Anda di halaman 1dari 5

Ringkasan Kasus

Kebakaran di Indonesia: Dampak Perusakan Ekologi, Ekonomi, dan Manusia


Indonesia telah dipuji sebagai pasar yang berkembang. Mengikuti jejak dari ekonomi
BRIC, Indonesia telah mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang kuat di sekitaran 5% per
tahun sejak 2000. Seperti perekonomian BRIC, Indonesia adalah negara padat penduduk,
dengan 250 juta penduduk membuat Indonesia berada di urutan ke-4 negara dengan populasi
terbanyak di dunia. Perekonomian Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas.
Namun, di balik topik utama yang menggambarkan pertumbuhan, terdapat keraguan
mengenai sustainability (keberlanjutan) dari industri yang memproduksi komoditas hasil
hutan, seperti kayu gelondong, bubur kertas/pulp (yang digunakan pada industri kertas) dan
minyak sawit, yang mana merupakan komoditas utama yang mendukung perekonomian
Indonesia.
Kebakaran hutan di banyak wilayah Indonesia merupakan kejadian yang sering
terjadi, namun dampaknya beragam dari tahun ke tahun, yang mayoritas bergantung pada
angin dominan (prevailing wind) dan kekuatan efek El Nino. Pada 2015, kedua faktor ini
memberikan dampak yang cukup parah, karena kehancuran hutan tropis yang sangat luas
tampak tidak dapat dikendalikan. Kerusakan ini turut membawa dampak buruk bagi ekonomi,
kehidupan manusia, dan lingkungan ekologis. Asap berpolusi terbawa hingga negara-negara
tetangga, Singapura, Malaysia, dan bahkan Thailand bagian selatan. Kebakaran yang
berulang, memang merusak, juga telah menjadi aspek sistemik dari perekonomian Indonesia.
Pemerintah, bisnis, dan kelompok masyarakat sipil setuju bahwa situasi ini sudah tidak dapat
ditoleransi. Selain kerusakan fisikal, emisi berbahaya yang dihasilkan dari kebarakan tahun
2015 hampir menyamai total emisi tahunan Brazil. Namun, saling menyalahkan dan
melempar tanggung jawab antar banyak partai/pihak yang berbeda, dibanding menerima rasa
tanggung jawab masing-masing, juga menjadi sebuah masalah. Tentunya, salah satu mungkin
berpikir, pemerintah harus mengambil inisiatif untuk menghentikan kegiatan yang berpotensi
menyebabkan kebakaran. Namun, pemerintah, yang sering kali terikat dengan kepentingan
bisnis, enggan bertanggung jawab. Dapatkah mereka mengambil pendirian yang berani dan
melangkah untuk menghentikan kerusakan?
Hutan di Indonesia menyajikan peluang/kesempatan ekonomi bagi perusahaan besar
yang terlibat dalam komoditas hasil hutan. Cara termudah untuk membersihkan lahan untuk
tempat produksi baru adalah dengan sederhana membakar vegetasi yang sudah ada, dikenal
dengan istilah “slash and burn” (ladang berpindah). Karena menutupi tanah gambut yang
mudah terbakar, jika terjadi kebakaran, api cenderung sulit untuk dikendalikan. Sekitar satu
per tiga kebakaran terjadi pada perkebunan pulp, dan banyak dari sisanya terjadi di atau
sekitar perkebunan sawit. Perusahaan agribisnis besar berpendapat bahwa suatu kesalahan
apabila sepenuhnya menyalahkan perusahaan. Beberapa dari perusahaan bahkan mendukung
produksi minyak sawit berkelanjutan, melalui Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO)
certification, yang bertentangan dengan praktek yang dipermasalahkan ini. Perusahaan-
perusahaan agribisnis menyalahkan petani kecil yang memperluas lahan mereka. Mereka juga
menunjuk sekelompok pihak yang mengoperasikan pembabatan hutan illegal untuk
kepentingan akuisisi lahan. Terdapat juga tindak kriminal yang diwariskan dari beberapa
kelompok (gang) yang memiliki kepentingan berbalut politik, merujuk pada era mantan
diktator, Suharto, pada tahun 19960an. Fakta bahwa sistem penamaan lahan yang tidak cukup
jelas/memadai membuat semakin sulit melacak kepemilikan dan batas-batas lahan yang
bersangkutan. Petani kecil berkata bahwa mereka sering kali dibayar dengan tidak adil oleh
perusahaan agribisnis besar. Kebijakan untuk mendorong petani kecil untuk mengurangi
pembabatan lahan, termasuk insentif dan harga yang wajar/adil, harusnya menjadi dasar dari
pendekatan yang lebih sustainable bagi mata pencaharian masyarakat pedesaan. Harga yang
layak bagi petani merupakan bagian dari komitmen yang tercantum dalam Sustainable Palm
Oil Manifesto, yang mana lebih komprehensif dibanding sertifikasi RSPO saja.
Dampak kerusakan bagi ekosistem dan ratusan spesies yang tinggal di hutan sangat
mengenaskan. Banyak spesies di ambang ancaman/kepunahan, termasuk orangutan, macan
tutul, siamang, dan harimau. Bukti yang paling tampak terkait dengan risiko terhadap
kesehatan manusia yakni tebalnya asap yang menyelimuti wilayah terdampak oleh kebakaran
dan parahnya dapat menyebar sampai ratusan mil. Kabut asap yang mengandung asap hasil
pembakaran lahan gambut diketahui sangat beracun. Pada 2015, diperkirakan sebanyak
500,000 kasus infeksi pernapasan akibat kebakaran tersebut. Khususnya anak-anak adalah
korban yang paling rentan, dan banyak yang dievakuasi dari wilayah terdampak paling parah.
Kabut asap yang sangat tebal membuat 6 provinsi di Indonesia menyatakan status darurat.
Indonesia memiliki catatan yang buruk tentang kesehatan anak seperti yang tercatat dalam
indeks Human Development PBB. Lebih dari 37% anak-anak di bawah 5 tahun mengalami
stunting, menandakan bahwa mereka terlalu pendek dibandingkan berat badan mereka.
Gambaran ini meningkat dari 28.5% di tahun 2004. Kemiskinan dan perawatan kesehatan
yang buruk adalah sumber permasalahan. Pemerintah mendedikasikan 16% dari pengeluaran
publik untuk subsidi energi (khususnya BBM). Pengeluaran untuk program sosial, kesehatan,
dan pendidikan ditekan, sehingga membahayakan prospek peningkatan kualitas hidup bagi 10
juta penduduk di daerah pedesaan.
Pemerintahan Joko Widodo, yang terpilih tahun 2014, menjanjikan berbagai macam
reformasi, termasuk peningkatan perawatan kesehatan, mengakui bahwa ini merupakan
sebuah prioritas nasional. Namun, kekuatan politik yang bertahan di negara ini cenderung
lebih condong pada kepentingan bisnis dibanding kepentingan sosial. Izin konsesi dan
pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan merupakan wilayah di mana korupsi
menjadi masalah utama karena terus bermunculan, yang akhirnya mengakibatkan terus
berlanjutnya kegiatan deforestasi. Prosedur dan pelaksanaan yang transparan harusnya dapat
membantu melawan korupsi dan meningkatkan pengawasan terhadap izin penggunaan lahan.
Presiden telah berjanji untuk mengurangi deforestasi. Namun, pemerintah hanya
mengeluarkan anggaran cukup sedikit untuk tindakan pencegahan, sementara mendongkrak
pertumbuhan ekonomi melalui subsidi pada perusahaan yang justru berkontribusi dalam
deforestasi. Worldwide Fund for Nature (WWF) telah menyimpulkan bahwa penyebab
kebakaran hutan 2015 adalah hasil gabungan akibat kelalaian dari petani kecil, perusahaan
besar, dan pemerintah.
Diskusi
1. Dari beberapa pihak yang disebutkan sebagai penyebab kebakaran, pihak mana yang
paling besar?
Menurut kami, pihak yang paling besar yang menjadi penyebab kebakaran ini
adalah pemerintah. Hanya pemerintah yang mempunyai kuasa untuk mereformasi
kebijakan kehutanan dan pengaturan penggunaan lahan terutama pada kasus ini
adalah ekosistem yang sangat rentan seperti lahan gambut. Pada ekosistem lahan
gambut lebih sulit diatasi karena api dapat menyebar melalui biomassa di atas tanah
dan di lapisan gambut di bawah permukaan dan sulit diketahui secara visual. Dalam
hal ini pemerintah juga harus memiliki data/ informasi tentang tingkat kerentanan dan
potensi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sehingga dapat memprediksi
kebakaran di masa depan. Dengan adanya kebijakan pemerintah diharapkan dapat
membatasi terjadinya aktivitas pembersihan lahan yang tidak ramah lingkungan ini
dan berujung pada kebakaran lahan dan hutan di sekitar areal perkebunan. Kebijakan
pemerintah ini juga harus diimbangi dengan tindakan tegas dari pemerintah.
Pemerintah juga harus membuat peraturan penyiapan lahan tanpa bakar (zero burning)
meskipun secara mengadaan tidak murah. Karena sejauh ini, meskipun kebakaran
hutan dan lahan sering terjadi berulang, namun kebijakan penanganan cenderung
bersifa kuratif dibandingkan preventif. Pemerintah pusat maupun daerah masih
terkesan enggan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk program-program
pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Padahal dalam kenyataan tindakan ini perlu
dilakukan karena besaran nilai anggaran untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan
serta bencana asap masih dianggap kurang memadai dibandingkan dengan alokasi
anggaran untuk pemadaman api.
Pendekatan kebijakan masih sangat sectoral dan dilaksanakan di lapangan
dengan koordinasi minimal. Sebagai contoh operasi manggala agni dibatasi hanya
Kawasan hutan karena sulit untuk mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran
jika dipergunakan untuk di luar Kawasan hutan.
Kebijakan yang buruklah yang dapat menjadi faktor pendorong, secara khusus
kebijakan mengenai kebakaran hutan dan lahan yang sudah banyak diterbitkan dari
tingkat Undang-Undang hingga eselon I lembaga terkait, bahkan sampai tingkat
provinsi dan kabupaten/kota yang efektivitasnya rendah dan banyak celah.
Pendekatan kebijakan yang digunakan tampaknya masih lebih banyak pada upaya
pemadaman daripada pencegahan. Selain itu, untuk membantu upaya pencegahan dan
penanggulangan kebaran hutan dan lahan, pemerintah seharusnya memiliki satuan
patrol sekaligus satuan pemadam kebaran.
Penegakkan hukum terhadap masyarakat pembakar juga harus ditingkatkan.
Sejauh ini, pemerintah masih bersikap lunak. Setiap terjadinya kebakaran hutan dan
lahan, pemerintah terkesan memilih bersikap populis dengan menetapkan tersangka
“perusahaan” dan cenderung menghindari penetapan tersangka peorangan atau
kelompok orang (masyarakat pembakar hutan). Padahal, orang-orang yang membuka
lahan dengan cara membakar tidak hanya dilakukan masyarakat lokal, diduga lebih
banyak dilakukan oleh sekelompok orang yang dikoordinir oleh cukong. Sehinggga
dari semua kejadian ini, kebijakan yang dibutuhkan antara lain:
a. Kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar, didukung kebijakan pemanfaatan
limbah vegetasi/biomassa untuk keperluan bahan baku industri sehingga
limbah hasil peremajaan kebun dapat dimanfaatkan secara efektif, efisien,
dan memenuhi skala keekonomian.
b. Penegakan hukum yang jelas dan tepat sasaran.
c. Kepastia pola penggunaan dan fungsi ruang.

2. Mengurangi deforestasi dan meningkatkan kesejahteraan sosial tampaknya berjalan


seiring. Bagaimana?
Kami setuju dengan pernyataan ini. Hal ini karena sebagian besar masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan memiliki kehidupan yang bergantung kepada hutan
sehingga dengan deforestasi dapat membuat mereka terpapar kemiskinan, gizi buruk,
dan penurunan kualitas kesehatan lingkungan. Sehingga dengan adanya pengurangi
deforestasi seperti program REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and
Forest Degradation) sejak pemerintahaan Presiden Susilo Bambang Yudhyono,
United Nations Office for REDD Coordination in Indonesia (UNORCID) dan
disempurnakan oleh program Perhutanan Sosial pada masa Presiden Jokowi yang
semua menyebutkan keterkaitan antara hutan dengan kemiskinan dan pentingnya
peran pemberdayaan masyarakat dalam menjaga valuasi nilai hutan.

3. Dalam hal apa kepemimpinan politik Indonesia mengecewakan baik dari segi
lingkungan maupun tujuan sosial?
Kepemimipinan politik di Indonesia masih mengecewakan karena lebih
condong pada kepentingan bisnis dibandingkan kepentingan sosial. Korupsi juga
sering terjadi pada izin konsesi dan pengambilan keputusan terakait penggunaan lahan
yang menjadi penyebab keberlanjutan kegiataan deforestasi. Seperti kasus yang
menjerumuskan kepala daerah di Riau yang menerima suap dari pengusaha sawit
terkait penerbitan izin pemanfaatan hutan sehingga kepala desa tersebut mau
mengalih fungsi Kawasan hutan menjadi perkebunan sawit di Kabupaten Kuantan
Singingi seluas 1.188 hektare dan di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.214 hektare.
Selain itu mantan Gubernur Riau juga terbukti menyalahgunakan wewenang dalam
penerbitan izin usaha pemanfaatan hutan. Tanpa disadari, sektor kehutanan menjadi
sumber korupsi besar-besaran. Penyimpangan pengelolaan sumber day aini tidak
hanya menyebabkan negara kehilangan banyak uang, tetapi juga memberikan imbas
lingkungan maupun sosial yang harus dibayar publik setiap tahun dengan menghirup
asap beracun.
Banyak pihak mendapat untung besar dari kebakaran ini. Menurut Presiden
Jokowi, tiada solusi baru pada masalah ini karena semua orang memahami apa yang
harus dilakukan dan ini hanya soal apakah kita mau menyelesaikan masalah ini atau
tidak.

4. Seberapa berkelanjutan model pembangunan Indonesia?


Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sehingga pembangunan harus didasarkan pada konsep pembangunan yang
berkelanjutan. Artinya pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya untuk saat ini
melainkan juga untuk masa mendatang, Meskipun pada pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kala, prinsip pembangunan berkelanjutkan dalam bidang kehutanan tidak begitu jelas
dasar pemikiran yang digunakan. Pemerintahan ini mengusung agenda nasional yang
disebut dengan “Nawa Cita” yang berisikan Sembilan prioritas pembangunan. Dalam
realisasinya, prinsip yang dilaksanakan pada pemerintahan masih jauh dari sasaran.
Sejumlah kajian menggambarkan kendala dan hambatan pengelolaan hutan dan
konservasi sumber daya alam di Indonesia yang dimana Indonesia mengalami
deforestasi dan degradasi hutan yang cukup pesat. Semua laporan tersebut
menyebutkan “bad governance” sebagai penyebab dasar yang menggagalkan
penyelenggaraan kehutanan berkelanjutan di Indonesia. Namun pernytaan tersebut
sering tidak ditindaklanjuti dengan rekomendasi langkah kongkrit yang dibutuhkan
untuk memperbaiki “forest governance”.
Berdasarkan kondisi demikian menjadi dasar pemikiran pemberlakukan
prinsip pembangunan berkelanjutan pada masa pemerintahan Jokowi-Makruf Amin.
Oleh karena itu struktur kearifan lokal melalui keputusan-keputusan yang menjaga
keberlanjutan alamnya haruslah tetap dipelihara. Mereka menjalankan roda
pembangunan yang berklanjutan tanpa harus merugikan pihak masyarakat lokal.
Sehingga dalam hal ini prinsip pembangunan berkelanjutan dilaksanakan dengan
mengacu pada kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, tetapi tetap mengakui dan
menghormati kearifan lokal dan bisa saling melengkapi dan menjaga. Pembangunan
berkelanjutan dalam pemerintahan ini terlaksana dengan baik dengan struktur negara
melalui UU kehutanan yang dapat saling melengkapi dengan keputusan-keputusan
masyarakat adat dengan prinsip saling menjaga alamnya dari kerusakan.

Artikel Terkait
http://ditjenppi.menlhk.go.id/component/content/article?id=2657:info-brief-understanding-
estimation-of-emission-from-land-and-forest-fires-in-indonesia-2015
https://bnpb.go.id/berita/99-penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan-adalah-ulah-manusia
https://www.dw.com/id/penyebab-kebakaran-hutan-terungkap/a-18801135
http://repository.uki.ac.id/1826/7/PolitikLingkunganIndonesia.pdf
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151017_indonesia_korupsi_asap

Anda mungkin juga menyukai