Anda di halaman 1dari 3

Papua, Bumi Manusia dan Sapiens Millenial

Oleh: Dwi Munthaha1

Harold Macmillan, Perdana Menteri Inggris (1967-1963), suatu kali di awal tahun 1960an, pernah
ditanya oleh wartawan tentang apa hal yang paling dia takuti. Jawabannya mengejutkan, “peristiwa”.
Pertanyaan tersebut terkait dengan situasi politik Inggris saat itu. Ketakutan Macmillan, tentunya
berhubungan dengan peristiwa politik yang tidak terduga dan sulit untuk dicari solusinya (Antonio
Marteli,2014).

Ketidakjelasan peristiwa politik yang akan terjadi, barangkali merupakan ketakutan bagi semua elit
politik. Terlebih lagi bagi elit yang berkuasa, karena akan muncul kosekuensi yang berpengaruh dengan
kekuasaannya. Menurut Antonio Marteli, ketakutan tersebut merupakan sifat manusia yang lumrah,
bayangan akan perubahan selalu membawa semacam rasa takut, sensasi kehilangan yang muncul.

Gejolak yang terjadi di Papua saat ini, tentunya menimbulkan rasa takut bagi para pemimpin negeri ini,
dan bahkan mungkin banyak warga negara Indonesia, Papua maupun non Papua. Ketakutan tersebut
juga dapat berbeda-beda cara pandangnya. Jika derivasinya adalah ekonomi, maka yang terbayang
adalah kehilangan sebuah wilayah yang indah dan kaya sumberdaya alamnya. Namun, jika kehilangan
itu berdasar pada nasionalisme, maka ini dapat menjadi pukulan batin bagi kita sebagai bangsa. Aspek
ekonomi adalah jelas untuk dilihat, bagaimana dengan nasionalisme? Apakah terlihat dengan jelas
ataukah sebuah konsepsi absurd yang digadang-gadang oleh elit politik yang bertujuan untuk
melanggengkan kekuasaannya?

Di Papua, sejarah kekuasaan tidak dirasakan ramah oleh warganya. Sejak ekspansi kolonialisme
menyerbu belahan dunia, Papua hanyalah objek eksploitasi dan penindasan. Anggapan primitivitas
terhadap orang-orang Papua mengentalkan sikap rasis yang berkepanjangan. Sikap ini, kendati pun tidak
terpuji, namun virusnya bersemanyam di kepala setiap manusia yang merasa lebih berpengetahuan dan
modern.

Sejarah ras melanesia sendiri, punya catatan panjang hidup dalam penindasan. Semangat liberalismelah
yang kemudian mengkritisi sikap dan perilaku tersebut. Namun di sisi lain, liberalisme juga merawatnya
dengan nilai-nilai kebebasan, hak milik dan berujung pada akumulasi kapital. Kontradiksi nilai-nilai inilah
yang membuat penindasan manusia terhadap manusia lain akan terus terjadi.

Bumi tanpa Manusia

Dalam sebuah diskusi tentang buku dan film Bumi Manusia (28/08) di Pusat Dokumentasi Politik Guntur
49, Bambang Isti Nugroho, aktivis yang di masa Orde Baru ditahan selama 8,5 tahun akibat
mengedarkan buku itu, menyebutkan bahwa isi buku karya Pramoedya Ananta Toer mengisahkan
tentang sistem dan struktur. Meski pun sistem ciptaan manusia, tapi seringkali konsekuensi dari sistem

1
Sustainable Development Specialist. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta.
dalam konteks kekuasaan, memposisikan manusia sebagai objek yang dieksplotasi dan ditindas.
Penindasaan ini dilatarbelakangi oleh modernitas, semakin modern semakin eksploitatif, semakin
menindas dan rasisme ikut di dalamnya .

Bangsa-bangsa kolonial memberlakukan hal tersebut pada negeri-negeri jajahannya. Wilayah Nusantara
yang termasuk di dalamnya Papua, mengalaminya. Papua lebih tragis lagi, pasca kemerdekaan lepas dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda, tidak menyurutkan penindasan yang mereka terima. Justifikasi
kemanusiaan, membangun peradaban yang lebih maju, tidak mampu berkompromi dengan perilaku elit
nasional di masa lalu dan masih tersisa hingga saat ini, yang justru berpikiran primitif. Sumberdaya
alam Papua yang kaya mampu memaksa munculnya sikap primitif manusia yang serakah. Atas dasar
itulah kekerasan di muka bumi ini sulit untuk dihapuskan. Bukan hanya di Papua, situasi ini juga terjadi
di Irak, Syria, Sudan, Afganistan, Palestina dan beberapa wilayah konflik lainnya. Keserakahan manusia
inilah yang digaribawahi oleh Bambang Isti sebagai bumi manusia tanpa kemanusiaan.

Sapiens Millenial

Laju modernitas telah sampai pada masa puncak dari perkembangan teknologi. Revolusi pengetahuan
telah memasuki wilayah utama yakni manusia itu sendiri. Teknologi telah mengarah pada penciptaan
manusia bukan hanya semata rekayasa sosial yang seperti selama ini terjadi, bahkan sampai pada aspek
pembentukan biologis. Bioteknologi diramalkan akan membentuk masa depan manusia sesuai
kebutuhan dan selera yang diinginkan. Aspek emosional yang dulunya dianggap tidak dimiliki oleh robot
atau mesin-mesin komputer, disempurnakan oleh Infoteknologi berupa Bigdata, yang memiliki
kesempurnaan merekam algoritma emosi manusia yang terhubung dengan komputer. Kita tentu saja
dapat berkilah, bahwa tidak semua umat manusia menggunakannya. Namun, kelompok tersebut akan
menjadi useless people (Yuval Noah Harari,2018).

Penggolongan useless people ini mengkonfirmasi sikap rasisme dalam peradaban modern. Harari yang
sedang membangun diskursus peradaban manusia dari masa purba hingga sekarang, mencoba
menunjukkan bagaimana perkembangan sapiens millenial yang berevolusi meninggalkan saudara-
saudara primata lainnya untuk menguasai bumi. Penguasaan ini, kemudian berlanjut diantara sapiens,
yang menyisakan ketertinggalan peradaban pada kelompok sapiens tertentu.

Saat Indonesia merdeka sebagai sebuah negara, Sukarno berkehendak melanjutkannya sebagai sebuah
bangsa. Refleksi atas penindasan kolonial, dijadikannya dasar untuk mewujudkan hal tersebut. Namun,
Sukarno punya kesadaran pula tentang realitas pluralisme yang ada di Indonesia. Sayangnya
eksperimentasinya membangun national character justru dilanjutkan oleh rezim setelahnya, dengan
menggunakan nilai-nilai kolonial yang dia tolak.

Sukarno telah memberi acuan bernegara dan berkebangsaan dengan gagasan Trisakti: Berdaulat dalam
politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Hanya saja penafsiran hingga
pelaksanaannya selalu terintervensi oleh kekepentingan global yang lebih berkuasa.

Demokratisasi yang saat ini sedang dituju, masih menyisakan sederet permasalahan yang panjang.
Provinsi Papua dan Papua Barat dalam 5 tahun terakhir dipacu dengan berbagai pembangunan
infrastruktur dan ekonomi. Lalu, baru saja terjadi peristiwa konstitusional yakni Pileg dan Pilpres.
Dalam Pilpres 2019 yang lalu, di Provinsi Papua Barat tinggat partisipasi pemilih mencapai 88%. Sedang
di Provinsi Papua sendiri angkanya lebih besar lagi bahkan mengungguli provinsi lain di Indonesia;
94,23%. Pasangan Jokowi-Ma’ruf memperoleh kemenangan telak di kedua provinsi tersebut di atas 90%.
Artinya, belum lama berselang, aspirasi politik mayoritas masyarakat Papua sudah disalurkan secara
konstitusional melalui pemilu. Sementara, presiden terpilih belum dilantik untuk periode selanjutnya.

Dengan adanya tuntutan referendum dan selentingan kemerdekaan yang terus bergaung, harusnya
perlu dikaji lebih jauh, seberapa berpengaruhnya kerja-kerja Presiden Jokowi dan hasil pilpres 2019
dengan harapan rakyat Papua. Memahami budaya dan aspek kesejarahan menjadi penting bagi
pemerintah untuk menentukan strategi pembangunan, sebelum melakukan tindakan kerja
pembangunan (developmentalism).

Anda mungkin juga menyukai