pratama (Salim
Group) dan PT. Sasaran Eksan Mekarsari (Mekarsari). Para pelaku
agroforestri kelapa sawit diharuskan untuk menggunakan bahan
tanam kelapa sawit yang bersumber dari salah satu diantara
sepuluh produsen benih legal tersebut untuk mendapatkan jaminan
kepastian produktivitas tinggi. Tidak digunakannya bahan tanam
legal oleh para pelaku agroforestri merupakan salah satu penyebab
utama ketidaktercapaian produktivitas tinggi dari kawasan yang
mereka kelola.
Hasil evaluasi terhadap produktivitas kelapa sawit yang
dikelola dengan model agroforestri, secara rerata, memiliki
produktivitas yang rendah khususnya kelapa sawit yang dikelola
oleh rakyat. Faktor utama yang menyebabkan hal demikian yaitu
penggunaan bahan tanam yang bermutu rendah. Bahan tanam
yang bermutu rendah tersebut dalam bentuk benih illegal dan

49
illegitimate. Penggunaan benih illegal dan illegitimate menyebabkan
tingginya proporsi tegakan non-tenera di kawasan agroforestri
kelapa sawit. Hasil studi yang dilakukan terhadap sampel beberapa
kawasan agroforestri kelapa sawit yang dikelola oleh rakyat
memberikan informasi bahwa proporsi tegakan kelapa sawit
non tenera di kebun-kebun tersebut proporsinya mencapai 50%,
sedangkan proporsi tegakan kelapa sawit illegitimate reratanya
mencapai 70%. Kondisi inilah yang menjadi faktor utama penyebab
cukup rendahnya produktivitas tegakan kelapa sawit yang dikelola
oleh rakyat. Untuk mewujudkan kawasan agroforestri kelapa sawit
yang tegakan kelapa sawitnya produktif persyaratan awal yang
harus dipenuhi yaitu digunakannya bahan tanam bersertifikat
yang dihasilkan oleh lembaga resmi yang sudah ditunjuk oleh
Kementerian Pertanian (Murugesan et al., 2013; Barcelos et al.,
2015).
Penggunaan bahan tanam unggul merupakan jaminan
produktivitas tinggi selama periode tanaman menghasilkan
(TM) sampai dengan pelaksanaan replanting di akhir tahun ke-
25 setelah penanaman. Penggunaan bahan tanam yang asalan
(tidak unggul) menyebabkan produktivitas tegakan kelapa sawit
cepat menurun sebelum selesainya siklus 25 tahunan sehingga
memaksa kegiatan replanting dilakukan pada periode waktu yang
lebih cepat. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan bahan
tanam kelapa sawit asalan menyebabkan umur produktinya jauh
lebih pendek jika dibandingkan dengan penggunakan bahan tanam
unggul sehingga secara ekonomi merugikan bagi para pekebun.
Beberapa informasi lapangan yang dihimpun dari para pelaku
perkebunan menyebutkan bahwa produktivitas tegakan kelapa
sawit yang bibitnya asalan sudah jauh menurun sejak umur 16-18
tahun setelah tanam. Itu artinya tegakan kelapa sawit yang bibitnya
asalan memiliki umur produktif yang 7 – 9 tahun lebih pendek
jika dibandingkan dengan tegakan yang berasal dari bahan tanam
unggul. Untuk menjaga produktivitas kebun yang secara ekonomis
menguntungkan maka kegiatan replanting harus dilakukan 7 – 9
tahun lebih cepat (awal) jika dibandingkan dengan kebun yang
tegakannya berasal dari bahan tanam unggul.

50
Gambar 3.1. Bahan tanam berupa kecambah unggul kelapa sawit yang
diproduksi oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) (Sumber:https://www.
tanimakmurnusantara.com/2020/05/bibit-benih-polong-kecambah-kelapa.
html)

Terdapat tiga macam sumber potensi kerugian jika kegiatan


replanting dilakukan 7 – 9 tahun lebih cepat dari yang seharusnya
yaitu 1) hilangnya potensi produksi dari setiap satu siklus kegiatan
investasi setidaknya potensi produksi untuk rentang waktu 7 – 9
tahun masa TM, 2) pada periode tahun yang sama kebun memiliki
rentang waktu jeda produksi yang lebih panjang karena seringnya
menunggu peralihan dari masa tanaman belum menghasilkan
(TBM) menuju masa TM, masa tunggunya setidaknya 7 – 9 tahun
lebih panjang pada periode waktu yang sama jika dibandingkan
dengan kebun yang disiplin menggunakan bahan tanam unggul,
3) balikan ekonomi dari biaya investasi secara nyata jauh lebih
rendah pada kebun dengan bahan tanam asalan jika dibandingkan

51
dengan kebun yang disiplin menggunakan bahan tanam unggul.
Kehilangan potensi manfaat dari kegiatan investasi yang dilakukan
menjadi jauh lebih besar jika kebun yang menggunakan bahan
tanam kelapa sawit asalan tersebut pengelolaannya dilakukan
menggunakan model agroforestri. Kehilangan potensi manfaat
yang lebih besar tersebut terjadi karena 1) tegakan kelapa sawit
berpotensi lebih cepatnya mengalami penurunan produktivitas
karena tidak mampu bersinergi dengan jenis tegakan lain yang
dimasukkan ke dalam areal agroforestri sehingga produktivitasnya
justru menurun dengan cepat sebelum menyelesaikan siklus 25
tahunan, 2) masa replanting yang menjadi lebih cepat menyebabkan
tegakan pohon kehutanan ukurannya belum maksimal ketika harus
ditebang (dipanen) bersamaan dengan program replanting kelapa
sawit sehingga nilai ekonominya belum maksimal (Murugesan et
al., 2013; Barcelos et al., 2015).
Agroforestri kelapa sawit supaya menjadi produktif dan
berkelanjutan maka kepastian bahwa tegakan yang ditanam adalah
dari jenis Tenera unggul setidak-setidaknya mencapai 98%. Batas
toleransi maksimal adanya kontaminasi tegakan dari jenis non
Tenera yaitu 2% saja. Proporsi tegakan Tenera yang mencapai
98% merupakan batas minimal supaya agroforestri kelapa sawit
yang dikelola menjadi ekonomis karena adanya kepastian potensi
hasil tinggi. Hasil survei yang telah dilakukan pada para pelaku
agroforestri kelapa sawit di beberapa propinsi yaitu Kalimantan
Tengah, Jambi dan Riau mengindikasikan bahwa mayoritas mereka
masih menggunakan bahan tanam illegitimate dari hasil bibit
cabutan. Jika demikian, maka jelas bahwa penyebab dari rendahnya
produkivitas tegakan kelapa sawit yang dikelola dengan konsep
agroforestri diakibatkan oleh digunakannya benih yang tidak
bermutu. Asumsi yang sementara ini dianut oleh sebagian pelaku
yang menyatakan bahwa rendahnya produktivitas tegakan kelapa
sawit pada model agroforestri diakibatkan oleh kombinasinya
atau dimasukkannya jenis tegakan lain di area kebun hanya mitos
belaka.

52
Hasil evaluasi bahan tanam kelapa sawit terhadap sejumlah
sampel petani di Desa Pangkut dan Karangsari, Propinsi Kalimantan
Tengah mengindikasikan bahwa hibrida yang digunakan oleh para
petani sampel yaitu Lonsum, Sriwijaya dan PPKS. Ada juga sampel
petani yang tidak mengetahui hibrida kelapa sawitnya karena hanya
merupakan warisan dari orang tua. Secara umum mayoritas petani
di kedua lokasi kajian menggunakan hibrida kelapa sawit dari
PPKS. Mendasarkan pada data tersebut terindikasi bahwa para
petani sebetulnya sudah cukup sadar mengenai pentingnya mutu
bahan tanam dalam menentukan kesuksesan usahanya. Namun
demikian, yang masih lemah adalah kepastian terkait dengan
keaslian sumber bahan tanam yang digunakan mengingat pada
saat ini banyak beredar juga benih-benih palsu. Cukup terbatasnya
produsen benih kelapa sawit yang sudah dilegalkan oleh
Kementerian Pertanian menyebabkan sering terjadi keterbatasan
ketersediaan hibrida unggul kelapa sawit. Banyak benih beredar
dengan menggunakan nama produsen yang sudah dilegalkan oleh
Kementerian Pertanian tetapi jaminan keasliannya lemah. Oleh
karena itu, mendesak diperlukan pengembangan teknologi maju
yang mampu menjamin keaslian bahan tanam kelapa sawit bagi
semua pihak terkait. Rincian distribusi sampel petani mendasarkan
pada asal bahan tanam yang mereka gunakan terdapat pada Tabel
3.2 berikut.

Tabel 3.2. Distribusi sampel petani berdasarkan pada asal bahan tanam yang
digunakan
Desa
No Asal Bahan Tanam Jumlah %
Pangkut Karang Sari
1 Lonsum 1 0 1 3
2 PPKS 14 2 16 54
3 Semai sendiri/Tidak tahu 4 0 4 13
4 Sriwijaya 1 0 1 3
5 Cabutan PT Transindo 0 8 8 27

Perolehan bibit kelapa sawit beberapa sampel petani yang


menjadi obyek kajian dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

53
(1) membeli biji dan disemai sendiri oleh petani; (2) membeli
bibit kelapa sawit siap tanam; (3) bantuan perusahaan; dan (4)
cabutan dari perusahaan kelapa sawit setempat. Harga bahan
tanam berupa kecambah cukup bervariasi berkisar antara Rp.
300.000,- - Rp.750.000,-/pak. Perbedaan yang cukup besar dari
harga kecambah yang diperoleh petani mungkin disebabkan
oleh ukuran kemasan yang tidak sama. Sedangkan bahan tanam
yang sudah berupa bibit siap tanam harganya berkisar antara Rp.
20.000,- - Rp. 35.000,-/bibit.

3.1.2 Seleksi Bibit Ketat Fase Pembibitan


Tahapan berikutnya yang menentukan produktivitas
tegakan kelapa sawit ketika dikelola dengan model agroforestri
yaitu pelaksanaan seleksi bibit yang ketat untuk mendapatkan
bibit bermutu siap tanam. Seleksi bibit dilakukan dengan tujuan
utama untuk memastikan bahwa hanya bibit dengan mutu
superior saja yang selanjutnya ditanam di lahan agroforestri kelapa
sawit. Bibit yang diketahui tidak bermutu atau inferior bersifat
haram hukumnya untuk ditanam sehingga wajib dimusnahkan
(Jacquemard and Boutin. 2008; Adileksana et al., 2020). Penanaman
hanya dengan menggunakan bibit superior merupakan jaminan
keberhasilan pengelolaan agroforestri kelapa sawit. Program seleksi
untuk mendapatkan bibit siap salur yang superior dilakukan dalam
beberapa tahapan yaitu a) seleksi kecambah, b) seleksi pada tahapan
pembibitan awal dan c) seleksi pada tahapan pembibitan utama.
Model yang demikian ini dipakai karena kegiatan pembibitan
tanaman kelapa sawit umumnya dilakukan dengan model
pembibitan dua tahap (double stage method).
Tahapan pertama dalam program seleksi bahan tanam
yaitu seleksi di tahapan kecambah. Hanya kecambah yang bersifat
normal saja yang selanjutnya dibibitkan, sedangkan kecambah yang
dideteksi bersifat abnormal wajib dimusnahkan. Kecambah kelapa
sawit dikatakan bersifat abnormal jika a) tidak dapat dibedakan
secara jelas manakah bagian yang merupakan radicula dan atau
plumula, b) radicula atau plumula kondisinya tidak segar atau
busuk, c) arah plumula dan radicula bersifat searah, d) plumula

54
dan radicula terindikasi terkontaminasi oleh jamur dan e) plumula
dan radicula memiliki bentuk yang tidak normal bahkan rusak.
Pada kecambah yang embrio sedang berkembang bersifat lemah
sehingga penanganannya harus dilakukan dengan hati-hati. Pada
saat melakukan penanaman kecambah, posisi kecambah harus
selalu ditempatkan di lokasi yang terlindungi dari sinar matahari
langsung. Apabila dalam proses penanaman kecambah dijumpai
adanya kecambah yang plumulanya kembar, maka plumula yang
terindikasi lebih lemah harus dibuang dan hanya menyisakan
bagian plumula yang kondisinya lebih kuat.
Tahapan berikutnya setelah adanya jaminan bahwa hanya
kecambah superior yang dibawa ke dalam proses penyiapan bibit
yaitu seleksi bibit superior pada tahapan pembibitan pendahuluan.
Kegiatan menseleksi bibit superior pada tahapan pembibitan
pendahuluan yaitu untuk memastikan bahwa hanya bibit
berkualitaslah yang selanjutnya dibawa ke tahapan pembibitan
utama. Upaya ini merupakan aspek vital yang menentukan mutu
bahan tanam dan dalam jangka panjang mempengaruhi kesuksesan
dan keberlanjutan pengelolaan dan operasionalisasi agroforestri
kelapa sawit.
Beberapa aspek yang harus diidentifikasi untuk memilih bibit
superior pada tahapan pembibitan pendahuluan meliputi a) bibit
yang memiliki pucuk bengkok atau daun berputar, diakibatkan
oleh penanaman kecambah yang dilakukan terbalik dan karena
faktor genetik, dapat diketahui dari daun-daun yang tumbuhnya
melengkung membentuk setengah lingkaran, b) bibit berdaun
ilalang atau daun sempit yaitu bibit yang tumbuh dengan bentuk
daun sempit memanjang dan tegak menyerupai daun ilalang,
karena faktor genetik, c) bibit berdaun kerdil dan sempit yaitu bibit
yang memiliki perkembangan helai daun sangat lambat sehingga
ukuran daunnya tampak kerdil dan sempit, d) bibit berdaun
menyempit dan tegak yaitu bibit dengan bentuk daun menyempit
dan orientasinya tegak, e) bibit berdaun menggulung yaitu bibit
yang memiliki helaian daun tidak membuka secara normal tetapi
tergulung di sepanjang pelepah daun menyerupai bentuk tombak,

55
disebabkan oleh factor geneti, f) bibit berdaun berkerut/keriput
yaitu bibit yang memperlihatkan berbagai tingkat kerutan dan pada
tingkat yang lebih berat terlihat kerutan tersebut pecah menyilang,
disebabkan oleh faktor genetik, g) bibit berdaun melipat yaitu
bibit yang helaian daunnya tidak membuka secara normal, tetapi
menciut lengket seperti melipat dan bergulung, diakibatkan oleh
kekurangan air selama tahapan pembibitan pendahuluan, h) bibit
kerdil yaitu bibit yang pertumbuhan vegetatifnya jauh lebih kecil
dibandingkan dengan bibit sehat seumurannya, disebabkan oleh
faktor genetic, i) bibit chimaera yaitu bibit yang sebagian atau
seluruh daun secara seragam berubah pucat atau bergaris kuning
terang yang sangat kontras dengan warna hijau gelap dari jaringan
yang normal dan j) bibit dengan serangan penyakit berat meliputi
bercak daun dan antracnose (daun membusuk mulai dari pinggir).
Jika selama tahapan pembibitan pendahuluan dijumpai
sejumlah bibit yang memiliki karakteristik morfologi seperti yang
disebutkan dalam paragraph sebelumnya maka sejumlah bibit
tersebut tidak perlu dibawa ke tahapan pembibitan utama. Supaya
bibit tersebut tidak tercampur dengan bibit superior maka secara
rutin perlu untuk dilakukan inspeksi dan pengumpulan bibit-
bibit yang memiliki ciri bibit tidak normal. Setelah terkumpul,
bibit yang tidak normal tersebut selanjutnya dimusnahkan.
Penggunaan material bibit yang tidak normal berkontribusi pada
tidak maksimalnya produktivitas tegakan kelapa sawit yang dikelola
dengan model agroforestri, meskipun tindakan pengelolaan lainnya
telah diberikan secara optimal (Jacquemard and Boutin. 2008;
Adileksana et al., 2020).
Kegiatan seleksi tahapan terakhir pada program penyiapan
bahan tanam untuk menghasilkan bibit superior yaitu seleksi
bibit pada tahapan pembibitan utama. Seleksi bibit pada
tahapan pembibitan utama merupakan benteng terakhir yang
menentukan bermutu tidaknya bahan tanam yang digunakan
dalam pengembangan agroforestri kelapa sawit. Jika factor ini fail,
maka merupakan penyebab 50% kegagalan dalam operasionalisasi
agroforestri kelapa sawit. Meskipun faktor-faktor lainnya

56
sudah dikelola pada tingkatan optimal, tetapi kegagalan untuk
mendapatkan produktivitas tinggi dapat terjadi jika tidak semua
bibit yang dimasukkan bersifat superior.
Terdapat cukup banyak indikator yang dapat digunakan
untuk mendeteksi superior tidaknya bibit kelapa sawit pada tahapan
pembibitan utama. Indikator-indikator tersebut mencakup a) bibit
kerdil yaitu bibit yang pertumbuhan vegetatifnya jauh lebih kecil
dibandingkan dengan bibit sehat seumurannya, b) bibit berdaun
erect yaitu bibit yang daunnya tegak akibat faktor genetik, daun
tumbuh dengan sudut sangat sempit/tajam terhadap sumbu vertikal
sehingga terlihat tumbuh tegak, c) bibit yang layu dan lemah yaitu
pelepah dan helai daun terlihat lemah/layu, penampilan bibit
secara keseluruhan pucat dan pertumbuhan daun muda cenderung
lebih pendek dari yang seharusnya, d) bibit flat top yaitu bibit
dengan daun baru yang tumbuh memiliki ukuran semakin pendek
dibandingkan daun yang lebih tua sehingga tajuk bibit terlihat rata,
e) bibit dengan short internode yaitu bibit dengan jarak antar anak
daun pada pelepah terlihat sangat dekat dan pelepahnya pendek,
f) bibit dengan wide internode yaitu bibit dengan jarak antar anak
daun pada pelepah terlihat sangat lebar, bibit terlihat sangat terbuka
dan lebih tinggi dari bibit normal, g) bibit dengan anak daun sempit
yaitu bibit dengan bentuk helai anak daun tampak sempit dan
tergulung sepanjang alur utamanya sehingga berbentuk seperti
jarum, anak daun tumbuh membentuk sudut yang tajam dengan
pelepah daun, h) bibit dengan anak daun yang tidak pecah yaitu
bibit dengan helai anak daun tetap bersatu seluruhnya atau tidak
pecah setelah pelepahnya dewasa, i) bibit yang daunnya berkerut
yaitu bibit dengan bentuk daun memperlihatkan berbagai tingkatan
kerutan dan pada tingkat yang lebih berat terlihat kerutan tersebut
pecah menyilang, j) bibit chimaera yaitu bibit yang sebagian atau
seluruh daunnya secara seragam berubah menjadi pucat atau
bergaris kuning terang yang sangat kontras dengan warna hijau
gelap dari jaringan yang normal, k) bibit yang terserang crown
disease yaitu bibit dengan pelepah daun membengkok, melintir
dan mudah patah, l) bibit blast yaitu bibit yang daunnya berubah
secara progresif ke arah coklat dan mati perlahan-lahan dimulai

57
dari daun yang lebih tua dan bergerak ke atas ke daun yang lebih
muda dan m) bibit yang terserang berat oleh hama dan penyakit.
Penggunaan bibit superior dalam pengembangan agroforestri
kelapa sawit merupakan kunci capaian produktivitas tinggi bagi
tegakan kelapa sawit. Bibit yang superior setelah ditanam di
lapangan dapat tumbuh vigor sehingga menghasilkan tegakan
sehat untuk menopang produktivitas tinggi dan berkelanjutan.
Bibit superior juga memiliki daya tahan tinggi terhadap tekanan
lingkungan. Mereka memiliki daya adaptasi yang baik sehingga
memungkinkan untuk dikelola dengan model agroforestri,
yang dilakukan pencampuran dengan jenis-jenis lainnya.
Penanaman secara bersama-sama dari jenis tegakan yang bervariasi
memerlukan modal bahan tanam yang superior sehingga diantara
mereka dapat melakukan sharing sumber daya lingkungan secara
adil. Sharing sumber daya lingkungan secara adil memungkinkan
semua jenis tegakan yang dimasukkan dapat tumbuh, berkembang
dan menghasilkan secara maksimal.

58
Gambar 3.2. Bibit superior yang berasal dari bahan tanam kecambah unggul
yang menentukan kesuksesan operasionalisasi agroforestri kelapa sawit
(Sumber: http://bibitsawitku.com/2013/12/bibit-kelapa-sawit-unggul-siap-
tanam.html)

3.1.3 Penanaman Bibit Normal


Agroforestri kelapa sawit memungkinkan munculnya pola
interaksi yang bersifat non-linier pada ekosistem tersebut dari
semua komponen yang ada. Komponen-komponen yang eksis
dalam ekosistem agroforestri kelapa sawit cukup melimpah,
termasuk di dalamnya yaitu tegakan kelapa sawit, tegakan jenis

59
lain sebagai komponen pengayaan, understory crops, mikro
flora dan fauna, meso flora dan fauna serta makro flora dan
fauna. Pada model pendekatan lama, cara pandang hanya fokus
terhadap komoditas utama yaitu kelapa sawit. Pengelola cenderung
mengabaikan keberadaan komponen lain dalam ekosistem.
Pengelola memandang bahwa hubungan antara komoditas utama
dengan komponen lingkungannya bersifat linier sehingga cara-
cara pengelolaan yang ditempuh cenderung tidak komprehensif
(sektoral). Sollen-Norrlin et al. (2020) menyatakan bahwa kondisi
inilah yang menyebabkan model pendekatan lama tidak bersifat
jangka panjang, dengan hanya mengejar produktivitas sehingga
produktivitas tinggi yang dicapai bersifat semu dan tidak sustain.
Pendekatan baru dalam pengelolaan ekosistem kelapa
sawit diperlukan untuk mewujudkan ekosistem yang produktif
dan memiliki jasa layanan sehingga produktivitas tinggi yang
dapat dicapai lebih berkelanjutan. Pendekatan baru tersebut
yaitu pengelolaan ekosistem kelapa sawit menggunakan model
agroforestri atau hutan campuran. Pada pendekatan baru ini,
pengelolaan sistem produksi yang dilakukan tidak hanya terfokus
pada kelapa sawit, tetapi bersifat menyeluruh pada semua
komponen yang terkandung dalam agroforestri kelapa sawit. Semua
komponen yang ada yaitu mencakup tegakan kelapa sawit, tegakan
jenis lain sebagai komponen pengayaan, understory crops, mikro
flora dan fauna, meso flora dan fauna serta makro flora dan fauna
dikelola secara presisi sebagai satu kesatuan. Pengelolaan semua
komponen dalam satu kesatuan memunculkan pola interaksi
yang bersifat non-linier sehingga pendekatan yang dipergunakan
jelas lebih komprehensif. Pendekatan yang lebih komprehensif
memberikan manfaat yang lebih maksimal jika dibandingkan
dengan pendekatan sektoral sehingga sistem yang terbangun
lebih mampu memberikan jaminan produktivitas tinggi dan
berkelanjutan. Pada agroforestri kelapa sawit dapat terbangun
sebuah orchestra yang mampu memainkan simfoni alam yang
indah, produktif dan berkelanjutan.

60
Sebuah orchestra yang kompak dalam agroforestri kelapa
sawit memerlukan beberapa jaminan yang harus dipenuhi oleh
pengelola orchestra tersebut. Jaminan pertama yaitu penggunaan
bibit kelapa sawit superior. Bibit kelapa sawit yang superior
merupakan jaminan kesuksesan dalam operasionalisasi agroforestri
kelapa sawit. Pada agroforestri kelapa sawit, aspek utamanya yaitu
terjadi pengayaan jenis yang melibatkan spesies tegakan lain selain
kelapa sawit. Diperlukan implementasi inovasi pola tanam supaya
masing-masing komponen mendapatkan sumber daya secara
optimal baik sumber daya yang berada di bawah maupun di atas
permukaan tanah (MacFarland, 2017; Luo et al., 2021; Rahmani
et al., 2021; Paudel 2022).
Terdapat beberapa pilihan pola tanam yang dapat
direkomendasikan untuk mewujudkan agroforestri kelapa sawit
yang produktif dan lestari. Jika operasionalisasi agroforestri kelapa
sawit dilakukan dari awal penanaman maka pilihan pola tanam
yang ideal yaitu model alternate row spacing (spasi baris berselang-
seling). Pola tanam ini memungkinkan dilakukannya pengaturan
jarak diantara baris yang berselang-seling diantara kelapa sawit dan
non-kelapa sawit dengan mempertimbangkan lebar percabangan
yang maksimal. Pengaturan yang demikian memungkinkan
distribusi sumber daya, khususnya matahari, menjadi lebih merata
sehingga berkontribusi positif pada maksimalnya produktivitas
semua komponen penyusun agroforestri kelapa sawit. Gambar 1
di bawah ini adalah contoh model agroforestri kelapa sawit dengan
pola alternate row spacing. Jarak tanam antar kelapa sawit adalah
16m x 9m dengan populasi per hektar mencapai 70 tegakan. Jenis
tegakan lain yang dimasukkan sebagai pengkayaan yaitu jati, karet,
kelapa, kakao, jambu mete, beberapa jenis tegakan buah dan pisang.

61
Gambar 3.3. Agroforestri kelapa sawit dengan pola penanaman alternate row
spacing di Pantai Gading (Sumber: ECOTOP)

Hal yang berbeda dapat ditempuh jika praktek pelaksanaan


Agroforestri kelapa sawit dilakukan belakangan setelah tegakan
kelapa sawit sudah terlanjur ditanam secara monokultur. Jika
ditemukan hal yang demikian, praktek Agroforestri kelapa sawit
tetap dapat dilaksanakan dengan memilih strategi penanaman
yang tepat khususnya bagi komponen non-kelapa sawit yang
dimasukkan. Penanaman jenis non-kelapa sawit dapat dilakukan
dengan model sisipan yang dilakukan diantara barisan kelapa sawit
maupun model penanaman tegakan pohon sepanjang tepi lahan
(trees along border).

62
Gambar 3.4. Model sisipan kakao – mahoni pada agroforestri kelapa sawit di
Brazil (Sumber: CIFOR-ICRAF/Jimi Amaral)

Model lainnya yang banyak dianut dalam implementasi


agroforestri kelapa sawit yaitu pengkayaan jenis pola sisipan
(Elevitch et al., 2014; MacFarland, 2017; Luo et al., 2021; Rahmani et
al., 2021; Paudel, 2022). Model ini paling dominan diterapkan pada
agroforestri kelapa sawit. Jika model pengkayaan jenis dilakukan
dengan cara sisipan, kriteria pemilihan jenis tegakan yang
diintroduksikan selain mendasarkan pada pertimbangan ekonomi
juga perlu mempertimbangkan sifat toleransinya terhadap kondisi
penaungan. Jenis tegakan yang dipilih selain mempertimbangkan
kelayakan ekonominya juga didasarkan pada kemampuan jenis
tersebut untuk tumbuh dengan baik pada kondisi ternaungi.
Jenis-jenis tegakan non-kelapa sawit dengan kemampuan adaptasi
yang maksimal di bawah tegakan kelapa sawit yaitu jenis yang
mekanisme fisiologisnya menggunakan jalur Siklus Calvin (C3).
Oleh karena itu, pertimbangan utama dalam pemilihan jenis
tegakan pencampur yaitu a) jenis yang nilai ekonominya baik dan
pasarnya terbuka dan b) jenis yang skema fotosintesisnya mengikuti
Siklus Calvin supaya lebih tahan naungan ketika posisinya
masing berada di bawah kanopi kelapa sawit, misalnya kakao dan
balangeran. Gambar 4 mengilustrasikan model sisipan kakao dan
balangeran di antara tegakan kelapa sawit.

63
Gambar 3.5. Praktek Agroforestri kelapa sawit model sisipan di Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi (Sumber: http://mediaperkebunan.id/tree-island-
penerapan-agroforestri-pada-kelapa-sawit/)

Gambar 3.5 mengilustrasikan keragaan agroforestri kelapa


sawit di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi yang dikembangkan
dengan model sisipan karena praktek pengkayaan jenisnya
dilakukan belakangan setelah tegakan kelapa sawit eksis. Di
kawasan perkebunan kelapa sawit disisipi sebanyak empat spesies
tanaman lainnya yatu durian, petai, sungkai dan alpukat. Sehingga
dari satu kebun dapat dihasilkan beberapa jenis produk yaitu
tandan buah segar kelapa sawit, durian, petani, alpukat dan kayu
sungkai. Penanaman dilakukan pada kawasan kebun kelapa sawit
seluas 140 ha (Anonim, 2022).
Pada sebuah praktek agroforestri kelapa sawit di Brazil,
total telah dimasukkan sebanyak enam spesies tegakan jenis lokal,
dengan populasi 73 tegakan/ha. Untuk memastikan ketercukupan
ruang tumbuh dan cahaya bagi tegakan yang baru dimasukkan,
dilakukan pengurangan populasi tegakan kelapa sawit sebanyak
40% dari populasi normal. Pola tanam yang demikian terindikasi
meningkatkan produktivitas tandan buah segar per tegakan
dari 130 kg/tegakan (monokultur) menjadi 200 kg/tegakan
(agroforestri). Rendemen minyak juga terindikasi meningkat dari
21% pada pola monokultur menjadi 24% pada pola agroforestri.
Mendasarkan pada fakta-fakta tersebut, potensi penurunan hasil

64
kelapa sawit karena populasinya dikurangi 40% dapat dikompensasi
oleh kenaikan kemampuan produksi tandan per tegakan yang
meningkat 54% dan rendemen minyak yang meningkat 14% jika
dibandingkan dengan kemampuan tegakan ketika ditanam dengan
pola monokultur (Ramos et al., 2018).

Gambar 3.6. Pola tanam sisipan meranti diantara barisan kelapa sawit di
Kabupaten Kampar, Propinsi Riau (Sumber: Balai Diklat Kehutanan Pekanbaru)

65
Gambar 3.7. Tegakan meranti yang batangnya bengkok sehingga mutu
kayunya rendah karena tidak dilakukan pengaturan ruang untuk pertumbuhan
batang kearah vertical (Sumber: Balai Diklat Kehutanan Pekanbaru)

Tegakan meranti tergolong tanaman kehutanan yang tahan


naungan ketika fase bibit dan muda. Oleh karena itu, meranti
banyak dipergunakan pada pelaksanaan pola sisipan dalam
agroforestri kelapa sawit. Pola sisipan yang dianut umumnya
berupa penempatan meranti di bagian tengah diantara empat

66
tegakan kelapa sawit, atau dikenal dengan pola tanam mata lima.
Pada beberapa praktek, barisan meranti hanya disisipkan pada
jalur mati atau tempat penimbunan seresah pelepah daun kelapa
sawit. Namun demikian, ada juga yang menyisipkan meranti pada
kedua jalur, baik jalur mati maupun jalur hidup. Bibit meranti pada
prakteknya secara umum mulai disisipkan diantara barisan kelapa
sawit ketika tegakan kelapa sawitnya berumur 7 – 8 tahun. Pada
umur tegakan kelapa sawit yang demikian, kanopinya sudah cukup
memberikan perlindungan naungan bagi bibit meranti karena
memang pada fase bibit dan muda meranti memerlukan naungan
yang cukup untuk dapat tumbuh dengan baik.
Praktek agroforestri kelapa sawit yang mulai dilakukan pada
periode ketika tegakan kelapa sawit sudah terlebih dahulu ditanam
secara monokultur berarti jenis yang secara riil baru ditanam
yaitu jenis-jenis non-kelapa sawit. Kondisi lingkungan kawasan
penanaman yang tutupan lahannya sudah terlanjur didominasi
oleh kanopi kelapa sawit diperlukan skenario khusus supaya
jenis tegakan yang baru dimasukkan mampu beradaptasi dan
tumbuh dengan baik. Skenario yang ada tentu saja berbeda jika
dibandingkan dengan model operasionalisasi agroforestri kelapa
sawit yang semua komponennya ditanam secara bersamaan dari
bibit. Skenario tersebut yaitu a) profil bahan tanam menggunakan
bibit yang sudah dibesarkan di tahapan pembibitan, b) penyiapan
lubang tanam dengan ukuran lubang lebih besar yang diperkaya
material kompos dan c) dilakukan pemangkasan parsial terhadap
pelapah kelapa sawit pada sisi yang mengarah menuju bibit yang
baru ditanam sehingga memberikan ekstra cahaya dan ruang
kepada bibit untuk tumbuh lurus vertikal ke atas melewati lapisan
kanopi kelapa sawit dan menyebabkan batang bibit tidak bengkok
(Gambar 3.7).
Bibit yang baru dimasukkan juga perlu mendapatkan
perlakuan ekstra khususnya terkait pasokan kebutuhan nutrisi
supaya tingkat kesuksesan penanaman menjadi maksimal. Untuk
keperluan tersebut, skenario yang dilakukan yaitu mengembangkan
fasilitas nutrient pool di kawasan operasionalisasi agroforestri

67
kelapa sawit melalui pembuatan atau penyediaan rorak dengan
proporsi optimal. Rorak dapat difungsikan sebagai nutrient pool
dengan memanfaatkan bahan organik insitu yang dikumpulkan
di lokasi tersebut. Untuk memaksimalkan fungsi rorak sebagai
nutrient pool, ke dalamnya juga dapat diinokulasikan isolate
mikrobia berbanfaat supaya berkembang menjadi koloni dan
selanjutnya memasok nutrisi, zat pemacu pertumbuhan maupun
agen proteksi bagi kelapa sawit maupun jenis non-kelapa sawit
yang menjadi komponen penyusun agroforestri.

3.2 PENJAMINAN PRODUKTIVITAS TEGAKAN

3.2.1 Pengelolaan Input Insitu Secara Optimal


Agroforestri kelapa sawit merupakan sistem produksi yang
memiliki kemampuan tinggi dalam memproduksi biomasa, baik
biomasa yang berasal dari tegakan kelapa sawit maupun non-
kelapa sawit. Tingginya kapasitas produksi biomasa tersebut
memungkinkan sistem produksi dapat dikelola secara mandiri
ketika semua sumberdaya biomasa insitu dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Beberapa jenis biomasa insitu yang dihasilkan
dalam agroforestri kelapa sawit yaitu pelepah kelapa sawit, tandan
kosong kelapa sawit, serat buah, abu cangkang kelapa sawit dan
pangkasan dari tegakan non-kelapa sawit. Material berupa biomasa
insitu tersebut pemanfaatannya dapat dimaksimalkan untuk
meningkatkan kesehatan tanah dan tanaman. Dari semua biomassa
kelapa sawit yang ada, sebanyak 70% merupakan pelepah pohon
sawit, sedangkan tandan buah kosong mencapai 10%.
Pelepah kelapa sawit secara rutin dilakukan pemangkasan
untuk menjaga jumlah pelepah ideal yang tertinggal pada kanopi
tegakan. Volume produksi pelepah cukup besar yaitu 36 ton
pelepah kering/hektar/tahun. Selama ini, pelepah hasil pangkasan
dikelola sangat sederhana yaitu hanya dipotong menjadi beberapa
bagian dan selanjutnya ditempatkan pada ruang kosong diantara
barisa kelapa sawit yang merupakan gawangan mati. Penangan
yang sederhana tersebut menyebabkan kontribusi pelepah untuk
meningkatkan kesehatan tanah dan tanaman belum maksimal.

68
Terdapat beberapa skenario yang dapat dilakukan supaya kontribusi
biomasa pelapah untuk penyehatan tanah dan tanaman lebih
maksimal yaitu a) pengomposan langsung di lokasi, b) dikoversi
menjadi biobriket untuk pembenah tanah dan c) dikonversi
menjadi biochar untuk pembenah tanah (Faridah et al., 2021; Alam
et al., 2021; Suryanto et al., 2022).

Gambar 3.8. Biomasa insitu pada model Agroforestri kelapa sawit yang volume
produksinya besar untuk mendukung terwujudnya sistem yang lebih mandiri
dan berkelanjutan

Agroforestri kelapa sawit juga memiliki potensi besar untuk


menghasilkan biomasa dalam bentuk tandan kosong. Kemampuan
lahan agroforestri kelapa sawit dalam menghasilkan tandan kosong

69
dapat mencapai 7 ton/hektar/tahun sehingga jelas potensinya
besar. Tandan kosong kelapa sawit dapat diproses menjadi
beberapa macam bentuk material yang bermanfaat untuk menjaga
kesehatan tanah dan tanaman secara mandiri. Terdapat beberapa
skenario berkaitan dengan pemanfaatan tandan konsong untuk
menghasilkan material baru dalam program penyehatan tanah dan
tanaman yaitu a) diproduksi menjadi kompos tandan kosong, b)
diproduksi menjadi biobriket untuk bahan pembenah tanah dan
c) diproduksi menjadi biochar juga untuk bahan pembenah tanah.
Pada saat ini, yang sudah cukup intensif dilakukan yaitu memproses
tandan kosong menjadi kompos. Kompos yang berasal dari tandan
kosong memiliki karakteristik kimiawi yaitu mengandung N total
(1,91%), K (1,51%), Ca (0,83 %), P (0,54 %), Mg (0,09%), C- organik
(51,23%), C/N ratio 26,82 %, dan pH 7,13. Karakteristik kimiawi
tersebut sangat ideal jika kompos tandan kosong dimanfaatkan
sebagai bahan pembenah tanah untuk mengkondisikan supaya
tanah lebih sehat sehingga dapat mendukung pertumbuhan
vegetasi yang tumbuh di atasnya secara maksimal.

70
Gambar 3.9. Biobriket yang diproduksi dari tandan kosong buah dan serabut
buah (Sumber: https://regional.kompas.com/read/2020/09/02/13474561)

Biomasa lainnya yang proporsinya cukup besar dihasilkan


oleh agroforestri kelapa sawit yaitu serat buah kelapa sawit yaitu
sebanyak 13% dari total bobot tandan buah segar. Mendasarkan
pada proporsi tersebut maka kemampuan lahan agroforestri
kelapa sawit dalam menghasilkan serat buah yaitu sebanyak 4
ton/hektar/tahun. Serat buah kelapa sawit memiliki karakteristik
khas yang berpotensi untuk digunakan sebagai pembenah tanah.
Serat buah kelapa sawit dapat memperbaiki sifat fisika tanah
khususnya yang berkaitan dengan karakter struktur tanah, porositas
dan aerasi tanah, permeabilitas tanah, kapasitas infiltrasi tanah
dan kapasitas menyimpan lengas tanah. Material ini memiliki
kandungan C-organik yang sangat tinggi sehingga potensial untuk
meningkatkan kandungan bahan organik dan C-organik tanah yang
memang erat kaitannya pada perbaikan karakteristik fisika tanah.
Sedangkan berkaitan dengan kandungan nutrisi, serat buah kelapa
sawit memiliki kandungan beberapa hara makro esensial yang
rendah yaitu N, P, K, Mg dan Ca masing-masing sebesar 0,32%,

71
0,08%, 0,47%, 0,02% dan 0,11%. Berdasarkan karakteristiknya yang
demikian memang keberadaan dari material ini di lahan secara signifikan
peranannya lebih pada perbaikan sifat fisika tanah. Penggunaan serabut
buah kelapa sawit sebagai bahan pembenah tanah dapat dilakukan dalam
bentuk biobriket maupun biochar. Menurut Faridah et al. (2021),
Alam et al. (2021) dan Suryanto et al. (2022), supaya kontribusi
dari material biomasa sebagai pembenah tanah hasilnya lebih maksimal
maka lebih baik jika material tersebut diproses terlebih dahulu untuk
diproduksi menjadi a) biobriket dan b) biochar.

Gambar 3.10. Biochar yang diproduksi dari tandan kosong buah dan serabut
buah (Sumber: https://dinpertanpangan.demakkab.go.id/?p=3031)

Abu cangkang kelapa sawit merupakan biomasa yang


dihasilkan oleh agroforestri kelapa sawit. Material ini berasal
dari proses pembakaran cangkang buah kelapa sawit yang
dilakukan oleh mesin boiler. Kapasitas agroforestri kelapa sawit
untuk menghasilkan abu cangkang mencapai 3,6 ton/hektar/
tahun sehingga volumenya cukup besar. Abu cangkang kelapa
sawit memiliki kandungan mineral yang tinggi khususnya untuk
K, Mg, Ca dan Si masing-masing yaitu 7,4%, 3,19%, 5,32% dan
52,2%. Karakteristinya yang demikian menyebabkan material ini
memiliki potensi untuk diproses menjadi pupuk abu cangkang

72
kelapa sawit dengan diubah bentuknya dari serbuk menjadi pril
melalui proses granulasi. Jika hal ini dapat diwujudkan maka
kawasan agroforestri kelapa sawit dapat secara mandiri memenuhi
kebutuhannya terhadap hara K, Ca, Mg dan Si. Bahkan, material
pupuk ini memiliki kandungan Si yang sangat tinggi sehingga
lahan agroforestri dapat terjamin kebutuhannya terhadap Si
dengan mengandalkan bahan yang tersedia insitu. Kecukupan Si
berkontribusi positif terhadap tanaman khususnya ketika terekspos
pada cekaman lingkungan baik biotik maupun abiotik. Keberadaan
Si yang cukup dalam jaringan tanaman mampu menginduksi
tanaman untuk memiliki mekanisme pertahanan internal supaya
lebih tahan terhadap cekaman lingkungan, baik biotik maupun
abiotik.
Tegakan jenis non-kelapa sawit yang berada di kawasan
agroforestri kelapa sawit juga potensial untuk menghasilkan
biomasa dalam jumlah besar melalui kegiatan pruning rutin pada
kanopi. Karakteristik biomasa seresah yang berasal dari tegakan
jenis non-kelapa sawit mirip dengan biomasa yang berasal dari
pangkasan pelepah kelapa sawit. Oleh karena itu, biomasa tersebut
dapat digabungkan dengan biomasa pelapah yang dihasilkan
oleh tegakan kelapa sawit sebagai bahan baku untuk produksi
bahan pembenah tanah dalam bentuk kompos, biobriket maupun
biochar. Kombinasi antara biomasa pelapah dengan non-pelepah
lebih mampu memperkaya kualitas produk pembenah tanah
yang dihasilkan sehingga kontribusinya lebih maksimal dalam
memperbaiki kualitas tanah dan lingkungan serta meningkatkan
kesehatan vegetasi.

73
Gambar 3.11. Pupuk granul yang diproduksi dari abu cangkang kelapa sawit

Berdasarkan beberapa uraian pada paragraph sebelumnya


jelas bahwa kawasan agroforestri kelapa sawit cukup kaya macam
biomasa yang jika dikelola dengan baik mampu berkontribusi nyata
untuk meningkatkan kesehatan tanah maupun vegetasi. Jika hal ini
dapat diwujudkan maka kawasan agroforestri kelapa sawit dapat
berkembang menjadi sistem yang lebih mandiri dengan hanya
mengandalkan sumber daya biomasa internal untuk menopang
operasionalisasinya. Akibatnya, konsumsi input yang berasal dari
luar sistem produksi dapat ditekan secara signifikan dan secara
otomatis menjadi sistem produksi yang efektif, efisien dan mandiri.
Menurut Faridah et al. (2021), Alam et al. (2021) dan Suryanto et
al. (2022) sistem ini dikenal sebagai low external input sustainable
Agroforestri (LEISA).

3.2.2 Pengelolaan Lengas Terpadu


Kenaikan akumulasi gas rumah kaca terutama yang berupa
CO2, CH4 dan N2O terjadi secara masif pada beberapa dekade
terakhir. Pada tahun 2050 diproyeksikan proporsi gas CO2 di
atmosfer mencapai 550ppm, dan jika tidak dilakukan langkah
mitigasi maka pada tahun 2100 diproyeksikan proporsinya terus

74
meningkat hingga mencapai 700 ppm. Fenomena ini membawa
konsekuensi pada munculnya potensi bencana global dalam
bentuk pemanasan global dan perubahan iklim global. Pada saat
ini, dampak negatif perubahan iklim global sudah berlangsung
dalam bentuk kenaikan frekuensi kejadian cuaca ekstrim terutama
fenomena ElNino, LaNina, hujan es, temperatur tinggi dan frost.
Sector yang paling terdampak dengan kenaikan frekuensi kejadian
cuaca ekstrim adalah pertanian, kehutanan dan peternakan karena
ketiga aktivitas ini prosesnya tergantung pada kondisi alam.
ElNino merupakan kejadian cuaca ekstrim yang kontribusinya
paling dominan dalam menekan aktivitas pertanian, kehutanan
dan peternakan. ElNino yaitu kejadian periode kering yang
panjang melebihi periode kemarau tahunan sehingga dampak
kekeringannya ekstrim. Kelapa sawit sebagai komoditas yang
produktif tingkat konsumsi airnya tinggi dan menghendaki
curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dengan periode kering
terpanjang (dry spell) maksimal dua bulan. Periode kering yang
ekstrim dengan panjang melewati dua bulan langsung berdampak
negatif dalam bentuk kerusakan tegakan dan menyebabkan
penurunan produktivitas. Sebagai dampak dari perubahan iklim
global, ternyata telah terjadi pergeseran frekuensi kejadian ElNino
dari yang sebelumnya 3-7 tahun sekali menjadi 2-5 tahun sekali.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa ElNino telah terjadi dengan
frekuensi yang lebih sering pada saat ini dan mendatang.
Diperlukan beberapa skenario dan inovasi baru dalam
pengelolaan komoditas kelapa sawit sehingga produktivitasnya
tetap dapat dipertahan pada level tinggi. Upaya yang dapat ditempuh
dapat dilakukan dengan dua skenario yaitu pengembangan strategi
mitigasi dan adaptasi. Strategi mitigasi diarahkan pada upaya
penggunaan teknologi produksi tanaman yang tingkat emisi gas
rumah kacanya minimal atau bahkan zero. Strategi ini diharapkan
dapat menahan tingkat kenaikan gas rumah kaca di atmosfer.
Strategi yang kedua yaitu skenario adaptasi. Pada strategi kedua
diarahkan untuk implementasi inovasi teknologi produksi tanaman
yang mampu meningkatkan daya adaptasi komoditas kelapa sawit

75
terhadap cekaman kekeringan. Implementasi teknologi tersebut
memungkinkan komoditas kelapa sawit produktivitasnya tertap
dapat dipertahankan pada level tinggi meskipun lingkungannya
mencekam. Upaya-upaya untuk menjaga produktivitas kelapa sawit
pada level tinggi tentu saja potensi keberhasilannya lebih tinggi jika
dilakukan dengan menggunakan kombinasi dua skenario sekaligus
yaitu mitigasi dan adaptasi.
Model inovasi teknologi produksi kelapa sawit yang jika
diimplementasikan dapat memberikan dampak lengkap, sekaligus
mewujudkan strategi mitigasi dan adaptasi, yaitu pengelolaan
kelapa sawit dengan pendekatan agroforestri. Model perubahan
pola tanam dari kelapa sawit monokultur menjadi agroforestri
kelapa sawit memiliki potensi besar untuk mengekspresikan
kapasitas mitigasi dan adaptasi dari ekosistem terhadap kekeringan
sehingga produktivitasnya tetap bertahan pada level tinggi
sekalipun terekspos oleh kondisi cekaman. Agroforestri kelapa
sawit memunculkan skenario mitigasi karena jika sudah stabil
untuk menjalankan skenario operasionalisasi produksinya dapat
dilakukan secara mandiri dengan memanfaatkan sumberdaya insitu.
Kecukupan akses sumber daya insitu untuk menyelenggarakan
operasionalisasi produksi mampu meniadakan kebutuhan
penggunaan input dari luar sistem dalam bentuk pupuk anorganik,
pestisida dan herbisida. Penggunaan input juga menjadi lebih
efektif dan efisien sehingga tingkat kebocoran input ke lingkungan
dapat diminimalkan. Hal ini secara otomatis mampu menekan
emisi, termasuk di dalamnya adalah emisi gas rumah kaca.

76
Gambar 3.12. Kondisi tanah di kebun monokultur kelapa sawit yang langsung
kering dan menjadi seperti pasir ketika tidak turun hujan dalam rentang
seminggu

Model Agroforestri kelapa sawit juga mampu meningkatkan


daya adaptasinya terhadap cekaman kekeringan melalui beberapa
skenario yaitu 1) kenaikan kapasitas dalam memanen air hujan
melalui peningkatan infiltrasi dan penurunan aliran air permukaan
(runoff), 2) penghematan lengas tanah melalui penurunan laju
evapotranspirasi akibat penutupan permukaan lahan secara
lebih maksimal, 3) terjaganya stabilitas cuaca mikro di kawasan
agroforestri kelapa sawit sehingga tidak terjadi fluktuasi temperatur,
kelembaban udara relatif dan angin sehingga lebih nyaman untuk

77
aktivitas metabolisme tanaman, 4) terbangunnya kandungan bahan
organik dan C-organik tanah karena produksi biomasa melimpah,
5) terbangunnya kemelimpahan diversitas mikroorganisme
tanah yang bermanfaat dalam penyediaan nutrisi, zat pemacu
pertumbuhan tanaman, agen proteksi tanaman dan membantu
penyediaan lengas tanah bagi akar, 6) porositas dan permeabilitas
tanah yang ideal akibat membaiknya agregasi tanah dan kenaikan
kandungan koloid humik dan 7) kemampuan tanah yang lebih baik
dalam manahan dan menyediakan nutrisi bagi perakaran tanaman
(Buyinzahttps et al., 2019; Pantera et al., 2021; Kilemo, 2022).

Gambar 3.13. Kondisi lengas tanah yang lebih terjaga dan awet ketika di atas
permukaan tanah diperkaya dengan biomasa seresah pada model agroforestri
kelapa sawit – meranti, lahan tetap lembab meskipun tidak turun hujan selama
dua minggu

Agroforestri kelapa sawit juga dapat ditingkatkan kapasitasnya


dalam pengawetan dan penyediaan lengas tanah ketika berada
pada periode kemarau. Pengayaan kawasan agroforestri kelapa

78
sawit menggunakan jenis-jenis tanaman pengisi zona under story,
misalnya dalam bentuk cover crop dari jenis kombinasi legume
dan non-legume, juga berdampak positif dalam pemanenan dan
pengawetan lengas. Keberadaan dari cover crop mampu secara
nyata meningkatkan kapasitas infiltrasi air hujan dan menurunkan
laju runoff dalam bentuk penutupan permukaan tanah sehingga
menurunkan energi kinetik air hujan ketika menyentuh permukaan
tanah dan peningkatan kandungan bahan organik dan C-organik
tanah yang dapat memperbaiki sifat fisika tanah. Menurut
Buyinzahttps et al. (2019), Pantera et al. (2021) dan Kilemo (2022),
perbaikan sifat fisika tanah dalam bentuk kenaikan permeabilitas
dan porositasnya mampu meningkatkan kapasitas tanah dalam
menyimpan lengas dan menggunakannya ketika periode kemarau.
Agroforestri kelapa sawit juga mampu memproduksi
material biomasa yang sangat besar. Material biomasa tersebut
merupakan sumber daya penting yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kapasitas pemanenan dan pengawetan lengas
tanah. Material biomasa tersebut dapat dipergunakan langsung
maupun diproses lanjut untuk diubah menjadi biobriket, biochar
dan media blok yang dapat dipasang pada kawasan lahan (Gambar
9; Gambar 10; Gambar 13). Material tersebut pemanfaatannya
dapat diintegrasikan dengan fasilitas pemanenan air hujan yang
disiapkan di kawasan lahan. Fasilitas pemanen air hujan yang
wajib disediakan di kawasan agroforestri kelapa sawit yaitu
kombinasi biopori dan rorak. Bahan berupa biobriket, biochar dan
media blok yang diproduksi menggunakan biomasa insitu yang
melimpah di kawasan agroforestri kelapa sawit dapat dimasukkan
ke dalam biopori dan rorak untuk meningkatkan kapasitas kedua
fasilitas fisik tersebut dalam memanen air hujan dan menahan
runoff. Biopori dan rorak yang diperkaya biobriket, biochar dan
media blok memiliki kapasitas yang secara nyata lebih baik dalam
memanen dan mengawetkan lengas untuk mencukupi kebutuhan
lengas tanaman ketika periode kemarau. Pada periode musim
hujan, fasilitas fisik tersebut dapat memanen air hujan secara
maksimal dan pada musim kemarau mereka dapat melepaskan
lengas secara terkendali untuk mencukupi kebutuhan tanaman.

79
Integrasi kelapa sawit dengan tegakan kehutanan pada
model agroforestri, contohnya integrasi kelapa sawit – meranti
seperti di Gambar 3.13, ternyata justru menyebabkan produktivitas
kelapa sawit menjadi lebih tinggi jika dibandingkan kelapa
sawit monokultur terutama pada periode musim kemarau. Pada
musim kemarau, kelapa sawit monokultur mengalami cekaman
lengas karena tingkat kehilangan lengas tinggi melalui evaporasi
akibat tutupan lahan kurang. Cekaman kekeringan tersebut
menyebabkan produktivitas kelapa sawit menurun secara nyata.
Sebaliknya, pada agroforestri kelapa sawit ketika terjadi periode
tidak hujan yang cukup panjang lengas tanah tetap terjaga awet
karena evaporasinya lambat. Evaporasi lebih lambat diakibatkan
oleh tutupan permukaan tanah lebih rapat yang berasal dari mulsa
seresah organik maupun tutupan kanopi oleh jenis yang bervariasi.

Gambar 3.14. Integrasi kelapa sawit – meranti menyebabkan tutupan lahan


menjadi rapat sehingga kemampuannya dalam memanen dan mengawetkan
lengas lebih maksimal jika dibandingkan dengan kelapa sawit monokultur

80
Pada kasus integrasi kelapa sawit – meranti, perakaran
meranti yang bersifat tunjang mampu menembus lapisan tanah
lebih dalam sehingga memiliki kemampuan untuk memompa air
menuju ke area permukaan. Ketika lengas tanah terpompa dari
zona lebih dalam menuju ke area permukaan maka dapat terjadi
sharing lengas antara meranti dengan kelapa sawit mengingat
perakaran kelapa sawit lebih banyak berada di permukaan tanah.
Pertanaman kelapa sawit menjadi terbantu dalam pemenuhan
lengas tanahnya sehingga tidak terekspos cekaman kekeringan
sekalipun berada pada periode musim kemarau. Kondisi inilah
yang menyebabkan produktivitas kelapa sawit pada musim
kemarau tetap terjaga dan tidak berbeda dengan produktivitasnya
ketika periode musim hujan.

Gambar 3.15. Pemompaan lengas dari zona tanah lebih dalam oleh tegakan
kehutanan kembali ke permukaan (water pump) sehingga dapat dimanfaatkan
juga oleh tanaman pertanian (Sumber: Andrew et al., 2021)

81
3.2.3. Pengelolaan Nutrisi Terpadu
Model inovasi teknologi produksi kelapa sawit dalam bentuk
Agroforestri mampu menjamin pengelolaan nutrisi secara terpadu
dengan mengandalkan siklus hara secara tertutup (Pinho et al.,
2012; Barcelos et al., 2015; Tully and Ryals, 2017). Agroforestri
kelapa sawit yang sudah stabil mampu menjalankan skenario
produksinya secara mandiri dengan memanfaatkan sumberdaya
insitu, khususnya biomasa sebagai sumber nutrisi esensial.
Kecukupan akses sumber daya insitu dalam bentuk hara esensial
yang difiksasi oleh jenis tegakan pendamping dari keluarga kacang-
kacangan maupun biomasa menyebabkan skenario produksi dapat
dijalankan dengan mengurangi bahkan meniadakan kebutuhan
penggunaan input dari luar sistem dalam bentuk pupuk anorganik.
Penggunaan input nutrisi juga menjadi lebih efektif dan efisien
karena tingkat kebocoran hara ke lingkungan dapat diminimalkan.
Hal ini dapat berkontribusi pada pengurangan emisi lingkungan
yang bersumber dari kebocoran nutrisi esensial.
Agroforestri kelapa sawit mampu meningkatkan peluang
berlangsungnya siklus hara tertutup sehingga kebutuhan
pasokan input nutrisi dari luar dalam bentuk pupuk anorganik
dapat ditekan. Menurut Pinho et al. (2012), Barcelos et al.
(2015) dan Tully and Ryals (2017), Siklus hara tertutup tersebut
dapat berlangsung dengan tiga skenario yaitu 1) terbangunnya
kandungan bahan organik tanah yang setelah terdekomposisi dan
termineralisasi dapat menyediakan nutrisi esensial bagi tanaman,
2) fiksasi N2 udara oleh Rhizobium yang bersimbiosis dengan
perakaran jenis tegakan pendamping maupun cover crop dari
keluarga kacang-kacangan sehingga dapat memasok kebutuhan
hara N secara mandiri, 3) terbangunnya kemelimpahan diversitas
mikroorganisme tanah yang bermanfaat dalam penyediaan nutrisi,
melalui kemampuannya dalam menfiksasi N2 udara secara mandiri
tanpa bersimbiosis yang juga dapat membantu penyediaan hara N
bagi tanaman, 4) kemelimpahan diversitas mikroorganisme tanah
yang dapat membantu menambang stok hara esensial yang ada di
dalam tanah sehingga menjadi tersedia untuk tanaman misalnya
bakteri penambang fosfat (P) dan 5) kemampuan tanah yang lebih

82
baik dalam manahan dan menyediakan nutrisi bagi perakaran
tanaman karena membaiknya kapasitas pertukaran kation tanah
(KPK) sebagai dampak dari peningkatan kandungan koloid humik.

Gambar 3.16. Potensi siklus hara tertutup di kawasan Agroforestri kelapa sawit
menggunakan pengkayaan jenis dengan 35 spesies tegakan penghasil kayu,
tegakan penghasil buah dan tegakan sumber nutrisi di Brazil
(Sumber: https://news.mongabay.com/2021/03/in-brazil-palm-oil-is-being-
grown-sustainably-via-agroforestri)

Agroforestri kelapa sawit dapat ditingkatkan kapasitasnya


dalam penyediaan nutrisi tanah secara mandiri dengan cara
mengisi zona under story menggunakan cover crop dari jenis
kacang-kacangan. Keberadaan cover crop berbasis kacang-kacangan
secara nyata mampu meningkatkan ketersediaan hara esensial
melalui dua skenario yaitu a) kemampuannya dalam memfiksasi
N2 dan merubahnya menjadi N tersedia secara simbiotik dengan
bakteri Rhizobium dan b) penyediaan biomasa seresah dalam
jumlah melimpah dengan nilai C:N < 22 sehingga lebih cepat
terdekomposisi dan termineralisasi untuk cepat menyediakan
nutrisi esensial. Keberadaan cover crop yang masif menutup
permukaan lahan juga berkontribusi dalam mencegah kebocoran
hara. Mereka bertindak sebagai pemungut hara yang berpotensi
hilang melalui leaching. Hara yang dipungut tersebut selanjutnya
masuk ke dalam biomasa dan ketika biomasa tersebut menjadi

83
seresah serta terurai, hara yang ada dilepaskan lagi sehingga dapat
dipergunakan oleh tanaman utama. Kelompok cover crop yang
perakarannya dalam juga dapat bertindak sebagai agen pemompa
hara yang memindahkan hara dari kedalaman yang tidak dapat
dijangkau oleh pertanaman utama kembali ke permukaan tanah
sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman utama.

Gambar 3.17. Pengkayaan jenis menggunakan understory crops dari kelompok


tanaman legume penutup permukaan tanah pada agroforestri kelapa sawit
(Sumber: https://aarsb.com.my/legume-mucuna-bracteata)

Bomasa dengan volume yang besar dan berkualitas baik


dihasilkan oleh agroforestri kelapa sawit. Biomasa tersebut
merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman secara mandiri dan
sekaligus dapat dikembangkan menjadi material untuk pengawetan
nutrisi supaya tidak mudah tercuci. Produksi biobriket, biochar dan
media blok bersumber dari biomasa insitu sangat memungkinkan
sebagai material untuk pengawetan nutrisi tanaman. Sedangkan
produksi kompos menggunakan biomasa insitu juga dapat
dilakukan untuk menjadi sumber nutrisi bagi tanaman. Biobriket,

84
biochar, media blok dan kompos dapat dipasang pada kawasan
lahan. Material tersebut pemanfaatannya dapat diintegrasikan
dengan fasilitas pemanenan air hujan yang disiapkan di kawasan
lahan. Biobriket, biochar, media blok dan kompos yang diproduksi
dari biomasa insitu selanjutnya dimasukkan ke dalam biopori
dan rorak. Biopori dan rorak yang sudah diisi dengan kombinasi
biobriket, biochar, media blok dan kompos dapat berkembang
menjadi kolam hara yang mampu mencukupi kebutuhan hara
esensial setiap tegakan yang berada di kawasan agroforestri kelapa
sawit.

Gambar 3.18. Pengkayaan jenis vegetasi pada agroforestri kelapa sawit dapat
membangun kandungan bahan organik di dalam tanah sehingga optimal bagi
perkembangan koloni mikrobia bermanfaat (Sumber: Quiza et al., 2015)

Kawasan agroforestri kelapa sawit yang kaya biomasa


seresah merupakan lingkungan yang baik bagi kelompok mikrobia
bermanfaat. Mikrobia bermanfaat jumlah koloninya mampu
berkembang secara masif akibat dari ketersediaan sumber makanan
dalam bentuk seresah, lingkungan dengan suhu tanah yang lebih
dingin karena penutupan kanopinya sempurna, kondisi lingkungan
dengan kelembaban cukup tinggi karena lengas dapat diawetkan
dan aerasi tanah yang optimal karena terjaganya porositas
dan permeabilitas tanah. Karakter-karakter tersebut mampu
menyediakan lingkungan yang nyaman bagi mikroorganisme
bermanfaat sehingga koloninya dapat berkembang secara masif.
Mikrobia dari kelompok simbiotik maupun non-simbiotik
populasinya meningkat sehingga berkontribusi positif dalam

85
bentuk peningkatan penyediaan hara esensial secara mandiri bagi
pertanaman.
Hasil evaluasi terhadap operasionalisasi agroforestri kelapa
sawit di Desa Pangkut dan Karangsari, Propinsi Kalimantan
Tengah khususnya dari sisi pengelolaan nutrisi mengindikasikan
bahwa 100% petani masih tergantung pada penggunaan input
pupuk anorganik. Belum ada sampel petani yang mencoba
mengoptimalkan penggunaan biomasa insitu untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi bagi tegakan kelapa sawit yang mereka kelola.
Ke depan, pola ini perlu diubah dengan diarahkan pada skema
pemenuhan nutrisi secara mandiri melalui penggunaan sumber
daya biomasa insitu. Secara rinci, daftar pupuk anorganik yang
digunakan oleh para sampel petani di kedua lokasi kajian dapat
dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Proporsi sampel petani berdasarkan pada model pengelolaan nutrisi
Desa
No Jenis Jumlah %
Pangkut Karang Sari
1 NPK 2 3 5 18
2 NPK+Urea 4 3 7 24
3 NPK+SP36 1 0 1 3
4 NPK+Dolomit 2 1 3 11
5 NPK+SP36+Dolomit 1 0 1 3
6 NPK+Urea+Dolomit 2 0 2 8
7 NPK+Urea+Borat 1 0 1 3
8 NPK+Organik+Urea 1 0 1 3
9 NPK+Urea+SP36+KCL 1 0 1 3
10 NPK+Urea+Dolomit+Poska 1 0 1 3
11 NPK+Urea+KCL+Dolomit 1 0 1 3
12 NPK+Urea+SP36+Dolomit 1 0 1 3
13 NPK+SP36+KCL+Dolomit 1 0 1 3
14 Urea+SP36+KCL+Dolomit 0 1 1 3
15 Urea+Dolomit 0 1 1 3
16 Organik+Urea+SP36 0 1 1 3
17 Tidak menggunakan pupuk 1 0 1 3
Jumlah 20 10 30 100

86
Sampel petani kelapa sawit di lokasi kajian menggunakan
berbagai macam bahan anorganik sebagai sumber nutrisi. Sudah
terdapat petani yang mulai mengkombinasikan antara sumber pupuk
anorganik dengan pupuk organik berbasis biomasa, hanya saja
proporsinya masih sangat kecil yaitu hanya 3% petani. Pola inilah
yang ke depan perlu untuk diperbaiki karena salah satu poin kunci
dalam implementasi agroforestri kelapa sawit yaitu memandirikan
petani terutama dari sisi sumber hara karena dipenuhi dari sumber
biomasa insitu yang dihasilkan oleh sistemnya sendiri. Sedangkan
untuk jenis pupuk anorganik, petani menggunakan berbagai macam
sumber yaitu NPK, urea, SP36, Dolomit, Borat, KCL dan Ponska.
Penggunaan pupuk dapat dilakukan secara tunggal atau kombinasi
dari pupuk tersebut di atas. Aplikasi pupuk anorganik yang dilakukan
oleh mayoritas sampel petani yaitu 6 bulan sekali dengan dosis
berkisar 0,5 – 2 kg/batang.

3.2.4. Pengelolaan Hama-Penyakit Terpadu


Model pengkayaan jenis pada operasionalisasi Agroforestri
kelapa sawit menyebabkan modofikasi cuaca mikro yang lebih
nyaman bagi semua jasad hidup, fasilitasi shelter yang nyaman
bagi kemelimpahan mikro, meso dan makro fauna dan fasilitasi
sumber makanan yang cukup bagi semua jasad hidup dalam
ekosistem. Situasi ini menyebabkan pola agroforestri kelapa sawit
sangat memungkinkan untuk mengimplementasikan pengelolaan
hama-penyakit secara terpadu. Model pengelolaan hama penyakit
yang dilakukan secara terpadu memberikan beberapa manfaat yaitu
1) menurunkan biaya produksi karena minimalnya penggunaan
pestisida, 2) mencegah pencemaran lingkungan karena tidak
adanya residu bahan kimia pestisida yang lari ke lingkungan
sekitar, 3) meningkatkan biodiversitas dan terciptanya ekosistem
yang stabil dan berimbang, 4) produk pertanian yang dihasilkan
terbebas dari potensi residu bahan kimia pestisida sehingga mudah
diterima oleh market lokal, nasional maupun internasional dan 5)
produk pertanian yang dihasilkan lebih aman untuk dikonsumsi.
Selain dengan konsep pengembangan musuh alami,
operasionalisasi agroforestri kelapa sawit juga dapat dirancang

87
untuk mengendalikan hama-penyakit secara mandiri melalui
pemilihan jenis-jenis yang dapat bertindak sebagai 1) jenis yang
mampu mendisrupsi hama-penyakit menggunakan senyawa
volatile yang dihasilkan maupun warna yang dapat mengganggu
kemampuan visual hama –penyakit sehingga tanaman utama
terbebas atau tidak mampu diserang, 2) jenis yang mampu
mengembangkan musuh alami karena tersedianya shelter dan
makanan bagi mereka sehingga populasi pengganggu dapat ditekan
oleh kehadiran musuh alami yang malimpah dan 3) jenis yang
mampu menarik kehadiran hama-penyakit sehingga mengumpul
di kelompok tanaman yang bukan komoditas utama akibatnya
tanaman utama terbebas dari serangan, setelah mengumpul
baru kemudian hama-penyakit tadi dikendalikan secara masif
menggunakan pengendalian kimiawi maupun mekanis.

Gambar 3.19. Model pengelolaan hama terpadu dengan menggunakan


skenario tanaman perangkap dan musuh alami, yang hanya terjadi pada
model pertanaman campuran (agroforestri) (Sumber: Sarkar et al., 2018)

Pengelolaan hama-penyakit secara terpadu berpeluang besar


untuk diimplementasikan di agroforestri kelapa sawit dengan
konsep pengembangan musuh alami, baik yang bertipe predator

88
maupun parasitoid. Harterreiten-Souza (2014) dan Schroth et al.
(2020) menyatakan bahwa musuh alami hama-penyakit dapat
berkembang karena lingkungan ekosistemnya nyaman dari sisi
ketersediaan shelter, sumber makanan dan cuaca mikro yang
stabil. Komponen agroforestri kelapa sawit yang lebih beragam
memungkinkan tersedianya host yang nyaman bagi musuh alami.
Jenis yang bertindak sebagai host berfungsi sebagai penyedia
shelter sekaligus sumber makanan (Cerda et al., 2020). Supaya
skenario ini dapat berjalan dengan maksimal dan kebun terjaga
dari potensi serangan hama-penyakit maka diperlukan kejelian
dalam memilih spesies yang dimasukkan ke dalam agroforestri.
Spesies yang dimasukkan tersebut beberapa diantaranya dipilih
karena kemampuannya yang baik untuk menjadi host dan sumber
makanan bagi organisme musuh alami.

Gambar 3.20. Konsep pengendalian hama – penyakit secara terpandu


menggunakan model pengembangan tanah supresif (suppressive soil), yang
hanya memungkinkan untuk diimplementasikan pada pola agroforestri
(Sumber: Schmidt et al., 2022)

89
Model pengendalian hama-penyakit terpadu yang potensial
untuk dioperasionalkan pada Agroforestri kelapa sawit yaitu
pengembangan tanah supresif. Harterreiten-Souza (2014)
dan Schroth et al. (2020) menyatakan bahwa pengembangan
tanah supresif dilakukan dengan memanfaatkan jasa mikrobia
bermanfaat dari kelompok rhizobakteria. Berdasarkan hasil
kajian, terdapat beberapa genus mikrobia bermanfaat yang dapat
dimaksimalkan penggunaannya dalam pengembangan skenario
tanah supresif. Genus-genus tersebut yaitu Pseudomonas spp,
Serratia spp, Clavibacter spp, Bacillus spp dan Streptomyces spp.
Inokulasi genus-genus tersebut di lahan agroforestri kelapa sawit
berpotensi memunculkan kapasitas tanah supresif yang efektif
untuk pengendalian patogen-patogen terbawa tanah (soil borne
pathogen). Agroforestri kelapa sawit mampu memberikan jasa
lingkungan yang optimal bagi genus-genus mikrobia bermanfaat
untuk berkembang dalam bentuk kenaikan populasi koloninya.
Jenis jasa lingkungan tersebut yaitu ketersediaan sumber makanan
yang melimpah dalam bentuk bahan organik tanah, tanah yang
lebih lembab dan porus sehingga aerasinya baik dan suhu tanah
yang lebih dingin. Kondisi lingkungan yang demikian ideal bagi
perkembangan koloni bakteri bermanfaat yang berperanan untuk
menginduksi skema tanah supresif.

3.2.5. Pengelolaan Gulma Terpadu


Gulma merupakan permasalahan klasik yang selalu dijumpai
di kawasan perkebunan. Pada saat ini, skema pengendaliannya yang
dominan adalah pengendalian kimiawi menggunakan herbisida.
Terdapat dua kelompok herbisida yang dominan digunakan di
Indonesia, yaitu herbisida berbasis parakuat dan glifosat. Kedua
bahan aktif ini yaitu parakuat dan glifosat merupakan kelompok
bahan aktif herbisida berspektrum luas yang dibanyak negara
sudah dilarang penggunaannya, atau setidaknya sudah sangat
dibatasi penggunaannya. Khususnya yang berbasis parakuat,
bahan aktif ini sudah dilarang di banyak negara. Sedangkan
herbisida berbasis glifosat sudah banyak dilakukan pembatasan
dalam penggunaannya, dan kemungkinan besar dalam jangka

90
waktu yang tidak lama juga dihentikan penggunaannya di
banyak negara. Penggunaan bahan aktif herbisida berspektrum
luas memang sudah ditinggal di banyak negara karena dampak
negatif pencemaran dan residu yang ditimbulkannya. Tren pada
saat ini, banyak negara sudah mengalihkannya ke penggunaan
herbisida yang bahan aktifnya berspektrum sempit karena lebih
ramah lingkungan. Namun demikian, tingkat adopsinya oleh
para pekebun di Indonesia tidak masif karena memang kelompok
herbisida yang berspektrum sempit tidak terlalu efektif dan manjur
dalam mengendalikan gulma.
Penggunaan herbisida yang berspektrum luas dalam bentuk
bahan aktif parakuat dan glifosat ke depan perlu dihentikan. Jika
tidak dihentikan, besar kemungkinan dapat ditemukan residu
kedua bahan aktif tersebut di dalam produk yang dihasilkan,
dan banyak negara yang tidak mau membelinya. Oleh karena
itu, cukup mendesak untuk dikembangkan skenario lain dalam
pengendalian gulma dengan tidak berbasis hanya pada penggunaan
herbisida. Paradigma ini, sebetulnya sejalan dengan konsep baru
dalam pengelolaan tanaman perkebunan khususnya kelapa sawit.
Komoditas kelapa sawit, sebaiknya memang diarahkan untuk
dikelola dengan model agroforestri karena sekaligus menjadi
skenario besar untuk pengendalian gulma secara murah namun
efektif.
Agroforestri kelapa sawit memberikan peluang besar untuk
melakukan tutupan lahan secara sempurna dalam waktu lebih
cepat, terutama jika pada zona under story juga dimasukkan cover
crop berbasis kacang-kacangan maupun non kacang-kacangan.
Tutupan lahan secara sempurna yang tercapai dalam waktu lebih
cepat mampu menekan perkembangan gulma sejak awal karena
intensitas radiasi matahari yang sampai ke permukaan tanah
sangat minimal. Hampir 100% radiasi matahari dapat disekap
oleh kanopi tanaman, sehingga jumlah radiasi yang lolos minimal.
Berkaitan dengan program pengayaan jenis di luar komponen
tegakan kelapa sawit perlu dilakukan pemilihan jenis secara presisi
untuk memastikan bahwa tegakan yang dimasukkan memiliki

91
arsitektur kanopi yang beragam. Arsitektur kanopi yang beragam
memungkinkan masing-masing kanopi dapat tersusun secara rapi
pada zona vertikal maupun horizontal lahan sehingga kejadian
tumpang tindih kanopi dapat diminimalkan.
Komponen cover crop, juga memang sengaja dimasukkan
dalam agroforestri kelapa sawit dengan target utama membantu
menekan gulma secara kultur teknis dan mekanis sehingga
intensitas penggunaan herbisida dapat diminimalkan. Penggunaan
herbisida yang minimal memberikan manfaat positif dalam
bentuk perbaikan kelestarian lingkungan karena minimalnya
residu herbisida dan residu herbisida di dalam produk juga dapat
dicegah sehingga produk yang ada lebih mampu diserap oleh
pasar. Pemilihan komponen pengkayaan jenis dari kelompok
tegakan maupun cover crop juga perlu dipertimbangkan untuk
memasukkan jenis dengan kemampuan menghasilkan eksudat
akar yang bersifat alelopatik. Komponen tegakan ini secara sistemik
juga mampu mengendalikan gulma karena eksudat akar yang
dihasilkannya dapat menekan perkembangan gulma disekitarnya
sehingga lahan menjadi terbebas dari gulma secara mandiri tanpa
melibatkan campur tangan herbisida.

Gambar 3.21. Model pengendalian gulma terpadu memanfaatkan skema


agrosilvopasture berbasis kelapa sawit dengan jenis pengkayaan berupa
tegakan pinang, pisang dan peternakan sapi yang digembalakan (Sumber:
Harun and Mohd Salleh, 2015)

Agroforestri kelapa sawit selain berpotensi mengendalikan


gulma dengan skenario kultur teknis dan mekanis juga dapat
diarahkan menuju pengelolaan gulma berbasis bioherbisida.
Bioherbisida yaitu herbisida berbahan aktif ekstrak tanaman yang

92
efektif untuk mengendalikan gulma. Beberapa jenis tanaman,
sudah diketahui bahwa organ-organ tertentu ketika diekstraksi,
hasil ekstraksinya dapat bersifat fitotoksik untuk kelompok gulma
tertentu. Jika skenario ini dikembangkan maka hal kritis yang perlu
dilakukan yaitu memilih komponen pengkayaan menggunakan
jenis tanaman yang organ-organnya memiliki potensi untuk
menghasilkan senyawa fitotoksik. Jika hal ini dapat dilakukan maka
Agroforestri kelapa sawit secara mandiri mampu menghasilkan
material yang dapat bertindak sebagai pengendali gulma.

3.3 INDIKATOR KINERJA AGROFORESTRI KELAPA SAWIT

3.3.1 Pengelolaan Kinerja Tegakan


Kinerja per tegakan merupakan penentu utama kinerja
per blok dalam kawasan Agroforestri. Kawasan Agroforestri
yang produktif diindikasikan oleh keragaan per tegakan yang
juga produktif. Produktivitas per tegakan yang tinggi dijamin
jika tegakan tersebut memiliki kapasitas pertumbuhan dan
perkembangan yang maksimal. Pertumbuhan dan perkembangan
yang maksimal merupakan ekspresi dari mekanisme metabolik yang
juga maksimal di dalam jaringan masing-masing individu tegakan.
Mekanisme metabolik per tegakan dapat mencapai maksimal jika
masing-masing mendapatkan lingkungan tumbuh yang nyaman
terutama dari sisi karakteristik cuaca mikro, kesuburan tanah
maupun komponen pengganggu dalam bentuk hama, penyakit
dan gulma. Beberapa anasir cuaca mikro yang mengendalikan
metabolisme maksimal yaitu curah hujan, distribusi hari hujan,
intensitas radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara dan
kecepatan angin. Dari sekian banyak anasir cuaca mikro tersebut
kondisinya dapat termodifikasi melalui pengelolaan pola tanam
termasuk di dalamnya yaitu pola tanam model agroforestri
(Donfack et al., 2021).
Agroforestri kelapa sawit operasionalisasinya jelas
mempengaruhi beberapa anasir cuaca mikro di dalam kawasan.
Untuk menjamin supaya per tegakan kelapa sawit mampu
memberikan produktivitas maksimal perlu dijaga supaya tegakan

93
tersebut mendapatkan pencahayaan setidaknya 600 photosynthetic
photon fluid density (PPFD) atau setara dengan minimal 80%
intensitas radiasi matahari. Oleh karena itu, supaya persyaratan
tersebut terpenuhi maka operasionalisasi agroforestri kelapa
sawit perlu mempertimbangkan pengaturan jarak tanam, potensi
overlapping kanopi diantara tegakan kelapa sawit dengan non-kelapa
sawit. Supaya kebutuhan radiasi matahari kelapa sawit tercukupi
secara optimal maka yang paling aman adalah digunakannya
jenis tegakan pendamping yang model kanopinya berdaun sempit
dan kecil, sebagai contoh yaitu sengon, petai dan jengkol. Model
agroforestri kelapa sawit justru mampu memberikan kondisi suhu
udara, kelembaban udara dan kecepatan angin yang stabil dan tidak
berfluktuasi sehingga ideal untuk proses metabolisme maksimal.
Kondisi yang demikian dapat terjadi karena arsitektur kanopi yang
beragam dari jenis-jenis tegakan penyusun kawasan agroforestri
dapat menjadi penyangga bagi suhu udara, kelembaban udara
dan kecepatan angin sehingga tidak mudah terjadi fluktuasi yang
ekstrim. Oleh karena itu, yang perlu untuk diantisipasi dari potensi
ekses negatif model agroforestri kelapa sawit adalah distribusi
pencahayaan yang adil bagi jenis-jenis penyusunnya.
Berkaitan dengan faktor kesuburan tanah, pada beberapa
sub-bab sebelumnya keberadaan agroforestri kelapa sawit justru
berkontribusi positif pada terbangunnya kesuburan tanah yang
mampu memberikan layanan kesuburan maksimal bagi semua
komponen penyusun. Tegakan kelapa sawit dapat memperoleh
jasa layanan dalam bentuk subsidi hara yang berasal dari jenis
tegakan pendamping yang memiliki kemampuan memfiksasi N
dan memompa kembali hara yang sudah keluar dari zona rhizosfer
kembali ke area jarapan perakaran. Sebaliknya, tegakan non-kelapa
sawit juga mendapatkan manfaat dari jasa layanan yang diberikan
oleh komponen kelapa sawit dalam bentuk pasokan biomasa yang
melimpah berupa tandan kosong. Kedua tegakan, kelapa sawit
dan non-kelapa sawit, juga mendapatkan jasa layanan nutrisi dan
zat pemacu pertumbuhan dari mikroorganisme bermanfaat yang
bersifat simbiotik dan non-simbiotik yang koloninya berkembang
masimal pada kawasan agroforestri kelapa sawit.

94
Tutupan permukaan lahan yang lebih maksimal pada model
agroforestri kelapa sawit secara sistemik juga maksimal dalam
mengendalikan gulma. Skema pengendalian gulma dapat dialihkan
dari model yang sepenuhnya kimiawi menggunakan herbisida pada
pertanaman monokultur menjadi pengelolaan dengan kultur teknis
pada agroforestri. Keuntungannya yaitu 1) lebih ramah lingkungan
karena tidak ada residu kimiawi, 2) produk terbebas dari residu
herbisida dan 3) tidak berbiaya karena menggunakan jasa layanan
yang disediakan oleh komponen penyusun ekosistem.
Hal yang serupa berkaitan dengan jaminan kesehatan tegakan
akibat terbebas dari serangan hama-penyakit. Model agroforestri
mampu memunculkan beberapa skema pertahanan secara mandiri
yaitu 1) model pengembangan musuh alami, 2) model introduksi
jenis tanaman yang mampu memunculkan kapasitas mesdisrupsi,
menolak dan memerangkap hama-penyakit sehingga tidak
mengganggu komponen utama dan 3) model pengembangan tanah
supresif dengan memanfaatkan jasa mikroorganisme bermanfaat.
Implementasi model ini juga membawa beberapa benefit yaitu 1)
ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu pestisida, 2)
produk bebas dari residu pestisida sehingga lebih aman dikonsumsi
dan 3) tidak berbiaya karena menggunakan fasilitas jasa layanan
yang disediakan oleh salah satu komponen penyusun agroforestri.

3.3.2 Penjaminan Indikator Kinerja Tegakan


Sensus tegakan kelapa sawit dan non-kelapa sawit merupakan
agenda rutin yang dilakukan untuk memastikan kesehatan masing-
masing komponen. Kesehatan tegakan yang terkawal dengan baik
merupakan jaminan bagi produktivitas tinggi. Sensus tegakan yang
rutin dilakukan mampu memastikan kondisi kesehatan secara real
time sehingga jika dijumpai permasalahan dapat segera ditentukan
penyebabnya, diputuskan rekomendasi penyelesainnya, dilakukan
tindakan untuk mengimplementasikan rekomendasi tersebut
dan dievaluasi efektifitasnya dalam menyelesaikan permasalahan
yang ada. Sensus yang tidak rutin dilakukan menyebabkan
kesehatan tegakan tidak terkawal dengan baik sehingga seringkali
permasalahan yang terjadi terlambat dalam penangannya.

95
Penanganan yang terlambat tidak efektif dalam menyelesaikan
masalah karena diperlukan input yang lebih intensif serta tingkat
keberhasilannya cukup rendah. Jika kesehatan tegakan tidak
terkawal dengan baik maka dalam waktu singkat terjadi penurunan
populasi tegakan secara masif dan menyebabkan agroforestri kelapa
sawit tidak ekonomis untuk diusahakan, dan memerlukan investasi
baru dalam bentuk replanting.
Jaminan produktivitas tinggi dari komponen kelapa sawit
dan non-kelapa sawit juga ditentukan oleh kapasitas pengelola
agroforestri kelapa sawit dalam melakukan pengawalan secara ketat
terhadap komponen hasil. Komponen hasil yang sudah muncul
secara maksimal, belum tentu dapat menjadi produksi jika dalam
perjalanannya tingkat kehilangan hasilnya tinggi (losses), yang
diakibatkan oleh tekanan hama-penyakit. Oleh karena itu, sensus
juga perlu dilakukan secara rinci terhadap semua komponen hasil
baik yang muncul pada jenis kelapa sawit maupun non-kelapa
sawit. Sensus yang rutin dan rinci memungkinkan komponen
hasil kondisinya terkawal dan segera diketahui jika ada gangguan.
Gangguan mampu terdeteksi secara dini sehingga tindakan
penanganannya dapat dilakukan lebih awal. Penanganan yang
lebih awal memberikan beberapa keuntungan yaitu 1) input yang
diperlukan untuk menangani gangguan lebih minimal, 2) biaya
yang dikeluarkan lebih sedikit dan 3) komponen hasil yang terkena
gangguan lebih berpeluang besar untuk diselamatkan.

3.3.3 Pengelolaan Kinerja Blok


Kinerja agroforestri kelapa sawit ditentukan oleh kapasitas
kerja dari blok-blok penyusunnya. Kinerja blok-blok penyusun
agroforestri kelapa sawit ditentukan oleh oleh kapasitas masing-
masing tegakan. Keseragaman kapasitas tegakan dalam satu blok
maupun keseragaman kasitas blok dalam satu wilayah agroforestri
kelapa sawit dapat dipastikan dengan melihat indikator komponen
hasil dan hasil. Sebelum itu, dapat diindikasikan juga oleh performa
pertumbuhan masing-masing tegakan maupun blok. Kawasan
agroforestri kelapa sawit dapat dikatakan produktif jika tingkat
keseragaman antar tegakan maupun bloknya tinggi, dengan

96
kata lain tidak terjadi gap pertumbuhan antar tegakan maupun
antar blok. Upaya untuk meminimalkan gap pertumbuhan dapat
dilakukan melalui pembuatan profil yang rinci dari suatu kawasan
agroforestri. Profil tersebut harus mampu menggambarkan kondisi
riil dari kesehatan tanah maupun tanamannya. Profil berkaitan
dengan kesehatan tanah maupun tanaman dapat menjadi acuan
dalam merumuskan tindakan rekomendasi penanganan masing-
masing tegakan dan blok secara rinci.
Gap pertumbuhan yang sudah tertangani dengan maksimal
merupakan langkah awal untuk menuju kawasan agroforestri
kelapa sawit yang produktif. Langkah berikutnya yaitu skenario
berkaitan dengan upaya untuk meminimalkan terjadinya gap hasil
(yield gap). Upaya untuk menangani gap hasil harus didahului oleh
tindakan untuk mengatasi gap pertumbuhan. Kedua gap tersebut
semuanya berhubungan dengan pengelolaan input, berupa input
yang berasal dari cuaca mikro maupun input yang berasal dari
kesuburan tanah. Pengelolaan input-input tersebut dapat berjalan
secara lebih mandiri pada model agroforestri karena masing-
masing berasal dari jasa layanan yang disediakan oleh komponen
penyusunnya. Pengelolaan input secara mandiri lebih mampu
menjamin ketercukupan pada semua kawasan, sehingga ini
memiliki kontribusi besar pada upaya untuk mencegah terjadinya
gap pertumbuhan dan hasil.

3.3.4 Penjaminan Indikator Kinerja Blok


Upaya penanganan gap pertumbuhan dan hasil merupakan
langkah penting untuk mewujudkan agroforestri kelapa sawit
produktif. Penanganan gap pertumbuhan dan hasil dapat dilakukan
jika kondisi masing-masing tegakan dan blok terpantau secara
rinci. Pemantauan secara rinci kondisi masing-masing tegakan
dan blok menjadi langkah awal untuk melakukan identifikasi
penyebab dari masalah munculnya kasus gap pertumbuhan dan
hasil. Identifikasi permasalahan yang tepat merupakan penentu
ketepatan pemilihan tindakan penanganan. Tindakan penanganan
terhadap permasalahan yang tepat mampu mengatasi permasalahan
tersebut secara efektif dan efisien.

97
Pengawasan kondisi blok secara rinci dapat dilakukan
dengan melakukan sensus yang teratur. Sensus blok secara teratur
mampu memberikan penanganan yang tepat pada blok-blok yang
bermasalah sehingga keragaan pertumbuhannya tetap mampu
bersaing dengan blok lain yang tidak bermasalah. Keragaan
pertumbuhan antar blok yang seragam secara otomatis mampu
menghilangkan kejadian gap pertumbuhan. Penanganan gap
pertumbuhan yang lebih dini merupakan tindakan paling tepat
untuk memastikan tidak terjadinya gap hasil. Gap hasil secara
umum lebih sulit diatasi pada tegakan tanaman tahunan jika
didahului oleh kejadian gap pertumbuhan yang masif. Penanganan
yang lebih dini pada gap pertumbuhan lebih memudahkan upaya
untuk mengatasi gap hasil.

3.4 PENGKAYAAN JENIS DI KAWASAN AGROFORESTRI


KELAPA SAWIT

3.4.1 Dasar Pemilihan Jenis Tegakan Pendamping


Agroforestri kelapa sawit dirancang untuk menjadi
sistem yang produktif, mandiri dan berkelanjutan. Salah satu
kekuatan dari agroforestri kelapa sawit yang diharapkan yaitu
kemandirian input dengan memanfaatkan sumber daya insitu
dan jasa layanan yang dapat disediakan oleh masing-masing
komponen penyusunnya. Hal inilah model investasi yang paling
membedakannya dengan model kelapa sawit monokultur. Kelapa
sawit monokultur mengandalkan input dari luar sistem untuk dapat
menyelenggarakan operasionalisasinya sehingga tidak mandiri
dan berpotensi berbiaya mahal. Kapasitas operasionalisasinya
menjadi tidak stabil karena sangat mudah mengalami goncangan
yang diakibatkan oleh goncangan yang berasal dari sumber input.
Keunggulan komparatif yang diharapkan dari agroforestri
kelapa sawit jika dibandingkan dengan monokulturnya yaitu
terwujudnya kemandirian input sehingga biaya produksi jauh
lebih murah (Sundawati et al., 2020). Biaya produksi yang jauh
lebih murah pada agroforestri kelapa sawit jika dibandingkan
dengan monokulturnya berkontribusi positif pada lebih tingginya

98
potensi profitabilitas (Tabel 1). Oleh karena itu, supaya hal ini
dapat diwujudkan secara maksimal maka diperlukan kejelian
dalam memilih komposisi jenis penyusun agroforestri. Putra et
al. (2012) dan Suryanto and Putra (2012) menyebutkan bahwa
pilihan yang terbaik yaitu jenis-jenis yang mampu memfasilitasi
terwujudnya kemandirian input terutama dalam hal penyediaan
lengas tanah, hara mineral esensial (contoh seperti skema pada
Gambar 22 yang memanfaatkan lamtoro sebagai penopang lada
sekaligus penopang hara N secara mandiri) dan agen proteksi
dari gangguan hama-penyakit-gulma. Beberapa jenis komponen
penyusun agroforestri kelapa sawit memang secara sengaja dipilih
untuk keperluan penyedia jasa layanan, bukan sebagai penopang
utama pendapatan. Jenis komponen yang terpilih harus memenuhi
beberapa persyaratan sebagai berikut: technically feasible,
economically viable, socially acceptable, sustainable in the long run
dan ecofriendly.

Gambar 3.22. Skema susunan tegakan pada agroforestri kelapa sawit dengan
jenis pengkayaan kakao, lamtoro dan lada di Kalimantan Tengah (Sumber:
Khasanan et al., 2020)

99
Tabel 3.4. Keunggulan komparatif agroforestri kelapa sawit terhadap kelapa
sawit monokultur pada beberapa aspek / indikator

Serapan Kapasitas Pegendalian


Skenario Lahan Profitabilitas Biodiversitas
Karbon Pemanenan Air Erosi
Monokultur
Kelapa Sawit

Agroforestri
Kelapa Sawit

Keterangan:
1. Dampak 2. Dampak 3. Dampak 4. Dampak 5. Dampak 6. Dampak
Positif Positif Positif Negatif Kuat Negatif Negatif
Kuat Medium Lemah Medium Lemah

3.4.2 Tegakan Pendamping Penopang Siklus Hara Tertutup


Salah satu model yang menjadi unggulan ketika dilakukan
operasionalisasi agroforestri yaitu keberlangsungan siklus hara
tertutup untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tegakan baik kelapa
sawit maupun non-kelapa sawit. Tegakan kelapa sawit jelas mampu
memberikan kontribusi nutrisi melalui proses dekomposisi limbah
biomasa yang dihasilkannya dalam volume besar yaitu terutama
pelepah, tandan kosong dan abu cangkang. Sedangkan jenis
tegakan non-kelapa sawit diharapkan mampu menopang siklus
hara tertutup melalui kemampuannya dalam melakukan fiksasi
hara terutama N serta pemungutan kembali hara yang berpotensi
tercuci atau terlindi dan mengembalikannya pada zona rhizosfer
dalam bentuk limbah biomasa.

100
Gambar 3.23. Skema peranan komponen tegakan kehutanan dalam model
agroforestri kelapa sawit, terutama dalam hal mencegah potensi kehilangan
hara melalui pemungutan dan mengembalikannya ke zona permukaan tanah
(Sumber: Isaac and Borden, 2019)

Tegakan pohon kehutanan salah satu cirinya adalah memiliki


perakaran yang berkembang dan mampu menembus lapisan tanah
yang lebih dalam jika dibandingkan dengan tanaman pertanian
karena perakarannya sebagian besar bertipe tunggang. Pada model
agroforestri kelapa sawit, mengingat tegakan kelapa sawit mayoritas
perakarannya berada di permukaan maka jenis tegakan lain sebagai
material pengkayaan dipilihkan yang memiliki perakaran tunggang
dan orientasi pertumbuhan perakarannya ke arah lebih dalam.
Jika dilakukan pemilihan yang demikian, maka seperti halnya
yang terjadi di kanopi dalam bentuk stratifikasi lapisan, di zona
perakaran juga terjadi stratifikasi zona perakaran kearah vertikal.

101
Gambar 3.24. Skema perakaran tegakan tanaman kehutanan yang memiliki
kecocokan dengan perakaran tegakan kelapa sawit karena zona okupasi
struktur vertikalnya tidak saling bersinggungan atau berhimpitan (Sumber:
Hairiah et al., 2020)

Seperti yang tertuang pada Gambar 3.23 dan 3.24, jenis


tegakan kehutanan yang menjadi komponen pencampur dipilih
yang zona perakarannya lebih dalam dari pada zona perakaran
kelapa sawit. Manfaatnya yaitu sebagai komponen penyusun lahan
yang berfungsi dalam pencegahan kehilangan nutrisi melalui
kemampuannya dalam menyerap nutrisi pada zona lebih dalam
untuk selanjutnya dialokasikan ke kanopi. Daun merupakan
bagian kanopi yang utama, dan ketika rontok karena menua
maka daun tersebut mengalami dekomposisi dan mineralisasi

102
selanjutnya merilis hara yang dikandungnya untuk dilarutkan
di permukaan tanah. Sehingga hara yang tadinya sudah tidak
mungkin dimanfaatkan oleh tanaman kelapa sawit karena lokasinya
yang jauh di bawah zona perakaran menjadi dapat dimanfaatkan
kembali. Oleh siklus yang terjadi pada tegakan tanaman kehutanan
posisi hara yang tadinya di lapisan tanah zona bawah dikembalikan
lagi ke permukaan tanah sebelah atas.
Berkaitan dengan kontribusi tegakan non-kelapa sawit dalam
menjalankan siklus hara tertutup, yang perlu diperhatikan adalah
pemilihan jenis yang memang memiliki kemampuan fiksasi N dan
kapasitas produksi limbah biomasa yang cukup besar volumenya.
Di samping itu, tegakan non-kelapa sawit yang memiliki kapasitas
tersebut juga diharapkan tetap memiliki nilai ekonomis yang
unggul dari sisi produk kayu maupun non-kayu. Oleh karena itu,
pertimbangan utama dalam menentukan komposisi jenis tegakan
non-kelapa sawit pada agroforestri kelapa sawit yaitu pertimbangan
ekonomis sekaligus kontribusinya dalam menopang berjalannya
siklus hara tertutup.
Material biomasa yang bersumber dari tegakan kelapa
sawit maupun non-kelapa sawit dapat diproses menjadi produk-
produk turunan yang kaya hara maupun punya kemampuan untuk
mengelola hara secara efektif dan efisien. Beberapa produk turunan
limbah biomasa tersebut yaitu kompos, biochar, biobriket dan blok
media. Di kawasan agroforestri kelapa sawit, supaya manfaat dari
produk turunan limbah biomasa dalam menopang siklus hara
tertutup maksimal umumnya implementasinya dikombinasikan
dengan fasilitas pemanen dan penyimpan air hujan yaitu dalam
bentuk rorak dan biopori. Material berupa kompos, biochar,
biobriket dan blok media seringkali ditempatkan sebagai pengisi
rorak dan biopori. Jika hal ini dilakukan, maka rorak dan biopori
yang diisi dengan kompos, biochar, biobriket dan blok media dalam
jangka panjang dapat berperanan sebagai kolam sumber hara untuk
mendukung siklus hara tertutup.
Berdasarkan kegiatan survei yang telah dilakukan pada
beberapa sampel agroforestri kelapa sawit di Kalimantan Tengah,

103
Jambi dan Riau, dapat diketahui bahwa para pelaku agroforestri
telah menggunakan kedua pertimbangan tersebut dalam memilih
jenis tegakan non-kelapa sawit dalam konsep pengkayaan jenis.
Di beberapa lokasi tersebut, jenis yang menjadi pilihan para
pelaku Agroforestri kelapa sawit yaitu Kemiri, Petai, Durian,
Rambutan, Cempedak, Mangga, Rambai, Keminting, Karet,
Jengkol, Matoa, Tengkawang, Cengkeh, Sengon, Nangka, Lansat,
Meranti, Balsa, Sungkai, Pinang, Sungkai, Kelapa, Mahoni dan
Gaharu. Jenis komoditas penghasil non kayu yang dominan
dimasukkan oleh para pelaku agroforestri kelapa sawit yaitu petai
dan durian. Sedangkan jenis tegakan penghasil kayu yang dominan
dimasukkan para pelaku agroforestri kelapa sawit di lahan yang
mereka kelola yaitu sengon dan meranti. Dari jenis-jenis tersebut,
yang potensial untuk menjadi jenis pendukung berlangsungnya
siklus hara tertutup yaitu Petai, Jengkol dan Sengon yang ketiganya
merupakan keluarga legume. Komponen cover crop dari keluarga
legume juga sebaiknya dimasukkan sebagai penyusun agroforestri
kelapa sawit untuk lebih mampu menopang keberlangsungan siklus
hara tertutup.
Di beberapa kawasan seperti Jambi dan Riau, meranti
cukup dominan digunakan sebagai pendamping kelapa sawit
karena kemampuannya dalam menyediakan jasa layanan nutrisi
terutama fosfor yang penyediaannya dibantu oleh jamur mikoriza
arbuskular (JMA) yang bersimbiosis dengan perakaran meranti.
Keberadaan JMA mampu meningkatkan penyediaan fosfor yang
juga dapat dimanfaatkan oleh tegakan kelapa sawit. Meranti juga
mampu menghasilkan seresah yang cukup cepat terdekomposisi
dan termineralisasi sehingga proses penyediaan hara dari seresah
menjadi jauh lebih cepat. Penyediaan hara dari seresah yang lebih
cepat menguntungkan bagi ketercukupan hara tegakan kelapa sawit
yang tumbuh berdampingan dengan meranti.
Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pertimbangan utama dalam melakukan pemilihan jenis untuk
mengisi kawasan agroforestri kelapa sawit yang mereka kelola yaitu
latar belakang ekonomi komoditas yang pasarnya terbuka dan

104
harganya kompetitif serta pertimbangan jasa layanan dalam hal
kemampuannya untuk mendukung siklus hara tertutup. Mereka
juga menghendaki dukungan berupa pasar dan harga yang baik dari
hasil jenis-jenis yang mereka masukan ke lahan selain komoditas
kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Khasanah et al. (2020) dan Rahmani et al. (2021).

3.4.3 Tegakan Pendamping Penopang Daur Hidrologi Normal


Keunggulan berikutnya yang terkespresi pada model
agroforestri kelapa sawit jika dibandingkan dengan monokulturnya
yaitu kemampuan kawasan untuk menjalankan daur hidrologi
normal. Daur hidrologi normal indikasinya yaitu 1) tingkat
infiltrasi air hujan ke dalam kawasan maksimal, 2) tingkat runoff di
kawasan minimal, 3) cadangan air tanah di kawasan maksimal, 4)
terjadi pemanenan air hujan maksimal, 5) retensi lahan terhadap
lengas maksimal, 6) tidak terjadi erosi dan kehilangan top soil, 7)
tidak terjadi pendangkalan sungai di kawasan dan 8) tidak terjadi
pendangkalan waduk di kawasan bawah.
Beberapa indikasi terjadinya daur hidrologi normal
seperti yang telah dirinci pada paragraf sebelumnya hanya dapat
diwujudkan jika dilakukan pemilihan komponen tegakan penyusun
agroforestri kelapa sawit secara tepat. Untuk memaksimalkan
skema tersebut, yang perlu dilakukan adalah mengintensifkan
pemanfaatan setiap zona pada struktur vertikal dengan beberapa
lapisan kanopi, setidaknya 4-5 lapisan kanopi. Lapisan paling atas
dapat diisi dengan lapisan kanopi tegakan pohon dengan tipikal
daun berukuran kecil dan sempit untuk memungkinkan setidaknya
80% intensitas radiasi matahari diteruskan ke lapisan di bawahnya.
Lapisan di bawah tegakan pohon diisi oleh satu lapis kanopi tegakan
kelapa sawit. Di bawah satu lapis kanopi kelapa sawit selanjutnya
diisi dengan satu lapisan perdu yang tahan terhadap penaungan.
Lapisan yang paling bawah selanjutnya diisi oleh under story crops,
misalnya aneka ubi, empon-empon dan vegetasi penutup tanah.
Susunan kanopi kawasan agroforestri kelapa sawit yang
berstrata dengan setidaknya 4-5 lapisan dari jenis yang bervariasi
menyebabkan energi kinetik tetasan air hujan ketika tiba

105
di permukaan tanah sudah sangat lemah. Kondisi tersebut
menyebabkan tetesan air hujan menyentuh permukaan tanah
dengan pelan dan lembut sehingga memungkinkannya untuk
berinfiltrasi masuk ke dalam pori-pori tanah dan mengisi pori
mikro. Tetesan yang pelan dan lembut juga mencegah terjadinya
jerapan gas di dalam pori tanah karena memberikan kesempatan
kepada gas untuk keluar dari dalam pori menuju ke atmosfer
terlebih dahulu sehingga memberikan kesempatan lebih besar
kepada pori mikro untuk diisi dengan air. Situasi ini secara drastis
mampu menurunkan tingkatan runoff, sehingga selanjutnya
juga diikuti dengan penurunan erosi. Laju erosi dan runoff yang
menurun drastis menyebabkan kawasan lahan mampu menjaga
ketebalan top soil-nya sehingga daya dukung lahan dan kawasan
menjadi lebih baik, dan kemunduran kualitas lingkungan dapat
dicegah. Erosi dan runoff yang tidak terjadi juga mampu mencegah
pendangkalan badan sungai dan embung di kawasan sehingga
fungsi badan sungai dan embung tetap maksimal untuk jangka
panjang. Kejadian banjir karena meluapnya air sungai dan embung
pada periode musim hujan juga dapat diminimalkan.
Infiltrasi air hujan meningkat dengan struktur kanopi
model agroforestri kelapa sawit. Infiltrasi tersebut kapasitasnya
dapat ditingkatkan melalui pembangunan fasilitas pemanen dan
penyimpan air hujan, yang umum diimplementasikan di kawasan
lahan yaitu rorak dan biopori. Kapasitas rorak dan biopori untuk
memanen dan menyimpan air hujan meningkat secara maksimal
ketika di dalamnya diperkaya dengan material biomasa limbah
yang sudah dibentuk menjadi biobriket, biochar maupun blok
media. Material biomasa limbah tersebut dipanen dari sumber
biomasa insitu yang eksis di dalam kawasan agroforestri, baik yang
bersumber dari tegakan kelapa sawit maupun non-kelapa sawit.
Salah satu contoh model agroforestri kelapa sawit yang cukup
ideal yaitu kombinasi antara tegakan kelapa sawit dengan meranti.
Pada model agroforestri kelapa sawit – meranti yang sudah mapan
dicirikan oleh posisi kanopi meranti yang sudah di atas kanopi
kelapa sawit. Terdapat jarak yang cukup lebar antara lapisan teratas

106
kanopi kelapa sawit dengan lapisan terbawah kanopi meranti
sehingga tidak terjadi singgungan diantara keduanya. Kanopi
meranti yang terdapat di atas kanopi kelapa sawit susunannya
longgar dan berbentuk mahkota sehingga meneruskan sejumlah
cahaya yang mencukupi untuk metabolisme kelapa sawit. Batang
tegakan meranti yang posisinya berada di bawah kanopi kelapa
sawit tidak memiliki percabangan karena mengumpul sebagai
mahkota pada ujung tegakan. Percabangan yang ternaungi oleh
tegakan kelapa sawit secara otomatis terdegradasi (mati) karena
kemampuan meranti dalam melakukan auto pruning. Karakteristik
ini sangat menguntungkan sehingga jelas tidak mengganggu kelapa
sawit ketika keduanya dicampur di lahan yang sama dengan pola
agroforestri.

Gambar 3.25. Struktur morfologi bagian batang tegakan meranti yang berada
di bawah lapisan kanopi kelapa sawit (kanan), dan struktur morfologi lapisan
kanopi meranti yang berada di sebelah atas lapisan kanopi kelapa sawit (kiri)

Dari sisi karakteristik perakaran, tegakan meranti memiliki


perakaran tunggang yang cenderung tumbuh vertikal sehingga
lokasinya menjauh dari zona perakaran kelapa sawit. Perakaran
tunggang yang tumbuh vertikal kearah dalam juga menguntungkan

107
dari sisi kemampuannya dalam menyerap air tanah di zona tersebut
dan mengembalikannya ke lapisan permukaan tanah sehingga
antara meranti dan kelapa sawit dapat saling berbagi lengas
tanah. Peranan meranti di sini lebih sebagai penyedia jasa layanan
lengas bagi kelapa sawit. Perakaran meranti juga telah diketahui
memiliki kemampuan simbiotik yang sangat baik dengan JMA.
Simbiotik tersebut juga menguntungkan karena keberadaan JMA
sangat membantu perakaran dalam meningkatkan kemampuannya
memanen lengas tanah. Kemampuan perakaran tegakan meranti
dalam menyerap lengas tanah menjadi semakin maksimal, dan
mampu memperbesar volume air yang dapat dibagi dengan tegakan
kelapa sawit.

3.4.4 Tegakan Pendamping Penopang Pengelolaan Hama-


Penyakit Terpadu
Salah satu penyebab kurang produktifnya sistem produksi
tanaman yaitu tingginya tingkat losses (kehilangan) hasil akibat
serangan hama-penyakit. Perkebunan rakyat pada umumnya tidak
intensif dalam mengendalikan tingkat serangan hama-penyakit
akibat dari cukup mahalnya biaya pestisida sehingga menjadi
kurang terjangkau oleh para pengelola. Di samping itu, penggunaan
pestisida yang intensif berpotensi memunculkan residu pada
produk yang dihasilkan sehingga produk kurang aman untuk
dikonsumsi. Jika produk terindikasi tingkat residu bahan kimia
pestisidanya tinggi, beberapa pangsa pasar komoditas juga tidak
mau menyerapnya karena isu mengenai keamanan pangan.
Menimbang isu biaya pestisida yang mahal dan residu
pestisida yang dapat membahayakan konsumen maka diperlukan
skenario lain untuk mengendalikan hama-penyakit sehingga
kendala-kendala di atas teratasi. Model agroforestri kelapa
sawit sangat memungkinkan untuk dimunculkannya skenario
pengelolaan hama-penyakit yang tidak berbasis pestisida sehingga
biaya pengendalian menjadi lebih murah dan ramah lingkungan.
Model pengendalian hama-penyakit yang dikembangkan tersebut
berbasis 1) skema musuh alami, 2) tegakan pendisrupsi, penolak

108
dan pemerangkap hama-penyakit, dan 3) pengembangan tanah
supresif.
Terdapat beberapa alasan yang memperkuat kenapa
pengelolaan kelapa sawit dengan skema agroforestri memiliki
ketahanan terhadap hama-penyakit yang jauh lebih kuat jika
dibandingkan dengan monokulturnya. Hal ini terjadi karena
agroforestri kelapa sawit memungkinkan terwujudnya ketiga skema
di atas sehingga mereka mampu melakukan pengendalian hama-
penyakit secara mandiri. Kemandirian tersebut secara otomatis
mampu menurunkan intensitas penggunaan pestisida sehingga
para pengelola agroforestri kelapa sawit tingkat ketergantungannya
dapat diminimalkan terhadap pestisida. Skema-skema mandiri
dalam pengelolaan hama penyakit mampu muncul dalam model
agroforestri kelapa sawit karena tersedianya lingkungan cuaca
mikro yang nyaman bagi kehidupan organisme musuh alami,
ketersediaan sumber makanan yang melimpah bagi musuh alami
dan berkembangnya secara masif koloni para musuh alami. Jenis-
jenis berikut ini potensial untuk dimasukkan sebagai komponen
penyusun agroforestri kelapa sawit karena dapat memberikan
jasa layanan dalam bentuk pengendalian hama-penyakit secara
mandiri, yaitu Kemiri, Petai, Durian, Rambutan, Cempedak,
Mangga, Rambai, Keminting, Karet, Jengkol, Matoa, Tengkawang,
Cengkeh, Mintoa, Suren, Sengon, Nangka, Lansat, Meranti, Balsa,
Sungkai, Pinang, Sungkai, Kelapa, Mahoni dan Gaharu.

3.4.5 Tegakan Pendamping Penopang Pengelolaan Gulma dengan


Pendekatan Kultur Teknis
Pada model pengelolaan kelapa sawit secara monokultur,
salah satu biaya yang cukup besar dalam operasionalisasi yaitu biaya
pengendalian gulma yang berbasis pada herbisida, mencakup biaya
bahan yaitu herbisida dan biaya tenaga untuk mengaplikasikan
herbisida tersebut. Pada model kelapa sawit monokultur, kehadiran
gulma cukup intensif akibat kondisi ruang yang terbuka sehingga
radiasi matahari masih dapat menjangkau permukaan tanah.
Kondisinya yang monokultur menyebabkan pengendalian gulma
secara kimiawi menggunakan herbisida adalah yang diandalkan.

109
Nyaris tidak terdapat peluang untuk mengendalikan gulma dengan
pendekatan kultur teknis.
Hal yang berbeda dijumpai pada model agroforestri kelapa
sawit. Model agroforestri kelapa sawit memiliki kemelimpahan
struktur kanopi yang sangat beragam. Kemelimpahan struktur
kanopi yang beragam menyebabkan semua ruang tumbuh di
kawasan agroforestri, baik vertikal maupun horizontal, mampu
diokupasi oleh tanaman. Akibatnya tingkat sekapan dan
penggunaan intensitas radiasi di kawasan agroforestri kelapa sawit
maksil. Terindikasi dari tingkat penerusan cahaya yang rendah
menuju ke permukaan tanah, bahkan tidak ada penerusan cahaya
sama sekali. Semua space (ruang tumbuh) juga sudah diokupasi
oleh kanopi sehingga tidak tersedia ruang lagi untuk diisi oleh
vegetasi gulma. Situasi ini secara otomatis mampu mengendalikan
pertumbuhan dan perkembangan gulma secara mandiri dan murah
sehingga intensitas dan biaya penggunaan herbisida dapat ditekan
maksimal.
Diperlukan penataan pola tanam supaya kapasitas agroforestri
kelapa sawit dalam mengendalikan gulma dapat terjadi secara
efektif dan efisien. Hal utama yang perlu menjadi perhatian
yaitu melakukan pola tanam yang secara maksimal mampu
mengendalikan gulma secara mandiri. Pola tanam yang dipilih
harus mampu memaksimalkan pemanfaatan radiasi matahari
sehingga tidak ada radiasi matahari yang lolos ke permukaan tanah.
Oleh karena itu, ke dalam agroforestri kelapa sawit setidaknya
dimasukkan 4–5 kelompok vegetasi yang mampu membentuk 4–5
lapisan kanopi secara berstrata.
Jenis-jenis berikut dapat dipilih untuk dikombinasikan
sehingga kawasan Agroforestri kelapa sawit dapat membentuk
minimal 4-5 lapisan kanopi yang berstrata, yaitu Kemiri, Petai,
Durian, Rambutan, Cempedak, Mangga, Rambai, Keminting,
Karet, Jengkol, Matoa, Tengkawang, Cengkeh, Sengon, Nangka,
Lansat, Meranti, Balsa, Sungkai, Pinang, Sungkai, Kelapa, Mahoni
dan Gaharu. Petai atau sengon dapat dipilih sebagai pengisi lapisan
kanopi paling atas. Di bawahnya diisi oleh lapisan kanopi kelapa

110
sawit. Keragaan daun sengon atau petai yang berukuran kecil dan
sempit memungkinkan jumlah radiasi matahari yang diloloskan ke
bawah setidaknya 80% sehingga ideal bagi kelapa sawit. Di bawah
lapisan kanopi kelapa sawit dapat diisi dengan vegetasi perdu,
jenis yang dapat dipilih yaitu cengkih, nangka dan cempedak.
Sedangkan di bawah lapisan kanopi vegetasi perdu dapat diisi
dengan jenis aneka ubi dan empon-empon. Struktur kanopi yang
terbawah selanjutnya dapat diisi dengan vegetasi penutup tanah
(cover crop) dari keluarga legume. Implementasi model ini mampu
mengendalikan gulma secara mandiri yang efektif dan efisien.

3.4.6 Hasil Evaluasi Terkait dengan Pemilihan Jenis Tegakan


Non Kelapa Sawit dan Pelaksanaan Pola Tanamnya
di Lokasi Agroforestri Desa Pangkut dan Karangsari,
Provinsi Kalimantan Tengah
Jenis tanaman kehutanan yang ditanam sebagai tanaman
pengisi dalam Agroforestri kelapa sawit pada beberapa sampel
petani yang menjadi obyek kajian adalah rambai, kemiri, durian,
petai, cengkeh, sengon, jengkol, keminting dan rambutan.
Berdasarkan hasil inventarisasi jumlah tanaman berkayu yang
paling banyak ditanam adalah petai sebanyak 1.965 batang, disusul
durian 850 batang dan sengon 673 batang. Selengkapnya jumlah
tanaman untuk masing-masing jenis dalam Agroforestri kelapa
sawit di Kalimantan Tengah disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Jumlah jenis tanaman berkayu dalam Agroforestri sawit


Desa
Jumlah
No Jenis Tanaman Pangkut Karang Sari
Petani Batang Petani Batang Petani Batang
1 Rambai 3 53 0 0 3 53
2 Kemiri 10 330 0 0 10 330
3 Durian 12 670 4 180 16 850
4 Petai 17 1805 2 160 19 1965
5 Cengkeh 12 640 0 0 12 640
6 Sengon 1 10 9 663 10 673
7 Jengkol 3 12 1 46 4 58

111
Tabel 3.5 Jumlah jenis tanaman berkayu dalam Agroforestri sawit (lanjutan)
Desa
Jumlah
No Jenis Tanaman Pangkut Karang Sari
Petani Batang Petani Batang Petani Batang
8 Keminting 2 70 0 0 2 70
9 Rambutan 2 18 0 0 2 18

Alasan pemilihan jenis tanaman non-kelapa sawit yang


dimasukkan ke dalam agroforestri kelapa sawit cukup bervariasi
diantara sampel petani yang menjadi obyek kajian. Namun
demikian, jika ditelusur lebih dalam terdapat beberapa hal
utama yang menjadi pertimbangan mereka ketika memilih jenis
diantaranya yaitu (1) dipilih jenis yang lebih cepat dapat dipanen;
(2) dipilih jenis tanaman yang dapat menambah penghasilan;
(3) meniru contoh yang sudah ada dan mulai menghasilkan; (4)
pemilihan jenis mengikuti program pemerintah; dan (5) jenis yang
dipilih adalah yang nilai ekonominya tinggi. Secara lengkap, alasan
pemilihan dapat dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Alasan Pemilihan Jenis Tanaman Berkayu Dalam Agroforestri Sawit
Desa
No Alasan Jumlah %
Pangkut Karang Sari
1 Lebih cepat di panen 0 9 9 16
2 Harapan dapat menambah penghasilan. 8 0 8 14
Karena ada contoh yang sudah
3 7 0 7 12
menghasilkan.
4 Mengikuti program pemerintah 5 0 5 9
5 Nilai ekonominya tinggi 0 5 5 9
6 Untuk Investasi 0 4 4 7
Karena ketersediaan bibit, sehingga
7 3 0 3 5
ditanam saja.
8 Sebagai warisan untuk anak/cucu. 3 0 3 5
9 Hanya coba-coba saja. 3 0 3 5
Dapat dijadikan konsumsi pribadi atau
10 2 0 2 4
dijual dengan mudah.
Hanya sebagai tanaman pengganti/
11 2 0 2 4
sulaman.

112
Tabel 3.6. Alasan Pemilihan Jenis Tanaman Berkayu Dalam Agroforestri Sawit
(lanjutan)
Desa
No Alasan Jumlah %
Pangkut Karang Sari
Sering melihat masyarakat menjual
12 dengan harga yang tinggi, sehingga 1 0 1 2
termotivasi untuk menanam.
Karena mudah untuk menjual dan
13 1 0 1 2
memasarkan.
Tanaman awal yang ditanam inisiatif
14 1 0 1 3
sendiri
Adanya bibit di KBD itu sehingga
15 0 1 1 2
memilih itu
Karena Petai ada masa gugur sehingga
16 daun dari petai tidak menganggu 0 1 1 2
pertumbuhan sawit
Karena harus ada tanaman berkayu
17 yang ditanam sehingga meranti adalah 0 1 1 2
pilihan yang tepat

Hasil evaluasi model pola tanam yang diterapkan oleh para


sampel petani di lokasi kajian cukup bervariasi. Secara garis besar,
ditemukan beberapa model pola tanam tanaman berkayu dalam
agroforestri sawit yang cukup dominan yaitu (1) alternate rows
(baris bergantian) adalah setiap baris tanaman sawit diselingi
dengan baris tanaman berkayu secara bergantian. Pada pola ini
dilakukan penjarangan pohon kelapa sawit untuk digantikan
dengan baris tanaman berkayu; (2) alley cropping (lorong) adalah
setiap 2 baris pohon kelapa awit ditanam berselingan dengan
2 baris tanaman berkayu. Seperti halnya pada alternate rows
diperlukan penjarangan tanaman sawit untuk diganti dengan 2
baris tanaman berkayu; (3) sisipan (pengayaan) adalah tanaman
berkayu disisipkan diantara pohon kelapa sawit tanpa dilakukan
penjarangan terhadap tegakan kelapa sawit; (4) trees along border
(pagar dengan tanaman berkayu) adalah tanaman berkayu ditanam
mengelilingi kebun kelapa sawit sebagai tanaman pagar atau batas,
tidak ada tegakan kepala sawit yang ditebang; dan (5) pola tanam
pilihan (seleksi dengan tanaman berkayu) adalah tanaman kelapa
sawit yang tidak produktif atau kelapa sawit jantan ditebang dan
diganti dengan tanaman berkayu.

113
Jumlah sampel petani di lokasi kajian yang melakukan pola
tanam tanaman berkayu secara sisipan adalah paling banyak
dibandingkan pola tanam lainnya. Pola tanam dominan kedua yang
banyak diadopsi oleh para sampel petani yaitu alternate rows. Tabel
5 memberikan informasi bahwa ada juga beberapa sampel petani
yang menggabungkan beberapa pola tanam tanaman berkayu
di lahan agroforestri kelapa sawitnya, seperti pola sisipan yang
dikombinasikan dengan pola tanam trees along border sebanyak
10% sampel petani, dan pola tanam alley cropping dikombinasikan
dengan alternate rows dan sisipan sebanyak 3% sampel petani.
Secara rinci, jumlah sampel petani berdasarkan pola tanam
tanaman berkayu yang mereka anut dalam agroforestri kelapa sawit
disajikan pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7. Jumlah Petani berdasarkan Pola Tanam Tanaman Berkayu dalam
Agroforestri Kelapa Sawit
Desa Prosentase
No Pola Tanam Jumlah
Pangkut Karang Sari (%)
1 Sisipan 14 0 14 47
2 Alternate Rows 1 0 1 3
3 Trees Along Border 3 8 11 37
4 Sisipan dan Trees Along Border 2 1 3 10
5 Alley cropping, alternate rows 3
0 1 1
dan sisipan
Jumlah 20 10 30 100

3.5 PRODUK NON-SAWIT DI KAWASAN KELAPA SAWIT


CAMPUR

3.5.1 Produk Elit Non-Kayu


Produk non kayu adalah semua benda biologis termasuk
jasa lingkungan kecuali produk kayu yang dihasilkan dari kawasan
agroforestri kelapa sawit. Definisi lain yang mengartikan produk
non kayu di kawasan agroforestri kelapa sawit adalah hasil hayati
baik nabati maupun hewani beserta produk turunannya dan
budidaya kecuali kayu. Sedangkan yang dimaksud dengan produk
elit non kayu adalah produk yang mempunyai nilai ekonomis

114
tinggi. Pengembangan Produk non kayu di Kawasan agroforestri
kelapa sawit sangat strategis karena dapat meningkatkan
pendapatan petani, memperluas lapangan kerja, memperbaiki
fungsi lingkungan yang homogen kelapa sawit menjadi mendekati
fungsi hutan yang lebih kompleks, serta dapat mengurangi emisi
karbon.
Produk non-kayu yang dihasilkan dari kawasan agroforestri
kelapa sawit dapat dibedakan atas kelompok: (1) jenis resin; (2)
minyak atsiri, (3) minyak lemak, (4) buah-buahan, (5) getah, (6)
tanaman obat, (7) hasil hewan, dan (8) jasa lingkungan. Jenis
penghasil produk non kayu yang umumnya dihasilkan dari
agroforestri atau hutan rakyat disajikan pada Tabel 3.8 berikut.

115
Tabel 3.8. Jenis Penghasil Produk Kayu dan Kegunaannya

116
No Produk Non Kayu Jenis Penghasil Kegunaan

Agatis, Damar, Embalau, Kapur Barus, Kemenyan, Kesambi, Rotan Jernang, Tusam, S. Leprosula, S.
1 Resin Hopeifolia, S. Johorensis, Hopea sp., Vatica sp., Balam, Gemor, Getah Merah, Hangkang, Jelutong, Kerajinan, Furniture
Karet Hutan, Ketiau, Kiteja, Perca, Pulai, Sundik, Jernang
Penyedap rasa, Pewangi,
2. Minyak Atsiri Akar Wangi, Cantigi, Cendana, Ekaliptus, Gaharu, Kamper, Kayu Manis, Kayu Putih obat anti nyeri, infeksi dan
pembunuh bakteri

Bahan makanan, obat,


Balam, Bintaro, Buah Merah, Kroton, Kemiri, Kenari, Ketapang Tengkawang, S. stenoptera, S.
3. Minyak lemak ene rgi, kos me t ik dan
pinanga, Akasia, Bruguiera, Gambir, Nyiri, Pinang, Rizopora, Pilang, Nyatoh, Getah Jelutung
material lainnya

4. Karbohidrat Aren, Bambu, Gadung, Iles-Iles, Jamur, Sagu, Terubus, Suweg, Rumbia, Air Nira, Rotan, Pakis Konsumsi
Aren, Asam Jawa, Cempedak, Duku, Durian, Embak Atau Kapul (Baccaurea sp.), Gandaria,
Jengkol, Kesemek, Langsat (Lansium Domesticum Corr.), Lengkeng, Manggis Hutan (Garcinia
5. Buah buahan sp.), Matoa, Melinjo, Mengkudu, Nangka (Artocarpus sp.), Pala, Petai, Rambe Pinang, Rambutan Konsumsi
(Nephelium Lappaceum L.), Sarikaya, Sawo, Sebalik Sumpah (Symplocos spp.), Sirsak, Sukun,
Ubai Atau Ubah (Eugenia sp)
Adhas, Ajag, Ajerar, Akar Binasa, Akar Gambir, Akar Kuning, Asam Gelugur, Burahol, Cariyu,
6. Obat Cempaka Putih, Cereme; Dadap Ayam, Jahe, Kemiri, Kunyit, Merpayang (Scaphium Macropadum), Obat-obatan herbal
Patikala, Temulawak, Tunjuk Langit (Helminthostachis Zeylanica)
7. Lain-Lain Madu, Anggrek Konsumsi, Obat, hiasan
Hasil identifikasi produk non kayu dari kawasan agroforestri
kelapa sawit yang potensial, untuk kelompok resin yaitu meranti,
damar, jelutong, karet; untuk kelompok minyak atsiri yaitu gaharu,
kayu manis, kayu putih, cengkeh; untuk minyak lemak yaitu
Kemiri; untuk karbohidrat yaitu jengkol, petai; untuk buah-buahan
yaitu durian, petai, rambutan; sedangkan untuk obat yaitu Jahe,
Kemiri, kunyit; dan kelompok lain meliputi madu dan anggrek.

3.5.2 Produk Kayu


Produk kayu adalah produk yang dihasilkan dari bahan dasar
kayu. Perkembangan teknologi yang semakin canggih memberikan
peluang memproduksi prouk yang berbahan dasar kayu lebih
variatif. Produk yang berbahan dasar kayu antara lain: kayu lapis
(plywood), Kayu Gergajian/Sawntimber, Kayu Serpih/Chip, Kayu
Bentukan/Moulding, Veneer, Blockboard, Furniture, Kertas, Pulp,
Komponen bangunan / kayu bangunan, Papan Partikel/Particle
Board, Papan Serat, dan Papan Semen.
Produk kayu olahan di Indonesia telah banyak diekspor ke
negara lain. Tentunya ini menambah sumber penghasilan dan
devisa negara. Produk kayu olahan di Indonesia terutama diekspor
ke negara Asia seperti Jepang, Singapura, Taiwan, Hongkong,
China dan Korea Selatan. Selain itu juga di ekspor ke negara-
negara Eropa dan Amerika Serikat. Ketua Forum Komunikasi
Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) Indroyono Soesilo
mengungkapkan kinerja sektor kehutanan positif di awal tahun
2022. Total ekspor produk kayu pada Januari 2022 sebesar 1,23
miliar dolar AS naik 28,2% dibandingkan Januari 2021. Untuk
wilayah Uni Eropa dan Inggris, Ekspor pada Januari 2022 juga
tercatat mengalami kenaikan sebesar 29,69% dengan nilai 104,1 juta
dolar AS dibandingkan dengan catatan pada tahun 2021 sebesar
80,2 juta dolar AS (APHI, 2022).
Jenis kayu untuk bahan dasar produk kayu umumnya
ditentukan berdasarkan kelas awet dan kelas kuat kayu. Kelas awet
kayu adalah tingkat kekuatan alami sesuatu jenis kayu terhadap
serangan hama dinyatakan dalam kelas awet I, II, III. Makin besar

117
angka kelasnya makin rendah keawetannya. Kelas awet kayu
berdasarkan umur pakai disajikan pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9. Kelas Awet Kayu Berdasarkan Umurnya


KELAS AWET I II III IV V
Selalu berhubungan 8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat Sangat
dengan tanah lembab. pendek pendek

Kayu tidak terlindung 20 tahun 15 tahun 10 tahun Beberapa Sangat


terhadap angin dan iklim, tahun pendek
tetapi dilindungi terhadap
air.
Kyu ditempatkan di tempat Tidak Tidak Sangat Beberapa Pendek
terlindung. terbatas terbatas lama tahun

Kayu ditempatkan di Tidak Tidak Tidak 20 tahun 10 tahun


tempat terlindung tapi di terbatas terbatas terbatas
rawat, di cat, dsb.
Kayu termakan / terserang Tidak Jarang Agak Sangat Sangat
rayap cepat cepat cepat
Kayu termakan oleh bubuk Tidak Tidak Hampir Tidak Sangat
kayu, rayap dan serangga tidak seberapa cepat
lain.

Sedangkan kelas kuat adalah tingkat ketahanan alami suatu


jenis kayu terhadap kekuatan mekanis (beban) dinyatakan dalam
Kelas Kuat I, II, III, IV dan V. Makin besar angka kelasnya makin
rendah kekuatannya. Kelas kuat kayu umumnya dinyatakan
berdasarkan Berat Jenis seperti Tabel 3.10.

Tabel 3.10. Kelas Kuat Kayu Berdasarkan Berat Jenisnya


KELAS KUAT BERAT JENIS KERING KUAT LENTUR KUAT DESAK
UDARA
)Kg/Cm² ( )Kg/Cm²(
I 0,90≥ 1100≥ 650≥
II 0,60 – 0,90 725 – 1100 425 – 650
III 0,40 – 0,60 500 – 725 300 – 425
IV 0,30 – 0,40 360 – 500 215 – 300
V 0,30≤ 360≤ 215≤

Jenis kayu yang potensial sebagai produk yang dihasilkan


dari agroforestri sawit di Kalimantan Tengah, antara lain: meranti,

118
rambai, durian (Durio spp), nangka (Arthocarpus spp), sengon,
petai, rambutan (Nephelium lappaecum), karet, manggis (Garcinian
mangostana) dan duku (Lansium domesticum), kemiri (Aleurites
moluccana (L) Wild), petai, dan jengkol. Jenis kayu dari Kawasan
agroforestri sawit di Kalimantan Tengah berdasarkan kelas kuat
dan kelas awetnya digunakan untuk produk kayu disajikan pada
Tabel 3.11 berikut.

Tabel 3.11. Jenis Kayu Agroforestri Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah


Berdasarkan Kelas Kuat dan Kelas Awet untuk penggunaan Produk.
Kelas Kayu
No. Jenis Kayu Produk
Kuat Awet
1 Meranti II-IV III-IV Kayu Konstruksi, Furniture, Kertas
2 Rambai I-II I-II Kayu Konstruksi, Furniture
3 Durian IV-V II-III Kayu Konstruksi Ringan, Furniture
4 Nangka II-V III-V Kayu Konstruksi, Furniture
5 Sengon III-IV III-IV Kayu Konstruksi, Furniture, Pulp,
Kertas
6 Rambutan I-II III Kayu Furniture, Kerajinan
7 Karet II-III V Kayu Furniture
8 Manggis II II-IV Kayu Konstruksi, Furniture
9 Duku II Kayu Konstruksi
10 Kemiri IV IV-V Kayu Lapis, Furniture, Pulp, Kertas
11 Petai III-V V Kayu Konstruksi Ringan, Furniture,
Kerajinan
12 Jengkol II-III IV-V Kayu Konstruksi Ringan, Furniture,
Kerajinan

3.6 KALENDER PANEN

3.6.1 Kalender Panen Produk Kelapa Sawit


Kalender panen adalah periode pemungutan atau pemetikan
hasil tanaman. Pengelolaan panen dan penanganan pasca panen
TBS yang optimal merupakan penentu utama tingkat produktivitas
agroforestri kelapa sawit dari sisi kontribusi komponen tegakan
kelapa sawit. Produktivitas mencakup tiga aspek utama yaitu
volume TBS, rendemen minyak mentah (rendemen CPO) dan
mutu CPO. Aktivitas penanganan panen yang vital yaitu deteksi

119
tingkat kematangan TBS yang tepat sehingga saat panen berada
pada kondisi optimal. Deteksi tingkat kematangan TBS perlu
dikombinasikan dengan kepatuhan terhadap pengelolaan hanca
panen. Hanca panen harus dirancang dengan presisi dengan
mempertimbangkan total luasan kebun menghasilkan yang dikelola
dan ketersediaan tenaga pemanen.
Hanca panen tidak boleh meleset karena jika meleset maka
kegiatan panen tidak selesai dan berdampak pada kemunduran
waktu panen hanca-hanca panen berikutnya. Pemanenan yang
tertunda secara ekonomi merugikan karena a) TBS yang dipanen
pada kondisi lewat panen kandungan asam lemak bebasnya (FFA)
meningkat > 3% sehingga kualitas kualitas CPO menurun. Waktu
panen yang lewat juga menyebabkan randemen minyak menurun.
Pemanenan yang terlalu awal karena keliru dalam melakukan
deteksi tingkat kematangan TBS juga merugikan. Kondisi TBS yang
dipanen pada kondisi belum tepat matang menyebabkan randemen
minyaknya sangat rendah sehingga volume hasil CPO menurun.
Kegiatan panen secara periodik dievaluasi dengan tujuan
untuk menjaga standar mutu panen dan meningkatkan mutu
panenan berikutnya. Evaluasi hasil panenan merupakan aktivitas
yang dijalankan pada periode pasca panen. Kegiatan evaluasi
panen dijalankan dengan model grading terhadap sampel TBS
yang telah dipanen sebelumnya. Inti dari aktivitas grading yaitu
kegiatan menggolongkan sampel buah yang diambil dari TBS
yang telah dipanen berdasarkan tingkat kematangan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Proporsi sampel untuk keperluan
evaluasi kegiatan panen minimal 10% dari total produksi dalam
harian. Pengambilan TBS untuk sampel dalam kegiatan grading
ditentukan secara acak dan harus mampu mewakili keseluruhan
kebun yang dipanen.
Realisasi rerata produktivitas CPO perkebunan kelapa sawit
di Indonesia yang dikelola secara monokultur cukup rendah yaitu
2,67 ton CPO/hektar/tahun. Realisasi produktivitas tersebut masih
sangat jauh di bawah potensi genetiknya yang dapat mencapai 8,00
ton CPO/hektar/musim. Jika dikonversi ke dalam produktivitas

120
TBS, berarti realisasi rerata produktivitas perkebunan monokultur
kelapa sawit Indonesia yaitu 13,33 ton TBS/hektar/musim dari
potensi yang seharusnya dapat mencapai 40,00 ton TBS/hektar/
musim. Mendasarkan pada angka-angka tersebut, jelas bahwa
terjadi yield gap yang sangat lebar antara potensi produktivitas
dengan realisasinya. Penyebabnya yaitu tingginya technology gap,
khususnya pada aspek-aspek yang berkaitan dengan isu onfarm,
dimulai dari mutu bahan tanam, teknologi pemeliharaan dan
manajemen panen.
Data realisasi produktivitas perkebunan kelapa sawit
monokultur ternyata juga tidak menggembirakan. Kondisi ini
sebetulnya membuka peluang bagi implementasi teknologi
budidaya lainnya yang lebih memungkinkan untuk produktif,
minimal memiliki produktivitas yang setara dengan produktivitas
perkebunan kelapa sawit monokultur. Nilai positif yang diharapkan
muncul dari teknologi ini jika dibandingkan dengan pengusahaan
kelapa sawit secara monokultur yaitu lebih ramah lingkungan
serta memberikan peluang konservasi dan jasa layanan ekosistem.
Model pengelolaan yang memungkinkan bagi terwujudnya aspek
konservasi dan jasa layanan ekosistem yaitu agroforestri kelapa
sawit. Pada pengelolaan kelapa sawit dengan model agroforestri,
sangat terbuka peluang untuk mendapatkan realisasi produktivitas
yang setara dengan model monokultur, bahkan berpotensi
melampauinya mengingat realisasi rerata produktivitas model
monokultur pada saat ini yaitu 13,33 ton TBS/hektar/musim.
Ketepatan waktu panen TBS untuk mendapatkan rendemen
dan mutu CPO yang maksimal ditentukan oleh ketepatan
penggunaan indikator panen dan pengelolaan hanca panen
yang presisi. Berkaitan dengan ketepatan dalam penggunaan
indikator panen sudah cukup rinci diuraikan pada beberapa
paragraf sebelumnya. Oleh karena itu, pada bagian ini lebih
difokuskan pada diskusi terkait pengelolaan hanca panen yang
presisi. Pengelolaan hanca panen yang presisi ditentukan oleh
ketepatan dalam penentuan taksasi panen, luasan hanca panen
harian yang ditentukan oleh kepadatan TBS dan jumlah pemanen

121
dan ketersediaan tenaga panen. Berkaitan dengan pengelolaan
hanca, terdapat beberapa model yang dapat diterapkan untuk
menyelesaikan hanca panen harian. Model-model pengelolaan
hanca tersebut yaitu hanca tetap, giringan dan kombinasi keduanya.
Pada model hanca tetap, pemanen melaksanakan panen
pada hanca yang tetap pada areal yang sama secara rutin, pemanen
wajib menyelesaikan sesuai dengan luas yang ditentukan, dan
apabila pemenan tidak bekerja maka harus dicarikan penggantinya
supaya hanca tersebut dapat diselesaikan tepat waktu dan tidak
tertinggal dengan hanca lainnya. Pada model giringan, pemanen
melaksanakan panen pada hanca yang ditetapkan setiap harinya,
pembagian hanca panen selalu berubah sesuai dengan kerapatan
buah, sistem pemanenan dengan menggunakan giringan membuat
faktor pengawasan menjadi perhatian paling penting dan kualitas
panen sangat tergantung dari pengawasan yang ketat. Sedangkan
pada model kombinasi giringan-tetap, model ini merupakan
penggabungan dari giringan dan hanca tetap. Pada model ini,
pemanen melaksanakan panen pada hanca yang tetap namun
batasan luas areal yang dipanen ditetapkan setiap harinya dan
bersifat dinamis menyesuaikan dengan kerapatan buah.
Pembagian hanca panen diatur untuk memudahkan
pengawasan dan pengangkutan hasil panen TBS. Luas areal
kebun TM dibagi menjadi 6 bagian hanca panen dengan konsep
6/7 (rotasi 6 hari dalam 1 minggu). Rotasi dikondisikan supaya
tercapai minimal sebanyak 4 kali perbulan. Jika pada suatu kondisi
menyebabkan rotasi tidak tercapai sesuai standar, misalnya karena
kerapatan TBS lebat ataupun karena jumlah tenaga pemanen yang
masuk sedikit maka secepatnya perlu dilakukan penyesuaian
untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan menambah
tenaga pemanen secara maksimal untuk membantu percepatan
penyelesaian hanca.

122
Tabel 3.12. Rotasi Panen Pada Kondisi Panen Raya, Sedang dan Paceklik TBS
No Peringkat Panen Rotasi Panen
1 Panen raya 5/7 (dalam 7 hari ada 5 hari panen) atau 4/6 (dalam 6 hari
ada 4 hari panen)
2 Panen sedang 5/7 (dalam 7 hari ada 5 hari panen) atau 6/8 (dalam 8 hari
ada 6 hari panen)
3 Paceklik 7/9 (dalam 9 hari ada 7 hari panen) atau 8/10 (dalam
10 hari ada 8 hari panen)atau 9/11 (dalam 11 hari ada
9 hari panen)

Berdasarkan pengalaman, pengelolaan hanca panen yang


cukup ideal adalah menerapkan model campuran yaitu kombinasi
giringan – hanca tetap. Pada model ini, pemanen melakukan panen
pada lokasi yang sama dengan rotasi 6 hari dalam seminggu. Hanya
saja, luasan hanca hariannya diatur terutama menyesuaikan kondisi
kerapatan TBS di lahan. Mengingat dalam setahun dipastikan
ada periode panen raya TBS serta ada juga periode paceklik
TBS, maka kondisi ini cocok ketika model pengelolaan hancanya
dilakukan secara kombinasi giringan – hanca tetap. Pada saat terjadi
paceklik TBS di lahan, maka dilakukan pembatasan hanca panen
supaya tidak terjadi kehabisan hanca panen sebelum waktunya.
Ketika terjadi kondisi ini, dapat diterapkan pengelolaan hanca
menggunakan model tetap. Jika kondisi TBS sedang paceklik dapat
pula dilakukan pemanjangan rotasi panen dari sebelumnya tujuh
hari menjadi 9 – 11 hari sehingga ketika pemanen kembali ke lokasi
awal sudah terdapat sejumlah TBS yang memang siap panen. Jika
tidak dilakukan pemanjangan rotasi panen dikhawatirkan ketika
pemanen kembali ke lokasi awal belum ada TBS yang siap panen
sehingga dapat memaksa pekerja untuk melakukan panen TBS
yang belum matang.
Sedangkan pada periode dimana kerapatan TBS tinggi
karena panen raya, maka luasan hanca panen per tenaga panen
kemungkinan besar menjadi lebih sempit. Oleh karena itu, hanca
panen dipersempit dengan menyesuaikan kapasitas maksimal dari
pemanen. Supaya hanca panen selesai tepat waktu, maka diperlukan
pergeseran tenaga panen dari wilayah yang sedang minus produksi
menuju wilayah kebun lain yang sedang mengalami panen raya

123
TBS. Langkah lain yang dapat diambil yaitu dengan memperpendek
rotasi panen dari semula tujuh hari menjadi enam hari. Pemendekan
rotasi panen menyebabkan pemanen kembali ke lokasi awal pada
waktu yang lebih cepat sehingga karena kerapatan TBS tinggi tentu
saja banyak dijumpai TBS yang siap panen meskipun rotasinya
lebih pendek. Skenario pemendekan rotasi panen dimaksudkan
untuk menekan kejadian TBS yang lewat panen karena pemanenan
dilakukan dalam rotasi yang lebih pendek dan cepat kembali ke
hanca awal sehingga semua TBS yang siap panen terpanen 100%.

3.6.2 Kalender panen produk non Kayu


Kalender panen produk non kayu dalam agroforestri sawit
sangat tergantung jenis tanaman produk non kayu dan waktu
tanam dalam agroforestri sawit tersebut. Contoh, di Sei Gohong,
Kalimantan Tengah, praktik agroforestri sawit dengan luas 4
ha dilakukan dengan menggabungkan karet, jelutung (Dyera
costulata), petai (Parkia speciosa), dan nanas (Ananas muricata)
dengan waktu tanam yang berbeda (Budiadi, dkk., 2019). Awalnya
jenis tanaman di kebunnya adalah karet, jelutong, petai dan nenas.
Penanaman sawit dilakukan ketika usia karet sudah 3 tahun. Oleh
karena itu umur karet dan jelutong rata-rata 10 tahun dan umur
sawit 7 tahun. Nenas merupakan produk non kayu yang masa
panennya lebih awal karena merupakan tanaman semusim dan
panen ketika umur tanamnya 8 bulan, petai yang panen buahnya
ketika berumur 4-5 tahun, karet dan jelutung dapat disadap
getahnya ketika berumur 6 tahun ke atas. Dengan kombinasi
beberapa tanaman dalam agroforestri sawit, petani dapat mengelola
diversifikasi sumber pendapatan rumah tangga dan meningkatkan
ketahanan rumah tangga. Dia menerapkan aturan hasil produk
non kayu tertentu sehingga dia bisa mengatur pendapatan harian
dari berbagai panen di kebunnya. Oleh karena itu pengetahuan
jenis tanaman, umur panen, dan cara panen sangat penting agar
kombinasi tanaman dalam agroforestri sawit dapat bervariasi dan
menunjang satu dengan yang lain.
Contoh lain, petani di Lamunti Kabupaten Kapuas Kalimantan
Tengah, mencampur kebun sawit yang jarak tanamnya 8x9m

124
dengan buah-buahan seperti: petai, durian, alpukat, rambutan
dan matoa. Penanaman jenis tersebut dilakukan saat umur sawit
12 tahun. Penanaman buah-buahan tersebut dilakukan dengan
pola tanam sisipan, diantara pohon kelapa sawit tanpa dilakukan
penjarangan terhadap pohon kelapa sawit.
Kalender panen produk non kayu agroforestri sawit yang
potensial dilakukan oleh petani di Kalimantan Tengah berdasarkan
umur panen dan waktu panen seperti pada Tabel berikut.

Tabel 3.13. Kalender Panen Produk Non Kayu Potensial Agroforestri Sawit di
Kalimantan Tengah

No Produk Non Kayu Jenis Penghasil Umur panen Waktu Panen

Resin/getah S. leprosula 7 th Getah beku diakar,


Jelutong 7 th bulanan
1
Karet 10 th Sadap, Harian
Sadap, 2 minggu
Minyak atsiri Eucalyptus, 5 th Daun, 6 bln
2 gaharu, 5 th Kayu, 2 th
kayu manis 10 th Kulit kayu,

Minyak lemak Pinang, 4 th Buah, 1 bln


3. jelutong, 7 th Sadap, harian
nyatoh, 6 bln Getah,

Karbohidrat Jagung, 3-4 bln Pangkas, 1 x


4. Ubi 3,5-5 bln Cabut, 1 x

Buah-buahan dan Rambutan, 2 th Dipetik, 1x 1 th


Sayur-sayuran Durian 4 th Dipetik, 1x 1 th
Nenas 18 bln Buah, 8 bln
5
Rambai 7-8 th Buah, 1 x 1 th
Petai 3-4 th Buah, 2 x 1 th
Jengkol 4-5 th Buah, 1 x th
O b a t - o b a t a n d a n Pinang 4-12 bln Buah, harian
6 rempah-rempah Cengkeh 5 th Bunga, 4 x 1 th
Kemiri 3-4 th Buah, 3 x 1 th

7 Madu Lebah 2 bln Madu, 2 x 1 bln

Shorea leprosura bisa tumbuh hingga ketinggian 60 meter,


dan resin berupa getah beku dipungut di antara akar-akarnya, dan
dipungut bulanan. Pohon karet bisa tumbuh hingga ketinggian

125
30 meter dan akan mulai diambil getahnya pada umur 5-6 tahun.
Setelah berumur 25 tahun pohon karet tidak lagi menghasilkan
getah sehingga sudah saatnya harus ditebang dan digantikan
dengan pohon baru. Jelutung dapat disadap pada umur 10 tahun,
dan pada akhir daur yaitu tahun ke-30, kayu jelutung dapat
dipanen. Pohon petai adalah jenis tanaman yang dapat tumbuh
hingga ketinggian 25 meter, namun rata-rata tumbuh hanya sekitar
5 sampai 20 meter. Petai termasuk tumbuhan yang berumur lama
dan diketahui dapat bertahan hingga 25 tahun.
Sebagai pembanding kalender panen produk non kayu atau
hasil hutan bukan kayu pada hutan kemiri di desa Batuladang
Kecamatan Batulanteh-Kabupaten Sumbawa (Sahidu, A.,
Muktasam, M., Nurjannah, S., & Hayati, H., 2018) memberikan
diversifikasi pendapatan sepanjang tahun, seperti terlihat pada
Tabel..

Tabel 3.14. Kalender Musim untuk Produksi Enam Komoditi Utama di Desa
Batudulang Sumbawa

Pemanenan hasil hutan bukan kayu pada pemanfaatan hutan


untuk kebun di desa Malino Kecamatan Soyojaya Kabupaten
Morowali Utara selama setahun, Golar et al. (2017) memberikan
informasi bahwa para petani mendapatkan pendapatan sepanjang
tahun dari produk kemiri, damar, rotan, durian dan sayuran, seperti
pada Tabel 3.15 sebagai berikut. Dari perbandingan pemanenan
produk non kayu pada pemanfaatan hutan untuk kebun kemiri di
Sumbawa maupun di Manokwari, memberikan penjelasan bahwa
pemanenan produk non kayu dari agroforestri kelapa sawit pun
sangat potensial.

126
Tabel 3.15. Kalender Panen Pemanfaatan Produk Non Kayu di Desa Malino,
Kabupaten Manokwari.
Jenis Yang Bulan
dimanfaatkan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Kemiri √ √ √ √
Damar √ √ √ √
Rotan √ √ √ √ √ √
Durian √ √
Sayuran √ √ √ √ √ √

3.6.3 Kalender Panen Produk Kayu


Di Kuamang Kuning, Jambi, penanaman campuran antara
kelapa sawit dan meranti (Shorea spp) dipraktekkan di perkebunan
kelapa sawit karena dirangsang oleh kelangkaan kayu yang
dirasakan di wilayah tersebut. Masyarakat merasakan kelangkaan
kayu ini karena mereka tidak dapat dengan mudah menemukan
kayu untuk konstruksi dan perumahan di wilayah tersebut dan
harganya terus meningkat. Adopsi dari Shorea spp diharapkan
dapat meningkatkan swasembada kayu, terutama untuk konstruksi
dan perumahan. Jarak tanam pohon kelapa sawit adalah (9×9)
meter untuk pohon kelapa sawit dan (3×3) meter untuk Shorea
spp pohon. Integrasi dari Shorea spp terjadi ketika pohon kelapa
sawit sudah berumur 15 tahun. Dengan cara ini, bibit dari Shorea
spp bisa mendapatkan naungan yang cukup dari kelapa sawit, yang
diperlukan untuk tahap remaja Shorea spp. Selain itu, setelah 15
tahun, pohon kelapa sawit telah mencapai fase produksi puncak
dan integrasi Shorea spp harus meminimalkan persaingan nutrisi
dan sinar matahari dengan pohon kelapa sawit.
Selain itu, produk kayu yang potensial di agroforestri
kelapa sawit adalah sengon (Falcataria molucana). Sengon
selain menghasilkan produk kayu juga untuk produksi getah
dan makanan. Di Sei Gohong, Kalimantan Tengah, penanaman
Falcataria molucana didorong oleh potensi pasar baru untuk kayu
ini karena pendirian pabrik baru di wilayah tersebut. Selain itu,
petani kecil kehilangan pendapatan karena penurunan harga kelapa
sawit dan getah karet yang terus menerus. Penggabungan pohon

127
sengon terjadi ketika pohon kelapa sawit berumur dua tahun. Jarak
tanam pohon kelapa sawit (9×9×8) meter sedangkan jarak tanam
pohon sengon (3×3) dalam dua baris antar pohon kelapa sawit.
Sengon termasuk jenis yang cepat tumbuh dan diharapkan dalam
enam tahun sudah bisa dipanen. Di Sei Gohong juga menemukan
praktik agroforestri kelapa sawit yang menggabungkan kelapa
sawit, karet, jelutung (Dyera costulata), petai (Parkia speciosa), dan
nanas (Ananas muricata). Jarak tanam antara pohon kelapa sawit,
jelutung karet dan petai tidak mengikuti jarak tertentu, sehingga
sebaran spasial pohon memiliki pola yang tidak teratur.
Produk kayu yang juga potensial di lahan agroforestri kelapa
sawit Kalimantan Tengah adalah meranti, rambai, durian, nangka,
sengon, rambutan, karet, manggis, duku, kemiri, petai, jengkol,
bangkirai, dan keruing. Setelah produk non kayu tidak produktif
lagi maka kalender panen produk kayu dari beberapa jenis pohon
di agroforestri kelapa sawit seperti pada Tabel 3.16.

Tabel 3.16. Kalender Panen Produk Kayu dari Agroforestri Kelapa Sawit di
Kalimantan Tengah
Kelas Kayu
No. Jenis Kayu Umur Panen
Kuat Awet
1 Meranti II-IV III-IV 30 th
2 Rambai I-II I-II 20 th
3 Durian IV-V II-III 20 th
4 Nangka II-V III-V 20 th
5 Sengon III-IV III-IV 5 th
6 Rambutan I-II III 30 th
7 Karet II-III V 30 th
8 Manggis II II-IV 30 th
9 Duku II 30 th
10 Kemiri IV IV-V 25 th
11 Petai III-V V 25 th
12 Jengkol II-III IV-V 30 th
13 Bengkirai I-II I-III 5 th
14 Keruing I-II III 5 th

128
DAFTAR PUSTAKA
Adileksana, C., P. Yudono, B.H. Purwanto and R.B. Wijoyo. 2020.
The Growth Performance of Oil Palm Seedlings in
Pre-Nursery and Main Nursery Stages as a Response
to the Substitution of NPK Compound Fertilizer and
Organic Fertilizer. Caraka Tani-Journal of Sustainable
Development 35(1): 89 – 97.
Anonim. 2022. Tree Island Penerapan Agroforestri pada Kelapa
Sawit. Media Perkebunan. Bogor. Indonesia
Alam, T., Suryanto, P., Kastono, D., Putra, E.T.S., Handayani, S.,
Widyawan, M.H., Muttaqin, A.S. and Kurniasih, B.
2021. Interactions of biochar briquette with ammonium
sulfate fertilizer for controlled nitrogen loss in soybean
intercopping with melaleuca cajuputi. Legume Research.
10.18805/LR-586.
Andrews, E.M., S. Kassama, E.E. Smith, P.H. Brown, S.D.S.
Khalsa. 2021. A review of potassium-rich crop residues
used as organic matter amendments in tree crop
agroecosystems. Agriculture 11. https://doi.org/10.3390/
agriculture11070580.
Buyinzahttps, J., C. W. Muthuric, A. Downeyd, J. Njorogec, M. D.
Dentonhttps and I. K. Nuberghttps. 2019. Contrasting
water use patterns of two important agroforestri tree
species in the Mt Elgon region of Uganda. Australian
Forestry 82 (1): 57-65.
Barcelos, E., S.A. Rios, R.N.V. Cunha, R. Lopes, S.Y. Motoike, E. Babiychuk,
A. Skirycz and S. Kushnir. 2015. Oil palm natural diversity
and the potential for yield improvement. Frontiers in
Plant Science 6(190). doi: 10.3389/fpls.2015.00190.
Cerda, R., J. Avelino, C. Harvey, C. Gary and P. Tixier. 2020. Coffee
agroforestri systems capable of reducing disease-induced
yield and economic losses while providing multiple
ecosystem services. Crop Protection 134, pp.105149.
ff10.1016/j.cropro.2020.105149ff.ffhal-02539732ff.

129
Donfack, L.S., A. Roll, F. Ells, M. Ehbrecht, B. Irawan, D. Holscher,
A. Knohl, H. Kreft, E.J. Siahaan, L. Sundawati, C.
Stiegler, D.C. Zemp. 2021. Microclimate and land
surface temperature in a biodiversity enriched oil palm
plantation. Forest Ecology and Management 497. https://
doi.org/10.1016/j.foreco.2021.119480.
Elevitch, C. G. Behling, M. Constantinides and J.B. Friday. 2014.
Pacific Island Agroforestri Systems, Information Resources,
and Public Assistance Programs. In: Elevitch, C.R. (ed.).
Food-Producing Agroforestri Landscapes of the Pacific.
Permanent Agriculture Resources (PAR), Holuala,
Hawaii. http://www/agroforestri.org.
Faridah, E., Suryanto, P., Nurjanto, H.H., Putra, E.T.S., Falah,
M.D., Widyawan, M.H. and Alam, T. 2021. Optimizing
application of biochar amendment for nitrogen use
efficiency in upland rice under melaleuca cajuputi
stands. Indian Journal of Agricultural Research. 55(1):
105-109. DOI: 10.18805/IJARe.A-601.
Golar, G., A.S. Alam, dan N. Nurnaningsih. 2017. Pemanfaatan
hutan produksi di Desa Malino Kecamatan Soyojaya
Kabupaten Morowali Utara. Forest Sains 14(2): 114-120.
Hairiah, K., Widianto, D. Suprayogo and M. Van Noordwijk. 2020.
Tree roots anchoring and binding soil: reducing landslide
risk in indonesian agroforestri. Land 9: 256. doi:10.3390/
land908025.
Harterreiten-Souza, E.S., P.H.B. Togni, C.S.S. Pires and E.R. Sujii.
2014. The role of integrating agroforestri and vegetable
planting in structuring communities of herbivorous
insects and their natural enemies in the Neotropical
region. Agroforest. Syst. 88: 205–219.DOI 10.1007/
s10457-013-9666-1.
Harun, N.Z. and A. Mohd Salleh. 2015. The concept of agroforestri
systems in the oil palm smallholdings context. Adv.
Environ. Biol. 9(24): 98-101.

130
Hastari, B. dan R. Yulianti. 2018. Pemanfaatan dan nilai ekonomi
hasil hutan bukan kayu di KPHL Kapuas-Kahayan.
Jurnal Hutan Tropis 6(2): 145-153.
Jacquemard, J.C. and D. Boutin. 2008. Recommandations for Prenursery
and Nursery Management. CIRAD. France. 26p.
Khasanah, N., M. van Noordwijk, M. Slingerland, M. Sofiyudin,
D. Stomph, A.F. Migeon and K. Hairiah . 2020
Oil palm agroforestri can achieve economic and
environmental gains as indicated by multifunctional
land equivalent ratios. Front. Sustain. Food Syst. 3. doi:
10.3389/fsufs.2019.0012
Kilemo, D.B. 2022. The review of water use efficiency and water
productivity metrics and their role in sustainable water
resources management. Open Access Library Journal 9:
e7075. https://doi.org/10.4236/oalib.1107075
Luo, X., K. Xiong 1, J. Zhang and D. Chen. 2021. A Study on
Optimal Agroforestri Planting Patterns in the Buffer
Zone of World Natural Heritage Sites. Sustainability 13.
https://doi.org/10.3390/su132011544.
MacFarland, K. 2017. Alley Cropping: An Agroforestri Practice.
USDA. USA.
Murugesan, P., M. Shareef, H. Haseela and R.K. Mathur. 2013. Seed
quality and germination in selected hybrids of oil palm
(Elaeis guineensis, Jacq.). Journal of Plantation Crops
41(2): 172-176.
Pantera, A., M.R. Mosquera-Losada, F. Herzog, M. den Herder.
2021. Agroforestri and the environment. Agroforest Syst.
95:767–774
Paudel, S., H. Baral, A. Rojario, K.P. Bhatta and Y. Artati. 2022.
Agroforestri: Opportunities and Challenges in Timor-
Leste. Forests 13. https://doi.org/10.3390/f13010041.
Pinho,R.C., R.P. Miller and S.S. Alfaia. 2012. Agroforestri
and the improvement of soil fertility: a view from

131
amazonia. Applied and Environmental Soil Science.
doi:10.1155/2012/616383.
Purwanto, E, H. Santoso, I. Jelsma, A. Widayati, H.Y.S.H. Nugroho
and M. van Noordwijk. 2020. Agroforestri as Policy
Option for Forest-Zone Oil Palm Production in
Indonesia. Land 9. doi:10.3390/land9120531.
Putra, E.T.S., A.F. Simatupang, Supriyanta, S. Waluyo and D.
Indradewa. 2012. The Growth of one year-old oil palms
intercropped with soybean and groundnut. Journal of
Agricultural Science 4(5): 169-180.
Quiza L., M. St-Arnaud and E. Yergeau. 2015. Harnessing
p hy t o m i c r o b i o m e s i g n a l i n g f o r r h i z o s p h e r e
microbiomeengineering. Front. Plant Sci. 6:507.doi:
10.3389/fpls.2015.00507.
Rahmani, T.A., D.R. Nurrochmat, Y. Hero, M.S. Park, R. Boer and
A. Satria. 2021. Evaluating the feasibility of oil palm
agroforestri in Harapan Rainforest, Jambi, Indonesia.
Forest and Society 5(2): 458-477.
Ramos, H.M.N., S.S. Vasconcelos, O.R. Kato and D.C. Castellani.
2018. Above and belowground carbon stocks of two
organic, agroforestri based oil palm production systems
in eastern Amazonia. Agroforestri Systems 92(2): 221–
237.
Sahidu, A., M. Muktasam, S. Nurjannah dan H. Hayati. 2018.
Analisis rantai nilai kemiri dan strategi pemberdayaan
petani: studi kasus di Desa Batudulang Kecamatan
Batulanteh-Kabupaten Sumbawa. Jurnal Agrimansion
19(1): 1-14.
Sarkar, S.C., E. Wang, W. Shengyong and L. Zhongren. 2018.
Application of Trap Cropping as Companion Plants for
the Management of Agricultural Pests: A Review. Insects
9:128. doi:10.3390/insects9040128.
Schmidt, J.E., A. Firl, H. Hamran, N.I. Imaniar, T.M. Crow, S.J.
Forbes, . 2022. Impacts of shade trees on the adjacent

132
cacao rhizosphere in a young diversified agroforestri
system. Agronomy 12: 195. https://doi.org/10.3390/
agronomy12010195.
Schroth, G., U. Krauss, L. Gasparotto, J.A.D. Aguilar and K.
Vohland. 2000. Pests and diseases in agroforestri systems
of the humid tropics. Agroforestri Systems 50: 199–241.
Solanki, V.K., V. Parte, J.S. Ranawat and R. Bajpai. 2020.
Improved nutrient cycling and soil productivity through
agroforestri. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci 11: 1724-1729.
Sollen-Norrlin, M., B.B. Ghaley and N.L.J. Rintoul. 2020.
Agroforestri Benefits and Challenges for Adoption in
Europe and Beyond. Sustainability 12. doi:10.3390/
su12177001
S u n d a w a t i 1 , L . , P. P a m o e n g k a s , I . Z . S i r e g a r, M .
Mardhatillah, A.B. R angkuti, A.P.P. Har toyo
and A. Fadillah. 2020. Development of
agroforestri oil palm for peatland restoration
in Jambi Province: establishing process and initial results.
IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 449.
doi:10.1088/1755-1315/449/1/012031.
Suryanto, P., Faridah, E., Nurjanto, H.H., Putra, E.T.S., Kastono,
D., Handayani, S., Boy, R., Widyawan, M.H. and Alam,
T. 2022. Short-Term effect of in situ biochar briquettes
on nitrogen loss in hybrid rice grown in an agroforestri
system for three years. Agronomy 12. https://doi.
org/10.3390/agronomy12030564.
Suryanto, P. and E.T.S. Putra. 2012. Traditional enrichment
planting in agroforestri marginal land Gunung Kidul,
Java, Indonesia. Journal of Sustainable Development
5(2): 77-87.
Tully, K and R. Ryals. 2017. Nutrient cycling in agroecosystems:
balancing food and environmental objectives.
Agroecology and Sustainable Food Systems 41(7): 761-
798. DOI: 10.1080/21683565.2017.1336149.

133
BAGIAN 4
KEBERLANJUTAN AGROFORESTRI SAWIT

Oleh:
Bambang Irawan, Hero Marhaento,
Bambang Supriyanto, Muhamad Guruh Susanto,
Darmawati Ridho, Stevie Vista Nissauqodry

Indonesia merupakan salah satu pusat biodiversitas dunia


selain Brasil dan Zaire. Hingga saat ini, keanekaragaman jenis
Indonesia yang telah tercatat antara lain 1.500 jenis alga, 80.000
jenis tumbuhan berspora (seperti Kriptogam) berupa jamur, 595
jenis lumut kerak, 2.197 jenis paku-pakuan serta 30.000–40.000
jenis flora tumbuhan berbiji (15,5% dari total jumlah flora di
dunia). Sementara itu, terdapat 8.157 jenis fauna vertebrata
(mamalia, burung, herpetofauna, dan ikan) dan 1.900 jenis kupu-
kupu (10% dari jenis dunia). Selain itu, keunikan geologi Indonesia
menyebabkan tingginya endemisitas flora, fauna, dan mikroba.
Indonesia memiliki endemisitas jenis fauna yang sangat tinggi
bahkan untuk beberapa kelompok seperti burung, mamalia, dan
reptil, yang memiliki endemisitas tertinggi di dunia. Jenis fauna
endemik Indonesia berjumlah masing-masing 270 jenis mamalia,
386 jenis burung, 328 jenis reptil, 204 jenis amphibia, dan 280 jenis
ikan. Tingkat endemisitas flora Indonesia tercatat antara 40–50%
dari total jenis flora pada setiap pulau kecuali pulau Sumatra yang
endemisitasnya diperkirakan hanya 23% (Widjaja et al., 2014).
Kekayaan atas keanekaragaman hayati tersebut mengalami
ancaman yang sangat serius sejalan dengan penurunan kualitas dan

134
kuantitas habitat dan ekosistem hutan. Secara global, tutupan hutan
berkurang sekitar 35 dalam satu abad terakhir. Saat ini luas hutan
secara global hanya mencapai sekitar 4 milyar ha yang tersebar di
wilayah tropis, temperate dan boreal (Mackey et al., 2014). Dari
luasan tersebut, hanya sekitar 32% (1,3 milyar ha) berupa hutan
primer (FAO, 2012). Selama periode 2000 hingga 2012, Indonesia
dilaporkan kehilangan lebih kurang 15,79 juta ha tutupan hutan.
Hasil penelitian Margono et al., (2014) menunjukan bahwa
Indonesia kehilangan tutupan hutan primer rata-rata 47.600 ha
per tahun. Berdasarkan tipe ekosistem hutan, 3.04 juta hektar atau
51% kerusakan hutan primer terjadi pada hutan dataran rendah
dan 2,60 juta ha atau 43% terjadi pada hutan lahan basah. Sebagai
contoh, pulau Sumatera mengalami laju deforestasi sebesar 542
ribu hektar per tahun (Uryu et al, 2010). Pada tahun 1985, 57%
dari Pulau Sumatera merupakan hutan alam atau sekitar 25 juta
hektar dan hanya tersisa 13 juta hektar pada tahun 2007 (Laumonier
et al, 2010) dan semakin menyusut menjadi 12,8 juta hektar pada
2008/2009 (Uryu et al, 2010).
Austin et al., (2018) melaporkan bahwa penyebab utama
dari deforestasi di Indonesia selama periode 2001–2016 antara
lain perubahan tutupan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit
dengan kontribusi 23%; perubahan menjadi semak belukar
dengan kontribusi 20%; pertanian skala kecil oleh masyarakat
dengan kontirbusi 15%; pengusahaan Hutan Tanaman Industri
14% dan kebun campuran masyarkat serta perkebunan skala
besar dengan kontribusi masing-masing 7%. Faktor penyebab lain
meliputi perubahan menjadi hutan sekunder, pembangun jalan,
pertambangan dan lain-lain.
Sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan ini terjadi
perubahan bentang alam dan perubahan fungsi lahan. Data tahun
2018 menunjukan bahwa peta distribusi penggunaan lahan di
Indonesia masih didominasi oleh kawasan hutan seluas kurang
lebih 125,6 juta ha atau 62,83% dari luas total daratan Indonesia.
Sedangkan penggunaan lahan yang lain berupa perkebunan kelapa
sawit seluas 16,38 juta ha atau 7,35% dari luas daratan Indonesia;

135
ari luas total daratan Indonesia. Sedangkan penggunaan lahan yang lain berupa perke
elapa sawit seluas 16,38 juta ha atau 7,35% dari luas daratan Indonesia; padi sawah s
,72%; perkebunan
padi sawahkaret sebesar
sebesar 1,93%
3,72%; dan penggunaan
perkebunan lain sebesar
karet sebesar 24,18% dari lua
1,93% dan
penggunaan lain sebesar 24,18% dari luas total daratan Indonesia.
aratan Indonesia. Dari luas total kawasn hutan tersebut dibagi dalam tiga fungsi hutan
Dari luas total kawasn hutan tersebut dibagi dalam tiga fungsi
erdiri dari hutan
hutan yaitu
lindung sebesar
terdiri 23,56%,
dari hutan suakasebesar
lindung alam dan pelestarian
23,56%, alam 21,78%; ka
suaka alam
utan dengandanfungsi hutan alam
pelestarian produksi terbatas
21,78%; kawasan21,17%
hutandan hutanfungsi
dengan produksi
hutantetap 23,22% (
produksi terbatas 21,17% dan hutan produksi tetap 23,22% (Badan
usat Statistik, 2018). Sebaran penggunaan lahan di Indonesia dan Provinsi Jambi disajika
Pusat Statistik, 2018). Sebaran penggunaan lahan di Indonesia dan
Gambar 4.1Provinsi
dan Gambar
Jambi4.2.
disajikan pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.

Gambar 4.1. Persentase Penggunaan lahan di Provinsi Jambi


Terdapat suatu kecenderungan bahwa penggunaan lahan
tersebut akan selalu dinamis dan berubah dari waktu ke waktu
sejalan dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan masyarakat.
Kecenderungan tersebut selalu mengarah kepada penurunan
tutupan hutan dan berubah menjadi berbagai penggunaan lahan
yang lain seperti perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit.
Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan bahwa
dalam 25 tahun terakhir terjadi penambahan luas perkebunan
kelapa sawit lebih dari 300%. Lebih lanjut dilaporkan bahwa dari
tahun 2000 hingga 2010, Indonesia telah menambah perkebunan
kelapa sawit seluas 4 juta hektar dan menjadikan Indonesia seabagi
produsen minyak sawit terbesar di dunia (FAOSTAT, 2013).
Sementara itu, pada periode yang sama, Indonesia kehilangan
hutan seluas 6 juta ha (Margono et al., 2014). Penambahan luas

136
perkebunan kelapa sawit ini juga didorong oleh adanya permintaan
pasar dan peningkatan harga kelapa sawit serta program
pembangunan oleh Pemerintah (Wheeler et al., 2013; Feintrenie
and Levang, 2009; Fitzherbert et al., 2008).
Perubahan penggunaan lahan menjadi usaha pertanian,
perkebunan dan Hutan Tanaman Industri mengakibatkan terjadinya
penurunan fungsi ekosistem dan hilangnya keanekaragaman
species hutan tropis (Foley et al., 2005; Fitzherbert et al., 2008;
Wilcove and Koh, 2010). Sebagai contoh, hasil berbagai penelitian
menunjukan bahwa keanekaragaman ekosistem perkebunan kelapa
sawit jauh lebih rendah dibandingkan dengan keanekaragaman
ekosistem hutan tropis (Koh and Wilcove 2008; Fitzherbert et
al. 2008; Danielsen et al. 2009; Edwards et al. 2014). Clough et
al., (2015) melaporkan bahwa terjadi trade off yang sangat jelas
ketika ekosistem hutan berubah menjadi ekosistem budidaya.
Perubahan ekosistem hutan tropis menjadi perkebunan kelapa
sawit dan karet mengakibatkan penurunan fungsi ekosistem,
antara lain kemampuan penyimpanan karbon, stabilitas abiotic;
keanekaragaman jenis dan kealamiahan (naturalness) tetapi
meningkatkan fungsi ekonomi antara lain produktifitas tanaman
per hektar, penyerapan tenaga kerja dan lain-lain.
Penelitian lain juga memberikan gambaran hasil yang
kurang lebih sama. Edwards et al., (2014) melaporkan bahwa
perubahan fungsi hutan menjadi ekosistem lain mengakibatkan
penurunan jumlah dan keragaman burung, mamalia dan berbagai
jenis serangga. Keragaman jenis dari komunitas tumbuhan
pada berbagai perkebunan di Sumatera juga sangat sedikit jika
dibandingkan dengan ekosistem hutan. Beberapa jenis vegetasi
penting hutan juga tidak ditemukan antara lain species pohon,
liana dan epifit, anggrek, dan palma (Danielsen et al. 2009). Lebih
lanjut dilaporkan bahwa keragaman beta juga rendah dan dimana
keragaman vegetasi pada kebun kelapa sawit lebih didominasi oleh
gulma herba dan jenis paku-pakuan (Rembold et al. 2017). Secara
umum species hutan tidak ditemukan lagi dan digantikan oleh
species yang tahan terhadap gangguan dan species asing (Rembold
et al. 2017).

137
Selain perubahan keragaman jenis, perubahan penggunaan
lahan dari ekosistem hutan ke penggunaan lain juga akan
mempengaruhi fungsi ekologi dan lingkungan yang lain. Berbagai
hasil penelitian menunjukan pengaruh tersebut. Roell et al. (2015)
dan Furong et al. (2015) melaporkan bahwa walaupun konsumsi
air satu hektar kebun kelapa sawit dengan satu hektar ekosistem
hutan tidak berbeda secara nyata tetapi kemampuan ekosistem
kelapa sawit untuk menahan air akan menurun karena adanya
penurunan daya infiltrasi tanah. Meijide et al. (2015) melaporkan
perubahan penggunaan lahan terutama kelapa sawit terhadap
perubahan iklim mikro.
Dikotomi dan pertentangan antara kelestarian fungsi ekologi
dan fungsi ekonomi serta fungsi sosial suatu pengelolan berbasis
lahan di Indonesia akan semakin meningkat di masa yang akan
datang. Hal ini disebabkan adanya peningkatan kesadaran dan
kepedulian masyaralat global terhadap kelestarian fungsi ekologi
ekosistem hutan hujan tropis pada satu sisi sementara di sisi lain
juga terjadi peningkatan usaha pengelolaan berbasis lahan sebagai
akibat dari tuntutan pemenuhan kebutuhan penduduk yang
semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan maraknya berbagai
skema standarisasi pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan
yang dibangun oleh berbagai lembaga dan koalisi masyarakat
global. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah salah
satu skema standarisasi pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan.
Sustainable Agriculture Network (SAN) oleh Forest Alliance
juga mengembangkan standarisai pertanian berkelanjutan. High
Carbon Stock Approach (HCSA) mengembangkan pengelolan
sumberdaya lahan berkelanjutan berbasiskan Nilai Konservasi
Tinggi (NKT) atau High Conservation Values (HCV). International
Sustainable and Carbon Certification (ISCC) yaitu skema yang
memberikan sertifikasi lestari pada industry bioenergy berbasiskan
penurunan emisi gas rumah kaca, pengelolaan lahan berkelanjutan
dan perlindungan terhadap biosfir dan kelestarian sosial. Selain
standarisasi yang dibangun oleh lembaga atau aliansi masyarakat
global, Pemerintah Indonesia juga menerbitkan berbaga standar
untuk pengelolan sumberdaya lahan berkelanjutan antara lain

138
(1) Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk standarisasi
pengelolan kelapa sawit berkelanjutan; (2) SMART Agriculuture
Practices untuk pengelolan pertanian berkelanjutan; (3) Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK) untuk pengelolaan hutan lestari.
Oleh karena itu, mencari jalan tengah dan rekonsiliasi antara
mempertahankan fungsi ekologi suatu ekosistem dan meningkatkan
produksi dari pengelolaan sumberdaya lahan serta memberikan
kontribusi terhadap fungsi sosial masyarakat terkhusus untuk
pengelolan kelapa sawit perlu untuk segera dirumuskan. Salah
satu jalan tengah pada tingkat tapak yang memiliki prospek baik
adalah pengembangan pola tanam agroforestri atau hutan campur.
Praktek pengelolaan kelapa sawit dalam bentuk kebun
campuran (Agroforestri) telah dipraktekan di beberapa negara di
Afrika Barat dan Brazil untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pola
yang berbeda dilakukan di Asia Tenggara, dimana pengelolaan yang
intensif untuk memaksimalkan produksi dilakukan dengan pola
monokultur intensif yang mendominasi suatu kawasan (Corley
dan Tinker, 2003). Walaupun demikian, pada beberapa wilayah
ditemukan petani kecil yang menanam dengan pola tumpang sari
di antara kelapa sawit dengan tanaman pangan seperti jagung,
ketela pohon, kedelai sebagai hasil antara sampai kelapa sawit
menghasilkan (Corley dan Tinker, 2003). Pola ini memberikan
kontribusi terhadap peningkatan heterogenitas struktur tegakan
yang memberikan peningkatan keragaman hayati kebun kelapa
sawit (Foster et al., 2011).
Rajaguguk et al. (2015) menyatakan bahwa agroforestri adalah
salah satu sistem pengelolaan lahan yang mampu mengatasi masalah
pengelolaan lahan, yang penerapannya dengan mengkombinasikan
dua atau lebih jenis tanaman, baik tanaman kehutanan maupun
tanaman pertanian. Sistem agroforestri juga merupakan salah satu
upaya untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya lahan
dengan tetap mempertahankan keberlangsungan daya dukung
lingkungannya (Mawardhi dan Setiadi, 2019). Interaksi yang positif
pada pola agroforestri akan menghasilkan peningkatan produksi

139
dari semua komponen tanaman yang ada pada pola tersebut dan
sebaliknya (Hairiah et al., 2003). Agroforestri dapat dikembangkan
untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dan ketahanan
pangan masyarakat (Widyati et al., 2010).
Mengacu kepada teori, hasil penelitian dan praktik
agroforestri yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
agroforestri pada pola tanam kelapa sawit sangat memungkinkan
untuk diterapkan terutama untuk kelapa sawit yang terlanjur
ditanam pada kawasan hutan. Data dan hasil berbagai penelitian
menunjukan bahwa Kelapa sawit (Elaeis guineensis) berkontribusi
secara signifikan terhadap perekonomian negara dan pendapatan
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung tetapi
pada sisi lain, kelapa sawit juga dianggap sebagai salah satu biang
terjadinya kerusakan sumberdaya dan fungsi ekosistem hutan
dan keragaman hayatinya. Hasil penelitian Austin et al., (2017)
menunjukan bahwa 18,0% deforestasi di Indonesia disebabkan
oleh kelapa sawit pada periode 2010–2015. Angka ini menurun
dari 53,9% pada periode 1995–2000 sedangkan Roda (2019)
melaporkan bahwa angka deforestasi yang disebabkan oleh kelapa
sawit mencapai puncak pada periode 2000 -2008 dan selanjutnya
menurun pada kisaran angka 5%. Data berbagai sumber juga
menunjukan bahwa terdapat kisaran 2,5 juta hingga 3,5 juta ha
kelapa sawit ditanam pada kawasan hutan. Di pulau Sumatera,
luasan perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan
hutan konservasi mencapai 15.381,45 hektar. Di dalam kawasan
hutan lindung, luas perkebunan kelapa sawit 12.654,57 hektar.
Sedangkan 584.539,88 hektar perkebunan kelapa sawit berada
dalam kawasan hutan produksi. Total 612.575,9 hektar lahan
perkebunan kelapa sawit di pulau Sumatera yang berada di dalam
kawasan hutan (Jaringan Independen Pemantau Kehutanan, 2017).
Dalam upaya mencapai pengelolaan agroforestri kelapa
sawit berkelanjutan maka 3 pilar kelestarian juga perlu untuk
diperhatikan yaitu kelestarian secara produksi, ekologi dan
kelestarian secara sosial. Selain memperhatikan ketiga aspek
tersebut, bahwa pengelolaan sumberdaya berkelanjutan tersebut

140
harus dapat diukur berdasarkan tiga kriteria yaitu : (1) tidak ada
pemborosan penggunaan sumber daya alam atau depletion of
natural resources; (2) tidak ada polusi dan dampak lingkungan
lainnya; (3) Kegiatannya harus dapat meningkatkan useable
resources ataupun replaceable resource.
Saptana dan Ashari, (2007) menyatakan bahwa pembangunan
pertanian, kehutanan, dan perikanan harus mampu mengkonservasi
tanah, air, tanaman dan hewan, tidak merusak lingkungan, serta
secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak, dan secara sosial
dapat diterima. Pengertian di atas membawa beberapa implikasi
bahwa pengelolaan lahan secara berkelanjutan merupakan
pengelolaan lahan yang berberwawasan lingkungan, yaitu: (1)
menjamin terpenuhinya secara berkesinambungan kebutuhan
dasar nutrisi bagi masyarakat, baik untuk generasi masa kini
maupun yang akan datang, (2) dapat menyediakan lapangan kerja
dan pendapatan yang layak yang memberikan tingkat kesejahteraan
dalam kehidupan yang wajar,(3) memelihara kapasitas produksi
pertanian yang berwawasan lingkungan, (4) mengurangi dampak
kegiatan pembangunan pertanian yang dapat menimbulkan
pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup, dan 5)
menghasilkan berbagai produk pertanian, baik primer maupun
hasil olahan, yang berkualitas dan higienis serta berdaya saing
tinggi.
Dalam pratiknya, pengelolaan lahan berkelanjutan dilakukan
dengan berbagai cara antara lain:
a. Pemilihan tanaman sesuai dengan kondisi lahan. Untuk
menentukan jenis tanaman yang diusahakan perlu dilakukan
evaluasi kesesuaian lahan. Hasil evaluasi ini selain menentukan
tingkat kesesuaian lahan untuk jenis tanaman juga memberikan
rekomendasi pengelolaan lahan untuk mengurangi faktor
pembatas pertumbuhan dan hasil tanaman. Penanaman jenis
tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan akan mengurangi
resiko kegagalan dan mengurangi biaya pengelolaan.
b. Melakukan kegiatan pengawetan tanah dan air. Kegiatan
ini dilakukan untuk mengurangi resiko penurunan dan

141
kerusakan sumberdaya tanah dan air karena bagi usaha di
bidang pertanian, tanah dan air adalah modal yang paling
penting. Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan
kerusakan tanah antara lain adalah erosi, dan hilangnya unsur
hara serta bahan organik tanah akibat pencucian (leaching)
atau terangkut melalui panen. Kegiatan pengawetan atau
konservasi tanah dan air dapat dilakukan melalui pembuatan
rorak dan guludan untuk mempertahankan kualitas lahan, dan
mencegah kerusakan tanah akibat erosi, serta memperbaiki
produktivitas lahan agar mencapai produksi optimal.
c. Pemanfaatan bahan organik Bahan organik. Bahan organik
umumnya mengandung Corganik dan hara-hara lain seperti
N, P, K cukup tinggi serta KTK sangat tinggi sehingga
mempunyai kemampuan memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah. Dengan demikian pengaruh positif dari bahan
organik adalah dapat meningkatkan produktivitas tanah,
mengendalikan erosi dan meningkatkan hasil tanaman.
Penggunaan bahan organik akan mempertahankan bahkan
meningkatkan kesehatan tanah. Bahan organik meningkatkan
kandungan unsur hara, memperbaiki sifat fisik tanah seperti
struktur tanah dan kapasitas menahan air yang selanjutnya
akan meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah yang
semuanya akan meningkatkan kualitas tanah, ketersediaan
unsur hara dan produksi tanaman.
d. Pemberian mulsa. Pemberian mulsa sangat efektif
melindungi tanah karena dapat meredam energi kinetik air
hujan pada permukaan tanah, sehingga dapat mencegah
terjadinya dispersi butir tanah. Selain itu mulsa juga menjadi
filter terhadap partikel erosi dan mengurangi laju aliran
permukaan serta mengurangi gulma. Mulsa yang digunakan
dapat berupa mulsa buatan seperti plastic atau menggunakan
serasah sisa-sisa tamanan yang ada di lahan. Serasah ini
ditebar secara merata atau ditebar di sekitar tanaman. Manfaat
dari penggunaan mulsa organik adalah antara lain:
1. Mengurangi laju evaporasi dan meningkatkan cadangan
air tanah sehingga menghemat penggunaan air.

142
2. Menciptakan kondisi lingkungan (dalam tanah) yang baik
bagi aktivitas mikroorganisme tanah
3. Mulsa organik dapat terdekomposisi dan mineralisasi
yang dapatmemberikan tambahan hara, sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhandan produksi tanaman.
4. Mengurangi dan menghambat perkembangan dan
pertumbuhan gulma
e. Melakukan pemupukan berimbang. Pemupukan berimbang
diperlukan untuk memperoleh hasil produksi tanaman
yang maksimal. Apabila perbandingan antara unsur hara
tidak mendekati perbandingan yang optimal, pertumbuhan
dan produksi tanaman akan terganggu. Pemupukan yang
berimbang juga baik untuk tanah dan mengurangi biaya
produksi. Penentuan dosis dan frekuensi pupuk berimbang
pada jenis tanaman yang diusahakan dapat dilakukan dengan
mempelajari dosis dan frekuensi pemupukan dari berbagai
referensi yang ada. Walaupun demikian, cara penentuan
pemupukan berimbang yang baik adalah dengan mengacu
kepada analisis unsur hara dalam tanah dan jaringan tanaman.
f. Membatasi Penggunaan bahan kimia. Penggunaan bahan
kimia berupa herbisida, pestisida dan bahan kimia lain.
Penggunaan bahan kimia untuk mengendalikan hama dan
penyakit secara serampangan dapat menimbulkan dampak
buruk bagi lingkungan (tanah, air, tumbuhan dan hewan) dan
manusia.

4.1 PENGELOLAAN PRODUKSI AGROFORESTRI KELAPA


SAWIT BERKELANJUTAN
Aspek produksi menjadi salah satu pertimbangan utama
dalam pemilihan tingkat dan pola pengelolaan lahan berbasis
kelapa sawit. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Rahmani
et al., (2021) bahwa kelapa sawit yang ditanam dengan pola
agroforestri memiliki nilai kelayakaan ekonomi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit yang ditanam secara
monokultur. Demikian juga hasil penelitian Nasamsir dan Usman
(2019) menyatakan bahwa produktivitas tanaman kelapa sawit

143
dan jelutung pertanaman monokultur lebih tinggi dibandingkan
dari pertanaman polikultur. Sementara itu, Suhartati dan Wahyudi
(2011) juga melaporkan bahwa pertumbuhan gaharu diantara
kelapa sawit menunjukan hasil yang baik dan tetap memperhatikan
pengaturan jarak tanam pada pertumbuhan awal gaharu. Walaupun
demikian terdapat juga laporan penelitian bahwa Pertumbuhan
kelapa sawit dengan jati menghasilkan hasil kelapa sawit yang lebih
rendah tetapi meningkatkan kinerja jati (Chia, 2011). Selanjutnya
Gérard et al., (2017) melaporkan bahwa penanaman pengayaan
kebun kelapa sawit dengan tanaman hutan dapat memberikan hasil
yang bersinergi antara peningkatan fungsi ekologi dan ekonomi.
Hasil penelitian yang dilaksanakan pada Kelompok Tani
Hutan di sekitar Konsesi PT. Royal Lestari Utama di Kabupaten
Tebo Jambi menunjukan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat
melalui program kemitraan kehutanan telah mampu meningkatkan
aset sumberdaya alam petani dimana pola tanam agroforestri
menjadi faktor penting yang berkontibusi terhadap peningkatan
aset sumber daya alam tersebut. pola tanam agroforestri dianggap
mampu meningkatkan produktifitas lahan. Sebagai mana
disampaikan oleh responden bahwa peningkatan produktifitas
lahan ini disebabkan adanya usaha penanaman campuran pada
lahan karet masyarakat. Adapun pola campuran karet dengan
jengkol sebanyak 50,00% dari total masyarakat yang mengelola
tanaman campur. Selain jengkol, masyarakat ada yang mencampur
kebun mereka dengan kelapa sawit, kopi, dan durian. Selain
meningkatkan produktifitas lahan, agroforestri juga meningkatkan
keragaman sumber pendapatan masyarakat (Irawan, 2021).

4.1.1 Pemilihan Jenis dan Pola Tanam


Hasil berbagai penelitian dan laporan masyarakat
menunjukan bahwa terdapat beberapa species pohon yang dapat
ditanam bersama dengan kelapa sawit. Masyarakat di Desa
Penghidupan Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar,
Riau telah mencampur tanaman kelapa sawit dengan tanaman
meranti terutama dari jenis Shorea platyclados. Hasil tanam pola
campur kelapa sawit dan meranti ini sangat baik di mana pada

144
umur 16 tahun rata-rata diameter meranti mencapai 30,0 cm atau
rata-rata riap diameter meranti adalah 1,88 cm per tahun. Adapun
pola tanam yang digunakan pada pola agroforestri kelapa sawit
campur meranti ini adalah mata lima di mana meranti ditanam
pada bagian tengah mata lima sementara empat lainnya merupakan
kelapa sawit. Jarak tanam kelapa sawit awal adalah 8 m x 9 m.
Meranti ditanam pada saat kelapa sawit berumur 8 tahun. Selain
memberikan hasil pertumbuhan meranti yang sangat baik, pola
tanam campur ini juga tidak mempengaruhi produksi kelapa sawit.
Pendapat ini juga dibenarkan oleh Bapak Syaiful Amri KH, Ketua
Kelompok Tani Hutan PKSM Kabupaten Kampar.

Gambar 4.2. Performa agroforestri kelapa sawit dan meranti umur 16 tahun
di Desa Penghidupan, Kampar, Riau.

Hasil penelitian pengayaan kebun kelapa sawit dengan


berbagai species tanaman hutan dengan berbagai variasi luas petak
dan keragaman jenis pengayaan yang ditanam dalam satu petak
telah dipublikasikan. Penelitian ini dilakukan melalui pengayaan
kebun kelapa sawit dengan enam species tanaman hutan yaitu petai
(Parkia speciosa), jengkol (Archidendron pauciflorum, Fabaceae);
Durian (Durio zibethinus, Malvaceae); sungkai (Peronema

145
canescens); meranti (Shorea leprosula); dan jelutung (Dyera lowii,
Apocynaeae). Pengujian dilakukan pada level variasi ukuran
petak pengayaan dan variasi keragaman species yang ditanam
meliputi 1 species, 3 species dan 6 species dalam satu petak. Dari
enam species yang diuji tersebut, terdapat tiga species pohon yang
mampu tumbuh dengan baik sebagai tanaman sela kelapa sawit
yaitu jengkol, petai dan sungkai (Teuscher et al., 2016; Gérard et
al. 2017; Irawan et al., 2019; Zemp et al., 2019a).
Petai dan jengkol merupakan species penghasil buah untuk
sayur yang populer di Indonesia. Selain itu, petai dan jengkol
juga merupakan anggota dari marga Fabaceae atau Leguminosae.
Marga ini dikenal juga dengan marga polong-polongan yang
memiliki kemampuan khas dalam menfiksasi Nitrogen bebas di
udara menjadi nitrogen yang tersedia bagi tanaman. Oleh karena
itu, marga Leguminosae dikenal sebagai pupuk hijau dan banyak
ditanam pada lahan kritis dan untuk penanaman rehabilitasi lahan
dan hutan yang rusak. Sedangkan sungkai merupakan salah satu
Malvaceae yang menghasilkan kayu indah (luxury wood), cepat
tumbuh dan sangat mudah diperbanyak secara setek. Ketiga species
ini potensial baik secara ekonomi maupun ekologi sebagai pilihan
dalam penanaman pengayaan kebun kelapa sawit.
Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh masyarakat
dimana hasil survei pada anggota kelompok tani hutan di
Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi juga menunjukan bahwa jenis
komoditi yang paling banyak diminati mayarakat adalah jengkol
dan pinang dengan preferensi responden mencapai masing-masing
38% diikuti oleh petai dan durian dengan tingkat kesukaan 28%
dan 24%. Sedangkan berdasarkan pengalaman masyarakat di Desa
Sungai Beras Kabupatan Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi,
kelapa sawit pada lahan gambut dapat dikombinasikan dengan
tanaman pinang, jelutung, kopi dan lada.

146
Gambar 4.3. Tegakan pinang dan kopi di bawah tegakan kelapa sawit di Desa
Sungai Beras, Kabupaten Tanjung Jabung Timur (kiri) dan tegakan jengkol
diantara kelapa sawit pada petak penelitian CRC 990/efforts Project di desa
Bungku, Provinsi Jambi (kanan).

Pola tanam agrofoerstri kelapa sawit pada kawasan hutan


dilakukan melalui pengayaan kelapa sawit yang sudah terlanjur
ditanam pada kawasan hutan mengacu kepada Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9/2021 bahwa kelapa
sawit yang sudah terlanjur tersebut dapat tetap dikelola dan
dipanen dengan syarat diperkaya dengan tanaman hutan dengan
jumlah minimal 100 batang per hektar. Skema ini dikenal dengan
jangka benah kelapa sawit dalam kawasan hutan. Implementasi
jangka benah berarti merubah status sawit yang terlanjur ditanam
dalam kawasan hutan dari illegal menjadi legal. Strategi Jangka
Benah (SJB) ini sejalan dengan Undang-Undang No. 11/2020
tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah No. 23/2021 tentang
penyelenggaraan kehutanan; Permen LHK No. 9/2021 tentang
pengelolaan perhutanan sosial pada pasal 177 dan 178. Strategi
Jangka Benah kelapa sawit ini juga merupakan salah satu
implementasi dari skema Multi Usaha Kehutanan yang diatur
pada Peraturan Pemerintah No. 23/2021 tentang penyelenggaraan
kehutanan.
SJB menjadi solusi saat ini untuk mengatasi geliat ekspansi
kebun sawit monokultur secara komprehensif. Mengingat Data
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (Lapan), dan lembaga swadaya masyarakat

147
(LSM) menunjukkan luas tutupan sawit nasonal pada tahun 2019
mencapai 16,38 juta hektare. Sementara 3,4 juta hektare di antaranya
berada di dalam kawasan hutan (Auriga, 2019). Kebun kelapa sawit
monokultur di dalam kawasan hutan dituding dapat mengancam
kelestarian fungsi ekosistem hutan yang berperan sebagai
penyangga kehidupan. Penerapan SJB dilakukan secara bertahap
dimulai dari mengubah kebun sawit monokultur menjadi kebun
sawitcampur (agroforestry). Kemudian memperbaiki struktur dan
fungsi ekosistem agroforestri/wanatani kebun kelapa sawit. Hingga
dapat mengembalikan kondisi kawasan tersebut menyerupaihutan
alami kembali (close to nature) (Susanti, et al., 2020)
Strategi Jangka Benah (SJB) adalah upaya sosio-teknis-
kebijakan untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem
hutan yang telanjur rusak. Penerapannya saat ini dimulai dengan
membenahi keberadaan kebun sawit rakyat monokultur di dalam
kawasan hutan yang dapat mengganggu dan merusak struktur dan
fungsi ekosistem hutan. Kerusakan tersebut dapat diperbaiki secara
bertahap (periodik) dengan penguatan kelembagaan, tindakan
silvikultur yang terjadwal, dan dukungan kebijakan. SJB juga
merupakan instrument untuk mempercepat pencapaian program
Perhutanan Sosial (PS). Sekaligus menjadi salah satu alternatif
penyelesaian penguasaan lahan di dalam kawasan hutan.
Berbagai pola tanam dapat diterapkan dalam pengayaan
kelapa sawit. Penanaman dapat dilakukan dalam bentuk jalur
dalam barisan diantar barisan kelapa sawit dalam pola mata lima
seperti yang diterapkan oleh masyarakat di desa Penghidupan di
Kampar, Riau atau dalam bentuk pagar blok atau petak. Penanaman
dalam bentuk paga tidak terlalu disarankan karena peningkatan
keragaman dan peningkatan fungsi ekosistemnya lebih rendah. Pola
lain yang dapat diterapkan adalah penanaman dalam kelompok
atau klister. Pola tanam ini telah diterapkan pada penelitian yang
dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Gérard et al. 2017;
Zemp et al., 2019a). Pola pengayaan pada lansekap kelapa sawit
ini dapat meningkatkan peluang terbentuknya klaster tanaman
pohon yang berupa pulau-pulau pohon diantara tegakan kelapa
sawit (Koh et al., 2009).

148
Adapun alternatif pola tanam jangka benah kelapa sawit
adalah seperti yang disajikan pada Gambar 4.4. hingga Gambar
4.7. Pada pola alternatif pola A, tanaman sela berupa pohon yang
ditanam pada mata lima kelapa sawit. Pola ini akan menghasilkan
campuran tanaman pohon dan kelapa sawit dengan kerapatan
populasi pohon sama dengan jumlah populasi kelapa sawit. Adapun
jenis pohon yang direkomendasikan adalah petai, jengkol dan
sungkai.

Gambar 4.4. Pola tanam A dimana kelapa sawit diperkaya dengan 3 jenis
pohon yaitu petai, jengkol dan sungkai

149
Pola B memberikan alternatif pola tanam seperti pola A
tetapi masih ditambahkan dengan tanaman empon-emponan
dalam pola tanam ubinan. Ubin empon-emponan ditelakan pada
barisan di antara kelapa sawit. Adapun jenis empon-emponan yang
ditawarkan antara lain jahe, kunyit, dan laos.

Gambar 4.5. Pola tanam B dimana kelapa sawit diperkaya dengan 3 jenis
pohon yaitu petai, jengkol dan sungkai serta ditambah dengan empon-
emponan

Pola C memberikan alternatif pola tanam seperti pola A tetapi


diantara kelapa sawit dan tanaman pohon masih ditambahkan

150
dengan kopi. Pola C ini memanfaatkan ruang yang masih tersisa
dengan tanaman kopi yang lebih tahan kepada naungan.

Gambar 4.6. Pola tanam C dimana kelapa sawit diperkaya dengan 4 jenis
pohon yaitu petai, jengkol, sungkai dan kopi

151
Pola D memberikan alternatif pemilihan jenis tanaman
pohon yang lebih banyak. Tanaman pohon ditanam diantara kelap
sawit sehingga populasi tanaman pohon akan mencapai 200% dari
populasi kelapa sawit.

Gambar 4.7. Pola tanam D dimana kelapa sawit diperkaya dengan 5 jenis
pohon yaitu petai, jengkol, sungkai, durian dan kopi

Pola tanam A, B, C dan D serta jenis tanaman yang ditaman


adalah pola dasar strategi jangka benah kelapa sawit. Pola ini dapat

152
dikembangkan atau dikombinaiskan dengan pola agroforestri
yang lain. Demikian juga dengan pemilihan jenis tanaman yang
bisa disesuaikan dengan keinginan masyarakat dan kondisi
agroekosistem setempat.

4.1.2 Pengelolaan Teknik Budidaya Agroforestri Kelapa Sawit


Salah satu permasalahan kunci dari pengelolan kelapa sawit
rakyat adalah rendahnya produktifitas. Berdasarkan laporan
Daemeter Consulting (2015) bahwa produktifitas kelapa sawit
petani kecil, rata-rata lebih rendah 40% dibandingkan dengan
produktifitas kelapa sawit yang dikelola dengan baik atau lebih
rendah 58% dibandingkan dengan produktifitas kelapa sawit yang
dikelola oleh perusahaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan produktifitas adalah dengan memperbaiki
tindakan agronomi pada perkebunan kelapa sawit milik petani kecil
antara lain melalui perbaikan pemupukan, pengendalian gulma
dan penggunaan bahan organik. Secara umum pemupukan akan
meningkatkan pertumbuhan dan hasil kelapa sawit. Walaupun
demikian, penggunaan pupuk yang berlebihan akan meningkatkan
resiko pencemaran lingkungan seperti pemadatan tanah, emisi
gas rumah kaca dan kehilangan unsur hara melalui pencucian.
Hasil penelitian Darras et al., (2019) bahwa penurunan dosis
pupuk tidak memberikan pengaruh pada penurunan produksi dan
pertumbuhan kelapa sawit.
Perbaikan kondisi tanah secara umum terjadi pada pola
tanam agroforestri dimana terjadi fasilitasi berupa peningkatan
bahan organik dan peningkatan efisensi serapan hara sebagai
mana dijelaskan bahwa peran utama wanatani/agroforestri pada
skala plot adalah dalam mempertahankan kesuburan tanah, antara
lain melalui empat mekanisme: (1) mempertahankan kandungan
bahan organik tanah, (2) mengurangi kehilangan hara ke lapisan
tanah bawah, (3) menambah N dari hasil penambatan N bebas
dari udara, (4) memperbaiki sifat fisik tanah (Suprayogo et al.,
2003). Hasil penelitian lain juga menunjukan hasil yang sama
bahwa perubahan sistem yang monokultur ke pola agrofirestri akan
memberikan manfaat dan keuntungan berupa peningkatan karbon

153
baik di dalam tanah maupun pemukaaan tanah dan meningkatkan
ketersediaan air (Gusli et al., 2020).
Pepohonan, tanaman semusim dan gulma dalam sistem
wanatani/agroforestri memberikan masukan bahan organik
sepanjang tahun melalui daun, ranting dan cabang yang telah
gugur di atas permukaan tanah, yang selanjutnya bagian tanaman
yang telah mati ini disebut dengan seresah (litter). Di bagian bawah
(dalam tanah), pepohonan memberikan masukan bahan organik
melalui akar-akar yang telah mati, tudung akar yang mati, eksudasi
akar dan respirasi akar. Bahan organik sebagian besar (45%)
tersusun oleh karbon (C), maka untuk menyatakan kandungan
bahan organik tanah biasanya dinyatakan dengan kandungan
total C (-C-organik). Sebagai mana juga dilaporkan oleh Sarvade
et al., (2014) bahwa Pepohonan merupakan komponen penting
dari sistem agroforestri,yang meningkatkan status hara tanah
dengan berbagai proses, seperti penambahan serasah, dekomposisi,
pelepasan nutrisi, fiksasi N2 atmosfer, pemompaan nutrisi, dan
lain-lain. Kehilangan nutrisi melalui tanah erosi juga dikendalikan
oleh berbagai jenis pohon.
Lebih lanjut Suprayogo et al., (2003) menyatakan bahan
organik tanah (BOT) berperan sangat sentral dalam perbaikan
dan pemulihan kualitas tanah dimana (1) bahan organik tanah
berperanan sangat penting dalam kesuburan tanah, baik sifat kimia,
fisika maupun biologi tanah. Dari segi kimia, BOT berperanan
penting dalam menambah unsur hara dan meningkatkan
kapasitas tukar kation (penyangga hara = buffer). Meningkatnya
kapasitas tukar kation tanah ini dapat mengurangi kehilangan
unsur hara yang ditambahkan melalui pemupukan, atau dari hasil
mineralisasi BOT, sehingga BOT dapat meningkatkan efisiensi
pemupukan (2) BOT dapat mempertahankan kualitas sifat fisik
tanah sehingga membantu perkembangan akar tanaman dan
kelancaran siklus air tanah antara lain melalui pembentukan pori
tanah dan kemantapan agregat tanah. Dengan demikian jumlah
air hujan yang dapat masuk ke dalam tanah (infiltrasi) semakin
meningkat sehingga mengurangi aliran permukaan dan erosi.

154
Selain itu bahan organik mampu mengikat air dalam jumlah
besar, sehingga dapat mengurangi jumlah air yang hilang dan (3)
bahan organik tanah juga memberikan manfaat biologi melalui
penyediaaan energi bagi berlangsungnya aktivitas organisme,
sehingga meningkatkan kegiatan organisme mikro maupun makro
di dalam tanah. Pernyataan ini dikonfirmasi oleh Notaro et al.,
(2013) bahwa aktifitas dan populasi mikroba pada suatu pola
agroforestri mendekati aktifitas dan jumlah mikro pada hutan
primer. Penelitian terkait dengan keragaman mikroorganisme
pada pola agroforestri kelapa sawit juga mengindikasikan hasil
yang sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa keragaman
mikroogranisme dari kelompok jamur meningkat sejalan dengan
peningkatan keragaman jenis pohon yang ditanam pada pola
agroforestri kelapa sawit. Selain itu, terdapat indikasi yang cukup
kuat bahwa peningkatan keragaman pohon pada pengayaan kelapa
sawit akan meningkatkan proporsi jamur pengurai dan mengurangi
jamur yang berpotensis sebagai pathogen (Ballauff et al., 2020).
Mengacu pada hasil-hasil penelitian dan kajian tersebut diatas
maka pemberian pupuk pada pola tanam agroforestri seharusnya
lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan pupuk pada pola
monokultur. Penyediaan unsur hara pada pola agroforestri tersebut
jauh lebih efisien melalui proses penguraian dari bahan organik,
pengurangan kehilangan unsur hara melalui peningkatan retensi
air dan penurunan aliran permukaan dan pelindihan serta pompa
unsur hara melalui peningkatan ruang jelajah akar dari berbagai
jenis pohon dan tanaman yang ditanam pada pola agroforestri.
Sida et al., (2020) merekomendasikan bahwa dosis dan frekuensi
pemupukan pada pola agroforestri perlu untuk disesuaikan
(dikurangi) terutama jika tanaman yang ditanam pada pola
agroforestri adalah tanaman legum yang mampu menghasilkan
banyak bahan organik/serasah.
Potensi bahan organik yang dihasilkan dalam pola
agroforestri, agroforestri kelapa sawit juga dapat berasal dari
tandan buah kosong kelapa sawit. Tandan buah kosong memiliki
kandungan Kalium (K) yang tinggi selain itu itu juga mengandung

155
unsur hara N, P, Mg dan Ca. Tandan buah kosong juga memiliki
tingkat kebasaan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai
ameliorant tanah untuk meningkatkan pH tanah. Hasil penelitian
Uwumarongie-Ilori et al., (2012) menunjukan bahwa kandungan
unsur hara dari tandan buah kosong kelapa sawit adalah sebagai
berikut Nitrogen (N) 0,30 ± 0,1%; Posfor (P) 1,56 ± 0,40%; Kalium
(K) 4,60 ± 0,90%; Kalsium (Ca) 6,90 ± 1,10% dan Magnesium (Mg)
1,15 ± 0,6%.
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa agroforestri kelapa sawit
memiliki potensi yang sangat untuk dikembangkan dalam bentuk
pertanian organik. Pertanian organik merupakan salah satu sektor
pertanian yang tumbuh cepat secara global. Keseimbangan dari
ketersediaan unsur hara melalui rotasi tanaman dan aplikasi
bahan organik seperti kompos, pupuk hijau dan pupuk kandang
merupakan pengaturan penting dalam pertanian organic (Brady
and Well, 1999; Odiete, et al., 2005; Karanatsidis and Berova, 2009).
Selain terkait dengan peningkatan kualitas kesuburan tanah
secara fisika, kimia dan biologi yang kemudian meningkatkan
efisiensi pemanfaatan unsur hara yang pada akhirnya mengurangi
penggunaan pupuk, pola agroforestri juga berpotensi memberikan
keuntungan dalam tindakan pengendalian gulma. Hasil
berbagai penelitian menunjukan bahwa pengendalian gulma
memberikan dampak terhadap produktifitas kelapa sawit sekaligus
terhadap lingkungan. Pengendalian gulma yang berimbang
dapat meningkatkan dampak positif sedang pengendalian gulma
yang berlebihan dapat meningkatkan dampak negatif terhadap
produktifitas dan lingkungan. Pengendalian gulma yang total
bersih dapat meningkatkan kepadatan tanah dan menurunkan
porositas tanah, sementara itu, pengendalian gulma yang tidak
terlalu intensif yaitu dengan meninggalkan sisa gulma akan
meningkatkan tututpan vegetasi pada permukaan tanah sehingga
mengurangi resiko erosi (Corley and Tinker, 2016). Vegetasi gulma
juga akan meningkatkan aktifitas mikroorganisme sehingga akan
meningkatkan porositas tanah. Dampak dari cara pengendalian
gulma dilaporkan oleh Darras et al., (2019) bahwa keragaman

156
vegetasi, arthopoda dan mikroorganisme tanah meningkat pada
pengendalian gulma secara mekanis dibandingkan dengan petak
yang dikendalikan secara kimia.
Pola tanam agroforestri cenderung akan meningkatkan
tutupan permukaan tanah dan tutupan pada kanopi karena
sifat agroforestri yang berupa tanaman multi strata. Tutupan
permukaan tanah dan tutupan kanopi pohon akan mengurangi
intensitas cahaya yang masuk ke permukaan tanah yang kemudian
akan mengurangi potensi tumbuhnya gulma. Petak penelitian
Biodiversity Enrichment Experiment (BEE) CRC 990/EFForTS
Project yang merupakan kerjasama penelitian antara Universitas
Jambi, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Tadulako dengan
Universitas Goettingen dapat membuktikan kondisi tersebut. Petak
penelitian ini tidak dilakukan pengendalian gulma sejak tahun
2013 tetapi pertumbuhan gulma sangat terbatas karena tutupan
lahan yang relatif rapat.

Gambar 4.8. Kondisi gulma dan tutupan lahan pada petak penelitian BEE CRC
990 di Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Jambi.

157
4.2. PENGELOLAAN EKOLOGI AGROFORESTRI KELAPA SAWIT
BERKELANJUTAN
Hasil berbagai penelitian menunjukan bahwa penanaman
pengayaan pada kelapa sawit monokultur telah meningkatkan
secara nyata terhadap keragaman jenis burung dan invertebrata
(Teuscher et al., 2016). Selain itu, pengayaan kelapa sawit dengan
berbagai tanaman pohon juga akan meningkatkan keragaman
vegetasi dan struktur kompleksitas ekosistem (Zemp et al., 2019b).

4.2.1 Pengelolaan faktor fisik lingkungan Agroforestri Kelapa


Sawit
Pada suatu pola agroforestri, tidak hanya terjadi interaksi
atau hubungan antara tanaman dengan lingkungan tetapi juga
terjadi interaksi antar komponen spesies yang berbeda. Interaksi ini
terjadi di udara berupa penggunaan bersama cahaya, kelembaban
dan unsur lingkungan lain; permukaan tanah dan di dalam tanah
yang berhubungan dengan penggunaan air, unsur hara, ruang
perakaran dan lain sebagainya. Interaksi pada suatu pola wanatani
tidak hanya bersifat saling mengurangi atau merugikan satu pihak
dalam bentuk kompetisi tetapi juga terjadi interaksi positif yang
saling menguatkan antar komponen wanatani.
Suprayogo et al., (2003) menjelaskan terdapat tiga zona
interaksi dalam sistem agroforestri yaitu: Zona A (zona interaksi
di atas tanah), Zona B (zona lapisan tanah atas yang merupakan
interaksi antara beberapa akar tanaman), Zona C (zona lapisan
tanah bawah yang didominasi oleh akar dari satu macam tanaman).
Adapun mekanisme interaksi interaksi pohon-tanah-tanaman non-
pohon pada tiga zona tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pada zona A (di atas permukaan tanah), pohon memberikan
pengaruh positif terhadap tanaman lainnya, baik untuk
jangka pendek maupun jangka panjang. (a) Untuk jangka
pendek, pohon memberikan naungan parsial yang kadang-
kadang menguntungkan tanaman non-pohon yang ditanam

158
bersamaan. (b) Untuk jangka panjang, wanatani memperbaiki
kesuburan tanah melalui seresahnya yang jatuh ke permukaan
tanah. Pada zona ini pohon juga memberikan pengaruh
merugikan tanaman semusim tergantung pada bentuk dan
sebaran kanopi serta waktu aktivitas kanopi;
2. Interaksi pada zona B ( lapisan tanah atas), wanatani
memberikan keuntungan melalui: (a) peningkatan daerah
jelajah akar dan masukan bahan organik lewat akar yang
mati (b) peningkatan ketersediaan P, melalui simbiosis akar
pohon dengan mikoriza, (c) peningkatan ketersediaan N
dalam tanah bila akar leguminosae bersimbiosis dengan
rizhobium, (d) untuk jangka panjang, memperbaiki sifat
fisik tanah seperti perbaikan struktur tanah, meningkatkan
kemampuan menyimpan air (water holding capacity) melalui
pembentukan pori makro akibat aktivitas akar dan biota,
sehingga mengurangi limpasan permukaan, pencucian, dan
erosi. Pada zona ini, ada kemungkinan terjadi kompetisi akan
air dan hara oleh beberapa akar tanaman;
3. Pada zona C (zona lapisan tanah bawah), wanatani memberikan
keuntungan melalui: peningkatan efisiensi serapan hara
melalui sebaran akar yang dalam melalui mekanisme pompa
unsur hara (nutrient pumping)

Selain itu, pola tanam agroforestri juga memperbaiki iklim


mikro sebagai mana dilaporkan oleh Donfack et al., (2021)
bahwa semakin tinggi keragaman jenis yang ditanam pada
pola agroforestri kelapa sawit dan semakin besar ukuran petak
agroforiestry akan menurunkan suhu rata-rata yang relatif rendah
dengan kelembaban udara relatif yang lebih tinggi. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa bahwa pengelolaan variabel struktural
yang efisien dalam agroforestri kelapa sawit akan secara positif
mempengaruhi iklim mikro dan suhu permukaan tanah, yang pada
gilirannya akan berkontribusi positif terhadap keanekaragaman
hayati dan peningkatan fungsi ekosistem. Iklim mikro dan suhu
permukaan tanah merupakan faktor kunci dari berbagai proses

159
ekologi yang penting seperti siklus unsur hara dan proses fisiologis
pohon seperti pertumbuhan dan transpirasi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat berbagai
interaksi dan kondisi pada zona B (lapisan atas tanah) dan zona
C (Bagian dalam tanah) pada suatu tapak yang ditanam dengan
pola agroforestri. Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa
pola tanam agroforestri akan meningkatkan berbagai ketersediaan
unsur hara dalam tanah. Pinho et al., (2012) dalam publikasinya
yang berjudul Agroforestry and the Improvement of Soil Fertility: A
View from Amazonia merangkum berbagai temuan hasil penelitian
terkait kontribusi agroforestri terhadap kesuburan tanah. Lebih
lanjut Patiram dan Choudhury (tt) menjelaskan bahwa perbaikan
kesuburan tanah terjadi dengan proses pencegahan erosi dan
limpasan tanah, menjaga bahan organik tanah, peningkatan sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah, peningkatan nitrogen masukan oleh
pohon dan tumbuhan pengikat N, dan penambangan mineral dari
media tanah yang lebih terjangkau oleh akar dan daur ulangnya
melalui bahan oranik yang jatuh ke tanah.
Berdasarkan fakta tersebut bahwa semakin beragam dan
semakin luas pola tanam agroforestri diterapkan maka akan
memperbaiki faktor fisik ekosistem yang selanjutnya akan
memperbaiki fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Sebagai mana direkomendasi oleh Zemp et al. (2019b). Maka
pengelolaan keragaman vegetasi pada pola agroforestri berarti
mengelola kondisi fisik ekosistem baik di tanah maupun atmosfir.

160
Gambar 4.9. Kompleksitas Struktur Tegakan pada agroforestri kelapa sawit
dengan berbagai tingkat keragaman dibandingkan dengan kompleksitas
struktur hutan.

Rekomendasi pengelolaan ini sejalan dengan rekomendasi


Badan Konservasi Sumberdaya Alam (Natural Resources
Conservation Service (NRCS)), USDA (United State Department of
Agriculture) (2022) bahwa untuk meningkatkan kesehatan tanah
dan keberlanjutan pengelolaan diperlukan pemenuhan lima prinsip
yaitu (1) meningkatkan keragaman jenis tanaman yang diusahakan
untuk meningkatkan keragaman di dalam tanah; (2) melakukan
pengelolaan lahan secara terbatas sehingga tidak merusak tanah;
(3) menjaga vegetasi tetap tumbuh sepanjang tahun sehingga
dapat melindungi tanah; (4) menjaga tanah tetap terlindung dan
(5) mengintegrasikan pengelolaan lahan dengan ternak untuk
meningkatkan siklus hara dan meningkatkan keragaman tanaman.

161
4.2.2 Pengelolaan Keanenekaragaman hayati Agroforestri Kelapa
Sawit
Hasil penelitian menunjukan hasil yang sangat menarik
dimana pengayaan kelapa sawit dengan pohon satu tahun setelah
penanaman dapat meningkatkan keragaman burung dan fauna
invetebrata (Teuscher et al., 2016), dimana kelompok serangga
paling banyak ditemukan pada bagian herba. Hasil penelitian
juga mengkonfirmasi bahwa peningkatan keragaman burung
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan keragaman total
pada petak pengayaan (Teuscher et al., 2016). Tegakan pohon yang
ditanam telah mencapai tinggi empat meter pada tahun pertama
(Teuscher et al., 2016). Tegakan ini telah mampu menyediakan
tempat bersarang, tempat bertengger dan makanan (Thiollay, 1995).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa keberadaan burung dan fauna
inveterbrata dapat digunakan sebagai bioindicator bahwa perbaikan
fungsi habitat dan status awal dari suksesi alami (Teuscher et al.,
2016).

4.3 PENGELOLAAN SOSIAL AGROFORESTRI KELAPA SAWIT


BERKELANJUTAN
Selain perbaikan teknik agronomis, pengelolaan dan
penguatan sosial ekonomi masyarakat juga diperlukan. Pengelolaan
dan penguatan sosial dan ekonomi ini akan menyeimbangkan
kemanfaatan dari usaha kelapa sawit terutama untuk para
petani swadaya dan pekerja lain yang terlibat dalam industri
perkelapasawitan. Sebagai kita ketahui bahwa pemerintah
Indonesia menempatkan kelapa sawit sebagai komoditi sentral
dalam pembangunan ekonomi (Krishna et al., 2017) dan
menjadi komoditas unggulan Indonesia. Budidaya kelapa sawit
oleh menciptakan lapangan pekerjaan untuk jutaan orang di
Indonesia dan perolehan upah yang lebih tinggi daripada yang bisa
diperoleh dengan membudidayakan tanaman pangan (Burke and
Resosudarmo, 2012). Untuk rumah tangga petani rakyat, budidaya
kelapa sawit dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja yang
tinggi, yang merupakan input yang paling membatasi di banyak

162
daerah di Indonesia (Euler et al., 2017; Krishna et al., 2017). Bukti
empiris efek kesejahteraan budidaya kelapa sawit bagi petani kecil
di tingkat mikro beragam. Sebagian besar studi kuantitatif yang ada
menunjukkan hasil mata pencaharian positif, seperti peningkatan
pengeluaran konsumsi, pendapatan rumah tangga dan nutrisi
(Euler et al., 2017; Krishna et al., 2017)

4.3.1 Penerimaan Masyarakat terhadap pola tanam Agroforestri


Kelapa Sawit
Hasil berbagai penelitian dan fakta lapangan menunjukan
bahwa penerimaan masyarakat terhadap pola tanam agrofoerstri
kelapa sawit cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari praktik
budidaya pola agroforestri yang telah diterapkan oleh masyarakat
sebagaimana dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya. Berdasar
hasil penelitian tim Strategi Jangka Benah Universitas Gajah Mada,
ada sejumlah alasan petani menerapkan agroforestri kelapa sawit.
a. Agroforestri/wanatani dapat memberikan sumber pendapatan
yang lebih beragam dari satu unit lahan. Keragaman itu dapat
diperoleh dari pemilihan jenis tanaman, pengaturan pola
tanam (spatial management) dan atau pengaturan waktu panen
sepanjang tahun (temporal management).
b. Sumber pendapatan beragam membuat petani tak rentan
(resilience) menghadapi fluktuasi harga buah segar sawit yang
cenderung turun beberapa tahun terakhir. Wanatani diyakini
dapat meningkatkan kestabilan pendapatan rumah tangga
petani sepanjang tahun.
c. Agroforestri/wanatani juga dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan sumberdaya, baik lahan maupun input lainnya.
Tak heran, wanatani banyak diterapkan petani karena lahan
sempit.
d. Petani punya persepsi, bahwa wanatani berpotensi membantu
memperbaiki tata air atau menyelamatkan sumber air bersih
yang semakin berkurang sejak mereka menanam (Susanti et
al., 2021).

163
4.3.2 Rekayasa Sosial untuk implementasi kelapa sawit campur
berkelanjutan
Walaupun usaha perkebunan kelapa sawit telah terbukti
memberikan kemanfaatan ekonomi dan sosial yang sangat
besar, pengelolaan kelapa sawit juga masih menyisakan beberapa
persoalan terkait dengan aspek sosial ekonomi masyarakat yaitu
masih adanya ketidak adilan atas akses dan distribusi keuntungan
(Krishna et al. 2015: Euler et al. 2016) dan ketidakpastian hak atas
tanah serta konflik lahan (Beckert et al. 2014: Krishna et al. 2015:,
Grimm and Klasen 2015). Masalah utama lain terkait dengan
sawit yang berada dalam kawasan hutan adalah masalah legalitas
penguasaan dan pengelolaan lahan. Mengacu kepada peraturan
yang ada, keberadaan kelapa sawit adalah illegal atau tidak sah.
Oleh karena skema perijinan pemanfaatan hutan melalui program
perhutan sosial harus dilakukan sebelum kegiatan tapak penerapan
agroforestri dilakukan.
Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Kehutanan bahwa Perhutanan Sosial
merupakan sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan
dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang
dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum
Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya,
keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam
bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman
Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
Pelaku Perhutanan Sosial adalah masyarakat yang tinggal di
sekitar atau di dalam kawasan hutan negara, yang keabsahannya
dibuktikan melalui Kartu Tanda Penduduk, riwayat penggarapan
kawasan hutan, serta aktivitas masyarakat yang dapat berpengaruh
terhadap ekosistem hutan. Pasal 7 Peraturan Menteri LHK No. 9
tahun 2021 mengatur bahwa perizinan perhutanan sosial dapat
diberikan kepada perorangan, koperasi dan kelompok tani.
Kelompok Perhutanan Sosial ini kemudian yang disingkat KPS
adalah kelompok tani hutan dan/atau kelompok Masyarakat dan/

164
atau koperasi pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial
serta Masyarakat Hukum Adat (MHA) termasuk kelompok tani
dan/atau kelompok Masyarakat pengelola Hutan Rakyat.
Perseorangan sebagaimana dimaksud adalah perseorang
yang telah tergabung atau membentuk kelompok Masyarakat.
Sedangkan Kelompok tani yaitu berupa kelompok tani hutan atau
gabungan kelompok tani hutan. Kelompok Tani Hutan dibentuk
atas usulan dari anggota masyarakat dan disyahkan berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Desa atau Lurah. Koperasi harus
memenuhi ketentuan koperasi setempat yang bergerak di bidang
pertanian, hortikultura, peternakan, dan/atau kehutanan.
Anggota kelompok Masyarakat dan kelompok tani hutan
sebagaimana paling sedikit berjumlah 15 (lima belas) orang.
Dalam hal anggota kelompok berjumlah lebih dari 300 (tiga ratus)
orang dapat membentuk gabungan kelompok tani hutan. Anggota
kelompok yang dapat diberikan Persetujuan Pengelolaan HKm
berasal dari:
a) Masyarakat Setempat dengan mengutamakan pengelola
pada areal yang dimohon yang mempunyai ketergantungan
hidup pada lahan kawasan hutan;
b) Profesional kehutanan atau Perseorangan yang
memperoleh pendidikan kehutanan, atau bidang ilmu
lainnya yang berpengalaman di bidang kehutanan atau
pernah sebagai Pendamping atau penyuluh di bidang
kehutanan; dan/atau
c) Masyarakat luar desa setempat yang sudah mengelola
areal yang dimohon secara turun temurun atau 5 (lima)
tahun terakhir berturut-turut yang dinyatakan dengan
surat keterangan kepala desa atau lurah setempat.

Dalam skema Kemitraan Kehutanan, Mitra pelaku kemitraan


kehutanan yang dimaksud berasal dari:
a) Penduduk yang tinggal di desa sekitar areal perizinan
berusaha, penggunaan kawasan hutan atau kawasan
Hutan Konservasi;

165
b) Masyarakat yang sudah mengelola areal yang dimohon
secara turun temurun atau 5 (lima) tahun terakhir
berturut-turut karena kedekatan akses terhadap areal
yang dimohon dalam satu kesatuan lansekap hutan yang
dinyatakan dengan surat keterangan dari kepala desa atau
lurah setempat;
c) profesional kehutanan atau Perseorangan yang telah
memperoleh pendidikan kehutanan atau bidang ilmu
lainnya yang pernah sebagai Pendamping atau penyuluh
di bidang kehutanan dengan membentuk kelompok atau
koperasi bersama Masyarakat Setempat; dan/atau
d) Masyarakat luar desa setempat yang sudah mengelola
areal yang dimohon secara turun temurun atau 5 (lima)
tahun terakhir berturut-turut yang dinyatakan dengan
surat keterangan kepala desa/lurah atau camat setempat.
e) Masyarakat dan professional yang memenuhi syarat
sebagai mitra membentuk Kelompok Tani Hutan atau
Gabungan Kelompok Tani Hutan.

Sedangkan Anggota kelompok yang dapat diberikan


Persetujuan Pengelolaan HKm, HTR dan Kemitraan Kehutanan
dengan ketentuan:
a) 1 (satu) keluarga diwakili 1 (satu) orang dengan
memberikan kesempatan yang sama baik laki-laki
maupun perempuan; dan
b) belum terdaftar sebagai pemegang Persetujuan Pengelolaan
Perhutanan Sosial lainnya.

Oleh karena itu, rekayasa sosial pertama yang perlu dilakukan


adalah melakukan advokasi kepada masyarakat untuk mengajukan
usulah skema perhutanan sosial melalui kelompok sesuai dengan
karakter sosial dan karakter fisik dan fungsi kawasan hutannya.
Mengingat praktik agroforestri telah dilakukan oleh masyarakat
maka tahapan berikutnya adalah melakukan advokasi dan
penyediaan bukti bahwa agroforestri kelapa sawit tidak merugikan

166
terhadap produksi dan pendapatan masyarakat. Selain itu, mengacu
kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
9/2021 bahwa kelapa sawit yang sudah terlanjur tersebut dapat tetap
dikelola dan dipanen dengan syarat diperkaya dengan tanaman
hutan dengan jumlah minimal 100 batang per hektar.
Terkait dengan upaya advokasi dan difusi teknologi
agrofrestri kelapa sawit tersebut, beberapa hasil penelitian dapat
dijadikan rujukan. Instrumen kebijakan, khususnya kompensasi
finansial dilaporkan dapat memotivasi masyarakat dalam
melakukan penanaman pohon dan konservasi hutan di antara
pemilik lahan di negara berkembang (Leimona et al., 2009; Jack et
al., 2013). Lebih lanjut, hasil Studi eksperimental tentang adopsi
teknologi pertanian menunjukkan bahwa instrumen alternatif
seperti informasi dan penyediaan sarana produksi seperti bibit
bisa menjadi penting terutama selama tahap awal difusi teknologi
(Carter et al., 2013).
Lebih lanjut Romero et al. (2019) bahwa penyuluhan dan
intervensi struktural dapat memotivasi petani dalam penanaman
pohon di antara kelapa sawit rakyat di Indonesia. Penyediaan
informasi baik melalui penyuluhan atau media lain dan dikombinasi
degan penyediaan bibit dapat memberikan dampak yang lebih baik
dalam memotivasi petani untuk mengadopsi pola agrofororestri
kelapa sawit. Dalam penelitian ini juga mengkonfirmais bahwa
mengatasi hambatan structural dalam implementasi kegiatan di
lapangan sangat penting dalam proses adopsi teknologi oleh petani.

4.4 AGROFORESTRI KELAPA SAWIT DALAM KAWASAN


HUTAN DAN SERTIFIKASI KELAPA SAWIT LESTARI
Sertifikasi keberlanjutan pengelolaan kelapa sawit secara
umum dilakukan melalui dua skema yaitu skema sertifikasi yang
bersifat wajib dan sertifikasi yang bersifat sukarela. Sertifikasi
pengelolaan kelapa sawit lestari yang bersifat wajib di Indonesia
adalah ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) atau Sertifikasi
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang merupakan
sistem sertifikasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang layak

167
ekonomi, layak sosial budaya, dan ramah lingkungan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Regulasi terkait ISPO
ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2020 Tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan Indonesia. Sedangkan sertifikasi kelapa sawit
lestari yang bersifat sukarela antara lain adalah RSPO (Roundtable
Sustainable Palm Oil).
Kewajiban melakukan sertifikasi kelapa sawit lestari tidak
hanya untuk badan usaha tetapi juga pekebun atau masyarakat.
Hal ini diatur pada beberapa pasal pada Peraturan Presiden No. 44
tahun 2020. Mengacu pada pasal 4 ayat 1 bahwa untuk menjamin
Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia yang berkelanjutan dilakukan
Sertifikasi ISPO sedangkan Pasal 5 ayat 3 bahwa Sertifikasi ISPO
tersebut dapat diajukan oleh Pelaku Usaha baik berupa Perusahaan
Perkebunan; dan/atau Pekebun. Selanjutnya diatur pada ayat
4 bahwa Sertifikasi ISPO yang diajukan oleh Pekebun dapat
dilakukan secara perseorangan atau berkelompok. Lebih lanjut
ayat 5 mengatur bahwa kelompok sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dapat berbentuk kelompok Pekebun, gabungan kelompok
Pekebun, atau koperasi.
Mekanisme dan persyaratan pengajuan sertifikasi kelapa
sawit lestari oleh Pekebun diatur pada pasal 8 Peraturan Presiden
No. 44 tahun 2020 khususnya ayat 3 bahwa kelompok Pekebun,
gabungan kelompok Pekebun, atau koperasi mengajukan
permohonan Sertifikasi ISPO kepada Lembaga Sertifikasi ISPO
dengan melampirkan dokumen: a. tanda daftar usaha perkebunan;
dan b. hak atas tanah.
Terkait dengan kemampuan pekebun yang memegang
izin perhutanan sosial dalam memenuhi syarat pengajuan ISPO
tersebut, maka perlu dilihat pemaknaan dari masing-masing
syarat sebagai mana diatur pada pasal 8 ayat 3 tersebut diatas.
Surat tanda daftar usaha perkebunan diatur dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor: 98/Permentan/OT.140/9/2013 dan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor: 105/Kpts/
PI.400/2/2018 tentang Pedoman Penerbitan Surat Tanda Daftar

168
Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B) bahwa Surat Tanda
Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B) merupakan
keterangan budidaya yang diberikan kepada Pekebun. Sasaran
penerbitan STD-B ini adalah pelaku usaha perkebunan dengan
luasan lahan kurang dari 25 ha. Proses penerbitan didahului
dengan pendataan, verifikasi dan validasi lapangan atas lahan milik
pekebun yang mengajukan permohonan. Persyaratan bagi pekebun
dalam mengajukan STD-B adalah mengajukan permohonan
dengan menyertakan data dan dokumen antara lain: Identitas
Pemohon; Data Kebun; dan Surat Keterangan Kepemilikan Tanah.
Berdasarkan persyaratan pengurusan izin STD-B tersebut maka
pemegang izin perhutanan sosial dapat mengalami hambatan
yang signifikan karena skema perhutanan sosial adalah berupa izin
pemanfaatan dan bukan kepemilikan sehingga syarat memiliki surat
keterangan kepemilikan tanah tidak dapat terpenuhi kecuali jika
izin perhutanan sosial dapat dijadikan pengganti syarat tersebut.
Demikian juga untuk memenuhi syarat kedua berupa bukti hak
atas tanah. Berdasarkan persyaratan tersebut, maka pekebun
pemegang izin perhutanan sosial akan menghadapi permasalahan
yang fundamental jika berupaya untuk memperoleh sertifikasi
kelapa sawit lestari ISPO kecuali adanya regulasi yang memayungi
perizinan sosial untuk pemenuhi persyaratan sertifikasi ISPO.
Sebagaimana di rekomendasi oleh SPOS Indonesia (2020)
bahwa terdapat beberapa komponen penting dan mendesak untuk
dilakukan dalam implementasi sertifikasi ISPO untuk kelapa sawit
rakyat termasuk kelapa sawit yang terlanjur ditanam di kawasan
hutan yaitu: 1. Prinsip dan kriteria ISPO terkait dengan legalitas
lahan harus mengacu pada kondisi dan fakta lapangan yang ada saat
ini. Oleh karena itu, Kriteria dan Indikator ISPO harus memberikan
ruang bagi syarat legalitas lahan berupa SKT/girik/bukti jual-beli
lahan/bukti sewa lahan/dokumen lahan tradisional lainnya yang
diakui oleh pranata sosial yang ada di masyarakat. Termasuk,
kesepakatan terhadap izin perhutanan sosial sebagai syarat legalitas
bagi kebun sawit yang masuk ke dalam skema perhutanan sosial.
2. Pemerintah perlu mempercepat pendataan, pemetaan dan
penerbitan STD-B kebun sawit swadaya. Dengan data dan peta,

169
pemerintah bisa merancang program peningkatan legalitas lahan,
penerbitan STD-B dan penyelesaian status lahan/kebun sawit
swadaya dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, BAPPENAS perlu
merancang program dan pembiayaan terkait pendataan, pemetaan,
penerbitan STD-B dan peningkatan legalitas lahan kebun sawit
swadaya selama 2021-2025, sebagai upaya menuju sistem sertifikasi
ISPO bagi kebun sawit swadaya. 3. Pemerintah perlu melakukan
harmonisasi regulasi terkait pendefinisian batas maksimal kebun
sawit swadaya, persyaratan legalitas dan penyelesaian status lahan
(SPOS Indonesia, 2020).
Pemenuhan prinsip, kriteria dan indikator Sertifikasi
kelapa sawit lestari RSPO juga bukan merupakan hal yang mudah
dilakukan oleh pemegang izin perhutanan sosial. Legalitas atas
penguasaan lahan kemungkinan juga bisa menjadi masalah.
Pengaturan mengenai hak atas tanah diatur pada Prinsip ke 2
dari Prinsip dan Kriteria RSPO Untuk Produksi Minyak Sawit
Berkelanjutan yaitu memenuhi hukum dan peraturan yang
berlaku. Berdasarkan kriteria 2.2 disebutkan bahwa hak untuk
menggunakan tanah dapat dibuktikan dan tidak dituntut secara
sah oleh komunitas lokal dengan hak-hak yang dapat dibuktikan.
Untuk menunjukan bukti hak untuk menggunakan tanah dapat
ditunjukan dalam bentuk dokumen-dokumen yang menunjukkan
kepemilikan atau kontrak sewa yang sah, sejarah penguasaan tanah
dan pemanfaatan tanah sesungguhnya yang sah. Potensi masalah
yang timbul adalah bahwa asesor RSPO dapat saja memahami
bahwa izin perhutanan sosial tidak termasuk dalam dokumen yang
sah hak untuk menggunakan tanah.

DAFTAR PUSTAKA
Austin, KA., Schwantes, A., Gu, Y., Kasibhatla, PS., (2018). What
causes deforestation in Indonesia? Environ. Res. Lett.
14 (2019) 024007
Badan Pusat Statistik, (2018). Statistik Produksi Kehutanan 2017.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.

170
Ballauff, J., Zemp, DC., Schneider, D., Irawan, B., Daniel, R., and
Polle, A. (2020). Legacy Effects Overshadow: Tree
Diversity Effects on Soil Fungal Communities in Oil
Palm-Enrichment Plantations. Microorganisms
Beckert, B., C. Dittrich, and S. Adiwibowo. (2014). Contested land:
an analysis of multi-layered conflicts in Jambi Province,
Sumatra, Indonesia. Austrian Journal of South-East
Asian Studies 7 (1):75-92.
Bedford, G.O. (1980). Biology, Ecology and Control of Palm
Rhinoceros Beetles. Annual Review of Entomology,
25:309-339.
Brady NC, Weil RR (1999). The Nature and Properties of Soils.
(12th Editon). Prentice Hall, New Jersey pp. 881.
Carter, M. R., Laajaj, R., and Yang, D. (2013). The impact of voucher
coupons on the uptake of fertilizer and improved seeds.
Evidence from a randomized trial in Mozambique.
American Journal of Agricultural Economics, 95(5),
1345–1351.
Chia FR. (2011). Survival and Growth Performance of Teak Under
Monocrop system and Intercropped With Oil Palm.
Sepilok Bull.13 & 14, 33–42.
Clough, Y,. Vijesh V. Krishna, Marife D. Corre, Kevin Darras,
Lisa H. Denmead, Ana Meijide, Stefan Moser, Oliver
Musshoff, Stefanie Steinebach, Edzo Veldkamp,
Kara Allen, Andrew D. Barnes, Natalie Breidenbach,
Ulrich Brose, Damayanti Buchori, Rolf Daniel, Reiner
Finkeldey, Idham Harahap, Dietrich Hertel, A. Mareike
Holtkamp, Elvira Horandl, Bambang Irawan, I. Nengah
Surati Jaya, Malte Jochum, Bernhard Klarner, Alexander
Knohl, Martyna M. Kotowska, Valentyna Krashevska,
Holger Kreft, Syahrul Kurniawan, Christoph Leuschner,
Mark Maraun, Dian Nuraini Melati, Nicole Opfermann,
Cesar Perez-Cruzado, Walesa Edho Prabowo, Katja
Rembold, Akhmad Rizali, Ratna Rubiana, Dominik
Schneider, Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, Aiyen Tjoa,

171
Teja Tscharntke & Stefan Scheu., (2015). Land-use
choices follow profitability at the expense of ecological
functions in Indonesian smallholder landscapes. Nature
Communications DOI: 10.1038/ncomms13137
Corley, RH.,and Tinker,P.B. (2003). The Oil Palm, 4th Ed. Oxford:
Wiley- Blackwell.
Daemeter Consulting (2015): Indonesian Oil Palm Smallholder
Farmers: A Typology of Organizational Models, Needs,
and Investment Opportunities. Daemeter Consulting,
Bogor, Indonesia
Danielsen F, Beukema H, Burgess ND, Parish F, Bruhl CA, Donald
PF, Murdiyarso D, Phalan B, Reijnders L, Struebig M,
Fitzherbert EB (2009) Biofuel plantations on forested
lands: double jeopardy for biodiversity and climate.
Conserv Biol 23:348–358
Darras KFA, Corre MD, Formaglio G, Tjoa A, Potapov A,
Brambach F,Sibhatu KT, Grass I, Rubiano AA,Buchori D,
Drescher J, Fardiansah R, Hölscher D, Irawan B, Kneib
T,Krashevska V, Krause A, Kreft H, Li K,Maraun M, Polle
A, Ryadin AR,Rembold K, Stiegler C, Scheu S, Tarigan
S, Valdés-Uribe A, Yadi S,Tscharntke T and Veldkamp
E (2019). Reducing Fertilizer and Avoiding Herbicides
in Oil Palm Plantations—Ecological and Economic
Valuations. Front. For. Glob. Change 2:65.doi: 10.3389/
ffgc.2019.00065
Donfack, LS., Roell, A. aßer, FE., Ehbrecht, M., Irawan, B.,Hoelscher,
D., Knohl, A., Kreft, H., Siahaan, EJ., Sundawati, L.,
Stiegler, C., Zemp, DC. (2021). Microclimate and land
surface temperature in a biodiversity enriched oil palm
plantation. Forest Ecology and Management 497
Edwards, F. A., Edwards, D. P., Larsen, T. H., Hsu, W. W., Benedick,
S., Chung, A., et al. (2014). Does logging and forest
conversion to oil palm agriculture alter functional
diversityinabiodiversityhotspot? Anim. Conserv. 17,
163–173.doi: 10.1111/acv.12074

172
Euler, M. Schwarze, S., Siregar, H., and Qaim, M., (2016). Oil Palm
Expansion among Smallholder Farmers in Sumatra,
Indonesia. Journal of Agricultural Economics 67(3).
DOI: 10.1111/1477-9552.12163
Euler, M. Schwarze, S., Siregar, H., Khrisna, V. and Qaim, M.,
(2017). Oil Palm Adoption, Household Welfare, and
Nutrition Among Smallholder Farmers in Indonesia
World Development 93
FAOSTAT (2013). Statistics division, Food and Agricultural
Organization, Rome. http://faostat.fao.org. Last accessed
on November 23rd
Feintrenie, L., Levang, P., (2009). Sumatra’s rubber agro-forests:
advent, rise and fall of a sustainable cropping system.
Small-Scale Forestry 8(3), 323–335. Fitzherbert, E.,
Struebig, M., Moerl, A., Danielsen, F., Bruehl, C.,
Donald, P., Phalan, B., 2008. How will oil palm expansion
affect biodiversity? Trends in Ecology and Evolution
23(10), 538–545.
Fitzherbert, E. B., Struebig, M. J., Morel, A., Danielsen, F., Brühl,
C. A.,Donald, P. F., & Phalan, B. (2008). How will oil
palm expansion affect biodiversity? Trends in Ecology
& Evolution, 23, 538–545. https ://doi.org/10.1016/j.
tree.2008.06.012
Foley, J. A., De Fries, R., Asner, G. P., Barford, C., Bonan, G.,
Carpenter, S. R., ... Snyder, P. K. (2005). Global
consequences of land use. Science, 309(5734), 570–574.
Furong, N., Röll, A. Hardanto, A. Meijide, A. Köhler, M.
Hendrayanto; Hölscher, D.(2015). Tree Physiology 00,
1–11 doi:10.1093/treephys/tpv013
Food and Agriculture Organization (FAO) (2012). State of World’s
Forests. Food and Agriculture Organization of the
United Nations, Rome.

173
Foley JA, De Fries R, Asner GP, Barford C, Bonan G, Carpenter
SR, Snyder PK. (2005). Global consequences of land use.
Science 309(5734):570–574.
Foster WA, Snaddon JL, Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD,
Ellwood MDF, Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen
CV, Yusah KM. (2011). Establishing the evidence base
for maintaining biodiversity and ecosystem function in
the oil palm landscapes of South East Asia. Philos. Trans.
R. Soc. B Biol. Sci. 366:3277–3291. doi:http://dx.doi.
org/10.1098/rstb.2011.0041.
Gérard, A, Wollni M., Hölscher D., Irawan B.,Sundawati L, Teuscher
M.,Kreft H (2017). Oil-palm yields in diversified
plantations: Initial results from a biodiversity enrichment
experiment in Sumatra, Indonesia. Agriculture,
Ecosystems and Environment 240: 253–260
Grimm, M., and Klasen, S. (2015). Migration pressure, tenure
security, and agricultural intensification: Evidence from
Indonesia. Land Economics, 91(3), 411–434.
Gusli, S., Sumeni, S., Sabodin, R., Muqfi, IH., Nur, M., Hairiah,
K., Useng, D., van Noordwijk, M., (2020). Soil Organic
Matter, Mitigation of and Adaptation to Climate Change
in Cocoa–Based Agroforestry Systems. Land 9: 323;
doi:10.3390/land9090323
Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. (2003). Pengantar
Agroforestri. Bogor: ICRAF.
Irawan, B., Tampubolon, B., Hasibuan, H. (2019). Effects of
Fertilizer regimes and time of planting on Biodiversity
Enrichment Experiment of oil-palm landscape. Access
Benefit Sharing CRC 990/EFForTS Project.
Irawan, B. (2021). Monitoring, Evaluasi Dan Pembelajaran
Program Kemitraan Masyarakat PT. Royal Lestari
Utama (Monitoring, Evaluation, Lesson Learned (MELL)
Community Partnership Programs PT. Royal Lestari
Utama). PT. Royal Lestari Utama

174
Jack, BK., Allcott, H., Aker, J., Ashraf, N., Avery, C., Banerjee, A.,
... Zeckhauser, R. (2013). Private information and the
allocation of land use subsidies in Malawi. American
Economic Journal: Applied Economics, 5(3), 113–135.
Jaringan Independen Pemantau Kehutanan (2017). Konsesi Sawit
Dalam Kawasan Hutan Di Pulau Sumatera. http://jpik.
or.id/konsesi-sawit-dalam-kawasan-hutan-di-pulau-
sumatera/. Diakses tanggal 13 April 2022
Karanatsidis G, Berova M (2009). Effect of organic-n fertilizer on
growth and some physiological parameters in pepper
plants (capsicum annum l.). Biotechnol. & biotechnol.
Eq. 23/2009/SE XI anniversary scientific conference,
special edition/on-line 120 years of academic education
in biology. Pp 254-257
Koh, LP., and Wilcove, D. S. (2008). Is oil palm agriculture really
destroying tropical biodiversity? Conservation Letters,
1(2), 60–64
Koh, LP., Levang, P., Ghazoul, J., (2009). Designer Landscape
for Sustainable Biofuels. Trends in Ecology &
Evolution 24(8):431-8 DOI:10.1016/j.tree.2009.03.012
Krishna, VV., Euler, M., Siregar, H.,Fathoni, Z., Qaim, M. (2015).
Farmer heterogeneity and differential livelihood impacts
of oil palm expansion among smallholders in Sumatra,
Indonesia. EFForTS Discussion Paper Series No. 13,
University of Goettingen Goettingen, Germany.
Laumonier Y, Uryu Y, Stuwe M, Budiman A, Setiabudi B, Hadian
O. (2010) Eco-floristic sectors and deforestation threats
in Sumatra: identifying new conservation area network
priorities for ecosystem-based land use planning.
Biodivers. Conserv. 19, 1153–1174. (doi:10.1007/s10531-
010-9784-2)
Leimona, B., Joshi, J., & van Noordwijk, M. (2009). Can rewards
for environmental services benefit the poor? Lessons
from Asia. International Journal of the Commons, 3(1),
82–107.

175
Mackey, B., Dellasala, DA., Kormos, C., LIndemayer. D., Kumpel,
N., Zimmerman, B., Hugh, S., Young, V., Foley, S.,
Arsenis, K., Watson, JEM., (2014.). Policy options for
the world’s primary forest in multilateral environmental
agreements. Policy Perspective.
Margono, B., Potavov, P., Turubanova, S., Stolle, F., (2014). Primary
forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature
Climate Change 4(8):730-735
Mawardhi AD dan Setiadi D. (2019). Strategi Pemanfaatan Lahan
Gambut Melalui Pengembangan Agroforestri Kopi
Liberika (Coffea liberica). In: Herlinda Set al. (Eds.),
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2018,
Palembang 18-19 Oktober 2018. pp. 43-51.Palembang:
Unsri Press.
Meijide. A., Badu CS., Moyano, F., Tiralla, N., Gunawan, D., Knohl,
A. (2018). Agricultural and Forest Meteorology 252:208-
219. DOI: 10.1016/j.agrformet.2018.01.013
Nasamsir N. dan Usman U. (2019). Polikultur Tanaman Kelapa
Sawit (Elaeis quineensis Jacq.) Dengan Tanaman
Jelutung (Dyera polyphylla). Jurnal Media Pertanian,
4(2), pp.52-58.
Notaro, KA., De Medeiros, EV, Duda, GP., Silva, AO, de Moura,
PM., (2013). Agroforestry systems, nutrients in litter and
microbial activity in soils cultivated with coffee at high
altitude. Scientia Agricola
Odiete I, Chude VO, Ojeniyi SO, Okozi AA, Hussaini GM (2005).
Response of Maize to Nitrogen and Phosphorus sources
in Guinea Savanna Zone of Nigeria. Niger. J. Soil Sci.
15: 90 - 101
Patiram and B.U. Choudhury (tt). Role of Agroforestry in Soil
Health Management. ICAR Research Complex for NEH
Region, Umiam, Meghalaya. http://www.kiran.nic.in/
pdf/publications/Role_of_Agroforestry.pdf

176
Pinho, RC., Miller, RP., Alfaia, SS., (2012). Agroforestry
and the Improvement of Soil Fertility: A View
from Amazonia. Applied and Environmental Soil
Science, vol. 2012. https://doi.org/10.1155/2012/616383
Rahmani, TA, Nurrochmat DR, Hero Y., Park MS., Boer, R.,
Satria A. (2021). Evaluating the feasibility of oil palm
agroforestry in Harapan Rainforest, Jambi, Indonesia.
Forest and Society Vol. 5(2): 458-477. http://dx.doi.
org/10.24259/fs.v5i2.10375
Rajagukguk P., Sribudiani E., dan Mardhiansyah M. (2015).
Kontribusi Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga Petani. Jom Faperta, Vol.2 No.2.
Rembold, K., Mangopo, H., Sudarmiyati, S. & Kreft, H. (2017). Plant
diversity, forest dependency, and alien plant invasions in
tropical agricultural landscapes. Biological Conservation,
213, 234-242. doi:10.1016/j.biocon.2017.07.020
Roell, A., F. Niu, A. Meijide, A. Hardanto, Hendrayanto, A. Knohl,
D. Hölscher. (2015). Transpiration in an oil palm
landscape: effects of palm age. Biogeosci.12:5619-5633.
Roda, JM., (2019). The geopolitics of palm oil and deforestation.
https://theconversation.com/the-geopolitics-of-palm-
oil-and-deforestation-119417. Diakses pada 22 April
2022.
Romero, M., Wollni, M., Rudolf, K., Asnawi, R and Irawan,
B. (2019). Promoting biodiversity enrichment in
smallholder oil palm monocultures – Experimental
evidence from Indonesia. World Development 124.
https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2019.104638
Saptana dan Ashari. (2007). Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Melalui Kemitraan Usaha. Litbang Pertanian 70: 123-130
Sarvade, S. Singh, R, Prasad, H. and Prasad, P (2014). Agroforestry
Practices for Improving Soil Nutrient Status. Popular
Kheti Volume -2, Issue-1.

177
Sida, TS., Baudron, F., Ndoli, A., Tirfessa, D., Giller, KE., (2020).
Should fertilizer recommendations be adapted to
parkland agroforestry systems? Case studies from
Ethiopia and Rwanda. Plant Soil: 453:173–188
SPOS Indonesia (2020). Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)
dan Legalitas Sawit Rakyat https://sposindonesia.org/
news-article/indonesia-sustainable-palm-oil-ispo-dan-
legalitas-sawit-rakyat/?lang=id
Suhartati dan Wahyudi A. (2011). Pola Agroforestry Tanaman
Penghasil Gaharu Dan Kelapa Sawit (Agroforestry
Pattern of Agarwood Species and Oil Palm). Balai
Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan.
Suprayogo, D., Hairiah, K., Wijayanto, N., Sunaryo, Van Noordwijk,
M. (2003). Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis
Komponen Agroforestri Sebagai Kunci Keberhasilan
atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan. World Agroforestry
Centre (ICRAF).
Susanti, A., Marhaento, H., Permadi, DB., (2020). 50+1 Tanya-
Jawab tentang SJB. Fakultas Kehutanan Universitas
Gajah Mada.
Teuscher M, Gérard A, Brose U, Buchori D, Clough Y, Ehbrecht
M, Hölscher D, Irawan B, Sundawati L, Wollni M and
Kreft H (2016). Experimental Biodiversity Enrichment
in Oil-Palm-Dominated Landscapes in Indonesia. Front.
Plant Sci. 7:1538. doi: 10.3389/fpls.2016.01538
Thiollay, J. M. (1995). The role of traditional agroforests in the
conservation of rain forest bird diversity in Sumatra.
Conservation Biology, 9(2), 335–353. https://doi.
org/10.1046/j.1523- 1739.1995.9020335.x
Uryu, Y., Purastuti, E., Laumonier, Y., Setiabudi, Budiman, A.,
Yulianto, K., Sudibyo, A., Hadian, O., Kosasih, DA.,
Stuewe, M., (2010). Sumatra’s Forests, their Wildlife and
the Climate Windows in Time: 1985, 1990, 2000 and
2009. Technical Report. WWF Indonesia

178
USDA (United State Department of Agriculture) (2022). Soil Health.
https://www.fs.usda.gov/nac/topics/soil-health.php.
Diakses pada 23 April 2022.
Uwumarongie-Ilori, E.G., Sulaiman-Ilobu, B.B., Ederion, O.,
Imogie,., Imoisi, B.O., Garuba, N., and Ugbah, M.,
(2012). Vegetative Growth Performance of Oil Palm
(Elaeis guineensis) Seedlings in Response to Inorganic
and organic fertilizers Greener Journal of Agricultural
Sciences Vol. 2 (2), pp. 026-030, ISSN: 2276-7770
Wheeler, D., Hammer, D., Kraft, R., Dasgupta, S., Blankespoor,
B., (2013). Economic dynamics and forest clearing: a
spatial econometric analysis for Indonesia. Ecological
Economics 85, 85-96.
Widjaja, EA., Rahayuningsih, Y., Rahajoe, JS., Ubaidillah, R.,
Maryanto, I., Walujo, EB dan Semiadi, G., (2014).
Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia. LIPI Press,
Jakarta.
Widyati E, Irianto RSB, dan Tata MHL. (2010). Ameliorasi Tanah
Gambut Melalui Kegiatan Agroforestry. Tekno Hutan
Tanaman Vol. No., 33 Desember 2010, 121 – 130.
Wilcove, D. S. and Koh, L. P., (2010). Addressing threats to
biodiversity from oil-palm agriculture. A Biodiversity
and Conservation. DOI: 10.1007/s10531-009-9760-x
Zemp DC., Gérard A., Hölscher, D., Ammer C.,,Irawan B.,
Sundawati L., Teuscher M., Kreft H. (2019a). Tree
performance in a biodiversity enrichment experiment in
an oil palm landscape. Journal of Applied Ecology DOI:
10.1111/1365-2664.13460
Zemp DC., Ehbrecht, M., Seidel, D., Ammer C., Craven, D.,
Erkelenz, J., Irawan B., Sundawati L., Hölscher, D.,
Kreft H. (2019b). Mixed-species tree plantings
enhance structural complexity in oil palm plantations.
Agriculture, Ecosystems and Environment 283

179
BAGIAN 5
KEUNTUNGAN EKOLOGIS
AGROFORESTRI SAWIT

Oleh:
Muhammad Ali Imron, Cahyandra Tresno Anggoro,
Hastin Ambar Asti

5.1 APA YANG MEMBEDAKAN AGROFORESTRI SAWIT


CAMPUR DAN SAWIT MONOKULTUR?

5.1.2 Karakteristik Ekosistem Tropis


Ekosistem hutan tropis dapat ditemukan di seluruh daratan
tropis di wilayah khatulistiwa (di antara garis lintang 23,5°LU
dan 23,5°S). Hutan tropis Indonesia terbagi menjadi hutan tropis
basah dan hutan tropis musim. Hutan yang terletak di khatulistiwa
biasanya basah sepanjang tahun, sedangkan hutan yang terletak
di sisi luar khatulistiwa bisa mengalami kekeringan secara berkala
(Moore, 2008). Hutan tropis basah meliputi wilayah hutan yang
berada di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan
Papua. Sedangkan hutan tropis musim dapat dijumpai di wilayah
Pulau Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa
Tenggara Barat.

180
Gambar 5.1 Ilustrasi stratifikasi hutan tropis yang memiliki variasi yang sangat
tinggi

A. Struktur hutan tropis


Ekosistem hutan tropis terdiri atas berbagai spesies pohon
yang tumbuh dengan ketinggian berbeda, sehingga membentuk
stratifikasi atau kanopi pohon yang berlapis-lapis (Gambar 1).
Hutan tropis memiliki setidaknya 3 lapisan tajuk (Moore, 2008),
atau bahkan bisa mencapai 5 lapisan tajuk. Stratifikasi hutan
tropis terdiri atas 3 lapisan pohon, 1 lapisan semak, dan 1 lapisan
tumbuhan bawah. Secara berurutan, strata A, B, dan C disusun
oleh pohon-pohon dengan ketinggian 30-42 m, 18-27 m, dan 8-14
m. Strata D terdiri atas semak, perdu, termasuk anakan pohon
yang mencapai ketinggian 4m. Sedangkan strata E berupa vegetasi
penutup lantai hutan dengan ketinggian 0-1 m.

181
Tabel 1. Perbandingan jumlah spesies pohon per hektar di hutan tropis
Indonesia, Brunei, dan Papua New Guinea

Pulau Lokasi Jumlah spesies Sumber


per hektar
Sumatra TN Batang Gadis 184 Kartawinata et al.,
2003
Jawa TN Halimun-Salak 71 Mansur dkk., 2016
Kalimantan Malinau 205 Sheil et al., 2010
Kalimantan Kuala Belalong 278 Small et al., 2004
Sulawesi TN Lore Lindu 148 Kessler et al., 2005
Papua Crater Mountain Biological 228 Wright et al., 1997
Research Station

Hutan tropis memiliki keragaman spesies pohon yang tinggi.


Hal ini ditandai dengan kekayaan spesies pohon yang mencapai
puluhan bahkan ratusan spesies dalam luasan satu hektar (Tabel
1). Konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit dalam skala
besar memberikan efek negatif terhadap keanekaragaman, yaitu
mengurangi kekayaan spesies. Beragam spesies pohon dalam
hutan tropis hilang dan digantikan oleh satu jenis tanaman saja.
Pada perkebunan sawit campur mungkin saja terdapat lebih dari
satu spesies pohon, tergantung pada pemilihan spesies tanaman
sela. Misalnya, plot eksperimental perkebunan sawit campur di
Jambi yang menggunakan 6 spesies tanaman sela, yaitu petai
(Parkia speciosa), jengkol (Archidendron pauciflorum), durian
(Durio zibethinus), jelutung (Dyera polyphylla), sungkai (Peronema
canescens), dan meranti bunga (Shorea leprosula) (Teuscher et al.,
2016). Sedangkan pada perkebunan sawit monokultur, praktis
hanya terdapat satu spesies tanaman saja yaitu sawit (Elaeis
guineensis).

B. Hutan tropis sebagai pelestari keanekaragaman hayati


Hutan tropis menerima sinar matahari sepanjang tahun
sebagai konsekuensi letaknya di wilayah khatulistiwa. Dengan
keragaman spesies tumbuhan dan adanya energi matahari yang
melimpah, ekosistem ini mampu menyediakan sumber makanan

182
secara terus menerus sepanjang tahun. Pohon-pohon yang tumbuh
rapat dengan ketinggian berbeda membentuk stratifikasi tajuk,
menciptakan ruang hidup dan tempat berlindung bagi satwa.
Tajuk pepohonan yang hampir tidak terputus mempengaruhi
kondisi iklim mikro hutan, menciptakan kelembaban tinggi dan
suhu yang relatif sejuk. Kondisi tersebut menjadikan hutan tropis
sebagai habitat ideal bagi berbagai jenis satwa yang hidup pada
ruang tertentu di dalam kanopi (Moore, 2008). Didukung dengan
ketersedian sumber makanan dan kondisi iklim mikro yang sesuai,
maka tak heran jika hutan tropis memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi.
Ekosistem hutan tropis memiliki keanekaragaman hayati
tertinggi dibandingkan dengan seluruh ekosistem lain di dunia
(Gentry, 1992; Moore, 2008; Wilkie, 2011). Menurut data
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020), Indonesia
memiliki hutan seluas 120,5 juta hektar. Dalam luasan tersebut,
setidaknya terdapat 1.605 spesies burung, 720 spesies mamalia,
385 spesies amfibi, 723 spesies reptil, 1.248 spesies ikan air tawar,
dan lebih dari 19.000 tumbuhan berbunga hidup di hutan tropis
Indonesia (IBSAP, 2005).
Di dalam hutan tropis, berbagai spesies satwa berperan
sebagai agen penyerbukan dan pemencaran biji, yang membantu
proses regenerasi hutan dan pemeliharaan kekayaan spesies hutan
tropis. Kelelawar pemakan buah (Whittaker & Jones, 1994), burung
merbah, burung cabai, dan burung kacamata (Partasasmita et al.,
2017), gajah (Tan et al., 2021), dan siamang (Adyn et al., 2022)
diketahui berperan dalam pemencaran biji tumbuhan pada
ekosistem hutan tropis. Pemencaran biji tumbuhan bergantung
pada seberapa jauh satwa-satwa tersebut menjelajah area hutan.
Satwa dengan kemampuan jelajah yang luas mampu memencarkan
biji jauh dari pohon induknya. Misalnya, rangkong yang mampu
menyebarkan beragam buah dengan jarak lebih dari 1 km dari
pohon induknya (Kitamura, 2011). Total sebanyak 29 spesies
rangkong dari Asia dan Afrika diketahui mampu menyebarkan 748
spesies dari 79 famili tumbuhan di area jelajahnya. Beberapa benih

183
mungkin terkumpul di lokasi bertengger dan bersarang. Namun,
dengan daya jelajahnya yang luas, rangkong dipastikan mampu
menyebarkan benih ke seluruh hutan tropis.
Konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit berdampak
pada perubahan komposisi dan kekayaan spesies yang hidup di
dalamnya. Beberapa penelitian menyatakan perkebunan sawit
mungkin mendukung keanekaragaman jenis satwa dengan tingkat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alam terdegradasi.
Namun, perlu diteliti kembali apakah spesies yang hadir di
perkebunan kelapa sawit merupakan spesies asli, spesies asing,
spesies spesialis atau spesies generalis.
Penelitian keanekaragaman spesies burung di Kalimantan
Barat menyatakan kekayaan spesies burung di perkebunan sawit
lebih tinggi dibanding hutan sekunder (Yudea & Santosa, 2019).
Dalam penelitian tersebut area High Conservation Value (HCV)
yang berupa hutan sekunder dimasukkan dalam tutupan lahan
perkebunan sawit, yang tentu saja menimbulkan bias dalam
analisis keragaman spesies burung. Tanpa menyertakan area HCV
dalam tutupan lahan sawit, maka diketahui bahwa keragaman
spesies burung di perkebunan sawit lebih rendah dibanding hutan
sekunder (area awal sebelum pembukaan perkebunan sawit). Pada
tanaman sawit muda (umur 2 tahun), sedang (umur 7 tahun), dan
tua (umur 12 tahun) keragaman spesies burung berturut-turut
adalah 4, 9, dan 16 spesies. Sedangkan keragaman burung pada
hutan sekunder mencapai 26 spesies. Terlihat bahwa keragaman
spesies burung di perkebunan sawit dipengaruhi oleh umur
tanaman, dimana keragaman akan meningkat seiring dengan
pertumbuhan tanaman sawit.
Perbedaan komposisi spesies di kedua area tersebut
memberikan asumsi adanya kehilangan dan penambahan spesies
di perkebunan sawit. Pada perkebunan sawit kehilangan spesies
berkisar antara 18-21 spesies, sedangkan penambahan spesies
berkisar antara 4-8 spesies. Kehilangan dan penambahan spesies
ini berkaitan dengan seleksi habitat berdasar kesesuaian dan
ketersediaan sumber daya bagi burung untuk mempertahankan

184
hidupnya. Penelitian ini juga menyatakan bahwa burung-burung
yang dijumpai di perkebunan sawit cenderung merupakan generalis
atau bukan merupakan spesies hutan serta merupakan spesies
dengan tingkat resiko kepunahan yang rendah.

C. Aliran energi dalam ekosistem hutan tropis


Pada suatu ekosistem, aliran energi terjadi melalui rantai
makanan (Gambar 2). Organisme yang memfasilitasi terjadinya
aliran energi adalah produsen, konsumen, dan pengurai. Sumber
energi utama pada kebanyakan ekosistem adalah matahari, yang
masuk ke dalam sistem melalui proses fotosintesis pada tumbuhan
(produsen). Energi yang ditangkap kemudian diubah oksigen dan
sumber makanan bagi organisme lainnya. Herbivora (konsumen
pertama) bergantung pada tumbuhan untuk mendapatkan
energi. Material tumbuhan merupakan bentuk energi yang akan
diambil oleh herbivora dan selanjutnya ditransfer pada karnivora
(konsumen kedua dan ketiga).

Gambar 5.2. Ilustrasi rantai makanan di hutan tropis

Energi ditransfer ke seluruh sistem energi hutan saat daun,


buah, atau bagian tumbuhan yang lain dimakan oleh konsumen
atau diuraikan oleh organisme pengurai. Produsen dan konsumen

185
yang mati serta produk limbah hasil defekasi dan ekskresi
menyediakan energi dan bahan organik bagi pengurai. Pengurai
kemudian mengubah bahan organik menjadi bentuk anorganik
yang dapat didaur ulang dalam ekosistem. Selama siklus energi
tersebut berlangsung, organisme yang terlibat akan melepaskan
sebagian energi dalam bentuk panas.
Keanekaragaman dan fungsi spesies menjadi penting
untuk mempertahankan kestabilan ekosistem dalam menghadapi
fluktuasi lingkungan. Pada ekosistem hutan tropis, beragam
spesies pohon berperan dalam menangkap dan mengalirkan
energi dalam sistem. Pohon dan tumbuhan lain menyediakan
energi dalam berbagai bentuk (daun, biji, buah, bunga, nektar, dan
getah) sehingga mendukung kehidupan berbagai spesies satwa,
terutama satwa dengan preferensi pakan tertentu. Dengan adanya
keragaman spesies, kehilangan spesies kunci dengan fungsi tertentu
dapat segera digantikan oleh spesies lain dengan fungsi yang sama.
Ini menunjukkan bahwa keragaman spesies beserta kemampuan
atau fungsinya mampu mempertahankan aliran energi, sehingga
meningkatkan ketahanan ekosistem hutan tropis (Silver et al., 1996;
Cleland, 2011).

D. Hutan tropis sebagai pengatur tata air dan pencegah erosi


tanah
Hutan berperan penting pada proses penyerapan dan
penyimpanan air dalam siklus hidrologi. Dalam siklus hidrologi,
penguapan air yang berasal dari tumbuhan, tanah, dan air
(disebut evapotranspirasi) membentuk uap air yang kemudian
terkumpul di atmosfer. Selanjutnya di udara, uap air mengalami
kondensasi hingga membentuk awan dan terjadilah hujan (disebut
presipitasi). Air hujan mencapai permukaan tanah melalui 2 cara,
yaitu langsung jatuh ke permukaan tanah kemudian membentuk
limpasan atau aliran permukaan (run-off) atau jatuh melalui tajuk
pohon (throughfall) kemudian mengalir melalui batang (stemflow).
Selanjutnya air terserap ke dalam tanah (infiltration) menjadi aliran
bawah tanah (sub-surface run-off) atau tersimpan dalam tanah
sebagai air tanah (ground water) (Gambar 3).

186
Gambar 5.3. Ilustrasi siklus hidrologi dan peran tajuk dalam tata air

Struktur dan komposisi vegetasi yang beragam akan


memberikan pengaruh yang berbeda dalam siklus air. Pada hutan
tropis, stratifikasi tajuk mencegah air hujan jatuh secara langsung
ke permukaan tanah. Setiap lapisan tajuk dapat mengurangi energi
kinetik air hujan. Semakin banyak lapisan tajuk, maka energi
kinetik air hujan yang mencapai permukaan tanah akan semakin
kecil sehingga mengurangi resiko erosi percik. Adanya tumbuhan
bawah, serasah, dan sistem perakaran pohon menahan laju aliran
permukaan, sehingga meminimalisir terjadinya erosi, sedimentasi
di badan air, dan kehilangan nutrien. Akar pohon dan serasah juga
mendukung penyerapan air hujan ke dalam tanah hingga nantinya
menjadi air tanah.
Jumlah erosi dan aliran permukaan di perkebunan sawit
lebih besar dari pada kawasan hutan (Jaya et al., 2019). Pengukuran
erosi dan aliran permukaan yang dilakukan pada musim hujan
di kawasan hutan dan perkebunan sawit berumur 5 tahun
menunjukkan rata-rata erosi yang terjadi di kawasan hutan adalah
13 kg ha-¹, sedangkan di perkebunan sawit mencapai 46 kg ha-¹.
Besarnya erosi di kedua kawasan tersebut berkaitan dengan kondisi

187
tajuk tanaman. Struktur kanopi satu lapis dan penutupan tajuk
yang rendah di perkebunan sawit memungkinkan air hujan dengan
energi kinetik (Ek) yang besar langsung mencapai permukaan
tanah dan menimbulkan erosi percik. Sedangkan di kawasan
hutan, struktur kanopi yang berlapis dan cenderung rapat mampu
mengurangi energi kinetik air hujan, sehingga meminimalisir
kerusakan tanah akibat erosi percik.
Pada kawasan hutan, rata-rata aliran permukaan adalah 102
L plot-¹, sedangkan pada perkebunan sawit mencapai 594 L plot-¹.
Laju aliran permukaan tersebut berkaitan dengan kehadiran serasah
dan tumbuhan bawah atau penutup tanah. Kondisi lantai hutan
yang tertutup serasah dan tumbuhan bawah mampu menahan
dan mengurangi aliran permukaan. Sedangkan pada perkebunan
sawit, permukaan tanahnya cenderung bersih sehingga tidak ada
struktur yang menahan dan mengurangi laju aliran permukaan.

E. Hutan tropis sebagai penyerap karbon


Ekosistem hutan menjadi salah satu bagian penting dalam
siklus karbon global karena hutan mengandung cadangan terbesar
karbon terestrial. Meskipun hanya mencakup 30% tutupan pohon
di dunia, hutan hujan tropis justru mampu menyimpan 50% karbon
dunia (Indicators of Biodiversity and Ecological Services, 2021)
(Gambar 4). Siklus karbon hutan terdiri dari pergerakan karbon
diantara atmosfer dan biosfer terestrial. Dalam siklus tersebut,
hutan secara terus menerus mendaur karbon melalui fotosintesis
dan dekomposisi. Pohon dan tumbuhan lain menyerap karbon dari
atmosfer (dalam bentuk CO₂) melalui fotosintesis, mengubahnya
menjadi karbon organik, kemudian menyimpannya dalam bentuk
biomassa. Akumulasi karbon disimpan dalam lima bentuk, yaitu
biomassa di atas permukaan tanah (daun, batang, dahan); biomassa
di bawah tanah (akar); kayu mati; serasah (daun yang gugur, batang
tumbang), dan tanah. Saat pohon mati, karbon dilepaskan ke tanah
dan atmosfer.
Kemampuan hutan dalam menangkap dan menyimpan
karbon dapat mengurangi kadar CO₂ di atmosfer, sehingga mampu
memperlambat laju perubahan iklim global. Hutan hujan tropis

188
memiliki produksi primer bersih rata-rata tertinggi dari ekosistem
terestrial mana pun (Quinto-Mosquera & Moreno, 2017), artinya
dalam luasan yang sama hutan hujan menyimpan lebih banyak
karbon daripada jenis vegetasi lainnya. Sama halnya dengan hutan
tropis, perkebunan sawit mampu menyerap dan menyimpan
karbon walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Perkebunan sawit
akan menyimpan karbon 50-90% lebih sedikit (selama 20 tahun)
dibandingkan dengan tutupan hutan asli (Butler, 2007).
Proses konversi hutan menghasilkan emisi karbon melebihi
potensi penyerapan karbon oleh sawit selama umur rotasinya
(Guillaume et al., 2018). Konversi hutan tropis alam menjadi hutan
tanaman dan perkebunan sawit mengurangi cadangan karbon,
terutama pada biomassa di atas permukaan tanah. Kehilangan
biomassa terbesar terjadi saat pembukaan lahan, kemudian
mengalami penurunan seiring dengan umur pertumbuhan
tanaman sawit. Pembukaan perkebunan sawit melepaskan lebih
dari 50% cadangan karbon hutan tropis alam. Dibandingkan
dengan tipe vegetasi lainnya, pembukaan perkebunan sawit
menyebabkan kehilangan karbon yang paling tinggi, yaitu sebesar
61%. Sedangkan biomassa yang dihasilkan dan yang tersisa dalam
ekosistem setalah panen berkurang sekitar 39% dibandingkan
dengan hutan hujan tropis (Gambar 5).

Gambar 5. Cadangan karbon pada berbagai tipe penggunaan lahan


(sumber: Guillaume et al., 2018)

5.1.2 Konsekuensi Monokultur Skala Luas dan Kehilangannya dari


Hutan Tropis
A. Kehilangan habitat
Deforestasi dan degradasi hutan merupakan ancaman bagi
hutan tropis dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Indonesia

189
merupakan negara tropis dengan tingkat kehilangan hutan primer
tertinggi keempat di dunia. Dalam kurun waktu 2002 - 2020,
Indonesia telah mengalami kehilangan 9,75 juta hektar hutan
tropis basah (Global Forest Watch, n.d.). Kehilangan hutan tropis
di Indonesia utamanya disebabkan oleh praktik konversi tutupan
lahan hutan menjadi non hutan. Dalam hal ini, kurangnya tata
kelola tentunya memberi andil terhadap deforestasi dan degradasi
hutan di Indonesia.
Konsesi industri berkontribusi dalam hilangnya hutan tropis
di Indonesia. Abood et al. (2014) menyatakan hutan tanaman
industri, konsesi kayu, perkebunan sawit, dan pertambangan
berperan dalam hilangnya 6,6 juta hektar hutan di Kalimantan,
Sumatera, Papua, Sulawesi, dan Maluku antara tahun 2000-2010.
Penelitian serupa yang menginvestigasi penyebab deforestasi di
Indonesia juga menyatakan bahwa perkebunan sawit merupakan
penyebab terbesar terjadinya deforestasi selama periode 2001-
2016 (Austin et al., 2019). Kemudian secara berurutan diikuti oleh
konversi hutan menjadi padang rumput, ekspansi hutan tanaman
industri, perkebunan skala besar lainnya, dan pertambangan.
Alih fungsi hutan terdegradasi maupun hutan alam menjadi
perkebunan sawit dapat menyebabkan berkurangnya luasan bahkan
hilangnya hutan. Selain itu, perkebunan sawit secara tidak langsung
meningkatan akses jalan ke dalam hutan. Hutan yang tadinya
utuh akan berubah menjadi fragmen atau bagian yang lebih kecil.
Dengan demikian, fungsi hutan sebagai habitat tumbuhan dan
satwa liar akan berkurang. Selain itu, fragmentasi juga beresiko
menyebabkan terjadinya kerusakan dan penurunan kualitas habitat
serta membatasi pergerakan dan persebaran satwa.

B. Penurunan atau kehilangan keanekaragaman hayati


Hutan tropis mendukung setidaknya dua pertiga dari
keanekaragaman hayati dunia. Namun, masih banyak sekali spesies
hutan tropis yang belum diteliti dan didokumentasikan dengan
baik. Padahal penurunan kekayaan spesies secara global akibat
degradasi dan deforestasi hutan masih terus terjadi. Kerusakan
ekosistem hutan tropis menyebabkan banyak spesies terancam

190
punah bahkan sebelum diketahui nama dan potensinya. The
International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List
of Threatened Species telah menetapkan 259 spesies di Indonesia
berstatus terancam punah (Critically Endangered). Daftar ini
meliputi 135 spesies tumbuhan dan 116 spesies terestrial (Indonesia
Tropical Forest and Biodiversity Analysis, 2019).
Berbeda dengan hutan tropis alam, perkebunan sawit
memiliki struktur yang lebih sederhana. Perkebunan sawit
hanya memiliki satu jenis tanaman dengan struktur umur pohon
seragam, kanopi yang lebih rendah, serta tumbuhan bawah yang
jarang. Saat hutan tropis dikonversi menjadi perkebunan sawit,
terjadi perubahan struktur dan komposisi vegetasi yang dapat
mempengaruhi kesesuaian habitat serta ketersediaan makanan bagi
satwa. Imbasnya adalah terjadinya penurunan bahkan kehilangan
keragaman spesies satwa.
Penelitian mengenai perkebunan sawit di Indonesia
dan Malaysia menyatakan bahwa ekspansi perkebunan sawit
mempengaruhi keanekaragaman hayati (Fitzherbert et al., 2008).
Dari 13 taksa fauna yang dipelajari, hanya sekitar 15% spesies
yang dijumpai di hutan dapat dijumpai juga di perkebunan sawit.
Selain itu, ada perbedaan dalam komposisi spesies antara hutan
dan perkebunan sawit. Kehilangan spesies umumnya terjadi pada
spesies spesialis yang bergantung pada karakter khusus hutan.
Perkebunan sawit biasanya didominasi oleh beberapa spesies
generalis dengan kelimpahan yang tinggi, spesies asing, dan hama.

C. Konflik manusia-satwa liar


Saat terjadi konversi hutan tropis menjadi perkebunan yang
bersifat monokultur, satwa liar kehilangan tempat hidup dan akses
terhadap sumber makanan. Seringkali satwa kemudian berlindung
di fragmen (sisa-sisa) hutan terdekat. Namun, fragmen hutan
tersebut tidak mampu menyediakan sumber pakan yang cukup
bagi satwa asli dan satwa pendatang. Akibatnya satwa penghuni
hutan akan berkompetisi untuk mendapatkan makanan. Sebagian
satwa menjelajah jauh ke dalam hutan atau sebaliknya ke tepi
hutan, dan bahkan masuk ke perkebunan untuk mencari sumber

191
makanan. Bagi satwa, area perkebunan menyediakan sumber
makanan dan menjadi jalur untuk berpindah di antara blok-blok
hutan. Sebaliknya bagi pemilik perkebunan, kehadiran satwa di
dalam perkebunan menjadi ancaman bagi mereka. Kehadiran
satwa di dalam perkebunan menyebabkan peluang perjumpaan
satwa dengan manusia semakin besar dan dapat memicu terjadinya
konflik manusia-satwa liar.
Berbagai pemberitaan mengenai konflik manusia-satwa
liar menjadi headline di media cetak maupun elektronik. Satwa
yang seringkali menjadi sorotan di antaranya adalah orangutan,
gajah, dan harimau. Satwa liar yang masuk dalam perkebunan
dianggap sebagai hama, menjadi ancaman bagi aktivitas pekerja
perkebunan, dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi
pemilik perkebunan. Padahal satwa kehilangan habitat sehingga
menjelajah masuk ke perkebunan untuk mendapatkan makanan
dan tempat hidup.
Orangutan (Pongo spp.) merupakan primata yang dilindungi
melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999. Namun,
nyatanya status orangutan sebagai satwa yang dilindungi
tidak membuatnya hidup dengan aman. Orangutan dianggap
membahayakan sehingga seringkali manusia melakukan upaya
pengusiran bahkan pembunuhan terhadap orangutan. Ada dugaan
bahwa beberapa perusahaan sawit mengupah karyawannya untuk
membunuh orangutan karena dianggap sebagai hama yang sangat
merugikan. Keberhasilan dibuktikan dengan membawa potongan
tubuh orangutan, umumnya berupa telapak tangan (Indonesia,
2018). Hal tersebut menjelaskan alasan mengapa pada orangutan
yang ditemukan mati di dalam atau sekitar area perkebunan,
biasanya kehilangan bagian tubuhnya.
Upaya pengusiran orangutan dari perkebunan tak jarang
melibatkan peluru dan senjata tajam. Misalnya kasus orangutan
dengan 24 peluru senapan angin di tubuhnya di Aceh Selatan
(Gunadha, 2019) dan dan kasus orangutan yang mati dengan luka
sayat dan tembakan di Kalimantan Tengah (Baskoro, 2018). Kedua
orangutan tersebut ditemukan di dalam wilayah perkebunan yang

192
berdekatan dengan kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di
Aceh Selatan dan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan
Tengah. Pihak Orangutan Foundation International (OFI)
menduga orangutan yang ditemukan mati di perkebunan sawit PT
Wana Sawit Subur Lestari (WSSL) II, Kalimantan Tengah sengaja
dibunuh kemudian dihanyutkan di sungai untuk menghilangkan
jejak. Tubuh orangutan itu penuh luka, terdapat bekas ikatan pada
kaki, dan salah satu jempol tangannya juga hilang.
Konflik lain yang mengakibatkan kematian orangutan yaitu
kasus pembantaian orangutan di Kalimantan Tengah (Indonesia,
2017). Tiga orang karyawan PT Susanti Permai, Kecamatan Sei
Hanyo, Kabupaten Kapuas diketahui membunuh, memasak, dan
menyantap orangutan yang masuk di wilayah kerja mereka. Mereka
berdalih bahwa orangutan masuk ke perkebunan dan mengejar
salah seorang karyawan. Namun, tidak jelas motivasi mereka
mengapa sampai harus membunuh dan menyantap orangutan
tersebut.

Gambar 5.6. Pemberitaan upaya pengusiran yang menyebabkan kematian


orangutan

Selain menyebabkan kehilangan habitat dan sumber


makanan, proses konversi hutan juga dapat menyebabkan kematian
satwa secara langsung. Pembukaan perkebunan sawit dengan
cara membakar hutan menyebabkan kematian orangutan, seperti
yang terjadi di Kalimantan Barat (RVK, 2014). Pihak Yayasan
Inisiasi Alam Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat menduga
orangutan bertahan pada tegakan pohon dan akhirnya mati

193
terbakar saat proses pembukaan hutan berlangsung. Kasus serupa
juga terjadi di Rawa Tripa, Aceh. Pada tahun 1990, lahan gambut
Rawa Tripa merupakan rumah orangutan yang mencapai 3.000
individu. Namun, konversi hutan menjadi perkebunan sawit secara
masif menyisakan 150-200 individu orangutan pada tahun 2018
(Aliansyah, 2018).
Terjadinya konflik manusia-satwa seringkali terjadi di
wilayah jelajah satwa. Misalnya konflik manusia-gajah yang terjadi
di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo. Taman Nasional Tesso Nilo
merupakan habitat yang diperuntukkan bagi Gajah Sumatera
(Elephas maximus sumatranus). Namun, ruang jelajah gajah justru
berada di luar kawasan taman nasional (Sabri dkk., 2014; Arum et
al., 2018). Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya daya dukung
kawasan atau justru TN Tesso Nilo tidak masuk dalam wilayah
jelajah gajah (Sabri dkk., 2014).
Alih fungsi hutan di sekitar kawasan TN Tesso Nilo
menyebabkan fragmentasi habitat sehingga ruang jelajah gajah
terputus. Namun, wilayah jelajah atau jalur migrasi gajah itu sendiri
tidak berubah. Akibatnya gajah dianggap sebagai ancaman saat
melintasi ruang jelajahnya yang telah berubah menjadi perkebunan
atau wilayah pemukiman. Selain itu, kawanan gajah dianggap
sebagai hama karena merusak tanaman sawit dan menyebabkan
gagal panen. Hal ini tentu saja memicu konflik dengan manusia.
Dalam kurun waktu 2004-2013, WWF (World Wide Fund for
Nature) Riau mencatat kematian 104 individu gajah yang sengaja
dibunuh dengan racun atau zat berbahaya lainnya (Sipayung, 2013).
Kematian gajah yang tidak wajar akibat diracun disebabkan
perburuan gading dan konflik dengan manusia. Kasus kematian
gajah yang diracun dan kehilangan gading mungkin benar
disebabkan karena perburuan gading. Namun, kematian gajah
dengan kondisi gading utuh mungkin terjadi karena gajah
dianggap sebagai hama perkebunan. Selain di Riau, kasus gajah
yang mati diracun juga dijumpai di Aceh. Setiap tahun warga
melaporkan penemuan gajah yang mati diracun atau disetrum
di area perkebunan sawit PT. Dwikencana Semesta, Aceh Timur

194
(Zulfikar, 2016). Gajah ditemukan dalam kondisi utuh termasuk
gadingnya, sehingga kuat dugaan bahwa kasus tersebut karena
konflik dengan manusia.

Gambar 5.7. Pemberitaan kematian gajah akibat racun

Selain orangutan dan gajah, harimau juga merupakan satwa


yang seringkali berkonflik dengan manusia. Menurut Sintas
Indonesia Foundation, berbagai kasus kemunculan harimau di
permukiman dan area konsesi, penyerangan pekerja konsesi,
pemangsaan hewan peliharaan dan binatang ternak, bahkan
pemangsaan manusia oleh harimau disebabkan oleh kerusakan
lingkungan (Megarani, 2022). Alih fungsi hutan menyebabkan
tumpang tindih penggunaan lahan oleh manusia dengan wilayah
jelajah harimau. Harimau memiliki daya jelajah luas yang mencapai
300 km² (2017), sehingga sangat mungkin terjadi konflik di wilayah
permukiman, perkebunan sawit, dan area konsesi lain yang
letaknya berdekatan dengan hutan.
Pembukaan perkebunan sawit di daerah penyangga kawasan
lindung maupun kawasan konservasi pasti menimbulkan konflik
antara manusia-satwa liar. Di Jambi, pembukaan perkebunan
sawit mencapai tepian Taman Nasional Berbak-Sembilang,
menyisakan jarak 20 m dari batas kawasan. Tak lama berselang,
sejumlah harimau (Panthera tigris sumatrae) keluar dari kawasan
hutan dan memangsa ternak masyarakat yang tinggal di sekitar
TN Berbak Sembilang (Tambunan, 2021). Tak hanya memangsa

195
ternak, harimau juga menyerang pekerja perkebunan sawit dan
menyebabkan korban jiwa seperti terjadi di Aceh, Riau, dan Jambi
(Aini, 2022; Antara, 2019; Sipayung, 2019; Tanjung, 2014).

Gambar 5.8. Perkebunan sawit yang berbatasan langsung dengan hutan alam

Kemunculan harimau di wilayah pemukiman dan perkebunan


sawit menimbulkan konflik dan mengundang kehadiran pemburu.
Perburuan harimau kerap dilakukan di perbatasan kawasan
konservasi, lokasi dimana harimau sering menampakkan diri. Di
Jambi dan Aceh, pemburu memasang jerat berupa sling kawat yang
menyebabkan harimau terluka parah bahkan mati (Agus, 2021; Eko,
2021). Selain perburuan, pemasangan kawat listrik bertegangan
tinggi di perkebunan sawit juga menyebabkan kematian harimau
(Tambunan, 2012). Meskipun target awal pemasangan kawat listrik
untuk menghalau satwa hama, namun spesies non target sering
ikut menjadi korban.

196
Gambar 5.9. Berita perburuan harimau di area penyangga kawasan konservasi

5.1.3. Yang dicukupi dari Agroforestri Sawit


Sistem agroforestri sawit menawarkan peningkatan
keragaman spesies pohon dalam lanskap yang terbuka. Vegetasi
yang beragam menyediakan tambahan ruang hidup, lokasi
berlindung, serta sumber makanan yang bervariasi bagi satwa.
Peningkatan daya dukung dalam sistem agroforestri sawit dapat
menarik beberapa spesies dengan kebutuhan tertentu untuk hidup
dalam kawasan tersebut. Vegetasi dan satwa yang lebih beragam
berpotensi untuk menghadirkan spesies-spesies dengan fungsi yang
juga beragam, sehingga dapat mempertahankan aliran energi dan
menjaga kestabilan sistem.
Penanaman berbagai spesies pohon dalam sistem agroforestri
sawit turut mendukung upaya konservasi tanah. Biomassa
pohon yang terdekomposisi dapat meningkatkan kandungan
bahan organik di dalam tanah, sehingga kesuburan tanah akan
ikut meningkat. Selain itu, startifikasi tajuk dapat mengurangi
resiko terjadinya erosi percik dan aliran permukaan, sehingga
meminimalisir kehilangan unsur hara dalam tanah dan tanah
sebagai media tumbuh tanaman.
Sistem agroforestri sawit juga menawarkan mitigasi
perubahan iklim melalui penyerapan karbon. Penanaman berbagai
spesies pohon dapat meningkatkan potensi penyerapan dan

197
penyimpanan karbon. Dengan demikian sistem agroforestri sawit
dapat mengurangi kadar CO₂ di atmosfer dan memperlambat laju
perubahan iklim.

Studi kasus: SAF Dendê Project (Hoffner, 2019)


SAF Dendê Project merupakan sebuah proyek penelitian
sistem agroforestri sawit di Brazil. Proyek ini dimulai pada tahun
2008, dengan menggabungkan sawit, tanaman berkayu, dan
tanaman tahunan yang ditanam secara tumpangsari. Penelitian ini
menunjukkan bahwa sawit dapat dibudidayakan dengan tanaman
lain dan memberikan hasil panen yang tinggi. Selain itu, sistem
agroforestri memberikan sumber makanan lainnya, juga mampu
memberikan jasa lingkungan termasuk mengurangi dampak
perubahan iklim.
Menurut Miccoliss (Koordinator Negara Brazil untuk World
Agroforestry), sistem agroforestri menunjukkan sistem ekologis
yang stabil. Para pekerja dan peneliti menjumpai berbagai jenis
fauna asli di area agroforestri sawit, misalnya rusa, monyet,
sloth, landak, tapir, berbagai jenis burung, reptil, dan serangga.
Keanekaragaman satwa serta beragam peran yang dimilikinya
akan mampu menjaga kestabilan dan fungsi ekosistem. Keberadaan
berbagai satwa tersebut juga mengindikasikan bahwa sistem
agroforestri dapat menjadi tempat yang aman (refugee) bagi satwa.
Sistem agroforestri juga menghasilkan kesuburan dan
stok karbon tanah yang lebih besar dibandingkan dengan sistem
monokultur. Tanaman tumpangsari mampu menghasilkan biomassa
dan mulsa yang akan menjadi nutrisi tambahan serta memperbaiki
kesehatan tanah. Hal ini berdampak pada peningkatan hasil panen,
jasa ekosistem serta kesehatan sistem secara keseluruhan. Selain itu,
tanaman tumpangsari akan menyerap CO₂ sehingga CO₂ di udara
bisa berkurang. Hal ini tentunya meningkatkan potensi sistem
agroforestri dalam mencegah perubahan iklim.
Sistem agroforestri yang dikelola dengan baik akan
memberikan hasil panen yang tinggi. Metode budidaya di area SAF
Dendê Project menggunakan pengelolaan agroekologi dan tanpa
menggunakan pestisida. Pada luasan area yang sama (per hektar),

198
sistem agroforestri menghasilkan 180 kg tandan buah segar per
tanaman. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
monokultur, yang menghasilkan 139 kg tandan buah segar per
tanaman.

5.2. PROSES-PROSES EKOLOGIS YANG ADA DI


AGROFORESTRI SAWIT

5.2.1. Siklus Air dan Hara


Agroforestri sawit memiliki struktur dan komposisi vegetasi
yang lebih beragam dibanding perkebunan sawit monokultur,
walaupun keragamannya masih lebih rendah dibandingkan dengan
hutan alam. Agroforestri sawit memungkinkan terbentuknya
struktur tajuk yang berlapis, sehingga dapat:
1. Mengurangi energi kinetik (Ek) air hujan terhadap
permukaan tanah, sehingga meminimalisir terjadinya erosi
percik. Jika melihat jumlah lapisan tajuk, maka energi kinetik
air hujan pada sistem agroforestri lebih kecil daripada sistem
monokultur, namun lebih besar dibandingkan dengan hutan
alam (Ek monokultur sawit < Ek agroforestri sawit < Ek hutan
tropis alam).

Gambar 5.10. Perbandingan proses jatuhnya air hujan antara hutan alam,
agroforestri sawit, dan sawit monokultur

199
2. Memperlambat laju air hujan jatuh ke tanah sehingga
memberikan waktu bagi tanah untuk menyerap air secara
optimal.
3. Meminimalisir resiko terjadinya aliran permukaan yang dapat
menyebabkan erosi tanah dan sedimentasi.

Gambar 5.11. Ilustrasi siklus hara tertutup

Pohon berkayu yang ditanam di sela-sela sawit mampu


menjaga ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Skema
ini mencontoh hutan alam yang secara alami mampu menciptakan
siklus hara tertutup, yang mana pohon-pohon yang ada dalam
hutan mampu menyediakan makanan bagi dirinya sendiri (Gambar
11). Berbeda dengan permukaan tanah monukultur sawit yang
cenderung bersih, permukaan tanah agroforestri sawit tertutup oleh
serasah (Gambar 12). Daun, ranting, dan bagian pohon lain yang
gugur akan lapuk dan terurai kembali menjadi unsur hara yang
kemudian diserap kembali oleh tumbuhan. Kemudian bersama
dengan sistem perakaran, serasah yang dihasilkan oleh pohon juga
dapat membantu infiltrasi air ke dalam tanah. Tarigan et al. (2021)
bahkan menyatakan bahwa infiltrasi atau resapan air di agroforestri
sawit cenderung lebih tinggi dari pada sawit monokultur.

200
Gambar 5.12. Kondisi permukaan tanah pada agroforestri sawit (kiri)
dan sawit monokultur (kanan)

5.2.2. Penyimpanan Karbon


Penanaman berbagai vegetasi atau tanaman sela merupakan
upaya untuk meningkatkan penyerapan karbon di atmosfer.
Sistem agroforestri sawit menjembatani kebutuhan akan produksi
sekaligus penyediaan karbon stok sebagai upaya mengurangi
pemanasan global. Penyisipan tanaman legum (Leguminosae)
dalam sistem agroforestri, akan memperbaiki kesuburan tanah
sehingga pertumbuhan pohon di atasnya menjadi lebih baik dan
meningkatkan jumlah karbon yang tersimpan dalam biomassa
(Widiyanto, 2011).
Sistem agroforestri mampu menyerap dan menyimpan
karbon lebih besar dibandingkan dengan sistem monokultur
penyerapan dan penyimpanan karbon dipengaruhi jumlah dan
spesies yang ditanam, umur tanaman, dan rotasi pemanenan
(Teuscher et al., 2016). Pohon muda diketahui mampu menyerap
CO₂ lebih cepat daripada pohon tua. Sedangkan pohon tua lebih
lambat dalam menyerap karbon, tetapi lebih banyak menyimpan
karbon dalam biomassanya.

5.2.3. Refugee Area untuk satwa liar


Dibandingkan dengan sistem monokultur, sistem agroforestri
lebih mendukung keanekaragaman hayati meskipun tidak dapat
menggantikan habitat alami (McNeely & Schroth, 2006). Sistem
agroforestri berperan dalam konservasi keanekaragaman hayati

201
dengan cara menyediakan tambahan habitat sekunder, mengurangi
laju konversi habitat alami, serta menyediakan konektivitas antara
kantong-kantong habitat yang tersisa. Dengan demikian, sistem
ini menjadi penyangga bagi kawasan konservasi dan menjadi
batu loncatan (stepping stone) atau koridor pergerakan satwa di
antara fragmen hutan (Bhagwat et al., 2008). Namun demikian,
spesies satwa yang mendapat manfaat dari sistem agroforestri akan
bervariasi tergantung pada konteks lanskap, jenis dan usia tanaman,
pola spaisal dan luas kawasan agroforestri (Millspaugh et al., 2009).

Gambar 5.13. Elang tikus (Elanus caeruleus), salah satu burung pemangsa yang
dijumpai di agroforestri sawit-sengon

Penanaman berbagai pohon dalam sistem agroforestri


menghasilkan stratifikasi vegetasi sehingga meningkatkan ruang
yang dapat digunakan satwa liar. Tutupan tajuk juga memberikan
perlindungan bagi satwa, baik dari kondisi lingkungan maupun
predator. Pada sistem monokultur, biawak (Varanus salvator)
memanfaatkan pelepah sawit di lantai hutan untuk tidur atau
berlindung. Hal tersebut memudahkan pemburu dan predator
untuk memangsa biawak. Sedangkan pada sistem agroforestri,
biawak memilih pohon sengon (Falcataria molucana) yang
lebih tinggi sebagai tempat berlindung (Gambar 14). Beragam
vegetasi menawarkan sumber makanan yang berbeda, sehingga
memungkinkan lebih banyak jenis satwa yang memanfaatkan
variasi sumber makanan tersebut. Vegetasi juga dapat digunakan
untuk menghubungkan fragmen hutan yang terisolasi dalam satu
lanskap.

202
Gambar 5.14. Lokasi tidur biawak (kanan) pohon di agroforestri sawit dan (kiri)
tanah yang tertutup pelepah sawit di monokultur sawit

5.2.4. Pengisi ketimpangan keragaman hayati


Sistem penanaman sawit dengan sistem monokultur jelas
menciptakan ketimpangan keragaman hayati. Alam yang menganut
sistem keragaman disederhanakan prosesnya oleh manusia menjadi
satu ragam saja yaitu sawit monokultur. Penyederhanaan ini tentu
menimbulkan dampak negatif. Beberapa dampak negatif yang
timbul antara lain: populasi tikus dan babi hutan meningkat drastis
(Luskin et al., 2017), mudahnya tanaman sawit terkena penyakit,
banjir, dan lain sebagainya.
Agroforestri sawit hadir sebagai salah satu solusi untuk
mengatasi ketimpangan keragaman hayati di perkebunan sawit.
Skema dasar dari pola agroforestri sawit adalah menanam pohon
berkayu di sela-sela atau di sekitar perkebunan sawit menggunakan
pola-pola tertentu. Penambahan tanaman seperti petai, sengon,
meranti dan tanaman kayu keras lainnya menambah aspek
keragaman jenis tanaman yang di tanam di perkebunan sawit
(Gambar 15).
Pohon-pohon berkayu yang di tanam pada pola agroforestri
selain menambah keragaman dari aspek tumbuhan juga dapat
menambah keragaman dari aspek satwa. Beberapa satwa akan

203
memanfaatkan pohon sebagai sarang, tempat tidur ataupun sekedar
bertengger sementara waktu. Hadirnya satwa-satwa ini dapat
menjadi penyeimbang proses rantai makanan yang berdampak
pada terkontrolnya populasi satwa seperti tikus, serangga, ular
dan lain-lain.

Gambar 5.15. Agroforestri sawit di Karangsari, Kotawaringin Timur, Kalimantan


Tengah menggunakan pohon sengon sebagai tanaman sela

DAFTAR PUSTAKA
Abood, S. A., Lee, J. S. H., Burivalova, Z., Garcia-Ulloa, J., &
Koh, L. P. (2014). Relative contributions of the logging,
fiber, oil palm, and mining industries to forest loss in
Indonesia. Conservation Letters, 8(1), 58–67. https://doi.
org/10.1111/conl.12103
Adyn, M. F., Sibarani, M. C., Utoyo, L., Surya, R. A., & Sedayu, A.
(2022). Role of siamang (Symphalangus syndactylus)
as seed dispersal agent in a Sumatran lowland tropical
forest. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 23(4).
https://doi.org/10680
Agus, M. H. S. (2021, January 31). Anak harimau sumatera yang
kena jerat dilepas ke hutan Gunung Leuser. ANTARA.
https://www.antaranews.com/berita/1976145/anak-

204
harimau-sumatera-yang-kena-jerat-dilepas-ke-hutan-
gunung-leuser
Aini, N. (2022, March 28). Pekerja di Jambi Tewas Diterkam
Harimau. Republika Online. https://www.republika.co.id/
berita/r9g8t9382/pekerja-di-jambi-tewas-diterkam-
harimau
Aliansyah, M. A. (2018, September 3). Pembukaan lahan sawit bikin
populasi Orangutan di Aceh makin terjepit. Merdeka.
Com. https://www.merdeka.com/peristiwa/pembukaan-
lahan-sawit-bikin-populasi-orangutan-di-aceh-makin-
terjepit.html
Alikodra, H. S. (1990). Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat
Institut Pertanian Bogor.
Antara. (2019, May 28). Pekerja tewas diterkam Harimau,
BKSDA: Kebun masuk wilayah dia. TEMPO.CO.
https://tekno.tempo.co/read/1210079/pekerja-tewas-
diterkam-harimau-bksda-kebun-masuk-wilayah-dia/
full&view=ok
Arum, R. S., Rizaldi, R., & Sunarto, S. (2018). Study of Characteristics
of The Conflict Between The Sumatera Elephant (Elephas
maximus Sumatranus) with Communities around
Tesso Nilo National Park, Riau. Metamorfosa: Journal of
Biological Sciences, 5(2), 259. https://doi.org/10.24843/
metamorfosa.2018.v05.i02.p20
Austin, K. G., Schwantes, A., Gu, Y., & Kasibhatla, P. S.
(2019). What causes deforestation in Indonesia?
Environmental Research Letters, 14(2), 024007. https://
doi.org/10.1088/1748-9326/aaf6db
Balai Besar KSDA Riau. (2020, October 14). BBKSDA Riau Ajak
Aparat Desa Kota Garo Resposif dalam Mitigasi Konflik
Satwa Liar. Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam
Dan Ekosistem. http://ksdae.menlhk.go.id/info/8779/
bbksda-riau-ajak-aparat-desa-kota-garo-resposif-
dalam-mitigasi-konflik-satwa-liar.html
205
Baskoro, B. (2018, July 3). Banyak Peluru Bersarang, Orangutan
Ini Mati Mengenaskan di Kebun Sawit. Mongabay.
Co.Id. https://www.mongabay.co.id/2018/07/03/banyak-
peluru-bersarang-orangutan-ini-mati-mengenaskan-di-
kebun-sawit/
Bhagwat, S. A., Willis, K. J., Birks, H. J. B., & Whittaker, R. J.
(2008, June 1). Agroforestry: A refuge for tropical
biodiversity? Elsevier. https://www.researchgate.net/
publication/5493552_Agroforestry_A_refuge_for_
tropical_biodiversity
Butler, R. (2007, November 8). Oil palm does not store more carbon
than forests. Mongabay Environmental News. https://
news.mongabay.com/2007/11/oil-palm-does-not-store-
more-carbon-than-forests/
CHA. (2012, May 31). Gajah Jantan Mati Tak Wajar di TN Tesso
Nilo Riau, Diduga Diracun. Detikcom. https://news.
detik.com/berita/d-1929661/gajah-jantan-mati-tak-
wajar-di-tn-tesso-nilo-riau-diduga-diracun
Cleland, E. E. (2011). Biodiversity and ecosystem stability. Nature
Education Knowledge, 3(10)(14).
DirektoratKKH. (2017). Jejak Langkah Kembalinya Harimau
Sumatera. KSDAE Direktorat Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam Dan Ekosistem. http://ksdae.menlhk.
go.id/info/1066/jejak-langkah-kembalinya-harimau-
sumatera-.html#:~:text=Harimau%20memiliki%20
daya%20jelajah%20yang%20luas%20hingga%20300%20
km2.
Eko, P. (2021, October 18). Kala Sawit Mengusik Raja Rimba
Berbak Sembilang. PT Kompas Media Nusantara. https://
interaktif.kompas.id/baca/kala-sawit-mengusik-raja-
rimba-berbak-sembilang/
Fitzherbert, E., Struebig, M., Morel, A., Danielsen, F., Bruhl, C.,
Donald, P., & Phalan, B. (2008). How will oil palm
expansion affect biodiversity? Trends in Ecology &

206
Evolution, 23(10), 538–545. https://doi.org/10.1016/j.
tree.2008.06.012
Gayati, M. D. (2019, May 6). Mengenal para predator penjaga
tanaman sawit. ANTARA. https://www.antaranews.
com/berita/857365/mengenal-para-predator-penjaga-
tanaman-sawit
Gentry, A. H. (1992). Tropical forest biodiversity: Distributional
patterns and their conservational significance. Oikos,
63(1), 19. https://doi.org/10.2307/3545512
Global Forest Watch. (n.d.). Indonesia deforestation rates & statistics.
GFW. Retrieved March 19, 2022, from https://www.
globalforestwatch.org/
Guillaume, Kotowska, Hertel, Knohl, Krashevska, Murtilaksono,
Scheu, & Kuzyakov. (2018). Carbon costs and benefits of
Indonesian rainforest conversion to plantations. Nature
Communications, 9(1), 1–11. https://doi.org/10.1038/
s41467-018-04755-y
Gunadha, R. (2019, November 28). Orangutan Terkapar di Kebun
Sawit, 24 Peluru di Badannya hingga Mata Buta. Suara.
Com. https://www.suara.com/news/2019/11/28/194329/
orangutan-terkapar-di-kebun-sawit-24-peluru-di-
badannya-hingga-mata-buta?page=all
Hoffner, E. (2021, March 31). Can palm oil be grown sustainably?
Agroforestry research suggests it can, and without
chemicals. Mongabay Environmental News. https://news.
mongabay.com/2021/03/in-brazil-palm-oil-is-being-
grown-sustainably-via-agroforestry/
Indicators of Biodiversity and Ecological Services. (2021).
Forest carbon stocks. Global Forest Review, Update 2;
Washington, DC: World Resources Institute. https://
research.wri.org/gfr/biodiversity-ecological-services-
indicators/forest-carbon-stocks
Indonesia, B. N. (2017, February 18). Karyawan membunuh dan
memakan orangutan di kamp sawit, polisi akan panggil

207
perusahaan. BBC News Indonesia. https://www.bbc.
com/indonesia/indonesia-39000741
Indonesia, B. N. (2018, January 31). Orang utan: Dipenggal,
dipotong tangan sebagai bukti, dan dijadikan “lauk.”
BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/
trensosial-42879943
IRAWAN, B. (2022, March 10). Biodiversity and Productivity of
Mixed Oil Palm Plantation and other vegetable oils.
International Webinar Target Period (Jangka Benah)
Using Oil Palm Agroforestry as Solution to the Problem
Of Oil Palm Plantation inside Forest Areas.
Jaya, A., Birawa, C., Adji, F. F., Anwar, M., & Banuwa, I. S. (2019).
Erosion and surface runoff on forest and oil palm
plantation in Jalemu Watershed, Gunung Mas Regency,
Central Kalimantan Province. JOURNAL OF TROPICAL
SOILS, 23(3), 151–159. https://doi.org/283
Kartawinata, K., Samsoedin, I., Heriyanto, M., & Afriastini, J.
(2003). A tree species inventory in a one-hectare plot
at the Batang Gadis National Park, North Sumatra,
Indonesia. REINWARDTIA, 12(2), 145. https://doi.
org/10.14203/reinwardtia.v12i2.60
Kessler, M., Keßler, P. J. A., Gradstein, S. R., Bach, K., Schmull, M., &
Pitopang, R. (2005). Tree diversity in primary forest and
different land use systems in Central Sulawesi, Indonesia.
Biodiversity and Conservation, 14(3), 547–560. https://
doi.org/10.1007/s10531-004-3914-7
Kitamura, S. (2011). Frugivory and seed dispersal by hornbills
(Bucerotidae) in tropical forests. Acta Oecologica, 37(6),
531–541. https://doi.org/10.1016/j.actao.2011.01.015
Lugo, A., Brinson, M., Vivas, M. C., Gist, C., Inger, R., Jordan,
C., Lieth, H., Milstead, W., Murphy, P., Smythe, N., &
Snedaker, S. (1974). Tropical ecosystem structure and
function. SpringerLink. https://link.springer.com/
chapter/10.1007/978-3-642-86763-7_3

208
Luskin, M. S., Brashares, J. S., Ickes, K., Sun, I.-F., Fletcher, C.,
Wright, S. J., & Potts, M. D. (2017). Cross-boundary
subsidy cascades from oil palm degrade distant tropical
forests. Nature Communications, 8(1). https://doi.
org/10.1038/s41467-017-01920-7
Mansur, M., Hidayati, N., & Juhaeti, T. (2016). Struktur dan
komposisi vegetasi pohon serta estimasi biomassa,
kandungan karbon dan laju fotosintesis di taman
nasional gunung halimun-salak. Jurnal Teknologi
Lingkungan, 12(2), 161. https://doi.org/10.29122/jtl.
v12i2.1248
McNeely, J. A., & Schroth, G. (2006). Agroforestry and biodiversity
conservation – traditional practices, present dynamics,
and lessons for the future. Biodiversity and Conservation,
15(2), 549–554. https://doi.org/10.1007/s10531-005-
2087-3
Megarani, A. (2022, April 18). Harimau Sumatera Masuk
Permukiman. Kenapa? Forest Digest. https://www.
forestdigest.com/detail/1679/harimau-turun-gunung
Millspaugh, J. J., Schulz, J. H., Mong, T. W., & Dey, D. C. (2009,
January 1). Agroforestry wildlife benefits. Unknown.
https://www.researchgate.net/publication/43410353_
Agroforestry_Wildlife_Benefits
Ministry of Environment and Forestry. (2020). The State of
Indonesia’s Forests 2020 (S. Nurbaya, Ed.; pp. 1–167).
Ministry of Environment and Forestry, Republic of
Indonesia. https://kemlu.go.id/helsinki/en/news/16154/
the-state-of-indonesias-forests-2020-ebook
Moore, P. D. (2008). Tropical forests (pp. 1–267). Infobase
Publishing.
Nias, R. C. (2013). Endangered ecosystems. In Encyclopedia of
Biodiversity (pp. 169–175). Elsevier. http://dx.doi.
org/10.1016/b978-0-12-384719-5.00257-4
Odum, E. P. (1969). The strategy of ecosystem development.
Science, 164(3877), 262–270. https://doi.org/10.1126/
science.164.3877.262
209
Ostroumov. (2002). New definitions of the concepts and
terms ecosystem and biogeocenosis. Doklady
Biological Sciences, 383(1), 141–143. https://doi.
org/10.1023/A:1015393924967
Partasasmita, R., Mardiastuti, A., Solihin, D. D., Widjajakusumah,
R., & Prijono, S. N. (2017). Frugivorous bird characteristic
of seed disperser in shrubland tropical forest West Java,
Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity,
18(1). https://doi.org/10.13057/biodiv/d180133
Poor, E. E., Shao, Y., & Kelly, M. J. (2019). Mapping and predicting
forest loss in a Sumatran tiger landscape from 2002
to 2050. Journal of Environmental Management, 231,
397–404. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2018.10.065
Quinto-Mosquera, H., & Moreno, F. (2017). Net primary
productivity and edaphic fertility in two pluvial tropical
forests in the chocó biogeographical region of Colombia.
PLOS ONE, 12(1). https://doi.org/10.1371/journal.
pone.0168211
Raven, P. H. (1988). Our Diminishing Tropical Forests. In E. O.
Wilson & F. M. Peter (Eds.), Biodiversity. National
Academies Press. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/
NBK219329/
RVK, R. (2014, November 15). 1 Orangutan Ditemukan
Terpanggang di Kebun Sawit Kalbar. Detikcom. https://
news.detik.com/berita/d-2749088/1-orangutan-
ditemukan-terpanggang-di-kebun-sawit-kalbar
S, H. M. (2013, September 24). Pembantaian gajah di area
konservasi Tesso Nilo. ANTARA News Bengkulu. https://
bengkulu.antaranews.com/berita/17790/pembantaian-
gajah-di-area-konservasi-tesso-nilo
Sabri, E. T. B., Gunawan, H., & Khairijon. (2014). Pola Pergerakan
Dan Wilayah Jelajah Gajah Sumatra (Elephas Maximus
Sumatranus) dengan Menggunakan GPS Radio Collar di
Sebelah Utara Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Jurnal
Online Mahasiswa FMIPA, 1(2), 599–606.

210
Sheil, D., Kartawinata, K., Samsoedin, I., Priyadi, H., & Afriastini, J.
J. (2010). The lowland forest tree community in Malinau,
Kalimantan (Indonesian Borneo): Results from a one-
hectare plot. Plant Ecology &amp; Diversity, 3(1), 59–66.
https://doi.org/10.1080/17550874.2010.484840
Silver, W. L., Brown, S., & Lugo, A. E. (1996). Effects of changes
in biodiversity on ecosystem function in tropical
forests. Conservation Biology, 10(1), 17–24. https://doi.
org/10.2307/2386939
Sipayung, H. M. (2013, September 24). Pembantaian gajah di area
konservasi Tesso Nilo. ANTARA News Bengkulu. https://
bengkulu.antaranews.com/berita/17790/pembantaian-
gajah-di-area-konservasi-tesso-nilo
Sipayung, H. M. (2019, October 25). Pekerja perkebunan sawit
tewas diterkam harimau. ANTARA News Bengkulu.
https://bengkulu.antaranews.com/berita/83264/pekerja-
perkebunan-sawit-tewas-diterkam-harimau
Small, A., Martin, T. G., Kitching, R. L., & Wong, K. M. (2004).
Contribution of tree species to the biodiversity of a 1ha
Old World rainforest in Brunei, Borneo. Biodiversity
and Conservation, 13(11), 2067–2088. https://doi.
org/10.1023/b:bioc.0000040001.72686.e8
Smith, A. P. (1973). Stratification of temperature and tropical
forests. The American Naturalist, 107(957), 671–683.
https://doi.org/10.1086/282866
Suba, R. B., Ploeg, J. van der, Zelfde, M. van’t, Lau, Y. W., Wissingh, T.
F., Kustiawan, W., de Snoo, G. R., & de Iongh, H. H. (2017).
Rapid expansion of oil palm is leading to human–elephant
conflicts in North Kalimantan Province of Indonesia.
Tropical Conservation Science, 10, 194008291770350.
https://doi.org/10.1177/1940082917703508
Tambunan, I. (2012, April 18). Konflik Satwa dan Manusia di
Berbak Meninggi. Kompas.Com. https://amp.kompas.
com/entertainment/read/2012/04/18/1720416/index.
html

211
Tambunan, I. (2021, September 27). Pembukaan Kebun di
Pinggir TNBS Munculkan Konflik Manusia dan
Harimau. Harian Kompas. https://www.kompas.id/
baca/nusantara/2021/09/27/pembukaan-kebun-ancam-
konflik-manusia-dan-harimau-sumatera-di-berbak
Tan, W. H., Hii, A., Solana‐Mena, A., Wong, E. P., Loke, V. P. W., Tan,
A. S. L., Kromann‐Clausen, A., Hii, N., bin Pura, P., bin
Tunil, M. T., A/L Din, S., Chin, C. F., & Campos‐Arceiz,
A. (2021). Long‐term monitoring of seed dispersal by
Asian elephants in a Sundaland rainforest. Biotropica,
53(2), 453–465. https://doi.org/10.1111/btp.12889
Tanjung, B. H. (2014, July 13). Karyawan Perkebunan Sawit
Tewas Diterkam Harimau. Okezone.Com. https://news.
okezone.com/read/2012/07/16/340/664186/karyawan-
perkebunan-sawit-tewas-diterkam-harimau
Tarigan, S., Buchori, D., Siregar, I. Z., Azhar, A., Ullyta, A., Tjoa, A.,
& Edy, N. (2021). Agroforestry inside oil palm plantation
for enhancing biodiversity-based ecosystem functions.
IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, 694(1), 012058. https://doi.org/10.1088/1755-
1315/694/1/012058
Teuscher, M., Gérard, A., Brose, U., Buchori, D., Clough, Y.,
Ehbrecht, M., Hölscher, D., Irawan, B., Sundawati, L.,
Wollni, M., & Kreft, H. (2016). Experimental biodiversity
enrichment in oil-palm-dominated landscapes in
indonesia. Frontiers in Plant Science, 0. https://doi.
org/10.3389/fpls.2016.01538
VIVA.co.id. (2016, April 18). Setiap Tahun, Warga Aceh Temukan
Gajah Mati karena Racun. VIVA. https://www.viva.
co.id/berita/nasional/762173-setiap-tahun-warga-aceh-
temukan-gajah-mati-karena-racun?page=all&utm_
medium=all-page
Whittaker, R. J., & Jones, S. H. (1994). The role of frugivorous bats
and birds in the rebuilding of a tropical forest ecosystem,

212
Krakatau, Indonesia. Journal of Biogeography, 21(3), 245.
https://doi.org/10.2307/2845528
Widiyanto, A. (2011). Mitigasi perubahan iklim melalui agroforestri :
Sebuah perspektif. Https://Www.Researchgate.Net/
Publication/299753479_MITIGASI_PERUBAHAN_
IKLIM_MELALUI_AGROFORESTRI_SEBUAH_
PERSPEKTIF.
Wilkie, D. S., Bennett, E. L., Peres, C. A., & Cunningham, A. A.
(2011). The empty forest revisited. Annals of the New
York Academy of Sciences, 1223(1), 120–128. https://doi.
org/10.1111/j.1749-6632.2010.05908.x
Wright, D. D., Jessen, J. H., Burke, P., & Silva Garza, H. G. (1997).
Tree and liana enumeration and diversity on a one-
hectare plot in papua new guinea1. Biotropica, 29(3),
250–260. https://doi.org/10.1111/j.1744-7429.1997.
tb00426.x
Yudea, C., & Santosa, Y. (2019). How does oil palm plantation
impact bird species diversity? a case study from PKWE
Estate, West Kalimantan. IOP Conference Series: Earth
and Environmental Science, 336(1), 012026. https://doi.
org/10.1088/1755-1315/336/1/012026
Zulfikar, I. (2016, April 18). Setiap Tahun, Warga Aceh Temukan
Gajah Mati karena Racun. VIVA. https://www.viva.
co.id/berita/nasional/762173-setiap-tahun-warga-aceh-
temukan-gajah-mati-karena-racun?page=all&utm_
medium=all-page

213
BAGIAN 6
IMPLEMENTASI AGROFORESTRI SAWIT
DALAM SKEMA STRATEGI JANGKA BENAH

Oleh:
Ari Susanti, Slamet Riyanto,
Muhammad Iqbal Nur Madjid, San Afri Awang,
Hero Marhaento, Bambang Supriyanto

6.1. PENGERTIAN DAN SEJARAH KONSEP STRATEGI JANGKA


BENAH (SJB)
Tidak ada yang memungkiri bahwa kelapa sawit merupakan
komoditas sangat penting bagi perekonomian nasional. Sejak
mulai dikenalkan sebagai komoditas pembangunan untuk
pengentasan kemiskinan pada tahun 1970-an, tanaman yang
habitat aslinya dari Afrika Barat dan Tengah ini telah menstimulasi
pembangunan ekonomi khususnya di luar Jawa. Sejak dikenalkan
sebagai komoditas pembangunan, berbagai insentif diberikan oleh
pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak sawit nasional
dalam berbagai program seperti transmigrasi, kredit dengan bunga
rendah, dan kemudahan pembukaan lahan untuk pembangunan
perkebunan inti rakyat (PIR). Berbagai insentif tersebut terbukti
berhasil sehingga saat ini sawit menjadi tulang punggung
perekonomian nasional dan menjadi komoditas penyumbang
devisa negara terbesar diluar sektor minyak dan gas bumi (Migas).
Kondisi booming ekonomi kelapa sawit ini terus berkembang
seiring meningkatnya variasi produk turunan minyak sawit,
yang selanjutnya berdampak perluasan perkebunan sawit secara

214
eksponensial di seluruh penjuru Indonesia. Tidak hanya perusahaan
perkebunan skala besar, tetapi juga petani kecil ikut berpartisipasi
pada rantai produksi kelapa sawit. Luas tutupan kelapa sawit di
Indonesia menurut Kementerian Pertanian sebagaimana tertuang
di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No.83/KPTS/
SR.020/M/12/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit
di Indonesia tahun 2019 adalah 16.381.959 Ha. Berdasarkan surat
keputusan menteri pertanian tersebut Provinsi Riau, Sumatera
Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan
merupakan 5 Provinsi terbesar dalam hal luasan tutupan sawit, di
mana kontribusi luas tutupan sawit dari kelima propinsi tersebut
adalah 64,22% dari luasan total tutupan sawit nasional.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2021)
mencatat ada 3,4 juta hektare kebun sawit yang berada dalam
kawasan hutan pada saat ini. Dari jumlah tersebut, kebun sawit
paling banyak berada di kawasan hutan produksi terbatas (HPT),
yaitu 1,5 juta hektare. Terdapat 1,1 juta hektare kebun sawit yang
berada di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Kemudian pada hutan produksi tetap terdapat 501,5 ribu hektare
kebun sawit. Selain berada di dalam kawasan hutan produksi,
kebun sawit juga berada di hutan lindung dan hutan konservasi
masing-masing seluas 155,1 ribu dan 91 ribu. Ekspansi perkebunan
kelapa sawit sering dituduh sebagai penyebab deforestasi(Susanti &
Maryudi 2016) dan kerusakan lingkungan yang berdampak pada
geopolitik global yang memicu adanya boikot produk sawit dari
Indonesia.

“Sawit membentuk jaringan sosial yang menjadi simbol


kesuksesan dan budaya bagi masyarakat”
Rivani Noor (dalam FGD 2 tahun implementasi SJB, 17
Desember 2021)

Berawal dari keprihatinan akan luasnya kebun sawit


monokultur di dalam kawasan hutan yang menjadi sorotan publik
baik nasional maupun internasional, maka pada tahun 2018 Fakultas

215
Kehutanan UGM menyelenggarakan serial Focus Group Discussion
(FGD) untuk membahas dan mencari solusi permasalahan ini.
Serial FGD tersebut diikuti oleh berbagai pihak mulai dari unsur
pemerintah (KLHK), perguruan tinggi (UGM, Instiper, Universitas
Jambi, dan para pihak yang lain), Non-Governmental Organization
(NGO) (Yayasan Kehati, Institute for Research and Empowerment,
Auriga Nusantara, Yayasan JAVLEC), dan masyarakat. Rangkaian
FGD tersebut bermuara pada kesadaran akan perlunya satu periode
waktu untuk memperbaiki kondisi ekologis kawasan hutan yang
terlanjur menjadi kebun sawit namun dengan tetap memberikan
manfaat secara ekonomi bagi masyarakat yang mengelola lahan
tersebut. Hasil serial FGD tersebut kemudian diramu dalam
konsep Strategi Jangka Benah (SJB) pada sebuah kertas posisi yang
disampaikan pada dies Fakultas Kehutanan UGM ke-55 bulan
Oktober 2018.
Untuk menajamkan konsep SJB, tim Fakultas Kehutanan
UGM kemudian menyusun buku yang berjudul “Jangka Benah:
Konsep dan Implementasi Penyelesaian Keberadaan Kebun Kelapa
Sawit Rakyat Monokultur di dalam Kawasan Hutan” yang terbit
dan dapat diakses oleh publik pada bulan Juni 2019. Gagasan
dan konsep yang tertuang di dalam kertas kerja maupun buku
tersebut perlu untuk dipraktikkan di lapangan, sehingga pada
bulan Oktober 2019 ditandatangani Memorandum of Understanding
(MoU) antara Fakultas Kehutanan UGM dengan Yayasan Kehati
untuk mengimplementasikan SJB di dua lokasi pilot project di
Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi.
Demonstration plot (Demplot) pertama SJB dibangun di
KPHP Tebo Timur Provinsi Jambi seluas 5 Ha dan di KPHP
Mentaya Tengah Seruyan Hilir Provinsi Kalimantan Tengah
seluas 7,5 Ha. Pembangunan demplot SJB memerlukan dukungan
dari berbagai pihak, oleh karenanya Fakultas Kehutanan UGM
bersama dengan Yayasan Kehati juga menjalin kerjasama dengan
berbagai lembaga, seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
dan Hutan Lindung (BPDASHL) Kahayan dan Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Tengah. Kerjasama dengan lembaga tersebut

216
diformalkan dalam penandatanganan MoU antara Fakultas
Kehutanan UGM, Yayasan Kehati, Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Tengah dan BPDASHL Kahayan pada bulan Desember
2019. Sampai dengan bulan Desember 2020, telah dibangun plot
percontohan SJB seluas 160 ha yang melibatkan 86 orang petani
yang tergabung pada 10 Kelompok Tani Hutan (KTH). Adapun plot
percontohan tersebut tersebar di tiga Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) yakni KPHP Tebo Timur di Provinsi Jambi,
KPHP Mentaya Tengah - Seruyan Hilir dan KPHP Kotawaringin
Barat di Provinsi Kalimantan Tengah
Paralel dengan pembangunan demplot di lapangan, tim SJB
Fakultas Kehutanan UGM bersama-sama dengan berbagai pihak
juga melakukan advokasi kebijakan agar SJB dapat dimasukkan ke
dalam peraturan perundangan sebagai turunan Undang-Undang
Cipta Kerja yang pada saat itu baru saja disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Sebagai perkembangan terakhir, Konsep SJB
telah diadopsi dalam pasal 82 (2) dan pasal 213 (1) Peraturan
Pemerintah (PP) No. 23/2021 tentang Pengelolaan Kehutanan
serta pada pasal 27 (4) dan 28 (3) PP No. 24/ 2021 tentang Tata
Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di
Bidang Kehutanan. Pada kedua Peraturan Pemerintah tersebut
SJB menjadi salah satu mekanisme penyelesaian ketidaksesuaian
pemanfaatan Kawasan hutan untuk penggunaan lain (kebun sawit).
Secara ringkas perjalanan SJB disajikan pada Gambar 6.1.

217
Gambar 6.1. Perjalanan Strategi Jangka Benah

6.2 PENGERTIAN SJB


Konsep jangka benah merupakan salah satu konsep dalam
pengelolaan hutan khususnya pada pengelolaan hutan jati di
pulau Jawa. Dalam konteks pengaturan hasil hutan, jangka benah
merupakan periode yang diperlukan untuk pengaturan stok
tegakan untuk mencapai stok tegakan yang normal. Davis et al.
(2005) menyatakan bahwa jangka benah merupakan periode
yang diperlukan untuk mencapai kondisi struktur hutan dan
fungsi ekosistem yang diinginkan di masa mendatang dari kondisi
struktur hutan saat ini sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan
melalui penjadwalan tindakan silvukultur dan perlakuan lainnya.
Konsep jangka benah sebagaimana dijelaskan sebelumnya
kemudian diadopsi dan dimodifikasi dalam konteks penyelesaian
keterlanjuran keberadaan kebun sawit monokultur di dalam
kawasan hutan. Jangka Benah didefinisikan sebagai periode
yang dibutuhkan untuk memperbaiki struktur dan fungsi hutan
yang rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit. Sedangkan SJB

218
merupakan upaya sosio-teknis-kebijakan yang diperlukan untuk
mencapai target yang diharapkan dari periode jangka benah.
Dalam konsep yang disusun oleh tim Fakultas Kehutanan
UGM, Jangka Benah dilakukan dengan dua tahap (lihat Gambar
6.2). Tahap pertama merupakan upaya perbaikan struktur dan
fungsi kawasan hutan yang sudah terlanjur terganggu oleh
kebun sawit monokultur melalui pengkayaan dengan berbagai
jenis tanaman hutan untuk membentuk kebun campur sawit
(agroforestry). Upaya pencampuran ini dilakukan dengan teknik
precision agroforestry berdasarkan pemilihan jenis yang produktif
dan pola tanam yang tepat.
Pemilihan jenis dilakukan berdasarkan sifat asosiasi positif
antara tanaman pencampur dengan tanaman sawit, sehingga
seluruh jenis tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik dan
produktif dan meminimalisir kompetisi. Selain itu, tanaman
pencampur juga perlu memiliki sifat sebagai berikut: bernilai
ekonomi tinggi, endemis/lokal, mudah untuk dibudidayakan,
dan diutamakan dari jenis multipurpose tree species (MPTS)
yang batang, kulit, buah, biji, daun getah atau akarnya dapat
dimanfaatkan.
Selain pemilihan jenis yang tepat, penentuan pola tanam
juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan
kebun sawit campur. Jarak dan pola tanam antara sawit dengan
tanaman kayu pencampur perlu mempertimbangkan ketersediaan
ruang tumbuh dan sifat tanaman. Tanaman pencampur sawit dapat
ditanam dengan pola sisipan, jalur, atau mengelilingi persil. Bahkan
pada kondisi spesifik misalnya pada hamparan yang sangat luas,
penanaman bisa dilakukan secara blok.
Tahap kedua Jangka Benah dilakukan dengan tujuan
untuk membentuk struktur vegetasi yang lebih kompleks
(agroforestry kompleks) dengan menambah jenis dan jumlah
tanaman pencampur sehingga terbentuk struktur multi-layers
yang menyerupai struktur hutan alam. Pada akhir tahap kedua ini
diharapkan akan terbentuk lanskap agroekosistem baru berupa
hutan kebun, dimana masyarakat masih terus mendapat manfaat

219
ekonomi dari seluruh tanaman yang ada pada lahan kelolanya dan
memperoleh peningkatan manfaat ekologis secara optimal.

“Ramalan saya SJB tidak akan sampai kondisi hutan asal, tetapi
sampai pada agroforestri kompleks saja dimana petani yang smart
akan tetap menjadi pengelola smallscale yang efektif ”
Prof. Dr. Sambas Sabarnurdin (dalam FGD 2 tahun
implementasi SJB, 17 Desember 2021)

“Penerimaan publik terhadap mixcropping ini lebih baik


dibanding monokultur”
Prof. Dr. Ahmad Maryudi (dalam FGD 2 tahun implementasi
SJB, 17 Desember 2021)

Gambar 6.2. Tahapan Jangka Benah dari kebun sawit monokultur menuju
agroekosistem hutan kebun yang berbentuk agroforestri kompleks

220
Keberhasilan implementasi SJB didukung oleh tiga pilar
utama yakni (a) legalitas, (b) produktivitas, dan (c) sustainabilitas.
Legalitas merupakan aspek penting dimana masyarakat yang
terlanjur mengelola kebun sawit di kawasan hutan perlu diberi
kepastian hukum dalam mengelola dan melaksanakan jangka
benah, misalnya dengan pemberian ijin Perhutanan Sosial dengan
kewajiban melakukan jangka benah. Produktivitas merupakan
jaminan kepastian bahwa praktek Jangka Benah harus bermuara
pada peningkatan nilai dan produktivitas lahan sehingga petani
menjadi lebih sejahtera. Sustainabilitas memberikan kepastian
bahwa praktek jangka benah ini dapat berlangsung dengan baik
dengan adanya kepastian hukum dan produk jangka benah bisa
diterima oleh para mekanisme pasar. Keterkaitan antara ketiga
pilar tersebut disajikan pada Gambar 6.3.

“Jangka benah bukan sebagai output tetapi sebagai instrument


untuk memenuhi tiga pilar yang ada sehingga manfaat dapat
diterima oleh masyarakat selaku pemegang izin dan pelaku utama
di tingkat tapak”
Rivani Noor (dalam FGD Dua Tahun Implementasi SJB, 17
Desember 2021)

“Saya berfikir bahwa Strategi Jangka Benah melalui agroforestri


sawit adalah praktek terbaik yang telah kita lakukan dan kita bisa
membagikan kepada negara lain yang menghadapi permasalahan
kelapa sawit monokultur”
Rio Budi Rahmanto (dalam Webinar Target Period Using
Oil Palm Agroforestry as Solution to the Problem of Oil Palm
Plantation Insides Forest Areas, 10 Maret 2022)

221
Gambar 6.3. Keterkaitan pilar legalitas, produktifitas, dan sustainabilitas yang
mendukung keberhasilan implementasi SJB

6.3 PENGERTIAN DAN PENTINGNYA KELEMBAGAAN DALAM


PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
North (1991) mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-
batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang
harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial,
dan ekonomi. Berdasarkan pandangan tersebut, kelembagaan
diartikan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah
masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak,
kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok. North menekankan peran utama kelembagaan adalah
mengurangi ketidakpastian dengan cara membangun struktur yang
stabil dalam interaksi manusia.
Istilah institusi (kelembagaan) seringkali saling dipertukarkan
dengan organisasi. Institusi dalam pengertian kelembagaan berbeda
dengan organisasi. Boliary and Topyan (2007) menjelasakan bahwa

222
North memberikan perhatian khusus pada definisi organisasi:
organisasi adalah aktor atau pemain (kelompok individu) yang
terikat oleh tujuan yang sama, sedangkan institusi adalah aturan
dari permainan dalam suatu masyarakat. Para pemain ini dapat
berupa badan/lembaga politik, badan ekonomi, badan sosial, dan
badan pendidikan. Pengertian kelembagaan sebagai aturan main
juga dikemukakan oleh pemikir ekonomi kelembagaan lama
misalnya Veblen (1857-1929), yang memandang bahwa institusi
atau kelembagaan wujudnya bukan dalam bentuk fisik tetapi
lebih berkaitan dengan nila, norma, kebiasaan dan budaya yang
sudah melekat dan mendarah daging dalam suatu komunitas atau
masyarakat (Syofyan 1990).
Ostrom (1990), mendifinisikan kelembagaan sebagai
aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan
siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di
masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa
yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan atau
outcome apa yang akan terima sebagai hasil tindakan (aksi) yang
dilakukannya. Bagi Ostrom dan analis institusional lainnya,
kelembagaan pada dasarnya dilihat sebagai “aturan main” yang
memfasilitasi, membimbing, dan membatasi perilaku individu dan
organisasi. Kelembagaan dapat dilihat sebagai aturan berperilaku
yang dipahami secara umum yang berpotensi dapat mengurangi
ketidakpastian, menengahi kepentingan pribadi, dan memfasilitasi
tindakan kolektif.
Menurut Rachman (2009), kelembagaan memiliki beberapa
komponen utama yang terdiri dari (1) Batas yuridiksi, yaitu
lingkup subjek dan objek yang tercakup dalam suatu kelembagaan,
(2) Property right, yaitu hak dan kewajiban yang diatur oleh
hukum, adat dan tradisi atau konsesus yang menjalin hubungan
antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap
sumber daya, (3) Aturan representatif, yaitu subjek yang hendak
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan sumber daya.

223
Teori ekonomi klasik/neoklasik yang diterapkan pada
sumberdaya alam, umumnya memusatkan perhatian pada
pengembangan teknologi namun mengabaikan struktur
kelembagaan yang membentuk interaksi antara pembuat
kebijakan,pengelola sumberdaya dan pengguna sumberdaya itu
sendiri (Kant & Berry 2004). Faktor kelembagaan merupakan
pedang bermata dua dalam konteks pengelolaan sumber daya
alam termasuk sumberdaya hutan. Menurut analisis Geist dan
Lambin (2002) faktor institusi yang lemah merupakan salah satu
faktor yang menjadi kekuatan pendorong (driving force) dari
degradasi sumberdaya alam (termasuk hutan). Buruknya institusi
yang diejawantahkan dalam bentuk kebijakan formal yang tidak
kondusif, iklim kebijakan yang tidak baik (misalnya korupsi
dan mismanagement) serta masalah hak kepemilikan (property
right) yang kompleks yang tidak ditangani dengan baik adalah
beberapa faktor yang sangat krusial yang dapat memicu degradasi
sumberdaya hutan dan buruknya pengelolaan yang berkelanjutan.
Namun di sisi lain, institusi yang baik akan membantu menjadi
faktor pengungkit (leverage) dalam pengelolaan yang berkelanjutan.
Hal ini diakui oleh Bank Dunia sebagaimana dikemukakan oleh
Bruce dan Mearns (2004) bahwa salah satu pelajaran yang dapat
diambil (lesson learned) dalam pengelolaan yang berkelanjutan
adalah berfungsinya institusi dengan baik.
Terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan, kelembagaan
berperan penting untuk mengurangi ketidakpastian melalui
pembentukan struktur/pola interaksi dan mengarahkan perilaku
para aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan agar sesuai dengan arah yang diinginkan oleh
masyarakat terhadap tujuan akhir dari pengelolaan sumberdaya
hutan itu yaitu tercapainya kelestarian fungsi ekonomi, fungsi
sosial, dan fungsi ekologis. Selain itu urgensi kelembagaan dalam
pengelolaan sumberdaya hutan adalah sebagai instrumen penting
yang membantu pendistribusian dan pengalokasian manfaat
sumberdaya secara adil dan merata.

224
6.4 KELEMBAGAAN SJB
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa implementasi
SJB akan melibatkan dua tahapan yaitu transisisi kebun sawit
monokultur menjadi kebun campur dan tahapan selanjutnya adalah
pembentukan formasi agroforestri kompleks. Dalam konteks ini,
SJB sebenarnya merupakan strategi pengelolaan sumberdaya lahan
di dalam kawasan hutan agar mampu menjalankan fungsinya sesuai
dengan peruntukannya sebagai kawasan hutan.
Upaya transisi dari kebun sawit monokultur menjadi menjadi
agroforestri sawit bukanlah hanya masalah menanam pohon,
namun merupakan seperangkat paket faktor penggerak dan
indikator untuk mengukurnya (Le et al. 2012). Lebih lanjut, Le at
al (2012) menyatakan bahwa keberhasilan upaya transisisi untuk
mengembalikan fungsi hutan memerlukan pemahaman mengenai
dari aspek teknik/biofisik (seperti pemilihan jenis, keseuaian
tempat tumbuh), sosio-ekonomi (partipipasi dan insentif ),
kelembagaan (hak dan tanggung jawab para aktor yang terlibat) dan
karakteristik proyek (seperti lokasi, pendanaan dan implementasi).
Aspek-aspek tersebut dapat memiliki pengaruh baik jangka panjang
maupun jangka pendek terhadap pencapaian reforestasi yang
seharusnya diukur dengan menggunakan seperangkat indikator
baik pencapaian dalam pemapanan tegakan (stand establisment’s
outcome), pencapaian lingkungan, dan pencapaian sosio-ekonomis
seperti keberlanjutan penghidupan, peningkatan pendapatan,
mitigasi resiko, dan penciptaan lapangan kerja.
Menurut pandangan Le at al (2012) tersebut dalam
konteks SJB, kelembagaan merupakan salah satu aspek penting
untuk menjamin keberhasilan implementasi SJB di tingkat
tapak. SJB sebagai pilihan strategi pengelolaan lahan di dalam
kawasan hutan tidak hanya memerlukan aspek teknologi (teknis
budidaya) namun harus juga mencakup serangkaian tindakan
yang memperhitungkan semua interaksi antara manusia dan
interaksi manusia dengan sumberdaya alam tersebut. Dalam
hal ini, keberhasilan SJB memerlukan adanya aturan main yang
berfungsi untuk memfasilitasi tindakan kolektif, membimbing, dan

225
membatasi perilaku individu dan organisasi agar sesuai dengan
apa yang dirancang dari penerapan SJB. Ini merupakan esensi dari
kelembagaan SJB.

Gambar 6.4. Lanskap demplot SJB di Kelurahan Pangkut, Kecamatan Arut


Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat (Sumber: Dokumentasi Tim SPOS
Indonesia, Oktober 2021)

DAFTAR PUSTAKA
Auriga. 2019. Tipologi penguasaan lahan perkebunan sawit di
dalam kawasan hutan dan strategi penyelesaiannya.
Policy Paper. Jakarta - Indonesia.
Boliari N, Topyan K. 2007. Conceptualizing institutions and
organizations: A critical approach. Journal of Business
& Economics Research (JBER) 5.
Bruce JW, Mearns R. 2002. Natural resource management and land
policy in developing countries. International Institute for
Environment and Development, London.
Davis LS, Johnson KN, Bettinger P, Howard T. 2005. Forest
management to sustain ecological, economic, and social
values, 4th edisi. Waveland Press, Inc.

226
Geist HJ, Lambin EF. 2002. Proximate Causes and Underlying
Driving Forces of Tropical DeforestationTropical forests
are disappearing as the result of many pressures, both
local and regional, acting in various combinations in
different geographical locations. BioScience 52:143–150.
Oxford University Press.
Kant S, Berry RA. 2004. Organizations, institutions, external
setting and institutional dynamics. Halaman 83–113
Institutions, Sustainability, and Natural Resources.
Springer.
Le HD, Smith C, Herbohn J, Harrison S. 2012. More Than Just Trees:
Assessing Reforestation Success in Tropical Developing
Countries. Journal of Rural Studies 28:5–19. Elsevier.
North DC. 1991. Institutions. Journal of economic perspectives
5:97–112. American Economic Association.
Ostrom E. 1990. Governing the commons: The evolution of
institutions for collective action. Cambridge university
press.
Rachman B. 2009. Kebijakan sistem kelembagaan pengelolaan
irigasi: Kasus Provinsi Banten. Analisis Kebijakan
Pertanian 7:1–19. Available from http://pse.litbang.
deptan.go.id/ind/pdffiles/ART7-1a.pdf.
Susanti A, Maryudi A. 2016. Development Narratives , Notions
of Forest Crisis , and Boom of Oil Palm Plantations in
Indonesia. Forest Policy and Economics 73:130–139.
Syofyan. 1990. Ekonomi Kelembagaan Baru Dan Kebijakan
Sektor Publik: Beberapa Contoh Kasus. Jurnal Ekonomi
Keuangan dan Kebijakan Publik 1.

227
BAGIAN 7
MENATA KELEMBAGAAN
STRATEGI JANGKA BENAH

Oleh:
Slamet Riyanto, Ari Susanti,
Muhammad Iqbal Nur Madjid, San Afri Awang,
Bambang Supriyanto

8.1. BELAJAR DARI PENGALAMAN LAPANGAN IMPLEMENTASI


SJB DI PROVINSI JAMBI DAN KALIMANTAN TENGAH

“Salah satu keberhasilan agroforestri adalah adoptabilitas


oleh masyarakat”
Prof. Dr. Sambas Sabarnurdin
(dalam FGD 2 Tahun Implementasi SJB, 17 Desember 2021)

SJB sudah dilaksanakan selama dua tahun di tingkat tapak


dan sudah banyak petani yang terlibat dalam kegiatan SJB terutama
di Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan
hasil monitoring, sampai dengan bulan Oktober 2021, telah
dibangun 160 ha plot percontohan SJB yang melibatkan 86 orang
petani yang tergabung pada 10 Kelompok Tani Hutan (KTH).
Adapun plot percontohan tersebut tersebar di tiga Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) yakni KPHP Tebo Timur di
Provinsi Jambi, KPHP Mentaya Tengah - Seruyan Hilir dan KPHP

228
Kotawaringin Barat di Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun lokasi
plot percontohan implementasi SJB diilutrasikan pada gambar 8.1

Gambar 8.1. Lokasi plot percontohan implementasi SJB di Provinsi Jambi dan
Kalimantan Tengah

8.2. ORGANISASI
Implementasi konsep SJB yang diusulkan oleh Fakultas
Kehutanan UGM hanya dapat terlaksana dengan dukungan banyak
pihak di berbagai level. Dukungan diberikan baik dalam bentuk
baik material maupun non-material. Kelompok Tani, Desa, KPH,
and UPT Kehutanan lain di daerah memegang peranan kunci dalam
implementasi SJB di tingkat tapak. Namun demikian, organisasi
SJB di tingkat tapak masih bersifat ad-hoc dan belum terbentuk
organisasi yang khusus dibentuk untuk implementasi SJB.
Kelompok Tani Kasang Panjang dan Soko Tulang merupakan
motor penggerak implementasi SJB pada plot percontohan di Desa
Sungai Jernih, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Ketua kelompok
Tani sangat aktif dalam berkomunikasi dengan pendamping SJB
dan pendamping dari KPH dalam pelaksanaan implementasi SJB.
Mereka telah menularkan semangat yang sangat baik kepada baik
kepada anggota kelompok. Bahkan, terdapat petani di luar anggota
kelompok yang secara sukarela menerapkan SJB secara mandiri. Di
Desa Karangsari, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Kepala

229
Desa mempelopori implementasi SJB dan merelakan lahannya
menjadi plot percontohan pertama di Desa Karangsari.
KPH Tebo Timur di Jambi sejak awal sosialisasi SJB sudah
memberikan dukungan yang sangat nyata terutama dengan
memberikan pendampingan implementasi SJB. Dukungan
ini sangat berdampak pada ketertarikan petani PS untuk
mengimplementasikan SJB seperti disampaikan oleh Bapak Aleh
Saifudin:

“Pendampingan yang dilakukan oleh tim SJB UGM serta KPHP


Tebo Timur meningkatkan ketertarikan petani dalam penerapan
konsep SJB”
Aleh Saifudin (dalam Sekolah Jangka Benah Online Seri#4,
28 Desember 2021)
Sementara itu, BPDAS memberikan dukungan dalam bentuk
penyediaan bibit tanaman kehutanan dan tanaman MPTS serta
membangun Kebun Bibit Desa (KBD) untuk memenuhi kebutuhan
bibit bagi lahan sawit masyarakat. Balai Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Hutan Lindung (BDPASHL) Kahayan memberikan bantuan
KBD yang dapat menyokong kebutuhan akan bibit tanaman
kehutanan di lahan petani SJB. Bibit yang tersedia dialokasikan
pada dua lokasi demplot SJB di Desa Karangsari dan Kelurahan
Pangkut. Bibit yang didistribusikan kepada petani dimanfaatkan
untuk ditanam di lahan sawit mereka melalui pola agroforestri.
Jenis tanaman yang dipilih adalah tanaman yang memberikan
manfaat perekonomian bagi petani untuk menjaga kestabilan
ekonomi rumah tangga ketika harga Tandan Buah Segar (TBS)
sawit tidak stabil. Pemilihan jenis tanaman disesuaikan dengan
aspek sosial budaya masyarakat serta kesesuaian jenis pada lahan
sawit petani SJB.
Fasilitator Desa SJB menjadi penghubung yang krusial untuk
kelancaran komunikasi antara petani dengan para pihak termasuk
dengan Tim SJB Fakultas Kehutanan UGM. Fasilitator Desa SJB
mengadakan rapat rutin untuk menjalin komunikasi intensif antara
Tim SJB dengan petani yang menerapkan konsep ini. Pada rapat

230
rutin ini petani dapat menyampaikan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi di lahan sawitnya dan mendapat alternatif
penyelesaiannya untuk mencapai hasil yang maksimal dalam
implementasi SJB. Disamping itu, rapat rutin juga merupakan
kesempatan bagi petani untuk menyampaikan hal-hal yang
diperlukan dalam pembangunan dan pemeliharaan plot SJB seperti
bibit dan pupuk. Kebutuhan bibit sedapat mungkin dipenuhi dari
KBD masing-masing Desa, namun apabila tidak tersedia maka
fasilitator Desa akan mengajukan permohonan bantuan bibit
kepada BPDAS masing-masing Provinsi.

Gambar 8.2. Pengangkutan bibit dari Persemaian Tumbang Nusa menuju


Kelurahan Pangkut

(a) (b)
Gambar 8.3. Rapat rutin petani SJB Desa Karangsari bersama fasilitator desa
(a), Rapat rutin petani SJB Kelurahan Pangkut bersama fasilitator desa (b)

231
8.1.2 Insentif dan Disinsentif
Insentif dan disinsentif yang berjalan saat ini belum
terlembagakan, bersifat insidentil dan sengaja diciptakan untuk
menarik petani mengadopsi SJB. Sebagai contoh, di Jambi dan di
Kalimantan Tengah diselenggarakan Sekolah Jangka Benah pada
berbagai level. Pada level provinsi Sekolah Jangka Benah tidak hanya
melibatkan petani SJB tetapi juga KPH dan instansi terkait untuk
memberikan pemahaman tentang implementasi SJB di tingkat
tapak dan hal lain yang terkait. Misalnya, di Jambi diselenggarakan
Sekolah Jangka Benah dengan topik Sistem Informasi Penerimaan
Negara Bukan Pajak (SI-PNBP) dan Penyusunan Rencana Kerja
Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) KTH. Dalam
rangkaian kegiatan ini juga dilakukan pengesahan RKU dan RKT
beberapa KTH di Desa Sungai Jernih yang mencakup kegiatan
Jangka Benah untuk penyelesaian keterlanjuran kebun sawit
monokultur di dalam kawasan hutan.
Sekolah Jangka Benah Mikro diselenggarakan pada level
KTH atau Desa dengan mengangkat tema yang disesuaikan
dengan kebutuhan kelompok atau petani SJB dan untuk
membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
petani di lapangan. Sekolah Jangka Benah Mikro pada umumnya
dilaksanakan di lokasi yang berdekatan dengan plot SJB. Sebagai
contoh, Sekolah Jangka Benah Mikro diselenggarakan di Desa
Sungai Jernih tentang pembuatan pupuk kompos dari limbah
pelepah sawit. Pupuk kompos ini dapat dimanfaatkan sebagai
input pupuk organik pada lahan agroforestri sawit yang mereka
kelola atau dijual untuk menambah penghasilan petani. Sebagai
tindak lanjut dari petani membentuk Kelompok Usaha Perhutanan
Sosial (KUPS) dengan produksi pupuk kompos sebagai salah satu
usahanya. Saat ini telah terbentuk dua KUPS yakni KUPS Saung
Hijau yang dikelola oleh KTH Soko Tulang dan KUPS Makmur
Sejahtera yang dikelola oleh KTH Kasang Panjang. Jenis produk
yang dihasilkan oleh KUPS Saung Hijau adalah bibit tanaman
kehutanan, perkebunan, dan MPTS sedangkan KUPS Makmur
Sejahtera adalah pupuk organik.

232
Sekolah Jangka Benah Mikro juga diselenggarakan di Desa
Karangsari Provinsi Kalimantan Tengah dengan topik budidaya
lebah kelulut. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini, Pemerintah
Desa mengalokasikan Dana Desa untuk membantu pengadaan
stup lebah kelulut. Disamping itu, Tim SJB UGM juga memberika
lima unit stup lebah kelulut bagi lima petani SJB terbaik. Selain
itu, Sekolah Jangka Benah Mikro juga diselenggarakan dengan
tema community development yang berisi informasi mengenai
pengelolaan persemaian, perlakuan tanaman, dan kewirausahaan
kehutanan.

(a) (b)
Gambar 8.4 Dokumen pembentukan KUPS Makmur Sejahtera (a), Dokumen
pembentukan KUPS Saung Hijau (b)

(a) (b)
Gambar 8.5. Sosialisasi budidaya lebah kelulut di Desa Karangsari, Kalimantan
Tengah (a), Sekolah Jangka Benah Mikro di Kelurahan Pangkut, Kalimantan
Tengah (b)

233
Disamping Sekolah Jangka Benah, peningkatan kapasitas
petani juga dilakukan dengan melakukan kunjungan ke instansi
lain. Seperti yang dilakukan oleh petani SJB Desa Sungai Jernih
mereka melaksanakan kunjungan ke PT. Wana Karya Sakti dan
petani SJB Desa Karangsari dan Pangkut melakukan kunjungan
ke persemanian BPDASHL Kahayan. Studi lapangan ini dilakukan
untuk memperoleh informasi terkait persemaian dan pembibitan
tanaman hutan yang dikelola secara modern. Kegiatan ini
memberikan informasi kepada petani bahwa kesediaan bibit
dan media tanam sangat mempengaruhi hasil tanaman yang
dibudidayakan. Setelah kegiatan ini, petani di Desa Sungai Jernih
dan Desa Karangsari mulai melakukan uji coba pembuatan
persemaian secara mandiri berdasarkan informasi yang didapatkan.

(a) (b)
Gambar 8.6. Petani SJB di Desa Sungai Jernih mengunjungi persemaian
modern PT. WKS (a), Petani SJB memperhatikan proses penyiapan persemaian
oleh pegawai PT. WKS (b)

Gambar
Gambar 8.8. Petani8.7.
SJBPetani SJBKarangsari
di Desa di Desa Karangsari dan
dan Pangkut Pangkut mengunjungi
mengunjungi persemaian permanen
persemaian permanen BPDASHL Kahayan
BPDASHL Kahayan

234
Mekanisme insentif dan disinsentif bagi petani belum jelas karena memang dalam
peraturan yang ada belum diatur secara jelas atau petani belum dapat melihat menfaat secara
Mekanisme insentif dan disinsentif bagi petani belum jelas
karena memang dalam peraturan yang ada belum diatur secara jelas
atau petani belum dapat melihat menfaat secara jelas yang dapat
diperoleh dari implementasi SJB untuk penyelesaian kebun sawit
rakyat di dalam kawasan hutan. Sebagai contoh, sebagian petani SJB
di Desa Sungai Jernih masih melihat bahwa kewajiban membayar
PNBP dari produk SJB merupakan disinsentif dan memberatkan
padahal hal ini merupakan konsekuensi dan kewajiban dari
pemegang izin PS. Hal ini karena petani yang belum menerapkan
SJB tidak menjapatkan disinsentif yang jelas.

8.1.3 Infrastruktur dan Informasi


Infrastruktur yang kuat dan manajemen informasi yang
baik akan dapat mendukung berjalannya fungsi lembaga SJB
dengan baik. Selama dua tahun implementasi SJB, kelompok tani
di Desa Karangsari dan Desa Pangkut di Kalimantan Tengah telah
mendapatkan bantuan Kebun Bibit Desa (KBD) dari BPDASHL
Kahayan dan Desa Sungai Jernih mendapat bantuan KBD dari
Tim SJB. Untuk mendukung operasional KBD, petani juga
mendapatkan pelatihan pembuatan bibit. Bantuan KBD ini sangat
membantu dalam menyediakan bibit tanaman untuk pembangunan
agroforestri sawit di desa-desa tersebut.

Gambar 8.8. Pembangunan


Gambar 8.9. Pembangunan Kebun
Kebun Bibit DesaBibit Desa (KBD)
(KBD) DesaDesa Karangsari,Kalimantan
Karangsari, Kab Teng
Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah atas dukungan BPDASHL Kahayan

Manajemen informasi dan pengetahuan memegang peranan penting dalam 235 implem
B di tingkat tapak. Distribusi informasi dapat berpengaruh pada tingkat adopsi SJB di ti
Manajemen informasi dan pengetahuan memegang peranan
penting dalam implementasi SJB di tingkat tapak. Distribusi
informasi dapat berpengaruh pada tingkat adopsi SJB di tingkat
tapak. Asimetrik informasi yang diterima oleh petani seperti
informasi tentang produktivitas sawit campur dapat mempengaruhi
keputusan petani dalam mengadopsi SJB (Susanti 2021). Saat ini
produksi pengetahuan tentang SJB dan agroforestri sawit terus
dilakukan oleh tim SJB melalui penerbitan berbagai jenis publikasi,
tidak hanya publikasi ilmiah tetapi juga publikasi yang dapat
menjangkau publik yang lebih luas.

8.1.4 Property Right/Hak Kepemilikan


Property right/hak kepemilikan memegang peranan penting
untuk mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan (Yang et al.
2021). Kejelasan hak atas lahan hutan akan dapat meningkatkan
produktivitas lahan (Bray et al. 2008) dan menekan laju deforestasi
dan degradasi lahan hutan (Puppim de Oliveira 2008). Sebagai
contoh, KTH Kasang Panjang di Sungai Jernih yang telah
memegang izin PS, menunjukkan keseriusan dalam implementasi
SJB. Ma’mun Murod (petani SJB Desa Sungai Jernih) merupakan
salah satu contoh champion dalam implementasi SJB yang telah
menganggap bahwa mengadopsi SJB merupakan bagian dari
investasi jangka panjang bagi petani. Ma’mun Murod juga telah
berkontribusi sebagai narasumber pada Sekolah Jangka Benah dan
seminar nasional yang membahas tentang agroforestri sawit rakyat
di kawasan hutan.

“Tim SJB diharapkan mampu memastikan legalitas yang


didapatkan petani tidak mengganggu akses yang sudah berjalan
sebelumnya”
Prof. Ahmad Maryudi (dalam FGD 2 Tahun Implementasi SJB,
17 Desember 2021)
Munculnya Ma’mun Murod sebagai tokoh petani SJB
diharapkan mampu memotivasi petani sawit rakyat monokultur
lainnya untuk mengadopsi konsep Jangka Benah. Secara khusus,

236
Ma’mun Murod diharapkan mampu menginspirasi petani SJB
lainnya untuk menjalankan program SJB secara sungguh-sungguh.
Petani diharapkan menyadari bahwa manfaat tanaman kehutanan
yang dibudidayakan di lahan sawit sepenuhnya milik masyarakat,
pihak lain hanya bertugas untuk memfasilitasi kegiatan yang ada.
Firmansyah, petani SJB dari Desa Karangsari juga sudah
melihat SJB sebagai investasi karena sudah melihat dan merasakan
dampak langsung dari pembangunan agroforestri sawit. Dampak
utama yang dirasakan adalah dampak terhadap lingkungan yaitu
munculnya kembali satwa seperti burung serta memunculkan air
tanah yang mampu menjadi solusi permasalahan trek pada sawit
petani. Tanaman kehutanan dianggap mampu menyerap dan
menyimpan cadangan air di lahan sawit petani.

“Adanya harapan legalitas yang mampu diwariskan ke anak cucu


saya nanti dan kembalinya ekosistem jenis-jenis burung serta ular
dan yang paling terasa bagi kami adalah keberadaan air tanah.
Dengan adanya air tanah, sawit kami yang biasanya ngetrek
sudah mulai terpecahkan solusinya dengan tanaman kayu yang
mampu menyimpan cadangan air disekitar kebun sawit kami”
Firmansyah (dalam Sekolah Jangka Benah Online Seri #4,
28 Desember 2021)

8.1.5 Pengendalian Perilaku


Sebuah lembaga seharusnya mempunyai aturan main yang
dapat mengatur dan mengendalikan perilaku serta mencegah
terjadinya opportunistic behaviour dari anggotanya. Sebagai contoh,
pengesahan RKU dan RKT enam KTH di Desa Sungai Jernih
dimana SJB merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan.
RKU dan RKT ini menjadi panduan bagi para pegang izin dalam
berperilaku mengelola sumderdaya hutan pada umumnya dan
implementasi. Sayangnya masih banyak KTH atau pemangang izin
PS yang belum menyusun RKU dan RKT atau sudah menyusun
tetapi belum disyahkan. Masih banyak juga pemegang izin PS

237
dengan keterlanjuran kebun sawit monokultur di dalam area
izinnya, tetapi belum memasukkan SJB pada dokumen RKU dan
RKT. Diharapkan pengesahan RKU dan RKT yang dilakukan oleh
KTH di Desa Sungai Jernih dapat menjadi percontohan bagi petani
SJB lain di Provinsi Kalimantan Tengah khususnya dan bagi petani
sawit rakyat lainnya.

8.1.6 PERATURAN DAN HUKUM


Pada bagian lain pada buku ini, telah diuraikan bahwa SJB
merupakan bagian dari upaya keterlanjuran keberadaan kebun
sawit di dalam Kawasan hutan. Namun demikian, meskipun sudah
diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan Menteri LHK,
implementasi SJB di tingkat tapak masih bersifat keproyekan dan
belum melembaga.

“Kami berharap kegiatan SJB ini bisa berlanjut dengan melakukan


sinergi bersama pemerintah daerah utamanya, serta pemerintah
pusat sehingga tidak berhenti pada sifatnya project saja tetapi
akan lebih sustain dikembangkan atau direplikasi pada lokasi-
lokasi lain diluar Jambi dan Kalimantan Tengah”
Dr. Dimas Deworo (dalam FGD 2 tahun implementasi SJB,
17 Desember 2021)
Selain peraturan dan hukum yang dapat memayungi,
implementasi SJB di tingkat tapak juga perlu dukungan dari
pemerintah daerah termasuk pemerintah desa dan KPH.
Pemerintah daerah dapat membuat peraturan yang mendukung
implementasi SJB yang sesuai dengan tipologi di daerah setempat.
KPH dapat melakukan pendampingan dalam pelaksanaan SJB pada
tingkat tapak bersama fasilitator desa. KPH juga berperan penting
dalam transfer informasi tentang kebijakan pengelolaan hutan
kepada petani sawit yang berada dibawah wilayah pengelolaan
KPH.

238
ntang kebijakan pengelolaan hutan kepada petani sawit yang berada dibawah w
ngelolaan KPH.

Gambar 8.9. Koordinasi Fasilitator Desa Pangkut


Gambar 8.12. Koordinasi Fasilitator DesaKotawaringin
dengan KPHP Pangkut dengan
Barat KPHP Kotawaringin Barat

8.2 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SJB


2. Pengembangan8.2.1 Kelembagaan
Organisasi SJB
Strategi Jangka Benah memerlukan organisasi/lembaga yang
2.1 Organisasi memiliki peran yang berbeda, yang dapat dibedakan menjadi
lembaga operator, lembaga regulator, dan lembaga kontrol.
Strategi Jangka Benah memerlukan organisasi/lembaga yang memiliki peran yang be
Lembaga Operator ini merupakan lembaga yang secara langsung
ng dapat dibedakan menjadikegiatan
melaksanakan lembagaoperasional
operator, lembaga regulator,
strategi jangka dan di
benah lembaga ko
mbaga Operatorlapangan. Lembaga regulator
ini merupakan lembaga bertugas
yang dalam
secaramenyusun
langsungkebijakan
melaksanakan ke
dan peraturan yang menjadi payung regulasi pelaksanaan strategi
erasional strategi jangka
jangka benah
benah, di lapangan.
sehingga Lembaga
pelaksana regulator
jangka benah bertugas dalam men
mendapatkan
bijakan dan peraturan yangperlindungan
kepastian dan menjadi payung regulasi pelaksanaan
hukum/peraturan. strategi
Pemerintah, baik jangka b
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah dua lembaga
hingga pelaksana jangka benah mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum/pera
regulator. Lembaga kontrol berperan untuk mengontrol dan
merintah, baikmengawasi
pemerintah pusat maupun
pelaksanaan pemerintah
kebijakan strategi daerah adalah dua lembaga regu
jangka benah.
mbaga kontrol berperan
Lembagauntuk mengontrol
operator danjangka
strategi mengawasi
benahpelaksanaan
berdasarkan kebijakan st
ngka benah. regulasi yang ada adalah pemegang ijin/persetujuan perhutanan
sosial. Sesuai dengan isi Pasal 213 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Lembaga operator strategi jangka benah berdasarkan regulasi yang ada adalah pem
239 Pemerinta
n/persetujuan perhutanan sosial. Sesuai dengan isi Pasal 213 ayat 1 Peraturan
/2021 tentang penyelenggaraan Kehutanan, Pemilik kebun rakyat yang berada di Ka
No. 23/2021 tentang penyelenggaraan Kehutanan, Pemilik kebun
rakyat yang berada di Kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung,
dan Hutan Produksi sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun tentang Cipta Kerja yang memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan, dapat mengajukan persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial dalam jangka waktu tertentu yang
selanjutnya dilakukan penanaman pohon dalam rangka jangka
benah. Selanjutnya pemegang ijin/persetujuan Perhutanan Sosial
di mana di dalam area kerjanya terdapat tanaman sawit mempunyai
kewajiban untuk menerapkan strategi jangka benah yang meliputi:
a. menyusun rencana Jangka Benah sebagai bagian rencana
Kelola Perhutanan Sosial;
b. penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang
disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial;
c. penanaman tanaman kehutanan paling sedikit 100 (seratus)
batang per hektar paling lambat 1 (satu) tahun setelah
mendapatkan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial
dengan menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya
sesuai dengan tapak ekologinya di sela-sela tanaman sawit
d. tidak melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama
masa Jangka Benah.

Strategi Jangka Benah sebagai opsi penyelesaian tanaman


sawit rakyat di dalam kawasan hutan telah mendapatkan dasar
hukum yang tertuang dalam beberapa regulasi yang dilekuarkan
oleh pemerintah. Sejauh ini peran regulator dalam konteks strategi
jangka benah masih dimainkan secara sentral oleh pemerintah
pusat melalui penerbitan undang-undang, peraturan pemerintah,
dan peraturan menteri. Peran regulasi pemerintah daerah belum
muncul, sehingga diharapkan ke depannya perlu juga payung
kebijakan yang dapat mendorong strategi jangka benah yang
muncul dari inisiatif pemerintah daerah. Pemerintah daerah
seharusnya dapat mengeluarkan kebijakan daerah yang sesuai
dan atau diperlukan untuk mendukung implementasi jangka
benah di tingkat tapak. Sebagai contoh kebijakan terkait dengan

240
alokasi anggaran daerah untuk mendukung implementasi SJB di
tingkat tapak terutama pada kebun rakyat. KPH dapat menyusun
program fasilitasi KTH untuk implementasi SJB. Desa dapat juga
mengeluarkan peraturan desa terkait alokasi dana desa untuk
mendukung kegiatan SJB di tingkat tapak.
Selain berperan dalam menyusun kebijakan dan peraturan,
pemerintah berperan dalam pembinaan dan penguatan kapasitas/
kapabilitas lembaga operator. Pasal 178 ayat (6) menjelaskan
“Pelaksanaan Jangka Benah oleh Pemegang Persetujuan Perhutanan
Sosial mendapatkan pembinaan dari Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah”. Lebih lanjut, pembinaan dalam Jangka Benah
dijelaskan dalam Pasal 178 ayat (7) bahwa “Pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) meliputi: (a) bimbingan teknis Jangka
Benah; (b) peningkatan kapasitas sumber daya manusia; (c) bantuan
penyediaan bibit tanaman kehutanan; dan/atau (d) pengawasan
dan pengendalian. Dalam pelaksanannya, peningkatan kapasitas
ini dapat dilakukan oleh UPT pemerintah pusat yang berada di
daerah. Misalnya, BPDAS selain memberikan bantuan bibit dan
KBD dapat juga memberikan pelatihan cara pembuatan bibit.
BPKH dapat memberikan pelatihan pengisian SI-PNBP untuk
hasil hutan dari lahan SJB.
Kebijakan dan peraturan yang dibuat dan disepakati harus
dilaksanakan oleh semua pihak sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya masing-masing. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut
diperlukan lembaga yang mengontrol dan mengawasinya. Peran
pengendalian dan pengawasan ini dapat dilaksanakan oleh lembaga
pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Peran kontrol dari
lembaga pemerintah dapat dilakukan melalui pengesahan dan
dokumen RKU dan RKT dari setiap KTH yang mendapat izin
PS. Peran kontrol ini seharusnya ditujukan untuk memastikan
berlangsungnya kegiatan pemulihan ekosistem hutan untuk
mendukung ekonomi rakyat yang berkelanjutan. Lembaga non-
pemerintah yang dapat berperan sebagai pengontrol dan pengawas
misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi-organisasi
kemasyarakatan lain yang memiliki kepentingan atau ketertarikan
dengan masalah penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan.

241
Tabel 1. Organisasi/ Lembaga SJB dan Perannya

Organisasi/ Peran
Contoh peran
Lembaga R F O K
Pemerintah Pusat √ Penerbitan undang-undang,
peraturan pemerintah dan peraturan
menteri untuk mendukung
implementasi SJB di tingkat tapak
Bersama-sama dengan Pemerintah
Daerah dan KPH melakukan
monitoring dan evaluasi implementasi
SJB di tingkat tapak
UPT Pemerintah √ √ Mengalokasikan anggaran untuk
Pusat kegiatan SJB di tingkat tapak
Memfasilitasi peningkatan kapasitas
petani melalui berbagai pelatihan
yang terkait dengan implementasi SJB
Memberikan bantuan langsung
seperti bibit dan sejenisnya yang
mendukung pelaksanaan SJB di
tingkat tapak
Pemerintah √ √ √ Menerbitkan Peraturan Daerah untuk
Daerah (Provinsi mendukung implementasi SJB di
dan Kabupaten) tingkat tapak
Mengalokasikan anggaran daerah
untuk mendukung implementasi SJB
di tingkat tapak
Memfasilitasi peningkatan kapasitas
petani melalui pelatihan yang
diselenggarakan oleh Dinas terkait
untuk mendukung implementasi SJB
di tingkat tapak
Bersama-sama dengan Pemerintah
Pusat dan KPH melakukan monitoring
dan evaluasi implementasi SJB di
tingkat tapak

242
Organisasi/ Peran
Contoh peran
Lembaga R F O K
KPH √ √ Mengalokasikan anggaran untuk
kegiatan yang mendukung
implementasi di tingkat tapak
Merancang kegiatan untuk
mendukung implmenetasi SJB di
tingkat tapak
Melakukan pendampingan kelompok
tani untuk implementasi SJB
Bersama-sama dengan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah
melakukan monitoring dan evaluasi
implementasi SJB di tingkat tapak
Pemerintah Desa √ √ Mengalokasikan dana desa untuk
mendukung implementasi SJB pada
kebun rakyat
Merancang kegiatan di desa untuk
mendukung implementasi SJB pada
kebun rakyat
Kelompok Tani √ Menyusun RKU dan RKT yang
mencakup implementasi SJB pada
izin PS
Melakukan kegiatan pembangunan
agroforestri sawit untuk
menyelesaikan keterlanjuran
keberadaan sawit monokultur di
dalam kawasan hutan.
Keterangan: R = Regulator, F= Fasilitator, O = Operator, K= Kontrol

8.2.2 Insentif dan Kejelasan Hak Kelola


Insentif dapat didefinisikan secara luas, sebagai segala sesuatu
yang memotivasi atau merangsang orang bertindak (Giger,1996).
Insentif, khususnya insentif ekonomi memainkan peran penting
dalam upaya-upaya pelestarian dan perbaikan sumberdaya alam,
termasuk juga dalam strategi jangka benah yang merupakan
serangkaian tindakan untuk mengembalikan struktur dan fungsi
tanaman sawit monokultur di dalam kawasan hutan menjadi
struktur dan fungsi hutan sebagaimana mestinya. Peran insentif ini
bisa bekerja dalam berbagai tingkatan baik pada level masyarakat
(lokal) sampai tatanan masyarakat global.

243
Emerton (1999) menjelaskan bahwa insentif dapat
didefinisikan sebagai bujukan khusus yang dirancang dan
diimplementasikan untuk mempengaruhi atau memotivasi
orang untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam konteks
pelesatarian alam, insentif ekonomi berkaitan dengan upaya-upaya
untuk menjadikan sesuatu lebih bernilai dalam hal keuangan
dan mata pencaharian untuk masyarakat ketika masyarakat
mempertahankan atau memperbaiki kualitas sumberdaya alam
(termasuk hutan), bukannya merusak sumberdaya tersebut dalam
aktivitas ekonomi atau mempertahankan penghidupan (livelihood)
sosial ekonominya.
Lebih lanjut, Emerton (1999) mengkategorikan tipe atau jenis
insentif yang dapat digunakan dalam upaya-upaya pelestarian alam,
yaitu: insentif langsung (direct incentive), insentif tidak langsung
(indirect incentive) dan disinsentif (disincentive). Insentif langsung
merupakan mekanisme yang ditargetkan untuk tujuan tertentu
dan mendorong masyarakat untuk melestarikan alam dengan
memberikan penghargaan (reward) bersyarat untuk perilaku
yang berubah sesuai yang diharapkan pemberi penghargaan.
Insentif tidak langsung adalah mekanisme yang mendorong
orang untuk melestarikan alam dengan menetapkan kondisi
yang memungkinkan (enabling condition) sehingga masyarakat
dengan sendirinya melakukan tindakan pelestarian alam. Adapun
disinsentif merupakan mekanisme yang dapat mencegah atau
menghilangkan/mengurangi intensi orang/kelompok orang untuk
bertindak tertentu yang tidak diinginkan misalnya beraktivitas yang
dapat menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan dan lingkungan.
Berdasarkan tiga kategori insentif dalam upaya pelestarian
atau upaya-upaya untuk memperbaiki struktur dan fungsi kawasan
hutan maka insentif (ekonomi) yang dapat diberikan kepada
komunitas atau kelompok pemegang ijin/persetujuan perhutanan
sosial untuk menerapkan strategi jangka benah dapat berupa: (a)
Property right, (b) Livelihood, (c) Market, (d) Fiscal, (e) Financial.
Penjelasan dari bentuk-bentuk insentif akan diuraikan berikut ini.

244
a. Property right/hak kepemilikan terhadap lahan hutan dan aset-
aset yang berada di kawasan/lahan hutan. Pengakuan legalitas
lahan dan legalitas usaha dari komoditas yang diusahakan
di kawasan perhutanan sosial (termasuk legalitas produk
Tandan Buah Segar sawit yang dihasilkan petani SJB) adalah
contoh-contoh yang dapat dikemukakan wujud insentif hak
kepemilikan atas lahan dan hak atas tanaman yang ada di
lahan yang mampu memberikan kepastian berusaha bagi
masyarakat termasuk menjamin inventasi atas tanaman sawit
yang terlanjur di tanaman dapat diambil manfaatnya secara
legal.
b. Livelihood (penghidupan sosial ekonomi), merupakan upaya-
upaya untuk memperkuat dan mendiversifikasi sumber-
sumber penghidupan rumah tangga anggota kelompok
perhutanan sosial yang menerapkan strategi jangka benah.
Praktek budidaya sawit monokultur modern di Indonesia
mulai diterapkan sejak komoditas ini dikenalkan sebagai
tanaman industri perkebunan pada tahun 1970an. Dengan
strategi pembangunan kebun inti dan plasma yang melibatkan
masyarakat desa di sekitar lokasi perkebunan, maka dengan
mudah transfer teknologi budidaya sawit dari industri ke
masyarakat. Hal inilah yang selanjutnya secara perlahan turut
merubah struktur sosial budaya masyarakat, termasuk dalam
praktek pengolahan lahan. Telah terjadi tranformasi besar-
besaran pada pola pengolahan lahan oleh masyarakat desa
pada berbagai pulau utama di Indonesia yaitu di Sumatra,
Kalimantan dan Papua sejak tahun 2000, periode dimana
kebun sawit mulai dibudidayakan secara luas. Sebagian
besar masyarakat desa sudah beralih dari yang sebelumnya
mengelola hutan dan kebun campur menjadi petani sawit
monokultur yang digerakkan oleh praktek kapitalis. Praktek
ini yang selanjutnya dikritisi oleh Semedi (2014) sebagai
perusak tatanan sosial. Sesungguhnya, praktek mencampur
tanaman perkebunan seperti sawit dengan tanaman
kehutanan penghasil kayu, buah maupun getah sudah
banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia di berbagai

245
wilayah. Bahkan, mereka punya islah atau nama tersendiri
untuk lahan kebun campur tersebut. Misalnya simpukan di
Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, repong
di Lampung Barat, para di Sumatera Barat, dan talun di Sunda
(Zakaria et al. 2018). Hasil pengamatan kami menunjukkan
bahwa bahwa praktek agroforestri sawit telah diadopsi oleh
banyak petani di berbagai wilayah Indonesia pada skala yang
terbatas (terutama pada luas kepemilikian lahan <5 Ha) dan
belum berkembang secara luas karena sifatnya trial and error.
Dengan melakukan jangka benah melalui praktek mencampur
sawit dengan tanaman kehutanan sesungguhnya telah
mengembalikan budaya pengolahan lahan oleh masyarakat
desa. Kebun campur merupakan bentuk kearifan lokal yang
seringkali dipilih untuk diversifikasi pendapatan rumah
tangga sehingga masyarakat dak tergantung oleh komoditas
tunggal yang rentan terhadap fluktuasi harga. Dalam hal ini,
maka melakukan jangka benah sesungguhnya juga upaya
negara untuk menjaga resiliensi rumah tangga petani sawit.
c. Market (pasar), menjamin rasionalitas harga-harga komoditas
yang dihasilkan dari kegiatan yang diusahakan dari kelola
kawasan perhutanan sosial dan strategi jangka benah,
menjamin serapan pasar komoditas strategi jangka benah.
d. Fiscal (fiskal), kebijakan fiskal dari pemerintah pusah/daerah
yang diwujudkan dalam kebijakan pajak dan subsidi yang
mampu mendorong masyarakat untuk lebih giat dalam
menerapkan strategi jangka benah.
e. Financial (keuangan), bagaimana pemerintah dan para
pihak memfasilitasi pergerakan sumberdaya keuangan untuk
pembiayaan kegiatan strategi jangka benah. Karena SJB sudah
menjadi kebijakan nasional, maka menjadi konsekuensi logis
bahwa kebijakan tersebut harus diikuti dengan pengalokasian
pendanaan baik yang bersumber dari APBN atau APBD.
Alokasi APBN atau APBD dapat berasal dari penerimaan
negara yang berasal dari pajak maupun bukan pajak (seperti
provisi sumberdaya hutan, iuran ijin pemanfaatan hutan, dan
dana reboisasi). Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor kehutanan

246
atau sektor sawit yg hingga saat ini masih idle di daerah
juga dapat didorong pemanfaatannya untuk mendukung
implementasi SJB.

Tabel 2. Kategori Insentif Ekonomi Untuk Strategi Jangka Benah


Tipe Insentif
Bentuk Insentif Insentif Tidak
Insentif langsung Disinsentif
Langsung
Hak Kepemilikan Kejelasan hak kelola lahan dan Penegakan hukum bagi
tanaman yang ada di lahan, pemanfaatan lahan yang
legalisasi/ijin perhutanan sosial, tidak berkelanjutan
legalisasi komoditas sawit yang telah
menerapkan strategi jangka benah
Penghidupan Diversifikasi Pembagunan
Sosial-Ekonomi sumber-sumber wilayah
penghidupan pedesaan
terutama
infrastruktur
Pasar Fasilitasi Membangun Hambatan pasar
pemasaran jejaring industri untuk komoditas yang
komoditas yang sebagai off- dihasilkan dari praktek
dihasilkan dari taker komoditas pemanfaatan lahan yang
strategi jangka strategi jangka tidak berkelanjutan
benah benah
Fiskal Pemberian subsidi, pengenaan tarif Pengenaan pajak
pajak dan pungutan yang lebih lingkungan, pembedaan
rendah bagi pemegang ijin yang telah tarif pajak atau pungutan
menerapakan strategi jangka benah yang lebih tinggi dari
lahan dan komoditas
yang dihasilkan bagi
pelaku yang tidak
menerapkan strategi
jangka benah
Finansial Penyediaan Pengenaan sanksi
pinjaman, kredit, keuangan bagi
bantuan untuk pelanggaran,
pengembangan pemanfaatan sumberdaya
komoditas yang tidak berkelanjutan
selain sawit dan illegal
Sumber: Emerton (1999) dengan modifikasi untuk kasus Strategi Jangka Benah

8.2.3 Pengendalian Perilaku Oportunistik dan Penegakan Hukum


Perilaku oportunistik didefiniskan sebagai mencari
kepentingan pribadi atau diri sendiri dengan menggunakan tipu

247
daya. Tingkah laku oportunistik dapat dijabarkan dalam beberapa
tindakan dan perilaku manusia atau organisasi yang bertentangan
dengan tujuan baik yang diinginkan manusia. Teori institusi
menunjukkan bahwa tindakan atau tingkah laku oportunistik
termasuk perilaku menyimpang yang dapat diklasifikasikan ke
dalam korupsi, penyuapan, free rider dan moral hazard. Strategi
Jangka Benah merupakan upaya perbaikan struktur dan fungsi
hutan yang harus melibatkan banyak pihak yang dimungkinkan
memiliki heterogenitas dalam hal pengetahuan, motivasi,
kepentingan dan kekuatan, harapan, manfaat. Namun demikian,
berbagai keragaman dari berbagai pihak tersebut harus dibingkai
dalam kesatuan aksi bersama yang memerlukan rasa saling percaya.
Apabila terdapat perilaku oportunistik dari satu atau beberapa
pihak maka akan terjadi kegagalan munculnya aksi kolektif
tersebut. Perilaku oportunistik memiliki pengaruh negatif terhadap
rasa saling percaya di antara para pihak yang bekerjasama.
Pengendalian atas tingkah laku oportunistik dapat dilakukan
dengan penegakan hukum dalam institusi formal dan aturan lokal
dalam institusi lokal. Masyarakat dan institusi adat mempunyai
hukum adat dengan sanksi atau hukuman yang cukup memadai
atau efektif di masa lampau. Di dalam lingkungan sosial masyarakat
sering menggunakan “hukum sosial” yang tidak tertulis tetapi
berupa sikap dan tindakan yang bisa menyebabkan orang
yang melanggar norma, etika, dan hukum akan merasa malu
dan dilecehkan. Dalam konteks SJB, perilaku para stakeholder
seharusnya diarahkan pada penyelesaian keterlanjuran keberadaan
kebun sawit rakyat monokultur di dalam kawasan hutan dan
pemulihan ekosistem hutan untuk mendukung kegiatan ekonomi
rakyat yang berkelanjutan.

8.2.4 Monitoring yang Efektif dan Didukung Infrastruktur


Informasi yang Tanggguh
Strategi jangka benah memerlukan sistem monitoring
yang berbasis informasi ilmiah yang dikombinasikan dengan
pengetahuan masyarakat lokal, sesuai dengan skala/lingkup
kejadian dan keputusan lingkungan, serta hemat dari sisi biaya.

248
Dalam sistem monitoring strategi jangka benah, informasi yang
diliput tidak terbatas hanya kondisi faktual saja namun informasi
mengenai resiko dan ketidakpastian di masa mendatang menjadi
aspek yang penting dalam pengambilan keputusan saat ini.
Infrastruktur informasi yang tangguh sehausnya mudah
diakses oleh semua stakeholder yang terlibat akan dapat
meningkatkan transparansi dan mengurangi asimetric information.
Data hasil monitoring dan data kegiatan seharusnya tercatat,
tersimpan dengan baik, dan dapat digunakan kembali untuk
mendukung pengambilan keputusan pengelolaan, seperti
penjadwalan perlakuan silvikultur berdasarkan tempat dan waktu,
pengaturan hasil, strategi pengolahan hasil dan pemasarannya.

PENUTUP
Strategi Jangka Benah sebagai opsi penyelesaian kebun
sawit rakyat di dalam kawasan hutan telah menjadi kebijakan
formal paska terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Belajar
dari pengalaman masa lalu bahwa terdapat sejumlah kebijakan
dan regulasi yang bertujuan untuk menyelesaikan sawit di dalam
kawasan hutan, namun banyaknya kebijakan dan regulasi tersebut
tidak diikuti dengan aksi efektif di lapangan.
Telah banyak referensi yang menunjukkan bahwa kinerja
pembangunan kehutanan ditentukan oleh kapasitas kelembagaan.
Hasil-hasil studi tersebut memberikan pelajaran bahwa sejumlah
kebijakan, program, dan proyek kehutanan baik yang diinisiasi
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seringkali tidak
efektif berjalan karena belum disertai dengan upaya penguatan
kelembagaan. Lemahnya kelembagaan terbukti diikuti oleh
kegagalan implementasi kebijakan untuk mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, upaya membangun kelembagaan sebagai syarat
berjalannya suatu kebijakan, program menjadi suatu keniscayaan.
Kelembagaan yang intinya adalah aturan main (rule of the
game) baik aturan formal maupun non-formal dimana manusia dan
organisasi berinteraksi dan bekerja dalah kunci dalam pengelolaan
sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan. Strategi jangka

249
benah merupakan bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan
dalam pengelolaan hutan, dalam konteks upaya perbaikan
struktur dan fungsi tananam sawit monokultur menjadi ekosistem
yang semakin mendekati ekosistem hutan. Dalam konteks SJB,
kelembagaan merupakan salah satu aspek penting untuk menjamin
keberhasilan implementasi SJB di tingkat tapak. SJB sebagai pilihan
strategi pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan tidak hanya
memerlukan aspek teknis seperti pelihan jenis, pola tanam, dan
tindakan budidaya tanaman lain, namun harus juga mencakup
serangkaian tindakan yang memperhitungkan semua interaksi
antara manusia dan interaksi manusia dengan sumberdaya alam
tersebut. Dalam hal ini, keberhasilan SJB memerlukan adanya
aturan main yang berfungsi untuk memfasilitasi tindakan kolektif,
membimbing, dan membatasi perilaku individu serta organisasi
agar sesuai dengan apa yang dirancang dari penerapan SJB. Ini
merupakan esensi dari kelembagaan SJB.

DAFTAR PUSTAKA
Bray DB, Duran E, Ramos VH, Mas J-F, Velazquez A, McNab RB,
Barry D, Radachowsky J. 2008. Tropical deforestation,
community forests, and protected areas in the Maya
Forest. Ecology and society 13. JSTOR.
Emerton L. 1999. Community-based incentives for nature
conser vation. IUCN-The Wold C onser vation
Union:1–43. Available from http://economics.iucn.org.
Giger. 1996. Incentive System for Natural Resources Management:
The Role of Indirect Incentive. FAO Investment Centre,
Rome.
Puppim de Oliveira JA. 2008. Property rights, land conflicts and
deforestation in the Eastern Amazon. Forest Policy and
Economics 10:303–315.
Semedi P. 2014. Palm oil wealth and rumour panics in West
Kalimantan. Forum for Development Studies 41:233–

250
252. Taylor & Francis. Available from http://dx.doi.org/
10.1080/08039410.2014.901240.
Susanti A. 2021. Smallholders’ oil palm agroforestry in Jambi and
Central Kalimantan: barriers and factors influencing
adoption. Jurnal Ilmu Kehutanan 15:69–81.
Yang Y, Li H, Cheng L, Ning Y. 2021. Effect of Land Property Rights
on Forest Resources in Southern China. Land 10:392.
Multidisciplinary Digital Publishing Institute.
Zakaria RY, Wiyono EB, Firdaus AY, Suharjito D, Muhsi
MA, Suwito, Salam R, Aprianto TC, Uliyah L. 2018.
Perhutanan Sosial: Dari Slogan Menjadi Program.
Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial,
Jakarta.

251
BAGIAN 8 E P I L O G

INOVASI KEBIJAKAN PENYELESAIAN


KETERLANJURAN KEBUN SAWIT RAKYAT
DALAM KAWASAN HUTAN

Oleh:
Bambang Supriyanto

9.1 INOVASI KEBIJAKAN


Tanaman sawit telah menjadi salah satu komoditas yang
memiliki nilai ekonomi cukup tinggi sehingga mampu memegang
peranan penting dalam peningkatan perekonomian nasional. Sejak
tahun 1970-an tanaman sawit telah dikenal sebagai komoditas
pembangunan untuk pengentasan kemiskinan. Oleh karena
itu, pemerintah memberikan berbagai program intensif untuk
meningkatkan produksi minyak sawit sehingga menjadikan kelapa
sawit sebagai komoditas penyumbang devisa negara terbesar selain
dari sektor minyak dan gas bumi (Migas).
Kondisi ekonomi kelapa sawit yang semakin tinggi ini
berdampak pada perluasan perkebunan sawit secara eksponensial
di seluruh penjuru Indonesia. Namun berdampak juga mengenai
masalah lingkungan, terutama banyaknya ekspansi ke dalam
Kawasan hutan. Kebun sawit monokultur di dalam kawasan
hutan semakin meningkat dan menjadi perhatian publik nasional

252
maupun internasional. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi
ekologis kawasan hutan yang terlanjur menjadi kebun sawit namun
tetap memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat yang
mengelola tersebut di terapkanlah konsep Strategi Jangka Benah
(SJB) pada setiap garapan tanaman sawit rakyat tersebut.
Pemer int ah menerapkan kons ep SJB ini dengan
mengadopsinya dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Setelah berlakunya UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(UUCK) kebijakan penyelesaian keterlanjuran kebun kelapa sawit
monokultur di dalam kawasan hutan menjadi lebih jelas dengan
adanya peraturan perundang-undangan turunannya.
Konsep SJB ini telah masuk dalam turunan UUCK
seperti (a) Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan pada pasal 82 ayat (2) dan pasal
213 ayat (1) ; (b) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2021
tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata
Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda
Administrasi di Bidang Kehutanan pasal 27 ayat (4) dan 28 ayat
(3) ; (c ) Permen LHK Nomor 7 tahun 2021 tentang Perencanaan
Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan pasal
332 dan pasal 506 ; dan ( d ) Permen LHK Nomor 08 tahun 2021
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi
pasal 171 dan 172 ; serta ( e ) Permen LHK Nomor 9 tahun 2021
tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial Bab V.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 tentang
penyelesaian keterlanjuran kebun sawit monokultur di dalam
kawasan hutan yaitu melalui pengajuan persetujuan pengelolaan
Perhutanan Sosial dan penerapan Jangka Benah dengan pendekatan
teknik agroforestri yang sudah lama dikenal oleh masyarakat,
sehingga berpeluang besar dapat diterima oleh masyarakat. Pada
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administrasi di Bidang

253
Kehutanan mengatur tentang pemberian sanksi administratif
kepada setiap orang yang melakukan kegiatan pertambangan,
perkebunan, dan atau kegiatan lainnya tanpa memiliki perizinan
dibidang kehutanan. Pada peraturan ini diberikan jangka waktu
tiga tahun sejak berlakunya UUCK bagi para pemegang izin lokasi
dan atau izin usaha perkebunan sawit di dalam kawasan hutan
untuk menyelesaikan persyaratannya dan apabila tidak mampu
untuk memenuhinya maka sanksi administrasi akan diberlakukan
sesuai dengan pasal 3 ayat (4) yang tertuang dalam peraturan
tersebut. Pada pasal 27 ayat (4) dan 28 ayat (3) penerapan skema
jangka benah untuk penyelesaian keterlanjuran kebun sawit di
kawasan hutan dengan penerapan jangka benah tanaman pokok
kehutanan di sela-sela tanaman sawit dengan tidak replanting
tanaman sawit dan setelah selesai satu masa daur yaitu selama 25
tahun wajib mengembalikan areal usaha di dalam kawasan hutan
kepada negara.
Pada Permen LHK Nomor 7 tahun 2021 tentang Perencanaan
Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan pasal
332 pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan wajib
melakukan jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat
kawasan hutan selama jangka waktu 5 (lima) tahun. Pemegang
persetujuan untuk perkebunan wajib mereklamasi dan me-
revegetasi sebagaimana tercantum dalam peraturan. Pada pasal
506 selama penerapan jangka benah tidak diperkenankan untuk
menanam jenis tanaman non-kehutanan.
Permen LHK Nomor 08 tahun 2021 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
di Hutan Lindung dan Hutan Produksi pasal 171 menjelaskan
bahwa pemegang persetujuan atas perkebunan kelapa sawit yang
telah menyelesaikan pembayaran sanksi administratif yang berada
pada areal pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
(PBHP) wajib melakukan kerjasama pengelolaan dengan pemegang
PBHP dengan jangka benah sebagai salah satu materi dalam
kerjasama. Pada pasal 172 mengatur pelaksanaan jangka benah

254
dilakukan dengan mengubah tanaman sawit menjadi tanaman
kehutanan selama satu daur atau 25 tahun sejak penanaman.
Permen LHK Nomor 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan
Perhutanan Sosial Bab V pada pasal 177 ayat (4) penerapan jangka
benah yang dimaksudkan adalah SJB yang meliputi penyusunan
perencanaan jangka benah sebagai bagian dari pengelolaan
Perhutanan Sosial. Teknik penanaman pada SJB menggunakan
teknik agroforestri sesuai dengan kondisi biofisik dan kondisi
sosial, dan penerapan sistem silvikultur atau teknik budidaya.
Penanaman tanaman kehutanan dilakukan di sela-sela tanaman
sawit dengan tidak melakukan penanaman sawit baru selama masa
jangka benah. Mengacu pada Permen LHK Nomor 09 tahun 2021
tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial areal usulan pengelolaan
Perhutanan Sosial yang telah dikelola masyarakat berupa tanaman
sawit yang dilakukan oleh perseorangan dan bertempat tinggal di
dalam atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun
secara terus menerus diberikan paling luas 5 (lima) hektar per
orang.
Kelembagaan atau aturan main (rule of the game) menjadi
aspek penting dalam keberhasilan penerapan SJB yang berfungsi
untuk memfasilitasi tindakan kolektif, membimbing dan membatasi
perilaku individu serta organisasi agar sesuai dengan apa yang
direncanakan dari penerapan SJB. Untuk itu perlu juga adanya
kebijakan pemerintah yang dapat memberikan kejelasan terkait
penyelesaian keterlanjuran kebun sawit di kawasan hutan yang
mana penerapan SJB sebagai resolusinya. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan turunan dari UUCK diatas yang begitu rinci
diatur tentang penyelesaian keterlanjuran kebun sawit monokultur
di kawasan hutan menjelaskan bahwa pemerintah berkomitmen
untuk memberikan kepastian hukum terhadap pengembalian
struktur dan fungsi kawasan hutan secara optimal dengan tetap
memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu perlu
adanya dukungan dari berbagai pihak untuk menyukseskan
implementasi kebijakan tersebut sampai pada tingkat tapak.

255
9.2 PROPOSAL PERSETUJUAN PERHUTANAN SOSIAL
Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) revisi VII
yang dikeluarkan pada bulan Desember 2021 adalah seluas 14,6
juta ha, yang terindikasi tanaman sawit adalah seluas 799.741 Ha,
diantara yang terluas pada 6 Provinsi yaitu: Riau seluas 464.796
Ha, Sumatera Utara seluas 145.248 Ha, Kalimantan Tengah seluas
48.647 Ha, Sumatera Selatan seluas 34.369 Ha, Jambi seluas 23.977
Ha, dan Sumatera Barat seluas 19.053 Ha.
Selain itu terdapat pula pada usulan perhutanan sosial saat
ini yang teridentifikasi terdapat tanaman sawit di Riau seluas
70.178 Ha, Sumatera Selatan seluas 17.435 Ha, Jambi seluas 9.114
Ha, Sumatera Barat seluas 3.997 Ha, Bengkulu seluas 3.625 Ha
dan Kalimantan Tengah seluas 2.708 Ha. Konteks penyelesaian
keterlanjuran kebun sawit monokultur dalam kawasan hutan
tersebut dapat diatasi melalui penerapan konsep SJB.
Proposal untuk mendapatkan persetujuan Perhutanan Sosial
dari keterlanjuran sawit di dalam Kawasan hutan dilakukan melalui
Pokja Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengendalian Implementasi
UU Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Satlakwasdal) yang terbentuk melalui Keputusan Menteri
LHK nomor SK.203/Menlhk/Setjen/KUM./5/2021. Proposal
disampaikan kepada Sekjen LHK selaku ketua utamanya POKJA
V (Konsolidasi Data dan Penyelesaian Keterlanjuran), dan POKJA
VIII (Finalisasi Perhutanan Sosial).
Tugas POKJA V adalah Menginventarisasi data kegiatan
yang telah terbangun dalam kawasan hutan, melakukan telaah
dan analisis data kegiatan yang terbangun dalam kawasan hutan,
melaksanakan diskusi, pembahasan untuk mengkaji pandangan
para pihak terkait regulasi peraturan pemerintah, menyusun
NSPK pelaksanaan peraturan pemerintah, menganalisis regulasi
terkait, menyusun rekomendasi langkah-langkah, implementasi
regulasi penyelesaian kegiatan terbangun dalam kawasan hutan,
dan melaporkan kepada Menteri cq. Pejabat Eselon I yang relevan
untuk Langkah lanjut secara struktural.

256
Tugas POKJA VIII adalah menginventarisasi data kegiatan
masyarakat indikasi sebagai pengelola Perhutanan Sosial,
melakukan telaah dan analisis data kegiatan masyarakat untuk
pengelolaan Perhutanan Sosial, melaksanakan diskusi, pembahasan
untuk mengkaji pandangan para pihak terkait regulasi peraturan
pemerintah, menyusun NSPK pelaksanaan peraturan pemerintah
terkait Perhutanan Sosial, menganalisis regulasi terkait, menyusun
rekomendasi langkah-langkah implementasi pengelolaan
Perhutanan Sosial, mengevaluasi pelaksanaan dalam penyesuaian
aturan dan identifikasi pengelolaan Perhutanan Sosial, dan
membangun pemahaman para pihak tentang penyelenggaraan dan
mengembangkan skenario solusi.
Dalam pasal dengan UUCK nomor 110A itu. Ayat 1
berbunyi: Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang
telah terbangun dan memiliki perizinan di dalam kawasan hutan
sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Hal ini di atur lebih lanjut melalui penerapan asas hukum: ultimum
remidium & restoratif justice yang antar lain mengatur hanya
dikenakan pada kebun sawit di kawasan hutan sebelum berlakunya
UU CK dan punya izin lokasi dan/atau Izin Usaha Perkebunan
yang sesuai Tata Ruang (IUP untuk Korporasi)/Surat Tanda Daftar-
Budidaya (STD-B untuk masyarakat maksimal 25 ha).
Aturan tersebut ada pengecualian bagi masyarakat sekitar
hutan yang diatur melalui pasal 41 PP 24/2021 yang berbunyi
Dalam hal kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak
memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan oleh orang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan
paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dengan
luasan paling banyak 5 (lima) hektar, dikecualikan dari Sanksi
Administratif dan diselesaikan melalui penataan Kawasan Hutan.
Kriterianya adalah sebagai berikut:

257
1. Bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan
Hutan dibuktikan dengan: KTP dan atau surat keterangan
tempat tinggal dan/atau domisili yang diterbitkan oleh Kepala
Desa atau Lurah setempat, yang alamatnya di dalam Kawasan
Hutan atau di desa yang berbatasan langsung dengan Kawasan
Hutan.
2. Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/
atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 tahun secara
terus menerus dibuktikan dengan memiliki tempat tinggal
tetap dan surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Desa
atau Lurah setempat.
3. Orang perseorangan yang menguasai Kawasan Hutan
dengan luasan paling banyak 5 ha dibuktikan dengan: bukti
penguasaan tanah, surat keterangan dari Kepala Desa atau
Lurah setempat atau surat pengakuan dan perlindungan
kemitraan kehutanan termasuk di dalamnya Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
4. Pembuktian terhadap orang perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan
melalui verifikasi teknis.

berdasarkan SK Menteri LHK no. SK.64/Menlhk/Setjen/


Kum.1/1/2022 tentang Penetapan Data dan Informasi Kegiatan
Usaha Yang Telah Terbangun Di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak
Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap IV per tanggal 21
Januari 2022 terdapat 208 permohonan, diantaranya terdapat 124
permohonan terkait Permohonan Perhutanan Sosial.
Dalam verifikasi teknis ditekankan tentang sawit agroforestri
dalam rangka jangka benah melalui pemetaan garapan anggota
Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) dan kesanggupan melaksanakan
jangka benah pada areal tersebut pada tanaman tahunan disela-sela
kebun sawitnya sebanyak 100 pohon per hektar.
Kepada KPS yang telah mendapat persetujuan diwajibkan
menerapkan menerapkan SJB. SJB sendiri merupakan upaya
sosio-teknis-kebijakan untuk memperbaiki struktur dan fungsi
ekosistem hutan yang terlanjur rusak akibat keterlanjuran sawit

258
rakyat di kawasan hutan. Periode jangka benah ini mampu
mencapai kondisi struktur hutan dan fungsi ekosistem sesuai
dengan tujuan pengelolaan hutan melalui penjadwalan tindakan
silvikultur dan perlakuan lainnya seperti pengaturan stok tegakan
untuk mencapai stok tegakan normal yang diinginkan dari kondisi
hutan dan fungsi ekosistem saat ini. Tahapan jangka benah sendiri
ada dua yaitu tahap pertama pengkayaan jenis tanaman hutan
untuk membentuk kebun campur sawit (agroforestri sawit) dengan
tujuan untuk perbaikan struktur dan fungsi kawasan hutan yang
telah terlanjur terganggu oleh adanya kebun sawit monokultur.
Tahap yang kedua yaitu dengan penambahan jenis dan jumlah
tanaman pencampur untuk membentuk struktur vegetasi yang
lebih kompleks (agroforestri kompleks) sehingga terbentuk struktur
multi-layers yang mendekati struktur hutan alam. Pemilihan jenis
tanaman campur pada konsep jangka benah ini yaitu berdasarkan
jenis tanaman yang produktif dan pola tanamnya tepat, dapat
bersifat asosiatif positif dengan tanaman sawit agar semua tanaman
dapat tumbuh dengan baik, serta memiliki nilai ekonomi tinggi,
endemis/lokal, mudah untuk dibudidayakan, dan diutamakan jenis
multipurpose tree species (MPTS). Sehingga, melalui implementasi
SJB ini diharapkan fungsi ekologis kawasan hutan secara optimal
dapat tercapai namun masyarakat juga tetap mendapatkan manfaat
ekonomi dari seluruh tanaman pada lahan kelolanya.
Terdapat tiga pilar utama untuk mencapai keberhasilan
implementasi SJB yaitu legalitas, produktivitas, dan sustainabilitas.
Legalitas yaitu dengan pemberian kepastian hukum bagi
masyarakat yang telah terlanjur melakukan pengelolaan kebun
sawit pada kawasan hutan dan wajib melaksanakan jangka benah.
Produktivitas yaitu menjamin kesejahteraan masyarakat dari
peningkatan nilai dan produktivitas lahan melalui praktik jangka
benah. Sustainabilitas memberikan kepastian bahwa praktik
jangka benah dapat berlangsung dengan baik dengan adanya
kepastian hukum dan produk jangka benah dapat diterima oleh
para mekanisme pasar. Selain itu kelembagaan SJB juga diperlukan
untuk keberhasilan implementasi SJB di tingkat tapak. SJB tidak
hanya memerlukan aspek teknologi (teknis budidaya) namun juga

259
harus ada serangkaian tindakan yang memperhitungkan interaksi
antara manusia dan interaksi manusia dengan sumber daya alam.
Menurut kebijakan turunan UUCK tersebut telah lengkap
mengatur tentang menanam tanaman kehutanan di sela-sela
tanaman sawit. Tanaman pokok kehutanan di Hutan Lindung dan
Hutan konservasi harus berupa tanaman penghasil HHBK dan
dapat berupa jenis tanaman berkayu yang tidak boleh ditebang.
Perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan hanya boleh dilakukan
satu daur atau 25 tahun pada Hutan Produksi dan satu daur atau
15 tahun pada Hutan Lindung atau Hutan Konservasi sejak masa
tanam dan tidak diperbolehkan untuk melakukan peremajaan
terhadap tanaman sawit. Apabila setelah selesai daur maka
pemegang persetujuan pengelolaan perkebunan sawit di kawasan
hutan wajib untuk mengembalikan areal usaha kepada negara.
Harapannya KPS dapat mencontoh penerapan SJB yang telah
diimplementasikan secara baik selama dua tahun di tingkat tapak
di Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan
hasil monitoring sampai dengan bulan Oktober 2021 telah
dibangun 160 ha plot percontohan SJB yang melibatkan 86 orang
petani yang tergabung pada 10 Kelompok Tani Hutan (KTH). Plot
percontohan tersebut tersebar di tiga KPHP yakni KPHP Tebo
Timur di Provinsi Jambi, KPHP Mentaya Tengah-Seruyan Hilir
dan KPHP Kotawaringin Barat di Provinsi Kalimantan Tengah.
Dukungan baik secara materil maupun non-materil dari berbagai
pihak perlu dilakukan kembali untuk peningkatan keberhasilan
implementasi SJB lebih banyak lagi. Sehingga implementasi SJB
dapat diperluas lagi tidak hanya pada dua provinsi tersebut.

260

Anda mungkin juga menyukai