Anda di halaman 1dari 3

COVID-19, Angsa Abu-Abu dan Paradigma Pembangunan

Oleh : Dwi Munthaha1

Kemunculan pandemi Covid-19, oleh sebagian kalangan disebut sebagai fenomena Angsa Hitam.
Spesies ini dipopulerkan kembali oleh Nassim Nicholas Taleb (2007), untuk memahami berbagai
peristiwa yang tidak terduga. Taleb menuliskan fenomena angsa hitam berupa peristiwa dengan 3 sifat,
yaitu: peristiwa di luar kelaziman dan belum pernah terjadi di masa lalu; berdampak ekstrim; dan baru
dapat dijelaskan setelah perisitiwa tersebut terjadi. Sebelumnya, Karl Popper menuliskan fenomena
angsa hitam sebagai falsifikasi, penyangkalan atas kebenaran pengetahuan yang hanya mengacu pada
empirisme dan rasionalisme. Popper (1945) mengenalkan rasionalisme kritis, mengkritisi pemahaman
rasionalisme dan empirisme yang berabad-abad dianut oleh para intelektual. Tidak ada epistemologi
tunggal, karena teori pengetahuan tidak bisa menjadi dogma yang berlaku sepanjang zaman.

Dahulu, orang (Eropa) hanya mengenal angsa berwarna putih. Angsa hitam sebagai fakta sempat
ditolak, karena beratus abad orang hanya mengenal angsa putih. Tapi apakah angsa hitam belum ada
saat itu? Bagi Suku Aborigin, penduduk asli Benua Australia, angsa hitam sudah ada sejak lama. Namun,
Aborigin hanyalah suku pribumi yang dianggap primitif dan populasi terus berkurang sejak tanah mereka
dikuasai oleh bangsa Eropa. Angsa hitam adalah bagian dari keseharian hidup mereka. Tidak ada
pentingnya untuk menyampaikannya ke dunia luar.

Pandemi bukanlah hal yang baru. Di masa lalu benua Eropa pernah diserang wabah yang dikenal dengan
istilah Black Death. Perisitiwa itu terjadi antara tahun 1347 dan 1351 yang mengakibat 1 dari 3 orang di
Benua Eropa menemui kematiannya (Ball, 2015). Namun efek lain yang muncul, terbuka peluang
melonggarnya struktur sosial abad pertengahan yang kaku. Dari sana muncul pemikiran-pemikiran kritis
yang mulai mengganggu dominasi kekuasaan gereja dan raja-raja hingga puncaknya adalah reformasi di
tahun 1517. Gerakan ini menguat dan tidak terduga perkembangannya. Marthin Luther bersolo aksi
memprotes kewenangan gereja yang absolut. Namun, yang terjadi diluar dugaannya, muncul gerakan
anti gereja yang menjadi cikal bakal atheisme dan sekularisme serta menyemai paham liberalisme. Apa
yang dilakukan oleh Luther dapat dianggap sebagai fenemona angsa hitam. Kebenaran atas konformitas
terhadap agama, tersubversi dengan rasionalisme yang membebaskan bangsa Eropa dari nilai-nilai
tersebut. Kebebasan individu menjadi narasi utama untuk perkembangan apapun demi terciptanya
peradaban baru.

Bukan Hitam tapi Abu-abu

Para intelektual memiliki kecendrungan untuk meramal masa depan. Lebih jauh lagi, banyak proyek
penelitian bukan hanya bersifat memprediksi tapi mengarah pada kepastian. Sekilas nuansa
keilmiahannya begitu kuat, tapi pada kenyataannya ia tidak bebas dari nilai dan norma, bahkan
mengabaikan etika. Disinyalir dari berbagai catatan literatur, banyak penelitian sejak masa renesains
dan puncaknya pasca perang Dunia II, yang didukung oleh kepentingan kekuasaan dan industri.
Semuanya punya target memprediksi masa depan dengan varian tema yang bermacam-macam. Karena

1
.
berorientasi pada target, angsa hitam tidak terpikirkan hingga kemunculannya merusak ramalan para
intelektual.

Pasca Perang Dunia II, banyak kalangan yang tidak menginginkan serial perang berikutnya. Tapi pada
kenyataannya, kecendrungan memelihara semangat perang tetap dilakukan. Perang dunia berganti
dengan perang dingin (komunisme vs kapitalisme) dan berlanjut dengan perang dagang. Perang
termutakhir adalah perang dagang (penguasaan ekonomi) yang justru melahirkan lebih banyak korban.
Anehnya, korban perang ini mampu menikmati penderitaan (masokisme). Korban, bahkan terhalusinasi
sebagai pelaku sekaligus pemenang. Contohnya, sebagian besar orang miskin secara sukarela
menambah kemiskinannya dengan mengkonsumsi produk-produk industri milik segelintir kaum kaya
yang sering disebut kapitalis dan juga oligark. Dari sana terciptalah model masokisme politik-ekonomi
dan masokisme sosial-budaya.

Apakah Covid-19 merupakan angsa hitam? Jika mengacu pada pemikiran Taleb, peristiwa pandemik
bukanlah baru. Dia tak layak disebut sebagai angsa hitam, tetapi kita sebut saja angsa abu-abu. Angsa
abu-abu bukan sesuatu yang tidak terpikirkan, tetapi kita ketahui namun diabaikan.

Retrospeksi Masa Depan

Walau diakui, bahwa liberalisme mampu mendinamisasi perkembangan manusia dan memunculkan
peradaban baru, tapi peradaban itu sendiri menghasilkan kecacatan sosial dan ekologis. Kaum Marxis
yang berusaha melakukan perlawanan terhadapnya, juga mengalami kebuntuan karena gagalnya
kesadaran kolektif terbangun untuk melakukan perubahan. Semangat perlawanan kelas direduksir
dengan bias kelas itu sendiri. Pemikiran ini tidak berkembang dengan bubarnya negara-negara yang
menganut paham ini. Termasuk juga China yang muncul sebagai raksasa ekonomi dunia, harus
mengubah ideologinya ke luar, dengan menjalankan konsep kapitalisme. Maka tak heran, ketika Francis
Fukuyama (1992) menyatakan The End of History, liberalisme telah menang.

Pemikiran liberalisme yang menekankan pada kebebasan individu, urung memberi ruang sama bagi
manusia untuk berkompetisi. Kredo pursuit of happines (mengejar kebahagian), justru membuat
penderitaan bagi kaum-kaum yang kalah. Yuval Noah Harari menyebut terciptanya useless people
karena tidak mampu beradaptasi dengan liberalisme (Harari, 2017). Jumlahnya sangat besar, namun
tertutup dengan realitas perkembangan teknologi dan modernisasi. Paham ini memang bebas nilai,
kecuali nilai liberalisme itu sendiri. John Locke (1632-1704) yang dianggap sebagai pelopor paham ini
dan sangat dipuja dalam sejarah Amerika Serikat, pada kenyataannya pemilik saham dari perusahaan
perdagangan budak, demikian pula beberapa founding fathers AS, yang memiliki dan berskandal
dengan budak (Ball, 2015).

Disadari atau pun tidak, aktivitas yang menggerogoti masa depan bumi akan terus dilakukan. Target
yang dikejar adalah pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan kelestarian alam dan hak asasi
manusia. Ironinya pilihan itu diambil dianggap mampu menyelamatkan perekonomian dan demi
kesejahteraan manusia. Pertanyaannya, mengapa tingkat kemiskinan masih begitu tinggi, pun jumlah
orang kelaparan dan tingkat kesenjangan? Jika memahami, bahwa dunia saat ini dalam genggaman
sistem oligarki, di mana segelintir oligark dunia menguasai hajat hidup milyaran penduduk bumi, maka
sudah jelas, bahwa kegemingan untuk mempertahankan sistem ekonomi sekarang adalah demi
kepentingan mereka.

Di era 4.0 yang memukau ini, banyak orang berlomba-lomba menghabiskan energi karena kesenangan,
ketidaktahuan atau malas untuk memikirkannya. Akibat darinya, sumberdaya alam semakin keropos.
Andre Gorz (1980) mensinyalir, bahwa eksploitasi alam dan industrialisasi menyebabkan munculnya
virus-virus penyakit baru karena rusaknya ekosistem. Bencana-bencana alam dan non alam seperti
halnya pandemi Covid-19 adalah bentuk konfirmasi.

Kaum intelektual dituntut melakukan penelitian serius untuk ini, bukan hanya menemukan vaksin dan
obat yang pada akhirnya akan dikapitalisasi oleh industri. Memajukan industri dengan dalih
kepentingan manusia, telah teruji gagal menjamin rasa aman bagi manusia. Alih-alih kesejahteraan,
banyak manusia yang terjebak dalam kemiskinan, kelaparan dan penyakit-penyakit yang mematikan.
Diperlukan tindakan kritis dari situasi krisis. Upaya penyelamatan memang diperlukan, namun
pemahaman krisis harus disepakati untuk merancang masa depan. Jika krisis dianggap hanya karena
negara tidak mampu menjalankan proyek pertumbuhan ekonomi, maka yang akan dilakukan tidak jauh
dari cara memulihkannya. Masalah klasik apakah pertumbuhan tersebut juga menghadirkan
kesejahteraan sosial dan keamanan lingkungan, diabaikan. Paradigma pembangunan, harus berubah,
bukan semata distribution of wealth yang manipulatif, tetapi equity of wealth yang lebih
mempertimbangan aspek keadilan dan kelestarian lingkungan. Untuk itulah kekuasaan politik dari
negara perlu hadir, memperbaiki berbagai kesalahahan-kesalahan di masa lalu bukan justru
meneruskannya keterperangkapan dalam jebakan rezim ekonomi global.

Anda mungkin juga menyukai