Anda di halaman 1dari 48

1

INDONESIA’S FOLU NET SINK 2030: INOVASI


TATA KELOLA LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN

Pidato Pengukuhan Profesor Kehormatan


dalam Bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Alam
pada Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya

Oleh:
Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc.

Disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Akademik


Universitas Brawijaya
Malang, 25 Juni 2022
1

ABSTRAK
Nama Lengkap Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc.
NIP/NIDN 195608281979122001
Tempat/Tanggal Lahir Jakarta/28 Agustus 1956
Fakultas Pertanian
Bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Alam
Nomor SK Jabatan SK Rektor Nomor 8202/2022
Tanggal SK Jabatan 20 Juni 2022

Indonesia’s Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030
merupakan pendekatan metodis, menuju tingkat emisi menjadi -140
juta ton CO2e atau net sink pada tahun 2030. Model ini
dikembangkan dengan pendalaman hubungan kausalitas antar
kebijakan menghadapi tantangan global pengendalian perubahan
iklim dalam hubungan backward linkages dan forward linkages,
serta merupakan pengembangan kebijakan dan kegiatan business-
as-usual sektor kehutanan, dengan target yang lebih ambisius untuk
pencapaian target penurunan emisi karbon. Keunggulannya
ditunjukkan dengan pendekatan integratif dalam satu arah vektor
sasaran, lebih terstruktur, dan sistematis; merangkum tiga pijakan
dasar yaitu: Sustainable Forest Management, Environmental
Governance, dan (Forest) Carbon Governance. Masih ada
kelemahan untuk keberhasilan mutlak implementasinya karena
spektrum para pihak yang lebar dan luasnya cakupan wilayah
geografis, sehingga memerlukan koordinasi intensif vertikal dan
horisontal yang didukung teknologi penginderaan jarak jauh
berskala sangat detil dan resolusi tinggi, agar menjadi daya ungkit
luar biasa dalam kerja pengelolaan hutan dan lahan untuk aksi iklim.
2

Indonesia's Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 is a
methodical approach, toward emission levels to
-140 million tons of CO2e or net sink by 2030. This model was
developed by underlining the causality relationship between
policies facing the global challenges of climate change control in
the relationship of backward linkages and forward linkages and was
the development of business-as-usual policies and practices in the
forestry sector so far, with performance targets that more ambitious
to achieve carbon emission reduction targets. Its advantages are
shown by an integrative approach in one direction of the target
vector, more structured, and systematic; summarizing three
fundamentals, namely: Sustainable Forest Management,
Environmental Governance, and (Forest) Carbon Governance.
There are still weaknesses for the absolute success of its
implementation due to the wide spectrum of the stakeholders and
the wide coverage of the geographical area, therefore it requires
intensive vertical and horizontal coordination supported by remote
sensing technology at a very detailed scale with high resolution, in
order to become tremendous leverage in forest and land
management work for climate action.
3

GLOSARIUM

CM1 : Counter Measure 1


CM2 : Counter Measure 2
DD : Deforestasi dan Degradasi
ENR : Enhanced Natural Regeneration
FOLU : Forest and Other Land Use
CO2e : Karbon Dioksida Ekuivalen
CPOS : Current Policy Scenario
GC/GMEF : Governing Council/Global Ministerial Environment
Forum
GRK : Gas Rumah Kaca
IJLH : Indeks Jasa Lingkungan Hidup
IPL : Indeks Prioritas Lokasi
IPPU : Industrial Process and Production Use
LCCP : Low Carbon Scenario Compatible with Paris
Agreement Target
LTS LCCR : Long Term Strategy on Low Carbon and Climate
Resilience
PIPPIB : Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru
NDC : Nationally Determined Contribution
NZE : Net Zero Emission
PBPH : Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
PCK : Peningkatan Cadangan Karbon
PIAPS : Peta Indikasi Alokasi Perhutanan Sosial
RIL-C : Reduced Impact Logging – Carbon
RKTN : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
SILIN : Silvikultur Intensif
TRNS : Skenario Transisi
UNEP : United Nations Environment Programme
4

Bismillahir Rahmanir Rahim,


Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,
Syalom. Oom Swasti Astu
Yang terhormat,
Pimpinan dan Anggota Senat Akademik Universitas,
Pimpinan dan Anggota Majelis Wali Amanat,
Pimpinan dan Anggota Dewan Profesor,
Pimpinan Universitas,
Pimpinan Fakultas, Lembaga, dan Departemen,
Segenap Sivitas Akademika,
Para tamu undangan, Ibu dan Bapak yang saya hormati.

Segala kemuliaan, keagungan, kemaha-luasan ilmu adalah milik


Tuhan Yang Maha Esa, karenanya senantiasa kita mengagungkan
Asma-Nya dan bersyukur atas segala curahan nikmat, rahmat, dan
karunia-Nya. Hari ini saya dapat berdiri di hadapan Bapak/Ibu
sekalian dalam rangka penyampaian pidato pengukuhan Profesor
Kehormatan, semata atas Ijin-Nya.
Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
tinggi atas kesediaan kehadiran Bapak/Ibu pada acara pengukuhan
Profesor pada hari ini, di tengah kesibukan dan keterbatasan waktu
yang Ibu dan Bapak miliki. Semoga niat dan amal kebaikan Bapak/Ibu
akan memperoleh balasan dari Allah SWT.
Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat
yang dalam kepada Rektor, Senat Guru Besar dan seluruh Guru Besar
Pengajar dan Pimpinan Fakultas, serta Dekan Fakultas Pertanian, dan
jajaran pimpinan. Terima kasih atas kepercayaan yang saya junjung
tinggi dan akan bersungguh-sungguh menjalaninya bagi kepentingan
bangsa dan negara, dan kepentingan penyelenggaraan Tri Dharma
perguruan tinggi Universitas Brawijaya.
Dengan segenap kerendahan hati, perkenankan saya
menyampaikan pidato pengukuhan professor dengan judul:
“Indonesia’s FOLU Net Sink 2030: Inovasi Tata Kelola
Lingkungan Hidup dan Kehutanan”
5

I. PENDAHULUAN

Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang saya hormati,


Pandemi COVID-19 secara nyata telah memberikan banyak
konsekuensi seperti korban jiwa, penurunan pertumbuhan ekonomi
dunia, serta kerusakan lainnya. Hal penting yang juga hadir sebagai
rangkaian dari peristiwa itu ialah munculnya kesadaran yang kuat
secara global dan nasional akan pentingnya menjaga lingkungan,
serta tekad untuk alam perlu terus dijaga dan upaya mitigasi
lingkungan perlu ditingkatkan. Ancaman terhadap kelestarian
lingkungan, kerusakan ekosistem serta dampak perubahan iklim
yang berakibat menurunkan resiliensi masyarakat harus dihindari
dan dicarikan pemecahannya. Pembangunan lingkungan hidup dan
kehutanan memiliki peran penting dalam menangkal ancaman
tersebut serta mendukung tercapainya tujuan pembangunan
nasional secara berkelanjutan (Nurbaya, 2022a). Hal ini sesuai
dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945, yaitu:
“... melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Secara lebih spesifik, ditegaskan dalam batang tubuh UUD
1945, Pasal 28H bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk
mendapatkan lingkungan yang baik. Begitu pula pada Pasal 33
ditegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam Indonesia dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan dikelola secara
berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, pengaturan dilakukan
melalui UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
Kehutanan serta UU Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistem, yang menjadi pijakan dasar dalam pengelolaan
sektor lingkungan hidup dan kehutanan; didukung oleh berbagai
UU serta peraturan perundangan lainnya yang relevan dalam
prosedur pemerintahan, khususnya pada bidang lingkungan hidup
6

dan kehutanan. Konstitusi serta peraturan dan aturan


pelaksanaannya telah memberikan ruang lingkup yang jelas
bagaimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2021a).
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menjadi
pondasi pembangunan lingkungan hidup di Indonesia. UU tersebut
menyatakan tujuan utama pembangunan lingkungan hidup meliputi:
(1) melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan; (2) menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
(3) menjamin kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan
kelestarian ekosistem; (4) menjaga kelestarian fungsi lingkungan;
(5) mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
lingkungan; (6) menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini
dan generasi masa depan;
(7) menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan
hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; (8) mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana mewujudkan
pembangunan berkelanjutan; dan (9) mengantisipasi isu lingkungan
global. Dengan demikian, UU 32 Tahun 2009 tersebut tidak hanya
mengatur isu-isu strategis dalam negeri, namun juga memiliki ciri
antisipatif akan isu-isu lingkungan global.
United Nations Environment Program (UNEP, 2009)
menjelaskan bahwa tata kelola lingkungan hidup mencakup: (1)
neraca ekologi dan keadilan lingkungan; (2) kerusakan tanah; (3)
pengendalian perubahan iklim; (4) pengelolaan keanekaragaman
hayati; (4) pengelolaan air; (5) lapisan ozon; (6) risiko nuklir; (7)
organisme transgenik; dan (8) bencana alam. Berbagai isu tata
kelola lingkungan hidup tersebut hingga saat ini masih relevan.
Inger Andersen (2020), Direktur Eksekutif UNEP, menyampaikan
bahwa pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa kesehatan manusia
tidak terlepas dari kesehatan lingkungannya. Untuk itu, UNEP
sebagai salah satu badan dalam Perserikatan Bangsa Bangsa di
7

bidang lingkungan, memberikan dukungan kepada negara dan


mitra; untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam
mengantisipasi pandemi saat ini; dan di masa yang akan datang,
dengan melakukan restorasi ekosistem dan keanekaragaman hayati
yang hilang, mengendalikan perubahan iklim, dan mengurangi
polusi.
Pengelolaan kehutanan berdasarkan UU 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang telah diamandemen melalui UU No. 19
Tahun 2004, merupakan basis perlindungan dan pengelolaan hutan
sebagai salah satu sumber daya alam yang memiliki peran sangat
penting dalam pelestarian lingkungan hidup. UU tersebut
mengamanatkan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan
manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan. Lebih lanjut, disebutkan bahwa
semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh
negara ini, kemudian memberi wewenang kepada Pemerintah
untuk: (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan
dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan
status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan
hubungan hukum antara orang dengan hutan; serta mengatur
perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Pada bulan Juni 2022, dalam peringatan
Stockholm+50, dunia menegaskan bahwa atensi pembangunan
lingkungan dan manusia selama 50 tahun telah dimulai sejak tahun
1972; dengan mainstream issues yaitu pencemaran lingkungan,
keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Indonesia telah
menegaskan komitmennya kepada dunia, dengan meratifikasi Paris
Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. UU ini
dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan global dengan membatasi
kenaikan rata-rata suhu global di bawah 2°C dari tingkat pre-
industrialisasi; dan terus berupaya untuk membatasi kenaikan suhu
8

hingga di bawah 1,5°C. Komitmen tersebut dinyatakan dan


ditegaskan dalam Dokumen Nationally Determined Contribution
(NDC) yang memuat target komitmen penurunan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) sebesar 29% (Counter Measure /CM 1) sampai dengan
41% (CM 2) dibandingkan Business As Usual (BAU) pada tahun
2030. Dalam menjawab tantangan global sebagaimana dinyatakan
dalam dokumen NDC, diperlukan langkah-langkah terobosan,
inovasi dan kolaborasi upaya untuk percepatan implementasi aksi
iklim, terutama pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan
(khususnya pertanian).

II. PENGEMBANGAN ILMU MASA DEPAN

Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang saya hormati,


Era pemerintahan Yang Terhormat Bapak Presiden Joko
Widodo yang telah menyatukan dua Kementerian pada era
sebelumnya, yaitu Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan
Kementerian Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan; ini memberikan isyarat arah kerja dari Presiden
secara cukup tegas. Bahwa, harus dilakukan perubahan,
diantaranya pada hal-hal yang cukup mendasar, mencakup subyek
lingkungan hidup (kebanyakan, mostly on brown issues, seperti
pencemaran lingkungan) serta subyek kehutanan (mostly green
issue, seperti bio-diversity dan forest landscape management).
Dalam perjalanan selama lebih dari 7 tahun hingga saat ini,
diupayakan, dirancang dan ditempuh langkah-langkah korektif tata
kelola sumber daya alam dan lingkungan Indonesia; dengan
keyakinan perlunya kekuatan dasar-dasar dan kaidah-kaidah ilmiah
atau scientific sensing; serta perspektif politik kenegaraan. Sejak
akhir 2014 hingga sekarang, telah terjadi perubahan yang signifikan
dalam penanganan sektor lingkungan hidup dan kehutanan, sejalan
dengan perkembangan dan dinamika pemerintahan serta psikologi
politik masyarakat dan pola-pola kerja dalam dalam menyerap
aspirasi masyarakat, dalam melakukan agregasi dan dalam
9

artikulasi kepentingan dan aspirasi masyarakat. (Kementerian


Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020a).
Pemerintah mengemban tugas sebagai simpul negosiasi
berbagai kepentingan dan aspirasi itu. Dalam praktik pemerintahan,
perubahan-perubahan yang terjadi antara lain direfleksikan dalam
kebijakan dan pengambilan keputusan. Pengembangan kebijakan
dan pengambilan keputusan secara umum bersumber dari legal
aspect, political aspect, traditional or practical aspect dan scientific
aspect (Hill & Varone, 2021).
Dalam akomodasi dan artikulasi beragam kepentingan,
tidak sedikit dihdapi tantangan, baik yang bersifat teknis maupun
sosio-ekonomis dan politis; juga yang bersifat lokal, nasional, dan
global. Tidak mudah menjalankan perubahan dengan berbagai
situasi dan tantangan dimaksud. Dapat dikatakan bahwa hampir
tidak mungkin upaya perubahan dapat dijalankan dengan baik tanpa
dasar keilmuan (scientific sensing) yang cukup kuat; termasuk
dalam upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, di
dalam dan sekitar hutan.
Pada perbincangan G-7 meeting, pertemuan negara-negara
maju di Berlin pada awal Juni 2022 lalu, yang saya hadiri secara
langsung, semakin tegas akan pentingnya peran ilmu pengetahuan
dalam kerja-kerja subyek lingkungan dan climate action. Hal ini
memberikan keyakinan bahwa kita on the right track dalam langkah
korektif, termasuk dalam kebijakan dan langkah aksi iklim. Hanya
saja perlu didorong implementasinya yang harus nyata-nyata
dilaksanakan dan berlangsung dengan kolaborasi yang baik.
Dalam upaya memenuhi komitmen Paris Agreement,
Indonesia telah menyusun Strategi Implementasi NDC, Peta Jalan
NDC Mitigasi, Updated NDC serta Strategi Jangka Panjang
Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim (Long Term
Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050; LTS-LCCR
2050) dan secara formal Dokumen LTS-LCCR tersebut telah
disampaikan kepada Sekretariat United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) pada bulan Juli
10

sebelum Conference of the Parties (COP) 26 UNFCCC di Glasgow,


November 2021. (The Republic of Indonesia, 2021a).
NDC Indonesia terangkum dalam beberapa sektor utama
yaitu: Energi, Pertanian, FOLU (Forestry and Other Land Uses),
IPPU (Industrial Process and Production Use), dan Limbah
(Waste). Dalam skenario penurunan emisi GRK sebagaimana
dinyatakan dalam NDC Indonesia, sektor Forestry and Other Land
Use (FOLU) atau sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya,
diproyeksikan akan berkontribusi hampir 60% dari total target
penurunan emisi GRK. Atas kontribusi yang signifikan tersebut,
maka upaya penanganan dan pengendalian emisi GRK di sektor
kehutanan menjadi hal yang sangat penting bagi Indonesia; dan
tentu saja bagi upaya pengendalian perubahan iklim dalam skala
global. (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022).
Dokumen LTS-LCCR 2050 Indonesia memberikan
penjelasan dan merancang, bahwa sektor FOLU akan mampu
mencapai kondisi net sink mulai tahun 2030. Pengertian FOLU Net
Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui
penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan
dengan kondisi dimana tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari
tingkat emisi. Skenario tersebut dibangun berdasarkan hasil kinerja
bersama dalam melakukan koreksi kebijakan (corrective actions)
sektor kehutanan selama lebih dari tujuh tahun terakhir, yang
didukung oleh hasil pencermatan mendalam atas berbagai persoalan
sektor kehutanan yang telah berlangsung selama belasan hingga
puluhan tahun (The Republic of Indonesia, 2021b). Indonesia’s
FOLU Net Sink 2030 dirangkum dalam Rencana Operasional yang
rinci, dan menjadi pijakan implementasi langkah penurunan emisi
GRK; yang selanjutnya dituangkan menjadi pedoman kerja atau
manual yang sistematis dalam penanganan setiap kegiatan forest
and land use; seperti kebakaran hutan dan lahan, deforestasi dan
degradasi hutan, konservasi habitat, keanekaragaman hayati,
pengelolaan gambut, dan mangrove.
11

Atas beberapa hal yang telah dijelaskan secara singkat


tersebut, dipandang bahwa isu pengendalian perubahan iklim dapat
menjadi leverage untuk meningkatkan peran dan pengakuan publik
terhadap sektor lingkungan hidup dan kehutanan, melalui program
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Program ini diharapkan tidak
hanya dapat mencapai target dalam penurunan emisi GRK, namun
juga sekaligus dapat dijadikan momentum untuk mempercepat
proses penguatan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di
Indonesia.

III. TATA KELOLA LINGKUNGAN HIDUP DAN


KEHUTANAN

Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang saya hormati,


Dengan berpedoman pada rumusan Visi dan Misi Presiden
dan Wakil Presiden, maka orientasi kerja Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah: “Terwujudnya
Keberlanjutan Sumber Daya Hutan dan Lingkungan Hidup untuk
Kesejahteraan Masyarakat“ dalam mendukung: “Terwujudnya
Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong-Royong”. Pada frasa ini, terdapat dua kata
kunci, yaitu keberlanjutan dan kesejahteraan. Makna Keberlanjutan
berarti pembangunan yang dilaksanakan oleh KLHK harus dapat
menjaga kelestarian sumber daya hutan, kualitas lingkungan hidup,
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat serta meningkatkan
pembangunan yang inklusif; disertai dengan pelaksanaan tata kelola
yang mampu menjaga peningkatan kualitas dan taraf hidup
masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Kesejahteraan mempunyai arti tercapainya
perbaikan kualitas dan taraf hidup masyarakat Indonesia secara adil
dan setara (Presiden Republik Indonesia, 2020).
Operasionalisasi untuk mencapai itu terbagi habis dalam
urusan kerja Kementerian. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun
2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
12

menegaskan misi KLHK yaitu : a) Mewujudkan hutan yang lestari


dan lingkungan hidup yang berkualitas; b) Mengoptimalkan
manfaat ekonomi sumber daya hutan dan lingkungan secara
berkeadilan dan berkelanjutan; c) Mewujudkan keberdayaan
masyarakat dalam akses kelola hutan secara adil; dan d)
Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

3.1. Tata Kelola Lingkungan Hidup (Environmental


Governance)
Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang saya hormati,
Pertumbuhan populasi manusia menjadi salah satu faktor
penting dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup
dan manusia dengan hutan (Misra et al., 2014). Pertumbuhan
manusia dari sekitar 5 juta jiwa pada awal masa bercocok tanam 8
ribu tahun sebelum Masehi, tumbuh menjadi 200 juta pada awal
Masehi dengan pertumbuhan 0,05% per tahun. Pertumbuhan luar
biasa tercatat pada saat mulai terjadinya revolusi industri, yaitu
mencapai 1 miliar jiwa pada sekitar tahun 1800, dan mencapai 2
miliar setelah 130 tahun, dan terus bertumbuh cepat mencapai 5
milyar jiwa pada sekitar tahun 1987 dan saat ini tercatat sekitar
7,954 milyar jiwa di tahun 2022 (Worldometer, 2022). Pada saat
populasi manusia masih sedikit dan kegiatan manusia tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap lingkungan dan kondisi
hutan, maka lingkungan hidup dan hutan menjadi lebih mudah pulih
karena tingkat gangguannya minimal. Pada saat itu, kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara tradisional dengan
peralatan minimal.
Perubahan kondisi hutan terjadi pada saat pertumbuhan
populasi mulai meningkat dan kebutuhan akan lahan pertanian dan
pemukiman semakin besar. Pembukaan lahan hutan berkembang
pesat dengan bertambahnya spot-spot pemukiman. Efek pengganda
mulai berlangsung ketika pertumbuhan manusia meningkat,
kebutuhan sumber daya alam meningkat dan kebutuhan akan lahan
juga meningkat. Untuk itu tata kelola sumber daya alam diperlukan
13

untuk mampu menjawab tantangan dan guna dapat ditangani secara


tepat dan berkesinambungan.
Faktor perilaku manusia dalam memperlakukan alam dan
lingkungannya sangat menentukan bagaimana bentang alam akan
terbentuk. Zonneveld (1979) menggambarkan faktor-faktor yang
memengaruhi pembentukan lahan yang merupakan proses dinamis
dan kompleks sebagaimana tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Faktor-faktor pembentukan lahan


(Sumber: Zonneveld, 1979)
14

Sistem bumi dikenal sebagai perubahan pada bola bumi (padat)


yang terdiri dari lahan-geosfir sebagai hasil interaksi antara atmosfir
(udara), hidrosfir (air, lautan dan sungai serta es), biosfir
(kehidupan) serta litosfir. Pada tiga dekade terakhir, terjadi
perubahan mendasar terhadap pandangan keilmuan tentang bumi,
dimana banyak pihak semakin mewaspadai adanya perubahan
global yang saling memberi pengaruh antara komponen-komponen
sistem kebumian, yaitu: solid earth, biosphere, atmosphere dan
oceans (Gambar 2).

Gambar 2. Bumi sebagai sebuah system

Dengan memahami konsep pembentukan lahan dan konsep


bumi sebagai sebuah sistem, maka konsep fungsi lingkungan pun
dapat dipahami dengan lebih baik. Menurut de Groot (1992), fungsi
lingkungan didefinisikan dengan penyediaan barang dan jasa dari
biosfir. Lebih lanjut, menurut van der Maarel dan Dauvellier (1978)
dan Braat et al. (1979) ada 4 fungsi lingkungan yaitu: 1) Fungsi
Regulasi; 2) Fungsi pembawa/carrier; 3) Fungsi produksi; dan 4)
Fungsi informasi, kognitif, estetika dan pencerahan spiritual. Fungsi
lingkungan tersebut tidak terlepas dari konsepsi tentang fungsi
15

alam, dimana manusia dapat melakukan upaya-upaya untuk


menjaga fungsi lingkungan melalui 4 kegiatan yaitu: (1) Evaluasi
Fungsi Lingkungan; (2) Analisis Risiko lingkungan; (3) Analisis
Dampak Lingkungan; dan (4) Evaluasi Pengelolaan atau
Manajemen Lingkungan.

Gambar 3. Fungsi alam dan lingkungan

Dengan menjaga fungsi alam/lingkungan tersebut, maka


manusia akan memperoleh manfaat sosial (dan ekonomi) untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjaga kesehatannya melalui
pertanian, kehutanan, pertambangan, pariwisata dan sebagainya.
Gambar 4 menunjukkan bagaimana hubungan dan relevansi
manfaat sosial ekonomi dapat dipetik dari alam.

Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang saya hormati,


Sejak dicanangkannya pembangunan berkelanjutan dalam
Konferensi Tingkat Tinggi terkait Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio
de Janeiro, Brazil, konsep pembangunan berkelanjutan menjadi arus
utama pengelolaan lingkungan hidup di dunia; dan mengalami
pergeseran sesuai dengan perkembangan teknologi dan peradaban.
16

Gambar 4. Hubungan antar bidang manfaat sosial

Tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi,


sosial dan lingkungan, perlu dilihat sebagai piramida, bukan
segitiga sama kaki, di mana pada lapisan piramida terbawah
merupakan dimensi lingkungan hidup, lapisan tengah merupakan
dimensi sosial masyarakat, dan lapisan paling atas adalah dimensi
ekonomi (Cato, 2009). Lebih lanjut, Cato (2009) menekankan
bahwa dimensi lingkungan merupakan dasar dan memberi landasan
bagi dimensi sosial masyarakat dan dimensi ekonomi.
Dengan demikian diharapkan lingkungan hidup dapat
menyediakan ruang bagi proses pembangunan, untuk memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri; atau
mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Di sinilah peran
tata kelola lingkungan (Environmental Governance) dalam
menerjemahkan dan mengoperasionalkan pembangunan
17

berkelanjutan. Kebutuhan adanya tata kelola yang baik (good


governance) didorong oleh: (1) perkembangan keilmuan dan
pemahaman yang lebih baik; (2) kerangka konseptual yang terus
berkembang; (3) hasil kerja yang memberikan solusi; (4) relevansi
sosial; (5) keterkaitan dengan proses perencanaan; dan (6) upaya
memengaruhi pengambil kebijakan.
Tata kelola lingkungan atau environmental governance
merupakan rangkuman dari aturan, praktik, kebijakan dan
kelembagaan yang membentuk bagaimana interaksi antara manusia
dan lingkungan (UNEP 2009). Tata kelola lingkungan dapat
didefinisikan sebagai intervensi yang bertujuan untuk mengubah
insentif, pengetahuan, kelembagaan, pengambilan keputusan, dan
perilaku terkait lingkungan (Lemos & Agrawal, 2006). Tata kelola
lingkungan yang baik (good environmental governance)
memperhatikan peran penting unsur-unsur aktor yang berpengaruh
terhadap lingkungan, seperti LSM, masyarakat madani, dunia usaha
dan pemerintah. Kerjasama dan sinergi merupakan langkah kritis
untuk mencapai tata kelola yang efektif, yang selanjutnya dapat
membantu tercapainya masa depan yang berkelanjutan. Beberapa
prinsip kunci dalam tata kelola lingkungan meliputi:
1. Pengambilan keputusan dan langkah-langkah aksi pada
berbagai tingkatan (pusat sampai ke daerah dan desa) yang
koheren dan saling terkait.
2. Adanya konsep tentang wilayah dan komunitas termasuk
prinsip ekonomi dan kehidupan politik sebagai sistem yang
saling mempengaruhi.
3. Hubungan yang erat antara masyarakat dengan ekosistem
dimana mereka hidup.
4. Mengembangkan sistem sirkuler, artinya pemulihan, dan bukan
sistem linier yang menghabiskan.
Tata kelola lingkungan melingkupi penguatan dimensi
lingkungan, gender, hak asasi manusia dan aturan hukum
administrasi publik dan melindungi hak prosedural yang dapat
digunakan oleh individu, komunitas, dan masyarakat sipil untuk
18

mempengaruhi dan mengevaluasi kegiatan para pihak yang


mungkin memiliki dampak buruk pada lingkungan dan mata
pencaharian.
Pada Februari 2010, The Governing Council/Global
Ministerial Environment Forum (GC/GMEF) of the United Nations
Environment Programme (UNEP) di Bali, Indonesia, dengan suara
bulat mengadopsi ‘Guidelines for the Development of National
Legislation on Access to Information, Public Participation in
Decision-making and Access to Justice in Environmental
Matters’ (Bali Guidelines). Ini adalah tonggak penting dalam
bidang hukum lingkungan dan penerapan Prinsip ke-10 Rio.
Pedoman ini bersifat sukarela, dan dimaksudkan untuk
menunjukkan komitmen Pemerintah untuk melibatkan masyarakat
secara lebih menyeluruh di semua tingkatan untuk melindungi dan
mengelola lingkungan dan sumber daya terkait. Mereka juga
menggarisbawahi pengakuan kebutuhan untuk mengisi kesenjangan
dalam norma dan praktik hukum, untuk mendorong akses yang luas
pada informasi, partisipasi publik dan terhadap keadilan dalam
masalah lingkungan, yang selaras dengan kerangka kerja legislasi
dan proses nasional.
Dengan demikian konsep tata kelola lingkungan sangat
dipengaruhi oleh unsur manusia dalam hubungannya dengan alam.
Untuk itu diperlukan pemahaman atas persepsi manusia terhadap
lingkungan. Ewald (1967) menyatakan bahwa manusia merasakan
lingkungan dari sisi pandang yang berbeda (dilihat dan dirasakan
pada berbagai tingkatan). Lebih lanjut Ewald (1967) menyatakan
bahwa persepsi manusia terhadap lingkungan lebih kompleks
daripada sekadar ada interaksi, ada komposisi kehidupan, dan ada
persepsi ruang, namun juga menyangkut apa yang dirasakan.
Dengan demikian, maka tata kelola lingkungan juga perlu diarahkan
pada upaya untuk menumbuhkan perasaan dan pemahaman yang
sangat serius tentang ancaman terhadap lingkungan; serta upaya
untuk menyentuh pemenuhan kebutuhan paling dasar manusia,
yaitu ekonomi.
19

Tata kelola yang baik dicerminkan oleh kebijakan baik yang


terdiri atas: (1) kampanye publik; (2) pengaturan ekonomi; dan (3)
regulasi lingkungan. Dalam hal ini kebijakan lingkungan diarahkan
untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup manusia yang
diindikasikan dengan pemenuhan kebutuhan: (1) Dasar: pangan, air,
rumah, energi; (2) informasi, pendidikan dan pelatihan;
(3) rekreasi dan budaya; (4) kebebasan (politik, perorangan,
partisipasi, bebas dari kriminalisasi atau persekusi);
(5) akses atau transport barang dan jasa; (6) pendapatan (yang
cukup dan adil); (7) kesempatan kerja; (8) kesehatan (fisik dan
mental); dan (9) keindahan/estetika (tempat, ruang, obyek). Dalam
hal ini peran pemerintah bagi rakyatnya adalah menjamin adanya:
(1) stabilitas dan keteraturan; (2) akses pada kesejahteraan material;
(3) citizenship; dan (4) pengembangan demokrasi.

3.2. Tata Kelola Hutan (Forest Governance)


Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang saya hormati,
Luas kawasan hutan (termasuk perairan didalamnya sebagai
ekosistem kehutanan) Indonesia mencapai 125,92 juta hektar, terdiri
atas: Hutan Konservasi (HK) seluas 27,43 juta hektar, Hutan
Lindung (HL) seluas 29,66 juta hektar, Hutan Produksi Terbatas
(HPT) seluas 26,79 juta hektar, Hutan Produksi tetap (HP) seluas
29,22 juta hektar dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK)
seluas 12,82 juta hektar (ditegaskan dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 41 Tahun 2019).
Kawasan hutan Indonesia yang luas dan mencapai sekitar 63% dari
luas daratan Negara Indonesia, memerlukan tekad dan dukungan
menjaga keberlanjutan sumber daya hutan, sekaligus semangat
dimana sektor kehutanan harus dapat memberikan akses
kesejahteraan (material welfare) bagi rakyat Indonesia.
Pemanfaatan hutan secara lestari dapat dilakukan melalui
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu melalui mekanisme perizinan; dengan
20

mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung (Undang-


undang Nomor 41 Tahun 1999). Pemanfaatan hutan produksi pada
HPT, HP dan HPK memiliki fungsi pokok untuk memproduksi hasil
hutan dalam bentuk barang (goods) dan jasa (services). Arahan
makro pemanfaatan dan penggunaan ruang/spasial dan potensi
kawasan hutan untuk pembangunan kehutanan dan pembangunan di
luar kehutanan yang menggunakan kawasan hutan dalam skala
nasional untuk jangka waktu 20 tahun, sebagaimana telah
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.41/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/2019 tentang Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011–2030. RKTN
menjadi acuan dalam: (1) penyusunan rencana makro
penyelenggaraan kehutanan, (2) penyusunan rencana kehutanan
tingkat provinsi, (3) penyusunan rencana pengelolaan hutan di
tingkat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), (4) penyusunan
rencana pembangunan kehutanan, (5) penyusunan rencana kerja
usaha pemanfaatan hutan,
(6) koordinasi perencanaan jangka panjang dan menengah antar
sektor, dan/atau (7) pengendalian kegiatan pembangunan
kehutanan.
Arahan ruang pemanfaatan kawasan hutan dikelompokkan
kedalam dalam kategori, masing-masing dengan tujuannya sebagai
berikut:
1. Arahan kawasan untuk konservasi; ditujukan pada seluruh
kawasan konservasi. Pemanfaatannya diarahkan untuk
konservasi sumber daya hutan. Dalam pengelolaannya berprinsip
pada perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari
serta mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan
ekonomi;
2. Arahan kawasan untuk perlindungan hutan alam dan ekosistem
gambut; ditujukan pada Hutan Lindung, lahan gambut dengan
fungsi lindung dan fungsi budidaya di luar lahan kritis dan
sasaran rehabilitasi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi yang
dapat dikonversi dengan daya dukung dan daya tampung tata air
21

tinggi. Pemanfaatannya diarahkan untuk melindungi ekosistem


hutan alam dan gambut serta penyediaan karbon. Pemanfaatan
ke depan dapat dilakukan dengan tanpa meninggalkan tujuan
utamanya, misalnya untuk pemanfaatan jasa lingkungan, Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK), pemanfaatan kawasan dengan
tanpa mengurangi fungsi perlindungan, sistem tata air serta
pengendalian emisi;
3. Arahan kawasan untuk rehabilitasi; ditujukan pada Hutan
Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Produksi yang dapat
dikonversi yang berada pada lahan gambut dengan kriteria kritis
dan sangat kritis, rawan/paska bencana banjir-longsor, Karhutla,
serta sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada destinasi wisata
nasional, Reklamasi, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, serta
kawasan konservasi dengan zonasi/blok rehabilitasi.
Pemanfaatannya diarahkan untuk percepatan rehabilitasi karena
kondisinya berada dalam wilayah DAS kritis dan areal bekas
pertambangan melalui usaha reklamasi, revegetasi maupun sipil
teknis konservasi tanah dan air. Apabila proses rehabilitasinya
telah selesai, dapat dilakukan pemanfaatan sesuai fungsi dan
diupayakan untuk pemberdayaan masyarakat dengan tanaman
penghasil HHBK;
4. Arahan kawasan untuk pemanfaatan hutan berbasis korporasi;
ditujukan pada hutan lindung dan hutan produksi yang telah
dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu–hutan alam,
hutan tanaman, restorasi ekosistem, dan rencana pemanfaatan
izin hutan alam, hutan tanaman dan restorasi ekosistem.
Pemanfaatannya diarahkan untuk pemanfaatan hutan berbasis
korporasi dengan berbagai skema, antara lain IUPHHK-
HA/HT/RE serta kemitraan dengan masyarakat sekitarnya;
5. Arahan kawasan untuk pemanfaatan berbasis masyarakat;
ditujukan pada hutan lindung dan hutan produksi yang telah
dibebani izin hutan desa/hutan kemasyarakatan/hutan tanaman
rakyat dan arahan perhutanan sosial, serta hutan produksi dengan
daya dukung tata air rendah, dan daya dukung pangan/energi
22

tinggi. Pemanfaatannya diarahkan untuk pemanfaatan hutan


berbasis masyarakat dengan berbagai skema, antara lain Hutan
Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan
Desa (HD), dan kemitraan. Pada kawasan ini diharapkan peran
serta dan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan menjadi
terbuka; dan
6. Arahan kawasan untuk non kehutanan; ditujukan pada Hutan
Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Produksi yang dapat
dikonversi dengan penutupan permukiman, sawah, dan pertanian
lahan kering masyarakat, fasilitas umum dan fasilitas sosial serta
hutan produksi yang dapat dikonversi dengan daya dukung tata
air rendah. Pemanfaatan kawasan ini merupakan kawasan yang
disiapkan untuk pemenuhan lahan bagi masyarakat dan untuk
memenuhi kebutuhan sektor non-kehutanan. Prosesnya tetap
ditempuh melalui prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku.
Pada prinsipnya perencanaan kehutanan, berorientasi,
dimana luas kawasan hutan akan tetap dipertahankan dan konflik
dalam kawasan hutan dapat diselesaikan. Namun demikian, dengan
adanya proyeksi peningkatan kebutuhan lahan dari berbagai sektor
serta adanya dinamika pembangunan di daerah, maka dilakukan
optimasi terhadap kawasan hutan, sehingga tercapai harmonisasi
kebutuhan lahan multisektor dalam pembangunan nasional. Upaya
ini juga untuk dapat lebih menjamin keberadaan masyarakat adat,
masyarakat lokal setempat, dimana mereka berada dan berkegiatan
dalam kawasan hutan. Demikian pula untuk kepastian hukum dan
kepastian berusaha di bidang kehutanan. Disinilah arti
demokratisasi citizenship yaitu mewarga-negarakan warga negara
atau “meng-orang-kan” manusia sebagai warga negara, dengan
ukuran antara lain setiap warga negara telah memperoleh
pendidikan, dan berkesempatan menjadi manusia yang produktif
(Sen, 2009).
Optimasi luas efektif kawasan hutan dilakukan untuk
mempertahankan pemenuhan luas hutan dan kawasan hutan (posisi
23

land status) pada pulau secara proporsional, didasarkan atas kondisi


biofisik hutan (posisi land cover), penetapan kawasan hutan dengan
mempertimbangkan tata ruang, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, rencana pembangunan nasional dan daerah,
kerawanan bencana, pertanahan serta hak-hak pihak ketiga dan
masyarakat.
Kawasan hutan yang dipertahankan berupa kawasan hutan
yang mempunyai fungsi perlindungan jasa ekosistem terhadap tata
air, emisi, dan keanekaragaman hayati yang tinggi dan sangat tinggi;
serta kawasan hutan yang sudah dikelola dan berpotensi tinggi dan
layak untuk dikelola. Sedangkan kawasan hutan yang dapat
dikonversi adalah kawasan hutan yang terindikasi adanya
penguasaan masyarakat, permukiman, transmigrasi, sawah, tambak
atau infrastruktur umum dan pemenuhan kebutuhan sektor berbasis
lahan serta pengembangan infrastruktur.
Optimasi kawasan hutan diperlukan agar kawasan hutan
yang ada benar-benar mantap/definitif/established, terbebas dari
konflik; dan target-target pembangunan kehutanan tetap dapat
terpenuhi. Atas dasar kondisi dimaksud, sampai dengan tahun 2030
luas kawasan hutan di Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan
Produksi tetap (HP) diperkirakan secara efektif dapat dimanfaatkan
secara optimum sekitar 80%. Hal tersebut kemudian diskenariokan
20% atau sekitar 7,51 juta hektar kawasan hutan dari kedua arahan
pemanfaatan pada hutan produksi dialokasikan untuk
mengakomodasi kebutuhan pembangunan hutan rakyat,
kepentingan sektor non kehutanan serta penyediaan lahan
permukiman. Skenario ini merupakan bagian dari resolusi konflik
tenurial dalam kawasan hutan.

3.3. Langkah Korektif sebagai Prakondisi


Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang saya hormati,
Sejak akhir 2014 berbagai langkah korektif telah dirancang,
dan mulai awal 2016 aksi korektif telah diimplementasikan secara
sekuensial meliputi kebijakan, implementasi kegiatan,
24

pengembangan sistem kerja dan langkah monitoring serta evaluasi


dampaknya. Langkah korektif ini terus dilakukan
pengembangannya, termasuk secara simultan dilakukan melalui
penelitian, perumusan kebijakan, kerja lapangan dan evaluasi, serta
diteliti kembali keberlangsungannya secara terus menerus, dengan
kenyataan bahwa langkah tahapan harus dilakukan simultan
sekaligus dalam kurun waktu bersamaan. Kebijakan dan
implementasi sektor kehutanan akan terus dimantapkan dan
ditingkatkan sejalan dengan perkembangan tantangan sektor
kehutanan dan dampak perubahan iklim. Beberapa kebijakan dan
implementasi yang nyata telah mengalami perubahan dan kemajuan
diantaranya:
Pertama, perubahan arah pengelolaan hutan produksi yang semula
berfokus pada pengelolaan kayu (timber management) ke arah
pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis
masyarakat (forest landscape management);
Kedua, penegasan tentang pengendalian perizinan dengan
moratorium perizinan pada hutan primer dan gambut (PIPPIB) sejak
tahun 2011 yang diperbaharui setiap dua tahun dan menjadi
permanen sebagai kebijakan sejak tahun 2019;
Ketiga, aktualisasi penerapan prinsip daya dukung dan daya
tampung lingkungan, dalam perencanaan dan pelaksanaan
pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, internalisasi prinsip-
prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan ke dalam
penyusunan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)
sebagai arahan spasial makro pembangunan kehutanan tahun 2011-
2030, serta penerapannya dalam kegiatan pembangunan yang
relevan;
Keempat, penyelarasan arah kebijakan KLHK sesuai dengan tujuan
pembangunan berkelanjutan, SDGs, Perubahan Iklim Paris
Agreement, Aichi Biodiversity Targets, Pengendalian Degradasi
Lahan dan berbagai konvensi internasional yang telah ditetapkan
dan menjadi komitmen Pemerintah;
25

Kelima, pembangunan ketahanan iklim dengan restorasi,


pengelolaan dan pemulihan lahan gambut, rehabilitasi hutan dan
pengendalian deforestasi, dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi
iklim;
Keenam, penanggulangan pengendalian kebakaran hutan dan lahan,
dengan orientasi pencegahan secara permanen kejadian kebakaran
hutan serta hasil penurunan kebakaran hutan dan lahan secara
signifikan pada tahun 2015–2018 dan 2019–2021;
Ketujuh, pengendalian laju deforestasi yang berfluktuasi dari tahun
ke tahun namun terus menurun hingga tercatat penurunan terendah
secara signifikan laju deforestasi hutan dan lahan di tahun 2019–
2020 hingga 2021;
Kedelapan, rehabilitasi hutan dan lahan dengan pendekatan dan
sistem baru skala besar, masif, partisipatif dengan public private
partnership dalam menjamin ketersediaan bibit yang mencukupi
dan bermutu, serta untuk penanaman dalam rangka pemulihan,
rehabilitasi lahan;
Kesembilan, pencegahan kehilangan keanekaragaman hayati
melalui upaya konservasi kawasan serta perlindungan
keanekaragaman hayati di dalam dan di luar kawasan konservasi,
dengan menata fragmentasi habitat serta pengayaan spesies;
Kesepuluh, pengelolaan akses kelola hutan oleh masyarakat dalam
bentuk perhutanan sosial dengan prinsip perlindungan hutan,
rehabilitasi dan reforestasi serta pemberdayaan masyarakat melalui
sistem agroforestry, agrosilvopasture dan agrosilvofishery;
Kesebelas, penyelenggaraan pengusahaan dan kegiatan dalam
kawasan hutan dengan prinsip multi usaha kehutanan,
pengembangan diversifikasi usaha di sektor kehutanan,
mengintegrasikan pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu, dan hasil
hutan bukan kayu serta jasa lingkungan;
Kedua-belas, penegasan kebijakan kewajiban restorasi ekosistem
hutan dan pengayaan hutan dengan tanaman kayu keras melalui
sistem silvikultur dan penerapan teknik Reduced Impact Logging
(RIL) serta mendorong keselarasan kerjasama dan pembinaan dunia
26

usaha kepada kelompok masyarakat setempat dalam satu kawasan


hutan yang dikelola;
Ketiga belas, introduksi pemanfaatan jasa lingkungan dalam model
multi usaha kehutanan, sebagai bagian dari aksi mitigasi perubahan
iklim sektor kehutanan berbasis lahan. Kontribusi pemegang
perizinan berusaha dalam upaya mitigasi perubahan iklim dapat
dilakukan melalui kegiatan yang dapat mengurangi emisi; serta
meningkatkan serapan karbon dan/atau konservasi cadangan
karbon, seperti menjaga vegetasi alam lebat hingga penanaman atau
reforestasi mangrove;
Keempat belas, introduksi penataan kawasan terutama pada area
terbuka (outcrop) dan tepi sungai (ecoriparian) dengan reforestasi
dan melalui pengembangan replikasi ekosistem;
Kelima belas, mempertegas kebijakan dan implementasi
pembangunan secara nasional dengan menekankan prinsip
keseimbangan antara pembangunan (ekonomi) dengan lingkungan.
Pembangunan ekonomi juga dimaksudkan dalam rangka pemulihan
ekonomi (nasional) yang mampu menciptakan lapangan kerja baru
bagi masyarakat;
Keenam belas, penegasan kebijakan pemerintah yang berpihak
kepada masyarakat dalam alokasi penggunaan dan pemanfaatan
hutan, penataan kawasan dan sengketa kawasan, dan kebijakan yang
menjamin hak bagi rakyat serta memberikan jalan untuk
penyelesaian masalah hutan adat bagi masyarakat hukum adat;
Ketujuh belas, penyelesaian masalah-masalah konflik tenurial
dengan memberikan jalan keluar melalui Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020, untuk mengatasi dispute regulasi lintas sektor
(terkait) dan mempertegas aktualisasi keadilan bagi masyarakat
akan akses lahan dengan pendekatan restorative justice;
Kedelapan belas, langkah law-enforcement, dengan strata
pembinaan dan pengawasan penerapan standar dan enforcement
dengan sanksi hukum dalam rangka perlindungan kawasan hutan
dan keadilan bagi masyarakat; dan
27

Kesembilan belas, langkah-langkah menuju penguatan sistem dan


database informasi sumber daya hutan bersifat keruangan/spasial,
yang berkualitas dan terintegrasi sebagai instrumen pengambilan
keputusan yang cepat, sistematis, kontinyu, dan konsisten.
Dengan pemantapan kebijakan dan langkah, serta
implementasi dan evaluasi bidang-bidang sektor kehutanan
dimaksud, Pemerintah Indonesia juga melakukan preparasi
kebijakan pengurangan emisi GRK untuk mengendalikan
perubahan iklim dengan program Nasional “Indonesia’s FOLU Net
Sink 2030” sebagaimana dimandatkan melalui Peraturan Presiden
Nomor 98 Tahun 2021, untuk sudah dapat mencapai net zero
emission sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030.

3.4. Indonesia’s FOLU Net Sink 2030


Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia,
Komitmen Indonesia untuk Paris Agreement didasari
semangat landasan konstitusional UUD 1945, pada Pasal 28H
dimana negara harus menjamin kehidupan dan lingkungan yang
layak bagi warga negaranya. Dalam dokumen LTS-LCCR, dengan
skenario yang paling ambisius (Low Carbon Scenario Compatible
with Paris Agreement target; LCCP), Indonesia akan meningkatkan
ambisi pengurangan emisi GRK dengan puncak emisi bersih GRK
nasional (seluruh sektor) tercapai pada tahun 2030 sebesar 1.244
juta ton CO2e atau setara 4,23 ton CO2e per kapita. Setelah itu, nilai
emisi bersih akan terus mengalami penurunan dan mencapai tingkat
emisi bersih sebesar 540 juta ton CO2e pada tahun 2050 atau setara
dengan 1,6 ton CO2e per kapita (Gambar 5), dan terus
mengeksplorasi peluang untuk mencapai kemajuan lebih cepat
menuju net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat
(The Republic of Indonesia, 2021a). Sebagai gambaran bahwa
puncak emisi seperti ini untuk negara-negara maju kira-kira telah
terjadi pada pertengahan hingga akhir 1970-an, atau telah sekitar 50
tahun yang lalu.
28

Pada tahun puncak emisi Indonesia, sektor kehutanan dan


penggunaan lahan atau Forest and other Land Use, FOLU, sudah
akan mencapai net sink dengan tingkat emisi sebesar -140 juta ton
CO2e, dan terus mengalami peningkatan dan akan mencapai tingkat
emisi -304 juta ton CO2e. Sektor FOLU memiliki peranan yang
penting dalam usaha pencapaian target NZE nasional, terutama
untuk mengimbangi emisi dari sektor-sektor yang sulit menurunkan
emisinya, khususnya sektor energi; sehingga kemampuan untuk
mempertahankan tren net sink setelah 2030 akan menentukan
ketercapaian ambisi NZE Indonesia.
Dokumen LTS-LCCR juga akan memperkuat visi Seratus
Tahun Indonesia (Visi Indonesia 2045) menuju negara yang maju
dan makmur. LTS-LCCR dirancang dengan mempertimbangkan
kebutuhan untuk menyeimbangkan antara pengurangan emisi dan
pembangunan ekonomi, dengan menempatkan pengurangan emisi,
pertumbuhan ekonomi, keadilan, dan pembangunan tangguh iklim,
sebagai bagian yang terintegrasi dari tujuan utama jangka panjang
pembangunan rendah emisi dan ramah iklim dalam LTS-LCCR.

Gambar 5. Proyeksi emisi dalam skenario CPOS, TRNS, dan


LCCP
29

Visi Indonesia dalam upaya Pembangunan Rendah Emisi


dan Tangguh Iklim pada tahun 2050 diterjemahkan ke dalam tiga
skenario utama: (i) skenario kebijakan saat ini (Current Policy
Scenario, CPOS), (ii) skenario transisi (TRNS) dan (iii) skenario
rendah karbon yang sejalan dengan tujuan Perjanjian Paris (Low
Carbon Scenario Compatible with Paris Agreement target, LCCP).
Skenario CPOS merupakan ekstensi dari skenario tanpa syarat NDC
(CM1), Skenario LCCP mengasumsikan implementasi aksi mitigasi
yang lebih progresif dengan tujuan mencapai kondisi NZE yang
targetnya lebih ambisius dibandingkan dengan skenario bersyarat
NDC (CM2). Sementara itu, skenario transisi adalah skenario yang
menjembatani proses transisi dari skenario CPOS ke LCCP. Secara
sektoral, ambisi sektor FOLU dan sektor pertanian hanya
diterjemahkan ke dalam dua skenario saja, yakni skenario CPOS
dan LCCP.
Upaya signifikan mengurangi emisi sektor FOLU dan
mengubahnya menjadi net sink pada tahun 2030 (dalam skenario
LCCP) akan sangat bergantung pada keberhasilan upaya-upaya
berikut ini:
1) pengurangan emisi dari deforestasi;
2) pengurangan emisi dari lahan gambut (dekomposisi gambut
dan kebakaran gambut);
3) peningkatan kapasitas hutan alam dalam menyerap karbon
melalui pengurangan degradasi hutan;
4) peningkatan kapasitas hutan alam dalam menyerap karbon
melalui peningkatan regenerasi alami;
5) penerapan praktik-praktik pengelolaan hutan lestari;
6) restorasi dan perbaikan tata air gambut;
7) restorasi dan rehabilitasi hutan (penanaman pengayaan untuk
meningkatkan serapan karbon);
8) optimalisasi pemanfaatan lahan yang tidak produktif untuk
pembangunan hutan dan pertanian serta perkebunan;
30

9) peningkatan produktivitas lahan dan indeks penanaman, serta


praktek-praktek teknik pengolahan lahan land preparation
seperti bajak sawah (dalam relasi proses anaerobik) atau
bukaan lahan pertanian baru (dalam relasi teknik minimum
tillage);
10) pencegahan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian;
11) pengurangan kehilangan hasil pertanian dan limbah makanan
(food loss and food waste).
Dalam dokumen LTS-LCCR 2050, Indonesia memberikan
penjelasan dan merancang bahwa sektor FOLU akan mampu
mencapai kondisi net sink mulai tahun 2030. Pengertian FOLU Net
Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui
penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan
dengan kondisi dimana tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari
tingkat emisi. Skenario tersebut dibangun berdasarkan hasil kinerja
bersama dalam melakukan koreksi kebijakan (corrective actions)
sektor kehutanan selama lebih dari tujuh tahun terakhir, yang
didukung oleh hasil pencermatan mendalam atas berbagai persoalan
sektor kehutanan yang telah berlangsung selama belasan hingga
puluhan tahun.
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 merupakan agenda yang
dibangun dengan basis spasial, khususnya dalam penentuan lokus
atas upaya aksi mitigasi penurunan emisi GRK sektor kehutanan
dan lahan. Penggunaan informasi spasial sangat diperlukan agar
langkah-langkah korektif dapat dilaksanakan dengan efektif dan
berkontribusi secara signifikan pada penurunan emisi GRK.
Sasaran yang ingin dicapai melalui implementasi Rencana
Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 adalah tercapainya
tingkat emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030,
mendukung net zero emission sektor kehutanan dan guna memenuhi
NDC yang menjadi kewajiban nasional Indonesia sebagai
kontribusi bagi agenda perubahan iklim global, dengan
memperhatikan visi Indonesia yang lebih ambisius dalam dokumen
LTS-LCCR.
31

Semua langkah aksi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 telah


dirancang secara rinci dan terintegrasi, agar dapat memberikan
manfaat ganda berupa pengurangan terukur laju emisi, perbaikan
dan peningkatan tutupan kanopi hutan dan lahan, perbaikan
berbagai fungsi utama hutan seperti tata air, iklim mikro, ekosistem,
konservasi keanekaragaman hayati; sekaligus sebagai sumbangan
bagi kesejahteraan, kesetaraan dan kesehatan masyarakat serta
tegaknya hukum, yang kemudian ditentukan prioritas lokusnya.
Penetapan lokus prioritas untuk pelaksanaan aksi mitigasi
berbasis spasial dilakukan melalui pendekatan sebagai berikut:
a. Pencegahan Deforestasi dan Degradasi (DD) Hutan Alam.
Lokasi yang menjadi prioritas untuk pelaksanaan kegiatan
mitigasi ini adalah pada kawasan yang masih memiliki tutupan
hutan alam dengan Indeks Prioritas Lokasi (IPL) relatif tinggi
dan berdasarkan Indeks Jasa Lingkungan Hidup (IJLH) yang
termasuk dalam arahan lindung dan produksi. Lokasi dengan IPL
tinggi memiliki tingkat risiko tinggi untuk terkonversi menjadi
non-hutan ataupun terdegradasi. Lokasi masih berhutan alam
yang masuk ke dalam arahan lindung dan produksi harus
dipertahankan untuk menjamin kelangsungan hutan memberikan
layanan jasa lingkungan dan juga produk hasil hutan.
b. Degradasi Hutan Konsesi.
Pada area konsesi, sebagian area masih banyak berupa hutan
alam primer. Pencegahan degradasi hutan primer menjadi
sekunder pada area konsesi hutan merupakan salah satu aksi
mitigasi.
c. Pembangunan Hutan Tanaman.
Lokasi prioritas untuk meningkatkan pembangunan hutan
tanaman industri dalam memenuhi kebutuhan kayu industri
dengan mengurangi ketergantungan terhadap hutan alam pada
area konsesi PBPH-HT dan area PIAPS yang masuk ke dalam
arahan IJLH produksi. Pelaksanaan pembangunan hutan
tanaman ialah pada area tidak produktif yang berada pada arahan
produksi. Pada arahan rehabilitasi terhadap lahan tidak produktif
32

yang ada digunakan untuk rehabilitasi non rotasi. Pembangunan


Hutan Tanaman juga dapat berupa hutan alam dan restorasi
ekosistem.
d. Pengelolaan Hutan Lestari (PHL).
Lokasi prioritas untuk pelaksanaan kegiatan PHL yaitu kegiatan
pengayaan hutan (enhanced natural regeneration, ENR) dan
teknologi tebang dengan dampak rendah (RIL-C) pada area
konsesi baik PBPH Hutan Alam maupun PBPH Hutan Tanaman.
Kegiatan Enhanced Natural Regeneration (ENR) diarahkan pada
area konsesi yang tutupan lahannya berupa hutan alam dan
masuk ke dalam arahan konservasi dan rehabilitasi, termasuk
hutan sekunder di arahan produksi. Penerapan Silvikultur
Intensif (SILIN) termasuk kegiatan ENR karena dapat
meningkatkan produktivitas hutan alam sampai 3–4 kali lipat
dari produktivitas saat ini atau setara dengan 90–120 m3/ha/daur.
Sementara kegiatan Reduced Impact Logging Carbon (RIL-C),
diarahkan pada area konsesi yang tutupan lahannya masih hutan
primer yang masuk arahan produksi.
e. Peningkatan Cadangan Karbon (PCK).
Kegiatan peningkatan cadangan karbon hutan adalah kegiatan
rehabilitasi lahan melalui penanaman pohon yang dapat dipanen
kayunya (rotasi) dan yang tidak dipanen kayunya (non-rotasi).
Untuk rehabilitasi dengan rotasi, lokasi prioritas ialah area
dengan IPL relatif tinggi yang tutupan lahannya adalah tidak
produktif, lahan budidaya semusim dan perkebunan yang masuk
ke dalam arahan produksi dan berada pada kawasan hutan
produksi dan bukan merupakan lahan gambut. Sementara
kegiatan rehabilitasi tanpa rotasi, lokasi prioritas ialah area
dengan IPL relatif tinggi yang tutupan lahannya adalah tidak
produktif, lahan budidaya semusim dan perkebunan yang masuk
ke dalam arahan lindung untuk area di dalam kawasan hutan
produksi dan kawasan hutan lindung; serta bukan merupakan
lahan gambut. Kegiatan rehabilitasi yang tutupan lahannya,
33

berupa lahan budidaya dan perkebunan yaitu berupa kegiatan


agroforestry.
f. Pengelolaan Lahan Gambut.
Lokasi prioritas untuk pelaksanaan kegiatan pengelolaan lahan
gambut dalam rangka menurunkan emisi dari dekomposisi
gambut dan kebakaran; yaitu perbaikan pengelolaan tata air dan
restorasi pada area lahan gambut yang IPLnya juga relatif tinggi.
Perbaikan pengelolaan tata air gambut diprioritaskan pada area
konsesi dan HGU yang tutupan lahannya sudah menjadi hutan
tanaman dan perkebunan; sedangkan untuk kegiatan restorasi
diarahkan pada lahan tidak produktif, budidaya dan perkebunan
yang berada di semua fungsi kawasan dan semua arahan.
Kegiatan restorasi pada area yang sudah dimanfaatkan untuk
kegiatan budidaya semusim dan perkebunan yang ada di luar
konsesi, diarahkan untuk memulihkan kembali fungsi gambut
dengan mengembangkan pola budidaya paludikultur dan teknik
silvikultur lainnya; yang memungkinkan berdasarkan
perkembangan teknologi. Sedangkan untuk area yang tutupan
lahan tidak produktif diarahkan untuk kegiatan restorasi, yang
dapat mendorong atau mempercepat suksesi alami maupun
secara buatan dengan pengayaan.
g. Konservasi Hutan Alam.
Konservasi hutan alam yang ada di luar kawasan Hutan
Konservasi dilakukan untuk menjaga area bernilai konservasi
tinggi. Demikian juga di dalam kawasan hutan dilakukan dengan
menjaga area bernilai konsentrasi tinggi. Berdasarkan IJLH, area
berhutan alam yang menjadi area konservasi adalah area yang
masuk ke dalam arahan lindung.
Implementasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 merupakan wujud
nyata komitmen sektor kehutanan Indonesia, tidak hanya dalam
skala nasional, namun juga secara nyata memberi kontribusi kepada
dunia, kepada masyarakat global, serta sebagai “legacy” generasi
saat ini kepada generasi yang akan datang.
34

3.5. Tantangan yang Dihadapi


Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang saya hormati,
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 merupakan upaya dan
langkah Pemerintah Indonesia untuk mencapai carbon neutral
melalui skenario LCCP dan pada LTS-LCCR 2050 menetapkan
target net sink pada sektor FOLU (beyond net zero emission). Dalam
pelaksanaannya dilakukan melalui skenario LCCP seperti semangat
yang ditegaskan dalam langkah ambisius untuk mencapai net zero
emission sektor FOLU pada 2030. Beberapa hal yang perlu menjadi
pertimbangan sebagai tantangan dalam rangka implementasi
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030:
Pertama: memberikan pengaman dan agar apabila skenario LCCP
tidak bisa tercapai (karena conditional dan unconditional),
Indonesia tetap konsisten dan sesuai dengan komitmen legally
binding (yaitu NDC) namun tetap menunjukkan ambisinya untuk
menggunakan skenario LCCP. UUD 1945 dengan amanat Pasal
28H dan Pasal 33 menjadi dasar pengaman untuk konsistensi
program.
Kedua: terdapat isu lintas sektor yang akan mempengaruhi
pencapaian target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 termasuk antara
lain target pengurangan emisi di sektor FOLU dengan kebutuhan
lahan antara pengembangan energi biomassa, ketahanan pangan dan
target pengurangan emisi di sektor FOLU.
Ketiga: dalam kerja-kerja lapangan perlu ditekankan penggunaan
skala peta (level of intensity of the map) yang secara terus menerus
didukung dengan langkah koherensi antar peta operasi lapangan.
Keempat: diperlukan pengorganisasian kerja lapangan secara
intensif mengingat keberadaan stakehoders dengan local genuine
dan kearifan lokal masing-masing, dalam variasi yang cukup tinggi
disamping variasi bentukan bentang alam (land form) dan dalam
wilayah geogfrafis Indonesia yang sangat luas.
Kelima, diperlukan upaya terus menerus penyesuaian teknologi
spasial, inderaja (remote sensing) sebagai instrumen kerja; dan
dalam kerjasama antar unit kerja yang relevan, pusat dan daerah,
35

state dan non-state actors dan dalam keselarasan persepsi dan


metodologi yang kompatibel.
Keenam: meski kecil kemungkinan terjadi, dengan perubahan
kebijakan dan tata kerja untuk semakin efektif menghasilkan
aktualisasi prinsip Sustainable Forest Management, Forest
Governance serta Carbon Governance, masih terdapat
kemungkinan masalah kelembagaan pelaksana terutama di daerah
yang memerlukan koherensi dalam rule base, yang bisa diatasi
bersama dengan learning by doing.
Kedelapan: Ketersediaan pendanaan memiliki peran penting untuk
implementasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 yang merupakan sektor
kunci keberhasilan target net zero emission Indonesia pada tahun 2060.
Pendanaan kegiatan aksi penurunan emisi GRK sektor kehutanan dan
lahan dapat dibiayai oleh Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
(APBN), Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Provinsi/Kabupaten/Kota, kemitraan pemerintah pusat dan daerah,
kemitraan pemerintah dan swasta, hibah Luar Negeri/Dalam Negeri, serta
sumber dana lainnya yang sah dan sesuai dengan peraturan perundangan,
serta pola public private partnerships dan blended finance, termasuk
nantinya melalui mekanisme pasar, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Kesembilan: Desentralisasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan terus
mengalami dinamika. Keberhasilan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 juga
akan dipengaruhi oleh koherensi kebijakan pengelolaan sumber daya alam
pusat dan daerah dan dengan pengembangan kebijakan pola perimbangan
keuangan pusat-daerah, serta market decentralization.
Kesepuluh: Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global, tidak akan
terlepas dari dinamika politik sumber daya alam secara global yang
berkembang dengan berbagai konsep kerja yang ditawarkan. Untuk itu,
Indonesia membutuhkan kekuatan diplomasi upaya inovatif dan
keteguhan dalam menentukan arah kebijakan program pembangunan
lingkungan hidup dan sumber daya alam khususnya kehutanan, serta bukti
konkret kerja nyata memenuhi komitmen global, leading by example.
Kesebelas: Dukungan intelektualitas secara kontinyu menjadi kebutuhan,
untuk pengembangan kebijakan baru dan penemuan metodologi. Dunia
akademis dan peneliti menjadi faktor penting bagi kemajuan Indonesia,
dalam pengembangan inovasi dan dalam melahirkan konsep terobosan
36

kebijakan baru khususnya pada sektor lingkungan hidup dan kehutanan.


Untuk itu, kerjasama dan kemitraan bersama dunia akademis menjadi
prasyarat, perlu diaktualisasikan secara nyata, guna dapat diciptakan
kebijakan dasar maupun kebijakan operasional baru yang berbasis
pengetahuan (scientific based policy).

IV. PENUTUP

Ketua Senat, Rektor, dan hadirin yang berbahagia,


Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 merupakan sebuah
program yang akan, dan sudah mulai dijalankan, sebagai inovasi
dalam rangka penguatan tata kelola lingkungan hidup dan
kehutanan. Aksi mitigasi yang akan dilaksanakan merupakan
peningkatan dalam semangat dan konseptualisasi atau sebagai
improvement dan sistematisasi dari kegiatan business as usual yang
telah berlangsung pada sektor kehutanan. Indonesia’s FOLU Net
Sink 2030 juga merupakan aksi mitigasi yang menunjukkan ambisi
aksi iklim dalam pelaksanaan target kinerja melalui pendekatan
yang lebih terstruktur dan sistematis, sehingga Indonesia dapat
memberikan contoh kejujuran bahwa komitmen bukan hanya
sekedar janji pledge, akan tetapi betul-betul bekerja dalam
delivered commitment.
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 memberikan target
pembangunan yang sangat fokus; dan untuk pertama kalinya dalam
sejarah pembangunan sektor kehutanan, seluruh program kegiatan
memiliki indikator dan satuan volume ukur yang sama, yaitu CO2e.
Target-target kinerja sebelumnya menggunakan berbagai satuan,
seperti hektar, m3, ton, dan Rupiah. Indonesia’s FOLU Net Sink
2030 mendorong kinerja sektor kehutanan menuju target
pembangunan yang sama, yaitu tercapainya tingkat emisi GRK
sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030.
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 menggunakan modalitas
kerja atas 3 (tiga) pijakan dasar utama yaitu: Sustainable Forest
Management, Environmental Governance, dan Carbon
Governance. Pada saat ini Indonesia terus mengembangkan upaya
37

untuk berbagai prakondisi Carbon Governance. Tata kelola karbon


dan tata cara perdagangan karbon (carbon pricing/trading/cap and
trade) masih terus dikembangkan oleh pemerintah; dan akan
menjadi modalitas utama berikutnya, yang prioritas untuk
diselesaikan sebagai salah satu kondisi pemungkin keberhasilan
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Namun demikian, masih ada
kelemahan untuk keberhasilan mutlak implementasinya karena
spektrum para pihak yang lebar dan luasnya cakupan wilayah
geografis, sehingga memerlukan koordinasi intensif vertikal dan
horisontal; yang didukung teknologi penginderaan jarak jauh
(remote sensing) dan citra satelit resolusi tinggi, agar menjadi daya
ungkit luar biasa dalam kerja pengelolaan hutan dan lahan untuk
aksi iklim.

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Akhirnya pada kesempatan yang sangat berharga ini, ijinkan saya


menyampaikan ucapan terima kasih saya kepada:
a. Yang terhormat Bapak Presiden Joko Widodo,
b. Yang terhormat Bapak Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin,
c. Yang terhormat pembina kami Ketua Umum DPP Partai
Nasdem Bapak Surya Paloh,
d. Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi,
e. Pimpinan Senat Akademik Universitas,
f. Pimpinan Majelis Wali Amanat,
g. Rektor Universitas Brawijaya,
h. Rektor Univeristas Mulawarman secara khusus, Juga Rektor
IPB, Rektor Universitas Gajah Mada dan para Dekan Fakultas
Kehutanan dan Program Studi Kehutanan se-Indonesia,
i. Kolega kerja dan kolega di Kabinet dan mitra di DPR RI, DPD
RI,
j. Para senior saya dalam karier birokrasi dan dalam politik,
k. Kawan-kawan prominent person aktivis dan NGOs dan para
sahabat kerja generasi muda,
38

l. Segenap jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan


Kehutanan, serta para advisor Menteri dan pendukung
expertise.
m. Almarhumah Ibunda Sri Banon dan almarhum Ayahanda
Mohammad Bakar, suami dan anak-anak serta keluarga besar
kakak dan adik-adik.
Terima kasih atas restu, bimbingan, arahan, tantangan, kritik
konstruktif dan semua yang memberikan semangat dan kekuatan
pada diri saya dalam meniti karir birokrasi dan politik, dan dalam
berusaha bekerja dengan baik, hingga terpenuhinya cita-cita saya
saat ini, di kampus Universitas Brawijaya. Terima kasih untuk
semua...
Semoga Tuhan membalas jasa Ibu dan Bapak serta Saudara
sekalian. Ijinkan saya mengakhiri,
Wassalamu alaikum warrahmatullahi Wabaraktuuh
Syalom, Oom Santi santi santi oom.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Andersen, I. (2020). Foreword by Executive Director of UNEP.


Preventing the next pandemic: Zoonotic diseases and how to
break the chain for transmission. United Nations Environment
Programme.
Braat, L.C., van der Ploeg, S.W.F., & Bouma, F. (1979). Functions
of the natural environment. Institute for environmental studies,
Free University, Amsterdam (Publication 79/9).
Cato, M.S. (2009). Green economics: An introduction to theory,
policy and practice. Journal of Economy Geography, 10(3), 478-
480.
de Groot, R.S. (1992). Functions of nature: Evaluation of nature in
environmental planning, management and decision-making.
Wolters Noordhoff BV, Groningen. 345 pp.
Ewald, Jr., W. (1967). Environment for man: The next fifty years.
Indiana University Press.
39

Hill, M., & Varone, F. (2021). The Public Policy Process.


Routlegde. Taylor & Francis Group.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Rencana
Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2021a).
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15
Tahun 2021, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2021b). Media
Briefing Indeks Kualitas Lingkungan Hidup. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020a). The State
of Indonesia’s Forests 2018.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020b). Rencana
Strategis Tahun 2020-2024. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020c). Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup 2019.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017). Laporan
kinerja 2016. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019). Laporan
kinerja 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018). Laporan
kinerja 2017. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Jakarta.
Lemos, M.C. & Agrawal, A. (2006). Environmental governance.
Annual Review of Environment and Resource, 31(1), 297-325.
Misra, A.K., Lata, K., Shukia, J.B. (2014). Effects of population and
population pressure of forest resources and their conservation: A
modelling study. Environment Development and Sustainability
16(2). Doi:10.1007/s10668-013-9481-x.
40

Nurbaya, S. (2022a). Sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan


Kehutanan pada apel siaga penyuluh kehutanan dalam rangka
menghadapi kebakaran hutan dan lahan, banjir serta tanah
longsor tahun 2022, 15 Juni 2022.
Park, J., Conca, K., Finger M. 2008. The Crisis of Global
Environmental Governance: Towards a New Political Economy
of Sustainability. Routledge.
Presiden Republik Indonesia. (2020). Lampiran Peraturan Presiden
Nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Cambridge Massachusetts: The
Belknap Press of Harvard University Press.
The Republic of Indonesia. (2016). First Nationally Determined
Contribution. Republic of Indonesia.
https://unfccc.int/sites/default/files/NDC/2022-
06/First%20NDC%20Indonesia_submitted%20to%20UNFCCC
%20Set_November%20%202016.pdf
The Republic of Indonesia. (2021a). Updated Nationally
Determined Contribution: Republic of Indonesia.
The Republic of Indonesia. (2021b). Indonesia long-term strategy
for low carbon and climate resilience 2050.
Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
UNEP (2009). Environmental Governance, A Fact Sheet provided
for 2009 UNFCCC Conference in Copenhagen. Nairobi, Kenya:
United Nations Environment Programme.
Van der Maarel, E. & Dauvellier, P.L. (1978). Naar een globaal
ecologish model voor de ruimtelijke ontwikkeling van Nederland.
Staatsuitgeverij, The Hague.
Worldometer. (2022). World population.
//http:www.worldometers.info.
Zonneveld, I.S. (1979). Land evaluation and land (scape) science.
Internasional Training Center Enschede, Nizozemsko.
41

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Data Pribadi
Nama : Siti Nurbaya Bakar
NIP/NIDN : 195608281979122001
Kartu Pegawai : C 0444063
Fakultas : Pertanian
Tempat & : Jakarta, 28 Agustus 1956
Tanggal Lahir
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Pangkat/Gol. : Pembina Utama/Gol. IVe (2004)
Alamat kantor : Jl Gatot Subroto no 2 RT 01/RW 3
Telepon/Fax : 08121116061
Alamat rumah : Jl Taman Patra Raya No 12a Kuningan
Setiabudi
Alamt e-mail : sitinurbaya.bakar@gmail.com
Nama ibu : Sri Banon
Nama ayah : Mochammad Bakar
Nama suami : Rusli Rachman
Nama anak : 1. Meitra Mivida NR
2. Ananda Tohpati

2. Riwayat Pendidikan
Pendidikan Tempat Tahun Lulus
SD SD Muhammadiyah III 1968
Matraman, Jakarta
SMP SMP N 50 Slamet Riyadi, 1971
Jakarta
SMA SMA N 8 Bukit Duri, Jakarta 1974
S1 Institut Pertanian Bogor, 1979
Bogor
42

Pendidikan Tempat Tahun Lulus


S2 International Institute for 1988
Aerospace Survey and
Earth Sciences (ITC),
Enschede, Belanda
S3 Institut Pertanian Bogor, 1998
kolaborasi dengan Siegen,
University, Jerman

3. Riwayat Pendidikan Tambahan


Pendidikan Tempat Tahun Lulus
Program Profesi IPB 2020
Insinyur

4. Riwayat Jabatan Akademik dan Kepangkatan


No. Kepangkatan Tahun
1. Pembina Tk.1 III d 1992
2. Pembina IV a 1994
3. Pembina Tk I IV b 1997
4. Pembina utama Madya IV c 2000
5. Lektor Madya 2000
6. Pembina utama Madya IV d 2001
7. Pembina utama IVe 2004

5. a. Riwayat Pekerjaan dan Jabatan Struktural


No. Jabatan Tahun
1. Menteri LHK 2019 – 2024
2. Menteri LHK 2014 – 2019
3. Sekjen DPD RI 2006 – 2013
4. Sekjen Depdagri 2001 – 2005
5. Sekjen Depdagri 2001
6. Kepala Biro Perencanaan Dagri 1998 – 2001
7. Wakil Ketua Bappeda Lampung 1995 – 1996
43

5. b. Riwayat Pekerjaan dan Jabatan Non Struktural


No. Jabatan Tahun
1. Dewan Komisaris PUSRI 2011 – 2015
2. Pelaksana Manajemen STPDN 2003 – 2004
3. Dosen luar biasa PPS IPB Program 2002 - 2013
Studi PSL S2/S3

6. Tanda Penghargaan
No. Jenis Penghargaan Tahun Institusi Pemberi
Penghargaan
1. Bintang Mahaputra 2020 Presiden
Adipradana
2. Penghargaan Bintang Jasa 2011 Presiden
Utama
3. Satya Lencana Karya 2010 Presiden
Satya XXX tahun
4. Bintang Jasa Satya 2004 Presiden
Lencana Wirakarya
5. PNS Teladan Nasional 2004 Presiden
6. Prestasi Kerja yang Luar 2004 Mendagri
Biasa
7. Satya Lencana Karya 2001 Presiden
Satya XX tahun

7. Keanggotaan Organisasi Profesi


No Nama Organisasi Jabatan Tahun
1. Nasdem Ketua Dewan 2019 – 2024
Pakar
2. Nasdem Ketua DPP 2013 – 2019
44

8. Karya Ilmiah

1. Nurbaya, Siti. Potret dan Dinamika Politik Dewan Perwakilan


Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Jurnal Bhinneka Tunggal Ika (Ulasan Ilmiah Politik, Otonomi
Daerah, SDA, dan Pluralistik), Vol. 1, No. 1, Tahun 2010,
ISSN: 2087-5592, penerbit: Sekretariat Jenderal Dewan
Perwakilan Daerah RI
2. Nurbaya, Siti. Pendekatan Efektivitas Birokrasi untuk
Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Bhinneka Tunggal Ika
(Ulasan Ilmiah Politik, Otonomi Daerah, SDA, dan
Pluralistik), Vol. 2, No. 1, Tahun 2011, ISSN: 2087-5592,
penerbit: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah RI
3. Nurbaya, Siti. Geosains dan Pengambilan Keputusan:
Pengalaman Legislasi DPR RI. Jurnal Bhinneka Tunggal
Ika (Ulasan Ilmiah Politik, Otonomi Daerah, SDA, dan
Pluralistik), Vol. 2, No. 2, Tahun 2011, ISSN: 2087-5592,
penerbit: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah
RI, hal. 21-38.
4. The State of Indonesia's Forests 2020, ISBN: 978-602-
8358-91-0
5. Vademecum Kehutanan Indonesia 2020, ISBN: 978-602-
5950-17-9
6. Saatnya Berubah: Aksi Korektif Siti Nurbaya Bakar
Mengelola Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ISBN:
978-602-5950-09-4, penerbit:Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
7. The State of Indonesia's Forests 2018, ISBN: 978-602-
8358-82-8.
8. Geosains untuk Pengambilan Keputusan: Pengalaman
Legislasi (Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah,
Bagaimana Membangun Kesejahteraan Daerah, 2010,
ISBN: 978-979-075-978-9, penerbit: Esensi, hal. 175-
203)
45

9. Siti Nurbaya. Arahan Menteri Lingkungan Hidup dan


Kehutanan Pada Acara Webinar Rehabilitasi DAS.
Webinar Rehabilitasi DAS Dengan Tema “Rehabilitasi
DAS Berbasis Pendekatan Bentang Lahan Dalam Rangka
Pemulihan Lingkungan dan Peningkatan Produktivitas
Lahan dan Sustainabilitas Ekonomi Masyarakat”. 2021.
46

Anda mungkin juga menyukai