Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KIMIA LINGKUNGAN

PEMBAKARAN HUTAN

Disusun Oleh:

Kelompok :2

Nama : 1. Jeni Hendasari (06101281520064)

2. Puspita Mayang Sari (06101281520063)

3. Riska Anggraini (0610138152002)

4. Siti Nurhasanah (06101281520062)

Program Studi : Pendidikan Kimia Palembang

Dosen Pembimbing : Rodi Edi, S.Pd., M.Si

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan atas karunia-Nya
juga kami dapat menyelesaikan Makalah ini sebagaimana mestinya.
Adapun maksud dari Makalah yang berjudul Pembakaran Hutan, ini adalah syarat
untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Kimia Lingkungan. Oleh karena itu,
penyusunan Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan para
pembaca tentang beberapa hal yang dibahas dalam Makalah ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang selalu memberi
banyak masukan sehingga Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan juga kepada
teman teman yang telah membantu dalam penyusunan Makalah ini, meskipun namanya
tidak dapat disebutkan oleh kami satu persatu. Kami sangat berharap semoga Makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Palembang, April 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 4


2.1 Pengertian Teori Konstruktivisme .......................................................... 4
2.2 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme ................................................. 5
2.3 Prinsip-Prinsip Konstruktivisme ............................................................. 6
2.4 Pembelajaran Menurut Konstruktivisme ................................................ 9
2.5 Lingkungan Pembelajaran Konstruktivistik ........................................... 11
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik .................... 12

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 14


3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 14
3.2 Saran ....................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hutan sebagai paru-paru dunia juga penyumbang oksigen dan keanekaragaman
hayati terbesar di muka bumi.Terdapat berbagai jenis flora dan fauna didalamnya.Hutan
adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia yang dapat ditemukan baik di
daerah tropis maupun daerah beriklim dingin.Sebagai fungsi ekosistem, hutan berperan
sebagai lumbung air, penyeimbang lingkungan, dan mencegah timbulnya pemanasan
global.
Hutan Indonesia merupakan hutan terluas ke-3 di dunia setelah Brazil dan Zaire.
Luas hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 120,35 juta hektar atau sekitar 63 persen
luas daratan. Penyebaran hutan di Indonesia hampir berada di seluruh wilayah nusantara,
termasuk Provinsi Riau. Sebagian besar wilayah hutan Provinsi Riau merupakan lahan
gambut yang sangat berpotensi untuk pertumbuhan kelapa sawit.Dari luasan total lahan
gambut di dunia sebesar 423.825.000 ha, sebanyak 38.317.000 ha terdapat di wilayah
tropika. Sekitar 50% dari luasan lahan gambut tropika tersebut terdapat di Indonesia yang
tersebar di pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua, sehingga Indonesia menempati
urutan ke-4 dalam hal luas total lahan gambut sedunia, setelah Kanada, Uni Soviet, dan
Amerika Serikat.Indonesia memiliki lahan gambut terluas diantara negara tropis lainnya,
yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar luas terutama di pulau Sumatera, Kalimantan dan
Papua. Lahan gambut Riau menempati urutan ke-2 terbanyak setelah provinsi Papua.
Oleh karena itu, banyak perusahaan-perusahaan baik swasta asing maupun dalam
negeri yang berminat dan tertarik terhadap lahan gambut di Provinsi Riau dan kemudian
melakukan kerjasama untuk membangun perkebunan kelapa sawit yang akan diolah
menjadi minyak. Namun tidak semua perusahaan yang menaati peraturan pemerintah
terutama dalam hal pengelolaan lahan untuk pembangunan sehingga timbulah tindakan
illegal yang dilakukan oleh perusahaan tersebut yang hanya dapat memberikan
keuntungan sepihak. Misalkan, pembukaan lahan yang dilakukan dengan carapembakaran
hutan.
Dengan semakin banyaknya lahan yang dibakar maka akan meningkatkan kadar
asap dari kebakaran itu sendiri. Apalagi asap yang ditimbulkan dari pembakaran lahan
gambut yang dinilai sangat sulit dalam upaya penyelesaiannya. Dikarenakan, saat musim
kemarau tiba permukaan tanah gambut cepat sekali kering dan mudah terbakar, dan api di
permukaan juga dapat merambat ke lapisan dalam yang relatif lembab. Oleh karenanya,
ketika terbakar, kobaran api tersebut akan bercampur dengan uap air di dalam gambut dan
menghasilkan asap yang sangat banyak.
Kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai sebuah kebakaran yang terjadi di
alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya.
Kebakaran hutan sangat rawan terjadi ketika musim kemarau. Adapun beberapa
penyebab terjadinya kebakaran hutan antara lain: Pembakaran lahan yang tidak
terkendali, kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar peraturan
pembukaan lahan, aktivitas vulkanisme, dan kecerobohan manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Pengertian dan manfaat hutan di Indonesia
1.2.2 Kerusakan hutan dan penyebabnya yang terjadi di Indonesia
1.2.3 Kebakaran hutan dan jenis-jenisnya
1.2.4 Penyebab dan dampak kebakaran hutan
1.2.5 Pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan
1.2.6 Beberapa kasus kebakaran hutan

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian dan manfaat hutan di Indonesia
1.3.2 Mengetahui kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia dan penyebabnya
1.3.3 Mengetahui pengertian dan jenis-jenis kebakaran hutan
1.3.4 Mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan
1.3.5 Mengetahui cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan
1.3.6 Mengetahui beberapa kasus kebakaan hutan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hutan

Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan). Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia, hutan adalah suatu
areal yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan lainnya dipelihara bagi
keuntungan tidak langsung atau dapat pula bahwa hutan sekumpulan tumbuhan yang
tumbuh bersama.
Pemanfaatan sekaligus perlindungan hutan di Indonesia diatur dalam UUD 45,
UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun
1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA
dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Menurut beberapa peraturan tersebut,hutan merupakan
sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman
hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur
tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.

2.2 Hutan di Indonesia

Luas hutan di Indonesia berkisar 122 juta hektar, yang persebarannya di Pulau
Jawa hanya sekitar 3 juta Ha, terdiri atas 55% hutan produksi dan 45% hutan lindung.
Persebaran hutan di Indonesia kebanyakan berjenis hutan hujan tropis yang luasnnya
mencapai 89 juta hektar. Daerah-daerah hutan hujan tropis antara lain terdapat di pulau
Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Irian. Hutan hujan tropis
anggotanya tidak pernah menggugurkan daun, liananya berkayu, pohon-pohonnya lurus
dapat mencapai rata-rata 30 meter.
2.3 Manfaat Hutan di Indonesia

2.3.1 Kekayaan Keanekaragaman Hayati yang Tinggi sebagai Paru-paru Dunia


Jamur dan bakteri dapat membantu proses pembusukan pada hewan dan
tumbuhan secara cepat. Dengan demikian hutan hujan tropis tidak saja ditandai dengan
pertumbuhan yang baik tetapi juga tempat pembusukan yang baik. Keanekaragaman
hayati ditandai dengan kekayaan spesies yang dapat mencapai sampai hampir 1.400
spesies, Brasil tercatat mempunyai 1.383 spesies. Di daerah tropis tumbuhan berkayu
mempunyai dominasi yang lebih besar daripada daerah lainnya.

2.3.2 Hutan Sebagai Pengatur Aliran Air


Penguapan air ke udara hingga terjadi kondensasi di atas tanah yang berhutan
antara lain disebabkan oleh adanya air hujan, dengan ditahannya (intersepsi) air hujan
tersbut oleh tajuk pohon yang terdiri dari lapisan daun, dan diuapkan kembali ke udara.
Sebagian lagi menembus lapisan tajuk dan menetes serta mengalir melalui batang ke atas
permukaan serasah di hutan.

2.3.3 Pencegah Erosi dan Banjir


Erosi dan banjir adalah akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan tanah
terutama di daerah yang mempunyai kemiringan permukaan bumi atau disebut juga
kontur yang curam. Keduanya dapat bersumber dari kawasan hutan maupun dari luar
kawasan hutan, misalnya perkebunan, tegalan, dan kebun milik rakyat.

2.3.4 Menjaga Kesuburan Tanah


Kesuburan tanah sebagian besar dalam bentuk mineral, seperti unsur-unsur Ca, K,
N, P, dan lainnya, disimpan pada bagian dari vegetasi yang ada di atas tanah, misalnya
pada batang, dahan, ranting, daun, bunga, buah, dan lain-lain. Dengan demikian dengan
adanya kerapatan hutan pada hutan tropika dapat menjaga kesuburan tanah.

2.4 Kerusakan Hutan di Indonesia

Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia.


Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan
oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar
pertahun. Bahkan jika melihat data yang dikeluarkan oleh State of the Worlds Forests
2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka
deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi
hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan gelar
kehormatan bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan angka
135 juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total
sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia
telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga
mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (Hak Penguasaan
Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43
juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih
terjaga dan berupa hutan primer.
Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan industri,
terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan sehingga
mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia mencapai 40 juta meter
kubik per tahun, sedangkan laju penebangan yang sustainable (lestari berkelanjutan)
sebagaimana direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah
22 juta meter kubik meter per tahun. Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia,
disumbang oleh pengalihan fungsi hutan (konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi
hutan menjadi area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha
hutan sampai akhir 1997.
Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang signifikan bagi
masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan yang
mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang
pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir.
Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa
dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik yang
semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya lutung jawa
(Trachypithecus auratus), dan merak (Pavo muticus), owa jawa (Hylobates moloch),
macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), merpati hutan perak
(Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant maximus sumatranus).
2.5 Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki
dampak negatif. Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah
sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah
dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai
pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan
bakar yang tersedia di hutan,antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang
sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan
Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau
Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau
seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran
hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada
lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat
api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam.
Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk
tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar.
Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu
tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun
tidak saling bersentuhan.
3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan.
Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak
ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api
tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.

2.6 Kebakaran dan Pembakaran

Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama
tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak
disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi
tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan
istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang
berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah
terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan,
padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja
dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku
binis kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir,
larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam
dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di
Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api
lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api
merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan.
Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang
siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan
akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu,
agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan
bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk
menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus
berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook
atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di
Indonesia.

2.7 Penyebab Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.

1. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan


lupa mematikan api di perkemahan.
2. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan
gunung berapi.
3. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau
membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
4. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat
menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
2.8 Kerugian yang ditimbulkannya

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu


lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan
dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun
1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar
US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta.
Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutantersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi
karena perkiraan dampak ekonomi bagikegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia.
Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar.
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003),
menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84
milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan
kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang
terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya
pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti
kesehatan, pariwisata dan transportasi.

2.9 Dampak Kebakaran Hutan

2.9.1 Dampak Kebakaran Hutan terhadap Lingkungan Biologis

Yang dimaksud dengan lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang
berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan, tumbuhan, dan
decomposer. Dampak yang ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan khususnya terhadap
lingkungan biologis antara lain sebagai berikut:

1. Terhadap flora dan fauna

Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam
sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu,
terbakarnya hutan akan membuat Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka
flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Berbagai
spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan.
Selain itu, kebakaran hutan dapat mengakibatkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya
tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga
dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di suatu daerah turut punah sebelum
sempat dikenali/diteliti.

Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain sebagai berikut:

Bangsa Binatang
Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan kehilangan tempat
tinggal yang digunakan untuk berlindung serta tempat untuk mencarimakan. Dengan
demikian, hewan yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru setelah terjadinya
kebakaran tersebut akan mengalami penurunan jumlah bahkan dapat mengalami
kepunahan.
Contoh dampak kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain sebagai berikut:
Geobin : seluruh daur hidupnya di dalam tubuh tanah (Ciliophora, Rhizopoda &
Mastigophora, dll)
Geofil : sebagian daur hidupnya di dalam tubuh tanah (serangga)

Bangsa Tumbuhan
Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan tempat hidupnya.
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi tertentu.
Contoh dampak kebakaran hutan terhadap tumbuhan adalah sebagai berikut:
Tumbuhan tingkat tinggi (akar pohon, semak atau rumput)
Tumbuhan tingkat rendah (bakteri, cendawan dan Ganggang)
Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila
terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga
mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi
penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah.

2. Terhadap keanekaragaman hayati

Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan
yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan.
Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan
tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana
banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat
banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

3. Terhadap mikroorganisme

Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan mikroorganisme)


tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme tanah
misalnya: cacing tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah, dan
mikroorganisme tanah misalnya: mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur
hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan terbunuh. Selain itu, bakteri penambat (fiksasi)
nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan Leguminosae juga akan mati sehingga laju
fiksasi ntrogen akan menurun. Mikroorganisme, seperti bakteri dekomposer yang ada
pada lapisan serasah saat kebakaran pasti akan mati. Dengan temperatur yang melebihi
normal akan membuat mikroorganisma mati, karena sebagian besar mikroorganisma
tanah memiliki adaptasi suhu yang sempit. Namun demikian, apabila mikroorganisme
tanah tersebut mampu bertahan hidup, maka ancaman berikutnya adalah terjadinya
perubahan iklim mikro yang juga dapat membunuhnya. Dengan terbunuhnya
mikroorganisme tanah dan dekomposer seperti telah dijelaskan di atas, maka akan
mengakibatkan proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti.

4. Terhadap organisme dalam tanah

Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap kematian


populasi dan organisme tanah serta dampak yang lebih signifikan lagi yaitu merusak
habitat dari organisme itu sendiri. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah,
juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro.
Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit,
kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera
menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan
jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya
bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi
dalam beberapa tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika, kimia dan biologi tanah pada
hutan dan hutan yang sudah dibuka pada daerah Buffer Zone dan Resort Sei Betung pada
Taman Nasional Gunung Leuser Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Medan. Yang dimulai pada bulan April hingga Mei 2011. Penelitian ini
mengambil 12 titik sampel tanah sebagai bahan penelitian, yaitu 6 sampel pada hutan asli
dan 6 sampel pada hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian. Metode yang
digunakan adalah Survei Bebas tingkat survei semi detail dan analisis data kandungan
bahan organik tanah dengan metode Walkley and Black, hara Nitrogen total tanah dengan
metode Kjeldhalterm, Tekstur tanah dengan metode Hidrometer, pH tanah dengan
metode Elektrometri, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan metode Ekstraksi NH4OAc
pH 7 serta nisbah C/N tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan bahan
organik digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah dan rendah (pada tanah hutan
yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan), sedang dan
tinggi (pada tanah hutan alami). N-total tanah digolongkan dalam 3 kriteria, yakni rendah
(pada tanah hutan alami), sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami dan hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan). Rasio C/N tanah
digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah (pada tanah hutan yang sudah dibuka
untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan), rendah, sedang dan tinggi (pada
tanah hutan alami). pH tanah digolongkan dalam 3 kriteria, yakni sangat masam, masam
dan agak masam. Tekstur tanah lebih dominan lempung berpasir. Kapasitas Tukar Kation
tanah digolongkan dalam 1 kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami dan hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan).

2.9.2 Dampak Kebakaran Hutan terhadap Pencemaran Udara

Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan


polutan udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia.
Berbagai pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu
dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran
pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan,
sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang
pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah
Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand.
Sekitar 75 juta orang terkena gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap.
Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir
daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia
menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut.
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan
perhitungan luas kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa
kebakaran yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi
sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta
dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi
kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi
karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanyamencapai2,8 miliar dolar.

2.10 Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia

Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang
bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan
yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi
kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya
adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan
kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.
Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan
atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi
kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada
dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan
pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja,
lebih banyak didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang
ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan
di Indonesia.
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai
contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah
dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang
muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak
didakwa sebagai pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak
membuat mereka jera. Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus
terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini. Oleh karena itu,
berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya
pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan
secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan
hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu
penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi
berikut ini :
1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-
masing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim
digunakan adalah 3 cara berikut:
pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa
(Partisipatory Rural Appraisal)
pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau
citra satelit.
2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning
system) di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
o analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
o pengolahan data hasil pengintaian petugas
3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di
setiap wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa
menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan
terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya. Pembinaan merupakan kegiatan
yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan intensitas terjadinya
kebakaran hutan. Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat,
khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan
tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan.
4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan
maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang
baku dalam berbagai hal berikut :

Metode pelaporan
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk,
khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem
pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang
masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan
sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.
Peralatan
Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus
bisa diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali
sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan
sumber daya manusia yang tersedia di daerah.
Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan
kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani
kebakaran hutan yang terjadi. Adanya standardisasi ini akan memudahkan
petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan
jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan
5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan
langsung dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah
tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung
dengan penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah
data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi
empat, yaitu :
Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang
diamati. Contoh : patroli hutan
Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara
penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan,
dan keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan
menghimpun data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke
daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat
melalui 2 pendekatan, yaitu :

o Preventif : Kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya


perusakan lingkungan (pembakaran hutan). Contohnya :
pengawasan untuk menentukan status ketika akan terjadi
kebakaran hutan.
o Represif : Kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi
perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-
akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan
diatas, diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan
Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan
pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan
institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
2. Pengembangan organisasi penyelenggara pencegahan kebakaran hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor,
tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan
upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian,
serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk
memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan
efektif.
3. Pengembangan sistem komunikasi
Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi
antar tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal
ini akan mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi
kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan.
2.11 Penanggulan Kebakaran Hutan di Indonesia

Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.
Adapun upaya penanggulangan yang dimaktub tersebut antara lain:

1. Memberdayakan sejumlah posko yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan di


semua tingkatan. Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan
terkait tindakan apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki
status Siaga I dan juga Siaga II.
2. Memindahkan segala macam sumber daya baik itu manusia, perlengkapan serta
dana pada semua tingkatan mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga
instansi lain bahkan juga pihak swasta.
3. Memantapkan koordinasi antara sesame instansi yang saling terkait melalui dengan
PUSDALKARHUTNAS dan juga di lever daerah dengan PUSDALKARHUTDA
tingkat I dan SATLAK kebakaran lahan dan juga hutan.
4. Bekerjasama dengan pihak luar seperti Negara lainnya dalam hal menanggulangi
kebakaran hutan. Negara yang potensial adalah Negara yang berbatasan dengan kita
misalnya dengan Malaysia berama pasukan BOMBA-nya. Atau juga dengan
Australia bahkan Amerika Serikat.

Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan upaya
pencegahan. Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari
memanggulangi. Ada beragam cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah
kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti membuang
punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan pembukaan lahan dan juga api unggun
yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya adalah dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat khususnya mereka yang berhubungan langsung dengan hutan. Masyarakat ini
biasanya tinggal di wilayah hutan dan memperluas area pertaniannya dengan membakar.
Pemerintah harus serius mengadakan sosialisi agar hal ini bisa dicegah.
Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa disempurnakan jika
pemerintah mau memanfaatkan teknologi semacam bom air. Atau bisa juga lebih lanjut
ditemukan metode yang lebih efisien dan ampuh menaklukkan kobaran api di hutan.
Langkah yang paling baik adalah dengan mengikutsertakan para perangkat pendidikan
agar merancang teknologi maupun metode yang membantu pemerintah di level praktis.
Sokongan dana dari pemerintah akan membuat program tersebut lebih baik dan terarah.

2.12 Beberapa Kasus Kebakaran Hutan yang Terjadi Didunia

2.12.1 Kebakaran Hutan di Riau

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali menangkap seorang petani


saat membersihkan lahan dengan cara membakar di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Penangkapan dilakukan saat BNPB melakukan patroli.

Kejadiannya beberapa hari lalu saat tim melakukan patroli udara dan darat, kata Humas
BNPB Agus Wibowo di Pekanbaru, Minggu (21/7) seperti dikutip Antara.

Dia menjelaskan, pelaku yang teriindikasi sebagai petani pemilik lahan di Kabupaten
Siak ini diamankan oleh tim pemantau yang terdiri atas pasukan Tentara Nasional
Indonesia (TNI), masyarakat dan Polri.

Sampai saat ini patroli masih terus berjalan dengan dikoordinir Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Riau, katanya

Dengan tertangkapnya seorang pelaku pembakar hutan ini, maka total jumlah pembakar
lahan perorangan ada sebanyak 25 orang. Saat ini Polda Riau juga tengah melakukan
penyelidikan terhadap 12 kasus dan 5 kasus penyidikan dengan tersangka 24 orang dan
satu korporasi.

Sebanyak 24 tersangka tersebut merupakan pelaku pembakar hutan maupun individu


yang memang ingin memperluas lahan dengan menyuruh membakar hutan.

Hingga saat ini dilaporkan situasi di Riau semakin kondusif meskipun pada peristiwa
pembakaran hutan tersebut dua orang dicatat meninggal yang mana satu orang bahkan
turut terbakar.

Sementara untuk kasus pembakaran hutan yang melibatkan perusahaan perkebunan di


Provinsi Riau masih menggantung. Sejauh ini Polda Riau belum juga menetapkan
tersangka pada kasus yang terindikasi melibatkan sebuah perusahaan perkebunan, PT
Adei Plantation (AP). Untuk memperkuat dugaan itu, Polda Riau berencana mengambil
keterangan saksi ahli.

Saksi ahli yang rencana didatangkan ada beberapa, di mana menurut informasi kepolisian
saksi tersebut dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan akademisi.

Polda Riau sebelumnya juga telah memeriksa sebanyak 16 saksi dari kalangan karyawan
dan pejabat perusahaan diduga pembakar lahan.

2.12.2 Kebakaran Hutan di Sydney

Langit di atas pelabuhan kota Sydney berubah menjadi memerah pada Kamis kemarin
akibat kebakaran hutan di sebagian besar area di negara bagian New South Wales (NSW),
Australia. Menurut laporan petugas pemadam kebakaran, terdapat hampir 100 titik api
yang ada di Australia bagian tenggara itu.

Kantor berita BBC, Kamis 17 Oktober 2013, melansir, sebanyak 200 rumah diperkirakan
ikut terbakar dalam insiden tersebut. Jumlah itu masih dapat terus bertambah, karena
petugas pemadam kebakaran hingga kini masih menghitung.

Akibat kebakaran tersebut, satu orang dilaporkan tewas saat sedang berusaha melindungi
rumahnya di Danau Munmorah di Central Coast agar tidak ikut terbakar. Korban tewas
adalah pria berusia 63 tahun dan meregang nyawa akibat serangan jantung pada Kamis
sore waktu setempat. Tiga pemadam kebakaran terluka.

Dugaan sementara, kebakaran disebabkan suhu udara yang sangat panas dan angin
kencang. Kendati suhu udara dan kecepatan angin sudah mulai menurun, namun
kebakaran masih terus terjadi di pinggiran kota Sydney.

Menurut laporan BBC, sekitar dua ribu petugas pemadam kebakaran dikerahkan ke
seluruh negara bagian untuk mengendalikan si jago merah. Namun, masih banyak titik
api yang di luar kendali mereka.

Wakil Kepala Layanan Pemadam Kebakaran Pedesaan NSW, Rob Rogers, mengatakan
ini merupakan kondisi kebakaran terparah yang pernah dia lihat dalam satu dekade
terakhir. Ada ribuan kilometer area yang terbakar api dan harus kami padamkan, ujar
Rogers.

Hal serupa turut diperkuat kesaksian petugas pemadam kebakaran lainnya yang menyebut
ketinggian api mencapai 20 hingga 30 meter.

Perdana Menteri, Tony Abbott, yang mengetahui soal bencana ini, berkunjung ke daerah
Blue Mountain, area terparah yang terkena bencana. Abbott mengaku salut terhadap
upaya para petugas pemadam kebakaran. Orang-orang ini adalah sosok yang pada hari
biasa bersama-sama mendukung dan melindungi sesama warga Australia, ungkap
Abbott.

Untuk sementara ini, api memang dapat dikendalikan, namun suhu panas diprediksi akan
kembali melanda NSW mulai pekan depan. Menurut laporan Dailymail, kebakaran hutan
kerap terjadi di Negeri Kangguru saat suhu udara tinggi.

Aksi kebakaran terparah lainnya pernah terjadi di tahun 2009 silam yang menyebabkan
173 orang tewas dan melalap dua ribu rumah di Negara Bagian Victoria.

2.12.3 Kebakaran Hutan di California

Kebakaran hutan di California telah menghanguskan lebih dari 100 bangunan, termasuk
11 rumah, dan menghanguskan areal hutan seluas 155 kilometer persegi.

Petugas pemadam kebakaran yang berjuang mengatasi kebakaran besar di negara bagian
California yang telah menghanguskan hutan luas di salah satu taman nasional terkenal
mengatakan mereka seharusnya akan memadamkan kebakaran itu sepenuhnya minggu
ini.

Dinas Kehutanan Amerika memperkirakan yang disebut Lingkar Kebakaran di Taman


Nasional Yosemite dan sekitarnya akan dipadamkan 100 persen hari Jumat. Hingga
Kamis tengah hari, kebakaran itu 84 persen dipadamkan dan telah menghanguskan
104.000 hektar lahan.

Jay Millier, ekolog senior kebakaran hutan hari Kamis memberitahu Associated Press
kebakaran besar itu telah membuat wilayah mirip permukaan bulan yang dinuklir di
pegunungan Sierra Nevada yang lebih besar dari wilayah manapun yang pernah terbakar
dalam ratusan tahun. Dia mengatakan tidak ada lagi yang tersisa di hampir 40 persen
wilayah lokasi kebakaran kecuali lahan hangus.

Pemerintah Amerika pekan lalu mengatakan Lingkar Api itu disebabkan oleh seorang
pemburu yang tidak dapat mengendalikan api unggun ilegal yang dinyalakannya pada
tanggal 17 Agustus.

Dinas Kehutanan Amerika mengatakan belum ada orang yang ditahan dalam kasus itu.

Kebakaran itu telah menghanguskan lebih dari 100 bangunan, termasuk 11 rumah, dan
membuat area seluas 155 kilometer persegi dalam keadaan mati semuanya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber
hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur
oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.
Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan
dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang
sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain
upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan
hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang
terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.

3.2 Saran
Melihat dari akibat kebakaran hutan diatas, maka dari itu kita sebagai manusia
hendaknya bisa menjaga hutan dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak di inginkan
DAFTAR PUSTAKA

Waliadi, Suhada, dan Dedi. 2005. Mengelola Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan.
Palangkaraya: CARE International Indonesia

Anda mungkin juga menyukai