--[endif]-->PENDAHULUAN
Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari semua itu sehingga dengan
terpaksa memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam sebagai areal
pertanian. Lahan ini tergolong tanah-tanah marginal untuk usahatani tanaman
semusim. Kondisi lahan berlereng juga menyebabkan lahan kering ini menjadi rawan
erosi sehingga mengakibatkan lahan marginal dan terdegradasi semakin bertambah
luas. Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah,
baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan
unsur hara); dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas
biologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997).
Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka diperlukan sistem
penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi, produktif dan
pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan
sistem pertanian yang tangguh dan secara menyeluruh menciptakan pengelolaan
sumberdaya alam dalam suatu DAS yang berkelanjutan.
Dilema lain yang harus dihadapi adalah bertambahnya jumlah penduduk yang
menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sehingga membutuhkan lahan
pertanian cukup besar. Upaya peningkatan produksi pertanian dilakukan secara
intensif. Pengelolaan lahan secara monokultur dan pemberian masukan luar yang
tinggi yang tidak jarang menimbulkan masalah baru dalam produksi pertanian.
Pemberian masukan tinggi menyebabkan lahan menjadi tercemar, sehingga lahan
memerlukan perbaikan untuk menjaga fungsi lahan sebagai media tumbuh dan sarana
penyimpanan air, unsure hara dan bahan-bahan fungsional untuk mendukung
pertumbuhan tanaman.
Pemecahan masalah degradasi lahan dan alih fungsi lahan dapat ditempuh dengan
teknologi yang telah berkembang di masyarakat. Ada beberapa teknologi untuk
merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan
yaitu :
Dengan adanya permasalahan degaradasi lahan dan alih fungsi lahan maka dapat
diupayakan proses pengembangan sistem agroforestri berbasis mayarakat dan
pengembangan pembangunan berkelanjutan. Dalam penerapan agroforestri
diperlukan pula upaya untuk mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri
untuk dapat diterapkan petani di daerah tropika, termasuk di Indonesia.
Berbasis masyarakat dalam banyak istilah yang digunakan oleh banyak pihak
hutan, yaitu community forestry , social forestry, farm atau atau agro forestry. Titik
berat dalam pembanguanan pertanian secara berkelanjutan adalah masyarakat secara
mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang terus menerus dan
memiliki konsep berkeadilan (Rahardjo, 2007).
<!--[if !supportLists]-->II. <!--[endif]-->TELAAH PUSTAKA
Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair 1989, Muthoo and Chipeta (1991),
agroforestri berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta menjamin
keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun hasil kayu,
khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri merupakan nama
kolektif bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai diterapkan
pada lahan-lahan pertanian beresiko tinggi tehadap erosi, terdegradasi, dan lahan-
lahan marginal. Sistem ini merupakan salah satu praktek pertanian konservatif dan
produktif, yang telah diterapkan dan dikembangkan oleh petani di daerah tropika
termasuk Indonesia, dimana kemampuan pohon-pohon untuk tumbuh pada kondisi
iklim dan tanah yang kurang menguntungkan. Sistem tersebut memiliki potensi
konservasi tanah dan air, serta perbaikan bagi tanah-tanah marginal di daerah tropis,
subtropis, humid, semiarid, dan berlereng. Seperti halnya sistem indigenous dimana
pohon-pohon sulit untuk tumbuh dan kemampuan regenerasi tanah sangat rendah
(Cooper et al, 1996).
Faktor degradasi tanah umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat
faktor campur tangan manusia. Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab
degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak, curah hujan
intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik
langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami,
antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk,
masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan,
kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang
tidak tepat. Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat
campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas
pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri dan bioindustri. Sejalan
dengan pendapat sebelumnya, Lal (1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab
tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi
dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman
secara monokultur. Faktor-faktor tersebut di Indonesia umumnya terjadi secara
simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan
umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah diotelantarkan, digunakan
ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia
yang tidak terkendali.
Umumnya telah sepakat bahwa faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami
maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya
produktivitas tanah. Lahjie (1989) menyatakan kondisi tanah menentukan lamanya
masa bera, pada tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai maka jekau betiq muda
(vegetasi ø 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur
seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun. Ahn (1993)
menyatakan masa bera telah memendek dari masa bera umumnya yaitu lebih dari 10
– 20 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang
berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan
hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada
kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek
dibandingkan tanah ladang tidak subur.
Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang
Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas mula-mula
disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Namun setelah
5 tahun penggunaan tanah penurunan produktivitas disebabkan karena slaking
sehingga terjadi erosi , menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas yang umumnya
mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran
maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan
basa rendah di subsoil setelah 2 – 5 tahun pembakaran. Tanah menjadi subyek erosi,
subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya tingginya konsentrasi Al pada
tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi
tanaman.
Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah
diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang
untuk pembuatan bata merah sangat besar. Manik dkk (1997) menghitung kehilangan
tanah akibat pembuatan bata merah di Bandar Lampung sekitar 4.510,4 Mg ha-1 yang
merupakan 201,4 kali lebih besar dari erosi rata-rata. Hidayati (2000) menyatakan
akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di
Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan
artropoda tanah, dan merubah iklim mikro.
Laju deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun; sedangkan luas lahan
kritis hingga awal tahun 1999/2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha, dan 1,8 juta ha di
Kalimantan tengah (Dephut, 2003). Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah.
Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah
melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menurun.
Sebenarnya pengelolaan hutan di Indonesia mempunyai dasar yang cukup kuat yaitu
dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan
Kemasyarakatan, yaitu:
1. Pengelolaan hutan diubah dari sistem hutan berbasis produksi kayu (timber
management) menjadi berbasis sumber daya hutan yang berkelanjutan (resources
based management)
2. Pemberian hak penguasaan hutan yang awalnya lebih ditujukan kepada usaha
skala besar, beralih pada usaha berbasis masyarakat (community based forest
management)
3. Orientasi kelestarian hutan yang ditekankan pada aspek ekonomi (produksi kayu)
saja, diubah pada upaya mengakomodir kelestarian fungsi sosial, ekonomi, dan
lingkungan
4. Pengelolaan hutan yang semula sentralistis menuju desentralistis, memberikan
kesempatan kepada daerah untuk mengelola hutan secara demokratis, partisipatif,
dan terbuka
5. Era produksi, yang mengutamakan hasil kayu akan dikurangi secara bertahap
(soft landing process), menuju era rehabilitasi dan konservasi untuk pemulihan
kualitas lingkungan yang lestari.
agroforestri sebagai ilmu pengetahuan masih relatif baru. Karenanya pemahaman ilmiah
tentang agroekosistem kompleks seperti praktek agroforestri tradisional ini masih lemah.
Akan tetapi sudah disadari bahwa petani dan masyarakat lokal yang mengelola berbagai
1998).
Dalam pengembangan sistem agroforestri beberapa hal penting yang harus diketahui
adalah kapasitas petani dalam memahami lingkungan biofisik dan budaya setempat untuk
meramalkan dan menjelaskan hasil suatu percobaan. Oleh karena itu untuk menciptakan
sistem bertani yang berwawasan lingkungan dibutuhkan kerjasama yang erat dengan para
pengetahuan lmiah formal. Seperti yang dinyatakan oleh Grandstaff and Grandstaff
(1986), para petani memang tidak punya pengetahuan ilmiah untuk memprediksi apa
yang mungkin terjadi, akan tetapi tak seorangpun mampu lebih baik dalam memahami
Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dengan berbagai bentuk teknis dan strategis.
Setiap strategi dan teknik dalam sistem bertani akan memiliki pengaruh berbeda
dalam produktivitas, keamanan, keberlanjutan, tergantung pada peluang dan
keterbatasan setempat.
Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni
(a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan ternak,
bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan
jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara
kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb.
Peluang untuk berhasil akan lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar
teknologi yang dapat diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan
secara aktif pemakai (user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses
pengembangan teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi
dan perbaikan rancangan inovasi teknologi. Perlu dipahami bahwa agroforestri
bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi keberagaman
sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang dapat dipilih
oleh petani sesuai dengan
Salah satu sasaran utama dari setiap usaha pertanian termasuk agroforestri adalah
produksi yang berkelanjutan (sustainable) yang dicirikan oleh stabilitas produksi
dalam jangka panjang. Beberapa indikator terselenggaranya sistem pertanian yang
berkelanjutan adalah dapat dipertahankannya sumber daya alam sebagai penunjang
produksi tanaman dalam jangka panjang, penggunaan tenaga kerja yang cukup
rendah, tidak adanya kelaparan tanah, tetap terjaganya kondisi lingkungan tanah dan
air, rendahnya emisi gas rumah kaca serta terjaganya keanekaragaman hayati (Van
der Heide et al., 1992; Tomich et al., 1998). Tidak adanya kelaparan tanah pada
sistem tersebut, dapat diartikan sebagai cukupnya kandungan bahan organik tanah,
terpeliharanya kesetimbangan unsur hara, terpeliharanya struktur dan kondisi biologi
tanah serta adanya perlindungan tanaman terhadap gulma, hama dan penyakit.
Pendekatan lainnya adalah berpusat pada ‘pilihan teknologi’ atau ‘sistem pertanian’,
yang memprioritaskan petani (farmer first). Ada empat faktor yang
b. Faktor sosial, meliputi jaminan penguasaan lahan, insentif atas fungsi pelayanan
lingkungan, dan dukungan kelembagaan lokal.
c. Faktor pasar terutama berhubungan dengan input, produk, tenaga kerja dan
ketersediaan kredit.
Agroforestri dapat dilihat sebagai konsep hutan yang memberikan sumbangan fungsi
hutan sebagai pengendali lingkungan. Hutan tidak sekedar sebagai sumber kayu dan
hasil hutan yang memberikan manfaat ekonomi, tetapi menjadi habitat bagi fauna dan
flora serta menjadi penyeimbang lingkungan.
Seperti diketahui hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Fungsi hutan
yang antara lain:
Penghasil kayu bangunan (timber). Banyak macam pepohonan yang tumbuh di hutan,
sehingga hutan dapat menjadi sumber penghasil kayu bangunan dengan berbagai
kualitas. Namun, adanya intensitas penebangan hutan yang cukup tinggi
menyebabkan masa bera menjadi lebih pendek. Akibatnya fungsi hutan sebagai
penyedia kayu bangunan telah bergeser menjadi penyedia kayu bakar saja yang lebih
rendah nilai ekonominya.
Sumber NTFP (Non Timber Forest Product ~ Produk hutan non-kayu). Tingkat
biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi
manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Hutan bukan saja menyediakan kayu
bangunan, tetapi juga obat-obatan, sayuran, keperluan rumah tangga lainnya
(contohnya rotan, bambu dsb). Singkatnya masa bera akan menyebabkan perubahan
iklim mikro sehingga banyak spesies sensitif yang berkurang populasinya dan
akhirnya punah.
Cadangan karbon (C). Hutan penting untuk meningkatkan cadangan C di alam
melalui peningkatan biomasa vegetasinya. Kemampuan hutan dalam mengabsorpsi
CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam
biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan
per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan.
Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi
CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Keberadaan hutan selain dapat
menyeimbangkan keberadaan CO2 di udara, hutan dapat berfungsi sebangai
penyeimbang suhu bumi dan mempengaruhi kestabilan iklim pada suatu daerah
tersebut.
Habitat bagi fauna. Hutan merupakan habitat penting bagi beberapa fauna dan flora.
Konversi hutan menjadi lahan lainnya akan menurunkan populasi fauna dan flora
yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati (biodiversitas) berkurang.
Filter. Kondisi tanah hutan umumnya remah dengan kapasitas infiltrasi air yang
tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang
terus menerus dari daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah,
dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya
infiltrasi air tanah, dan adanya penyerapan air dan hara oleh tumbuhan hutan, maka
adanya limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah dapat
dikurangi. Jadi hutan berperan sebagai filter, dan fungsi daerah aliran sungai (DAS)
sangat ditentukan oleh adanya filter tersebut. Hutan dapat menjadi tempat penyimpan
air sehingga dapat memperkecil erosi yang terjadi. Dengan adanya hutan di suatu
wilayah maka pada wilayah tersebut memiliki tutupan lahan yang dapat menahan
tanah tetap pada tempatnya dengan adanya ikatan antara misel tanah dengan akar.
Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor pembatas
keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan tersebut juga
merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam hutan dan
menjaga diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi masyarakat,
sebagai tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan dan memiliki
nilai ekonomi yang tinggi.
Di sisi lain, peran hutan sebagai penyeimbang alam, peran hutan kepada masyarakat
masih dirasa kurang. Penggunaan jasa lingkungan hutan berupa kayu-kayuan, serta
hasil bumi yang dihasilkan dari vegetasi hutan masih dirasakan terbatas. Hal ini di
sebabkan karena kebutuhan masyarakat lebih tinggi dari pada kuantitas serta kualitas
hutan itu sendiri.
Beralihnya sistem penggunaan lahan dari hutan alam menjadi lahan pertanian,
perkebunan atau hutan produksi atau hutan tanaman industri mengakibatkan
terjadinya perubahan jenis dan komposisi spesies di lahan bersangkutan. Hal ini
membawa berbagai konsekuensi terhadap berbagai aspekbiofisik, sosial dan ekonomi.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh
banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan.
Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan
(environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung
DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan
mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri
dalam mempertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer melalui penyerapan gas CO 2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan
mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering
dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah dan Utami,
2002)
Sistem agroforestri memiliki beberapa keunggulan baik dari segi ekologi atau
lingkungan. Agroforestri memiliki stabilitas ekologi yang tinggi, karena agroforestri
memiliki:
Agroforestri merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat guna,
sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya
tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total
menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal dan tenaga kerja dari luar
yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani.
Dilain pihak produksi agroforestri selalu dianggap sebagai sistem yang hanya
ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Agroforestri pada
umumnya masih dianggap sebagai kebun dapur yang tidak lebih dar sekedar
pelengkap sistem pertanian lainnya. Oleh sebab itu, sistem ini kurang mendapat
perhatian.
Keunikan konsep pertanian komersial agoforestri adalah karena sistem ini bertumpu
pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies
saja. Dengan demikian akan menimbulkan beberapa akibat yang menarik bagi petani
yang mengusahakannya. Aneka hasil kebun hutan sebagai tabungan (bank) karena
pendapatan dari agroforestri dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh
dari hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks, damar, kopi, kayu manis,
kayu bakar dan sebagainya.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan
kelenturan pendapatan petani. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman
kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit
diperkirakan. Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang dialami
bebrapa spesies seperti kayu damar dan kayu karet ketika kayu dar hasil hutan alami
menjadi langka. Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder agroforestri menyediakan
kebutuhan sehari-hari bagi petani (kebun dapur) seperti bahan pangan pelengkap
misalnya sayuran, buah, rempah dan tanaman obat.
Berdasarkan ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sistem agroforestri, maka model-
model sistem agroforestri yang dikembangkan juga memiliki ciri tertentu pula.
Sampai dengan saat ini, ada beberapa kelompok model agroforestri di antaranya
adalah model-model yang menekankan:
A. Simpulan
Pengelolaan sistem agroforestri terdiri dari banyak komponen antara lain pohon,
tanaman semusim, hewan dan sebagainya, sehingga sistem tersebut cukup
kompleks. Pada sistem ini akan terbentuk interaksi antara pohon-tanah-tanaman
semusim dan setiap jenis komponen akan menimbulkan berbagai pengaruh
negatif maupun positif terhadap komponen yang lain. Banyak masyarakat
mengalami kegagalan dalam usaha agroforestrinya karena tingkat pemahaman
terhadap interaksi tersebut masih kurang. Oleh karena itu penelitian biofisik
agroforestri sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan pemahaman proses yang
terjadi dalam interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. Pengukuran dan
pemahamannya di lapangan cukup sulit dilakukan, untuk itu diperlukan alat bantu
simulasi model. Tersedianya model agroforestri diharapkan dapat membantu
dalam
tingkat ilmiah.
Kebijakan Pemerintah
DAFTAR PUSTAKA
Ahn, P.M. 1993. Tropical soils and fertilizer use. Longman Science & Technical. 263p.
Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and
Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of Africa,
Experimental Agriculture 32, 249-261.
Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy. 1976. The influence of shifting cultivation
on a Podzolic soil from Central Kalimantan. Proceedings Peat and Podzolik Soils
anTheir Potential for Agriculture in Indonesia. Bulletin 3. Soil Researc Institute.
pP:95-114.
Hidayati, N. 2000. Degradasi lahan pasca penambangan emas dan upaya reklamasinya:
kasus penambangan emas Jampang-Sukabumi. PROSIDING Konggres Nasional
VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya tanah sesuai dengan potensinya menuju
keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Bandung 2 - 4 Nopember 1999. Buku I. Himpunan Tanah Indonesia. Hal: 283-294.
Lahjie, A.M. 1989. Praktek perladangan oleh penduduk asli dan pendatang di Kalimantan
Timur. Proceeding of the Pusrehut seminar on reforestration and rehabilitation to
develop the tropical rain forest and to support human prosperity and ecosystems.
Mulawarman University. 163-178p.
Lal, R. 1986. Soil surface management in the tropics for intensive land use and high and
sustained production. Stewart, B.A.(editor). Advances in soil science volume 5.
Springer-Verlag New York Inc. p:1-110.
Manik, K.S.E., K.S. Susanto, dan Afandi. 1997. Degradasi lahan akibat proses
antropogenik :studi kasus pembuatan batu bata di sekitar Bandar Lampung. J.
Tanah Trop. 4:95-98.
McAlister, J.J., B.J. Smith, and B. Sanchez. 1998. Forest clearence: impact of landuse
change on fertility status of soils from the Sao Francisco area of Niteroi, Brazil.
Land Degradation & Development. 9:425-440.
Oldeman, L.R. 1994. The global extent of soil degradation. Greenland,D.J. and I.
Szabolcs (editor). Soil resilience and sustainable land use. CAB International. p:99-
118.
Narain, P. dan S.S. Grewal, 1994. Agroforestry for Soil and Water Conservation India
Experience. Center Soil and Conservation Research and Training Maitute, Dehra
Dun 48 195 , India 8th International Soil and Water Conservation.Challenges and
Opportunities. Vol. 2.
Raintree JB. 1983. Theory and practice of Agroforestry Diagnosis and Design. In:
MacDicken KG and NT Vergara (eds). 1990. Agroforestry: Classification and
FManagement. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Teleni, E., R.S.F. Campbell and D. Hoffman. 1993. Draught Animal Systems and
management : An Indonesian Study. ACIAR Monograph No. 19, p : 94.
http://anastaciaintan.wordpress.com/2009/01/06/agroforestri-sebagai-bentuk-
pengelolaan-hutan-berbasis-masyarakat-berkelanjutan-dan-salah-satu-pengendali-
lingkungan/ (12 maret 2009)