keanekaragaman rendah jika komunitas itu disusun oleh hanya tingkat keanekaragaman tiap spesiesnya saja yang
sedikit spesies. berbeda.
[9] menyatakan bahwa keragaman spesies burung Keanekaragaman berhubungan dengan pola distribusi
merupakan sesuatu refleksi dari bermacam-macam habitat burung. Faktor – faktor yang mempengaruhi distribusi
dan kondisi iklim yang mampu mendukungnya. Burung dapat burung [12] yaitu : waktu dan geologi, penghalang fisik,
menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat mobilitas kebutuhan akan lingkungan, toleransi ekologi dan
hutan maupun habitat bukan hutan. Secara umum, burung faktor – faktor psikologis. Menurut Storer, Burung tersebar di
memanfaatkan habitat sebagai tempat mencari makan, semua benua, lautan dan hamper seluruh kepulauan.
beraktivitas, berkembang biak dan berlindung [21]. Penetrasi burung – burung tersebut mencapai artik dan
Berbagai jenis avifauna dapat mendiami suatu habitat antartika termasuk meliputi daerah permukaan laut sampai
tertentu. Menurut [11], menyatakan bahwa kelengkapan pegunungan. Dengan mempertimbangkan kemampuan
habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, terbang, mereka mempunyai
perlindungan dan faktor lain yang diperlukan oleh jenis satwa kemampuan penyebarab geografi dan habitat yang luas.
untuk bertahan hidup. Beberapa faktor yang menentukan Struktur dan komposisi vegetasi dipengaruhi oleh beberapa
keberadaan burung adalah ketersediaan makanan, tempat faktor yaitu flora dan tempat tumbuh (habitat) yang berupa
untuk beristirahat, bermain, berkembang biak, bersarang, situasi iklim dan keadaan tanah. Komposisi vegetasi / disebut
bertengger, dan berlindung. Untuk hidup di dalam suatu juga bentuk pertumbuhan / bentuk hidup dari tumbuhan
habitat, burung memerlukan syarat-syarat tertentu seperti mencakup jenis – jenis tumbuhan yang mempunyai ciri – ciri
kondisi habitat yang cocok, baik, dan aman dari segala morfologi yang sama dikelompokkan dalam satu tipe bentuk
gangguan. Hubungan antara habitat dengan satwaliar dapat pertumbuhan [13].
terlihat pada sketsa profil vegetasi. Vegetasi hutan musim cenderung lebih terbuka dengan
Pada pengamatan komunitas avifauna di wilayah hutan pohon – pohon penyusunnya lebih berjauhan dan tidak ada
musim 2, kawasan Taman Nasional Baluran terdapat 24 persaingan di antara semua tumbuhan untuk mendapatkan
spesies burung dengan total 208 individu yang teramati. Di cahaya. Batang pokok pohon cenderung bersifat masif, agak
kawasan ini spesies Pycnonotus goiavier yang paling pendek, tajuk biasanya bulat dan besar, seringkali memencar
mendominasi diantara semua spesies dengan total individu luas dari ketinggian tidak seberapa jauh dari permukaan
yang teramati sebesar 61. tanah. Langit – langit pohon tidak setebal dan serapat hutan
hujan tropik. Cahaya dapat menembus lantai hutan yang
menyebabkan lantai hutan tertutup rapat oleh tumbuhan
bawah [14]. Vegetasi hutan musim menunjukkan
kenampakan yang jauh lebih bervariasi. Persyaratan
ekologinya cenderung menjadi demikian kritis, sehingga
perubahan sedikit saja dalam iklim tanah dapat menimbulkan
perubahan yang nyata dalam formasi tumbuh – tumbuhan.
Musim kemarau yang panjang dapat mengakibatkan
kekeringan pada tanah sampai ke dalam, karena itu tumbuhan
di hutan musim umumnya berakar dalam [13].
Komunitas hutan musim terdiri atas 3 tingkat yaitu :
Pohon– pohon dengan tajuk terpisah, vegetasi tumbuhan
bawah yang lebat serta berdaun kecil dan keras, lapisan tanah
/ serasah yang terdiri atas terna kecil dan pendek [14]. Pohon
–pohonnya tidak terlalu tinggi, jarang melebihi 30 m sampai
Grafik 2. Grafik indeks diversitas (H’) komunitas avifauna di puncak tajuk utama. Tajuk lebih berkembang, batang lebih
hutan musim 2 pendek dan lebih kuat dari pada pohon penyusun hutan hujan
tropika dan biasanya kurang rapat [14]. Ciri khas biomassa
Berdasakan grafik indeks biodiversitas (H’) tersebut hutan ini sebagian besar pohon – pohon yang menempati
menunjukkan bahwa spesies Pycnonotus goiavier memiliki kanopi atas meranggas pada musim kemarau dan sebagian
indeks biodiversitas yang tertinggi yaitu sebesar 0.359743 besar pohon kanopi bawah tetap berdaun [16].
sedangkan spesies Anthreptes malacensis, Centropus Pada komposisi tipe vegetasinya, antara hutan musim 1
bengalensis, Centropus nigrorufus, Geopelia striata, dengan hutan musim 2 berbeda dari tingkat kerapatan
Halcyon chloris, Hirundo rustica memiliki indeks vegetasinya. Pada hutan musim 1 kerapatan vegetasinya
biodiversitas paling rendah yaitu masing-masing sebesar sangat tinggi sehingga kawasan ini jauh dari gangguan
0.025661. total nilai indeks biodiversitas (H’) komunitas manusia dan masih sangat alami sehingga tingkat
avifauna di kawasan hutan musim 2 adalah sebesar 2.470241. biodiversitas pada hutan musim 1 lebih tinggi. Di kawasan
nilai tersebut menunjukkan bahwa indeks biodiversitas pada hutan musim 2 telah ada jalan setapak dan tingkat kerapatan
kawasan hutan musim 2 tinggi karena memiliki nilai H’ >2.0. vegetasinya tidak setinggi pada hutan musim 1 sehingga ada
Dari spesies-spesies burung yang ditemukan pada 2 lokasi faktor gangguan dari manusia yang membuat tingkat
hutan musim menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan di biodiversitas hutan musim 2 tidak setinggi hutan musim 1.
hutan musim musim 1 dengan hutan musim 2 rata-rata sama
Laporan Praktikum Ekologi Hewan 2013 4
Hutan musim dijumpai dari lereng Gunung Baluran sampai diantara spesies yang lain yaitu sebesar 0.342672. Pada
mendekati pantai [17], kawasan hutan pantai 2 ini memiliki total nilai indeks
Pada pengamatan komunitas avifauna di wilayah hutan biodiversitas sebesar 2.477556. Nilai ini menunjukkan bahwa
pantai 1, kawasan Taman Nasional Baluran terdapat 31 hutan pantai memiliki nilai keanekaragaman (biodiversitas)
spesies burung dengan total 253 individu yang teramati. yang tinggi karena nilai H’>2.0.
Spesies yang mendominasi pada kawasan ini sama dengan Hutan pantai di kawasan Taman Nasional Baluran terdapat
spesies yang mendominasi pada kawasan hutan musim 1 antara Pandean dan Candibang serta beberapa tempat seperti
yaitu spesies Collocalia linchi. Labuan Merak, Bama, dan sebelah Timur dari Gatal. Pantai
Baluran terdiri dari pasir hitam, putih, batu pantai yang hitam
kecil, atau lereng karang, tergantung daerahnya. Vegetasi
pantai yang tumbuh adalah formasi Baringtonia yang
berkembang baik. Jenis burung yang dapat dijumpai diderah
ini seperti kangkareng (Anthrococeros albirostris), pergam
(Ducula aenea), elang laut (Pandion haliaeetus) [15]. Tetapi
berdasarkan hasil pengamatan, pada kawasan hutan pantai 1
maupun 2 tidak ditemukan Pandion haliaeetus tetapi untuk
spesies Ducula aenea ditemukan dalam jumlah yang banyak
yaitu sekitar 10 individu dan spesies Anthrococeros
albirostris sebanyak 7. Dan kedua spesies ini hanya
ditemukan di kawasan hutan pantai 1.
Pantai Bama dengan berbagai macam habitat merupakan
lokasi terbaik untuk menemukan burung. Jalan setapak ke
Grafik 3. Grafik indeks diversitas (H’) komunitas avifauna di arah Utara dan Selatan yang berada tepat di daerah ekoton
kawasan hutan pantai 1. antara hutan mangrove dan hutan musim adalah salah satu
lokasi utama. Beberapa jenis burung yang mudah ditemui
Berdasarkan grafik indeks biodiversitas (H’) tersebut dan difoto di areal ini seperti CangakLaut (Ardea
menunjukkan bahwa wallet Linchi (Collocalia linchi) sumatrana), Bangau Tong-tong (Leptop losjavanicus),
memiliki indeks biodiversitas yang paling tinggi diantara Rajaudang Biru (Alcedo coerulenscens), dan Pelatuk Ayam
semua spesies burung di kawasan hutan musim 1 dengan (Dryocopus javensis). Meskipun cukup sulit, tapi mungkin
nilai indeks sebesar 0.353785. Total indeks biodiversitas di hanya di sekitar pantai Bama ada Sikatan Cacing (Cyornis
kawasan hutan pantai 1 adalah sebesar 2.348738. Nilai ini banyumas), Pelanduk Semak (Malacocinda sepiarium),
menunjukkan bahwwa tingkat biodiversitas avifauna di Perenjak Coklat (Prinia polychroa), Ciungair Jawa
kawasan hutan ini termasuk dalam kategori tinggi karena (Macronous flavicollis) dan Gagak Hutan (Corvus enca) [15].
nilai H’ >2.0. Sesuai dengan pernyataan [15], berdasarkan pengamatan
Pada pengamatan komunitas avifauna di wilayah hutan yang dilakukan di kawasan hutan pantai 1 dan hutan pantai 2
pantai 2, kawasan Taman Nasional Baluran terdapat 21 dijumpai spesies Alcedo coerulenscens karena memang
spesies burung dengan total 104 individu yang teramati. Pada spesies burung ini suka bertengger di rantai mangrove [15],
wilayah ini spesies Artamus leucorynchus merupakan spesies dan Dryocopus javensis walaupun jumlahnya tidak banyak.
yang dominan dengan jumlah individu yang teramati paling Sedangkan untuk spesies Ardea sumatrana, Leptop
banyak. losjavanicus tidak ditemukan pada pengamatan. Dan untuk
spesies yang hanya ditemukan pada hutan pantai 1 adalah
Corvus enca. Hal ini sesuai dengan pernyataan [15] karena
memang spesies ini susah ditemui dan hutan pantai
merupakan habitat yang cocok untuk gagak hutan karena di
hutan pantai terdapat banyak pohon gebang sebagai tempat
bertengger gagak hutan selain itu gagak hutan suka
bertengger di pohon tinggi. .
Pada komposisi tipe vegetasinya, antara hutan pantai 1
dengan hutan pantai 2 berbeda karena pada lokasi
pengamatan di hutan pantai 1 cenderung kearah daerah
perbatasan antara hutan pantai dengan hutan savana. Pada
lokasi pengamatan hutan pantai 1 berada di kawasan bird
watching trail. Pada lokasi ini, tipe vegetasinya didominasi
Grafik 4. Grafik indeks diversitas (H’) komunitas avifauna di oleh pohon tinggi seperti pohon gebang dan pohon ketapang
kawasan hutan pantai 2. (Terminalia cattapa). Sedangkan untuk hutan pantai 2,
lokasi pengamatan lebih kearah daerah disekitar pantai Bama
Berdasarkan grafik indeks biodiversitas (H’) tersebut yang komposisi vegetasi dominan adalah jenis pohon akasia.
menunjukkan bahwa spesies Artamus leucorynchus Di setiap lokasi pegamatan komunitas avifauna selalu
merupakan spesies dengan indeks biodiversitas (H’) tertinggi terdapat spesies Collocalia linchi dengan tingkat dominasi
Laporan Praktikum Ekologi Hewan 2013 5
Dari dendogram indeks Morisita Horn (Imh) kesamaan Selain itu juga terdapat spesies Aegithia tiphia yang sering
komunitas avifauna tersebut menunjukkan bahwa antara dijumpai di lokasi pengamatan. Menurut [15], burung ini
komunitas avifauna di hutan musim 1 dengan hutan pantai 1 hidup sendirian atau kadang-kadang berpasangan, melompat
memiliki indeks kesamaan sebesar 0.777632496. pada cabang-cabang pohon dan bersembunyi diantara rantin-
Berdasarkan nilai tersebut menunjukkan hubungan ranting pohon. Untuk mengamatinya tidak sulit, karena di
kekerabatan komunitas avifauna antara hutan musim 1 seluruh kawasan Taman Nasional baluran dapat ditemukan
dengan hutan pantai 1 lebih dekat dibanding komunitas spesies ini. Hewan ini selalu dijumpai di setiap lokasi
avifauna antara hutan pantai 1 dengan hutan musim 2 yang pengamatan karena suaranya yang terdengar sangat khas.
memiliki nilai Imh sebesar 0.686963593. sedangkan untuk Untuk spesies burung yang sama-sama terlihat di kawasan
komunitas avifauna di hutan musim 2 dengan hutan pantai 2 hutan pantai, baik hutan pantai 1 maupun hutan pantai 2
memiliki kesamaan yang sangat jauh dengan nilai Imh adalah Halcycon chloris atau biasa disebut sebagai cekakak
sebesar 0.597489259. Hal ini disebabkan karena nilai indeks sungai. Burung ini sering ditemui di kawasan hutan pantai
morisitahorn yang mendekati 1 merupakan dua lokasi yang Bama. Burung ini sangat mudah ditemui di Taman Nasional
komunitas spesiesnya hampir sama. Menurut [18], Baluran. Sering ditemukan bertengger pada ranting pohon
Standarisasi indeks Morisita merupakan perbaikan dari baik sendirian atau berpasangan. Menempati semua tipe
Indeks Morisita dengan meletakkan suatu skala absolut habitat, hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan musim.
antara -1 hingga 1. Suatu penelitian simulasi membuktikan Sangat jarang ditemukan di savana. Saat air laut surut, sering
bahwa indeks ini merupakan metode terbaik untuk mengukur terlihat di atas batu karang di padang lamun sambil
pola sebaran spasial suatu individu karena tidak bergantung mengawasi mangsa. Meskipun sangat mudah diamati tapi
terhadap kepadatan populasi dan ukuran sampel. [18] sangat susah didekati [15].
menyatakan bahwa kemiripan suatu komunitas dengan Dari tipe vegetasinya, antara hutan musim 1 dengan hutan
komunitas lain dapat dinyatakan dengan similarity pantai 1 yang memiliki Indeks kesamaan paling dekat dengan
coefficients dan distance coefficients. Similarity coefficients tipe vegetasinya dan tipe kerapatan vegetasi hampir sama.
memiliki nilai yang bervariasi antara 0 (jika kedua komunitas Pada kawasan hutan musim 1 dan hutan pantai 1 sama-sama
benar-benar berbeda) hingga 1 (jika kedua komunitas jauh dari gangguan manusia. Pada hutan pantai 1 dan hutan
identik). musim 1 vegetasinya sama-sama didominasi oleh pohon
Dari perhitungan Imh yang menunjukkan bahwa antara tinggi yang dapat digunakan untuk bertengger dan spesies
hutan musim 1 dengan hutan pantai 1 memiliki tingkat tumbuhan Tamarindus indica yang merupakan sumber
kesamaan paling tinggi diantara hutan musim 2 dan hutan makanan bagi komunitas avifauna seperti Treron vernans dan
pantai 2. Berdasarkan pengamatan terlihat bahwa ada 13 Streptopelia chinensis. Contohnya adalah pada spesies
spesies yang sama dari kedua kawasan pengamatan tersebut Pycnonotus aurigaster dan spesies Pycnonotus goiavier yang
yaitu Aegithina thipia, Anthracoceros merupakan burung petengger yang ditemukan di hutan
albirostris,Caprimulgus affinis, Cinnyris jugularis, musim 1 dan hutan musim 2. Sehingga memiliki
Collocalia linchi, Corvus enca, Dicrurus sp., Geopelia kecendrungan spesies avifauna yang berada di hutan musim 1
striata, Pavo muticus, Pycnonotus aurigaster, Pycnonotus dengan hutan pantai 1 sama. Dan rata-rata dari semua jenis
goiavier, Spilornis cheela, Streptopelia chinensis. Dan dari avifauna yang teramati sedang bertengger di pohon atau
dua lokasi tersebut spesies Collocalia linchi memiliki jumlah cabang pohon. Selain itu, menurut [10] menyatakan bahwa
yang paling banyak teramati. keanekaragaman jenis burung pada suatu komunitas
Dari keempat lokasi pengamatan terdapat 5 spesies yang mempunyai korelasi dengan sumberdaya alam yang ada pada
ditemukan di keempat lokasi pengamatan komunitas komunitas tersebut.
avifauna. Spesies tersebut adalah Aegithina thipia, Pada strata pohon diketahui banyak menyediakan sumber
Collocalia linchi, Cinnyris jugularis, Pycnonotus aurigaster, pakan berupa buah-buahan, biji-bijian dan serangga dengan
Streptopelia chinensis. Hal ini disebabkan karena kelima jumlah yang cukup banyak sesuai dengan keanekaragaman
spesies tersebut dapat hidup di berbagai tipe habitat. vegetasinya, serta merupakan tempat bersarang yang ideal
Spesies Pycnonotus aurigaster atau yang biasa disebut bagi sebagian jenis avifauna. Keadaan ini sesuai dengan
sebagai cucak kutilang merupakan salah satu dari spesies pernyataan [10] bahwa pembagian atau distribusi avifauna
yang sering di jumpai di lokasi pengamatan komunitas sangat diatur oleh kesesuaian habitatnya, setiap famili dan
avifauna karena spesies ini dapat hidup di berbagai tipe jenis harus beradaptasi dengan masing-masing habitat yang
habitat. Menurut [15], Seperti burung Merbah Cerukcuk, sesuai untuk makan dan bertelur. Begitu juga perilaku sosial
Cucak kutilang juga adalah burung yang sangat umum di dan kebiasaan mereka sangat bergantung pada habitatnya.
Taman Nasional Baluran, meskipun populasinya tidak
sebanyak Merbah Cerukcuk. Burung ini aktif sepanjang hari,
ribut dan hidup dalam kelompok. Sering dijumpai di daerah
IV. KESIMPULAN
savana atau daerah terbuka dan tepi hutan musim. Selain itu
juga sangat bersahabat dengan kehadiran manusia. spesies ini Berdasarkan praktikum komunitas avifauna dapat
banyak dijumpai di hutan musim 1 maupun hutan musim 2 disimpulkan bahwa terdapat 5 spesies avifauna yang
karena sesuai dengan pernyataan [15] lebih sering di jumpai ditemukan di keempat lokasi pengamatan komunitas
di tepi hutan musim atau daerah terbuka. avifauna. Spesies tersebut adalah Aegithina thipia,
Collocalia linchi, Cinnyris jugularis, Pycnonotus aurigaster,
Laporan Praktikum Ekologi Hewan 2013 7
DAFTAR PUSTAKA
[1] Partomihardja, T. “Check-list of plant species in the Baluran national
park, East Java,” (1989) Paper Unpublished
[2] C. J. Krebs, Ecology: The experimental analysis of distribution and
abundance. New York: Harper & Row Publishers (1972).
[3] V. B. Helvort, “A Study on Bird Population in The Rural Ecosystem of
West Java, Indonesia a Semi Quantitative Approach,” Nature
Conservation Dept. Agriculture University Wageningen-The Netherand
(1981).
[4] J. McKinon et al, Burung-burung di Sumatra, Jawa, Bali dan
Kalimantan. Birdlife International (2000).
[5] Heddy S. dan Kurniati M, Prinsip-prinsip Dasar Ekologi, Suatu
Bahasan tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada (1996).
[6] Corlett R. T. and H. K. Kwok, “The bird communities of anatural
secondary forest and a Lophostemon confertus plantation in Hong
Kong, South China,” Forest Ecology and Management 130 (2000) 227-
234.
[7] M. Sutherland and A. K. Sylvester, Advertising And The Mind Of The
Consumer. Jakarta: Penerbit PPM (2006).
[8] S. H. Alikodra, Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor: Pusat Antar.
Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor (1990).
[9] Sajithiran T. M., Jamdhan S. W. dan Santiapillai C., “A Comparative
Study of the Diversity of Birds in Three Reservoirs in Vavuniya, Sri
Lanka,” Tiger Paper. 31(4) (2004) 27–32.
[10] M. Walters, The Complete Birds of the World Illustrated Edition.
London: David & Charles Newton Abbot (1981).
[11] Bailey J. A., Principles of Wildlife Management. New York: John Wiley
&. Sons (1984).
[12] E. H. Dunn et al, Monitoring Bird Population in Small Geographic
Areas. Canada Minister of Environment (2006).
[13] D. Mueller-Dombois and H. Ellenberg, Aims and Methods of Vegetation
Ecology. New York: John Wiley & Sons (1974).
[14] B. Poulin, G. Levebvre and R. McNeil, “Tropical Avian Phenology in
Relation to Abundance and Exploitation of Food Resources,” Ecology
73(6) (1992) 2295-2309.
[15] Winnasis et al, Burung-burung Taman Nasional Baluran. Situbondo:
Balai Taman Nasional Baluran (2009).
[16] W. Widodo, “Komparasi Keragaman Jenis Burung-Burung di Taman
Nasional Baluran dan Alas Purwo Pada Beberapa Tipe Habitat,” Jurnal
Berkala Penelitian Hayati (14) (2009) 113-124.
[17] H. Rusmendro, Ruskomalasari, A. Khadafi, H. B. Prayoga, dan L.
Apriyanti, “Keberadaan Jenis Burung Pada Lima Stasiun Pengamatan di
Sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Depok-Jakarta”.
Jurnal Penelitian Universitas Nasional VIS VITALIS.2 (2) (2009) 50-64.
[18] J. A. Ludwig dan J. F. Reynolds, Statistical Ecology. New York: John
Willey & Sons (1988).
[19] Nilson S.G., “Effect of Forest Management on the Breeding Bird
Community in Southern Sweden,” Biol. Conserv. No. 16 (1979) 135-44.
[20] A. Asep, Burung-burung Agroforest di Sumatra. In: Mardiastuti A, Eds.
Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre- ICRAF, SEA Regional
Office. 112 p (2011).
[21] J. C. Welty and L. Baptista, The Life of Bird. New York: Sounders
College Publishing (1988).