Anda di halaman 1dari 27

<!--[if !supportLists]-->I. <!

--[endif]-->PENDAHULUAN

<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Pertumbuhan Penduduk dan Permasalahan


Fungsi Lahan

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi mendorong bertambahnya


permintaan akan lahan baik untuk pemukiman ataupun untuk usaha, akibatnya terjadi
konversi lahan hutan sekitar 50 hektar per tahun (Nasution dan Joyowinoto, 1995).
Konversi lahan untuk pemenuhan kebutuhan pemukiman ataupun industri tidak
jarang dilakukan pada lahan pertanian yang subur. Alih guna lahan terus terjadi,
menyebabkan lahan potensial untuk pertanian menjadi berkurang. Pembangunan
perlu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Penggunaan lahan potensial
berubah fungsi dan guna untuk sarana pemukiman dan pembangunan industri juga
meningkatkan pencemaran dari hasil produksi rumah tangga ataupun industri.

Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari semua itu sehingga dengan
terpaksa memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam sebagai areal
pertanian. Lahan ini tergolong tanah-tanah marginal untuk usahatani tanaman
semusim. Kondisi lahan berlereng juga menyebabkan lahan kering ini menjadi rawan
erosi sehingga mengakibatkan lahan marginal dan terdegradasi semakin bertambah
luas. Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah,
baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan
unsur hara); dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas
biologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997).

Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutan,


terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan
lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan dan perluasan
lahan kritis. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di Indonesia
semakin menurun. Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 yang dilakukan
oleh Departemen Kehutanan, kondisi penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas
93,5 juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%),
hutan tanaman 2,4 juta ha (2,6%), hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), non- hutan
(semak-belukar, padang alang-alang, lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat
diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4 juta ha (14,3%) (Dephut, 2002). Kondisi hutan
terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi sekarang mencapai 2 juta/tahun
meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang mengalami
kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar kawasan hutan
15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha,
hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di dalam
dan luar kawasan hutan 5,9 juta ha (Dephut, 2000).

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi lahan yang berlebihan,


perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan
hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus berlangsung
dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan bertambahnya jumlah lahan
kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini
dapat berupa degradasi lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan
sedimentasi yang tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau
kualitas aliran air sungai akan menurun.

Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka diperlukan sistem
penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi, produktif dan
pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan
sistem pertanian yang tangguh dan secara menyeluruh menciptakan pengelolaan
sumberdaya alam dalam suatu DAS yang berkelanjutan.

Dilema lain yang harus dihadapi adalah bertambahnya jumlah penduduk yang
menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sehingga membutuhkan lahan
pertanian cukup besar. Upaya peningkatan produksi pertanian dilakukan secara
intensif. Pengelolaan lahan secara monokultur dan pemberian masukan luar yang
tinggi yang tidak jarang menimbulkan masalah baru dalam produksi pertanian.
Pemberian masukan tinggi menyebabkan lahan menjadi tercemar, sehingga lahan
memerlukan perbaikan untuk menjaga fungsi lahan sebagai media tumbuh dan sarana
penyimpanan air, unsure hara dan bahan-bahan fungsional untuk mendukung
pertumbuhan tanaman.

<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->Pemecahan Masalah Degradasi dan Alih


fungsi Lahan

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat ditempuh dengan cara


pengelolaan pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus
menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi
pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan
bilamana memiliki ciri seperti :

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Dapat meningkatkan pendapatan petani,

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Komoditi yang diusahakan sesuai dengan


kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar,

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Tidak mengakibatkan degradasi lahan karena


laju erosi kecil, dan

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Teknologi tersebut dapat diterapkan oleh


masyarakat (Rony, 2008).

Pemecahan masalah degradasi lahan dan alih fungsi lahan dapat ditempuh dengan
teknologi yang telah berkembang di masyarakat. Ada beberapa teknologi untuk
merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan
yaitu :

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Agronomi yang meliputi teknis agronomis


seperti TOT, minimum tillage,

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Countur farming, mulsa, pergiliran tanaman


(crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dll.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping,
penanaman rumput.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Struktur atau konstruksi yaitu bangunan


konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, saluran, dll.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Manajemen berupa perubahan penggunaan


lahan (Rony, 2008).

Dengan adanya permasalahan degaradasi lahan dan alih fungsi lahan maka dapat
diupayakan proses pengembangan sistem agroforestri berbasis mayarakat dan
pengembangan pembangunan berkelanjutan. Dalam penerapan agroforestri
diperlukan pula upaya untuk mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri
untuk dapat diterapkan petani di daerah tropika, termasuk di Indonesia.

<!--[if !supportLists]-->C. <!--[endif]-->Agroforestri Sebagai Pengelolaan Hutan


Berbasis Masyarakat Berkelanjutan dan Pengendali Lingkungan

Agroforestri secara harafiah dapat diartikan sebagai pertanian berbasis kehutanan.


Agroforestri merupakan perpaduan antara pertanian dan proses pengembangan
lingkungan atau kondisi hutan. Dengan adanya agroforestri diharapkan dapat menjaga
fungsi hutan dalam bentuk proses pertanian selain juga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat dan pemenuhan produksi pertanian di pasar.

Berbasis masyarakat dalam banyak istilah yang digunakan oleh banyak pihak

yang selama ini mendorong akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya

hutan, yaitu community forestry , social forestry, farm atau atau agro forestry. Titik
berat dalam pembanguanan pertanian secara berkelanjutan adalah masyarakat secara
mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang terus menerus dan
memiliki konsep berkeadilan (Rahardjo, 2007).
<!--[if !supportLists]-->II. <!--[endif]-->TELAAH PUSTAKA

<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Agroforestri

Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair 1989, Muthoo and Chipeta (1991),
agroforestri berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta menjamin
keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun hasil kayu,
khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri merupakan nama
kolektif bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai diterapkan
pada lahan-lahan pertanian beresiko tinggi tehadap erosi, terdegradasi, dan lahan-
lahan marginal. Sistem ini merupakan salah satu praktek pertanian konservatif dan
produktif, yang telah diterapkan dan dikembangkan oleh petani di daerah tropika
termasuk Indonesia, dimana kemampuan pohon-pohon untuk tumbuh pada kondisi
iklim dan tanah yang kurang menguntungkan. Sistem tersebut memiliki potensi
konservasi tanah dan air, serta perbaikan bagi tanah-tanah marginal di daerah tropis,
subtropis, humid, semiarid, dan berlereng. Seperti halnya sistem indigenous dimana
pohon-pohon sulit untuk tumbuh dan kemampuan regenerasi tanah sangat rendah
(Cooper et al, 1996).

Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan


hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk
tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau
berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang
sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat Dalam suatu seminar mengenai
Agroforestry dan pengendalian perladangan berpindah-pindah, di Jakarta Nopember
1981, mendefinisikan Agroforestry sebagai berikut ; Suatu metode penggunaan lahan
secara oftimal, yang mengkombinasikan sitem-sistem produksi biologis yang berotasi
pendek dan panjang (suatu kombinasi kombinasi produksi kehutanan dan produksi
biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan
atau berurutan, dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat ” (Satjapradja, 1981).

<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->Degradasi dan Konservasi Lahan


Degradasi lahan adalah masalah penggunaan tanah secara inherent yang mempunyai
kesuburan rendah atau mempunyai potensi relatif rendah sehingga disebut juga
sebagai lahan “fragile” atau “marginal”. Oleh karena itu, lahan marginal dan
terdegradai adalah lahan yang dicirikan oleh tanah dengan status hara dan kapasitas
menahan air sangat rendah, dan telah mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi
hidrologi dan ekonomi (Barrow, 1991).

Faktor degradasi tanah umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat
faktor campur tangan manusia. Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab
degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak, curah hujan
intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik
langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami,
antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk,
masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan,
kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang
tidak tepat. Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat
campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas
pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri dan bioindustri. Sejalan
dengan pendapat sebelumnya, Lal (1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab
tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi
dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman
secara monokultur. Faktor-faktor tersebut di Indonesia umumnya terjadi secara
simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan
umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah diotelantarkan, digunakan
ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia
yang tidak terkendali.

Umumnya telah sepakat bahwa faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami
maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya
produktivitas tanah. Lahjie (1989) menyatakan kondisi tanah menentukan lamanya
masa bera, pada tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai maka jekau betiq muda
(vegetasi ø 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur
seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun. Ahn (1993)
menyatakan masa bera telah memendek dari masa bera umumnya yaitu lebih dari 10
– 20 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang
berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan
hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada
kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek
dibandingkan tanah ladang tidak subur.

Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang
Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas mula-mula
disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Namun setelah
5 tahun penggunaan tanah penurunan produktivitas disebabkan karena slaking
sehingga terjadi erosi , menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas yang umumnya
mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran
maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan
basa rendah di subsoil setelah 2 – 5 tahun pembakaran. Tanah menjadi subyek erosi,
subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya tingginya konsentrasi Al pada
tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi
tanaman.

Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah
diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang
untuk pembuatan bata merah sangat besar. Manik dkk (1997) menghitung kehilangan
tanah akibat pembuatan bata merah di Bandar Lampung sekitar 4.510,4 Mg ha-1 yang
merupakan 201,4 kali lebih besar dari erosi rata-rata. Hidayati (2000) menyatakan
akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di
Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan
artropoda tanah, dan merubah iklim mikro.

Laju deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun; sedangkan luas lahan
kritis hingga awal tahun 1999/2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha, dan 1,8 juta ha di
Kalimantan tengah (Dephut, 2003). Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah.
Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah
melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menurun.

<!--[if !supportLists]-->III. <!--[endif]-->PEMBAHASAN

<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Agroforest Sebagai Pengelolaan Hutan


Berbasis Masyarakat

Sebenarnya pengelolaan hutan di Indonesia mempunyai dasar yang cukup kuat yaitu
dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan
Kemasyarakatan, yaitu:

1. Pengelolaan hutan diubah dari sistem hutan berbasis produksi kayu (timber
management) menjadi berbasis sumber daya hutan yang berkelanjutan (resources
based management)
2. Pemberian hak penguasaan hutan yang awalnya lebih ditujukan kepada usaha
skala besar, beralih pada usaha berbasis masyarakat (community based forest
management)
3. Orientasi kelestarian hutan yang ditekankan pada aspek ekonomi (produksi kayu)
saja, diubah pada upaya mengakomodir kelestarian fungsi sosial, ekonomi, dan
lingkungan
4. Pengelolaan hutan yang semula sentralistis menuju desentralistis, memberikan
kesempatan kepada daerah untuk mengelola hutan secara demokratis, partisipatif,
dan terbuka
5. Era produksi, yang mengutamakan hasil kayu akan dikurangi secara bertahap
(soft landing process), menuju era rehabilitasi dan konservasi untuk pemulihan
kualitas lingkungan yang lestari.

<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->Arah Pengembangan Agroforestri

Praktek agroforestri sudah dilaksanakan petani berabab-abad lamanya, namun

agroforestri sebagai ilmu pengetahuan masih relatif baru. Karenanya pemahaman ilmiah

tentang agroekosistem kompleks seperti praktek agroforestri tradisional ini masih lemah.

Akan tetapi sudah disadari bahwa petani dan masyarakat lokal yang mengelola berbagai

macam agroekosistem telah banyak belajar dan menghasilkan pengetahuan yang


kompleks, canggih dan tepat guna untuk kondisi pertanian setempat (Sinclair dan Walker,

1998).

Dalam pengembangan sistem agroforestri beberapa hal penting yang harus diketahui

adalah kapasitas petani dalam memahami lingkungan biofisik dan budaya setempat untuk

meramalkan dan menjelaskan hasil suatu percobaan. Oleh karena itu untuk menciptakan

sistem bertani yang berwawasan lingkungan dibutuhkan kerjasama yang erat dengan para

petani. Pengetahuan indigenous merupakan pelengkap (complement) penting bagi

pengetahuan lmiah formal. Seperti yang dinyatakan oleh Grandstaff and Grandstaff

(1986), para petani memang tidak punya pengetahuan ilmiah untuk memprediksi apa

yang mungkin terjadi, akan tetapi tak seorangpun mampu lebih baik dalam memahami

kondisi lokal mereka selain mereka sendiri.

Dalam pengembangan sistem agroforestri tersebut, petani tidak hanya menyumbang


pengetahuan ekosistem lokal saja, tetapi pengalaman melakukan percobaan dan
adaptasi teknologi dalam kondisi setempat juga sangat penting dan membantu
mempercepat proses adopsi. Inovasi yang dihasilkan para petani dalam menghadapi
masalah dan menyikapi peluang baru memberikan indikasi perbaikan potensial
penting sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan bio-fisik yang harus mereka
hadapi.

Prinsip-Prinsip Ekologi Dasar Sistem Agroforestri

Pengetahuan dan pengalaman agroekologi pertanian lokal dan pertanian berwawasan


lingkungan di seluruh dunia memiliki beberapa prinsip ekologi dasar yang mengarah
pada proses pengembangan agroforetsri. Perlu disadari bahwa selain prinsip-prinsip
ekologi, prinsip lain yang meliputi sosio-ekonomi, dan politik juga memegang
peranan yang tidak kalah penting.
Prinsip-prinsip ekologi yang mendasari pengembangan agroforestri di antaranya
adalah:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Menciptakan kondisi tanah agar sesuai untuk


pertumbuhan tanaman, terutama dengan mengolah bahan organik dan
memperbaiki kehidupan organisme dalam tanah.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Optimalisasi ketersediaan hara dan


menyeimbangkan aliran hara, terutama melalui fiksasi nitrogen, pemompaan hara,
daur ulang dan penggunaan pupuk sebagai pelengkap.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Optimalisasi pemanfaatan radiasi matahari


dan udara melalui pengelolaan iklim-mikro, pengawetan air dan pengendalian
erosi.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Menekan kerugian seminimal mungkin akibat


serangan hama dan penyakit dengan cara pencegahan dan pengendalian yang
ramah lingkungan

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Penerapan sistem pertanian terpadu dengan


tingkat keragaman hayati fungsional yang tinggi, dalam usaha mengeksploitasi
komplementasi dan sinergi sumber daya genetik dan sumber daya lainnya.

Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dengan berbagai bentuk teknis dan strategis.
Setiap strategi dan teknik dalam sistem bertani akan memiliki pengaruh berbeda
dalam produktivitas, keamanan, keberlanjutan, tergantung pada peluang dan
keterbatasan setempat.

Petani agroforestri senantiasa menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam


menjalankan sistem usaha taninya, baik yang berasal dari dalam maupun yang dari
luar sistem. Kegagalan penyebarluasan praktek agroforestri di kalangan petani
seringkali disebabkan oleh kesalahan strategi, bukan karena keunggulan komparatif
sistem itu sendiri. Oleh sebab itu alasan bahwa petani sangat konservatif dan ketidak-
berhasilan penyuluh sebenarnya kurang tepat. Sebuah pendekatan yang lebih
konstruktif yang bisa dilakukan adalah dengan memikirkan permasalahan dalam
penyusunan rancangan dan memasukkan pertimbangan kemudahan untuk diadopsi
sedini mungkin (sejak tahap rancangan). Hal ini tidak berarti bahwa kedua alasan di
atas tidak benar, melainkan lebih ditekankan kepada proses penyuluhan dan
adopsinya yang sangat kompleks. Hambatan dari dalam misalnya yang terkait dengan
sistem produksi seperti kesuburan tanah dan ketersediaan tenaga kerja dan modal.
Hambatan dari luar misalnya fluktuasi harga produk (harga yang rendah). Tantangan
dan hambatan tersebut mengancam keberlanjutan sistem agroforestri. Oleh karena itu
perlu ada inovasi teknologi yang bisa mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi
oleh petani agroforestri, supaya agroforestri bisa menjadi salah satu prioritas pilihan
petani.

Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu :

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Meningkatkan produktivitas sistem


agroforestri,

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Mengusahakan keberlanjutan sistem


agroforestri yang sudah ada

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Penyebarluasan sistem agroforestri sebagai


alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih
baik dalam berbagai aspek (adoptability).

Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni
(a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan ternak,
bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan
jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara
kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb.

Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada


peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa. Peningkatan
produktivitas sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan perbaikan cara-cara
pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek sebelumnya,
termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun
demikian, keuntungan (ekonomi) yang diperoleh dari peningkatan hasil dalam jangka
pendek seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah petani mau menerima dan
mengadopsi cara-cara pengelolaan yang baru.

Perbaikan (peningkatan) produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui


peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan
menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan
dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->menggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi


dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->sistem agroforestri berbasis pohon ternyata


memerlukan jumlah tenagakerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per
satuan produk dibandingkan sistem perkebunan monokultur.

Sasaran keberlanjutan sistem agroforestri tidak bisa terlepas dari pertimbangan


produktivitas maupun kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan. Sistem agroforestri
yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam dan produktivitas jangka
panjang ternyata juga merupakan salah satu daya tarik bagi petani. Ada beberapa hal
yang menjadi pertimbangan petani pada saat mereka merencanakan untuk
menerapkan upaya konservasi, misalnya kepastian status lahan, pendapatan dalam
jangka pendek, dan sebagainya. Ada pendapat yang menyarankan agar petani diberi
insentif untuk mendorong supaya mereka mau menerapkannya. Seringkali insentif ini
diwujudkan dalam bentuk subsidi bagi petani (khususnya di negara maju). Di negara
berkembang, insentif tersebut diberikan dalam bentuk bantuan teknologi seperti
teknik-teknik konservasi lahan. Dalam sistem agroforestri terdapat peluang yang
cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan yang memadukan
sasaran keberlanjutan untuk jangka panjang dengan keuntungan produktivitas dalam
jangka pendek dan menengah.

Peluang untuk berhasil akan lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar
teknologi yang dapat diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan
secara aktif pemakai (user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses
pengembangan teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi
dan perbaikan rancangan inovasi teknologi. Perlu dipahami bahwa agroforestri
bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi keberagaman
sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang dapat dipilih
oleh petani sesuai dengan

Salah satu sasaran utama dari setiap usaha pertanian termasuk agroforestri adalah
produksi yang berkelanjutan (sustainable) yang dicirikan oleh stabilitas produksi
dalam jangka panjang. Beberapa indikator terselenggaranya sistem pertanian yang
berkelanjutan adalah dapat dipertahankannya sumber daya alam sebagai penunjang
produksi tanaman dalam jangka panjang, penggunaan tenaga kerja yang cukup
rendah, tidak adanya kelaparan tanah, tetap terjaganya kondisi lingkungan tanah dan
air, rendahnya emisi gas rumah kaca serta terjaganya keanekaragaman hayati (Van
der Heide et al., 1992; Tomich et al., 1998). Tidak adanya kelaparan tanah pada
sistem tersebut, dapat diartikan sebagai cukupnya kandungan bahan organik tanah,
terpeliharanya kesetimbangan unsur hara, terpeliharanya struktur dan kondisi biologi
tanah serta adanya perlindungan tanaman terhadap gulma, hama dan penyakit.

Pengembangan agroforestri meliputi berbagai tingkatan: mikro, meso dan makro.


Keberlanjutan sistem produksi usaha tani agroforestri pada tingkatan mikro
merupakan titik berat bahan kuliah ini. Namun demikian, upaya ini tidak bisa terlepas
dari tingkatan yang lebih tinggi (meso dan makro). Kebijakan nasional, regional dan
internasional melalui pemberlakuan berbagai peraturan dan undang-undang (hukum)
dapat mendorong pengembangan atau justru menghancurkan praktek-praktek
agroforestri. Produk pertanian atau agroforestri yang dipasarkan di tingkat lokal
sampai regional seringkali tidak dapat terlepas dari pengaruh sistem yang lebih tinggi
seperti perdagangan internasional, aliran penanaman modal (investasi) dan kebijakan
fiskal melalui pajak. Pengembangan agroforestri di tingkat petani (mikro)
memerlukan dukungan kebijakan nasional maupun regional yang tepat secara terus-
menerus bagi kelembagaan keuangan, teknis, penelitian, dan pemasaran.

Sistem agroforestri memiliki keluwesan dalam merespons berbagai gejolak atau


perubahan mendadak, baik fisik (iklim, hama), maupun perubahan ekonomi dan
moneter (pasar, harga). Keluwesan berbagai praktek agroforestri

memungkinkan menjadi penyangga (buffer) terhadap berbagai gejolak, paling tidak


untuk sementara waktu atau jangka pendek. Oleh karena itu sistem agroforestri
merupakan salah satu alternatif penggunaan lahan yang diharapkan mampu bersaing
dengan sistem-sistem lainnya.

<!--[if !supportLists]-->C. <!--[endif]-->Pendekatan Pengembangan Agroforestri

Pendekatan komiditi adalah pendekatan yang umum dipakai di berbagai lembaga


penelitian pertanian nasional ataupun internasional. Pendekatan ini dengan sendirinya
hanya memusatkan perhatian pada satu jenis tanaman saja, misalnya kopi, teh, karet,
padi, dsb.

Pendekatan lainnya adalah berpusat pada ‘pilihan teknologi’ atau ‘sistem pertanian’,
yang memprioritaskan petani (farmer first). Ada empat faktor yang

mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi, menolak,


mengadaptasi atau mengembangkan sistem agroforestri, yaitu :

Faktor pengetahuan lokal petani yang mencakup pengetahuan formal maupun


informal, kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi, ketrampilan yang dimiliki,
dan nilai/manfaat dari agroforestri yang ditawarkan.

b. Faktor sosial, meliputi jaminan penguasaan lahan, insentif atas fungsi pelayanan
lingkungan, dan dukungan kelembagaan lokal.

c. Faktor pasar terutama berhubungan dengan input, produk, tenaga kerja dan
ketersediaan kredit.

d. Pengembangan dan penyuluhan (extension services) yang dapat membantu petani


dalam memahami, menguji, dan menerapkan sistem agroforestri.
Selain keempat factor tersebut dibutuhkan dukungan lain: (a) Kebijakan dan iklim
ekonomi yang mendukung, (b) Dukungan infrastruktur seperti sarana transportasi,
kredit dsb, (c) Lembaga penelitian yang dapat memberikan informasi tentang
berbagai bentuk agroforestri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, (d)
Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan petani dalam pengelolaan
agroforestri. Pendekatan pilihan teknologi ini sebenarnya mewakili pengertian
agroforestri berdasarkan interaksi komponen dan pendukungnya dalam penggunaan
sumber daya alam pada tingkat petani.

<!--[if !supportLists]-->D. <!--[endif]-->Agroforestri sebagai Hutan Pengendali


Kelestarian Lingkungan

Agroforestri dapat dilihat sebagai konsep hutan yang memberikan sumbangan fungsi
hutan sebagai pengendali lingkungan. Hutan tidak sekedar sebagai sumber kayu dan
hasil hutan yang memberikan manfaat ekonomi, tetapi menjadi habitat bagi fauna dan
flora serta menjadi penyeimbang lingkungan.

Seperti diketahui hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Fungsi hutan
yang antara lain:

Penghasil kayu bangunan (timber). Banyak macam pepohonan yang tumbuh di hutan,
sehingga hutan dapat menjadi sumber penghasil kayu bangunan dengan berbagai
kualitas. Namun, adanya intensitas penebangan hutan yang cukup tinggi
menyebabkan masa bera menjadi lebih pendek. Akibatnya fungsi hutan sebagai
penyedia kayu bangunan telah bergeser menjadi penyedia kayu bakar saja yang lebih
rendah nilai ekonominya.

Sumber NTFP (Non Timber Forest Product ~ Produk hutan non-kayu). Tingkat
biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi
manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Hutan bukan saja menyediakan kayu
bangunan, tetapi juga obat-obatan, sayuran, keperluan rumah tangga lainnya
(contohnya rotan, bambu dsb). Singkatnya masa bera akan menyebabkan perubahan
iklim mikro sehingga banyak spesies sensitif yang berkurang populasinya dan
akhirnya punah.
Cadangan karbon (C). Hutan penting untuk meningkatkan cadangan C di alam
melalui peningkatan biomasa vegetasinya. Kemampuan hutan dalam mengabsorpsi
CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam
biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan
per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan.
Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi
CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Keberadaan hutan selain dapat
menyeimbangkan keberadaan CO2 di udara, hutan dapat berfungsi sebangai
penyeimbang suhu bumi dan mempengaruhi kestabilan iklim pada suatu daerah
tersebut.

Habitat bagi fauna. Hutan merupakan habitat penting bagi beberapa fauna dan flora.
Konversi hutan menjadi lahan lainnya akan menurunkan populasi fauna dan flora
yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati (biodiversitas) berkurang.

Filter. Kondisi tanah hutan umumnya remah dengan kapasitas infiltrasi air yang
tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang
terus menerus dari daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah,
dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya
infiltrasi air tanah, dan adanya penyerapan air dan hara oleh tumbuhan hutan, maka
adanya limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah dapat
dikurangi. Jadi hutan berperan sebagai filter, dan fungsi daerah aliran sungai (DAS)
sangat ditentukan oleh adanya filter tersebut. Hutan dapat menjadi tempat penyimpan
air sehingga dapat memperkecil erosi yang terjadi. Dengan adanya hutan di suatu
wilayah maka pada wilayah tersebut memiliki tutupan lahan yang dapat menahan
tanah tetap pada tempatnya dengan adanya ikatan antara misel tanah dengan akar.

Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor pembatas
keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan tersebut juga
merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam hutan dan
menjaga diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi masyarakat,
sebagai tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan dan memiliki
nilai ekonomi yang tinggi.

Di sisi lain, peran hutan sebagai penyeimbang alam, peran hutan kepada masyarakat
masih dirasa kurang. Penggunaan jasa lingkungan hutan berupa kayu-kayuan, serta
hasil bumi yang dihasilkan dari vegetasi hutan masih dirasakan terbatas. Hal ini di
sebabkan karena kebutuhan masyarakat lebih tinggi dari pada kuantitas serta kualitas
hutan itu sendiri.

Beralihnya sistem penggunaan lahan dari hutan alam menjadi lahan pertanian,
perkebunan atau hutan produksi atau hutan tanaman industri mengakibatkan
terjadinya perubahan jenis dan komposisi spesies di lahan bersangkutan. Hal ini
membawa berbagai konsekuensi terhadap berbagai aspekbiofisik, sosial dan ekonomi.

Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiridari


campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam
satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka agroforestri memiliki
fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian,
perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki
beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial
maupun ekonomi.

Agroforestri memainkan peran yang penting dalam pelestarian sumberdaya hutan


baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya khas. Agroforest
menciptakan kembali asitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro dan
dalamnya sejumlah tanaman hutan alami mampu bertahan hidup dan berkembang
biak. Kekayaan flora akan semakin besar bila dekat kebun terdapat hutan alam yang
berperan sebagai sumber bibit.

Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh
banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan.
Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan
(environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung
DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan
mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri
dalam mempertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer melalui penyerapan gas CO 2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan
mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering
dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah dan Utami,
2002)

Sistem agroforestri memiliki beberapa keunggulan baik dari segi ekologi atau
lingkungan. Agroforestri memiliki stabilitas ekologi yang tinggi, karena agroforestri
memiliki:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Multi-jenis. artinya memiliki


keanekaragaman hayati yang lebih banyak atau memiliki rantai makanan/energi
yang lebih lengkap. Konversi hutan alami menjadi lahan pertanian mendorong
penurunan keanekaragaman hayati secara drastis. Hasil penelitian Trudy
O’Connors (sumber CRAF) menunjukkan bahwa adanya alih guna lahan hutan
menjadi agroforestri berbasis kopi di Sumberjaya (Lampung Barat) menyebabkan
berkurangnya jenis burung yang hidup di kebun kopi. Pengendali hama (burung
pemakan serangga), Pengendali gulma: burung pemakan biji rumput-rumputan,
walaupun jenis burung pemakan biji ini dapat menjadi hama di sawah.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Multi-strata tajuk dapat menciptakan iklim


mikro dan konservasi tanah dan air yang lebih baik. Selain itu, dengan adanya
kombinasi pohon dan tanaman semusim dapat mengurangi serangan hama dan
penyakit

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Kesinambungan vegetasi, sehingga tidak


pernah terjadi keterbukaan permukaan tanah yang ekstrim, yang merusak
keseimbangan ekologinya.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Penggunaan bentang lahan secara efisien.


Pada suatu lahan, kemungkinan terdapat ‘relung’ (niches) yang beragam
tergantung pada kesuburan tanah,kemiringan lereng, kerentanan terhadap erosi,
ketersediaan air, dsb. Pada sistem monokultur, keragaman ‘niches’ ini seringkali
diabaikan, bahkan cenderung ditiadakan. Dalam agroforestri, petani memiliki
banyak pilihan untuk menyesuaikan tanaman apa yang akan ditanam pada suatu
‘niches’, dan bukan ‘mengkoreksi’ untuk memanfaatkan ’niches’ tersebut, yang
seringkali justru memboroskan biaya dan tenaga

<!--[if !supportLists]-->E. <!--[endif]-->Agroforestri sebagai Model Pertanian


Berkelanjutan

Agroforestri merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat guna,
sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya
tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total
menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal dan tenaga kerja dari luar
yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani.

Selain itu percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi


tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang bebrbeda dari
keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil
percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.

Agroforestri mempunyai fungsi ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat


misal untuk bahan pangan, kayu bakar dan aneka buah-buahan. Bahkan agroforestri
mampu menyumbang 50-80% pemasukan pertanian di pedesaan melalui produksi
langsung ataupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan,
pengolahan dan pemasarana hasil

Dilain pihak produksi agroforestri selalu dianggap sebagai sistem yang hanya
ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Agroforestri pada
umumnya masih dianggap sebagai kebun dapur yang tidak lebih dar sekedar
pelengkap sistem pertanian lainnya. Oleh sebab itu, sistem ini kurang mendapat
perhatian.
Keunikan konsep pertanian komersial agoforestri adalah karena sistem ini bertumpu
pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies
saja. Dengan demikian akan menimbulkan beberapa akibat yang menarik bagi petani
yang mengusahakannya. Aneka hasil kebun hutan sebagai tabungan (bank) karena
pendapatan dari agroforestri dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh
dari hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks, damar, kopi, kayu manis,
kayu bakar dan sebagainya.

Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan
kelenturan pendapatan petani. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman
kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit
diperkirakan. Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang dialami
bebrapa spesies seperti kayu damar dan kayu karet ketika kayu dar hasil hutan alami
menjadi langka. Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder agroforestri menyediakan
kebutuhan sehari-hari bagi petani (kebun dapur) seperti bahan pangan pelengkap
misalnya sayuran, buah, rempah dan tanaman obat.

Pemberdayaan pertanian berkelanjutan dapat melibatkan sector perternakan yang


dapat diterapkan dalam pengembangan agroforestri. Ternak memanfaatkan tanaman
untuk pakannya sebagai contoh adalah program Direktorat Pengemangan Peternakan
(2003) yaitu pemeliharaan sapi potong di bawah kebun kelapa sawit. Peningkatan
produksi daging sapi di dalam negeri saat ini terkendala sehubungan dengan
terbatasnya ketersediaan bibit ternak, pakan, lahan tempat usaha, modal dan daya
saing. Perkebunan kelapa sawit sangat sesuai untuk kawasan pengembangan ternak
ruminansia karena potensial sebagai sumber bahan pakan ternak, tersedianya lahan
usaha, infrastruktur, pasar dan modal. Ternak ruminansia seperti sapi potong dan
perah, kambing/domba dapat dipelihara di bawah pohon kelapa sawit atau dengan
jalan dikandangkan (sistem cut-and-curry). Manfaat lain adalah ternak dapat
dijadikan sumber tabungan selain adatananya tanaman produktif yang telah di
budidayakan. Kotoran ternak yang dihasilkan juga dapat dikelola dengan baik.
Sehingga menghasilkan bahan tambahan berupa bahan organik pupuk kandang untuk
budidaya tanaman.
Menurut Teleni, Campbell dan Hoffman (1993), sapi dan kerbau menghasilkan
sejumlah besar kotoran per ekor per tahun. Kotoran tersebut mempunyai nilai
ekonomis. Pada beberapa usaha peternakan rakyat, kotoran sapi dikumpulkan dan
dijual sebagai pupuk kandang. Pada ternak-ternak yang dilepas, kotoran menumpuk
di tanah dan menyebar menjadi pupuk bagi vegetasi di atasnya. Nilai ekonomisnya,
adalah bahwa petani tidak terlalu tergantung pada pupuk kimia, sehingga mengurangi
biaya untuk pupuk. Keuntungan lain dengan pemanfaatan ternak ruminansia, bahwa
tidak perlu mencari lahan khusus untuk pemeliharaan sapi/ kerbau. Dibandingkan
ternak nonruminansia, dalam hal mana cukup dapat diperlihara dengan sistem
backyard farming

<!--[if !supportLists]-->F. <!--[endif]-->Bentuk-Bentuk Agroforestri

Sistem agroforestri memiliki keunikan dibanding sistem pertanian monokultur, dan


keunikan itu harus dimunculkan dalam model yang membedakan antara model
agroforestri dengan model sistem lain. Beberapa ciri khas yang dimiliki oleh sistem
agroforestri adalah:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Adanya dua kelompok tumbuhan sebagai


komponen dari sistem agroforestri, yaitu pepohonan atau tanaman tahunan dan
tanaman semusim.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Ada interaksi antara pepohonan dan tanaman


semusim, terhadap penangkapan cahaya, penyerapan air dan unsur hara.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Transfer silang antara pohon dengan


tanaman.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Perbedaan perkembangan tanah. Perubahan


tanah berbeda berdasarkan sistem tipe agroforestri: (a) sistem rotasi, (b)
kepadatan spasial dari sistem campuran, dan (c) spasial terbuka dari sistem
campuran dan sistem zone spasial.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Banyak macam keluaran (output) (Cooper,
1996)

Berdasarkan ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sistem agroforestri, maka model-
model sistem agroforestri yang dikembangkan juga memiliki ciri tertentu pula.
Sampai dengan saat ini, ada beberapa kelompok model agroforestri di antaranya
adalah model-model yang menekankan:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Radiasi. Model tentang distribusi dan


penangkapan cahaya serta naungan.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Pertumbuhan. Model yang menghubungkan


faktor ketersediaan air (hujan) dengan pertumbuhan tanaman.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Tanah. Model simulasi proses yang terjadi


dalam tanah, misalnya aliran air, erosi, siklus unsur hara (khususnya nitrogen) dan
siklus bahan organik.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Ekonomi. Model dari nilai ekonomi sistem


agroforestri, umumnya didasarkan pada biaya dan analisis manfaat.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Penggabungan. Model yang menggabungkan


biofisik dan aspek ekonomi dari sistem agroforestri (Cooper, 1996)

Beberapa model Agroforestri yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut :

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Agrisilvopastur “, yaitu penggunaan lahan


secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus
hasil-hasil pertanian dan kehutanan.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->“Sylvopastoral sistem “, yaitu suatu sistem


pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->“Agrosylvo-pastoral sistem “, yaitu suatu
sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan
kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->“Multipurpose forest “, yaitu sistem


pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil
kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan
sebagai bahan makanan manusia, ataupun pakan ternak

Teknologi Agroforestry dikawasan hutan di Jawa dilaksanakan dengan menggunakan


bentuk Tumpangsari. Inmas Tumpangsari, dan terakhir Tumpangsari Selama Daur
Tanaman Pokok dalam Perhutanan Sosial. Tumpangsari berarti menduduki lahan
hutan atau ikut memanfaatkan lahan hutan untuk sementara waktu adalah tanaman
pertanian , yaitu pada tanaman hutan muda. Perbedaan dengan Inmas Tumpangsari
dalam hal penerapan teknolologi pertanian yang digunakan, mencakup penggunaan
teknologi sebagai berikut :

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Penggunaan bibit unggul tanaman pertanian.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Perbaikanpengolahan dan konservasi tanah.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Penggunaan pupuk.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Pemilihan waktu yang tepat untuk


penanaman dan pemberian pupuk, sehubungan dengan waktunya turun hujan.

<!--[if !supportLists]-->IV. <!--[endif]-->SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri mampu


memberikan dan mempertahankan fungsi hutan dan agroforestri mampu
dikembangkan dalam masyarakat pertanian sekaligus sebagai praktek pertanian
secara berkelanjutan

A. Rekomendasi Pengelolaan Sistem Agroforestri

Pengelolaan sistem agroforestri terdiri dari banyak komponen antara lain pohon,
tanaman semusim, hewan dan sebagainya, sehingga sistem tersebut cukup
kompleks. Pada sistem ini akan terbentuk interaksi antara pohon-tanah-tanaman
semusim dan setiap jenis komponen akan menimbulkan berbagai pengaruh
negatif maupun positif terhadap komponen yang lain. Banyak masyarakat
mengalami kegagalan dalam usaha agroforestrinya karena tingkat pemahaman
terhadap interaksi tersebut masih kurang. Oleh karena itu penelitian biofisik
agroforestri sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan pemahaman proses yang
terjadi dalam interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. Pengukuran dan
pemahamannya di lapangan cukup sulit dilakukan, untuk itu diperlukan alat bantu
simulasi model. Tersedianya model agroforestri diharapkan dapat membantu
dalam

menjabarkan pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat ke dalam

tingkat ilmiah.

Penyediaan bibit yang berkualitas tinggi

Usaha agroforestri tidak jarang mengalami kegagalan, karena pertumbuhan pohon


yang tidak baik sebagai akibat rendahnya mutu bibit yang dipilih.

Untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat dalam penyediaan bibit, maka


masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan dalam pemilihan
bibit.

Pemilihan lokasi yang cocok (Tree-site-matching) dan pemasaran


Pemilihan lokasi yang tepat bagi jenis komoditi tertentu merupakan salah satu
kunci keberhasilan usaha agroforestri. Penelitian tentang pola sebaran pepohonan
pada skala bentang lahan merupakan informasi yang sangat berharga bagi
masyarakat untuk mengembangkan usaha agroforestrinya. Di samping itu,
informasi pasar untuk produk pohon (kayu bangunan, buah-buahan dan rempah)
akan banyak membantu petani dalam mengatur strategi pengelolaan lahannya.

Pengukuran tingkat pelayanan lingkungan agroforestri

Agroforestri memberikan pelayanan lingkungan antara lain mempertahankan


fungsi daerah aliran sungai (DAS), penyerapan CO2 di atmosfer dan
mempertahankan keanekaragaman hayati. Masalah merosotnya kualitas
lingkungan di Indonesia akhir-akhir ini mendapat sorotan internasional, namun
ketersediaan data kuantitatif masih belum banyak tersedia. Sebagai contoh,
masalah kebakaran hutan yang melanda daerah luas dan terjadi pada waktu yang
bersamaan pada tahun 1997, , CH 4dan N2O) yang telah melebihi menyebabkan
emisi gas rumah kaca (CO2) batas ambang yang diperbolehkan dari segi
kesehatan.

Kebijakan Pemerintah

Penelitian yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan agroforestri antara lain


yang berhubungan dengan:

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Jaminan penguasaan lahan (land tenure).

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Pengadaan “pasar hijau” bagi produk


yang ramah lingkungan dan pemberian ‘insentif’ bagi petani yang
melaksanakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahn, P.M. 1993. Tropical soils and fertilizer use. Longman Science & Technical. 263p.

Barrow, C.J. 1991. Land Degration: Divelopment and Breakdown of Terrestial


Enviroment. Great Britain. Cambridge University Press.

Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and
Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of Africa,
Experimental Agriculture 32, 249-261.

Departemen Kehutanan. http://www.dephut.org.id/ diakses tanggal 25 Februari 2008

Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy. 1976. The influence of shifting cultivation
on a Podzolic soil from Central Kalimantan. Proceedings Peat and Podzolik Soils
anTheir Potential for Agriculture in Indonesia. Bulletin 3. Soil Researc Institute.
pP:95-114.

Hairiah K, Widianto, SR Utami dan B Lusiana (editor). 2002. WaNuLCAS: model


simulasi untuk sistem agroforestri. International Centre for Research in
Agroforestry southeast Asian Regional Research Programme (ICRAF-SEA), Bogor.

Hidayati, N. 2000. Degradasi lahan pasca penambangan emas dan upaya reklamasinya:
kasus penambangan emas Jampang-Sukabumi. PROSIDING Konggres Nasional
VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya tanah sesuai dengan potensinya menuju
keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Bandung 2 - 4 Nopember 1999. Buku I. Himpunan Tanah Indonesia. Hal: 283-294.

Lahjie, A.M. 1989. Praktek perladangan oleh penduduk asli dan pendatang di Kalimantan
Timur. Proceeding of the Pusrehut seminar on reforestration and rehabilitation to
develop the tropical rain forest and to support human prosperity and ecosystems.
Mulawarman University. 163-178p.

Lal, R. 1986. Soil surface management in the tropics for intensive land use and high and
sustained production. Stewart, B.A.(editor). Advances in soil science volume 5.
Springer-Verlag New York Inc. p:1-110.

Manik, K.S.E., K.S. Susanto, dan Afandi. 1997. Degradasi lahan akibat proses
antropogenik :studi kasus pembuatan batu bata di sekitar Bandar Lampung. J.
Tanah Trop. 4:95-98.

McAlister, J.J., B.J. Smith, and B. Sanchez. 1998. Forest clearence: impact of landuse
change on fertility status of soils from the Sao Francisco area of Niteroi, Brazil.
Land Degradation & Development. 9:425-440.

Oldeman, L.R. 1994. The global extent of soil degradation. Greenland,D.J. and I.
Szabolcs (editor). Soil resilience and sustainable land use. CAB International. p:99-
118.
Narain, P. dan S.S. Grewal, 1994. Agroforestry for Soil and Water Conservation India
Experience. Center Soil and Conservation Research and Training Maitute, Dehra
Dun 48 195 , India 8th International Soil and Water Conservation.Challenges and
Opportunities. Vol. 2.

Rony, 2008. Pertanian Berkelanjutan.


http://m4h4rony.wordpress.com/2008/02/09/pertanian-berkelanjutan/ diakses
tanggal 25 Februari 2008.

Satjapradja, D., 1981. Agroforestri di Indonesia, Pengertian dan Implementasinya.


Makalah. Seminar Agroforestri dan Perladangan, Jakarta.

Young A. 1997. Agroforestry for soil management Wallingford, UK.Chichakly K, J


Gass, M Newcomb, J Pease and K Richmond. 1996. STELLA. High performance
ystems, Inc. 45 Lyme Road, Hannover, NH 03755, USA

Raintree JB. 1983. Theory and practice of Agroforestry Diagnosis and Design. In:
MacDicken KG and NT Vergara (eds). 1990. Agroforestry: Classification and
FManagement. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Tomich TP, M van Noordwijk, S Budidarsono, A Gillison, T Kusumanto, D Murdiyarso,


F Stole and AM Fagi. 1998. Alternatives to slash-and-burn in Indonesia. Summary
report and synthesis phase II. ICRAF, Nairobi, Kenya.

Van der Heide J, S Setijono, Syekhfani MS, EN Flach, K Hairiah, S Ismunandar, SM


Sitompul and M van Noordwijk. 1992. Can low external input cropping systems on
acid upland soils in the humid tropics be sustainable? Background of the
Unibraw/IB Nitrogen management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan,
Kota Bumi, Lampung Utara, Indonesia). Agrivita 15: 1-10.

Teleni, E., R.S.F. Campbell and D. Hoffman. 1993. Draught Animal Systems and
management : An Indonesian Study. ACIAR Monograph No. 19, p : 94.

http://anastaciaintan.wordpress.com/2009/01/06/agroforestri-sebagai-bentuk-
pengelolaan-hutan-berbasis-masyarakat-berkelanjutan-dan-salah-satu-pengendali-
lingkungan/ (12 maret 2009)

Anda mungkin juga menyukai