Anda di halaman 1dari 4

POLITISI LINGKUNGAN DALAM UPAYA PENYELAMATAN HUTAN

Catatan dari lapangan

Imam Suyudi

Indonesia adalah sumber daya yang sangat kaya dan mampu memakmurkan 200 juta
lebih rakyatnya jika dikelola secara baik dan benar. Konsep pembangunan berbasis
sumber daya alam sangat dipahami potensinya oleh para founding father bangsa
Indonesia yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Pokok Agraria
1960 (UUPA 60) untuk melindungi sumber daya alam dan massa riil bangsa Indonesia
yang hidup dari kebaikan alam. Namun, perjalanan sejarah bangsa Indonesia seperti
memalingkan realitas itu dalam menata perekonomian nasional dalam rangka
pembangunan nasional. Jargon yang sering didengung-dengungkan (justru) adalah
pertumbuhan ekonomi dengan industrialisasi (sektor barang dan jasa) sebagai motornya.
Model ini ‘melupakan’ kultur bangsa—sektor pertanian—yang pada dasarnya merupakan
bemper dari sektor industri tersebut. Pembangunan sektor pertanian akan meningkatkan
produktifitas dan daya beli petani. Terjadi positive triple down effect dengan tumbuhnya
industri berbahan baku hasil pertanian yang menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat
dan pada akhirnya memperkokoh bangunan ekonomi indonesia. Namun yang terjadi
sebaliknya, potensi sumber daya alam ‘dihabisi’ dengan modal dari perbankan yang
rapuh. Kran impor dibuka selebar-lebarnya. Sumber daya alam hancur, sumber daya
manusia di pedesaan yang sudah miskin tambah dimiskinkan bahkan dieksploitasi yang
ironisnya malah dijadikan kebanggaan sebagai buruh murah meriah penuh discount.
Itulah gambaran keserakahan orde yang tidak melihat sumber daya alam sebagai miliknya
tapi hanya sekedar merasa memiliki sehingga bebas mengeksploitasi dengan semena-
mena.

Ilustrasi hancurnya tatanan ekonomi berbasis sumber daya alam juga terjadi di sektor
kehutanan. Ribuan bahkan jutaan hektar hutan alam dirambah dan dibabat hanya untuk
tujuan profit semata yang—lagi-lagi—ironisnya hanya dinikmati oleh segelintir elit
ekonomi dan politik negara ini. Tak ada yang tersisa kecuali bencana alam dan kerusakan
global yang ‘dinikmati’ oleh jutaan warga tidak hanya dalam skala nasional tetapi juga
internasional. Derasnya laju deforestasi menyebabkan Indonesia beroleh gelar
memalukan sebagai negara dengan laju kerusakan hutan paling tinggi di dunia. Padahal,
Emha Ainun Najib pernah dengan bangga menyebut Indonesia sebagai negeri penggalan
sorga; sorga yang terpenggal jatuh ke bumi dan jadilah Indonesia. Pun Taufik Ismail
memujanya bak Ratna Mutu Manikam. Namun situasinya saat ini sungguh memiriskan.
Berbanding terbalik saling memunggungi. Sederet bencana alam melabrak. Meluluh
lantakkan. Banjir bandang, gempa bumi, tsunami, lonsor, topan beliung dan serangkaian
‘kemarahan alam’ lainnya terus melanda dan mengancam jutaan warganya setiap saat. Di
punggung lainnya, elit-elit politik dan ekonomi yang cuma segelintir memerasnya untuk
kepentingan perutnya sendiri!

Kerusakan hutan baik oleh rakyat dan juga oleh kebijakan menyebabkan pemiskinan
jutaan anak negeri yang menggantungkan hidupnya dari sektor kehutanan. Akibat
pengelolaan yang tidak sustainable. Di industri kehutanan terjadi ketidakseimbangan
antara kebutuhan bahan baku dengan kapasitas industri yang ada sehingga sangat rentan
terhadap perekonomian dan dampak sosial yang ditimbulkannya terutama masalah
tenaga kerja. Pasokan bahan baku terus memudar, dan gelombang pengangguran pun
menerpa. Jutaan anak putus sekolah bahkan kekurangan gizi yang pada akhirnya bisa
memicu kriminalitas karena bak pepatah orang Minangkabau; daripado bacaka jo galang-
galang, ancak cakak jo urang (daripada berperang dengan kelaparan lebih baik berkelahi
dengan orang). Tuhan, sesuram itukah nasib bangsa ini?

Memang, naif jika menimpakan semua kesalahan tersebut hanya karena kesalahurusan
sektor kehutanan dan sektor ikutannya (pertambangan, pertanian, perkebunan). Namun,
perbaikan sektor kehutanan ternyata akan mampu memperbaiki perekonomian negara
melalui pertumbuhan ekspor komoditi sebesar 20% untuk tahun 2007 seperti yang
diharapkan oleh Wakil Presiden RI. Pemerintah pun telah menetapkan lima kebijakan
prioritas yang harus diterapkan oleh sektor kehutanan yang salah satunya adalah
Revitalisasi Kehutanan. Departemen Kehutanan meresponnya dengan membentuk
Kelompok Kerja Revitalisasi Kehutanan guna menyusun program revitalisasi kehutanan
yang harus dilakukan di tingkat nasional dan daerah. Agenda Revitalisasi Industri
Kehutanan meliputi: (1) Menyeimbangkan kapasitas industri dengan potensi produksi
sumber daya hutan; (2) Memperkuat daya saing internasional industri termasuk
pengembangan pengolahan nilai tambah (untuk memastikan adanya dukungan penuh
dari sektor swasta); dan (3) Tindakan-tindakan untuk memperbaiki kontrol dan efisiensi
produksi dan rantai logistik (termasuk sistem pelacakan kayu, verifikasi independen dan
sertifikasi), dan mengidentifikasi sarana pendukung yang sesuai.

Secara etimologi, revitalisasi kehutanan berarti mengulangi kembali peran pentingnya


(vital) kehutanan karena fungsi serta peran hutan telah mengalami degradasi. Melalui
revitalisasi, fungsi dan peran itu akan dipulihkan kembali dengan guna mengetahui daya
dukung kayu legal dari hutan alam (HPH, IPK, ILS), hutan tanaman, dan hutan rakyat
dalam memasok bahan baku bagi industri kehutanan khususnya industri perkayuan
termasuk juga strategi pemanfaatannya secara berkelanjutan sesuai dengan agenda
revitalisasi.

Ada tiga aspek analisis dalam melakukan revitalisasi, yaitu aspek bahan baku, industri
pengolahan, dan aspek pemasaran, termasuk kondisi dan prakondisi yang mempengaruhi
hubungan ketiga aspek utama tersebut, misalnya infrastruktur yang diperlukan dan
kelembagaan yang ada, meliputi tata kelola (governance) dan peraturan-peraturan yang
terkait. Analisisnya adalah bagaimana kondisi dan masalah yang dihadapi saat ini dan
bagaimana kondisi yang diinginkan di masa depan, serta strategi untuk mencapainya.
Dalam konteks ini, penulis tidak mengkritisi revitalisasi kehutanan baik teori dan
implementasinya juga keberadaan berbagai proyek pembangunan berwawasan
konservasi yang sudah, sedang, dan akan dilaksanakan di Indonesia yang tujuannya tidak
hanya untuk menyelamatkan dan melestarikan hutan serta memakmurkan rakyat
Indonesia tetapi juga sebagai upaya menyelamatkan kehidupan umat manusia dari
bencana global. Hal yang ingin dikemukakan di sini adalah metode atau strategi
pendekatan penyelamatan hutan yang cenderung menekankan pada aspek teknis
bagaimana menyelamatkan, mengelola serta melestarikan hutan beserta flora-fauna
isinya. Jarang ditemui proyek atau program-program kehutanan yang menyentuh ranah
politik praktis dalam upaya menyelamatkan hutan serta mengembalikan kejayaan hutan
Indonesia. Padahal di era otonomi saat ini, peran kepala-kepala daerah sebagai penguasa
wilayah sangat dominan. Penelitian Indonesia Center for Sustainable Development
mengindikasikan hal itu, bahwa respon pemimpin cenderung tidak tanggap terhadap
permasalahan lingkungan (ICSD, Environmental Leadership Awareness, 2005). Dan bicara
politik adalah bagaimana kekuasaan diperoleh, dikelola, dan diimplementasikan.
Dukungan ekonomi tidak bisa dikesampingkan bahkan perkawinan kepentingan antara
politik dan ekonomi telah terbina sejak awal peradaban manusia.

Benar bahwa teknokrat-teknokrat bidang lingkungan di Indonesia telah tersebar merata


tidak saja di daerah tetapi hingga ke manca negara. Namun, pemimin yang memiliki
kepedulian sesungguhnya terhadap alam dan lingkungan termasuk sektor kehutanan—
saya yakin—tidak sebanyak teknokrat lingkungan yang dimiliki Indonesia. Akibatnya, tak
jarang proyek-proyek sektor kehutanan ciptaan para teknokrat bergelar profesor doktor
yang konservasionis sejati sering kandas di tangan seorang birokrat yang mungkin tidak
bergelar atau jika pun bergelar bukan di bidangnya hanya karena dianggap tidak
menguntungkan dirinya, pimpinannya ataupun daerahnya secara politis seperti yang
pernah terjadi. Tegasnya, upaya perbaikan sektor kehutanan baik melalui revitalisasi
ataupun pendekatan keproyekan tanpa mengakomodir kepentingan politik di tingkat
lokal ataupun nasional akan sulit mencapai hasil yang diinginkan.

Titik perhatian pemberdayaan politik terutama sekali pada daerah yang baru berkembang
yang rata-rata mengandalkan sektor kehutanan untuk memacu pembangunan
wilayahnya. Penelitian ICSD menunjukkan bahwa persoalan lingkungan yang dihadapi
saat ini tidak hanya masalah lingkungan semata namun melibatkan prespektif yang luas
dalam penangannya, termasuk permasalahan budaya, sosial, pendidikan, agama,
teknologi, dan ekonomi yang kesemuanya memerlukan kebijakan politik sebagai dasar
hukumnya. Sasarannya adalah pemimpin di tingkat lokal, nasional, dan tokoh-tokoh yang
berkecimpung dalam bidang lingkungan serta pengembangan kapasitas pemimpin di
Indonesia. Untuk mengatasi hal itu atau minimal mengurangi resiko, hasil penelitian
merekomendasikan beberapa hal yang layak dijadikan acuan bagi seorang pemimpin
yaitu:
1. Kemampuan untuk berkomunikasi sehingga ada alternatif-alternatif solusi
2. Kemampuan untuk memahami persoalan
3. Mampu mengakomodasi semua kepentingan yang ada
4. Mampu mengkomunikasikan antara aturan-aturan yang ada antara peraturan
pemerintah pusat, daerah, dan aspirasi masyarakat
5. Memiliki pengetahuan kapasitas wilayah lingkungan
6. Memiliki pengetahuan cara pelestarian lingkungan
7. Memahami hukum terutama terkait dengan hukum lingkungan
8. Mampu menerjemahkan masalah lingkungan dengan keadaan sosial ekonomi
(multisektor)

Pembentukan Forum Penyelamatan Hutan yang digalang oleh beberapa instansi


kehutanan, LSM, organisasi kemasyarakatan, dan sejumlah partai politik dalam upaya
menyelamatkan hutan di Propinsi Lampung layak dijadikan contoh dari pelibatan politik
praktis dalam pembangunan daerah yang ramah lingkungan. Forum menjembatani
komunikasi untuk menyusun kebijakan kehutanan sehingga jika terjadi persoalan, partai
politik bersangkutan bisa mengambil sikap dan menyampaikan usulan kebijakan melalui
wakilnya di legislatif (Kompas, 25 Oktober 2008).
Terakhir adalah para konservasionisnya sendiri yang sudah saatnya mempertimbangkan
ranah politik sebagai model perjuangan menyelamatkan alam dan lingkungan.
Konservasionis dengan syarat-syarat seperti di atas, akan memiliki kebijakan
pembangunan berwawasan lingkungan dan juga kepedulian untuk menjaga dan
melestarikannya. Karena itu, mereka perlu didukung sekaligus diawas. Jika perlu lakukan
kontrak politik yang mengedepankan klausul penyelamatan dan pelestarian alam. Sejarah
telah mencatat dengan tinta emas keberhasilan perjuangan melalui jalur politik karena
suka tidak suka, politik sudah dan selalu memanglimai kehidupan umat manusia di
sepanjang sejarah peradabannya.

Jambi, 20 Oktober 2008

Anda mungkin juga menyukai