Anda di halaman 1dari 4

CRITICAL REVIEW

JUDUL BUKU : Classical Sociological Theory


PENULIS : Craig Calhoun, et.al
PENERBIT : Routledge dan Blackwell Publishing
FOKUS : Chapter 16 (Basic Sosiological Terms)
NAMA : Dwi Munthaha
NPM : 18011865034
Jurusan : Magister Ilmu Politik Universitas Nasional
Dosen : Dr. Aris Munandar

Konsep-konsep Dasar Sosiologi

1 Definisi Sosiologi dan Aksi Sosial

Sosiologi (dalam arti di mana kata yang sangat ambigu ini digunakan di sini) adalah ilmu yang secara
interpretatif perilaku sosial untuk samapai pada penjelasan sebab akibat dan konsekuensinya. Kita akan
berbicara tentang "perilaku" sejauh individu bertindak melekatkan makna subjektif pada perilakunya,
baik itu terang-terangan atau terselubung, kelalaian atau persetujuan. Perilaku bermakna “sosial" ketika
makna subyektifnya memperhitungkan perilaku orang lain dan dengan demikian berorientasi pada
jalannya.

A. Dasar Metode

Ada 2 macam makna: 1) makna yang sebenarnya ada dalam kasus nyata yang diberikan aktor tertentu,
atau rata-rata atau perkiraan makna yang dikaitkan dengan sejumlah aktor tertentu; dan 2) secara
teoritis mengandung jenis makna subjektif murni yang dikaitkan dengan aktor hipotetis dalam jenis
tindakan tertentu (seperti jenis ideal).

Garis antara tindakan yang bermakna dan perilaku reaktif tanpa makna subyektif kabur. Dasar untuk
memahami makna bisa rasional (logis atau matematis - pemahaman intelektual yang jelas tentang hal-
hal) atau emosional yang empatik atau apresiatif artistik (meskipun partisipasi simpatik kita memahami
konteks emosional di mana tindakan berlangsung).

Untuk keperluan analisis tipe ideal, lebih mudah untuk memperlakukan tindakan irasional (dari sudut
pandang pengejaran rasional atas tujuan tertentu) sebagai penyimpangan dari jenis tindakan rasional
murni konseptual. Kami membandingkan jenis yang jelas secara analitis ini dengan realitas empiris, dan
itu meningkatkan pemahaman kami tentang bagaimana sebenarnya tindakan dipengaruhi oleh faktor-
faktor irasional. Semakin tajam dan tepat tipe ideal (dan dengan demikian semakin abstrak dan tidak
realistis) semakin berguna dalam memperjelas terminologi dan merumuskan klasifikasi dan hipotesis.
Beberapa fenomena tidak memiliki makna subyektif. Apa yang dapat dipahami tentang suatu objek
adalah hubungannya dengan tindakan manusia dalam perannya baik dari sarana atau tujuan, suatu
hubungan yang para aktor dapat dikatakan sadari dan yang berorientasi pada tindakan mereka. Jika Anda
tidak dapat membuat hubungan ini (misalnya keadaan yang menghalangi atau menguntungkan) itu tidak
berarti dalam arti kami peduli.

Ada 2 jenis pemahaman:

1) pemahaman pengamatan langsung tentang rata-rata subjektif dari tindakan yang diberikan (misalnya,
jika saya mulai berteriak pada Anda, Anda bisa langsung mengamati reaksi emosional irasional saya
berdasarkan berteriak saya).

2) pemahaman jelas: kita memahami motif, atau, apa yang membuat seseorang melakukan hal tertentu
dalam keadaan tertentu. Karena kita tertarik pada makna tindakan yang subyektif, kita harus
menempatkan suatu tindakan di dalam kompleks makna tempat tindakan itu terjadi.

Motif adalah suatu komplek dari makna subyektif yang bagi aktor dan / atau si pengamat merupakan
dasar yang memadai untuk perilaku tersebut.

Dalam kebanyakan kasus, tindakan aktual berlangsung dalam keadaan setengah kesadaran yang tidak
jelas atau sebenarnya tidak sadar akan makna subjektifnya. Jenis makna yang ideal adalah ketika makna
sepenuhnya sadar dan eksplisit: ini jarang terjadi dalam kenyataan.

Kecukupan pada tingkat makna: interpretasi subyektif dari tindakan yang koheren ketika bagian-bagian
komponennya dalam hubungan timbal baliknya diakui sebagai kompleks makna 'tipikal'. Misalnya,
menurut norma perhitungan dan pemikiran kita saat ini, solusi yang tepat untuk masalah aritmatika.

Kecukupan kasual: ada kemungkinan itu akan selalu benar-benar terjadi dengan cara yang sama.
Misalnya, probabilitas statistik, menurut generalisasi terverifikasi dari pengalaman, bahwa akan ada
solusi yang benar atau salah untuk masalah aritmatik. Tergantung pada kemampuan untuk menentukan
bahwa ada kemungkinan "a" akan mengikuti "b".

Tindakan yang dapat dipahami secara subyektif ada hanya sebagai perilaku satu atau lebih manusia
secara individu.

Negara, misalnya, adalah hasil dari tindakan khusus orang per orang. Tidak ada kepribadian kolektif yang
bertindak seperti itu. Konsep-konsep entitas kolektif ini memiliki makna di benak individu-individu, dan
dengan demikian para aktor mengarahkan tindakan mereka kepada mereka seolah-olah mereka ada atau
seharusnya ada.

Analisis fungsional adalah titik awal yang baik untuk sosiologi. Kita perlu tahu jenis tindakan apa yang
secara fungsional diperlukan untuk bertahan hidup, dan juga untuk pemeliharaan tipe budaya dan mode
aksi sosial yang sesuai. Kami tertarik, bagaimanapun, dalam makna subjektif dari tindakan untuk
komponen individu. Maka pertanyaan yang menarik adalah motif apa yang menentukan dan
mengarahkan anggota individu dan partisipan dalam situasi ini untuk berperilaku sedemikian rupa
sehingga situasinya muncul.

B. Perilaku Sosial

Perilaku sosial dapat berupa berorientasi pada masa lampau, saat sekarang atau perilaku di masa datang
dari orang-orang lain. Oleh karenanya hal itu mungkin disebabkan karena adanya rasa dendam di masa
lalu, pertahanan atas bahaya yang mengancam saat sekarang dan masa depan. Orang-orang atau pihak
lain yang dimaksud, dapat saja orang-orang yang dikenal atau pun tidak, atau suatu kuantitas tertentu
misalnya sejumlah uang.

Tidak semua perilaku bersifat sosial: jika tidak berorientasi pada perilaku orang lain, itu bukan sosial.
Juga, itu bukan hanya perilaku yang diikuti oleh sekelompok orang (aksi orang banyak) atau perilaku yang
dipengaruhi atau meniru orang lain. Perilaku dapat ditentukan secara kausal oleh perilaku orang lain,
sementara masih belum ditentukan secara bermakna oleh tindakan orang lain.

2. Tipe Perilaku Sosial

Perilaku sosial, seperti semua perilaku, dapat berorientasi dalam empat cara, yakni:

1) rasional instrumental (zweckrational), yaitu, ditentukan oleh harapan mengenai perilaku objek di
lingkungan dan manusia lainnya; harapan-harapan ini digunakan sebagai "syarat" atau "sarana" untuk
pencapaian tujuan yang dikejar dan dihitung sendiri oleh aktor;

2) nilai-rasional (wertrasional), yaitu, ditentukan oleh keyakinan yang sadar akan nilai demi
kepentingannya sendiri dari beberapa perilaku etis, estetika, agama, atau bentuk lainnya, terlepas dari
prospek keberhasilannya;

3) afektif (terutama emosional), yaitu, ditentukan oleh kondisi spesifik yang mempengaruhi dan
perasaan aktor;

4) tradisional, yaitu, ditentukan oleh habituasi yang mendarah daging.

Perilaku tradisional dalam arti sempit sebagaimana tipe imitasi, terletak diperbatasan atau kadang-
kadang melintasi perilaku berorientasi yang memiliki arti. Kadang-kdang itu hanya suatu reaksi
sederhana yang spontan, yang sebenarnya merupakakan dorongan biasa yang mengarah pada tindakan
rutin yang dikerjakan sehari -hari. Namun, karena terjadi atas dasar kesadaran, perilaku tersebut
diklasifikasikan memiliki nilai.

Perilaku Afektif, kadang-kadang juga melintasi batas perilaku yang dianggap berorientasi dan memiliki
nilai. Itu bisa terjadi karena rekasi lepas dari dorongan luar biasa. Gejala ini merupakan sublimasi, yakni
perilaku afektif terwujud dalam bentuk pelepasan rasional dari ketegangan-ketengan emosional.
Perilaku yang berkaitan dengan nilai berbeda dengan perilaku afektif. Dasar perbedaannya adalah
formulasi yang sadar terhadap nilai-nilai yang menguasai perilaku itu dan orientasi yang terencana dan
konsisten pada nilai-nilai tersebut. Namun kedua perilaku tersebut memiliki kesamaan, yakni bukan pada
tujuan namun keterlibatan tindakan tertentu. Perilaku yang memiliki dasar afektif, merupakan perilaku
yang menuntut pemenuhan kebutuhan seketika terhadap dorongan tertentu dengan tujuan untuk balas
dendam, bersikap pasrah terhadap orang lain dan juga untuk menyalurkan ketegangan.

Perilaku Rasional tergolong dalam jenis berioentasi pada tujuan dengan memperhitungkan tujuan,
sarana dan akibat-akibat sekundernya. Perilaku ini mempertimbangkan pilihan-pilihan yang tersedia,
hubungan antara tujuan dan kemungkinan mempergunakan sarana lain, serta kepentingan relatif dari
berbagai tujuan yang mungkin dapat dicapai.

Perilaku yang berorientasi pada nilai dapat dikaitkan dengan perilaku yang berorientasi pada tujuan
dengan berbagai cara. Perilaku yang berorientasi pada nilai memerlukan irrasionalitas yang lebih
banyak, jika nilai-nilai sifatnya semakin mutlak. Hal ini karena semakin tinggi taraf pasrah, semakin
kurang pertimbangan terhadap sebab akibat.

Jarang sekali terjadi, perilaku terutama perilaku sosial yang hanya mempunyai orientasi tunggal. Tipe-
tipe bentuk perilaku tersebut tidak bersifat tuntas. Klasifikasi tersebut dikemukakan untuk mendapatkan
tipe-tipe bentuk murni secara konseptual yang penting untuk sosiologi.

Referensi

Craig Calhoun, et.al (eds). 2010. Classical Sociological Theory. Blackwell Publishing

Anda mungkin juga menyukai