Anda di halaman 1dari 76

MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS

KOMBINASI HASIL HUTAN KAYU DAN KARBON


(Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo
Raya, Provinsi Papua)

ARNALDO HENDRIX S.

E14070083

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

0
2011
Judul Penelitian : Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Kombinasi Hasil
Hutan Kayu dan Karbon (Studi Kasus di PT. Mamberamo
Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

Nama : Arnaldo Hendrix S.

NIM : E14070083

Departemen : Manajemen Hutan

Menyetujui:

Dosen Pembimbing :

Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS.

NIP. 19500123 197412 1001

Tanggal :

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suhardjito, MS.

NIP. 19630401 199403 1001

Tanggal :

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan iklim yang mendorong terjadinya pemanasan global, atau
populer dikenal sebagai “Global Warming”, sedang menjadi topik pembicaraan
yang hangat sekarang ini. Tentu saja hal ini tidak boleh berhenti di tingkat
wacana, melainkan harus diikuti tindakan nyata menyelamatkan bumi dengan
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) atau meningkatkan penyerapan GRK.
Berbagai upaya untuk pengurangan laju deforestasi, kini mulai dilakukan oleh
pihak yang memiliki perhatian terhadap masalah hutan dan lingkungan hidup. Hal
ini dilakukan agar dampak negatif akibat kegiatan deforestasi dapat dikurangi atau
bahkan dihentikan. Beberapa strategi nasional dalam upaya mengatasi pemanasan
global antara lain adalah (1) pengurangan emisi CO2, (2) perusahaan manufaktur
harus mengganti teknologi dengan yang ramah lingkungan, (3) peningkatan
perkembangan sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai sumber rosot
karbon, (4) pengurangan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber penghasil
listrik, dan (5) pengembangan clean energy seperti tenaga air, tenaga angin serta
tenaga surya bila dimungkinkan.
Pada tahun 2007, sidang Conference of Parties yang ke 13 (COP 13)
pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
menyetujui pentingnya degradasi hutan dengan memasukkannya sebagai bagian
dari usulan mekanisme untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan (REDD). Berkurangnya degradasi berarti hutan mampu lebih beradaptasi
terhadap perubahan iklim dan menyediakan lebih banyak jasa lingkungan selain
sumber penghidupan. Hutan dapat terus mengalami kerusakan dalam waktu yang
lama tanpa terjadi deforestasi penuh. Dengan demikian, menurunkan deforestasi
tidak berarti menurunkan laju degradasi hutan. Selain itu, jika degradasi tidak
masuk ke dalam kesepakatan REDD berarti sumber emisi yang cukup besar
yang berasal dari degrasadi hutan tidak masuk perhitungan. Sebagai contoh,
hutan alam yang mengalami degradasi tutupan tajuk dari 70% hingga mencapai
15% akan tetap diklasifikasikan sebagai ‘hutan’, tetapi pelepasan emisi dari
degradasi ini tidak dihitung.

2
Pada sesi ke-13 Konferensi Para Pihak di Bali pada bulan Desember
tahun 2007, Norwegia meluncurkan Prakarsa Internasional tentang Iklim dan
Hutan (International Climate and Forest Initiative) melalui prakarsa ini,
Norwegia siap meangalokasikan 3 miliar NOK per tahun untuk menyokong
upaya REDD di negara-negara berkembang selama 5 tahun mendatang.
Kontribusi dari Norwegia dan negara donor lainnya, beserta lembaga-lembaga
multilateral, harus dipandang sebagai suatu komitmen dan perhatian yang tulus
untuk membantu pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan
di negara berkembang.
Emisi yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan mencapai 20
% emisi global yang berasal dari gas rumah kaca setiap tahunnya. REDD
memiliki potensi untuk memberikan manfaat selain mengurangi emisi gas rumah
kaca. Hal ini termasuk dampak positif terhadap keanekaragaman hayati dan
pembangunan berkelanjutan serta pengurangan kemiskinan dan penguatan hak-
hak masyarakat adat. Dengan demikian, jika dirancang dengan baik dan benar,
REDD dapat menghasilkan tiga keuntungan dari sisi iklim, keanekaragaman
hayati dan pembangunan berkelanjutan.
REDD merupakan sebuah skema pengurangan emisi melalui penurunan
laju deforestasi dan degradasi hutan. REDD tidak secara total menghentikan
aktivitas pemanfaatan hutan maupun rencana konversi hutan untuk penggunaan
ekonomi lainnya. Kredit REDD diperoleh dari hasil simpanan emisi karbon yang
mampu ditahan, dan dinamakan sebagai baseline. Baseline merepresentasikan laju
emisi dari masa lalu dan proyeksinya ke masa yang akan datang sesuai dengan
arah pengembangan strategis nasional.
Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama tahun 2003 – 2006
mencapai 1,089 juta hektar per tahun (Kemenhut 2009). Deforestasi merupakan
laju penurunan jumlah kawasan hutan akibat dari tingginya permintaan lahan
untuk budidaya kehutanan yang dilindungi dengan Undang-undang Nomor 41
tahun 1999. Bahwa untuk kepentingan pembangunan sektor non kehutanan dan
bersifat strategis yang tidak dapat dielakkan lagi maka dapat melakukan konversi
kawasan hutan tetap. Pertambangan, pembangunan perkebunan, jalan utama dan

3
instalasi air serta untuk kegiatan pemekaran adalah contoh penggunaan lahan di
luar sektor kehutanan.
Degradasi yang dimaksud adalah menurunnya tutupan kawasan hutan
tetap, atau menurunnya fungsi kawasan akibat tindakan eksploitasi atau pemintaan
lahan seiring dengan meningkatnya kebutuhan hasil hutan kayu dan non kayu
serta jasa lingkungan. Ekspolitasi hutan dapat dilakukan secara terencana dan
tidak terencana. Eksploitasi hutan terencana diatur dalam setiap RKT (rencana
karya tahunan) pemegang hak pengelolaan hutan alam produksi hutan alam (HPH
HA), pemegang hak hutan tanaman industri (HPH HT) dan alokasi hutan untuk
pembangunan sektor non-kehutanan. Namun, pertumbuhan ekonomi dan populasi
menjadikan kebutuhan kayu tidak tetap. Kebutuhan terus meningkat dan ekonomi
yang belum mampu membeli kayu pada nilai yang diinginkan mengakibatkan
semakin tingginya degradasi yang tidak terencana untuk menutupi kekurangan
pembayaran produksi dan meningkatkan pemenuhan permintaan pasar.
Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai
kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di
pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke
lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi
negara yang melakukan konservasi hutannya. Pemicu deforestrasi saat ini
disebabkan oleh pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan
lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan.
Angelsen (2010) mengelompokan jenis biaya yang dikeluarkan untuk
kegiatan perdagangan karbon berdasarkaan cara pembayaranya, yaitu:
1. Biaya di muka (Pembangunan kapasitas) terdiri dari Biaya menyusun skema
REDD, termasuk pembangunan prasarana teknis, struktur pemerintahan
dan, yang lebih penting, pelatihan dan pembangunan kapasitas.
2. Biaya berjalan (Biaya perlindungan hutan) Biaya operasional REDD yang
termasuk pemantauan secara berkala, beragam kebijakan dan upaya seperti
penegakan hukum kehutanan dan reformasi tenurial
3. Biaya peluang pemilik lahan. Biaya peluang merupakan keuntungan yang
hilang karena si pemilik tidak bisa menggunakan lahannya untuk kegunaan
lainnya yang paling menguntungkan (nonhutan). Contohnya, imbalan
paling rendah yang harus diterima pemilik lahan untuk menghentikan

4
deforestasi dan degradasi lahan (pembayaran kompensasi).
4. Biaya transaksi pemilik lahan untuk ikut serta dalam skema REDD, pemilik
lahan kemungkinan mengeluarkan biaya tambahan (seperti untuk
membangun pagar, memperoleh sertifikat), yang perlu untuk dimasukkan
dalam faktor pembayaran kompensasi.
Dampak masuknya kredit karbon dari REDD ke pasar karbon global juga
bergantung pada pasokan kredit. Hal ini dipengaruhi oleh basis kredit emisi
(tingkat referensi). T ingkat referensi merupakan salah satu hal yang paling
diperdebatkan, karena memiliki dampak yang sangat besar baik bagi efektivitas
REDD maupun kesetaraan antar negara. Dalam hal ini, pelaku negosiasi
menghadapi dilema jika tingkat referensi terlalu mudah dicapai, sebaliknya jika
tingkat referensi terlalu sulit, insentif negara-negara berkembang untuk ikut serta
dengan REDD akan melemah.
Salah satu elemen paling penting rezim global REDD adalah bagaimana
menetapkan baseline atau tingkat referensi nasional. Tingkat referensi
mempunyai implikasi yang besar terhadap efektivitas, efisiensi biaya, dan
distribusi dana REDD antar negara. Baseline juga memiliki elemen teknis yaitu
bagaimana cara memprediksi masa depan yang realistis dalam skenario bisnis
seperti biasa. Namun baseline juga menentukan tingkat dimana suatu negara
harus mulai diberi imbalan untuk pengurangan emisinya. Sampai saat ini belum
ada ‘formula’ yang disepakati untuk menetapkan tingkat referensi tersebut.
Usulan REDD yang disampaikan pada UNFCCC umumnya menggarisbawahi
pentingnya mempertimbangkan sejarah deforestasi untuk penetapan basis.
Menurut angelsen, penetapan basis dapat dilakukan dengan mengacu pada
basis sejarah, yaitu laju deforestasi dan degradasi (DD) dan emisi CO2 selama
beberapa tahun terakhir. Selain itu, basis dapat mengacu pada skenario bisnis
seperti biasa (BSB) dengan membandingkan emisi yang dihasilkan dari penerapan
REDD. Basis BAU/BSB adalah standar untuk menentukan dampak dari
implementasi REDD (dan menjamin adanya additionality). Basis kredit adalah
standar untuk memberi imbalan kepada negara (atau proyek) menggunakan
kredit REDD jika emisi lebih rendah dari basis yang ditetapkan. Sebaliknya, jika
emisi menjadi lebih tinggi dibanding basis tersebut, maka tidak ada imbalan atau
malah harus membayar balik (liabilitas/pertanggung gugatan).

5
Beberapa laporan seperti Eliasch Review (2008) menyarankan agar
REDD masuk secara perlahan-lahan ke dalam kesepakatan tentang iklim,
dimulai dengan pertanggunggugatan yang terbatas dan jaminan bahwa negara
yang ikut serta setidaknya tidak merugi, dan secara bertahap meningkatkan
komitmennya. Sejalan dengan perubahan keadaan ekonomi dan iklim global.
Skenario bisnis seperti biasa (BSB) berguna untuk membandingkan seperti apa
deforestasi kalau tidak ada REDD. Hampir semua pihak dan juga Rencana Aksi
Bali (COP 13) menyarankan agar basis ditetapkan berdasarkan sejarah
deforestasi negara.
Untuk menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan di areal HPH HA,
maka beberapa kebijakan yang pernah diatur dalam penentuan batas minimum
kelas diameter yang ditebang, siklus tebangan dan pengaturan jatah tebangan
tahunan. Kegiatan lainnya adalah penataan kawasan hutan untuk penebangan dan
untuk keperluan jasa lingkungan karbon dan penerapan metode pemanenan
berdampak rendah (Reduce impact logging).
Aktivitas pemanenan kayu yang menyebabkan degradasi hutan dan
pengalihan ke lahan pertanian yang menyebabkan deforestasi kadang-kadang
digabungkan dalam kajian mengenai kebocoran. pembalakan kayu yang bernilai
tinggi umumnya menghasilkan kebocoran yang lebih besar dari deforestasi.
Kebocoran internasional melalui pasar komoditas sangat mungkin terjadi kalau
REDD membatasi pasokan komoditas global, sehingga naiknya harga komoditas
tersebut memicu produksi di tempat lain. Oleh sebab itu, semakin banyak negara
yang mengalami deforestasi ikut berpartisipasi dalam REDD, semakin sedikit
kemungkinan terjadinya kebocoran internasional.
Kegiatan tebang pilih menjadi penyebab utama degradasi hutan di
daerah tropis. Pemanenan konvensional menyebabkan hilangnya biomassa hutan
akibat kerusakan tegakan tinggal. Inovasi teknologi SFM, seperti RIL
(pembalakan berdampak rendah/reduced impact logging) dapat menyebar dan
mengurangi laju deforestasi di luar kawasan. Namun kegiatan konservasi dan
A/R biasanya tidak mengakibatkan penyebaran teknologi yang signifikan. REDD
lewat A/R dapat meningkatkan pasokan kayu di masa yang akan datang

6
(walaupun dapat mengurangi produksi pertanian dan peternakan). Sebaliknya,
REDD lewat konservasi akan menurunkan pasokan kayu dalam jangka pendek.
Penerapan Reduce Impact Logging (RIL) akan mampu menurunkan
tingkat kematian tegakan tinggal akibat penebangan. RIL adalah suatu pendekatan
sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap
pemanenan kayu. RIL memerlukan wawasan ke depan dan keterampilan yang
baik dari operator serta adanya kebijakan tentang lingkungan yang mendukung.
Alasan penerapan RIL diantaranya adalah pengurangan resiko lingkungan, sosial,
dan ekonomi serta kebijakan penerapan yang tepat (Elias et al 2008).
Melalui penerapan RIL pada pengelolaan hutan produksi maka diharapkan
tingkat kematian tegakan tinggal akibat tebangan dapat ditekan. Disamping itu
dengan adanya perdagangan karbon melalui mekanisme REDD+ melalui
mekanisme adaptasi, penebangan menggunakan RIL pada pengelolaan hutan
produksi berpotensi mendapatkan dana kompensasi dari besarnya karbon yang
dapat disimpan oleh tegakan tinggal.
Mengingat luas kawasan hutan di Indonesia mencapai ± 133.841.806 Ha
(Ditjen Planologi Kehutanan,2009), Indonesia pun dituntut untuk memberdayakan
sumberdaya hutannya dengan berupaya menurunkan laju emisi global.
Berdasarkan data Ditjen Bina Produksi Kehutanan sampai dengan akhir bulan
Desember tahun 2009, luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan alam (IUPHHK-HA) sebesar ±26,169,813 Ha dan luasan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebesar ±
10.039.052Ha, sedangkan untuk jatah potensi tebang nasional (Annual allowable
cut) atau AAC pada tahun 2009 mencapai 9.100.000 m3 yang tersebar dalam 19
provinsi. Kenyataanya di lapangan jumlah realisasi produksi kayu di hutan alam
hingga april 2009 sebesar 11.476.397,2 m3 (Statistik kehutanan,2009)
Sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sari sektor kehutanan
pada tahun 2009 mencapai ±Rp. 2.201.613.190.99 yang berasal dari Dana
Reboisasi (DR) sebesar ±Rp. 1.454.865.578.120 Previsi Sumberdaya Hutan
(PSDH) sebesar ±Rp. 674.358.139.370 dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH)
sebesar ±Rp. 72.389.473.500 (Biro Keuangan Setjen, 2009). Hal ini dapat lebih
menarik lagi jika ditambahkan dengan pendapatan negara bukan pajak yang

7
dihasilkan dari pembayaran jasa penyerapan emisi karbon dari Negara-negara
anneks 1.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Membuat model simulasi dinamika struktur tegakan.
2. Menduga potensi kayu jika pengelolaan menggunakan sistem TPTI seperti
yang selama ini dijalankan.
3. Menduga potensi karbon dan pendapatan yang dihasilkan saat perdagangan
karbon berlaku.
4. Menenetukan model kelayakan usaha pemanfaatan kayu dan perdagangan
karbon.

1.3 Rumusan Masalah


Mengingat kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Norwegia
dalam (Letter in intern) LOI tanggal 26 Mei 2010 yang harus menurunkan emisi
sebesar 26 % pada tahun 2020 dimana upaya moratorium hutan alam dan hutan
gambut menjadi salah satu alternatif yang harus dilakukan dari kesepakatan kedua
negara tersebut. Disamping itu adanya nilai tambah dari skema perdagangan
karbon menjadi hal menarik yang perlu diteliti lebih lanjut.
Beberapa isu yang perlu dikaji terkait bahasan topik penelitian dalam
penyusunan model penduga pengelolaan hutan lestari berbasis karbon di PT.
Mamberamo Alasmandiri, yaitu :
1. Bagaimana kondisi struktur tegakan bila pengelolaan terus berlangsung seperti
yang selama ini dijalani (Business as usual) dengan menggunakan
Convensional Logging yang kemudian dibandingkan dengan metode RIL?
2. Berapa nilai simpanan karbon dengan kedua metode tersebut?
3. Berapa nilai ekonomi perusahaan yang diperoleh bila pengelolaan dan
produksi kayu berlangsung seperti yang selama ini dijalankan dengan
menggunakan metode RIL dan CL?
4. Berapakah potensi pendapatan karbon bila dijual dengan mempertimbangkan
nilai additionality yang dihasilkan dari selisih nilai karbon dengan pemanenan
RIL dengan CL?

1.4 Manfaat Penelitian

8
Informasi yang diperoleh dapat dijadikan arahan bagi para pemegang
kebijakan atau dalam hal ini pihak pengelola HPH yang dapat digunakan sebagai
indikator dalam menentukan strategi pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara
optimal dengan melihat dari aspek finansial yang terbaik. Hasil penelitian akan
sangat berguna sebagai informasi skenario pengelolaan hutan berdasarkan isu
pemanasan global dan perubahan iklim.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Hutan Terhadap Perubahan Iklim


Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan
hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan
lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan
suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan

9
permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu
ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis.
Indonesia memiliki hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire. Luas
kawasan hutan di Indonesia yang mencapai ± 133.841.806 Ha (Ditjen Planologi
Kehutanan,2009). Potensi tersebut dapat dimanfaatkan diantaranya sebagai
penyeimbang siklus karbon di atmosfir melalui proses fisiologis penyerapan
CO2 oleh tegakan dari udara pada proses fotosintesis. Melalui proses
fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanamandan diubah menjadi karbohidrat,
kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang, cabang, ranting,
daun, bunga, dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah karbon yang
tersimpan dalama suatu areal dapat menggambarkan CO2 yang terlepas ke udara.
Ekosistem hutan mempunyai hubungan yang sangat kompleks. Pohon dan
tumbuhan hijau lainnya menggunakan cahaya matahari untuk membuat
makanannya, karbondioksida diambil dari udara, ditambah air (H2O) dan unsur
hara atau mineral yang diserap dari dalam tanah. Oleh karena itu sinar matahari
memiliki peranan penting dalam proses pertumbuhan. Selain itu, ekosistem hutan
juga memiliki fungsi diantaranya adalah:
1. Hidrologis, artinya hutan merupakan tempat penyimpanan dan menyerapnya
air hujan yang pada akhirnya akan dialirkan ke sungai. Hutan juga berperan
untuk melindungi tanah dari erosi dan daur unsur haranya.
2. Iklim, artinya komponen ekosistem alam yang terdiri dari unsur-unsur hujan
(air), sinar matahari (suhu), angin dan kelembaban yang sangat
mempengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi, terutama iklim
makro maupun mikro.
3. Kesuburan tanah, artinya tanah hutan merupakan pembentuk humus utama
dan penyimpan unsur-unsur mineral bagi tumbuhan lain. Kesuburan tanah
sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis batu induk yang
membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur dan
struktur tanah yang meliputi kelembaban, suhu dan air tanah, topografi
wilayah, vegetasi dan jasad jasad hidup.

10
4. Keanekaragaman genetik, artinya hutan memiliki kekayaan dari berbagai
jenis flora dan fauna yang harus dijaga kelestarianya sehingga terbebaskan
dari kepunahan.
5. Sumber daya alam, artinya hutan mampu memberikan sumbangan hasil
alam yang cukup besar bagi devisa negara, terutama di bidang inciustri.
Selain itu hutan juga memberikan fungsi kepada masyarakat sekitar hutan
sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain kayu juga dihasilkan
bahan lain seperti damar, kopal, gondorukem, terpentin, kayu putih dan
rotan serta tanaman obat-obatan.
Secara umum Hairiah (2007) menerangkan bahwa kondisi hutan dengan
fase masa pertumbuhan mampu menyerap lebih banyak CO 2 jika dibandingkan
dengan hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhanya
yang hanya mampu menyerap sedikit CO2 karena telah mencapai keseimbangan
dimana tingkat pembentukan dan pelapukan seimbang. Begitupun dengan kondisi
hutan alam (virgin forest) dan hutan bekas tebangan, meskipun pada virgin forest
memiliki jumlah pohon berdimensi besar yang banyak tetapi kerapatan pohon untuk
tegakan muda pada hutan tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dengan hutan
bekas tebangan.
Virgin forest memiliki kerapatan tajuk yang tinggi yang menyebabkan sinar
matahari tidak masuk ke lantai hutan yang secara langsung karena terhalang oleh
tajuk pohon dewasa, hal ini berpengaruh terhadap proses fotosintesis pohon-pohon
muda yang ada dibawah tegakan sehingga pertumbuhan tegakan muda sangat kecil.
Berbeda dengan hutan bekas tebangan yang memiliki keterbukaan tajuk tinggi
akibat kegiatan pemanenan kayu. Sinar matahari langsung diterima oleh lantai
hutan (tingkat permudaan) sehingga proses fotosintesis dan tingkat penyerapan
karbon pada hutan sekunder tergolong lebih baik.
Setelah hutan alam atau sisa-sisa hutan alam terdegradasi akibat adanya
intervensi manusia (kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang tak
terkontrol) hutan sekunder akan berkembang dari benih pohon-pohon pionir yang
telah bereproduksi dan jatuh ke permmukaan tanah, dari sisa-sisa tebangan
(tunggul pohon), atau melalui regenerasi jenis-jenis pohon klimaks hingga
kembali ke keadaan seperti semula selama proses tersebut tidak terganggu. Hutan

11
sekunder memliki sifat diantaranya adalah :
1. Komposisi tegakan dan struktur tegakan tidak hanya tergantung pada luas
keterbukaan namun juga tergantung pada umur keterbukaan areal.
2. Tegakan muda memiliki komposisi dan struktur tegakan lebih seragam
dibandingkan dengan hutan aslinya.
3. Pohon jenis niagawi sangat sulit ditemui sedangkan jenis-jenis pohon
cepat tumbuh (fast growing species) lebih mendominasi (lunak, ringan, tidak
awet, kurus dan kurang laku di pasaran).
4. Persaingan ruangan dan sinar matahari yang intensif sering membuat
batang menjadi bengkok karena pertumbuhan pohon mengikuti arah sinar
matahari.
5. Memiliki riap awal yang besar, karena pertumbuhan tegakan distimulus
oleh sinar matahari yang langsung masuk akibat keterbukaan areal dan
lambat laun riap tersebut akan mengecil.
6. Memiliki struktur tegakan, komposisi tegakan, dan riap tegakan yang tidak
akan pernah stabil, mengakibatkan sulitnya merencanakan pemasaran hasil.
Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur di hutan alam tropis
dapat menimbulkan perubahan terhadap ekosistem hutan yang cukup besar.
Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam mengakibatkan kerusakan
vegetasi hutan (tegakan tinggal dan tumbuhan bawah) dan kerusakan tanah. Hasil
makalah (Davis, 2000; Elias, 2006; Keong, et al, 2006; Muhdi et al, 2006; Ramos
et al, 2006; Butler, 2007) menyimpulkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan
kayu dengan sistem TPTI mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 24–
45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35%. Disamping itu kegiatan pemanenan
kayu berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah
minimal 50%. Di hutan tropis asia penurunan cadangan karbon akibat aktifitas
pemanenan kayu berkisar antara 22-67% (Lasco, 2002; Butler, 2007).
2.2 Komposisi dan struktur tegakan
Keanekaragaman jenis pohon pada hutan alam tropis umumnya lebih
tinggi dibandingkan dengan tipe-tipe hutan lainnya. Tingginya keanekaragaman
jenis tersebut direpresentasikan dengan banyaknya jumlah jenis pohon yang
ditemukan per satuan luas (per hektar). Struktur tegakan dapat menjelaskan

12
tentang tingkat kerapatan suatu tegakan, selain itu struktur tegakan juga dapat
menjelaskan tentang distribusi jumlah pohon berdasarkan kelas diameternya.
Menurut Husch et al, (2003) mengukur kerapatan tegakan berguna untuk
mengindikasikan kuantitas kayu yang berada di atas tegakan.
Tegakan dapat diekspresikan sebagai unit per luas area seperti volume,
luas bidang dasar, lingkup tajuk, jumlah pohon, dan sebagainya, tetapi sering
juga diekspresikan dalam skala relatif sebagai persentase dari keadaan kerapatan
normal (penuh) atau sebagai persentase kerapatan rata-rata. Hasil dari proyeksi
struktur tegakan selain berguna untuk pengaturan hasil juga berguna untuk
prediksi kandungan biomassa dan nilai karbon yang tersimpan dari suatu tegakan.
Struktur tegakan merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis
pohon dengan dimensi diameter pohon dalam suatu kawasan hutan yang berguna
untuk memelihara dan mempertahankan keanekaragaman jenis yang ada.
Pengetahuan menyangkut struktur tegakan memberi informasi dinamika
populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai tingkat semai, pancang, tiang dan
pohon.
Tegakan hutan adalah sekumpulan pohon yang memiliki karakteristik
seperti komposisi, ukuran dan umur. Lebih lanjut didefinisikan struktur tegakan
hutan adalah sebaran jenis atau ukuran pohon dalam tegakan. Struktur tegakan
dapat memberikan berbagai informasi yang penting bagi pengelola hutan melalui
upaya pemodelan untuk keperluan prediksi dan peramalan kebijakan yang sesuai
dengan kondisi yang akan dating.
Demikian disampaikan oleh Burkhart 1990 diacu dalam Corona dan Scotti
(1998) bahwa pemodelan pertumbuhan dan hasil kehutanan merupakan dasar
pengelolaan hutan dan berorientasi manajemen yang bertujuan untuk
mengektrapolasi prediksi kegunaan untuk tujuan pengelolaan pada basis yang
dibatasi pada sejumlah hasil yang diinginkan. Menurut Kimmins et al,
1990;Bossel, 1991;Mohren and Burkhart, 1994) yang diacu dalam Lexer et al
(2006) bahwa pemodelan hutan dapat dibagi atas 2 (dua) konsep utama yakni
secara empiris dan melalui proses pemodelan.
Tujuan dari proses pemodelan adalah untuk mendefinisikan pola dengan
menentukan struktur hutan dan perilaku dan menjelaskan penggunaan data yang

13
mendasari (Korzhulin et al 1996; Battaglia dan Sands 1998 diacu dalam Lexer et
al 2006). Model empiris lebih mengarah pada mengungkapkan hubungan statistik
yang didasari pada sejumlah variabel yang dibatasi dengan batasan untuk
mendapatkan struktur internal dari hutan. Dalam pemodelan hutan, Vanclay
(1994) membedakan atas model individu pohon yakni terdiri atas pengukuran
dimensi tinggi, diameter, umur dan lain-lain serta model tegakan keseluruhan
seperti model pertumbuhan dan hasil tegakan. Hasil dari proyeksi struktur tegakan
selain berguna untuk pengaturan hasil juga berguna untuk prediksi nilai karbon
yang tersimpan dan terserap dari suatu tegakan.

2.3 Kandungan Biomassa dan Karbon di Atas Permukaan Tanah


Biomasa diartikan sebagai bahan organik yang terdapat di atas maupun di
bawah permukaan tanah baik hidup maupun mati, seperti pepohonan, tanaman
buah-buahan, rerumputan, kayu bakar, akar dan lain-lain (FAO 2005). Lebih
lanjut didefinisikan Karbon dalam biomasa di atas adalah karbon yang terdapat di
semua biomasa yang hidup di atas permukaan tanah meliputi batang, tunggak,
cabang, kulit, biji dan dedaunan. Tanaman bawah dengan kompenen yang relatif
kecil dari carbon pool biomasa di atas permukaan tanah, yang dapat dikeluarkan,
menyediakan dalam jumlah yang tetap melalui suatu pengukuran berulang.
Konversi biomasa pohon ke kandungan karbon dapat menggunakan konstanta 0,5
(IPCC 2006).
Dalam Hairiah (2002) yang termasuk ke dalam komponen biomassa di
atas permukaan tanah adalah semua vegetasi di atas permukaan tanah yang
masih hidup termasuk semak-semak, tumbuhan bawah, gulma dan serasah
yang ada dilantai hutan maupun bagian-bagian vegetasi yang mati (nekromassa)
secara alami maupun mati akibat penebangan juga termasuk biomassa di atas
permukaan tanah seperti tunggak, pohon mati rebah, dan pohon mati berdiri.
Faktor yang mempengaruhi besarnya biomassa diantaranya adalah (1)
faktor iklim seperti curah hujan dan suhu menjadi hal terpenting dalam pengaruh
laju peningkatan biomassa pohon, (2) Umur tegakan, sejarah perkembangan
vegetasi, komposisi dan struktur tegakan, kerapatan tegakan, serta kualitas
tempat tumbuh sangat berpengaruh pada pertumbuhan pohon yang ekuivalen

14
dengan besarnya biomassa. Jumlah cadangan karbon ditentukan oleh dua faktor
yaitu luasan total dan kepadatan karbon per hektar di hutan, sehingga perubahan
dapat diukur melalui dua faktor yaitu luasan dan kepadatan karbon. Peningkatan
cadangan karbon di hutan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara
diantaranya dengan penurunan laju deforestasi dan degradasi,
aforestasi/reforestasi (A/R), dan rehabilitasi lahan.
Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa
pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang
didasarkan pada pengukuran diameter batang. Dalam Hairiah dan Rahayu (2007)
disebutkan bahwa pemanenan kayu merupakan penyebab utama penurunan
jumlah stok karbon yang diserap oleh hutan dimana karbon yang
ditinggalkan di dalam tegakan terdapat di bawah permukaan tanah, tegakan
tinggal, semai, tumbuhan bawah, dan limbah kegiatan pemanenan kayu. Prosedur
pengumpulan data biomassa di atas tanah disajikan dalam tabel 1.
Tabel.1 Parameter pengukuran biomassa dan metode pengukuranya.
No Parameter Metode
1 Serasah dan Tumbuhan bawah Destruktive
2 Pohon hidup Non- Destruktive, persamaan alometrik
3 Pohon mati berdiri Non- Destruktive, persamaan alometrik
(nekromassa) (bercabang) dan persamaan silinder (tak bercabang)
4 Pohon mati roboh Non- Destruktive, persamaan silinder
(nekromassa) atau alometrik untuk yang bercabang
5 Tunggak pohon (nekromassa) Non- Destruktive, persamaan silinder
Sumber : Hairiah et al. 1999 diacu dalam Hairiah dan Rahayu 2007.
Pengukuran karbon membutuhkan data biomassa tumbuhan yang dapat
diukur dengan menggunakan 2 sistem, yaitu Sistem destruktive sampling
merupakan metode pengukuran biomassa dengan cara merusak atau menebang
pohon untuk selanjutnya dilakukan pengukuran berat basah di berbagai Carbon
pool yang terdiri dari biomassa atas, biomassa bawah/akar, biomassa kayu mati,
biomassa serasah dan biomassa tanah organik (Ostwald, 2008) sedangkan Sistem
non-destruktive sampling merupakan pengukuran biomassa dengan cara tidak
merusak pohon dan hanya mengukur biomassa atas kemudian mengukur diameter
dan tinggi pohon serta serasah yang ada.

15
Menurut Brown (1997) terdapat dua teknik pendugaan karbon berdasarkan
data tegakan yang ada yakni karbon tegakan diduga sebagai biomasa yang
merupakan fungsi dari biomass expansion factor (BEF), wood density (WD) dan
volume suatu pohon. Selain itu biomasa tegakan dapat diduga dengan
menggunakan persamaan alometrik, yaitu pendekatan regresi sangat sering
digunakan dalam menduga biomasa dari parameter yang mudah diukur seperti
diametr dan tinggi pohon, tetapi unutk parameter tinggi pohon jarang digunakan
dalam perhitungan biomassa menggunakan allometrik karena pengukuran tinggi
pohon kebanyakan menggunakan taksiran yang memiliki tingkat ketelitian yang
kecil dalam hal pengukuranya langsung di lapangan. Brown (1997) telah
membangun persamaan allometrik untuk hutan tropis berdasarkan data yang
sebagian besar di peroleh dari Kalimantan. Beberapa persamaan alometrik dalam
pengukuran biomassa pohon di hutan tropis dalam tiga bentuk berdasarkan
intensitas curah hujannya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persamaan alometrik estimasi biomassa. Ref: Brown, (1997).
Curah hujan Persamaan Allometrik Kisaran Sampel R²
tahunan DBH Pohon
Kering B = exp[-1,996 + 2,32*ln(D)] 5-40 cm 28 0,89
(<1500 mm/Thn) B = 10^[-0,535 + log10(BA)] 5-30 cm 191 0,94
Lembab B = 42,69 - 12,800(D) + 1,242 (D²) 0,84
5-148 cm 170
(1500-4000 mm/thn) B = exp[-2,134 + 2,530 * ln (D)] 0,97
Basah
B = 21,297 - 6,953 (D) + 0,740 (D²) 4-112 cm 169 0,92
(>4000 mm/thn)
Keterangan : B = Biomassa (Kg), D = Diamater (cm), BA = Basal Area (cm²)
Pendugaan karbon diperoleh dari hasil konversi sebesar 50% dikali
dengan kandungan biomassanya. Hasil penelitian Onrizal (2004) menyebutkan
bahwa hubungan antara kandungan biomassa setiap bagian pohon berhubungan
secara linear dengan kandungan karbonnya, yaitu karbon suatu pohon akan
meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan biomassa pohon tersebut.
2.4 Perdagangan Karbon dengan skema REDD
Perdagangan karbon adalah kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari
kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan no 30
tahun 2009, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang
selanjutnya disebut REDD merupakan semua upaya pengelolaan hutan dalam

16
rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan
stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung
pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Pembayaran karbon hutan dapat terjadi melalui penyerapan karbon yang
diperoleh dari penyerapan CO2 dalam penanaman pohon atau perlindungan
karbon tersimpan yang sebaliknya dapat teremisi dari hutan alam. Hal demikian
dapat dijelaskan dengan menghindari deforestasi dalam voluntary carbon market
(VCM) dan reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) dalam
konteks United Nation Framework Climate Change Convention (UNFCCC)
(Richard 2008). Legitimasi yang dibentuk akhir-akhir ini pada batasan nasional
terhadap skema perdagangan emisi baik berupa emisi dan adopsi mengarah pada
program “cap and trade” yang dirancang untuk membantu negara-negara peserta
menemukan tujuan reduksi emisi dengan harga yang lebih efisien. proposal seperti
Kyoto Protocol dalam perdagangan komoditi karbon dapat digeneralisasikan
melalui beragam reduksi emisi atau kegiatan “offsetting” yang berpotensi untuk
meningkatkan fleksibilitas oleh perusahan-perusahaan yang menginginkan
pengurangan emisi.
Perdagangan karbon dapat membantu penurunan emisi global yang
dihasilkan dari Negara maju (Aneks 1) dengan cara membeli kredit REDD
(offsets) untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka sendiri (Negara
maju). Selain itu, manfaat lain dari perdagangan karbon adalah penjualan jasa
penyerapan karbon (Payments for Environmental Services) di tingkat
internasional. Pembeli jasa akan membayar kepada penyedia jasa untuk jasa
lingkungan (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), atau
kegiatan yang dapat memberikan jasa tersebut (reformasi tenurial untuk
penegakan hukum). Di tingkat negara, pemerintah nasional atau lembaga
perantara lainnya (pembeli jasa) akan membayar pemerintah subnasional atau
pemilik lahan (penyedia jasa) untuk mengurangi emisi atau melakukan kegiatan
lainnya yang bisa mengurangi emisi, misalnya pembalakan berdampak rendah
(Reduce Impact Logging) sekaligus perdagangan jasa karbon.
Berdasarkan laporan United Nation of Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) tahun 2008 bahwa total emisi gas rumah kaca secara

17
keseluruhan tidak termasuk penggunaan dan perubahan lahan dari tahun 1990
sampai 2006 terus menurun sebanyak 4,7% atau dari 18,913.5 menjadi 18,019.6
Tg CO2. Namun bila dengan menambahkan variabel penggunaan lahan dan
perubahan pemanfaatan lahan (Land Use, Land Use Change and Forestry,
LULUCF) antara tahun 2000 dan 2006, emisi gas rumah kaca meningkat 2,3%
dan 0,4% di tahun 2005 dan 2006. Salah satu penyebab laju emisi terus meningkat
adalah menurunnya serapan konsentrasi CO2 oleh ekosistem hutan.
Dilaporkan oleh IPCC (2006) bahwa emisi tahunan yang terjadi akibat
deforestasi dan degradasi lahan hutan antara 17% dan 25% dan sekitar 25% dari
total emisi gas rumah kaca (Houghton 2005) meskipun dalam laporan penilaian
oleh FAO (2005) menunjukan adanya peningkatan luas hutan dunia yang
mencapai 30% dari luas daratan dunia namun tercatat bahwa laju deforestasi
hutan dunia mencapai 1,3 juta hektar sedangkan di Indonesia menurut
Departemen Kehutanan RI (www.dephut.go.id) melaporkan bahwa deforestasi
hutan Indonesia di Tahun 2008 mencapai angka 2,8 juta hektar.
Pertimbangan pendekatan nasional bukan berdasarkan pengurangan emisi
dari areal hutan tertentu, tetapi kemampuan suatu negara untuk
mempertahankan pengurangan karbon sesuai tingkat referensi yang telah
ditetapkan tanpa mempedulikan persisnya lokasi sumber pengurangan tersebut,
Jika suatu negara melampaui tingkat referensi yang telah ditetapkan, salah satu
alternatifnya adalah negara tersebut berusaha menurunkan emisi dengan cara lain,
atau membayar denda. Melalui ‘sistem debit’, misalnya, nilai emisi di atas
tingkat referensi akan dipotong dari pendapatan kredit emisi di masa mendatang
(mungkin ditambah bunga atau denda tambahan lainnya). Kemudian, emisi
tambahan tersebut harus diturunkan sebelum masa pendapatan kredit berikutnya
(Schlamadinger dan Johns 2006).
IPCC (2006) menyarankan dua metode untuk mengukur perubahan stok
karbon karena degradasi hutan, yaitu metode perubahan stok karbon (stock-
difference) dan metode tambah-kurang (gain-loss). Metode perubahan stok
dibangun berdasar inventarisasi hutan yang biasanya dilakukan untuk menaksir
serapan atau emisi karbon. Sedangkan metode tambah-kurang berdasarkan
pemahaman dari sifat ekologis hutan: bagaimana hutan tumbuh, dan bagaimana

18
proses alami dan pengaruh manusia mengakibatkan pengurangan karbon di
dalam hutan. Metode perbedaan stok mengukur stok biomassa di awal dan akhir
periode penghitungan, untuk masing-masing pool karbon. Metode tambah-
kurang menaksir terjadinya penambahan biomassa dari pertumbuhan rata-rata
per tahun (Mean Annual Increment), dikurangi taksiran biomassa yang berkurang
karena kegiatan seperti penebangan pohon, pengumpulan kayu bakar,
penggembalaan, dan kebakaran. Apabila wilayah hutan dikelompokkan berdasar
penyebab degradasinya, maka ada kemungkinan untuk, misalnya, tahu berapa
banyak kayu yang diambil pada kurun waktu tertentu dengan cukup akurat.
Laporan FAO dalam FRA (Forestry Resources Assessment) tahun 2005
laju deforestasi mencapai 13 juta hektar, dengan perubahan bersih luas hutan di
tahun 2000 sampai dengan 2005 diperkirakan mencapai 7,3 juta hektar per tahun
lebih kecil dari laju deforestasi tahun 1990-2000 yang mencapai 8,9 juta hektar
per tahun. Korelasi negatif ditunjukan dengan menurunnya serapan karbon dalam
bentuk biomasa di hutan dimana tahun 1990 biomasa hutan dunia mencapai 299,2
GT dan di tahun 2005 hanya terdapat 282,7 GT. Salah satu cara untuk menekan
laju deforestasi khususnya di unit manajemen hutan produksi adalah melalui suatu
pengelolaan hutan lestari dengan mempertahankan kandungan karbon dalam
hutan, meningkatkan penyerapan karbon dan substitusi.
Besarnya adaptasi hutan terhadap perubahan iklim berada pada tingkat
penyerapan karbon akibat dari pola manajemen hutan yang diterapkan. Dore dan
Johnston (2000) yang diacu dalam Dore dan Guevara (2000) merumuskan
besarnya karbon yang terserap tiap satu satuan lahan merupakan fungsi dari
besarnya nilai karbon tegakan dengan besarnya nilai karbon yang hilang dan yang
berpotensi hilang akibat dari suatu tindakan manajemen. Dalam menilai hutan
sebagai carbon sink dapat dilakukan dengan pendekatan model dan ekonometrika.
Pendekatan ekonometrika dapat dibuat dengan membentuk persamaan regresi.
Ramirez (2008) membangun model pendugaan nilai ekonomi dari jasa carbon
sink di hutan tropika bekas tebangan. Kumulatif dan nilai total dari jasa serapan
karbon selalu lebih tinggi pada skenario pertumbuhan hutan yang optimistik.
Dalam skenario ini, pertumbuhan hutan sekunder di Kostarika jelas terlihat lebih
rendah dari tahun 1998 sampai dengan 2008 dibandingkan dengan skenario

19
pertumbuhan yang diharapkan. Pertumbuhan akan lebih tinggi terjadi dari tahun
2009 sampai 2014 dan akan lebih rendah dari tahun 2018 ke depan ketika
presentase kawasan hutan belum stabil.
Metode analisis cost-benefit pertama kali digunakan untuk menentukan
keuntungan finansial dari setiap perlakuan silvikultur, mengabaikan pembayaran
potensial untuk jasa carbon sink. Nilai waktu dari uang yang diperoleh dengan
menghitung net present value (NPV), menggunakan suku bunga 5%, 8% dan 10%
(Ramirez 2008). Analyst Finance Carbon menunjukan resesi global volume
perdagangan karbon pasar global di kuarter pertama tahun 2009 yang meningkat
37% dibandingkan kuater keempat di tahun 2008. Hal ini menunjukan
peningkatan pasar di Eropa yang menggabungkan antara hubungan fisik dengan
biaya registrasi dalam spot pasar Uni Eropa (www.carbonfinance.com 2009).
Menurut Lund (2008) bahwa definisi deforestasi dapat dikelompokkan ke
dalam kategori : perubahan penutupan lahan, perubahan penggunaan lahan,
perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Berikut ini beberapa definisi
deforestasi yang telah digunakan oleh berbagai institusi internasional, antaranya
adalah : UNFCCC 11/CP.7 mendefinisikan deforestasi sebagai konversi langsung
yang disebabkan oleh manusia terhadap lahan hutan menjadi lahan non-hutan.
FAO (2010) mendefinisikan konversi hutan ke penggunaan lahan lain atau
pengurangan dalam jangka waktu yang lama dari kanopi pohon kurang dari
batasan minimal 10%. Dengan demikian deforestasi merupakan kehilangan
petutupan lahan hutan secara permanen atau jangka waktu yang panjang, baik
yang disebabkan oleh pengaruh manusia maupun dari gangguan alam. Konversi
hutan ke lahan pertanian, padang rumput/penggembalaan, dan area perkotaan juga
termasuk deforestasi.
Definisi degradasi hutan juga bervariasi, hingga kini setidaknya terdapat
lebih dari 10 definisi yang telah digunakan oleh berbagai institusi (Lund, 2008).
Salah satu definisi degradasi hutan adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan
yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan, sehingga
menurunkan kapasitas produksi (FAO 1993 dalam Lund 2008). Perubahan yang
terjadi di dalam hutan yang masih dalam kategori terdegradasi tidak melampaui
batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC-IPCC menyatakan bahwa

20
degradasi dapat didefinisikan sebagai kehilangan langsung, yang disebabkan oleh
manusia, untuk jangka panjang.
Menurut FAO (2010) bahwa laju perubahan tahunan cadangan karbon di
Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan 2010 terus menurun. Antara tahun
1990-2000, perubahan cadangan karbon mencapai 1,5 juta ton, antara tahun 2000-
2005 menurun sebesar 1,3 juta ton dan di tahun 2005-2010 mengalami penurunan
sebesar 1,7 juta ton. Pemerintah berkomitmen menurunkan 14% emisi karbon dari
sektor LULUCF dari Bussines As Usual (BAU) yang telah dijalankan selama ini.
Bila BAU dijalankan sampai tahun 2020 maka emisi tahunan akan menjadi 1,24
Gt CO2e dan kemampuan serapan CO2e hanya berkisar antara 0.6 sampai dengan
0.71 Gt CO2e (Kemenhut 2010). Guna memenuhi program tersebut dibutuhkan
dana sebesar Rp 83,3 triliun pada tujuh sektor prioritas, yakni sektor energi yang
diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1%. Sektor transportasi dan
industri masing-masing 0,3% dan 0,01%, sektor pertanian 0,3%, sektor kehutanan
13,3%, pengelolaan limbah 1,6%, dan pengelolaan lahan gambut 9,6%.
Untuk meningkatkan serapan karbon dari BAU akan dilakukan upaya
mitigasi dengan skema REDD yang diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti
mampu menyerap 1.31 Gt CO2e dengan menanam 500.000 hektar per tahun dan
upaya lainnya. Skema REDD (reducing emission from deforestation and forest
degradation) dicetuskan dalam konferensi UNFCCC ke-13 di Bali pada akhir
tahun 2007. Hal ini bermaksud untuk menyertakan sektor kehutanan dalam skema
perdagangan karbon sebagai carbon sink terbaik. Namun COP (Conference of
Parties) ke 15 di Kopenhagen – Denmark memutuskan REDD sebagai suatu
instrumen kerjasama internasional yang tidak mengikat.
Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat
menunda terjadinya emisi ke atmosfer karena menurut Masripatin (2007) vegetasi
dan tanah dapat menyimpan ± 7500 Gt CO2 atau dua kali lipat lebih banyak CO2 di
atmosfer, sedangkan hutan menyimpan 4500 Gt CO2 lebih besar dari gas rumah
kaca yang terdapat di atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-
2020 disusun untuk merealisasikan komitmen pemerintah RI dalam mereduksi
emisi sebesar 26%. Kegiatan pengayaan dan penanaman hutan, pengaturan jatah
tebangan tahunan dari 17 juta m3 menjadi 9 juta m3 .

21
Selain itu dilaksanakan pengendalian volume kayu yang diekstraksi
dengan illegal logging dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal dengan metode
RIL (Reduced Impact Logging). Diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti
terdapat selisih antara emisi dan serapan sebesar 0,7 Gt. Bila BAU dijalankan
maka selisih negatif sebesar 0,53 Gt dan bila hanya dilakukan penanaman seluas
500.000 hektar per tahun maka selisih negatif sebesar 0,35 Gt. Pencapaian
penurunan target emisi sebagaimana dijelaskan di atas, akan dilaksanakan
bersama pemerintah daerah yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut.

2.5 Skenario Pengelolaan Hutan dengan Skema REDD


REDD merupakan bentuk pembayaran jasa lingkungan atas serapan CO 2
bebas di atmosfer oleh hutan melalui mekanisme fotosintesis. REDD merupakan
skema untuk memperoleh nilai jasa hutan yang tidak semata karena kayu namun
REDD dapat berjalan karena adanya potensi kayu dan bentuk serapan karbon
lainnya. Adapun beberapa skenario yang mungkin dapat ditawarkan dalam
pengelolaan hutan bersama REDD antara lain:
2.5.1 Moratorium Penebangan
Moratorium penebangan adalah penundaan produksi atau ekstraksi hasil
hutan kayu dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga
carbon sink dari hutan serta menjaga serapan karbon di atmosfer. Kebijakan ini
berlangsung ketika hutan dianggap sebagai pabrik O2 dan ketika pabrik itu
diganggu maka kemampuan serapan akan menurun. Emisi rujukan adalah
proyeksi emisi dari deforestasi dan degradasi yang memungkinkan untuk
dilakukan pengukuran pengurangan emisi. (Budiharto 2009).
Moratorium penebangan sering disebut dengan jeda tebangan sebagaimana
kini telah dipraktekkan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Instruksi
Gubernur NAD Nomor 5 Tahun 2007. Menurut Instruksi Gubernur (INGUB) No.
5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, latar belakang lahirnya kebijakan ini
didasari oleh kondisi objektif pengelolaan hutan Aceh yang tidak terkendali,
sehingga kerap melahirkan bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor,
serta konflik antara satwa dan manusia. Tujuan yang ingin dicapai dari
pemberlakukan moratorium logging adalah “Hutan Lestari Rakyat Aceh

22
Sejahtera” melalui tiga program pokok, yakni redesign, reforestrasi, dan reduksi
laju deforestrasi (Gumay 2008).
Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m3 kayu bulat tiap
tahunnya. Hal ini tak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan.
Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan
alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m 3, dua kali lipat
kemampuan hutan Indonesia. Maraknya pembalakan liar mengakibatkan
ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin merusak hutan.
Total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai
30,18 juta m3, yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun
pada tahun 2006 (Syumada 2010).
Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut
ditindaklanjuti dengan moratorium maka akan berdampak pada kemampuan
pemenuhan kebutuhan. Indonesia membutuhkan dana kompensasi sebesar
Rp.75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan
hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH
(Hak Pengusahaan Hutan) dan 77 perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri)
(Effendi 2009). Lebih lanjut Effendi (2009) menjelaskan bahwa Luas hutan alam
yang terdapat di areal konsesi 187 perusahaan-perusahaan HPH dan HTI tersebut
mencapai 7,58 juta hektar, dan perusahaan-perusahaan tersebut berencana
melakukan penebangan kayu dan konversi hutan alam seluas 1,84 juta hektar
hingga 2018. Angka Rp 75,24 triliun adalah nilai penjualan kayu dari rencana
eksploitasi kayu oleh 187 perusahaan HPH dan HTI tersebut hingga 2018 nanti
yang mencapai 79,69 juta m3.
2.5.2 Penerapan RIL
RIL (Reduced Impact Logging) adalah suatu kebijakan pemanenan hutan
dengan meminimalkan resiko kerusakan pada tegakan tinggal dan tapak serta
untuk menjaga potensi di hutan. RIL merupakan suatu pendekatan sistematis
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dalam pemanenan
kayu. RIL dapat menyimpan lebih dari 30 ton karbon per hektar. Penerapannya
pada 30 juta ha areal HPH hutan alam di Indonesia berpotensi untuk mengurangi
lebih dari satu milyar ton emisi CO2. Aplikasi RIL dalam pengelolaan hutan lestari

23
di Indonesia tidak dapat berjalan baik. Ada 7 faktor yang mempengaruhi
implementasi RIL, yakni (1) kepastian lahan, (2) klaim lahan oleh masyarakat, (3)
illegal logging, (4) konflik penggunaan lahan, (5) kurangnya dukungan
manajemen, (6) pelatihan yang kurang memadai, dan (7) masalah sumberdaya
manusia serta biaya implementasi yang terlalu tinggi. (Priyadi 2007).
Beberapa penelitian juga menyimpulkan bahwa sebenarnya RIL tidak
menjamin kelangsungan produksi hasil yang akan meningkat pada siklus
berikutnya. Sist dan Fereira (2007) diacu dalam Puts et al (2008) menjelaskan
bahwa panen awal di hutan dataran rendah basah Brazil mencapai 21 m 3/ha
namun setelah 30 tahun kemudian hasil yang akan ditebang hanya 50% dari
volume awal. Dauber et al (2005) diacu dalam Puts et al (2008) meramalkan
bahwa setelah pemanenan hanya terdapat 11,8 m3/ha dari hutan liana di Amazon
Bolivia dengan RIL dan pada siklus tebang 25 tahun kemudian hanya akan
dipanen 21% dari volume tebangan awal. RIL juga gagal mencapai tujuan
silvikultur kelestarian hasil di hutan namun mampu mereduksi 50% kerusakan
tegakan, menjaga biodiversitas dan fungsi ekosistem (Puts et al 2001 diacu dalam
Puts et al 2008).
Klassen (2010), hambatan adopsi sistem RIL di Indonesia dapat
diklasifikasikan atas dua faktor, yakni faktor eksternal yaitu (1) efektivitas
pelaksanaan regulasi dan monitoring operasional di hutan yang tidak pernah
dilakukan dengan baik dan masih banyak ketidakpastian batasan yuridiksi
desentralisasi di Indonesia, (2) masalah tenurial yang tidak pasti, (3) kurangnya
penegakan aturan sehingga seakan-akan membiarkan perusahaan pemegang hak
konsesi untuk memanipulasi pelaksanaan pengelolaan hutan yang terkesan lestari,
(4) masih terdapat ijin pemanenan hutan tanpa persyaratan silvikultur yang berarti
atau kontrol aturan, (5) penegasan hak masyarakat lokal untuk lahan hutan dan
konversi ke bukan hutan atau menjual hak mereka ke pelaku bisnis lainnya, (6)
aktivitas penebangan liar dan tidak disahkan dengan aturan. Faktor internal yang
mempengaruhi yakni (1) kesalahan persepsi, (2) ketidakpahaman, (3) petunjuk
teknis RIL yang tidak jelas, (4) defisiensi kemampuan teknis dan (5)
ketidakmampuan menggunakan alat.

24
2.6 Pemodelan Sistem
Menurut Grant et al (1997), analisis sistem adalah studi yang dibentuk satu
atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem. Holisme adalah filosofi
utnuk mempelajari perilaku total (atau atribut-atribut total lainnya) dari beberapa
sistem yang kompleks. Analisis sistem adalah pendekatan filosofis dan kumpulan
teknik, termasuk simulasi yang dikembangkan secara eksplisit untuk
menunjukkan masalah yang berkaitan dengan sistem yang kompleks. Analisis
sistem menekankan pada pendekatan holistik untuk memecahkan masalah dan
menggunakan model matematika untuk mengidentifikasi dan mensimulasikan
karakteristik yang penting dari sistem yang kompleks. Tahapan analisis sistem
menurut Grant et al (1997) yaitu :

2.6.1 Formulasi model konseptual.


Tujuan tahapan ini untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model
sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada
kenyataan di alam dengan segala sistem yang terkait antara satu dengan yang
lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang
sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan
memeperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan
tujuan melakukan pemodelan simulasi. Tahapan ini terdiri dari enam langkah
sebagai berikut :
1. Penentuan tujuan model
2. Pembatasan model
3. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem
Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem
dikategorisasikan kedalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan
fungsinya sebagai berikut :
a. State variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem
b. Driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun
tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.
c. Konstanta. Adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik sebuah
sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami perubahan
pada setiap kondisi simulasi.
d. Auxiliary variable, variabel yang dipengaruhi dan mempengaruhi sistem.

25
e. Material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode tertentu
yang terletak diantara dua state, source dan sink.
f. Information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang state
dari sistem untuk mengendalikan perubahan state.
g. Source dan sink berturut-turut menggambarkan asal (awal) dimulainya
proses dan akhir dari masing-masing transfer materi.
4. Pengidentifikasian hubungan antar komponen.

2.6.2 Spesifikasi model kuantitatif


Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif
dari sistem yang diinginkan. Pembuatan model kuantitatif ini dilakukan dengan
memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-masing nilai variabel dan
menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model
sisitem tersebut ke dalam persamaan matematik sehingga dapat dioperasikan oleh
program simulasi. Pada tahap ini dilakukan perumusan makna sebenarnya dari
setiap relasi yang ada dari model konseptual. Spesifikasi model terdiri dari
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Memilih struktur kuantitatif umum dari model dan waktu dasar dari simulasi.
b. Mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model.
c. Menduga parameter dari persamaan model.
d. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi.
e. Menjalankan simulasi dan menampilkan persamaan model
2.6.3 Evaluasi model
Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan
membandingkannya dengan dunia nyata. Tujuannya adalah mengevaluasi model
yang dibangun dalam hal kegunaan relatifnya untuk memenuhi tujuan-tujuan
tertentu. Tahapan evaluasi model adalah sebagai berikut :
a. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model.
b. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan.
c. Membandingkan model dengan sistem nyata.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model
jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.

2.6.4 Penggunaan model


Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah
diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan
dan simulasi beberapa scenario hasil simulasi yang telah di evaluasi, sehingga

26
dapat digunakan untuk memahami pola perilaku model, serta mengetahui
kecenderungan (ternd) di masa yang akan datang. Model juga dapat dipakai untuk
menguji sebuah hipotesis atau dipakai untuk mengevaluasi ragam skenario atau
kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam
kasus permodelan partisipatif.
Menurut Manetsch dan Park (1979) dalam Gayatri (2010), sistem adalah
suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk
mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan sub sistem
adalah suatu unsur atau komponen fungsional dari suatu sistem, yang berperan
dalam pengoperasian sistem tersebut. Dasar dari analisis sistem adalah asumsi
bahwa proses alami terorganisasi dalam suatu hierarki yang kompleks. Proses
sistem terbentuk dari hasil aksi dan interaksi proses-proses yang sederhana. Tidak
ada sistem yang terpisahkan dan setiap sistem saling berinteraksi satu sama lain
Pemodelan (modelling) adalah kegiatan membuat model untuk tujuan
tertentu. Model adalah abstraksi dari suatu sistem. Sistem adalah sesuatu yang
terdapat di dunia nyata. Sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa sebuah
dunia nyata kedalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan sifat-sifat
utamanya dengan menggunakan perpaduan antara seni dan logika. (Gayatri 2010).
Analisis sistem lebih mendasarkan pada kemampuan kita untuk
memahami fenomena dari jumlah data yang tersedia. Analisis sistem adalah
sebuah pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk
berusaha memahami proses-proses yang terjadi. Membuat analogi-analogi
terkadang merupakan cara yang penting untuk memahami sesuatu, Keyakinan
akan adanya isomorfisme antar beragam sistem menjadikan pemahaman terhadap
sesuatu menjadi mungkin, bahkan pada suatu sistem kita buta sekali akan
perilakunya. (Purnomo, 2004)
Soerianegara (1978) yang diacu dalam Gayatri 2010, mengemukakan
bahwa simulasi adalah eksperimentasi yang menggunakan model dari suatu
sistem. Simulasi dalam analisis sistem meliputi tiga kegiatan berikut:
1. Membuat model yang menggambarkan keadaan sistem dan proses-proses yang
terjadi di dalamnya.
2. Memanipulasi atau melakukan percobaan-percobaan terhadap model tersebut
yang akan menghasilkan data eksperimen.

27
3. Menggunakan model dan data untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan
persoalan mengenai sistem sebenarnya (real world) yang diteliti.
Model merupakan penjabaran sederhana dari berbagai bentuk hubungan
dan interaksi antar komponen dalam suatu sistem. Bila bentuk hubungan ini
diketahui dengan baik, maka dapat disusun menjadi suatu persamaan matematis
untuk menjabarkan berbagai asumsi yang ada. Hasil dari pendugaan model
umumnya masih berupa ‘hipotesis’ yang harus diuji kebenarannya pada ‘dunia
yang nyata’. Hasil yang diperoleh melalui pendugaan model tidak selalu sejalan
dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bila terjadi perbedaan, maka ada dua hal
yang harus dilakukan:
1. Memeriksa ulang struktur model, termasuk nilai parameter-parameter yang
dipergunakan untuk mengawali pemodelan dan konsistensi internal model
(apakah keluarannya sejalan dengan asumsi-asumsi yang ada), atau
2. Memeriksa ulang cara pengukuran parameter di lapangan, dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara seksama.
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada tanggal 04 Juni hingga 27 Juni 2011 yang
berlokasi dihutan primer, hutan bekas tebangan tahun 2008 dan hutan bekas
tebangan tahun 2010 di kawasan IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alas Mandiri,
Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua

28
Gambar1. Peta Kawasan IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu : alat tulis, tallysheet,
kalkulator, phiband untuk mengukur diameter pohon, parang, kompas, cat
penanda batas petak, tambang berukuran 20 m, seperangkat computer dengan
software Microsoft Excell, Microsoft words, Stella 9.02, Minitab 14, Vensim, dan
kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data
administrasi yang tersedia di kantor HPH PT. Mamberamo Alas Mandiri, meliputi
data pertumbuhan tegakan Petak ukur Permanen (PUP) tiga tahun terakhir, data
curah hujan, data kondisi umum lokasi IUPHHK-HA, data biaya produksi kayu
dengan menggunakan pemanenan konvensional dan pemanenan berdampak
rendah, laporan tahunan perusahaan tahun 2010, serta pustaka acuan yang
mendukung dalam penelitian ini.
3.3 Kerangka Pemikiran
Besarnya volume tebangan yang tidak seimbang dengan riap pertumbuhan
tegakan menjadikan hutan produksi mendekati ambang kepunahan dan
kesempatan usaha di kawasan hutan dalam konteks kelestarian pun makin
menurun. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi kesempatan berusaha dan
pendapatan daerah dan akan menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi
masyarakat sekitar hutan. Maraknya tuntutan adaptasi hutan tropika untuk
mengurangi laju perubahan iklim dengan menunda lepasnya karbon dari tegakan
hutan menjadikan suatu bisnis baru sebagai alternatif nilai tambah (keuntungan)
ketika pertumbuhan riap tegakan per hektar semakin kecil.
Untuk menjawab tuntutan tersebut diperlukan suatu informasi pendugaan
cadangan karbon tersimpan dalam tegakan pada kelompok-kelompok ukuran
diameter dan kelompok jenis berdasarkan nilai ekonominya. Tentunya kebijakan
yang diambil nantinya berdampak bagi pemerintah maupun masyarakat sekitar
hutan sebagai pengguna hasil hutan baik berupa kompensasi, penyerapan tenaga
kerja maupun suplai kayu terhadap kebutuhan pembangunan. Untuk itu perlu
adanya suatu simulasi pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspek :

29
1. Riap pertumbuhan diameter.
2. Proyeksi struktur tegakan ketika BAU dan Skema REDD+;
3. Proyeksi penambahan nilai ekonomi bila kebijakan REDD+ dilaksanakan.
Berasal dari pemikiran di atas maka dapat dibuat kerangka pemikiran
sebagai berikut :
Pengelolaan Hutan

Struktur tegakan DATA

Riap Tegakan Biomasa Tegakan

REDD+

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

3.4 Pendekatan Sistem


Tahapan analisis sistem menurut Grant et al (1997) terdiri dari :
3.4.1 Formulasi Model Konseptual
3.4.1.1. Tujuan Model
Tujuan dari Pembuatan model simulasi ini adalah :
1. Mendapatkan gambaran tentang struktur dinamika tegakan pada
pemanen menggunakan RIL dengan Convensional Logging (CL).
2. Mendapatkan gambaran simulasi sistim dinamis tentang potensi
kandungan karbon pada pemanen menggunakan RIL dengan CL.
3. Mendapatkan gambaran simulasi sistim dinamis tentang
pendapatan perusahaan PT. Mamberamo Alasmandiri pada saat
REDD diberlakukan pada pemanen menggunakan RIL dengan CL.
Menenetukan model kelayakan REDD saat menggunakan RIL.

3.4.1.2. Batasan Model

30
Model simulasi sistim dinamis yang dibangun pada penelitian ini
mempunyai beberapa batasan antara lain :
1. Model hanya menghitung stok karbon di atas permukaan tanah dengan
menggunakan persamaan allometrik.
2. Model dijalankan pada hutan produksi bekas tebangan, dalam hal ini
khususnya di HPH PT Mamberamo Alasmandiri.

3.4.1.3. Kategorisasi Komponen dalam Sistem


Tujuan dari tahap ini adalah untuk menentukan konsep dan tujuan model
sistem yang akan dianalisis. Kemudian menentukan komponen sistem yang
berkaitan dengan pencapaian tujuan model tersebut. Komponen-komponen
tersebut diidentifikasi keterkaitannya dan merepresentasikan model tersebut
dengan diagram kotak-panah (box-arrow). Pembatasan dan defenisi komponen
dalam sistem sebagai berikut:
1. Daur adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan yang
berurutan di tempat yang sama dalam sistem sivikultur polisiklik.
2. Struktur tegakan (struktur tegakan horisontal) adalah banyaknya pohon
per satuan.luas (per hektar) pada setiap kelas diameter.
3. Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan terhadap banyaknya
pohon per hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu.
4. Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap
KD tertentu yang berasal dari KD dibawahnya selama periode waktu
tertentu.
5. Tingkat kematian logging adalah banyaknya pohon hektar yang mati pada
setiap kelas diameter dalam periode waktu tertentu akibat penebangan.
6. Hasil tebangan dalam hal ini diperoleh dari pemanenan jumlah pohon
masak tebang dengan diameter 40 cm up.
7. Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme
(tumbuhan) per satuan unit area pada suatu waktu. Biomassa biasanya
dinyatakan dalam ukuran berat kering, dalam kg/ha atau ton/ha. Biomassa
yang diukur pada simulasi kali ini adalah biomassa atas permukaan tanah.
8. Karbon tersimpan adalah kandungan karbon yang tersimpan dalam

31
keseluruhan total biomassa tegakan yang ada.
9. CL (Conventional Logging) adalah sistim pemanenan secara
konvensional.
10. RIL (Reduce Impact Logging) adalah sistim pemanenan kayu dengan cara
meminimalisir jumlah kerusakan tegakan tinggal.
11. REL (Reference Emission Level) adalah tingkat kandungan karbon total
yang digunakan sebagai baseline dalam penghitungan penambahan stok
karbon. Dalam model ini REL adalah kandungan karbon dengan sisitim CL.
12. Additionality adalah besarnyan tambahan stok karbon pada saat RIL jika
dibandingkan dengan stok karbon dengan sisitim CL.
13. Plan Vivo Standart adalah standar penghitungan biaya yang diperlukan
dalam REDD, terdiri dari biaya validasi, verifikasi dan upah sertifikat CO2.
14. NPV (Net Present Value) adalah yaitu selisih antara manfaat (benefit)
dengan biaya (cost) yang telah didiskonto.
15. Total Penerimaan merupakan pemasukan bersih dari hasil pemanenan
kayu RIL dan perdagangan karbon melalui skema REDD.
16. Kelayakan finansial adalah besarnya NPV pada saat RIL dan REDD
dijalankan dibandingkan dengan NPV CL.
3.4.1.4. Hubungan Antar Sub Model
Sub model dinamika struktur tegakan RIL dan CL menjelaskan dinamika
jumlah pohon per hektar dan besarnya jumlah tebangan pada RIL dan CL. Sub
model Pendapatan RIL dan CL menjelaskan besarnya jumlah pendapatan dari
penebangan kayu berdasarkan biaya-biaya yang dikeluarkan pada RIL dan CL.
Sub model pendugaan stok karbon REL menjelaskan dinamika besarnya stok
karbon CL. Sub model pendugaan additionality karbon menjelaskan besarnya
tambahan stok karbon pada saat RIL dijalankan. Sub model pendapatan REDD
menjelaskan besarnya nilai ekonomi yang akan didapatkan dari besarnya
tambahan stok karbon menggunakan plan vivo standart. Sub model pendapatan
carbon trade dengan skema REDD menjelaskan besarnya nilai ekonomi yang
akan didapatkan pada saat REDD dijalankan. Sub model kelayakan proyek REDD
menjelaskan kelayakan REDD bila dibandingkan dengan CL. Sub model
kelayakan usaha dilakukan dengan membandingkan keuntungan ketika

32
menjalankan skema CL seperti BSB yang selama ini dijalankan (NPV CL > NPV
RIL REDD) ataukah keuntungan lebih akan didapat jika menggunakan skema
perdagangan karbon dengan skema RIL (NPV CL ≤ NPV RIL REDD)

Gambar 3. Hubungan antar sub model


3.4.2 Spesifikasi Model Kuantitatif
Data yang digunakan untuk menduga parameter-parameter model
dinamika struktur tegakan dalam makalah ini berasal dari data simulasi :
1. Data Jumlah Pohon per hektar (N/ha)
Data jumlah pohon per hektar pada setiap kelas diameter diperoleh dari
perhitungan jumlah pohon per hektar yang terdapat pada hutan bekas
tebangan di areal IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri.
2. Persamaan Ingrowth
Persamaan ingrowth menggunakan persamaan Krisnawati (2001) yakni
Y = 3,98 + 0,0269 N/ha – 0,33 LBDS, dimana Y adalah jumlah pohon, N/ha
adalah jumlah pohon per hektar, LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha).
3. Persamaan Upgrowth
Persamaan Upgrowth menggunakan persamaan Krisnawati (2001) yakni

33
Y = 0,214 – 0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh 2, dimana Y
adalah jumlah pohon, LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha), Dbh adalah
diameter setinggi dada (cm).
4. Persamaan Mortality
Nilai mortality rate pada convensional logging untuk kelas diameter 10-19,
20-29, 30-39, 40-49, 50-59 pohon diasumsikan sebesar 8 %, sedangkan
untuk kelas diameter 60 up sebesar 5%. Sedangkan pada RIL untuk kelas
diameter 10-19, 20-29, 30-39, 40-49, 50-59 pohon diasumsikan sebesar 4 %,
sedangkan untuk kelas diameter 60 up sebesar 3%. Asumsi ini berdasarkan
hasil penelitian Davis, (2000); Elias, (2006); Keong, et al, (2006); Muhdi et
al, (2006); Ramos et al, (2006); Butler, (2007) menyimpulkan bahwa
dampak dari kegiatan pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan tegakan
tinggal sampai 45% untuk seluruh tegakan atau seluruh kelas diameter.
5. Persamaan Penduga Biomassa Pohon
Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
persamaan allometrik biomassa yang disusun oleh Brown (1997) dengan R²
(R-square) atau koefisien determinasi sebesar 0,97 dimana semakin besar
koefisien determinasi maka persamaan tersebut memiliki tingkat ketelitian
yang tinggi. Persamaan ini diterapkan pada zona iklim lembab dengan curah
hujan/tahunnya sebesar 1500-4000 mm/tahun.
Y = exp [-2,134 + 2,530 x ln(D)]
Dimana Y = biomassa per pohon (Kg)
D = Diameter pohon setinggi dada (cm).
6. Besarnya Kandungan karbon Tersimpan
Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan menggunakan
pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya
50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon sehingga dari hasil
perhitungan biomassa dapat dirubah kedalam bentuk karbon (ton C/ha) yaitu
dengan mengalikan nilai biomassa dengan faktor konversi sebesar 0,5.
Karbon (C) = Bx 0,5
Dimana : C = Jumlah karbon (ton C/ha)
B = Biomassa (ton/ha)

34
7. Pendapatan Kayu
Pendapatan dari penebangan kayu didapatkan dari perkalian jumlah
penebangan pohon per hektar (berdiameter lebih dari 50 cm) dengan volume
kayu (m3) dan harga kayu (diasumsikan harga kayu Rp. 2.000.000/m3),
kemudian dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi kayu dengan menggunakan system pemanenan RIL dan CL
(data biaya berdasarkan Lidiawati, 2002).
8. Biaya perdagangan karbon dengan skema plan vivo standart
Besarnya biaya ini terdiri dari biaya validasi sebesar US$ 12500 per waktu
validasi (5 th), biaya verifikasi sebesar US$ 30000 per waktu verifikasi (5
th) dan upah sertifikat CO2 sebesar US$ 0,30 per karbon yang terjual.
Sumber : Kementerian Kehutanan (2009).
9. Pertambahan cadangan karbon
Pendugaan pertambahan karbon atau additionality merupakan selisih antara
pengelolaan hutan dengan menggunakan skema CL dengan RIL. Pada
skema CL dapat dibentuk baseline atau basis sebagai patokan untuk
menghitung adanya penambahan cadangan karbon ketika skema RIL
dijalankan.
10. Pendapatan Karbon
Pendapatan dari karbon pada skema REDD didapatkan dari perkalian
addittionality karbon dengan volume kayu dan harga karbon yang berlaku di
pasar (Saat ini harga karbon US$ 5 – 20 / ton, kurs rupiah 1 US$ = Rp.
8.500).
11. Persamaan NPV (Net Present Value) dirumuskan dalam persamaan :
n
Bt - Ct
NPV = �
t =1 (1 + i )t

Dimana :
NPV = Nilai sekarang netto (Rp/th)
Bt = Penerimaan yang diperoleh pada tahun t (Rp/th)
Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun t (Rp/th)
t = jangka waktu analisis
i = tingkat suku bunga (discount rate) pada makalah ini
diasumsikan tingkat suku bunga 10 %.

35
12. Kelayakan Perdagangan karbon
Kelayakan REDD dikatakan layak jika pendapatan RIL dan REDD dengan
pendapatn CL > 1, dan dikatakan tidak layak jika jika pendapatan RIL dan
REDD dengan pendapatan CL ≤ 1.

3.4.3 Evaluasi Model


Evaluasi model berguna untuk mengetahui keterandalan model sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan. Langkah-langkah dalam evaluasi model meliputi :
1. Mengevaluasi kewajaran model dan kelogisan model
2. Analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat
kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu paramater
dalam model secara ekstrim.

3.4.4 Penggunaan Model


Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah
diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan
dan simulasi beberapa scenario yang diterapkan dalam pemodelan ini.
I. KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan


PT. Mamberamo Alasmandiri merupakan perusahaan PMDN yang
tergabung dalam KODECO GROUP. Didirikan pada tanggal 5 Desember tahun
1991 dengan akte pendirian No. 24 Notaris Rahmah Arie Sutardjo, SH, dan
memperoleh pengesahaan dari Menteri Kehakiman RI No. C2-2966-H. T. 01. 01.
TH’92 tanggal 20 April 1992. Pendirian perusahaan adalah dalam rangka
pemenuhan bahan baku industry Kodeco Group (PT. Kodeco Batulicin Plywood)
untuk memenuhi pangsa ekspor produk kayu olahan.
Ijin Pemanfaatan Hutan IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri didasarkan
pada keputusan Menteri Kehutanan No. 1071/Kpts-II/1992 tanggal 19 November
1992, seluas 691.700 hektar yang kemudian diperbaharui berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 910/Kpts-IV/1999 tanggal 14 Oktober
1999 dengan luas 677.310. Pada tahun 1999, luas areal IUPHHK mengalami

36
perubahan dari 691.700 ha (SK Menhut No.1071/Kpts-II/1992) menjadi 677.310
ha (Addendum SK Menhutbun No.910/Kpts-II/1999). Perubahan areal tersebut
berkaitan dengan diberlakukannya Perda No.3 Th. 1993 dimana dilakukan
identifikasi dan evaluasi terhadap areal kerja PT. Mamberamo Alasmandiri (Surat
Perintah Gubernur KDH Tk 1 Irja No.650/1400/SET, tanggal 25 April 1995 yang
ditujukan kepada Ketua Bappeda Tk 1 Irja). Dalam kegiatan pengelolaan hutan,
PT. MAM membagi areal kerjanya menjadi 2 unit kelestarian, yaitu Unit Aja dan
Unit Gesa dimana keduanya melakukan kegiatan operasional secara terpisah.

4.2 Letak Geografis dan Luas IUPHHK


Areal kerja IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri termasuk ke dalam
kelompok hutan Sungai Mamberamo-Sungai Gesa. Berdasarkan pembagian
wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK PT Mamberamo
Alasmandiri terletak di dalam wilayah distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo
Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten
Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo
Alasmandiri berbatasan dengan areal kerja IUPHHK lain seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Batas Areal Kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri
No Arah Lokasi Batas Areal
1. Utara Batas buatan (belum ditata batas)
2. Timur S. Mamberamo, Hutan Suaka Alam, Pegunungan Foja, dan HL
3. Selatan Hutan Suaka Alam Wisata dan Habitat Buaya
4. Barat PT. Semey Matoa Timber, PT. Kayu Ekaria, dan Hutan Lindung

Berdasarkan status fungsi hutan, areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo


Alasmandiri terdiri atas Hutan Produksi (HPK) dengan luas masing-masing :
Hutan Produksi Bebas (HP) : ± 117.010 hektar (±17,30%)
Hutan Produksi Terbatas (HPT) : ± 513.570 hektar (±75,80%)
Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi : ± 46.730 hektar (± 6,90%)
Jumlah : ± 677. 310 hektar

37
Gambar 4. Peta kawasan IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri.

4.2.1 Topografi dan Kelerengan


Menurut peta garis bentuk areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo
Alasmandiri skala 1 : 50.000 yang dibuat secara fotogrametris dari potret udara
skala 1: 50.000 hasil pemotretan tahun 1986 dan 1987, menginformasikan bahwa
hamparan areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri bervariasi dari datar
sampai bergelombang dengan ketinggian berkisar antara 100-648 mdpl.
Menggunakan kelas kelerengan sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan
Presiden Nomor 32 tahun 1990 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
837/Kpts/Um/II/1980, kelas lereng di areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo
Alasmandiri terdiri atas kelereng A (<8%) sampai kelas lereng E (>40%). Luas
masing-masing kelas lereng disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kelerengan Lahan Areal Kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri
Satuan Peta Kelerengan LUAS
Hektar Persen
L.1 <8% (Datar) A 202.658 29,9
L.2 8-15% (Landai) B 185.784 27,4
L.3 15-25% (Agak curam) C 215.920 31,9
L.4 25-40% (Curam) D 60.106 8,9
L.5 >40% (Sangat Curam) E 12.843 1,9
Jumlah 677.310 100

38
Sumber : Peta garis bentuk areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri yang dibuat secara
fotogrametris Potret udara skala 1 : 50.000 hasil pemotretan tahun 1986 dan 1987.

4.3 Tanah dan Geologi


4.3.1 Tanah
Berdasarkan peta tanah provinsi Irian Jaya skala 1:1.000.000 (Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
1993) areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri terdiri atas 6 (enam)
satuan peta tanah (SPT), meliputi SPT-2 (Tropaquens-Tropaquets-Tropohemists),
SPT-5 (Tropaquetps-Tropaquents-Tropofibirsts-Troporthens-Troposamments),
SPT-19 (Hpluduts-Dystropepts), SPT-20 (Hapluduts-Dystropepts-Tropaquepts).
Luas dari jenis tanah tersebut dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Jenis tanah di Areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri
Satuan Jenis Tanah Kepekaan Erosi *) Luas**)
Peta Kelas Kepekaan Hektar %
Aluvial Tropaquents 1 145.700 21,5
T1 (Gleisol hidrik) Tidak Peka
Latosol Dystropepts 2 Agak Peka 255.110 37,7
T2 Podsolik Hapludults 4 Peka 250.870 37,0
T5a Litosol Troporthenst 5 Sangat Peka 23.190 3,4
T5b Regosol Tropopsammenst 6 Sangat Peka 2.440 0,4
Keterangan : *) Kepekaan Tanah terhadapa Erosi didasarkan pada ketentuan yang tersurat dalam
Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 837/Kpts/Um/11/1980
**) Hasil pengukuran planimeter

4.3.2 Geologi
Berdasarkan Peta Geologi Gunung Doom-3213 serta lembar Sarmi dan
Bufareh-3313 skala 1: 250.000, formasi geologi yang menyusun pada areal
IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri secara rinci disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Formasi Geologi Pada Areal Kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri.
Kode Formasi Batuan Penyusun Luas
Geologi Ha %
Qa Aluvium Lempung, pasir, kerikil; endapan sungai, pantai, rawa 59.483 9

Qc Batuan Lempung tergerus mengandung bongkah batuan yang 15.243 2


Campur lebih tua. Terbentuk akibattektonika kompresi pada
Aduk umur Plistosen-holosen

39
Qf Fanglom Konglomerat, pasir, lempung tidak mampat; tebal 16.028 2
erat kurang dari 100 m dan telah terungkit
Qmd Formasi Lelehan lumpur, dan lempung, dengan bongkah batuan 34.725 5
Lumpur tua

Qtu Formasi Greweka, batulanau, batulempung, konglomerat dan 350.297 53


Unk bersisipan liginit berumur Pliosen akhir- Plistosen;
tebal seluruhnya 1500 m
QTw Lempung Batulempung bersisipan batupasir, batulanau dan 9.603 1
Wapoga lapisan tipis gambut; Umur Pilosen akhir- Plistosen;
tebal 600 m
Tmm Formasi Perselingan grewake, batulanau, batulempung serpih 158.099 23
Makats napal bersisipan konglomerat dan batu gampiang; umur
bagian bawah miosen tengah-bagian bawah miosen
akhir tebal hingga 200 m.
Tmpa Formasi Napal, kalkarenit, batupasir, batulanau dan 33.832 5
Aurimi batulempung; kompak, getas, terlipat, tersesarkan;
berumur miosen akhir-pliosen; tebal anatara 300-1200
Jumlah 677.310 100

4.4 Iklim dan Intensitas Hutan


Berdasarkan darri data yang diperoleh dari stasiun Pencatat Curah Hujan
Camp Aja tahun 2010 diperoleh nilai Q = 0 % dengan curah hujan rata-rata adalah
sebesar 3.493,33 mm/tahun dan tingkat minimum hujan yang terjadi pada bulan
September (156,51 mm/bulan) dan maksimum terjadi pada bulan Mei (591,40
mm/bulan). Berdasarkan data curah hujan pada tahun 2010, kawasan IUPHHK
PT. Mamberamo Alasmandiri termasuk dalam klasifikasi iklim lembab. Data
curah hujan bulanan pada tahun 2010 dapat dilihat pada gambar berikut.

40
Gambar 5. Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2010 di IUPHHK- HA
PT. Mamberamo Alamandiri.

4.5 Keadaan Hutan


4.5.1 Penutupan Lahan dan Fungsi Hutan
Penutupan lahan areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri
berdasarkan hasil penafsiran Citra Landsat LS-7 ETM+US Department of the
Interior, US Geological Survey band 542, Mozaik Path 102 Row 62, liputan
tanggal 19 November 2005 dan Path 103 Row 62 Liputan tanggal 8 Juli 2006.
Seperti disajikan pada tabel berikut:

Tabel 7. Penutupan Vegetasi pada Fungsi Hutan IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri
Fungsi Hutan (Ha) BZ Jumlah Persen
Penutupan Lahan HPT HP HPK
1. Hutan Primer 287.203 66.966 6.176 12.230 372.575 55%
2. Hutan Bekas Tebangan 105.825 40.100 30.651 1.948 178.524 26,4%
3. Non Hutan 6.209 5.169 592 127 12.097 1,8%
4. Hutan Rawa Primer - 1.890 10.951 - 12.841 1,9%
5. Hutan Rawa Bekas Tebangan 8.268 783 - - 9.051 1,3%
6. Non Hutan Rawa - 71 1.111 - 1.182 0,2%
7. Tubuh Air / Danau - 636 - 12 648 0,1%
8. Tertutup Awan 74.295 10.511 - 5.586 90.392 13,3%

41
Jumlah 481.800 126.126 49.481 19.903 677.310 100%
Sumber : Pengesahan Citra Landsat Nomor S.35/VII/Pusin-1/2006 tanggal 22 Januari 2007.

4.5.2 Potensi Tegakan


Hasil perhitungan potensi tegakan tiap hektar dari masing-masing kondisi
kerapatan di areal hutan virgin HP (Hutan Produksi) dan HPT ( Hutan Produksi
Terbatas ) disajikan pada tabel berikut:
Tabel 8. Potensi Tegakan di Areal HP dan HPT (dengan pembobotan luas stratum)
IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri

Diameter Diameter Diameter Diameter


Kelompok 20-49 cm > 40 cm > 50 cm > 60 cm
V/Ha
Jenis
(M³) (M³)
Hutan Produksi (HP)
Komersial 10,52
Non Kome 1,36
Semua Jenis 11,88
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Komersial 12,77
Semua jenis 13,5
Sumber : Hasil Survei Dalam Rangka Pengkajian Struktur dan Potensi Tegakan Hutan Alam di
Areal IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri Propinsi Irian Jaya, kerjasama antara
PT. Mamberamo Alasmandiri dengan Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

4.6 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat


Lokasi areal kerja PT Mamberamo Alasmandiri termasuk dalam wilayah
administrasi Kabupaten Mamberamo Raya yang meliputi tiga distrik yaitu
Mamberamo Hulu, Mamberamo Atas, Mamberamo Tengah dan Waropen Atas.
Mamberamo Raya merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten
Sarmi dan Kabupaten Waropen Atas berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun
2007 yang disahkan tanggal 15 Maret 2007.
Dari total keseluruhan desa-desa yang berada di dalam dan sekitar areal
kerja IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri, hanya ada dua desa yang berada di
dalam areal kerja IUPHHK, yaitu Desa Burmeso dan Desa Danau Bira. Dua desa
inilah yang dijadikan prioritas untuk pembinaan pada tahap awal melalui program
PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan).

42
Informasi komposisi penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur
di sekitar areal IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri seperti pada tabel berikut:
Tabel 9. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Sekitar Areal IUPHHK
Kabupaten/Distrik Komposisi Penduduk
L P Jumlah Rasio Jenis Kelamin
Mamberamo Hulu 3.370 3.181 6.551 105,94
Mamberamo Tengah 2.129 1.956 4.085 108,84
Mamberamo Hilir 956 905 1.861 105,64
Sumber : Kabupaten Sarmi dalam Angka, Tahun 2005
Tabel 10. Proyeksi Penduduk Berdasarkan Usia Poduktif di Sekitar Areal IUPHHK
Golongan Usia Tahun
2003 2004 2005
Usia belum produktif (0-14) 15.660 16.158 16.672
Usia produktif (15-64) 26.240 27.073 27.935
Usia tidak produktif (≥65) 548 566 584
Sumber : Kabupaten Sarmi dalam angka, tahun 2005

4.6.1 Agama dan Adat Istiadat


Penduduk asli disekitar kelompok hutan S.Mamberamo – S.Gesa adalah
suku Baudi Bira, Kerema, Obagui Dai, Kapso Apawer, Birara Noso, Bodo dan
suku Haya. Hubungan suku-suku yang berbeda wilayah masih bersifat tradisional
dan masing-masing suku masih memegang kuat adat istiadatnya, hal ini
ditunjukkan oleh adanya bahasa yang cukup mencolok diantara suku-suku asli dan
masing-masing suku berkembang sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu.
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk di sekitar kelompok
hutan ini adalah bahasa sukunya masing-masing sedangkan bahasa Indonesia
hanya dimengerti oleh sebagian orang saja. Agama dan kepercayaan yang dianut
adalah Kristen Protestan, Katolik dan Islam, selengkapnya dapat dilihat dari tabel
berikut:
Tabel 11. Jumlah Pemeluk Agama Sekitar Areal IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri
Distrik Pemeluk Agama (Jiwa)
Islam Protestan Katolik
Mamberamo Hulu 59 45 6.133
Mamberamo Tengah 38 80 3.759
Mamberamo Hilir 14 374 1.378
Waropen Atas 251 7.296 43
Jumlah 361 7.795 11.293

43
Dalam total 20.494 jiwa penduduk dalam empat distrik sekitar areal kerja
IUPHHK tercatat sebanyak 19.449 jiwa (94,90%) penganut agama resmi dengan
rincian 7.795 jiwa (38,03%) beragama Kristen protestan, 361 jiwa (1,76%)
beragama Islam dan 11.293 jiwa (55,10%) beragama Kristen Katolik. Sedangkan
1.045 jiwa (5,10%) menganut kepercayaan tradisional masing-masing suku.
Fasilitas ibadah berupa Gereja berada di distrik Mamberamo Hulu sebanyak 8,
Mamberamo tengah sebanyak 6 unit, Mamberamo Hilir sebanyak 10 unit dan
Distrik Waropen atas sebanyak 25 unit. Fasilitas ibadah berupa masjid/musholla
berada di Distrik Mamberamo Hilir sebanyak 2 unit, dan Distrik Waropen Atas
sebanyak 2 unit, sedangkan di Distrik Mamberamo Hulu dan Mamberamo Tengah
tidak ditemui masjid/musholla.
Berkaitan dengan uraian di atas, tingkat fasilitas sarana ibadah masing-
masing agama dapat digolongkan sangat minim, bahkan sarana ibadah untuk
penganut kepercayaan tradisional tidak ditemui di empat distrik yang ada. Tingkat
fasilitas sarana ibadah umat Kristen (Protestan dan Katolik ) sebesar 0,27%
artinya setiap unit gereja melayani ± 373 umat, sedangkan tingkat fasilitas sarana
ibadah Islam sebesar 1,17% artinya setiap unit masjid/musholla melayani ± 86
umat.
Budaya masyarakat didalam dan disekitar areal IUPHHK PT. Mamberamo
Alasmandiri merupakan gambaran kecil dari budaya Papua. Kebudayaan di Papua
menunjukkan gejala aneka ekstrim, hal ini disebabkan oleh suku-suku/bangsa-
bangsa yang berdatangan dari berbagai daerah menduduki pulau-pulau yang ada
secara terpisah satu dari yang lainnya (karena isolasi geografis).

4.6.2 Pendidikan
Secara umum fasilitas pendidikan formal di sekitar areal kerja IUPHHK
PT. Mamberamo Alasmandiri sudah ada mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat
Akhir (SLTA). Rincian jumlah fasilitas pendidikan beserta jumlah murid dan guru
di sekitar areal kerja IUPHHK dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel 12. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru sekitar IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri
Distrik SD SMP SMA
unit murid guru unit murid guru unit Murid guru
Mamberamo Hulu 11 1300 17 1 140 9 - - -

44
Mamberamo 5 560 15 1 142 10 1 120 15
Tengah
Mamberamo Hilir 5 300 15 1 113 11 - - -
Sumber : Kantor P dan K Kabupaten Sarmi, tahun 2005.
Berdasarkan data dapat dihitung perbandingan antara jumlah guru dan
murid untuk tingkat SD cukup kecil, sedangkan untuk tingkat lanjutan (SLTP dan
SLTA) cukup besar. Untuk tingkat SD perbandingan antara jumlah guru dan murid
rata-rata ketiga Distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah dan Mamberamo
Hilir sebesar 3 %. Artinya tiap satu orang guru SD melayani siswa sebanyak 46
orang. Untuk tingkat SLTP melayani siswa sebanyak 13 orang. Sedangkan jenjang
pendidikan tingkat SLTA pada sekitar areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo
Alasmandiri baru terdapat satu bangunan di Distrik Mamberamo Tengah dengan
jumlah guru 15 orang dan murid 120 orang, yang berarti tiap satu orang guru
melayani 8 orang. Berdasarkan rasio jumlah guru dan murid dari tingkat SD,
SLTP, dan SLTA menunjukan kurangnya kesadaran penduduk sekitar areal
IUPHHK untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi setelah tamat SD.

4.6.3 Perekonomian Lokal


4.6.3.1 Mata Pencaharian, Aktivitas, Dan Sentra Produksi
Mata pencaharian penduduk yang berada di sekitar areal kerja IUPHHK
PT. Mamberamo Alasmandiri dapat diklasifikasikan menurut keadaaan alam
dimana mereka menetap. Umumnya penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai
Mamberamo dan Danau Bira memiliki mata pencaharian sebagai pencari ikan
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani sehari-hari dan jika ada kelebihan dari
hasil tangkapan, dipertukarkan (barter) dengan bahan makanan seperti umbi-
umbian, jagung dan talas. Disamping mencari ikan dan bercocok tanam dengan
berladang berpindah, ada sebagian masyarakat yang melakukan kegiatan
“meramu” (mencari sagu, umbi dan berburu). Sedangkan masyarakat yang tinggal
di pusat-pusat pemerintah (Distrik dan Kabupaten) yang umumnya sebagai
pendatang berprofesi sebagai pegawai negeri dan buruh harian.

4.6.3.2 Jaringan Pemasaran Dan Pusat Perekonomian Lokal


Pemasaran hasil-hasil pertanian di desa-desa sekitar areal kerja belum
berkembang dengan baik sehingga kadang-kadang petani kesulitan dalam

45
memasarkan hasil-hasil pertaniannya. Sedangkan pasar letaknya cukup jauh yang
ada hanya di Ibukota Distrik, sementara desa-desa memiliki pasar kalaupun ada
pasar desa, kegiatannya hanya transaksi barang-barang kebutuhan sehari-hari
dengan skala relative kecil. Koperasi Unit Desa (KUD) masih sulit ditemukan.

4.6.3.3 Perhubungan
Perhubungan dan sarana perhubungan desa-desa di sekitar areal kerja
IUPHHK dapat dicapai melalui udara dari Sentani (Jayapura) ke Danau Bira atau
Burmeso dan melalui jalan air melalui hilir Sungai Mamberamo melewati daerah
rawa-rawa samapai Trimoris Distrik Mamberamo Hilir. Sedangkan perhubungan
antar dusun, desa, dan ibukota Distrik dilakukan melalui Sungai Mamberamo
yang lebarnya 100-300 meter. Jenis transportasi air berupa perahu yang dibuat
dari kayu dengan panjang 8 meter dan digerakkan oleh tenaga mesin.

4.6.3.4 Pendapatan Masyarakat


Pendapatan masyarakat disekitar areal kerja IUPHHK PT. Mamberamo
Alasmandiri umunya tidak menentu. Cara hidup bertani subsisten menunjukkan
bahwa pendapatan penduduk hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga
sehari-hari. Masyarakat setempat, memiliki pola pekerja yang tidak menentu, serta
pola konsumsi yang sederhana, juga menunjukkan bahwa pendapatan mereka
umumnya masih rendah dan sangat tergantung pada sumber daya alam.
Umumnya hasil dari kegiatan meramu di hutan, akan dijual bila ada
kelebihan dari kebutuhan rumah tangganya dan dibelikan untuk memenuhi
kebutuhan akan dijual bila ada kelebihan dari kebutuhan rumah tangganya dan
dibelikan untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian, garam, rokok, gula, dan lain-
lain. Tingkat upah rata-rata perhari kerja sebesar Rp. 25.000,-.

4.6.3.5 Pola Usaha Tani


Sebagian masyarakat pedalaman dan pinggiran sungai melakukan kegiatan
perladangan berpindah dengan rata-rata kisaran luas lahan sebesar 0,5 – 1 hektar
dengan masa berakhir 5-6 tahun. Umumnya lahan pertanian berada didekat desa
atau rumah. Perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat lebih kearah
mendekati sumber-sumber sagu, pada tempat-tempat tersebut mereka membuka

46
lahan untuk bangunan rumah, kandang, serta bertanam umbi-umbian. Jika potensi
sagu di sekitar sudah mulai menipis maka mereka akan berpindah-pindah untuk
mencari sumber-sumber sagu yang lain. Kegiatan mobilitas untik mencari sagu ini
dilakukan lebih kurang 5 – 15 Kepala keluarga (KK) dengan luas lahan yang
dibuka berkisar antara 0,25-1 hektar/KK. Istilah “rotasi” berdasarkan perputaran
untuk kemudian kembali ke areal semula dalam sistem perladangan berpindah
berkisar antara 5 – 6 bulan.
Tabel 13. Distribusi Komoditas Utama di Sekitar IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri
No Sub Sektor Jenis Komoditi

1. Pertanian Padi sawah, Padi ladang, Jagung, Ubi kayu, Ubi jalur, Kacang Tanah,
Kacang Kedelai, Kacang Ijo, Sayuran dan Buah-buahan serta Perkebunan
2. Peternakan Rakyat (Kelapa, Cengkeh, Coklat, Jambu, Mete, dan Kopi )
3. Perikanan Babi, Ayam, Sapi, Kambing, dan Itik
Ikan Tawar dan Ikan Air Laut
HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Tegakan Awal Pada Hutan Bekas Tebangan


Petak yang di amati dalam penelitian ini adalah Petak Ukur Permanen
(PUP) dengan luas 100m x 100m pada areal bekas tebangan 3 tahun yang tidak
mengalami pemeliharaan, yaitu pada areal bekas tebangan Blok RKT 2008/2009
pada petak 4, 5 dan 6. Namun untuk simulasi hanya menggunakan rata-rata
jumlah pohon dalam satu hektar yang dirasa cukup mewakili seluruh petak.
Pengukuran dilakukan pada tahun 2009, 2010, dan 2011. Dalam penelitian ini di
asumsikan bahwa pada petak penebangan yang sama dianggap memiliki kondisi
tempat tumbuh sama dan karakteristik tegakan yang homogen. Struktur tegakan
pada masing-masing kelas diameter dapat dilihat seperti pada grafik berikut ini.

47
Gambar 6. Kondisi struktur tegakan awal areal hutan bekas tebangan.
Dari hasil pengukuran diperoleh jumlah pohon per hektar (NHA) pada
hutan bekas tebangan sebanyak 397 pohon yang terdiri dari 6 kelas diameter
dengan lebar kelas 10 cm, mulai dari pohon berdiameter 10-10,99 cm (KD1019)
hingga pohon-pohon berdiameter >60 cm (KD60up) seperti disajikan pada
lampiran 1. Data tersebut kemudian digunakan dalam pendugaan model simulasi
dinamika struktur tegakan, dimana parameter-parameternya merupakan fungsi
dari kerapatam tegakan yang dinyatakan oleh bidang dasar tegakan yang terdiri
atas fungsi ingrowth, upgrowth, dan mortality.
Penentuan ingrowth, upgrowth, dan mortality sangat di pengaruhi oleh
kerapatan tegakan, luas bidang dasar dan sistem silvikultur yang digunakan.
Ingrowth dalam peneltitian ini didefinisikan sebagai banyaknya jumlah pohon per
hektar dari hasil pertumbuhan riap yang masuk pada kelas diameter terkecil
(KD1019) selama periode satu tahun yang sangat dipengaruhi oleh kerapatan
seluruh tegakan dan luas bidang dasar tegakan. Persamaan ingrowth yang
digunakan di adopasi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269
N/ha – 0,33 LBDS, dimana Y adalah jumlah pohon, N/ha adalah jumlah pohon
per hektar, LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha).
Upgrowth merupakan peluang transisi dari suatu kelas diameter, yaitu
banyaknya jumlah pohon yang hidup pada kelas diameter tertentu yang pindah ke
kelas diameter berikutnya dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi
pada selang waktu setahun dan pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak
akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya.
Uprgowth sangat dipengaruhi oleh bidang dasar tegakan dan diameter pohon.
Persamaan upgrowth yang digunakan dalam menduga model dinamika struktur
tegakan ini di adopasi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 0,214 –
0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh2, dimana Y adalah jumlah pohon,
LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha), Dbh adalah diameter setinggi dada (cm).

48
Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang
umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Kematian ini disebabkan oleh
faktor alam (mati yang disebabkan oleh penyakit, kompetisi masing-masing
individu, longsor, dan kebakaran lahan) maupun kematian akibat penebangan baik
secara konvensional maupun Reduce Impact Logging (RIL). Nilai mortality rate
pada convensional logging untuk kelas diameter 10-19, 20-29, 30-39, 40-49, 50-
59 pohon diasumsikan sebesar 8 %, sedangkan untuk kelas diameter 60 up sebesar
5%. Sedangkan pada metode penebangan RIL untuk kelas diameter 10-19, 20-29,
30-39, 40-49, 50-59 pohon diasumsikan sebesar 4 %, sedangkan untuk kelas
diameter 60 up sebesar 3%. Asumsi ini berdasarkan hasil penelitian Elias et al,
(2006) menyimpulkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan kayu
mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sampai 45% untuk seluruh tegakan atau
seluruh kelas diameter.
5.2 Hasil Simulasi Model
Penyusunan model dilakukan dengan mengklasifikasikan model kedalam
beberapa sub model sehingga diperoleh model yang saling berkorelasi. Sub model
tersebut terdiri dari :
1. Sub model dinamika struktur tegakan.
2. Sub model pendapatan pemanenan kayu menggunakan metode RIL dan CL.
3. Sub model pendugaan stok karbon pada saat REL (Reference Emission Level)
4. Sub model pendugaan additionality karbon yang diduga dari selisih metode
RIL dengan metode konvensional.
5. Sub model pendugaan biaya usaha karbon dengan Plan Vivo Standard.
6. Sub model pendugaan pendapatan karbon dengan skema REDD.
7. Sub model kelayakan proyek REDD.

5.2.1 Sub Model Dinamika Struktur Tegakan


Konsep awal pembentukan model ini adalah untuk mensimulasikan
dinamika struktur tegakan hutan bekas tebangan setiap tahunnya sehingga dapat
diprediksi kondisi struktur tegakan yang optimal pada waktu tertentu. Model
dinamika struktur tegakan ini juga digunakan untuk menentukan siklus tebang
(daur) yang optimal melalui proses simulasi. Model ini merupakan model inti

49
yang sangat berpengaruh terhadap sub model-sub model yang lainnya. Parameter
yang menjadi acuan dalam sub model yang lainnya diantaranya adalah jumlah
pohon masak tebang masing-masing kelas diameter dan jumlah pohon per hektar
dalam keduas skema pemanenan (Konvensional dan RIL).
Dinamika tegakan sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dan luas
bidang dasar tegakan (LBDS). Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada
areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat
pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi
karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar
matahari yang masuk langsung di terima oleh pohon dan mempercepat proses
fotosintesis. Hal ini dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam
proses penyerapan karbon.
Selain itu pertumbuhan tegakan juga di pengaruhi oleh basal area, yaitu
luas bidang dasar tegakan yang menggunakan parameter diameter dalam hal
pengukuranya. LBDS digunakan dalam pertambahan jumlah tegakan pada
masing-masing kelas diameter karena pengukuran diameter memiliki tingkat
ketelitian yang lebih baik dari pada volume tegakan yang menggunakan parameter
tinggi pohon dalam perhitunganya, dimana pengukuran tinggi pohon di ukur
dengan menggunakan taksiran, bukan pengukuran langsung sebenarnya sehingga
tingkat ketelitian pada pendugaan volume tegakan sangat kecil.
Dinamika Struktur Tegakan RIL dan CL

NHA

RIL

LBDSTot
RIL

D6

D1 D2 D4
D5
TingkatKematianLogging1 D3 TingkatKematanlogging4 TingkatKematianlogging6
TingkatKematianLogging2 TingkatKematianLogging3 TingkatKematianlogging5
NHA

KD1019 KD2029 KD3039 KD4049


KD5059 KD60up
Upg1 Upg5
Ingrowth Upg2 Upg3 Upr4

Daur PendugaanVolume 60up


LBDSTot LBDSTot
Panen Teb 60up
Teb 4049 Teb 5059
Pendugaan Vol 4049 Pendugaan vol 5059

Teb 60up Vol teb 60up


Teb 4049 Teb 5059 Vol Teb 5059
Vol Teb 4049
50
Gambar 7. Model konseptual dinamika struktur tegakan.
Pada sub model dinamika struktur tegakan, yang menjadi state variable
adalah jumlah pohon pada setiap kelas diameter. Dari gambar model terlihat
adanya aliran materi antar kelas diameter (KD), yaitu dari KD yang lebih rendah
ke KD yang lebih tinggi. aliran tersebut tersusun secara seri, tidak ada aliran
materi KD yang melangkahi KD atasnya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
pada selang waktu setahun pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan
menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya. Perubahan
pohon dalam KD disebabkan oleh faktor ingrowth, upgrowth, dan mortality.
Ingrowth dipengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan (LBDS) dan jumlah
pohon per hektar. Kemudian Upgrowth dipengaruhi oleh laju perpindahan jumlah
pohon yang tergantung pada LBDS dan jumlah pohon dalam KD tersebut.
Mortality pada masing-masing KD ditentukan oleh dua faktor, yaitu mati secara
alami yang diakibatkan oleh gangguan alam (longsor, kebakaran hutan, proses
kompetisi sesama individu) dan mati dari efek tebang atau lebih dikenal dengan
kerusakan tegakan tinggal yang pada umumnya terjadi pada pohon-pohon
berdiamater kecil. Besarnya efek penebangan bervariasi menurut KD dan
dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pohon yang ditebang. Selain itu juga
besarnya efek tebang di pengaruhi oleh sistem silvikultur dan penerapan metode
penebangan yang digunakan.
Pada state variable KD4049, KD5059, dan KD60up terdapat faktor lain
yang mempengaruhi jumlah tegakan yaitu tebang. Kegiatan tebang ini tidak
dilakukan setiap tahun, tetapi pada awal siklus tebang. Besarnya penebangan
ditentukan oleh LBDS tegakan, siklus tebang, dan jumlah pohon pada masing-
masing KD. Dalam pemodelan ini, siklus tebang dapat diubah-ubah menggunakan
slider sehingga mendapatkan hasil tebang yang optimal. Setelah didapat jumlah
pohon masak tebang kemudian jumlah pohon tersebut dikonversi ke dalam
volume (m³) menggunakan rumus umum pendugaan volume, yaitu V =
0,25*3,14*(D^2)*T dimana D yaitu diameter (cm) dan T adalah tinggi pohon

51
(taksiran). Kemudian setelah diperoleh volume panen, data tersebut akan
digunakan dalam sub model berikutnya untuk mengetahui nilai pendapatan bersih
dari pengelolaan hutan bekas tebangan yang optimal per hektar pada masing-
masing skema pengelolaan hutan (konvensional dan RIL).

5.2.2 Sub Model Pendapatan RIL dan CL


Pada sub model ini menggambarkan pendugaan potensi pendapatan dari
pengelolaan suatu areal dengan membandingkan kedua metode penebangan yang
digunakan, yaitu Conventional logging (CL) dan Reduce Impact Logging (RIL).
Setelah di uji berbagai alternative preskripsi siklus tebang yang optimal dari sub
model dinamika struktur tegakan maka dengan model ini digunakan untuk
menghitung potensi ekonomis dari preskripsi tersebut.

Pendapatan RIL dan CL

PenanamanTK LitBang

PersemaianPembibitan PerlindunganHutan
RIL
Vol teb 60up

KontruksiJalanSarad
Vol Teb 5059 PemeliharaanIsdIII
Vol Teb 4049PenanamanPengayaan BiayaPembinaanHutanR PenandaanJalanSarad
ITT
HargaKay uB

PerencanaanOperasionalPemanenan
Penebangan
Penjarangan
Penerimaan PAK
WinchingPenyaradan
NETBC
Daur
ITSP BiayaPemanenanR
NPV CL Pengeluaran PengupasanPembagianBatang
BiayaPemanenanR

Daur BinaDesa
InspeksiBlok
PWH
Investasi
Biay aTotR
MuatBongkar
RehabilitasiPemanenan
SukuBunga PerakitanTongkang Pengangkutan
NPV RIL Manajemen
KewajibanKpdPemerintah PenebanganCL
RIL RIL

Perencanaan
Daur PemeliharaaanJalan
SukuBunga
Teb 4049 Teb 5059 Teb 60up
PemeliharaanAlatBangunan

Gambar 8. Sub model pendapatan RIL dan CL.


Sub model pendapatan mensimulasikan proyeksi perbandingan pendapatan
ketika pengelolaan hutan menggunakan metode penebangan konvensional dengan

52
pemanenan berdampak rendah (RIL). Pendapatan dari penebangan diperoleh dari
hasil tebangan pada KD4049, KD5059, dan KD60up (dalam volume) yang
kemudian di konversi ke harga kayu. Hal utama yang mempengaruhi sub model
pendapatan ini adalah jumlah tegakan yang ditebang. Untuk jumlah pohon masak
tebang (volume tebang) pada saat menggunakan skema konvensional logging
berbeda dengan saat diterapkan skema pemanenan berdampak rendah (RIL).
Volume tebangan pada skema RIL lebih banyak bila dibandingkan dengan skema
konvensional, karena pada skema RIL sangat meminimalisir kerusakan tegakan
yang terjadi akibat penebangan. Hal ini berbanding lurus dengan biaya produksi
kayu pada skema RIL yang membutuhkan biaya lebih banyak bila dibandingkan
dengan pemanenan konvensional. Namun pada skema RIL memiliki keunggulan
baik dalam segi pendapatan (ekonomi) maupun ekologi.
5.2.3 Sub Model Pendugaan Stock Karbon untuk REL
Dalam sub model ini pendugaan dilakukan terhadap jumlah kandungan
karbon dalam suatu areal, dimana parameter yang di gunakan adalah jumlah
pohon dari masing-masing KD yang kemudian di konversi adalam bentuk
biomassa menggunakan persamaan allometrik untuk menduga biomassa yang di
buat oleh Brown (1997) yaitu B = EXP(-2.134+2.53*(Ln(D))/1000*KD dimana D
merupakan diameter dan KD merupakan jumlah pohon pada masing-masing kelas
diameter. Biomassa biasanya dinyatakan dalam ukuran berat kering, dalam kg/ha
atau ton/ha. Biomassa yang diukur pada simulasi kali ini adalah biomassa atas
permukaan tanah Kemudian biomassa yang di dapat dikonversi ke karbon dengan
asumsi 50% dari biomassa adalahPendugaan
karbon (Brown,
Stok Karbon REL 1997). Pendugaan kandungan
karbon tersebut di jalankan pada skema konvensional
KD4049
yang selanjutnya
KD60up
stok
KD1019 KD2029 KD3039 KD5059
karbon yang didapat dijadikan baseline sebagai perhitungan adanya penambahan
stok karbon (additionality) ketika skema REDD dijalankan, dalam hal ini
menggunakan metode RIL yang berguna untuk mengurangi laju degradasi hutan
dengan cara mengurangi
D1019
tingkat
D2029 kerusaka
D3039 tegakan.
D4049 D5059 D60up

BiomassaKD1019 BiomassaKD5059
BiomassaKD3039
BiomassaKD2029 BiomassaKD4049
BiomassaKD60up

BiomasaTotal

53
Conv ersiC REL
RIL
Gambar 9. Sub model pendugaan stok karbon sebagai REL.
5.2.4 Sub Model Pendugaan Additionality Karbon
Pendugaan karbon yang senelumnya diperoleh dari hasil simulasi pada sub
model pendugaan stok karbon sebagai REL dengan menggunakan metode
konvensional dalam bisnis seperti biasa (BSB) kemudian digunakan dalam
mensimulasikan pendugaan pertambahan (additionality) karbon pada saat skema
RIL dijalankan. Upaya metode RIL dilakukan dalam rangka mendukung kegiatan
REDD dengan mengurangi efek tebangan atau kerusakan tegakan tinggal
sehingga mengurangi laju degradasi. Pertambahan karbon didapat dari selisih
antara stok karbon saat penerapan RIL dengan baseline dari penetapan REL
tersebut.
Pendugaan Additionality

BiomasaTotal

RIL
CStockRIL

REL

ConversiC

Additionality

Gambar 10. Sub model pendugaan pertambahan karbon.

54
5.2.5 Sub Model Pendugaan biaya pengusahaan karbon
Sub model ini mensimulasikan pendugaan biaya yang dikeluarkan dalam
skema perdagangan karbon yang terdiri dari biaya sertifikasi, biaya validasi dan
biaya verivikasi. Besarnya biaya-biaya tersebut mengacu kepada Plan Vivo
Standard yang diadaptasi dari Peraturan Mentri Kehutanan No P. 36/Menhut-
II/2009, dimana biaya validasi diasumsikan sebesar 12500 US$, biaya verivikasi
sebesar 30.000 US$ dalam jangka waktu pengusahaan 5 tahun dan biaya
sertifikasi karbon sebesar 0,5 US$ per karbon yang terjual. Besarnya jumlah
karbon yang dapat dikompensasi ke dalam nbentuk pendapatan dan biaya
pengusahaan karbon diperoleh dari additionality yang diduga pada sub model
pendugaan pertambahan karbon.

Pendugaan REDD Income dengan PlanViv o Standard

Timeof ValidationAndVerif ication

Additionality

CostOf Ef ectiv ity

Cost

Gambar 11. Sub model pendugaan biaya pengusahaan.

5.2.6 Sub Model Pendugaan Pendapataan Pengusahaan Karbon


Dalam sub model simulasi pendapatan dari perdagangan karbon
menggunakan skema REDD, parameter yang digunakan yaitu additionality dan
biaya pengusahaan karbon yang telah diduga dari hasil simulasi sub model
sebelumnya.
pendapatan dari karbon dengan Skema REDD

Additionality SukuBunga

CostOfEfectivity
C Price

TimeofValidationAndVerification

NPV REDD

Benef itC
RIL

NPV RIL REDD 55


NPV RIL
Gambar 12. Simulasi pendapatan dari hasil perdagangan karbon.
Pendapatan pengusahaan karbon sangat di pengaruhi oleh additionality
dan Harga karbon. Harga karbon yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada standar Plan Vivo, yaitu sebesar 30$ per ton karbon. Dari sub model
pendapatan pengusahaan karbon dapat dibentuk nilai pendapatan bersih (NPV)
dalam pengusahaan karbon yang dapat dibandingkan dengan NPV penjualan kayu
(BSB) dengan skema konvensional dan RIL

5.2.7 Sub Model Uji Kelayakan Skema Perdagangan Karbon


Sub model uji kelayakan skema perdagangan karbon dibuat untuk menguji
apakah skema perdagangan karbon lebih menguntungkan bila dibandingkan
dengan Business as usual (BSB) ataukah sebaliknya. Pengujian ini di harapkan
dapat menjadi rekomendasi bagi Stakeholder terkait untuk merumuskan
pengelolaan hutan produksi secara lestari dengan menerapkan skema perdagangan
karbon. Uji kelayakan dilakukan dengan membandingkan nilai pendapatan bersih
ketika BSB di jalankan (pengelolaan hutan dengan metode konvensional) dan
ketika skema perdagangan karbon dijalankan seperti terlihat pada tabel … di atas.
Nilai 1 merupakan tingkat kelayakan dari masing-masing jenis usaha pada
daur tertentu ketika skema perdagangan karbon mengalami keuntungan atau NPV
CL ≤ NPV RIL REDD dan nilai 0 merupakan kerugian yang dialami usaha
perdagangan karbon atau ketika NPV CL > NPV RIL REDD. Dari hasil simulasi
terlihat bahwa jenis usaha perdagangan karbon lebih menguntungkan baik dari
segi ekonomis, ekologis maupun sosial.

Kelay akan Proy ek REDD

UjiKelay akan
NPV RIL REDD

Daur

NPV CL
56
Gambar 13. Sub model uji kelayakan usaha karbon.

5.3 Evaluasi Model


Evaluasi model dilakukan untuk menguji keterandalan dalam menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi di system nyata. Evaluasi model dilakukan
terhadap model yang paling berhubungan atau berperan terhadap pencapaian
tujuan penelitian dengan membandingkan data hasil simulasi dengan hasil
pengukuran atau perhitungan lapangan. Evaluasi model pada penelitian ini
dilakukan terhadap sub model dinamika struktur tegakan.
Pengujian yang valid antara prediksi model dengan system nyata belum
dapat dilakukan. Hal ini disebabkan karena data pembanding yang baik minimal
harus menggunakan data 10-15 tahun setelah penebangan agar dapat diketahui
pola pertumbuhan tegakan. Evaluasi model ini dilakukan dengan membandingkan
struktur tegakan hasil simulasi dengan data aktual dilapangan pada tahun ke-2 dan
k-3 seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 14. Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-2

57
Gambar 15. Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-3
Dari Gambar 14 dan Gambar 15 Menunujukan bahwa secara umum hasil
pendugaan tidak berbeda secara nyata dari hasil pengamatan dilapangan. Terlihat
dari jumlah pohon pada masing-masing kelas diameter yang di dapat dari model
simulasi tidak berbeda jauh dengan hasil pengamatan dilapangan. Hal ini
diperkuat dengan hasil regresi pada selang kepercayaan 5% untuk tahun ke 2
memiliki koefisien korelasi sebesar 95 % dan untuk tahun ke 3 sebesar 89,7 %.
Meskipun pengujian model dapat digunakan untuk menduga dinamika tegakan
untuk jangka pendek, akan tetapi model dapat digunakan untuk menduga tegakan
jangka panjang, karena untuk validasi perubahan jangka panjang diperlukan data
periodik yang cukup banyak.

5.4 Analisis Sensitivitas Model


Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan-perubahan dalam
parameter yang mendukung. Sensitivitas model pada penelitian ini dilakukan
terhadap besarnya potensi tegakan yang diperoleh apabila tingka kematian akibat
pemanenan dirubah. untuk tingkat kematian pada KD < 60 cm dirubah menjadi
12%, 8%, dan 4%. Sedangkan tingkat kematian untuk KD > 60 cm dirubah
menjadi 9%, 6%, dan 3%. Dengan semakin tinggi tingkat kematian, maka potensi
tegakan semakin berubah.

58
Gambar 16. Analisis sensitivitas model
Keterangan :
1. Potensi tegakan dengan mortality 9% untuk KD>60 dan 12% untuk KD<60.
2. Potensi tegakan dengan mortality 6% untuk KD>60 dan 8% untuk KD<60.
3. Potensi tegakan dengan mortality 3% untuk KD>60 dan 4% untuk KD<60.

5.5 Penggunaan Model


5.5.1 Penentuan Siklus tebang (daur)

penentuan siklus tebang yang optimal. Siklus tebang (daur) yang


digunakaan dalam simulasi model dinamika struktur tegakan terlebih dahulu
dilihat berdasarkan optimalisasi pendugaan jumlah tegakan yang didapat pada
waktu tertentu, dilihat dari banyaknya jumlah pohon per hektar yang diperoleh
dari hasil simulasi pada tahun ke 20, 25, 30, dan 35 pada masing-masing metode
(CL dan RIL). Simulasi daur yang digunakan untuk menduga jumlah individu per
hektar pada masing-masing alternatif skema penebangan dapat dilihat seperti pada
grafik dibawah ini.

59
Gambar 16. Simulasi jumlah pohon/ha pada tahun ke 20, 25, 30, dan 35 berturut
turut dengan menggunakan metode konvensional.

Gambar 17. Simulasi jumlah pohon/ha pada tahun ke 20, 25, 30, dan 35 berturut
turut dengan menggunakan metode RIL.
Berdasarkan kedua grafik di atas, dari keempat alternatif siklus tebang
menunjukan bahwa jumlah pohon/ha pada tahun ke 20 memiliki jumlah yang
relatif sama dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa penggunaan daur pada
struktur tegakan hutan bekas tebangan lebih optimal jika menggunakan daur 20
tahun baik dalam pemanenan konvensional maupun RIL dalam segi ekonomi.
Daur tersebut lebih cepat bila dibandingkan dengan sistem TPTI pada hutan
primer karena pada hutan bekas tebangan lebih di dominasi oleh pohon-pohon
yang cepat tumbuh sehingga umur masak tebang tegakan lebih cepat.

5.5.2 Proyeksi Pendapatan Pengusahaan Kayu (BSB)


Hasil simulasi yang di dapat pada sub model pendapatan pengusahaan
kayu diperoleh dari volume pemanenan pada pohon masak tebang berdiameter 40
cm up menggunakan skema CL dan RIL. Pendapatan kayu sangat dipengaruhi

60
oleh jumlah pohon masak tebang, metode pemanenan yang digunakan, dan harga
kayu. Jumlah volume tebangan dan jumlah pohon per hektar pada umur 20 tahun
pada masing-masing metode pemanenan dapat diduga seperti terlihat pada gambar
dibawah ini.

Gambar18. Simulasi NHA dan volume per KD saat daur 20 tahun pada skema CL.

Gambar19. Simulasi NHA dan volume per KD saat daur 20 tahun dan skema RIL.
Dari gambar 18 dan 19 terlihat bahwa saat penebangan dengan skema CL,
trend jumlah pohon N/ha sampai pada rotasi 20 tahun ke dua mengalami
penurunan dan kemudian relatif stabil sampai pada akhir waktu simulasi yakni
105 th. Demikian juga untuk jumlah pohon N/ha pada saat RIL dijalankan seperti
pada Gambar..., menunjukkan trend yang sama, perbedaan terletak pada saat RIL

61
dijalankan jumlah N/ha lebih besar dibandingkan N/ha pada saat CL dijalankan.
Untuk jumlah pohon pada kelas diameter 60 up yang masak tebang, pada saat CL
dan RIL dijalankan mempunyai pola yang sama, yakni sampai pada rotasi 20 th ke
dua mengalami kenaikan, setelah itu mengalami penurunan dan seterusnya
cenderung stabil sampai akhir waktu simulasi
Jumlah pohon per hektar dan jumlah volume masak tebang dari masing-
masing kelas diameter dengan daur 20 tahun terbanyak ada pada struktur tegakan
dengan skema RIL, hal ini disebabkan karena pada saat RIL dijalankan jumlah
kematian akibat penebangan lebih sedikit dibandingkan CL sehingga secara total
akan mempengaruhi N/ha dan jumlah pohon yang ditebang. Banyaknya pohon
yang di tebang juga berpengaruh terhadap pendapatan dan biaya pada saat
memproduksi kayu dimana semakin tinggi pemanenan kayu maka semakin tinggi
pula biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu tersebut. Hal ini dapat
dilihat dengan membandingkan pendapatan bersih pengusahaan kayu pada skema
CL dan RIL seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 20. Simulasi NPV saat CL dijalankan pada daur 20 tahun.

62
Gambar 21. Simulasi NPV saat RIL dijalankan pada daur 20 tahun.
Dapat dilihat bahwa perbandingan pendapatan dari pengusahaan kayu
antara pemananenan konvensional dengan pemanenan berdampak rendah (RIL)
dari segi ekonomi lebih menguntungkan jika menggunakan skema RIL. Pada
tahun ke 20, pendapatan kayu dengan menggunakan skema pemanenan
konvensional memiliki NPV sebesar Rp. 30.693.911,48/ha sedangkan pendapatan
kayu dengan menggunakan skema pemanenan berdampak rendah yang memiliki
NPV sebesar Rp. 31.675.787,95/ha. Disamping itu, pemanenan berdampak rendah
juga lebih ramah lingkungan dan lebih memerhatikan kelestarian dalam segi
ekologis dengan meminimalisir kerusakan tegakan.

5.5.3 Proyeksi karbon stok


Hasil simulasi pendugaan cadangan karbon pada saat menjalankan bisnis
seperti biasa (BSB) dengan skema konvensional menunjukan bahwa baseline atau
REL yang terbentuk dalam penelitian ini terlihat pada gambar … dan gambar …
penetapan baseline tersebut berguna untuk menduga penambahan stok karbon
(additionality) dalam periode waktu tertentu dengan skema perdagangan karbon
melalui REDD yang dapat dikompensasikan dalam bentuk uang (pendapatan).
Perbaikan teknik pemanenan dari CL ke RIL merupakan bentuk adaptasi
teknologi yang lebih ramah lingkungan dalam upaya mengurangi laju deforestasi.

63
Gambar 22. Simulasi dinamis penetapan REL dengan daur 20 tahun sebagai
baseline pendugaan cadangan karbon.

Gambar 23. Simulasi dinamis pendugaan cadangan karbon saat RIL dijalankan
pada daur 20 tahun.
Gambar 22 di atas menunjukan hasil simulasi dinamis REL (reference
emission level) pada saat CL dijalankan sampai pada rotasi 20 tahun ke dua
mengalami penurunan dan kemudian mengalami trend kenaikan sampai pada
akhir waktu simulasi yakni 105 th. Sedangkan C stok RIL menunjukan nilai 0
(nol). Gambar 23 juga menunujukan trend yang sama pada saat RIL dijalankan, C
stok RIL menunjukan trend penurunan sampai pada rotasi 20 tahun ke dua dan
kemudian mengalami tren kenaikan sampai pada akhir waktu simulasi 105 th.
Sedangkan REL menunjukan nilai 0 (nol). Bila dibandingkan kandungan karbon
pada saat RIL (Gambar 23) dan kandungan karbon pada saat CL (Gambar 22),
maka besarnya kandungan karbon pada saat RIL akan lebih tinggi jika
dibandingkan kandungan karbon pada saat CL.
Selisih inilah yang dinamakan additionality yang dapat dikompensasikan
dalam bentuk uang (pendapatan) dalam skema perdagangan karbon melalui
REDD. Perbaikan teknik pemanenan dari CL ke RIL merupakan bentuk adaptasi
teknologi yang lebih ramah lingkungan dalam upaya mengurangi laju deforestasi.
Berdasarkan hasil simulasi besarnya additionality pada saat tahun ke 1 sebesar
75,50 ton/ha, kemudian naik pada tahun ke 20 sebesar 369,73 ton/ha. Namun tren

64
besarnya additionality ini mengalami penurunan sampai akhir waktu simulasi
yakni 11,91 ton/ha pada tahun ke 105. Terlihat bahwa pendapatan dari hasil
penjualan karbon yang optimal akan terjadi pada saat tahun ke 20 dengan jumlah
karbon yang dapat dijual sebesar 369,73 ton/ha.
5.5.4 Proyeksi Pendapatan dengan Skema Perdagangan Karbon
Proyeksi ini merupakan simulasi pendapatan yang akan diperoleh ketika
menjalankan skema perdagangan karbon melalui REDD dengan mengadopsi
sistem pemanenan berdampak rendah untuk mengetahui besarnya additionality
yang akan diperoleh sebagai pendapatan dari usaha perdagangan karbon.
Perbandingan simulasi pendapatan selengkapnya terlihat pada tabel berikut.
Tabel 14. Perbandingan pendapatan bersih dari masing-masing jenis usaha.
Tahun NPV CL NPV RIL NPV REDD NPV RIL REDD Uji kelayakan
0 4.766.875.61 4.766.583.31 1.872.834.29 6.639.417.60 1.00
5 0.00 0.00 1.976.810.77 1.976.810.77 0.00
10 0.00 0.00 4.107.773.23 4.107.773.23 0.00
15 0.00 0.00 6.682.586.17 6.682.586.17 0.00
20 30.693.911.48 31.675.787.95 9.171.478.79 40.847.266.74 1.00
25 0.00 0.00 765.854.64 765.854.64 0.00
30 0.00 0.00 1.585.179.90 1.585.179.90 0.00
35 0.00 0.00 2.784.277.31 2.784.277.31 0.00
40 9.554.967.94 16.908.443.29 4.336.090.37 21.244.533.66 1.00
45 0.00 0.00 263.151.71 263.151.71 0.00
50 0.00 0.00 572.749.25 572.749.25 0.00
55 0.00 0.00 1.089.605.45 1.089.605.45 0.00
60 6.633.071.72 6.147.971.10 1.874.339.61 8.022.310.71 1.00
65 0.00 0.00 683.202.59 683.202.59 0.00
70 0.00 0.00 1.309.059.91 1.309.059.91 0.00
75 0.00 0.00 2.231.760.57 2.231.760.57 0.00
80 7.176.187.78 12.069.414.87 3.053.871.19 15.123.286.06 1.00
85 0.00 0.00 247.471.62 247.471.62 0.00
90 0.00 0.00 556.524.67 556.524.67 0.00
95 0.00 0.00 1.083.894.07 1.083.894.07 0.00
100 7.197.784.73 7.498.496.71 1.892.681.80 9.391.178.51 1.00
Final 0.00 0.00 295.383.18 295.383.18 0.00
Pada Tabel 14 dapat kita lihat besarnya pendapatan dalam bentuk NPV
pada saat CL dijalankan, dimana tren NPV mengalami kenaikan sampai pada
tahun ke 20, kemudian mengalami fluktuasi sampai akhir tahun simulasi yaitu
tahun 105. Pendapatan NPV CL maksimum akan dicapai pada tahun ke 20
dimana NPV CL sebesar Rp. 30.693.911,48 per hektar. Tren yang sama untuk

65
NPV RIL seperti pada tabel… di atas, nilai NPV RIL akan maksimum pada tahun
ke 20 yakni sebesar Rp. 31.675.787,95 per hektar. Dapat dilihat bahwa besarnya
NPV RIL lebih besar dibandingkan NPV CL, hal ini disebabkan jumlah kayu yang
ditebang pada RIL untuk tahun ke 20 lebih besar dibandingkan CL.
NPV REDD ini dihitung setiap 5 tahun sekali yakni pada saat verifikasi
dan validasi sesuai standar plan vivo. Besarnya NPV REDD pada saat RIL
dijalankan seperti yang tampak pada Tabel 14 tampak mengalami kenaikan untuk
satu kali daur (20 tahun) yaitu sebesar Rp. 9.171.478,79 kemudian mengalami
penurunan sampai akhir waktu simulasi pada tahun ke 105. Sedangkan untuk
NPV pada saat RIL apabila mekanisme perdagangan karbon dijalankan melalui
mekanisme REDD, maka keuntungan tambahan dapat diperoleh melalaui
kenaikan stok karbon yang dapat dikompensasi yang optimal diperoleh pada tahun
ke 20, yaitu sebesar Rp. 40.847.266,74. Kemudian mengalami fluktuasi yang
semakin mengecil hingga akhir waktu simulasi pada tahun ke 105. Nilai ini
merupakan additionality value dengan diberlakukannya REDD. Sehingga total
pendapatan pada saat menggunakan RIL dan REDD nilainya adalah seperti yang
tercantum dalam kolom RIL REDDstok. Nilai total ini berfluktuasi tergantung
dari selisih karbon stok pada saat RIL dengan CL.
Pada tabel 14 juga terlihat uji kelayakan yang dilakukan dengan
membandingkan nilai pendapatan bersih ketika BSB di jalankan (pengelolaan
hutan dengan metode konvensional) dan ketika skema perdagangan karbon
dijalankan. Nilai 1 merupakan tingkat kelayakan dari masing-masing jenis usaha
pada daur tertentu ketika skema perdagangan karbon mengalami keuntungan atau
NPV CL ≤ NPV RIL REDD dan nilai 0 merupakan kerugian yang dialami usaha
perdagangan karbon atau ketika NPV CL > NPV RIL REDD. Dari hasil simulasi
terlihat bahwa jenis usaha perdagangan karbon lebih menguntungkan baik dari
segi ekonomis, ekologis maupun sosial.

66
KESIMPULAN

Pengelolaan hutan berbasis kayu akan sangat menguntungkan bila


mampu dilakukan dengan memperhatikan manfaat lain selain kayu. Karena baik
kayu, karbon dan hasil hutan non kayu pada akhir-akhir ini memiliki pangsa pasar
yang tinggi. Suatu manajemen pengelolaan hutan yang tepat dapat memberikan
dampak keuntungan ekonomi yang baik bagi masyarakat, perusahaan dan
pemerintah. Tentunya berbagai konsekunesi harus siap diterima dalam
mensimulasikan berbagai skenario.
Dari hasil simulasi model dinamika cadangan karbon diatas permukaan
tanah dan kelayakan finansial perdagangan karbon pada pengelolaan hutan
produksi menggunakan skema RIL di HPH PT Mamberamo Alasmandiri,
Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua dapat disimpulkan bahwa :
1. Kerapatan tegakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
pohon yang dapat mempengaruhi biomassa dan karbon diatas permukaan.
2. Manfaat yang diperoleh dengan memberlakukan RIL lebih baik
secara ekologi dan ekonomi dibandingkan CL.
3. Kenaikan biaya akibat penerapan RIL masih lebih rendah
dibandingkan dengan manfaat ekonomi dan ekologi yang akan diperoleh.
4. Peningkatan cadangan karbon permukaan yang disimpan dalam
tegakan hutan produksi pada RIL lebih besar dibandingkan CL
5. Penerapan RIL berpotensi meningkatkan tambahan pendapatan
pada saat REDD diberlakukan.

6.2 Saran

Saran yang diajukan sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah
pengelolaan hutan lestari menggunakan metode pemanenan berdampak rendah
harus dijalankan karena dapat memberikan manfaat tambahan baik dari segi

67
ekonomi maupun ekologi. Manfaat tambahan juga akan diperoleh ketika skema
perdagangan karbon mulai berlaku di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Angelsen et al. 2010. Melangkah Maju dengan REDD. Isu, Pilihan, dan Implikasi.
Center for International Forestry Research. Bogor.
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A.
Primer. FAO. Forestry Paper. USA. 134:10-13
Butler, R.A. 2007. Reduces Impact Logging: Sustainable Logging and Improved
Forest Management. Tropical Forest. Mongabay.com [10 Juni 2011].
Davis, A.J. 2000. Does Reduced- Impact Logging Help reserve Biodeversity in
Tropical Rainforest? A ase Study form Borneo Using Dung Beetles
(Coleoptera; Scarabaeoidea) as Indicators. Environmental Entomology,
Vol 29, No.3, June 2000: 467-475.
Departemen Kehutanan. 2008. Statisistika Kehutanan_Bina Produksi Kehutanan.
Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2009. Statisistika Kehutanan_Bina Produksi Kehutanan.
Jakarta.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2009. Eksekutif Data Strategis. Jakarta.
Elias., Grahame, A., Kuswata, K., Machfudh., Art, K. 2008. Reduced Impact
Logging Guidelines for Indonesia. ITTO, Dephutbun, CIFOR, CIRAD,
INHUTANI II, WCS. Bulungan.
Eliasch J. 2008 Eliasch Review—Climate change: Financing global forests. UK
Office of Climate Change. www.occ.gov.uk/activities/eliasch.htm [ 5
Juli 2011].
Gayatri A. 2010. Model Rantai Nilai Mata Kayu Jati (Tectona grandis L.f) di
Kesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor

68
Grant WE, et al. 1997. Ecology and Natural Resources Management. System
Analysis and Simulation. New York : Jhon Wiley and Sons, Inc.
Hairiah K. 2002. Presentasi pada workshop “Lahan gambut untuk perlindungan
iklim global dan kesejahteraan masyarakat” : Pengukuran carbon
stock di atas permukaan tanah. Wetlands International, Canada.
Hairiah, K dan S Rahayu. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagai
macam penggunaan lahan. Agroforestry Centre – ICRAF. Bogor
Husch B, Beers TW, dan Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. Fourth
edition.USA: John Wiley & Sons, Inc.
IFCA, 2007. Consolidation Report : Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation in Indonesia, Published by FORDA Indonesia.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines
for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National
Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L.,
Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.
Kementerian Kehutanan RI. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor : P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan
Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada
Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
Keong, G.B., Shaari, A.A.N., dan Ahmad, Z. 2006. The logfisher – Its
development and application in a new ground-based reduced impact
logging system in Peninsular, Malaysia. Proceeding in the ITTO – MoF
Regional Workshop on RIL implementation in Indonesia with Reference
to Asia-Pacific Region; Review and Experiences, held in Bogor,
Indonesia, February 15 – 16 2006.
Krisnawati, H. 2001. Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dengan Pendekatan
Dinamika Struktur Tegakan (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan).
Institut Pertanian Bogot. Tesis. Tidak dipublikasikan.
Lidiawati, I. 2002. Analisis finansial pemanenan kayu dengan teknik reduced
impact timber harvesting. Studi Kasus HPH PT Suka Jaya Makmur,
Provinsi Kalimantan Barat. Institut Pertanian Bogor. Tesis. Tidak
dipublikaikan.

69
Ostwald M. 2008. Carbon Inventory Method. Handbook for Greenhouse Gas
Inventory, Carbon Mitigation and Roundwood Productions Project.
Goteborg University. Sweden.
Purnomo H. 2004. Teori sistem. Bahan Bacaan Mata Ajaran Analisis Sistem.
Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
Ramos, C.A., O. Carvalho and B.D. Amaral. 2006. Short-term effects of
reduced-impact logging on eastern Amazon fauna. Forest Ecology and
Management, Vol.2322, No.1-3 : 26-35.
Smith et al,. 2006. Impact of selective logging on the carbon stocks of tropical
forest : Republic Congo as a case studies. Winrock International
Schlamadinger, B. dan Johns, T. 2006 Reducing emissions from deforestation and
forest degradation: Latest developments. Climate Change Mitigation
Measures in the Agro-Forestry Sector and Biodiversity Futures, Trieste/
IT, ICTP
UNFCCC, 2007. Investment and financial flows to address climate change.
UNFCCC. Bonn.

70
LAMPIRAN

Lampiran 1. Struktur tegakan awal pada hutan bekas tebangan 3 tahun


Lampiran 2. Print out persamaan model

1. Sub Model Dinamika Struktur Tegakan RIL dan CL

KD1019(t) = KD1019(t - dt) + (Ingrowth - Upg1 - TingkatKematianLogging1) *


dtINIT KD1019 = 279
INFLOWS:
Ingrowth = 3.98+0.03*NHA-0.3*LBDSTot
OUTFLOWS:
Upg1 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d1-0.00012*(d1)^2)*KD1019
TingkatKematianLogging1 = if RIL=0 and Panen>0 then 0.08*KD1019 else
if RIL=1 and Panen>0 then 0.04*KD1019 else 0
KD2029(t) = KD2029(t - dt) + (Upg1 - Upg2 - TingkatKematianLogging2) *
dtINIT KD2029 = 70
INFLOWS:
Upg1 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d1-0.00012*(d1)^2)*KD1019
OUTFLOWS:
Upg2 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d2-0.00012*(d2)^2)*KD2029
TingkatKematianLogging2 = if RIL=0 and Panen>0 then 8/100*KD2029 else
if RIL=1 and Panen>0 then 4/100*KD2029 else 0
KD3039(t) = KD3039(t - dt) + (Upg2 - Upg3 - TingkatKematianLogging3) *
dtINIT KD3039 = 21
INFLOWS:
Upg2 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d2-0.00012*(d2)^2)*KD2029
OUTFLOWS:
Upg3 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d3-0.00012*(d3)^2)*KD3039
TingkatKematianLogging3 = if RIL=0 and Panen>0 then 8/100*KD3039 else
if RIL=1 and Panen>0 then 4/100*KD3039 else 0
KD4049(t) = KD4049(t - dt) + (Upg3 - Upr4 - TingkatKematanlogging4 -
Teb_4049) * dtINIT KD4049 = 16
INFLOWS:
Upg3 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d3-0.00012*(d3)^2)*KD3039
OUTFLOWS:
Upr4 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d4-0.00012*(d4)^2)*KD4049
TingkatKematanlogging4 = if RIL=0 and Panen>0 then 8/100*KD4049 else
if RIL=1 and Panen>0 then 4/100*KD4049 else 0
Teb_4049 = if mod(time,Daur)=0 then KD4049 else 0
KD5059(t) = KD5059(t - dt) + (Upr4 - TingkatKematianlogging5 - Upg5 -
Teb_5059) * dtINIT KD5059 = 5
INFLOWS:
Upr4 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d4-0.00012*(d4)^2)*KD4049
OUTFLOWS:
TingkatKematianlogging5 = if RIL=0 and Panen>0 then 8/100*KD5059 else
if RIL=1 and Panen>0 then 4/100*KD5059 else 0
Upg5 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d5-0.00012*(d5)^2)*KD5059
Teb_5059 = if mod(time,Daur)=0 then KD5059 else 0
KD60up(t) = KD60up(t - dt) + (Upg5 - Teb_60up - TingkatKematianlogging6) *
dtINIT KD60up = 6

72
INFLOWS:
Upg5 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d5-0.00012*(d5)^2)*KD5059
OUTFLOWS:
Teb_60up = if mod(time,Daur)=0 then KD60up else 0
TingkatKematianlogging6 = if RIL=0 and Panen>0 then 6/100*KD60up else
if RIL=1 and Panen>0 then 3/100*KD60up else 0
D1 = 0.15
D2 = 0.25
D3 = 0.35
D4 = 0.45
D5 = 0.55
D6 = 0.65
Daur = 0
LBDSTot = ((0.25)*3.14*(D1)^2)*KD1019+
((0.25)*3.14*(D2)^2)*KD2029+
((0.25)*3.14*(D3)^2)*KD3039+
((0.25)*3.14*(D4)^2)*KD4049+
((0.25)*3.14*(D5)^2)*KD5059+
((0.25)*3.14*(D6)^2)*KD60up
NHA = KD1019+KD2029+KD3039+KD4049+KD5059+KD60up
Panen = Teb_4049+Teb_5059+Teb_60up
PendugaanVolume_60up = 0.25*3.14*(60/100)^2*20*0.7
Pendugaan_Vol_4049 = 0.25*3.14*(40/100)^2*15*0.7
Pendugaan_vol_5059 = 0.25*3.14*(50/100)^2*17*0.7
RIL = 1
Vol_Teb_4049 = Pendugaan_Vol_4049*Teb_4049
Vol_Teb_5059 = Pendugaan_vol_5059*Teb_5059
Vol_teb_60up = Teb_60up*PendugaanVolume_60up

2. Sub Model Pendapatan RIL dan CL

BiayaPemanenanR = if PenebanganCL>0 then


InspeksiBlok+ITSP+KontruksiJalanSarad+MuatBongkar+PenandaanJalanSarad+
Penebangan+Pengangkutan+PengupasanPembagianBatang+PerakitanTongkang+
PerencanaanOperasionalPemanenan+RehabilitasiPemanenan+WinchingPenyarad
an else 0
BiayaPembinaanHutanR =
ITT+LitBang+PAK+PemeliharaanIsdIII+PenanamanPengayaan+PenanamanTK+
Penjarangan+PerlindunganHutan+PersemaianPembibitan
BiayaTotR = if mod(time,10)=0 then
BinaDesa+Investasi+KewajibanKpdPemerintah+Manajemen+PemeliharaaanJalan
+PemeliharaanAlatBangunan+Perencanaan+PWH else 0
BinaDesa = 1500
HargaKayuB = 2000000
InspeksiBlok = 34.63
Investasi = 74274
ITSP = if RIL=0 then 1601.8 else
if RIL=1 then 2095.79 else 0

73
ITT = if mod(time,Daur+1)=0 then 7500 else 0
KewajibanKpdPemerintah = 110000
KontruksiJalanSarad = if RIL=0 then 0 else
if RIL=1 then 9821.71 else 0
LitBang = 1500
Manajemen = 45225
MuatBongkar = 4050
NETBC = Penerimaan-Pengeluaran
NPV_CL = if mod(time,Daur)=0 and RIL=0 then ((NETBC)/
(1+SukuBunga)^Daur) else 0
NPV_RIL = if mod(time,Daur)=0 and RIL=1 then ((NETBC)/
(1+SukuBunga)^Daur) else 0
PAK = if mod(time,Daur+2)=0 then 8000 else 0
PemeliharaaanJalan = 14580
PemeliharaanAlatBangunan = 8949
PemeliharaanIsdIII = 6000
PenanamanPengayaan = if mod(time,Daur+4)=0 then 9000 else 0
PenanamanTK = if mod(time,Daur+3)=0 then 1500 else 0
PenandaanJalanSarad = 233.69
Penebangan = if RIL=0 then 1871.44 else
if RIL=1 then 1924.54 else 0
PenebanganCL = Teb_4049+Teb_5059+Teb_60up
Penerimaan = HargaKayuB*(Vol_Teb_4049+Vol_Teb_5059+Vol_teb_60up)
Pengangkutan = 68282
Pengeluaran = BiayaPemanenanR+BiayaPembinaanHutanR+BiayaTotR
PengupasanPembagianBatang = 1350
Penjarangan = if mod(time,Daur+5)=0 then 8500 else 0
PerakitanTongkang = 14796
Perencanaan = 12595
PerencanaanOperasionalPemanenan = if RIL=0 then 0 else
if RIL=1 then 306.12 else 0
PerlindunganHutan = 1500
PersemaianPembibitan = if mod(time,Daur+2)=0 then 22000 else 0
PWH = 29700
RehabilitasiPemanenan = 1581.84
SukuBunga = 0.10
WinchingPenyaradan = if RIL=0 then 17067.64 else
if RIL=1 then 8359.21 else 0

3. Sub Model Pendugaan Stok Karbon REL

BiomasaTotal =
BiomassaKD1019+BiomassaKD2029+BiomassaKD3039+BiomassaKD4049+Bio
massaKD5059+BiomassaKD60up
BiomassaKD1019 = (EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D1019)))))/1000*KD1019
BiomassaKD2029 = (EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D2029)))))/1000*KD2029
BiomassaKD3039 = (EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D3039)))))/1000*KD3039

74
BiomassaKD4049 = (EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D4049)))))/1000*KD4049
BiomassaKD5059 = (EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D5059)))))/1000*KD5059
BiomassaKD60up = (EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D60up)))))/1000*KD60up
ConversiC = 0.50
D1019 = 15
D2029 = 25
D3039 = 35
D4049 = 45
D5059 = 55
D60up = 65
REL = if RIL=0 then BiomasaTotal*ConversiC else 0

4. Sub Model Pendugaan Additionality


Additionality = CStockRIL-REL
CStockRIL = if RIL=1 then BiomasaTotal*ConversiC else 0

5. Sub Model Pendugaan REDD Income dengan PlanVivo Standard


Cost[Validation] = if mod(time,0)=TimeofValidationAndVerification then 12500
else 0
Cost[Verification] = if mod(time,0)=TimeofValidationAndVerification then 30000
else 0
Cost[C_Certification] = 0.3
CostOfEfectivity = (Cost[Validation]+Cost[Verification]+
(Cost[C_Certification]*Additionality))*8500
TimeofValidationAndVerification = 5

6. Sub Model Pendapatan dari Karbon dengan Skema REDD


BenefitC = if RIL=1 then (C_Price*Additionality)-CostOfEfectivity else 0
C_Price = 0
NPV_REDD = if Mod(time,TimeofValidationAndVerification)=0 then BenefitC/
(1+SukuBunga)^TimeofValidationAndVerification else 0
NPV_RIL_REDD = NPV_RIL+NPV_REDD

7. Sub Model Kelayakan Proyek REDD


UjiKelayakan = if mod(time,Daur)=0 and NPV_CL>NPV_RIL_REDD then 0
else
if mod(time,Daur)=0 and NPV_CL<=NPV_RIL_REDD then 1 else 0

75

Anda mungkin juga menyukai