Anda di halaman 1dari 3

Desa adalah Masa Depan Manusia

Oleh: Dwi Munthaha1

Menarik untuk menyimak pernyataan Walikota London, Boris Johnson saat berkunjung ke Jakarta.
Disebutnya kota sebagai masa depan dunia. Kota-kota akan menjadi tempat umat manusia tinggal
dan hidup, serta jumlah mereka akan semakin besar (Kompas, 1/12/14). Sepintas tak ada yang salah
dari pernyataan tersebut, karena terucap dari seorang walikota, terlebih kota yang dipimpinnya
adalah ibukota Kerajaan Inggris nan maju. Namun untuk Indonesia yang memiliki 81.248 desa,
pernyataan tersebut perlu dicermati, apakah sesuai dan membantu kita merumuskan masa depan
yang tepat dalam konteks kewilayahan?

Desa hingga saat ini masih dianggap sebagai wilayah yang stigmatif dari standar modernitas. Segala
keterbelakangan selalu diidentikan dengan desa. “Dasar wong ndeso” (dasar orang desa) kalimat
yang kerap didengar sehari-hari. Pemerintah sendiri mempertegasnya dengan membuat
kelembagaan Kementerian Urusan Desa Tertinggal. Ini lebih parah lagi, sudah terbelakang tertinggal
pula. Jika ukurannya kesejahteraan rakyat, agar lebih adil harusnya ada juga Kementerian Urusan
Kota Tertinggal.

Dari sana sebenarnya sudah terlihat, bahwa masih belum ada konsep yang jelas tentang desa,
terlebih masa depannya. Acap kali pembangunan desa hanya mereplikasi perkembangan kota. Di
sisi lain, ketika elemen-elemen perkotaan dipindahkan ke desa, banyak fungsi-fungsi yang dulunya
efektif menjaga keberlangsungan kehidupan di desa menjadi hilang. Contoh yang paling mudah
dilihat adalah banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi di desa. Infrastruktur transportasi,
pemukiman, pemerintahan dan lain sebagainya, menggerus fungsi lahan yang sebelumnya memiliki
fungsi yang khas bagi masyarakat, misalnya untuk tanaman-tanaman produktif. Alih fungsi tersebut
sering pula diikuti dengan alih kepemilikan. Di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan,
banyak warga lokal dipaksa melepas kepemilikan lahannya untuk perusahaan-perusahan
perkebunan dan tambang.

Pertanian yang identik dengan pedesaan, perkembangannya tidak lagi menarik sebagai mata
pencarian. Data dari sensus pertanian 2013, rentang 10 tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi
penyusutan sebanyak 500 ribu keluarga petani. Sementara lahan pertanian yang terkonversi
tercatat 100 ribu – 110 ribu hektar setiap tahunnya . Ekspansi peruntukan lahan ini membuat
tingkat kesejahteraan warga desa pun semakin menurun. Tingkat kemiskinan desa lebih tinggi di
banding kota. Jumlah penduduk miskin desa mencapai 17.772.810 jiwa sedang kota, 10.507.200 jiwa
(BPS, Maret 2014). Perpindahan penduduk ke kota (urbanisasi) semakin tinggi setiap tahunnya. Di
wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK), menurut Badan
Kependudukan dan Keluarga Nasional (BKKBN) jumlah urbanisasi per tahun hingga mencapai 200
ribu – 300 ribu jiwa. Sedang untuk tingkat nasional persentase urbanisasi diproyeksikan mencapai
53,5% dan di tahun 2025 mencapai 60%. Desa makin ditinggalkan, sementara kota hingga saat ini
belum menunjukkan kesiapan menampung luapan migrasi penduduk dari desa.

Menanti ledakan krisis


1
Direktur Bhuminara Institute, Praktisi Pemberdayaan Masyarakat Desa
Anggapan ketertinggalan desa pada dasarnya terkait dengan sejarah perkembangan manusia. Dari
masyarakat pemburu-pengepul ke masyarakat petani dan kemudan menjadi masyarakat Industri. Di
Indonesia sendiri, perkembangan tersebut terjadi serampangan. Ekspansi ekonomi, sosial dan
budaya dari negara maju diterima tanpa memperhatikan realitas alam dan budaya lokal. Alhasil,
modernisme menuntun gaya hidup semua orang dengan kadar yang masing-masing berbeda.
Ironisnya, di tengah kekayaan alam yang melimpah, modernisasi justru memperbesar angka
kemiskinan di Indonesia.

Krisis moneter hebat pernah di rasakan Indonesia pada tahun 1998. Banyak industri yang gulung
tikar, 5,41 juta orang kehilangan pekerjaan (UNDP dan ILO,1998). Sektor industri yang dulunya
dianggap kuat, ternyata rapuh. Dalam kondisi tersebut, pemerintah hampir tanpa solusi. Secara
alamiah banyak orang yang kembali bermigrasi ke desa. Desa saat itu hampir tak terkena imbas
dari krisis. Ikatan kekerabatan (ligature) yang masih dapat dijumpai di desa, memberi perlindungan
bagi kaum urban untuk bertahan hidup di desa. Mereka yang kembali ke desa, beberapa di
antaranya menggunakan pengalaman hidup di perkotaan mampu berhasil dan bahkan dianggap
menggerakan dinamika perekonomian desa. Walau demikian banyak juga yang gagal dan kembali ke
kota lagi.

Namun yang perlu diwaspadai adalah, jika krisis yang lebih hebat datang lagi. Francis Fukuyama
dalam Buku The Great Disruption memaparkan, tentang goncangan besar yang terjadi dalam
kehidupan manusia. Kuasa kapitalisme telah mendorong kemajuan teknologi dan terus
memproduksi agar dikonsumsi oleh masyarakat. Karena persaingan yang ketat, sikap individualisme
pun mengental. Wajah kapitalisme dapat terlihat jelas di kota. Perkembangan kapitalisme saat ini,
tidak lagi mengharuskan usaha ekonomi memperoleh profit secara rigid, tapi cendrung melihat
benefit. Perbankan mendapatkan tugas penting menjaga pola ini bekerja. Hampir semua usaha
terutama usaha-usaha besar, didukung modal dari perbankan. Ada yang berjalan dengan baik dan
ada pula yang bankrut. Pada kenyataannya tetap dibuatkan skema yang menolong usaha yang
bangkrut. Ketidakmampuan mengembalikan utang, ditutup dengan utang baru. Yang terpenting
adalah adanya usaha yang berjalan dan mampu menyerap tenaga kerja. Hampir setiap barang dapat
dikonsumsi oleh warganya dan bahkan ketika harga barang tersebut jauh dari kemampuan daya
belinya.

Situasi tersebut membuat manusia asyik dengan dirinya sendiri. Ikatan sosial melemah, sementara
bahaya dari macetnya sistem ekonomi dapat datang dengan tiba-tiba. Saat itu tiba, akan terjadi
kekacauan-kekacauan nilai, di mana pengetahuan dan etika yang didapat dari pendidikan tinggi tak
lagi berguna. Manusia kembali pada sikap-sikap primitif, barbar, rasis dan gandrung dengan
kekerasan. Sikap itu dilakukan hanya karena untuk mempertahankan hidup. Letupan-letupan ini
telah terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikatdan sebagainya.

Memperkuat modal sosial desa

Di tengah kekacauan tatanan sosial yang semakin parah, justru desa dengan segala predikat
minornya memiliki peluang sebagai tempat yang nyaman untuk masa depan kehidupan manusia.
Desa tidak hanya memiliki sumber daya alam yang dapat dikelola oleh masyarakatnya, tetapi juga
secara kultural memiliki modal sosial yang relatif masih mungkin diperkuat dan dipertahankan.
Secara sederhana, modal sosial didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma
informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama di antara mereka (Francis Fukuyama: 1999).

Tradisi bekerjasama karena ligature yang terjalin di kalangan masyarakat desa, saat ini bukan tanpa
masalah. Berbagai pengaruh yang masuk mulai mereduksi ikatan kekerabatan tersebut.
Mempertahankan dan memperkuat modal sosial dengan prespektif pembangunan berkelanjutan
tentunya perlu menjadi agenda serius yang harus dikerjakan oleh semua pihak terutama
pemerintah. Tekanan pada pembangunan berkelanjutan dimaksud agar, pragmatisme kekinian
(keserakahan) tidak lagi diberi ruang dominan mengekploitasi sumberdaya alam dan masyarakat
desa. Konsep ini sering juga disebut sebagai kesadaran ekologis-dalam. Konsep ini kemudian
berkembang menjadi ekologi-sosial yang melengkapinya dengan analisa adanya sistem dominator
dari organisasi sosial. Patriarki,imperialisme, kapitalisme dan rasisme adalah contoh-contoh
dominasi sosial yang bersifat eksploitatif dan anti ekologis (Fritjof Capra: 2001) Jika mengacu pada
gagasan Soekarno tentang Trisakti yakni, berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam
kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi, desa memiliki kecukupan syarat dibanding kota. Modal
sosial dan alam yang dimiliki desa, tinggal diperkuat dengan modal sumberdaya manusia yang
berkapasitas, tangguh dan memiliki visi yang kuat membangun desanya.

Anda mungkin juga menyukai