Anda di halaman 1dari 10

Kegiatan ke 1

Apus Darah pada Hewan Vertebrata

A. Tujuan Kegiatan
Mahasiswa dapat membandingkan bentuk morfologi sel darah merah pada
hewan vertebrata, yaitu kodok (Bufo melanostictus) dan cicak (Cosymbotus
platyurus).

B. Kajian Pustaka
Pada semua hewan multisel, cairan tubuh dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu cairan intrasel dan cairan ekstrasel. Kira-kira 70% dari seluruh bagian
tubuh hewan berupa air, sekitar 45% di antaranya terdapat di dalam sel
(intrasel), dan 25% sisanya terdapat di luar sel (ekstrasel). Jika dikaitkan
dengan darah, maka yang dibahas hanya tentang cairan ekstraseluler (Isnaeni,
2006:169).
Cairan ektrasel dapat ditemukan di berbagai tempat dan masing-masing
disebut dengan nama yang berbeda. Ada empat cairan ekstrasel, yaitu cairan
jaringan (cairan ekstrasel), limfe, darah, dan hemolimfe. Hewan invertebrata
yang tidak mempunyai sistem sirkulasi mempunyai cairan jaringan atau cairan
limfe yang mengelilingi sel-sel tubuhnya. Cairan jaringan mengandung sedikit
protein, sejumlah garam dan bahan nutritif, serta zat sisa. Cairan jaringan juga
mengandung sel darah yang berfungsi fagositik dan mampu bergerak melalui
ruangan antar jaringan (Isnaeni, 2006:169).
Pada hewan tertentu yang memiliki sistem sirkulasi tertutup, darah dan
cairan jaringan merupakan dua macam cairan yang terpisah secara jelas. Darah
tersusun atas cairan plasma dan sel darah. Sementara, cairan jaringan, yang
disebut juga cairan interstitiel, dibentuk dengan menyaring plasma yang
kemudian akan berdifusi melalui dinding kapiler menuju ruang antarsel,
menurut gradien tekanan hidrostatik. Filtrat tersebut bukan koloid karena hanya
mengandung 0,85% protein. Filtrat yang keluar dari kapiler tersebut akan
2

dikembalikan lagi ke sistem sirkulasi, melalui sistem pembuluh khusus yaitu


pembuluh limfe (Isnaeni, 2006:169).
Pada vertebrata tingkat tinggi, pembuluh limfe dimulai sebagai saluran
buntu dengan ujung terbuka. Pembuluh limfe berfungsi mengangkut kelebihan
cairan yang tertimbun di lingkungan ekstrasel dan mengembalikannya ke
sirkulasi darah. Sedangkan pada invertebrata dan ikan (selain teleostei) tidak
ditemukan adanya pembuluh limfe (Isnaeni, 2006:170).
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian. Bahan interseluler
adalah cairan yang disebut plasma dan di dalamnya terdapat unsur-unsur padat,
yaitu sel darah. Volume darah secara keseluruhan kira-kira merupakan satuu
perdua belas berat badan atau kira-kira 5 liter. Sekitar 55 persennya adalah
cairan, sedangkan 45 persen sisanya terdiri atas sel darah. Angka ini
dinyatakan dalam nilai hematokrit atau volume sel darah yang dipadatkan yang
berkisar antara 40 sampai 47 (Pearce, 2006: 133).
Darah terdiri dari sel-sel (dan fragmen-fragmen sel) yang terdapat secara
bebas dalam medium yang bersifat seperti air, yaitu plasma. Sel-sel dan
fragmen-fragmen sel merupakan unsur-unsur darah yang disebut unsur “jadi”.
Sel-sel ini cukup besar sehingga dapat diamati dengan mikroskop biasa.
Terdapat tiga tipe unsur “jadi”, yaitu sel-sel darah merah atau eritrosit, sel-sel
darah putih atau leukosit dan keping-keping darah atau trombosit (Kimball,
1994: 515).
Menurut Isnaeni (2006: 173), bahwa darah tersusun atas plasma dan sel
darah. Sel darah mencakup eritrosit, leukosit, dan trombosit (lihat Gambar 1.1).
Plasma darah mengandung sekitar 90% air dan berbagai zat terlarut atau
tersuspensi di dalamnya. Zat tersuspensi tersebut mencakup beberapa jenis
bahan sebagai berikut:
1. Protein plasma, yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen
2. Sari makanan, yaitu glukosa, monosakarida, asam amino, dan lipid
3. Bahan untuk dibuang dari tubuh, antara lain urea dan senyawa nitrogen
4. Berbagai ion, misalnya natrium, kalium, klor, fosfat, kalsium, sulfat, dan
senyawa bikarbonat
3

5. Bahan lain yang biasanya terdapat dalam darah, misalnya hormon, gas
respiratori, vitamin, dan enzim.

Gambar 1.1 Sel-sel dalam darah mamalia


Sumber: (Isnaeni, 2006: 174)
Sel darah merah adalah sel yang memiliki fungsi khusus mengangkut
oksigen ke jaringan-jaringan tubuh dan membantu pembuangan karbon
dioksida dan proton yang dihasilkan oleh metabolisme jaringan tubuh. Berbeda
dengan dua sel darah lainnya, sel darah merah merupakan sel terbanyak dengan
struktur sederhana dibandingkan dengan sel tubuh lainnya. Bentuk bulat pipih
seperti cakram bikonkaf berupa sekedar membran yang membungkus larutan
hemoglobin yang merupakan 95% total protein dalam sel darah merah, tanpa
adanya organela sel termasuk inti sel (Sofro, 2012: 12).
Sel darah merah atau Eritrosit berupa cakram kecil bikonkaf, cekung pada
kedua sisinya, sehingga dilihat dari samping nampak seperti dua buah bulan
sabit yang saling bertolak belakang. Dalam setiap milimeter kubik darah
terdapat 5.000.000 sel darah. Jika dilihat satu per satu warnanya tampak kuning
tua pucat. Akan tetapi, jika dilihat dalam jumlah besar, tampak merah dan
4

memberi warna pada darah. Strukturnya terdiri atas pembungkus luar atau
stroma, berisi massa hemoglobin (Pearce, 2006: 133).
Sel darah putih rupanya bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar
dari sel darah merah, tetapi jumlahnya lebih kecil. Dalam setiap milimeter
kubik darah terdapat 6.000 sampai 10.000 (rata-rata 8.000) sel darah putih.
Granulosit atau sel polimorfanuklear merupakan hampir 75% dari seluruh
jumlah sel darah putih. Mereka terbentuk dalam sumsum merah tulang. Sel ini
berisi sebuah nukleus yang berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir.
Karena itu, disebut sebagai sel berbulir atau granulosit (Pearce, 2006: 135).
Trombosit adalah sel kecil kira-kira sepertiga ukuran sel darah merah.
Terdapat 300.000 trombosit dalam setiap milimeter kubik darah. Peranannya
penting dalam penggumpalan darah (Pearce, 2006: 137).
Untuk melihat struktur sel-sel darah dengan mikroskop cahaya pada
umumnya dibuat sediaan apus darah. Sediaan apus darah ini tidak hanya
digunakan untuk mempelajari sel darah tapi juga digunakan untuk menghitung
perbandingan jumlah masing-masing sel darah. Pembuatan preparat apus darah
ini menggunakan suatu metode yang disebut metode oles (metode smear) yang
merupakan suatu sediaan dengan jalan mengoles atau membuat selaput (film)
dan substansi yang berupa cairan atau bukan cairan di atas gelas benda yang
bersih dan bebas lemak untuk kemudian difiksasi, diwarnai dan ditutup dengan
gelas penutup (Ferina, 2014: 1).
Menurut Ferina (2014: 2), bahwa sediaan apus darah tepi adalah suatu cara
yang sampai saat ini masih digunakan pada pemeriksaan di Laboratorium.
Sediaan apusan darah adalah suatu sarana yang digunakan untuk menilai
berbagai unsur sel darah tepi, seperti
1. Evaluasi morfologi dari sel darah tepi (eritrosit, trombosit, dan leukosit)
2. Memperkirakan jumlah leukosit dan trombosit
3. Identifikasi parasit (misal : malaria. Microfilaria, dan Trypanosoma).
Sediaan apus yang dibuat dan dipulas dengan baik merupakan syarat mutlak
untuk mendapatkan pemeriksaan yang baik. Bahan pemeriksaan yang terbaik
adalah darah segar yang berasal dari kapiler atau vena dengan atau tanpa
5

EDTA. Darah yang diperoleh dari tusukan jarum pada ujung jari.Sebaiknya
tetesan darah pertama dibersihkan agar diperoleh hasil yang
memuaskan.Tetesan yang kedua diletakan pada daerah ujung kaca sediaan
yang bersih (Ferina, 2014: 2).
Untuk membuat sediaan apus darah diperlukan 2 buah kaca objek. Kaca
objek yang satu dijadikan tempat apusan darah (disebut sebagai kaca sediaan)
dan yang lain dijadikan alat perata (disebut kaca perata atau spreader). Kaca
objek yang harus dipakai harus benar-benar bersih, kering dan tidak berlemak.
Kaca objek yang telah bersih dan kering dapat dipakai untuk membuat sediaan
apusan darah. Diatas kaca sediaan, diletakkan setetes darah kira-kira 1- 2 cm
dari salah satu ujungnya, sebaiknya tetesan darah berdiameter 1mm. Kaca
perata dipegang sedemikian rupa sehingga membentuk sudut antara 300-450
dengan kaca sediaan. Diletakkan di depan tetesan darah tadi, lalu dimundurkan
menyentuh tetesan darah, tetesan darah akan merambat sepanjang sisi garis
temu kedua kaca objek itu, kaca perata di dorong sepanjang kaca sediaan
dengan gerakan yang cepat, tetap dan tidak ragu (kaku) (Ferina, 2014: 3).
Menurut Ferina (2014: 5), bahwa sediaan apusan darah yang baik harus
memenuhi kreteria berikut:
1. Panjang apusan kira-kira 3-4 cm. Bila pangkal apusan berada 1-2 cm dari
ujung kaca sediaan maka panjang apusan akan melampaui ½ panjang kaca
sediaan.
2. Sediaan lebih tebal dibagian pangkal dan makin ke ujung makin tipis
3. Sediaan apusan tampak rata, tidak bergelombang dan tidak berlobang
4. Sepanjang sisi apusan ada daerah bebas (free margin) yakni daerah kaca
sediaan yang tidak terlintasi oleh apusan darah.

Gambar 1.2 Sediaan Hapusan Darah


Sumber: (Ferina, 2004: 6)
6

Setelah sediaan darah dikeringkan pada suhu kamar barulah dilakukan


pewarnaan sesudah difiksasi menurut metode yang dipilih, yaitu metode
Giemsa dan Wright yang merupakan modifikasi metode Romanosky.
Pewarnaan Giemsa merupakan sebuah teknik pewarnaan mikroskopi yang
pertama kali dikembangkan oleh Gustav Giemsa. Tinta Giemsa tersusun atas
campuran pewarna eosin, methylene blue, dan methylene azure. Campuran
tersebut akan membentuk eosinat yang membuat hasil pewarnaan menjadi
lebih stabil (Ferina, 2014: 5).
Zat pulas Wright dapat dibeli dalam bentuk serbuk atau sebagai cairan siap
pakai. Untuk membuat larutan koloid yang siap pakai, serbuk tersebut harus
dilarutkan ke dalam metilalkohol. Tiap 0,1 g serbuk tersebut digerus dalam
sebuah mortir dengan metilalkohol yang ditambahkan sedikit demi sedikit
sampai hampir penuh. Kocoklah isinya setiap hari. Larutan tersebut lewat 10
hari cukup matang untuk dipakai. Karena zat pulas Wright telah mengandung
metilalkohol dalam konsentrasi tinggi, tidak perlulah mengadakan fiksasi
sendiri (Ferina, 2014: 6).
Pulasan Giemsa sama baiknya dengan pulasan wright untuk darah yang
tidak banyak kelainan morfologinya. Perbedaan, dengan pulasan Giemsa,
granula basofil tidak nampak karena granula itu akan larut. Selain itu, eritrosit-
eritrosit lebih kelabu warnanya. Sediaan darah yang berisi banyak sel-sel muda
dan sediaan sumsum tulang baiklah dipulas Wright karena struktur plasma dan
inti lebih jelas terlihat (Ferina, 2014: 6).

Gambar 1.3: Pewarnaan Giemsa dan Wright


Sumber: (www.solarbio.en.alibaba.com)
7

Darah merupakan komponen dalam sistem sirkulasi yang berperan penting


dalam mendistribusikan berbagai senyawa esensial yang dibutuhkan tubuh.
Darah hewan Vertebrata terdiri atas sel-sel darah yang tersuspensi di dalam
plasma dan beredar menuju organ-organ tubuh. Unsur seluler atau sel darah
terbagi menjadi sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan
keping darah (trombosit). Bentuk, ukuran, dan persentase jumlah eritrosit dan
leukosit berbeda untuk setiap jenis hewan Vertebrata (Smith and Jarecki,
2011). Eritrosit Mamalia diketahui tidak memiliki inti sel, namun tidak
demikian dengan eritrosit hewan dari kelas Pisces, Amphibia, Reptilia, dan
Aves yang memiliki inti. Demikian pula dengan jumlah dan tipe sel leukosit
yang memiliki gambaran berbeda untuk tiap jenis hewan (Rousdy, 2018: 2).
Volume rata-rata per unit sel darah merah (MCV) katak lebih tinggi. Hal ini
dikarenakan ukuran sel darah merah katak lebih besar. Sel darah merah
mengalami spesialisasi struktural sesuai tingkat organisasi hewan. Hewan
amphibia memiliki eritrosit berinti dan berukuran lebih besar dan lonjong,
sedangkan sel darah merah mamalia tidak berinti cendrung kecil dan berbentuk
bulat bikonkaf (Tisyan, 2014: 1).
Bentuk eritrosit katak adalah elipsoid. Studi Coppo et al. (2005)
menunjukkan dimensi eritrosit katak (panjang × luas) adalah 24.2 × 16.2 µm
sedangkan pada mamalia lebih kecil, 3.2 × 9.6 µm. Eritrosit katak memiliki
nukleus ovoid terorientasi di tengah sel. Nukleus katak ini terbentuk dari
kondensasi kromatin seiring penambahan usia sel. Inilah yang mengakibatkan
eritrosit katak dewasa secara umum lebih luas daripada burung, mamalia, reptil
dan vertebrata yang lebih rendah, sehingga didapatkan nilai MCV katak yang
lebih besar (Tisyan, 2014: 2).
Jumlah hemoglobin rata-rata per unit sel darah merah (MCH) katak juga
memiliki pola yang hampir sama dengan MCV yaitu cendrung lebih besar .
Tingginya MCH dikarenakan luas permukaan sel darah merah katak lebih
besar. Dengan ukuran sel darah merah yang kecil sehingga menjadikan luas
permukaan per unit eritrosit lebih besar (Tisyan, 2014: 3).
8

Katak menyesuaikan kondisi internalnya dengan perubahan lingkungan


karena katak merupakan hewan poikiloterm. Jumlah eritrosit amphibia
meningkat untuk beradapatasi di lingkungan dingin (Tisyan, 2014: 3).

Gambar 1.4 Morfologi Darah Amfibi


Sumber: (wismabioku.com)
Pada pengamatan histologi sel darah menunjukkan variasi bentuk dari sel
eritrosit dan leukosit Vertebrata. Eritrosit kelas Reptilia (kadal) mempunyai
bentuk paling oval dibandingkan Kelas Vertebrata lainnya. Jenis leukosit
diferensial terdiri dari neutrofil, basofil, eusinofil, monosit dan limfosit, kecuali
pada kadal ditemukan leukosit lain yakni azurofil. Sel heterofil atau neutrofil
pada kadal berbentuk sferis, nukleus tidak berlobus. Pada kadal ditemukan
jenis leukosit yang berbeda dengan Vertebrata lainnya, yakni azurofil. Sel
azurofil berbentuk seperti monosit dengan inti berbentuk ginjal (berlobus),
namun sitoplasma mengandung granula azurofilik yang berwarna pink
(Rousdy, 2018: 8,10).

Gambar 1.5 Morfologi Darah Reptil


Sumber: (wismabioku.com)
9

C. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Gunting bedah 1 buah
b. Papan bedah 1 buah
c. Pisau bedah 1 buah
d. Kaca preparat 4 buah
e. Kaca penutup 4 buah
f. Mikroskop cahaya 1 unit
g. Pipet tetes 4 buah
h. Gelas kimia 3 buah
i. Jarum pentul secukupnya
j. Pinset 1 buah
k. Toples 1 buah
2. Bahan
a. Larutan pewarna giemsa
b. Larutan wright
c. Alkohol 95%
d. Aquades
e. Air
f. Kapas
g. Cicak (Cosymbotus platyurus)
h. Kodok (Bufo melanostictus)

D. Cara Kerja
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Seluruh hewan dibius hingga pingsan dan dibedah lalu darahnya diambil
dibagian organ jantung dan hati dengan menggunakan pipet tetes
3. Darah Cicak (Cosymbotus platyurus) diteteskan dan diletakkan di kaca
preparat lalu diapus dan diwarnai dengan menggunakan metode smear
4. Darah diteteskan pada gelas benda A yang bebas lemak dan debu (sudah
dibersihkan dengan aquades) pada posisi 0,5 cm ari tepi kanan gelas benda
10

A, selanjutnya gelas benda B yang sisi pendeknya rata diambil dan


diletakkan di sebelah kiri tetesan darah dengan kemiringan gelas benda B
sebesar 45o lalu gelas benda B ditarik dengan hati-hati ke arah tetesan darah
(ke kanan) sehingga terjadi kapilaritas dan tetesan darah merata di ujung
sisi pendek gelas benda B. selanjutnya gelas benda B didorong kea rah kiri
gelas benda A dengan kuat dan kecepatan yang konstan, sehingga terbentuk
film darah yang baik (tipis dan rada)
5. Lalu film darah dikeringkan dan dianginkan pada rak pewarnaan yang datar
dan bersih
6. Setelah film darah kering selanjutnya ditetesi dengan larutan wright dan
didiamkan lagi selama 5 menit
7. Film darah kemudian ditetesi dengan larutan giemsa, film darah dan
didiamkan lagi selama 10 menit
8. Film darah lalu dicuci dengan air mengalir dan tunggu hingga kering
9. Film darah diberi label dan diamati dengan mikroskop cahaya dengan
perbesaran 400 kali lalu hasil pengamatan difoto
10. Cara kerja diulang untuk kodok (Bufo melanostictus)

Anda mungkin juga menyukai