Anda di halaman 1dari 21

Makalah

PENGINDERAAN JAUH

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penginderaan Jauh Dosen


Pengampuh Dr. Eng. Sri Maryati)

Disusun oleh:
Akmal Neu
NIM
471423002

PROGRAM STUDI S1 ILMU LINGKUNGAN

JURUSAN ILMU LINGKUNGAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2024

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas karunia nikmatnya yang telah
memberikan kesehatan dan melimpahkan rahmatnya, sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. Tak lupa sholawat serta salam kita ucapkan kepa
dabaginda Nabi besar Muhammad SAW yang mana telah membawa kita dari
zaman kegelapan yang penuh kebodohan kezaman yang kita rasakan saat ini
yang penuh ilmu pengetahuan.

Ucapan terimakasih untuk dosen pengampuh matakuliah Penginderaan


Jauh yang kami hormati, Ibu Dr. Eng. Sri Maryati dengan disusunnya makalah
yang berjudul “Makalah Mengenai Citra Satelit ” kita juga dapat menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan akan hal tersebut.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


Makalah ini, maka segala kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan
demi kesempurnaan Makalah ini. Semoga laporan ini bermanfaat untuk kita
semua dan menjadi referensi ataupun tambahan materi bagi kita semua.

Gorontalo, 4 Maret 2024

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..... ii


DAFTAR ISI ......iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Citra Satelit Landsat 3
2.2 Citra Satelit Spot 4
2.3 Citra Satelit Noaa 4
2.4 Citra Satelit Alos
2.5 Citra Satelit Aster
2.6 Citra Satelit Pleiades
2.7 Citra Satelit Sentinel
BAB III PENUTUP 11
3.1 Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 11

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan lingkungan saat ini menjadi isu global yang luas dibahas dan
ramai diperbincangkan (Pratiwi et al., 2019). Menurut Anonim(2012)
permasalahan lingkungan yang sedang terjadi dan perlu segera ditangani
adalah perubahan iklim, peningkatan gas rumah kaca, hilangnya
keanekaragaman hayati, kelangkaan air, dan polusi udara. Permasalahan
lingkungan tersebut sebagian besar disebabkan oleh manusia.

Isu kerusakan lingkungan hidup seperti perubahan iklim yang kian


dianggap ancaman oleh negara-negara menjadi perbincangan hangat dalam
studi Hubungan Internasional di era kontemporer (Santoso et al., 2021).
Kerusakan lingkungan timbul akibat dari perubahan iklim, kepunahan sumber
daya alam, sampai pada kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah
manusia (Nugroho,2018). Aspek lingkungan alam mesti diperhatikan demi
berkelanjutannya pembangunan. Alam yang rusak tidak bisa lagi menyediakan
tempat yang layak dan dukungan sumber daya (Santoso etal., 2021).

Kepedulian terhadap lingkungan menjadi hal yang mendasar untuk


mencegah berbagai kerusakan-kerusakan alam, terutama yang diakibatkan
oleh aktivitas manusia. Kepedulian terhadap lingkungan yang termasuk
kedalam literasi lingkungan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah.
Hal ini menyisakan berbagai permasalahan yang tidak peduli terhadap
lingkungan. Hal ini bisa dilihat dari hasil Survey Kementerian Lingkungan
Hidup pada tahun 2012 yang mengambil sampel pada 12 propinsi di wilayah
Indonesia. Menghasilkan kesimpulan bahwa indeks perilaku masyarakat
terhadap lingkungan secara nasional masih belum sepenuhnya baik. Rata-rata
indeks secara nasional sebesar 0,57. Angka tersebut mengindikasikan
masyarakat belum berperilaku peduli lingkungan dalam kehidupan sehari-hari
(Subhan, 2017).

Literasi lingkungan merupakan pemahaman seseorang mengenai segala


sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan termasuk di dalamnya mengetahui
masalah yang ada dan dapat mencari solusi sampai menanggulangi suatu
masalah dilingkungan sekitar (Utami,2019). Literasi lingkungan penting untuk
ditumbuhkan di Indonesia, mengingat Indonesia sebagai negara
megabiodiversitas dengan potensi lingkungan alam yang tinggi. Sumber daya
alam perlu dijaga kelestariannya agar memiliki keberlanjutan manfaat bagi
kehidupan manusia. Kurangnya kesadaran manusia mengenai pentingnya
menjaga dan melestarikanli ngkungan, merupakan faktor penyebab kualitas
lingkungan semakin menurun.
Hal ini didukung oleh teori menurut Desrinelti (2021) yang
mengemukakan bahwa literasi lingkungan sangat diperlukan demi
mewujudkan masyarakat yang
berwawasan lingkungan, yang sadar akan arti ekologi dan lingkungan bagi
keberlangsungan hidup manusia. Tiap tindakan kita berpengaruh atas
keseluruhan ekosistem global. Hal tersebut menunjukkan bahwa literasi
lingkungan melibatkan pengembangan dari “suara hati” ekologis, komitmen
yang bertanggung jawab, sikap, nilai-nilai dan etika, pengetahuan dan
keterampilan yang penting dalam memecahkan permasalahan lingkungan
untuk keberlangsungan hidup ekosistem.

Analisis hasil PISA 2006 yang dilakukan oleh OECD menunjukkan bahwa
kesadaran siswa terhadap isu-isu yang ada di lingkungan sejalan dengan
tingkat pengetahuan dan kecakapan literasi di lingkungannya. Menurut data
Badan Pusat Statistik (2018), indeks perilaku ketidakpedulian siswa terhadap
lingkungan hidup Indonesia tahun 2018 menunjukkan angka 0,51.

Proses penanaman literasi lingkungan sangat penting dilakukan sejak dini,


sebagai karakter yang harus dimiliki oleh siswa untuk menumbuhkan
kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup. Literasi lingkungan lebih baik
diberikan sedini mungkin, mengingat krisis bumi yang melatarbelakangi
pentingnya literasi ini demi memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
mengakibatkan bumi dalam kondisi yang memprihatinkan kehidupan manusia
(Desrinelti et al., 2021).

1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan Citra Landsat?

2. Jelaskan Citra Spot?

3. Jelaskan Citra

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Citra Landsat

2. Mengetahui Citra Spot

3. Mengetahui Citra Noaa

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Permasalahan Lingkungan Global

Masalah lingkungan yang kita hadapi dari tahun ke tahun semakin


meningkat baik yang berasal dari pencemaran air maupun pencemaran udara. Hal
ini bukan hanya disebabkan oleh kegiatan industrinya, tetapi juga oleh aktivitas
manusia dalam rumah tangga.

Banyak orang kurang menyadari akan telah terjadinya pencemaran udara,


padahal sekitar 15% kematian disebabkan pencemaran udara. Pencemaran udara
di kota-kota besar seperti Jakarta telah cukup memprihatinkan. Jakarta sebagai
kota metropolitan dibebani oleh kegiatan transportasi yang cukup padat yang
memberi sumbangan bahan pencemar udara yang cukup signifikan, demikian
halnya untuk kota-kota besar lainnya.

Pencemaran udara akibat gas buang kendaraan bermotor kurang disadari oleh
masyarakat pada umumnya, padahal dampak dari pembakaran bahan bakar ini
sungguh luar biasa dalam jangka panjang, seperti yang sedang dialami oleh
penduduk seluruh dunia yaitu terjadinya pemanasan global (global warming).

1. Deforestasi

Deforestasi adalah kondisi luas hutan yang mengalami penurunan yang


disebabkan oleh konvensi lahan untuk infrastrukur, permukiman,
pertanian,
pertambangan, dan perkebunan (Addinul Yakin, 2017). Perubahan lahan
hutan yang menjadi lahan non hutan menyebabkan pemanasan global
karena akibat dari kebakaran hutan yang sering terjadi (Syah, 2017).
Deforestasi berkaitan dengan penebangan atau pembalakan liar yang
mengancam seluruh mahluk hidup yang pada umumnya diakibatkan oleh
kebakaran hutan yang menyebabkan pemanasan global (Rimbakita, 2020).
Pemanasan global adalah isu penting yang terjadi akibat aktivitas ekonomi

3
yang dilakukan dengan tidak memperhatikan dampak lingkungan yang
menyebabkan meningkatnya temperatur di bumi pada beberapa tahun
terakhir (Prakoso, Ardita, & Murtyantoro, 2019). Kerusakan hutan yang
ada di Indonesia terus mengalami pentingkatan dan dapat diketahui bahwa
hutan di Indonesia terus mengalami pengurangan disetiap tahunnya, hal
tersebut memicu dampak buruk bagi Indonesia maupun dunia (Arif, 2016).
Data dari Greenpeace, Indonesia adalah negara penyumbang emisi gas
karbon ketiga setelah negara Amerika Serikat dan negara Tiongkok sekitar
80 % yang disebabkan oleh pembakaran hutan, pembakaran hutan juga
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia seperti dapat
menimbulkan sesak nafas berkepanjangan (Han, Goleman, Boyatzis, &
Mckee, 2019).

A. Deforestasi Hutan Indonesia


Deforestasi merupakan kehilangan lahan hutan yang merupakan
permasahan yang sulit untuk diatasi, sehingga diperlukan pengetahuan dan
kerjasama yang baik antara berbagi elemen yang mampu menggerakkan
masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengurangan kegiatan atau
mendukung progam-program yang dinilai mampu memecahkan
permasalahan yang sedang dihadapi bersama (Forest Watch Indonesia,
2020). Tingkat deforestasi hutan di Indonesia di Tahun 1985 sampai 1998
melampaui 1, 6 sampai 1,8 hektar di setiap tahunnya (Education, 2017).
Angka deforastai yang tinggi setiap tahunya akan menyebabkan hilangnya
lahan hutan secara besar-besaran yang berdampak negatif pada
keberlanjutan lingkungan maupun kehidupan sosial yang mampu
menimbulkan efek buruk secara langsung maupun berdampak pada masa
yang akan datang. Kemudian pada tahun 2000, deforetasi meningkat
sekitar 2 juta hektar (Education2017). Data berdasarkan dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa pada masa Orde
Reformasi hingga saat ini mengalami penurunan, dapat dilihat pada Tahun
2016 dan 2017 yang berada pada anggka 0,48 juta hektar. Pembaruan data
pada beberapa Tahun terakhir yang bersumber dari KLHK bahwa dari data
resmi menujukan pada tahun 2013 sampai 2014 bahwa deforestasi
menurun di angka 0,4 juta hektar yan mana tahun sebelumnya pada angka
0, 73 juta hektar per tahunnya. Selanjutnya di tahun 2014-2015 tingkat
deforestasi kembali naik menjadi 1,09 juta hektar, lalu tahun 2015-2016
kembali turun yang berada pada angka 0,63 juta hektar setiap tahunnya,
dan kembali turun pada tahun 2016-2017 dengan angka 0,48 hektar
pertahun.

B. Dampak Deforestasi Hutan Terhadap Pemanasan Global


Deforestasi hutan merupakan ancaman bagi mahluk hidup, luas hutan
yang
mengalami penurunan yang disebabkan oleh konvensi lahan untuk
infrastrukur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan perkebunan
(Yakin, 2015). Deforestasi di Indonesia menimbulkan dampak yang sangat

4
serius baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional, adanya
kebakaran hutan yang tidak terkendali, penebangan yang merusak,
membuka lahan yang dijadikan perkebunan, pengerukan bahan bakar, dan
pembangunan wilayah transmigrasi yang berdampak pada sosial ekonomi
bagi masyarakat dengan kehidupannya yang sangat bergantung dengan
hasil alam atau hutan, dan dapat menyebabkan timbulnya kerugian yang
besar yakni bagi seluruh
masyarakat maupun negara (Directorate of Technical Education, 2017).
Studi baru kini kian mulai menyoroti tentang permasalahan pemanasan
global yang menujukan bahwa negara Indonesia merupakan negara dengan
penyumbang utama terhadap perubahan iklim dan kian rentan terhadap
dampak-dampak yang ditimbulkan. Emisi Tahun 2000 di Indonesia dari
sektor hutan dan perubahan terhadap peruntukan tanah diperkirakan
mencapai 2.563 yang setara dengan megaton karbon dioksida (MtCO2e),
Selanjutnya adanya emisi tahunan dari sektor energi, pertanian dan limbah
yang besarnya mencapai
451 MtCO2e. Jika dibandingkan total emisi yang ada di negara Indonesia
ialah mencapai 3.014 MtCO2e, sedangkan emisi negara Cina mencapai
5.017 dan emisi Amerika Serikat mencapai hingga 6.005 MtCO2e.
Tingkat deforestasi yang tinggi tidak hanya menyebabkan kerusakan pada
alam namun dampak yang ditimbulkan akan berdampak pada kehidupan
sosial masyarakat.

C. Upaya Pengurangan Deforestasi


Deforestasi yang makin meningkat dapat dilakukan upaya pengurangan
agar laju tingkat deforestasi tidak mengalami peningkatan, berbagai upaya
dapat dilakukan yaitu dengan melakukan penebangan dengan sistem
tebang pilih yang mana sistem tebang pilih ini akan mampu menjaga
dalam keberlangsungan ekosistem hutan dan berfungsi dalam penyangga
kehidupan, pada sistem tebang pilih juga melakukan penanaman kembali
agar kegiatan-kegiatan tersebut tidak menyebabkan kerugian. Kemudian
dapat dilakukan dengan upaya reboisasi atau penghijauan yaitu melakukan
penanaman kembali pada kawasan hutan, sedangkan melakukan
penghijauan pada kawasan non hutan, karena hutan yang mengalamai
gundul tak mampu menjalankan fungsinya dengan baik (Septiyan, 2019).
Pengurangan deforestasi di Indonesia diselengarakan focus grup
discussion (FDG) dengan merujuk pada upaya mengurangi deforestasi dan
mengurangi degradasi hutan dengan berbagai kebijakan rencana
pembangunan jangka menengah (RPJMN) 2020-2024. Berbagai strategi
dalam upaya mengurangi deforestasi
hutan yang tertuang di dalam (RPJMN) 2020-2024 yaitu mengurangi
tingkat deforestasi menjadi 310 hektar/pertahun dengan melakukan
penanaman kembali dan pengkayaan di hutan-hutan produksi dengan 1,97
juta hektar yang mana di dalamnya termasuk luas ekosistem gambut yang
telah terkoordinasi dan difasilitasi restorasi pada 7 provinsi di Indonesia
yang rentan terhadap bencana kebakaran dengan mencapai target 300.000

5
hektarnya pertahun.

2. Pemanasan Global Dan Perubahan Iklim

Apakah Anda sudah merasakan suhu udara saat ini semakin panas? Apakah
Anda telah mengamati sekarang ini penggantian musim yang tidak bisa diprediksi
lagi? Apakah Anda mengalami atau mengetahui bahwa bencana alam akibat angin
puting beliung sering terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya sebagian dari
dampak yang diakibatkan oleh terjadinya Pemanasan Global (Global Warming),
kalau demikian apa itu pemanasan global, apa penyebabnya dan apa dampaknya?

Pemanasan global sesungguhnya merupakan gejala naiknya suhu di seluruh


permukaan bumi yang terjadi di seluruh dunia yang diduga disebabkan oleh
naiknya intensitas efek rumah kaca. Dalam agenda Rio Summit 1992, isu
meningkatnya efek rumah kaca sebagai penyebab dari terjadinya pemanasan
global masih terus diperdebatkan. Pada tahun 1997, masyarakat dunia
melanjutkan fenomena tersebut yang dikenal dengan Protokol Kyoto, yaitu
Konvensi Perubahan Iklim. Protokol Kyoto adalah sebuah instrumen hukum
(legal instrument) yang dirancang untuk
mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca agar tidak mengganggu sistem iklim di
bumi.

Efektivitas Protokol Kyoto yang mensyaratkan agar diratifikasi oleh paling


sedikit 55 negara menunjukkan bahwa protokol ini memerlukan partisipasi
banyak negara, termasuk negara-negara berkembang. Konvensi mensyaratkan
agar negara-negara maju sebagi pengemisi utama gas rumah kaca harus
menurunkan 55% emisinya.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa terdapat hampir 20 jenis gas


yang berkontribusi dalam peningkatan suhu di bumi dan gas CO2 merupakan
penyebab utamanya. Suatu studi yang dilakukan National Academy of Science
tahun 1979 meramalkan bila konsentrasi gas CO2 meningkat dua kali di atmosfer
akan menyebabkan kenaikan suhu bumi antara 1,5 sampai 4,5 derajat Celcius. Di
bawah ini tabel yang memperlihatkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca.

Pemanasan global merupakan isu lingkungan hidup yang mengakibatkan


perubahan iklim global yang mengerikan, mulai populer setelah PBB membentuk
IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) pada tahun 1988. IPCC adalah
sebuah panel ilmiah yang terdiri dari para ahli klimatologi untuk mengkaji
perubahan iklim, walau perubahan iklim akan berdampak jangka panjang antara
50 100 tahun.

Dengan menggunakan model komputer dari temperatur dan sirkulasi atmosfer


untuk mempelajari pemanasan global, pada saat ini telah mendapatkan beberapa

6
perkiraan mengenai dampak pemanasan global. Dampak tersebut, antara lain
berikut ini.

1. Pengaruh terhadap cuaca.


2. Kenaikan permukaan laut.
3. Pengaruh terhadap pertanian.
4. Pengaruh terhadap hewan dan tumbuhan.
5. Pengaruh terhadap kesehatan manusia.

1. Pengaruh terhadap Cuaca


Terjadinya pemanasan wilayah bagian utara bumi (kutub utara) akan
mengakibatkan, antara lain berikut ini.

a. Gunung-gunung es akan mencair.


b. Daratan akan menyempit.
c. Akan lebih sedikit es yang akan mengapung di perairan utara.
d. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderungmeningkat.
e. Daerah tropis akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang
menguap dari lautan.

Kelembaban yang tinggi di daerah tropis selanjutnya akan berdampak pada


peningkatan curah hujan, badai akan lebih sering terjadi, air tanah akan lebih
cepat menguap, terjadinya badai topan akan menjadi lebih besar, pada cuaca lebih
ekstrem sukar di prediksi.

2. Kenaikan Permukaan Laut


Ketika temperatur atmosfer naik karena terjadinya pemanasan global, lapisan
permukaan lautan juga akan naik sehingga volumenya bertambah dan menambah
tinggi permukaan laut. Kenaikan permukaan air laut ini 30% berasal dari
pencairan es di daerah kutub dan sisanya berasal dari pemuaian air akibat
peningkatan temperatur. Selama abad ke-20 tinggi permukaan air laut di seluruh
dunia telah naik antara 10 25 cm. Apabila separuh dari es di Greenland dan
Antartika mencair maka diprediksi akan terjadi kenaikan permukaan air laut di
dunia rata-rata setinggi 6 7 m. Perubahan permukaan air laut ini akan
mempengaruhi kehidupan di wilayah pantai, seperti (a) apabila kenaikan sampai
100 cm maka akan menenggelamkan 6% daerah
di Belanda dan 17,5% di Bangladesh; (b) apabila kenaikan air laut mencapai
muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat; (c) dengan kenaikan air
laut sedikit saja pengaruhnya akan cepat terlihat pada ekosistem pantai, rawa-rawa
yang telah ada akan tenggelam.

3. Pengaruh terhadap Pertanian


Pengaruh pemanasan global untuk beberapa tempat tidak sama. Misalnya, ada
negara yang mendapat keuntungan dengan terjadinya curah hujan yang cukup
tinggi dan lebih lamanya masa tanam sebaliknya adanya pencairan es di daerah

7
kutub akan merugikan masyarakat pertanian di sebelum masa tanam daerah gurun.
Untuk Indonesia pengaruh dari pemanasan global ini mengakibatkan
perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, antara lain (a) menurunkan
produktivitas pertanian khususnya pada wilayah pantai; (b) terjadinya iklim
ekstrem yang meningkat menyebabkan sektor pertanian akan kehilangan
produksinya karena bencana kering dan banjir yang silih berganti yang
mengakibatkan terjadinya kekacauan pangan.

4. Pengaruh terhadap Hewan dan Tumbuhan


Hewan dan tumbuhan tidak terkecuali mengalami dampak pemanasan global.
Dengan terjadinya pemanasan global, hewan-hewan akan berpindah mencari
tempat yang lebih dingin, sedangkan tumbuhan karena tidak dapat bergerak
sendiri akan menyesuaikan dengan iklim yang sudah berubah, tetapi tumbuhan
yang tidak dapat menyesuaikan diri akan punah.

5. Pengaruh terhadap Kesehatan Manusia


Terjadinya perubahan iklim memberikan dampak terhadap kesehatan
manusia, antara lain (a) mempengaruhi kesehatan tubuh akibat penyakit tular
vektor, seperti demam berdarah dan malaria mengingat kehidupan vektor kedua
penyakit tersebut dipengaruhi oleh curah hujan/jumlah hari hujan dan peningkatan
temperatur udara; (b) terkena penyakit pernapasan karena udara yang lebih panas
memperbanyak polutan, spora mold dan tepung sari dari tumbuhan; (c)
mengakibatkan penyakit-penyakit tropis lainnya, seperti demam kuning.

2.2 Citra Satelit Spot

Citra SPOT (System Probatoire de l'Observation de la Terre) merupakan


sistem satelit observasi bumi yang mencitra secara optis dengan resolusi tinggi
dan dioperasikan di luar angkasa. Sistem satelit SPOT terdiri dari serangkaian.
satelit dan stasiun pengontrol denga cangkupan kepentingan yaitu, kontrol dan
pemograman satelit, produksi citra, dan distribusinya. SPOT dijalankan oleh Spot
Image yang terletak di Prancis. Sistem ini dibentuk olen CNES (Biro Luar
Ankgasa milik Prancis) pada tahun 1978.

Sistem SPOT mempunyai empat saluran termasuk tiga kanal multispektral,


yaitu kanal hijau, merah, infra merah dekat dan satı kanal pankromatik. Resolusi
spasial citra SPOT adalah 20x20 meter untuk kanal multispektral dan 10x10 meter
untuk kanal pankromatik sedangkan cakupannya seluas 60 km (Lillesand and
Kiefer, 1993). SPOT tidak mempunyai kanal infra memh tengah yang peka
terhadap kandungan air daun menyebabkan citra SPOT kurang baik untuk studi
vegetasi, selain itu dari segi harga SPOT memang lebih mahal (Dimyati, 1998).
Orbit SPOT adalah orbit polar, circular, sun syncrhonous dan berfase. Sudut

8
inklinasi dari bidang orbitalnya dikombinasikan dengan rotasi bumi di seputaran
poros kutub sehingga satelitnya dapat berpindah ke tiap titik di permukaan bumi
dalam 26 hari. Orbitnya memiliki ketingggian 832 km di atas permukaan air laut
dengan inklinasi 98,7" dan bervelosi sejumah 14 kali per hari.

1. Sejarah Peluncuran Citra SPOT

Sampai sekarang jenis citra SPOT yang diluncurkan sudah ada


beberapa, yaitu:

● SPOT 1 diluncurkan tanggal 22 Februari 1986. Danoedoro (2012).


SPOT generasi pertama menggunakan sensor HRV (Haute
Resolution Visible), dengan dua jenis, yaitu: modus multispektral
terdiri 3 saluran; dan pankromatik. Dua RHV ini Ditinggalkan
Satelit jenis ini mulai ditingglakan pada 31 Desember 1990 karena
diluncurkannya satelit SPOT jenis baru.
● SPOT 2 diluncurkan pada tanggal 22 Januari 1990 di Pusat
Antariksa Guyana, Kourou, French Guyana, Amerika Selatan.
SPOT generasi kedua mempunyai dua instrumen, yaitu HRVI
(high resolution in visible and infrared), yang mampu memberikan
citra resolusi tinggi dengan spektral tampak dan inframerah. Pada
generasi kedua ini ada penambahan saluran inframerah tengah
(panjang gelombang 1,58 1.75 µm). Moda pankromatik dengan
resolusi 10 meter dihilangkan dan diganti dengan saluran 2 (merah,
0,61-0,68 µm) untuk beroperasi pada dua moda resolusi, yaitu 20
meter dan 10 meter. Sensor VMI (vegetation Monitoring
Instrument) juga disebut sensor VGT atau vegetation. Sensor ini
dirancang khusus untuk pemantauan gegetasi global. Sensor ini
terpisah namun salurannya identik dengan HRVIR namun
mempunyai resolusi spasial lebih rendah (1,1 km). Data yang
dihasilkan oleh SPOT-2 adalah untuk digunakan sebagai
pemantauan vegetasi, pertanian, perhutanan, tanah, geologi, erosi,
eksplorasi minyak burni dan mineral, sumber-sumber air,
perencanaan daerah pemukiman, pemantauan pembangunan,
pemantauan pengembangan di suatu daerah, serta memonitor
lingkungan.
● SPOT 3 tanggal 26 September 1993
● SPOT 4 diluncurkan tanggal 24 Maret 1998. Memiliki kemajuan
yang cukup besar dari satelit sebelumnya, SPOT 1,2,dan 3.
Perubahan yang utama adalah modifikasi dan HRV (High
Resolution Visible) menjadi High Resolution Visible and Infrared
Instrument (HRVIR). Sehingga memiliki kemampuan tambahan
dalam mendeteksi gelombang tengah inframerah (1.581.75
microm) untuk keperluan survei geologi, survei vegetasi dan survei
tutupan salju.

9
● SPOT 5 diluncurkan tanggal 4 Mei 2002. Dibandingkan dengan
satelit obeservasi sebelumnya, SPOTS memberikan perubahan
kemajuan yang besar yang memberikan solusi citra dengan biaya
yang efektif. Resolusi pada sistem satelit obeservasi ini meningkat
hingga 5 meter dan 2,5 meter dan sudut pandang yang lebar (wide
imagin swath), dimana mencakup 60 x 60 km atau 60 x 120 km
dalam insturmen mode kembar, SPOT -5 memberikan perpaduan
yang ideal antara resolusi yang tinggi dan juga jarak pandang yang
luas. SPOT 5 dilengkapi dengan 2 buah instrumen geometrikal
yang berosolusi tinggi, High Resolution Geometric (HRG) yang
menawarkan citra beresolusi tinggi pada 2 mode, yaitu resolusi
hingga kisaran 2,5-5 meter pada mode panchromatic, dan resolusi
hingga kisaran 10 meter pada multispectral mode. SPOT 5 juga
memiliki instrumen pencitraan HRS (High Resolution
Stereoscopic), yaitu kemampuan untuk menangkap citra. stereopair
secara serentak untuk keperluan citra relief peta. Instrumen ini
dioperasikan dalam mode panchromatic, sehingga beresolusi tinggi
dengan 2 kamera yang ditempatkan pada bagian depan dan
belakang satelit. Kemampuan instrumen HRS ini sangat
menguntungkan karena dapat mencitra area yang luas hanya dalam
satu pencitraan. Pasangan stereo yang didapat dapat digunakan
dalam berbagai aplikasi 3D terrain modeling dan Computer
Environments seperti Flight Simulator Databases, Pipeline
Corridors, dan Mobile Phone Network Planning.
● SPOT 6 diluncurkan 9 September 2012. SPOT 6 merupakan seri
baru komersial SPOT misi untuk melanjutkan layanan pengamatan
resolusi tinggi. Secara resmi diumumkan pada pertengahan 2009
dan. peluncuran pertama 2012. Peningkatan satelit ini dari generasi
sebelumnya Cakupan 60 km, resolusi yang lebih baik 15 m,
penambahan band biru untuk mendapatkan gambar warna alami
asli, memungkinkan untuk mencapai efisien lebih baik dengan
koleksi cakupan besar lebih dari 3 juta km2 per hari, efisiensi
program lanjutan dengan pemrograman per hari dan per upload
satelit yang mungkin untuk memperoleh citra bebas awan,
kelangsungan 10 tahun yang menjamin kelangsungan data ke 2023.
SPOT 6 menggunakan sensor NAOMI (New AstroSat Optical
Modular Instrument). NAOMI adalah produk pencitra- resolusi
tinggi yang dirancang dan dikembangkan di EADS Astrium SAS.
Instrumen NAOMI telah dikembangkan dengan resolusi spasial 1,5
m sampai 2,5 m, dan besar sapuan dari 10 km sampai 60 km. Pada
satelit ini memiliki kualitas optik yang sama dan jauh lebih ringan.
Oleh karena itu kinerja yang lebih dapat diperoleh dari satelit yang
lebih kecil.

2. Aplikasi Citra Satelit SPOT

10
Di Indonesia penggunaan citra satelit beresolusi tinggi seperti yang
dimilki SPOT-5 dipakai dalam kepentingan kegiatan survei toponim
pulau-pulau. Selain itu citra tersebut baik dalam pembuatan profil pulau-
pulau di Indonesia. Saat ini para ahli Badan Riset Kelautan dan Perikanan
(BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), tengah mengkaji
penerapan data Shuttle Radar Topograhpy Mission (SRTM) yang diusung
oleh pesawat ulang alik (spaceshuttle) Endeavour pada tahun 2000. Citra
satelit SPOT 5 pun diterpakan dalam pembuatan citra 3 dimensi untuk
survei toponim dan profil pulau-pulau di Indonesia. Dari ketinggian 826
km SPOT-5 merekam profil tiga dimensi dengan menggunakan instrumen
High Resolution Stereoschopic (HRS) yang diopersikan dalam mode
pancromatic sehingga resolusi dapat mencapai 2.5 meter. Pasangan foto
yang didapat membentuk suatu relief peta bersifat 3 dimensi. Setiap benda
berukuran 2, 5 x 2,5 m di permukaan bumi dapat dipantau dari satelit
SPOT-5. Fungsi lain dari citra satelit SPOT adalah pemetaan dan
monitoring padang rumput, meningkatkan identifikasi tanaman.

2.3 Citra Satelit Noaa

Satelit NOAA merupakan satelit yang dimiliki oleh Amerika, yang


memiliki misi untuk memantau lingkungan dan cuaca di bumi, salah satunya
parameter oseanografi seperti suhu. Satelit NOAA membawa lima jenis sensor,
salah satu diantaranya ialah sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution
Radiometer).

Satelit NOAA menghasilkan data citra yang dapat digunakan untuk


mempelajari parameter meteorologi, yang meliputi pembuatan peta awan,
penentuan korelasi antara curah hujan dengan jenis awan dan liputan awan,
penentuan variasi tahunan liputan awan, serta pembuatan peta suhu dan peramalan
cuaca lainnya (Massinai, 2005).

Suhu merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kehidupan


organisme baik itu di daratan maupun di perairan. Menurut Hutabarat dan Evans
(1985), setiap organisme memiliki batasan-batasan suhu tertentu untuk kesesuaian
terhadap lingkungannya masing-masing. Sehingga secara tidak langsung,
mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan organisme tersebut.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis
organisme yang terdapat di berbagai tempat di dunia.

Suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter oseanografi yang dapat
berubah-ubah, suhu permukaan laut dapat diukur secara langsung dengan cara

11
pengukuran insitu, dan juga oleh sensor satelit yang bekerja pada spektrum infra
merah termal. Suhu yang berubah-ubah dapat dideteksi oleh satelit lingkungan
dan cuaca, seperti NOAA yang memiliki sensor termal band 4 dan band 5. Band
tersebut merupakan saluran yang sensitif terhadap perubahan suhu di laut.
Pengolahan citra untuk mengetahui SPL Jawa, melalui proses pengolahan citra
dengan menggunakan
algoritma SPL hingga pembuatan peta SPL.

Satelit yang mempunyai sensor infra merah termal antara lain Landsat,
NOAA, Aqua/Terra, Fengyun, dan ERS. Suhu permukaan laut dari data
penginderaan jauh mempunyai berbagai potensi aplikasi seperti untuk
klimatologi, perubahan suhu permukaan laut global, respon atmosfer terhadap
anomali suhu permukaan laut, prediksi cuaca, pertukaran gas antara udara dengan
permukaan laut, pergerakan massa air, studi polusi, perikanan, dan dinamika
oseanografi seperti fenomena eddi, gyre, frontdan upwelling (Hartuti, 2008).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran Suhu Permukaan
Laut Jawa menggunakan data citra satelit penginderaan jauh NOAA-17 secara
temporal.2.702 (Tb4 - Tb5) - 0.582 - 273.0 Algoritma Mc_Crosby tersebut
merupakan algoritma yang dikembangkan oleh NASA, dan merupakan algoritma
multi channel sea surface temperature (MCSST). Algoritma tersebut
menggabungkan setiap band termal satelit NOAA, yakni band 4 dan band 5 untuk
mendapatkan nilai SPL, dari data citra satelit NOAA yang telah dalam derajat
celcius dari algoritma tersebut.

2.4 Citra Satelit Alos

Salah satu citra penginderaan jauh yang masih jarang digunakan dalam
kajian distribusi muatan padatan tersuspensi adalah citra satelit ALOS (Advanced
Land Observing Satelitte). Citra satelit ALOS merupakan citra hasil perekaman
dari satelit
penginderaan jauh milik Jepang. Penelitian dengan menggunakan ALOS AVNIR-
2 masih jarang digunakantetapi terdapat beberapa peneliti yang menghasilkan
persamaan untuk mengekstraksi nilai muatan padatan tersuspensi dari citra ALOS
AVNIR-2. Beberapa diantaranya adalah Alashloo et al. (2013), Lim et al. (2009),
Bhatti et al. (2011), Hendrawan dan Asai (2008).

Penelitian Alashloo et al. (2013), Hendrawan dan Asai (2008) menggunakan


saluran 1, 2, 3 karena saluran tampak dinilai cukup bagus untuk mengidentifikasi
muatan padatan tersuspensi. Sedangkan penelitian Bhatti et al. (2011)
menggunakan saluran 3, 4 karena nilai muatan padatan tersuspensi tinggi pada
saluran tersebut. Penelitian Lim et al. (2009) sendiri hampir sama dengan
penelitian Alashloo et al. (2013) namun dalam penelitiannya tidak terdapat
persamaan ekstraksi citra ALOS AVNIR-2 untuk muatan padatan tersuspensi.

12
Penelitian kali ini mencobakan tiga persamaan yang diperoleh dari penelitian-
penelitian sebelumnya untuk diujikan di daerah muara Sungai Opak. Hasil
ekstraksi dari ketiga persamaan ini akan dibandingkan dengan data in situ melalui
uji statistik. Jika hasil ekstraksi dari persamaan tersebut dan data in situ tidak ada
perbedaan, maka persamaan tersebut dapat digunakan di muara Sungai Opak.
Namun jika hasil perbandingan tersebut berbeda, maka perlu dibangun persamaan
baru melalui analisis regresi. Hasil dari persamaa yang paling sesuai dapat
dipetakan dan dianalisis dengan melihat faktor-faktor lain yang berpengaruh baik
dari darat atau laut.

Tahapan pengolahan citra yang akan dilakukan membutuhkan nilai reflektan


dari citra ALOS AVNIR-2. Citra yang diperoleh mempunyai nilai DN (digital
number) berupa nilai kecerahan. Nilai DN dapat dikonversi menjadi nilai radian.
Nilai radian yang dihasilkan pada konversi sebelumnya dapat digunakan untuk
menghitung konversi nilai menjadi reflektan. Tahapan ini merupakan tahapan
untuk mendapatkan nilai pantulan sebenarnya dari obyek yang direkam oleh
sensor.

Koreksi geometrik pada dasarnya adalah menyelaraskan koordinat pada citra


dengan koordinat yang ada di bumi. Koreksi ini dapat menggunakan titik ikat
yang didasarkan pada citra lain yang tergeoreferensi atau peta dengan daerah yang
sama. Setelah koreksi geometrik dilakukan, maka citra yang digunakan akan
mempunyai referensi sesuai dengan kenyataan di lapangan. Koreksi geometrik
citra yang paling
sederhana menggunakan referensi berupa peta Rupabumi Indonesia (RBI).

Salah satu citra satelit SAR yang dapat digunakan untuk estimasi
kelembaban tanah adalah citra satelit ALOS-PALSAR. Berkaitan dengan
kebutuhan informasi kelembaban tanah dan teknik penginderaan jauh yang
mampu mengidentifikasi areal cakupan wilayah yang luas dalam waktu yang
cepat, perlu dilakukan sebuah penelitian tentang “Pemanfaatan Citra Satelit
ALOS-PALSAR untuk Pemetaan Kelembaban Tanah”.

● Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui nilai kelembaban tanah wilayah Kabupaten Paser berdasarkan


citra satelit ALOS-PALSAR.

2. Membuat peta kelembaban tanah wilayah Kabupaten Paser berdasarkan


citra satelit ALOS-PALSAR.

● Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memperoleh hasil pembuatan peta kelembaban tanah wilayah Kabupaten


Paser berdasarkan citra satelit ALOS-PALSAR.

13
2. Hasil penelitian ini, diharapkan menjadi dasar pertimbangan dalam
penelitian sejenis atau sebagai bahan rujukan dalam pembuatan peta
kelembaban tanah.

2.5 Citra Satelit Aster

Citra ASTER adalah satu citra satelit sumberdaya bumi yang sering
dimanfaaatkan untuk kajian fisik. Citra ASTER (Advanced Spaceborne Thermal
Emission and Reflection Radiometer) yang diluncurkan pada 18 Desember 1999
yang dihasilkan oleh proyek kerja sama Jepang dan Amerika untuk memonitoring
permukaan bumi yang menyangkut sumberdaya alam. Sensor ini mengobservasi
permukaan bumi dari ketinggian 705 km dengan frekuensi band: Visible and Near
Infrared (VNIR), Short Wave Infrared (SWIR) dan Thermal Infrared (TIR).

SIG (Sistem Informasi Geografi) atau Geografis Information System (GIS)


diartikan sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan,
menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisa dan menghasilkan data
bereferensi geografis atau data geospasial, untuk mendukung pengambilan
keputusan dalam
perencanaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan, transportasi,
fasilitas kota dan pelayanan umum lainnya (Murai S. 2000 dalam Taufik Hery P.,
2006).

Pemodelan permukiman merupakan suatu pendekatan yang dilakukan untuk


pengembangan permukiman dengan menggunakan metode tertentu. Berikut
merupakan model permukiman dengan pendekatan pengkarkatan dan pembobotan
dan metode overlay.

METODE PENELITIAN

Tahap persiapan merupakan tahap awal dalam penelitian. Tahap persiapan


meliputi studi pustaka dan perolehan data dari citra ASTER, Peta Rupabumi
Indonesia, Peta Kerawanan Bencana, Peta Tanah, kerja lapangan maupun instansi-
instansi pemerintah seperti BPS (Badan Pusat Statistik), BPN (Badan Pertanahan
Nasional) dan BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah).

Tahap pengolahan data terdiri dari pengolahan data citra ASTER yang
diawali dengan koreksi radiometrik dan geometrik yang bertujuan agar citra yang
digunakan memiliki akurasi yang optimal. Tahap pengolahan selanjutnyaadalah
proses interpretasi penggunaan lahan dan jaringan jalan.

Tahap kerja terdiri dari pemilihan sampel dan kerja lapangan. Pemilihan
sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik proporsional stratified random
sampling, yaitu dengan mengambil sampel secara seimbang berdasarkan tingkatan

14
atau kelas data yang ada pada satuan pemetaan yang berupa peta-peta tentatif
parameter yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi permukiman. Metode
proporsional stratified random sampling ini diharapkan mampu mewakili setiap
kelas data yang ada di lapangan secara seimbang sehingga masing-masing kelas
dapat dilakukan cek lapangan untuk menghasilkan peta tematik yang sesuai
dengan cara efisien. Kerja lapangan bertujuan untuk mencocokan hasil interpretasi
dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Adapun kerja lapangan yang dilakukan
adalah mengukur variabel yang
tidak terukur dari citra dan sekaligus cek hasil interpretasi citra ASTER.
Pengecekan dilakukan terhadap penggunaan lahan, jarak terhadap jaringan jalan
serta pengukuran terhadap daya dukung tanahdan kedalaman muka air
tanah.Jumlah sampel yang diambil sebanyak 53 titik.

2.6 Citra Satelit Pleiades

Citra Pleiades merupakan sumber data hasil perekaman satelit kategori


resolusi spasial tinggi sebagai bagian dari hasil perkembangan teknologi. Citra
tersebut merupakan sumber data yang baik untuk pemetaan kekotaan, contoh tema
kemacetan lalu lintas.

Kemacetan lalu lintas merupakan cerminan ketidakseimbangan kondisi


kemampuan ruas jalan dalam menampung atau melayani kendaraan yang melintas
pada ruas jalan tersebut. Objek geometrik jalan seperti lebar jalan, median,
maupun
panjang jalan, menjadi pertimbangan dalam penentuan tingkat kemacetan lalu
lintas
yang terjadi, termasuk juga objek penggunaan lahannya. Interpetasi citra Pleiades
merupakan prioritas untuk identifikasi objek-objek tersebut. Dalam teknisnya
pengukuran dan perhitungan pada data-data yang diperoleh menjadi dasar bagi
penentuan tingkat kemacetan lalu lintas pada daerah penelitian.

Perkotaan Purwokerto berada pada lokasi strategis yang menjadi daya tarik
bagi daerah-daerah sekitar untuk melakukan kegiatan transportasi. Semakin
banyak kendaraan yang masuk, semakin besar pula potensi kemacetan yang
terjadi, karena volume lalu lintas meningkat tidak disertai kapasitas jalannya.
Penggunaan lahan di perkotaan juga dapat menjadi masalah tambahan terlebih
dampaknya pada bentuk aktivitas yang ditunjukkan dalam pembentukan gangguan
samping jalan. Intensitas dari bentuk aktivitas yang makin tinggi, berpotensi
menciptakan nilai kapasitas jalan yang diperoleh semakin kecil. Hal ini mendasari
pentingnya pemetaan kekotaan dengan fokus identifikasi tingkat kemacetan lalu
lintas melibatkan sumber data citra Pleiades, disamping pengukuran dan
perhitungan dari data sekunder dan kegiatan lapangan.

15
2.7 Citra Satelit Sentinel

Citra satelit yang digunakan untuk pemetaan habitat dasar perairan dangkal di
Teluk Humbolt adalah citra satelit Sentinel-2A level 1C akuisisi tanggal 25
Februari 2019. Citra satelit Sentinel-2A dapat diperoleh dengan cara
mendownload pada
website: https://scihub.copernicus.eu. Satelit Sentinel-2A merupakan satelit
generasi baru yang dirancang oleh European Space Agency (ESA) untuk
observasi bumi yang keseluruhan datanya dapat diakses secara gratis. Satelit
Sentinel-2A memiliki
resolusi temporal 10 hari (satelit tunggal) 5 hari (konstelasi gabungan), serta
resolusi radiometrik 12 bit.

Manfaat dari citra sentinel ini adalah untuk menyajikan data dalam rangka
memenuhi kebutuhan beberapa hal, diantaranya monitoring lahan, dan dapat
dijadikan sebagai data dasar yang dapat diaplikasikan dalam berbagai hal, seperti
pertanian hingga perhutana, juga monitoring lingkungan, hingga perencanaan
perkotaan. Selain itu dapat juga digunakna untuk deteksi tutupan lahan,
penggunaan
lahan, pemetaan bencana, dan aplikasi lainnya (Kawamuna et al., 2017). Untuk
melakukan analisis vegetasi menggunakan metode NDVI, komposit band yang
dibutuhkan ialah band 8 sebagai NIR dan band 4 sebagai RED pada citra sentinel-
2.

Perangkat lunak yang digunakan yaitu ArcMap 10.8 dan Qgis. Tahapan
pengolahan dan analisis citra mencakup tahapan sebagai berikut:

a. Koreksi atmosferik menggunakan software Qgis.


b. Cropping citra, dan hasil cropping citra terbaru yang kualitasnya terbaik karena
digunakan untuk disegmentasi.
c. Segmentasi digital citra untuk mencari kombinasi nilai parameter band yang
digunakan untuk melakukan proses pengolahan NDVI
d. Analisis terhadap hasil segmentasi.
e. Hasil analisis kemudian dibagi menjadi 5 klasifikasi sesuai dengan parameter
kelas pada NDVI.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yung dapat kita ambil berdasarkan penjelasan pada lembar-


lembar sebelumnya, yaitu:

Penginderaan Jauh merupakan ilmu yang digunakan untuk mendapatkan


informasi mengenai permukaan buni seperti lahan dan air duri citta yang
diperoleh dari jarak. jauh dengan menggunakan sensor. Di bidang geologi,
remote sensing digunakan untuk mengetahui potensi bencana di daerah
tertentu

DAFTAR PUSTAKA

Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya dalam


Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.

Muhsoni, Farid 2015 Madura:UTMPRESS Penginderaan Jauh (Remote Sensing).

17
Suryantoro, Agus. 2003. Kemudahan Interpretasi Citra SPOT XS dan Landsat TM
Untuk Identifikasi Objek Penutup Lahan Kota Malang. Forum
Geografi Vol 17, No 1.

18

Anda mungkin juga menyukai