Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Spermatozoa merupakan salah satu faktor fertilitas jantan. Spermatozoa merupakan


sistem sito kultural yang motil dimana pembentukannya memerlukan kondisi yang sangat baik
secara internal dan eksternal agar terbentuk spermatozoa yang mampu menetasi sel telur secara
sempurna. Macam spermatozoa menurut struktur ada 2 kelompok, yaitu tak berflagellum, dan
berflagellum. Yang tak berflagellum terdapat pada beberapa jenis evertabrata, yakni nematoda,
crustacea, diplopoda. Yang berflagellum yang umum terdapat pada hewan (Yatim, 1994).

Untuk mengetahui tingkat fertilitas sperma tersebut dapat dipakai cara pengamatan
konsentrasi, morfologi, motilitas dan biokimia ejakulat. Kualitas sperma sangat berpengaruh
terhadap kemampuan sperma dalam melakukan pembuahan terhadap sel telur, yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Untuk dapat menganalisis spermatozoa
melalui pengamatan konsentrasi dan morfologi sperma maka dilakukanlah praktikum ini.

1.2 Permasalahan
Permasalahan dari praktikum ini adalah bagaimana menghitung konsentrasi spermatozoa,
bagaimana mengetahui morfologi sperma dan membedakan sperma normal dan abnormal.
1.3 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah dapat mengetahui bagaimana cara menghitung
konsentrasi spermatozoa, dapat mengetahui morfologi sperma dan dapat membedakan sperma
normal dan abnormal.
1.4 Manfaat
Manfaat dari praktikum ini yaitu dapat menghitung konsentrasi spermatozoa, dapat
mengetahui morfologi sperma dan dapat membedakan sperma normal dan abnormal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spermatozoa
Spermatozoa merupakan salah satu faktor fertilitas jantan. Spermatozoa merupakan
sistem sito kultural yang motil dimana pembentukannya memerlukan kondisi yang sangat baik
secara internal dan eksternal agar terbentuk spermatozoa yang mampu menetasi sel telur secara
sempurna. Macam spermatozoa menurut struktur ada 2 kelompok, yaitu tak berflagellum, dan
berflagellum. Yang tak berflagellum terdapat pada beberapa jenis evertabrata, yakni nematoda,
crustacea, diplopoda. Yang berflagellum yang umum terdapat pada hewan. Flagellum itu ada
yang satu (umum), ada yang dua (jarang). Yang berflagellum lazim memiliki bagian-bagian :
kepala dan ekor. Kepala sebagai penerobos jalan masuk menuju dan masuk ke dalam ovum, dan
membawa bahan genetis yang akan diwariskan kepada cucu-cucu. Ekor untuk pergerakan
menuju tempat pembuahan dan untuk mendorong kepala menerobos selaput ovum (Yatim,
1994).
Sel spermatozoa terdiri dari bagian kepala yang tersusun akrosom yang terletak dibagian
ujung dan tersusun atas satu sek kromosom yang bersifat haploid yang kompak, inaktif, dan
statis. Bagian leher tersusun atas mitokondria dan sentriol tunggal. Bagian ekor berporos pada
flagellum, memiliki rangka dasar disebut axonem, dibentuk atas 9 duplet dan 2 singlet
mikrotubul. Ekor mengandung sentriol, mitokondria dan serat fibrosa. Panjang ekor seluruhnya
sekitar 55 μm dan tebalnya 1μm (dekat pangkal) sampai 0,1μm (dekat ujung). Bagian kepala
berfungsi sebagai penerobos jalan menuju masuk kedalam ovum dan membawa bahan genetik
yang diwariskan. Mitokondria yang terdapat di bagian midlepiece berfungsi sebagai penyuplai
ATP sebagai energi yang digunakan sek spermatozoon untuk pergerakan ekor. Bagian ekor
spermatozoon berfungsi untuk pergerakan spermatozoon menuju tempat pembuahan dan untuk
mendorong kepala menerobos selaput ovum (Nurhayati,2004).

Gambar 1. Bagian spermatozoa.


2.2 Pembentukan Spermatozoa
Pada sebagian besar mamalia, termasuk manusia, organ reproduksi eksternal jantan
adalah skrotum dan penis. Organ reproduksi internal terdiri atas gonad yang menghasilkan gamet
(sel-sel sperma) dan hormon, kelenjar aksesoris yang mensekresikan produk esensial bagi
pergerakan sperma, dan sekumpulan duktus yang membawa sperma dan sekresi glandular.
Gonad jantan atau testes (tunggal, testis) terdiri atas banyak saluran yang melilit-lilit yang
dikelilingi oleh beberapa lapis jaringan ikat. Saluran tersebut adalah tubula seminiferus
(seminiferous tubule), tempat sperma terbentuk. Sel-sel Leydig yang tersebar diantara tubula
seminiferus menghasilkan testosteron dan androgen lain, yang merupakan hormon seks jantan.
Produksi sperma yang normal tidak akan dapat terjadi pada suhu tubuh sebagian besar mamalia,
dan testes manusia serta banyak mamalia lain dipertahankan berada di luar ribgga abdomen,
tepatnya di dalam skrotum, yang merupakan pelipatan dinding tubuh. Suhu dalam skrotum
adalah sekitar sekitar 20C di bawah suhu rongga abdomen. Testes berkembang jauh di dalam
rongga abdomen dan turun ke dalam skrotum persis sebelum kelahiran. Pada banyak hewan
pengerat, testes ditarik kembali ke dalam rongga abdomen, dan pematangan sperma diinterupsi
di antara musim kawin. Beberapa mamalia yang suhu tubuhnya cukup rendah untuk
memungkinkan pematangan sperma, seperti monotrema, paus dan gajah, menahan testes tetap
berada di dalam rongga abdomen secara permanen (Campbell, 2002).
Spermatogenesis dimulai dengan pertumbuhan spermatogonium menjadi sel yang lebih
besar yang biasa disebut dengan spermatosit promer. Sel-sel ini membelah (pembelahan pertama
yakni melalui mitosis) menjadi dua spermatosit sekunder yang sama besar, yang kemudian
mengalami pembelahan meiosis menjadi empat spermatid yang sama besar pula. Spermatid ini,
yaitu sebuah sel bundar dengan sejumlah sel besar. Protoplasma merupakan gamet dewasa
dengan sejumlah kromosom haploid. Suatu proses pertumbuhan dan differensiasi yang rumit,
tetapi bukan merupakan pembelahan sel, mengubah spermatid menjadi sperma yang fungsional.
Nukleus mengecil dan menjadi kepala sperma, sedangkan sebagian besar sitoplasmanya dibuang.
Granulosa sekretori dari badan Golgi berkumpul pada ujung sperma dan membentuk sebuah
tudung yang disebut akrosom (Yunani, akros berarti ujung dan soma berarti badan). Tudung ini
mengandung enzim yang memegang peranan dalam menembus membran sel telur. Kedua
sentriola darii spermatid pindah ke suatu tempat tepat di belakang nucleus. Suatu lekukan kecil
terjadi di permukaan nucleus dan salah satu sentriola, yaitu sentriola yang proksimal, menempati
lekukan tersebut, tegak lurus terhadap sumbu sperma. Sentriola kedua, yaitu sentrola distal, yang
terletak tepat di belakang sentriola proksimal, membuat filament sumbu dari ekor sperma.
Seperti pada filament sumbu dari flagellum, filament ini terdiri atas dua serabut longitudinal di
tengah dan sebuah cincin yang terdiri atas sembilan pasang serabut longitudinal yang
mengelilingi dua serabut di tengah. Mitokondria berpindah ke tempat di mana kepala bertemu
dengan ekor dan membentuk bagian tengah yang kecil yang berfungsi menyediakan energi untuk
menggerakkan ekor. Sebagian besar sitoplasma dan spermattid di buang sebagai badan residu
yang diambil secara fagositosis oleh sel sertoli dalam tubulus seminiferus. Sel-sel ini
melindungi, menunjang dan memberi makan sperma yang sedang berkembang. Sperma matang
hanya mempunyai lapisan tipis sitoplasma yang mengelilingi mitokondrion di bagian tengah dan
filament sumbu ekor (Ville , 1999).
Spermatogenesis merupakan proses pembentukan sperma yang berlangsung dalam testis.
Pada Rodentia proses ini memerlukan waktu 48 hari atau akan selesai setelah menempuh empat
kali daur epitel seminiferus. Lama satu daur epitel seminiferus adalah 12 hari sehingga setiap
selang waktu 12 hari spermatogonia A akan memasuki spermatogenesis dan pada saat bersamaan
spermatozoa yang telah terbentuk dilepaskan ke dalam lumen tubulus seminiferus (Johnson &
Everitt, 1988).

2.3 Spermatozoa Mencit

Menurut Rugh (1968), spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang
bentuknya bengkok seperti kait, bagian tengah yang pendek middle piece dan bagian ekor yang
sangat panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm sedangkan panjang spermatozoa
seluruhnya sekitar 0,1226 mm (122,6 mikron). Bentuk spermatozoa abnormal dapat
diklasifikasikan berdasarkan bentuk kepala dan ekornya. Menurut Washington et al, (1983),
bentuk sperma abnormal pada tikus terdiri dari bentuk kepala seperti pisang, bentuk kepala
tidak beraturan (amorphous), bentuk kepala terlalu membengkok dan lipatan-lipatan ekor yang
abnormal.

Secara garis besar abnormalitas morfologi spermatozoa dapat dikelompokkan menjadi 3


kategori berdasarkan tempat terjadinya abnormalitas morfologi spermatozoa tersebut.
Abnormalitas primer, apabila abnormalitas morfologi terjadi selama spermatozoa masih berada
di dalam testis, yaitu disebabkan oleh ketidaksempurnaan spermatogenesis terutama pada saat
spermiogenesis. Abnormalitas sekunder terjadi apabila selama proses pengangkutan DNA
penyimpanan spermatozoa di dalam saluran reproduksi terutama di dalam epididimis mengalami
gangguan. Abnormalitas tersier, apabila abnormalitas morfologi terjadi selama manipulasi semen
oleh pemeriksaan (Toelihere, 1985).
2.4 Spermatozoa Manusia

Spermatozoa yang normal terdiri atas kepala, leher, dan ekor. Dengan
morfologi kepala lonjong jika dilihat dari atas dan “pyriform” jika dilihat dari
samping, lebih tebal dekat leher dan menggepeng ke ujung. Panjang 4 – 5µm, lebar 2,5 –
3,5µm. Sebagian besar kepala berisi inti. Dua pertiga bagian depan inti diselaputi tutup akrosom.
Jika terjadi pembuahan maka tutup akrososm pecah, d a r i a k r o s o m n y a k e l u a r e n z i m –
e n z i m , y a n g p e n t i n g diantaranya ialah hialuronidase dan protease mirip tripsin. Enzim
itu perlu untuk membuyarkan sel corona radiata yang menyalut ovum dan menembus zona
pelucida.(Yatim, 1996). Sperma abnormal terjadi karena berbagai macam gangguan dalam
spermatogenesis, terutama pada spermiogenesis. Bagian kepala menggepeng, raksasa, kepala
kecil, bagian tengah besar, kepala bercabang dua, ekor pendek, letak ekor abaksial, sisa
sitoplasma melekat, ekor bagian utama bercabang dua (Yatim, 1994).

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas Sperma


Menurut Toelihere (1985), hal-hal yang dapat mempengaruhi kualitas spermatozoa antara
lain penurunan suhu mendadak (cold shock), panas yang berlebihan, bahan kimia atau benda
asing lainnya yang dapat menurunkan daya gerak spermatozoa. Setyadi (2006), menambahkan,
motilitas akan berlangsung dengan baik bila ditopang oleh banyak hal diantaranya adalah
morfologi dari spermatozoa itu sendiri. Morfologi yang baik adalah kepala berbentuk ‘koma’
dengan besaran normal, ekor tidak melingkar ataupun ganda.

2.5 Haemacytometer dan Rumus Konsentrasi Sperma

Gambar 2. Hemasitometer.
Sketsa di atas menggambarkan Haemocytometer. Bagian yang ditandai adalah
kesembilan ruang pada haemocytometer(gambar paling kiri); kolom tengah (nomor 5) terdiri dari
25 kolom lagi (gambar tengah), dan bagian mikrograf dari bagian yang dilingkari pada gambar
tengah (gambar paling kanan), memperlihatkan salah satu dari 25 kotak dari kolom no 5 yang
diperbesar (bagian yang dilingkari pada gambar tengah ) dilinkupi oleh tiga garis yang berisi 16
kotak yang lebih kecil (WHO, 2010).
Untuk melakukan metode perhitungan konsentrasi spermatozoa dengan Hemasitometer
menggunakan rumus:

nXP keterangan : n = jumlah sel

V P = faktor pengenceran

V = Luas kotak R

(Harr, 2002).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Praktikum

Praktikum perkembangan telur dan embrio ikan gatul (Poecillia reticulatus) ini
dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 13 November 2012 pukul 07.00-11.00 WIB di
Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Sepuluh Nopember, Surabaya.

3.2 Alat, Bahan dan Cara Kerja


3.2.1 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum analisis spermatozoa ini antara lain
mencit (Mus musculus) jantan dewasa, sperma manusia, metanol, eosin Y, NaCl 0,9 %,
hemacitometer improved Neubauer, pipet thoma, gunting bedah, pinset, cawan petri,
gelas objek dan mikroskop.

3.2.1 Cara Kerja


3.2.1.1 Menghitung Konsentrasi Spermatozoa Mencit
Larutan NaCl 0,9 % sebanyak 1 mL disediakan dalam cawan petri. Kemudian bunuh
mencit dengan cara dislokasi servikalis (cervical dislocation). Lalu bedah mencit dan alat
reproduksinya diamati. Setelah itu, bagian epididimis kaudalnya digunting dan dimasukkan
dalam cawan petri yang telah berisi larutan NaCl 0,9 % sebanyak 1 mL. Kemudian gunting
epididimis kauda sehalus mungkin dalam cawan petri. Setelah halus, aduk hingga homogen. Lalu
dengan menggunakan pipet thoma set darah merah, suspensi sperma disedot sampai skala
tertentu 1 dan selanjutnya larutan NaCl 0,9 % disedot sampai skala 101. Tahan larutan didalam
pipet thoma kemudian digoyang-goyangkan sampai homogen. Kemudian buang satu sampai tiga
tetes larutan dalam pipet thoma, lalu teteskan pada Hemasitometer Improved Neubeur
selanjutnya hitung spermatozoa dalam 25 kamar hitung sel darah merah. Hasil perhitungan yang
telah didapat dikalikan faktor pengenceran dan konsentrasi spermatozoa ditentukandalam larutan
NaCl 0,9 %.
3.2.1.2 Pengamatan Morfologi Spermatozoa Mencit dan Manusia

Sperma mencit dan manusia dipersiapkan dalam cawan petri yang berisi larutan fisiologis
NaCl 0,9 %. Kemudian sperma mencit dan manusia diteteskan ke gelas objek masing-masing
sebanyak 2 tetes. lalu ratakan dengan kaca objek yang lain. Setelah itu, keringkan dengan
menganginkannya beberapa menit dan rendam dalam metanol selama 5 menit. Lalu, rendam
dalam Eosin Y selama 5 menit dan bilas kelebihan warna dengan air ledeng. kemudian rendam
dalam metilen blue selama 5 menit dan bilas kelebihan warna dengan air ledeng. lalu biarkan
sampai kering dan amati kelainan morfologi yang terjadi dan klasifikasikan sesuai dengan
literatur.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan


4.1.1 Menghitung Konsentrasi Spermatozoa
Tabel 1. Hasil pengamatan Menghitung Konsentrasi Spermatozoa.

No. Perlakuan Pengamatan


1. Disediakan 1 ml Larutan NaCL
0,9 % dalam kaca arloji atau
cawan petri

2. Mencit dibunuh dengan cara Mencit ditarik hingga bagian pada tulang
dislokasi servikalis tengkuk berbunyi yang menandakan bahwa
tulang tengkuk telah patah.

3. Mencit dibedah dan diamati alat


reproduksinya dan diambil
bagian cauda epididimis

Epididimis

4. Epididimis dimasukkan dalam


kaca arloji yang berisi larutan
NaCl 0,9 % lalu digunting
sehalus mungkin

Cacahan epididimis

5. Dengan menggunakan pipet Suspensi tercampur rata


thoma suspensi disedot sampai
skala 1 dan selanjutnya NaCl
0,9 % disedot sampai skala 101.

6. Satu sampai tiga tetes larutan Ruang 5


dalam pipet thoma dibuang Ada 26 sperma
kemudian diteteskan pada
Hemasitometer Improved
Neubauer dan dihitung
spermatozoa dalam 25 kamar Sperma
hitung sel darah merah

Ruang 1 terdapat sebanyak 32 sperma

sperma

Ruang 2 terdapat 30 sperma


sperma

Ruang 3 terdapat 27 sperma

sperma

Ruang 4 terdapat 36 sperma

sperma

Perhitungan :
Jumlah total sperma dalam 5 ruang adalah 151
sperma

nXP
V

Konsentrasi sperma mencit

15.100.000 sel /

mL

4.1.2 Pengamatan Morfologi Spermatozoa


Tabel 2. Hasil pengamatan Morfologi Spermatozoa.

No. Perlakuan Pengamatan


1. Diambil masing-masing 2 tetes Suspensi spermatozoa berwarna putih keruh
spermatozoa mencit dan
manusia dan diteteskan pada
gelas objek
2. Diratakan dengan gelas objek Terbentuk lapisan tipis pada gelas objek
yang lain
3. Ditetesi dengan metanol dan Metanol berwarna bening
ditunggu selama 5 menit
4. Di rendam dengan Eosin Y Eosin Y berwarna merah dan preparat
selama 5 menit spermatozoa menjadi warna merah
5. Direndam dalam metilen blue Metilen blue berwarna biru dan preparat
selama 5 menit terwarnai menjadi biru
6. Diamati morfologi spermatozoa Hanya terdapat sperma normal
dibawah mikroskop Sperma manusia

kepala
sperma

ekor

sperma mencit kepala


berbentuk sabit

leher
ekor

4.1.3 Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa Mencit

Untuk melakukan metode perhitungan konsentrasi spermatozoa dengan Hemasitometer


menggunakan rumus:
nXP keterangan : n = jumlah sel

V P = faktor pengenceran

V = Luas kotak R

(Harr, 2002).

Diketahui: n Ruang 1 = 32 sperma Perhitungan :

n Ruang 2 = 30 sperma Jumlah total sperma pada 5 Ruang = 151 sperma

n Ruang 3 = 27 sperma Faktor pengenceran 2 mL NaCl 0,9 %

n Ruang 4 = 36 sperma volume 1 ruang = luas 0,04 mm2

n Ruang 5 = 26 sperma ketinggian 0,1 mm

Konsentrasi sperma mencit 15.100.000 sel / mL

4.2 Pembahasan
4.2.1 Menghitung Konsentrasi Spermatozoa Mencit
Praktikum analisis spermatozoa ini bertujuan untuk menghitung konsentrasi spermatozoa.
Langkah awal adalah menyiapkan mencit jantan yang sudah dewasa untuk diambil
spermatozoanya. Setelah itu mencit tersebut dibunuh dengan cara dislokasi servikalis yaitu
dengan cara mencit dipegang tengkuk lehernya dan dipegang ekornya kemudian ekornya ditarik
sampai terdengar bunyi patah. Cara ini dilakukan agar spermatozoa mencit tetap sehat dan tidak
bercampur dengan bahan kimia jika dibunuh dengan cara dibius. Mencit kemudian dibedah dan
diambil epididimisnya. Hal ini dilakukan karena pada epididimis sperma sudah matang dan
mengalami pergerakan aktif. Setelah itu epididimis diletakkan pada cawan petri yang berisi
larutan NaCl 0,9%. NaCl digunakan karena bersifat isotonis yang akan menjaga sperma untuk
lebih bisa bertahan hidup dan tidak cepat mati. Lalu epididimis dicacah sehalus mungkin agar
sperma keluar. Kemudian suspensi sperma disedot dengan menggunakan pipet thoma sel darah
merah dengan volume 1 ml hal ini dilakukan karena sel darah merah memiliki ukuran yang sama
dengan sperma. Kemudian disedot lagi NaCl sampai batas volume 101. Suspensi disedot
dengan cara ujung pipet thoma diletakkan ke dalam mulut lalu disedot. Lalu buang
satu sampai tiga tetes dalam pipet thoma bagian yang benar-benar mengandung
spermatozoa homogen. Suspensi sperma ditaruh ke dalam hemasitometer improved neubeuer.
Hemasitometer ini berbenruk seperti kaca tebal yang mempunyai sekat – sekat kecil yang hanya
dapat dilihat dengan mikroskop sebab sekat ini bersifat mikroskopis. Sekat – sekat inilah yang
disebut bilik atau kamar. Pada percobaan kali ini hanya dihitung 25 kamar sel darah merah
karena sperma memiliki ukuran seperti sel darah merah.

Berdasarkan hasil yang didapat dari praktikum, pada kamar nomor satu terdapat 32
sperma, pada kamar nomor dua terdapat 30 sperma, pada kamar nomor tiga terdapat 27 sperma,
pada kamar nomor empat terdapat 36 sperma dan pada kamar nomor lima terdapat 26 sperma.
Dari perhitungan konsentrasi mencit dalam 2 mL NaCl 0,9 % didapatkan konsentrasi sebesar
15.100.000 sel/mL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kosentrasi sperma mencit termasuk
dalam kelompok oligozoospermia dengan konsentrasi sperma kurang dari 40 juta/mL. Dan
konsentrasi sperma mencit belum termasuk dalam konsentrasi normal sperma..

Menurut Rehan et al, (1975) dalam WHO (2010), melihat konsentrasi sperma pada pria
dapat dibedakan menjadi 4 golongan fertilitas :

a. Polyzoospermia : kurang dari 250 juta/mL


b. Normozoospermia : 40-200 juta/mL
c. Oligozoospermia : kurang dari 40 juta/mL
d. Azoospermia : 0 sel/mL

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motilitas, konsentrasi dan abnormalitas


spermatozoa, yakni genetik, umur, cahaya dan temperatur, manajemen pemeliharaan, frekuensi
penampungan dan pengenceran serta lingkungan (Everett & Beans 1982; Shukla et al. 1992).

4.2.2 Pengamatan Morfologi Sperma Mencit dan Manusia


Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk morfologi sperma yang
normal dan abnormal. Langkah awal yaitu mengambil 2 tetes sperma manusia dan mencit dari
suspensi sperma yang telah dibuat tadi. Kemudian diteteskan pada kaca obyek dan
diratakan dengan kaca obyek yang lain. Hal ini dilakukan agar terbentuk lapisan tipis pada
kaca obyek yang akan memudahkan pengamatan pada mikroskop. Setelah itu dibiarkan beberapa
saat agar mengering. Preparat sperma ditetesi dengan methanol secara merata dan keringkan
selama 5 menit. Metanol berfungsi untuk melekatkan preparat pada kaca obyek. Preparat
ditetesi lagi dengan eosin Y dan dibiarkan selama 5 menit. Eosin Y berwarna merah dan
berfungsi untuk mewarnai bagian bagian sel yang bersifat basa sebab eosin itu sendiri
bersifat asam. Kemudian dibilas agar tidak terlalu banyak eosin Y yang mewarnai preparat
sebab apabila pewarnaan terlalu tebal maka preparat akan susah diamati. Terakhir
preparat ditetesi dengan metilen blue dan dibiarkan 5 menit, lalu dibilas dengan air. Metilen
blue berwarna biru dan berfungsi untuk mewarnai bagian sel yang bersifat asam sebab
metilen blue bersifat basa. Setelah pewarnaan preparat sperma selesai maka diamati
morfolginya dibawah mikroskop.

Berdasarkan pengamatan, didapatkan hasil bahwa sperma mencit dan manusia


yang terlihat adalah sperma normal dan tidak ada sperma abnormal. Pada sperma
normal mencit terlihat bagian-bagiannya yaitu atas bagian kepala yang bentuknya seperti
sabit, bagian tengah yang pendek dan bagian ekor yang sangat panjang. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Rugh (1968), bahwa spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala
yang bentuknya bengkok seperti kait, bagian tengah yang pendek middle piece dan bagian ekor
yang sangat panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm sedangkan panjang
spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 mm (122,6 mikron).

Pada pengamatan tidak terlihat adanya sperma mencit yang abnormal. Ciri-ciri sperma
abnormal pada mencit adalah ekor spermatozoa pendek, ekor spermatozoa melipat, leher
spermatozoa putus, ekor spermatozoa patah, ekor spermatozoa melingkar, dan leher spermatozoa
melipat (Aryani, 2009). Secara garis besar abnormalitas morfologi spermatozoa dapat
dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan tempat terjadinya abnormalitas morfologi
spermatozoa tersebut. Abnormalitas primer, apabila abnormalitas morfologi terjadi selama
spermatozoa masih berada di dalam testis, yaitu disebabkan oleh ketidaksempurnaan
spermatogenesis terutama pada saat spermiogenesis. Abnormalitas sekunder terjadi apabila
selama proses pengangkutan DNA penyimpanan spermatozoa di dalam saluran reproduksi
terutama di dalam epididimis mengalami gangguan. Abnormalitas tersier, apabila abnormalitas
morfologi terjadi selama manipulasi semen oleh pemeriksaan (Toelihere, 1985).

Gambar 3. Pengamatan spermatozoa normal. Gambar 4. Spermatozoa normal mencit

(Aryani, 2009).

Gambar 5. Sperma mencit abnormal ekor Gambar 6. Sperma mencit abnormal

patah (Aryani, 2009). ekor melipat (Aryani, 2009).

Pada sperma normal manusia terlihat bagian-bagiannya yaitu kepala yang lonjong, leher
dan ekor. Hal ini sesuai dengan WHO (2010), yang menyatakan bahwa sperma normal memiliki
bentuk kepala oval beraturan dengan ekor lurus panjang di tengahnya. Pada pengamatan tidak
terlihat adanya sperma abnormal yang memiliki ciri-ciri bagian kepala menggepeng, raksasa,
kepala kecil, bagian tengah besar, kepala bercabang dua, ekor pendek, letak ekor abaksial, sisa
sitoplasma melekat, ekor bagian utama bercabang dua. (Yatim, 1994).

Gambar 7. Hasil pengamatan sperma normal


manusia
Gambar 8. Spermatozoa normal manusia (Anonim, 2009).

Gambar 9. Sperma abnormal pada manusia (WHO, 2010).

Menurut Toelihere (1985), hal-hal yang dapat mempengaruhi kualitas spermatozoa antara
lain penurunan suhu mendadak (cold shock), panas yang berlebihan, bahan kimia atau benda
asing lainnya yang dapat menurunkan daya gerak spermatozoa. Setyadi (2006), menambahkan,
motilitas akan berlangsung dengan baik bila ditopang oleh banyak hal diantaranya adalah
morfologi dari spermatozoa itu sendiri. Morfologi yang baik adalah kepala berbentuk ‘koma’
dengan besaran normal, ekor tidak melingkar ataupun ganda. Selain itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi keabnormalitasan sperma adalah karena pada keadaan stress, membrane
spermatozoa yang banyak mengandung polyunsaturaded fatty acid mudah mengalami
peroksidasi akibat adanya radikal bebas seperti superoksid anion, lipid peroksid dan hidrogen
peroksid sehingga dapat menyebabkan kerusakan membran spermatozoa dan dapat
mengakibatkan terjadinya spermatozoa yang abnormal (kelainan bagian kepala, bagian leher atau
bagian ekor) (Coveli, 1992).

Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
perhitungan kosentrasi spermatozoa dari mencit yang diamati dalam 5 ruang Hemasitometer
didapatkan konsentrasi 15.000.000 sel/ml yang menandakan bahwa kosentrasi mencit ini belum
mencapai normal. Dalam pengamatan spermatozoa mencit didapatkan sperma yang normal yang
bercirikan mempunyai bentuk kepala seperti kait pancing dan ekor panjang lurus dan tidak
terdapat sperma abnormal. Sedangakan pada pengamatan spermatozoa manusia didapatkan
sperma normal yang bercirikan kepala lonjong dilihat dari atas dan pyriform dilihat dari
samping, lebih tebal dekat leher dan menggepeng ke ujung, panjang ekor seluruhnya sekitar 55
mikrometer dan tebalnya beragam, pembagian ekor atas 4 bagian tak dapat dibedakan dibawah
mikroskop cahaya yaitu leher, bagian tengah, bagian utama, dan bagian ujung dan pada
pengamatan tidak terdapat sperma abnormal.

Daftar Pustaka
Anonim. 2009. THE X-RAY MICROSCOPE AT ASTRID – PROJECTS. Diakses dari

http://www.isa.au.dk/facilities/astrid/beamlines/xrm/xrm3.asp. Pada tanggal 12 november

2012 jam 22.00 WIB.

Aryani, Retno. 2009. Pengaruh Asap Briket Batu Bara Non Karbonisasi terhadap

Morfologi Spermatozoa Mencit (Mus musculus). Bioprospek Vol. 6 Nomor 1 hal 85-91

Campbell, Neil A., et al. 2002. Biologi Jilid III Edisi Ke-5. Erlangga, Jakarta.

Coveli V., 1992. What is stress. How does it correlate with the immune system in stress and the

immune system. J. Sciencis. 309: 212–215

Harr, Robert H. 2002. Resensi Ilmu Laboratorium Klinis. EGC, Jakarta.

Johnson, M.H & B.J. Everitt, 1995. Essential Reproduction. 3rd ed. Blackwell Sci. Publ:

Oxford.

Nurhayati, A.P.D. 2004. Diktat Perkembangan Hewan. Prodi Biologi FMIPA ITS. Surabaya.

Rugh, R. 1968. The mouse its reproduction and development. Burgess publishing company

Setyadi, A.D. 2006. Organ Reproduksi Dan Kualitas Sperma Mencit (Mus musculus L.) yang

Mendapat Pakan tambahan Kemangi (Ocinum Basilium) Segar. Skripsi Program Studi

Teknologi Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Toelihere. M .R . 1993 . Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Ville, Claude A., Walkel, Warren F dan Robert Barnes D. 1999. Zoologi Umum. Erlangga:

Jakarta.

WHO. 2010. WHO laboratory manual for the examination and processing of human semen

- 5th ed. WHO Press: Geneva.

Yatim, W. 1994. Reproduksi dan Embriologi. Tarsito: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai