Anda di halaman 1dari 4

Rasionalisasi Perubahan Periodisasi Jabatan Presiden

Oleh: Dwi Munthaha*

Wacana perubahan konstitusi yang memasukkan di dalamnya revisi perubahan masa jabatan presiden,
kembali mencuri perhatian publik. Isu ini dipicu oleh pernyataan Amien Rais setelah pertemuannya
dengan Presiden Joko Widodo di istana. Tentu ini cukup mengherankan, karena pertemuan tersebut
tidak membahas tentang periodisasi jabatan presiden. Banyak kalangan kemudian menilai ini
merupakan manuver politik dari Amien Rais yang baru saja mendeklarasikan partai baru, setelah
terpental dari Partai Amanat Nasional yang dulu didirikannya.

Namun begitu, wacana penambahan masa kekuasaan presiden bukan kali pertama ini muncul. Di akhir
tahun 2019, seorang ketua umum partai koalisi pendukung pemerintah, menyatakan dukungannya dan
meminta perhatian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk mendengarkan aspirasi rakyat
terkait dengan adanya wacana tersebut. Saat itu, Presiden Joko Widodo menampik tegas wacana itu,
dan merasa ada upaya untuk menjerumuskannya dalam kekuasaan. Saat ini, wacana itu bergulir lagi,
dan sekali lagi Jokowi menolaknya dan menyatakan tidak memiliki keinginan dan sedang fokus
menghadapi pandemi Covid-19.

Meski Jokowi sudah menyatakan sikapnya, wacana ini terlanjur menggelinding di ruang publik. Pro
kontra darinya dapat dipastikan akan mempengaruhi pemikiran publik dan memungkinkan berlanjut
dalam agenda politik formal. Opini-opini pun mulai berseliweran di ruang publik yang digencarkan oleh
buzzer-buzzer politik, baik yang menolak maupun yang menerimanya. Para pengamat juga meramaikan
isu ini dengan berbagai pernyataan yang diametral. Ada yang yang beranggapan, penambahan masa
jabatan merupakan pelanggaran konstitusi dan demokratisasi. Ada pula yang menyanggahnya, konstitusi
bukalah kitab suci yang perlu dipertahankan, tapi terbuka untuk berubah berdasarkan fakta-fakta
obyektif yang mengharuskannya berubah.

Perubahan Konstitusi

Syarat utama untuk menambah masa jabatan presiden adalah dengan mengubah konstitusi Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945. Pengalaman tidak dibatasinya masa jabatan presiden, di masa lalu hingga
usia ke 43 tahun kemerdekaan, Indonesia hanya memiliki dua orang presiden. Soekarno sejak Indonesia
merdeka, menjabat sebagai presiden selama 21 tahun di era orde lama (Orla) dan Soeharto berkuasa 32
tahun semasa orde baru (Orba). Tentu ada alasan mengapa kedua presiden terdahulu itu berkuasa
dalam waktu yang panjang. Di masa Soekarno, gangguan terhadap kedaulatan Indonesia dijadikan
alasan utama untuk bertahan di jabatan itu. Selain itu, beberapa kali eksperimen ketatanegaraan
menimbulkan ketegangan politik dalam negeri, hingga dibutuhkan simbol pemersatu yang relatif dapat
diterima semua golongan. Konteks yang berbeda dialami pada masa kekuasaan Soeharto. Stabilitas
politik untuk menjalankan pembangunan menjadi alasan Soeharto berkuasa. Atas nama stabilitas itu
pula tindakan represif-otoritarian dijalankan, hingga memasung kebebasan warga negara untuk bersikap
**
kritis terhadap pemerintah. Pada akhirnya kedua presiden tersebut, dilengserkan melalui peristiwa
politik yang memakan korban jiwa. Aksi-aksi massa merebak dan memaksa keduanya mundur dari
panggung kekuasaan.

Untuk tidak mengulang masa kekuasaan presiden yang panjang, UUD 1945 diamandemen yang
pertama kalinya dilakukan pada tahun 1999 dengan memasukkan pasal 7 tentang masa jabatan presiden
dan wakil presiden yang hanya dapat dipilih sebanyak dua kali. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2002
telah tejadi empat kali amandemen UUD 1945. Jika mencermati sebagian besar isi amandemen, ada
kecenderungan memperkuat porsi kekuasaan parlemen. Jadilah sistem presidensial beraroma
parlementer .

Presiden di era reformasi kemudian dituntut memiliki kemampuan mengkonsolidasikan kepentingannya


bersama parlemen. Presiden Habibie dan Abdurahman Wahid, tergolong gagal melakukannya, hingga
keduanya berhenti akibat manuver politik parlemen. Demikian juga dengan Presiden Megawati, meski
berhasil menyelesaikan periode kekuasaan hingga akhir masa jabatannya, harmoni hubungannya
dengan parlemen berakhir di akhir-akhir masa kekuasaannya. Hal itu ditunjukkan dengan sedikitnya
dukungan partai politik saat kontestasi pemilihan presiden langsung di tahun 2004.

Pemilihan presiden langsung juga merupakan hasil amandemen UUD 1945. Pemilihan dengan cara
tersebut hingga kini telah menghasilkan dua orang presiden, yakni: Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dan Presiden Jokowi. Keduanya mampu terpilih dua kali berturut-turut sebagai
presiden. Kemampuan mereka untuk bertahan, tak lepas dari kepiawaiannya menjalin hubungan dengan
parlemen. Terlebih Jokowi, yang memulai dari dukungan parlemen yang rendah di awal-awal
kekuasaannya, menjadi dominan di pertengahan periode pertama hingga periode keduanya ini.

Dominasi pendukung pemerintahan Presiden Jokowi inilah yang kemudian membuka peluang bagi
dirinya untuk memperpanjang masa kekuasaannya. Syarat untuk mengubah konstitusi yang termaktub
pada pasal 37 UUD 1945, bukan sesuatu yang sulit untuk dipenuhi dengan mempertimbangkan kostelasi
kekuasaan saat ini. Keputusan amandemen konstitusi, dapat terjadi di sidang MPR. Sidang MPR sendiri
dilakukan dilakukan sedikitnya sekali dalam lima tahun, hingga memungkinkan adanya sidang MPR
dengan pembahasan secara khusus tentang perubahan konstitusi. Artinya, perubahan konstitusi
merupakan tindakan konstitusional asalkan memenuhi persyaratan diwajibkan.

Preseden Masa Jabatan Presiden

Penambahan masa jabatan presiden, bukan semata isu yang terjadi di Indonesia. Bahkan di luar negeri,
negara seperti Bolivia dan Rusia dalam waktu yang belum begitu lama, terjadi perubahan konstitusi yang
mengatur tentang penambahan masa jabatan presiden. Namun demikian ada konsekuensi yang
berbeda di kedua negara tersebut. Evo Morales, saat menjabat presiden di Bolivia, berhasil mengubah
konstitusi dan memungkinkan dirinya mencalonkan diri sebagai presiden setelah melampaui dua
periode. Dengan berbagai kritik yang keras, Morales kembali terpilih melalui pemilu sebagai presiden
hingga periode keempat. Keterpilihannya itu sontak menimbulkan gelombang demonstrasi karena
dianggap melakukan kecurangan dan manipulasi. Aksi-aksi massa oposisi yang dipimpin oleh Carlos
Mesa, mantan presiden Bolivia yang dituntut mundur pada tahun 2005, berhasil mendapatkan
dukungan polisi dan tentara yang akhirnya memaksa mundur Morales.

Morales bukanlah tidak memiliki massa yang siap melakukan aksi-aksi militan. Dia mengawali karirnya
sebagai pemimpin gerakan petani yang akhirnya menjadi gerakan politik yang dinamakan Movimiento
of Socialismo (MAS). Gerakan ini berhasil membuat Morales terpilih secara demokratis sebagai presiden
dari suku Indian pertama sejak Bolivia merdeka di tahun 1825. Saat menjadi presiden, Morales
mengubah orientasi pembangunan negara dan hubungan internasionalnya. Dengan tegas, Morales
menyatakan Bolivia sebagai negara sosialis dan mulai mengusik kepentingan ekonomi global yang
bekerja di negaranya. Nasionalisasi perusahan-perusahaan tambang asing (Amerika Serikat)
dilakukannya, agar semakin maksimal untuk kepentingan rakyat. Simbol-simbol gaya hidup dari AS, tidak
mendapatkan tempat, karena larangan peredaran minuman Coca Cola dan gerai restoran cepat saji Mc
Donald.

Selama menjabat Morales menorehkan prestasi yang cukup signifikan. Pada tahun 2018, di saat
pertumbuhan rata-rata di Amerika Selatan berada di angka 0,7 hingga 1, 5 %, Bolivia mampu berada di
angka 4,5%. Dari data Centre for Economic and Policy Research (CEPR), Morales juga mampu
menurunkan angka kemiskinan hingga 25% dan kemiskinan ektrem 45%. Prestasi itu ternyata tidak
cukup menjadi alasan baginya untuk tetap bertahan sebagai presiden dalam waktu yang lama.
Gangguan dari kepentingan ekonomi global berhasil melucuti kekuasaan Morales dan membuatnya
terpaksa hengkang dari negaranya.

Berbeda dengan Rusia, Vladimir Putin berpeluang memperpanjang masa jabatannya. Setelah mengawali
kekuasaan sebagai perdana menteri ditahun 1999, Putin menjadi presiden untuk dua periode berselang
seling dengan jabatan Perdana Menteri. Perubahan konstitusi Rusia yang dilakukan dengan cara
referendum memberi membuka jalan bagi Putin untuk menambah masa kekuasaanya sebanyak dua
periode lagi sebagai presiden yang akan berakhir di tahun 2024. Artinya, jalan bagi Putin untuk berkuasa
hingga tahun 2036 menjadi terbuka.

Putin dianggap sebagai sosok yang berhasil membangkitkan Rusia dari keterpurukkan setelah bubarnya
negara Uni Soviet. Marwah rakyat Rusia yang pernah menjadi negara besar dan bersaing dengan AS,
membuat dukungan terhadap Putin menguat. Prestasi inilah yang membuat Putin mampu meneruskan
masa kekuasaannya.

Dalam konteks Indonesia, hampir tidak ada alasan yang jelas untuk memperpanjang masa kekuasaan
presiden. Namun demikian wacana tersebut sangat memungkinkan terealisasi. Sekali pun Presiden
Jokowi sudah menyatakan menolak, sikap yang sama juga pernah disampaikannya saat masih menjabat
Gubernur DKI Jakarta. Baru dua tahun menjabat, dia menyatakan tidak terpikir untuk menjadi presiden
dan berkomitmen membenahi Jakarta. Survei calon presiden 2014 kala itu, menempatkan Jokowi di
posisi tertinggi dan mendorong elit partai politik menugaskan Jokowi sebagai calon presiden. Sebagai
kader partai, Jokowi pada akhirnya menerima penugasan itu. Alasan yang disampaikannya saat itu, lebih
mudah membenahi masalah Jakarta jika dirinya menjadi presiden. Hingga saat ini, Jakarta masih
mengalami masalah yang sama, meski Jokowi sudah terpilih sebagai presiden dua periode.

Anda mungkin juga menyukai