Posted by D ICKY D WIAN AN T A on 8 M ARE T 2 0 1 6
Bahan Bacaan: Andrew MacIntyre, “Business and Politics in Indonesia”, North Sydney: Asian Studies Association of Australia, 1991. p. 1-63 Dalam bukunya yang berjudul “Business and Politics in Indonesia”, khususnya bab 1- 3, Andrew MacIntyre secara umum menjelaskan tentang hubungan bisnis dan negara dalam konteks Indonesia di era Orde Baru. Secara rinci, pada bab pendahuluan, Andrew menunjukan keumuman Indonesia di bawah Orde Baru. Hal itu dapat dilihat dari karakteristik otoritariannya dan statusnya sebagai developing state. Menurutnya itu merupakan hal yang umum, terutama sejak era 1970-an, karena negara yang berkembang biasanya bersifat otoriter. Kemudian dalam bab dua, Andrew menunjukan beberapa pendekatan untuk melihat dan memposisikan Indonesia dalam konteks hubungan negara dan masyarakat. Selanjutnya, dalam bab tiga, Andrew berusaha mengetengahkan setting politik saat Orde Baru. Hal ini penting untuk melihat hubungan antara negara dan bisnis secara kontekstual. Sehingga dalam melihat itu, kita tidak menjadi anakronisktik (melepaskan konteks dan sejarah). Dalam tiga bab yang dituliskan Andrew ini, kita bisa melihat beberapa pendekatan para peneliti dalam melihat Indonesia, dalam hal ini, hubungan negara dan bisnis. Dalam bab pendahuluan, Andrew berargumen bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang unik dan menarik di dunia, yaitu negara yang telah lama dikuasai rezim berbasis militer kemudian mengalami proses perubahan politik. Salah satu perubahan itu adalah bergesernya konfigurasi kekuatan politik, dimana terdapat proses perubahan ke arah difusi (penyebaran) kekuasaan, dan menguatnya grup- grup sosial-masyarakat yang mempengaruhi kebijakan. Di era Orde Baru, negara memainkan peran besar dalam kontrol masyarakat. Rezim Orde Baru yang berintikan militer memiliki orientasi pembangunan dengan paradigma developmentalis, sehingga mengontrol penuh politik dan kebijakan. Sehingga, relatif tidak ada kekuatan di luar struktur pemerintahan yang bisa mempengaruhi politik dan kebijakan negara. Dengan adanya hal tersebut, Andrew berusaha melihat bagaimana hubungan antara negara dan bisnis di era tersebut, terutama dalam konteks pasca pertengahan tahun 1980-an saat era oil boom berakhir. Hal itu menarik karena setelah itulah, kekuatan bisnis menjadi berpengaruh dalam menciptakan kebijakan- kebijakan ekonomi-politik Orde Baru. Dalam bab selanjutnya, bab dua, Andrew berusaha menunjukan enam pendekatan yang ada dalam melihat politik di Indonesia, khususnya era Orde Baru. Pendekatan pertama, adalah “state qua state”. Pendekatan ini digunakan oleh Benedict Anderson untuk melihat politik di Indonesia pada masa Orde baru. Menurutnya, terdapat perbedaan kepentingan antara negara dan masyarakat. Sehingga, negara dilihat hanya mementingkan kepentingannya sendiri dengan serakah “memakan” sumber daya dan kesejahteraan melalui kekuasaannya. Dengan itu, kebijakan adalah cerminan dari kepentingan negara, dibandingkan kepentingan masyarakat. Namun, pendekatan ini terlalu fokus pada negara dan mengesampingkan kekuatan politik di luar negara. Selanjutnya pendekatan kedua, yaitu “The bureucratic polity and patrimonial cluster”. Pendekatan ini adalah melihat negara dengan dua kata kunci, yaitu patrimonial dan bureaucratic polity. Patrimonial mengacu pada konsep dimana negara modern dijalankan dengan pola-pola tradisional dengan menempatkan elit sebagai “raja” dengan imbalan material kepada pengikutnya. Hubungan yang terjalin bersifat patron-client dengan sangat personal. Bersamaan dengan itu, elit birokrasi memiliki kekuasaan yang tak terkontrol dari masyarakat dalam menentukan kebijakan. Dengan itu, negara meng-ekslusi partisipasi kekuatan politik di luar negara. Pendekatan ini secara beragam diusung oleh Riggs, Harold Crouch, dan Karl Jackson. Pendekatan ketiga, adalah “Bureaucratic Pluralism”. Pendekatan ini berusaha menjadi alternatif diantara state-qua-state nya Anderson dan bureaucratic patrimonial. Dengan pendekatan ini, Donald Emerson melihat negara sangat pluralistik daripada pendekatannya Anderson, dan kompetisi politik di dalam negara tidak sesimpel patron-klien grup, melainkan oleh debat kebijakan yang substantif. Dia melihat negara relatif “bebas” dari pengaruh dan kepentingan masyarakat, serta menghilangkan representasi perwakilan yang menghubungkan negara dan masyarakat. Dalam Orde Baru, menurutnya, birokrasi netral dari arena politik yang menjadi pertarungan kepentingan grup-grup masyarakat, dan secara otomatis berada di bawah kendali pemerintahan. Dalam pendekatan ini, tidak hanya fokus melihat pluralisme kepentingan politik saja, tetapi juga orientasi kebijakan di dalam negara. Pendekatan keempat adalah bureaucratic authoritarian. Pendekatan ini terispirasi oleh penelitian Juan Linz dan Gullermo O’Donnell di Spanyol dan Amerika Latin. Pendekatan ini melihat Indonesia sebagai salah satu bentuk “birokrasi otoriter” di dunia. Diusung oleh Dwight King, pendekatan ini melihat bahwa negara yang memiliki orientasi pembangunan ekonomi akan menggunakan paradigma teknokratik dengan dukungan militer yang kuat. Dengan itu, rezim otoriter dibuat agar stabilitas politik terjamin guna mengejar pertumbuhan ekonomi. Selama Orde Baru, King melihat Indonesia dalam kerangka demikian. Pendekatan kelima, diusung oleh Richard Robison dengan structuralist approach. Menurutnya, relasi bisnis dan politik yang terjadi di Indenesia adalah bentuk kekuatan struktural kelas kapitalis dengan negara. Pendekatan struktural berusaha melihat bagaimana kelas kapitalis secara struktural mengkondisikan kebijakan dan politik negara. Degan itu, secara tidak langsung, negara selalu membuat kebijakan yang secara struktural menguntungkan mereka. Kemudian, pendekatan keenam, adalah restricted pluralism. Pendekatan ini digunakan William Liddle dalam melihat negara Indonesia. Menurutnya, secara politik dan kebijakan, Indonesia telah cukup pluralistik. Dia sepakat dengan argumennya Emmerson, namun terdapat perbedaan, yaitu terdapat variasi dari grup di luar negara yang mempengaruhi kebijakan. Grup ini diantaranya, parlemen, intelektual, pers, kepentingan produsen dan konsumen, dapat mempengaruhi outcomes tersebut. Liddle melihat bahwa terdapat pluralisme terbatas dalam berbagai grup yang mempengaruhi kebijakan. Berbagai pendekatan tersebut, sebenarnya bila diklasifikasikan akan menjadi tiga bentuk hubungan negara dan masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan yaitu relasi patron-klien, hubungan korporatisme, dan input politik melalui osmosis dan absorpsi. Pada bab selanjutnya, Andrew menunjukan kepada kita bagaimana konteks politik yang terjadi di era Soeharto. Dalam review ini, penulis memang tidak terlalu menitik- beratkan di sini. Ini dikarenakan argumen yang disajikan Andrew, hampir mirip dengan segala literatur yang pernah dibaca pembelajar politik. Secara sekilas, di era Orde Baru, masyarakat mengalami masa depolitisasi dan demobilisasi. Ini dilakukan dengan strategi massa mengambang dan simplifikasi partai politik melalui kebijakan difusi partai. Golkar menjadi kekuatan politik yang dominan dengan didukung ABRI. Perwakilan di parlemen dikuasai Golkar dan menjadi juru sah segala kebijakan Soeharto. Kekuatan pers dibungkam, dan masyarakat direpresi saat menyampaikan aspirasinya. Kekuatan bisnis muncul melalui KADIN, dan menjadi kunci dalam pembangunan ekonomi-politik Orde Baru. Kanalisasi gerakan masyarakat terjadi di segala sektor. Itulah gambaran umum konteks politik di era Orde Baru. Depok, 02 April 2014