Anda di halaman 1dari 3

Karhutla, Pembusukan Politik dan Pembangunan Berkelanjutan

Oleh: Dwi Munthaha1

Kebakaran hutan yang terjadi massif dan berulang di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan,
memunculkan pertanyaan, apakah hutan yang terbakar merupakan target pelestarian atau pada
akhirnya hanya menjadi objek eksploitasi untuk kepentingan ekonomi politik?

Presiden Jokowi pada kunjungannya ke lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau, menduga
adanya upaya terorganisir dalam peristiwa tersebut (Bisnis.com/17/09). Hal itu diungkapkannya karena
besarnya luas areal yang terbakar. Pemetaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terhadap
6 Provinsi yang terjadi karhutla, dari bulan Januari hingga September luasannya mencapai 328.724
hektare dengan 2.583 titik api. Angka luasan karhutla tahun ini sebenarnya masih kalah jauh dengan
peristiwa yang sama pada tahun 1998. Tahun itu dianggap sebagai angka pemuncak karhutla yang
mencapai 9 juta hektar.

Angka itu terus menurun walau sempat menjulang lagi pada tahun 2015 yang mencapai 2,6 juta hektare,
lalu menyusut tajam pada tahun-tahun berikutnya. Data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) menyebutkan pada tahun 2016 luasannya berkurang menjadi 438.363 hektar dan
fluktuatif di angka 100.000 hingga 500.000 hektare di tahun-tahun berikutnya. Penurunan jumlah
luasan karhutla itu juga diikuti dengan penurunan anggaran penanganannya. Menurut data BAPPENAS
dan ADB dari tahun 1998 yang mencapai US$. 6.307 juta (BAPPENAS-ADB/1999) terus menurun, bahkan
di beberapa tahun terakhir penurunannya cukup drastis: Rp.400 milyar/2016, Rp. 200 milyar/ 2017, Rp.
165 milyar/2018 dan Rp 95 milyar/2019 (Bisnis.com/8/07).

Dari data yang ada, apakah benar fakta biaya penanganan karhutla cendrung juga menurun? Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Benny Monardo menyebutkan biaya untuk
penanganan karhutla di Sumsel, menjelang Asian Games 2018 mencapai Rp. 1 trilyun agar event
tersebut tidak terganggu asap (Suara.com/13/03). Dana sebesar itu menurutnya, jika pencegahan
bencana dilakukan secara efektif dan komprehensif, seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan
masyarakat.

Di sisi lain, upaya rehabilitasi lahan pasca karhutla cendrung minim. Alih-alih rehabilitasi, menurut
Benny Monardo, 80% lahan yang terbakar dipergunakan untuk kepentingan ekonomi khususnya
perkebunan(Kompas/18/9).

Motif Ekonomi dan kerusakan lingkungan sosial

Berkurangnya areal hutan dan berubah menjadi perkebunan, secara ekonomi memberi keuntungan bagi
negara. Pada tahun 2017, Menko Perekonomian, Darmin Nasution menyebutkan bahwa sawit
merupakan andalan dan kebanggaan, karena menghasilkan 75% penerimaan non migas(Kompas,

1
Sustainable Development Specialist.
3/2/2017). Data yang dilansir oleh oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, pada tahun 2017,
total ekspor nasional dari 168,7 milyar dolar US sedang total impor 156,9 milyar dolar US. Surplus yang
diproleh dari neraca tersebut 11, 8 milyar US Dolar. Komoditi sawit sendiri menyumbang 23 milyar US
Dollar. Jika komoditi ini hilang, maka neraca perdagangan RI akan defisit 11,2 millyar US Dollar
(GPKSI,2017).

Dalam sudut pandang lingkungan dan sosial, tanpa harus dikalkulasi, karhutla membawa dampak
negatif. Kerusakan ekosistem hutan serta asap yang ditimbulkannya, berdampak pada kesehatan
mahluk hidup (manusia dan binatang). Di masa lalu dan di beberapa komunitas saat ini, masih
menggunakan cara membakar sebagai upaya land clearing untuk kepentingan berkebun dan bertani.
Namun, skala pembakaran tersebut relatif kecil, karena pada masyarakat tradisi, kesadaran akan
ekosistem cendrung tinggi. Mereka sadar hidup bergantung pada alam hingga memiliki mekanisme
untuk menjaganya.

Cara serupa dilakukan juga oleh korporasi besar. Hanya karena tanpa prespektif dan kesadaran ekologis,
dampaknya tak terkendali. Asap dari karhutla menyasar kepemukiman dan berakibat fatal bagi
kesehatan masyarakat terutama anak-anak kecil. Mereka rentan terserang Infeksi Saluran Pernapasan
(ISPA), asma, paru-paru, jantung dan iritasi mata. Penyakit itu pun sudah terlaporkan menelan korban
jiwa.

Kerugian lainnya adalah kerusakan ekosistem hutan. Indonesia yang kaya dengan keanekaragaman
hayati dan dijuluki “paru-paru dunia” terancam gagal mempertahankan daya dukung alam untuk
kualitas kehidupan.

Indonesia termasuk negara yang serius menindaklanjuti Sustainable Development Goals (SDGs) yang
oleh Perhimpunan Bangsa- Bangsa (PBB) disebut sebagai agenda universal hingga tahun 2030. Presiden
Jokowi sendiri menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 59/2017 tentang Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan. Namun dengan adanya karhutla, dapat dipastikan menghambat upaya pencapaian 17
agenda SDGs, terutama tujuan 15 tentang ekosistem darat, yang secara khusus memandatkan
pengelolaan hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan degradasi lahan serta
menghentikan kehilangan keaneragaman hayati.

Tujuan SDGs lainnya, juga terdampak oleh adanya karhutla yakni: sulitnya upaya penanganan perubahan
iklim, kehidupan sehat dan kesejahteraan, air bersih dan sanitasi, kemiskinan, kesenjangan dan
seterusnya.

Pembusukan Politik

Karhutla, jika dikategorikan sebagai bencana, kejadian ini berulang setiap tahunnya. Tidak dapat
dipungkiri, iklim tropis yang panas pada waktu-waktu tertentu secara alami dapat menimbulkan
bencana kebakaran. Namun, kebakaran tersebut justru mengurangi tanaman invasif dan
menguntungkan bagi tegakan pohon-pohon untuk tumbuh lebih subur. Teori tersebut pernah dijadikan
alasan pemerintah di Amerika Serikat (AS) untuk membiarkan kebakaran hutan yang terjadi di sana.
Hasil justru bertambah parah, kebakaran semakin meluas dan kerugian yang derita semakin besar.
Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay menggunakan ilustrasi peristiwa
karhutla di AS sebagai contoh pembusukan politik (Fukuyama, 2014). Terlalu dalamnya intervensi politisi
ke dalam tubuh U.S. Forest Service (USFS), berakibat kegagalan lembaga tersebut menangani kasus
karhutla di sana.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dugaan motif kepentingan ekonomi politik mengental, karena
banyak pelaku bisnis yang bekerja di wilayah kehutanan, memiliki hubungan yang kuat dengan para
politisi. Mahalnya ongkos politik, memberi kesempatan untuk pengusaha menjadi sponsor bagi politisi
yang hendak duduk di parlemen daerah-pusat, kepala daerah hingga kepala negara. Pemerintah pada
dasarnya telah menunjukkan upaya tegas dengan menindak beberapa korporasi yang terbukti
melakukan land clearing dengan cara pembakaran. Namun, upaya tersebut sering dianggap setengah
hati karena pada kenyataannya lebih banyak yang lolos dari jerat hukum.

Keterkaitan ini, patut untuk diduga menyumbang kesulitan dalam upaya penanggulangan karhutla.
Peristiwa yang berlarut-larut dan berulang ini, disadari akan memberi efek pada pembusukan politik.
Legitimasi terhadap pemerintah akan terus berkurang, mengikuti ketidakmampuan penyelesaian
masalah. Bencana karhutla dapat berubah menjadi bencana politik, dan ini yang mengkhawatir bagi
proses pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai