Anda di halaman 1dari 36

PENGELOLAAN

HUTAN BERBASIS
LINGKUNGAN

Abstract
Bencana lingkungan yang terjadi, entah banjir,
keringnya sumber air, meluasnya lahan kritis, hingga
punahnya satwa dan flora acap kali dikaitkan
dengan deforestasi dan degradasai hutan. Pada sisi
lain, pengurusan hutan telah diupayakan secara
maksimal dengan reformasi paradigma.

Tauhid, SP. MSi.


Belum dipulikasikan
I. PENDAHULUAN

Menurunnya mutu lingkungan merupakan sisi buruk dari


pembangunan. Meski tidak semua pembangunan menyebabkan
degradasi mutu lingkungan. Sejatinya setiap pembangunan
ditujukan ke arah perbaikan kualitas kehidupan (lingkungan),
namun tujuan ini acap kali terdistorsi oleh kebutuhan lain yang
lebih dipentingkan. Pada gilirannya, ukuran keberhasilan
pembangunan sangat relatif, tergantung skala yang digunakan
untuk menilai keberhasilan tersebut. Harus diakui bahwa umumnya
keberhasilan pembangunan menggunakan indikator ekonomi.
Sehingga penggunaan sumber daya alam cenderung semata
ditujukan untuk mencapai target kuantitatif. Di sisi lain,
pembangunan kurang menyentuh aspek kualitas dalam artian
kurang melarutkan perbaikan mutu atau perlindugan lingkungan
hidup.

Negara kita masih berada dalam jajaran negara-negara dunia


ketiga atau negara berkembang. Hal ini banyak berpengaruh
terhadap corak pembangunan di negeri ini. Kita terus berpacu
melakukan pembangunan di segala bidang. Merupakan obsesi
untuk dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara maju.
Selain itu, pola hubungan internasional ikut berpengaruh.
Globalisasi terus menggelinding merambah semua bangsa, siap
atau tidak siap. Dimensi globalisasi yang paling berpengaruh
adalah globalisasi informasi dan pasar bebas.

1|Page
Ketika Indonesia pada penghujung 1997 dilanda krisis
moneter, menuntut pemerintah mengambil langkah-langkah
strategis untuk segera lepas dari krisis. Pada situasi yang demikian,
IMF menawarkan konsep penyelesaian yang kemudian disambut
pemerintah sebagai resolusi yang pas. Perkembangan selanjutnya
menunjukkan konstruksi moneter yang belum sepenuhnya
berpihak. Setelah sepuluh tahun berlalu, krisis tersebut sudah mulai
pulih dengan sebuah catatan penting: ‘negara kita dililit utang’.
Harga diri bangsa telah dipertaruhkan. Kita dikenal
sebagai bangsa yang besar, berbudaya dan beradab, dan cukup
mengerti bagaimana harus membalas budi. Wajarlah, jika
negara-negara yang telah membantu kita keluar dari krismon
(melalui piutang) dapat menikmati iklim sejuk di dalam
berinvestasi di negeri ini. Sumber daya alam (SDA) yang paling
strategis pun diserahkan pengelolaannya kepada negara-negara
dimaksud. Meskipun lebih dari separuh keuntungannya bukan
untuk kita. Dampak paling buruk yang menyertai pengurasan
SDA adalah tercemarnya lingkungan. Cukup banyak kasus yang
menjadi bukti kelalaian (bahkan kesengajaan) Perusahaan Besar
Asing yang menimbulkan perusakan lingkungan atau pencemaran
luar biasa.
Pada saat yang sama, anak negeri pun bergiat mengelola
SDA sebagai bagian dari upaya pembangunan. Hutan tropis kita
yang dikenal terluas kedelapan di dunia, menjadi sasaran empuk
pribumi. Hutan terus ditebangi, dirambah dan dijarah. Hutan
alam Indonesia dikenal terkaya keanekragaman hayatinya.
Bahkan masih terdapat cukup banyak spesies yang belum
teridentifikasi secara ilmiah.
2|P a ge
Lebih penting lagi bahwa hutan kita secara keseluruhan
memberi kontribusi yang sangat besar bagi stabilisasi iklim global.
Exsistensi hutan tropis Indonesia bukan hanya urgen bagi negara
ini, tetapi juga terhadap dunia seluruhnya. Sangat beralasan jika
negara-negara maju (yang peduli lingkungan) banyak yang merasa
berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan Indonesia.
Komitmen positif telah ditunjukkan oleh berbagai negara dalam
forum-forum internasional. Indikasi positif telah terbangunnya
kesadaran moral untuk perlindungan lingkungan hidup global.

Gambar 1. Kerusakan Hutan Indonesia mengkhawatirkan


(www.solopos.com download by tauhidabdurrazaq_01022018)
Dari sekian banyak indikasi (variabel) degradasi mutu
lingkungan sebagai ekternalitas pembangunan, kami hendak
menyoroti dua permasalahan pokok lingkungan yang menyertai
kegiatan pembangunan di Indonesia, yaitu kerusakan hutan
(deforestasi) dan pencemaran lingkungan.

3|Page
II. DEFORESTASI
Besarnya angka kerusakan hutan rata-rata pertahun sangat
mengkhawatirkan, yaitu tercepat kedua setelah Brazil. Rakaryan
Sukarjaputra pada Harian Kompas (edisi 14 Desember 2007)
dalam Laporan Khusus COP-13 Bali, bahwa degradasi hutan
Indonesia antara 1997-2000 mencapai 2,8 juta hektar per tahun.
Namun hasil studi Badan Planologi Departemen Kehutanan
bekerja sama dengan University of South Dakota, AS, bahwa
tingkat degradasi sebesar 1,08 juta hektar per tahun antara 2001-
2005.
Meskipun tampaknya mengalami penurunan, angka 1,08
juta ha/tahun masih merupakan angka degradasi hutan yang sangat
tinggi. Jika mau dirata-ratakan angka itu berarti bahwa dalam
setiap jam terjadi kerusakan hutan seluas 123,29 hektar.

Gambar 2. Pembalakan Liar


(http:ntmcpolri.info download by tauhidabdurrazaq_010220018)

4|P a ge
Pembalakan liar, perambahan hutan untuk pembukaan
lahan pertanian, serta kebakaran adalam tiga penyebab dominan
deforestasi. Pembalakan liar lebih penting dari dua yang lainnya.
Pembalak liar masih terus merajalela di rimba raya, meskipun
pemberantasan illegal loging selalu menjadi agenda pokok
pengurusan kehutanan.
Sanksi berat bagi pembalak liar yang tertuang dalam Inpres
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Illegal Loging dan
Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan tidak menciutkan
nyali pelaku illegal loging. Kondisi ini menampilkan sebuah
fenomena sosial menarik tentang bagaimana liku-liku kehidupan
pelaku illegal loging. Dikhawatirkan bahwa terdapat suatu sisi
kehidupan mereka yang belum tersentuh oleh pertimbangan logis
kita, atau mungkin hanya bisa disentuh oleh pertimbangan
kemanusiaan (etis).
Siapa sesungguhnya pelaku pembalak liar. Apakah
pembalakan liar merupakan kerja individu murni yang sekedar
untuk memenuhi isi perut, ataukah merupakan sebuah sindikat
kaum berada. Mengapa para pembalak tersebut lebih betah mencari
nafkah dengan mesin shinsaw ketimbang pekerjaan lainnya,
ataukah mereka tidak memiliki kemampuan di bidang lain untuk
menghasilkan uang. Sempatkah mereka memikirkan bahwa
pohon tersebut memerlukan puluhan bahkan ratusan tahun hingga
bisa sebesar sekarang ini, bahwa pohon-pohon itu akan habis dan
bagaimana kondisi alam jika hutan terbabat habis. Tahukah mereka

5|Page
bahwa perbuatannya telah mengkibatkan banjir di daerah hilir.
Sempatkah mereka memikirkan keterkaitan perbuatannya dengan
kekurangan air irigasi pertanian di musim kemarau. Sudahkah
mereka tahu bahwa perbuatannya itu melanggar hukum dan akan
mendapatkan sanksi yang berat. Masih terlalu banyak pertanyaan
yang harus terjawab lebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan
publik yang objeknya adalah mereka.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mustahil kita
peroleh dari depan komputer atau dari balik meja kerja. Juga
tidak bisa diterka oleh para perencana, aparat yang berkepentingan
mengamankan hutan, atau oleh aparat hukum. Kami berpendapat
bahwa pemberantasan illegal loging hanya akan efektif jika
pemerintah telah memahami seluk beluk kehidupan para pembalak
liar. Mereka adalah sebuah komunitas yang perlu dihargai.
Mereka juga adalah warga negara yang berhak mendapatkan
penghidupan yang layak (sebagaimana diamanatkan UUD 1945).
Mereka adalah bagian dari makhluk sosial yang memiliki
multidimensi kehidupan yang perlu dipahami oleh pemerintah.
Kelihatannya inilah satu sisi kelemahan pemberantasan
illegal loging yang dilakukan selama ini sehingga belum efektif.
Diperlukan sebuah pendekatan komprehensip untuk mengenali
berbagai dimensi sosial mereka. Upaya ini jauh lebih penting dari
sekedar mengejar-ngejar mereka di dalam rimba. Mengapa
pembalak liar akan terus ada meskipun yang ada sekarang
ditangkapi semuanya. Kemudian muncul kembali pembalak liar
yang baru. Inilah sesungguhnya PR bagi para rimbawan, harus
mengkaji biang masalahnya.
6|P a ge
Secara global menguntungkan. Dukungan PBB terhadap
segala upaya pemeliharaan dan rehabilitasi hutan dunia terus
menunjukkan peningkatan. Kesepakatan atau deklarasi
internasional tentang antisipasi perubahan iklim harus sesegera
mungkin diimplementasikan di semua negara, termasuk Indonesia.
Hal ini harus dipahami oleh masyarakat kita utamanya para
pembalak liar, sehingga diperlukan sosialisasi.
Selain dukungan kibijakan Internasional, pengendalian
deforestasi dapat dilakukan melalui penegakan supremasi hukum
lingkungan. Seperti diketahui, proses penegakan keadilan dalam
penyelesaian sengketa lingkungan acap kali kontroversial.
Diperlukan penjernihan atau review tentang makna keadilan bagi
kepentingan lingkungan. Sebagai misal, kondisi riil di lapangan
harus menjadi pertimbangan utama dalam pemutusan perkara
lingkungan. Asas pembuktian formal tetap kita hargai sebagai
prinsip hukum positif, namun bukanlah yang utama. Pembuktian
pelanggaran terhadap lingkungan tidak semata didasarkan pada
bukti administratif. Sangat sulit akal sehat kita untuk menerima
jika pihak yang secara nyata merusak lingkungan, kemudian
akhirnya bebas dari jeratan hukum hanya karena mengantongi
dokumen dan administrasi perijinan.

7|Page
III. PENCEMARAN LINGKUNGAN

Geliat pembangunan yang dipicu semangat mencapai


kuantitas setinggi-tigginya nyaris tidak memberi celah bagi
pertimbangan lingkungan. Sebuah perencanaan dan pengambilan
keputusan publik yang dibangun di atas kepentingan ekonomi,
sangat sedikit mengakomodir aspek lingkungan. Fenomena ini
menimbulkan akibat buruk, dimana lingkungan terbebani di luar
daya dukungnya. Lingkungan terpaksa menampung pencemaran
yang kian hari semakin berat.

Gambar 3. Kebakaran Hutan, salah satu sebab pencemaran udara


(httpagroindonesia.co.id download by tauhidabdurrazaq_01022018)

Kompleksnya permasalahan yang ditimbulkan oleh


pencemaran lingkungan semestinya sudah cukup sebagai alat
pembelajaran bagi bangsa ini. Berbagai kasus meresahkan di
tanah air yang ditimbulkan oleh terjadinya pencemaran
lingkungan. Beberapa daerah telah berkali-kali mengalami krisis
air bersih. Masalahnya bukan karena tidak ada sumber air,
8|P a ge
sebab nyatanya sungai di daerah tersebut masih
setia mengalirkan airnya. Pokok masalahnya adalah pencemaran.
Sumber air sebagai anugerah tak berhingga nilainya yang
diamanatkan kepada mereka telah sengaja dicemari.
Semua maklum bahwa air merupakan salah satu sumber
kehidupan sehingga krisis air bersih adalah bencana besar. Lalu
kenapa manusia masih saja tidak memelihara sumber-sumber air
yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Di dalam Al-Quran Surat Ar-Rum ayat 41, Allah telah
mengingatkan:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena


perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)”.

Sejak dahulu kala, air dipandang sebagai sumber daya


alam tak terbatas, sehingga manusia kurang peduli menjaga daya
dukungnya. Sungai dijadikan tempat pembuangan akhir.
Fenomena ini terjadi di seluruh pelosok negeri tercinta ini.
Demikianlah gambaran bangsa yang mengaku cinta tanah air.

9|Page
Mungkin tidak sedikit di antara warga negara yang berpikir
bahwa tidak mungkin ada sungai jernih yang mengalir di tengah-
tengah kota metro. Hal tersebut dipandang sebagai suatu yang
sangat sulit atau bahkan tidak mungkin. Air yang mengalir dari
hulu menuju muara harus melewati perjalanan yang sangat
panjang. Mustahil melakukan pengawasan pada sepanjang aliran
sungai.
Hal yang tidak mungkin di benak kita ternyata terwujud di
beberapa negara. Sebagai contoh terdekat adalah Kota Kucing
Malaysia, dimana air sungai di kota tersebut benar-benar
terpelihara kebersihannya. Bisa dibayangkan bagaimana
bahagianya warga Kota Kucing yang dapat memandang aliran
sungai yang jernih, mengalir dengan riak-riak kedamaian,
sekaligus dapat menikmati airnya yang sehat dan bersih.
Demikianlah potret sikap anak bangsa di seluruh seantero
nagari yang dicintai. Bangsa ini telah membesarkan anak-anaknya
dengan belaian manja yang berlebihan, sehingga ketika dewasa
masih belum mengerti tentang bagaimana memelihara sumber air.
Sejak kecil telah terdidik dengan ketersediaan air yang seakan
tanpa batas, sehingga dianggap sumber daya alam yang tidak akan
pernah habis.
Selain terhadap sumber air, pencemaran terjadi pula
terhadap unsur kehidupan lainnya, yaitu tanah dan udara. Tanah
dan udara, khususnya di perkotaan juga bernasib sama dengan air.
Mengalami pencemaran yang luar biasa.

10 | P a g e
Masalah pencemaran lingkungan sudah sangat parah dan
sangat kompleks, sehingga penyelesaiannya pun lebih rumit. Di
antara alternatif yang mungkin ditempuh sebagai berikut:

1) Mensinergikan antara bisnis dengan pengendalian


lingkungan. Hadi dan Samekto (2007) menyebutkan
beberapa instrumen pengendalian kerusakan lingkungan
yang dapat bahkan dalam beberapa hal harus dilakukan oleh
pebisnis selaku pemrakarsa kegiatan. Instrumen tersebut
secara kategorial terdiri atas:

a) Tindakan bersifat pre-emptif. Termasuk dalam


kategori ini adalah penyusunan tata ruang, penyusunan
dokumen AMDAL, UKL-UPL;

b) Tindakan bersifat preventif. Termasuk dalam kategori


ini adalah tindakan pengawasan atas baku mutu
lingkungan, pelaksanaan program penilaian peringkat
perusahaan (Proper);

c) tindakan bersifat proaktif. Termasuk dalam kategori


ini adalah sertifikasi ISO 14001, Audit Lingkungan atas
prakarsa sendiri.
2) Pencanangan gerakan nasional anti pencemaran
lingkungan. Sebagai langkah awal diberlakukan pada
pencemaran air sungai. Tentunya gerakan ini diformat dalam

11 | P a g e
suatu paket kebijakan dan didukung oleh sanksi-sanksi hukum
yang tegas bagi yang meremehkan kampanye ini.
Tidak salah jika kita merujuk pada langkah-langkah sukses
yang dicapai pemerintah Kota Kucing atau mungkin kota lain.
Prokasih adalah baik jika diterapkan dengan penuh komitmen
secara terpadu antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat
(co-management).
3) Menggalakkan program pembelajaran kepada masyarakat
melalui berbagai pendekatan. Muatan pembelajaran harus
diarahkan kepada perlindungan lingkungan hidup dan sumber
daya alam. Pada ummumnya masyarakat kita belum
memahami dan kurang mempedulikan aspek lingkungan.
Norma lingkungan ditanamkan mulai dari hal-hal yang kecil,
berupa upaya mengurangi sampah di lingkungan terkecilnya
seperti di tempat kerja dan rumah tangga. Selain itu perlu
juga ada resolusi yang menguntungkan secara ekonomi seperti
teknologi tepat guna mengolah sampah menjadi uang.
4) Alih Teknologi. Misalnya dengan mengurangi penggunaan
Bahan Bakar Minyak dan beralih kepada sumber energi yang
ramah lingkungan. Sebagai ibrah, Belanda dan beberapa
Negara Eropa Barat lainnya sejak 1979 telah menggunakan
Pembangkit Listrik Tenaga Angin. Korano Nicolash dalam
Kompas (Jumat, 14 Desember 2007) menuliskan, hasil laporan
PLN satu tahun sebelumnya, untuk bahan bakar solar PLN
mengeluarkan dana Rp 38,4 triliun per tahun untuk membeli 6,3
juta liter solar.
12 | P a g e
Ternyata memerlukan dana besar untuk mencemari
lingkungan. Belanda telah mengirit BBM sekaligus
mengurangi pencemaran lingkungan. Seharusnya kita
serius untuk memulai beralih kepada sumber energi yang
potensial di negeri ini, di antaranya tanaga air (PLTA dan
PLTHM), panas bumi, dan tenaga surya. Secara
keseluruhan kita harus serius untuk beralih ke teknologi
ramah lingkungan.
5) Penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus
pencemaran lingkungan. Penegakan hukum di
Indonesia telah menunjukkan perkembangan ke arah yang
lebih baik. Bukan lagi semisal jaring laba-laba yang
hanya mampu menjerat serangga kecil, tapi sudah
merupakan pukat harimau yang sapu rata. Siapapun yang
salah maka dia harus bertanggung jawab di depan hukum.
Kondisi ini sangat menggembirakan bagi upaya
menegakkan hukum lingkungan.
Sugandhy dan Hakim (2007) mengemukakan, bahwa kegiatan
dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan mencakup
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Meningkatkan kesadaran hukum tentang pengelolaan
lingkungan hidup kepada masyarakat luas melalui
penyuluhan, bimbingan dan latihan.

13 | P a g e
b) Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap usaha atau
kegiatan yang menyimpang dari ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c) Menerapkan sanksi administratif, perdata, dan pidana secara
konisten atas usaha atau kegiatan yang nyata-nyata
melanggar hukum.
d) Meningkatkan kualitas aparatur hukum menuju aparatur
yang profesional, melalui pendidikan dan laihan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup.
Penegakan hukum mempunyai makna, bagaimana hukum
itu harus dilaksanakan, sehingga dalam penegakan hukum tersebut
harus diperhatikan unsur-unsur kepastian hukum, kemanfaatan,
dan keadilan (Mertokusumo, 1988). Dalam penegakan hukum
lingkungan, ketiga unsur tersebut yaitu kepastian, kemanfaatan dan
keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat
perhatian secara proporsional seimbang dalam penanganannya,
meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya
(Soemartono, 1996).

14 | P a g e
IV. TRAUMA BANJIR

Kejadian bencana banjir di tanah air menunjukkan indikasi kian


intensif. Bahkan bencana banjir tercatat sebagai bencana alam terpopuler
dalam beberapa tahun terakhir. Megapolitan Jakarta termasuk salah satu
kota yang sudah akrab dengan bencana banjir, bahkan merupakan kota
pelanggan banjir tahunan. Demikian halnya kota kita, Kota Cengkeh yang
tidak pernah alpa dari sorotan media. Setiap tahun mesti terjadi banjir.
Bencana banjir telah menjadi momok bagi masyarakat.

Demikian halnya kota-kota lain di Sulawesi. Daftar kota pelanggan


banjir terus bertambah. Di antara kota tersebut adalah Donggala, Palu (sungai
Palu), Buol, Manado, Makassar, Pinrang (sungai Lasape), Luwuk, Palopo
(sungai Sabbang), Enrekang (sungai Saddang) dan yang lainnya.

Gambar 4. Banjir di salah satu sudut Kota Tolitoli, Sulawesi Tengah.


(https://news.okezone.com download by tauhidabdurrazaq_01022018)

15 | P a g e
Adapun kota Tolitoli, berdasarkan pengalaman, apabila terjadi hujan
deras yang meliputi hulu hingga hilir sungai Tuwelei, sudah dapat dipastikan
bahwa banjir akan terjadi. Banjir akan menutupi jalan-jalan dan menggenangi
areal pemukiman yang permukaan datarannya lebih rendah. Misalnya banjir
yang terjadi pada awal bulan Agustus ini, menggenangi seputaran Jl. Anoa,
Jl. Veteran, Jl. Usman Binol, Malosong, Jl. Magamu bagian bawah, Tolitoli
Plaza, dan yang lainnya. Sumber air banjir merupakan akumulasi dari air
luapan sungai Tuweley dan air curahan lokal. Aliran air ke laut bertemu
dengan pasang naik air laut. Namun sebab banjir didominasi oleh luapan air
sungai Tuweley.
Fenomena ini menjadi indikasi bahwa kawasan hutan pada areal
tangkapan (catcmen area) sungai Tuwelei telah mengalami kerusakan.
Laju kerusakan hutan, baik berupa deforestasi maupun degradasi berkorelasi
positif dengan volume aliran permukaan (run off). Rusaknya vegetasi hutan
menyebabkan kian besarnya air yang tidak terserap ke dalam tanah ketika
terjadi hujan. Lantai hutan telah kehilangan kemampuan menyerap air hujan.
Suplay air tanah semakin menurun. Air hujan sebagian besar langsung
mengalir sebagai run off. Run off sebagai biang terjadinya banjir, akan
menyeret partikel tanah (sedimen) yang dilaluinya. Oleh karena itu pula,
tingginya sedimentasi (pendangkalan) di daerah hilir menjadi salah satu
indikasi rusaknya vegetasi hutan di daerah hulu atau pada areal resapan.
Kejadian bajir di tengah Kota Tolitoli mulai dirasakan sejak tahun
2005. Melihat sumber airnya, banjir tersebut terjadi karena dua sebab.
Sebab pertama banjir kiriman yang berasal dari luapan air sungai Tuweley.
Sebab kedua, banjir lokal yang terjadi karena terperangkapnya air pada
daerah yang bertopografi cekung.

16 | P a g e
Banjir kiriman yang menimpa Kota Tolitoli merupakan bukti bahwa
vegetasi hutan di areal hulu sungai Tuweley sedang mengalami kerusakan.
Padahal pemerintah telah melindungi kawasan hulu tersebut dari segala
bentuk perambahan. Fungsi kawasan hutan dimaksud telah ditetapkan
sebagai cagar alam (CA). Hulu sungai Tuweley termasuk dalam bentangan
C.A. Gunung Dako. Tetapi perambah tetap perambah, kawasan cagar alam
pun dirambah. Daerah tangkapan air tersebut kini tidak optimal atau bahkan
tidak berfungsi lagi.

Selain Kota Tolitoli, beberapa desa di Kabupaten Tolitoli juga acap


dilanda banjir. Di antaranya luapan sungai Soni yang menimpa Desa
Paddumpu, Soni, dan Tampiala. Sungai Maraja yang menimpa Desa Salugan
dan Lampasio. Sungai Tambun yang menimpa Desa Dakitan, Kel. Nalu dan
Tambun. Dan beberapa lagi sungai kecil yang selalu meluapkan air di daerah
hilirnya setiap terjadi curah hujan yang tinggi.

Meski kejadian-kejadian banjir tersebut menghiasi pemberitaan di


media massa, tetapi di sisi lain kasus pembalakan liar masih tetap berlanjut.
Kasus kejahatan pengrusakan hutan dan penguasaan kayu ilegal tidak
menunjukkan angka penurunan. Meski pemberantasan pembalakan liar
(illegal loging) menjadi program prioritas pemerintah.

Menyoroti kejadian bencana banjir di Tolitoli terkait upaya mitigasi


yang telah dilakukan Pemerintah Daerah, maka permasalahannya sebagai
berikut:

17 | P a g e
1. Pendekatan apa yang dipakai Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli
sehubungan dengan langkah-langkah mitigasi bencana banjir yang telah
dilakukan.
2. Apakah terdapat kemungkinan alternatif lain yang lebih efektif
menyelasikan masalah banjir dalam jangka panjang.

Mitigasi Banjir yang Telah Dilakukan

Pemerintah daerah Kabupaten Tolitoli menunjukkan keperihatinan


yang tinggi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana banjir.
Apalagi dengan mencermati bahwa fenomena banjir semakin sering terjadi,
khususnya di Kota Tolitoli sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Kerugian
materi yang diderita masyarakat mendorong pemerintah untuk segera
mengambil langkah-langkah konkrit.

Telah tercatat kejadian banjir di Tahun 2007 yang menggenangi kota


cengkeh. Bahkan banjir menelan 2 orang korban jiwa. Berdasarkan
beberapa sumber, kejadian ini merupakan banjir kesembilan kalinya di
daerah ini sepanjang 10 tahun terakhir. Selanjunya hampir setiap tahun ada
korban jiwa akibat banjir. Banjir merendam rumah penduduk dan sarana
umum lainnya seperti sekolah, kantor pemerintah, dan pusat-pusat
perbelanjaan.

Menyikapi kejadian banjir rutin ini, Pemda Kabupaten Tolitoli


menurunkan beberapa kegiatan (proyek) penanganan banjir. Kegiatan
dimaksud berupa pembangunan saluran drainase kota serta pembangunan
talud.

18 | P a g e
Berikut dijelaskan masing-masing kegiatan yang telah dilakukan,
ditinjau dari aspek efektivitasnya.

Pembangunan Saluran Drainase

Kegiatan Pembangunan Saluran Drainase ditujukan untuk


memecahkan masalah banjir lokal. Elevasi Kota Tolitoli dengan permukaan
laut sangat kecil, sehingga drainase kota tidak dapat berfungsi dengan baik
ketika air laut pasang. Jika air pasang tersebut bertepatan dengan turunnya
hujan yang deras, mengakibatkan terkurungnya air larian di tengah-tengah
kota. Air tersebut memenuhi beberapa lokasi yang memang merupakan
cekungan. Topografi cekungan dapat dijumpai di beberapa lokasi yang
justru merupakan titik aktivitas tinggi di Kota Tolitoli. Titik rawan banjir
antara lain: Pusat Perbelanjaan Tolitoli Plaza, Pasar Bumi Harapan (Soping)
dan sepanjang Jln. Usman Binol, Kantor Camat Baolan dan sekitarnya, Jln.
Anoa Tuweley, Kampung Jawa, dll.

Guna mengendalikan genangan (banjir lokal) tersebut, Pemda


Kabupaten Tolitoli telah melakukan Pembangunan Jaringan Saluran
Drainase. Kegiatan ini di arahkan pada sebagian titik-titik rawan genangan
tersebut di atas. Kapasitas saluran ini diperhitungkan mampu
menghindarkan terjadinya genangan di tengah-tengah kota. Dengan asumsi
bahwa volume air yang akan ditampung dan dialirkan kurang lebih sama
dengan volume genangan banjir saat in.

Peranan saluran tersebut sangat berarti dalam menunda terjadinya


bahaya genangan. Artinya, sampai pada tingkat tertentu sangat efektif
menghindarkan kota dari genangan air. Namun, saluran tersebut memiliki

19 | P a g e
kapasitas maksimal. Pada kondisi dimana pasang laut bertemu dengan
meningkatnya debit air sungai, maka dipastikan bahwa drainase ini tidak
dapat berfungsi sebagai saluran tetapi hanya sebagai penampungan. Tidak
terjadi pergerakan air ke lokasi lain yang lebih rendah. Sehingga pada
kejadian seperti itu, saluran tidak berperan sebagai pengendali banjir.

Gejala-gejala perubahan iklim global memperkuat dugaan bahwa


saluran drainase tersebut nantinya tidak mampu menyelesaikan masalah
banjir. Gejala naiknya permukaan air laut serta alih fungsi lahan di daerah
hulu merupakan penyebabnya. Namun yang jelas, saluran drainase tersebut
mampu menyelesikan banjir lokal sampai hari ini.

Pembangunan Talud

Pembangunan talud ditujukan untuk menambah daya tampung


badan sungai Tuweley pada daerah hilir. Sisi sungai yang dibuatkan talud
adalah pada bibir sungai yang rendah dan rawan dilalui luapan air. Seperti
telah disebutkan di atas, bahwa banjir yang beresiko menimbulkan korban
jiwa adalah banjir kiriman. Banjir ini terjadi karena volume air dari hulu
telah melebihi kapasitas badan sungai. Umumnya luapan terjadi pada
pembelokan sungai. Pada titik inilah ditempatkan talud. Nampaknya,
keberadaan talud menjadi kurang efektif karena tidak dibangun di sepanjang
bibir sungai. Selain itu, belum nampak adanya tindakan antisipasi guna
memperkecil resiko kerusakan dari bangunan talud ini. Padahal ini penting
mengingat seringnya kejadian banguan talud mengalami jebol di beberapa
daerah.
Kedua jenis kegiatan pembangunan fisik di atas hanya mampu
meminimasi bahaya banjir. Namun, belum bisa menghindarkan terjadinya
banjir. Bahkan apabila mengacu pada prediksi yang didasarkan pada trend
20 | P a g e
perubahan iklim global, maka kedua bangunan tersebut tidak dapat
diharapkan mengendalikan banjir. Meskipun dengan menambah jumlah
dan kapasitasnya.
Bila kita telaah model penanganan banjir tersebut, pendekatannya
menggunakan “pendekatan akibat”. Langkah penanganan bencana
berdasarkan kondisi akibat. Banjir yang terjadi di-akibat-kan oleh curah
hujan yang tinggi, baik di kota maupun di hulu. Jika dirunut perjalanan air
curahan di daerah hulu hingga berubah wujud menjadi banjir, maka dapat
dibagi dalam tiga segmen yaitu segmen hulu, tengah dan hilir. Penanganan
yang telah dilakukan pemda tersebut berada pada segmen hilir. Dengan
demikian, kegiatan penanggulangan banjir dapat dioptimalisasi melalui
kombinasi pendekatan akibat antara segmen hulu dengan segmen tengah
dan hilir.
Bentuk kegiatannya dapat dianalisis melalui pertanyaan: mengapa
terjadi banjir kiriman?. Banjir kiriman terjadi akibat alih fungsi lahan pada
areal resapan air di daerah (segmen) tengah dan hulu. Maka alternatif
kebijakan yang harus ditempuh adalah melakukan pengelolaan segmen
tengah dan hulu.

Manajemen Segmen Tengah dan Hulu sebagai Bagian Mitigasi

Pada kondisi vegetasi yang belum terjamah, kejadian hujan yang


deras sekalipun tidak menimbulkan perubahan yang siknifikan terhadap
volume aliran air sungai. Bahkan pada kawasan yang betul-betul masih belum
terusik, derasnya air hujan tidaklah mengeruhkan air sungai. Fenomena ini
secara jelas menunjukkan bahwa curahan hujan yang sampai dipermukaan
21 | P a g e
bumi akan diserapkan ke dalam lapisan tanah. Sehingga yang namanya
aliran permukaan (run off) sangat sedikit. Kalau pun ada run off, durasi
alirannya relatif singkat. Hal ini karena dalam perjalananya, run off
mangalami infiltrasi (peresapan ke dalam lapisan tanah) sehingga volume
alirannya kian kecil bahkan tidak mencapai sungai.

Gambar 5. Eksistensi hutan sebagai pencegah banjir


(http://pusatkrisis.kemkes.go.id download by tauhidabdurrazaq_01022018)

Tingginya daya infiltrasi lantai hutan adalah kondisi yang dibentuk


oleh akumulasi bahan organik yang berasal dari dedaunan dan ranting pohon.
Bahan organik yang telah atau sedang terdekomposisi memiliki sifat
hidroskofis. Sifat inilah yang sangat membantu proses peresapan kelapisan
tanah yang lebih dalam.Karena sifat hidroskopis inilah sehingga sangat
sedikit runoff yang mencapai sungai.

22 | P a g e
Ketika vegetasi atau pepohonan telah dirambah lebih-lebih lagi jika
perambahan tersebut disertai pembakaran (sampai hari ini pembakaran
merupakan cara land clearing yang dipandang masyarakat paling praktis).
Maka terjadilah revolusi sistem tangkapan air. Ketika terjadi hujan, butiran
air langsung menerpa permukaan tanah. Terpaan langsung butir hujan
mengakibatkan rusaknya agregat tanah permukaan. Struktur tanah
mengalami degradasi menjadi partikel lepas dan lebih halus. Hasil
penghancuran agregat tanah kemudian menutupi pori pori tanah pada lapisan
permukaan (top soil).
Penutupan pori-pori tanah permukaan memperkecil volume bahkan
menghilangkan infiltrasi. Sehingga hal demikianlah yang menyebabkan
tingginya run off. Jika run off tersebut diasumsikan bermulah dari
punggung bukit maka dalam perjalanannya volumenya akan semakin besar
dan semuanya bermuara kesungai.
Langkah-langkah konkrit yang dapat dilakukan pada segmen tengah
dan hulu, meliputi upaya mitigasi struktural, non struktural dan peran serta
masyarakat adalah:

a. Pemberantasan illegal logging. Upaya pemberantasan pembalakan liar


hanya akan efektif jika dilakukan secara terpadu, dengan melibatkan
secara proaktif tiga pilar pembangunan, yaitu pemerintah, swasta dan
masyarakat.
b. Rehabilitasi hutan dan lahan pada segmen hulu dan tengah. Kegiatan
ini sesungguhnya juga tengah digalakkan melalui Kegiatan GNRHL
yang dibiayai melalui DAK-DR. Operasional kegiatan ini dilakukan
oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Tolitoli. Kegiatan ini perlu
23 | P a g e
dioptimalkan dengan mendorong masyarakat agar berswadaya, berkarya
dan produktif melalui kegiatan penghijauan dan reboisasi yang telah
distimulasi oleh pemerintah.
c. Memfasilitasi masyarakat pada segmen tengah agar melakukan tindakan
konservasi tanah dan air dalam praktek budidya tanamannya.
d. Pembinaan kelompok-kelompok tani penghijauan di sepanjang kawasan
hulu dan tengah. Hal ini penting guna menjaga kesinambungan
penutupan lahan pada kawasan tersebut.
e. Peningkatan wawasan masyarakat tengah dan hilir akan pentingnya
upaya konservasi tanah dan air, guna menjaga stabilitas produktivitas
lahan.

Sedangkan pada bagian hilir mash perlu dilakukan hal-hal berikut:


a. Normalisasi sungai melalui pengerukan pada bagian hilir, utamanya
sekitar muara. Sedimentasi pada bagian hilir cukup tinggi sehingga
amat berpengaruh terhadap pengurangan debit aliran sungai.
b. Penanaman tanaman penguat talud. Tanaman di tempatkan pada
bagian sisi dalam yang masih merupakan sempadan sungai.
c. Pembangunan talud atau tanggul/tembok penahan di sepanjang sungai
pada daerah hilir.
d. Perencanaan dan penyiapan SOP (Standard Operation Procedure) untuk
kegiatan tanggap darurat manakala terjadi bencana banjir.
e. Menambah wawasan masyarakat seputar antisipasi dan minimasi resiko
banjir.

24 | P a g e
V. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan
untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
WCED (World Commission on Environment and
Development) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan yaitu
pembangunan yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang
akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Hadi,
2005).

Gambar 6. Konsep Pembangunan Berkelanjutan


(http://sim.ciptakarya.pu.go.id download by tauhidabdurrazaq_01022018)
25 | P a g e
Mencermati kedua definisi tersebut, secara eksplisit
menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah konsep
pembangunan yang sangat menghormati hak generasi mendatang
atas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang layak. Mungkin
senada dengan ungkapan yang menyatakan bahwa bumi ini
bukanlah warisan nenek moyang kita tetapi titipan anak cucu kita.

Mengaitkan masalah deforestasi dan pencemaran


lingkungan, maka jelas bahwa keduanya sangat bertentangan
dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Lebih jelas lagi jika
kita kaitkan dengan lima prinsip utama pembangunan
berkelanjutan yaitu (Mas Achmad Santosa dalam Hadi dan
Samekto, 2007):
1) Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity);
2) Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity);
3) Prinsip pencegahan dini (precautionary);
4) Prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of
biological diversity);
5) Prinsip internalisasi biaya lingkungan.

Hambatan
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan memang cukup
sulit, apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Berikut
beberapa hambatan bagi upaya mewujudkan pembangunan
bekelanjutan:

26 | P a g e
a) Negara kita telah terbebani dengan utang, baik dari Lembaga
Keuangan Multinasional (IMF, Bank Asia atau yang lain), bank
Dunia ataupun dari Negara lain. Lembaga atau negara tersebut
memiliki akses dalam pengelolaan sumber daya alam di negeri
ini. Negara kita tetap memiliki fungsi kontrol terhadap kinerja
mereka, tetapi kenyataanya perusahaan asing tersebut selalu
memiliki argumen yang cukup kuat terhadap setiap teknis
operasionalnya, bahwa mereka tidak merusak lingkungan.
Memang ada kecenderungan bahwa alasan logis masih lebih
unggul dari alasan etis.

b) Sistem pasar bebas yang mendorong terjadinya penggunaan


sumber daya alam tanpa kendali.

c) Orientasi peningkatan PAD menjadi corak pemerintahan era


desentralisasi. Menurut Hadi dan Samakto (2007), sampai
saat ini kebijakan dan langkah-langkah strategis Pemerintah
Kota/Kabupaten belum menampakkan adanya pembaruan
menuju ke arah perbaikan lingkungan. Kusus-kasus
pencemaran dan kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan makin
nampak pada lima tahun terakhir setelah reformasi.

d) Masih rendahya wawasan dan pemahaman tentang lingkungan


hidup di kalangan birokrat. SDM aparatur yang berkualifikasi
di bidang pengelolaan lingkungan masih belum memadai.

27 | P a g e
Peluang
Dalam upaya merealisasikan pembangunan berkelanjutan
termasuk upaya mengurangi deforestasi dan pencemaran lingkungan,
terdapat beberapa peluang berikut:
a) Dukungan dunia internasional dalam mengendalikan gejala
pemanasan global yang telah berdampak pada perubahan iklim
bumi.
b) Telah tersedianya perangkat hukum positif tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
beserta peraturan penjabaran pelaksanaannya.
c) Telah tersedianya berbagai teknologi ramah lingkungan di
berbagai negara maju.
d) Tersedianya instrumen pendekatan perlindungan lingkungan
hidup, yaitu (Hadi dan Samekto, 2007): rekayasa sosial
berbasis ADA (atur dan awasi): AMDAL, UKL-UPL, baku mutu,
pengendalian pencemaran air dan udara, serta limbah B3 dsb; dan
rekayasa sosial berbasis ADS (atur diri sendiri): ecolabelling,
proper, audit lingkungan dan audit sosial.

28 | P a g e
VI. PEMBANGUNAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN

Dampak perubahan iklim global semakin konkrit pengaruhnya.


Pemanasan global (global warming), istilah yang menggambarkan
kecenderungan perubahan iklim dunia. Wajar apabila gejala tersebut menjadi
sebagian dari dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan
publik. Kecenderungan gejala perubahan iklim global menuntut
sikap adaptasi dan mitigasi dalam pengambilan keputusan. Melahirkan
kebijakan yang melarutkan aspek lingkungan dalam implementasinya.

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan


sudah semestinya senantiasa terlarut dalam setiap kebijakan pembangunan
Kehutanan. Sehingga pengambilan keputusan publik dapat dipastikan telah
mempertimbangkan kelestarian fungsi lingkungan. Pemerintah telah
memulai hal ini dari beberapa tahun yang lampau. Pemerintah pusat dan
daereah telah menempatkan kepentingan lingkungan dalam setiap
pengambilan keputusan. Buah dari itu, minimal masyarakat akan menuai
kenyamanan dalam iklim mikro.

Keputusan publik di semua sektor pembangunan merupakan sendi-


sendi yang sangat menentukan. Kesadaran lingkungan dari aparat cukup
menimbulkan rasa tenteram bagi masyarakat. Ini harus dijaga dan terus
ditingkatkan. Kepekaan aparatur dalam memahami lingkungan dengan
segala aspeknya adalah modal dasar mewujudkan pembangunan daerah yang
berwawasan lingkungan.

29 | P a g e
Demikian halnya di sektor kehutanan. Pengurusan hutan dan
kehutanan nampak sangat kental dengan muatan lingkungannya. Dalam
implementasinya, aparatur kehutanan mampu memadukan antara keahlian
teknis dan wawasan lingkungan. Lebih lagi, karena hal itu didorong oleh
kepedulian akan kepentingan kemanusiaan.
Meskipun demikian, barangkali masih terdapat PR sebagai
permasalahan pada sektor kehutanan dan lingkungan hidup sebagai berikut:
 Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi hutan dan
kaitannya dengan lingkungan hidup.
 Kasus illegal loging belum dapat dihentikan secara total. Berbagai
operasi dalam rangka pemberantasan illegal loging telah digelar dan
mendatangkan hasil tangkapan dan kayu temuan. Tetapi hal
tersebut belum mampu meredam nyali pelaku pembalakan liar.
Pohon-pohon hutan pun masih tetap berjatuhan.
 Penebangan bakau dan perambahan hutan mangrove juga terus
berlangsung. Hal mana merupakan ancaman bagi biota laut dan
kehidupan pantai.
Apabila dirunut, kita bisa menemukan benang merah penyebab
masalah yang mencuat di sektor kehutanan dan lingkungan hidup. Penyebab
sesungguhnya adalah kurangnya kepekaan dan wawasan
lingkungan. Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi hutan dan
lingkungan hidup. Masyarakat dalam tanda kutip. Bisa berarti orang
kebanyakan. Namun bisa juga bermakna khusus, yaitu tokoh masyarakat
yang memiliki andil mewarnai corak pemerintahan, atau memiliki kapasitas
di tengah masyarakatnya.
Permasalahan kehutanan dan lingkungan hidup selalu menjadi
sorotan. Pembangunan sektor lain bahkan dituntut agar peduli pada
kepentingan lingkungan hidup. Solusi berikut ini barangkali bisa menjadi
alternatif bagi penyelesaian masalah di atas:

30 | P a g e
 Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai fungsi kawasan
hutan dan kaitannya dengan lingkungan hidup.
 Meningkatkan kepedulian lingkungan (sense of the environment) di
kalangan eksekutif dan legislatif.
 Menguatnya pengawasan terhadap eksistensi kawasan hutan.
Ketiga hal tersebut, kita coba uraikan berikut ini:

Peningkatan kapasitas SDM

Gambar 7. SDM Aparatur menjadi kunci pembangunan berwawasan lingkungan


(ilustrasi dari https://staticclean.com download by tauhidabdurrazaq_01022018)
1. SDM Aparatur; akan dilakukan melalui kegiatan-
kegiatan pembelajaran, yaitu:
 Mendorong aparat untuk mengembangkan pengetahuannya di
bidang lingkungan. Hal ini diwujudkan melalui penugasan aparat
untuk mengikuti pendidikan S1, S2 dan S3, atau diklat non gelar
bidang lingkungan.
 Menyelenggarakan berbagai kursus dan diklat bagi aparatur.
31 | P a g e
 Mendorong dan memfasilitasi terselenggaranya seminar,
simposium, sosialisasi, dialog dan kegiatan semacamnya.
 Mengundang pakar dan praktisi lingkungan sebagai nara sumber
dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas.
 Mengeluarkan instruksi berkenaan dengan lingkungan.
2. SDM Masyarakat; akan dilakukan melalui program-program
berikut:
 Mendorong dan memfasilitasi terselenggaranya seminar,
simposium, sosialisasi, dialog dan kegiatan semacamnya
bertemakan penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam, yang
terbuka untuk masyarakat.
 Mendorong media massa cetak maupun elektronik lokal untuk
berpartisipasi aktif mengkampanyekan program-program
pengelolaan lingkungan.
 Mengeluarkan instruksi, advokasi, dsb tentang lingkungan kepada
masyarakat.
Penegakan Supremasi Hukum Lingkungan
1. Perda lingkungan dan sumber daya alam;
2. Pengawasan melekat terhadap pelaksanaan kewajiban pebisnis,
masyarakat dan aparat;
3. Penyuluhan hukum lingkungan kepada masyarakat.
Review Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK)
1. Menjaring pendapat dari pakar dan pemerhati lingkungan;
2. Melibatkan dan mengakomodir kepentingan masyarakat papan
bawah;
3. Menetapkan kawasan hutan dengan luas minimal 30 % dari laus
wilayah suatu daerah.
4. Menetapkan RTH kota minimal 30 % dari luas wilayah kota;

32 | P a g e
VII. PENUTUP

1. Illegal loging, merupakan salah satu ikon penting kerusakan


lingkungan di Indonesia. Bukan hanya di dalam negeri tetapi juga
dipandang sebagai masalah dunia internasional. Upaya
pemberantasan illegal loging dinilai belum berhasil, tetapi tidak
juga gagal. Sebagai kesimpulan bahwa pengendalian illegal loging
dapat dilakukan dengan alternatif berikut:
a) Melakukan pendekatan yang komprehensip untuk
memahami berbagai dimensi sosial para pelaku
pembalakan liar. Fasilitasi dan advokasi lebih
didahulukan sebelum tindakan yang lain.
b) Sosialisasi atau pembelajaran kepada masyarakat
khususnya bagi komunitas yang rawan melakukan
pembalakan liar, tentang perhatian dunia internasional
terhadap perlindungan hutan kita.
c) Penegakan supremasi hukum yang tegas terhadap para
pelaku deforestasi, khususnya pembalak liar.

2. Pencemaran lingkungan, merupakan manipestasi kepedulian


lingkungan yang setengah hati, atau bahkan belum peduli sama
sekali. Alternatif yang dapat ditempuh untuk menanggulanginya
antara lain:
a) Mensinergikan antara bisnis dengan pengendalian
lingkungan, dengan penerapan berbagai metode pendekatan,
seperti rekayasa sosial ADA (atur dan awasi) dan ADS (atur
diri sendiri);
b) Pencanangan gerakan nasional anti pencemaran lingkungan;

33 | P a g e
c) Menggalakkan program pembelajaran kepada masyarakat;
d) Alih teknologi ke yang ramah lingkungan, seperti
penggunaan sumber energi non-BBM;
e) Penegakan supremasi hukum terhadap kasus-kasus
pencemaran lingkungan;
3. Pendekatan yang dipakai Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli
dalam upaya mitigasi bencana banjir sudah cukup, meskipun
belum efektif. Bahkan jika dilakukan prediksi berdasarkan trend
perubahan iklim global, maka penanganan yang telah dilakukan
pemerintah daerah bisa dinilai belum memenuhi adaptasi.
Terdapat beberapa alternatif kebijakan yang secara teknis dinilai
efektif dan sangat mungkin diterapkan.
4. Pembangunan berwawasan lingkungan di Kabupaten Tolitoli
harus diawali dengan membangun pondasi yang kokoh.
Membangun SDM yang memiliki kapasitas keilmuan managerial
dan kasadaran lingkungan adalah pondasi yang utama. Misi
pembangunan daerah adalah lahirnya para birokrat, teknokrat, dan
ekonom yang berwawasan lingkungan (sense of the
environmental). Dengan demikian, diharapkan setiap keputusan
publik di segala sektor akan senantiasa dilandasi pertimbangan
aspek lingkungan.
Sebagai langkah awal menuju pembangunan berwawasan
lingkungan, difokuskan pada 3 (tiga) aspek berikut:
a) Meningkatnya kapasitas SDM di bidang pengelolaan
lingkungan hidup;
b) Tegaknya Supremasi Hukum Lingkungan (law
envorcement); dan
c) Terwujudnya RTRWK berwawasan lingkungan

34 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Friedman, John, 1986, Planning in the Publik Domain: From


Knowledge to Action, New Jersey: Princeton U.P. dalam
Hadi, Sudharto P., 2005, Dimensi Lingkungan Perencanaan
Pembangunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hadi, Sudharto P., 2005, Dimensi Lingkungan Perencanaan
Pembangunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hadi, Sudharto P. dan F.X. Adji Samekto, 2007, Dimensi Lingkungan
Dalam Bisnis, Kajian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
pada Lingkungan, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Mertokusumo, S., 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) dalam
Soemartono, G.P., 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Cet.
I, Jakarta: Sinar Grafika.
Nicolash, Korano, 2007, Kenapa Tak Mencoba Tenaga Angin?,
Sorotan Teknologi, Kompas ed. Jumat, 14 Desember.
Sugandhy, Acha dan Rustam Hakim, 2007, Prinsip Dasar Kebijakan
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan,
Jakarta: Bumi Aksara.
Sukarjaputra, R., 2007, Negara Hutan Tropis Susun Kerja Sama
Global, Laporan Khusus COP-13 Bali, Kompas ed. Jumat, 14
Desember.
Soemartono, G.P., 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Cet. I,
Jakarta: Sinar Grafika.

35 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai