Anda di halaman 1dari 10

EKOSISTEM PERTANIAN DALAM DEFORESTASI HUTAN

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH


AGROEKOSISTEM

OLEH :

RIZKY ALFIZAR 19.061.111.012

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
MEDAN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................................1

1.2 Rumusan Permasalahan..................................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASA........................................................................................................2

2.1 Deforestasi......................................................................................................................2

2.2 Faktor-faktor Penyebab Deforestasi...............................................................................2

2.3 Kebakaran Hutan............................................................................................................3

2.4 Dampak Deforestasi........................................................................................................4

2.5 Fragmentasi.....................................................................................................................5

BAB III PENUTUP..............................................................................................................7

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................7

3.2 Saran...............................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................8

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 134 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas
total Indonesia (Departemen Kehutanan, 2009). Hutan mempunyai manfaat langsung dan
tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Manfaat langsung hutan adalah penghasil kayu
dan non-kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro,
pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi
kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan datang. Hutan juga berperan penting
dalam perubahan iklim. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan sebagai
penyerap/penyimpan karbon (sink) maupun pengemisi karbon (source of emission).
Deforestasi dan degradasi meningkatkan emisi, sedangkan aforestasi, reforestasi dan
kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan serapan. Tekanan terhadap
sumber daya hutan cenderung semakin meningkat. Deforestasi dan degradasi hutan
merupakan penyebab utama kerusakan sumber daya hutan di Indonesia. Deforestasi dan
degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
a) Kebakaran dan perambahan hutan,
b) illegal loging dan illegal trading yang didorong oleh permintaan yang tinggi terhadap
kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan global,
c) konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman,
dan keperluan lain,
d) penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan
hutan, dan
e) pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip - prinsip pengelolaan hutan
lestari (PHL).
Deforestasi telah menjadiisu internasional yang hangat, terutama dinegara - negara yang
memiliki hutan tropis yang luas. Keprihatinan yang dikemukakan berkaitan dengan efek
rumah kaca, karena hutan adalah "paru – paru bumi." Negara - negara yang melaksanakan
program pemanfaatan hutan kini berada dibawah tekanan internasional agar mengambil
langkah – langkah untuk memperlambat laju deforestasi. Indonesia adalah salah- nya .

1.2. Rumus Permasalahan


 Menjelaskan apa itu deforestasi
 Menjelaskan dampak- dampak akibat dari deforestasi
 Menjelaskan fragmentasi hutan

1.3. Tujuan Penulisan


 Meningkatkan rasa kepedulian akan habitat flora dan fauna dihutan
 Memberikan pengetahuan akan akibat dari deforestasi
 Mengajak untuk bersama- sama menjaga hutan

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Deforestasi

Hutan merupakan ekosistem kompleks yang mempunyai pengaruh terhadap hampir


setiap spesies yang ada di bumi. Hilangnya tutupan hutan akan menyebabkan bencana skala
lokal maupun dunia. Hilangnya tutupan hutan sering disebut dengan istilah deforestasi.
Pengertian deforestasi masih menjadi perbincangan karena hal ini akan dijadikan sebagai
perhitungan dalam mencatat data luasan hutan. Dalam perspektif ilmu kehutanan, deforestasi
dimaknai sebagai situasi hilangnya tutupan hutan beserta atributnya yang berimplikasi pada
hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri.
Pemaknaan ini diperkuat oleh definisi deforestasi yang dituangkan dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 tentang Tata Cara
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang dengan tegas
menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan
menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deforestasi diartikan sebagai
penebangan hutan. Deforestasi terjadi ketika areal hutan ditebang habis dan diganti dengan
bentuk penggunaan lahan lainnya. Istilah lain deforestasi adalah penggundulan hutan yang
biasanya dilakukan untuk mengubah fungsi lahan menjadi fungsi lain, seperti pertanian,
peternakan, atau permukiman. Deforestasi sendiri akan mengurangi tutupan tajuk hingga
batas ambang minimum yaitu 10% dalam waktu jangka panjang atau pendek.

2.2. Faktor- faktor Penyebab Deforestasi

Deforestasi dapat mengancam kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainnya.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, bisa akibat makhluk hidup dan alam itu sendiri.
Secara umum, hilangnya tutupan lahan disebabkan kegiatan pengalihan fungsi hutan untuk
keperluan lainnya. Jumlah manusia yang semakin bertambah dapat menyebabkan
diperlukannya lahan untuk permukiman. Saat ini, luas permukiman yang dibangun harus
dibarengi dengan pembangunan ruang terbuka hijau agar dapat terjaganya fungsi sebagai
sistem sirkulasi udara. Namun fungsi hutan yang kompleks tidak dengan mudah digantikan
dengan ruang terbuka hijau lainnya.
Populasi manusia yang semakin meningkat saat ini menyebabkan terjadinya
permintaan terhadap pangan yang semakin tinggi. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan
membuka lahan pertanian baru. Pengalih fungsian hutan sebagai kebun kelapa sawit juga
menyebabkan hilangnya tutupan lahan. Kebutuhan hidup manusia akan produk kayu pun
dapat meningkatkan laju deforestasi. Faktor utama dalam kejadian hilangnya tutupan hutan
adalah kegiatan industri, terutama industri kayu. Pemanenan kayu dari pohon sudah diatur
untuk melakukan penanaman kembali setelahnya. Namun, adanya illegal logging yang terjadi
masih menjadi masalah serius. Penebangan liar secara besar-besaran masih terjadi di hutan
hujan tropis, khususnya Brasil, Kongo, dan Indonesia. Kejadian alam juga dapat
menyebabkan terjadinya deforestasi. Radiasi matahari yang tinggi dapat memicu terjadinya
kebakaran hutan dan lahan akibat gesekan daun-daun terhadap tanah kering di bawahnya.
Deforestasi akibat kebakaran hutan, saat ini lebih banyak dibandingkan deforestasi
akibat pengalihan fungsi pertanian dan illegal logging jika disatukan. Kerugian yang
ditimbulkan juga sangat besar karena hilangnya plasma nutfah dan mendatangkan ancaman
langsung bagi manusia, seperti gangguan kesehatan, kehilangan materi, dan jiwa.
Pembakaran masif oleh petani untuk membuka lahan yang akan digunakan untuk bertani juga
dilakukan dengan cara membakar hutan. Cara tersebut dipakai karena lebih cepat dan mudah
jika dibandingkan dengan menebang pohon. Akibat pembakaran tersebut, karbon akan
semakin banyak dilepaskan ke udara. Tidak adanya hutan sebagai pengikat karbon dapat
mengakibatkan meningkatnya suhu dan berpengaruh terhadap iklim.

2.3. Kebakaran Hutan

Di Indonesia, kebakaran hutan


telah menjadi masalah serius yang sampai
saat ini masih belum dapat diatasi dengan
baik. Statistik menunjukkan bahwa
masalah kebakaran hutan setiap tahun
semakin meningkat. Peningkatan ini
disebabkan oleh meningginya kegiatan
penyiapan lahan dalam skala kecil
maupun besar mulai dari perladangan
sampai konversi lahan untuk pertanian
dan perkebunan, pembangunan hutan
tanaman yang lebih rawan terbakar,
pertambahan jumlah penduduk dan kondisi iklim yang tidak menentu dengan kecenderungan
semakin panas (global warming).
Peristiwa kebakaran hutan besar terjadi pada tahun 1982/1983 yang melanda areal
seluas 2,4 – 3,6 juta ha di Kalimantan Timur. Sejak itu, kebakaran hutan terjadi dalam tahun-
tahun 1987, 1991, 1994, dan tahun 1997/1998. Setelah tahun 1982/1983, tercatat kebakaran
yang meluas pada tahun 1997/1998. Gejala alam El-Nino yang mempengaruhi arus laut di
Samudra Pasifik telah berdampak kepada kekeringan yang panjang di wilayah Asia
Tenggara. Kekeringan yang terjadi telah menyebabkan kebakaran hutan di berbagai wilayah
di Indonesia.
Kebakaran hutan pada umumnya sangat merugikan karena menghilangkan kayu dan
tegakan hutan yang bernilai ekonomis tingi. Rowell dan Moore (1999) melaporkan kerugian
akibat kebakaran pada tahun 1997/1998 yang mencapai USD 9.7 miliar. Akibat merugikan
lainnya adalah penambahan jumlah lahan kritis, kerusakan flora/fauna dan kerugian lain
dengan menurunnya kualitas lingkungan. Salah satu akibat buruk kebakaran hutan dan lahan
adalah terjadinya polusi udara. Polusi yang berupa asap dapat mengganggu aktivitas dan
kesehatan masyarakat. Pada kejadian kebakaran hutan di tahun 1997/1998 asap tebal yang
dihasilkan menyebar sampai ke negara-negara Brunei, Singapura, Malaysia dan Thailand. Di
beberapa tempat, jarak pandang sangat terbatas sehingga sekolah dan lapangan terbang
ditutup. Aktivitas manusia juga terganggu karena polusi berada pada tingkat yang
membahayakan. Banyak juga dilaporkan gangguan kesehatan masyarakat karena masalah
pernafasan, penyakit mata dan kulit.
Dalam kaitannya dengan pemanasan global, terjadinya kebakaran hutan berarti terjadi
peristiwa kebalikan dari peristiwa fotosintesa. Pada kebakaran hutan, karbon yang tersimpan
dalam vegetasi hutan (karbon sink) berupa selulosa, terbakar dan terurai menjadi CO2. Hal ini
berarti bahwa kandungan CO2 meningkat dengan terjadinya kebakaran hutan. Peningkatan
kandungan CO2 akibat polusi dan juga kebakaran hutan memberikankontribusi terhadap
peningkatan suhu rata-rata atau pemanasan global. Hooijer et al., (2006) menyatakan bahwa
dalam 10 tahun terakhir sekitar 3 juta ha lahan gambut di Asia Tenggara (terutama Indonesia)
telah terbakar dan mendatangkan emisi GRK 3-5 Gt C. Pengeringan gambut untuk keperluan
tanaman kelapa sawit dan hutan tanaman industri untuk industri kertas dan keperluan
pertanian lainnya dan penebangan hutan yang tidak lestari diperkirakan mencapai 6 juta ha
dan mendatangkan tambahan emisi GRK sebesar 2 Gt C.

2.4. Dampak Deforestasi


 Hutan lindung tidak bisa lagi berfungsi menjaga konservasi tanah dan air. Daerah
hulu aliran sungai (DAS) yang sudah merupakan lahan kosong atau areal pertanian
yang tidak menerapkan prinsip konservasi tanah dan air mengakibatkan peningkatan
sedimentasi di dasar sungai sehingga pada musim penghujan terjadi banjir yang
mendatangkan kerugian yang sangat besar. Sebagai contoh adalah banjir di
Kabupaten Majalengka dan Indramayu yang terletak di daerah hilir sungai Cimanuk
pada bulan Mei 2010 (Kompas, 2010). Frekuensi banjir yang lebih tinggi sering
terjadi di beberapa daerah seperti Samarinda Kalimantan Timur, Jawa dan Sumatera.
 Peresapan air hujan ke dalam tanah juga berkurang sehingga pada musim kemarau
terjadi pengeringan mata air. Fluktuasi debit air pada musim penghujan dan musim
kemarau menjadi sangat besar sehingga air yang ada umumnya tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal.
 Rusaknya hutan akibat penjarahan karena kurangnya pengawasan, akibat keterbatasan
petugas lapangan, fasilitas dan dana yang minim serta penegakan hukum yang tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini mengakibatkan luasnya penjarahan terhadap
kawasan hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, serta
hutan produksi. Sebagai contoh, pada tahun 1998 di Lampung Barat sudah tercatat
tanaman kopi di kawasan hutan lindung dan suaka alam, tercatat seluas 116.715 ha
(Tim Peneliti, 1999). Para petani tidak melaksanakan teknik konservasi tanah dan air
pada tanaman kopi karena mereka bukan pemilik lahan kopi, biaya melaksanakan
kegiatan konservasi tanah dan air besar sedang kepastian pemilikan lahannya tidak
jelas.
 Pengawasan kawasan hutan juga menjadi lebih sulit karena aturan yang dibuat tidak
dapat diterapkan di lapangan karena berbagai budaya dan adat-istiadat masyarakat
yang masih berlaku di berbagai daerah. Di wilayah Papua masih dijumpai adat yang
berbeda antara satu suku dengan suku lainnya. Kondisi demikian menuntut
pendekatan khusus kepada tokoh masyarakat dalam pengelolaan hutan guna lebih
menjamin keberhasilan rencana dan implementasi kegiatan pengelolaan hutan.

2.5. Fragmentasi

Fragmentasi hutan terjadi karena hutan yang luas dan menyambung terpecah menjadi
blok-blok lebih kecil akibat pembangunan jalan, pertanian, urbanisasi atau pembangunan
lain. Akibatnya mengurangi fungsi hutan sebagai habitat berbagai spesies tumbuhan dan
satwaliar. Fragmentasi juga mempengaruhi struktur, temperatur, kelembaban dan
pencahayaan yang akan mengganggu satwa hutan yang adpatasinya telah terbentuk selama
ribuan tahun. Fragmentasi didefinisikan sebagai pemecahan habitat organisme menjadi
kantong-kantong (patches) habitat yang membuat organisme kesulitan melakukan pergerakan
dari kantong habitat yang satu ke yang lainnya.

Fragmentasi dapat disebabkan oleh penghilangan vegetasi pada areal yang luas atau
oleh jalan yang memisahkan habitat bahkan oleh jaringan kabel listrik (Rusak & Dobson
2007). Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem atau tipe landuse
menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil dan fragmentasi juga merupakan sebuah hasil
dimana proses fragmentasi mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu lanskap
yang ada. Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat (habitat
patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara kantong-kantong
(patches) habitat asli karena terselingi oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak
sesuai bagi spesies yang ada (Wiens 1990).
Franklin et al. (2002) mengembangkan definisi baru tantang fragmentasi sebagai hasil
(outcome) dan proses. Hasil (outcome) dari fragmentasi habitat adalah diskontinuitas yang
diperoleh dari serangkaian mekanisme, di dalam distribusi spasial suatu sumberdaya dan
kondisi yang ada dalam suatu areal pada suatu skala tertentu yang mempengaruhi okupansi,
reproduksi atau survival suatu spesies. Fragmentasi habitat didefinisikan sebagai serangkaian
mekanisme yang mengakibatkan diskontinuitas distribusi spasial suatu habitat. Ada empat
komponen kunci dari dua definisi tersebut yaitu :
1) diskontinuitas,
2) mekanisme,
3) distribusi spasial dari suatu sumberdaya dalam suatu area, dan
4) atribut demografik (Franklin et al. 2002).
Konsep fragmentasi habitat
diturunkan dari teori biogeografi pulau
(MacArthur & Wilson 1967), yakni
jumlah spesies meningkat dengan
meningkatnya ukuran pulau (Haila
2002). Fragmentasi penting mendapat
perhatian karena berpengaruh pada
kekayaan spesies dari komunitas, trend
populasi beberapa spesies dan
keanekaragaman hayati ekosistem secara
keseluruhan (Morrison et al. 1992).
Menurut Wilcove (1987) dalam
Morrison et al. (1992) ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal :
1) spesies dapatmulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi;
2) kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya
heterogenitas internal;
3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki
resiko lebih besar terhadap bencana, teori yang mendasari penataan ruang hutan
menuju pembangunan berkelanjutan variabilitas demografik, kemunduran genetik
atau disfungsi sosial;
4) fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat
menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh
merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 134 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas
total Indonesia. Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal
secara luas. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan
manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan
tanah, serta sumber plasma nutfah.
Kelestarian hutan terancam oleh gangguan yang terutama diakibatkan oleh deforestasi
dan degradasi. Deforestasi terutama disebabkan oleh alih fungsi hutan menjadi peruntukan
lain, sedangkan degradasi terutama disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak sesuai
dengan prinsip PHL, terjadinya gangguan hutan seperti kebakaran, penebangan liar (illegal
logging), serta gangguan lainnya.

3.2. Saran

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mempertahankan dan memulihkan ekosistem


hutan, akan tetapi upaya tersebut belum cukup dan memerlukan perhatian yang lebih besar
dengan melibatkan segenap unsur. Usaha-usaha yang sudah dibuat hanya dapat berhasil
apabila semua pihak yang terlibat mempunyai kesungguhan dan tanggung jawab yang
tinggi.Luas tutupan hutan Indonesia sudah mulai menipis dan diambang kehancuran dan tidak
menutup kemungkinan akan terjadi kepunahan pada tingkat keanekaragaman spesies, genetik
dan ekosistem. Pemerintah semestinya harus peduli terhadap kondisi sumberdaya alam hayati
dan konsep konservasi sumberdaya alam hayati seharusnya sesuai dengan pemanfaatannya.
Pemerintah semestinya sejak awal tahun 1960 sudah mengantisipasi terjadinya
bencana kebakaran hutan agar kepunahan keanekaragaman hayati dapat terhindarkan.
Pemerintah perlu merevitalisasi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan deforestasi
akibat kerusakan dan kebakaran hutan terhadap para pemegang HPH. Pemerintah perlu
menetapkan lembaga tunggal untuk beranggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya
hayati Indonesia untuk menghindari terjadinya kepentingan sektoral dan kondisi tumpang
tindih.
DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I. P. G. 2016. Dampak Laju Deforestasi Terhadap Hilangnya Keanekaragaman


Hayati Di Indonesia. Jurnal Metamorfosis. Vol 3. No 2.

Gunawan, H. dan L.B. Prasetyo. 2013. Fragmentasi Hutan : Teori yang mendasari penataan
ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan. Bogor : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi.

Rautner, M., Leggett, M., Davis, F., 2013. Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi, Global
Canopy Programme: Oxford.

Wibowo, A. Dan A. Ngakolen. 2010. Degradasai Dan Upaya Pelestarian Hutan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Anda mungkin juga menyukai