Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS EKONOMI

Sidang OECD dan “Pertumbuhan Hijau”

Senin, 1 Maret 2010 | 02:49 WIB

Bustanul Arifin

Sidang tahunan menteri-menteri pertanian dari 30 negara maju yang tergabung dalam
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan

di Paris, Perancis, 25-26 Februari 2010, telah usai. Mereka telah menghasilkan komunike
bersama yang berisi 14 butir kesepakatan, 6 butir rekomendasi, dan 12 butir rencana aksi yang
perlu diselesaikan sampai pertengahan dekade ini atau tahun 2015.

Indonesia diundang dalam kapasitas sebagai negara yang berada ”dalam proses menuju negara
maju”, bersama Brasil dan Afrika Selatan. Posisi Indonesia di sini sedikit lebih tinggi
dibandingkan Argentina dan Romania, yang diundang sebagai pengamat, tetapi lebih rendah
dibandingkan Cile, Estonia, Israel, dan Rusia, yang telah resmi menjadi anggota Organisasi Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Indonesia tentu tidak memiliki hak suara dalam penentuan pendapat dalam internal OECD,
sebagaimana negara-negara yang baru saja menjadi anggota organisasi tersebut. Akan tetapi,
delegasi Indonesia yang dipimpin Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi diberi keleluasaan
untuk mengemukakan sikap dan pandangan tentang berbagai hal, termasuk mengenai isu
sensitif, seperti dominasi negara maju dalam produksi pangan global, persoalan besar tentang
perubahan iklim yang banyak bersumber dari negara maju, dan proteksionisme berlebihan yang
diberikan negara maju kepada petani dan sektor pertaniannya secara umum.

Pada esensinya, negara berkembang seperti Indonesia ”tidak mampu” secara ekonomi dan
politik melakukan hal serupa negara maju karena sampai dekade pertama abad ke-21 ini masih
berkutat menangani masalah mendasar, seperti ketahanan pangan, kemiskinan, dan
pembangunan pedesaan.

Strategi berkelanjutan

Salah satu isu yang memperoleh perhatian memadai pada sidang OECD adalah ”pertumbuhan
hijau” (green growth), yang menekankan bahwa pembangunan pertanian perlu menjadi bagian
tidak terpisahkan dari strategi besar keberlanjutan pembangunan ekonomi, sosial, dan
lingkungan hidup.

Keterbukaan ekonomi seharusnya menjadi arena untuk mendukung perkembangan teknologi


dan inovasi yang mampu mendukung ”pertumbuhan hijau” tersebut.

Perubahan iklim telah menjadi tantangan (dan peluang) tersendiri bagi sektor pertanian untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan penambatan karbon, dan menjadi inspirasi
bagi langkah-langkah adaptasi perubahan iklim yang diperlukan.

Kata kuncinya terletak pada setting kelembagaan dan kebijakan pemerintah, baik di negara
maju maupun di negara berkembang, untuk secara konsisten mendorong praktik usaha tani dan
keputusan korporat agribisnis, yang mengedepankan keberlanjutan pembangunan dan
pelestarian lingkungan hidup.

Di satu sisi, peningkatan produksi pangan tentu menjadi prioritas utama bagi sektor pertanian.
Ini untuk memenuhi permintaan pangan yang senantiasa meningkat dari 6,7 miliar penduduk
bumi.

Di sisi lain, penggunaan sumber daya yang juga terbatas juga wajib menjadi prioritas. Tantangan
pertanian ke depan, selain harus mampu memberi makan penduduk bumi yang terus
bertambah, juga harus mampu menghemat penggunaan sumber daya yang juga amat terbatas.

Peningkatan produktivitas per satuan lahan adalah satu hal, tetapi efisiensi produksi pertanian
per satuan sumber daya adalah hal lain yang harus menjadi acuan bagi implementasi
”pertumbuhan hijau” sektor pertanian yang menjadi acuan ke depan.

Misalnya, sekitar 40 persen dari produksi pangan dunia dari lahan beririgasi, yang jumlahnya
tidak sampai 18 persen dari total lahan pertanian. Demikian pula sektor pertanian selama ini
telah menggunakan sekitar 66 persen air bumi.

Jika tidak ada inovasi teknologi produksi yang signifikan, pada 2020 sistem produksi pertanian
akan memerlukan 17 persen air lebih banyak dari tingkat konsumsi air saat ini (World Water
Council, 2009).

Ketergantungan sistem produksi pangan pada energi yang berasal dari sumber daya tidak
terbarukan tentu mengurangi tingkat efisiensi sistem produksi pangan dan pertanian. Demikian
pula tingkat ketergantungan sektor pertanian pada faktor produksi dari bahan kimia, seperti
pupuk dan pestisida, akan menjadi masalah tersendiri di kemudian hari.

Bagaimana Indonesia?

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono telah


mencanangkan tiga strategi besar dalam bidang pertanian, yang akan menjadi prioritas selama
masa pemerintahannya.

Pertama, pengadaan lahan bagi pertanian, perkebunan, dan perikanan. Kedua, perbaikan iklim
investasi pertanian dan perikanan, dan ketiga, kesinambungan swasembada pangan. Untuk
mewujudkan itu, pemerintah berusaha menyelesaikan penyusunan Rencana Peraturan
Pemerintah tentang Usaha Pertanian Komersial, dan pencanangan usaha pangan skala luas
(food estate).

Secara sepintas, tampaknya masih cukup jauh bahwa prioritas peningkatan produksi pangan
dan upaya pencapaian swasembada pangan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah telah
cukup dekat dengan falsafah ”pertumbuhan hijau”, seperti diuraikan di atas.

Misalnya, tentang esensi dari Rencana Peraturan Pemerintah Usaha Pertanian Komersial yang
merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya
Pertanian. Benar, bahwa usaha pertanian yang diperlukan bagi Indonesia adalah yang mampu
melingkupi perbaikan iklim investasi, tanpa diskriminasi yang berbasis skala usaha ekonomi.

Maknanya, sebagai aransemen kelembagaan yang lebih mengikat, rencana peraturan


pemerintah itu tidak boleh terlalu gegabah mengabaikan usaha tani rakyat dan pertanian skala
kecil, apalagi jika sampai menggusur.

Pertanian skala luas terkadang harus mengubah ekosistem, keragaman hayati, dan kearifan
lokal masyarakat setempat. Hal-hal penting inilah yang harus menjadi fokus perhatian agar
strategi pertumbuhan hijau dapat segera diwujudkan.

Dalam kaitannya dengan investasi pertanian dan pangan skala luas yang direncanakan di
beberapa tempat, seperti di Merauke, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan mungkin di
Kalimantan Tengah, saat ini yang diperlukan adalah kepastian acuan hukum dan kebijakan yang
kondusif.
Apabila diabaikan, kinerja bidang pangan dan pertanian Indonesia tidak akan sesuai harapan,
bahkan tidak membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Alih-alih membawa kesejahteraan dan
keadilan, struktur pertanian akan menjadi lebih timpang, kearifan lokal dalam pengelolaan
sumber daya alam tersingkirkan, dan Indonesia menuai bencana lebih dahsyat. Semoga tidak
terjadi.

Bustanul Arifin Guru Besar Universitas Lampung; Proffessorial Fellow di Intercafe dan MB-IPB

SBY dan Mafia Kehutanan

Oleh Khalisah Khalid

Beberapa waktu yang lalu, secara tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum memberantas mafia penebangan liar (illegal logging).

Pertanyaan kritisnya kemudian adalah apakah cukup pernyataan dari Presiden ini membuat
hutan Indonesia terselamatkan dan rakyat sejahtera dengan kekayaan yang dimilikinya?
Pernyataan SBY sangat jauh dari cukup, terlebih di tengah situasi kedaruratan ekologi yang kian
genting dan sulit terpulihkan. Juga di tengah kondisi di mana sekitar 39 juta hektar luasan hutan
kita yang tersisa setiap saat terancam oleh kepungan industri yang semakin masif, baik ekspansi
perkebunan sawit skala besar maupun industri tambang, bahkan dalam kawasan hutan lindung
sekalipun.

Benarkah persoalan di sektor kehutanan hanya soal penebangan liar sehingga yang dibutuhkan
adalah pemberantasan mafia pembalakan liar? Soal hutan bukan hanya soal penebangan liar
karena di Indonesia kerusakan hutan justru dilakukan oleh banyak industri kehutanan yang
legal atau usahanya memiliki izin.

Sebelum menjawab itu, mari kita melihat apa akar persoalan yang terjadi di sektor kehutanan
Indonesia. Sampai saat ini, sektor kehutanan Indonesia belum beranjak dari 3 (tiga) persoalan
mendasar yang selalu melingkarinya. Pertama, pengelolaan kekayaan hutan selama ini
ditujukan untuk melayani kepentingan investasi dan mengabaikan fungsi-fungsi kawasan hutan
sebagai tumpuan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Dari sinilah muncul berbagai konflik
pengelolaan hutan, di mana rakyat semakin dihilangkan akses dan kontrol terhadap ruang
hidupnya. Persoalan berikutnya terkait besarnya kapasitas produksi industri kehutanan yang
terus beranjak naik setiap tahunnya.
Yang tidak kalah mengerikan di sektor kehutanan adalah soal korupsi yang merajalela, di mana
Walhi dengan berbagai organisasi lingkungan sedikitnya telah melaporkan 13 kasus korupsi di
sektor kehutanan kepada KPK dan Mabes Polri yang belum ditindaklanjuti. Korupsi di sektor
kehutanan ini memanfaatkan dengan sangat baik melempemnya penegakan hukum lingkungan
di Tanah Air ini, ditambah lagi konstelasi politik yang berbiaya tinggi, terutama pada masa
otonomi daerah. Kasus-kasus korupsi yang terkuak ke publik yang melibatkan anggota DPR
memperlihatkan bagaimana tali-temali di bidang kehutanan ini bekerja, untuk membiayai
ongkos politik yang sangat mahal.

Pemulihan

Walhi mencatat, setiap hari muncul satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali
bencana yang terdiri dari banjir, kekeringan, longsor, badai, dan kebakaran. Sebagian besar
angka- angka tersebut disebabkan oleh salah urus negara dalam pengelolaan kekayaan
alamnya. Dalam kurun waktu yang panjang, sektor strategis yang menjadi andalan negara ini
secara kolosal telah melahirkan kebangkrutan dan bencana ekologis. Nilai yang hilang akibat
penghancuran hutan sekitar Rp 27 triliun setiap tahun, belum termasuk angka kerugian dari
dampak ekologi dan sosio-kultur yang diterima oleh komunitas lokal.

Dalam situasi darurat seperti ini, pernyataan saja tidak cukup meskipun itu keluar dari sosok
Kepala Negara. Jika sebelumnya Presiden ditengarai memimpin penghancuran lingkungan
dengan berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan melalui berbagai instansi pemerintah
selama kepemimpinannya, kini SBY didesak untuk memimpin upaya perlindungan dan
pemulihan terhadap kondisi hutan yang kritis.

Pemulihan Indonesia bisa dimulai dari perubahan perilaku, terutama perilaku pengurus negara.
Bagaimana mungkin negara ini mampu melepaskan diri dari krisis ekologi, ekonomi, sosial, dan
budaya yang mengepungnya bila watak dan cara berpikir terhadap kekayaan alam masih
business as usual dan sangat sektoral dengan slogan ”lanjutkan!” jual murah dan keruk habis.
Karena itulah SBY harus mengoreksi model pembangunannya dan semua kebijakan yang selama
ini tidak pro rakyat dan lingkungan.

SBY ditantang untuk segera mengambil langkah-langkah penting dan mendesak untuk
menyelamatkan hutan dan mengeluarkan rakyat dari krisis berkepanjangan. Prasyarat yang
harus dipenuhi haruslah dengan lebih dulu menghentikan semua investasi yang merusak dan
menghabiskan hutan, bukan hanya dari industri kehutanan, melainkan juga industri ekstraktif
lain yang semakin mengancam, seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar.
Berikutnya, SBY harus memastikan, semua kasus kejahatan kehutanan yang telah dilaporkan
oleh berbagai organisasi lingkungan ke aparat penegak hukum ditindaklanjuti sebagai
pembuktian bahwa hukum lingkungan benar-benar dapat ditegakkan. Bukankah keluarnya
surat perintah penghentian penyidikan atas kasus illegal destruktif logging terhadap 13
perusahaan industri kehutanan di Riau, akhir 2008, berada pada masa pemerintahan SBY,
apakah Pak SBY tidak tahu? (Sumber: Kompas, 19 April 2010)

Tentang penulis:
Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Pencemaran Teluk dan Problema Obama

Minggu, 6 Juni 2010 | 04:02 WIB : Pascal S Bin Saju

Presiden Amerika Serikat Barack Obama akhirnya membatalkan kunjungannya ke Indonesia dan
Australia pada medio Juni ini. Tumpahan minyak dari sumur di kilang Deepwater Horizon di
lepas pantai Louisiana, Teluk Meksiko, AS, telah menyedot perhatian, mengganggu konsentrasi
kerja, bahkan kinerjanya.

Tumpahan minyak di Teluk Meksiko kini semakin tidak terkendali dan termasuk bencana
lingkungan terburuk dalam sejarah AS. Bencana yang pernah dijuluki ”terburuk” di AS, yakni
tumpahan kapal tanker Exxon Valdez di lepas pantai Alaska pada 1989, terlampaui oleh
peristiwa di Teluk Meksiko ini.

Kilang minyak Deepwater Horizon berjarak sekitar 80 kilometer dari bibir daratan Negara
Bagian Louisiana. Usaha pengilangan itu dimiliki Transocean Ltd, tetapi dioperasikan oleh British
Petroleum (BP) Plc. Sumur yang bocor adalah sumur MC252 dengan titik kebocoran terletak di
bagian mulut sumur, yakni di kedalaman 1,5 kilometer di bawah permukaan laut.

Sejak terjadi kebocoran pada 20 April, kebakaran dan robohnya anjungan pada 22 April, sampai
sejauh ini minyak yang tersembur ke laut lepas mencapai 19,7 juta galon (1 galon hampir 4 liter)
hingga lebih dari 43 juta galon. Padahal, pekan lalu, AS merilis, minyak yang tumpah baru
berkisar 18,6 juta galon hingga 29,5 juta galon. Tumpahan Exxon Valdez tersebut hanya 11 juta
galon.

Dampak tumpahan minyak Teluk Meksiko juga lebih buruk. Pemerintah federal Louisiana telah
menutup sepertiga wilayah lautnya yang potensial untuk nelayan, usaha perikanan dan
kelautan, serta pariwisata yang tidak hanya berkaitan dengan tur, tetapi juga restoran dan
cottage. Area yang tertutup itu menghasilkan 1 miliar pon udang dan kerang.

Minyak juga telah mencemari daratan dan rawa-rawa Louisiana. Lebih dari 200 kilometer
pesisirnya tercemar berat. Ratusan burung, biota laut, dan binatang rawa mati, ribuan lainnya
sekarat dan terancam. Vegetasi pantai rusak. Persoalan itu melahirkan frustrasi sosial di
kalangan warga, nelayan, pengusaha, aktivis, pemerintah, dan operator.

Persoalan yang kian menggelisahkan Obama ialah belum berhasilnya upaya pihak operator
kilang minyak, BP Plc, meredam bencana itu. Meski BP sudah mengerahkan lebih dari 2.000
pekerja dan 1.600 kapal pengendali, baik itu skimmer, kapal tunda, maupun tongkang, dengan
ribuan pekerja, tumpahan minyak tetap tidak terkendali.

Langkah konvensional

Langkah konvensional yang pernah dicoba untuk mengendalikan tumpahan minyak, seperti
menuangkan cairan kimia (dispersant) untuk mengurai gelembungan minyak, juga gagal.
Banyak pihak mengkritiknya karena skenario itu tidak ramah lingkungan. Beberapa petugas
lapangan BP dirawat akibat cairan itu.

Sejumlah skenario baru yang belum pernah dilakukan BP atau operator lain sebelumnya pun
dicoba untuk menekan kebocoran dan laju tumpahan minyak. Misalnya, membuat sebuah
kubah raksasa dari beton seberat 100 ton di pantai Louisiana, lalu diangkut, dan
menyemprotkan lumpur kental pun gagal.

Terakhir, petugas menyuntikkan lumpur hasil pengeboran bercampur semen melalui pipa untuk
menukik ke sumur hingga sedalam 1,6 kilometer dari permukaan laut atau lebih dalam 1,1
kilometer dari titik kebocoran. Skenario ini disebut top kill. Harapan agar sumur bisa ditutup
permanen pun gagal lagi akhir pekan lalu.

Sejak awal pekan ini, skenario baru pun dicoba lagi. BP berjanji, hasilnya baru terlihat Agustus
2010. Tiga bulan adalah waktu yang panjang, yang membuat perairan dan daratan di pesisir
selatan AS bisa lebih buruk lagi. Obama lebih tidak tenang lagi karena pekan ini laju
pencemaran telah menyentuh Mississippi dan Alabama.

Tekanan terhadap Obama pun semakin kencang tidak saja dari aktivis lingkungan dan warga,
tetapi terutama lagi dari parlemen atau kongres. Anggota Kongres AS, Ed Markey, tidak percaya
BP bisa berhasil meredam petaka Teluk Meksiko. ”Saya tidak percaya BP bisa menuntaskan
masalah ini,” katanya.

Berdampak politis

Pekan ini Obama sudah mengambil alih bencana lingkungan di Teluk Meksiko. Namun, biaya
operasional tetap ditanggung operator dan bukan negara. Sebagian anggota Kongres AS menilai
Obama terlambat bersikap. Obama diminta segera menanggapi frustrasi sosial dan meninjau
kembali izin pengeboran lepas pantai AS.

Untuk menunjukkan kesigapannya atas masalah itulah Obama menunda lawatannya ke Asia
Pasifik, termasuk Indonesia, pada medio Juni ini. Bagi Obama, bencana tumpahan minyak
sangat problematik, yakni ”menyembuhkan” frustrasi sosial, tekanan parlemen dan kongres,
krisis energi, serta terganggunya hubungan global.

Frustrasi sosial yang luas di kawasan teluk amat berbahaya bagi investasi baru di sektor energi.
Dia terpaksa harus mengumumkan langkah baru untuk menghadapi tumpahan minyak,
termasuk melanjutkan moratorium izin pengeboran selama 6 bulan dan menangguhkan
pengeboran lepas pantai di Alaska dan Virginia.

Obama juga terpaksa harus menghentikan pengeboran 33 sumur minyak baru di Teluk Meksiko.
Di sinilah titik ancaman terhadap kemungkinan terjadinya krisis pasokan minyak dan gas bagi
kebutuhan domestik AS. Saham BP di bursa saham London merosot 12-15 persen dan tingkat
kepercayaan publik atas BP juga merosot.

Bagaimana dengan Obama? Bobot tekanan publik, termasuk dari kongres, terhadap Obama
bisa semakin berat jika dia tidak berhasil menangani bencana tumpahan minyak di Teluk
Meksiko. Kegagalan atau keberhasilan Obama menangani masalah itu juga menentukan
pamornya, menjadi lebih buruk atau lebih baik di mata warga AS.

Lebih baik bagi Obama menunda lawatan ke Asia Pasifik. Namun, penundaan itu juga
menunjukkan betapa urusan politik domestik kadang-kadang menghambat keterlibatan global
Presiden AS. Ini khususnya terjadi selama semester pertama ketika porsi urusan politik sangat
tinggi.(AFP/AP/REUTERS/BBC.NEWS)

Kelestarian dan Pertumbuhan


Senin, 2 Agustus 2010 | 02:54 WIB
”Jika saya ingin bersembunyi bersama Robin Hood di Hutan Sherwood sekarang, saya pasti
tidak bisa melakukannya. Hutan itu telah tiada, sudah lenyap. Di sini, separuh bumi kami masih
berupa hutan, sementara Anda di Eropa telah merusak hampir semua hutan Anda,” demikian
kata seorang petani Brasil bernama Plinio Queiroz.

Namun, Uni Eropa membayar aktivis lingkungan hidup datang ke sini dan menuntut kami
menghutankan kembali lahan pertanian kami. Seharusnya kami yang menuntut Eropa untuk
menghutankan kembali teritorinya dan jangan mengganggu kami,” lanjut Querioz di situs Irish
Times, edisi 26 Juni lalu.

Querioz jengkel dengan tekanan para aktivis internasional akibat pengalihan hutan menjadi
lahan pertanian. Dia ingin Eropa dan Barat memikirkan kelestarian hutannya. Lagi, penyebab
utama pemanasan global adalah emisi gas buang di negara-negara Barat, bukan penggundulan
hutan, walau memberikan porsi lebih kecil.

Tidak semua warga Brasil sebal dengan kecaman aktivis, termasuk Greenpeace, soal pengalihan
hutan menjadi lahan pertanian. Namun, Pemerintah Brasil setuju membangun proyek dam
demi pembangunan di Hutan Amazon, yang diinginkan dunia sebagai konservasi alam, demi
ambisi menjadi pemasok pangan terbesar dunia.

Tidak hanya Brasil, Kanada pun tak mau didikte aktivis. Di situs National Post, harian Kanada,
edisi 8 Juli lalu, ekonom Rosanne van Schie dari Wolf Lake First Nation mengatakan, ”The
Canadian Boreal Forest Agreement dibangun tanpa input dari First Nations….”

Demikian juga AS, tetap dalam rencana mengeksplorasi ladang minyak dan gas di Alaska,
Amerika Utara, di sebuah lokasi konservasi alam dunia.

Salah satu pendiri Greenpeace, Dorothy Stowe, meninggal 23 Juli lalu di Vancouver, Kanada,
pada usia ke-89, tentu tidak menginginkan semua ini. Stowe mengikuti Jim Bohlen, pendiri lain
Greenpeace yang meninggal tiga pekan sebelumnya. ”Dia pendobrak yang mengubah sesuatu,”
kata Rex Weyler, tokoh Greenpeace lain, di harian Vancouver Sun, edisi 23 Juli lalu.

Lagi, Tata Sons, sebuah konglomerat India, menggugat secara hukum Greenpeace di Delhi High
Court atau pengadilan pada 27 Juli dan menuntut 10 crore rupee atau setara Rp 2,1 miliar.
Masalahnya, Greenpeace India dianggap berisik soal Dhamra Port Project, yang sedang
dikembangkan oleh TATA Steel, dengan alasan proyek itu telah mengganggu spesies seperti
kura-kura di pantai-pantai Gahirmatha Marine Sanctuary.

Ini menambah deretan pukulan terhadap aktivis, termasuk Selandia Baru, yang pada bulan Juni
lalu menolak memberikan status yayasan atau karitas pada sebuah entitas Greenpeace. Alasan
sebuah komite Pemerintah Selandia Baru, entitas itu bertujuan politik, bukan karitas, serta
mendorong secara tidak langsung gerakan kekerasan karena itu tidak layak dapat pembebasan
pajak.

Mengurangi kemiskinan

Dunia kini memiliki 1,2 miliar penduduk miskin dan sepertiga ada di Asia, termasuk Indonesia.
Untuk mengurangi satu persen penduduk miskin, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi setinggi 7
persen, menurut ESCAP, sebuah badan internasional.

Konsekuensi pengurangan kemiskinan adalah pembangunan ekonomi, yang tentu


membutuhkan lahan-lahan baru untuk lokasi pertanian, sektor industri, perumahan, dan
lainnya.

Lalu, bagaimana merekonsiliasi kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi dan tuntutan global
soal pengurangan pemanasan global atau kelestarian alam?

China jelas berjalan sendiri dengan rencana pembangunan ekonominya. Berbagai kerusakan
lingkungan yang dahsyat tidak membuat negara ini keder dengan serangan para aktivis.
Bahkan, belum lama ini pemerintahan di kota pelabuhan Dalian memblokir akses aktivis yang
ingin memantau kebocoran minyak akibat ledakan pipa.

China mampu melakukan itu karena negara ini relatif semakin tidak takut dengan kritik
internasional. ”Kami punya pola tersendiri dalam menjalankan pembangunan negara kami,”
kata Perdana Menteri China Wen Jiabao.

Namun, nyali banyak negara berkembang tidak sekuat China, termasuk Indonesia, tidak cukup
kuat dalam menghadapi aktivis dan tekanan internasional, walau negara ini bukan tergolong
”perusak” sekelas Brasil, India, dan China. Inilah PR pemerintah, merekonsiliasi antara
kelestarian dan pembangunan demi pertumbuhan ekonomi yang amat diperlukan untuk
memakmurkan ratusan juta rakyat. (MON)
Menanti Kepunahan Si Makhluk Raksasa

Jumat, 30 April 2010 | 03:17 WIB Oleh Syahnan Rangkuti

Sebagian besar orang beranggapan, gajah adalah hewan lucu yang selalu menjadi bintang
atraksi di sirkus. Binatang bertubuh tambun itu terlihat jinak di kebun binatang atau taman
safari.

Pernahkah Anda membayangkan mamalia darat terbesar di dunia itu hadir di sekitar rumah
Anda? Mereka berkeliaran bebas, tidak dalam kondisi terikat atau didampingi pawang. Bukan
hanya sehari, melainkan berminggu-minggu. Gerombolan hewan raksasa itu bahkan mengambil
segala macam benda yang dapat dijadikan makanannya. Tidak hanya tanaman di halaman
depan, belakang, samping kiri atau kanan yang habis diganyangnya, kawanan hewan langka
yang berjumlah sampai puluhan ekor itu bahkan masuk dan mengobrak-abrik rumah Anda.
Apakah itu lucu?

Anda pasti sepakat, tidak lucu. Melihat tubuh raksasanya dan lengkingan suaranya tanpa
penghalang, dipastikan lutut Anda bergetar keras menahan ketakutan luar biasa. Apalagi
apabila gajah itu sampai mengejar, menginjak-injak, melilit, dan membanting tubuh kecil
manusia seperti ranting kecil yang tidak berarti.

Cemas, takut luar biasa, pasrah, marah, itulah perasaan campur aduk yang dialami ribuan warga
yang hidup di Kelurahan Pematang Pudu, Desa Pinggir dan Kelurahan Balai Makam, Kecamatan
Pinggir dan Kecamatan Mandau, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, sekarang ini. Nyaris tidak ada
seorang pun warga di sana yang tidak pernah berhadapan dengan gajah, langsung maupun
secara tidak langsung.

Syafriwan, Ketua RT 06 RW 10 Desa Pinggir, Kecamatan Pinggir, mengatakan, semua warganya


yang berjumlah 40 keluarga pernah mengungsi selama sepekan, pada tahun 2008, karena gajah
tidak mau pergi dari sekitar rumah mereka. Seluruh tanaman dari jenis sayur-sayuran di
sekeliling rumah habis ludes, sementara tanaman kebun seperti kelapa sawit luluh lantak nyaris
tidak bersisa.

”Saya lahir di sini 35 tahun lalu. Dahulu gajah memang berkeliaran di hutan yang tidak jauh dari
rumah kami. Namun, sekarang gajah-gajah itu sudah berada di halaman rumah kami dan acap
kali masuk ke dalam rumah karena hutan sudah tidak ada,” ucap Syafriwan.
Icap, begitu sapaan Syafriwan, mengatakan, dahulu apabila mereka membuat api unggun atau
bunyi-bunyian keras, gajah itu akan lari menjauh dan segera masuk ke hutan. Namun, sekarang
ini, api dan suara keras hanya membuat kawanan gajah itu menjauh beberapa langkah saja
karena hutan sudah tak ada. Apabila warga berani merangsek lebih dekat, risikonya bisa fatal.
Gajah-gajah itu bukannya semakin menjauh, melainkan berbalik arah mendekat. Kalau manusia
lari, semua hewan itu akan ikut mengejar juga.

Sunardi, tetangga Syafriwan, warga Desa Petani, pada akhir Maret lalu harus mendapat
perawatan serius di Rumah Sakit Ibnu Shina, Pekanbaru, akibat beberapa tulang rusuk dan
lengannya remuk diinjak gajah tatkala ikut mengusir gajah di desanya. Sunardi merasa kesal
karena seluruh tanaman sawitnya yang baru ditanam habis dilantak gajah yang diperkirakan
berjumlah 25 ekor.

Dengan obor di tangan, Sunardi mencoba mengusir gajah-gajah itu lebih jauh dari kebunnya.
Namun, seekor gajah bertubuh paling besar dengan gading paling panjang berbalik
mengejarnya. Puluhan warga desa yang semula berada di belakang Sunardi langsung berlarian.
Malang, tubuh Sunardi terperosok ke dalam parit, dan gajah besar tadi sempat menginjak
bagian dadanya. Masih untung, injakan kaki besar itu hanya mematahkan beberapa tulang
rusuk dan lengannya. Ketika gajah menjauh, Sunardi baru dapat ditolong.

”Itulah risiko apabila kami mengusir gajah. Masih untung Sunardi masih hidup. Tahun lalu,
seorang kakek mati dengan tubuh nyaris tidak berbentuk karena dibanting gajah-gajah itu di
Desa Balai Makam,” timpal Hendrik, warga Desa Pinggir.

Saat gajah memasuki desa, semua lelaki di desa itu harus berjaga di pinggir rumah atau di
kebun dengan api unggun. Jangan sampai tertidur atau api mati, alamat sayuran dan tanaman
kebun habis dilahap. Tidak hanya itu, rumah akan diobrak-abrik gajah untuk mengambil
makanan berupa beras dan garam.

”Kalau datuk (sebutan warga desa untuk gajah) itu sudah masuk, kami pasti kurang tidur.
Siangnya kami tidak bisa bekerja karena malamnya harus ronda lagi,” ungkap Suhadi, warga RT
04, Desa Pinggir.

Menurut Syafriwan, ritual menyambut kedatangan gajah sebenarnya sudah berlangsung sejak
sepuluh tahun terakhir. Namun, pada lima tahun terakhir, frekuensi kedatangan gajah menjadi
lebih sering. Apabila dahulu gajah-gajah hanya masuk kampung satu tahun sekali, berangsur-
angsur menjadi dua kali dan tahun-tahun terakhir ini, kawanan gajah yang diperkirakan
mencapai 45 ekor itu bisa datang tiga sampai empat kali setahun. Gajah-gajah itu semakin
berani dan tidak merasa asing lagi berhadapan dengan manusia.

Rute perjalanan gajah selalu tetap. Biasanya dimulai dari Pelapit Aman di Kelurahan Pangkalan
Pudu, lalu menuju Teggar, Pusat Penghijauan, Lapangan Helikopter (milik PT Chevron), Simpang
Lima, Koperasi Unit Desa di Desa Pinggir, Belading, Balai Makam, dan Kulim di Kelurahan Balai
Makam. Setelah sampai di Kulim, gajah-gajah tadi kembali berputar menuju Pelapit Aman,
begitu seterusnya. Di lokasi-lokasi itu, gajah-gajah ini kadang bersatu dalam satu kelompok
besar atau berpencar dengan anggota 5 sampai 25 ekor. Jadwal singgah tidak tetap, tetapi
berkisar tiga hari sampai dua minggu per lokasi.

Konflik gajah dan manusia tentu saja membawa korban. Korbannya bergantian, antara gajah
dan manusia. Pada suatu ketika, gajah menyerang manusia, tetapi kali lain gajah ditemukan
mati karena diambil gadingnya atau mati membusuk terkena racun. Sudah tidak terhitung
kerugian di dua pihak selama kurun lima tahun terakhir.

Syamsidar, juru bicara WWF Riau, mengatakan, konflik gajah dan manusia di Duri dipastikan
belum akan berakhir dalam waktu dekat. Jalan keluarnya hanya satu, yakni gajah-gajah itu
direlokasi ke tempat lain dalam kawasan hutan yang lebih aman. Tanpa relokasi, konflik baru
akan berhenti apabila semua gajah itu mati.

Konflik

Mengapa terus terjadi konflik itu? Apakah tidak ada perhatian pemerintah untuk
mengatasinya?

Pada tahun 1986, ketika era hutan tanaman industri dimulai di Riau, areal hutan bekas HPH
seluas 18.000 hektar dikeluarkan dari konsesi PT Arara Abadi (anak perusahaan PT Indah Kiat
Pulp and Paper, grup Sinar Mas) untuk dijadikan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja. Suaka itu
terletak di Sebanga, dekat dengan sumur minyak PT Chevron.

Ketika suaka itu dibuka, tujuannya hanya satu, yakni lahan konservasi untuk merelokasi gajah-
gajah dari Kecamatan Pinggir dan Kecamatan Mandau yang semakin sering memasuki desa atau
kawasan penduduk.
Bahkan, lewat Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor 387/VI/1992 tertanggal 29 Juni 1992,
sebagian dari SM Balai Raja seluas 5.873 hektar diperuntukkan secara khusus sebagai Pusat
Latihan Gajah (PLG) yang dikelola oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Riau.

Namun, saat Kompas berkunjung ke PLG Balairaja, boleh dikatakan suaka itu sudah musnah.
Sudah tidak ada lagi hutan di sana. Nama PLG semestinya diubah menjadi perusahaan kelapa
sawit saja. Di sekeliling PLG hanya ada kelapa sawit dan kelapa sawit semata. Kecuali lahan
semak belukar seluas 50 hektar di belakang PLG. Lahan itu pun sudah diklaim sebagai milik
warga. Untungnya atau sialnya, lahan tersisa itu ternyata berupa rawa-rawa sehingga warga tak
bisa menanam sawit. Kalau saja tanah itu sedikit keras, dipastikan kawasan PLG sudah lenyap
total dari muka bumi ini.

Jadi sangat wajar apabila gajah-gajah tadi terus berkonflik dengan manusia karena rumahnya
yang semestinya dijaga oleh pemerintah negeri ini sudah hilang.

Zulfahmi, juru bicara Greenpeace di Riau, menyebutkan, hilangnya SM Balairaja adalah bentuk
ketidakmampuan pemerintah menjaga kawasan hutannya. Pemerintah bukan saja tidak
menjaga, melainkan juga membiarkan kerusakan tanpa mengambil tindakan apa pun.

”Lihat saja, di depan pintu masuk PLG saja ditanami kelapa sawit. Itu artinya orang-orang di PLG
itu tahu kapan peristiwa itu terjadi, tetapi tidak ada tindakan. Mengapa orang-orang semakin
banyak menanam sawit, karena kepala desanya mengeluarkan surat tanah. Tanpa alas hak itu,
para perambah itu pasti tidak akan berani. Persoalan itu berlangsung bertahun-tahun tanpa ada
yang peduli. Sekarang ketika semuanya sudah rusak, apa yang akan dilakukan pemerintah?”
ujar Zulfahmi.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Trisnu Danisworo sebenarnya sudah
mengetahui persis kondisi riil SM Balai Raja. Hanya saja, ketika dipertanyakan masalah itu, dia
mengatakan masih mempelajari dan mengumpulkan bahan tentang kawasan hutan konservasi
itu.

Ada beberapa solusi untuk penyerobotan lahan itu.

Pertama, pemerintah menghapus kawasan konservasi itu untuk diserahkan kepada petani
kelapa sawit yang sudah mengeluarkan uang banyak sebagai investasi usahanya.
Kedua, dilakukan penegakan hukum dengan menghancurkan kelapa sawit warga. Atau
dilakukan negosiasi setengah-setengah. Artinya, warga harus mau menyerahkan setengah
sawitnya untuk dihutankan kembali.

”Tak mungkin melepas status hutan itu tanpa persetujuan dari DPR. Kami akan berkoordinasi
dengan Pemerintah Provinsi Riau untuk solusi suaka itu,” kata Trisnu tanpa memberikan solusi
nyata.

Dalam perbincangan dengan Kompas, Gubernur Riau Rusli Zainal sempat memikirkan untuk
meminta Menteri Kehutanan memberikan kewenangan penanganan hutan konservasi kepada
daerah. Bila pengawasan hutan konservasi masih di tangan pusat, seperti sekarang, daerah
hanya akan mendapat getahnya.

Ketika hutan rusak, seperti SM Balai Raja, masyarakat awam pasti berkata, Riau tidak mampu
menjaga hutannya. Padahal, seluruh wewenang pengawasan dan dana ada di pemerintah pusat
(baca: Kementerian Kehutanan). Persoalan atau benang merah masalah hutan di Indonesia
sebenarnya hanya satu, yakni sentralisasi kewenangan pusat tadi. Pada era reformasi sekarang
ini, persoalan kehutanan nyaris tidak mengenal pola desentralisasi.

Persoalan hutan di Riau dapat dianalogikan dengan sebuah rumah yang tak dihuni atau dijaga
pemiliknya. Kawanan maling dengan gampang menyatroni rumah dan mengambil seluruh harta
benda yang ada di rumah itu. RT setempat justru mendapat cap jelek karena wilayahnya
disebutkan rawan maling. Ketika kondisi itu diberitahukan kepada si empunya rumah, dia tidak
merasa kehilangan. Ternyata, pemilik rumah itu merasa dia hanya sebagai penjaga malam.

PEMANASAN GLOBAL
Kebohongan Itu Amat Nyata

Minggu, 13 Juni 2010 | 03:20 WIB

Tidak ada yang bisa menyangkal dampak buruk pemanasan global. Frekuensi topan, badai, dan
angin puting beliung di beberapa negara, termasuk Indonesia, makin sering terjadi
dibandingkan 20 tahun lalu. Ini adalah bukti nyata. Seruan global pengurangan suhu global pun
membahana.
Pertemuan negara-negara pemilik hutan tahun 2005 di Marakesh, Maroko, juga menyepakati
pelestarian lingkungan. Tanpa seruan global, Indonesia sejak tahun 1970-an sudah
mencanangkan pelestarian hutan, termasuk reboisasi.

Namun, pengurangan hutan terjadi. Faktor-faktor penyebabnya adalah pertambahan jumlah


penduduk dari 120 juta orang menjadi 240 juta orang sekarang ini, ekspansi perkebunan kelapa
sawit serta kepentingan bisnis yang menopang pertumbuhan ekonomi, dan penyelundupan
hasil kayu ke luar negeri.

Tak semua perambahan hutan negatif karena itulah salah satu konsekuensi pembangunan
ekonomi, termasuk penyediaan lahan untuk perumahan dan pabrik. Hal yang mungkin dicegah
keras adalah perambahan hutan untuk ekspor gelondongan ilegal.

Hal yang mendorong tulisan ini adalah bersama negara lain pemilik hutan, Indonesia menjadi
sorotan soal pelestarian demi penurunan pemanasan global. Bank Dunia tahun 2007
menyebutkan, Indonesia penghasil karbon dioksida (CO) terbesar akibat perambahan hutan,
tuduhan kontroversial.

Ada beberapa hal yang mencurigakan. PBB memiliki skema pelestarian hutan, yang dinamai
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Pendukung REDD
mengatakan, cara ini terbaik dan tercepat. REDD diperkuat pada pertemuan Kopenhagen,
Denmark, Desember 2009.

Indonesia berkomitmen melakukan skema REDD. Imbalannya, Indonesia mendapatkan bantuan


dari Norwegia 1 miliar dollar AS. Hal ini juga akan diterapkan di Brasil, sejumlah negara di
Amerika Selatan, Asia, dan Pasifik Selatan. Sekelompok negara maju, termasuk Australia,
Inggris, Denmark, Perancis, Jerman, Jepang, Swedia, dan AS, berkomitmen untuk pendanaan
REDD.

Indonesia berkomitmen menanami pohon di lahan seluas 21 juta hektar untuk mengurangi 26
persen emisi rumah hijau pada 2020 dari level 1990 dan akan mengurangi 41 persen jika ada
tambahan dana dari Barat.

Mengapa harus mengandalkan bantuan asing untuk reboisasi. Bukankah ada dana reboisasi?

Mengapa pendalaman skema REDD mengalami kemajuan pesat dibandingkan program utama
pemanasan global? Bukankah mayoritas pemanasan global disebabkan emisi di luar kerusakan
hutan? Sejumlah ahli mengatakan, kontribusi kerusakan hutan pada emisi global adalah 15
persen, selebihnya adalah emisi bahan bakar fosil, yang meningkat lebih cepat ketimbang
deforestasi.

Intergovernmental Panel on Climate Change memperkirakan perubahan fungsi lahan


memberikan kontribusi CO sebanyak 1,6 Gt karbon per tahun. Sebagai perbandingan, emisi
bahan bakar menyumbang CO sebesar 6,3 Gt karbon.

Mengapa hutan di sejumlah negara berkembang menjadi sasaran. Organisasi Pangan Dunia
(FAO) menyebutkan, deforestasi hutan global mencapai 13 juta hektar per tahun, termasuk
hutan-hutan di negara kaya.

Harian India, The Times of India, edisi 28 Mei 2010, mempertanyakan, mengapa China dan India
tak diikutkan dalam REDD. Pada pertemuan di Oslo, Oslo Climate and Forests Conference, 27
Mei, Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg menjawab. ”Kami akan fokus pada semua
hutan. Namun, kami kini masih lebih memusatkan pada pelestarian hutan yang ada saja dulu,”
kata Stoltenberg.

Para peneliti terus mempertanyakan keanehan itu. ”Penanganan hutan-hutan di negara maju
juga tidak kalah penting,” kata Michael Richardson dari artikelnya berjudul ”Ensuring Redd is
Not Mere Pulp Fiction” di The Straits Times edisi 7 Juni. Richardson adalah peneliti di Institute
of Southeast Asian Studies.

Para aktivis dan elite terkait pembangunan ekonomi dan lingkungan yang paham artikel
Richardson secara implisit menyindir kecurangan Barat, yang mendambakan pertumbuhan
dengan toleransi polusi dikompensasikan dengan pelestarian hutan di negara berkembang,
yang paling membutuhkan pembangunan ekonomi untuk mengangkat status sosial ekonomi
1,2 miliar orang global.

Pertemuan di Bonn

Skandal makin terkuak pada pertemuan di Bonn, Jerman, 31 Mei-11 Juni, yang dihadiri
perunding dari 185 negara. Pertemuan menyepakati pengurangan emisi 80-95 persen pada
tahun 2050 untuk negara maju dan tak terlihat rencana untuk 2020. Basis pengurangan emisi
juga bukan 1990. AS menginginkan basisnya adalah tahun 2005.
Pertemuan Bonn sukses menancapkan REDD, berupa bantuan 10 miliar dollar AS per tahun
selama 2010-2012 hingga lebih dari 100 miliar dollar AS sejak tahun 2020.

Negara berkembang menilai tak ada kemajuan mendasar soal perang melawan pemanasan
global. ”Diskusi tidak menyangkut esensi,” kata Kim Carstensen dari WWF International.

Ketua Delegasi Bolivia Pablo Solon mengatakan, ”Ini bukanlah debat yang kita inginkan.”

Ketua Badan PBB soal Iklim (UN Framework Convention on Climate Change) Christiana Figueres
mengatakan, pemerintahan harus menghadapi tantangan ini. Yvo de Boer, yang digantikan
Figueres, pesimistis. ”Kita dalam perjalanan panjang untuk mengatasi perubahan iklim,” kata De
Boer.

Alden Meyer dari Union of Concerned Scientists, berbasis di AS, meledek. ”Harapan Figueres
terlalu tinggi.”

Harian Inggris, The Guardian, edisi 9 Juni menuliskan hal yang lebih maut lagi. Ketimbang
mengurangi emisi minimal 30-40 persen pada 2020, negara maju malah menaikkan emisi 8
persen. Hal ini dilakukan dengan melakukan trik dalam kalkulasi pengurangan emisi. Trik ini
adalah penggunaan pasar karbon untuk melegalkan emisi sebanyak 30 persen di negara maju
dengan kompensasi pelestarian di negara lain.

Harian yang sama edisi 8 Juni menuliskan, Barat melakukan tipuan dengan mempersembahkan
data penanaman hutan, tetapi menunjukkan data penebangan nyata. ”Ini skandal yang tak
punya rasa dan malapetaka bagi iklim,” kata Sean Cadman dari Climate Action Network, koalisi
dari 500 kelompok lingkungan dan pembangunan dari seluruh dunia. ”Hanya Swiss yang tidak
mau melakukan itu,” kata Cadman.

Demikian pula soal komitmen bantuan untuk REDD. Bantuan yang dinyatakan adalah bantuan
yang sebelumnya dijanjikan diberi, tetapi dialihkan ke bantuan pelestarian hutan.

Antonio Hill dari Oxfam mengingatkan negara berkembang bahwa ada potensi bantuan itu akan
menjadi utang dan akan merugikan karena bantuan REDD berasal dari bantuan yang tadinya
diperuntukkan bagi peningkatan sistem kesehatan dan pendidikan. Ketua Delegasi Uni Eropa
Laurent Graff membantah. ”Bantuan itu nyata dan benar-benar dipersiapkan.”
(REUTERS/AP/AFP/MON)
Diskriminasi dalam Ruang Publik Kota

Senin, 1 Maret 2010 | Ahmad Arif

Jika ruang publik adalah gambaran dari jiwa warga kota, maka gambaran itu adalah
keterasingan dan diskriminasi. Jelajahilah ruang-ruang publik di kota kita dan rasakanlah sekat-
sekat yang akan memerangkap kita dalam kelas-kelas sosial. Sekat yang akan mengasingkan diri
dengan kemanusiaan kita sendiri.

Mari telusuri keberadaan ruang-ruang publik di kota-kota kita, khususnya di Jakarta. Kita bisa
memulai dari ruang publik di sekitar rumah. Kompleks perumahan telah mendesak kampung
yang egaliter. Bahkan, kini muncul konsep kluster; perumahan di dalam perumahan. Artinya,
penyekatan semakin mengecil.

Bahkan, sekalipun tinggal di dalam kluster, banyak orangtua yang tak mengizinkan anak-anak
mereka keluar rumah. Menyebabkan anak menjadi tahanan rumah. Dunia anak dan mungkin
juga orangtuanya menjadi hanya sebatas pagar rumah masing-masing. Satu-satunya
kesempatan mengenal masyarakat dari kelas sosial berbeda adalah melalui interaksi dengan
pembantu di rumahnya. Interaksi yang tak setara karena berdasar logika majikan dan buruh.

Dari ruang rumah yang memenjara, mari kita tengok ke sekolah. Ruang tempat tumbuh anak-
anak kita itu jelas semakin elitis dan mengkotak-kotakkan. Munculnya sekolah mahal jelas
hanya bisa menampung anak-anak orang berpunya (the have) dan menyisihkan anak-anak
miskin (the have not) dalam ruang sekolahnya sendiri; sekolah negeri atau swasta murahan
yang—biasanya—tak dikelola dengan baik.

Lalu, mari kita tengok pusat perbelanjaan atau mal yang telah menjadi ruang publik baru bagi
masyarakat kota. Datanglah ke mal-mal termewah kota ini. Sebutlah, misalnya, Plaza Indonesia,
Senayan City, atau Mal Pondok Indah, maka kita tak akan menemukan manusia dari the have
not. Kalaupun ada di sana, mereka menjelma dengan penampilan yang berbeda karena telah
memoles diri agar tampak serupa dengan kalangan the have.

”Itu bukan ruang kami. Belum pernah ke Mal Pondok Indah, apalagi ke Plaza apa tadi…
Indonesia? Belum tahu di mana tempatnya,” kata Bu Mina (45), pembantu rumah tangga di
Ciputat, Tangerang Selatan. Dia mengaku paling banter ke Ramayana di dekat Pasar Ciputat.
Kenapa tidak pernah ke mal-mal mewah di sana? ”Itu, mah, untuk orang kaya. Lagi pula untuk
apa? Tak ada yang bisa dibeli,” ujar dia. Nah, mal pun jelas mengkotakkan kelas sosial,
sebagaimana pasar tradisional yang identik dengan kumuh, jorok, dan tempat belanja untuk
kalangan tak berpunya.

Sekarang mari kita turun ke jalanan. Di ruang publik ini, pemisahan kelas semakin kentara,
mulai dari kelas pengguna sepeda motor, mobil pribadi—pun dengan berbagai kelas harga dan
merek—hingga pengguna bus ataupun kereta. Sedikit anomali adalah munculnya B2W (bike to
work), yang menarik kalangan berpunya untuk mengayuh sepeda ke kantor. Namun, kelas
sosial tetap saja terlihat, misalnya dengan harga sepeda dan pernak-pernik pelaku B2W yang
berbeda dengan penjual sayur bersepeda.

Transportasi umum yang semestinya menjadi ruang berinteraksi semua kelas sosial nyatanya
justru menjadi ruang pembeda kelas. Kita mengenal kereta expres eksekutif, yang
mengasumsikan penumpangnya para eksekutif dan para miskin silakan keluar. Selain itu ada
juga kereta api ekonomi ber-AC (KRL Ciujung, misalnya). Penumpangnya taruhlah untuk kelas
menengah. Terakhir kita mengenal kereta ekonomi atau yang biasa dikenal sebagai kereta
sayur. Sudah bisa diduga untuk siapa kereta ini diperuntukkan.

Padahal, di negara-negara lain, sebangsa Jerman dan Belanda, misalnya, hanya dikenal satu
jenis kereta di kota, satu jenis bus kota atau trem, yang boleh dinaiki dan terjangkau harganya
oleh semua kelas.

Di kota-kota kita, bahkan di dalam ruang-ruang yang sedari awal didesain untuk publik pun
ternyata tak benar-benar bebas sekat. Tengoklah taman-taman kota yang tak terawat dan tak
terjamin keamanannya. Adakah para kalangan berpunya mau berpesiar ke ruang terbuka kota
seperti itu? Hampir-hampir warga kota Jakarta tak menemukan ruang terbuka tanpa bea masuk
yang nyaman dan aman. Bahkan, beberapa taman kota identik dengan kelas sosial tertentu,
misalnya Taman Lawang yang identik dengan kalangan transgender.

Sekarang, mari kita berpesiar ke rumah masa depan. Tempat kembalinya jasad kita di
pemakaman umum. Bisa dibilang, inilah satu-satunya ruang kota yang masih memungkinkan
berkumpulnya majikan dan buruh dalam satu area. Namun, sektarianisme mulai merambah
ruang ini, misalnya, melalui munculnya pemakaman mewah semacam San Dieogo Hills.

Ruang ideal
Konsep dasar ruang publik adalah ruang nirsekat. Di sini, publik bisa berinteraksi dan dengan
bebas mengemukakan pendapat sehingga memungkinkan terjadinya transformasi sosial dalam
proses yang demokratis.

Ruang publik ideal seperti ini pertama kali digagas oleh Jurgen Habermas, filosof dari Jeman.
Dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category
of Bourgeois Society, juga dalam Civil Society and the Political Public Sphere, Habermas
menyebutkan, ruang publik yang ideal adalah yang mampu menjadi jembatan interaksi antara
penguasa dan masyarakat dari beragam kelas. Hanya melalui ruang publik inilah dapat terwujud
masyarakat yang dewasa, bebas penindasan, dan mampu menanggulangi krisis.

Konsepsi Habermas ini muncul dari pengamatannya terhadap ruang publik di Inggris dan
Perancis. Menurutnya, ruang publik di Inggris dan Perancis sudah tercipta sejak abad ke-18.
Pada zaman tersebut di Inggris orang biasa dari berbagai kelas berkumpul untuk berdiskusi di
warung-warung kopi. Mereka mendiskusikan segalanya, mulai dari soal seni hingga ekonomi
dan politik. Sementara di Perancis, perdebatan-perdebatan semacam ini biasa terjadi di salon-
salon.

Sejarah Eropa sejak lama memang mengenal ruang publik, seperti Agora—ruang terbuka yang
juga berfungsi sebagai pasar pada Yunani kuno—yang merupakan cikal bakal tradisi ruang
publik. Atau juga Basillica dan Forum di zaman Romawi kuno, yang biasa digunakan untuk
menyampaikan pendapat secara terbuka oleh publik.

Sebenarnya, tata kota kerajaan di Jawa pun mengenal ruang publik semacam ini melalui apa
yang disebut alun-alun, yang selalu menjadi pusat orientasi atau titik nol dari sebuah kota.
Namun, ruang seperti alun-alun ini semakin kehilangan fungsi dan kini tak lebih dari tempat
berjualan pedagang kaki lima. Dengan demikian, banyak alun-alun warisan masa lampau di
beberapa kota di Jawa yang diberi pagar pembatas di sekelilingnya.

Dampak sosial

Tiadanya ruang publik yang menjembatani pertemuan antarkelas sosial menyebabkan


masyarakat tumbuh dalam dunia yang menyempit. Mereka hanya bersinggungan dengan dunia
dari kelas berbeda melalui dunia maya, seperti melalui film atau tanyangan televisi, atau paling
banter melalui jendela kaca mobil saat menyaksikan anak-anak yang meminta-minta di lampu
merah. Tentu saja, nuansa yang tertangkap akan sangat berbeda
Namun, dunia layar kaca ini pun tak lepas dari diskriminasi dan hegemoni cara pandang dari
kelas berpunya, yaitu melihat kemiskinan sebagai sesuatu yang jorok, harus disikat habis, atau
paling banter patut dikasihani. Tengoklah sinetron atau acara-acara televisi kita yang
kebanyakan menampilkan kemiskinan dari perspektif itu.

Patut diduga, pelaku penggusuran terhadap kaum miskin kota adalah kolaborasi penguasa dan
pengusaha, yang selama hidup mereka tak pernah bersinggungan secara manusiawai dengan
kalangan miskin.

Mereka melihat kemiskinan dan kekumuhan hanya sebagai sesuatu yang patut dihilangkan,
tetapi abai terhadap akar masalah kesenjangan, yaitu minimnya celah transformasi ekonomi
dan sosial. Semua ini, bisa jadi, bermuara pada tiadanya ruang publik untuk berinteraksi secara
manusiawi dengan sesamanya….

Tags : Penataan ruang, hak atas lingkungan hidup

Cermin dari Perubahan Iklim


DANAU DAN WADUK

Senin, 1 Maret 2010 | Arianto B Santos

Perubahan iklim merupakan situasi yang saat ini kita hadapi dan tidak dapat ditawar lagi kecuali
dengan meredam lajunya. Adalah dengan memahami proses- proses yang terjadi di alam,
wawasan kita dapat dibuka tentang bagaimana dan mengapa iklim itu berubah.

Dari situ kita akan sadar bahwa secara alamiah iklim itu memang akan berubah walau tanpa
campur tangan manusia. Dan, dengan adanya aktivitas manusia, berawal dari revolusi industri
hingga kini, iklim berubah dengan drastis.

Mungkin semua orang tahu bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya
konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di udara yang menyebabkan temperatur di permukaan bumi
meningkat.

Hampir semua negara di dunia berusaha untuk menurunkan emisi GRK-nya masing-masing
walau dengan perdebatan yang cukup alot mengenai besaran yang harus diturunkan. Dan,
menurut hemat saya, hal tersebut cukup sulit karena banyak faktor yang harus dipantau dan
dievaluasi, serta yang jelas harus ilmiah.
Kita mungkin paham bahwa hutan kita adalah paru-paru dunia dengan kemampuannya
menyerap karbon dioksida (CO) sehingga kita berusaha untuk menjaga hutan agar tetap hijau
dan menghijaukan area terbuka.

Namun, belum banyak yang paham bahwa perairan kita yang sangat luas itu juga memiliki
potensi dalam mengatur kesetimbangan CO di atmosfer. Potensinya adalah dapat sebagai
penyimpan dan atau penyumbang CO. Tetapi, kita belum tahu persis potensi yang mana yang
kita miliki.

Ekosistem perairan

Di sini saya sedikit mengulas bagaimana ekosistem perairan selain lautan, yaitu danau dan
waduk, dan apa kaitannya dengan emisi GRK.

Indonesia memiliki 521 danau alami, terbanyak di Asia Tenggara, dan lebih dari 100 waduk.

Danau dan waduk adalah ekosistem yang menerima input materi dari ekosistem daratan,
termasuk di dalamnya karbon. Apabila materi tersebut adalah makhluk hidup atau sisa dari
makhluk hidup, suatu saat materi tersebut akan terdegradasi menghasilkan inorganik karbon
yang salah satunya adalah CO.

Memang benar, material organik tadi dapat terbenam di dasar danau, tetapi hampir semua
danau yang ada di Indonesia dapat mengalami pengadukan sempurna sehingga CO dan
material lainnya di dasar itu mampu kembali ke permukaan. Adanya aktivitas fotosintesis-
respirasi memengaruhi CO di permukaan, tetapi tidak cukup signifikan karena keduanya berada
cukup seimbang.

Lebih lanjut jika konsentrasi CO di lapisan permukaan air sangat tinggi dan jenuh, CO akan
terlepas ke udara.

Secara global Cole dkk. (1994) menghitung bahwa sekitar 87 persen dari 4.665 danau—
termasuk waduk—yang ada di dunia (sekitar 2 x 106 kilometer persegi) berpotensi
menyumbang CO ke atmosfer dengan total kisaran 0,14 x 1.015 gram karbon per tahunnya.
Sayangnya mereka tidak merekam danau-danau di Indonesia yang sedemikian banyaknya (± 3
persen luas total daratan) dengan masing-masing karakternya.
Hasil kalkulasi saya, berdasarkan data dari Lehmusloto dkk (1997), yang pernah meneliti sangat
banyak danau di Indonesia, danau-danau di Indonesia memiliki tekanan parsial CO (pCO)
sebesar 194,79 µatm-947,49 µatm dan waduk sebesar 102,19 µatm-843,38 µatm. Artinya,
danau dan waduk di Indonesia memiliki potensi yang sama dalam mengikat dan melepaskan CO
ke udara.

Namun, kisaran pCO danau dan waduk di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan
danau di belahan bumi lainnya. Danau-danau di Afrika memiliki pCO hingga 59.900 µatm,
hampir 60 kali lipat danau-danau di Indonesia.

Danau dan waduk hanyalah salah satu bagian dari siklus karbon yang mungkin terlewatkan
dalam pemikiran kita untuk menurunkan GRK.

Wajib dipahami bahwa untuk menurunkan emisi GRK kita haruslah menelaah semua segi
kehidupan, termasuk perilaku kehidupan sehari-hari karena manusia merupakan pemeran
utama dalam beberapa siklus yang ada di muka bumi.

Sumbangsih danau pada emisi GRK di udara bertolak secara alamiah. Namun, pengelolaan
danau yang salah arah dapat menyebabkan danau itu berperan sebagai penghasil GRK yang
sangat potensial. Cukup banyak danau dan waduk di Indonesia yang mengalami tekanan
lingkungan sehingga memiliki potensi melepas GRK dalam jumlah yang besar.

Material organik, seperti sisa aktivitas pertanian, pakan ikan, lumpur, dan pencemar lainnya
sangat berpotensi untuk terdegradasi menjadi GRK. Memang, perlu ada penelitian lebih lanjut
dan detail pada ekosistem ini agar peran masing-masing dapat lebih dipahami.

Namun, peran serta seluruh pihak, baik dari masyarakat, pemerhati maupun pemerintah
sangatlah dibutuhkan dalam menyikapi isu perubahan iklim ini.

Dan, menurut hemat saya, danau dan waduk adalah cermin keberhasilan usaha kita semua
dalam memperbaiki kualitas lingkungan yang bermanfaat untuk menurunkan emisi GRK.

Bencana dan Gagalnya Politik Tata Ruang

Senin, 1 Maret 2010 | Yayat Supriatna


Bencana tanah longsor di perkebunan teh, Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung, bagaikan
puncak gunung es dari beberapa kejadian musibah pada musim hujan, tahun ini. Provinsi Jawa
Barat adalah yang paling parah, dengan banyaknya peristiwa bencana di wilayah ini.

Sebelum kejadian longsor di Tenjolaya, lebih dari satu minggu bencana banjir melumpuhkan
kehidupan masyarakat di wilayah Bandung Selatan. Ada pameo yang menarik di wilayah ini:
Bandung Utara dibangun, Bandung Selatan tenggelam, semakin tinggi rumah dibangun di atas
bukit, semakin tinggi air menenggelamkan rumah di bawahnya. Fenomena kejadian bencana
seperti ini hampir merata terjadi di seluruh wilayah Tanah Air. Musim hujan seperti identik
dengan datangnya musim bencana.

Bencana adalah pebuktian terjadinya kegagalan politik tata ruang dalam menjaga dan
melindungi fungsi ekosistem lingkungan. Infrastruktur kekuasaan di level nasional, provinsi, dan
daerah seperti tak mampu untuk sepenuhnya menjalankan amanat penyelenggaraan penataan
ruang seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Fungsi
negara untuk memberikan perlindungan kepada penduduk dari ancaman bencana banjir, rob,
longsor, penyakit, dan kerusakan lingkungan sering terbentur pada belenggu koordinasi dan
egoisme sektoral serta kepentingan otonomi daerah.

Negara telah gagal untuk menyejahterakan warganya, bahkan akibat kelalaian dari fungsi
kekuasaan politik di bidang tata ruang, justru wargalah yang harus menjadi korban. Kekuasaan
untuk menindak, menghentikan, melarang, dan mengingatkan tidak sepenuhnya dijalankan .
Pembiaran alih fungsi hutan, alih fungsi lahan pertanian, serta mudahnya perizinan di kawasan
lindung dan resapan air terjadi merata di setiap wilayah kota dan kabupaten.

Dalam menjalankan fungsi kekuasaan politik tata ruang, pemerintah daerah sering bertindak
dalam kekaburan pemahaman. Tata ruang dilihat sebatas dari lengkap atau tidaknya dokumen
rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan peraturan daerahnya. Sementara itu, untuk
menetapkan siapa yang harus menjalankan aturan dan bagaimana peran kelembagaan yang
paling bertanggung jawab tidak jelas.

Penyelenggaraan penataan ruang saat ini hanya bersifat koordinasi, dan peran serta fungsi dari
badan koordinasi saat ini tidak optimal. Tumpang tindih aturan antara kepentingan, sektor,
pusat dan daerah, berimplikasi pada mekanisme lempar tanggung jawab jika ditemukan adanya
penyimpangan atau bencana akibat penyalahgunaan kewenangan.

Hambatan institusional
Politik tata ruang gagal dijalankan akibat hambatan institusional dalam penyelenggaraan tugas
pemerintahan di bidang penataan ruang. Hambatan masalah internal dan eksternal tercermin
dalam wujud intensitas peningkatan bencana yang makin bertambah parah. Secara internal,
banyak institusi lokal sejak awalnya tidak siap untuk menjalankan peran politiknya dalam
mengatur tata ruang di daerah.

Pemahaman mengenai aturan-aturan yang sangat rasionalitas dan komprehensif dalam tata
ruang masih sangat lemah sehingga motivasi dalam menjalankan aturan pemanfaatan dan
pengendaliannya juga rendah. Itu ditambah dengan kapasitas sumber daya manusia yang juga
tidak cocok untuk menjalankan kemampuan peran politiknya. Lemahnya kapasitas ini membuat
posisi tawar dalam mengambil keputusan jadi tak berdaya ketika berhadapan dengan
kepentingan pemilik modal atau pemilik kekuasaan yang lebih besar.

Secara eksternal, ruang partisipasi politik masyarakat sebagai subyek utama ”pemanfaat ruang”
belum tertata. Akses politik warga sering tidak berjalan karena kemampuan interaktif sangat
lemah dari masyarakat dan para pengelolanya. Komitmen politik untuk melakukan kerja sama
menjaga lingkungan belum banyak tercipta. Jika pun ada, hanya sebatas ritual politik pada aksi-
aksi seremoni. Sementara itu, jika berhadapan pada sisi kepentingan ekonomi yang lebih besar,
terjadi pelunakan sikap oleh penguasa wilayah atau institusi lokal dengan memberikan fasilitas-
fasilitas tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang. Sanksi tidak dapat dijalankan
sebab mekanismenya hingga kini belum tersusun secara sempurna.

Secara pencitraan, politik tata ruang saat ini adalah negatif. Segala bentuk kejadian bencana
alam diidentikkan dengan kegagalan menjalankan fungsi penyelenggaraan tata ruang. Citra
penataan ruang harus dipulihkan. Salah satu cara adalah dengan penguatan fungsi dan peran
kelembagaan yang jelas dan tegas kewenangannya agar masyarakat dapat percaya akan
kemampuan institusi lokal dan nasional untuk mampu mengatasi dan mencegah bencana serta
kerugian jiwa dan material yang telanjur semakin menyengsarakan warga.

Yayat Supriatna Pengajar Masalah Tata Ruang di Teknik Planologi– Universitas Trisakti

Belajar Manusiawi Bersama Gajah – Oleh Emil Salim

Minggu, 6 Juni 2010 | 06:27 WIB

Untuk kedua kalinya para prajurit itu menangis. Yang pertama ketika para prajurit anggota tim
penggiring gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam di Sumatera Selatan berhasil memindahkan
232 gajah ke tempat barunya, akhir 1982. Mereka menangis lagi ketika diundang ke Istana dan
disalami Presiden Soeharto.

”Mengharukan, mereka yang biasa memegang senapan ternyata bisa menangis,” ujar mantan
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengenang.

Kisah bermula dari telepon Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat yang diterima
Emil. ”Pak, gerombolan gajah akan ditembak tentara karena akan melintasi perkampungan.”

Sebenarnya memang bukan salah gajahnya. Rombongan gajah yang rutin ke laut untuk
memenuhi kebutuhan garam tubuhnya ketika hendak kembali ke hutan jalurnya sudah
terpotong permukiman transmigran.

Kaget mendengar kabar tersebut, hari itu juga Emil Salim menghadap Presiden Soeharto.
”Bapak, ada masalah dengan gajah di Air Sugihan,” lapor Emil.

Presiden langsung mengangkat telepon berwarna merah—pesawat untuk menghubungi siapa


pun di mana pun—menelepon Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Daerah
(Pangkopkamtibda) Try Sutrisno. Ia memerintahkan pembatalan rencana penembakan.

Kepada Emil Salim, Soeharto meminta gajah dipindahkan. ”Wah, bagaimana caranya? Dalam
sejarah dunia belum ada proyek pemindahan gajah,” katanya.

Beruntung, di dalam tim yang dinamai Satuan Tugas Operasi Ganesha itu ada Letkol I Gusti
Kompyang Manila dan kemudian menjadi komandan penggiringan. Dia mengusulkan agar tim
membuat bunyi-bunyian dari berbagai benda dan alat musik untuk menggiring gerombolan
gajah. Tim terdiri dari anggota militer dari Kodam IV Sriwijaya, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, dan Kantor Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, beberapa transmigran, dan sejumlah tenaga
ahli. Total jumlahnya sekitar 400 orang.

Perjalanan sepanjang 70 kilometer itu medannya amat berat. Berupa rawa, hutan, serta sungai
yang amat lebar. Belum lagi rombongan gajahnya, yang tiba-tiba tidak mau bergerak sama
sekali begitu ada anak-anak gajah yang kelelahan.

Mengikuti proses penggiringan di lapangan, Emil begitu terkesan pada satwa berbadan besar
itu. ”Mereka itu berbaris teratur. Yang betina di depan dan di samping rombongan. Di bagian
tengah berkumpul semua anak gajah dan di belakang berbaris gajah jantan. Sungguh luar biasa,
mereka seperti manusia,” ujar Emil.

IGK Manila di media massa pernah mengatakan, ”Pak Emil sampai 15 kali mengucap kata
’masya Allah’ setiap kali menyaksikan keajaiban perilaku gajah.”

Emil memang mereguk pengalaman luar biasa dalam perjalanan itu. ”Orang berbaris rapat di
sekeliling gerombolan gajah liar dan semua tertib berjalan bersama-sama. Sungguh luar biasa,”
katanya.

Ketika menyeberangi sungai selebar 60 meter, misalnya, gajah-gajah dewasa berjajar di sungai
membentuk jembatan. Lalu anak-anak gajah menyeberang di atas punggung mereka. ”Benar-
benar ajaib,” tuturnya.

Tidaklah mengherankan ketika gajah-gajah itu sampai ke tempat tujuan setelah 44 hari
berjalan, menjadi momen mengharukan. Bahkan juga bagi para prajurit penggiringnya. ”Semua
menangis. Ternyata kita belajar menjadi manusia dari gajah,” kata Emil. (nes/isw)

Banjir dan Pesan Alam

Kamis, 4 Maret 2010 | oleh Abun Sanda

Dari banyak provinsi yang memiliki pemandangan alam sangat indah, dua di antaranya adalah
Jawa Barat dan Sumatera Barat. Kemasyhuran alam kedua provinsi itulah yang selalu
mengundang kekaguman wisatawan dalam dan luar negeri. Kolumnis MAW Brouwer pernah
menulis dengan jenaka, Tuhan menciptakan Jawa Barat tatkala tengah tersenyum.

Akan tetapi situasi sekarang memang sudah jauh berubah. Kedua provinsi itu, untuk sebagian
memang masih sangat elok dan subur, tetapi di bagian lain, sudah gundul. Hutan ditebang oleh
manusia yang sesuka hati berekspansi. Daerah resapan air dibanguni perumahan. Kawasan
yang menjadi paru-paru provinsi, dimusnahkan dan diganti dengan ruko, perumahan dan
sebagainya. Adapun kawasan pertanian dikonversi menjadi jalan tol, gedung pemerintah,
pabrik dan sebagainya.

Yang pertama-tama terasa adalah kesejukan udara sangat berkurang. Suhu naik beberapa
derajat. Pada sekitar 30 tahun silam, Bandung, Malang, Bogor dan Bukittinggi, sekadar
menyebut contoh, masih sangat sejuk, kini panas. Warga yang dulu keluar sore dan malam
dengan jaket, kini cukup dengan kaos oblong. Warga yang dulu tidur berselimut karena udara
dingin, kini harus menggunakan AC karena kepanasan. Inilah beberapa isyarat dari perubahan
perilaku alam akibat ulah manusia yang serakah.

Alam tentu tidak bisa disalahkan ketika banjir demikian kerap menghajar sentra permukiman
penduduk, bahkan di daerah yang letaknya ratusan meter di atas permukaan laut. Alam pun
tidak bisa disudutkan kalau kerap terjadi longsor sebagai akibat pemerkosaan atas kawasan
hijau. Terakhir Jawa Barat dan Sumatera Barat yang paling menderita oleh longsor ini.

Manusialah yang bersalah, manusia terlampau loba sehingga kawasan penyimpan air dan
penahan longsor diusik-usik. Bayangkan, setahun 1,2 juta hektar hutan (setara hampir dua kali
luas pulau Bali) digunduli manusia. Bagaimana alam ini tidak mengamuk?

Di Jakarta demikian halnya. Ada 13 sungai yang mengaliri kota, tetapi lihatlah manusia sendiri
yang membuat sungai itu menjadi dangkal dan sempit. Daya tampung sungai terhadap
limpahan air hujan turun hingga 80 persen.

Menurut pengamat perkotaan Nirwono Joga, pada tahun 1970 masih terdapat 202 situ (dengan
luas 2337,1 hektar) di Jabodetabek. Tahun 2009, jumlah ini kemudian berkurang menjadi
kurang dari 180 situ (1.462,78 hektar atau susut 37,41 persen). Di Jakarta, tambahnya, tahun
1970 masih terdapat 50 situ. Tetapi pada tahun 2009 hanya tersisa 16 situ. Ke mana 34 situ itu
raib? “Sebagai informasi, kondisi situ di Jakarta kini 50 persen dalam keadaan kritis. Sebanyak
30 persen terancam dan 20 persen masih utuh,” ujar Nirwono.

Ia menambahkan, menurut data KLH tahun 2007, situ di Jabodetabek 68 persen yang rusak , 20
persen baik dan 4,5 persen menjadi daratan. Satu persen lagi situ itu “hilang”. Penyebab
sedimentasi, tambah Nirwono, 42 persen. Akibat konversi bangunan 34,9 persen dan yang
menjadi tempat sampah 2,4 persen, gulma lima persen dan faktor lain 15,7 persen.

Fakta ini memang sangat mengerikan, tetapi begitulah kenyataannya. Kita tidak bisa lagi hanya
berteriak-teriak tentang kerusakan alam. Kita mesti melakukan sesuatu yang konkret, yang
tidak saja berhenti merusak alam, tetapi lebih dari itu memerbaiki alam yang dirusak manusia.

Tulisan ini sengaja diketengahkan untuk menggugah publik berhenti menebang pohon,
menyetop menimbun situ dan sungai. Publik harus menyudahi aksi pembabatan daerah
resapan air. Pemerintah kita lebih suka terjebak pada pernyataan “sudah menanam sejuta”
pohon. Tetapi apakah sejuta pohon itu benar-benar ditanami hingga berjumlah sejuta atau
setelah ditanami ada yang merawat. Publik tidak pernah diberi informasi tentang hal tersebut.
Begitu pula halnya dengan aksi penebangan pohon yang terus berlangsung tanpa ada yang bisa
mencegah.

Para pengembang pun seyogyanya lebih selektif membangun. Hindarilah membangun di daerah
ruang terbuka hijau, atau di kawasan pusat resapan air. Abaikan ajakan mitra Anda untuk
membangun di kawasan tanaman bakau. Sebab kalau terjadi banjir besar dan banyak manusia
meninggal, siapa yang bisa dimintai tanggung jawabnya?

Pengembang justru mesti berperan lebih besar untuk membuat kota lebih hijau, teduh dan
berudara sejuk. Memang tidak ada aturan tertulis untuk aspek ini, tetapi setidaknya
pengembang menunjukkan tanggung jawab moral dengan merawat alam seoptimal mungkin.
Kalau alam makin hancur, masyarakatlah yang sengsara, termasuk pengembang.

*) Abun Sanda, pemerhati masalah property

Lingkungan Hidup : Dialog Penegakan Hukum Lingkungan

Oleh: Sukanda Husin

Setelah 25 tahun diperkenalkan, hukum lingkungan masih belum berjaya menciptakan


pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pencemaran dan perusakan
lingkungan secara signifikan mewarnai pembangunan ekonomi di negeri ini. Penyebabnya
adalah pengaturan yang belum sempurna, pejabat dan penegak hukum yang tidak becus,
kurangnya dana penegakan hukum, sistem peradilan, dan sebagainya.

Dalam mengatasi pengaturan yang belum sempurna, pemerintah RI mengganti Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 1982 dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Penyempurnaan dilakukan dengan cara memperbaiki substansi aturan lama dan
memperkenalkan aturan baru, di antaranya pengenalan sanksi administrasi, audit lingkungan,
delik formal, hukuman tata tertib, pertanggungjawaban korporasi (corporate crime), peran
serta masyarakat, hak gugat lembaga swadaya masyarakat, dan gugatan perwakilan kelas (class
action).

Salah satu tujuan penyempurnaan adalah merangsang penegak hukum, masyarakat, dan LSM
melakukan fungsi kontrol. Secara khusus masyarakat korban serta LSM diberi kemudahan
mengakses keadilan dalam hukum lingkungan yang lebih dikenal dengan citizen’s lawsuit.
Gugatan masyarakat merupakan bentuk penegakan hukum yang mengurangi biaya pemerintah
dalam penegakan hukum. Masyarakat dan LSM menyambut kesempatan ini dengan sukacita.

Kemudian masyarakat dan LSM secara bersusah payah menghimpun dana guna bisa
mempertahankan hak mereka atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 1997.

Hasilnya mengecewakan. Terutama tentang prosedur sidang, banding, kasasi, dan peninjauan
kembali yang menyebabkan biaya keadilan mahal serta memakan waktu yang lama (time and
money consuming).

Akhirnya masyarakat korban pencemaran antipati menggunakan lembaga peradilan dalam


mencari keadilan. Buntutnya, penegakan hukum oleh masyarakat (citizen’s suit) tidak
terlaksana. Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan
bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sayangnya, UU
ini tidak mengelaborasikan apa yang dimaksud dengan “sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Akibatnya, pengadilan melaksanakan acara persidangan seenak hatinya, ada yang dipercepat,
ada pula yang diperlambat. Bukan rahasia lagi, ini ditentukan oleh prinsip “ekonomi ala
birokrasi Indonesia” (baca: “mau cepat, bayar”).

Suatu hari pada Januari 2006, masyarakat Batu Licin, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan
Riau, yang terkenal sebagai petambak ikan kerapu, terkesima karena ikan di dalam tambak
mereka mati massal.

Tak mengerti penyebabnya, mereka melapor ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Bintan. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, ternyata ikan mati akibat sejenis polutan yang
diduga berasal dari aktivitas PT Aneka Tambang (Antam). Setelah berkonsultasi dengan lawyer,
mereka memutuskan menggugat ganti rugi secara gugatan perwakilan kelas (class action) demi
menghemat biaya. Salah satu yang dipertanyakan masyarakat kepada lawyer, berapa lama
mereka harus menunggu untuk mendapatkan keputusan hakim.

Pengacaranya menjawab, “Kalau tidak ada penundaan dan kejadian istimewa, proses sidang
bisa berlangsung sampai enam belas kali sidang atau sekitar 16 minggu atau empat bulan. Tapi,
kalau saksi kita dan pihak tergugat banyak, persidangan mencapai 20 atau 24 minggu atau
enam bulan.” Ternyata sidang berlangsung sampai setahun, untung saja gugatan petambak
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Tanjung Pinang. Setelah menang, mereka bertanya lagi
kepada pengacara, “Kapan kita menerima ganti rugi dari PT Antam?” Pengacara menjelaskan,
“Karena PT Antam menyatakan banding, ganti rugi baru bisa diperoleh kalau kita menang di
pengadilan tinggi.”

Dialog berlanjut terus sampai petambak mengetahui bahwa proses memperoleh ganti rugi
masih panjang. Sebenarnya, masyarakat Batu Licin sudah tidak punya uang lagi untuk
membayar biaya persidangan di pengadilan tinggi. Tapi, karena mereka sudah menghabiskan
banyak uang pada waktu sidang di pengadilan negeri, mereka akhirnya berusaha
mencarikannya. Petambak ikan yang tidak mengenyam pendidikan hukum akhirnya juga mulai
mengerti beberapa jargon hukum. Mereka bertanya lagi, “Kok, memori banding PT Antam
belum masuk juga, ya? Padahal pernyataan banding sudah lima bulan lalu.” “Apakah kita tidak
bisa mendesak Pengadilan Negeri Tanjung Pinang supaya PT Antam menyerahkan memori
bandingnya segera?” Kemudian pengacara menulis surat ke Pengadilan Negeri Tanjung Pinang,
tapi pengadilan tak membalas. Panitera secara informal mengatakan sudah sering
mengingatkan PT Antam.

Dialog-dialog di atas menggambarkan betapa runyamnya proses mencari keadilan. Lama dan
mahal. Hukum acara perdata (HIR dan Rbg) juga tidak mengatur secara terperinci soal
penundaan sidang, misalnya berapa kali majelis hakim boleh menunda persidangan untuk satu
perkara dan apa alasan yang dapat dibenarkan, juga apakah ketua majelis boleh menunda
sidang bila salah satu pihak beperkara atau salah satu anggota majelis tidak hadir.

Absennya pengaturan seperti ini membuat biaya sidang bagi pencari keadilan menjadi mahal.
Sebab, penggugat dan tergugat harus membayar uang jalan, transportasi, dan akomodasi
pengacara, walaupun sidang ditunda.

Ketentuan tentang waktu penyerahan memori banding oleh pihak yang meminta banding juga
tidak diatur. Konsekuensinya, pihak yang meminta banding bebas menunda-nunda penyerahan
memori banding.

Tujuannya tentulah untuk mengulur-ulur waktu, agar pihak yang menang perkara atau pihak
terbanding tidak dapat segera memperoleh haknya. HIR dan Rbg juga tidak mengatur
kewenangan pengadilan untuk memaksa pembanding segera menyerahkan memori banding.

Dalam hukum lingkungan, ada satu fenomena umum, yaitu penggugat biasanya masyarakat
miskin dan tidak berpendidikan, sedangkan tergugat sebaliknya, korporasi yang punya ahli dan
uang. Kelebihan inilah yang membuat penegakan hukum lingkungan melalui pengadilan tidak
disukai masyarakat korban, karena korporasi seperti PT Antam bisa mengulur-ulur waktu dan
mempengaruhi banyak pihak. Begitu juga yang terjadi dalam kasus pencemaran laut oleh PT
Newmont Minahasa Raya di Manado.

Belajar dari pengalaman ini, masyarakat korban pencemaran lain pasti enggan mempergunakan
lembaga peradilan untuk memperoleh ganti rugi akibat pencemaran. Mereka ingin uang ganti
rugi dibayarkan cepat agar bisa melanjutkan usaha dan hidup mereka. Dengan demikian,
penegakan hukum lingkungan melalui citizen’s suit seperti yang dinginkan oleh UU Nomor 23
Tahun 1997 tidak bisa menjadi realitas.

Akhirnya masyarakat lebih suka berdemo dan mencari perhatian pemerintah untuk
memfasilitasi permintaan ganti rugi. Dalam banyak hal, pemerintah biasanya lebih memihak
korporasi. Alasannya, korporasi adalah agent of development, penyumbang pajak, dan
penyedia banyak lapangan kerja.

Ujung-ujungnya, ganti rugi ditentukan secara semi-sepihak (mediasi semu), seperti dalam kasus
lumpur panas Lapindo, Porong, Sidoarjo. Biasanya pemberian ganti rugi seperti ini sangat tidak
adil dan semena-mena.

Bila citizen’s law suit tidak jalan, hukum lingkungan akan menemui ajalnya alias mati. Sanksi
administrasi tidak jalan karena kurang pahamnya pejabat pemerintah soal prosedur dan bentuk
sanksi administrasi. Penegakan hukum melalui sanksi pidana juga tidak bisa diharapkan.
Masalahnya, polisi dan jaksa lebih memprioritaskan kasus illegal logging atau narkoba
ketimbang kasus lingkungan.

Dialog penegakan hukum lingkungan berlanjut dalam ruang kuliah fakultas hukum antara
mahasiswa dan profesor. “Kenapa HIR dan Rbg-nya tidak diubah?” tanya salah seorang
mahasiswa fakultas hukum kepada profesornya.

Berhubung profesornya seorang guru yang beraliran keras, dia menjawab, “Ini adalah dosa dan
kesalahan Dewan Perwakilan Rakyat kita. Mereka lebih berlomba-lomba membuat undang-
undang baru dengan cara studi banding ke luar negeri ketimbang memantau pelaksanaan
undang-undang yang sudah ada.” Seharusnya, DPR RI memprioritaskan perbaikan pengaturan
hukum acara perdata. Barulah masyarakat bisa merasakan peradilan yang “sederhana, cepat,
dan berbiaya ringan”
Menalar Kerusakan Lingkungan Hidup

Penanganan Coronavirus Disease 19 (COVID-19) masih berlangsung. Vaksinasi sebagai upaya


perlindungan diri dalam mencegah penyakit menular ini. Penerapan protokol kesehatan terus
jalan, bahkan diperketat dari 3M jadi 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak,
menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas).

Saat sama, Ibu Pertiwi didera kegelisahan terkait kondisi lingkungan hidup, yang sejatinya
respon atas perilaku manusia dalam memperlakukan lingkungan. Saat ini, banjir dan longsor
menjelma sebagai musibah laten, terus terjadi, berulang.

Belum lagi teratasi, pasca banjir mengancam juga aneka penyakit ikutan seperti pencernaan
(diare) dan kulit (gatal), serta leptospirosis.

Pandangan kalau bencana ini sebagai suatu yang wajar, dan lumrah perlu dikoreksi. Aneka
musibah–dalam bentuk dan rupa apapun– sebisa mungkin dihindari.

Kondisi kini, semacam terjadi pergeseran paradigma (cara pandang) dalam menerjemahkan dan
memaknai lingkungan hidup serta alam semesta. Alam dipahami sebagai obyek yang dapat
dieksploitasi besar-besaran guna memenuhi keinginan manusia yang pada dasarnya tak pernah
mengenal rasa cukup dan puas.

Chapman dkk (2007) dalam bukunya berjudul “Bumi yang Terdesak”, menyebutkan, populasi
manusia tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi telah
mendorong muncul teknologi yang makin merusak lingkungan.

Teknologi modern yang dikembangkan dalam mendukung pola konsumsi berlebihan ini
menghasilkan bahaya lingkungan yang begitu besar, seperti lapisan ozon makin rusak dan
memicu perubahan iklim.
Kesadaran baru

Seharusnya, pandemi bisa menyadarkan dan mengingatkan masyarakat global kalau masalah ini
senyatanya bukanlah soal keterbasan daya tampung dan kelengkapan fasilitas maupun sarana
medis. Bukan pula kekurangan tenaga pakar bidang penelitian dan pengembangan bioteknologi
dalam memproduksi vaksin, melainkan tentang dua hal mendasar dalam kehidupan.

Pertama, perihal kesadaran dan kebiasaan publik atas pola hidup bersih dan sehat. Selama pola
dan gaya hidup cenderung masih serampangan, yang namanya penyakit akan silih berganti.

Faktanya, pandemi berhasil memaksa umat manusia sejagat untuk kembali belajar tentang hal
mendasar dalam kehidupan yakni mencuci tangan dan bagaimana sikap serta perilaku dalam
bergaul dan berkomunikasi dengan baik dan benar.

Kedua, perihal perlakuan terhadap lingkungan hidup yang cenderung semena-mena. Fenomena


eksploitasi sumber daya alam secara kasat mata terjadi di banyak tempat.

Pemicunya, pergeseran gaya hidup yang mengarah pada hedonis materialistis. Aneka keinginan
tak pernah mengenal rasa cukup dan puas, telah menyudutkan alam sebagai obyek eksploitasi
tanpa mempedulikan daya dukung dan daya lenting lingkungan.

Ringkasnya, kedua problematika mendasar ini terpilih sebagai jalinan sebab-akibat, bahwa
kesadaran membentuk pola pikir. Pola pikir akan berwujud nyata melalui perilaku konkret
keseharian.

Dengan demikian, bila kesadaran publik akan pola dan gaya hidup sehat relatif masih rendah,
mustahil bila sikap dan perilaku kesehariaan mencerminkan tindakan ramah dan bersahabat
dengan alam.

Pengabaian karakter manusia, niscaya melahirkan aneka perilaku menyimpang yang akan
menciderai kehidupan secara luas.

Sekiranya, boleh sejenak belajar dari sejarah Tiongkok yang berhasil mengendalikan pandemi
COVID-19. Dulu, ketika Tiongkok ingin hidup tenang, mereka membangun tembok China yang
sangat besar. Mereka berkeyakinan tak akan ada orang sanggup menerobos karena tinggi
sekali, sekaligus tebal. Tetapi 100 tahun pertama setelah tembok selesai dibangun, sejarah
mencatat, Tiongkok terlibat tiga kali perperangan besar.

Memang, setiap kali terjadi perang, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau
memanjatnya, tetapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang.
Tiongkok, di zaman itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tetapi mereka lupa
membangun karakter manusia. Sejak saat itu, Tiongkok belajar bahwa membangun karakter
manusia seharusnya sebelum membangun apapun.

Mengenai perilaku yang cenderung menciderai lingkungan, maka komitmen dan keberanian
sosok Severn Suzuki, 12 tahun, yang berbicara mewakili enviromental children
organization (ECO) di KTT Lingkungan Hidup PBB di Rio de Janeiro pada 1992 perlu diacungi
jempol.

Cuplikan pidatonya saat itu, “Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yang
akan datang, untuk anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi
terdengar, untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung
jumlahnya karena kehilangan habitatnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki
lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaimana cara mengembalikan ikan-ikan
salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-
binatang yang telah punah. Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti
sediakala. Jika anda tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Tolong, berhentilah
merusaknya!

Tindakan pembabatan hutan (deforestasi) dan penebangan liar (illegal logging) bukanlah


tindakan yang mencerminkan perilaku ekologis, sekaligus humanis. Akibat dari penebangan
pohon itu akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan lebih luas (global).

Tajuk pepohonan nan rindang dan berlapis semestinya dapat berperan jadi filter alami bagi
derasnya air hujan sebelum jatuh ke permukaan tanah. Habitus pepohonan dan akar di
permukaan tanah yang berperan menghambat laju arus permukaan (run off) juga turut lenyap.

Dampak ikutannya, bisa ditebak, kehilangan porositas tanah untuk menyerap air hujan karena
terkikis permukaan tanah oleh air hujan akibat dari penebangan pohon secara masal.

Sungguh, bila orientasi pembangunan hanya berujung pada materi sebagai ukuran atas
kesejahteraan hidup, maka ungkapan kegelisahan Eric Weiner dalam The Geography of
Bliss perlu jadi perhatian bersama. “Ketika pohon terakhir telah ditebang, dan ikan terakhir
telah ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa ternyata uang tidak dapat dimakan.”

Anda mungkin juga menyukai