Anda di halaman 1dari 132

Working Paper

Konteks REDD+ di Indonesia


Pemicu, pelaku, dan lembaganya

Giorgio Budi Indrarto


Prayekti Murharjanti
Josi Khatarina
Irvan Pulungan
Feby Ivalerina
Justitia Rahman
Muhar Nala Prana
Ida Aju Pradnja Resosudarmo
Efrian Muharrom
Working Paper 105

Konteks REDD+ di Indonesia


Pemicu, pelaku, dan lembaganya

Giorgio Budi Indrarto


ICEL

Prayekti Murharjanti
ICEL

Josi Khatarina
ICEL

Irvan Pulungan
ICEL

Feby Ivalerina
ICEL

Justitia Rahman
ICEL

Muhar Nala Prana


ICEL

Ida Aju Pradnja Resosudarmo


CIFOR

Efrian Muharrom
CIFOR
Working Paper 105

© 2013 Center for International Forestry Research


Hak cipta dilindungi oleh undang‑undang

Indrarto, G.B., Murharjanti, P., Khatarina, J., Pulungan, I., Ivalerina, F., Rahman, J., Prana, M.N., Resosudarmo, I.A.P.
dan Muharrom, E. 2013 Konteks REDD+ di Indonesia: Pemicu, pelaku, dan lembaganya. Working Paper 105.
CIFOR, Bogor, Indonesia.

Diterjemahkan dari: Indrarto, G.B., Murharjanti, P., Khatarina, J., Pulungan, I., Ivalerina, F., Rahman, J., Prana, M.N.,
Resosudarmo, I.A.P. and Muharrom, E. 2012 The Context of REDD+ in Indonesia: Drivers, agents and institutions.
Working Paper 92. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Foto sampul oleh Ryan Woo


Kalimantan Barat, Indonesia.

CIFOR
Jl. CIFOR, Situ Gede
Bogor Barat 16115
Indonesia

T  +62 (251) 8622‑622


F  +62 (251) 8622‑100
E cifor@cgiar.org

cifor.org

Semua pendapat yang dinyatakan dalam publikasi ini berasal dari para penulis dan tidak serta merta
mencerminkan pendapat CIFOR, lembaga tempat bernaung penulis atau penyandang dana publikasi ini.
Daftar isi

Singkatan v
Ucapan terima kasih viii
Ringkasan eksekutif ix
Pendahuluan xi
1 Hutan Indonesia: Tutupan hutan, jenis hutan, perubahan penggunaan lahan, deforestasi dan degradasi 1
1.1 Tinjauan umum hutan, hutan negara, dan perubahan hutan serta kawasan hutan di Indonesia 1
1.2 Penyebab perubahan tutupan hutan 3
1.3 Penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan 9
1.4 Potensi mitigasi 13
2 Aspek‑aspek kelembagaan, lingkungan, dan distribusi 16
2.1 Tata kelola hutan 16
2.2 Desentralisasi dan bagi‑hasil 27
2.3 Hak ulayat dan hak atas karbon, lahan, dan pohon 33
2.4 Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan 38
2.5 Konflik kehutanan 39
3 Ekonomi politik deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia 41
3.1 Sejarah deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia 41
3.2 Deforestasi dan degradasi hutan dalam konteks kebijakan politik, ekonomi, dan hukum saat ini 44
3.3 REDD+ dalam konteks ekonomi politik dan penegakan hukum di Indonesia 49
4 Lingkungan kebijakan REDD+: Pelaku, peristiwa kebijakan, dan proses kebijakan 51
4.1 Konteks kebijakan perubahan iklim yang lebih luas 51
4.2 Pelaku, peristiwa, dan proses kebijakan REDD 61
4.3 Konsultasi dan proses dengan para pemangku kepentingan 80
4.4 Pilihan dan proses kebijakan REDD+ mendatang 83
5 Pengaruhnya terhadap keefektifan, efisiensi, dan kesetaraan REDD+ (3E) 88
5.1 Kebijakan nasional, 3E (Keefektifan, efisiensi, dan kesetaraan) 88
5.2 Evaluasi aspek‑aspek utama REDD dari aspek 3E 94
6 Kesimpulan 99
7 Referensi 103
Lampiran
1 Perbandingan antara masukan/pemaparan dari peserta dalam konsultasi publik (25 Maret 2008)
dan versi terakhir Peraturan Menteri Kehutanan tentang REDD (2009) 114
Daftar gambar dan tabel

Gambar
1 Frekuensi terjadinya sengketa kehutanan, 1997–2003 39
2 Vonis pengadilan atas perkara kehutanan 48
3 Keterkaitan antara garis besar haluan kerja perubahan iklim dan perencanaan
pembangunan 52
4 Keterkaitan antara Peta Jalan Perubahan Iklim dan kebijakan nasional 53
5 Sejumlah peristiwa penting yang berkaitan dengan proses penetapan keputusan
mengenai REDD+ di Indonesia 64
6 Unsur‑unsur dalam menerjemahkan pedoman dan pengaman REDD+ hasil
keputusan COP 16 ke dalam konteks nasional 75
7 Tahapan penetapan tingkat emisi acuan (REL) per Maret 2010 86

Tabel
1 Perbandingan luas hutan dan kawasan hutan menurut perhitungan Kementerian
Kehutanan, FAO, dan FWI 2
2 Perbandingan luas hutan menurut jenisnya, 2005 dan 2008 2
3 Luas kawasan hutan yang dilepaskan dalam surat keputusan pelepasan hutan
untuk perkebunan, 2003–2010 5
4 Luas kebakaran hutan dan lahan, 1997–1998 8
5 Luas kebakaran hutan di Indonesia, 1999–2007 8
6 Perkiraan ketimpangan antara penyediaan dan permintaan kayu 10
7 Volume dan ekspor pulp, 1997–2008 10
8 Volume dan nilai ekspor minyak sawit, 2005–2010 11
9 Produksi dan ekspor batu bara, 2000–2010 11
10 Emisi gas rumah kaca menurut sektor, 2000–2005 14
11 Perkiraan pengurangan emisi dari berbagai sektor 14
12 Status RTRW di Indonesia, Juni 2012 26
13 Dana bagi‑hasil sumberdaya alam 30
14 Luas dan produksi perkebunan kelapa sawit, 2000–2009 32
15 PNBP dan penerimaan dari SDA, 2005–2009 (Rp miliar) 45
16 Perkara tindak pidana kehutanan yang terdaftar pada Kementerian Kehutanan,
2005–2009 47
17 Program kehutanan pemerintah Indonesia per 2009 55
18 Peran, posisi, dan pengetahuan kelompok pelaku REDD+ 62
19 Tahapan pelaksanaan kegiatan sebagaimana ditetapkan pada Surat Pernyataan Minat 66
20 Langkah strategis untuk keberhasilan pelaksanaan REDD+ 73
21 Pertemuan yang diselenggarakan dalam rangka penyusunan R‑PP 81
22 Bagi‑hasil dari usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon
pada hutan produksi dan hutan lindung 85
Singkatan

3E Keefektifan, efisiensi, dan kesetaraan


AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APHI Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia
APL Area Penggunaan Lain
AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
AusAID Australian Agency for International Development (Lembaga Pembangunan Internasional
Australia)
Bakosurtanal Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
BAPI Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia
Bappenas Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BAU Business as usual (Bisnis seperti biasa)
BKPRN Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Nasional
BPN Badan Pertanahan Nasional
BPS Badan Pusat Statistik
CDM Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih)
CIFOR Center for International Forestry Research (Pusat Penelitian Kehutanan Internasional)
CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (Konvensi
mengenai Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah)
COP Conference of the Parties (Konferensi Para Pihak)
CSF Civil Society Forum for Climate Justice (Forum Masyarakat Madani untuk Keadilan Iklim)
CPO Crude Palm Oil (Minyak Sawit Mentah)
CSO Civil Society Organisation (Organisasi Masyarakat Madani)
DBH Dana Bagi Hasil
DBH SDA Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
DKN Dewan Kehutanan Nasional
DNPI Dewan Nasional Perubahan Iklim
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DR Dana Reboisasi
Amdal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
FAO Food and Agriculture Organization of the United Nations (Organisasi Pangan dan
Pertanian PBB)
FCPF Forest Carbon Partnership Facility (Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan/Bank Dunia)
FFI Fauna & Flora Internasional
FIP Forest Investment Programme (Program Investasi Hutan)
FLEGT Forest Law Enforcement, Governance and Trade (Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan
Perdagangan Sektor Kehutanan)
FORDA Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan (Kementerian Kehutanan)
FPIC Free Prior and Informed Consent (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan/
PADIATAPA)
FWI Forest Watch Indonesia (Pemantau Hutan Indonesia)
GAPKI Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
GCS Global Comparative Study (Studi Banding Global)
GFW Global Forest Watch (Pengamat Hutan Global)
vi   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

GRK Gas Rumah Kaca: Unsur pembentuk atmosfer berupa gas, baik alami maupun hasil kegiatan
manusia, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Protokol Kyoto
mendaftar 6 jenis GRK yang emisinya harus diatur/dikurangi: karbon dioksida (CO2),
nitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfur heksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFC), dan
hidrofluorokarbon (HFC)
GERHAN Gerakan Rehabilitasi Lahan
HGU Hak Guna Usaha
HPH Hak Pengusahaan Hutan
HPHH Hak Pemungutan Hasil Hutan
HPK Hutan Produksi yang dapat Dikonversi
HTI Hutan Tanaman Industri
HTR Hutan Tanaman Rakyat
IBSAP Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman
Hayati Indonesia)
ICCSR Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (Peta Jalan Sektoral Perubahan Iklim Indonesia
ICCTF Indonesian Climate Change Trust Fund (Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia)
ICEL Indonesian Center for Environmental Law (Pusat Kajian Hukum Lingkungan Indonesia)
IFCA Indonesia Forest Climate Alliance (Aliansi Iklim Hutan Indonesia)
IHPH Iuran Hak Pengusahaan Hutan
IMF International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional)
IMM Indicative Moratorium Map (Peta Moratorium Indikatif )
IPKH Industri Pengolahan Kayu Hulu
INCAS Indonesia National Carbon Accounting System (Sistem Perhitungan Karbon Nasional
Indonesia)
IPHHK Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu
IPPK Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
IPK Izin Pemanfaatan Kayu
ITTO International Tropical Timber Organization (Organisasi Kayu Tropis Internasional)
IUPHHK‑HA Izin untuk Pemungutan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam
JICA Japan International Cooperation Agency (Badan Kerjasama Internasional Jepang)
KAN Komisi Akreditasi Nasional
KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan
KPK Komisi Pemberantasan Korupsi
KFCP Kalimantan Forests and Climate Partnership (Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan)
KLHS Kajian Lingkungan Hidup Strategis
LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
LEI Lembaga Ekolabel Indonesia
LHC Laporan Hasil Cruising
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LoI Letter of Intent (Surat Pernyataan Minat—Indonesia‑Norwegia)
LUCF Land Use Change and Forestry (Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan)
LULUCF Land Use, Land Use Change and Forestry (Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan,
dan Kehutanan)
MFP Multi‑stakeholder Forestry Programme (Program Kehutanan Multipihak)
MIFEE Merauke Food and Energy Estate (Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke)
KLH Kementerian Lingkungan Hidup RI
Kemhut Kementerian Kehutanan RI
MoU Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman)
MPRS Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
MRV Monitoring, Reporting and Verification (Pemantauan, pelaporan, dan pembuktian)
NCAS National Carbon Accounting System (Sistem Perhitungan Karbon Nasional)
NFI National Forest Inventory (Inventarisasi Hutan Nasional)
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
Konteks REDD+ di Indonesia   vii

NRM Natural Resource Management (Pengelolaan Sumber Daya Alam)


PAD Pendapatan Asli Daerah
Permenhut Peraturan Menteri Kehutanan
PES Payment for Environmental Services (Pembayaran atas Jasa Lingkungan)
PfA Proposal for Action (Usulan Aksi)
PNBP Pendapatan Negara Bukan Pajak
POKJA Kelompok Kerja
POKJA PI Kelompok Kerja Perubahan Iklim
PPATK Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
PPKH Pinjam Pakai Kawasan Hutan
PSDH Provisi Sumber Daya Hutan
RAD‑GRK Rencana Aksi Daerah untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
RAN Rencana Aksi Nasional
RAN‑GRK Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
REDD+ Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan peningkatan cadangan karbon hutan
REL Reference Emissions Level (Tingkat emisi acuan)
RIKEN Rencana Induk Konservasi Energi Nasional
RKT Rencana Kerja Tahunan
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005–2025
R‑Plan Readiness Plan (Rencana Kesiapan)
R‑PP Readiness Preparation Proposal (Usulan Persiapan Kesiapan)
RPPLH Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
RSPO Kesepakatan mengenai Kelapa Sawit Berkelanjutan
RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah
RTRWP Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Satgas PMH Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum
SFM Sustainable Forest Management (Pengelolaan Hutan Berkelanjutan)
SIS Sistem Informasi Pengamanan
SNC Second National Communication (Komunikasi Nasional Kedua)
SVLK Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan
TLAS Timber Legality Assurance System (Sistem Jaminan Legalitas Kayu)
TNC The Nature Conservancy
TPTI Tebang Pilih Tanam Indonesia
UKL‑UPL Upaya Kelola Lingkungan‑Upaya Pemantauan Lingkungan
UKP4 Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
PBB Perserikatan Bangsa‑bangsa
UNFCCC United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja PBB
mengenai Perubahan Iklim)
UN‑REDD United Nations Collaborative Programme on Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation in Developing Countries (Program Kolaboratif PBB mengenai Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara Berkembang)
UUPPLH Undang‑Undang No. 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
VER Verified Emissions Reduction (Pengurangan emisi terverifikasi)
VPA Voluntary Partnership Agreement (Kesepakatan Kemitraan Sukarela)
Walhi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
WWF World Wide Fund for Nature (Dana Dunia untuk Alam)
WTO World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia)
Ucapan terima kasih

Penyusun makalah ini menyampaikan terima kasih Kegiatan ini merupakan bagian dari komponen
kepada Maria Brockhaus, Moira Moeliono, Krystof kebijakan dalam Studi Banding Global CIFOR
Obidzinski, Cecilia Luttrell, Andrew Wardell, dan mengenai REDD+. Penyusun menerapkan
Herry Purnomo atas tinjauan dan sarannya; Ahmad metode dan pedoman yang dirancang oleh Maria
Dermawan dan Anna Sinaga atas stimulasi diskusi; Brockhaus, Monica Di Gregorio, dan Sheila
Hariadi Kartodihardjo dan Fitrian Adriansyah atas Wertz‑Kanounnikoff (http://www.forestsclimatechange.
tanggapan dan masukannya yang berharga; serta org/global‑comparative‑study‑on‑redd/
Nugroho Utomo dan Sofi Mardiah atas bantuannya national‑redd‑processes‑and‑policies.html).
yang tak ternilai dalam mengumpulkan data dan
menetapkan sumber kepustakaan. Tanpa bantuan Kami berterima kasih atas bantuan yang diterima dari
mereka, makalah ini tidak akan selengkap sekarang. Norwegian Agency for Development Cooperation,
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Australian Agency for International Development, UK
Agus Djoko Ismanto dan rekan‑rekan di Balitbang Department for International Development, European
Kehutanan yang telah berbagi pengetahuan dan Commission, Finnish Department for International
memberi tanggapan atas makalah ini. Ucapan terima Development Cooperation, Climate and Land Use
kasih secara khusus ditujukan kepada Kelompok Alliance, David and Lucile Packard Foundation, US
Layanan Informasi CIFOR yang telah menyunting dan Agency for International Development.
menerbitkan makalah ini.
Ringkasan eksekutif

Profil negara ini menelaah pemicu deforestasi dan kapasitas dan lemahnya tata kelola lembaga yang
degradasi hutan, menetapkan lingkungan kelembagaan, berkaitan dengan penggunaan lahan, proses tata
politik, dan ekonomi dalam pelaksanaan REDD+ di ruang yang tidak jelas, dan sering terjadinya sengketa
Indonesia, dan mendokumentasikan proses penyusunan penguasaan lahan dan sumberdaya.
kebijakan nasional REDD+ selama periode 2007–2011.
Terdapat jelas tantangan kontekstual yang perlu diatasi Untuk mencapai kemajuan yang lebih jauh terkait
guna menciptakan keadaan yang memungkinkan bagi perumusan dan pelaksanaan REDD+ yang efisien,
REDD+ dan memperbaiki tata kelola hutan Indonesia efektif, dan adil di Indonesia, maka beberapa hambatan
secara lebih luas. perlu ditindaklanjuti, yaitu sebagai berikut.

Pemerintah Indonesia, pada tingkat nasional dan Memperjelas penguasaan lahan dan
internasional, berkomitmen untuk mengatasi tantangan menyelaraskan landasan hukum
perubahan iklim dan memanfaatkan imbalan karbon Dari luas wilayah Indonesia, lebih dari 70% (atau
hutan untuk memantapkan reformasi sektor kehutanan. sekitar 130 juta ha) berada di bawah kewenangan
Indonesia telah berikrar untuk mengurangi emisinya Kementerian Kehutanan. Undang‑Undang Kehutanan
dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dengan jelas menetapkan lahan ini sebagai kawasan
dan kehutanan (LULUCF) sebesar sedikitnya 26% hutan negara; undang‑undang yang sama juga
pada tahun 2020. Salah satu rencana negara ini untuk menunjukkan bahwa kawasan ini harus ditetapkan
memenuhi sasaran tersebut ialah dengan mengurangi dan dikukuhkan sebagai kawasan hutan negara.
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui Namun, sampai sekarang, baru sekitar 10% yang
mekanisme REDD+, yang menawarkan bentuk‑bentuk sudah dikukuhkan, yang menimbulkan multitafsir
pembiayaan yang inovatif dan stabil bagi pemerintah atas penerapan undang‑undang tersebut. Meskipun
daerah dan pengelolaan sumberdaya berbasis secara resmi merupakan tanah negara, banyak di antara
masyarakat. kawasan ini dihuni oleh masyarakat adat dan setempat
yang menuntut hak adat, atau telah diperuntukkan bagi
Meskipun data terakhir menunjukkan kecenderungan kegiatan pembangunan besar, termasuk perkebunan
yang agak menurun, laju deforestasi selama tiga kelapa sawit. Penguasaan lahan yang tidak pasti dan
dasawarsa terakhir memang tinggi: 2,7% per tahun tidak jelas ini tidak mendukung pengelolaan hutan
di Sumatera dan 1,3% di Kalimantan selama periode berkelanjutan.
2000–2010. Kegiatan yang langsung berkontribusi
terhadap deforestasi dan degradasi hutan meliputi Selain itu, kerangka hukum yang mengatur kegiatan
konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian kehutanan mencakup peraturan perundang‑undangan
dan pertambangan, pembalakan liar, dan kebakaran yang bersifat khusus dan sektoral (misalnya, peraturan
hutan dan lahan, yang terakhir disebut ini sering perundang‑undangan yang mengatur kehutanan,
dikaitkan dengan pengeringan lahan gambut. Kegiatan pertanian, dan pertambangan) maupun peraturan
ini dipicu antara lain oleh tingginya permintaan perundang‑undangan yang lebih umum dan lintas
akan hasil hutan, baik di pasar dalam negeri maupun sektor (misalnya, desentralisasi, keuangan, dan
internasional, dan lemahnya sistem tata kelola di tata ruang). Hal ini telah menyebabkan adanya
tingkat pusat dan daerah. Menurunnya tutupan hutan inkonsistensi, kontradiksi, ketidakpastian, dan
juga dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk ketidakefisienan, serta mendorong praktik korupsi
secara alami dan perubahan jumlah penduduk seperti karena banyaknya landasan hukum yang menciptakan
yang disebabkan oleh program transmigrasi. peluang bagi perilaku mencari rente. Dengan
diperkenalkannya nilai hutan yang baru (yaitu
Pada akhirnya, kaitan deforestasi dengan struktur karbon) oleh REDD+—yang diikuti oleh serentetan
ekonomi Indonesia, yang terus bergantung pada tuntutan tambahan lainnya atas lahan oleh berbagai
sumberdaya alam, sangat pelik. Ketergantungan kelompok pemangku kepentingan, maka upaya untuk
ini telah membentuk lanskap ekonomi politik dan memperjelas penguasaan lahan dan landasan hukum
kelembagaan negara ini. Isu ini bersifat sistematis, guna menyempurnakan perencanaan tata guna lahan
meluas, dan rumit, serta mencakup keterbatasan menjadi semakin penting sekarang.
x   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Melindungi hak‑hak masyarakat yang hutan di Indonesia pada dasarnya berada di bawah
bergantung pada hutan dan kelompok rentan kewenangan Kementerian Kehutanan, pemicu utama
Kebijakan dan kegiatan REDD+ menimbulkan risiko deforestasi sering terkait dengan lingkup Kementerian
baru bagi masyarakat yang bergantung pada hutan Pertanian, Pertambangan dan Energi, Perdagangan,
dan kelompok rentan seperti masyarakat adat. Sebagai Kementerian Keuangan, dan Bappenas. Sampai saat ini,
contoh, hak‑hak adat mungkin tidak dihormati keberhasilan dalam membangun struktur dan lembaga
karena spekulasi tanah oleh investor; masyarakat untuk koordinasi lintas sektor masih terbatas: lembaga
mungkin terjebak ke dalam perjanjian resmi yang tersebut ada, tetapi tetap tidak efektif atau menghadapi
tidak menguntungkan, tidak menyadari risiko yang ‘resistensi’ dari kementerian sektoral.
menyertainya; atau mungkin penerapan standar ganda
karena hak masyarakat untuk kebutuhan sehari‑hari Proses desentralisasi dan tata kelola di daerah
dibatasi, sedangkan hak pemungutan hasil hutan secara Pemerintah pusat telah menjalankan peran politik
komersial terus diberikan kepada kaum elite perusahaan dan pemerintahan yang dominan dalam sebagian
dan pemerintah. Selain itu, terpusatnya insentif besar perjalanan sejarah negara Indonesia. Reformasi
REDD+ pada daerah tertentu dapat menimbulkan penting menyusul krisis ekonomi dan politik selama
akibat merugikan, seperti meningkatnya sengketa yang tahun 1997–1998 mencakup ketentuan pelimpahan
terkait dengan masuknya pendatang dan pertanahan. kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada
daerah. Namun, jalan untuk mewujudkan proses
Berbagai tindakan akan diperlukan untuk mengurangi desentralisasi itu mengandung tingkat ketidakpastian
risiko ini selama perancangan dan pelaksanaan dan pertentangan yang tinggi. Sebagai contoh, dalam
proyek REDD+. Hal ini dapat mencakup: otonomi daerah sering ditafsirkan seolah‑olah tidak ada
memperjelas kepemilikan dan hak hukum untuk keterkaitan jenjang di antara tingkat pemerintahan.
mendapatkan manfaat dari karbon; meningkatkan Sebagai akibatnya, banyak peraturan daerah yang
akses untuk memperoleh informasi yang mudah bertentangan dengan kebijakan dan peraturan yang
dipahami tentang REDD+ dalam bahasa setempat; lebih tinggi, sementara itu, meningkatnya wewenang
menetapkan penyaluran manfaat kepada masyarakat penetapan keputusan dan pengumpulan Pendapatan
yang bergantung pada hutan; menjamin mekanisme Asli Daerah (PAD) telah menyebabkan pemberian
penyelesaian ketidakpuasan dan perselisihan yang baik; izin untuk pengalihan fungsi kawasan hutan yang
mengutamakan kepentingan pembangunan yang lebih semena‑mena dan tidak tepat. Pemerintah daerah yang
luas bagi masyarakat dan pemerintah setempat daripada lemah sering dicirikan oleh proses penetapan keputusan
kepentingan investor karbon; dan memperkenalkan yang tidak terbuka, terjadinya korupsi yang melibatkan
pendekatan kreatif untuk pemantauan berbasis pejabat daerah, lemahnya penegakan hukum, dan
masyarakat. mekanisme akuntabilitas yang tidak efektif.

Fokus sektoral Pemerintah Indonesia telah mencapai banyak


Program kementerian cenderung terkotak‑kotak kemajuan dalam mengatasi tantangan tata kelola
dan terfokus secara sempit pada tujuan sektoral, yang luas ini, dan media serta masyarakat madani
yang sebagian disebabkan penilaian kinerja birokrasi kini menikmati kebebasan yang jauh lebih besar dan
yang berdasarkan sasaran sektor. Demikian juga mendorong keterbukaan dan partisipasi yang lebih
proses penganggaran sektor‑sektor tidak berkaitan besar dalam penetapan keputusan. Secara khusus,
satu sama lainnya, yang berarti bahwa peraturan keputusan penundaan pemberian izin baru kehutanan
perundang‑undangan sektoral sering tidak merujuk (moratorium) pada bulan Mei 2011 menunjukkan
pada peraturan perundang‑undangan di luar sektor langkah maju tambahan menuju pengurangan emisi
mereka, walaupun terkait. Sebagai akibatnya, kurangnya melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.
koordinasi sering terjadi di antara kementerian yang Namun demikian, sejumlah tantangan besar tetap ada
semestinya terkait erat. Ini menunjukkan tantangan untuk mencapai REDD+ yang efektif, efisien, dan adil
besar bagi REDD+, karena meskipun pengelolaan di Indonesia.
Pendahuluan

REDD+ merupakan skema yang dikembangkan Komponen kebijakan GCS mencakup penyusunan
untuk memberikan insentif untuk mengurangi emisi profil 12 negara—Bolivia, Brasil, Burkina Faso,
gas rumah kaca (GRK) dengan mengurangi degradasi Kamerun, Republik Demokrasi Kongo, Indonesia,
hutan dan tutupan hutan, dengan menggunakan Mozambik, Nepal, Papua Nugini, Peru, Tanzania, dan
pendekatan pengelolaan hutan berkelanjutan dan Vietnam—sebagai cara untuk memahami konteks
meningkatkan peran konservasi dan cadangan karbon lokasi perkembangan kebijakan dan proses REDD+.
dari hutan di negara‑negara berkembang. Skema ini Tujuan pembuatan profil negara‑negara ini ialah untuk
disepakati pada konferensi perubahan iklim ke‑13 menginformasikan para pembuat keputusan, praktisi,
(Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB/ dan donor tentang peluang dan tantangan dalam
UNFCCC; Konferensi Para Pihak/COP 13) di Bali melaksanakan mekanisme REDD+, untuk mendukung
pada bulan Desember 2007. Komitmen pemerintah proses penetapan keputusan REDD+ yang berbasis
Indonesia untuk melaksanakan skema ini tampak bukti/fakta.
jelas dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di panggung internasional, yang Penulisan profil negara Indonesia ini mencakup jangka
menyatakan bahwa Indonesia akan mengurangi emisi waktu lebih dari dua tahun, dan tidak mungkin dapat
gas rumah kacanya sebesar 26% dari laju emisi bisnis diselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak. Profil
seperti biasa pada tahun 2020 dengan biaya sendiri, ini didasarkan pada kerangka metodologi Komponen 1
atau sebesar 41% dengan bantuan internasional. GCS dan pedoman profil negara yang disusun oleh
Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah‑langkah Brockhaus dkk. (2012).
untuk melaksanakan REDD+, termasuk bekerja sama
dengan sejumlah mitra dalam berbagai bidang dan Makalah ini dibagi menjadi lima bab. Bab pertama
dengan berbagai lembaga. Salah satu mitra tersebut menguraikan kawasan hutan dan tutupan hutan
ialah Pemerintah Norwegia, dengan penandatanganan Indonesia maupun deforestasi dan degradasi
Surat Pernyataan Minat (Letter of Intent—LoI) untuk hutan yang terus berlangsung beserta pemicunya.
mengembangkan kegiatan percontohan, Rencana Bab 2 membahas lingkungan kelembagaan dan
Aksi Nasional tentang Gas Rumah Kaca, dan Strategi aspek pendistribusian dalam pengelolaan hutan.
Nasional REDD+. Bab 3 meninjau ekonomi politik deforestasi dan
degradasi hutan. Bab 4 menjelaskan pengembangan
Tujuan pembuatan profil negara ini ialah untuk kelembagaan dalam REDD+ dan lingkungan
memberikan gambaran yang obyektif tentang keadaan kebijakannya. Bab 5 mencermati dampak potensial
sektor kehutanan dan sektor‑sektor terkait dalam REDD+ bagi Indonesia dari sudut keefektifan, efisiensi,
hubungannya dengan pelaksanaan REDD+. Laporan dan kesetaraan (3E). Bab 6 memuat kesimpulan dari
ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global laporan ini.
(GCS) tentang REDD+ yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
1.  Hutan Indonesia
Tutupan hutan, jenis hutan, perubahan penggunaan lahan,
deforestasi dan degradasi
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap’.
hutan paling luas di dunia dengan beranekaragam jenis Undang‑Undang Kehutanan pada dasarnya lebih
hutan, termasuk hutan dataran rendah, pegunungan mengatur tentang ‘kawasan hutan’ dibandingkan
dan hutan semusim. Hutan ini kaya dengan dengan ‘hutan’. Perlu diketahui bahwa dalam
keanekaragaman hayati dan, tidak mengherankan, kenyataannya, Kementerian Kehutanan menghitung
merupakan sumber mata pencarian utama bagi banyak kawasan hutan berdasarkan luas wilayah administrasi
orang. Antara 6–30 juta rakyat Indonesia diperkirakan atau luas yang ditetapkan sebagai ‘kawasan hutan’,
bergantung langsung pada hutan (Sunderlin dkk. terlepas apakah kawasan tersebut benar‑benar memiliki
2000). Sebagai negara berkembang, pemerintah sangat pepohonan atau tidak; dengan demikian, sebagian
bergantung pada sektor kehutanan maupun sektor ‘kawasan hutan’ mungkin tidak memiliki hutan.
yang terkait dengan kehutanan seperti pertanian,
perkebunan, dan pertambangan, untuk pembangunan Data resmi Kementerian Kehutanan menyatakan
nasional. Sebagai akibatnya, sepanjang sejarah bahwa Indonesia memiliki 133.694.685,18 ha kawasan
Indonesia, hutan terus‑menerus dieksploitasi, yang hutan pada tahun 2008 (Kemenhut 2009a: 4), dan
berarti deforestasi dan degradasi hutan menjadi tidak tiga tahun sebelumnya (2005) seluas 123.459.513 ha
terelakkan. (Kemenhut 2006a). Walaupun di atas kertas hal ini
memperlihatkan adanya peningkatan kawasan hutan
Keadaan hutan Indonesia selama beberapa tahun di Indonesia, perubahan angka tersebut sebenarnya
terakhir dibahas dalam bab ini, bersama dengan disebabkan oleh perbedaan cara pengukuran yang
penyebab deforestasi dan degradasinya. Namun, dengan diterapkan pada tahun‑tahun tersebut (FWI 2008).
adanya berbagai definisi untuk istilah ‘hutan’ dan Penting untuk dicatat bahwa data yang tersedia tidak
banyaknya lembaga dan teknik yang digunakan dalam mencakup wilayah hutan yang dikelola oleh penduduk
pengumpulan data, sangat sulit untuk menentukan data setempat (hutan milik) di luar kawasan hutan yang
mana yang paling sahih untuk menentukan kawasan ditetapkan oleh pemerintah.
hutan yang sesungguhnya di Indonesia. Masalah yang
sama dijumpai dalam menentukan angka laju dan skala Data terakhir (2010) dari Direktorat Jenderal
deforestasi dan degradasi hutan. Dalam bab ini, juga Planologi Kehutanan pada Kementerian Kehutanan
disajikan keterangan tentang potensi hutan Indonesia juga berbeda. Perhitungan Ditjen ini mencatat
saat ini sebagai sarana mitigasi perubahan iklim. Data luas lahan Indonesia sebesar 187,670 juta ha, yang
dan informasi yang digunakan dalam bab ini sebagian terdiri dari 133,514 juta ha kawasan hutan dan
besar bersumber dari dokumen pemerintah, lembaga 54,157 juta ha areal penggunaan lain(APL). Secara
penelitian atau penelitian sebelumnya, dan dari keseluruhan, luas lahan dengan tutupan hutan adalah
wawancara dengan instansi yang berwenang. sebesar 98,559 juta ha sedangkan luas lahan tanpa
tutupan hutan sebesar 89,032 juta ha (perlu diingat
1.1  Tinjauan umum hutan, hutan lagi bahwa seperti dijelaskan di atas, ‘kawasan hutan’
negara, dan perubahan hutan serta yang ditetapkan secara resmi mungkin tidak memiliki
kawasan hutan di Indonesia tutupan hutan); data tidak tersedia untuk 79.900 ha
Undang‑Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dari kawasan hutan. Kawasan hutan dengan tutupan
(UU Kehutanan) mendefinisikan ‘hutan’ sebagai ‘suatu hutan seluas 91,098 juta ha (48,54% dari luas wilayah
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi Indonesia), dan kawasan hutan tanpa tutupan hutan
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan seluas 42,365 juta ha (22,72% dari luas wilayah
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu Indonesia); data tidak tersedia untuk 50.300 ha dari
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan’ (Pasal 1). kawasan hutan (0,02% dari luas wilayah Indonesia).
Undang‑Undang ini lebih lanjut mendefinisikan Daerah dengan tutupan hutan di dalam APL adalah
‘kawasan hutan’ sebagai ‘wilayah tertentu yang seluas 7,461 juta ha (3,98% dari luas wilayah
ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk Indonesia), dan seluas 46,666 juta ha (24,89% dari luas
2   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

wilayah Indonesia) dari APL merupakan wilayah tidak berbagai pengelompokan ini ialah bahwa perhitungan
berhutan; data tidak tersedia untuk luasan 29.600 ha pemerintah lebih tinggi; yang mencakup hutan yang
dari APL (18,02% dari luas wilayah Indonesia) didefinisikan oleh FAO sebagai ‘hutan lainnya’.
(Kemenhut 2011a).
Data rujukan utama dalam laporan ini adalah yang
Data tentang kawasan hutan Indonesia yang dihimpun diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan, yang
oleh lembaga lain, termasuk Organisasi Pangan dan dilengkapi dengan sumber data lain untuk memperoleh
Pertanian PBB (FAO) dan Pengamat Hutan Dunia/ pengertian menyeluruh dan untuk menangkap berbagai
Pengamat Hutan Indonesia (GFW/FWI), berbeda lagi pandangan tentang hutan Indonesia.
(Tabel 1). FAO menyatakan bahwa Indonesia memiliki
88,495 juta ha hutan pada tahun 2005 (FAO 2006), Berdasarkan UU Kehutanan Indonesia, kawasan hutan
sedangkan GFW/FWI mencatat seluas 83,655 juta ha dibagi menurut fungsinya: (1) hutan produksi—hutan
(FWI 2008). dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan;
(2) hutan lindung—hutan dengan fungsi pokok
Kemungkinan penyebab dari ketidakcocokan data melindungi sistem penyangga kehidupan untuk
ini ialah perbedaan dalam: (1) definisi hutan (Media mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
Indonesia 2010); (2) pengelompokan/klasifikasi hutan; erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara
dan (3) metode analisis data (FWI/GFW 2002). kesuburan tanah; dan (3) hutan konservasi—hutan
Sebagaimana dinyatakan di atas, ‘hutan’ didefinisikan dengan ciri khas dengan fungsi pokok melestarikan
dalam Undang‑Undang Indonesia (UU Kehutanan, keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
Pasal 1) sebagai ‘‘suatu kesatuan ekosistem berupa ekosistemnya. Hutan produksi dikelompokkan lebih
hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang lanjut menjadi ‘hutan produksi tetap’ (di mana seluruh
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam kawasan dicadangkan untuk memproduksi hasil hutan),
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak ‘hutan produksi terbatas’ (di mana hanya sebagian
dapat dipisahkan’. Sebaliknya, FAO (2006) memberi kawasan dicadangkan untuk memproduksi hasil hutan),
definisi ‘hutan’ sebagai ‘lahan yang membentang dan ‘hutan produksi konversi’ (yang dicadangkan untuk
lebih dari 0,5 hektar dengan pepohonan yang penggunaan lahan lainnya). Luas masing‑masing jenis
tingginya lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih hutan ini pada tahun 2005 dan 2008 disajikan pada
dari 10 persen, atau pohon dapat mencapai ambang Tabel 2.
batas ini di lapangan’. Lebih lanjut lagi, pemerintah
Indonesia mengelompokkan kawasan sebagai Data ini menunjukkan bahwa luas yang dialokasikan
‘berhutan’ dan ‘tidak berhutan’ (Kemenhut 2009a), sebagai hutan produksi melebihi jumlah luas yang
sedangkan FAO membagi kawasan menjadi ‘hutan’, dialokasikan sebagai hutan konservasi dan lindung.
‘hutan lainnya’, ‘lahan lainnya’ dan ‘lahan lainnya Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan sebagai
dengan tutupan pohon’ (FAO 2006). Hasil dari sumberdaya pembangunan telah dan akan terus
menjadi unsur penting dalam kehutanan Indonesia.
Tabel 1.  Perbandingan luas hutan dan kawasan hutan
menurut perhitungan Kementerian Kehutanan, FAO, Tabel 2.  Perbandingan luas hutan menurut jenisnya,
dan FWI (‘000 ha) 2005 dan 2008

Tahun Kemenhut FAO GFW/FWI Jenis hutan 2005 2008


1985 119.701 – 117.192 (juta ha) (juta ha)
1990 100.000 116.567 – Hutan konservasi 20.080 19.908
1997 – – 95.628 Hutan lindung 31.782 31.604
2000 108.578 97.852 93.924 Hutan produksi terbatas 21.717 22.502
2003 105.182 – 93.925 Hutan produksi tetap 35.813 36.649
2005 123.459 88.495 83.655 Hutan produksi konversi 14.057 22.795
2009 133.453 – 88.170 Fungsi telah ditetapkan 0.007 0.233
2010 133.514 94.432 – Jumlah 123.459 a
133.694a
a Angka dibulatkan.
Sumber: FAO (2006, 2010), FWI/GFW (2002), FWI (2008, 2011),
Kemenhut (2001, 2004, 2006, 2010, 2011a) Sumber: Kemenhut (2006, 2009a)
Konteks REDD+ di Indonesia   3

Seperti tersirat dari namanya, hutan lindung dan sebesar 4% per tahun antara tahun 2000 hingga 2010
hutan konservasi bertujuan untuk melindungi dan (Miettinen dkk. 2011). Demikian pula, luas hutan
melestarikan ekosistem dan fungsi ekologinya. Namun rakyat di Jawa dan Madura dilaporkan meningkat
dalam praktiknya, kegiatan lain seperti pertambangan dari 1.900.797 ha menjadi 2.585.014 ha antara
dapat dilakukan pada jenis‑jenis hutan ini. Kementerian tahun 1990 hingga 2008, atau sebesar sekitar 36%
Kehutanan memiliki kewenangan untuk menetapkan (Kemenhut 2009c).
mana kawasan hutan negara yang dapat digunakan
untuk kegiatan bukan kehutanan (misalnya, Wilayah daratan Indonesia hanya meliputi 1,3% dari
pertambangan) melalui penerbitan izin pinjam‑pakai, luas daratan dunia, namun merupakan rumah bagi
yang sebagian dilakukan pada hutan lindung dan 11% spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia
konservasi. Izin pinjam‑pakai kawasan hutan diatur dunia, dan 16% spesies burung dunia; sebagian besar
dengan Peraturan Pemerintah No. 24/2010 tentang terdapat di hutan Papua, Kalimantan, dan Sulawesi
Penggunaan Kawasan Hutan, yang menggantikan (FWI/GFW 2001). Menurut FAO, keseluruhan
pedoman pemberian izin pinjam‑pakai dalam Peraturan vegetasi hutan di Indonesia menghasilkan lebih dari
Menteri Kehutanan No. P.64/Menhut‑II/2006. 14 miliar ton biomassa, setara dengan sekitar 20%
biomassa di seluruh hutan tropis Afrika (FWI/
Kerangka peraturan ini merupakan salah satu faktor GFW 2002). Biomassa ini diperkirakan menyimpan
yang menyumbang deforestasi dan degradasi hutan sekitar 3,5 miliar ton karbon (Bappenas 2010b).
di Indonesia. Peraturan perundang‑undangan Meskipun kekayaan hayati ini memiliki arti penting,
mendefinisikan ‘deforestasi’ sebagai perubahan secara 20–30% keanekaragaman hayati Indonesia punah
permanen dari kawasan berhutan menjadi tidak setiap tahun (KLH 2008). Kepunahan ini khususnya
berhutan karena kegiatan manusia (Pasal 1(10), sangat terlihat pada mamalia besar. Sebagai contoh,
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/ selama 15 tahun (1992–2007), populasi gajah turun
Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi sebanyak 35% dari 3.000–5.000 ekor menjadi hanya
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan). Peraturan ini 2.400–2.800 ekor. Populasi orangutan berkurang
juga mendefinisikan ‘degradasi’ sebagai penurunan sebesar 1–1,5% per tahun di Sumatera dan 1,5–2%
jumlah tutupan hutan dan cadangan karbon selama di Kalimantan karena hilangnya habitat hutan;
jangka waktu tertentu karena kegiatan manusia populasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan saat
(Pasal 1(11)). ini diperkirakan masing‑masing sebanyak 6.667 dan
54.567 (KLH 2007b). Harimau Jawa telah punah
Laju deforestasi di Indonesia dilaporkan beragam dari sejak tahun 1930 dan harimau Bali sejak tahun
tahun ke tahun. Selama 1985–1997, laju deforestasi 1970. Hanya terdapat sekitar 400–500 harimau
setiap tahun dilaporkan rata‑rata sebesar 1,87 juta ha Sumatera di lima taman nasional (FWI/GFW 2001).
(Kemenhut 2000). Angka ini meningkat tajam hingga Badak Sumatera dan Jawa tergolong sebagai sangat
sebesar 3,51 juta ha setiap tahun selama 1997–2000 terancam punah dalam daftar Perserikatan Konservasi
(Kemenhut 2005). Selama tahun 2000–2005, angka Alam Internasional (IUCN). Beberapa faktor yang
tersebut dilaporkan turun kembali hingga sebesar mempengaruhi hilangnya keanekaragaman hayati:
1,08 juta ha per tahun; yang kemudian meningkat hilangnya habitat hutan untuk satwa liar langka,
selama periode 2003–2006 ketika angka ini dilaporkan perburuan liar, dan perdagangan yang disebabkan oleh
sebesar 1,17 juta ha setiap tahun (Kemenhut 2009b). kemiskinan atau kurangnya pemahaman secara umum
Perkiraan lain menunjukkan bahwa Indonesia tentang pentingnya perlindungan satwa liar.
mengalami penurunan tutupan hutan keseluruhan
sebesar 1% per tahun antara tahun 2000 hingga 1.2  Penyebab perubahan
2010; dalam masa tersebut Sumatera mengalami laju tutupan hutan
penurunan tutupan hutan tahunan tertinggi (2,7%), ‘Perubahan tutupan hutan’ terjadi karena deforestasi,
disusul oleh Kalimantan sebesar 1,3% (Miettinen dkk. baik terencana maupun tidak, atau oleh degradasi
2011). Berdasarkan data historis ini, laju deforestasi hutan. Deforestasi terencana biasanya berupa
Indonesia diperkirakan sekitar 1,125 juta ha setiap perubahan yang direncanakan oleh pemerintah
tahun, dengan degradasi rata‑rata yang disebabkan oleh atas fungsi kawasan hutan untuk kepentingan
pembalakan diperkirakan sebesar 0,626 juta ha per perkebunan, pertanian atau pembangunan perumahan,
tahun (Bappenas 2010b). Namun di beberapa kawasan yang dilakukan secara sah sesuai dengan peraturan
seperti di Jawa, tutupan hutan dilaporkan meningkat perundang‑undangan. Deforestasi tidak terencana
4   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

merupakan deforestasi melalui kegiatan liar/ilegal. daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi telah
Degradasi hutan dapat disebabkan oleh kegiatan mengusulkan perubahan penggunaan lahan seluas
sah ataupun liar, misalnya pengambilan hasil hutan 16,5 juta ha hutan.1
dan pencurian kayu secara liar. Degradasi karena
pembalakan liar meninggalkan lahan yang rentan Menurut skenario dasar dan mitigasi yang disusun
terhadap deforestasi berikutnya karena hutan yang oleh Kelompok Kerja Kementerian Kehutanan
rusak lebih mudah untuk dibuka. selama 16 tahun ke depan (2009–2025), apabila
pemerintah gagal mengatasi penyebab deforestasi dan
Kebakaran hutan dan lahan merupakan penyebab lain degradasi, maka deforestasi terencana akan mencapai
deforestasi di Indonesia. Walaupun kebakaran hutan 10.272.000 ha pada tahun 2025, dan deforestasi
secara alami (tanpa keterlibatan manusia) biasanya tidak terencana 8.772.000 ha. Degradasi yang
diikuti oleh pertumbuhan kembali secara alami, dalam disebabkan oleh pembalakan yang sah akan mencapai
kenyataannya, banyak kebakaran hutan dan lahan 21.202.000 ha dan eksploitasi secara liar sebesar
dimulai sebagai cara pembukaan lahan untuk kegiatan 29.758.000 ha (Kemenhut 2010a).
pertanian, baik berskala besar maupun kecil (misalnya,
lihat Applegate dkk. 2001). Kelapa sawit
Selama dua dasawarsa terakhir, konversi hutan untuk
1.2.1  Perubahan peruntukan dan fungsi kelapa sawit merupakan perubahan yang dominan atas
kawasan hutan peruntukan hutan. Tingginya harga kelapa sawit dan
Hilangnya hutan di Indonesia sering terjadi ketika meningkatnya permintaan dunia akan minyak sawit
kawasan hutan diperuntukkan atau fungsinya diubah mentah (CPO) telah mendorong perluasan perkebunan
agar lahan dapat digunakan untuk tujuan lainnya. kelapa sawit secara besar‑besaran, yang dibuktikan
Perubahan peruntukan terjadi ketika hutan dilepas dengan peningkatan luas lahan yang dialihkan untuk
bukan untuk kebutuhan kehutanan, seperti perkebunan perkebunan kelapa sawit secara terus menerus. Menurut
dan kawasan yang tidak lagi dikelompokkan sebagai data Sawit Watch, perkebunan kelapa sawit mencapai
kawasan hutan ataupun hutan. Termasuk dalam 1.652.301 ha pada tahun 1989; luas ini meningkat
perubahan fungsi, misalnya, ketika kawasan hutan menjadi 3.805.113 ha selama kurun waktu 1993–1994,
berubah dari hutan lindung menjadi hutan produksi, dan menjadi 8.204.524 ha pada 1998 (Sawit Watch
namun tetap sebagai kawasan hutan. Dalam hal 2009). Menurut data Kementerian Pertanian, luas
deforestasi, perubahan fungsi dari hutan produksi perkebunan kelapa sawit, baik yang besar maupun yang
menjadi hutan produksi konversi merupakan contoh kecil, meningkat setiap tahun yang jumlahnya mencapai
deforestasi terencana. 7.007.867 ha pada tahun 2008 dan 8.430.026 juta ha
pada tahun 2010 (Kementan 2010a).
Data Kementerian Kehutanan memperlihatkan kawasan
hutan yang dialihkan untuk pertanian dan perkebunan Meningkatnya ketertarikan dunia pada energi
terus meningkat (Tabel 3). Luas yang tercakup terbarukan, dan pada bahan bakar nabati sebagai
dalam keputusan pemerintah tentang pelepasan sumber energi alternatif, juga telah mendorong
hutan mencapai sekitar 4,5 juta ha pada tahun 2002, perubahan penggunaan lahan hutan, setidaknya pada
meningkat menjadi 4,7 juta ha pada tahun 2007, dan tataran kebijakan. Pada tahun 2006, Tim Nasional
kemudian 4,9 juta ha pada tahun 2010 (Kemenhut Bahan Bakar Nabati Indonesia memperkirakan bahwa
2009a, 2011b). Perlu diperhatikan bahwa 70% luas sebanyak 10,25 juta ha lahan akan diperlukan untuk
lahan Indonesia dikelompokkan sebagai kawasan hutan memenuhi sasaran nasional bahan bakar nabati pada
(Tabel 2), yang 12% di antaranya dicadangkan untuk tahun 2015 (Media Riset 2007).
konversi di kemudian hari. Ini menunjukkan bahwa
sebagian deforestasi yang terjadi di Indonesia telah Dengan semakin terbatasnya ketersediaan lahan
direncanakan untuk tujuan pembangunan. di sentra kelapa sawit saat ini di Kalimantan dan
Sumatera, direncanakan bahwa perluasan akan
Namun, data resmi pada Tabel 3 hanya menunjukkan dilakukan di Papua (AFP 2008). Pemerintah telah
sebagian gambaran perubahan penggunaan lahan menerbitkan sejumlah peraturan dan kebijakan
hutan yang sesungguhnya. Dalam kenyataannya,
banyak kawasan hutan telah diperuntukkan bagi
kegiatan lain (misalnya, lihat Tempo Interaktif 2011; 1  Data Kementerian Kehutanan yang dikutip dari lampiran
pemaparan Hariadi Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor),
lihat juga Bab 2). Data lain menunjukkan bahwa, Upaya penyelesaian sengketa tata ruang terkait dengan kawasan
sampai dengan pertengahan 2010, pemerintah hutan negara, Jakarta, 9 Agustus 2010.
Konteks REDD+ di Indonesia   5

Tabel 3.  Luas kawasan hutan yang dilepaskan dalam surat keputusan pelepasan hutan untuk perkebunan,
2003–2010

No. Provinsi Tahun


s/d 2002 2007 2010
Jumlah Luas (ha) Jumlah Luas (ha) Jumlah Luas (ha)
kawasan kawasan kawasan
1 Aceh 60 265.744 60 265.744 60 265.744
2 Sumut 26 139.657 27 139.998 28 142.762
3 Sumbar 26 134.886 28 157.956 28 157.956
4 Riau 123 1.521.531 128 1.564.061 127 1.509.820
5 Kep. Riau 4 47.799 4 47.799 5 48.498
6 Jambi 44 345.776 44 345.776 44 345.776
7 Sumsel 11 73.459 15 125.395 23 170.245
8 Bengkulu 12 57.581 12 57.581 12 57.581
9 Lampung 7 76.099 8 83.964 8 83.964
10 NTB 3 847 3 847 3 846
11 Kalbar 8 110.234 8 110.234 12 139.223
12 Kalteng 51 549.642 55 619.868 55 624.872
13 Kalsel 17 199.654 17 199.654 18 209.130
14 Kaltim 57 489.595 59 510.580 58 492.943
15 Sulut 2 8.888 2 8.888 1 2.000
16 Gorontalo ‑ ‑ ‑ ‑ 1 6.888
17 Sulteng 8 72.805 8 72.805 8 72.805
18 Sultra 3 7.862 3 7.862 3 7.862
19 Sulbar ‑ ‑ 1 6.722 14 103.777
20 Sulsel 15 84.936 15 84.936 3 4.584
21 Maluku 12 11.518 13 13.767 12 12.658
22 Malut 7 9.963 8 29.772 9 43.014
23 Papua 12 254.436 13 286.982 11 315.608
24 Papua Barat ‑ ‑ ‑ ‑ 6 83.200
Jumlah 508 4.462.916 531 4.741.194 549 4.901.759
Sumber: Kemenhut (2008, 2011b)

untuk mempercepat program ini. Prasyarat Papua disediakan dua kali lipat dari luas normal
ditetapkan pada tahun 2004 dengan pemberlakuan 100.000 ha. Peraturan ini diikuti dengan Peraturan
Undang‑Undang No. 18/2004 tentang Perkebunan, Menteri Kehutanan No. P.22/Menhut‑II/2009, yang
yang memperkenalkan Hak Guna Usaha (HGU) memberikan landasan hukum bagi perusahaan kelapa
selama 35 tahun untuk perkebunan dalam upaya sawit untuk memiliki perkebunan sampai seluas
menarik investasi asing. Selanjutnya pada tahun 100.000 ha dan 200.000 ha di Papua.
2006, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden
No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perusahaan menanggapi kebijakan ini dengan cepat
Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang Penyediaan dan melakukan perluasan berskala besar di berbagai
dan Penggunaan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan tempat di Indonesia. Perluasan akhir‑akhir ini di Papua
Bakar Alternatif. Untuk mendukung amanat ini, pada merupakan contoh besarnya rencana pembukaan
tahun 2007 diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Menurut
No. 26/Permentan/OT.140/2/2007, yang menyatakan data Kementerian Kehutanan, sampai tahun 2010,
bahwa lahan untuk perkebunan kelapa sawit di pemerintah pusat telah menerbitkan izin prinsip dan
6   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, 1.2.2  Pembalakan liar dan kebakaran hutan
terutama kelapa sawit, dengan luas keseluruhan sebesar Pembalakan liar
9,13 juta ha (AFP 2008). Menurut Sawit Watch Selama dasawarsa terakhir, pembalakan liar merupakan
(2009), pada tahun 2009, luas areal tersebut menjadi salah satu ancaman deforestasi terbesar melalui
hampir tiga kali lipat, dengan perluasan mencapai degradasi hutan yang ditimbulkannya. Hutan yang
26,7 juta ha, dengan rencana untuk membuka areal rusak lebih mudah untuk dibuka sehingga degradasi
seluas 2,8 juta ha lebih lanjut untuk kelapa sawit pada akhirnya dapat menyebabkan deforestasi. Sebagai
di Papua. contoh, kawasan hutan yang telah ditebang dan tidak
dijaga—bekas kawasan HPH (hak pengusahaan
Pertambangan hutan)—memiliki tegakan pohon yang kurang rapat
Sektor lain yang memerlukan pembukaan hutan ialah sehingga mudah dibuka dan selanjutnya dialihkan
pertambangan. Mengingat luas areal yang digunakan, menjadi lahan pertanian atau perkebunan.
pengaruh pertambangan terhadap hutan mungkin
disepelekan, terutama bila dibandingkan dengan Di Sumatera dan Kalimantan—wilayah Indonesia
pertanian dan perkebunan. Menurut data Kementerian dengan tingkat deforestasi dan degradasi tertinggi—
Kehutanan (Kemenhut 2009a), izin pinjam‑pakai pembalakan liar menjadi marak di semua jenis hutan
untuk pertambangan hanya mencakup areal sekitar (hutan produksi permanen, hutan produksi konversi,
344.000 ha hingga 2008. Namun dalam kenyataannya, hutan lindung, hutan konservasi, dan kawasan bukan
pertambangan di dalam kawasan hutan mencakup hutan) melalui berbagai modus operandi, yaitu
luasan yang jauh lebih besar karena banyak kegiatan mulai dari penebangan (Casson dan Setyarso 2006),
pertambangan, termasuk izin yang diterbitkan oleh pengangkutan dan pendistribusian kayu, hingga proses
pemerintah daerah, yang sebenarnya beroperasi tidak penegakan hukum (ICEL 2006).
berdasarkan izin pinjam‑pakai (lihat Bab 2). Selain
itu, terdapat banyak kegiatan penambangan liar Cara pembalakan liar berbeda antara hutan konservasi/
berskala kecil di dalam kawasan hutan (Resosudarmo lindung dengan hutan produksi. Di hutan konservasi
dkk. 2009). Dua hal ini menutupi dampak nyata dan hutan lindung, pembalakan liar berlangsung tanpa
pertambangan terhadap tutupan hutan. Selain itu, izin (Kompas 2010b). Di hutan produksi yang masih
banyak kegiatan penambangan dilakukan di kawasan aktif, hal ini biasanya dilakukan melalui pelanggaran
konservasi atau hutan lindung—yang seharusnya izin, pembalakan di luar blok tebang yang ditetapkan,
dilindungi—karena banyak bijih mineral ditemukan penebangan yang melebihi target yang diizinkan,
di kawasan itu. Meskipun UU Kehutanan melarang pembukaan jalan angkutan kayu di luar kawasan
penambangan terbuka di hutan lindung, sedikitnya 13 HPH, dan penebangan pohon mendahului jadwal
perusahaan telah memperoleh izin operasi pada hampir waktu tebang (Kompas 2010b). Kawasan HPH yang
seluas 850.000 ha lahan di kawasan lindung sebelum tidak aktif atau telantar juga cenderung merangsang
undang‑undang itu disahkan dan dianggap sebagai kegiatan pembalakan liar. Selain itu, pembalakan liar
perkecualian, sehingga perusahaan tersebut dapat terjadi melalui kegiatan penambangan berizin dan tidak
melanjutkan kegiatan mereka (Lampiran Keputusan berizin yang melanggar prosedur atau ketentuan izin
Presiden No. 41/2004). Selain dampak langsung mereka (Kompas 2010b).
terhadap tutupan hutan, kegiatan penambangan sering
menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial Pemberian izin atas hutan tanaman industri (HTI) di
(Resosudarmo dkk. 2009). hutan primer merupakan pemicu lain degradasi hutan.
Pada tahun 1990‑an, pemerintah memulai program
Kegiatan ekonomi lainnya yang langsung mendorong HTI untuk pulp dan kertas (Resosudarmo 2004).
pembukaan hutan meliputi pembangunan jalan, Pemerintah membangun 1,4 juta ha HTI pada
pemukiman, dan pengembangan tambak. Sebagai tahun 1995, 1,8 juta ha pada tahun 2000, dan
contoh, Provinsi Kalimantan Timur dalam Rencana 2,3 juta ha pada tahun 2003, dengan rencana untuk
Tata Ruang Tata Wilayah Provinsi (RTRWP) memiliki 10,5 juta ha HTI pada tahun 2030. Semula,
mengusulkan pengalihan lahan hutan seluas 1,3 juta ha pabrik pulp dan kertas bergantung pada hutan alam;
untuk penggunaan lain, yang telah dicadangkan antara namun, jarak yang terus bertambah dari pabrik ke
lain untuk pengembangan pertanian dan perkebunan hutan alam mendorong industri membangun HTI
kelapa sawit. Demikian pula, Kalimantan Barat untuk mempertahankan pasokan. Menurut data
yang mengusulkan konversi hutan seluas 1,9 juta ha tahun 2007, kebutuhan bahan baku untuk pulp dan
(Kompas 2010a). kertas adalah sebanyak 30 juta m³, tetapi HTI hanya
Konteks REDD+ di Indonesia   7

dapat menyediakan 28% dari jumlah ini (FWI 2009). untuk perkebunan, menebang kayu, kemudian batal
Sisanya dipasok dari kayu hutan alam dan kayu ilegal membangun perkebunan kelapa sawit.4 Praktik ini
(FWI 2009). diperburuk dengan Edaran Menteri Kehutanan
No. SE.9/Menhut‑VI/2009 tentang Volume Tegakan
Ketentuan hukum yang membatasi secara ketat Kayu Tidak Ekonomis p ada Areal Pinjam Pakai
pembangunan HTI hanya di hutan produksi yang tidak Kawasan Hutan atau pada APL yang telah Dibebani
produktif telah ditetapkan. Apabila diberlakukan dan Izin Peruntukan, yang menyatakan bahwa Izin
ditegakkan dengan benar, maka ketentuan ini akan Penggunaan Kayu (IPK) tidak diperlukan selama
mencegah pembangunan HTI pada hutan primer.2 kapasitas produksi kurang dari 50 m3. Lebih lengkapnya
Namun pada tahun 2008, aturan yang membatasi dinyatakan dalam surat edaran:
pembangunan HTI di ‘hutan produksi yang tidak Dalam hal pada areal pinjam pakai kawasan
produktif ’ telah diubah menjadi ‘diutamakan pada hutan atau pada APL yang telah dibebani izin
hutan produksi yang tidak produktif ’. Akibatnya, peruntukan memiliki volume tegakan kayu
meskipun pembukaan hutan untuk HTI di kawasan yang tidak ekonomis untuk dimohonkan IPK,
hutan primer dapat digolongkan sebagai pembalakan maka pemegang izin tidak memerlukan Izin
Pemanfaatan Kayu untuk melakukan penebangan
liar hingga tahun 2008, perubahan peraturan apabila: (a) dalam satu lokasi calon IPK
perundang‑undangan pada tahun 2008 mendorong berdasarkan hasil risalah hutan dengan intensitas
pembangunan HTI di hutan primer (Pasal 38, 100%, volume kayu diameter di atas 30 cm
Peraturan Pemerintah No. 3/2008). Dengan demikian kurang dari 50 m³, (b) membayar pungutan
pembangunan HTI telah menjadi penyebab deforestasi terhadap negara atas kayu yang ditebang.
ketika: (1) dikaitkan dengan penurunan tutupan hutan
alam; dan (2) hutan ditebang untuk memperoleh Meskipun tidak lagi mendapat banyak perhatian di
kayunya, tetapi HTI tidak segera dibangun. media massa, penebangan liar berlanjut di seluruh
Indonesia, termasuk di Sumatera, Kalimantan, dan
Modus operandi pembalakan liar lainnya meliputi Papua, baik dengan izin yang tidak sesuai maupun
proses pengangkutan dan pendistribusian kayu. Ini tanpa izin sama sekali.5
dapat mencakup pemalsuan dokumen, penggantian
spesies dan volume kayu, penyelundupan kayu bernilai Kebakaran hutan
tinggi dengan menyamarkannya di bawah spesies yang Pada tahun 1997–1998, kebakaran hutan dan lahan
lebih murah, dan mengubah tujuan, nama, dan bendera terjadi di 23 provinsi di Indonesia, membakar seluas
kapal (ICEL 2006: 18–19; lihat juga Kompas 2010g). keseluruhan 11 juta ha (KLH 1998, Tacconi 2003;
lihat Tabel 4). Kebakaran selama periode itu terutama
Setiap tahap tersebut dapat melibatkan korupsi, disebabkan oleh pembukaan dan pembakaran lahan
kolusi, dan nepotisme. Penegak hukum membiarkan gambut untuk dialihkan menjadi perkebunan dan HTI.
pelanggaran yang terjadi atau bahkan terlibat
di dalamnya; sebagai contoh, mereka mungkin Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa penyebab
menggunakan peta hutan yang salah dan utama kebakaran hutan dan lahan ialah kegiatan
membingungkan untuk membantu terdakwa atau manusia yang dipengaruhi oleh keadaan sosial,
menerapkan ketentuan hukum yang melemahkan ekonomi, dan politik, seperti pola investasi dan salah
perkara melawan penebang liar (ICEL 2006: 21–22). urus sektor kehutanan (Applegate dkk. 2001, Dennis
dkk. 2005). Sebagai contoh, gambar satelit kebakaran
Pembukaan areal berhutan tidak terjadi hanya di hutan besar‑besaran tahun 2002, yang menghancurkan
kawasan hutan negara yang ditetapkan, tetapi juga di 35.496 ha, menunjukkan bahwa kebakaran ini terjadi
luarnya, yaitu di kawasan yang dikenal sebagai ‘areal di wilayah yang tertutup oleh rumput ilalang atau
penggunaan lain (APL)’.3 Salah satu modus operandi semak belukar, di kawasan HTI dan bekas kawasan
di kawasan tersebut ialah dengan mengajukan izin HPH (Kemenhut 2002). Status lahan HTI dan
bekas HPH yang tidak jelas mendorong pihak ke tiga
memanfaatkan lahan kritis tersebut, terkadang dengan
2  Pasal 5, Peraturan Pemerintah No. 7/1990 Konsesi
Hutan Tanaman Industri; Pasal 38(3), Peraturan Pemerintah
No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana 4  Wawancara e‑mail dengan Yuyun Kurniawan
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. (Yayasan Titian, Kalimantan Barat), 19 Februari 2010.
3  Wawancara e‑mail dengan Yuyun Kurniawan 5  Wawancara e‑mail dengan Yuyun Kurniawan (Yayasan
(Yayasan Titian, Kalimantan Barat), 19 Februari 2010. Titian, Kalimantan Barat), 19 Februari 2010.
8   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tabel 4.  Luas kebakaran hutan dan lahan, 1997–1998

Jenis vegetasi Luas (ha)


Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Papua Jumlah

Hutan pegunungan – – 213.194 – 100.000 313.194


Hutan dataran rendah 383.000 25.000 2.690.880 200.000 300.000 3.598.880
Hutan rawa gambut 624.000 – 1.100.000 – 400.000 2.124.000
Semak dan rumput kering 263.000 25.000 375.000 – 100.000 763.000
HTI 72.000 – 883.988 – – 955.988
Perkebunan 60.000 – 382.509 1.000 3.000 446.509
Pertanian 669.000 50.000 2.481.808 199.000 97.000 3.496.808
Jumlah 2.071.000 100.000 7.914.185 400.000 900.000 11.698.379
Sumber: Tacconi (2003)

Tabel 5.  Luas kebakaran hutan di Indonesia, 1999–2007


membakarnya—cara yang murah dan mudah—untuk
menguatkan tuntutan hak atas lahannya. Tahun Luas hutan terbakar (ha)
1999 44.090
Pembukaan lahan berskala besar dengan pembakaran
didorong melalui kebijakan pemerintah yang 2000 3.016
diterbitkan pada awal tahun 1980‑an.6 Kebijakan ini 2001 14.329
merupakan landasan hukum untuk konversi hutan 2002 35.496
alam, pelepasan kawasan hutan untuk tanaman 2003 3.545
perkebunan, pertanian, perikanan, dan ketahanan
pangan, serta pembangunan HTI sehingga mendorong 2004 3.343
konversi hutan melalui pembakaran padang 2005 5.501
rumput, semak belukar, lahan bera, dan lahan basah 2006 4.140
(Violleta dkk. 2008). 2007 6.974
2008 6.793
Indonesia masih belum memiliki sistem pengendalian
kebakaran hutan yang menyeluruh, meskipun Sumber: Kementerian Kehutanan (2009b)
peraturan pemerintah melarang penggunaan api
untuk membuka lahan (misalnya, Keputusan Direktur
Jenderal PHKA No. 152/Kpts/DJ‑VI/1997, Keputusan Tengah, sebagian karena belum adanya atau tidak
Menteri Kehutanan No. 107/Kpts‑II/1999, Keputusan memadainya rencana pencegahan, rencana pengelolaan
Pemerintah No. 4/2001 tentang Pengendalian yang sistematis, sumberdaya manusia, anggaran,
Degradasi Lingkungan dan/atau Pencemaran terkait dan peralatan.
dengan Hutan atau Kebakaran Hutan). Pemerintah
juga telah membentuk Pusat Pengendalian Kebakaran Meskipun menghindari kebakaran gambut—yang
Hutan dan Lahan (Pusdalkarhutla) dan Satuan merupakan penyumbang emisi cukup besar di
Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia (Tabel 10 dan 11)—merupakan tindakan
(Satlakdalkarhutla) maupun tim koordinasi nasional penting dalam upaya mitigasi negara ini, belum ada
pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Namun upaya sistematis yang jelas terkait kebijakan untuk
demikian kebakaran hutan dan lahan terus menjadi mengatasi masalah mendasar ini. Bahkan kebijakan
masalah setiap tahun (Tabel 5), terutama di Provinsi pencegahan kebakaran hutan Indonesia belum memuat
Riau, Kalimantan Barat, Jambi, dan Kalimantan ketentuan untuk mengatasi kebakaran hutan secara
sistematis; dengan demikian, kebijakan tersebut hanya
berlaku dalam jangka pendek dan gagal mengatasi
6  Misalnya, Keputusan Menteri Pertanian No. 764/Kpts/ sumber penyebab masalah ini (Violleta dkk. 2008).
Um/1980 tentang Pelepasan Hutan untuk Perkebunan,
Pertanian, Perikanan, dan Ketahanan Pangan; Keputusan
Menteri Pertanian No. 680/Kpts/Um/8/1981; Keputusan
Kecuali kebakaran hutan besar‑besaran tahun
Menteri Kehutanan No. 417/II/1986 tentang Perkebunan 1997/1998, kawasan hutan yang hilang akibat
Kayu Industri. kebakaran hutan dan gambut mungkin terlihat kecil
Konteks REDD+ di Indonesia   9

dibandingkan dengan kerugian akibat perubahan pengelolaan sumberdaya hutan (misalnya, Sunderlin
penggunaan lahan. Namun, kebakaran hutan yang dan Resosudarmo 1996, FWI/ GFW 2002).
terjadi di Indonesia setiap tahun, sebagai akibat
lemahnya kelembagaan, buruknya pengelolaan atau 1.3.1  Kepentingan pembangunan
faktor alam, telah menimbulkan dampak serius bagi dan ekonomi yang bergantung pada
lingkungan, kesehatan, dan ekonomi. Kabut asap, sumberdaya alam
misalnya, mengganggu kegiatan sehari‑hari dan Sebuah pemicu deforestasi dan degradasi hutan
menimbulkan masalah kesehatan, tidak hanya di berlangsung karena berbagai pihak berkepentingan
Indonesia, tetapi juga di negara‑negara Asia Tenggara dalam memperoleh manfaat sebesar‑besarnya atas
lainnya (misalnya, lihat Lohman dkk. 2007). Selain sumberdaya hutan (lihat Bab 3). Kepentingan
itu, karena sebagian besar lahan dan hutan yang pemerintah pusat dan daerah, pelaku bisnis kehutanan,
terbakar itu berada di lahan gambut, kebakaran tersebut perusahaan pertambangan dan perkebunan dalam
mengakibatkan emisi GRK dalam volume yang negeri dan asing yang membuka lahan hutan,
sangat besar. masyarakat yang bergantung pada hutan dan
sumberdaya lain untuk kebutuhan hidup sehari‑hari,
1.2.3  Perladangan berpindah dan lembaga keuangan internasional adalah saling
Harus diakui bahwa, pada tingkat tertentu, masyarakat bertautan, yang menyebabkan adanya saling
setempat juga berkontribusi terhadap laju degradasi ketergantungan. Pemerintah Indonesia, baik di
hutan. Menurut data FWI, sedikitnya antara tingkat pusat maupun daerah, berkepentingan dalam
tahun 1985 hingga 1997, perluasan pertanian skala memastikan tersedianya dana pembangunan dan
kecil bertanggung jawab atas 4 juta ha hutan yang pemanfaatan sumberdaya hutan untuk menunjang
hilang—lebih dari 20% dari keseluruhan hutan yang kebutuhan ini.
hilang (FWI/GFW 2001). Cara tebas‑bakar yang
dipakai menyebabkan semakin besarnya pengurangan 1.3.2  Kesenjangan antara permintaan dan
luas hutan, sehingga pemerintah menerbitkan beberapa penyediaan kayu
peraturan yang melarang perladangan berpindah dan Permintaan global dan tingginya harga kayu dunia
pembakaran. Namun dalam praktiknya, belum ada telah mendorong pemerintah untuk merumuskan
alternatif, keterampilan ataupun teknologi memadai kebijakan yang memungkinkan kayu dipanen secara
yang disediakan agar memungkinkan peladang intensif.7 Menurut Pearce dan Brown (1994: 11),
berpindah menetap, demikian pula, belum ada insentif tingginya permintaan dan buruknya pengelolaan
memadai yang ditawarkan kepada peladang yang hutan merupakan penyebab utama pembalakan liar
mungkin ingin menetap. Semua hal ini membuat di Indonesia. Contoh buruknya pengelolaan hutan
peraturan ini menjadi tidak efektif. oleh pemerintah mencakup proses izin yang rumit
dan mahal, tingginya tingkat korupsi, dan lemahnya
Intensitas perladangan berpindah sudah berkurang pengawasan. Berbagai penelitian telah menguatkan
di wilayah seperti Kalimantan, sebagian karena analisis mengenai tingginya permintaan dalam dan
masyarakatnya telah beralih untuk menanam tanaman luar negeri atas kayu yang murah (misalnya, Luttrell
keras dan tanaman musiman. Tidak hanya karena dkk. 2011; Scotland 2000). Sebagai contoh, untuk
komoditas tersebut lebih menguntungkan, tetapi juga memenuhi kebutuhan kayu bulat, mengingat efisiensi
dengan bercocok tanam secara terus‑menerus pada mesin yang ada dan kemampuan hutan untuk
lahan yang sama tanpa membiarkannya bera akan menyediakan kayu yang sah, sekitar 70% dari kayu
membantu memantapkan pengakuan hak atas tanah tersebut harus berasal dari sumber‑sumber yang
secara informal. tidak sah (Larsen 2002). Hal yang sama juga berlaku
dalam permintaan luar negeri untuk kayu murah,
1.3  Penyebab mendasar deforestasi terutama dari AS, Eropa, Jepang, dan Cina, yang
dan degradasi hutan diperkirakan menerima sebanyak 33 juta m3 setiap
Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi tahun (ICEL 2006: 2). Environmental Investigation
terhadap percepatan laju deforestasi dan degradasi Agency memperkirakan bahwa pada tahun 1999, Eropa
hutan: kepentingan pembangunan dan ekonomi; mengimpor 10 juta m3 kayu, yang separuhnya diduga
ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam; berasal dari sumber tidak sah; nilainya diperkirakan
pertumbuhan penduduk dan pengaruhnya; tingginya sebesar AS$1,5 miliar (Newman 2004). Kesenjangan
permintaan pasar akan kayu dan produk kayu; yang besar antara pemakaian/permintaan dan
tingginya permintaan dan harga komoditas perkebunan
dan pertambangan; kepemilikan lahan yang tidak jelas; 7  Wawancara dengan Hariadi Kartodihardjo (Institut
kepentingan politik; dan buruknya tata kelola dan Pertanian Bogor), September 2010.
10   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tabel 6.  Perkiraan ketimpangan antara penyediaan dan permintaan kayu

Persoalan Scotland Brown dkk. Manurung Tacconi (2007) Pengamat Hak


dkk. (1999) (2005) dkk. (2007) Asasi Manusia /
HRW (2009)
Besar ketimpangan 41.2–56.6 25–30 4.0–42.2 19.1–24.0 20.0–45.0
penyediaan‑permintaan
(juta m³)
Sumber: Dermawan dkk. (2010)

penyediaan secara sah merupakan masalah yang belum Tabel 7.  Volume dan ekspor pulp, 1997–2008
terselesaikan (Human Rights Watch 2009). Menurut
Volume (ton) Nilai (juta USD)
Hariadi Kartodihardjo, Profesor Kebijakan Hutan di
Institut Pertanian Bogor, penyebab utama degradasi 1997 1.186.000 489
hutan terkait dengan penyediaan dan permintaan kayu 1998 1.656.000 690
ialah ketersediaan pasokan kayu yang tidak jelas dan 1999 1.180.100 475
tidak pasti karena lemahnya kebijakan pemberian izin
2000 1.333.700 710
pengusahaan hutan dan pengelolaan hutan. Dengan
lemahnya instansi pengelolaan hutan, hutan menjadi 2001 1.700.602 564
‘akses terbuka’, yang menyuburkan kegiatan‑kegiatan 2002 2.245.180 707
yang tidak sah.8 2003 2.375.244 791
2004 1.676.962 589
Pemicu pembalakan liar lainnya ialah tingginya biaya
operasional yang sah dibandingkan dengan biaya dan 2005 2.552.966 933
risiko yang terkait dengan berbagai kegiatan yang 2006 2.811.624 1.124
tidak sah (Santosa 2003: 8). Akibatnya, terlihat bahwa 2007 2.437.372 1.066
pembalakan liar sudah menjadi pilihan yang lebih 2008 2.615.776 1.422
ekonomis dalam memenuhi kebutuhan dan menekan
Sumber: Kemenhut (2009b), Data Consult (2003)
biaya untuk memenuhi permintaan kayu. Data
resmi Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa
selama tahun 2003–2006, Indonesia memasok sekitar
20 juta m3 kayu per tahun sedangkan konsumsi dalam 1.3.3  Permintaan pasar
negeri, termasuk kayu lapis dan pulp, adalah lebih Permintaan untuk produk hutan Indonesia seperti pulp
dari 50 juta m3 per tahun—perbedaan sebesar 150% terus meningkat (Tabel 7).
antara penawaran dan permintaan kayu (Human Rights
Watch 2009). Sejumlah perkiraan kesenjangan antara Indonesia juga memasok kelapa sawit (Tabel 8)
penawaran‑permintaan disajikan pada Tabel 6. dan batu bara (Tabel 9) ke pasar dunia. Indonesia
merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia
Kesenjangan antara penawaran dan permintaan (Sheil dkk. 2009, Jakarta Globe 2011a) dan produsen
tersebut telah mendorong sebagian pelaku bisnis batu bara terbesar ke lima setelah Cina, AS, Australia,
beralih ke pembalakan liar (Brockhaus dkk. 2012) dan India (tambangnews.com 2010).
melalui, misalnya, pembalakan di luar jadwal atau
hak pengusahaan mereka. Namun, perlu diakui Tingginya harga kelapa sawit dan meningkatnya
bahwa beberapa perusahaan kayu telah mengikuti permintaan dunia akan CPO telah mendorong
prinsip‑prinsip produksi yang berkelanjutan. perluasan perkebunan kelapa sawit secara besar‑besaran,
Sebagai contoh, sebagian HPH dan beberapa satuan seperti dijelaskan di atas. Demikian pula dengan
pengelolaan HTI telah memperoleh sertifikat Lembaga produksi batu bara yang terus meningkat dari tahun
Ekolabel Indonesia (LEI) atas pengelolaan daerah dan ke tahun. Mengingat bahwa kebanyakan batu bara
kegiatan mereka.9 ditambang dari penambangan terbuka yang terdapat
di kawasan hutan, peningkatan produksi batu
8  Wawancara dengan Hariadi Kartodihardjo bara juga berarti lebih banyak hutan yang dibuka
(Institut Pertanian Bogor), 6 Oktober 2010. (lihat juga Bab 2).
9  Wawancara dengan Hariadi Kartodihardjo
(Institut Pertanian Bogor), 6 Oktober 2010.
Konteks REDD+ di Indonesia   11

Tabel 8.  Volume dan nilai ekspor minyak sawit, 2005–2010

2005 2006 2007 2008 2009 2010 (s/d Agt)


Nilai ekspor minyak sawit 3.756.284 4.817.642 7.868.639 12.375.569 10.367.621 7.304.504
(‘000 dolar AS)
Harga minyak sawit 385 421 688 949 683 845
(dolar AS/ton)
Volume produksi (ton) 9.756.582 11.443.330 11.436.975 13.040.642 15.179.533 8.644.383
Sumber: Kementerian Perdagangan (2010)

Tabel 9.  Produksi dan ekspor batu bara, 2000–2010 pejabat dengan sengaja melonggarkan pengawasan atas
hutan lindung dan hutan konservasi sebagai cara untuk
Tahun Produksi Konsumsi Ekspor mendongkrak popularitas mereka dan menarik pemilih.
(ton) (ton) (ton)
Pada hutan produksi konversi, pembalakan dan tebang
2000 84.806.684 22.617.669 42.226.879 habis meningkat selama dan segera setelah pemilihan
2001 82.673.055 26.761.282 65.362.293 kepala daerah. Mengingat kepentingan yang besar dan
2002 104.207.634 31.218.922 74.387.950 berlanjut terhadap pembangunan perkebunan kelapa
sawit, kemungkinan penjelasan lain atas meningkatnya
2003 0 29.065.109 84.305.154
tebang habis pada hutan produksi konversi ialah bahwa
2004 0 34.967.096 93.653.818 kandidat yang sukses telah membiarkan kegiatan ini
2005 0 41.306.052 107.332.261 berlangsung sebagai imbalan atas dukungan dalam
2006 179.580.407 38.705.184 103.564.022 kampanye, atau memanfaatkannya untuk mengeruk
keuntungan setelah memenangkan pemilihan.
2007 178.790.755 30.798.098 101.108.015
2008 194.391.850 48.956.095 140.940.558 Modus operandi umum yang melibatkan calon kepala
2009 226.170.443 38.273.222 152.924.098 daerah ialah pemberian saham perusahaan kelapa sawit
2010a 156.629.929 48.382.625 160.639.091 tertentu di wilayah hukum mereka, sehingga begitu
Total 1.207.250.760 391.051.359 1.126.444.142
terpilih dan menjabat, mereka akan memudahkan
pemberian izin untuk pengalihan kawasan hutan.11
a Angka sementara
Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah (gubernur,
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2010) bupati, walikota) berhak untuk mengajukan usulan
perubahan status hutan produksi menjadi areal
penggunaan lain (APL), yang memungkinkan untuk
1.3.4  Politik dan tata kelola daerah pengembangan tanaman perkebunan; ini ditetapkan
Dinamika politik daerah merupakan faktor lain yang terutama pada Pasal 7 (yang memungkinkan perubahan
memicu pengalihan lahan hutan untuk perkebunan status hutan produksi konversi/HPK)) dalam
kelapa sawit dan pertambangan. Kecenderungan ini Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts‑II/2001
muncul dengan diterapkannya desentralisasi/otonomi tentang Penetapan Kawasan Berhutan dan Status serta
daerah. Politisi daerah memanfaatkan hutan sebagai Perubahan Fungsi, sebagaimana telah diubah dengan
sarana pengumpulan dana kampanye untuk pemilihan Keputusan Menteri Kehutanan No. 48/Kpts‑II/2004.
kepala daerah.10 Memang, laju deforestasi dipengaruhi
oleh pemilihan umum di daerah, yaitu dengan Kebijakan ini juga terkandung dalam Pasal 8
meningkatnya pembalakan liar secara pesat menjelang Peraturan Pemerintah No. 10/2010 tentang Tata Cara
pemilihan kepala daerah (Burgess dkk. 2011). Ada Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan,
beberapa kemungkinan penjelasan untuk ini. Salah satu yang memberikan peluang bagi politisi daerah untuk
di antaranya ialah pejabat daerah ‘mengizinkan’ atau mengusulkan pengalihan hutan; pengalihan hutan
menutup mata terhadap pembalakan guna menjamin untuk penggunaan lain sering merupakan sumber dana
dukungan dana kampanye. Kemungkinan lain ialah untuk melanjutkan ambisi politik mereka. Selain itu,

10  Wawancara dengan staf penelitian lapangan dari Bidang 11  Wawancara dengan staf penelitian lapangan dari Bidang
Kampanye dan Pendidikan Masyarakat, Sawit Watch Indonesia, Kampanye dan Pendidikan Masyarakat, Sawit Watch Indonesia,
8 Juni 2010; nama disembunyikan atas permintaan staf yang 8 Juni 2010; nama disembunyikan atas permintaan staf yang
diwawancarai. diwawancarai.
12   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

sejak diterapkannya otonomi daerah/desentralisasi, data konsumsi kayu bulat untuk industri dari
para pemimpin daerah yang terpilih memiliki Organisasi Kayu Tropis Internasional (ITTO), Human
kewenangan untuk menerbitkan izin usaha perkebunan Rights Watch (2009) memperkirakan bahwa antara
dan pertambangan. Pasal 17 Undang‑Undang tahun 2003 hingga 2006 kerugian Indonesia yang
No. 18/2004 tentang Perkebunan menyatakan bahwa bersumber dari pajak yang tidak dibayarkan adalah
izin perkebunan dapat diterbitkan oleh gubernur untuk senilai lebih dari AS$2 miliar, dari pembalakan liar
kawasan yang membentang di beberapa kabupaten/ sebesar AS$1,3 miliar, dari kerugian retribusi atau yang
kota dan oleh bupati/walikota untuk kawasan di dalam dimanipulasi sebesar AS$563 juta, dan dari transfer
satu kabupaten atau kota (lihat Bab 2 untuk informasi pricing sebesar AS$138 juta. Data yang diterbitkan oleh
lebih lengkap). Sektor pertambangan juga memberikan Kementerian Kehutanan menilai kerugian tahunan
peluang bagi pejabat terpilih untuk memanfaatkan rata‑rata dari pembalakan liar sebesar AS$630 juta dan
jabatannya guna menarik ‘keuntungan’ dari perusahaan subsidi siluman sebesar AS$332 juta (Human Rights
yang terlibat dalam eksploitasi sumberdaya alam; bukti Watch 2009). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terbatas menunjukkan bahwa pengusaha pertambangan juga telah mengungkap banyak pelanggaran di sektor
harus bersedia mengeluarkan hingga satu miliar rupiah kehutanan, yang telah mengakibatkan kerugian besar
untuk mendapatkan izin pertambangan.12 terhadap pendapatan pemerintah (KPK 2010a). Selain
kolusi di bagian hulu dalam proses perizinan dan
Bentuk‑bentuk kolusi dan korupsi ini timbul dari penetapan fungsi kawasan hutan, kolusi sering terjadi
gabungan antara kepentingan bersama antara pejabat dalam proses penegakan hukum; hal ini akan dibahas
pemerintah dan pengusaha dan ketiadaan pengelolaan lebih lanjut pada Bab 2.
hutan yang benar, yang memudahkan pihak‑pihak
yang ingin menguras hutan untuk keuntungan sendiri. Dalam melihat angka‑angka di atas, perlu dicatat
Tata cara pengelolaan hutan dibahas lebih lengkap bahwa kerugian yang berkaitan dengan korupsi di
pada Bab 2. Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi sektor minyak, gas, dan pertambangan juga tinggi.
pada setiap tahap, mulai dari penerbitan izin hingga Antara tahun 2000 dan 2008, kerugian dari sektor
penjualan, dengan berbagai bentuk modus operandi. minyak dan gas adalah sebesar AS$4 miliar per tahun
Caranya termasuk menyuap bupati, walikota, dan staf (Kompas 2009). KPK juga melaporkan adanya kerugian
dinas kehutanan provinsi guna mendapat jaminan negara sebesar AS$1,8 miliar per tahun dari kegiatan
rekomendasi dalam mengajukan permohonan HPH, penambangan batu bara saja (KPK 2010a), yang
menyuap untuk mendapatkan jaminan dokumen sebagian besar terkait dengan izin pertambangan yang
kegiatan rutin, melakukan “pencucian” kayu yang diterbitkan oleh pemerintah daerah (Kompas 2011a).
memungkinkan perusahaan membuat rencana
tebang melebihi volume yang diizinkan dalam HPH Lemahnya kelembagaan pengelolaan hutan
mereka (ini memberikan peluang bagi kayu liar merupakan sumber penyebab lain dari tingginya
dari sumber‑sumber lain untuk dicampur dengan tingkat deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.
kayu sah), membuat Laporan Hasil Cruising (LHC) Kelemahan ini ada di semua tingkat, termasuk sistem
fiktif, memanipulasi jenis kayu yang ditebang untuk pengelolaan hutan, organisasi pengelolaan hutan, dan
menghindari pungutan pemerintah yang lebih tinggi orang‑orang yang dipekerjakan di sektor kehutanan
yang dikenakan pada kayu berkualitas lebih baik, dan (Bappenas 2010b). Dalam sistem pengelolaan hutan,
menyuap pejabat untuk mengubah fungsi kawasan terbatasnya sumberdaya dan buruknya pengelolaan
hutan tertentu. data dan informasi kehutanan menyulitkan instansi
yang bertanggung jawab atas kehutanan untuk
Pelanggaran tersebut telah menyebabkan kerugian menentukan batas hutan negara; akibatnya, letak dan
ekonomi yang besar bagi negara. Kerugian ini luas hutan secara tepat tetap tidak pasti. Kelemahan
timbul dari, sebagai contoh, praktik pembayaran lain dalam sistem terlihat pada proses perizinan, yang
pajak berdasarkan harga pasar dan nilai tukar yang tidak menerapkan asas keterbukaan dan akuntabilitas
telah dimanipulasi serta tidak membayar dan/atau secara memadai. Banyaknya izin yang tumpang
memanipulasi perhitungan Provisi Sumber Daya tindih di kawasan hutan sebagian dapat disebabkan
Hutan (PSDH) dan pembayaran Dana Reboisasi (DR) oleh proses perizinan yang tidak jelas dan terbatasnya
(Human Rights Watch 2009). Dengan menggunakan akses untuk data perizinan yang dapat dilacak. Selain
itu, kewenangan yang tidak jelas atas hutan negara,
12  Wawancara dengan pejabat pemerintah yang tidak bersedia terutama dalam hal kewenangan antara pemerintah
disebutkan namanya, 29 Juni 2010. pusat dan pemerintah daerah, telah memberikan ‘akses
Konteks REDD+ di Indonesia   13

terbuka’ ke hutan dan membuatnya rentan terhadap pada syarat yang diberlakukan oleh negara‑negara
perambahan atau pencurian. Kesatuan pengelolaan lain maupun lembaga keuangan internasional, yang
hutan (KPH) belum juga dibentuk meskipun sudah berpengaruh pada percepatan deforestasi dan degradasi
diamanatkan dalam Undang‑Undang Kehutanan. hutan dan lahan (misalnya, lihat FWI/GFW 2002). Hal
Hal‑hal yang memperburuk ialah lemahnya mekanisme ini dibahas lebih lengkap pada Bab 3.
pemantauan dan evaluasi maupun penegakan hukum
(Bappenas 2010b). Karena kondisi tersebut, deforestasi 1.3.6 Penguasaan lahan
dan degradasi hutan menjadi tidak terelakkan. Ketidakjelasan seputar hak penguasaan dan batas hutan
juga memicu deforestasi dan degradasi hutan. Pada
Dengan pengelolaan di tingkat organisasi yang tahun 2007 misalnya, Kementerian Kehutanan dan
lebih menitikberatkan pada rincian administratif, BPS menyatakan bahwa sebanyak 16.760 (52,60%)
instansi pengelolaan hutan lebih banyak bekerja dari 31.864 desa di seluruh Indonesia berada di dalam
untuk mencapai sasaran administrasinya; mereka kawasan hutan (Kemenhut dan BPS 2007). Angka
menggunakan seluruh anggaran, misalnya, dan ini berkurang menjadi 9.103 (23,60%) pada tahun
menyampaikan laporan tepat waktu. Namun, persoalan 2009 (Kemenhut dan BPS 2009). Dalam hal luas,
yang sesungguhnya, seperti apakah penggunaan BPS memperkirakan bahwa pada tahun 2010, pada
anggaran tersebut telah membantu mencapai sasaran areal seluas 22,5–24,4 juta ha terjadi sengketa karena
secara efektif dan efisien atau telah memberikan batas yang tidak jelas antara desa dan hutan negara
manfaat bagi upaya perbaikan lingkungan atau (Kemenhut dan BPS 2009). Persoalan penguasaan
kesejahteraan masyarakat, sangat kurang diperhatikan lahan dan hutan yang tidak jelas ini belum kunjung
(Bappenas 2010b). Penyebab pengelolaan lainnya yang terselesaikan. Hal ini dibahas lebih lengkap pada Bab 2.
mendasari deforestasi dan degradasi ialah kurangnya
kecakapan, kemampuan, kelayakan, pengetahuan, 1.3.7  Pertumbuhan penduduk dan
kejujuran, dan kemampuan memimpin pada tingkat transmigrasi
individu pengelola hutan (Bappenas 2010b). Pertumbuhan penduduk merupakan penyebab lain
deforestasi di Indonesia. Data dari setiap provinsi di
Pengelolaan hutan yang baik juga memerlukan Indonesia menunjukkan hubungan yang berbanding
keterpaduan dengan instansi di luar sektor kehutanan, terbalik antara kepadatan penduduk dengan tutupan
misalnya instansi yang bertanggung jawab atas tata hutan. Suatu studi menunjukkan bahwa untuk
ruang, perkebunan, perumahan, pertambangan, dan setiap 1% pertambahan penduduk, tutupan hutan
perlindungan lingkungan. Lemahnya keterpaduan menyusut sekitar 0,3% (Sunderlin dan Resosudarmo
diantara sektor‑sektor ini dalam hal perencanaan dan 1996). Pertumbuhan penduduk di daerah tertentu
pemantauan telah berkontribusi terhadap terjadinya juga menyebabkan deforestasi terencana. Program
degradasi hutan. Kurangnya keterpaduan, misalnya, transmigrasi pemerintah Indonesia, yang bertujuan
terlihat pada perbedaan angka luas areal hutan dan agar penyebaran penduduk dan interaksi etnis lebih
bukan hutan dari satu instansi dengan instansi lainnya. merata, telah berdampak nyata pada tutupan hutan
Sebagai contoh, data Direktorat Jenderal Planologi di Indonesia. Sampai dengan bulan Desember 2010,
Kehutanan menunjukkan luas keseluruhan APL Kementerian Kehutanan telah melepas 1,56 juta ha
sekitar 54 juta ha (Kemenhut 2011a) sedangkan kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan program
data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan transmigrasi, yaitu seluas 609.477 ha (meliputi
bahwa luas lahan pertanian saat ini sekitar 69 juta ha. 440 lokasi) dengan izin prinsip pelepasan, dan
Perbedaan data ini bisa menjadi indikasi bahwa banyak seluas 956.672 ha (meliputi 256 tempat) dengan SK
kawasan hutan telah menjadi lahan pertanian tanpa pelepasan (Kemenhut 2011b).
izin yang semestinya dari Kementerian Kehutanan
(Bappenas 2010b). 1.4  Potensi mitigasi
Tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan telah
1.3.5  Ketergantungan ekonomi pada mengurangi kemampuan hutan Indonesia untuk
negara lain menyerap karbon. Selain itu, 21 juta ha lahan gambut
Sejak zaman Orde Baru (di bawah masa Presiden di negara ini berpotensi melepas sejumlah besar
Soeharto, 1966–1998), ketergantungan Pemerintah volume karbon dan GRK. Sebuah kajian baru‑baru
Indonesia pada bantuan asing—terutama untuk ini menunjukkan bahwa antara tahun 2000 dan 2006,
pembangunan dan mempertahankan kelangsungan emisi GRK dari lahan gambut Indonesia yang berasal
ekonomi—telah memaksa Pemerintah untuk tunduk dari kebakaran, oksidasi gambut, dan hilangnya
14   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tabel 10.  Emisi gas rumah kaca menurut sektor, 2000–2005 (Gg)

2000 2001 2002 2003 2004 2005


Energi ‑ 348.331 352.246 364.925 384.668 395.990
Industri 34.197 45.545 33.076 35.073 36.242 37.036
Pertanian 75.419 77.501 77.030 79.829 77.863 80.179
Limbah 151.578 153.299 154.334 154.874 155.390 155.609
LUCF a
649.254 560.546 1.287.495 345.489 617.280 ‑
Kebakaran gambut 172.000 194.000 678.000 246.000 440.000 451.000
Jumlah dengan LUCF 1.415.998 1.379.222 2.584.181 1.226.191 1.711.443 1.119.814 + LUCF
Jumlah tanpa LUCF 594.738 624.676 618.686 634.701 654.162 668.814 + LUCF
a LUCF: perubahan penggunaan lahan dan kehutanan
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup (2009)

Tabel 11.  Perkiraan pengurangan emisi dari berbagai sektor

Perkiraan emisi 2030 Potensi pengurangan emisi Kegiatan


LULUCF a
670 Mt (21%) 1.200 Mt Pencegahan deforestasi, SFMb, reboisasi
Lahan gambut 970 Mt (30%) 566 Mt Pencegahan kebakaran, pengelolaan air
Pembangkit listrik 810 Mt (25%) 225 Mt Bioenergi, panas bumi, dan PLTA
Pertanian 150 Mt (5%) 106 Mt Pengelolaan air dan nutrient dalam
budidaya padi
Angkutan 440 Mt (13%) 87 Mt Perbaikan pembakaran bahan bakar
Minyak dan gas bumi 105 Mt (3%) 61 Mt Efisiensi energi hilir
Bangunan 75 Mt (2%) 43 Mt Peningkatan efisiensi energi baru
Semen 401 Mt (1%) 13 Mt Penggantian clinker
a LULUCF: Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan, dan Kehutanan
b SFM: Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Sumber: DNPI (2010)

biomassa di atas tanah melalui deforestasi rata‑rata Perhitungan di atas menunjukkan bahwa Indonesia
adalah sebesar 903.000 Gg CO2 tiap tahun (Bappenas dapat memberikan sumbangan besar untuk menahan
2009a). Data Kementerian Lingkungan Hidup laju emisi GRK dunia. Selain itu, Pemerintah
menunjukkan bahwa pada tahun 2004, jumlah emisi Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan
total Indonesia di luar sektor kehutanan adalah sebesar emisi sebanyak 26% pada tahun 2020 dari kondisi
654.162 Gg; dan sebesar 1.711.443 Gg apabila sektor ‘bisnis seperti biasa’. Tiga dokumen baru‑baru ini
kehutanan diikutsertakan (Tabel 10). sudah atau sedang dalam penyelesaian, guna dijadikan
pedoman untuk mencapai komitmen tersebut: Peta
Perkiraan lainnya bahkan menunjukkan tingkat emisi Jalan Perubahan Iklim Sektoral Indonesia (Indonesia
yang lebih tinggi. Dewan Nasional Perubahan Iklim Climate Change Sectoral Roadmap/ICCSR), Rencana
(DNPI) Indonesia memperkirakan tingkat emisi Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Indonesia pada tahun 2005 sebesar 2,1 Gt CO2e, yang (RAN‑GRK), dan Strategi Nasional REDD+. ICCSR
meningkat sebesar 1,9% tiap tahun hingga mencapai menunjukkan bahwa sektor kehutanan membidik
2,5 Gt CO2e pada tahun 2020 dan 3,3 Gt CO2e pada bidang‑bidang berikut untuk mendukung sasarannya:
tahun 2030 (lihat Tabel 11).13 (1) reboisasi/rehabilitasi; (2) penanaman untuk
produksi (HTI dan Hutan Tanaman Rakyat/HTR);
13  Namun, ada pula yang berpendapat bahwa emisi dari hutan dan (3) pengembangan KPH (Bappenas 2009b: 49).
adalah ‘netral karbon’ (Rusli 2011). Sebagaimana terlihat pada Komunikasi Nasional
Konteks REDD+ di Indonesia   15

Ke dua (Second National Communication/SNC) kepada lahan gambut; energi dan transportasi; industri; dan
UNFCCC, tiga kegiatan utama ini dikembangkan pengelolaan limbah.
dengan mempertimbangkan kelayakan teknis dan
anggaran, dan skenario mitigasi sektor kehutanan Selain itu, sejak tahun 2010 pemerintah telah
ditetapkan dengan mempertimbangkan pilihan yang menyusun Strategi Nasional REDD+. Proses ini telah
paling efisien dalam hal biaya dan keberlanjutan mencakup beberapa revisi rancangan yang dapat diakses
(Bappenas 2009b). Oleh karena itu, skenario yang oleh masyarakat. Namun sampai saat penyusunan
dianggap termurah dan yang paling berkelanjutan ialah makalah ini (pertengahan 2012), pemerintah
skenario yang bertumpu pada pengembangan HTI belum menerbitkan strategi ini secara resmi. Bab 4
dan KPH (Bappenas 2009b: 53). Namun demikian, menguraikan tentang versi terbaru strategi ini.
penelitian oleh Verchot dkk. (2010) mendapati
bahwa upaya penurunan emisi yang bergantung pada Jelas bahwa sektor kehutanan Indonesia memiliki
pengembangan HTI akan sulit untuk mencapai sasaran potensi mitigasi yang sangat besar. Namun, konsistensi
yang diharapkan: cara yang lebih penting dan efektif mutlak diperlukan dalam menerapkan sejumlah
untuk menurunkan emisi GRK ialah dengan mencegah program yang terkait dengan perubahan iklim dan
deforestasi hutan yang ada. perencanaan sektor kehutanan. Selain itu, pemantauan
dan evaluasi atas program‑program tersebut harus
RAN‑GRK, yang diterbitkan pada bulan dilakukan secara terbuka dan akuntabilitasnya harus
September 2011, menetapkan kegiatan yang akan dipertahankan. Kelembagaan yang kuat sangat penting
diupayakan untuk mencapai sasaran penurunan bagi reformasi sektor kehutanan dan pengelolaan
emisi sebesar 26% dan 41%. Rencana ini berkisar sumberdaya alam secara menyeluruh dan bagi mitigasi
pada lima sektor utama: pertanian; kehutanan dan perubahan iklim yang dihasilkannya.
2.  Aspek‑aspek kelembagaan, lingkungan,
dan distribusi
Menyusul uraian tentang deforestasi dan degradasi Dokumen ini dianggap penting karena untuk pertama
hutan di Indonesia dan penyebab mendasarnya pada kalinya, negara‑negara menyepakati asas pengelolaan
Bab 1, Bab ini menyajikan lebih banyak pembahasan hutan berkelanjutan (SFM).17 Dokumen ini diharapkan
mendalam mengenai segi pengelolaan dan tata hutan dapat berperan penting dalam kerja sama internasional
yang berkaitan dengan REDD+, misalnya persoalan dan dalam menyusun rencana aksi nasional
penguasaan lahan dan karbon. pengurangan deforestasi dan degradasi, mendorong
penghidupan yang berkelanjutan, dan mengentaskan
2.1  Tata kelola hutan kemiskinan pada masyarakat yang bergantung
pada hutan.
2.1.1  Konteks umum: Aspek tata kelola
global dan kesepakatan internasional Sejalan dengan kesepakatan UNFF, Pemerintah
Sebagai negara dengan hamparan hutan tropis Indonesia memperkenalkan lima program prioritas
yang luas, Indonesia berperan aktif dalam forum tahun 2002 (Keputusan Menteri Kehutanan
internasional yang terkait dengan kehutanan maupun No. 7501/Kpts‑II/2002 tentang Lima Kebijakan
perjanjian bilateral dan multilateral. Ini mencakup: Prioritas di Sektor Kehutanan dalam Program
•• Forum PBB tentang Hutan (UNFF; lihat Rusli dan Pembangunan Nasional): memberantas pembalakan
Justianto 2007). liar; menanggulangi kebakaran hutan; menata
•• UNFCCC kembali sektor kehutanan; rehabilitasi dan konservasi
•• Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati sumberdaya hutan dan memajukan reboisasi; dan
(Convention on Biological Diversity/CBD) desentralisasi pengelolaan hutan (UNFF 2003).
•• Konvensi tentang Perdagangan Internasional Untuk mewujudkan program ini, Indonesia telah
Spesies Satwa Liar dan Flora yang Terancam Punah menggunakan pendekatan perhutanan sosial
(Convention on International Trade in Endangered sebagai cara untuk mencapai tujuan SFM dan
Species of Wild Fauna and Flora/CITES) kesejahteraan masyarakat secara bersamaan (Rusli dan
•• Penegakan Hukum, Tata Kelola (dan Perdagangan) Justianto 2007: 6).
Sektor Kehutanan (Forest Law Enforcement
Governance and Trade/FLEG dan FLEGT) Dalam laporan kepada UNFF tahun 2003, Pemerintah
Indonesia menyatakan bahwa komitmen sukarela
Forum PBB tentang Hutan (UNFF)14 Indonesia kepada UNFF, dalam bentuk Usulan
Indonesia menjadi anggota aktif UNFF pada Aksi (Proposal for Action/PfA), sangat penting
saat pembentukannya tahun 2000 (Rusli dan dalam memprakarsai lima program prioritas ini.18
Justianto 2007). Sebelumnya UNFF merupakan Dewan PfA selanjutnya diterjemahkan ke dalam Program
Antarpemerintah tentang Hutan/Intergovernmental Kehutanan Nasional (National Forest Programme/
Panel on Forests (1995–1997) yang kemudian NFP)19, yang persiapannya telah dimulai tahun 1999.20
menjadi Forum Antarpemerintah tentang Hutan/ NFP menitikberatkan pada pendekatan partisipatif
Intergovernmental Forum on Forests (1997–2000).15 dan menyeluruh terhadap pengelolaan hutan yang
UNFF dianggap berhasil sebagai forum internasional, didasarkan pada kemitraan di antara berbagai
termasuk karena forum ini menghasilkan Instrumen
yang Mengikat secara Tidak Resmi atas Semua Jenis
Hutan(Non‑Legally Binding Instrument on All Types of 17 www.un.org/esa/forests/about.html.
Forests) pada pertemuannya yang ketujuh tahun 2007.16 18  Laporan National pada Sidang Keempat UNFF: www.
un.org/esa/forests/pdf/national_reports/unff4/indonesia.pdf.
19  Lihat laporan Kementerian Kehutanan pada pertemuan
14  UNFF merupakan forum PBB yang mencakup semua ke‑5 UNFF di New York, 16–27 Mei 2005, www.dephut.go.id/
negara anggota PBB. Lihat www.un.org/esa/forests/about.html. INFORMASI/UMUM/KLN/UNFF/About_UNFF_5th.htm.
15  Lihat juga UNFF: sejarah dan tonggak kebijakan hutan 20  Untuk pembentukan NFP di Indonesia, lihat www.
internasional: www.un.org/esa/forests/about‑history.html. dephut.go.id/index.php?q=id/node/1038; lihat juga Pernyataan
16  Namun, lihat Humphreys (2003) dalam hal sudut pandang Kehutanan Nasional: http://nfp‑indonesia.org/download/
yang berbeda tentang sejauh mana UNFF dianggap ‘berhasil’. PKN%20Book_V3.pdf.
Konteks REDD+ di Indonesia   17

pemangku kepentingan yang ditujukan tidak hanya Konvensi PBB tentang Keanekaragaman
untuk konservasi hutan, tetapi juga untuk kesejahteraan Hayati (CBD)
masyarakat (Kemenhut 2006b). Pemerintah juga Indonesia telah meratifikasi CBD melalui
menyatakan bahwa program kehutanan nasional Undang‑Undang No. 5/1994, dan saat ini telah
yang memadukan pendekatan ini sudah ada sebelum memiliki berbagai perundang‑undangan tentang
PfA disepakati secara internasional atau NFP dibuat pengelolaan keanekaragaman hayatinya.
(Kemenhut 2006b). Untuk mendukung pernyataan ini,
pemerintah menyodorkan contoh tentang mekanisme Program pemerintah Indonesia untuk melaksanakan
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), berdasarkan CBD ini tertuang dalam Strategi Keanekaragaman
Peraturan Menteri Kehutanan Tahun 1982, dan forum Hayati dan Rencana Aksi Indonesia (Indonesian
multipihak yang diselenggarakan di seluruh Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP), yang
(Kemenhut 2006b). menetapkan lima sasaran untuk menerapkan CBD
(Bappenas 2007).
Dalam laporan terakhirnya pada pertemuan ke‑5 1. Mendorong perubahan sikap dan perilaku pejabat
UNFF tahun 2004 (UNFF 2004), Indonesia pemerintah, masyarakat Indonesia, dan sektor
menyampaikan kemajuan yang telah dicapai, termasuk terkait agar lebih peduli terhadap perlindungan dan
program yang disepakati dengan pemerintah Inggris, manfaat keanekaragaman hayati untuk negara dan
Cina, dan Jepang untuk menghentikan penjualan rakyat Indonesia.
kayu liar melalui mekanisme perdagangan dan Nota 2. Menggunakan masukan yang bertumpu
Kesepahaman (MoU) awal dengan Uni Eropa dalam pada teknologi dan pengetahuan maupun
rangka program FLEG.21 Indonesia juga melaporkan kearifan setempat.
proses partisipatif dan terbuka dalam menyusun strategi 3. Melakukan perlindungan dan pemanfaatan
nasional untuk mengatasi penyebab utama deforestasi, keanekaragaman hayati Indonesia secara
dengan mengutip pengelolaan hutan berbasis berkelanjutan.
masyarakat sebagai contohnya. 4. Memperkuat kelembagaan dan
perundang‑undangan tentang keanekaragaman
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan hayati di Indonesia.
Iklim (UNFCCC) 5. Menyelesaikan setiap sengketa atas sumberdaya
Indonesia telah menandatangani UNFCCC pada bulan alam yang timbul.
Juni 1992 dan meratifikasinya dua tahun kemudian
melalui Undang‑Undang No. 6/1994 tentang Ratifikasi Namun, IBSAP bersifat tidak mengikat secara hukum
UNFCCC (Balitbanghut 2009). Sejak 1995, negara dan tidak menawarkan program yang langsung
yang telah meratifikasi konvensi ini bertemu setiap terkait dengan upaya pengurangan tingkat deforestasi
tahun melalui Konferensi Para Pihak (COP) untuk dan lebih diarahkan untuk pengumpulan data
melaksanakan kerangka kerja yang terkait. Protokol tentang keanekaragaman hayati (Bappenas 2004).
Kyoto merupakan salah satu hasil yang ditetapkan Sebagaimana ditunjukkan pada Bab 1, keanekaragaman
pada COP 1997; Indonesia meratifikasinya setahun hayati Indonesia sangat terancam oleh deforestasi
kemudian (Balitbanghut 2009). Pada tahun 2007, dan degradasi hutan. Karena itu, dokumen IBSAP
Indonesia menjadi tuan rumah COP 13 di Bali, dan semestinya telah memasukkan program pengurangan
merupakan pemain penting dalam mendorong REDD deforestasi dan degradasi hutan sebagai faktor yang
untuk dimasukkan ke dalam agenda perubahan iklim berkontribusi terhadap hilangnya keanekaragaman
internasional. Pada COP 13, Indonesia menerbitkan hayati (Saleh 2005).
laporan konsolidasi tentang peta jalan REDD+
secara luas yang disusun oleh Aliansi Hutan‑Iklim Pendekatan pemerintah Indonesia terhadap
Indonesia (Indonesian Forest Climate Alliance/IFCA). kewajibannya terkait CBD merupakan contoh
bagaimana niat baik berkenaan dengan pengelolaan
21  Perjanjian kerja sama ditandatangani di Jepang pada bulan lingkungan belum didukung dengan upaya kerja
Juni 2003, di Inggris April 2002 dan di Cina Desember 2002. sama yang memadai untuk memperbaiki prasarana,
Lihat www.dephan.go.id/modules.php?name=News&fi kemampuan, dan tata kelola yang diperlukan
le=article&sid=4235. Komitmen ini merupakan tindak untuk mewujudkan komitmen internasionalnya.
lanjut Deklarasi Bali (FELG) pada bulan Desember 2001.
Namun, beberapa laporan menunjukkan bahwa pelaksanaan
Sebagai contoh adalah komitmen pemerintah untuk
MoU ini terhambat oleh banyak kendala dan perlu revisi melindungi keanekaragaman hayati, sebagaimana
(www. indonesianembassy‑china.org/id/relations.html. tertuang dalam CBD, yang kebijakannya hanya
18   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

tertuang di atas kertas. Rencana Aksi Keanekaragaman CITES bahkan mengancam Indonesia dengan larangan
Hayati Indonesia (Biodiversity Action Plan for Indonesia/ perdagangan penuh karena Indonesia dianggap belum
BAPI), yang kemudian diubah pada tahun 2003 sebagai memiliki peraturan nasional yang memadai untuk
IBSAP—cetak‑biru untuk mewujudkan komitmen menunjang pelaksanaan CITES (Saleh 2005). Terdapat
pemerintah dalam CBD—tidak tampak menjadi dasar banyak masalah yang merintangi pelaksanaan CITES
bagi perencanaan pembangunan pada umumnya, dan di Indonesia, termasuk masyarakat yang kurang
pengelolaan lingkungan pada khususnya (Kartodihardjo berpendidikan di wilayah terpencil yang kurang
dan Jhamtani 2006: 88). Hal ini terutama karena memahami pentingnya melestarikan tanaman dan
lemahnya peraturan pendukung dan penegakan hewan yang terancam punah, meskipun sebenarnya
hukum, dan perilaku pejabat pemerintah yang mencari masyarakat itu sendiri sangat bergantung pada alam
dan mengambil rente (Kartodihardjo dan Jhamtani dan satwa liar (Saleh 2005). Tingginya permintaan
2006: 89). Berbagai perilaku birokrat semacam ini tanaman dan satwa liar ini merupakan penyebab lain
terlihat bahkan selama proses penyusunan IBSAP, yaitu yang mendorong perdagangan satwa liar (Soehartono
ketika sejumlah besar bantuan dana telah dipastikan ada dan Mardiastuti 2002). Namun demikian, pemerintah
dari lembaga keuangan internasional. Mengamankan tidak memiliki sumberdaya untuk menginformasikan
pinjaman atau bantuan asing yang sebenarnya tidak kepada khalayak tentang pentingnya melestarikan
diperlukan dalam bentuk pendanaan atau intervensi flora dan fauna yang terancam punah atau memantau
kebijakan terus berlanjut karena perilaku birokrat dalam perdagangan ilegal (Soehartono dan Mardiastuti 2002).
mencari rente. Perilaku ini tidak hanya melemahkan
pelaksanaan komitmen CBD dan IBSAP, tetapi juga Keadaan geografi Indonesia juga menimbulkan masalah
membuka jalan bagi lembaga keuangan multinasional lainnya: terdapat 17 bandar udara internasional dan
untuk mempengaruhi penetapan kebijakan dan agenda ribuan pelabuhan yang beragam, mulai dari pelabuhan
pembangunan Indonesia. ikan kecil hingga pelabuhan internasional besar. Banyak
di antara pelabuhan ini memiliki akses yang mudah
Konvensi tentang Perdagangan Internasional ke negara tetangga, yang memudahkan perdagangan
Spesies Satwa Liar dan Flora yang Terancam ilegal atau penyelundupan sejumlah spesies yang
Punah (CITES) telah diatur oleh CITES. Masalah ini juga terkait
CITES, kesepakatan internasional yang terkait dengan dengan kualitas sumberdaya manusia pada otoritas
pengelolaan hutan, telah diratifikasi oleh Pemerintah pelabuhan. Kurangnya pemahaman para petugas
Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 43/1978, tentang CITES dan landasan peraturannya merupakan
yang ditandatangani pada 15 Desember 1978. CITES tantangan tersendiri. Pada tahun 1995, Sekretariat
kemudian dimasukkan ke dalam hukum nasional CITES membantu Otoritas Pengelolaan (Kementerian
melalui Undang‑Undang No. 5/1990 tentang Kehutanan) dalam memberikan pelatihan kepada
Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, instansi terkait (petugas bea dan cukai, petugas
dan Peraturan Pemerintah No. 8/1999 tentang karantina, kepolisian, Kementerian Luar Negeri,
Pemanfaatan Spesies Flora dan Fauna, yang selanjutnya Kementerian Perdagangan, dll.). Namun, pelatihan
mengatur segi kelembagaan pelaksanaan CITES ini dihentikan tahun 1998 karena kurangnya dana
di Indonesia.22 Terakhir, Kementerian Kehutanan, (Soehartono dan Mardiastuti 2002).
selaku Penanggung Jawab Pengelolaan, menerbitkan
Keputusan No. 104/Kpts‑II/2003 yang menunjuk Pergantian pejabat, terutama di lingkup Otoritas
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Pengelolaan, merupakan masalah lainnya dalam
Alam sebagai Penanggung Jawab Pengelolaan sesuai melaksanakan CITES. Dalam waktu 11 tahun sampai
dengan amanat CITES. dengan 2003, pemerintah telah mengganti delapan
direktur yang terkait dengan Otoritas Pengelolaan
CITES mewajibkan negara peratifikasi memiliki CITES. Akibatnya, pejabat tidak memiliki cukup waktu
peraturan nasional, kuota, dan mekanisme untuk untuk memahami dengan benar konvensi tersebut
mengendalikan pengambilan flora dan fauna liar dan (Soehartono dan Mardiastuti 2002). Kurangnya
untuk memantau perdagangannya. Indonesia belum data ilmiah yang akurat merupakan masalah teknis,
kunjung memenuhi banyak kewajibannya. Sekretariat yang berarti kuota tidak didasarkan pada data yang
diminta oleh CITES. Masalah ini terkait erat dengan
keterbatasan Otoritas Ilmiah dalam mengumpulkan
22  Pasal 65, Peraturan Pemerintah No. 8/1999 menyatakan
bahwa Penanggung Jawab Pengelolaan konservasi flora dan data tentang flora dan fauna yang diperdagangkan
fauna adalah Kementerian Kehutanan. Penanggung Jawab (Saleh 2005).
Ilmiah adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Konteks REDD+ di Indonesia   19

Namun demikian, dalam beberapa terakhir pelaksanaan dan Verifikasi Legalitas Kayu dari Pemegang Izin, dan
CITES di Indonesia telah mengalami peningkatan Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Produksi
(Saleh 2005). CITES telah memberikan kerangka bagi Hutan No. P.6/ IV‑Set/2009 tentang Standar dan
pemanfaatan sumberdaya satwa liar secara berkelanjutan Pedoman Penilaian Kinerja pada Pengelolaan Hutan
dalam perdagangan sarang burung walet dan ikan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Dua
arwana Asia (Soehartono dan Mardiastuti 2002). peraturan ini diterbitkan pada bulan Juni 2009;
Keberadaan CITES juga telah meningkatkan kemauan Kementerian Kehutanan masih dalam proses sosialisasi,
politik pemerintah untuk menetapkan landasan hukum yaitu memberikan pemahaman kepada para pemangku
yang melindungi satwa liar Indonesia, termasuk kepentingan tentang isi dan implikasi peraturan ini.
Peraturan Pemerintah 8/1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Soehartono dan Selama perundingan mengenai VPA, kedua pihak
Mardiastuti 2002). Peningkatan implementasi sepakat untuk melaksanakan Proyek Dukungan
CITES juga terlihat pada semakin besarnya peluang FLEGT Komisi Eropa‑Indonesia. Sejalan dengan
bagi masyarakat untuk terlibat dalam perlindungan FLEGT,24 proyek lima tahun (1 Maret 2006–
kehidupan liar. Hal ini dapat terlihat dari upaya 28 Februari 2011) berbentuk bantuan teknis UE
pemerintah yang melibatkan pemangku kepentingan kepada Indonesia dilaksanakan untuk memperbaiki
dalam persiapan COP CITES beberapa tahun terakhir pengelolaan hutan agar siap untuk menerapkan VPA.
sebagai sarana untuk memberikan masukan terkait Meskipun VPA menerima banyak kritik, program
dengan posisi pemerintah dalam negosiasi (Saleh 2005). FLEGT ini telah menghasilkan beberapa prestasi,
Dari sisi keterlibatan masyarakat, peran LSM semakin misalnya diujinya sistem pembayaran online untuk
mendapat pengakuan dan mereka bekerja sama dengan HPH dengan wilayah kerja lebih dari 50.000 ha,
Otoritas Ilmiah (LIPI) dalam menetapkan kuota yang memungkinkan produksi dan pembayaran kayu
bagi sejumlah spesies tumbuhan dan satwa liar yang terlihat pada waktu yang sama. Sistem yang terbuka
diperdagangkan (Soehartono dan Mardiastuti 2002). ini, apabila diterapkan, dapat menekan korupsi seputar
pembayaran PSDH dan DR, karena sistem online
Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan ini dapat diperiksa‑silang tidak hanya oleh berbagai
Sektor Kehutanan (FLEGT) tingkat pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat
FLEGT merupakan kerja sama bilateral antara (Human Rights Watch 2009: 76– 77).
negara‑negara berhutan tropis dan Uni Eropa (UE)
untuk menekan tingkat pembalakan liar. Kerja sama Dua kelompok kerja telah dibentuk untuk membantu
bilateral ini berupa Perjanjian Kemitraan Sukarela mempercepat proses negosiasi FLEGT‑VPA antara
(VPA) dengan masing‑masing negara anggota, yang Indonesia dan UE. Sebagaimana telah disepakati
dibuat khusus sesuai dengan keadaan masing‑masing setelah perundingan pertama FLEGT‑VPA di Jakarta
negara, meskipun beberapa bagian dalam perjanjian pada tanggal 29–30 Maret 2007 (Kemenhut 2009d),
ini lebih kurang sama untuk semua negara. Semua Kementerian Kehutanan telah menindaklanjuti
negara mitra harus sepakat dengan definisi keabsahan perjanjian tersebut dengan membentuk kelompok kerja
dan memiliki (atau komitmen untuk mengembangkan) untuk mempercepat penyelesaian penetapan standar
landasan hukum dan struktur administrasi yang keabsahan kayu25 dan kelompok kerja peningkatan
dapat diandalkan dengan sistem yang memadai
untuk membuktikan bahwa kayu yang mereka ekspor
berasal dari sumber yang sah.23 Pada satu sisi, satu
24  ‘Latar belakang FLEGT’: http://www.euflegt.efi.int/portal/
masalah yang sedang dibahas berkenaan dengan home/vpa_countries/in_asia/indonesia/ Kegiatan FLEGT
kesenjangan antara sudut pandang pemerintah, yaitu meliputi: (1) membantu perbaikan tata kelola dan peningkatan
Sistem Verifikasi Keabsahan Kayu (SVLK), dan sudut kemampuan negara penghasil kayu; (2) membangun kemitraan
pandang UE, yaitu Sistem Jaminan Keabsahan Kayu dengan negara penghasil kayu untuk mencegah produksi kayu
ilegal (jenis produksi pada waktu ini yang meliputi seluruh
FLEGT (TLAS) (Kemenhut 2010b). Kementerian dunia adalah kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan vinir)
Kehutanan telah menerbitkan dua peraturan tentang untuk pasar UE; (3) berupaya agar UE mengurangi pemakaian
keabsahan kayu: Peraturan Menteri Kehutanan kayu ilegal dan menghentikan inventasi yang dilakukan oleh
No. 39/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian lembaga‑lembaga di UE yang mendukung pembalakan liar.
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Berkelanjutan 25  Kelompok kerja standarisasi kayu diketuai oleh Direktur
Distribusi dan Pungutan Hasil Hutan. Tugas utamanya adalah
untuk mempercepat penyelesaian proses standarisasi legalitas
23  Untuk memperoleh uraian singkat mengenai FLEGT, kayu, tidak hanya dalam rangka perundingan dengan UE,
lihat www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/ tetapi juga untuk negara lain yang memakai kayu dan hasil kayu
FLEGTbriefsIND210904.pdf. dari Indonesia.
20   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

kemampuan.26 Tujuan tambahan dari dua kelompok Pengaruh ini terlihat di sektor kehutanan selama
kerja tersebut, yang dipimpin oleh Direktur Jenderal 1998–2003, ketika Indonesia menjalani restrukturisasi
Pengembangan Produksi Hutan, adalah untuk ekonomi atas permintaan IMF. Paket kebijakan
mendukung tata kelola kehutanan. kehutanan yang diterbitkan atas tekanan IMF
berdasarkan Surat Pernyataan Minat (LoI) Januari 1998
Pada bulan Maret 2010, pertemuan ketiga kelompok mencakup: pengurangan pajak ekspor kayu
kerja mengenai kerangka kerja FLEGT‑VPA dihadiri gelondongan, kayu gergajian, dan rotan; menghapuskan
oleh delegasi dari Indonesia dan UE. Selama semua bentuk peraturan tentang pemasaran kayu
pertemuan, Indonesia melaporkan perkembangan lapis; menerapkan lelang untuk pemberian konsesi
sistem keabsahan kayunya sebagaimana yang kehutanan; dan mengurangi konversi hutan alam
diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006: 31). Program
No. P.38/ Menhut‑II/2009, dan delegasi UE menyajikan ini jelas memperlihatkan peran lembaga keuangan
peraturan baru tentang uji tuntas yang diharapkan internasional dalam kebijakan kehutanan dalam negeri.
dapat disepakati selama perundingan dengan UE
pada akhir tahun 2010; peraturan ini mewajibkan 2.1.2  Tata kelola di kawasan yang
pedagang kayu UE agar melakukan tindakan untuk sangat terancam oleh deforestasi dan
memperkecil risiko kayu ilegal yang diperdagangkan di degradasi hutan
UE, dan akan memberi keuntungan besar atas produk Setelah menganalisis potensi kerangka hukum
kayu dari negara pemegang VPA. Sebagai kelanjutan internasional dalam mempengaruhi pengelolaan
FLEGT‑VPA, Indonesia dan UE telah bersepakat untuk hutan pada tingkat nasional di Indonesia, bagian
meningkatkan kerja sama dalam penyusunan landasan ini membahas tata kelola di tingkat nasional dengan
hukum VPA dan kedua belah pihak telah menegaskan melihat undang‑undang dan penerapannya, terutama
kembali komitmen untuk mewujudkan kesimpulan di daerah yang sangat terancam oleh deforestasi
awal dari perundingan tersebut (Pemerintah RI dan dan degradasi.
UE 2010).
Sebagaimana dibahas pada Bab 1, penyebab langsung
Pada bulan Mei 2011, VPA antara Indonesia dengan terbesar dari deforestasi dan degradasi hutan di
UE akhirnya ditandatangani. Pada tahap ini, masih Indonesia adalah perubahan penggunaan lahan hutan,
terlalu dini untuk menyimpulkan secara tegas tentang pembalakan resmi dan liar, dan kebakaran hutan.
dampak dari FLEGT‑VPA. Namun, mekanisme seperti Penyebab keseluruhan dari deforestasi dan degradasi
SVLK atau VPA berpotensi untuk mengatasi beberapa hutan ini adalah lemahnya tata kelola hutan. Banyak
aspek tata kelola yang mempengaruhi pelaksanaan hal yang ikut menyebabkan lemahnya tata kelola
REDD+ (Luttrell dkk. 2011). hutan, termasuk (1) perangkat perundang‑undangan
yang tidak konsisten dan terkadang bertentangan;
Pengaruh sistem ekonomi global bagi (2) desentralisasi hutan yang menyimpang dari tujuan
sektor kehutanan semula; (3) belum selesainya tata batas kawasan hutan;
Sistem ekonomi global juga membentuk dan (4) proses perizinan yang tertutup dan sarat KKN;
mempengaruhi undang‑undang dan kebijakan (5) lemahnya kapasitas pemerintah dalam mengawasi
pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. pelaksanaan perizinan; (6) tidak adanya pengelola hutan
Pelaku utama dalam sistem ini—lembaga keuangan yang jelas pada tingkat tapak; (7) lemahnya penegakan
internasional dan perdagangan seperti Organisasi hukum dan korupsi; dan (8) kurangnya keikutsertaan
Perdagangan Dunia (WTO), Bank Dunia, dan Dana masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor
Moneter Internasional (IMF)—berpengaruh besar kehutanan.
dalam pembentukan undang‑undang di negara
berkembang. Perundang‑undangan yang tidak selaras satu
sama lainnya
26  Kelompok kerja peningkatan kemampuan diketuai Tata kelola hutan dipengaruhi tidak hanya oleh
oleh Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian kerangka hukum yang mengatur sektor kehutanan,
Kehutanan. Tugas utamanya adalah menyusun telaah kebutuhan tetapi juga peraturan yang mengatur sektor lainnya.
akan peningkatan kemampuan untuk melaksanakan standarisasi Peraturan perundang‑undangan penting yang
legalitas kayu beserta proses perundingan VPA FLEGT,
yang akan dilakukan dalam tiga tahap: selama perundingan,
mempengaruhi pengelolaan hutan, baik langsung
ketika perjanjian ditandatangani, ketika hasil perundingan maupun tidak langsung, meliputi Undang‑Undang
dijalankan sepenuhnya. No. 41 tentang Kehutanan, Undang‑Undang No. 22
Konteks REDD+ di Indonesia   21

tentang Pemerintahan Daerah (sering disebut Masalah perundang‑undangan juga timbul dalam
Undang‑Undang Otonomi Daerah; yang kemudian konteks penataan ruang. Perubahan rezim tata
diganti dengan Undang‑Undang No. 32/2004), ruang sesuai dengan Undang‑Undang No. 26/2007
Undang‑Undang No. 18/2004 tentang Perkebunan, idealnya dapat meningkatkan kepatuhan pemangku
Undang‑Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan kepentingan terhadap rencana tata ruang yang telah
Mineral dan Batu Bara, Undang‑Undang No. 32 ditetapkan, melalui kejelasan sektor utama dan adanya
tentang Lingkungan, dan Undang‑Undang forum koordinasi antarsektor dalam perencanaan tata
No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Perangkat guna lahan. Namun, dalam kenyataannya, instansi
perundang‑undangan ini kadang‑kadang tidak terkait sering mengabaikan rencana tata ruang karena
selaras satu dengan lainnya yang mempengaruhi kegiatan mereka dilakukan berdasarkan payung
implementasinya. Ketidakselarasan ini telah hukum mereka sendiri, yang sering tidak selaras satu
menyebabkan terjadinya tumpang tindih peraturan, sama lain. Kementerian Energi dan Sumber Daya
kewenangan yang tidak jelas, dan memberikan Alam misalnya, berwenang menentukan wilayah
peluang untuk mencari celah. Selain itu, terkadang pertambangan (Undang‑Undang No. 4/2009),
dalam undang‑undang yang sama pun bahkan Kementerian Kehutanan memiliki Undang‑Undang
ditemukan pasal yang tidak selaras satu sama lain, yang No. 41/1999, Kementerian Pertanian memiliki
memungkinkan perbedaan penafsiran. Undang‑Undang No. 18/2004, dan Kementerian
Lingkungan Hidup berwenang menentukan kawasan
Sebuah contoh ketidakselarasan antarperaturan berdasarkan pengelompokan ekosistem (ecoregion)
perundangan tampak dalam hal pengawasan berdasarkan Undang‑Undang No. 32/2009.28 Kondisi
kawasan hutan, yaitu ketidakjelasan kewenangan ini menyebabkan terciptanya egosektoral dalam
untuk memberlakukan sanksi administratif terhadap perencanaan tata guna lahan dan tata ruang.
pelanggaran di kawasan hutan. Saat ini, Menteri
Kehutanan, yang bertanggung jawab atas kawasan Masalah ini menjadi semakin rumit apabila dikaitkan
hutan, tidak berwenang menerapkan sanksi dengan pola hubungan antara pemerintah pusat
administratif atas pelanggaran yang terjadi di kawasan dan pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi,
hutan jika izin diterbitkan oleh sektor lain, seperti izin
pertambangan atau perkebunan.
28  Tatanan perencanaan tata ruang ditandai dengan
diundangkannya Undang‑Undang No. 26/2007 tentang
Contoh lain berkaitan dengan peraturan pertanian yang Perencanaan Tata Ruang. Konsep baru dalam undang‑undang
memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk ini mencakup menjatuhkan sanksi hukum terhadap mereka
mengeluarkan izin perkebunan.27 Ini mempersulit yang mengeluarkan izin yang bertentangan dengan rencana tata
pengawasan, dan pada akhirnya penegakan hukum, atas ruang dan memperjelas sektor utama dalam pengunaan lahan
dengan dibentuknya Badan Koordinasi Perencanaan Tata Ruang
izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sumber Nasional (BKPRN) yang diketuai oleh Menko Ekonomi dan
lainnya yang sering membingungkan adalah status Tim Pelaksana Teknis yang diketuai oleh Menteri Pekerjaan
hukum kawasan hutan yang tidak jelas yang bersumber Umum. Namun demikian, terobosan ini belum menyingkirkan
dari peraturan perundang‑undangan. Hal ini dibahas sikap egosektoral di antara kementerian yang merasa memiliki
lebih terinci pada bagian selanjutnya dari bab ini. kewenangan yang sama berdasarkan undang‑undang mereka
masing‑masing (jenjang perundang‑undangan di Indonesia
tidak menerapkan konsep undang‑undang yang memayungi,
Namun terlepas dari sistem dan masalah yang terkait sehingga Undang‑Undang Perencanaan Tata Ruang tidak dapat
dengan perundang‑undangan, ditemui juga kasus kasus diberlakukan terhadap undang‑undang sektoral). Masalah ini
di mana Kementerian Kehutanan tidak konsisten dalam mengemuka setelah Undang‑Undang No. 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
menyikapi masalah terkait permohonan izin. Ada kasus mengamanatkan Analisis Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
ketika Kementerian seharusnya menindak pelanggar sebagai dasar perencanaan tata ruang selain pertimbangan daya
administratif, tetapi dalam kenyataannya izin‑izin yang dukung lingkungan. Kecenderungan bagi sektor yang menolak
sudah dicabut tersebut ‘diputihkan’ dan diterbitkan penyatuan perencanaan sosial dan UUPPLH muncul dalam
jawaban Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral selama
kembali (Nagara 2009: 17). dengar pendapat antara DPR dengan tiga kementerian (Energi
dan Sumber Daya Mineral, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup)
yang diadakan pada bulan Februari 2010. Mengandalkan
27  Pasal 17(5) Undang‑Undang No. 18/2004 tentang pada sumberdaya di wilayah memilki lingkungan hidup khas
Perkebunan bersama dengan Lampiran tentang Pertanian dan dapat berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan
Ketahanan Pangan dalam Peraturan Pemerintah No. 38/2007 dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang
tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan kewenangannya berdasarkan Undang‑Undang Pertambangan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Mineral dan Batu Bara.
22   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

seperti dijelaskan pada bagian berikutnya. Kerangka Belum selesainya tata batas kawasan hutan
hukum yang seharusnya dipahami terkoordinasi Terdapat perbedaan penafsiran tentang apa yang
melalui instrumen perencanaan tata ruang yang diatur dimaksud dengan kawasan hutan. Sebagaimana
berdasarkan Undang‑Undang Penataan Ruang—dan dijelaskan di atas, hal ini dapat disebabkan oleh
yang penyusunannya mengacu kepada keterbatasan luasnya multitafsir dan inkonsistensi dalam peraturan
kemampuan dan daya dukung lingkungan sebagaimana perundang‑undangan, terutama terkait dengan
diatur dalam Undang‑Undang Lingkungan Hidup— proses penetapan secara hukum suatu kawasan
kenyataannya tidak berdaya dalam pelaksanaannya. sebagai kawasan hutan. Pasal 1(3) Undang‑Undang
Sebagian masalah ini timbul karena gagalnya Kehutanan mendefinisikan kawasan hutan sebagai
teknis perundang‑undangan untuk mengacu ‘kawasan tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan
kepada instrumen dan istilah yang sama di dalam oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan
undang‑undang yang berbeda. Akibatnya, pihak‑pihak tetap’—sebuah definisi yang mengindikasikan bahwa
yang bertindak demi keuntungan sendiri, yang tidak suatu kawasan dapat menjadi kawasan hutan hanya
memahami kebijakan atau yang berpandangan sektoral berdasarkan pada penunjukan. Namun, tampaknya
yang sempit, pada akhirnya akan menafsirkan dan pengertian yang bertentangan ditemui pada ketentuan
melaksanakan aturan yang ada secara terpisah, tanpa lain dalam undang‑undang yang sama dan peraturan
berkoordinasi dengan sektor lainnya. pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah No. 44/2004
tentang Perencanaan Kehutanan). Pasal 14
Persoalan terkait desentralisasi Undang‑Undang Kehutanan menyatakan bahwa
Dengan pemberlakuan otonomi daerah, pemerintah penunjukan suatu kawasan sebagai kawasan hutan
daerah bertanggung jawab atas sektor lain yang dinyatakan sah secara hukum jika sudah dikukuhkan;
mempengaruhi hutan, seperti perkebunan dan Pasal 15 menjelaskan bahwa pengukuhan kawasan
pertambangan—dan kebanyakan kebijakan pemerintah hutan meliputi: (1) penunjukan kawasan hutan;
daerah diarahkan untuk peningkatan pendapatan asli (2) penataan batas kawasan hutan; (3) pemetaan
daerah (PAD) (Resosudarmo dkk. 2006). Peraturan kawasan hutan; dan (4) penetapan kawasan hutan.
perundang‑undangan belum berhasil mengatur Penjelasan Pasal   menyatakan bahwa penunjukan
pembagian kewenangan urusan pemerintah pusat dan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan
daerah dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah kawasan hutan, yang antara lain berupa:
secara efektif, dan keadaan ini dimanfaatkan dalam hal 1. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan
penggunaan hutan. Banyak kasus di mana pemerintah tentang batas luar;
daerah menerbitkan sejumlah izin perkebunan dan 2. pemancangan tanda batas sementara yang
pertambangan di kawasan hutan tanpa terlebih dahulu dilengkapi dengan lorong‑lorong batas;
memastikan adanya izin yang tepat dari Kementerian 3. pembuatan parit batas pada lokasi‑lokasi rawan;
Kehutanan atau status lahan: pemerintah daerah telah 4. pengumuman tentang rencana batas kawasan
menerbitkan izin seluas 5 juta untuk perkebunan hutan, terutama di lokasi‑lokasi yang berbatasan
dan 7 juta ha untuk pertambangan tanpa mengikuti dengan tanah hak.
tata cara yang benar (Kemenhut 2011c). Terbatasnya
kemampuan pemerintah untuk menindak pelanggaran Dari ketentuan ini, jelas bahwa penunjukan kawasan
izin seperti ini mendorong praktik ini semakin hutan baru merupakan sebuah kegiatan persiapan, dan
tersebar luas. Berbagai masalah juga berkaitan dengan juga dapat didefinisikan sebagai penunjukan sementara
pembagian kewenangan pengurusan hutan antara suatu kawasan tertentu yang akan ditetapkan sebagai
pemerintah pusat dan daerah; sebagai contoh, tidak kawasan hutan. Penunjukan sementara ini kemudian
adanya sistem pengawasan yang jelas tentang kewajiban diikuti dengan penataan batas kawasan hutan yang
pemerintah daerah untuk melaporkan kepada menghasilkan batas yang lebih pasti untuk kawasan
pemerintah pusat mengenai keadaan hutan dalam yang akan ditetapkan tersebut, yang pada akhirnya
wilayah kewenangan mereka, termasuk penerimaan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Ketentuan ini
dari hutan (Resosudarmo dkk. 2006: 12–13).29 diperkuat dengan Pasal 17 Peraturan Pemerintah
Permasalahan yang terkait dengan desentralisasi dibahas No. 44/2004, yang menjelaskan penunjukan kawasan
lebih lengkap di bawah ini. hutan sebagai langkah awal dalam proses penentuan
suatu kawasan tertentu sebagai kawasan hutan. Artinya,
hanya dengan ‘penunjukan’ sebagai kawasan hutan
29  Kementerian Kehutanan juga menuntut agar pemerintah tidak berarti bahwa suatu kawasan sudah sah menjadi
daerah tidak menanggapi permintaan laporan atas izin‑izin yang kawasan hutan.
diterbitkan pada hutan negara.
Konteks REDD+ di Indonesia   23

Oleh karena itu, jika ada pihak di luar Kementerian Peta tingkat provinsi disusun dan disetujui oleh
Kehutanan—pemerintah daerah misalnya— gubernur berdasarkan kesepakatan, lalu disahkan
mengeluarkan izin untuk suatu kawasan yang belum oleh Kementerian Kehutanan (Resosudarmo 2011a).
lama ini ditunjuk sebagai kawasan hutan, maka bisa jadi Mengingat keterbatasan data dan luasnya kawasan
tafsiran ‘penunjukan’ ini digunakan untuk meyakinkan yang terkait, pemetaan hutan sebagian besar
bahwa izin yang dikeluarkan itu sebenarnya bukan pada dilakukan di belakang meja, tanpa memperhitungkan
kawasan hutan. Secara bersamaan, berdasarkan Pasal 1 keadaan yang sebenarnya dan dengan demikian
Undang‑Undang Kehutanan, Kementerian Kehutanan mengabaikan masyarakat yang tinggal di dalam
boleh jadi menafsirkan lain, dengan beralasan bahwa kawasan hutan, termasuk hak dan tatanan adat mereka
kawasan itu memang kawasan hutan. Perbedaan (Resosudarmo 2011a). Namun demikian, TGHK tetap
penafsiran ini serta pengelolaan hutan yang tidak menjadi rujukan bagi perencanaan penggunaan lahan
efektif telah mendorong pengeluaran banyak izin yang dan kegiatan di kawasan hutan.
memungkinkan kegiatan berlangsung di kawasan hutan
di seluruh Indonesia.30 Sekitar satu dasawarsa kemudian, pemerintah
menetapkan Undang‑Undang No. 24/1992 tentang
Pada saat penyusunan makalah ini, Kementerian Penataan Ruang, yang mengharuskan provinsi
Kehutanan belum menyelesaikan proses pengukuhan menyusun Rencana Tata Ruang Tata Wilayah Provinsi
secara nasional sesuai dengan Undang‑Undang (RTRWP; Resosudarmo 2011a). Terdapat banyak
Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 44/2004. inkonsistensi antara TGHK dan RTRWP. Sebagai
Hanya 10,65% dari 133.694.685 ha kawasan hutan contoh, RTRWP mengubah klasifikasi sejumlah
yang telah dikukuhkan; sisanya masih dalam proses kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan dalam
penataan batas, yang dapat ditafsirkan bahwa kawasan TGHK. Menyadari inkonsistensi ini, pemerintah
ini sudah ‘ditunjuk sebagai kawasan hutan, tetapi belum memulai upaya untuk menyelaraskan kedua sistem
ditetapkan/dikukuhkan sebagai kawasan hutan. ini dengan memadu‑serasikan peta‑peta tahun 1997
(Brockhaus dkk. 2012). Proses ini menghadapi
Penataan batas merupakan bagian dari proses sejumlah tantangan dan karena itu mengalami
pengukuhan yang baru terselesaikan untuk sebagian keterlambatan. Pemerintah pusat melanjutkan
kecil saja dari wilayah kawasan hutan. Artinya, hak penggunaan TGHK sebagai rujukan untuk
yang terkait dengan kawasan yang belum diselesaikan mengalokasikan kegiatan berbasiskan lahan sedangkan
tersebut masih belum jelas (Contreras‑Hermosilla dan pemerintah daerah cenderung merujuk pada usulan
Fay 2005: 20). Di Provinsi Kalimantan Tengah dan RTRWP mereka; hal ini menyebabkan tumpang tindih
Riau, di mana proses pemaduserasian peta‑peta yang penggunaan lahan (Resosudarmo 2011a).
dipersengketakan belum selesai, Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK)31 masih digunakan untuk Kurang jelasnya pengelola hutan di tingkat tapak
mengidentifikasi kawasan hutan. Ini menimbulkan Pengurusan hutan, yang merupakan pengejawantahan
masalah besar dalam menentukan keabsahan suatu penguasaan hutan, sepenuhnya menjadi tanggung
kawasan sebagai kawasan hutan. jawab pemerintah (UU Kehutanan, Pasal 4). Dalam
praktiknya, Kementerian Kehutanan selaku pengelola
TGHK, yang diperkenalkan pada tahun 1982, harus bekerja dengan banyak pihak, termasuk
menggolongkan 141.774.427 ha dari luas wilayah pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat, untuk
Indonesia (sekitar 74% dari jumlah keseluruhan) mencapai SFM. Namun, satu hal penting yang lemah
sebagai kawasan hutan dengan menggunakan peta dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah belum
berskala 1:500.000 (Resosudarmo dkk. 2011), terwujudnya pengelola di tingkat tapak, kecuali pada
sebuah pendekatan yang menegaskan bahwa sejumlah kecil kawasan hutan konservasi (misalnya
TGHK berskala makro dan bersifat indikatif. pengelolaan taman nasional). Akibatnya, hutan
kerap menjadi wilayah tak bertuan, dan kasus‑kasus
perambahan dan pelanggaran lainnya sulit terdeteksi
30  Di Kalimantan Tengah, misalnya, Tim Terpadu mendapati sejak dini, hingga akhirnya menyebar dan meluas.
tidak kurang dari 5 juta ha konsesi di hutan negara tanpa izin
yang sesuai dari Kementerian Kehutanan (Laporan Pendahuluan
Tim Terpadu 2010). Proses perizinan yang tertutup dan sarat KKN
Proses penerbitan izin untuk pengelolaan hutan dan
31  TGHK diganti dengan RTRW dengan cara padu‑serasi
sesuai dengan ketentuan Undang‑Undang No. 24/1992 pembagian pendapatan dari hutan disinyalir sarat
tentang Perencanaan Tata Ruang yang telah diubah dengan dengan KKN, dan sering dijumpai izin‑izin yang
Undang‑Undang No. 26/2007 tentang Perencanaan Tata Ruang.
24   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

bertentangan dengan peraturan perundang‑undangan dan Khatarina 2010). Satgas Anti Mafia Peradilan
dan peruntukan hutan (Human Rights Watch telah mengenali berbagai modus operandi dalam
2009: 25–30). KKN tidak hanya terjadi dalam proses penegakan hukum, yang dimulai bahkan ketika
hal penerbitan izin, tetapi juga dalam pengawasan pelanggaran hukum baru saja ditemukan (melalui
kewenangan pemberian izin maupun praktik mafia setoran dan hubungan baik dengan ‘backing’ yaitu
peradilan dalam proses penegakan hukum bagi aparat penegak hukum) dan berlanjut pada setiap tahap
penyalahgunaan wewenang dalam proses perizinan itu proyustisia (penyelidikan hingga putusan pengadilan),
sendiri (Satgas Anti Mafia Peradilan 2010). dan bahkan sampai pada tahap pemasyarakatan (Satgas
Anti Mafia Peradilan 2010). Akar permasalahan
Hal yang memperparah KKN adalah tidak adanya penegakan hukum yang sarat KKN ini meliputi
ketentuan yang jelas dan tegas tentang hukuman lemahnya kepemimpinan sampai dengan rendahnya
administratif terhadap penyalahgunaan kewenangan gaji serta tunjangan aparat penegak hukum.33
dalam memberikan izin, sebagaimana dalam
Pasal 111 Undang‑Undang No. 32/2009 tentang Partisipasi masyarakat dalam pengambilan
Pengelolaan Lingkungan dan Pasal 73 Undang‑Undang keputusan di sektor kehutanan
No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Keterbukaan dan partisipasi sangat penting
untuk mewujudkan pengawasan oleh masyarakat
Tidak transparannya proses penerbitan izin yang efektif, namun hal ini belum dilaksanakan
memudahkan terjadinya KKN. Sebagai contoh, dengan semestinya. Ketentuan hukum yang
meskipun perusahaan diwajibkan melakukan analisis menjamin partisipasi masyarakat dalam peraturan
mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai syarat perundang‑undangan masih tidak konsisten.
bagi pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan, Sebagai contoh, Undang‑Undang Kehutanan hanya
dalam praktiknya, AMDAL sering dibuat tidak sesuai memberikan jaminan yang sangat umum bagi peran
ketentuan. Dalam beberapa hal misalnya, perusahaan serta masyarakat (Pasal 70). Sebaliknya, peraturan
hanya menyalin isi AMDAL dari daerah lain tanpa perundang‑undangan terkait penataan ruang, sudah
melibatkan masyarakat terkait dalam komisi AMDAL memberikan jaminan yang lebih kuat, yang terlihat
(lihat juga bagian selanjutnya tentang keikutsertaan dari pengaturan keikutsertaan masyarakat dalam proses
masyarakat dan Awiati dkk. 2006: 90– 93). Persoalan pengambilan kebijakan dan perencanaan (termasuk
serupa muncul di sektor lain yang terkait dengan tahap pengubahan peruntukan dan fungsi hutan)
kehutanan, misalnya perkebunan dan pertambangan. maupun dalam proses perizinan di kawasan hutan.
Pejabat sering menutup mata terhadap praktik ini
setelah menerima insentif keuangan tidak resmi. Partisipasi masyarakat dalam perancangan peraturan
perundang‑undangan dan pengambilan kebijakan
Lemahnya kemampuan pemerintah untuk diatur melalui Undang‑Undang No. 10/2004
mengawasi kegiatan konsesi tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan
Kurangnya kapasitas dan sumberdaya untuk memantau Perundang‑Undangan. Namun, keikutsertaan
seluruh hutan di Indonesia telah diketahui (Palmer masyarakat ini bersifat normatif dan sangat
2001, Smith dkk. 2003). Akibatnya, seperti yang terbatas34 dan tidak didukung oleh adanya peraturan
diamati oleh salah satu terwawancara, pemerintah operasional yang memadai. Ini merupakan
terpaksa mengandalkan laporan perusahaan yang belum hambatan bagi masyarakat untuk berperan serta dan
diverifikasi. Dalam kasus seperti ini, perusahaan dapat mempengaruhi keputusan dalam penyusunan peraturan
menebang pohon melebihi jumlah yang diizinkan perundang‑undangan. Namun demikian, terdapat
dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT).32 Kemampuan sejumlah contoh usulan kebijakan dari masyarakat
pemerintah untuk memantau wilayah perbatasan yang yang mempengaruhi pengambilan kebijakan. Misalnya,
rentan terhadap penyelundupan kayu ilegal juga lemah melalui hasil investigasi pembalakan liar, lobi yang
(Human Rights Watch 2009). dilakukan LSM Telapak dan EIA telah mendorong
keluarnya Instruksi Presiden No. 4/2005 tentang
Penegakan hukum yang lemah dan sarat KKN di
kalangan lembaga penegak hukum merupakan masalah
33  Wawancara Indonesian Center for Environmental Law
yang umum diketahui di sektor kehutanan (Santosa (ICEL) dengan pegiat LSM yang tidak disebutkan namanya dari
Kalimantan, Jakarta, 20 Mei 2010.
32  Wawancara Indonesian Center for Environmental Law 34  Pasal 53 mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan
(ICEL) dengan pegiat LSM yang tidak disebutkan namanya dari saran lisan atau tertulis tentang rancangan undang‑undang dan
Kalimantan, Jakarta, 20 Mei 2010. rancangan peraturan daerah.
Konteks REDD+ di Indonesia   25

Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di meliputi penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan,
Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 65(2)).
Republik Indonesia.35 Pelaksanaan keikutsertaan masyarakat juga diatur cukup
terinci dan memadai dalam Peraturan Pemerintah
Dalam proses perencanaan hutan, Pasal 19(2) No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang,
Peraturan Pemerintah No. 44/2004 menyatakan yang memungkinkan masyarakat memperoleh keadilan
bahwa tahap pelaksanaan penataan batas meliputi melalui mekanisme yang memberikan mereka hak
kegiatan inventarisasi dan penyelesaian hak‑hak pihak untuk menuntut penggantian atas kerugian akibat
ketiga di sepanjang trayek batas dan kawasan hutan. penyelenggaraan penataan ruang, dan menuntut
Oleh karena itu, secara formal telah ada forum bagi pembatalan izin dan penghentian pembangunan
masyarakat, termasuk masyarakat adat, untuk secara yang tidak mematuhi tata ruang. Kewajiban untuk
resmi memastikan pengakuan atas wilayah hutan melibatkan masyarakat dalam penyusunan RTRW
yang menjadi wilayah ulayatnya. Namun, ketentuan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15/2010 juga
ini tidak diikuti dengan ketentuan pelaksanaan bagi memungkinkan untuk menuntut perbuatan melawan
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan hutan. hukum dengan memakai Pasal 1365 KUHP (Kitab
Demikian pula tidak ada ketentuan mengenai sanksi Undang‑undang Hukum Perdata) sepanjang kerugian
yang dikenakan apabila proses perencanaan tersebut tersebut terbukti sebagai akibat suatu ketentuan yang
tidak melibatkan masyarakat. Kesulitan berikutnya tidak dilaksanakan.37 Peraturan perundang‑undangan
bagi masyarakat adat dalam menuntut hutan adat ialah ini belum banyak diterapkan dalam proses penyusunan
rumitnya persyaratan dan tata cara yang harus diikuti. RTRW. Proses RTRW berjalan lambat karena
Hingga sekarang, belum ada satu pun tuntutan hutan penggunaan lahan yang tumpang tindih di lapangan.
adat yang disetujui sehingga lembaga yang digunakan Pada awal Juni 2012, baru 13 provinsi yang sudah
adalah hutan desa yang sebenarnya mengacu pada menghasilkan peraturan tentang RTRW (Tabel 12), dan
wilayah adat tersebut.36 dalam praktiknya, masyarakat masih kesulitan untuk
dapat mengakses rancangan RTRW beserta dokumen
Pengaturan keikutsertaan masyarakat sudah lebih pendukungnya.
baik dalam proses perubahan peruntukan dan
fungsi kawasan hutan (dalam Peraturan Pemerintah Peran serta masyarakat dalam proses perizinan
No. 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan diatur secara umum pada Bab X Undang‑Undang
dan Fungsi Kawasan Hutan), karena kaitannya Kehutanan, tetapi tanpa didukung oleh peraturan
dengan pengaturan tata ruang pada Undang‑Undang pelaksanaannya. Salah satu dokumen yang diperlukan
No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Peraturan untuk memperoleh izin bagi badan usaha dan/
Pemerintah No. 10/2010 menyatakan bahwa atau kegiatan tertentu adalah analisis mengenai
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dampak lingkungan (AMDAL)38 yang terkait dengan
pada tingkat provinsi harus terintegrasi dengan kehutanan. AMDAL merupakan dokumen penting
proses Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) untuk menilai sejauh mana keikutsertaan/keterlibatan
(Pasal 30(2)). Berkenaan dengan penyusunan RTRW, masyarakat. Penyusunan AMDAL diatur berdasarkan
Undang‑Undang No. 26/2007 menyatakan bahwa Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 27/1999 tentang
keikutsertaan masyarakat dalam penataan ruang

35  Wawancara dengan Christian Purba, Direktur Pelaksana


Telapak, dan Rino Subagiyo, Direktur Pelaksana ICEL,
20 April 2010.
36  Berdasarkan Undang‑Undang Kehutanan, hutan adat
dapat ditetapkan apabila masyarakat adat masih ada dan
keberadaannya diakui. Keberadaannya diakui apabila (1) masih 37  Pasal 1365 BW menyatakan: ‘Bagi setiap perbuatan yang
berbentuk masyarakat; (2) memiliki lembaga adat yang diatur melanggar undang‑undang dan menimbulkan kerugian pada
menurut adat; (3) memiliki wilayah yang jelas di tempat hukum orang lain, pelaku diwajibkan untuk memberi ganti rugi.’
adat itu berlaku; (4) memiliki aturan dan peraturan yang masih 38  Pasal 6, Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Sistem
ditaati dan pengadilan adat; dan (5) masih mengumpulkan Hutan dan Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan
hasil hutan dari hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan menjelaskan bahwa pemanfaatan hutan dan kegiatan terkait
sehari‑hari. Hutan adat yang telah dikelompokkan sebagai yang dapat mengubah bentang alam dan mempengaruhi
hutan desa adalah Hutan Desa Lubuk Beringin in Kabupaten lingkungan mengharuskan AMDAL. Perkebunan merupakan
Bungo, Jambi, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri contoh kegiatan yang mengharuskan AMDAL untuk
Kehutanan No. SK.109/Menhut‑II/2009. mendapatkan izin.
26   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tabel 12.  Status RTRW di Indonesia, Juni 2012

Status RTRW Provinsi Kabupaten Kota


Sedang direvisi 0 20 5
Sedang menunggu rekomendasi gubernur 0 2 3
Sedang dibahas di BKPRN 0 14 11
Sedang menyelesaikan persoalan kehutanan dan perbaikan di daerah 20 248 39
Perda RTRW 13 114 35
Jumlah 33 398 93
Kemajuan persetujuan atas substansi 100% 91% 79.6%
Kemajuan peraturan daerah RTRW 39.4% 28.6% 37.6%
Sumber: Direktorat Jenderal Perencanaan Tata Ruang (2012)

AMDAL, yang dalam hal ini, keikutsertaan masyarakat praktiknya masyarakat tersebut hampir tidak pernah
merupakan syarat utama yang penting.39 berperan serta, kecuali jika ada inisiatif ad‑hoc baik
secara proyek atau prakarsa dari LSM. Kehutanan
Namun demikian, proses AMDAL jarang multipihak merupakan contoh proyek yang berupaya
mencerminkan kenyataan, terutama yang berkaitan melibatkan masyarakat setempat dalam proses
dengan keterlibatan masyarakat. Salah satu masalahnya pengambilan keputusan (Yuliani 2006).
adalah bahwa proses pengambilan keputusan di
dalam Komisi AMDAL bersifat tertutup, sehingga Mengingat proses penerbitan izin melibatkan
menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk ikut kepentingan ekonomi, yang sering mengabaikan
serta dalam proses tersebut.40 Masalah lainnya adalah kepentingan sosial, seperti halnya keterlibatan
bahwa anggota masyarakat yang terpilih untuk masuk masyarakat, tata cara AMDAL yang benar sering
ke dalam Komisi AMDAL kemungkinan tidak diabaikan baik oleh perusahaan pemohon maupun
mencerminkan atau mewakili masyarakat yang dapat pejabat. Pada akhirnya, AMDAL tidak lebih dari
terkena dampak dari kegiatan yang bersangkutan.41 sekadar dokumen untuk memenuhi persyaratan resmi.
Mengingat penyusunan RTRW dan proses perizinan Kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Hukum
dilakukan jauh dari masyarakat yang bersangkutan, Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) mengenai
terutama masyarakat adat atau yang bergantung pada implementasi Keputusan Kepala Badan Pengendalian
hutan yang potensial terkena dampak langsung, dalam Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) No. 08/2000
tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL
menemukan bahwa persyaratan tentang keikutsertaan
39  Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 27/1999 menyatakan: masyarakat cenderung dipenuhi hanya oleh pemohon
‘(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana disebutkan
pada Pasal 3, ayat (2), harus diketahui oleh masyarakat sebelum izin yang bermodal besar (Awiati dkk. 2006: 93).
AMDAL dilakukan. (2) Pengumuman seperti disebutkan Persyaratan yang dibebankan oleh Keputusan Kepala
pada ayat 1 dilakukan oleh instansi penanggung jawab dan Bapedal No. 08/2000 membuat tata cara AMDAL
pemrakarsa. (3) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja menjadi mahal, dan keputusan tersebut hanya sedikit
sejak usaha dan/kegiatan yang direncanakan itu diumumkan
sebagaimana disebutkan pada ayat (1), masyarakat yang sekali meningkatkan keterlibatan masyarakat. Lebih
bersangkutan berhak menyampaikan saran, pendapat, dan lanjut lagi, kurangnya pengetahuan masyarakat dan
tanggapan atas usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan itu. ketidakpekaan pemrakarsa menyebabkan proses
(4) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana disebutkan konsultasi menjadi tidak berarti, dan pada kenyataaanya
pada ayat 3 disampaikan secara tertulis kepada instansi terkait.
(5) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana disebutkan masyarakat sering tidak dilibatkan pada penetapan
pada ayat 3 harus dipertimbangkan dan ditinjau dalam keputusan akhir.
AMDAL. (6) Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana
disebutkan pada ayat (1), dan tata cara penyampaian saran, Pemerintah baru‑baru ini mengeluarkan
pendapat, dan tanggapan sebagaimana disebutkan pada ayat 3
ditetapkan oleh pimpinan instansi yang bertugas menangani
Undang‑Undang No. 14/2008 tentang Keterbukaan
dampak lingkungan.’ Informasi Publik (UU KIP), yang jika dilaksanakan
40  Yang dikhawatirkan ialah bahwa keterlibatan masyarakat dengan baik, dapat memudahkan keikutsertaan
hanya akan menjadi sarana pengabsahan rekomendasi AMDAL. masyarakat secara tepat dalam proses penetapan
41  Anggota masyarakat yang menjadi anggota komisi AMDAL kebijakan. Undang‑undang ini memuat asas dan
sering kepala desa atau orang yang dipilih oleh perusahaan. mekanisme bagi masyarakat untuk memperoleh
Konteks REDD+ di Indonesia   27

informasi yang dikelola oleh negara. Namun demikian, tinggal di dalam kawasan hutan REDD+ tidak dapat
sejumlah lembaga negara menyatakan ketidaksiapan diharapkan. Bahkan lebih buruk lagi, REDD+ bisa
untuk melaksanakan undang‑undang tersebut jadi berpengaruh negatif karena mempersulit akses
dengan baik. Kendalanya mencakup ketiadaan sistem masyarakat yang bergantung pada dan tinggal di
informasi dan dokumentasi yang baik, dan rendahnya hutan untuk mengambil sumberdaya hutan, tanpa
pemahaman SDM di lembaga negara tentang hak persetujuan yang sesungguhnya dari mereka. Semua
hukum masyarakat untuk memperoleh informasi manfaat ekonomi dari kredit REDD+ yang diterima
sebagaimana diatur dalam UU KIP. masyarakat tidak hanya akan terkait langsung dengan
bagi‑hasil dalam skema REDD+ itu sendiri, tetapi juga
2.1.3  Implikasi terhadap REDD+ akan terkait erat dengan tata kelola. Apabila KKN terus
Pengelolaan hutan di Indonesia memiliki banyak melemahkan proses perizinan dan penegakan hukum,
kelemahan mendasar dalam berbagai bidang, termasuk maka akan sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan
dalam hal peraturan perizinan, kelembagaan dan hak mereka dalam kaitannya dengan skema bagi‑hasil.
kapasitas, serta penegakan hukum. Namun, agar
REDD+ dapat berhasil—yaitu, agar deforestasi dan 2.2  Desentralisasi dan bagi‑hasil
degradasi hutan dapat dikurangi dan dipertahankan Sejalan dengan paradigma desentralisasi dan
pada tingkat yang disepakati, pengelolaan hutan secara pelimpahan kewenangan (devolusi) di seluruh dunia,
efektif menjadi sangat penting. Dalam hal ini, tidak tahun 1998 Pemerintah Indonesia mulai melaksanakan
ada jaminan bahwa REDD+ akan dapat membawa desentralisasi kehutanan secara menyeluruh. Ini
perubahan mendasar. Lebih lanjut lagi, tanpa adanya ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
rencana dasar untuk tata kelola hutan, tampaknya No. 62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan
mustahil akan terjadi perubahan penting dalam tata Pemerintahan di Bidang Kehutanan kepada Daerah,
kelola hutan hanya karena pelaksanaan REDD+. yang mendelegasikan kewenangan kepada kabupaten
untuk melakukan kegiatan rehabilitasi dan reforestasi,
Satu perubahan mendasar yang diperlukan adalah konservasi tanah dan air, pengelolaan hutan lindung,
agar peraturan perundang‑undangan sepenuhnya penyuluhan, kegiatan hutan kemasyarakatan skala kecil.
mengintegrasikan asas tata kelola yang baik dalam Meskipun peraturan ini menunjukkan niat pemerintah
proses penerbitan izin. Beberapa kemungkinannya pusat untuk melaksanakan desentralisasi di sektor
termasuk menetapkan ketentuan yang ketat dalam kehutanan, lahirnya peraturan ini malahan membebani
proses perizinan mengatur tanggung jawab, dan kepala daerah dengan kewajiban yang lebih besar dan
menetapkan serta memberlakukan sanksi bagi pejabat peningkatan pengeluaran (Awiati dkk. 2006: 75–79).
yang melakukan kesalahan yang disengaja dalam
menerbitkan izin. Ketentuan perundang‑undangan Dorongan untuk desentralisasi berawal dari jatuhnya
seharusnya dilengkapi dengan mekanisme untuk rezim Orde Baru, ketika daerah‑daerah mulai
merampingkan dan mengintegrasikan proses pemberian menyuarakan tuntutan untuk memperoleh bagian
izin tersebut. Kewenangan dan tanggung jawab dari pendapatan sumberdaya alam yang lebih besar.
instansi pusat dan daerah semestinya dibuat jelas, Pada bulan Januari 1999, pemerintah menerbitkan
semua proses semestinya bertujuan untuk mencapai Peraturan No. 6/1999 tentang Pengusahaan Hutan dan
kehutanan yang berkelanjutan dan sanksi semestinya Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, yang
dikenakan atas semua jenis pelanggaran. Selain itu, memberikan wewenang kepada bupati dan gubernur
diperlukan cara kerja pengawasan yang jelas, terbuka, untuk menerbitkan izin pengambilan kayu untuk
dan ketat. Reformasi birokrasi menyeluruh, termasuk kawasan seluas masing‑masing sampai dengan 100 ha
upaya sistematis untuk memberantas korupsi di dalam dan 10.000 ha.42
lembaga penegak hukum, juga sangat penting. Jika
prasyarat ini tidak dipenuhi, maka proses pemberian Pada bulan Mei, kebijakan ini diperkuat dengan
izin dan penegakan hukum yang obyektif akan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
sulit dicapai. No. 310/Kpts‑II/1999 tentang Pedoman Pemberian
Hak Pemungutan Hasil Hutan, Keputusan Menteri
Kegagalan melakukan perubahan mendasar tersebut Kehutanan dan Perkebunan No. 317/Kpts‑II/1999
akan menyulitkan upaya‑upaya pengurangan laju tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat
deforestasi dan degradasi hutan secara bermakna.
Sebagai akibatnya, manfaat tambahan dari 42  Kewenangan gubernur untuk memberikan izin sampai
REDD+seperti perlindungan keanekaragaman hayati seluas 10.000 ha tidak ditindaklanjuti dengan keputusan
dan pendapatan tambahan bagi masyarakat yang menteri sebagaimana diatur dalam peraturan ini.
28   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi, dan Masyarakat tidak memiliki kemampuan teknologi
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan ataupun modal untuk melakukan pembalakan di
No. 318/Kpts‑II/1999 tentang Peran Serta Masyarakat areal yang secara efektif cukup luas, dan mereka juga
dalam Pengusahaan Hutan. Kebijakan desentralisasi tidak dapat menggunakan peralatan berat seperti
dan otonomi daerah ini bertujuan untuk memberikan para pemegang HPH. Akibatnya, perusahaan kayu
kesempatan kepada masyarakat setempat untuk atau pemodal besar saja yang diuntungkan dari
mengelola sumberdaya hutan mereka melalui koperasi kebijakan ini, yang dilakukan dengan berbagai cara,
dan usaha masyarakat lainnya agar memperoleh termasuk menampung hasil kayu dari masyarakat
keuntungan ekonomi, yang telah terabaikan selama dan memperoleh izin pemanfaatan kayu atas nama
zaman Orde Baru (lihat Bab 3). masyarakat. Masyarakat hanya mengenyam sedikit
keuntungan dari kegiatan pembalakan tersebut;
Pada tahun yang sama, diterbitkan Undang‑Undang penerimaan yang sebenarnya mereka terima hanya
No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan fee yang dibayar oleh perusahaan yang melakukan
Undang‑Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan pembalakan tersebut—dalam jumlah yang jauh lebih
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan kecil daripada keuntungan yang diperoleh perusahaan
Pemerintah Daerah, yang lebih dikenal sebagai atau pemodal (Resosudarmo 2004, 2007; Barr dkk.
undang‑undang otonomi daerah. Kecuali dalam 2006). Akibatnya, tujuan kebijakan agar masyarakat
beberapa bidang strategis, Undang‑Undang No. 22 memiliki kesempatan untuk menikmati pendapatan
melimpahkan kewenangan kepada bupati dan walikota dari hutan belum terwujud sepenuhnya.
(lihat Resosudarmo 2004, 2007; Barr dkk. 2006,
Resosudarmo dkk. 2006, Moeliono dkk. 2009), dan Dalam upaya untuk mengakhiri pelaksanaan
Undang‑Undang No. 25 mengatur bagi‑hasil atas undang‑undang secara keliru oleh bupati dan pengaruh
sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan daerah. negatif yang ditimbulkannya, pada bulan April tahun
Segera setelah kebijakan ini diterbitkan, bupati di berikutnya, pemerintah menerbitkan Keputusan
beberapa daerah mulai memberikan izin pengambilan Menteri Kehutanan No. 084/Kpts‑II/2000 tentang
hasil hutan kayu dalam berbagai bentuk.43 Penangguhan Pemberlakuan Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 310/Kpts‑II/1999
Meskipun izin tersebut ditujukan untuk kegiatan skala tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil
kecil, pembalakan dengan peralatan berat berlangsung Hutan. Namun, bupati mengabaikan keputusan ini
di kawasan yang luasnya jauh melebihi 100 ha. dan tetap memberikan izin ‘skala kecil’. Pada bulan
Selain itu, beberapa orang atau kelompok diberikan November tahun itu juga, sebelum undang‑undang
beberapa izin sekaligus, yang secara efektif meliputi hak otonomi daerah diberlakukan, Kementerian Kehutanan
pengusahaan seluas ribuan hektar. Perlu diperhatikan menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan
adalah bahwa izin yang diterbitkan oleh bupati tidak No. 05.1/ Kpts‑II/2000 tentang Kriteria dan Standar
memperhatikan sama sekali prinsip‑prinsip ekologi atau Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan
pembalakan secara berkelanjutan. Ini berbeda dengan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan
hak pengusahaan hutan skala komersial yang diberikan Produksi Alam. Peraturan ini memberi wewenang yang
oleh pemerintah pusat, yang mewajibkan pemegang lebih besar kepada bupati untuk menerbitkan izin
HPH untuk mengikuti sistem Tebang Pilih dan Tanam pemanfaatan hutan, yang memungkinkan pemberian
Indonesia (TPTI).44 Meskipun banyak HPH yang tidak izin pembalakan sampai seluas 50.000 ha. Kewenangan
sepenuhnya mematuhi TPTI ini, setidaknya pedoman tambahan ini memberi peluang kepada bupati untuk
ini sudah ada. Sebagai akibatnya terjadi pembalakan memberikan lebih banyak lagi izin pembalakan
secara sembarangan di banyak kawasan berhutan dan untuk kawasan hutan yang lebih luas. Sebagai
dan menyebabkan kerusakan hutan yang parah akibatnya, sampai dengan tahun 2002, ribuan izin
(Resosudarmo 2004, 2007; Barr dkk. 2006). ‘skala kecil’ diterbitkan di Kalimantan dan pembalakan
di kawasan ini terus meningkat tanpa bisa dikendalikan.
Beberapa izin bahkan diberikan pada areal hutan yang
43  Ini meliputi izin hak pemungutan hasil hutan (HPHH),
izin pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK) atau izin telah ditetapkan sebagai konsesi HPH oleh Menteri
pinjam‑pakai hutan (IPPK), bergantung pada daerah dan jenis Kehutanan (Resosudarmo 2007).
hutan. Meskipun memiliki nama lain, izin ini pada dasarnya
sama, sering melebihi 100 ha, dengan menggunakan peralatan Pada bulan Februari 2002, pemerintah pusat berusaha
berat dan sama sekali tanpa mengindahkan asas ekologi dan
sistem pembalakan berkelanjutan. menghentikan penerbitan izin oleh bupati melalui
44  Meskipun banyak perusahaan tidak menerapkan TPTI
Keputusan Menteri Kehutanan No. 541/ Kpts‑II/2002,
dengan baik, setidaknya sudah ada pedoman yang mengikat yang mencabut Keputusan Menteri Kehutanan
secara hukum dan memberikan sanksi. No. 05.1/Kpts‑II/2000 tentang Kriteria dan Standar
Konteks REDD+ di Indonesia   29

Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan pada masyarakat, melainkan karena kepentingan
Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan untuk memperoleh pendapatan asli daerah (PAD)
Produksi Alam. Sekali lagi, bupati tidak mengindahkan (Resosudarmo 2007).
keputusan baru ini dan tetap menerbitkan izin.
Banyak bupati menentang dengan alasan bahwa Bagi‑hasil
menurut TAP MPR (Majelis Permusyawaratan Sesuai Undang‑Undang No. 25/1999 tentang
Rakyat) No. III/ MPR/2000, keputusan menteri Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
tidak lagi merupakan bagian dari hirarki hukum di dan Pemerintah Daerah dan penggantinya, yaitu
Indonesia (Awiati dkk. 2006). Pada bulan Juni 2002, Undang‑Undang No. 33/2004, pembiayaan kegiatan
Peraturan Pemerintah No. 34/2002 tentang Tata rutin dan pembangunan daerah berasal dari empat
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan sumber: dana perimbangan, PAD, pinjaman, dan
serta Pemanfaatan Hutan diterbitkan. Peraturan ini sumber‑sumber lainnya. Dana perimbangan46 yang
secara tegas menyatakan bahwa izin pengambilan kayu merupakan komponen dana pembiayaan daerah, terdiri
untuk tujuan komersial hanya dapat diberikan oleh dari dana alokasi umum,47 dana alokasi khusus48, dan
Menteri Kehutanan. Karena peraturan pemerintah ini dana bagi hasil.49 Dana bagi‑hasil dan PAD dapat
posisinya lebih tinggi daripada peraturan daerah dalam digunakan untuk berbagai tujuan, terutama kegiatan
hirarki peraturan perundang‑undangan Indonesia, pembangunan. Bagian ini menyajikan telaah singkat
maka peraturan ini posisinya kuat secara hukum tentang dana bagi‑hasil (DBH), terutama Dana Bagi
untuk mengurangi kewenangan bupati. Namun Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA).
dalam kenyataannya, sebagian bupati bertahan dalam
menerbitkan izin skala kecil sampai dengan tahun Sejak undang‑undang perimbangan keuangan
2004 (Resosudarmo 2007). Di Papua, izin skala kecil diberlakukan, pembagian DBH antara pusat dan daerah
(disebut Kopermas) masih diterbitkan sampai dengan sudah jauh lebih transparan dibandingkan selama
tahun 2005. zaman Orde Baru. Selain itu, daerah memperoleh
bagian yang lebih besar daripada sebelumnya. DBH
Dengan munculnya berbagai masalah tersebut, bersumber dari pajak dan royalti sumberdaya alam dari
termasuk hubungan yang kurang harmonis antara sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pusat dan daerah, Undang‑Undang No. 22/1999 pengeboran minyak, pengeboran gas alam, dan panas
pun direvisi menjadi Undang‑Undang No. 32/2004 bumi.50 Dana perimbangan dari sumberdaya hutan
tentang Pemerintahan Daerah. Undang‑undang ini berasal dari pendapatan yang diperoleh dari Iuran
menegaskan hubungan berjenjang antara pusat dengan Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber
daerah. Meskipun provinsi dan kabupaten tetap Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR).
merupakan daerah otonom, provinsi juga melakukan IHPH merupakan iuran berdasarkan luas konsesi
fungsi dekonsentrasi. yang hanya satu kali dibayarkan, yaitu ketika kontrak
HPH diterbitkan pertama kali. PSDH merupakan
Idealnya, tujuan utama desentralisasi adalah untuk royalti yang dibayarkan berdasarkan volume kayu yang
meningkatkan keikutsertaan politik daerah dan diambil. DR juga merupakan iuran yang dibayarkan
memungkinkan keputusan ditetapkan di daerah oleh berdasarkan volume kayu yang diambil. DR semula
yang lebih memahami dengan baik keadaan dan
kebutuhan daerah. Namun, tidak dapat disangkal
bahwa tekanan untuk menjalankan desentralisasi 46  Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari
didasarkan pada keinginan daerah untuk juga APBN yang diperuntukkan daerah untuk membiayai kebutuhan
desentralisasi daerah. Lihat Pasal 1(19) Undang‑Undang
memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan No. 332004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
sumberdaya.45 Alasan yang sering diberikan oleh Pusat dan Pemerintah Daerah.
pemerintah kabupaten dalam menerbitkan banyak 47  Dana alokasi umum diambil dari APBN dengan
izin pengambilan kayu, bukanlah karena keberpihakan tujuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah
dalam membiayai kebutuhan desentralisasi (Pasal 1(21),
Undang‑Undang No. 33/2004).
45  Selama tahap awal desentralisasi, banyak pemerintah 48  Dana alokasi khusus diambilkan dari APBN untuk daerah
daerah meraup keuntungan dari izin pemanfaatan kayu yang tertentu dengan tujuan untuk membantu daerah tersebut guna
diterbitkan. Salah satunya adalah Kabupaten Barito Selatan, membiayai kegiatan khususnya sesuai dengan prioritas nasional
Kalimantan Selatan, di mana pendapatan asli daerah (PAD) (Pasal 1(23), Undang‑Undang No. 33/2004).
meningkat sebesar 228% pada tahun 2000. Di Kabupaten Kutai
Barat, Kalimantan Timur, pemerintah daerah menerbitkan 49  Dana bagi‑hasil diambilkan dari APBN untuk daerah
223 izin pemanfaatan kayu yang mencakup 22.300 ha hutan, berdasarkan angka persentase untuk membiayai kebutuhan
dengan penerimaan sebesar US$37.300. Lihat Rumboko dan desentralisasi daerah.
Hakim (2003). 50  Undang‑Undang No. 33/2004, Pasal 11(1) dan (3).
30   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

dimaksudkan sebagai jaminan untuk membantu No. 33/2004, bagian penerimaan dari setiap jenis
kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan, yang sumberdaya alam menjadi jelas. Namun, terdapat
kemudian ditata‑ulang sebagai pungutan hutan yang masalah, khususnya karena proses penghitungan yang
tidak dapat dikembalikan. DR sejauh ini biasanya tidak sepenuhnya terbuka. Dalam hal penerimaan
merupakan pungutan yang terbesar. Kabupaten dapat dari sumberdaya hutan, masalah yang sering muncul
menggunakan bagiannya dari penerimaan IHPH dan terkait dengan perhitungan pendapatan daerah
PSDH untuk pembangunan daerah masing‑masing (Resosudarmo 2007). Pemerintah kabupaten/
sedangkan setiap penerimaan DR harus digunakan kota harus memeriksa penerimaan masing‑masing
hanya untuk rehabilitasi hutan dan lahan. Bagian dari kegiatan kehutanan berdasarkan data dari
dari DR untuk pemerintah pusat (60%) digunakan kementerian untuk memastikan penerimaan bagian
untuk membiayai program rehabilitasi hutan dan yang seimbang dengan sumbangan dari kegiatan
lahan nasional, dan daerah menggunakan bagiannya kehutanan di daerahnya. Hasil proses penghitungan
(40%) untuk rehabilitasi hutan dan lahan di daerah yang berkepanjangan menyebabkan keterlambatan
kewenangan masing‑masing. Tabel 13 menyajikan pembagian/pengiriman DBH ke dalam kas daerah
bagi‑hasil dari sumberdaya alam untuk pemerintah dan dananya sering cenderung menumpuk pada akhir
pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota. tahun. Keterlambatan ini menghambat perencanaan
dan pemanfaatan dana secara optimal di daerah
Selama Orde Baru, seperti disebutkan sebelumnya, (Resosudarmo 2007). Hal ini selanjutnya menimbulkan
alokasi penerimaan dari sumberdaya alam yang ketidakpuasan di kalangan pemerintah daerah dan
diperuntukkan bagi daerah lebih sedikit dibandingkan membuka pintu bagi pemerintah daerah untuk
pada era otonomi daerah, dan perhitungan berkolusi dengan oknum tertentu di kementerian
serta pembagiannya pun tidak terbuka. Sejak yang dikenal sebagai ‘perantara’ sehingga mereka dapat
Undang‑Undang No. 25/1999 diterbitkan, dan memperoleh informasi terbaru mengenai pendapatan
kemudian penggantinya, yaitu Undang‑Undang mereka (Resosudarmo 2007); pemerintah daerah

Tabel 13.  Dana bagi‑hasil sumberdaya alam

Sektor Sumber Persentase bagi‑hasil (%)


penerimaan Pemerintah Pemerintah Kabupaten/kota Kabupaten/kota lain
pusat provinsi penghasil di provinsi yang sama
Kehutanan IHPH 20 16 64 –
PSDH 20 16 32 32
DR 60 – 40 –
Pertambangan Iuran tetap 20 16 64 –
umum (sewa lahan)
Iuran eksplorasi dan 20 16 32 32
eksploitasi (royalti)
Perikanan Pungutan usaha 20 – 80
perikanan
Pungutan hasil 20 – 80
perikanan
Minyak bumi 84.5 3.1 6.2 6.2
(0.1 untuk APD) (0.2 untuk APD) (0.2 untuk APD)

Gas bumi 69.5 6.1 12.2 12.2


(0.1 untuk APD) (0.2 untuk APD) (0.2 untuk APD)
Panas bumi Setoran bagian 20 16 32 32
pemerintah
Iuran tetap dan 20 16 32 32
produksi
Catatan: APD = anggaran pendidikan dasar
Sumber: Resosudarmo dkk. (2006, 2007); UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
Konteks REDD+ di Indonesia   31

cenderung percaya bahwa hubungan tidak resmi Pengaruh desentralisasi dan sektor ekonomi
dengan perantara dapat mempengaruhi perhitungan lainnya terhadap kehutanan
penerimaan daerah (Resosudarmo 2007). Desentralisasi di sektor kehutanan tidak dapat
dipisahkan dari desentralisasi sektor terkait lainnya,
Hal‑hal yang mendorong penyimpangan penggunaan dengan penyerahan kewenangan kepada pemerintah
dana yang berasal dari kehutanan antara lain daerah atas sektor perkebunan dan pertambangan.
kurang efektifnya mekanisme akuntabilitas (kepada Undang‑Undang No. 18/2004 tentang Perkebunan dan
masyarakat) formal maupun tidak formal dan Undang‑Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan
ketiadaan keterkaitan antara kinerja dan aliran dana Mineral dan Batu Bara memberi kewenangan kepada
berupa penerimaan sumberdaya hutan dari pusat kepala daerah untuk menerbitkan izin perkebunan
ke daerah. Sebagai contoh, setelah otonomi daerah, dan pertambangan. Kepala daerah hanya boleh
kabupaten yang memiliki kawasan hutan yang luas memberikan izin tersebut untuk kawasan di luar
dan kegiatan kehutanan yang aktif dapat memperoleh areal kawasan hutan. Untuk areal di dalam kawasan
miliaran rupiah setiap tahun melalui DR, meskipun hutan, Kementerian Kehutanan harus terlebih
merehabilitasi sangat sedikit hutan atau lahan. Hampir dahulu melepaskan kawasan hutan tersebut untuk
semua kabupaten di Kalimantan Timur, misalnya, penggunaan lain atau memberikan izin pinjam‑pakai.
telah gagal dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan Namun, dalam kenyataannya, banyak izin yang telah
(Resosudarmo 2007). Keadaan yang sama ditemui diberikan untuk kegiatan di dalam kawasan hutan
di banyak kabupaten di seluruh Indonesia (Barr dkk. tanpa sepengetahuan Kementerian Kehutanan. Hal
2009). Selama Orde Baru, DR bahkan digunakan ini terjadi karena berbagai sebab, antara lain ketiadaan
untuk membiayai kegiatan‑kegiatan bukan kehutanan data dan peta yang akurat di pihak pemerintah daerah,
dan dengan demikian gagal untuk mendukung penggunaan peta dan data yang berbeda di setiap
pengembangan HTI (Resosudarmo dkk. 2006; instansi, rencana tata ruang wilayah yang belum
Barr dkk. 2009). disetujui oleh pemerintah pusat, tata batas kawasan
hutan yang tidak jelas, dan aturan pemerintah pusat
Idealnya, desentralisasi menyelaraskan penyusunan yang tidak diacuhkan oleh pemerintah daerah.
kebijakan dengan kebutuhan masyarakat setempat,
dan pembagian keuangan antara pemerintah pusat Seperti dijelaskan sebelumnya, alasan ekonomi yang
dan daerah semestinya membantu pemerintah mendasari desentralisasi telah menyebabkan tingginya
daerah dalam merencanakan sasaran penerimaan laju kerusakan hutan. Akibat ketidakpastian status
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kawasan hutan di satu sisi dan kebutuhan untuk
dan penggunaannya untuk pembangunan di daerah mempercepat pembangunan di sisi lain, pemerintah
masing‑masing. Namun, pelanggaran kehutanan telah daerah kadang‑kadang memilih menerbitkan izin untuk
meluas karena kurangnya kemampuan di kalangan pembangunan nonkehutanan di kawasan hutan yang
aparatur pemerintah untuk mengelola kerumitan bertentangan dengan peraturan perundang‑undangan.
otonomi daerah, proses akuntabilitas yang kurang Meningkatnya PAD umumnya dijadikan dasar bagi
efektif, termasuk lemahnya pengawasan dan penegakan pemerintah daerah dalam menilai keberhasilannya
hukum atas pelanggaran tata kelola, dan kurangnya dan merupakan bumerang bagi pelestarian alam.
pengelola hutan di tingkat tapak. Sebagai akibatnya, pemerintah daerah menggunakan
kewenangan mereka untuk memberikan izin bagi
Selain itu, penyimpangan PSDH dan DR telah kegiatan yang dapat meningkatkan laju degradasi hutan
merugikan negara. Penyalahgunaan dana PSDH dan dan deforestasi (misalnya, pengembangan perkebunan
DR telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan pertambangan), tanpa memperhatikan konsekuensi
dari tarik‑ulur antara pemerintah pusat dan daerah lingkungan dan sosialnya.
mengenai kewenangan pengelolaan sektor kehutanan.
Ini terlihat pada contoh di Kalimantan Barat, misalnya, Aturan yang ada terkait perizinan cenderung rumit
yang menyetorkan dana PSDH dan DR ke rekening dan kurang lengkap, sehingga meninggalkan celah
bank pemerintah kabupaten, bukan ke kas negara yang dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak
seperti seharusnya.51 bertanggungjawab untuk mengeksploitasi. Sebagai
contoh, izin diberikan sebelum perubahan peruntukan
kawasan hutan diterbitkan atau diberikan untuk
kawasan yang bukan merupakan hutan produksi
51  Tinjauan kasus PSDH/DR di Kalimantan Barat oleh
Komisi Anti Korupsi Rakyat Borneo (KONTAK) pada bulan
yang dapat dikonversi. Peluang untuk penyimpangan
Agustus 2005. http://www.kontakrakyatborneo.blogspot.com/ diperburuk dengan tidak terintegrasinya perizinan
[30 April 2012]. usaha sektoral (perkebunan, pertambangan atau
32   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

kegiatan pembangunan nonkehutanan lainnya) dengan sebelumnya No. P.64/Menhut‑II/2006. Menurut


perizinan penggunaan kawasan hutan. Akibatnya, Kementerian Kehutanan, sebagaimana dilaporkan di
perusahaan yang menjalankan kegiatan di kawasan media, mulai tahun 2005 hingga 2010, kementerian
hutan bisa jadi memiliki izin usaha sektoral yang sah, telah menerbitkan 199 izin pinjam‑pakai kawasan
tetapi tidak memiliki izin penggunaan kawasan hutan. hutan negara (IPPKH) untuk pertambangan batu bara,
emas, nikel, bijih besi, aspal, minyak dan gas, tenaga
Sektor pertambangan panas bumi, dan marmer, seluruhnya hampir seluas
Sektor pertambangan juga telah berperan penting 153.000 ha. Kementerian tersebut juga memberikan
dalam degradasi hutan di Indonesia. Dengan kebijakan persetujuan prinsip atas 390 izin eksploitasi seluas lebih
desentralisasi yang lebih terbuka, dan dengan kenaikan dari 327.000 ha dan menerbitkan 187 izin eksplorasi
harga komoditas pertambangan, kegiatan pertambangan batu bara, emas, nikel, bijih besi, aspal, minyak dan gas,
merebak. Dalam kurun waktu antara pemberlakukan dan tenaga panas bumi, seluas lebih dari 1.200.000 ha
Undang‑Undang No. 11/1967 tentang Ketentuan (Tempo Interaktif 2010). Data ini menunjukkan bahwa
Pokok Pertambangan dan otonomi daerah tahun 1999, sebagian besar hak pengusahaan pertambangan di
terdapat hanya sekitar 650 hak pengusahaan Kalimantan, maupun di pulau‑pulau lainnya, belum
pertambangan. Namun, setelah pemerintah daerah memperoleh izin pinjam‑pakai hutan negara.
berwenang memberikan izin (Pasal 37 Undang‑Undang
No. 4/2009), jumlahnya bertambah hingga sekarang Sektor perkebunan
mencapai angka lebih dari 8.000, belum termasuk Seperti dijelaskan dalam Bab 1, sektor perkebunan,
kegiatan penambangan liar (Widagdo 2010). Kegiatan khususnya kelapa sawit, merupakan salah satu sektor
pertambangan yang paling memprihatinkan adalah utama yang menyerobot lahan hutan. Industri ini
di Kalimantan, karena pertambangan dilakukan tidak terus berkembang, baik dalam jumlah luasan maupun
hanya di hutan produksi, tetapi juga di lahan pertanian produksi (Tabel 14).
dan bahkan di hutan konservasi, yang seharusnya tidak
boleh rusak sama sekali. Sejak Undang‑Undang No. 18/2004 tentang
Perkebunan diberlakukan, sejumlah kepala daerah telah
Sebagai gambaran, kegiatan pertambangan di menerbitkan izin untuk perkebunan kelapa sawit tanpa
Kalimantan Timur sedang berlangsung di kawasan merujuk pada TGHK (karena belum ada propinsi yang
Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman, berhutan yang rencana tata ruangnya telah ditetapkan)
yang berada di dalam Hutan Negara Bukit Soeharto. dan tanpa mempertimbangkan aspek ekologisnya.
Terdapat 19 perusahaan pertambangan dengan izin dari Perubahan kawasan hutan untuk perkebunan, termasuk
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, yang 12 izin kelapa sawit, bahkan terjadi di kawasan yang seharusnya
di antaranya meliputi total areal seluas 1.156 ha yang tidak dikonversi, seperti kawasan lindung dan
tumpang tindih dengan hutan Universitas Mulawarman taman nasional (Sawit Watch 2009). Hutan ini telah
(Kompas 2010c). Di Kalimantan Selatan, kegiatan ditetapkan untuk dilindungi atau dilestarikan karena
penambangan telah menyerobot Hutan Lindung merupakan kawasan tangkapan air, yang memiliki
Pegunungan Meratus (Kompas 2010d); dari 299 usaha
pertambangan di Hutan Lindung Meratus, hanya satu
Tabel 14.  Luas dan produksi perkebunan kelapa sawit,
yang memiliki izin pinjam‑pakai kawasan hutan dari
2000–2009
Kementerian Kehutanan. Menurut Kompas (2010d),
dari tahun 2003 sampai dengan 2009, terdapat Tahun Luas (ha) Produksi (ton)
2.047 izin pertambangan di Kalimantan. Sumber yang 2000 4.158.079 7.000.507
sama memperlihatkan bahwa izin pertambangan batu
2001 4.713.435 8.396.472
bara di Kalimantan Timur mencakup luas 3,1 juta ha.
Luas areal izin pertambangan di Kutai Kartanegara 2002 5.067.058 9.622.344
adalah 1,2 juta ha, atau lebih dari separuh luas 2003 5.283.557 10.440.834
kabupaten yang 2 juta ha. 2004 5.284.723 10.830.389
2005 5.453.817 11.861.615
Kementerian Kehutanan berwenang menetapkan
kawasan hutan mana yang dapat digunakan untuk 2006 6.594.914 17.350.848
kegiatan bukan kehutanan, seperti pertambangan, 2007 6.766.836 17.664.725
melalui izin pinjam‑pakai kawasan hutan untuk 2008 7.363.847 17.539.788
kegiatan pertambangan. Pengaturan izin pinjam‑pakai
2009 8.248.328 19.324.293
kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 24/2010 tentang Pemanfaatan Kawasan Hutan, 2010 8.430.026 19.760.011
yang mengganti Peraturan Menteri Kehutanan Sumber: Kementerian Pertanian (2010b)
Konteks REDD+ di Indonesia   33

tingkat keanekaragaman hayati tinggi atau berlereng hutan meniadakan hak tersebut. Indonesia memiliki
terjal (dan dengan demikian, penggunaannya akan berbagai ketentuan di tingkat nasional yang mengakui
membahayakan ekosistem di sekitarnya). hak masyarakat adat. Namun dalam hal komitmen
internasional, seperti halnya kebanyakan negara
Kenyataan bahwa wilayah‑wilayah seperti tersebut di lainnya, Pemerintah Indonesia membatasi pengakuan
atas seharusnya tidak dijadikan perkebunan kelapa hak masyarakat adat, khususnya mengenai penentuan
sawit tanpa izin perubahan peruntukan yang diperoleh nasib sendiri (self determination) sebagaimana tertuang
dari Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri dalam ratifikasi Indonesia atas Pasal 1 Kovenan
Kehutanan tentang Pelepasan Hutan Negara (Pasal 25 Internasional tentang Hak‑Hak Ekonomi, Sosial dan
Peraturan Pemerintah No. 10/2010) menunjukkan Budaya (International Covenant on Economic, Social
bahwa konversi tersebut dapat dianggap sebagai and Cultural Rights).53
penyerobotan hutan dan dapat dikenakan tuntutan
pidana berdasarkan Undang‑Undang Kehutanan Indonesia belum meratifikasi Konvensi
(Pasal 50). Organisasi Buruh Internasional (ILO) No. 169
(Konvensi Masyarakat Adat), yang merupakan konvensi
2.2.1  Implikasinya bagi REDD+ utama dalam perlindungan hak masyarakat adat.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, ada beberapa Namun, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi PBB
kekhawatiran mengenai desentralisasi, yaitu: tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), sebuah
terdapat ketidakselarasan antara kebijakan pusat dan dokumen tidak mengikat namun membuat pemerintah
daerah; prioritas kebijakan yang mengutamakan Indonesia harus menunjukkan komitmen moral dan
pembangunan daerah dengan mengandalkan politik untuk menghormati prinsip‑prinsip dalam
sumberdaya alam; tutupan hutan semakin terancam deklarasi tersebut.
oleh sektor pembangunan di luar kehutanan karena
bertambahnya kewenangan daerah; dan masalah terkait Pengakuan atas hak masyarakat adat dalam
dengan pembagian dan penggunaan penerimaan dari hukum positif Indonesia
sumberdaya hutan. Pengakuan atas hak masyarakat dalam kerangka
hukum nasional di Indonesia cukup kuat. Pasal 18B(2)
Pelaksanaan desentralisasi seperti yang digambarkan di amendemen kedua UUD 1945 menyatakan:
atas berimplikasi pada pelaksanaan REDD+. Otonomi Negara mengakui dan menghormati
daerah menempatkan pengelolaan harian atas hutan kesatuan‑kesatuan masyarakat hukum adat
di bawah REDD+ di tangan pemerintah kabupaten/ beserta hak‑hak tradisionalnya sepanjang
kota (tentunya, sulit untuk berharap bahwa kegiatan di masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
kawasan hutan diawasi pada tingkat nasional). Namun, masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam
jelas bahwa pemerintah daerah telah mendorong undang‑undang.
deforestasi dan degradasi hutan melalui sejumlah
kebijakannya.52 Oleh karena itu, pelaksanaan REDD+ Selanjutnya, Pasal 28I(3) UUD 1945 menyatakan:
yang semestinya akan memerlukan penyempurnaan Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
peraturan perundang‑undangan, pengawasan yang dihormati selaras dengan perkembangan zaman
lebih ketat oleh pemerintah pusat—khususnya dalam dan peradaban.
hal penegakan hukum—dan pelembagaan tata kelola
yang baik. 53  Lihat Lampiran Undang‑Undang No. 11/2005 tentang
Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi,
2.3  Hak ulayat dan hak atas karbon, Sosial, dan Budaya: ‘Dengan merujuk pada Pasal 1 Perjanjian
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
lahan, dan pohon Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa, sesuai
dengan Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada
2.3.1  Hak masyarakat adat Negara Jajahan dan Rakyatnya, dan Deklarasi Asas Hukum
Persoalan hak masyarakat adat atas lahan dan Internasional tentang Hubungan Persahabatan dan Kerjasama
Antarnegara, dan ayat yang terkait dengan Deklarasi Vienna
sumberdaya di kawasan hutan masih belum dan Program Aksi 1993, kata‑kata “hak penentuan nasib
terselesaikan. Meskipun hak mereka secara hukum sendiri” yang muncul dalam pasal ini tidak berlaku bagi
diakui, dalam kenyataannya, penguasaan negara atas sebagian orang di dalam negara merdeka yang berdaulat dan
tidak dapat diartikan sebagai memberi hak atau mendorong
tindakan yang akan memecah belah atau merongrong, sebagian
52  Tentunya, tidak semua pemerintah daerah sengaja atau seluruhnya, keutuhan wilayah atau kesatuan politik dari
membiarkan deforestasi dan degradasi hutan. Pihak‑pihak lain, negara merdeka dan berdaulat tersebut.’ Lihat juga http://
termasuk pemerintah pusat, juga memberi andil dalam keadaan treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_
deforestasi dan degradasi hutan sekarang. no=IV‑3&chapter=4&lang=en.
34   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Pada tingkat prosedural, hak ini diperkuat oleh Pasal 2(2) menyatakan:


Pasal 51(1) Undang‑Undang No. 4/2003 tentang Hak ulayat dari masyarakat hukum adat dianggap
Mahkamah Konstitusi, yang memberikan kedudukan masih ada apabila:
hukum kepada masyarakat dat untuk mengajukan a. Terdapat sekelompok orang yang masih
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi melalui merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya
kesatuan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum sebagai warga bersama suatu persekutuan
adat dengan demikian diberi kedudukan hukum hukum tertentu, yang mengakui dan
yang sejajar dengan setiap warga negara Indonesia, menerapkan ketentuan‑ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya
badan hukum publik maupun swasta, atau lembaga sehari‑hari.
negara yang juga diakui sebagai pemohon oleh
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi
Mahkamah Konstitusi. lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil
Berbagai perangkat peraturan perundang‑undangan keperluan hidupnya sehari‑hari.
lainnya berisi ketentuan yang mengakui hak dan c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai
kedudukan masyarakat adat. Undang‑Undang Pokok pengurusan, penguasaan, dan penggunaan
Agraria No. 5/1960 memuat ketentuan mengenai tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh
salah satu hal terpenting dalam hak masyarakat adat para warga persekutuan hukum tersebut.
yang berkaitan dengan ruang kehidupannya, yaitu hak
ulayat, seperti tercantum dalam Pasal 3: Ketentuan ini tidak secara tegas mengatur kewajiban
Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan pemerintah untuk menginventarisasi atau mengakui
Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak‑hak keberadaan masyarakat hukum adat. Akibatnya, dalam
yang serupa itu dari masyarakat‑masyarakat praktiknya, pemerintah daerah lalai untuk memenuhi
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya kewajiban tersebut karena berbagai alasan teknis
masih ada harus sedemikian rupa sehingga (Sumardjono 2008: 171).
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara
yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak
bertentangan dengan undang‑undang atau UU Pokok Agraria menetapkan kedudukan tanah hak
peraturan lain yang lebih tinggi. ulayat sebagai entitas tersendiri yang berdampingan
dengan tanah negara dan tanah hak (tanah yang dilekati
Pengakuan kedua terdapat dalam Peraturan Kepala dengan sesuatu hak atas tanah oleh perorangan atau
Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 5/1999 tentang badan hukum); sementara UU Kehutanan—yang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat mengatur hutan negara—mengakui hutan adat, asalkan
Hukum Adat, yang memberi perincian lebih lanjut tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
mengenai persyaratan hukum bagi masyarakat adat. meskipun masih menganggapnya sebagai hutan negara
Hal ini penting karena sulitnya menetapkan masyarakat (Safitri 2010). Karenanya perlindungan dan pengakuan
mana yang layak dianggap sebagai masyarakat minoritas atas hak masyarakat adat di kawasan hutan menjadi
atau pribumi (Bloch 2001). Pasal 1 dalam Peraturan bagian dari hutan negara, maka pengakuan atas hutan
Kepala BPN menyatakan: adat sangat lemah dan bergantung pada kebutuhan
Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat negara akan kawasan hutan itu sendiri. Selain itu,
hukum adat (untuk selanjutnya disebut karena pengaturan yang menyangkut pengakuan
hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut atas hutan adat dalam Undang‑Undang Kehutanan
hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum tidak mewajibkan pemerintah untuk mengeluarkan
adat tertentu atas wilayah tertentu yang penetapan jika persyaratan tentang keberadaan hutan
merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya
adat tersebut tidak dipenuhi, secara hukum tuntutan
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, akan pengakuan atas hutan adat dapat ditolak.54
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,
yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan 2.3.2 Penguasaan/Tenurial
batiniah turun menurun dan tidak terputus Penguasaan karbon
antara masyarakat hukum adat tersebut dengan Persoalan mengenai penguasaan karbon (carbon tenure)
wilayah yang bersangkutan. Masyarakat hukum tertuang dalam beberapa peraturan, khususnya Pasal 25
adat ialah sekelompok orang yang terikat oleh dan 33 Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan
tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. 54  Lihat juga pembahasan tentang Peraturan Pemerintah
No. 21/1970 pada bagian berikut tentang ‘Penguasaan dan
hutan negara’.
Konteks REDD+ di Indonesia   35

Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan bidang pertanian, perkebunan atau kehutanan juga
serta Pemanfaatan Hutan, yang menyatakan bahwa dapat mengajukan usaha pemanfaatan penyerapan dan/
penyerapan atau penyimpanan karbon merupakan atau penyimpanan karbon (Pasal 7).
satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan hutan.55
Berdasarkan peraturan ini, tampaknya penguasaan Seperti izin pemanfaatan hasil hutan atau izin
karbon terletak pada pihak yang memiliki hak pemungutan lainnya, bagi‑hasil dari penyimpanan
pemanfaatan atas jasa lingkungan melalui kegiatan dan/atau penyerapan karbon diatur oleh pemerintah.
usaha penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.56 Lampiran III Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.36/ Menhut‑II/2009 mengatur bahwa distribusi
Sejalan dengan asas penguasaan negara atas hutan pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan
negara (dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya), karbon akan dibagikan tidak hanya kepada negara
penguasaan karbon di hutan negara dibatasi pada (dalam bentuk pendapatan negara bukan pajak)
hak pengusahaan saja dan bukan merupakan hak (Pasal 17), tetapi juga kepada masyarakat sekitarnya.
kepemilikan.57 Namun demikian, seperti halnya Namun, tidak jelas, apakah rencana ini pada akhirnya
pemanfaatan hasil hutan oleh perusahaan penebangan, akan dilaksanakan, karena timbul pertanyaan mengenai
keuntungan dari usaha ini, yaitu berupa karbon yang apakah rencana bagi‑hasil seperti ini dapat diatur
tersimpan atau terserap, dapat diperjualbelikan kepada dengan keputusan menteri dan tidak harus dengan
pihak lain. peraturan pemerintah yang lebih tinggi, juga apakah
sebaiknya diterbitkan oleh Kementerian Keuangan atau
Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara Kementerian Kehutanan.
mendapatkan izin usaha pemanfaatan penyerapan dan/
atau penyimpanan karbon diatur dalam Peraturan Ketergantungan masyarakat adat pada skema
Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut‑II/2009 tentang penguasaan resmi yang diakui negara atas proyek
Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Penyerapan dan/ membatasi kesempatan mereka untuk berperan serta
atau Penyimpanan Karbon Komersial pada Hutan dalam mekanisme yang ada untuk menjadi pemilik
Produksi dan Hutan Lindung. Peraturan ini (Pasal 5) karbon; sebagai contoh, mereka harus tunduk pada SK
menetapkan bahwa yang berhak atas penguasaan tentang pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan
karbon di areal yang telah dibebani izin ialah mereka dan SK pengelola hutan adat. Sebagai akibatnya,
yang: (1) memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan sekarang mereka tidak dapat memperoleh pengakuan
kayu di hutan alam, tanaman, atau hutan tanaman tersebut karena aturan teknis tentang proses penetapan
rakyat, (2) memiliki izin usaha pemanfaatan bagi hutan adat sebagaimana yang diamanatkan oleh
kawasan hutan lindung atau hutan kemasyarakatan; Undang‑Undang Kehutanan tidak tersedia.
atau (3) merupakan pengelola hutan desa. Pada areal
yang tidak dibebani izin, maka perorangan, koperasi, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut‑II/2009
dan bentuk badan usaha lain yang bergerak dalam memang memuat pengaturan untuk masyarakat adat
berdasarkan skema hutan adat. Namun, setidaknya ada
55  Ketentuan ini kemudian dijabarkan ke dalam dua masalah dalam model pembagian yang ditetapkan
tiga peraturan yang langsung terkait dengan REDD+: oleh peraturan ini dalam hal penguasaan lahan oleh
(1) P. 68/ Menhut‑II/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan masyarakat adat/setempat. Pertama, pemeriksaan
Percontohan untuk Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi
dan Degradasi Hutan; (2) Peraturan Menteri Kehutanan
menyeluruh atas peta peruntukan hutan menunjukkan
No. 30/ Menhut‑II/2009 tentang Mekanisme Pengurangan bahwa hampir semua hutan telah dikapling‑kapling
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan; dan (3) Peraturan untuk peruntukan lain dan untuk kepentingan pihak lain
Menteri Kehutanan No. 36/Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara (Steni 2009). Ini berarti bahwa rencana bagi‑hasil sebesar
Perizinan untuk Usaha Penyerapan dan/atau Penyimpanan
70% untuk masyarakat adat dari hutan adat tersebut
Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
sulit untuk diterapkan dalam praktiknya. Kedua, banyak
56  Pasal 25 dan 33 dalam Peraturan Pemerintah No. 6/2007
menjelaskan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan kawasan yang memiliki IUPHHK‑HA (Izin Usaha
lindung dan produksi dapat mencakup: (a) pemanfaatan jasa Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam) dan
aliran air; (b) pemanfaatan air; (c) ekowisata; (d) perlindungan izin lainnya berbenturan dengan klaim masyarakat (Steni
keanekaragaman hayati; (e) keselamatan dan perlindungan 2009). Dengan menggunakan logika hukum formal,
lingkungan; atau (f ) penyimpanan dan/atau penyerapan karbon.
kemungkinan besar kalangan pengusaha yang memiliki
57  Penguasaan, menurut Ostrom (1990), setidaknya harus status hukum yang jelas menurut hukum negara dan
mencakup hak untuk memperoleh, untuk menarik hak dari
pihak lain, untuk menangani dan mengeluarkan pihak lain dari bukan masyarakat adat, yang sering harus berjuang
kegiatan ini. untuk mengartikulasikan kepentingannya sendiri
36   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

dan mempertahankan wilayah adatnya—yang akan dengan ‘dimiliki’ dalam hukum perdata.58 Hak
menikmati manfaat. menguasai oleh negara adalah hak yang memberikan
kewenangan kepada negara untuk mengatur tiga
Umumnya, aturan penguasaan lahan yang ada wewenang yang tercantum dalam Pasal 2 (2)
mengacu pada peraturan perundang‑undangan dimana Undang‑Undang Pokok Agraria tersebut. Kewenangan
pengakuan atas hak masyarakat adat/setempat maupun negara yang bersumber dari hak menguasai atas
atas tanah masih sangat minim. Dengan demikian, sumber‑sumber kekayaan bersifat publik, yaitu
kemungkinan keterlibatan masyarakat adat/setempat menyangkut kewenangan untuk mengatur (fungsi
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan bagi‑hasil regulasi), dan bukan wewenang untuk menguasai secara
REDD+ bisa jadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan fisik hal yang bersifat pribadi (Harsono 2003: 233).
para pelaku lainnya.
Mahkamah Konstitusi juga telah menafsirkan
Penguasaan atas kawasan hutan hak menguasai oleh negara menurut Pasal 33 (3)
Di Indonesia, pengaturan untuk hutan terpisah dari UUD 1945 dalam beberapa putusan pengujian
pengaturan untuk penggunaan lahan secara umum materiil atas undang‑undang yang merujuk
(Moniaga 2007: 178). Tata guna hutan diatur oleh pada ketentuan tersebut. Dalam putusan atas
Undang‑Undang Kehutanan sedangkan lahan di luar pengujian Undang‑Undang No. 20/2002 tentang
kawasan hutan berada di bawah Undang‑Undang Ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi menyatakan
Pokok Agraria. Harmonisasi di antara kedua wilayah bahwa perkataan ‘dikuasai oleh negara’ semestinya
tersebut ada di instrumen RTRW. mencakup makna penguasaan oleh negara dalam
arti yang lebih luas, yang bersumber dan berasal dari
Karena ada dua rezim yang berbeda, terdapat juga konsepsi kedaulatan rakyat atas sumber kekayaan,
dua pendekatan yang berbeda dalam mengakui termasuk di dalamnya pengertian kepemilikan bersama
hak masyarakat adat (lihat Dunlop 2009 untuk oleh rakyat atas sumber‑sumber kekayaan tersebut.59
tinjauan lengkap tentang hak penguasaan dan hak
ulayat di Indonesia). Di luar kawasan hutan, yang Namun demikian, penafsiran Undang‑Undang Pokok
diatur berdasarkan Undang‑Undang Pokok Agraria, Agraria atas Pasal 33 (3) UUD 1945 tidak sepenuhnya
pengakuan atas hak tersebut lebih kuat—setidaknya diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam,
di tataran peraturan perundang‑undangan. Pengakuan termasuk pada sektor kehutanan. Sejak lahirnya
atas hak masyarakat adat di kawasan hutan, yang Undang‑Undang Kehutanan (semula Undang‑Undang
diatur oleh Undang–undang Kehutanan, tidak sekuat No. 5/1967), penerapan Undang‑Undang Pokok
di UUPA. Di tataran konstitusi, pengaturan kedua Agraria dibatasi hanya di luar kawasan hutan, sehingga
wilayah tersebut sama. Pasal 33 (3) UUD 1945 UUPA tidak memiliki yurisdiksi atas 70% luas
memberikan kewenangan kepada negara untuk wilayah Indonesia karena merupakan kawasan hutan
menguasai sumberdaya alam dan menggunakannya (Moniaga 2007: 177). Pembatasan ini dapat dijelaskan
untuk kemakmuran rakyat. Namun, di tataran melalui tiga hal. Pertama adalah pertimbangan bahwa
undang‑undang pengaturannya berbeda. Pasal 2 (2) Undang‑Undang Kehutanan merupakan lex specialis
Undang‑Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa (undang‑undang yang bersifat khusus) yang berbeda
Pasal 33 Undang‑Undang Dasar memberikan dengan Undang‑Undang Pokok Agraria yang bersifat
kewenangan kepada negara untuk: lex generalis (undang‑undang yang bersifat umum).
a. mengatur dan menyelenggarakan Sesuai dengan asas lex specialis derogat generalis,
peruntukan, penggunaan, persediaan, dan maka perundang‑undangan yang mengatur hal yang
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa lebih khusus menegasikan perundang‑undangan
b. mengatur dan menentukan yang lebih bersifat umum. Kedua, hubungan
hubungan‑hubungan hukum antara antara Undang‑Undang Pokok Agraria dengan
orang‑orang dengan bumi, air, dan Undang‑Undang Kehutanan merupakan kelanjutan
ruang angkasa dari hubungan antara Agrarische Wet (Undang‑Undang
c. mengatur dan menentukan Agraria) dengan Boschordonantie (Ordonansi
hubungan‑hubungan hukum antara orang
dan perbuatan hukum yang menyangkut
bumi, air, dan ruang angkasa.
58  Penjelasan umum II/2 Undang‑Undang Pokok Agraria.
Berdasarkan Undang‑Undang Pokok Agraria, 59  Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 001/021/022/
pengertian ‘dikuasai’ oleh negara tidak sama artinya PUU‑I/2003, Lembaran Negara No. 102/2004 hlm. 334.
Konteks REDD+ di Indonesia   37

Kehutanan), yang berlaku selama masa penjajahan. untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas
Tatanan penguasaan lahan di Indonesia saat ini tidak suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut
terpisahkan dari pola penguasaan lahan dan sumberdaya kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu
alam masa lalu.60 Ketiga, dualisme ini berkaitan dengan ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan
politik Orde Baru, yang mengutamakan pertumbuhan pengusahaan hutan’. Dengan dalih untuk melindungi
ekonomi (Moniaga 2007: 179). keselamatan umum, peraturan tersebut telah
membekukan hak masyarakat untuk memungut hasil
Dualisme ini menyebabkan persoalan hukum dan dua hutan di areal yang sedang dikerjakan pengusahaan
sudut pandang yang berbeda mengenai penguasaan hutan (Pasal 6 (3)). Jika pengertian ‘menertibkan’ dalam
tanah ulayat di kawasan hutan. Setidaknya terdapat dua menerapkan pelaksanaan atas hak masyarakat adat
persoalan mendasar terkait hutan dengan hak ulayat: dikaitkan dengan pemberian Hak Pengusahaan Hutan
persoalan pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat kepada perusahaan di tanah ulayatnya, maka hal ini
dan masalah mengenai pemanfaatan hutan adat tersebut bertentangan dengan pengakuan atas hak masyarakat
(Sumardjono 2008). adat sebagaimana terkandung dalam Undang‑Undang
Pokok Agraria, terutama ketika terjadi pembekuan atau
Meskipun hak ulayat diakui dalam Undang‑Undang peniadaan hak masyarakat untuk mengumpulkan hasil
Pokok Agraria, sejak UU No 5/1967 tentang hutan di tanah ulayatnya (Harsono 2003: 201).63
Kehutanan (yang telah diganti dengan
UU No. 41/1999) diberlakukan, muncul pertanyaan Meskipun Undang‑Undang No. 41/1999 tentang
tentang keberadaan hak ulayat di kawasan hutan. Kehutanan, yang menggantikan Undang‑Undang
Undang‑Undang Pokok Agraria mengakui tiga jenis No. 5/1967, memang mencakup perkembangan
status lahan: “tanah negara”, “tanah hak”, dan “tanah kebijakan mengenai hubungan antara masyarakat
ulayat” sementara Undang‑Undang Kehutanan hanya adat dan hutan, undang‑undang ini masih setengah
mengakui dua entitas status hutan (Pasal 5 (1)): “hutan hati (Harsono 2003: 203). Hal ini terlihat pada bab
negara”61 dan “hutan hak”.62 Hutan adat dianggap tentang masyarakat adat yang tidak menyebutkan
sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah hak ulayat dalam ketentuan ataupun penjelasannya.
masyarakat hukum adat (Pasal 1(6)). Undang‑Undang Kehutanan tidak menyebut kawasan
hutan di tanah ulayat sebagai hutan ulayat, tetapi
Menurut Harsono (2003: 200), dimasukkannya menyatakannya sebagai hutan adat64 yang tidak lain
hutan masyarakat adat ke dalam kategori hutan merupakan bagian dari hutan negara. Akibatnya,
negara tersebut tidak meniadakan hak‑hak masyarakat Undang‑Undang Kehutanan tidak mengakui
hukum adat tersebut untuk memperoleh manfaat keberadaan hutan ulayat (hutan adat) di samping
dari hutan. Oleh karena itu, masyarakat adat hutan negara dan hutan hak (Soemardjono 2008: 172).
memiliki hak untuk menggunakan dan mengelola Namun, secara jelas juga terlihat inkonsistensi, ketika
hutan, tetapi tidak memilikinya (Cotula dan Pasal 67 Undang‑Undang Kehutanan mengatur
Mayers 2009: 42). Dalam kenyataannya, ketika persyaratan keberadaan hak ulayat. Apabila hutan
Peraturan Pemerintah No. 21/1970 tentang Hak ulayat (atau hutan adat menurut UU Kehutanan) tidak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil diakui sebagai entitas tersendiri yang terpisah dari hutan
Hutan disahkan sebagai peraturan pelaksanaan atas negara dan hutan hak, semestinya keberadaannya tidak
Undang‑Undang No. 5/1967 (Undang‑Undang perlu diatur lebih lanjut (Soemardjono 2008: 173).
Kehutanan pertama), hak masyarakat adat untuk
menggunakan dan mengelola hutan berdasarkan hak
ulayatnya menjadi semakin terbatas. Pasal 6 Peraturan 63  Selama Orde Baru, Instruksi Presiden No. 1/1976
Pemerintah No. 21/1970 menyatakan bahwa ‘Hak‑hak tentang Penyelarasan Tugas Pertanahan dengan Kehutanan,
Masyarakat Hukum Adat dan anggota‑anggotanya Pertambangan, Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum mencakup
ketentuan tentang ganti rugi bagi masyarakat adat: ‘...jika suatu
kawasan lahan yang diperlukan dikuasai oleh masyarakat adat
atau perorangan sesuai dengan hak yang sah, maka pemegang
60  Dalam hal latar belakang sejarah pola ini, lihat hak pengusahaan hutan tersebut harus membayar ganti rugi
Contreras‑Hermosilla dan Fay (2005) atau Kasim dan kepada pemilik hak dengan mengikuti tata cara yang ditetapkan
Suhendar (1996). berdasarkan peraturan perundang‑undangan pertanahan.’
61  Hutan negara adalah hutan pada lahan yang tidak memiliki 64  ’Hutan adat’ merupakan ‘hutan ulayat’, tetapi
hak atas lahan (Pasal 1 (4)). Undang‑Undang Kehutanan menggunakan istilah ‘adat’, bukan
62  Hutan hak adalah hutan pada lahan yang memiliki hak atas ‘ulayat’. ‘Ulayat’ biasanya digunakan di Sumatera sedangkan
lahan (Pasal 1 (5)). ‘adat’ digunakan di seluruh Indonesia.
38   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Skema hutan adat tidak mencakup pengakuan hak hutan harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan
masyarakat adat atas hutan karena tidak adanya aturan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi
tentang tata cara pendaftaran hutan adat. Hutan masyarakat, bahwa perubahan tersebut sebaiknya
masyarakat adat Guguk di Jambi, Sumatera, merupakan mempertimbangkan optimalisasi distribusi fungsi dan
contoh langka dari hutan adat yang diberi pengakuan dan manfaat yang berkelanjutan dari hutan tersebut,
hukum oleh bupati meskipun melalui proses panjang dan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan tersebut
yang melelahkan. Hutan masyarakat adat Guguk harus cukup besar dan mencakup sekurangnya 30%
ditetapkan melalui Keputusan Bupati Merangin dari luasan wilayah.
No. 287/2003 tentang Pengukuhan Bukit Tapanggang
sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Guguk, Peraturan Pemerintah No. 10/2010 membedakan
Kecamatan Manau, Kabupaten Merangin (lihat juga terminologi antara perubahan peruntukan dan
Steni 2009: 5–6).65 perubahan fungsi (Pasal 1 (13) dan (14)): perubahan
peruntukan adalah perubahan kawasan hutan menjadi
Dalam perkembangan terakhir, Tim Terpadu (yang bukan kawasan hutan; perubahan fungsi kawasan
ditugaskan untuk membuat perubahan peruntukan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi
dan fungsi hutan negara dalam hubungannya dengan hutan dalam suatu kawasan hutan (misalnya hutan
perubahan RTRWP) telah menginventarisasi desa produksi, lindung, konservasi) menjadi fungsi yang
dan tanah adat di dalam hutan.66 Tim yang dibentuk lain. Setiap perubahan peruntukan atau fungsi kawasan
oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Pasal 19 hutan harus didahului dengan penelitian terpadu yang
Undang‑Undang Kehutanan ini mengusulkan agar dilakukan oleh lembaga pemerintah yang kompeten
desa dan tanah adat dikeluarkan dari kawasan hutan. dan otoritas ilmiah, bekerja sama dengan pihak lain
Informasi yang ada menunjukkan bahwa terdapat yang terkait (Pasal 1 (19), 2 dan 5). Selain itu, apabila
22,4‑22,5 juta ha yang diklaim sebagai hutan adat perubahan berpotensi memberikan dampak penting,
atau yang diklaim oleh masyarakat adat, desa atau bercakupan luas dan bernilai strategis, pemerintah
dusun (19.420 desa di 32 provinsi).67 Pada saat harus mempertimbangkan aspirasi masyarakat melalui
penyusunan makalah ini, usulan Tim Terpadu masih persetujuan dari DPR (Pasal 14).
menunggu persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 19 Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10/2010,
Undang‑Undang Kehutanan.68 perubahan peruntukan dan fungsi hutan negara
dilakukan melalui mekanisme perubahan parsial atau
2.4  Perubahan peruntukan dan fungsi melalui mekanisme perubahan untuk wilayah provinsi
kawasan hutan (Pasal 6), dengan proses yang terpadu dengan proses
Pada kawasan hutan, pengelolaan hutan, penetapan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
status dan perubahannya berada di bawah kewenangan (Pasal 30 (2)). Perubahan parsial peruntukan kawasan
pemerintah pusat (Pasal 4 (2) (b) Undang‑Undang hutan dilakukan dengan tukar‑menukar kawasan hutan
Kehutanan). Tata cara perubahan peruntukan dan pada hutan produksi terbatas dan hutan produksi
fungsi hutan negara diatur dalam Peraturan Pemerintah tetap dengan lahan pengganti di luar kawasan hutan
No. 10/2010. Peraturan ini (Pasal 2) menyatakan (yaitu tukar‑guling lahan) (Pasal 7 dan 10) atau
bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan melalui mekanisme pelepasan hutan produksi konversi
(Pasal 1(16), 7 dan 19). Tukar‑menukar kawasan
hutan (harus disediakan lahan pengganti) dilakukan
65  Hutan ulayat Desa Guguk: www.wg‑tenure.org/html/ untuk mendukung kepentingan pembangunan di luar
wartavw.php?id=50. Masyarakat adat Desa Guguk menerima sektor kehutanan yang bersifat permanen yang harus
penghargaan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat)
pada tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan; lihat juga http:// menggunakan kawasan hutan, untuk menghilangkan
www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/2629. enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan
66  Komunikasi pribadi dengan Hariadi Kartodihardjo kawasan hutan, dan untuk menata batas kawasan hutan
(Institut Pertanian Bogor), 10 Agustus 2010. (Pasal 11).
67  Data diperoleh dari BPS dan Kementerian Kehutanan,
2007, seperti dikutip oleh Hariadi Kartodihardjo dalam Tukar‑guling lahan dapat menjadi cara yang tepat
‘Upaya‑Upaya penyelesaian konflik penggunaan lahan’, makalah untuk mengoptimalkan lahan rusak di dalam kawasan
disampaikan pada seminar yang diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Planologi Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional, hutan melalui pertukaran dengan tutupan hutan
9 Agustus 2010. yang baik. Maksudnya, melalui tukar‑guling lahan,
68  Wawancara Josi Katharina dengan Hariadi Kartodihardjo, lahan yang rusak diperuntukkan bagi penggunaan
24 Oktober 2010. lahan bukan kehutanan, dan ekosistem hutannya
Konteks REDD+ di Indonesia   39

mendapatkan lahan pengganti yang memiliki fungsi Faktor penyebab sengketa kehutanan dapat dibagi
hutan lebih baik. Secara teoretis, tukar‑guling lahan dalam lima kelompok utama: permasalahan tata
lebih efisien dan efektif daripada merehabilitasi batas, pencurian kayu, perambahan hutan, kerusakan
hutan rusak atau membuka kawasan APL yang masih lingkungan, dan peralihan fungsi lahan. Dari semua
berhutan untuk kegiatan pembangunan. Namun, itu, sengketa paling sering terjadi ketika sebagian
peraturan ini (No. 10/2010) tidak secara khusus kawasan Hak Pengusahaan Hutan atau kawasan
mensyaratkan bahwa lahan yang ditukar dari dalam lindung tumpang tindih dengan lahan garapan
kawasan hutan harus dalam keadaan rusak ataupun masyarakat sehingga membatasi akses masyarakat untuk
bahwa lahan pengganti berada dalam keadaan yang memperoleh manfaat dari hutan (Bank Dunia 2000).
baik dan memiliki ekosistem yang sama. Dengan Konflik mengenai pengelolaan hutan juga terjadi
pengelolaan yang buruk, kesempatan mitigasi ini antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah setelah
mungkin memiliki pengaruh sebaliknya, dengan desentralisasi yaitu dalam bentuk kebijakan pusat dan
menciptakan peluang untuk tukar‑guling lahan yang daerah yang bertentangan.
sebenarnya mendorong kerusakan hutan di Indonesia.
Sengketa mengenai penggunaan hutan dan lahan
2.5  Konflik kehutanan masih terus berlanjut (Yasmi dkk. 2012). Sebagai
Penelaahan laporan oleh enam media berita nasional contoh, Scale Up, sebuah LSM lokal yang berbasis
(Kompas, Tempo, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, di Riau, melaporkan bahwa pada tahun 2010 saja,
Asosiasi Bisnis Hutan Indonesia, dan Antara) dan sengketa di bidang kehutanan antara masyarakat dan
satu surat kabar daerah (Kaltim Post di Kalimantan perusahaan terkait terjadi setidaknya di 42 tempat
Timur) mengungkapkan bahwa frekuensi sengketa di seluruh provinsi, yang mencakup kawasan seluas
kehutanan meningkat tajam setelah jatuhnya rezim lebih dari 300.000 ha (Scale Up 2011). Sebagian besar
Orde Baru, khususnya selama masa peralihan pada sengketa‑sengketa ini bermula sebelum tahun 2010,
tahun 2000 (Wulan dan Yasmi 2004). Menurut dan hampir 70% terjadi di hutan produksi, 8% terjadi
laporan Bank Dunia (2000), sengketa ini berkaitan di hutan lindung atau hutan konservasi, dan sisanya di
dengan ketidakpuasan rakyat atas pembagian manfaat luar kawasan hutan.
yang tidak adil dan berkaitan dengan dampak pola
pembangunan masa lalu (Orde Baru) terhadap Contoh lain adalah sengketa di Kalimantan Timur
masyarakat. Pada tahun 2000, konflik kehutanan antara lima desa adat Dayak dengan HPH (Yasmi dkk.
meningkat sebelas kali lipat dibandingkan tahun 2012). Pada awal 1980‑an, HPH diberikan kepada
sebelumnya (Wulan dan Yasmi 2004). Dari 359 konflik sebuah perusahaan di kawasan yang tumpang tindih
yang tercatat di tingkat nasional, 39% terjadi di dengan wilayah masyarakat. Perusahaan tersebut
kawasan HTI, 27% di HPH, dan 34% di kawasan tidak mempekerjakan satu pun warga masyarakat
konservasi (Wulan dan Yasmi 2004). Frekuensi sengketa setempat. Perusahaan juga merusak pohon dan kuburan
kehutanan hutan selama 1997–2003 disajikan pada masyarakat. Di bawah sistem politik yang terpusat
Gambar 1. dan otoriter pada waktu itu, perusahaan tersebut
dapat menjalankan kegiatannya tanpa perlawanan
153 dari masyarakat. Perlawanan tidak timbul sampai
setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Namun, sengketa tidak segera diselesaikan; perusahaan
menolak tuntutan masyarakat dan ketegangan
Kasus konflik

meningkat. Masyarakat mendesak dan mengancam


perusahaan, yang akhirnya memaksa perusahaan
tersebut menghentikan kegiatannya. Meskipun telah
52
45 dilakukan serangkaian perundingan yang melibatkan
31 35 polisi setempat, pemerintah daerah, dan pemuka
29
14 adat, sengketa tersebut terus berlanjut. Baru setelah
dua dasawarsa, sengketa dapat terselesaikan dengan
1997 1998 1999 2000 2001 2002 Juni
penandatanganan Nota Kesepahaman tentang
2003 pengelolaan hutan bersama dengan pengaturan
bagi‑hasil (Yasmi dkk. 2012).
Gambar 1.  Frekuensi terjadinya sengketa kehutanan,
1997–2003
Sumber: Wulan dkk. (2004)
40   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Pengelolaan penyelesaian sengketa pada baru. Selama masa ini, penyelesaian sengketa pada
masa lalu sektor kehutanan cenderung melibatkan pembayaran
Penelitian oleh CIFOR dan FWI tahun 2004 ganti rugi oleh perusahaan pemegang HPH/HTI.
menunjukkan bahwa tidak ada upaya yang ditujukan Pembayaran tersebut membantu menyelesaikan
untuk penyelesaian sengketa pada sektor kehutanan sengketa sampai batas tertentu karena dapat meredam
secara menyeluruh. Selama Orde Baru, penyelesaian kemarahan masyarakat. Namun, pendekatan ini tidak
sengketa kehutanan dilakukan dengan pendekatan menyelesaikan ancaman sengketa laten karena akar
stabilitas keamanan, melalui pemaksaan dan/atau permasalahannya, yaitu hilangnya hak masyarakat dan/
program pembangunan desa. atau hak masyarakat adat tidak diselesaikan (Wulan
dkk. 2004). Jalur hukum masih merupakan sarana yang
Selama masa Reformasi (pasca‑1998), proses paling jarang digunakan untuk menyelesaikan sengketa
desentralisasi yang tergesa‑gesa menyebabkan pada sektor kehutanan karena rendahnya tingkat
ketidakpastian, yang memicu sengketa terpendam kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan
(konflik laten), dan merangsang terjadinya konflik (Wulan dkk. 2004).
3.  Ekonomi politik deforestasi dan degradasi
hutan di Indonesia
Ekonomi politik suatu negara sangat menentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
bagaimana negara mengelola sumberdaya alamnya. memberikan dukungannya terhadap sasaran pemerintah
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan dengan mengeluarkan Ketetapan MPRS (Kartodihardjo
sumberdaya alam yang melimpah, telah menggunakan dan Jhamtani 2006: 21‑22). Pemerintah Orde Lama,
kekayaan alam tersebut, termasuk hutan, sebagai alat melalui badan usaha milik negara yang bergerak di
pembangunan. Akibatnya, pembahasan mengenai bidang kehutanan (Perhutani), bekerja sama dengan
deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia tidak perusahaan‑perusahaan asing menjalankan pengusahaan
dapat dipisahkan dari kerangka ekonomi politik hutan, namun merugi mencapai AS$10 juta. Kerugian
Indonesia. Sementara bab‑bab sebelumnya meninjau ini terjadi karena kebijakan tersebut dilaksanakan tanpa
keadaan hutan dan penyebab deforestasi dan degradasi ditunjang oleh pengetahuan yang memadai tentang
hutan, bagian ini membahas kebijakan ekonomi nilai sumberdaya hutan (Sumitro dalam Barr dkk.
politik di Indonesia yang mendasari penyebabnya. dalam Kartodihardjo dan Jhamtani 2006).
Untuk memberikan gambaran yang lengkap, bagian
ini dimulai dengan tinjauan kebijakan ekonomi politik Pada tahun 1967, selama masa peralihan ke Orde
Indonesia dalam bidang kehutanan dan bidang terkait Baru, dengan mempertimbangkan kemerosotan
lainnya selama masa Orde Lama di bawah Soekarno ekonomi dan pembangunan, pemerintah menerbitkan
(kemerdekaan‑pertengahan 1960‑an), Orde Baru Undang‑Undang No. 1/1967 tentang Penanaman
(pertengahan 1960‑an‑1998), dan pasca‑Reformasi Modal Asing. Undang‑undang ini kemudian menjadi
(pasca‑1998). Bagian berikutnya membahas keadaan landasan hukum bagi eksploitasi kayu skala besar pada
ekonomi politik dan penegakan hukum di Indonesia masa pemerintahan Orde Baru (Effendi dan Dewi
yang terkait dengan kehutanan. Bab ini diakhiri dengan 2004: 3).
pembahasan tentang REDD+ dalam konteks ekonomi
politik Indonesia saat ini. Ketika pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto mengambil alih pemerintahan,
3.1  Sejarah deforestasi dan degradasi Indonesia mengalami krisis ekonomi dengan defisit
hutan di Indonesia anggaran 14%, inflasi 635% (Hiariej 2005) dan utang
Penelitian tentang kebijakan ekonomi politik Indonesia negara sebesar AS$2,1 miliar (Chalmers dan Hadiz
yang dilakukan pada masa pemerintahan Soekarno, 1997, lihat juga Thee 2005). Akibatnya, pemerintah
Orde Baru, dan setelah Orde Baru (1998‑sekarang) Orde Baru berpaling ke hutan dan sumberdaya alam
dapat menjelaskan mengapa deforestasi dan degradasi lainnya sebagai modal bagi pemulihan ekonomi. Era
hutan berlanjut sampai hari ini. Dari tahun 1960 ini ditandai dengan hal‑hal berikut: eksploitasi kayu
sampai dengan tahun 1982, kayu bulat merupakan berskala besar yang berlebihan melalui perizinan
produk utama, namun selama 1982 sampai dengan untuk mendukung industri pengolahan kayu secara
awal 1990an, titik berat bergeser ke pengolahan kayu masif; adanya persepsi bahwa hutan alam produksi
untuk industri kayu lapis. Sejak tahun 1990‑an, adalah sumberdaya terbarukan; perizinan skala besar
kebijakan kehutanan pemerintah telah mengutamakan sebagai instrumen ekonomi politik pembangunan;
industri pulp dan kertas. keterlibatan modal asing dan domestik dalam konsesi
kayu; pemberian izin usaha kayu dengan hanya melalui
Tahun 1960‑an sampai dengan akhir 1982 mekanisme permohonan saja; proses perizinan usaha
Kebijakan pemerintah Orde Lama di bawah kayu yang sangat terpusat; praktik‑praktik monopoli
kepemimpinan Presiden Soekarno adalah untuk dan korupsi; dan munculnya konglomerat bisnis
menjadikan sektor kehutanan penyedia dana kehutanan berbasiskan kekuasaan birokrasi dan bisnis
pembangunan dengan sasaran sebesar AS$52,5 juta (Effendi dan Dewi 2004: 4).
per tahun dari sektor ini. Untuk mencapai sasaran
ini, pemerintah menerbitkan berbagai perangkat Pada era ini, pemerintah menerbitkan berbagai
peraturan perundang‑undangan, dari undang‑undang peraturan perundang‑undangan untuk mengabsahkan
hingga SK menteri, yang memberikan kewenangan eksploitasi sumberdaya alam oleh perusahaan dalam
kepada pemerintah untuk mengelola hutan dan negeri dan asing tanpa mempertimbangkan dampak
sumberdaya hutan, dan mendirikan perusahaan negara. ekologi ataupun sosial. Sebagai contoh, pemerintah
42   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

menerbitkan Undang‑Undang Pokok Kehutanan pemerintah menerbitkan larangan ekspor kayu bulat
No. 5/1967 sebagai landasan untuk memanfaatkan yang memungkinkan pemaduan sektor kehutanan hulu
143 juta ha kawasan hutan—atau hampir tiga perempat dan hilir di Indonesia. Pada praktiknya, ‘hak monopoli’
dari luas wilayah Indonesia—dengan memberikan izin pengusahaan dari hulu ke hilir diberikan kepada
HPH kepada pemodal besar yang bekerja sama dengan kelompok‑kelompok pengusaha tertentu yang dekat
militer, politisi, dan birokrat yang memiliki hubungan dengan pusat kekuasaan (Effendi dan Dewi 2004).
dekat dengan Presiden Soeharto (Effendi dan Dewi
2004). Kebijakan Orde Baru untuk membuka HPH Lebih lanjut lagi, mulai 1975, dengan diterbitkannya
berskala besar diterbitkan menyusul kegagalan konsesi Keppres No. 20 tahun 1975 tentang kebijaksanaan di
kayu berskala kecil, yang menghasilkan jutaan meter Bidang Pemberian HPH, pemerintah memaksakan
kubik kayu bermutu sangat rendah. Selain itu, waktu pengalihan saham perusahaan asing sehingga
pasokan tidak dapat diprakirakan karena pengangkutan perusahaan nasional memiliki 51% saham dalam usaha
kayu keluar dari hutan sangat bergantung pada patungan. Pada waktu itu, pemerintah memberikan
sungai apabila debit air cukup untuk dilayari. Hal ini kelonggaran yang luar biasa bagi pengusaha, yang
membuat konsumen, terutama perusahaan Jepang, hanya diminta untuk mengisi surat permohonan yang
merasa dirugikan (Obidzinski dkk. 2006). telah disediakan oleh Kementerian Kehutanan dan
menunjukkan kawasan hutan yang mereka inginkan.
Dari tahun 1967 sampai dengan 1980, pemerintah
mengeluarkan izin HPH tanpa melalui lelang kepada Tahun 1982 sampai dengan 1990‑an
519 perusahaan HPH dengan luas keseluruhan Seiring dengan tertutupnya peluang ekspor dan adanya
53 juta ha (Effendi dan Dewi 2004). Banyak HPH kebijakan untuk mengintegrasikan sektor kehutanan
secara teratur melebihi jatah tebang dalam Rencana hulu dan hilir, Indonesia memimpin pasar kayu lapis
Kerja Tahunan (RKT) mereka dan sering menebang dunia selama tahun 1980‑an dan menempati posisi 10
pohon di luar kawasan HPH mereka (Effendi dan besar negara penghasil kayu lapis. Pada pertengahan
Dewi 2004). Selain itu, kelompok‑kelompok penebang 1990‑an, 10 konglomerat menguasai 228 HPH
liar melakukan kegiatan mereka di dalam kawasan meliputi areal seluas 27 juta ha hutan produksi atau
hutan negara dan kawasan HPH. Beberapa modus 45% dari 60 juta ha hutan yang dialokasikan untuk
operandi digunakan dalam pembalakan liar, termasuk HPH. Kelompok konglomerat tersebut memiliki
mengambil kayu dengan dalih pembukaan hutan untuk 48 dari 132 perusahaan kayu lapis dengan 40% dari
membangun HTI, daerah transmigrasi, perkebunan kapasitas produksi kayu panel nasional (Effendi dan
dan/atau jalan, tetapi pembangunan sebenarnya pada Dewi 2004).
akhirnya tidak dilaksanakan. Untuk pengangkutan
dan peredaran kayu, penggunaan Surat Keterangan Tahun 1990 sampai dengan 1998
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang tidak lengkap, Menjelang tahun 1990‑an, selain mendorong
tidak sah atau dipalsukan merupakan hal yang lazim pertumbuhan industri kayu lapis, pemerintah mulai
(ICEL 2006: 17‑22). mendorong pembangunan industri pulp dan kertas.
Selama kurun waktu ini, produksi pulp meningkat
Pada tahun 1968, pemerintah mempertegas arah dari 606.000 ton pada tahun 1988 menjadi 6,1 juta
kebijakan kehutanan dengan memberlakukan ton pada tahun 2001, dan produksi industri kertas
Undang‑Undang No. 6/1968 tentang Penanaman meningkat dari 1,2 juta menjadi 8,3 juta ton. Pada
Modal Dalam Negeri yang menetapkan bahwa modal tahun 1999, kontribusi industri pulp dan kertas adalah
yang ditanam dalam pengusahaan hutan tidak diusut sebesar AS$2,65 miliar, lebih dari 50% dari keseluruhan
asal‑usulnya dan tidak dikenakan pajak (Pasal 9). ekspor produk hutan Indonesia (Bank Indonesia dalam
Seiring dengan perjalanan waktu, arah politik Orde Barr 2000).
Baru cenderung menjadi lebih monopolistis. Peraturan
Pemerintah No. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Proyek pemerintah Orde Baru lainnya yang berdampak
Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan menetapkan besar pada hutan adalah mega proyek pembukaan
bahwa pemegang HPH berkewajiban memiliki sendiri lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah,
industri pengolahan kayu atau memiliki keterkaitan yang dimaksudkan untuk mendukung ketahanan
dengan industri tersebut. Namun demikian, kebijakan pangan di Indonesia. Proyek ini dibangun tanpa
ini tidak sepenuhnya diterapkan karena hampir semua mengikuti kaidah‑kaidah perencanaan pembukaan
kayu bulat dalam kenyataannya diekspor untuk lahan gambut yang benar dan berdampak sangat
memenuhi pasar dunia. Karenanya, pada tahun 1980 merugikan lingkungan, masyarakat, dan ekonomi.
Konteks REDD+ di Indonesia   43

Pada saat proyek ini dihentikan tahun 1999 karena Era Reformasi melahirkan ancaman baru bagi hutan
dianggap gagal, pemerintah telah membangun jaringan Indonesia dalam bentuk kebijakan otonomi daerah,
saluran sepanjang 4.400 km, yang mengurangi yang melimpahkan kewenangan pengelolaan hutan
kemampuan rawa gambut untuk menyerap air; kepada pemerintah provinsi dan kabupaten (lihat Bab 2
meningkatkan kebakaran hutan selama musim untuk pembahasan lebih lengkap). Namun, penyerahan
kemarau dan banjir pada musim hujan. Saluran ini wewenang ini tidak disertai dengan pembagian
juga mendorong pembalakan liar karena menyediakan wewenang dan tanggung jawab yang jelas antara
sarana pengangkutan kayu keluar dari hutan (Noor dan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten.
Sarwani 2004).
Pelimpahan kewenangan kehutanan kepada kepala
Pasca‑1998 (Reformasi) daerah tanpa tanggung jawab yang jelas antara
Ketika Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan jenjang pemerintahan dan tanpa akuntabilitas
diri pada bulan Mei 1998, Indonesia mengalami krisis yang efektif, termasuk pengawasan dan penegakan
ekonomi dan politik, dan memerlukan bantuan dari hukum, mendorong laju deforestasi semakin pesat.
negara lain yang tergabung dalam Kelompok Konsultasi Sebagaimana dijelaskan pada Bab 2, Peraturan
untuk Indonesia (CGI) dan lembaga keuangan Pemerintah No. 6/1999 tentang Pengusahaan Hutan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi,
pemulihan ekonominya. Ini memberikan kesempatan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
kepada negara lain dan lembaga keuangan internasional No. 310/Kpts‑II/1999 tentang Pedoman Pemberian
untuk memaksakan agenda mereka, yang sebenarnya Hak Pemungutan Hasil Hutan, Undang‑Undang
mendorong degradasi hutan. IMF misalnya, dalam No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (sering
Surat Pernyataan Minat (LoI) pada tahun 1998, disebut dengan Undang‑Undang Otonomi Daerah),
mensyaratkan pembaruan kebijakan kehutanan, dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 5/2000 tentang
termasuk pengenaan pajak sewa sumberdaya alam, Kriteria dan Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan
kebebasan investasi asing, pengurangan pajak ekspor Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil
kayu bulat sebesar 10%, pengurangan pajak atas Hutan pada Hutan Produksi Alam telah mendorong
kayu gergajian sebesar 10%, dan penghapusan segala penerbitan ribuan izin penebangan berskala kecil (Barr
bentuk peraturan pemasaran kayu lapis. Bank Dunia dkk. 2006). Sebagai contoh, selama tahun 1999– 2002,
juga mengusulkan persyaratan yang menghendaki telah diterbitkan izin HPHH (hak pemungutan hasil
pembaruan kebijakan dan kelembagaan kehutanan hutan) di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan
seperti menerapkan keterbukaan (transparansi) dalam Barat sebanyak 944 buah.69 Pemberian izin dan
pembangunan kehutanan, merumuskan kebijakan kegiatan penebangan yang dimungkinkan oleh izin‑izin
baru, dan dalam jangka panjang, menerapkan tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan kaidah
kerangka pikir pembangunan kehutanan: keadilan kelestarian hutan sama sekali (Barr dkk. 2006).
dan demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya
hutan untuk kesejahteraan rakyat yang bertumpu Keadaan ini mendorong pemerintah daerah untuk
pada konservasi sumberdaya alam dan ekosistem menguras sumberdaya hutannya guna meningkatkan
(Kartodihardjo dan Jhamtani 2006: 33). Namun, PAD mereka, yang masih dijadikan tolok ukur
kerusuhan politik pada waktu itu membuat pemerintah dalam mengukur keberhasilan pemerintah daerah,
sulit untuk melaksanakan berbagai inisiatif sebagaimana yang berakibat laju deforestasi yang tinggi. Dengan
dirinci dalam komitmen ini. Menteri Kehutanan pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan dan
pada waktu itu bahkan menyatakan bahwa sasaran Perkebunan No. 310/Kpts‑II/1999 tiga tahun
dalam kesepakatan dengan lembaga keuangan kemudian, dan penerbitan Peraturan Pemerintah
internasional tersebut sangat tidak realistis (FWI/ No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
GFW 2001). Rekomendasi teknis dari lembaga Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
ini tidak menyelesaikan permasalahan kehutanan Penggunaan Kawasan Hutan, deforestasi pada tahun
karena peningkatan degradasi hutan lebih disebabkan 2002–2003 (Barr dkk. 2006) yang disebabkan oleh
oleh lemahnya kelembagaan, misalnya peraturan kesalahan pengelolaan pada sektor kehutanan atas
perundang‑undangan yang tidak selaras satu sama lain, nama otonomi daerah memperlihatkan kecenderungan
lemahnya kemampuan kelembagaan pada instansi menurun.
kehutanan, dan benturan kepentingan antara instansi
pemerintah dan pihak lainnya (Kartodihardjo dan 69  Wawancaran dengan Yuyun Kurniawan, peneliti bidang
Jhamtani 2006: 30– 36, 87–99). kehutanan dari Yayasan Titian di Kalimantan Barat, 2009.
44   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Namun, juga perlu dicatat bahwa sejak 1998 telah dilaporkan telah melampaui sasaran. Kebijakan
muncul kebijakan dan program pemerintah yang ‘satu orang, satu pohon’ digalakkan pada
diarahkan ke pengelolaan hutan yang berkelanjutan tahun 2009; sasaran pada tahun 2010 adalah
(SFM). Sebagai contoh, menurut arahan kebijakan sebanyak 1 miliar pohon.
yang diterbitkan oleh Balitbanghut (2011),
program kehutanan berikut ini telah diprakarsai 3.2  Deforestasi dan degradasi hutan
ataupun dilaksanakan. dalam konteks kebijakan politik,
•• Strategi konservasi karbon hutan ekonomi, dan hukum saat ini
-- Penetapan kawasan hutan lindung/kawasan
konservasi 3.2.1  Kebijakan ekonomi politik
-- Pada tahun 2009, kawasan yang ditetapkan Deforestasi dan degradasi hutan masih berlangsung
untuk konservasi meliputi total area seluas sampai sekarang. Seperti yang dilakukan pemerintah
22,8 juta ha, peningkatan besar dari sebelumnya, pemerintah masih terus mengandalkan
tahun 1996 yaitu seluas 9,67 juta ha. sumberdaya alam untuk membiayai pembangunan.
-- Pengembangan metode perbaikan silvikultur Hutan diambil kayunya dan sebagian dikonversi
dan penebangan menjadi hutan tanaman dan perkebunan untuk
•• Strategi peningkatan penyerapan karbon menunjang industri pulp dan kertas atau minyak
-- Gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan sawit beserta industri hilirnya sehingga pemerintah
(Gerhan), dengan sasaran lahan seluas 5 juta ha dapat memperoleh pemasukan. Pemerintah juga
-- Pengembangan HTI mengandalkan pendapatan dari sektor pertambangan.
-- Kementerian Kehutanan melaporkan bahwa Usaha pertambangan sering beroperasi dalam kawasan
sampai tahun 2010 telah dibangun HTI seluas hutan negara, sehingga makin mendorong deforestasi
3,65 juta ha. dan degradasi hutan.
-- Wanatani
-- Pada akhir 2010, Kementerian Kehutanan Kebijakan pemerintah yang bertumpu pada sumberdaya
mencatat lebih dari 120.000 ha pembentukan alam untuk menunjang pembangunan terlihat dari
wanatani. nota keuangan APBN tahun 2010. Dokumen ini
-- Reboisasi menunjukkan bahwa pada tahun 2006, sumberdaya
-- Menurut data Kementrian Kehutanan alam menyumbang sebesar 73,9% terhadap
tahun 2011, program reboisasi telah mencapai keseluruhan pendapatan negara bukan pajak (PNBP)
708.400 ha. Sebagian besar penanaman (Tabel 15). Selain itu, sumberdaya alam menyumbang
dilakukan pada lahan kritis tidak untuk sekitar 30% produk domestik bruto (PDB), dan sektor
diambil kayunya, tetapi diutamakan untuk kehutanan menyumbang sebesar 2,4% (Kemenkeu
konservasi tanah. 2009b). Penerimaan dari sektor sumberdaya alam
-- Hutan Tanaman Rakyat (HTR) disajikan pada Tabel 15.
-- HTR adalah hutan tanaman yang dilakukan
di hutan produksi, yang diusahakan oleh Sebagaimana ditunjukkan, pendapatan dari kehutanan
perorangan atau koperasi. Tujuan HTR adalah turun rata‑rata sebesar 10,7% dari tahun 2005
untuk meningkatkan potensi dan kualitas sampai dengan 2008. Namun pada tahun 2008,
hutan produksi melalui teknik silvikultur yang pendapatan sektor ini mencapai Rp 2,3 triliun,
akan menjamin kelestarian sumberdaya hutan. kenaikan sebesar Rp 0,2 triliun atau 9,5% dari realisasi
Masyarakat biasanya memperoleh alokasi lahan pendapatan tahun 2007, dengan Dana Reboisasi
seluas 5‑15 ha per rumah tangga. Sasarannya (DR)70 menyumbangkan Rp 1,6 triliun pada tahun
adalah dibangunnya HTR seluas 5,4 juta ha 2008 dibandingkan dengan Rp 1,4 triliun pada tahun
pada tahun 2015. sebelumnya. Penerimaan dari sumber kehutanan
-- Hutan rakyat lainnya (Iuran Hak Pengusahaan Hutan/IHPH
-- Hutan rakyat di lahan hak milik. Terdapat dan Provisi Sumber Daya Alam/PSDH) berjumlah
sekitar 2 juta ha hutan rakyat di Jawa. masing‑masing Rp 0,1 triliun dan Rp 0,6 triliun
-- Gerakan penanaman pohon pada tahun 2008. Pada tahun 2009, penerimaan dari
-- Kementerian Kehutanan memprakarsai kehutanan masih stabil sebesar Rp 2,3 triliun. Sebagai
program penanaman nasional pada tahun
2007, dengan sasaran penanaman sekitar 70  Dana Reboisasi adalah dana hutan negara yang dibiayai
79 juta pohon pada tahun yang sama dan dari iuran yang dibayar oleh pemegang HPH; iuran ditetapkan
100 juta pohon pada tahun 2008. Program ini sesuai dengan volume kayu yang ditebang (Barr dkk. 2010).
Konteks REDD+ di Indonesia   45

Tabel 15.  PNBP dan penerimaan dari SDA, 2005–2009 (Rp miliar)

2005 2006 2007 2008 2009 2010


(Realisasi) (Realisasi) (Realisasi) (Realisasi) (Realisasi) (APBN‑P)a
Penerimaan minyak dan gas bumi 103.8 158.1 124.8 211.6 125.7 151.7
Minyak bumi 72.8 125.1 93.6 169 90.0 112.5
Gas bumi 30.9 32.9 31.2 42.6 35.7 39.2
Penerimaan non‑minyak dan gas bumi 6.7 9.4 8.1 12.8 13.2 13.0
Pertambangan umum 3.2 6.8 5.9 9.5 10.4 9.7
Kehutanan 3.2 2.4 2.1 2.3 2.3 2.9
Perikanan 0.3 0.2 0.1 0.1 0.1 0.2
Tenaga panas bumi 0 0 0 0.9 0.4 0.2
I. Penerimaan sumberdaya alam 110.5 167.5 132.9 224.4 139 164.7
II. Bagian pemerintah atas laba BUMN 12.8 21.5 23.2 29.1 26.0 29.5
III. PNBP lain 23.6 38 56.9 63.3 53.8 43.5
IV. Penerimaan Badan Layanan Umum 0 0 2.1 3.7 8.4 9.5
Pendapatan Negara Bukan Pajak 146.9 227 215.1 320.5 227.2 247.2
a APBN‑P: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara‑Perubahan
Sumber: Kementerian Keuangan (2011)

perbandingan, data yang diterbitkan oleh Dewan 332.570 ton pada tahun 1998 menjadi 613.487 ton
Kehutanan Nasional menunjukkan bahwa pada pada tahun 2008. Minyak sawit mengalami kenaikan
tahun 2008, sektor kehutanan menyumbang hanya besar yang serupa; produksi minyak sawit Indonesia
0,99% terhadap PDB atau sekitar Rp 16,848 miliar adalah sebesar 4.585.846 ton pada tahun 1998
(DKN 2009). dan menjadi 11.623. 822 ton pada tahun 2008,
sedangkan biji sawit menghasilkan 917.169 ton pada
Perlu dicatat bahwa, meskipun penerimaan resmi dari tahun 1998, naik menjadi 2.646.577 ton pada tahun
sektor ini menyumbang hanya 2,4% terhadap PDB 2008 (lihat juga Tabel 8) (BPS 2010a). Menurut
(Kemenkeu 2003), penerimaan besar diperoleh dari Kartodihardjo and Jhamtani (2006), konsep komoditas
sektor lain yang bergantung pada sektor kehutanan, monokultur merupakan indikasi bahwa pemerintah
misalnya industri pulp dan kertas atau pertambangan Indonesia menganut pendekatan sektoral. Artinya,
dan perkebunan di kawasan hutan. Penerimaan prioritas produksi diberikan pada komoditas yang
ekspor dari industri pulp dan kertas misalnya, sebesar laku di pasar, dan dengan demikian, harus dihasilkan
AS$4,1 miliar atau setara dengan Rp 36,9 triliun pada sesuai dengan spesifikasi volume, mutu, dan waktu
tahun 2010 (BI 2012). tertentu. Akibatnya, pihak yang menerapkan kebijakan
tersebut menggunakan segala cara yang tersedia
Indonesia terus menggencarkan upaya untuk untuk mengubah bentang alam dan keanekaragaman
menaikkan penerimaan dari sektor pertambangan hayatinya, serta mengubah peruntukan penggunaan
meskipun dengan mengorbankan hutan. Penerimaan lahan untuk menghasilkan komoditas yang laris di pasar
dari pertambangan naik sebesar rata‑rata 53,7% per (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006).
tahun dari tahun 2005 sampai dengan 2008. Pada
tahun 2008, penerimaan mencapai Rp 9,5 triliun, naik Ketergantungan pada sumberdaya alam telah
sebesar Rp 3,6 triliun atau 61,8% pada tahun 2007. melahirkan kebijakan yang mendorong investasi
Kenaikan ini terutama berkaitan dengan meningkatnya dan kegiatan pada sektor‑sektor yang terkait dengan
produksi komoditas utama pertambangan (lihat Bab 1 sumberdaya alam. Berbagai kebijakan ini antara lain:
dan implikasinya bagi hutan). 1. Keringanan pajak. Pada tahun 2008, pemerintah
menerbitkan instrumen hukum pemberian
Tingginya permintaan pasar mendorong pemerintah keringanan pajak bagi pemodal dalam bidang
untuk terus memperluas perkebunan monokultur. tertentu (termasuk kehutanan) dan di daerah
Hasilnya, produksi sektor perkebunan naik dari tahun tertentu: Peraturan Pemerintah No. 1/2007, yang
ke tahun. Produksi karet misalnya, meningkat dari diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 62/2008
46   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

tentang Perubahan Peraturan Pemerintah daerah, dan pembebasan dari pajak pertambahan
No. 1/2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan nilai maupun insentif bea dan cukai, seperti
untuk Penanaman Modal di Bidang‑Bidang Usaha penangguhan bea masuk, pembebasan tarif, dan
Tertentu dan/atau di Daerah‑Daerah Tertentu. bea masuk yang lebih rendah. Insentif non‑fiskal
Peraturan ini (Pasal 2) memberikan keringanan mencakup penyederhanaan proses perizinan
pajak sebesar 30% atas laba bersih dari jumlah dan imigrasi.
yang diinvestasikan selama enam tahun, atau 4. Pengembangan bahan bakar nabati (biofuel).
sebesar 5% setiap tahun. Menteri Perindustrian Program ini diluncurkan pada tahun 2006
mengumumkan pada 2009 bahwa peraturan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden
tersebut akan direvisi agar mencakup hasil hutan, No. 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
semen, makanan, produk pertanian, pulp dan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain.
kertas, bahan kimia, galangan kapal, dan logam Untuk melaksanakan program ini, pemerintah
(Bisnis Indonesia 2009). membentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan
2. Izin pertambangan pada hutan lindung. Pada Bakar Nabati. Program bahan bakar nabati tersebut
tahun 2008, pemerintah menerbitkan Peraturan disambut baik oleh kalangan pengusaha, yang
Pemerintah No. 2/2008 tentang Jenis dan Tarif menunjukkan minat mereka untuk berinvestasi
atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada sektor ini—kelapa sawit, jagung, singkong,
yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan tebu, dan minyak jarak. Namun, program ini
untuk Kepentingan Pembangunan di Luar belum berjalan secepat yang diharapkan, terutama
Kegiatan Kehutanan, yang mencakup pemanfaatan karena insentif pasar yang kurang mendukung.
hutan lindung untuk pertambangan terbuka. Sebagai contoh, harga bahan bakar nabati di pasar
Pemberian izin untuk pertambangan terbuka dalam negeri tidak dapat bersaing dengan minyak
pada hutan lindung mencerminkan dengan jelas sawit dalam bentuk minyak goreng.71
kecenderungan yang mengutamakan kepentingan 5. Pembukaan lahan untuk kelapa sawit. Untuk
ekonomi di atas kepedulian pada pelestarian mendukung program pengembangan bahan
lingkungan dan ekologi. bakar nabati dan karena harga CPO yang
3. Pembangunan lumbung pangan dan energi. tergolong tinggi di pasar dunia, pada tahun
Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang 2007 Menteri Pertanian menerbitkan Peraturan
Usaha Budidaya Tanaman mengatur tentang No. 26/ Permentan/OT.140/2/2007, yang
wilayah food estate; fasilitas fiskal dan non‑fiskal menyatakan bahwa untuk perkebunan kelapa sawit
diberlakukan pada kawasan produksi pangan di Provinsi Papua dapat dicadangkan lahan seluas
terpadu yang meliputi pertanian, perkebunan, dan dua kali lipat dari 100.000 ha (Guerin 2007).
peternakan di satu kawasan yang luas dan datar Menurut sebuah laporan, tanah masyarakat Papua
(kawasan ekonomi khusus). Sebagai langkah awal, bahkan dapat disewa selama 35 tahun seharga
pemerintah menetapkan Kabupaten Merauke Rp15.000–450.000 per hektar (AMDAL/Telapak
sebagai kawasan pengembangan lumbung pangan 2009). Peraturan Menteri Pertanian ini diikuti
yang berpotensi karena memiliki 1,6 juta ha lahan oleh Keputusan Menteri Kehutanan No. P.22/
datar (Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Menhut‑II/2009, yang memberikan landasan
Merauke/MIFEE; Setiawan 2010). Namun, hukum bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit
kebijakan ini diragukan sebagai kebijakan untuk memiliki hingga 100.000 ha atau bila di
ketahanan pangan murni mengingat hampir Papua, sampai 200.000 ha lahan (AFP 2008).
setengah dari luas hak pengusahaan yang diberikan Sewa dan ganti rugi yang sangat rendah telah
adalah untuk HTI (Obidzinski dkk. 2012). menimbulkan masalah keadilan dan mengancam
Peraturan Pemerintah ini memungkinkan pemodal, mata pencarian masyarakat yang hutannya terkena
termasuk asing, untuk berinvestasi dan menguasai keputusan tersebut. Bukti dari hal ini adalah biaya
hingga 10.000 ha untuk jangka waktu 35 tahun, hilangnya peluang (kesempatan untuk memperoleh
dengan kemungkinan perpanjangan kali pertama pendapatan) atas tanah yang ‘digadaikan’ sebagai
selama 35 tahun dan perpanjangan kedua selama perkebunan kelapa sawit selama 35 tahun.
25 tahun. Hal ini selanjutnya memungkinkan
pemerintah untuk memberikan insentif fiskal bagi Berdasarkan telaah lingkungan kebijakan ini terlihat
rencana pembangunan prasarana yang termasuk bahwa pemerintah tetap mengandalkan penerimaan
dalam biaya investasi berupa keringanan pajak
penghasilan, pembebasan pajak, pengurangan 71  Komunikasi pribadi dengan praktisi industri kelapa sawit,
pajak pembangunan, keringanan pajak/retribusi Oktober 2010.
Konteks REDD+ di Indonesia   47

dari eksploitasi sumberdaya alam. Meskipun sektor Tabel 16.  Perkara tindak pidana kehutanan yang
ini tidak tampak terkait langsung, perkebunan dan terdaftar pada Kementerian Kehutanan, 2005–2009
pertambangan bergantung dan mempengaruhi kondisi
Tahun Perkara yang Sudah divonis Sedang
hutan. Oleh karena itu, sudah sering diusulkan agar
diajukan ke ditangani
penerimaan dari kedua sektor tersebut diperhitungkan pengadilan pengadilan
sebagai kontribusi dari sektor kehutanan.
2005 949 331 373
3.2.2  Penegakan hukum 2006 2.034 371 1.199
Kebijakan pemerintah tidak didukung oleh penegakan 2007 685 202 364
hukum yang memadai. Catatan resmi mengenai 2008 316 62 163
manfaat ekonomi yang diperoleh dari eksploitasi
2009 243 61 109
sumberdaya hutan menunjukkan bahwa sebagian besar
manfaat tersebut sering digelapkan, dimanipulasi atau Sumber: Ringkasan perkara yang terdaftar pada Kementerian
Kehutanan (2010), tidak dipublikasikan
dirugikan karena tindakan ilegal. Namun, perkiraan
kerugian akibat tindakan tersebut sangat beragam.
M.S. Kaban, mantan Menteri Kehutanan, pernah
mengatakan bahwa kerugian negara akibat pembalakan Data ICW memberikan rujukan untuk menelaah
liar pada sektor kehutanan berjumlah Rp 30 triliun per kelemahan dalam penanganan perkara yang masuk
tahun, atau sekitar Rp 2,5 triliun per bulan. Indonesia ke pengadilan. Menurut data ICW, dari 205 putusan
Corruption Watch (ICW) memperkirakan kerugian selama 2005–2008, hanya 17,24% yang menyatakan
negara akibat korupsi pada sektor kehutanan selama bahwa otak kejahatan bersalah dan dijatuhi hukuman;
tahun 2003–2008 adalah sekitar Rp 14,13 triliun.72 secara keseluruhan, 137 (66.83%) terdakwa tidak
Korupsi dalam proses perizinan merupakan terbukti bersalah, 44 (21,46%) dihukum penjara
penyumbang utama sehingga mencapai jumlah kurang dari 1 tahun, 14 (6,83%) dihukum penjara
yang besar ini. Korupsi dilakukan dalam beberapa 1‑2 tahun, dan 10 (4,88%) dihukum lebih dari
cara: pemberian uang suap untuk mendapatkan 2 tahun.73 Laporan tahunan Mahkamah Agung tahun
surat rekomendasi dari dinas kabupaten, bupati/ 2008 menunjukkan bahwa 92 perkara pembalakan liar
walikota, dan dinas provinsi dalam rangka pengajuan telah diputuskan di tingkat kasasi, 24 perkara dihukum
permohonan izin awal konsesi; ‘biaya operasional’ kurang dari 1 tahun, 19 perkara dihukum 1‑2 tahun,
bagi pengawas lapangan untuk rencana pengelolaan 5 perkara dihukum 3‑5 tahun, 8 perkara dihukum
dan laporan hasil cruising (LHC) atau penentuan stok 6‑10 tahun, dan tidak ada yang dihukum lebih dari
kayu, yang boleh jadi mencakup biaya ‘hiburan’ yang 10 tahun. Terdakwa dibebaskan tanpa hukuman
tidak dijelaskan; dan pemberian uang suap untuk sebanyak 36 perkara. Tidak ada terdakwa yang dijatuhi
mendapatkan dokumen untuk kegiatan rutin (lihat juga hukuman penjara seumur hidup ataupun hukuman
Bab 1) (Harwell dan Blundell 2009). mati. Bahkan dengan putusan‑putusan ini, dalam
kenyataannya, otak kejahatan di balik pembalakan
Meskipun undang‑undang Kehutanan mengatur liar tersebut jarang diseret ke pengadilan karena
tentang tindak pidana kehutanan, pemerintah tidak Undang‑Undang Kehutanan memiliki celah yang
dapat sepenuhnya menegakkan undang‑undang memungkinkan pelaku utama di balik pembalakan liar
tersebut. Data Kementrian Kehutanan tahun lolos dari jeratan hukum. Hukuman yang dijatuhkan
2005–2009 tentang perkara yang tercatat mencakup sebenarnya terlalu ringan sehingga tidak membuat jera
pembalakan liar, perambahan hutan, pencurian flora sama sekali. Angka dalam rancangan laporan Strategi
dan fauna, penambangan liar, dan pembakaran hutan Nasional REDD+ tertanggal 23 September 2010
memberi bukti atas kelemahan ini: setiap tahun, lebih tercatat lebih tinggi, sebagaimana disajikan pada
banyak perkara yang masih menunggu untuk disidang Gambar 2.
atau sedang dalam proses persidangan dibandingkan
dengan yang telah divonis (Tabel 16). Hal ini Ringannya tuntutan hukuman dan jumlah putusan
menunjukkan bahwa mengadili pelaku tindak pidana bersalah menunjukkan bahwa Undang‑Undang
ini bukan tugas yang mudah. Kehutanan, sebagai perangkat hukum utama dalam

73  Indonesian Corruption Watch (ICW), 2008. KPK harus


72 www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/16595/ memimpin pemberantasan korupsi dan mafia kehutanan;
kpk-harus-mempimpin-pemberantasan-korupsi-dan-mafia- http://m.antikorupsi.org/?q=content/16595/kpk-harus-
kehutanan. mempimpin-pemberantasan-korupsi-dan-mafia-kehutanan.
48   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Vonis pengadilan pada sektor kehutanan 2008 Vonis pengadilan pada sektor kehutanan 2009
0
0 0
< 1 Tahun < 1 Tahun
0
12 15
1 - 2 Tahun 1 - 2 Tahun
24 8
3 - 5 Tahun 3 - 5 Tahun
36
6 - 10 Tahun 6 - 10 Tahun

19 > 10 Tahun 71 > 10 Tahun


8 5 Hukuman penjara Hukuman penjara
0 seumur hidup seumur hidup
0 0
Hukuman mati Hukuman mati

Gambar 2.  Vonis pengadilan atas perkara kehutanan


Sumber: Bappenas 2010b

pengelolaan hutan, mengandung kelemahan dalam hak pengusahaan hutan yang bertentangan dengan
pelaksanaannya, terlepas dari hal‑hal seperti kejujuran peraturan; ia dijatuhi hukuman 11 tahun penjara dan
dan moral penegak hukum itu sendiri. Hukuman denda Rp 500 juta (Tempo 2008). Di samping itu,
atas pelanggaran Undang‑Undang Kehutanan tidak KPK juga menahan seorang bupati lain dari Provinsi
menimbulkan efek jera74 bagi pelaku kejahatan Riau, atas tindak korupsi dalam pemberian izin
dan dapat mengirimkan pesan yang salah kepada kehutanan (Kompas 2011b).
masyarakat sehingga sering terjadi pelanggaran hukum
di kawasan hutan. Bahkan para pejabat tinggi pemerintah telah mengakui
adanya praktik mafia peradilan dalam hal pembalakan
Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan liar tersebut; karena itu, pada tahun 2009, Presiden
tidak memadai karena pihak yang berwenang Yudhoyono membentuk Satuan Tugas Pemberantasan
tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Mafia Hukum (Satgas PMH), dengan tugas untuk
undang‑undang lain di luar Undang‑Undang memberantas mafia tersebut. Satgas PMH masih dalam
Kehutanan, atau enggan untuk menerapkannya, proses melacak dan melakukan verifikasi pengaduan
meskipun undang‑undang seperti Undang‑Undang dari masyarakat. Praktik mafia hukum itu sendiri sulit
Anti-Pencucian Uang, Undang‑Undang Anti‑Korupsi, untuk dibuktikan meskipun petunjuk ke arah itu
dan Undang‑Undang Pengelolaan dan Perlindungan sangat kuat.
Lingkungan Hidup dapat digunakan untuk mengadili
pelaku tindak pidana kehutanan (ICEL 2006). Terlihat jelas bahwa terdapat tanda pergeseran ke
arah peningkatan kebijakan penegakan hukum pada
Pemerintah sekarang sedang berupaya untuk sektor kehutanan. Prakarsa baru‑baru ini datang dari
memperbaiki kinerja penegakan hukum pada sektor Menteri Kehutanan, yang membentuk tim gabungan
kehutanan. KPK baru‑baru ini berhasil menggunakan setelah mengunjungi Kalimantan Timur dan melihat
Undang‑Undang Anti-Korupsi dalam perkara yang sendiri besarnya kerusakan hutan di daerah tersebut.
melibatkan seorang tokoh dalam penyalahgunaan Tim gabungan ini tersusun atas perwakilan dari
wewenang dalam pemberian izin konsesi hutan. Dalam Kementerian Kehutanan, jaksa, polisi, KPK, dan Satgas
hal ini, salah seorang bupati di Provinsi Riau terbukti PMH (Detiknews 2010). Pada kunjungan tersebut,
bersalah melakukan korupsi dalam pemberian izin Menteri juga mengumumkan bahwa setidaknya
terdapat 160 perkara tindak pidana kehutanan—
74  Ada dua jenis pencegahan: pencegahan umum dan pembukaan hutan tanpa izin untuk perkebunan dan
pencegahan khusus. Pencegahan umum menekankan pada pertambangan—yang sedang menunggu proses hukum
pencegahan yang dapat ‘diperlihatkan’ kepada masyarakat (Kompas 2010f ).
dengan harapan agar tidak ada lagi orang yang akan berbuat hal
serupa sehingga mencegah terulangnya kejahatan. Pencegahan
khusus, sebaliknya, menekankan pada pencegahan yang
Sebagai tindak lanjut, Kementerian Kehutanan dan
diberikan kepada pelaku dengan harapan agar tidak akan Satgas PMH membentuk kelompok kerja (Pokja) yang
berbuat kejahatan lagi di kemudian hari (Keel 2010). mencakup perwakilan dari Kementerian Kehutanan,
Konteks REDD+ di Indonesia   49

Satgas PMH, dan Unit Kerja Presiden untuk Banyak pihak—termasuk Pemerintah Indonesia—
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), merasa bahwa REDD+ merupakan cara yang berpotensi
yang ditugaskan untuk menyiapkan pertemuan tingkat untuk melindungi hutan dan mengurangi dampak
menteri guna membahas sejauh mana pelanggaran perubahan iklim secara efektif. Terdapat optimisme
yang dilakukan di kawasan hutan dan mengusulkan bahwa, sebagai cara baru, REDD+ layak untuk dicoba,
penyelesaian secara menyeluruh.75 Secara khusus, tim karena Indonesia memiliki kawasan hutan yang
Pokja ditugaskan untuk mempelajari dan mengusulkan luas dan dapat meraup manfaat yang besar. Dengan
penyelesaian atas permasalahan di sebuah provinsi demikian REDD+ tidak hanya dapat membantu
(pendekatan pemodelan) dan menunjukkan perubahan menyelamatkan hutan, tetapi juga membantu Indonesia
yang harus dilakukan pada kebijakan yang telah memperoleh manfaat finansial dari perdagangan
menyebabkan pelanggaran tersebut. Masa tugas Pokja karbon. Dari sudut pandang ini, REDD+ merupakan
ini adalah sampai akhir November 2010. Direncanakan pilihan untuk menyediakan sumber pendanaan
bahwa rekomendasi dari Pokja akan dijadikan program pembangunan tanpa merusak hutan.
Kabinet, yang pelaksanaannya akan dipantau oleh
UKP4, yang menjadi tempat berkantor bagi Satuan Namun, ada juga pihak yang meragukan REDD+,
Tugas REDD+ (lihat Bab 4). dengan alasan kuat. Keragu‑raguan ini muncul
karena berbagai persoalan kehutanan di Indonesia
Selain itu, KPK telah meninjau peraturan dan masih belum tertangani. Belum jelas juga bagaimana
kebijakan Kementerian Kehutanan untuk menilai REDD+ dapat menyelesaikannya: masih banyak
apakah peraturan tersebut memuat ketentuan yang peraturan yang tumpang tindih; proses perizinan dan
memberi celah bagi kemungkinan terjadinya korupsi. pengelolaan hutan yang umumnya jauh dari terbuka;
Temuan KPK menyatakan bahwa beberapa kebijakan tingkat korupsi dan kolusi yang tinggi; dan penegakan
kehutanan berkontribusi terhadap lemahnya kepastian hukum dalam bidang kehutanan yang tidak memadai
hukum di kawasan hutan (KPK 2010a). Serupa dengan (Dermawan dkk. 2011).
hal ini, tinjauan KPK atas perencanaan dan pengelolaan
hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Namun demikian, kemajuan Strategi REDD+
Kementerian Kehutanan telah mengidentifikasi Nasional, dengan sejumlah kontributor yang berupaya
beberapa hal yang dapat memudahkan terjadinya untuk mengatasi permasalahan mendasar dan tidak
korupsi karena ketidakpastian mengenai hak dan menginginkan sekadar ‘bisnis seperti biasa’, dan bukti
investasi, lemahnya kerangka peraturan, dan kurangnya dari kesungguhan niat pemerintah dengan membentuk
pengelolaan di tingkat tapak (KPK 2010a, 2010b). Satuan Tugas REDD+ di bawah kendali UKP4
tersebut, memberikan atmosfer positif bagi REDD+.
3.3  REDD+ dalam konteks ekonomi
politik dan penegakan hukum Persoalan lain yang mempengaruhi perdebatan tentang
di Indonesia perlu tidaknya REDD+ diterapkan adalah mengenai
Merujuk pada arah kebijakan pembangunan di keadilan antara negara penghasil emisi tinggi dan
Indonesia, REDD+ perlu diterapkan dengan sangat rendah. Beberapa pihak, di antaranya LSM, organisasi
berhati‑hati dan kritis. Tingginya permintaan masyarakat madani, dan perorangan di instansi
pasar akan komoditas kehutanan, perkebunan, dan pemerintah, menganggap REDD+ tidak akan berhasil
pertambangan akan sangat mempengaruhi arah memitigasi perubahan iklim apabila negara penghasil
kebijakan politik dan ekonomi, yang cenderung emisi tinggi tidak menurunkan tingkat emisinya.
menguras sumberdaya alam. Namun demikian, Pandangan ini meyakini bahwa tidak adil bagi negara
mengingat bahwa Indonesia masih dalam tahap pemilik hutan apabila diwajibkan mempertahankan
pembangunan, dapat dimengerti apabila pemerintah hutannya (yang merupakan sumber dana
tetap mengandalkan pendapatan dari sektor pembangunan) untuk menyerap karbon sedangkan
sumberdaya alam. Dalam hal ini, pemanfaatan negara penghasil emisi tinggi dapat terus melepas emisi
sumberdaya alam sebagai sumber pendanaan dan melanjutkan pembangunannya. Dalam perdebatan
pembangunan perlu dilakukan sebijaksana mungkin, ini, persoalan tentang siapa yang akan menerima
yaitu eksploitasi sumberdaya alam yang didasarkan pada manfaat terbanyak dari REDD+ muncul: apakah negara
prinsip‑prinsip konservasi dan selaras dengan upaya maju, yang umumnya merupakan penghasil emisi
perlindungannya. tinggi, atau negara pemilik hutan seperti Indonesia?

75  Keputusan Menteri No. 478/Menhut‑II/2010.


50   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Persoalan tentang keadilan juga muncul dalam hal Mengingat adanya kemungkinan manfaat dan
siapa yang akan menerima uang dari perdagangan kerugian yang dapat timbul dari REDD+, penerapan
karbon dalam skema REDD+: apakah pemerintah mekanismenya di Indonesia perlu dilakukan dengan
atau pengusaha yang menjalankan program REDD+? sangat berhati‑hati. Dalam konteks perekonomian yang
Berikutnya ialah persoalan pembagian keuntungan, terus mengandalkan sumberdaya alam sebagai sumber
yang tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga pendanaan pembangunan, konteks politik yang masih
dalam bentuk hak pengelolaan dan pemanfaatan yang memerlukan perbaikan tata kelola, dan sistem peradilan
meliputi pengembang proyek REDD+ dan masyarakat yang mencirikan penegakan hukum yang tidak efektif
yang tinggal di kawasan hutan yang menggantungkan dan korup, maka mutlak dibutuhkan penelitian yang
mata pencariannya dari hutan. mendalam, kehati‑hatian, dan kearifan.
4.  Lingkungan kebijakan REDD+
Pelaku, peristiwa kebijakan, dan proses kebijakan
4.1  Konteks kebijakan perubahan dokumen operasional melalui Anggaran Pendapatan
iklim yang lebih luas dan Belanja Negara (APBN). Pada tingkat regional,
Dalam persiapan COP 13 yang diselenggarakan oleh ICCSR akan dimasukkan ke dalam dokumen
Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Iklim (UNFCCC) di Bali pada tahun 2007, Indonesia (RPJMD) yang diturunkan dari RPJMN setelah
mengajukan Rencana Aksi Nasional (RAN), yang dilakukan penilaian risiko daerah dan pada akhirnya,
berfungsi sebagai rujukan bagi semua sektor dalam akan menjadi APBD operasional (Bappenas 2010a;
menyusun kebijakan yang terkait dengan perubahan Gambar 3 dan Gambar 4).
iklim. Rencana aksi ini mencakup kegiatan‑kegiatan
bagi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di beberapa 4.1.1  Program mitigasi
sektor (kehutanan, pertanian, alih fungsi lahan, dan Indonesia secara sukarela telah berkomitmen
energi). Karena RAN ini merupakan dokumen kerja, untuk melakukan mitigasi perubahan iklim dengan
pemerintah akan mengevaluasinya secara terus‑menerus menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun
guna meningkatkan keefektifannya (KLH 2007a: 18). 2020 dan 41% pada tahun 2050 (KLH 2009). Janji ini
pertama kali diumumkan oleh Presiden Susilo Bambang
Akan tetapi, rencana aksi tersebut bukanlah Yudhoyono pada pertemuan G20 pada tanggal
satu‑satunya dokumen kebijakan dalam konteks 25 September 2009. Menjelang COP 15 UNFCCC
perubahan iklim di Indonesia. Pada bulan di Kopenhagen pada tahun 2009, Kementerian
Desember 2007, Badan Perencanaan Pembangunan Lingkungan Hidup menerbitkan Komunikasi Nasional
Nasional (Bappenas) menerbitkan ‘Perencanaan Kedua (SNC) sebagaimana diamanatkan dalam
pembangunan nasional: Respon Indonesia terhadap Pasal 12.1 UNFCCC.76 Melalui SNC ini, Pemerintah
perubahan iklim’, yang juga dikenal dengan Buku Indonesia menegaskan kembali janjinya untuk
Kuning. Dokumen kebijakan ini, yang direvisi pada menurunkan emisi sejalan dengan pernyataan presiden
bulan Juli 2008, bertujuan untuk memperkuat dan tersebut. SNC juga dimaksudkan sebagai alat pelaporan
mendukung pelaksanaan Rencana Pembangunan informasi tentang emisi dan penurunan GRK, dan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004– untuk merinci langkah‑langkah yang diambil untuk
2009 untuk mengintegrasikan aspek perubahan iklim, melaksanakan konvensi tersebut. Termasuk yang
dan menyediakan masukan bagi penyusunan RPJMN dilaporkan dalam dokumen tersebut ialah tindakan
2010–2014 (Bappenas 2009b:2). pemerintah yang direncanakan akan diambil
untuk menurunkan emisi dalam rangka memenuhi
Kemudian, pada bulan Desember 2009, bersama komitmennya. Komitmen Indonesia ditegaskan
dengan berbagai lembaga sektoral dan pakar/akademisi, kembali melalui submisi Indonesia ke UNFCCC
Bappenas menyusun Peta Jalan Sektoral Perubahan pada 19 Januari 2010, pasca COP 15 UNFCCC di
Iklim Indonesia (Indonesian Climate Change Sectoral Copenhagen.
Roadmap/ICCSR), yang bertujuan untuk menjabarkan
dua dokumen yang sebelumnya disebutkan dan Walau sasaran pengurangan emisi Indonesia, seperti
mempercepat pelaksanaan program sektor terkait untuk yang diumumkan oleh Presiden pada tahun 2009,
mengatasi perubahan iklim. Rentang waktu ICCSR menunjukkan Indonesia sebagai pelopor mitigasi
adalah 20 tahun (2010–2029), yang dibagi menjadi perubahan iklim, janji tersebut mengejutkan
empat tahap pelaksanaan, dan menitikberatkan pada banyak pihak di Indonesia, yang menganggapnya
RPJMN 2010–2014 (Bappenas 2009b). Menurut sebagai tanggung jawab yang besar dan amanat yang
ICCSR, mitigasi mencakup lima sektor—energi, berat, khususnya bagi para pembuat kebijakan dan
industri, kehutanan, perhubungan, dan pengelolaan sektor‑sektor terkait.
limbah—dan adaptasi melibatkan empat sektor—
pertanian, kelautan dan perikanan, sumberdaya air,
dan kesehatan.
76  Masing‑masing negara penandatangan UNFCCC wajib
ICCSR akan masuk ke dalam skema perencanaan membentuk Komunikasi Nasional, sebagaimana diamanatkan
nasional melalui RPJMN 2010, dan akan menjadi oleh Pasal 12.1 UNFCCC tersebut.
52   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

RENSTRA K/L RENJA K/L

RPJPN RPJMN
RKP APBN
2005-2025 2011–2014

Pemanasan global
Peta jalan
perubahan iklim
Model IPCC 2010-2030

Penilaian risiko
kawasan

RPJD RPJMD RPKD APBD

RENSTRA SKPD RENJA SKPD

Gambar 3.  Keterkaitan antara garis besar haluan kerja perubahan iklim dan perencanaan pembangunan
Catatan:
RPJPN: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RPJMN: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RKP: Rencana Kerja Pemerintah
APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
RPJPD: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPJMD: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RKPD: Rencana Kerja Pemerintah Daerah
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
RENSTRA SKPD: Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah
RENJA SKPD: Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah
RENSTRA K/L: Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
RENJA K/L: Rencana Kerja Kementerian/Lembaga
Sumber: Bappenas (2009b: 3)
Konteks REDD+ di Indonesia   53

Rencana APBN
Aksi Bali Mitigasi
Pengarus
utamaan
Garis besar haluan kerja Bi-/Multi-lateral
ke dalam
(ICCSR) RPJM à
RAN-GRK
Pernyataan pres: ICCTF
Adaptasi
G20 2009
Mengintegrasikan Mekanisme pembiayaan
Rencana Aksi Nasional
Buku internasional dalam
tentang Perubahan
Kuning menyalurkan dana
Iklim ke dalam RPJM
investasi untuk prakarsa
2010-2014 dan
perubahan iklim
masukan sampai
dengan 2030 nasional

Gambar 4.  Keterkaitan antara Peta Jalan Perubahan Iklim dan kebijakan nasional
Catatan: RPJM: Rencana Pembangunan Jangka Menengah, RAN‑GRK: Rencana Aksi Nasional‑Gas Rumah Kaca, ICCTF: Dana Perwalian
Perubahan Iklim Indonesia
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup (2009)

Sasaran yang ditetapkan oleh Presiden akan dihitung telah dan sedang dilakukan oleh Indonesia yang terkait
berdasarkan skenario ‘bisnis seperti biasa’ yang dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
selanjutnya menghasilkan prakiraan emisi Indonesia
yaitu mencapai 2,95 Gt pada tahun 2020 (KLH 2009). Energi
Berdasarkan prakiraan ini, dari sasaran pengurangan Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral telah
emisi sebesar 26%, sektor kehutanan bertanggung menetapkan dua strategi untuk memastikan penyediaan
jawab atas 14%, dan 12% selebihnya merupakan energi di dalam negeri: cadangan energi tanpa
tanggung jawab sektor‑sektor lain (KLH 2009). konservasi energi (‘bisnis seperti biasa’) dan cadangan
energi dengan konservasi energi (Rencana Induk
Pembahasan tentang dasar acuan (baseline) sedang Konservasi Energi Nasional (RIKEN)). Kedua skenario
berlangsung. Selain itu, prioritas lembaga pemerintah tersebut dituangkan pada cetak‑biru pengelolaan
berbeda‑beda dalam hal sektor mana yang harus energi nasional (2006) dan energy outlook (2006–
ditargetkan untuk pengurangan emisi. Menurut 2030). Kebijakan energi nasional berdasarkan pada
ICCSR Bappenas, sektor yang diutamakan untuk Keputusan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan
mitigasi ialah energi, kehutanan, perhubungan, dan Energi Nasional.
pengelolaan limbah. Sebaliknya, SNC mengutamakan
energi, kehutanan, pertanian (sawah dan peternakan), Beberapa kegiatan sektor energi berkaitan langsung
dan pengelolaan limbah. Perbandingan dua dokumen maupun tidak langsung dengan sektor kehutanan.
tersebut menunjukkan bahwa ICCSR memberikan Dalam SNC, terlihat bahwa batu bara tetap
pedoman yang lebih rinci untuk tindakan mitigasi. menjadi pilihan pemerintah untuk pembangkit
Dua dokumen tersebut dibuat oleh lembaga yang listrik meskipun dinyatakan bahwa batu bara akan
berbeda dengan menggunakan proses yang berbeda, digunakan sebagai bahan baku melalui pembakaran
dan masing‑masing memiliki fungsi berbeda: ICCSR batu bara cair (coal fluidized bed combustion/cfbc)77.
sebagai pelengkap RPJM sedangkan SNC sebagai Pilihan untuk menggunakan batu bara tidak hanya
mekanisme pelaporan kepada UNFCCC. akan mempengaruhi emisi yang dilepas, tetapi
juga keberadaan hutan untuk penyerapan karbon.
Sejumlah upaya mitigasi sektor energi dan kehutanan Penggunaan pembakaran batu bara cair hanya
yang dilakukan oleh pemerintah dengan merujuk pada
SNC dan berdampak langsung terhadap REDD+ 77  Metode ini mengolah batu bara melalui pengubahan
dijabarkan dalam pembahasan berikut. SNC dijadikan menjadi gas dan penguapan untuk mengurangi emisi akibat
rujukan karena berisi laporan tentang tindakan yang pembakaran batu bara.
54   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

mengatasi pengurangan emisi dari pembakaran batu penanaman energi biomassa; dan (2) pemulihan hutan
bara; hal ini tidak mengatasi masalah kerusakan produksi melalui penanaman pengayaan. Tercakup juga
lingkungan dan deforestasi akibat penambangan dalam SNC rencana untuk mengurangi pembalakan
batu bara di dalam kawasan hutan negara liar sebesar 43% dan perladangan berpindah sebesar
(Greenpeace 2008). 17% dari tingkat sebelumnya (yaitu angka tahun 1990)
(KLH 2009). Tabel 17 menunjukkan program
Pemerintah juga merencanakan program perluasan pemerintah pada sektor kehutanan untuk mencapai
bahan bakar nabati (BBN) untuk kendaraan pribadi sasaran pengurangan emisi.
karena penggunaan BBN sebagai bahan bakar alternatif
dianggap sebagai cara untuk mengurangi emisi dari Tabel 17 menggambarkan bahwa untuk mengurangi
kendaraan (Prihandana 2008: 34). Namun demikian, emisi, pemerintah perlu mengutamakan kegiatan
produksi BBN membutuhkan budidaya komoditas konservasi dan penanaman—termasuk Hutan
yang digunakan sebagai bahan baku untuk BBN, Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat
misalnya kelapa sawit, jagung, dan jarak. Akibatnya, (HTR)—dengan mengutamakan mekanisme SFM
apabila permintaan BBN meningkat, akan diperlukan dalam mengelola hutan. Dua hal perlu mendapat
lahan yang lebih luas untuk produksi bahan baku. perhatian khusus dalam hal ini. Pertama ialah
Sebagian lahan yang diarahkan oleh pemerintah pengelolaan: mengingat bahwa sampai sekarang
Indonesia untuk pengembangan BBN adalah kawasan pertumbuhan HTI masih berjalan lambat (lihat Bab 1),
hutan (sebagaimana dibahas sebelumnya, perluasan gagasan untuk mengandalkan pengurangan emisi
perkebunan kelapa sawit bertumpu pada kawasan pada sektor ini menimbulkan persoalan tersendiri.
hutan). Dilihat dari sudut pandang ini, produksi BBN Kedua, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian,
akan berdampak merugikan kelestarian hutan dan pencegahan deforestasi pada hakikatnya merupakan
ekosistem hutan. cara yang lebih efektif untuk mengurangi emisi; ini
mencakup mempertahankan tutupan hutan pada hutan
Di antara pilihan mitigasi yang tersedia, pemerintah sekunder dan tutupan hutan di luar kawasasn hutan
belum menetapkan pilihan energi terbarukan. Energi (Verchot dkk. 2010).
terbarukan (yakni energi surya dan angin) dikatakan
berpotensi sangat besar di Indonesia (Greenpeace Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian
2009), tetapi masih terlalu dini untuk dilihat tingkat Kehutanan, menerima bantuan internasional dalam
keberhasilannya. Rencana yang ada dalam cetak‑biru memperbaiki pengelolaan hutan. Proyek bilateral
pengelolaan energi nasional 2006–2010 menyatakan yang sudah ada mencakup: Kerja sama dalam
bahwa energi surya akan dikembangkan pada tahun Program Kehutanan Multi‑pihak dan Tata Kelola
2010 dengan kapasitas 80 MW dan biaya investasi Hutan (2007–2010), dengan Pemerintah Inggris;
AS$329 juta. Pengembangan ladang penangkap Proyek Kehutanan‑Perubahan Iklim di Kalimantan
angin direncanakan dimulai pada tahun 2016 Tengah dan Timur (2009–2016); Kerja sama Teknis
dengan daya kumulatif 0,2 GW dan biaya investasi dalam Menunjang Pelaksanaan Rencana Strategis
AS$316 juta. Akan tetapi, rencana ini tampaknya Kementerian Kehutanan (2008–2011); Kerja
tidak akan diwujudkan dalam waktu dekat. Kebijakan sama teknis dalam melaksanakan Heart of Borneo
pemerintah pada sektor energi yang sejalan dengan Initiative (Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam)
mitigasi perubahan iklim ialah pengembangan energi (2008– 2011); Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan
panas bumi. (KFCP) (2009–2012), dengan Australia; dan Program
Gabungan Korea–Indonesia tentang Adaptasi
Kehutanan dan Mitigasi Perubahan Iklim dalam Kehutanan
Dokumen SNC memuat prakiraan perubahan melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB)—
cadangan karbon dari kandungan biomassa sejak tahun Penghutanan dan Reboisasi dan Mekanisme Terkait
1990 sampai dengan 2030. Prakiraan ini didasarkan lainnya (2008– 2012).
pada kecenderungan historis cadangan karbon dan
kandungan biomassa serta rehabilitasi lahan (Boer Sampai dengan Juni 2012, sebagian di antara program
2001 dalam KLH 2009). Menurut perkiraan ini, ini telah selesai atau sedang berlangsung; misalnya,
tanpa adanya upaya mitigasi, cadangan karbon akan proyek KFCP di Kalimantan Tengah yang sedang
terus menurun sampai 2030. Peningkatan cadangan menyiapkan prasarana untuk REDD+ dan telah
karbon sampai sebesar tahun 1990 dapat dicapai melakukan banyak pelibatan masyarakat, dan program
melalui dua cara: (1) rehabilitasi lahan melalui reboisasi, UN‑REDD (lihat Bagian 4.2.2) yang telah memilih
penghutanan, penanaman hutan produksi, dan Sulawesi Tengah sebagai provinsi percontohan. Pada
Konteks REDD+ di Indonesia   55

Tabel 17.  Program kehutanan pemerintah Indonesia per 2009

Program Luas kumulatif dalam juta ha (CO2 yang disimpan/diserap dalam juta ton/ha)
2007–2009 2010–2014 2014–2020 2021–2025 2025–2030
Peningkatan penyerapan
Hutan tanaman
HTI (Hutan 3,6 7,5 8,4 9,3 9,7
Tanaman Industri) (105,5) (219,75) (246,12) (272,8) (284,2)
HTR (Hutan 3,6 5,6 7,3 9,0 9,8
Tanaman Rakyat) (105,5) (164,1) (213,9) (263,7) (287,1)
HR (Hutan Rakyat) 2,0 4,6 6,3 8 8
(58,6) (134,8) (184,6) (234,4) (234,4)
Gerhan (Gerakan 1,68
rehabilitasi lahan)
Silvikultur intensif 0,25 0,75 1,50 2,00 2,50

Penanaman sejuta 0,003 0,1 0,2 0,3 0,4


pohon
Rehabilitasi hutan

Hutan lindung 0,5 1,6 3,3 5,0 7,6


(373,5) (2.347,2) (4.841,1) (7.335,0) (11.149,2)
Hutan konservasi 0,5 2,5 3,8 5,0 6,3
(733,5) (3.667,5) (5.574,6) (7.335,0) (9.242,1)
Pengurangan emisi:
Pengelolaan dan perbaikan hutan alam
Hutan produksi 23,12 23,23 23,12 23,23 23,23
(HPH) (3,39) (3,39) (3,39) (3,39) (3,39)
Hutan lindung 13,39 15,15 17,27 19,39 21,77
(19.643,1) (22.225,0) (25.335,1) (28.445,1) (31.936,5)
Hutan konservasi 10,24 16,16 18,28 20,39 20,64
(15.022,1) (23.706,7) (26.816,7) (29.912,1) (30.278,8)
Sumber: KLH (2009)

bulan Februari 2011, Pemerintah Sulawesi Tengah ialah program kesiapan REDD+ berdasarkan Surat
membentuk kelompok kerja REDD+. Sampai dengan Pernyataan Minat (LoI) antara pemerintah Indonesia
triwulan terakhir tahun 2011, proses persiapan dan Norwegia. Berdasarkan rencana yang disepakati
percontohan REDD+ di Sulawesi Tengah sedang oleh kedua negara ini, Norwegia berjanji untuk
berlangsung; yang mencakup persiapan kebijakan membantu upaya Indonesia guna mengurangi emisi
REDD+, pemantauan, pelaporan, dan verifikasi dari sektor kehutanan melalui REDD+ dengan dana
(MRV), dan sosialisasi REDD+ kepada masyarakat sebesar AS$1 miliar. Akan tetapi, bantuan ini akan
dan juga menetapkan kriteria dan indikator untuk didasarkan pada penilaian kinerja: Norwegia akan
pemilihan kabupaten (untuk proyek percontohan).78 memberikan bantuan dengan kondisi Indonesia harus
menunjukkan keberhasilannya dalam mengurangi
Kolaborasi lain yang sedang berlangsung dan menerima deforestasi dan memenuhi ketentuan lainnya. Seperti
perhatian luas, tetapi tidak disebutkan dalam SNC, dicatat di atas, SNC tidak hanya melaporkan tindakan
yang telah dilakukan oleh Indonesia, tetapi juga
kegiatan yang direncanakan, sebagaimana ditunjukkan
78  Komunikasi pribadi antara Ida Aju P. Resosudarmo
dan Ngakan Putu Oka, Universitas Hasanuddin (UNHAS), pada matriks di atas (Tabel 17). Karena sebagian besar
13 Oktober 2011. rencana ini sedang berlangsung, keberhasilannya
56   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

belum dapat diukur secara resmi. Akan tetapi, perlu Dalam SNC, Pemerintah Indonesia tidak menyebutkan
diperhatikan bahwa tidak terlihat adanya strategi secara khusus tentang kegiatan adaptasi yang telah
pelaksanaan dalam rencana ini. Walaupun kegiatan dilakukan. Akan tetapi, adaptasi dijelaskan lebih
tersebut muncul berulang dalam rencana Kementerian banyak dalam kaitannya dengan potensi dampaknya
Kehutanan, potensi atau realisasi keberhasilannya dalam bagi Indonesia dan ancaman bagi masyarakat yang
mengurangi laju deforestasi dan pemulihan hutan rentan. SNC menyajikan daftar sektor dan bidang
belum pasti.79 Harus disusun strategi untuk mengatasi yang dianggap rentan dan memerlukan perhatian
hambatan yang timbul dalam mewujudkan rencana ini. dalam kegiatan adaptasi: kesehatan, perikanan,
pertanian, kawasan pesisir, sumberdaya air, dan
Pertanian hutan. Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan
Sektor pertanian menyumbang 80.179 Gg gas rumah tidak terlihat sebagai upaya adaptasi. Nampaknya hal
kaca (GRK) pada tahun 2005, naik dari tahun 2004 ini terlewatkan mengingat banyak masyarakat yang
(77.863 Gg) (KLH 2009). Angka ini jauh lebih bergantung pada hutan yang miskin dan rentan: ketika
rendah dibandingkan dengan sektor kehutanan karena perubahan iklim mulai berdampak terhadap keuangan
gabungan LUCF (perubahan penggunaan lahan dan dan ekonomi, masyarakat kembali mengandalkan hutan
kehutanan) dan kebakaran gambut menyumbang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.80
1.057.280 Gg GRK. Penyumbang utama emisi dari
pertanian ialah sawah dan peternakan (gas metana). ICCSR menyajikan daftar sektor berikut sebagai hal
Pemerintah telah menyusun beberapa skenario penting yang perlu dimasukkan ke dalam skenario
mitigasi pertanian, enam diantaranya berkaitan adaptasi perubahan iklim: air, kelautan dan perikanan,
dengan sawah:(1) pengairan berkala; (2) pemberian pertanian, dan kesehatan. Di samping itu, peta jalan ini
pupuk; (3) penggunaan varietas padi rendah‑metana; mengaitkan sektor air dan pertanian dengan kehutanan
(4) gabungan 1 dan 2; (5) gabungan 1, 2, dan 3; dan dalam program adaptasinya. Sebagai contoh, program
(6) skenario 5 dengan menambahkan pemberian silika adaptasi pada sektor air mengutamakan konservasi
(KLH 2009: 31). sumberdaya air, yang berpengaruh positif bagi upaya
perlindungan hutan di daerah aliran sungai (DAS).
Skenario mitigasi pada sektor peternakan mencakup Pada sektor pertanian, salah satu upaya adaptasi
peningkatan mutu pakan, memberikan pakan mencakup perluasan lahan pertanian pada tanah
pelengkap bagi ternak, menerapkan program pemuliaan mineral. Meskipun ICCSR menyatakan bahwa kegiatan
jangka panjang, dan pengembangan energi hayati ini akan dilakukan di lahan bukan hutan dan di luar
melalui pemanfaatan gas metana. Pilihan energi kawasan lahan gambut, data yang disajikan dalam
hayati sejalan dengan program energi alternatif dari Bab 1 menunjukkan kecenderungan pengembangan
pemerintah dan diharapkan dapat mengurangi emisi gas perkebunan dilakukan di kawasan hutan negara.
metana sebesar 80%. Mengingat peninjauan terhadap pelaksanaan rencana
dalam ICCSR belum dilakukan, maka tidak ada
Skenario ini masih berupa prakiraan yang dihitung oleh data tentang upaya adaptasi di Indonesia yang dapat
pemerintah, yang masih belum menetapkan pilihan disajikan selain dokumen perencanaan tersebut.
tertentu untuk mengurangi emisi dari sektor pertanian.
Perhitungan dalam skenario mitigasi ini merupakan 4.1.3  Tanggung jawab lembaga negara
rujukan untuk mengurangi emisi Indonesia sesuai dalam konteks perubahan iklim
dengan komitmennya kepada UNFCCC. Tanggung jawab atas kebijakan dan program yang
terkait dengan perubahan iklim tersebar di beberapa
4.1.2  Program adaptasi lembaga negara, termasuk Bappenas, Dewan Nasional
Tidak terlihat kegiatan besar untuk adaptasi dalam Perubahan Iklim (DNPI), dan kementerian anggota
dokumen resmi yang terkait dengan perubahan iklim. DNPI, yakni Kementerian Kehutanan, Energi dan
Seperti diuraikan di bawah ini, SNC menilai tingkat Sumber Daya Mineral, Pertanian, Perhubungan,
kerentanan Indonesia dan ICCSR menguraikan Pekerjaan Umum, Keuangan, Lingkungan Hidup,
beberapa kegiatan yang direncanakan dalam rangka dan Luar Negeri. Perkembangan penting ialah
adaptasi, tetapi belum ada laporan tentang kegiatan
adaptasi yang disampaikan oleh pemerintah melalui
dokumentasi resmi. 80  Presentasi oleh Zenzi Aekido, Direktur Walhi Bengkulu,
‘Pergeseran periode pada siklus komponen dalam ekosistem
biota pesisir dan terrestrial’ pada 22 April 2010; presentasi
79  Komunikasi pribadi dengan Hariadi Kartodihardjo ini menunjukkan bahwa tekanan yang semakin tinggi telah
(Institut Pertanian Bogor), Juni 2010. menyebabkan masyarakat pesisir menebang lahan hutan.
Konteks REDD+ di Indonesia   57

pembentukan Satuan Tugas REDD+, sebuah lembaga Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan
ad hoc terkait dengan pelembagaan REDD+. (POKJA PI; SK.64/Menhut‑II/2010 tentang
Pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim
Peran Bappenas ialah untuk mengarusutamakan Kementerian Kehutanan). Tugas kelompok kerja
perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan tersebut ialah:
nasional. Bappenas menyusun Peta Jalan Perubahan 1. memberikan masukan kepada Menteri Kehutanan
Iklim Sektoral Indonesia (ICCSR) (Bappenas 2009b:3) tentang kebijakan, strategi, program, dan kegiatan
dan sebelum itu, ‘Rencana pembangunan nasional: adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
Jawaban Indonesia terhadap perubahan iklim’ (Buku 2. membantu Menteri Kehutanan dalam
Kuning), yang merupakan pemaparan Rencana Aksi melaksanakan tugas kegiatan‑kegiatan adaptasi,
Nasional Perubahan Iklim (RAN PI). mitigasi, dan alih teknologi di Kementerian
Kehutanan
DNPI, yang didirikan tahun 2008 melalui Keputusan 3. membantu Menteri Kehutanan melakukan
Presiden No. 46/2008 tentang Dewan Nasional evaluasi terhadap kebijakan adaptasi, mitigasi,
Perubahan Iklim, merupakan pusat kegiatan nasional dan alih teknologi perubahan iklim di
untuk UNFCCC. Presiden Indonesia merupakan Kementerian Kehutanan
ketua DNPI; wakil ketuanya ialah Menteri Koordinasi 4. mengelola data dan informasi mengenai
Kesejahteraan Rakyat dan Perekonomian. Anggota kegiatan adaptasi, mitigasi, dan alih teknologi di
DNPI ialah 18 pimpinan lembaga negara (Pasal 4): Kementerian Kehutanan
Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Menteri 5. membantu Menteri Kehutanan dalam menilai
Lingkungan Hidup, Menteri Keuangan, Menteri usulan kegiatan pihak ketiga yang berkaitan dengan
Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Energi pelaksanaan kebijakan adaptasi, mitigasi, dan
dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan, alih teknologi perubahan iklim di Kementerian
Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, yang mencakup mekanisme
Pekerjaan Umum, Menteri Perencanaan Pembangunan pembangunan bersih (MPB) dan pengurangan
Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Kelautan dan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).
Perikanan, Menteri Perdagangan, Menteri Riset dan
Teknologi, Menteri Perhubungan, Menteri Kesehatan, Salah satu sumbangan terpenting Pokja ini ialah
dan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika keterlibatannya dalam penyusunan rancangan Strategi
(BMG). Kegiatan harian DNPI dipimpin oleh Kepala Nasional REDD+. Lembaga ini juga telah membuat
Pelaksana, Rachmat Witoelar; meskipun selaku Menteri situs web (http://pi‑kehutanan.org/index.php/
Lingkungan Hidup pada saat pengangkatannya, beliau main/ home).
diangkat berdasarkan kemampuan pribadi dan bukan
karena jabatan di kementeriannya. Selain lembaga perencanaan dan koordinasi perubahan
iklim, Indonesia juga telah membentuk lembaga
Tugas dan wewenang DNPI, seperti yang ditetapkan pendanaan nasional yang disebut dengan Indonesia
dalam Keputusan Presiden No. 46/2008 (Pasal 3), ialah: Climate Change Trust Fund, atau ICCTF (Dana
a. merumuskan kebijakan, strategi, program, dan Perwalian Perubahan Iklim Indonesia). Lembaga ini
kegiatan pengendalian perubahan iklim nasional dibentuk tahun 2009 dengan tugas untuk menyalurkan
b. mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan bantuan internasional bagi upaya mitigasi dan adaptasi
pengendalian perubahan iklim, yang meliputi perubahan iklim. Perlunya membentuk lembaga untuk
adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan mengelola bantuan perubahan iklim diidentifikasi
c. merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan pada COP 13 di Bali tahun 2007. Sejak itu, beberapa
tata cara perdagangan karbon komitmen telah dilontarkan, tetapi karena ketiadaan
d. memantau dan menilai pelaksanaan kebijakan lembaga pengelola, banyak komitmen yang belum
pengendalian perubahan iklim terwujud. Pada waktu itu, terdapat usulan untuk
e. memperkuat posisi Indonesia dalam mendorong menggunakan lembaga pemerintah yang ada untuk
negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola dana perubahan iklim; tetapi karena
penanganan perubahan iklim. besarnya dana yang dikelola dan sifat pendanaan yang
multisektoral, usul tersebut dianggap tidak tepat dan
Selain itu, masing‑masing lembaga negara ditugaskan dibutuhkan sebuah lembaga khusus. Oleh karena itu,
untuk menyusun program adaptasi dan mitigasi Bappenas memprakarsai pembentukan ICCTF, yang
perubahan iklim untuk sektornya. Sebagai contoh, anggotanya ialah lembaga‑lembaga pemerintah yang
Kementerian Kehutanan telah mendirikan Kelompok berkepentingan dengan perubahan iklim. ICCTF
58   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

diluncurkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan e. menyusun kriteria pemilihan provinsi percontohan
Nasional dan Menteri Keuangan pada tanggal dan memastikan kesiapannya; dan
14 September 2009. Lembaga ini belum sepenuhnya f. melaksanakan kegiatan lain yang terkait dengan
berfungsi walaupun pada bulan November 2011 persiapan pelaksanaan Surat Pernyataan Minat
dilaporkan telah berhasil menarik dana sekitar dengan Pemerintah Norwegia.
AS$15 juta (Indrastiti 2011).
Satuan tugas tersebut terdiri dari ketua, sekretaris,
Peran Menteri Keuangan dalam menerbitkan kebijakan dan sembilan orang anggota yang mewakili Bappenas,
fiskal juga berhubungan dengan pendanaan perubahan Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan,
iklim. Pada bulan November 2009, kementerian Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan
ini menerbitkan dokumen yang berjudul ‘Strategi Nasional (BPN), Sekretariat Kabinet dan Kantor
kebijakan ekonomi dan fiskal untuk mitigasi perubahan Kepresidenan, serta UKP4.
iklim di Indonesia’, yang lebih dikenal sebagai Makalah
Hijau. Makalah Hijau tersebut memberi arahan strategi Satuan tugas tersebut membentuk tim teknis, yang
dan kebijakan fiskal yang terkait dengan pencapaian anggotanya berasal dari instansi pemerintah dan
sasaran pengurangan emisi Indonesia sebesar 26% organisasi masyarakat madani (CSO); tugasnya ialah
(Kemenkeu 2009a). Dokumen ini menetapkan empat memberikan pengetahuan dan muatan teknis yang
strategi fiskal, yang masing‑masing untuk sektor kuat; memberikan masukan sebagai rekomendasi
energi, LUCF, pendanaan karbon internasional, dan kepada satuan tugas tersebut; dan sebagai penghubung
pengembangan kelembagaan (Kemenkeu 2009a). dengan kementerian dan instansi. Bidang kerja pokok
Sampai dengan Juni 2012, tidak terlihat adanya tim teknis ialah:
pelaksanaan strategi ini secara nyata. 1. strategi REDD+ (BPN, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Lingkungan Hidup, DNPI,
Sebelum Satuan Tugas REDD+ dibentuk pada bulan Bappenas, CSO)
September 2010, pelaksanaan LoI dilimpahkan kepada 2. lembaga REDD+, tata kelola, dan LoI
tiga lembaga: Bappenas, Kementerian Kehutanan, dan (Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian
UKP4, di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Bidang Kehutanan, DNPI, Sekretariat Kabinet, CSO)
Perekonomian. Bappenas bertanggung jawab untuk 3. instrumen pendanaan (Kementerian Lingkungan
menyusun Strategi Nasional REDD+, Kementerian Hidup, DNPI, Kementerian Keuangan,
Kehutanan bertanggung jawab untuk memilih provinsi Bappenas, CSO)
percontohan, dan UKP4 bertanggung jawab untuk 4. MRV dan penundaan penerbitan izin kehutanan
mengembangkan lembaga REDD+, mekanisme berdasarkan LoI (BPN, Kementerian Lingkungan
pendanaan, dan sistem MRV (Pemantauan, Pelaporan, Hidup, Kementerian Kehutanan, Lembaga
dan Verifikasi). Antariksa Nasional/LAPAN, Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional/Bakosurtanal,
Satuan Tugas REDD+ kemudian dibentuk berdasarkan DNPI, CSO)
Keputusan Presiden No. 19/2010. Satuan Tugas 5. proses multipihak (Kementerian Lingkungan
REDD+ merupakan lembaga ad‑hoc yang ditugaskan Hidup, staf kepresidenan, DNPI, Bappenas, CSO)
untuk melembagakan koordinasi diantara berbagai 6. provinsi percontohan (BPN, Kementerian
lembaga yang terlibat dalam REDD+. Satuan tugas Lingkungan Hidup, Kementerian
tersebut dibentuk sebagai jawaban atas LoI antara Kehutanan, CSO).
pemerintah Indonesia dan Norwegia. Akan tetapi,
hasil kerja Satuan Tugas REDD+ tidak terbatas pada Pertimbangan dalam memilih pihak yang terlibat
kegiatan berdasarkan LoI tersebut. Keputusan Presiden di setiap bidang kerja ialah bahwa latar belakang
tersebut menjelaskan enam tugas utama satuan tugas pengetahuan khusus mereka dapat menjamin
tersebut sebagai berikut: kontribusi masukan dan arahan yang berguna kepada
a. memastikan penyusunan Strategi Nasional REDD+ tim teknis sesuai dengan bidang keahlian mereka. Salah
dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas satu hal terpenting dalam bidang kerja tersebut ialah
Rumah Kaca (RAN‑GRK) keterkaitannya dengan penyusunan Strategi Nasional
b. menyiapkan pembentukan lembaga REDD+ REDD+. Strategi nasional merupakan dokumen
c. menyiapkan instrumen dan mekanisme penting karena diharapkan dapat menjadi rujukan bagi
pendanaan REDD+ pelaksanaan REDD+ di Indonesia, maupun bagi setiap
d. menyiapkan pembentukan lembaga pelaksana strategi dan keputusan yang ditetapkan.
MRV REDD+ yang independen dan tepercaya
Konteks REDD+ di Indonesia   59

Keikutsertaan masyarakat madani berupa keanggotaan •• menetapkan strategi, penyusunan kebijakan, dan
dalam panitia pengarah dan panitia penulisan selama penentuan prioritas, serta memantau kegiatan
penyusunan rancangan Strategi Nasional REDD+ oleh yang terkait dengan pelaksanaan LoI dengan
Bappenas. Keikutsertaan masyarakat lainnya terjadi Pemerintah Norwegia
melalui konsultasi regional di tujuh daerah. •• menerima, mengelola, menggunakan, dan
mengkoordinasikan bantuan internasional, baik
Masa tugas Satuan Tugas REDD+ berakhir pada berupa dana atau lainnya, yang terkait dengan
tanggal 30 Juni 2011. Amanat satuan tugas ini REDD+ sesuai peraturan perundang‑undangan
selanjutnya dinyatakan lagi melalui Keputusan Presiden Indonesia
No. 25/2011, pada 8 September 2011. Ketua UKP4 •• menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk
Kuntoro Mangkusubroto tetap sebagai ketua satuan melaksanakan pelaksanaan LoI, termasuk
tugas dan Agus Purnomo, Penasihat Khusus Presiden menunjuk konsultan maupun lembaga keuangan
tentang Perubahan Iklim, sebagai sekretarisnya, •• mendapatkan informasi dan bantuan teknis dalam
menggantikan Heru Prasetyo, yang sebelumnya pelaksanaan tugasnya dari kementerian/lembaga,
menjadi sekretaris selama masa tugas pertama satuan pemerintah daerah, dan pihak lain yang terkait.
tugas tersebut.
Satuan tugas ini akan menyelesaikan tugas sampai
Anggota Satuan Tugas REDD+ lainnya ialah: dengan terbentuknya lembaga REDD+, paling lambat
1. Anny Ratnawati (Kementerian Keuangan) 31 Desember 2012 (Pasal 9 Keputusan Presiden
2. Lukita Dinarsyah Tuwo (Bappenas) No. 25/2011).
3. Bayu Krisnamukti (Kementerian Pertanian)
4. Joyo Winoto (Badan Pertanahan Nasional) 4.1.4  Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB)
5. Hadi Daryanto (Kementerian Kehutanan) Indonesia telah melaksanakan MPB sejak tahun 2005,
6. Arief Yuwono (Kementerian Lingkungan Hidup) dengan pembentukan Komisi Nasional Mekanisme
7. Agus Sumartono (Sekretariat Kabinet) Pembangunan Bersih (Komnas MPB) sebagai lembaga
8. Evita Legowo (Kementerian Energi dan Sumber nasional yang ditunjuk melalui Keputusan Menteri
Daya Mineral) Lingkungan Hidup No. 206/2005 tentang Komisi
9. Heru Prasetyo (UKP4) Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih. Menurut
situs web Komnas MPB, sejak November 2009,
Satuan Tugas REDD+ bertanggung jawab atas 104 proyek telah didaftar, 25 didaftarkan di bawah
pelaksanaan LoI antara Pemerintah Indonesia dan Badan Eksekutif MPB, dan enam telah menerima
Norwegia dan agar tetap terjaminnya koordinasi status Pengurangan Emisi Bersertifikasi (IGES 2011).
seluruh kegiatan yang terkait dengan REDD+. Namun demikian tidak terdapat proyek MPB yang
Lembaga ini bertanggung jawab langsung kepada dilaksanakan pada sektor kehutanan (penghutanan/
Presiden, dan ditugaskan untuk: reboisasi). Menurut situs web UNFCCC, kemajuan
•• menyiapkan pembentukan lembaga REDD+ MPB pada sektor kehutanan berjalan lambat di seluruh
•• melakukan koordinasi penyusunan Strategi dunia; per Februari 2011, hanya terdapat 14 kegiatan
Nasional REDD+ penghutanan/reboisasi yang terdaftar di UNFCCC.
•• menyiapkan instrumen dan mekanisme
pendanaan REDD+ Terdapat beberapa kekurangan dalam pelaksanaan
•• menyiapkan pembentukan lembaga MRV REDD+ MPB di Indonesia, termasuk dalam pemantauan dan
yang independen dan tepercaya persetujuan proyek.81 Salah satu masalah ada pada
•• melaksanakan kegiatan REDD+ di provinsi fungsi Komnas MPB sebagai lembaga penanggung
percontohan pertama dan menyusun kriteria jawab nasional yang ditunjuk untuk urusan MPB di
pemilihan provinsi percontohan selanjutnya Indonesia. Menurut keputusan menteri tersebut, tugas
•• memantau pelaksanaan Instruksi Presiden dan fungsi Komnas MPB ialah untuk:
No. 10/2011 tentang penundaan izin HPH baru 1. memberikan persetujuan atas usulan proyek
(moratorium konversi hutan) dan perbaikan MPB yang diajukan oleh pemrakarsa proyek
tata kelola hutan primer dan lahan gambut berdasarkan kriteria dan indikator pembangunan
di Indonesia. berkelanjutan dan berdasarkan pendapat tim
teknis, yang ditunjang dengan masukan dari pakar
Satuan Tugas REDD+ diberi kewenangan untuk:
•• melakukan koordinasi kegiatan yang dilaksanakan 81  Wawancara telepon dengan Yuyun Ismawati dari Bali
oleh kementerian/lembaga dan pemerintah Fokus (organisasi yang terlibat erat dalam MPB pada sektor
daerah terkait pembuangan limbah), Agustus 2010.
60   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

dan/atau pemangku kepentingan terkait lainnya masih tampak lemah.83 Pembelajaran ini perlu
bila diperlukan dicerminkan dalam pelaksanaan REDD+, yang
2. melakukan penelusuran status dokumen proyek perlu didasarkan pada persetujuan atas dasar
di Badan Eksekutif MPB dengan merujuk pada informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA/
dokumen proyek MPB yang telah disetujui oleh FPIC) sebagai bagian dari proses partisipatif, karena
Komnas MPB proyek REDD+ berdampak langsung terhadap
3. memantau dan mengevaluasi kinerja proyek MPB akses ke hutan bagi masyarakat yang tinggal di
yang telah disetujui oleh Komnas MPB dalam hutan.
4. menyerahkan laporan tahunan kegiatan proyek 5. Lemahnya pengaturan MPB yang terkait
kepada Sekretariat UNFCCC. dengan additionality menyebabkan rendahnya
harga karbon; akibatnya, skema tersebut hanya
Fungsi pemantauan tidak bekerja dengan baik terhadap menguntungkan perusahaan besar yang membayar
pelaksanaan proyek‑proyek MPB. Sampai sekarang, kredit murah (kredit pengurangan emisi) (Pearson
fungsi Komnas MPB dalam proyek MPB hanya dan Loong 2003). Additionality merupakan
bersifat administratif; Komnas belum berfungsi dalam pengurangan emisi/penyerapan karbon tambahan
penentuan apakah suatu proyek telah dilaksanakan yang tidak akan terjadi tanpa MPB/REDD+; tanpa
sesuai dengan perencanaan. Selain itu, mekanisme aturan yang ketat tentang additionality, maka
persetujuan atas proyek‑proyek MPB tertentu juga kegiatan MPB tidak dapat menjadi solusi yang
masih belum jelas.82 Kecaman serupa terhadap MPB efektif untuk mengurangi emisi.
muncul di tingkat internasional; ditemukan kekurangan 6. Mekanisme imbalan karbon dalam MPB dan
dalam penilaian atas lima perusahaan besar di Eropa skema lain terbukti tidak mampu mengurangi emisi
(perusahaan tidak dirinci), yang mengungkapkan dunia (Böhm dan Dabhi 2010). Pembelajaran ini
perlunya keterbukaan yang lebih besar dalam tata cara perlu dicerminkan dalam REDD+ sehingga dapat
penilaian (Ecoperiodicals. com 2010). benar‑benar mengurangi emisi dunia.
7. Proses birokratis yang rumit dalam pelaksanaan
4.1.5  Hasil pembelajaran dari MPB untuk MPB menciptakan peluang penyalahgunaan yang
pelaksanaan REDD+ sangat besar. Proses politik dalam mekanisme MPB
Sewaktu penyusunan makalah ini, kegiatan REDD+ cenderung rumit dan berlarut‑ larut.84
di Indonesia masih pada tahap persiapan (lihat
Bagian 4.2). Akan tetapi, beberapa pelajaran dapat Karena Indonesia belum kunjung menerapkan
dipetik dari upaya mitigasi internasional dan mekanisme REDD+ sepenuhnya, kegiatan REDD+
upaya Indonesia untuk mengurangi emisi dalam di Indonesia belum merupakan skema UNFCCC
rangka REDD+. resmi, tetapi masih dalam tahap persiapan. Pada bulan
1. Pembangunan yang lebih sistematis diperlukan Maret 2010, lebih dari 30 proyek REDD+, dalam
dalam hal mekanisme pendanaan bagi mitigasi berbagai tahap pembangunan, dimulai di Indonesia
perubahan iklim. (Atmadja dkk.2010; Pusat Kajian Hutan Iklim
2. Perhatian perlu diberikan pada sinergi dan Sekala 2012). Berdasarkan informasi yang diberikan
koordinasi lintas seluruh sektor sebagai jawaban oleh sekretaris Kelompok Kerja Perubahan Iklim
bagi perubahan iklim dalam melaksanakan Kementerian Kehutanan pada tanggal 30 Maret 2010,
REDD+. Sebagaimana halnya dengan pelaksanaan terdapat delapan kegiatan percontohan di Kalimatan
MPB di Indonesia, tampak kesenjangan pada Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Nusa Tenggara
banyak hal dalam koordinasi antara tingkat pusat Barat, dan Jambi, yang semuanya berada pada tahap
dan daerah, dan antarlembaga pemerintah. perencanaan atau pelaksanaan pada waktu itu.85
3. Lembaga‑lembaga yang melaksanakan REDD+
dapat belajar dari penilaian dan kecaman terhadap 83  Surat yang dikirimkan oleh CDM Watch (organisasi
lembaga penanggung jawab nasional yang ditunjuk pengamat CDM yang berpusat di Jerman) tertanggal
dan dibentuk untuk MPB. 7 Mei 2010, yang menekankan perlunya cara mengikutsertakan
masyarakat secara efektif dan efisien: www.cdm‑watch.
4. Meskipun keikutsertaan masyarakat berperan org/wordpress/wp‑content/uploads/2010/05/cdm-watch-
penting dalam pelaksanaan MPB, hal ini unsolicited-letter-on-effective-means-for-public-participation_7-
may-2010. pdf.
84  Wawancara dengan Yuyun Ismawati dari Bali Fokus,
82  Wawancara telepon dengan Yuyun Ismawati dari Bali 20 April 2010.
Fokus (organisasi yang terlibat erat dalam MPB pada sektor 85  Wawancara dengan Nur Masripatin, sekretaris Kelompok
pembuangan limbah), 20 April 2010. Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan, 30 Maret 2010.
Konteks REDD+ di Indonesia   61

Lokakarya yang diadakan oleh Forum Masyarakat percontohan (2008–2012), dan pelaksanaan secara
Madani untuk Keadilan Iklim (CSF) di Provinsi penuh (2012‑bergantung keputusan COP). Untuk
Kalimantan Tengah, Jambi, dan Aceh memberikan menyiapkan pembahasan REDD di Bali, Kementerian
pelajaran berharga bagi REDD+.86 Terdapat indikasi Kehutanan membentuk Indonesian Forest Climate
bahwa pengetahuan dan keikutsertaan masyarakat Alliance (Aliansi Hutan‑Iklim Indonesia—IFCA),
dalam REDD+ sangat terbatas, dan ada kekhawatiran yang dibantu oleh negara donor, berbagai lembaga
bahwa pelaksanaan REDD+ dapat memicu sengketa pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat
baru.87 Ini akan menyulitkan REDD untuk madani.88 IFCA muncul sebagai hasil konsultasi antara
mencapai tujuannya dalam mengurangi deforestasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui (Balitbanghut)—sebuah badan penelitian pada
skema insentif. Kementerian Kehutanan—dan berbagai pihak tentang
perumusan rujukan kerangka kerja bagi IFCA. Peristiwa
4.2  Pelaku, peristiwa, dan proses penting yang terkait dengan REDD+ di Indonesia
kebijakan REDD disajikan pada Gambar 5.

4.2.1  Pelaku REDD+ IFCA bertanggung jawab melakukan kajian untuk


Pelaku REDD+ di Indonesia dapat dibagi menjadi menilai persiapan apa saja yang diperlukan dalam
empat kelompok besar: pemerintah, masyarakat yang pelaksanaan REDD (sebutan yang berlaku pada saat
tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, LSM, tersebut). Diharapkan agar IFCA mensinergikan
dan swasta. Setiap kelompok menjalankan perannya seluruh upaya dan prakarsa yang bertujuan untuk, atau
masing‑masing dalam persiapan dan pelaksanaan berperan dalam, pengurangan emisi dari deforestasi
kegiatan REDD+ mendatang (lihat matriks pada dan degradasi hutan di Indonesia. Pada hakekatnya,
Tabel 18). IFCA diharapkan menghimpun upaya pemerintah,
pengusaha, masyarakat madani, dan masyarakat
Pada Tabel 18, pelaku dibedakan berdasarkan lima internasional dalam mewujudkan pengelolaan hutan
hal: jenis, peran, kedudukan, pengetahuan pelaku, secara lestari sehingga pada akhirnya memberi
dan keterangan lain. Lajur ‘pelaku’ menjelaskan sumbangsih bagi stabilisasi iklim.89
lembaga atau kelompok yang merupakan pemangku
kepentingan dalam REDD+. Lajur ‘peran’ menjelaskan Kajian tersebut dilakukan oleh ahli dari Kementerian
kegiatan pelaku dalam rangka REDD+, termasuk Kehutanan, yang terus mendorong pembahasan
wewenangnya dalam pelaksanaan REDD+. Lajur internal di kementerian tersebut dan konsultasi
‘posisi’ menjelaskan pandangan dan sikap pelaku di daerah, yaitu di Papua dan Aceh. Tujuannya
terhadap REDD+. Lajur ‘pengetahuan’ membahas ialah untuk:(1) menelaah data yang tersedia
tingkat pemahaman masing‑masing pelaku tentang tentang cadangan karbon dan konversi lahan;
REDD+ (tujuannya ialah untuk menunjukkan (2) mengutamakan kegiatan untuk mengatasi pemicu
pengetahuan pelaku tentang REDD+, namun bukan deforestasi dan degradasi hutan; dan (3) mengenali
di bidang lain, agar dapat membatasi pembahasan mekanisme untuk memasukkan skema REDD ke
perihal REDD+). dalam pasar karbon, dan tantangan dalam hal kebijakan
dan hukum formal (IFCA 2007). Hasil kajian tersebut
4.2.2  Proses pelembagaan REDD+ selanjutnya menjadi pokok pembahasan REDD
Proses pelembagaan untuk mekanisme REDD+ dalam COP 13. IFCA sejak saat itu telah digantikan
mendatang berlangsung dengan cepat di Indonesia; oleh Kelompok Kerja Perubahan Iklim (Pokja PI) di
bahkan sebelum COP 13 di Bali. Sejak 2007, Kementerian Kehutanan.90
Kementerian Kehutanan telah memusatkan perhatian
pada rencana untuk melaksanakan skema REDD+ Rencana Aksi Bali merupakan keputusan yang
di Indonesia, dan menerbitkan kebijakan yang ditetapkan di COP 13. Pemerintah, melalui
mengatur tahap pelaksanaan dan jangka waktunya:
tahap persiapan (2007), peralihan/kegiatan
88  IFCA dibentuk sebelum ICCTF, dengan dukungan dari
Bank Dunia, Inggris, Jerman, dan Australia. Lihat www.dephut.
86  Sewaktu penyusunan makalah ini, Kalimantan Tengah, go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Pengantar.htm.
Jambi, dan Aceh merupakan provinsi yang diutamakan untuk 89  Mengenal Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) www.
pelaksanaan REDD+. dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Pengantar.htm.
87  Risalah lokakarya yang diselenggarakan oleh Forum 90  Lanjutan kegiatan IFCA oleh kelompok kerja ini belum
Masyarakat Madani (CSF) di tiga provinsi, 2009. diumumkan secara resmi.
62   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tabel 18.  Peran, posisi, dan pengetahuan kelompok pelaku REDD+

Pelaku Peran Posisi Pengetahuan Keterangan lain


Pemerintah Pengambil keputusan Walaupun posisi Pemerintah daerah dan Pemerintah merupakan
(pusat Penyusun kebijakan pemerintah dalam pusat memiliki tataran salah satu penentu
dan daerah) hal kebijakan REDD pengetahuan yang keberhasilan. Dalam hal
Pelaksana kegiatan
didominasi oleh sektor berbeda. Walaupun ini, kesenjangan tata
kehutanan, namun pada umumnya, kelola dan pengetahuan
sektor lain seperti pemerintah pusat masih merupakan
pertanian juga berperan memiliki pemahaman masalah mendasar.
penting, terutama yang lebih baik daripada Perbedaan antarsektor
berkenaan dengan daerah, keadaan tidak instansi pemerintah juga
perluasan perkebunan dapat disamaratakan berpengaruh dalam
dan pengelolaan karena masing‑masing perbedaan pemahaman
lahan gambut di luar daerah memiliki tingkat tentang REDD karena
kawasan hutan. pengetahuan yang perbedaan kepentingan
Oleh karena itu, berbeda‑beda. masing‑masing sektor
pemerintah selayaknya (misalnya pekerjaan
tidak membebankan umum, pertanian,
tanggung jawab energi dan sumber
pelaksanaan REDD hanya daya mineral).
pada sektor kehutanan
Masyarakat Bergantung pada Pelibatan masyarakat Pengetahuan masyarakat Masyarakat berperan
yang tinggal akses terhadap hutan masih kurang dalam hal tentang REDD+ penting dalam
di dalam Telah menjadi bagian pengelolaan kehutanan beragam. Sebagai keberhasilan REDD+.
dan sekitar dari ekosistem hutan karena lemahnya contoh, masyarakat Proyek tidak akan
hutan landasan hukum yang dibantu oleh LSM berhasil tanpa jaminan
Memiliki
untuk memajukan hak memiliki pemahaman persetujuan yang benar
pengetahuan
masyarakat. lebih dibandingkan dan pemahaman yang
mendalam mengenai
dengan yang belum jelas mengenai REDD+
daerah setempat
menerima bantuan dari masyarakat yang
tersebut. terkena dampak proyek.
Kebanyakan masyarakat Keputusan UNFCCC pada
hutan masih belum COP 16 mensyaratkan
memahami berbagai bahwa pelaksanaan
persoalan yang terkait REDD+ memperhatikan
dengan REDD+. kepentingan masyarakat
yang tinggal di dalam
dan sekitar hutan.
LSM Memberikan saran Posisi dari LSM cenderung memiliki Pemerintah adakalanya
agar pelaksanaan masing‑masing cukup pengetahuan memanfaatkan informasi
REDD efektif organisasi berbeda. walaupun tidak dapat tentang REDD+ yang
dan efisien. LSM yang memperoleh disamaratakan karena diberikan oleh LSM
Menyediakan data manfaat dari REDD sebagian LSM melihat sebagai acuan.
mengenai keadaan cenderung bersikap REDD+ sebagai Sebagian LSM (misalnya
nyata di lapangan. sama dengan fokus utama. FFI, TNC, dan WWF)
Dapat menjadi pemerintah. LSM Sebagian LSM bisa telah menjadi mitra
lembaga ini cenderung yakin mendatangi pemerintah pemerintah dalam
pelaksana REDD. bahwa REDD+ akan untuk memberi saran penetapan kebijakan.
berhasil dan memberi mengenai kebijakan. Dengan informasi yang
Memberikan
saran perbaikan Walaupun REDD dimiliki, sebagian LSM
pandangan
guna mendukung merupakan konsep (misalnya Walhi, AMAN,
kritis terhadap
keberhasilan ini. baru, LSM mempunyai dan HuMA) mengecam
pelaksanaan REDD.
LSM lain cenderung kritis pengetahuan dan kebijakan pemerintah
dan mempertanyakan informasi yang memadai tentang REDD+.
kemampuan dalam menggambarkan
REDD+ dalam REDD+ secara
menyelesaikan masalah cukup jelas.
perubahan iklim.
berlanjut ke halaman berikutnya
Konteks REDD+ di Indonesia   63

Tabel 18. Lanjutan

Pelaku Peran Posisi Pengetahuan Keterangan lain


Swasta Pengembang proyek Pelaku swasta Pelaku swasta memiliki Kepentingan swasta
dan pemanfaat berkepentingan, baik pemahaman yang baik ini ialah mengambil
kredit karbon sebagai perantara mengenai REDD+. keuntungan dari
dapat berperan maupun pemrakarsa, Mereka yang terlibat penjualan kredit karbon.
sebagai pedagang/ untuk memperbesar langsung dalam proyek
perantara atau peluang REDD+ REDD+, terlibat dalam
pemrakarsa REDD+. dalam mengatasi pembahasan dan
Peran perantara perubahan iklim melalui proses kebijakan.
cukup besar, kredit karbon. Karena REDD
terutama ketika Namun, iklim usaha yang akan berdampak
peluang REDD+ stabil sangat penting menguntungkan
terbuka pada bagi keberlanjutan swasta, informasi
tingkat daerah. kegiatan swasta ini. dan pengetahuan
Peran pemrakarsa yang memadai akan
akan benar‑benar menguntungkan
penting dalam perusahaan.
pelaksanaan
skema imbalan
REDD nantinya.

Kementerian Kehutanan, memanfaatkan momentum 2. penyelarasan rantai pasokan dengan menekankan


tersebut untuk meluncurkan REDD di Indonesia MRV dari tingkat emisi acuan (REL)
(Detiknews 2007a). Pernyataan terkait posisi pemerintah 3. peningkatan kemampuan kelembagaan
ini mencerminkan komitmennya untuk melaksanakan bagi lembaga‑lembaga yang terkait dengan
REDD. Pemerintah menindaklanjuti hal tersebut kegiatan REDD.
dengan menerbitkan beberapa peraturan yang terkait
dengan REDD (dibahas dalam Bagian 4.2.3). Setelah dewan kebijakan UN‑REDD menyetujui
pendanaan AS$5,6 juta, Indonesia meluncurkan
UN‑REDD dan FCPF program tersebut pada Lokakarya Pendahuluan
Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia bergabung UN‑REDD pada tanggal 30–31 Maret 2010
dengan dua inisiatif internasional yang mendukung (UN‑REDD 2010).
kegiatan persiapan REDD+: Program UN‑REDD dan
Sarana Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) yang dikelola Program tersebut bertujuan untuk mencapai tiga hasil
oleh Bank Dunia. Pada tahun yang sama, Indonesia berikut di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten:
mengajukan usulan untuk melaksanakan program 1. diperkuatnya keikutsertaan dan mufakat para
kesiapan dengan bantuan dari Program UN‑REDD91 pemangku kepentingan di tingkat nasional
dan FCPF (FCPF 2009). 2. berhasil terbentuknya REL, MRV, dan sistem
imbalan yang adil dan dapat ditunjukkan
Kegiatan yang dimasukkan Indonesia ke dalam usulan berdasarkan kerangka REDD nasional
kepada UN‑REDD direncanakan untuk dimulai 3. dicapainya kemampuan yang memadai untuk
pada bulan Oktober 2009 dan diselesaikan pada melaksanakan REDD di daerah.
bulan Mei 2011, dengan usulan anggaran sebesar
AS$5.664.200. Terdapat tiga kegiatan utama yang Program UN‑REDD Indonesia merupakan kemitraan
diutamakan dalam usulan tersebut (UN‑REDD 2009): dengan beberapa lembaga terkait, termasuk Satuan Tugas
1. penguatan pelibatan pemangku kepentingan REDD+, Bappenas, DNPI, dan Dewan Kehutanan
nasional dan daerah untuk menyelaraskan program Nasional (DKN). Kegiatan program tersebut meliputi
yang dilaksanakan di tingkat nasional dan daerah kontribusi dalam program pelatihan bidang perubahan
iklim dan REDD+. Program tersebut juga memberikan
dukungan praktis kepada lembaga pemerintah yang
91  Mengenal Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) www.
un‑redd.org/UNREDDProgramme/CountryActions/Indonesia/
melaksanakan kegiatan yang terkait dengan REDD+,
tabid/987/language/en‑US/Default.aspx.[30 April 2012] termasuk kepada Satuan Tugas REDD+.
Desember 2011
COP 17 di Durban

September 2011
-Keppres No. 25/2011: Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+
Desember 2009
-Nota Kesepahaman antara Satgas REDD+ dan Pemprov Kalsel
Desember 2008 COP 15 di Copenhagen
-Keppres No. 61/2011: Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK
COP 14 di Poznan
25 September 2009
September 2008 Komitmen Presiden Indonesia untuk Jan-Apr 2011
November/Desember 2010
Dimulainya Program REDD PBB mengurangi emisi sebesar 25% atau hingga Kerja sama bilateral berlanjut, misalnya GTZ,
COP 16 di Cancun
Februari 2008 41% dalam Pertemuan G20, Pittsburgh NOICA, Aus-AID, dan peserta dari masyarakat
PP No. 2/2008 tentang PNBP Mei 2010 madani (Kemitraan untuk Perbaikan Tata
Desember 2007 Mei 2009
yang Berasal dari Penggunaan Penandatanganan Surat Pernyataan Minat Kelola, Forum Iklim Masyarakat Madani)
COP 13 di Bali Permenhut No. 30/2009
Kawasan Hutan antara Norwegia dan Indonesia; janji
Desember 2007 tentang Tata Cara REDD 1 miliar dolar AS yang mensyaratkan kinerja Jan-Feb 2011
Dimulainya Sarana Kemitraan Penundaan konversi hutan berlaku sejak 1 Januari,
Juli 2008 Februari 2009 Maret 2010
Karbon Hutan (FCPF) Bank Dunia tetapi tidak terlaksana; pelobian, perbincangan
Dewan Nasional Perubahan Kerja sama Bilateral Australia – Indonesia: Kemitraan Indonesia
September 2007 Iklim (DNPI) umum dan pembahasan kebijakan mengenai jenis
Kemitraan Hutan-Iklim Kalimantan dan Australia: Sumatera hutan yang tercakup dalam penundaan tersebut
Pertemuan Forest 11 di New York

2007 2008 2009 2010 2011

Juni 2007 Desember 2008 September 2009 September 2010


PP No. 6/2007 tentang Tata Permenhut No. 68/2008 Dana Perwalian Perubahan Iklim Feb 2011
Keppres No. 9/2010 tentang Satuan Tugas
Hutan dan Penyusunan tentang Kegiatan Indonesia (ICCTF) – BAPPENAS Serangkaian lokakarya dan konsultasi mengenai
Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+
Rencana Pengelolaan Hutan, Percontohan REDD pengamanan yang dimotori oleh LSM
serta Pemanfaatan Hutan November 2009
September 2010
Penyerahan Komunikasi Nasional Kedua Mar-Apr 2011
Juli 2007 Rancangan Strategi Nasional REDD+
(SCN) dari Indonesia kepada UNFCCC Penyusunan kembali Strategi Nasional REDD+
Aliansi Hutan-Iklim Indonesia (IFCA)
Januari 2009 Desember 2010
UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Kalimantan Tengah terpilih sebagai 30 Juni 2011
provinsi percontohan untuk pelaksanaan Akhir Satuan Tugas REDD
Februari 2009 kemitraan Indonesia - Norwegia
Permentan No. 14/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Agustus 2011
Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit Rancangan Akhir Strategi Nasional REDD+
Mei 2009
Permenhut No. 36/2009 tentang Tata Cara Perizinan Mei 2011
Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Inpres No. 10/2011: Penundaan Pemberian
Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola
Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Gambar 5.  Sejumlah peristiwa penting yang berkaitan dengan proses penetapan keputusan mengenai REDD+ di Indonesia
64   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom
Konteks REDD+ di Indonesia   65

Selain itu, Program UN‑REDD di Indonesia 17 Juli 2008 dan 25 Maret 2009,94 yang membahas
membantu Bappenas dalam menyusun rancangan rencana Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Strategi Nasional REDD+ dengan mengikutsertakan Mekanisme Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
para pemangku kepentingan. Ini termasuk Degradasi Hutan. Peserta pertemuan tanggal 25 Maret
menyelenggarakan diskusi kelompok terarah pada berasal dari berbagai latar belakang dan diundang
tingkat nasional dan daerah serta konsultasi dengan untuk menyampaikan pemaparan. Pertanyaan umum
instansi pemerintah, masyarakat madani, akademisi, yang muncul dalam pemaparan berkenaan dengan hasil
dan swasta yang terkait.92 atas masukan dari pertemuan sebelumnya; pengaturan
tentang masyarakat adat; penyatuan REDD+ ke dalam
Program UN‑REDD juga telah membantu Indonesia mekanisme penggunaan hutan nonkayu; dan bagi
melalui peningkatan kemampuan dalam hal MRV. hasil.95 Konsultasi berikutnya diadakan pada tanggal
Sebagai contoh, memfasilitasi pertemuan dan konsultasi 20 Mei 2009 untuk menyiapkan keterlibatan dalam
untuk mengembangkan lebih lanjut Inventarisasi Program UN‑REDD.96 Pertemuan ini dihadiri oleh
Hutan Nasional (NFI) sebagai bagian dari sistem perwakilan dari 10 organisasi masyarakat madani dan
MRV; menghimpun data dari waktu ke waktu tentang masyarakat adat. Pada akhir pertemuan, disepakati
emisi dari hutan di Sulawesi Tengah selama tahun bahwa proses tersebut akan menjadi titik awal kerja
2000–2009; memfasilitasi konsultasi tentang lembaga sama dan konsolidasi antara wakil masyarakat madani
pelaksana MRV, REL, dan sistem bagi‑hasil; dan, beserta perwakilan masyarakat adat dan pemerintah
bekerja sama dengan DKN, menyusun materi dan dalam rangka kegiatan UN‑REDD, dan bahwa
pedoman FPIC (PADIATAPA). konsultasi akan berkembang menjadi partisipasi.

R‑PP (Usulan Persiapan Kesiapan) yang diajukan oleh Upaya tersebut menunjukkan bahwa pemerintah
Indonesia kepada FCPF ditinjau oleh Dewan Penasihat telah berusaha untuk melibatkan banyak pemangku
Teknis, diajukan kembali, dan akhirnya dibahas kepentingan dalam proses REDD+. Namun demikian,
oleh komite FCPF pada bulan Juni 2009. Bersama mengingat seringnya kompromi politik‑ekonomi
dua negara lainnya, Indonesia mampu memperoleh diperlukan dalam penyusunan hukum dan kebijakan,
dana hingga senilai AS$3,6 juta untuk melaksanakan usaha tersebut tidak selalu berarti bahwa yang terlibat
kegiatan berdasarkan R‑PP tersebut (IGES 2010).93 merupakan wakil dari seluruh pemangku kepentingan
atau bahwa seluruh harapan pemangku kepentingan
Meskipun terdapat indikasi bahwa UN‑REDD dan akan ditampung dalam peraturan atau program
FCPF telah terlibat aktif dalam proses REDD+ di yang dihasilkan.
Indonesia, beberapa orang pengamat menyatakan
bahwa pengaruh kedua program ini masih terbatas, Surat Pernyataan Minat (LoI) antara Norwegia
setidaknya hingga 2010 (IGES 2010), dan bahwa dan Indonesia
Kementerian Kehutanan masih memegang kendali yang Kegagalan para pihak di COP 15 untuk mencapai
kuat bagi pengembangan REDD+ dan, akibatnya, bagi kesepakatan tentang pengurangan emisi GRK dan
strategi kesiapan REDD+. REDD+ boleh jadi menunda proses REDD+ di
beberapa negara. Akan tetapi diperkirakan hal ini
Dalam menyusun peraturan dan programnya, tidak berlaku di Indonesia yang telah berinisiatif
Pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan dengan dalam mencari peluang REDD+ secara bilateral;
berbagai pemangku kepentingan. Sebagai contoh, yang menonjol, di antaranya perjanjian dengan
konsultasi dengan masyarakat diadakan pada tanggal Pemerintah Norwegia.

Pemerintah Indonesia dan Norwegia menandatangani


92  UN‑REDD Programme News. Strategi REDD+ Nasional Surat Pernyataan Minat (LoI) di Oslo, Mei 2010. LoI
Indonesia: UN‑REDD Indonesia berkolaborasi dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) melakukan
proses konsultasi multi‑pemangku kepentingan yang intensif
yang akan menghasilkan Strategi REDD+ Nasional partisipasi 94 www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/
penuh pertama di dunia. 12 September 2010. www.un‑redd.org/ IFCA/ ifca. htm.
Newsletter12/Indonesia_National_REDD_Strategy/tabid/5533/ 95  Ini merupakan ringkasan dari beberapa pemaparan pada
Default.aspx. pertemuan tanggal 25 Maret 2009 (perincian lebih lanjut ada di
93  Untuk ringkasan Aktivitas Kesiapan REDD+ Indonesia bagian berikutnya).
masalah pendanaan melalui FCPF, lihat www.dephut. 96  Pertemuan konsultasi UNREDD‑NJP‑CSO, Bogor,
go.id/files/Website_FCPF_Definition%20of%20activities_ 20 Mei 2009. http://www.docstoc.com/docs/12378317/
FINAL25Juni2010.pdf. UNREDD‑Indonesia [30 April 2012].
66   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tabel 19.  Tahapan pelaksanaan kegiatan sebagaimana ditetapkan pada Surat Pernyataan Minat

Tahap Kegiatan
• Tahap persiapan • Penyusunan Strategi Nasional REDD+ setelah konsultasi
• Pembentukan lembaga REDD+ yang langsung berada di bawah pengawasan Presiden
• Pemilihan instrumen pendanaan
• Penyusunan kerangka MRV
• Pemilihan provinsi percontohan
• Tahap perubahan • Berjalannya instrumen pendanaan (Jan. 2011)
• Dimulainya program provinsi percontohan pertama (2011) dan kedua (2012)
• Dilaksanakannya penundaan penerbitan izin baru untuk pengalihan fungsi hutan alam
dan gambut selama 2 tahun
• Dibuatnya pangkalan data mengenai kawasan hutan yang rusak
• Dilaksanakannya sistem MRV dalam dua tahap
• Kontribusi pada tahap • Penerapan lanjutan strategi dan program REDD+ pada tingkat nasional
penurunan emisi yang • Pemantauan, peninjauan, dan verifikasi program REDD+ oleh lembaga MRV yang
terverifikasi independen
• Pelaporan kepada UNFCCC mengenai emisi dari hutan dan gambut

ini menyatakan minat Norwegia untuk membantu empat pengecualian: apabila izin prinsip sudah
Indonesia dalam mempersiapkan dan melaksanakan dalam proses diterbitkan; apabila proyek itu untuk
REDD+, dengan pendanaan senilai AS$1 miliar, kepentingan nasional yang vital dalam hal ketahanan
apabila Indonesia memenuhi ketentuan khusus yang pangan dan energi, misalnya kegiatan panas bumi
ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan kegiatan yang dan pengalihan lahan untuk sawah dan perkebunan
ditetapkan dalam LoI mencakup tiga tahap utama: tebu; perpanjangan izin pemanfaatan hutan sepanjang
tahap persiapan (dimulai Mei 2010); tahap perubahan izin usaha pemohon masih berlaku; dan kegiatan
(mulai Januari 2011 sampai dengan akhir 2013), dan restorasi ekosistem. Sebagaimana ditunjukkan pada
tahap bantuan setelah pengurangan emisi terverifikasi judul instruksi, Presiden juga meminta perbaikan
(mulai 2014 dan seterusnya). Masing‑masing tahap tata kelola selama masa penundaan. Perbaikan ini
terdiri dari kegiatan‑kegiatan khusus, sebagaimana diperintahkan untuk diarahkan pada proses pemberian
dijelaskan pada Tabel 19. izin pinjam‑pakai dan IUPHHK‑HA, pengelolaan
lahan kritis, penggunaan izin lingkungan hidup
LoI berpengaruh pada percepatan proses persiapan untuk memperoleh izin di hutan primer dan lahan
program dan kebijakan mitigasi perubahan iklim gambut, dan percepatan pemaduserasian peta RTRW
REDD+ di Indonesia. Berdasarkan LoI, Presiden berdasarkan Peta Penundaan Indikatif (IMM) yang
membentuk Satuan Tugas REDD+ (lihat Bagian 4.1.3 akan diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan.98
untuk perincian tentang kewajiban satuan tugas), dan Instruksi ini ditujukan kepada delapan kementerian
pemerintah sekarang ini sedang menyiapkan Strategi dan lembaga negara serta pemerintah daerah, yang
Nasional REDD+. pelaksanaannya dipantau oleh UKP4 atau oleh
ketua lembaga yang ditugasi secara khusus untuk
Instruksi Presiden No. 10/2011 mengelola REDD+.99
Sebagai jawaban terhadap LoI tersebut, pada
20 Mei 2011, pemerintah menerbitkan instruksi Kritik terhadap instruksi presiden adalah berkenaan
presiden (bukan perundang‑undangan, tetapi dengan kawasan yang dilindungi selama masa
berupa pernyataan kebijakan97): Instruksi Presiden penundaan dan tindakan‑tindakan yang perlu
No. 10/2011, tentang Penundaan Pemberian Izin dilakukan selama masa penundaan.
Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
Primer dan Lahan Gambut. Pada dasarnya, instruksi
ini menyatakan agar tidak diterbitkan izin pada hutan 98  Diktum 3(e), Instruksi Presiden No. 10/2011 tentang
Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata
primer dan lahan gambut selama dua tahun—dengan Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
99  Instruksi Presiden No. 10/2011 tentang Penundaan
97  Segala bentuk peraturan di Indonesia diatur oleh UU Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
No. 10/2004 tentang Tata Cara Penyusunan Undang‑undang. Alam Primer dan Lahan Gambut.
Konteks REDD+ di Indonesia   67

Kritik pertama atas instruksi presiden tersebut percepatan pengembangan KPH; dan penyusunan
berkenaan dengan ruang lingkupnya, yaitu apakah sistem jaminan sosial dan pengamanan lingkungan.
penundaan tersebut berlaku bagi hutan primer maupun Selain itu, masa penundaan tersebut seharusnya
sekunder—persoalan sulit selama perundingan digunakan untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
penetapan bentuk instrumen akhir (Simamora 2011a). ditetapkan dalam (rancangan) Strategi Nasional
REDD+. Untuk keterangan lebih lengkap tentang
Menurut data Satuan Tugas REDD+ tentang hutan rancangan ini, lihat Bagian 4.2.2. Tidak dimasukkannya
primer dan sekunder (terkandung dalam Rancangan hal‑hal ini ke dalam instruksi tersebut menyebabkan
Strategi Nasional REDD+, mendahului penerbitan tiadanya keterkaitan antara masa penundaan dan
Instruksi Presiden No. 10/2011), kawasan yang semula persyaratan untuk perbaikan tata kelola hutan pada
diharapkan akan dilindungi oleh penundaan tersebut umumnya, dan persiapan pelaksanaan REDD+
adalah seluas 64 juta ha hutan primer dan sekitar pada khususnya.
32 juta lahan gambut, dengan tambahan 36 juta ha
yang dilindungi apabila hutan sekunder dimasukkan— Meskipun demikian, masa penundaan dan hal‑hal
yang pada akhirnya tidak. Akan tetapi, setelah dalam instruksi presiden tersebut masih dapat
perubahan perhitungan awal, Kementerian Kehutanan digunakan secara kreatif untuk mengatasi masalah yang
mengumumkan bahwa kawasan yang dilindungi ada. Sebagai contoh, pemantapan tata kelola dalam
ialah 55 juta ha hutan primer dan 17 juta ha lahan hal izin pinjam‑pakai dan IUPHHK memerlukan
gambut (Simamora 2011b). Sebaliknya, perhitungan penyelesaian persoalan penting dalam tata kelola hutan:
oleh CSO menunjukkan bahwa kenyataannya, hanya batas kawasan hutan yang tidak jelas. Akan tetapi, masa
47 juta ha hutan primer akan dilindungi;100 38 juta ha penundaannya terlalu pendek untuk menyelesaikan
telah dilindungi karena merupakan kawasan hutan masalah ini karena kemampuan pemasangan batas
konservasi dan hutan lindung yang tunduk pada kawasan hutan sekarang ini adalah 3.000–4.000 km/
peraturan yang ada.101 Perbedaan dalam hal luas tahun, bahkan dengan penerapan beberapa inovasi
yang dihitung dapat disebabkan oleh perbedaan dari hasil penilaian Direktorat Jenderal Planologi
dalam data dan dalam definisi hutan primer dan Kehutanan pada Kementrian Kehutanan,102 sedangkan
sekunder antara Kementerian Lingkungan Hidup dan kawasan yang memerlukan perhatian adalah sepanjang
Kementerian Kehutanan. 25.000 km. Oleh karenanya, dengan kemampuan
sekarang ini, penetapan tata batas hutan akan selesai
Berdasarkan Murdiyarso dkk.(2011), luas tambahan setidaknya enam tahun, kecuali apabila ditambahkan
yang sekarang dilindungi oleh penundaan tersebut dana dan sumberdaya manusia dalam jumlah besar.
adalah sekitar 22,5 juta ha, yang terdiri dari 7,2 juta ha Perlu diperhatikan bahwa, menurut Rencana Strategis
hutan primer, 11,2 juta ha lahan gambut, dan Kementerian Kehutanan 2010–2014, penataan batas
4,1 juta ha di luar dua kelompok ini. kawasan hutan sepanjang 25.000 km dijadwalkan
selesai tahun 2014.103
Kritik ke dua berkenaan dengan ruang lingkup
reformasi tata kelola, yang beranggapan bahwa terdapat Pembahasan terkait perumusan instruksi presiden
banyak hal mendasar dalam pengelolaan hutan dan tersebut mengungkapkan sudut pandang berbeda
lahan gambut yang belum dimasukkan, walaupun masa tentang kebijakan mendatang di kalangan kementerian
penundaan dimaksudkan untuk menciptakan jeda yang dan lembaga pemerintah terkait (Investor Daily
memungkinkan untuk mengurai dan memperbaiki Indonesia 2011, Simamora 2011a). Pangkal perbedaan
permasalahan mendasar tersebut. Kelalaian yang jelas ialah wewenang yang diberikan kepada Satuan
dalam instruksi presiden tersebut mencakup: revisi Tugas REDD+ atau lembaga baru yang bertanggung
kerangka hukum untuk mengurangi korupsi dan jawab atas REDD+ (Media Indonesia 2011a), dan
menyusun sistem imbalan (insentif dan disinsentif ); luas hutan yang tercakup oleh penundaan itu; yaitu
reformasi tata kelola di lingkup sektor kehutanan; apakah mencakup hutan sekunder maupun primer
(politikindonesia.com 2011).

100  Pengarahan Singkat Media Walhi, ‘Inpres No. 10/2011:


“Lanjutkan” Penghancuran Hutan’. http://www.walhi.or.id/
id/download/doc_download/29‑inpres‑no102011.html 102  Wawancara dengan Hariadi Kartodihardjo (Institut
[30 Juli 2012]. Lihat juga FAO (2010). Pertanian Bogor) berdasarkan pembahasan dengan BAPLAN,
101  Pengarahan Singkat Media Walhi, berjudul ‘Inpres 29 Juli 2011.
No. 10/2011: “Lanjutkan” Penghancuran Hutan’. http://www. 103  Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.08/
walhi.or.id/id/download/doc_download/29‑inpres‑no102011. Menhut‑II/2010 dalam Rencana Strategis Kementrian
html [30 Juli 2012]. Kehutanan 2010–2014.
68   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Pembahasan berlanjut terkait dengan penerbitan keputusan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan,
instruksi tersebut. Masyarakat madani cenderung izin yang diterbitkan oleh sektor lain, seperti izin
menganggapnya terlalu ‘lunak’, yang terlalu banyak pertambangan dan perkebunan, juga dikecualikan.
tunduk pada tuntutan swasta, dan menyatakannya Kawasan ini berada di luar wewenang Kementerian
sebagai kegagalan dalam mengatasi deforestasi dan Kehutanan, namun dengan menunda penerbitan
degradasi hutan (Gatra 2011).104 Di sisi lain, Gabungan izin seperti Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH)
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengecam dan untuk perubahan peruntukan kawasan hutan,
instruksi presiden tersebut karena menciptakan keputusan Menteri Kehutanan tersebut dapat
ketidakpastian iklim usaha (Jakarta Globe 2011b). berdampak tidak langsung bagi penundaan izin untuk
Namun demikian, kalangan pengusaha secara jelas kegiatan pertambangan dan perkebunan yang baru
telah memberikan masukan terhadap instruksi tersebut, di dalam kawasan hutan. Akan tetapi, aturan dalam
seperti dibuktikan dalam pernyataan APHI (Asosiasi keputusan Kementerian Kehutanan dapat ditafsirkan
Pengusaha Hutan Indonesia) yang menunjukkan tetap membolehkan pemberian izin pertambangan
kepuasan atas rancangan akhir karena sangat mirip dan perkebunan untuk ‘areal penggunaan lahan
dengan usulan semula (Media Indonesia 2011b, Suara lain’ (APL) jika pemohon telah mendapat izin dari
Karya 2011). kepala daerah setempat untuk menggunakan wilayah
yang telah ditetapkan, 107 yang secara jelas bukan
Untuk memenuhi kewajibannya atas Peta Indikatif merupakan maksud dari instruksi presiden tersebut. Ini
Penundaan Izin (IMM), sekitar sebulan setelah instruksi menunjukkan perlunya peraturan yang lebih jelas oleh
presiden tersebut, Menteri Kehutanan merevisi IMM kementerian lain yang terlibat—yakni Kementerian
melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK‑323/ Energi dan Sumber Daya Mineral dan Pertanian—
Menhut‑II/2011 tentang Peta Indikatif Penundaan namun hal ini tidak dimasukkan dalam instruksi
Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan presiden. Kekeliruan ini dapat berdampak besar di
Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan lapangan, jika para pihak merasa bahwa mereka dapat
Hutan dan Areal Penggunaan Lain. Keputusan menteri menjalankan kegiatan tertentu cukup berdasarkan izin
yang menjabarkan instruksi presiden tersebut dan pertambangan atau perkebunan dari kepala daerah
antara lain menyatakan bahwa jenis izin yang tidak berdasarkan undang‑undang otonomi daerah.108 Jika
akan diterbitkan selama masa penundaan hanyalah ini yang terjadi, penundaan yang diharapkan akhirnya
izin untuk pemanfaatan hasil hutan kayu, pemungutan tidak akan berdampak nyata. Selain itu, karena instruksi
hasil hutan kayu, penggunaan kawasan hutan, dan presiden bukan merupakan perundang‑undangan,
perubahan peruntukan kawasan hutan, dengan tidak ada sanksi hukum jika tidak mematuhinya
pengecualian perubahan yang diperlukan untuk tata (Murdiyarso dkk. 2011).
ruang provinsi (Diktum 5). Terdapat banyak jenis
izin lain pada sektor kehutanan105 yang tampaknya Tentu saja, penundaan tersebut hendaknya tidak
dikecualikan dari penundaan, termasuk izin untuk dilihat sebagai satu‑satunya alat yang direncanakan
menggunakan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan oleh Indonesia untuk mencapai sasaran pengurangan
kayu.106 Di satu sisi, pengecualian ini mungkin emisi jangka pendeknya. Meskipun ada keterbatasan
dianggap tepat karena kegiatan dalam dua izin ini waktu dan cakupan, penundaan dapat mempengaruhi
tidak ikut menyebabkan deforestasi dan degradasi kelancaran perbaikan tata kelola hutan dengan
hutan dan sejalan dengan tujuan perlindungan hutan. mendorong pengembangan proses koordinasi,
Di sisi lain, pengecualian ini mungkin dipandang pengumpulan data, kemungkinan perundang‑undangan
sebagai pelanggaran atas instruksi presiden tersebut. yang baru, dan tindakan pendukung lain seperti
Di samping itu, karena jenis izin ditetapkan dalam identifikasi kesenjangan antara data dan peraturan,

107  Diktum 3(1) Instruksi Presiden No. 10/2011 hanya


104  Lihat juga ‘Makalah pengarahan singkat dari koalisi memerintahkan kepala daerah agar tidak memberikan izin untuk
masyarakat madani untuk menyelamatkan hutan Indonesia lokasi baru di kawasan hutan atau APL.
dan iklim global’, www.walhi.or.id/id/ruang‑media/
siaran‑pers/928‑pepesan‑kosong‑inpres‑penundaan‑izin‑baru. 108  Ini merupakan tafsiran yang dipaparkan oleh
Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan
105  PP. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Rakyat, pada rapat Ombudsman Republik Indonesia tentang
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan PP. 24/2010 penyelesaian RTRW Kalimantan Tengah. Peserta rapat tersebut
tentang Penggunaan Kawasan Hutan. mencakup wakil dari Satuan Tugas PMH, Tim Terpadu
106  Diktum 1 dan 3 Instruksi Presiden No. 10/2011 Kementerian Kehutanan untuk Kalimantan Tengah, Kejaksaan
merupakan ‘penundaan penerbitan izin baru pada hutan primer Agung, Kepolisian, dan Kementerian Kehutanan (Kantor
dan lahan gambut’. Ombudsman, 14 Juli 2011).
Konteks REDD+ di Indonesia   69

penetapan kriteria dan indikator keberhasilan dalam kebijakan.112 Kalimantan Tengah sudah memiliki
pelaksanaan dan perencanaan tata kelola lanskap Komisi Daerah REDD+ dan Dewan Daerah Perubahan
(Murdiyarso dkk. 2011). Hal penting yang akan Iklim bahkan sebelum terpilih sebagai provinsi
mempengaruhi keberhasilan penundaan tersebut percontohan,113 walaupun lembaga ini telah dikecam
ialah IMM. Sebagaimana dinyatakan oleh Murdiyarso karena tidak berhasil dalam upayanya melaksanakan
dkk.(2011), peta tersebut dapat diperbaiki dalam hal REDD+.114 Gubernur Kalimantan Tengah baru‑baru
keterbukaannya jika peta HPH dan penetapan hutan ini menerbitkan keputusan tentang strategi daerah
saat ini tersedia untuk publik; selain itu, peningkatan mengenai pelaksanaan REDD+ (Kalimantan News
partisipasi dalam proses tersebut dapat dilakukan selama 2012), tetapi sistem MRV belum ditetapkan di provinsi
pemadu‑serasian rencana tata ruang di tingkat provinsi ini. Sekarang ini, pihak yang memfasilitasi proses
dan kabupaten, yang akan memerlukan revisi berkala tersebut di Kalimantan Tengah ialah Kantor Pendukung
atas IMM tersebut. Penundaan tersebut hendaknya REDD+ Kalimantan Tengah, yang dibentuk oleh
dipandang terutama sebagai proses kebijakan Satuan Tugas REDD+ bekerja sama dengan gubernur
untuk menciptakan keadaan yang memungkinkan Kalimantan Tengah.115
(khususnya dalam hal perbaikan tata kelola hutan
dan lahan gambut) yang merupakan prasyarat untuk Nota Kesepahaman (MoU) antara Satuan
cara pembangunan rendah‑karbon dan keberhasilan Tugas REDD+ dan Pemerintah Provinsi
pelaksanaan REDD+ (Murdiyarso dkk. 2011). Kalimantan Tengah
MoU antara Satuan Tugas REDD+ dan Provinsi
Pemilihan Kalimantan Tengah sebagai provinsi Kalimantan Tengah, yang menyepakati kerja sama
percontohan dalam melaksanakan proyek percontohan REDD+,
Pada akhir tahun 2010, Kalimantan Tengah dipilih ditandatangani pada tanggal 16 September 2011, oleh
sebagai provinsi percontohan untuk pelaksanaan Kuntoro Mangkusubroto (Ketua Satuan Tugas) dan
REDD+. Akan tetapi, segera setelah Instruksi Presiden Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang.
No. 10/2011 diterbitkan, kawasan hutan seluas hingga
1.168.656 ha di Kalimantan Tengah dilepas melalui Melalui MoU tersebut, bahwa kegiatan REDD+ di
keputusan Menteri Kehutanan.109 Pada waktu itu, Kalimantan Tengah diharapkan akan diselaraskan
RTRW belum selesai karena sebagian kecil kawasan dengan Strategi Nasional REDD+, dan bahwa MoU
hutan yang diusulkan untuk dilepas dianggap bersifat tersebut akan menjadi dasar bagi kerja sama antara
strategis sehingga penggunaannya memerlukan pemerintah provinsi dan pusat dalam melaksanakan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.110 Proses dan memantau kegiatan REDD+.
ini menunjukkan bahwa hutan yang secara resmi
telah disetujui dapat terus menyusut meskipun suatu Ruang lingkup MoU tersebut meliputi pelaksanaan dan
daerah telah ditetapkan di tingkat nasional sebagai pemantauan Strategi Nasional REDD+ dan Strategi
provinsi percontohan. Berbagai kegiatan yang terkait Daerah REDD+, yang mencakup:
dengan REDD+ sedang berlangsung di daerah •• pengembangan dan perbaikan kelembagaan
percontohan.111 Namun demikian, beberapa kelompok dan proses yang diperlukan untuk menyiapkan
masyarakat madani, menyatakan bahwa meskipun pelaksanaan penuh program REDD+ di
terdapat sejumlah kegiatan tersebut, tidak terjadi Kalimantan Tengah
perubahan nyata sejak Kalimantan Tengah dipilih •• penyusunan dan perbaikan berbagai kebijakan
sebagai provinsi percontohan; mereka juga mengeluh dan peraturan di tingkat daerah, yang diperlukan
karena tidak dilibatkan dalam proses penetapan

112  Wawancara dengan Arie Tompas, Direktur Walhi


Kalimantan Tengah, 4 Agustus 2011.
109  Keputusan Menteri Kehutanan No. 292/Menhut‑II/2011 113  Komisi Daerah REDD dibentuk melalui Keputusan
tentang Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan di Gubernur No. 188.44/152/2010 tentang Pembentukan
Provinsi Kalimantan Tengah. Komisi Daerah Pengurangan Emisi dari Kegiatan Deforestasi
110  Menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Degradasi Hutan (REDD) serta Lahan Gambut. Dewan
No. 292/ Menhut‑II/2011, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Perubahan Iklim (DDPI) dibentuk melalui Keputusan
harus memberikan persetujuan untuk kawasan seluas lebih Gubernur No. 188.44/153/2010 tentang Pembentukan DDPI.
dari 236.939 ha. 114  Wawancara dengan Arie Tompas, Direktur Walhi
111  Untuk beberapa contoh, lihat Kalimantan Tengah, 4 Agustus 2011.
http:// reddplussupportingofficekalteng.wordpress.com/. 115 http://reddplussuportingofficekalteng.wordpress.com/.
70   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

untuk membuat kerangka hukum bagi pelaksanaan keseluruhan, rancangan sekarang ini lebih menyeluruh
REDD+ di Kalimantan Tengah dan rinci dibandingkan dengan versi November 2010,
•• penyusunan kegiatan secara strategis yang yang dianggap terlalu umum dan terlalu terarah
diperlukan bagi pelaksanaan REDD+ pada pembahasan internasional tentang REDD+ dan
•• pergeseran kerangka pikir dan budaya kerja pada perubahan iklim. Sebaliknya, rancangan sekarang lebih
seluruh unsur pemangku kepentingan terkait diarahkan pada pencapaian komitmen nasional yang
di Kalimantan Tengah apabila diperlukan demi berperan dalam perjanjian internasional, dan jauh lebih
keberhasilan pelaksanaan REDD+ terkait erat dengan REDD+ dan sektor kehutanan,
•• pelibatan pemangku kepentingan dalam sambil tetap mempertimbangkan sektor terkait lainnya;
proses perencanaan, pelaksanaan, dan rancangan ini juga berisi lebih banyak rincian tentang
pemantauan REDD+. pedoman dan dasar‑dasar pelaksanaan, serta persoalan
terkait yang tercakup dalam rancangan sebelumnya,
Strategi Nasional REDD+ misalnya FPIC, safeguards (pengamanan), bagi‑hasil,
Sejak Agustus 2010, Indonesia telah berusaha keras dan penguasaan lahan.
untuk merumuskan Strategi Nasional REDD+ (lihat
Bagian 4.1.3). Bappenas, yang semula ditugaskan Tujuan Strategi Nasional REDD+ (Satuan Tugas
menyusun strategi ini dengan bantuan dari tim REDD+ 2011) ini, seperti diuraikan dalam rancangan
khusus dan UN‑REDD, menyerahkan rancangan akhirnya, ialah sebagai berikut:
pertama pada tanggal 23 September 2010, setelah 1. Mendukung upaya untuk memenuhi komitmen
menggabungkan masukan dari para pemangku Presiden Indonesia untuk menggunakan sektor
kepentingan terkait. Rancangan ini kemudian kehutanan guna mencapai sasaran pengurangan
digunakan sebagai bahan konsultasi di tujuh daerah emisi sebesar 26% di bawah prakiraan 2020 yang
(Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa, Nusa didasarkan pada skenario bisnis seperti biasa.
Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua) 2. Menindaklanjuti keputusan Rencana Aksi Bali,
dalam kurun waktu Oktober‑November; rangkaian Persetujuan Kopenhagen, dan keputusan COP 16
konsultasi ini ditutup dengan pertemuan pakar UNFCCC di Cancun.
internasional dan nasional di Bali mulai 30 Oktober 3. Menyusun sistem kelembagaan dan pengelolaan
sampai dengan 2 November 2010. Rancangan kedua yang tepat untuk melaksanakan program REDD+.
(November 2010) kemudian disusun. Sistem tersebut harus memastikan bahwa
pengurangan emisi dapat diukur, dilaporkan, dan
Setelah pembentukannya, Satuan Tugas REDD+ diverifikasi, serta harus didukung oleh instrumen
mengambil alih tanggung jawab untuk menyusun pendanaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
strategi nasional. Pada satu waktu terdapat dua 4. Membangun landasan dan memberikan pedoman
versi rancangan Strategi Nasional REDD+, tentang sistem pengelolaan dan peraturan
yang masing‑masing disusun oleh Bappenas dan terpadu bagi pengelolaan pelaksanaan REDD+
Kementerian Kehutanan, dan diserahkan kepada oleh kelompok masyarakat, swasta, CSO, dan
Satuan Tugas REDD+. Semula, rancangan ini pemerintah daerah.
diharapkan selesai pada akhir tahun 2010, yang sejalan 5. Mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan
dengan tenggat waktu yang ditetapkan dalam LoI melalui pendekatan yang berdasarkan sudut
antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia. Akan pandang masyarakat setempat, termasuk
tetapi, pemangku kepentingan utama tidak dapat kelompok perempuan dan kelompok rentan,
menyepakati strategi mana yang akan digunakan. yang kemungkinan besar akan terpengaruh
Rancangan Strategi Nasional REDD+ kemudian oleh REDD+, sehingga skema tersebut dapat
disusun ulang pada bulan Maret‑April 2011 oleh tim secara adil menguntungkan seluruh kelompok
yang terdiri dari akademisi, peneliti, dan wakil CSO dan membangkitkan rasa memiliki di kalangan
dan lembaga donor. Rancangan akhir Strategi Nasional masyarakat.
REDD+ dipublikasikan untuk mendapatkan tanggapan 6. Membangun proses partisipatif dan pendekatan
dari publik pada bulan Agustus 2011. Sampai gabungan yang sistematis, yang mendukung upaya
dengan awal Juni 2012, Strategi Nasional REDD+ Indonesia untuk konservasi hutan alami, dalam
belum diformalkan. konteks perubahan nilai lahan dan harga komoditas
yang dinamis.
Rancangan terbaru Strategi Nasional REDD+ 7. Memberikan rujukan bagi penanaman modal
(Agustus 2011) merupakan hasil dari revisi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan pada
besar‑besaran sejak November 2010. Secara seluruh skala untuk pemanfaatan hutan dan lahan
Konteks REDD+ di Indonesia   71

gambut sebagai hasil hutan dan/atau pertanian Menetapkan seluruh proses dan jadwal
dan jasa lingkungan, termasuk penyimpanan waktu untuk mengembangkan bantuan
cadangan karbon. program REDD+, mengingat bahwa
diperlukan 2–3 tahun untuk perencanaan,
Rancangan terbaru Strategi Nasional REDD+ disusun permulaan, pembentukan lembaga,
dalam enam bab sebagai berikut: penyiapan prasarana, pembelajaran dan
Bab 1: Menjelaskan latar belakang dan tujuan pengembangan kemampuan, dengan
Bab 2: Menjelaskan penggunaan lahan di dalam pelaksanaan penuh REDD+ di Indonesia
dan di luar kawasan hutan; kecenderungan dijadwalkan dimulai tahun 2014
deforestasi dan degradasi hutan beserta Menjelaskan REDD+ di provinsi
penyebab utamanya; kecenderungan percontohan dan menjabarkan tentang
emisi umum; dan sektor‑sektor persoalan sebenarnya yang akan dihadapi
penggunaan lahan dan memerlukan penyelesaian
Menilai potensi dan peluang bagi Bab 6: Menekankan pentingnya keterlibatan
pengembangan program REDD+ pemangku kepentingan di berbagai
Bab 3: Menjelaskan komitmen Indonesia untuk tingkatan, yang harus dilakukan secara
mengurangi emisi bertahap guna memastikan keefektifan
Menjelaskan secara mendalam komitmen MRV, efisiensi instrumen pendanaan, dan
Indonesia untuk memperbarui tata ruang keadilan dalam bagi‑hasil
dan pengelolaan hutannya, sebagai dua Menyoroti persyaratan untuk penyelarasan
hal yang paling berpengaruh dalam antara landasan kelembagaan REDD+
rancangan strategi dan strategi mitigasi nasional untuk
Menjelaskan visi, misi, tujuan, ruang pengembangan ekonomi rendah‑karbon
lingkup, sasaran, dan keuntungan Menyampaikan harapan bahwa lembaga
mengembangkan REDD+, sinerginya REDD+ sendiri akan siap tahun 2011
dengan program‑program lain yang dan beroperasi sepenuhnya pada akhir
dikembangkan sebagai jawaban terhadap tahun 2013
mitigasi perubahan iklim, dan kebijakan Menegaskan kembali perlunya reformasi
penggunaan lahan kebijakan untuk menunjang pelaksanaan
Menyertakan jaminan bahwa tujuan REDD+, dan mengingatkan bahwa
konservasi keanekaragaman hayati akan reformasi tersebut memerlukan tinjauan
dimasukkan ke dalam pengembangan atas kerangka peraturan yang ada,
program REDD, karena dapat memiliki khususnya mengenai tata ruang dan hak
nilai yang lebih tinggi daripada penguasaan (yang disadari sebagai masalah
karbonnya sendiri kronis di Indonesia yang memerlukan
Bab 4: Menetapkan landasan utama strategi tindakan segera agar memungkinkan
tersebut—yang dikonsepkan ke REDD+ dilaksanakan), serta identifikasi
dalam lima pilar—dan rincian arah dan pencabutan peraturan atau
pengembangan sistem yang diperlukan aturan perizinan yang menciptakan
(lihat di bawah ini untuk informasi lebih peluang korupsi
lengkap tentang lima pilar tersebut). Menjelaskan bahwa pembelajaran dari
Menjelaskan pembangunan prasarana, proyek percontohan dan interaksi dengan
penetapan prasyarat dan keadaan masyarakat dunia dan setempat perlu
yang memungkinkan, pengembangan dipertimbangkan untuk mencegah
kemampuan kelembagaan, berulangnya kesalahan dan untuk
profesionalisme, dan kemampuan meningkatkan peluang keberhasilan
teknologi (misalnya perangkat lunak)
Bab 5: Menetapkan prioritas tugas tiga Mengingat sebagian besar emisi LULUCF di Indonesia
lembaga baru yang akan dibentuk disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan dan
(badan pengelola REDD+, kemitraan lahan gambut, fokus strategi ini ialah upaya untuk
pendanaan REDD+, dan lembaga MRV memperbaiki pengelolaan hutan dan lahan gambut,
REDD+) sebagai bagian dari rencana aksi dengan tujuan utama untuk mengurangi deforestasi
untuk mengembangkan prasarana dan dan degradasi. Oleh karena itu, pelaksanaan REDD+
kemampuan kelembagaan yang diperlukan di Indonesia bertujuan untuk mencapai empat hal
72   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

berikut:(1) mengurangi laju deforestasi; (2) mengurangi 3. Perencanaan program strategis


degradasi hutan; (3) meningkatkan konservasi; dan Program yang ada di bawah pilar ini berkenaan
(4) meningkatkan cadangan karbon. Selama konsultasi dengan pengelolaan lanskap berkelanjutan, sistem
dengan masyarakat yang dilakukan oleh Bappenas ekonomi pemanfaatan, konservasi, dan rehabilitasi
di tujuh daerah pada akhir tahun 2010, sejumlah sumberdaya alam yang berkelanjutan.
penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan yang 4. Pergeseran kerangka pikir dan budaya kerja
diidentifikasi adalah: (1) perencanaan tata ruang yang Pilar ini terdiri dari kegiatan penguatan pengelolaan
tidak efektif dan sistem penguasaan hutan yang lemah; sektor kehutanan, kampanye nasional ‘Pelestarian
(2) pengelolaan hutan yang tidak efektif; dan (3) tata Hutan Indonesia’, dan pengembangan kegiatan
kelola dan penegakan hukum yang lemah. melalui program ‘Hutan Tahun Ini’.
5. Keterlibatan pemangku kepentingan
Tiga penyebab tersebut harus diatasi jika Indonesia Kegiatan berkenaan dengan pengembangan strategi
memegang komitmennya untuk mengurangi emisi interaksi dan keterlibatan pemangku kepentingan
sebesar 26% di bawah prakiraan untuk tahun serta pelaksanaan asas FPIC, pengamanan, dan
2020 dengan skenario BAU. Arsitektur Strategi bagi‑hasil.
Nasional REDD+ didasarkan pada lima pilar
berikut: (1) pengembangan lembaga pengelolaan, Strategi Nasional REDD+ merupakan bagian dari
instrumen pendanaan, dan sistem MRV REDD+; RAN‑GRK, yang didasarkan pada ICCSR. ICCSR
(2) pengembangan undang‑undang dan peraturan memberi arahan bagi kegiatan mitigasi di semua sektor.
pendukung yang terkait; (3) perencanaan program Untuk sektor kehutanan, ICCSR dilaksanakan melalui
strategis; (4) pergeseran kerangka pikir dan budaya Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN 2011–
kerja menuju partisipasi menyeluruh oleh kelompok 2030). RKTN menegaskan beragam kegiatan yang
masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan diperlukan untuk melaksanakan REDD+ sesuai dengan
masyarakat rentan, dalam menyusun kebijakan, Strategi Nasional REDD+. Oleh karena itu, RAN‑GRK
program, dan protokol; dan (5) pelibatan secara tepat dan Strategi Nasional REDD+ tidak dapat dipisahkan
masyarakat melalui pelaksanaan FPIC, safeguards karenanya keduanya menjabarkan ICCSR.
(pengamanan), dan proses bagi hasil yang adil dan
terbuka. Strategi Nasional REDD+ merupakan Sebagaimana dokumen strategis lainnya, Strategi
bagian tak terpisahkan dari strategi pembangunan Nasional REDD+ berfungsi sebagai pedoman, atau
berkelanjutan, yang dirancang untuk mencapai rujukan bagi pelaksanaan REDD+; dengan demikian,
pembangunan ekonomi rendah karbon melalui sifatnya agak umum dan memerlukan penjabaran
empat jalur strategi pembangunan: berpihak pada lebih lanjut dalam dokumen teknis—Rencana Aksi
pertumbuhan, pekerjaan, masyarakat miskin, dan Nasional (RAN) REDD+, yang perlu dimasukkan
lingkungan hidup. ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RAN
REDD+ kemudian akan dijabarkan lebih lanjut ke
Lima pilar ini dijabarkan menjadi beragam kegiatan dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) REDD+. Strategi
dalam rancangan tersebut sebagai berikut (Lihat Daerah (Strada) REDD+ terkait erat dengan Strategi
Tabel 20). Nasional REDD+ sehingga rencana tingkat nasional
1. Membentuk lembaga REDD+ dapat dilaksanakan di lapangan. Demikian juga, RAN
Kerangka umum lembaga REDD+ memiliki GRK akan dijabarkan ke dalam Rencana Aksi Daerah
empat tingkat: internasional, nasional, daerah, Gas Rumah Kaca (RAD‑GRK).
dan program/proyek/kegiatan. Lembaga yang
perlu dikembangkan ialah lembaga pengelolaan, Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi Emisi
instrumen pendanaan, dan sistem MRV REDD+. Gas Rumah Kaca (RAN‑GRK)
2. Meninjau dan memperkuat kebijakan Pada tanggal 20 September 2011, Presiden
dan peraturan Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani
Peraturan‑peraturan yang perlu ditinjau Keputusan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana
mencakup pengelolaan dan penggunaan tata Aksi Nasional untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah
ruang, penguasaan lahan, pengelolaan hutan dan Kaca (RAN‑GRK). Keputusan ini dimaksudkan sebagai
lahan gambut, pemantauan hutan dan penegakan dokumen acuan bagi kementerian dan kepala lembaga
hukum, penundaan izin kehutanan selama terkait dalam merencanakan dan melakukan kegiatan
dua tahun (termasuk pemantapan izin), dan yang berkaitan secara langsung dan tidak langsung
penyelesaian sengketa. dengan pengurangan emisi GRK sesuai dengan
Konteks REDD+ di Indonesia   73

Tabel 20.  Langkah strategis untuk keberhasilan pelaksanaan REDD+

Strategi Nasional Masa pelaksanaan


REDD+ Tahap 1 (2011–2012) Tahap 2 (2012–2014) Tahap 3 (2014 dst.)
Membentuk • Menyusun Strategi • Ditetapkannya • Melaksanakan sepenuhnya
lembaga REDD+ Nasional REDD+ lembaga REDD+ sistem REDD+
• Merancang lembaga • Menetapkan instrumen • Melanjutkan program
REDD+, instrumen pendanaan pengurangan emisi
pendanaan, dan kerangka • Menetapkan sistem MRV • Menyerahkan hasil
MRV independen program untuk dilakukan
• Menetapkan program
• Menetapkan cakupan provinsi percontohan pemantauan dan verifikasi
penundaan pertama dan kedua (2011 secara independen
• Memilih provinsi dan 2012) • Menjalankan sistem
percontohan • Meningkatkan kemampuan MRV berdasarkan
SDM dan menyusun standar UNFCCC
instrumen kerja • Memverifikasi emisi
• Menyelesaikan berdasarkan tingkat
pemenuhan prasyarat acuan UNFCCC
perundang‑undangan • Melakukan pembayaran
dan DPR berdasarkan pengurangan
emisi terverifikasi (VER)
Meninjau dan • Meninjau landasan hukum hak atas lahan dan mempercepat pelaksanaan tata ruang
memantapkan • Mempertegas penegakan hukum dan pencegahan korupsi
kebijakan dan
• Meninjau landasan hukum dan menetapkan insentif dan/atau disinsentif kepada swasta
peraturan
• Menetapkan landasan hukum penyelarasan data dan peta
untuk penentuan tata ruang dan pemberian izin
• Melakukan kajian tentang pemberian izin
pengusahaan hutan dan penggunaan lahan maupun
penyelesaian sengketa
• Menangguhkan penerbitan
izin baru untuk kawasan
hutan dan lahan gambut
selama dua tahun
Perencanaan program strategis
1. Pengelolaan • Melakukan perencanaan dan pengelolaan bentang lahan/kawasan lingkungan hidup/DAS
lanskap secara multiguna
berkelanjutan • Meningkatkan kesempatan kerja alternatif berkelanjutan
• Mempercepat pengorganisasian dan pengoperasian Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
• Melembagakan proses pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan
• Menyelesaikan rencana tata • Menetapkan dan • Melaksanakan
ruang provinsi percontohan memetakan kawasan tukar‑guling lahan
adat dan tanah ulayat
setempat lainnya
• Menyelesaikan rencana • Menyelesaikan rencana
tata ruang delapan provinsi tata ruang seluruh
berhutan lainnya provinsi lainnya
• Menetapkan
kawasan khusus dan
menyelesaikan persiapan
tukar‑guling lahan
berlanjut ke halaman berikutnya
74   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tabel 20. Lanjutan

Strategi Nasional Masa pelaksanaan


REDD+ Tahap 1 (2011–2012) Tahap 2 (2012–2014) Tahap 3 (2014 dst.)
2. Sistem • Meningkatkan kesempatan kerja alternatif berkelanjutan (pembangunan ekonomi setempat)
ekonomi • Mempercepat praktik pengelolaan hutan berkelanjutan
untuk
• Meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan
pemanfaatan
sumberdaya • Menerapkan praktik penambangan ramah‑lingkungan
alam • Memajukan industri hilir bernilai‑tambah tinggi
berkelanjutan
3. Konservasi • Menegakkan aturan yang berkenaan dengan kawasan lindung
dan • Mengendalikan pengalihan fungsi hutan dan lahan gambut
rehabilitasi
• Melakukan kegiatan pemulihan hutan dan rehabilitasi lahan gambut
• Menjalankan dan memantapkan pengelolaan hutan lindung
dan lahan gambut
Pengubahan • Memantapkan pengelolaan sektor kehutanan
kerangka pikir • Menjalankan kegiatan dalam rangka kampanye nasional “Pelestarian Hutan Indonesia”
dan budaya kerja
• Menyusun kegiatan pemberian insentif melalui program “Hutan Tahun Ini”

Keterlibatan • Memastikan adanya interaksi antarkelompok pemangku kepentingan (pemda, swasta, LSM,
pemangku masyarakat adat/setempat, dan mitra internasional)
kepentingan • Menyusun pengaman sosial dan lingkungan
• Menyusun sistem yang adil dalam pembagian manfaat
Sumber: Satuan Tugas REDD+ (2011: 85)

kepentingan nasional seperti sasaran pembangunan. nasional dan dinamika internasional. Bappenas
Kegiatan yang dimasukkan dalam keputusan ini akan memimpin proses peninjauan, yang hasil
dikelompokkan menurut sektornya: pertanian; tinjauannya diserahkan setidaknya setahun sekali
kehutanan dan lahan gambut; energi dan perhubungan; kepada Menteri Koordinator bidang Perekonomian,
industri; pengelolaan limbah; dan kegiatan penunjang dengan tembusan kepada Menteri Koordinator bidang
lainnya. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Kesejahteraan Rakyat.
ditugasi untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan
kegiatan tersebut. Diharapkan juga bahwa para Terdapat acuan bagi masing‑masing sektor yang
pemangku kepentingan lain akan merujuk pada tercakup dalam RAN‑GRK terkait konstribusi yang
dokumen tersebut dalam tindakan pengurangan emisi diharapkan terhadap keseluruhan sasaran pengurangan
yang direncanakan. emisi GRK sebesar 26%/41% yaitu sebagai berikut:
•• Pertanian:0,008 Gt CO2e (26%) dan 0,011 Gt
Pada tingkat daerah, RAN‑GRK memberikan pedoman CO2e (41%)
bagi pemerintah daerah dalam menyusun Rencana •• Kehutanan dan Lahan Gambut:0,672 Gt CO2e
Aksi Daerah untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah (26%) dan 1,039 Gt CO2e (41%)
Kaca (RAD‑GRK), yang disesuaikan dengan prioritas •• Energi dan Perhubungan:0,038 Gt CO2e (26%)
pembangunan masing‑masing provinsi. RAD‑GRK dan 0,056 Gt CO2e (41%)
perlu dibuat dalam waktu 12 bulan sejak tanggal •• Perindustrian:0,001 Gt CO2e (26%) dan 0,005
keputusan. Kementerian Dalam Negeri, yang dibantu Gt CO2e (41%)
oleh Bappenas dan Kementerian Lingkungan Hidup, •• Pengelolaan Limbah:0,048 Gt CO2e (26%) dan
akan mengawasi dan mengkoordinasikan penyusunan 0,078 Gt CO2e (41%)
RAD‑GRK. Berdasarkan keputusan ini, Bappenas
ditugaskan untuk menyusun pedoman RAD‑GRK Berbagai sumber pendanaan akan disalurkan untuk
guna disebarkan dalam waktu tiga bulan sejak membantu pelaksanaan RAN‑GRK; sumber tersebut
tanggal keputusan. mencakup APBN dan APBD maupun sumber
yang sah lainnya dan sumber pendanaan yang
Keppres No. 61/2011 tersebut menyatakan bahwa tidak mengikat yang diizinkan menurut peraturan
RAN‑GRK harus ditinjau secara berkala, dan dapat perundang‑undangan Indonesia.
dimodifikasi sesuai dengan perubahan kebutuhan
Konteks REDD+ di Indonesia   75

Instrumen, konsep & praktik Ciri-ciri:


kebijakan yang ada yang • Keterbukaan
terkait dengan pengamanan • Ketercakupan
dalam kehutanan • Selaras dengan perundang-undangan
nasional
• Sesuai dengan keadaan nasional

Rancang-bangun
• Kesederhanaan
• Kesempurnaan
• Keterjangkauan
SIS-REDD+ • Pertanggungjawaban
INDONESIA
Rancang-bangun
• Susunan
• Cara kerja
• Kelembagaan
Keputusan 1 COP 16 Keputusan 1 COP 16 • Unsur-unsur pengaman
(pedoman REDD+) (pengaman REDD+) • Kriteria dan Indikator untuk menilai
Pedoman
pelaksanaan pengamanan
lain COP

Gambar 6.  Unsur‑unsur dalam menerjemahkan pedoman dan pengaman REDD+ hasil keputusan COP 16 ke dalam
konteks nasional
Sumber: Masripatin (2011)

Beberapa pertanyaan timbul mengenai batasan dan Demikian juga, dalam tahun yang sama, diadakan
sasaran pengurangan emisi dalam RAN‑GRK. Batasan serangkaian konsultasi yang melibatkan masyarakat
‘gas rumah kaca’ (GRK) yang diberikan ialah ‘gas madani dan pemangku kepentingan lainnya yang
yang terkandung dalam atmosfer baik alami maupun bertujuan untuk pengamanan lingkungan hidup dan
antropogenik, yang menyerap dan memancarkan sosial (Gambar 6).
kembali radiasi inframerah’. Adapun ‘emisi’ diberi
batasan yang mencakup tidak hanya gas antropogenik, Pengembangan kebijakan lebih lanjut
tetapi juga gas alam (seperti gas vulkanis, penguapan Dua tambahan peta jalan yang terkait dengan REDD+
air, dan lain‑lain). sedang dibuat. Tujuan peta jalan yang pertama ialah
untuk melakukan reformasi tata kelola di daerah
Tanggapan terhadap hasil COP 16 di Cancun yang termasuk dalam REDD+. Langkah pertama
Pada awal tahun 2011, Pemerintah Indonesia mulai yang direncanakan dalam penyusunan peta jalan
menjabarkan keputusan yang dibuat pada COP 16 di merupakan kajian partisipatif untuk menilai kesiapan
Cancun ke dalam kerangka nasional (Masripatin 2011). pemerintah daerah dalam melaksanakan program
Ini mencakup kegiatan berikut: REDD+, terutama dalam kaitannya dengan rencana
•• peluncuran proses konsultasi dengan pemangku untuk memilih provinsi percontohan tahap II.116 Kajian
kepentingan untuk mengembangkan Sistem dilakukan oleh Program Pembangunan PBB (UNDP),
Informasi pengamanan (Safeguard Information dengan hasil yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh
System, SIS/ISS) Indonesia pada tanggal berbagai pihak, termasuk Kementerian Kehutanan,
21 Maret 2011
•• menjawab undangan dari Sub‑badan Konsultasi
Ilmiah dan Teknologi (SBSTA)
•• menyerahkan pendapat tentang cara
pengembangan REL/RL dan sistem MRV kepada 116  Kajian tersebut direncanakan untuk dilaksanakan di
Sekretariat UNFCCC 10 provinsi: Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan
•• penyusunan pedoman pengembangan SIS/ ISS Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi
Tengah, Papua, dan Papua Barat; lihat pemaparan oleh Irman
•• persiapan penyerahan gabungan pendapat seluruh G. Lanti (Asisten Direktur untuk Indonesia/Kepala Satuan Tata
negara anggota ASEAN kepada UNFCCC perihal Kelola Demokratis UNDP) pada konsultasi di Daerah tentang
persoalan yang sama. Penilaian Tata Kelola Partisipatif, Palu, 29 Juli 2011.
76   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

UKP4, dan Bappenas.117 WRI, bekerja sama dengan tiga peraturan perundang‑undangan tersebut disajikan
beberapa CSO lain di Indonesia, menilai rancangan di bagian ini.
tersebut maupun pola tata kelola yang serupa (dengan
ruang lingkup yang dibatasi pada tata kelola hutan)118. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/
Perbedaan utama diantara kedua kajian tersebut Menhut‑II/2008 tentang Penyelenggaraan
ialah bahwa kerangka penilaian UNDP memasukkan Kegiatan Percontohan Pengurangan Emisi Karbon
penilaian kesiapan lembaga REDD+, yang tidak dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
dimasukkan ke dalam kerangka penilaian WRI. Peraturan ini mengatur prosedur penerapan
Demonstration Activities REDD+ di Indonesia
Peta jalan yang kedua ditetapkan untuk penyusunan Ketentuan dalam peraturan ini menguraikan tata
sistem MRV kehutanan oleh Kementerian Kehutanan cara pengajuan permohonan. Hal pertama yang
dengan bantuan dari UN‑REDD. Penyusunan peta diatur adalah tahapan dalam proses permohonan.
jalan dimulai dengan identifikasi kegiatan yang Permohonan dibuat dengan menyertakan peta letak
dilakukan oleh berbagai pihak untuk membentuk calon areal, bentuk, nilai, dan jangka waktu kegiatan,
sistem MRV. Ini diikuti dengan penelaahan peran yang serta merinci manajemen risiko dan alokasi pendapatan.
harus dijalani oleh Kementerian Kehutanan (diwakili Peraturan ini mengharuskan seluruh permohonan
oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan) ketika untuk melaksanakan kegiatan percontohan dinilai
melakukan penghitungan karbon untuk sistem MRV oleh Kelompok Kerja Perubahan Iklim (Pokja PI)
bagi kawasan hutan.119 Peta jalan tersebut dijadwalkan Kementerian Kehutanan. Menurut peraturan ini
selesai pada bulan September/Oktober 2011 dengan peran kelompok kerja ialah untuk memberikan
rencana aksi yang ditetapkan dalam peta jalan rekomendasi kepada menteri dalam menilai kegiatan
tersebut untuk diselesaikan pada akhir tahun 2012.120 yang direncanakan. Apabila kelompok kerja menyetujui
Selanjutnya, diharapkan bahwa tahun 2013, acuan permohonan tersebut, menteri akan menerbitkan
(baseline) akan ditetapkan dan sistem serta lembaga persetujuan yang mencantumkan:
MRV yang akan melaksanakan MRV di kawasan hutan 1. penetapan luas dan cakupan kegiatan percontohan
akan dijalankan.121 2. jangka waktu kegiatan, paling lama lima tahun
3. ketentuan yang berkaitan dengan risiko dan
4.2.3  Kerangka hukum REDD distribusi pendapatan
Sampai dengan akhir tahun 2011, ketika Indonesia
masih sedang pada tahap persiapan REDD+, Peraturan ini tidak mengatur sama sekali tentang
pemerintah telah menerbitkan tiga peraturan menteri hak masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan
yang bersifat teknis, yang mengatur pelaksanaan kegiatan percontohan dan, secara keseluruhan,
REDD+. Oleh karena itu Indonesia dianggap sebagai tidak menjelaskan konteks kegiatan percontohan.
salah satu negara paling maju dalam hal peraturan Oleh karena itu, terdapat kemungkinan munculnya
perundang‑undangan tentang REDD+. Perincian dari perselisihan antara pemrakarsa proyek dan masyarakat
berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat
dalam suatu kawasan yang ditetapkan.
117  Pemaparan oleh Irman G. Lanti (Asisten Direktur untuk
Indonesia/Kepala Satuan Tata Kelola Demokratis UNDP) pada Namun demikian, peraturan ini belum merupakan
konsultasi di Daerah tentang Penilaian Tata Kelola Partisipatif keputusan akhir karena beberapa ketentuan
(PGA), Palu, 29 Juli 2011.
memerlukan pengaturan lebih lanjut oleh menteri.
118  Prakarsa Tata Kelola Hutan (GFI), jaringan dunia Sebagai contoh, kriteria penentuan areal kegiatan
yang dipimpin oleh WRI dengan Pusat Kajian Hukum
Lingkungan Indonesia (ICEL), Sekala, HuMA, dan Pengamat percontohan memerlukan keputusan menteri lebih
Hutan Indonesia (FWI), antara lain: www.wri.org/project/ lanjut, yang belum diterbitkan.
governance‑of‑forests‑initiative.
119  Pemaparan oleh Tim Penyusunan Garis Besar Haluan Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/
Kerja MRV (Dr. M. Bruce, Prof.Saleh, I. Nengah S. Jaya) Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan
tentang Garis Besar Haluan Kerja MRV, Hotel Braja Mustika,
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
Bogor, Jawa Barat, 4 Juli 2011.
(REDD)
120  Presentasi oleh Tim Pengembangan MRV Roadmap
(Dr. M. Bruce, Prof. Saleh, I. Nengah S. Jaya) pada MRV Peraturan ini memberikan rujukan umum untuk
Roadmap, Hotel Braja Mustika, Bogor, Jawa Barat, 4 Juli 2011. melaksanakan REDD+, termasuk kriteria tentang
121  Presentasi oleh Tim Pengembangan MRV Roadmap kawasan hutan mana yang dapat digunakan untuk
(Dr M. Bruce, Prof. Saleh, I. Nengah S. Jaya) pada MRV REDD+.Peraturan tersebut menetapkan 12 kawasan
Roadmap, Hotel Braja Mustika Bogor, Jawa Barat, 4 Juli 2011. hutan yang dapat dijadikan lokasi REDD:(1) areal
Konteks REDD+ di Indonesia   77

kerja pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (6) tata kelola. Menteri diminta untuk menyetujui
(IUPHHK‑HA); (2) areal kerja pemanfaatan hasil atau menolak permohonan REDD+ tersebut dalam
hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK‑HT); 14 hari sejak menerima berkas. Proyek REDD+ dapat
(3) areal kerja hasil hutan hutan kemasyarakatan berlangsung hingga 30 tahun dan dapat diperpanjang.
(IUPHH‑HKM); (4) areal kerja hasil hutan kayu hutan Akan tetapi, belum jelas dalam peraturan ini apakah
tanaman rakyat (IUPHHK‑HTR); (5) areal kerja lembaga yang disebut dengan ‘komisi REDD+’ berarti
hsail hutan kayu restorasi ekosistem (IUPHHK‑RE); kelompok kerja yang dibentuk berdasarkan Peraturan
(6) areal kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP); Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut‑II/2008 tentang
(7) areal kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL); Kegiatan Percontohan.
(8) areal kesatuan pengelolaan hutan konservasi
(KPHK); (9) hutan konservasi; (10) hutan adat; Enam lampiran menyertai peraturan ini, yang lebih
(11) hutan hak; dan (12) hutan desa. memerinci segi teknis pelaksanaan REDD dalam
hal berikut:
Peraturan tersebut mengatur dua entitas yang berperan a. pedoman bagi pemerintah daerah tentang
dalam pelaksanaan REDD+, yaitu entitas nasional pemberian rekomendasi
dan entitas internasional. Pelaku dari entitas nasional b. kriteria pemilihan lokasi REDD
ialah pengelola dari 12 status kawasan hutan dalam c. pedoman penyusunan rencana pelaksanaan REDD
daftar di atas; entitas internasional dapat berupa d. pedoman penilaian permohonan REDD
pemerintah, badan usaha, organisasi, yayasan atau e. pedoman penetapan REL maupun pemantauan
perorangan penyandang dana REDD+. Peraturan dan pelaporan kegiatan REDD
tersebut menekankan bahwa kegiatan REDD+ akan f. pedoman verifikasi kegiatan REDD.
terkait erat dengan keberadaan pendanaan dari entitas
internasional. Persoalan kredit karbon (imbalan karbon) dikemukakan
dengan jelas dalam peraturan ini, seperti yang
Peraturan tersebut juga menetapkan persyaratan ditunjukkan oleh ketentuan tentang hak dan
untuk mengajukan permohonan pelaksanaan kegiatan kewajiban. Hak pelaku REDD+ dinyatakan sebagai
REDD+, dan tampaknya pelaku REDD+ akan berikut:(1) menerima imbalan bagi pelaksanaan
mengalami kesulitan untuk memenuhi persyaratan REDD+ di tingkat nasional (entitas nasional);
tersebut. Dalam hal hutan adat misalnya, salah satu (2) memiliki dan menggunakan sertifikat REDD+
persyaratan adalah adanya salinan surat keputusan dari (kredit karbon) sebagai bukti pengurangan emisi;
Kementerian Kehutanan yang mengakui keberadaan dan (3) memperdagangkan sertifikat REDD+
masyarakat adat. Akan tetapi, kenyataannya, tata cara dalam perdagangan karbon REDD+ pasca tahun
perihal pengakuan hutan adat jauh dari sederhana, dan 2012. Ketentuan ini menunjukkan secara kuat
catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bahwa REDD+ di Indonesia—setidaknya seperti
menunjukkan bahwa belum ada masyarakat adat yang yang ditunjukkan dalam peraturan menteri ini—
memperoleh keputusan atau mendapat pengakuan dimaksudkan menggunakan mekanisme pasar.
tersebut dari negara.122
Sertifikat sebagai bukti pengurangan emisi dari kegiatan
Tata cara dan mekanisme pengajuan permohonan REDD+ diperoleh setelah dilakukan verifikasi oleh
kegiatan REDD+ juga diatur dalam peraturan tersebut. lembaga penilai independen. Akan tetapi, peraturan
Pemrakarsa harus mengajukan permohonan untuk tersebut tidak menyebutkan penilai independen
melakukan kegiatan REDD+ kepada menteri, dengan tersebut. Peraturan ini hanya menjelaskan bahwa
melengkapi beberapa prasyarat yang ditetapkan Komite Akreditasi Nasional (KAN) memiliki wewenang
sebelumnya. Kemudian menteri menyerahkan untuk melakukan akreditasi lembaga penilai. Oleh
permohonan tersebut kepada ‘komisi REDD+’ untuk karena itu, penilai independen dapat berupa lembaga
ditinjau. Peraturan juga menetapkan kriteria yang harus swasta atau pemerintah.
diikuti ‘komisi REDD+’ dalam menilai kelayakan
kegiatan tersebut. Indikatornya mencakup:(1) data Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/
dan informasi; (2) biofisik dan ekologi; (3) ancaman Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha
terhadap sumberdaya hutan; (4) pertimbangan sosial, Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan
ekonomi, dan budaya; (5) kelayakan ekonomi; dan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
Peraturan ini berkaitan dengan REDD+, tetapi tidak
122  Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), secara khusus mengaturnya. Peraturan ini lebih
dari wawancara dengan Abdon Nababan, Februari 2011. menekankan pada usaha yang menyediakan jasa
78   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

lingkungan dan bukan semata pengurangan emisi. perbedaan yang paling mendasar ialah bahwa RAP
Pengertian tentang pembayaran jasa lingkungan (PES) dan PAN hanya dapat terjadi di hutan produksi dan
lebih sesuai untuk peraturan ini karena jasa penyerapan hutan lindung sedangkan kegiatan REDD+ juga dapat
karbon (RAP Karbon) dan jasa penyimpanan karbon dilakukan di kategori hutan yang lain.
(PAN Karbon) merupakan tujuan utamanya. Meskipun
menetapkan bahwa kegiatan RAP dan PAN dapat Keberatan terhadap peraturan
dilaksanakan di kawasan hutan produksi dan hutan Timbul banyak keberatan dalam menanggapi
lindung, peraturan tersebut tidak memberikan batasan keputusan pemerintah tentang kegiatan REDD+, tidak
terinci tentang kegiatan RAP dan PAN, kecuali hanya dari masyarakat madani, tetapi juga dari lembaga
pernyataan bahwa kegiatan tersebut merupakan ‘jenis pemerintah yang merasa tidak disertakan dalam proses
pemanfaatan jasa lingkungan di hutan produksi penyusunan peraturan. Selama diskusi kelompok
dan hutan lindung’. Batasan ini tidak memberikan terarah yang diselenggarakan oleh Kemitraan untuk
pengertian apa pun tentang apa sebenarnya kegiatan Reformasi Tata Kelola pada tanggal 29 April 2010,
RAP dan PAN itu. Akan tetapi, terdapat uraian Kementerian Keuangan mengajukan keberatan
tentang kegiatan apa yang dapat dilaksanakan sebagai terhadap Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/
kegiatan RAP dan PAN. Kegiatan PAN meliputi Menhut‑II/2009 dengan dasar pertimbangan bahwa
penundaan pembalakan, perluasan kawasan konservasi, Kementerian Keuangan seharusnya dilibatkan dalam
dan penerapan rotasi panen. Artinya, kegiatan PAN merumuskan ketentuan mengenai distribusi pembagian
bertujuan untuk mempertahankan tegakan hutan hasil antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha.
terlebih dahulu dan menyiapkannya untuk penyerapan Pada dasarnya, Kementerian Keuangan menyatakan
karbon. Kegiatan RAP mencakup penanaman dan bahwa Kementerian Kehutanan telah melampaui
peningkatan jumlah tegakan hutan di suatu areal batas kewenangannya. Menurut Undang‑undang
hutan. Oleh karena itu, walaupun kegiatan RAP dan No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, Departemen
PAN dalam peraturan ini memiliki kegiatan spesifik Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) melalui
yang berbeda pada hutan produksi dan hutan lindung, Menteri Keuangan berwenang untuk mengelola
terdapat perbedaan mendasar antara kedua jenis keuangan negara (Pasal 6(2)). Undang‑undang ini
kegiatan tersebut. memberi batasan ‘keuangan negara’ sebagai segala
sesuatu yang menjadi hak dan kewajiban negara
Kegiatan RAP dan PAN dapat dilaksanakan di kawasan yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
yang telah maupun belum dibebani izin. Prasyarat baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dan tata cara pengajuan permohonan berbeda untuk dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
kedua areal tersebut. Kewenangan atas areal yang hak dan kewajiban tersebut. Meskipun menteri dan
telah dibebani izin (HTI, kawasan restorasi ekosistem, kepala lembaga lainnya seperti Kementerian Kehutanan
hutan tanaman rakyat, dan lain‑lain) berada di tangan diberi wewenang tertentu atas segi keuangan negara,
menteri, gubernur, dan bupati/walikota sedangkan wewenang itu ialah sebagai pengguna dan bukan
kewenangan atas kawasan yang belum dibebani izin sebagai pengelola (Pasal 6(3)).
sebelumnya berada di tangan menteri.
Oleh karena itu, merujuk pada Undang‑undang
Meskipun pengertian RAP dan PAN karbon tampaknya tersebut, Kementerian Kehutanan tidak berwenang
berbeda dengan REDD+, Pasal 4 peraturan tersebut untuk mengatur bagi‑hasil dari REDD+ dan/atau
menyatakan bahwa: kegiatan penyimpanan/penyerapan karbon. Hal di
Pelaksanaan kegiatan usaha penyimpanan atas menunjukkan bahwa keterpaduan dan keselarasan
karbon dalam skema pengurangan emisi dari antarsektor tetap menjadi tantangan besar di Indonesia.
deforestasi dan degradasi hutan (REDD), dan Memang, ada banyak contoh perundang‑undangan
penyerapan karbon dalam kerangka mekanisme yang tumpang‑tindih, seperti yang muncul dalam
pembangunan bersih diatur dengan Peraturan konteks pelaksanaan REDD+.
Menteri tersendiri.
Namun tata cara kegiatan RAP dan PAN sangat Sebagai konsekuensinya, Kementerian Kehutanan
mirip dengan REDD+, yaitu kegiatan diverifikasi mengumumkan rencana untuk merevisi tiga peraturan
oleh lembaga verifikasi independen dan akan tersebut. Akan tetapi, sampai April 2011, tidak ada
diterbitkan sertifikat pengurangan emisi yang dapat perkembangan lebih lanjut tentang rencana revisi yang
diperdagangkan di pasar karbon. Kemungkinan akan dilakukan.
Konteks REDD+ di Indonesia   79

4.2.4  Kedudukan masyarakat madani dalam •• Dengan adanya banyak kekurangan dalam tata
perbincangan tentang REDD+ kelola pemerintahan, yang terpenting ialah
REDD+ telah menjadi pokok perbincangan yang memperbaiki sistem tersebut: pemerintah harus
mengemuka sejak dimunculkan pada COP 13 di bertanggung jawab atas perbaikan sistem tata kelola
Bali, dengan wacana mendukung dan menentang sebelum REDD+ dapat dilaksanakan.124
REDD+ yang disuarakan oleh berbagai kelompok
masyarakat madani. Perdebatan mengenai ruang lingkup REDD+ terus
berlanjut setelah COP 15 di Kopenhagen ketika
Beberapa kelompok masyarakat madani menyatakan CSF menerbitkan laporan untuk umum tentang
bahwa REDD akan menghambat akses masyarakat adat Kesepakatan Kopenhagen, yang disebut dengan
sebagai ‘pemilik hutan’. Kecaman lainnya ialah, karena ‘Kegagalan COP 15 dan kegagalan penyelamatan
terarah pada perdagangan karbon, REDD+ tidak akan umat manusia’, pada tanggal 28 Desember 2009.
menyelesaikan masalah mendasar mengenai kegagalan Salah satu pokok persoalan dalam laporan tersebut
pembangunan pada sektor kehutanan. Beberapa berkaitan dengan REDD+. Selanjutnya, kelompok
aksi yang menyatakan ketidaksetujuan atas rencana masyarakat madani bersama dengan beberapa anggota
untuk melaksanakan REDD dilakukan oleh Forum DPR Indonesia melaporkan tentang kegagalan
Masyarakat Sipil di COP 13 (Detiknews 2007b). COP 15 (walaupun Pemerintah Indonesia menganggap
COP 15 berhasil).
CSF123 menyatakan pendapat bahwa REDD+
akan berdampak negatif, baik terhadap masyarakat Akhirnya, dengan difasilitasi oleh Komisi IV DPR,
maupun upaya dunia untuk mengurangi emisi, dan diselenggarakan pertemuan lain antara masyarakat
bahwa REDD+ gagal memberikan penyelesaian atas madani dan utusan pemerintah pada tanggal
permasalahan mendasar yang menyebabkan deforestasi. 18 Januari 2010. Salah satu pokok pembahasannya
ialah menyertakan perkebunan ke dalam definisi hutan.
Berikut ini adalah keberatan mendasar masyarakat Beberapa pihak merasa bahwa perkebunan kelapa
madani terhadap REDD+: sawit hendaknya juga dikelompokkan sebagai hutan
•• REDD+, yang terarah pada skema pasar karbon, tanaman produksi sehingga termasuk dalam skema
tidak akan memberikan penyelesaian bagi REDD+. Oleh sebab itu, pemerintah menyatakan
pengurangan emisi global. keinginannya untuk menyusun peraturan teknis untuk
•• Penerapan REDD+ dalam skema wajib berdasarkan memasukkan perkebunan kelapa sawit sebagai kawasan
UNFCCC akan mengendurkan tekanan terhadap hutan (Kontan 2010); akan tetapi, dalam perbincangan
negara maju untuk mengurangi emisi mereka, yang berikutnya, intensitas usulan untuk memasukkan
seharusnya menjadi agenda utama dalam skema perkebunan kelapa sawit tersebut mulai berkurang.
pengurangan emisi global.
•• REDD+ akan membatasi akses masyarakat adat Pokok perbantahan lainnya ialah pengakuan atas
terhadap hutan tempat mereka tinggal. masyarakat adat, keikutsertaan masyarakat, dan
•• Perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan bagi‑hasil. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
tanaman industri akan mendapatkan manfaat dan Sawit Watch mengirimkan surat kepada FCPF125
ganda walaupun pada akhirnya, hutan tetap tidak pada tanggal 15 Mei 2009 yang mendesak agar FCPF
terselamatkan. memberikan perhatian pada rekomendasi dari Komisi
•• Tujuan semula REDD bukan mencegah deforestasi, Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang
melainkan mengurangi emisi sehingga rentan mempertahankan pendapat bahwa Indonesia belum
terhadap manipulasi. melaksanakan Kovenan Internasional tentang Hak
Rakyat dan Politik. CSF mengirimkan surat lain pada
tanggal 19 Juli 2009 yang mengecam Rencana Kesiapan
(R‑Plan) yang telah diserahkan pemerintah kepada
123  Forum Masyarakat Madani (CSF) untuk Keadilan Sekretariat FCPF.126
Iklim terdiri dari 30 organisasi masyarakat madani: AMAN,
HuMA, ICEL, Walhi, Jatam, KpSHK, Jangkar, RACA Institute,
KEHATI, Down to Earth, Sawit Watch, KIARA, SBIS, TI 124  Dirangkum dari diskusi masyarakat sipil, 2007– 2010.
Indonesia, Pelangi, StoS, FWI, IESR, IHSA, IPPHTI, IPF,
IYF, KRKP, Latin, Nastri, Satu Dunia, Solidaritas Perempuan, 125 www.forestcarbonpartnership.org/fcp/node/218.
Telapak, dan Kemala. 126  Surat dari CSF, tertanggal 19 Juli 2009.
80   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Kelompok masyarakat madani memiliki berbagai 4.3  Konsultasi dan proses dengan para
sikap tentang REDD+ (lihat Tabel 18). CSF, seperti pemangku kepentingan
disebutkan di atas, telah menempati kedudukan Melibatkan masyarakat dalam penetapan keputusan
penting karena cenderung melihat REDD+ sebagai dan perencanaan sangat penting bagi keberhasilan
prioritas yang tidak diperlukan dalam mengatasi REDD+. Di Indonesia, misalnya, beberapa pertemuan
perubahan iklim. Kelompok ini sangat kritis, khususnya telah diselenggarakan untuk membahas pengembangan
tentang mekanisme perdagangan karbon (imbalan R‑PP meskipun FCPF dan R‑PP bukan pokok
karbon) dalam REDD+, dan mempertahankan bahasan satu‑satunya dalam seluruh pertemuan
pendapat bahwa REDD+ bukan jawaban bagi tersebut. Lampiran usulan FCPF yang mencantumkan
permasalahan mendasar dalam kehutanan. Kelompok pertemuan yang diadakan sejak COP 13 di Bali tahun
tersebut tidak sepenuhnya menolak gagasan mengenai 2007 disajikan pada Tabel 21.
REDD+, tetapi mempertanyakan keberhasilannya
untuk mitigasi perubahan iklim (CSF 2010). Termasuk Secara teoretis, daftar panjang konsultasi dengan
dalam pihak yang berseberangan dalam perdebatan masyarakat ini dapat ditafsirkan sebagai kemajuan;
tersebut ialah organisasi‑organisasi yang berdedikasi akan tetapi dalam kenyataannya, proses konsultasi
pada persoalan konservasi. Organisasi ini cenderung belum terlaksana sebagaimana diharapkan. Hampir
menganggap REDD+ sebagai cara yang tepat untuk seluruh kegiatan pemerintah melibatkan sosialisasi dan
menindaklanjuti perubahan iklim, dan merupakan bukan konsultasi dua arah sehingga masyarakat dapat
penyelesaian terbaik dalam keadaan terhentinya memberikan saran untuk penetapan keputusan.
perundingan mengenai upaya mitigasi. Organisasi
dalam kelompok ini umumnya merasa bahwa REDD+ Konsultasi yang diselenggarakan oleh Kementerian
dapat membangkitkan semangat untuk memperbaiki Kehutanan, misalnya, sering hanya sedikit melibatkan
keadaan hutan di negara pemilik hutan, dengan LSM, dan saran LSM tidak terlihat pada substansi
menyediakan cara pemberian imbalan bagi pengelolaan keputusan akhirnya.
hutan yang baik, mencegah deforestasi dan degradasi,
dan mengendalikan emisi GRK dari sektor kehutanan. 4.3.1  Proses konsultasi dalam rangka
Kedudukan kelompok ini memiliki dinamikanya penyusunan Peraturan Menteri Kehutanan
sendiri. Sebagai contoh, organisasi konservasi WWF tentang REDD
semula menentang sektor kehutanan dimasukkan Contoh kegagalan peraturan dalam mengintegrasikan
ke dalam forum perubahan iklim, tetapi mengubah masukan dari pihak lain ialah Peraturan Menteri
sikapnya tahun 2008 (Butler 2008). Kehutanan No. 30/2009 tentang REDD. Meskipun
pemangku kepentingan dari beberapa lembaga
Karena mereka mempertahankan pendapat yang pemerintah dan LSM internasional dan nasional
secara umum optimistis tentang REDD+, organisasi memberi saran dalam acara konsultasi dengan
dalam kelompok ini telah melakukan banyak kegiatan masyarakat pada tanggal 25 Maret 2008, rekomendasi
percontohan REDD+ di Indonesia. Fauna & Flora mereka tidak tercermin pada hasil akhir.127 Beberapa
International, misalnya, melakukan kegiatan REDD+ perbedaan utama antara peraturan dan saran yang
di Kalimantan Barat dan membantu proyek REDD+ diberikan oleh berbagai lembaga pada pertemuan
di Aceh. Kegiatan ini didasarkan pada kesepakatan dari tersebut—AMAN, DNPI, DKN, CIFOR, TNC,
COP 13 yang memberikan imbalan bagi perorangan AusAID, GTZ, Kementerian Keuangan, dan APHI—
atau kelompok yang mencegah deforestasi. Akan tetapi, dicantumkan dalam Lampiran 1.
mereka juga terhalang oleh tumpang‑tindih pengakuan
atas lahan, yang pada dasarnya merupakan masalah Sebagai contoh, AMAN menanggapi tentang tidak
penguasaan (CSF 2010). adanya pendekatan berbasiskan hak dalam rancangan
Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/2009, dan
Kedudukan yang berseberangan dari kedua kelompok memberikan beberapa rekomendasi mengenai
besar di kalangan masyarakat madani tersebut telah pengelolaan masyarakat setempat. Akan tetapi,
menciptakan dinamika yang unik di Indonesia. Namun
demikian, dari berbagai keragaman pendapat tersebut
terdapat kesadaran mengenai mendesaknya reformasi 127  Ada saran untuk meninjau dan menunda peraturan
dalam banyak hal pada sektor kehutanan di Indonesia. tersebut, tetapi tidak dilakukan. Selama konsultasi dengan
Perbedaan mendasar mengenai REDD+ di antara masyarakat di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2008, berbagai
pemangku kepentingan memaparkan rekomendasi mereka,
kedua kelompok ini berkenaan dengan penggunaan tetapi tidak cukup tercermin dalam peraturan pada tahap akhir.
mekanisme pasar sebagai alat melakukan mitigasi Pemaparan yang dimaksud dan peraturan pada tahap akhir
perubahan iklim. tercantum pada lampiran laporan ini.
Konteks REDD+ di Indonesia   81

Tabel 21.  Pertemuan yang diselenggarakan dalam rangka penyusunan R‑PP

No. Tempat/Waktu/ Lembaga Peserta Lingkup/fokus


Kegiatan penyelenggara
1 Bogor (Jawa Barat) Institut Pertanian Wakil pemerintah, Pasca‑COP 13 UNFCCC: tanggapan
Januari Bogor swasta, LSM, dosen dan terhadap Rencana Aksi Bali dan
mahasiswa, lembaga keputusan COP tentang REDD
Seminar
penelitian
penjangkauan
2 Samarinda, Pemda, Kemenhut, Dinas pada Pemda, Peningkatan kepedulian mengenai
Berau, Balikpapan Pelestarian Alam Kemenhut, LSM, kemajuan REDD pasca‑COP 13
(Kalimantan Timur) (TNC), GTZ perguruan tinggi dan Memperlancar pembentukan
Januari dan Maret lembaga penelitian kelompok kerja REDD+ di
Konsultasi dengan Kalimantan Timur
pemangku
kepentingan
3 Jakarta Universitas Indonesia Wakil pemerintah, Persoalan perubahan iklim
Februari swasta, LSM, dosen dan secara umum
mahasiswa, lembaga Tantangan dan peluang REDD
Seminar
penelitian
penjangkauan

4 Semarang (Jawa Tokoh agama, Tokoh agama, wakil Dampak perubahan iklim
Tengah) Kemenhut Kemenhut, pemda, dan agama
April dan pemangku Peluang menurut berbagai keadaan
kepentingan lain perubahan iklim
Seminar
penjangkauan
5 Sulawesi (semua LSM, pemda, Wakil pemerintah, Peningkatan kepedulian dan
provinsi) Kemenhut swasta, LSM, perguruan konsultasi dengan pemangku
Februari‑April tinggi dan lembaga kepentingan mengenai persiapan
penelitian, kelompok pelaksanaan REDD, termasuk hasil
Konsultasi dengan
masyarakat setempat kajian IFCA dan tindak‑lanjutnya
pemangku
kepentingan
6 Yogyakarta Universitas Gadjah Dosen dan mahasiswa Penanganan persoalan perubahan
Mei Mada, Kemenhut iklim dalam kehutanan di Indonesia
Seminar
7 Pekanbaru (Riau) LSM, pemda, Wakil pemerintah, Peningkatan kepedulian dan
Juni Kemenhut swasta, LSM, perguruan konsultasi dengan pemangku
tinggi dan lembaga kepentingan mengenai persiapan
Konsultasi dengan
penelitian, kelompok pelaksanaan REDD, termasuk hasil
pemangku
masyarakat setempat kajian IFCA dan tindak‑lanjutnya
kepentingan

8 Jakarta TNC Indonesia Semua kantor TNC, Berbagi hasil pembelajaran


Juli wakil pemerintah, dari prakarsa yang berkaitan
swasta, LSM, perguruan dengan REDD
Konferensi REDD
tinggi dan lembaga
penelitian, kelompok
masyarakat setempat
9 Jakarta Kementerian Wakil pemerintah, Konsultasi dengan pemangku
Juli Kehutanan swasta, LSM, perguruan kepentingan mengenai rancangan
tinggi dan lembaga Permenhut tentang REDD
Konsultasi dengan
penelitian, kelompok Rancangan Permenhut juga dimuat
pemangku
masyarakat setempat, pada situs web IFCA (situs web
kepentingan
mitra internasional Kementerian Kehutanan) sebelum
dan setelah tahap konsultasi
Saran/tanggapan juga diminta
melalui email dan sarana
komunikasi lainnya
berlanjut ke halaman berikutnya
82   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tabel 21. Lanjutan

No. Tempat/Waktu/ Lembaga Peserta Lingkup/fokus


Kegiatan penyelenggara
10 Palangkaraya Pemda, Lahan Basah Wakil pemerintah, Peningkatan kepedulian mengenai
(Kalimantan Tengah) Internasional (WI) swasta, LSM, perguruan kemajuan REDD
Oktober tinggi dan lembaga Konsultasi dengan pemangku
penelitian, kelompok kepentingan mengenai rancangan
Konsultasi dengan
masyarakat setempat, Permenhut tentang REDD oleh
pemangku
mitra internasional wakil Kementerian Kehutanan
kepentingan
(Australia‑KFCP)
Pembentukan kelompok kerja
REDD di Kalimantan Tengah
11 Papua Pemda, Kemenhut Wakil pemerintah, Peningkatan kepedulian dan
Oktober swasta, LSM, perguruan konsultasi dengan pemangku
tinggi dan lembaga kepentingan mengenai REDD dan
Lokakarya
penelitian, kelompok A/R CDM
penjangkauan
masyarakat setempat
12 Bogor (Jawa Barat) Kementerian Petugas Kemenhut Persoalan hutan dan perubahan
November Kehutanan di daerah bidang iklim: adaptasi dan mitigasi
konservasi hutan (termasuk A/R CDM, REDD, dan PES
Pelatihan bagi
berbasis hutan lainnya)
petugas Kemenhut
di daerah bidang
konservasi hutan
13 Jakarta dll. Kementerian Wakil pemerintah, Penyusunan Sistem Informasi
Lokakarya berkala Kehutanan swasta, LSM, perguruan Sumberdaya Hutan (FRIS)
tinggi dan lembaga dan Sistem Neraca Karbon
penelitian (bergantung Nasional (NCAS); kerja sama
pada pokok bahasan dan Indonesia‑Australia
fokus lokakarya)
14 Jakarta dll. Instansi Wakil pemerintah, Difasilitasi oleh Kementerian
Atas permintaan pemerintah dll. swasta, LSM, Kehutanan dalam lokakarya REDD
perguruan tinggi dan Peningkatan kepedulian
lembaga penelitian,
Pelatihan dan kegiatan lain
masyarakat setempat,
(oleh Pokja FCC/ Balitbanghut/
mitra internasional
Sekretariat IFCA)
(bergantung pada pokok
bahasan dan fokus acara)
15 Jakarta Kementerian Instansi pemerintah Segi keuangan perubahan
Berkala Keuangan terkait, swasta, LSM, iklim REDD
perguruan tinggi dan
Diskusi
lembaga penelitian
kelompok terarah
16 Jakarta dll. Instansi pemerintah Wakil pemerintah, Semua persoalan perubahan iklim
Rapat koordinasi terkait (Kemenhut, swasta, LSM, perguruan Kehutanan sebagai bidang strategis
untuk konsultasi KLH, Kemkeu, tinggi dan lembaga perubahan iklim nasional REDD
Bappenas, penelitian, kelompok sebagai salah satu fokus utama
kementerian masyarakat setempat,
lain), DNPI, mitra mitra internasional
internasional
17 Yogyakarta, Mataram Bappenas, Wakil pemerintah daerah Strategi Nasional REDD+
(NTB), Aceh, Papua, UN‑REDD, mitra dan pusat, swasta, LSM,
Jambi, Palangkaraya perguruan tinggi dan
(Kalimantan Tengah), lembaga penelitian,
Palu (Sulawesi masyarakat setempat,
Tengah), and Bali mitra internasional

berlanjut ke halaman berikutnya


Konteks REDD+ di Indonesia   83

Tabel 21. Lanjutan

No. Tempat/Waktu/ Lembaga Peserta Lingkup/fokus


Kegiatan penyelenggara
18 Jakarta Satuan Tugas REDD+ Wakil pemerintah, LSM Strategi Nasional REDD+
MRV
Kelembagaan
Pembiayaan
Provinsi percontohan

peraturan akhir tetap tidak mendorong penataan yang setempat dalam perancangan, pelaksanaan,
bertumpu pada hak masyarakat, dan kepemilikan oleh dan aspek‑aspek tata kelola lainnya dalam
negara tetap menguasai tata cara pengakuan atas hak. penyusunan R‑Plan.
DNPI mengusulkan agar rancangan tersebut disusun
dengan mempertimbangkan hubungan antarsektor Perkembangan akhir‑akhir ini menunjukkan bahwa
karena kementerian‑kementerian bekerja sama secara tingkat partisipasi pemangku kepentingan pada
erat dalam melaksanakan REDD; hal ini tidak terlihat beberapa bagian dari proses kebijakan REDD+ telah
dalam peraturan pada tahap akhir. meningkat, setidaknya secara sepintas. Sebagai contoh,
upaya sistematis dilakukan untuk melibatkan seluruh
Contoh ini menunjukkan bahwa meskipun persyaratan pemangku kepentingan dalam penyusunan Strategi
untuk proses partisipatif dalam penyusunan peraturan Nasional REDD+ melalui konsultasi di daerah dan
secara teknis telah terpenuhi, namun hal ini tidak diskusi kelompok terarah. Namun demikian, penting
selalu berdampak pada hasil akhir, dan tidak diberikan untuk meninjau sejauh mana masukan benar‑benar
alasan yang jelas mengenai diterima atau ditolaknya mempengaruhi dokumen tahap akhir dari strategi.
rekomendasi. Kenyataan bahwa masyarakat madani disertakan
dalam pembentukan tim teknis Satuan Tugas REDD+
Organisasi‑organisasi masyarakat sipil telah mengikuti menunjukkan upaya yang lebih sungguh‑sungguh
berbagai saluran dan proses yang tersedia dalam hal untuk melibatkan beberapa pihak di kalangan
pengembangan proyek REDD+ dan kebijakan pada masyarakat. Akan tetapi, penting untuk memeriksa
sektor kehutanan. Sejumlah organisasi beberapa kali dengan cermat apakah dalam kenyataannya susunan
mengeluarkan pernyataan dan siaran pers tentang tim ini memberikan peluang yang cukup bagi
persoalan perubahan iklim, termasuk REDD+ sebagai masyarakat untuk terlibat dalam penetapan kebijakan.
kemungkinan penyelesaian atas perubahan iklim.
4.4  Pilihan dan proses kebijakan
Organisasi‑organisasi masyarakat sipil juga telah REDD+ mendatang
memberikan masukan atas proposal berbagai proyek
atau program di Indonesia. Contoh yang paling nyata 4.4.1 Tipe REDD+
ialah masukan yang diberikan kepada pemerintah Dalam versi terbaru Strategi Nasional REDD+,
dan Bank Dunia tentang proses perumusan R‑Plan REDD+ dianggap terdiri dari kegiatan untuk
Indonesia berdasarkan program FCPF. Tanggapan dari mengurangi deforestasi dan degradasi, maupun
masyarakat madani mencakup rekomendasi berikut. kegiatan untuk SFM, konservasi dan peningkatan
•• FCPF hendaknya mempertimbangkan persoalan cadangan karbon (Satuan Tugas REDD 2011).
tata kelola oleh Pemerintah Indonesia; jika hal ini Sampai dengan awal Desember 2010, lokasi untuk
diabaikan, FCPF dianggap tidak mengakui masalah proyek percontohan belum dipastikan, tetapi beberapa
mendasar mengenai kehutanan di Indonesia. tempat telah diusulkan di Kalimantan dan Papua,
•• Hak masyarakat adat, kawasan pengelolaan untuk dipertimbangkan selanjutnya oleh Satuan
dan sumberdaya alam mereka yang dilindungi Tugas REDD+.128
berdasarkan UNDRIP hendaknya diakui dan
dihargai dalam proses penyusunan R‑Plan.
Keselamatan manusia dan keberlanjutan
lingkungan hidup hendaknya diletakkan di atas
128  Agus Justianto dari Kementerian Kehutanan,
kepentingan ekonomi. pada Konsultasi Ahli Nasional dan Internasional dalam
•• FPIC hendaknya dimasukkan sebagai asas pokok Pengembangan Strategi Nasional REDD+, Melia Bali,
dalam melibatkan masyarakat adat dan masyarakat 31 Oktober–2 November 2010.
84   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Pada tanggal 30 Desember 2010, Satuan Tugas REDD+ telah menerima pinjaman sebesar AS$300 juta dari
memilih Kalimantan Tengah (dari sembilan provinsi: Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) dan
Jambi, Sumatera Selatan, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, AS$300 juta dari Badan Pembangunan Perancis.129
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Papua, dan Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa satu cara
Papua Barat; lihat juga Bagian 4.2.2) sebagai provinsi pendanaan yang dituju oleh Pemerintah Indonesia
percontohan untuk kegiatan REDD+, sebagai bagian sampai dengan 2020 mencakup hibah yang terbuka
dari LoI antara Indonesia dan Norwegia. Keputusan untuk pendanaan dari pasar karbon, misalnya skema
ini dipublikasikan secara luas di Indonesia melalui pasar karbon sukarela.130
siaran media dari Satuan Tugas REDD+. Dalam siaran
tersebut, satuan tugas menjelaskan bahwa Kalimantan Indonesia terpilih sebagai penerima FIP pada bulan
Tengah telah dipilih berdasarkan pertimbangan Maret 2010, setelah dilakukan beberapa penilaian
kualitatif dan kuantitatif, karena memiliki tutupan nasional untuk mengenali peluang investasi seperti
kawasan hutan terbesar ketiga di Indonesia dan sedang pemulihan ekosistem, perkebunan skala kecil, hutan
terancam oleh deforestasi besar dan pemerintah tanaman, pengembangan kesatuan pengelolaan hutan,
daerah di Kalimantan Tengah dianggap berniat dan SFM. Kegiatan‑kegiatan yang dilakukan sebagai
sungguh‑sungguh untuk melaksanakan REDD+. Akan bagian dari FIP sejak saat itu termasuk misi pencarian
tetapi, keputusan tersebut menimbulkan pertanyaan informasi awal pada bulan Agustus 2010.
di banyak kalangan, khususnya mengenai kriteria
pemilihan. Kecamannya ialah bahwa kesungguhan Bagi‑hasil dan pembayaran kompensasi diatur
niat pemerintah daerah tidak cukup untuk mengatasi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/
kerumitan permasalahan kehutanan di provinsi Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha
tersebut, dan tetap ada banyak hambatan, misalnya Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan
kesulitan perihal penyelesaian Rencana Tata Ruang Tata Produksi dan Hutan Lindung; ketentuan tentang
Wilayah (RTRW) Provinsi meski ada kesungguhan bagi‑hasil ditunjukkan pada Tabel 22. Sebagaimana
niat dari gubernur. Pada akhirnya, wewenang untuk dibahas dalam Bagian 4.2.3, terdapat perdeatan tentang
memilih provinsi percontohan ada pada Presiden. keabsahan substansi peraturan ini berkaitan dengan
pembayaran keuangan.
4.4.2  Mekanisme pembayaran dan
distribusi manfaat Masyarakat madani mengecam pengaturan pembagian,
Seperti yang ditunjukkan, terdapat permasalahan dengan menyebutkan adanya persoalan dalam
mendasar dalam hal kehutanan di Indonesia—seperti bagi‑hasil (CSF 2010). Perlu dicatat bahwa bagi‑hasil
pengelolaan dan status penetapan kawasan hutan— tidak berkaitan dengan kegiatan yang disebut dengan
yang harus diselesaikan terlebih dahulu agar REDD+ ‘REDD’, tetapi untuk penyerapan dan penyimpanan
berhasil dilaksanakan. Segera setelah permasalahan karbon. Program tersebut serupa dengan REDD+,
tersebut teratasi dengan semestinya, langkah berikutnya tetapi menggunakan terminologi berbeda karena
ialah membahas mekanisme pembayaran dan bagi‑hasil/ saat ini tidak terdapat perjanjian internasional
distribusi manfaat dalam REDD+. tentang REDD+.131

Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/2009 tentang 4.4.3  Menetapkan REL dan MRV


REDD menyatakan kembali perlunya kegiatan Lampiran Peraturan Kementerian Kehutanan
percontohan REDD+, peningkatan kemampuan, No. 30/2009 berisi pedoman untuk menentukan emisi
alih teknologi, dan perdagangan karbon sukarela
dilakukan sebelum negara menyerahkan keputusan
kepada UNFCC tentang cara kerja REDD di tingkat 129  ICW kecam utang ke Bank Dunia untuk
internasional (Pasal 22(1)). Pasal 22(3) menyatakan perubahan iklim’, 30 Mei 2010, Primair online,
www.primaironline.com/berita/ekonomi/
bahwa dana pelaksanaan kegiatan REDD berasal dari icw‑kecam‑utang‑ke‑bank‑dunia‑untuk‑perubahan‑iklim.
semua pihak dalam UNFCC dan sumber‑sumber
130  Diskusi pada Konsultasi Ahli Nasional dan Internasional
pendanaan lain yang sah menurut hukum. Saat dalam Pengembangan Strategi Nasional REDD+, Melia Bali,
ini, dana yang tersedia untuk skema REDD+ di 31 Oktober–2 November 2010.
Indonesia berasal dari hibah dan bantuan negara 131  Pasal 4 peraturan tersebut menyatakan: Pelaksanaan
lain. Frasa ‘sumber‑sumber pendanaan yang sah’ skema usaha penyimpanan karbon dalam mengurangi emisi dari
juga dapat meliputi bentuk‑bentuk pendanaan lain, deforestasi dan degradasi hutan (REDD), dan penyimpanan
karbon dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih
seperti pinjaman. Sebagai contoh, Program Investasi diatur oleh Keputusan Menteri [penambahan tekanan]’. Ini
Hutan (FIP) Bank Dunia merupakan skema dengan menunjukkan bahwa ada pemisahan yang penting antara
komponen utang. Selain itu, Pemerintah Indonesia kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon dan REDD.
Konteks REDD+ di Indonesia   85

Tabel 22.  Bagi‑hasil dari usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan
hutan lindung (Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/Menhut‑II/2009)

Jenis hak Proporsi hak


Pemerintah Masyarakat Pengembang
Hutan rakyat 10% 70% 20%
Hutan adat 10% 70% 20%
Hutan tanaman 20% 20% 60%
Hutan desa 20% 50% 30%
Hutan kemasyarakatan 20% 50% 30%
Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu di Hutan Alam (IUPHHK‑HA) 20% 20% 60%

acuan Indonesia berdasarkan tingkat nasional dan Pembahasan tentang MRV sedang berlangsung; Satuan
daerah dan di lokasi kegiatan REDD+. Nampaknya Tugas REDD+ sedang membahas penyusunan MRV
Indonesia akan menggunakan kerangka nasional dalam forum para pemangku kepentingan dan sampai
untuk REDD+ dengan pelaksanaan di tingkat daerah dengan Juni 2012, sedang dalam proses pembentukan
(provinsi, kabupaten/kota atau kesatuan pengelolaan). lembaga pelaksana MRV.132
Kementerian Kehutanan bertanggung jawab atas
penetapan REL nasional; tingkat emisi acuan di daerah 4.4.4  Distribusi manfaat
ditentukan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/ Rancangan Strategi Nasional REDD+ juga menyentuh
kota dan disesuaikan dengan tingkat nasional. Di persoalan yang berkaitan dengan distribusi manfaat
lokasi kegiatan REDD+, pelaku menentukan REL dan tanggung jawab. Manfaat bersama merupakan
dan menyesuaikannya dengan REL di tingkat nasional ciri penting dalam skema pengurangan emisi karbon.
dan daerah. Akan tetapi, tetap saja tidak jelas bagaimana manfaat
bersama akan dinilai dalam kerangka kerja yang
Penyusunan REL merupakan salah satu poin dalam direncanakan; tampaknya ini akan menjadi hal lain yang
R‑PP Indonesia yang diserahkan kepada FCPF dan perlu diperhatikan sebagaimana yang telah dicatat oleh
dalam rencana kerja kegiatan UN‑REDD. Beberapa beberapa pemangku kepentingan.133
kegiatan yang terkait dengan penetapan REL telah
diusulkan untuk memastikan kesiapan REDD+. Penting untuk dipertimbangkan bahwa semakin
Berdasarkan UN‑REDD, tinjauan metodologi dan rumit dan kompleks sistem yang dikembangkan
konsultasi dengan pemangku kepentingan diperlukan untuk REDD+, maka semakin besar beban bagi
untuk menetapkan REL. Kegiatan yang didukung oleh negara berkembang yang berusaha memberikan
AusAID mencakup peningkatan kemampuan untuk sumbangsih yang positif bagi upaya mitigasi perubahan
menetapkan REL. iklim melalui konservasi hutan. Kerumitan MPB
yang telah menurunkan semangat pengembangan
Tahapan penetapan REL di Indonesia ditunjukkan pada program penghutanan/reboisasi perlu tetap diingat
Gambar 7. guna menjamin penetapan sistem yang sederhana
namun tepat.
Proses ini menjadi bahan perbincangan yang sedang
berlangsung karena sasaran pengurangan emisi sebesar 4.4.5  Usulan mekanisme partisipatif
26% sebagaimana diumumkan oleh Presiden hanya Sifat partisipatif yang diusung dalam REDD+ terlihat
didasarkan pada emisi tahun 2020. jelas dalam cara kerja Satuan Tugas REDD+. Khususnya,

Rancangan Strategi Nasional REDD+ menyatakan


bahwa REL/emisi acuan untuk sektor kehutanan tahun 132  CIFOR memfasilitasi forum untuk membahas MRV
2020 sebesar 1,5 Gt CO2e. Angka ini diperoleh dari dengan Satuan Tugas REDD+ pada 3 November 2010.
perkiraan emisi sebesar 2,95 Gt CO2e tahun 2020 133  Salah seorang yang mengangkat masalah ini adalah Anja
Lillegraven, Koordinator Program Southeast Asia Rainforest
sebagaimana tercantum pada SNC. Namun demikian, Foundation Norwegia. Beberapa orang lainnya telah mencatat
akan dilakukan penilaian lebih lanjut dan pengukuran tentang perlunya cara khusus untuk menilai manfaat bersama
yang disesuaikan terhadap angka ini (Bappenas 2010b). dari skema REDD+.
86   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Konsultasi Telaah Pemilihan


Penetapan Analisis data Prakiraan dengan Penyelesaian & kebijakan dan kebijakan dan
Metodologi REL historis Mendatang pemangku penetapan REL kegiatan kegiatan
kepentingan

UN-REDD
—
• Tinjauan metodologi
• Konsultasi dengan
—
Usulan PCPF
(2010-2011)
• Menelaah pemicu
—
Usulan PCPF (2010-2011)
• Mengidentifikasi prioritas
investasi bagi REDD
pemangku deforestasi • Mengidentifikasi kegiatan
kepentingan mengenai • Menelaah dan yang menyebabkan
pendekatan kemungkinan berkurangnya emisi dan
metodologi REL dan memetakan alam dan meningkatnya pembuangan,
REL sementara dari pengaruh dan mantapnya cadangan
provinsi (450K: penggunaan lahan karbon hutan
2011-11) terhadap daur karbon
daratan
AusAID • Melakukan telaah dari
• Kemampuan untuk waktu ke waktu
menetapkan tingkat mengenai segi sosial,
emisi acuan ekonomi, dan
kebijakan perubahan
penggunaan lahan
Diperlukan sumberdaya yang besar dalam rangka
JICA: Meningkatkan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk
kemampuan dan memilih kebijakan dan kegiatan dengan
melakukan telaah mempertimbangkan daerah yang luas dan ciri-ciri
tata ruang khas setempat

Gambar 7.  Tahapan penetapan tingkat emisi acuan (REL) per Maret 2010
Sumber: Sarsito (2010)

susunan tim teknis yang terdiri dari berbagai pemangku 4.4.6  Lembaga dan kebijakan
kepentingan (yang dibentuk untuk menunjang Satuan Masih belum jelas mengenai jenis lembaga yang pada
Tugas REDD+; lihat Bagian 4.1.3) menunjukkan akhirnya akan mengawasi pelaksanaan REDD+ di
bahwa masyarakat madani dilibatkan dalam proses Indonesia. Namun jelas bahwa proses pembentukan
penetapan keputusan penting yang berkaitan dengan lembaga dengan berbagai pemangku kepentingan
pelembagaan REDD+, termasuk penyusunan Strategi sekarang ini berada dalam koordinasi Satuan Tugas
Nasional REDD+, MRV, dan pengelolaan keuangan. REDD+ yang lebih tertata sebagaimana dibahas di atas.
Hal penting untuk keberhasilan lembaga ini mencakup
Rencana untuk melibatkan masyarakat pada masa kewenangan yang cukup untuk menjalankan tugasnya,
mendatang diatur dalam rancangan Strategi Nasional ditunjang dengan kerangka hukum yang memadai dan
REDD+. Rancangan tersebut mengusulkan penerapan pemberlakuan asas tata kelola yang baik.134
FPIC untuk pelibatan masyarakat meskipun belum
jelas siapa yang akan memberikan persetujuan ataupun Akan tetapi seperti disebutkan di atas, meskipun dua
asas yang dipakai. Namun demikian, dibandingkan sektor penting yang terkait dengan REDD+, yaitu
dengan pola keikutsertaan masyarakat sebelumnya, pertanian dan pertambangan, memiliki wakil dalam
dua perkembangan baru‑baru ini memberi harapan
dan lebih sesuai dengan prinsip‑prinsip tata kelola 134  Heru Prasetyo, wakil ketua UKP4 dan sekretaris Satuan
yang baik. Tugas REDD+, Hotel Le Meredien, Jakarta, 30 Desember 2010.
Konteks REDD+ di Indonesia   87

Satuan Tugas REDD+, keterlibatan mereka tampaknya Tim teknis yang dibentuk oleh Satuan Tugas
kurang efektif sebagaimana diharapkan. Demikian REDD+ (lihat Bagian 4.1.3) bertanggung jawab
juga, Kementerian Dalam Negeri, sebagai pihak yang untuk meninjau kemajuan di provinsi percontohan
bertanggung jawab atas otonomi daerah di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan model yang telah
hendaknya lebih dilibatkan karena REDD+ memiliki ditetapkan137 untuk pengembangan REDD+ (yaitu
cakupan daerah. pendekatan nested modelling). Tim teknis hendaknya
mempertimbangkan untuk menyusun mekanisme yang
4.4.7  Pembelajaran untuk kebijakan tertata untuk menyalurkan pengetahuan dari provinsi
Pembelajaran dari kegiatan percontohan belum dibahas percontohan dalam rangka pengembangan REDD+ ke
secara jelas secara internal di Satuan Tugas REDD+ seluruh Indonesia.
sekarang ini. Namun demikian, langkah awal yang
dilakukan oleh UKP4 dalam membentuk satuan tugas Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Kalimantan
tersebut ialah diskusi kelompok terarah dengan para Tengah merupakan daerah percontohan utama bagi
penyelenggara kegiatan percontohan dari berbagai kesiapan REDD+ dalam rangka LoI antara Indonesia
daerah.135 Bappenas mengambil langkah serupa dan Norwegia, dan akan menjadi tempat bagi berbagai
selama pengembangan versi awal rancangan Strategi kegiatan terkait REDD+.
Nasional REDD+.136 Contoh ini menunjukkan bahwa
pembelajaran dari kegiatan percontohan dilakukan,
tetapi belum diterapkan.

135  Lokakarya Kelembagaan yang diselenggarakan oleh Satuan 137  Pendekatan melekat merupakan penerapan landasan
Tugas REDD+, Hotel Le Meredien, Jakarta, 30 Desember 2010. penghitungan dan pemantauan karbon di tingkat nasional,
136  Lokakarya Kelembagaan yang diselenggarakan oleh Satuan sedangkan pelaksanaan REDD merupakan tugas pemerintah
Tugas REDD+, Hotel Le Meredien, Jakarta, 30 Desember 2010. daerah (Cortez dkk. 2010).
5.  Pengaruhnya terhadap keefektifan, efisiensi,
dan kesetaraan REDD+ (3E)
Bab ini membahas pengaruh dari hal‑hal yang dibahas sebaliknya, mencegah deforestasi dan degradasi hutan
dalam bab‑bab sebelumnya (segi kelembagaan, politik, sedangkan kebijakan penegakan hukum kadang‑kadang
dan ekonomi, dan proses kebijakan REDD+) dari sudut menciptakan peluang bagi pelanggaran undang‑undang.
pandang keefektifan, efisiensi, dan kesetaraan (‘3E’). Ini berlaku pada kebijakan perizinan sektor kehutanan
Bagian pertama menyajikan kebijakan nasional dan dan kebijakan penggunaan lahan yang mendorong
pengaruhnya bagi REDD+, dan menganalisis kebijakan pemberian banyak izin secara berlebihan. Semua
mana yang mendorong atau memicu dan mana yang masalah kebijakan yang tidak tepat ini diperburuk oleh
mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Bagian kurangnya peraturan yang menetapkan penguasaan
ke dua menelaah REDD+ dalam kaitannya dengan 3E. lahan secara jelas, sah, dan diakui oleh khalayak luas,
yang dapat mencegah sengketa yang sering berakibat
5.1  Kebijakan nasional, 3E degradasi dan deforestasi hutan.
(Keefektifan, efisiensi, dan kesetaraan)
Bagian ini menelaah beberapa kebijakan nasional 5.1.2  Kebijakan nasional yang berpotensi
penting yang memengaruhi 3E dan mencatat kebijakan mengurangi laju deforestasi dan
yang mendukung 3E. degradasi hutan
Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan
5.1.1  Kebijakan nasional dan 3E nasional yang, jika diterapkan dengan benar, dapat
Sebagaimana dibahas dalam Bab 1, ada tiga mencegah atau mengendalikan deforestasi dan degradasi
pemicu utama deforestasi dan degradasi hutan di hutan. Kebijakan ini tercermin dalam Undang‑undang
Indonesia:(1) perubahan status kawasan hutan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dari satu peruntukan ke peruntukan lain, seperti dan Undang‑undang Penataan Ruang, maupun dalam
pengalihan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa kebijakan lainnya tentang pembatalan izin pemanfaatan
sawit, perladangan, pertambangan, pengembangan hutan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan
perumahan, dan kegiatan pembangunan lainnya; pembentukan kesatuan pengelolaan hutan di tingkat
(2) pembalakan liar; dan (3) pembakaran (pembukaan) operasional.
hutan dan semak. Dipahami bahwa tidak semua
deforestasi dapat dihindari karena kebutuhan nyata Undang‑undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
pembangunan dan untuk menunjang mata pencarian Pada tahun 2009, Undang‑undang No. 32 tentang
rakyat. Akan tetapi, sebagian besar deforestasi dan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
degradasi hutan yang terjadi di Indonesia tidak (UUPPLH) diberlakukan. Apabila dilaksanakan
direncanakan atau tidak direncanakan dengan baik. sesuai dengan rohnya, undang‑undang ini dapat
Pengamatan secara teliti mengungkapkan bahwa berdampak mencegah atau mengendalikan deforestasi
deforestasi yang tidak direncanakan, atau yang terjadi dan degradasi hutan. Artinya, perlindungan dan
karena perencanaan yang buruk, bersumber dari pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana terkandung
persoalan yang lebih luas. Permasalahan ini meliputi dalam UUPPLH merupakan upaya untuk menerapkan
perencanaan tata ruang yang buruk; landasan hukum pendekatan yang utuh dan menyeluruh pada
atau penegakan hukum yang tidak memadai, yang kegiatan pembangunan dari awal perencanaan sampai
menyebabkan ketidakpastian hukum; dan persoalan pelaksanaan berdasarkan berbagai instrumen hukum
penguasaan lahan yang terus berlanjut. Selain itu, dan kebijakan. UUPPLH mengharuskan Kementerian
kurang efektifnya pengelolaan hutan—yang pada Lingkungan Hidup untuk menginventarisasi seluruh
akhirnya menjadi penyebab penting atas tingginya laju sumberdaya alam dari setiap instansi sektoral sebagai
deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. dasar penentuan kawasan ekoregion. ‘Ekoregion’
menurut UUPPLH meliputi semua segi atau ciri
Berbagai permasalahan tersebut terkait langsung sumberdaya alam, ekosistem, dan keadaan geografis
dengan kebijakan pemerintah. Seperti dibahas dalam maupun seluruh masyarakat adat beserta budaya
bab‑bab sebelumnya, beberapa kebijakan pemerintah serta adatnya.138 Hasil inventarisasi dan penetapan
terbukti telah memicu deforestasi dan degradasi hutan wilayah ekoregion ini kemudian menjadi dasar bagi
sedangkan kebijakan lainnya berpotensi mengurangi
laju deforestasi dan degradasi hutan. Sebagai contoh,
perencanaan tata ruang dapat memudahkan atau 138  Penjelasan Pasal 2(h), UUPPLH.
Konteks REDD+ di Indonesia   89

pedoman perumusan Rencana Pengelolaan dan pada kawasan hutan: jika izin lingkungan dicabut, izin
Perlindungan Lingkungan Hidup (RPPLH), di mana usaha sektoral terkait secara otomatis akan dianggap
di dalamnya tercakup rencana untuk adaptasi dan tidak berlaku. Menurut UUPPLH (Pasal 36(1)),
mitigasi perubahan iklim.139 Tindak lanjut dari RPPLH izin lingkungan dapat diterbitkan hanya setelah ada
ialah penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis persetujuan atas dokumen AMDAL atau Upaya
(KLHS), yang harus diperhatikan baik pada skala Pengelolaan Lingkungan & Upaya Pemantauan
kebijakan maupun proyek. Lingkungan (UKL & UPL). Undang‑undang ini
berdampak langsung bagi usaha kehutanan yang
Pemerintah pusat dan daerah diwajibkan melakukan memerlukan AMDAL, misalnya HTI; ini memberi
KLHS sebagai bagian dari perumusan dan evaluasi harapan bahwa kasus AMDAL yang tidak memenuhi
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan syarat, asal‑asalan, atau bahkan yang tidak memiliki
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional AMDAL dapat diminimalkan. Dengan pengintegrasian
(RPJMN) maupun perencanaan dan perumusan izin lingkungan dan izin usaha juga diharapkan dapat
kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, menghapuskan kecenderungan di antara pemohon izin
untuk setiap program yang berpotensi memiliki yang mengabaikan persyaratan izin lingkungan, yang
dampak negatif terhadap lingkungan hidup, termasuk menyebabkan permasalahan pada masa lalu.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tujuan
KLHS ialah untuk memastikan bahwa prinsip‑prinsip UUPPLH juga memperkuat aturan penegakan hukum
pembangunan berkelanjutan dijadikan sebagai dasar administrasi, perdata dan pidana. Sebagai contoh,
dan terintegrasi ke dalam kebijakan, perencanaan, UUPPLH mengatur sanksi (hukuman minimum
dan program pembangunan di daerah. Jika hasil sampai maksimum), memperluas batasan mengenai
KLHS menunjukkan bahwa rencana atau program bukti, dan memidanakan pelanggaran atas baku mutu;
pembangunan melebihi kemampuan lingkungan undang‑undang ini juga memasukkan unsur hukum
hidup untuk menopang atau mendukungnya, rencana pidana dan pengaturan tindak pidana korporasi.
atau program tersebut harus disesuaikan agar sejalan UUPPLH juga mengatur sanksi bagi pejabat yang
dengan rekomendasi KLHS, dan seluruh kegiatan didapati bersalah karena menerbitkan izin usaha
yang melebihi batas daya dukung lingkungan hidup sektoral yang sebelumnya tidak memenuhi persyaratan
harus ditinggalkan. izin lingkungan. Meskipun berpotensi untuk
mendorong dan memperbaiki penegakan hukum,
KLHS juga dijadikan kriteria dalam menentukan hal ini harus disertai dengan perbaikan dukungan
jenis kegiatan mana yang wajib memiliki Analisis kelembagaan dan sumberdaya manusia.
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang
ditentukan berdasarkan ukuran proyek. UUPPLH Seperangkat instrumen pengelolaan dan perlindungan
memperbaiki ketentuan mengenai AMDAL dari lingkungan serta ketentuan penegakan hukum ini
undang‑undang sebelumnya melalui peningkatan diharapkan dapat berdampak positif bagi pelaksanaan
akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan AMDAL, REDD+—jika dilakukan dengan semestinya. Akan
lisensi bagi penilai AMDAL, memastikan pelaksanaan tetapi, peraturan pelaksanaan lebih lanjut dibutuhkan
pembuktian dan sertifikasi seluruh dokumen AMDAL, untuk memastikan bahwa UUPPLH dapat benar‑benar
dan memperjelas sanksi hukum jika gagal mematuhi memenuhi fungsi yang dimaksudkan.
peraturan tentang AMDAL. Menurut undang‑undang
ini, AMDAL ditetapkan sebagai salah satu syarat utama Selain itu, proses AMDAL harus melibatkan
dalam pengajuan permohonan izin lingkungan yang keikutsertaan masyarakat. Jika dilakukan, maka ini
merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha.140 akan berfungsi sebagai alat yang tepat untuk menjamin
Kemudian, setiap izin usaha yang diterbitkan akan keadilan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan
gugur jika suatu saat AMDAL yang telah dibuat untuk dengan penerbitan izin pada sektor kehutanan,
menyertainya dicabut. termasuk REDD+. UUPPLH dirancang untuk
membuat proses penerbitan izin lebih terbuka. Selain
Oleh karena itu, UUPPLH memiliki pengaruh itu, pertimbangan yang terkait dengan emisi dapat
memperkuat peran AMDAL dalam rangka perizinan. menjadi pertimbangan dalam izin lingkungan.
Hal ini dilakukan dengan memadukan izin lingkungan
ke dalam izin usaha sektoral, termasuk yang berlaku Tata Ruang
Beberapa ketentuan dalam Undang‑undang
No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mendukung
139  Pasal 6, UUPPLH. upaya untuk menurunkan laju deforestasi. Sebagai
140  Izin lingkungan merupakan syarat penerbitan izin usaha contoh, undang‑undang ini menetapkan bahwa
dan kegiatan: Pasal 40(1), UUPPLH. partisipasi masyarakat harus dilakukan secara
90   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

obyektif, bukan bersekongkol, untuk memastikan sebesar hampir 300%. Mempertahankan kebijakan
kepentingan umum yang lebih besar dipertimbangkan. ini tampaknya merupakan hal yang dapat disarankan
Undang‑undang ini juga menetapkan tindakan sanksi untuk saat ini, setidaknya sampai proses politik dan
karena menerbitkan izin yang melanggar aturan. Jika sistem pengelolaan di daerah membaik.
undang‑undang ini ditegakkan dengan benar, maka
instrumen perencanaan tata ruang yang ada dapat Kebijakan yang dibuat untuk mengatasi pembalakan
lebih berhasil dalam memantau proses pembangunan, liar (yang menyebabkan degradasi hutan hingga
termasuk REDD+. Akan tetapi, ini akan bergantung menjadikan deforestasi) mencakup prakarsa untuk
pada kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi membagi kawasan hutan menjadi KPH; KPH
dalam pelaksanaan, pemantauan, dan penegakan dikelompokkan menurut fungsinya menjadi tiga jenis:
undang‑undang ini. produksi, lindung, dan konservasi.144 Tujuan kebijakan
ini ialah untuk memudahkan pengelolaan hutan yang
Dari sudut pandang keadilan, partisipasi masyarakat lebih efisien dan berkelanjutan sesuai dengan fungsi dan
merupakan alat pokok untuk menjamin keterlibatan peruntukannya. Pemerintah telah menetapkan sasaran
yang adil dalam proses kebijakan oleh semua pihak yang pembentukan 600 KPH dan 120 model KPH tahun
mungkin terkena dampak REDD+. Agar menyeluruh, 2014, yang berarti bahwa 65% kawasan hutan negara
kelompok masyarakat harus dilibatkan sejak tahap akan berada di bawah pengelolaan KPH (Lee dkk.
awal perencanaan dan penetapan batas hutan hingga 2011). KPH diharapkan tidak hanya membantu
permohonan instrumen RTRW. menyelesaikan masalah pembalakan liar, tetapi juga
berperan sebagai mitra resmi proyek REDD+. Akan
Kebijakan lain tetapi, sebuah analisis menunjukkan bahwa KPH
Seperti dijelaskan dalam Bab 3, otonomi daerah bisa jadi memiliki kapasitas yang terbatas, sehingga
memicu percepatan deforestasi secara luar biasa, karena menghambat kemampuannya untuk menjalankan
bupati diberikan wewenang untuk menerbitkan izin fungsi ini (Lee dkk. 2011).
usaha kehutanan berskala kecil.141 Akibatnya, selama
tahun‑tahun awal otonomi, bupati di wilayah yang Undang‑undang lain untuk mengatasi pembalakan liar
memiliki hutan, termasuk Kalimantan, menerbitkan mencakup Undang‑undang Kehutanan dan UUPPLH,
ratusan izin hak pemungutan hasil hutan (HPHH),142 yang mengatur definisi kerusakan lingkungan sebagai
yang masing‑masing mencakup areal tidak lebih dari akibat pembalakan liar. Beberapa peraturan terkait
100 ha.143 Semula izin ini diterbitkan semena‑mena pemberantasan pembalakan liar dan perlindungan
dan tanpa pertimbangan dampaknya bagi ekologi, hutan: Peraturan Pemerintah No. 60/2009 jo Peraturan
lingkungan fisik dan sosial yang memadai; hasilnya Pemerintah No. 45/2004 tentang Perlindungan Hutan,
ialah pembukaan hutan yang tersebar luas dan dan Peraturan Pemerintah No. 3/2008 jo Peraturan
kerusakan parah pada kawasan hutan di seluruh Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan
Kalimantan. Menyadari pengaruh undang‑undang ini, Perumusan Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan
pemerintah pusat berupaya mengurangi dampaknya, Hutan. Selain itu, Instruksi Presiden No. 4/2005
misalnya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan keefektifan upaya
No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan pemberantasan pembalakan liar.
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan,
dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mencabut hak 5.1.3  Kebijakan nasional yang berpotensi
pemerintah daerah untuk menerbitkan izin tersebut. memperburuk deforestasi dan
Gerakan ini berdampak menurunkan laju deforestasi degradasi hutan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, beberapa
141  Kewenangan kepala daerah untuk menerbitkan izin
kebijakan berpengaruh mendorong atau memudahkan
didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 6/1999 tentang deforestasi dan degradasi hutan, baik secara langsung
Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan maupun tidak langsung.
Produksi, Peraturan Pemerintah No. 5/2000 tentang Kriteria
dan Standar Penerbitan Izin Penggunaan Sumber Daya Hutan Kebijakan tata ruang dan penggunaan lahan
dan Izin Penggunaan Sumber Daya Alam di Kawasan Hutan
dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 310/1999 tentang Seperti dibahas di atas, penegakan Undang‑undang
Pemungutan Hasil Hutan. Penataan Ruang secara benar dapat menyebabkan
142  Sebagai contoh, izin usaha untuk pemanfaatan
sumberdaya kayu hutan. 144  Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan
143  Sebagai contoh, Kabupaten Sintang dengan 944 HPHH, dan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Penggunaan Hutan,
100 izin diterbitkan selama tahun 1999–2002. yang diubah oleh Peraturan Pemerintah No. 3/2008.
Konteks REDD+ di Indonesia   91

pengurangan laju deforestasi, khususnya apabila mengelola kawasan hutan menimbulkan ketegangan
merupakan hasil deforestasi/eksploitasi sumberdaya besar dan bukan tidak jarang menyebabkan sengketa
hutan terencana. Namun dalam kenyataannya, yang memanas dan kegiatan yang merusak. Kurangnya
undang‑undang ini berpengaruh pada peningkatan pengakuan formal atas masyarakat adat, hukum adat,
deforestasi dan degradasi hutan, yang terjadi karena dan haknya untuk terlibat dalam proses penetapan
rencana tata ruang wilayah (RTRW) menetapkan keputusan mengenai sumberdaya alam di tanah
batas kawasan hutan dan, dengan keadaan sekarang, ulayatnya memperlemah kemampuan masyarakat
tampaknya lebih cenderung berpihak pada kebutuhan adat untuk memantau dan mengendalikan apa yang
sektor di luar kehutanan; ini terutama tampak ketika terjadi di hutan mereka. Di sisi lain, terdapat bukti
RTRW dibandingkan dengan pendahulunya, yaitu budidaya produksi, yakni kecenderungan penduduk
sistem Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). desa untuk menyandarkan mata pencarian mereka
Undang‑undang Kehutanan menetapkan bahwa pada perladangan dan pemungutan sumberdaya
setidaknya 30% dari luas Daerah Aliran Sungai hutan di daerah sekitarnya yang terdekat. Pesatnya
(DAS), atau luas daratan sebuah pulau, harus pertambahan penduduk saat ini dan kecenderungan ke
dipertahankan sebagai kawasan hutan. Meskipun arah perekonomian tunai mendorong permintaan akan
undang‑undang menyatakan bahwa aturan 30% lahan dan sumberdaya alam semakin bertambah, yang
ini semestinya tidak dijadikan pembenaran untuk kemudian mendorong kerusakan hutan lebih besar.
mengalihkan fungsi hutan, kenyataannya berbeda.
Sebagaimana disebutkan, otonomi daerah telah Kurangnya kejelasan dan adanya kemungkinan
berpengaruh memperburuk keadaan hutan;145 sengketa yang terkait dengan penguasaan lahan ini
pemekaran wilayah sering memerlukan pengalihan dapat berpotensi menggerogoti program REDD+. Hal
lahan hutan untuk pembangunan sarana dan prasarana. ini juga menghambat upaya memperoleh kesetaraan
Laporan terbaru menunjukkan bahwa 33 provinsi karena, seperti dijelaskan dalam Bab 2, menghalangi
mengusulkan perubahan status 16,4 juta ha lahan partisipasi masyarakat adat dalam REDD+. Di samping
hutan—meskipun tanpa kriteria yang jelas dan obyektif itu, masih belum ada mekanisme yang sederhana,
untuk pengubahan status kawasan hutan tersebut— murah, dan ramah‑pengguna yang memungkinkan
tetapi Tim Terpadu hanya menyetujui perubahan masyarakat adat untuk memperoleh akses formal
atas 1,4 juta ha.146 Kesenjangan ini mencerminkan mengelola kawasan hutan.147
keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk
mengonversi kawasan hutan untuk penggunaan lain. Gambaran umum kebijakan sektor kehutanan
Rancangan akhir Strategi Nasional REDD+ secara Undang‑undang Kehutanan sendiri, bersama dengan
jelas mengakui pentingnya mengatasi masalah ini, peraturan pelaksanaan dan aturan kehutanan lainnya,
dengan menyoroti bahwa kurang efektifnya tata ruang juga berperan dalam deforestasi dan degradasi hutan.
merupakan persoalan besar yang mengarah pada Sebagai contoh, UU ini memberikan peluang untuk
deforestasi dan degradasi. eksploitasi hutan alam yang masih dalam keadaan
baik, sebagaimana terlihat dalam penegakan aturan
Kebijakan terkait penguasaan lahan yang lemah untuk membatasi pengembangan hutan
Seperti dibahas dalam Bab 2, kebijakan yang terkait industri dalam ‘kawasan hutan produksi yang tidak
dengan penguasaan lahan dipersulit oleh ketentuan produktif ’ (Undang‑undang Kehutanan, penjelasan
yang bertentangan dalam Undang‑undang Pokok Pasal 28(1)). Kelemahan semacam itu sering timbul
Agraria dan Undang‑undang Kehutanan, yang dari perbedaan peraturan pelaksanaan. Sebagai contoh,
berdampak memicu kerusakan hutan. Ketidaksepakatan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 tentang Tata Hutan
atas siapa yang seharusnya mengendalikan dan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan menyatakan bahwa izin untuk
HTI diterbitkan pada lahan kosong, padang alang‑alang
145  Sampai dengan tahun 2009, terdapat 530 kabupaten/kota
di Indonesia, naik dari 440 pada bulan Desember 2004. Lihat atau semak belukar pada hutan produksi (Pasal 30(3));
www.depdagri.go.id/basis‑data/2010/01/28/daftar‑provinsi and akan tetapi, arahan ini diubah secara signifikan oleh
http://id.wikipedia.org/wiki/Jumlah_wilayah_administratif_di_ Peraturan Pemerintah No. 3/2008, yang mengubah
Indonesia.
146  Data Tim Terpadu (2010) sebagaimana dikutip oleh
Hariadi Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor), dalam ‘Upaya 147  Misalnya, walau proses pembentukan hutan desa telah
penyelesaian sengketa dalam perencanaan tata ruang yang terkait memiliki koridor birokrasi yang jelas, kenyataannya, ini
dengan hutan negara’, pemaparan Powerpoint pada seminar melibatkan proses yang panjang dan kacau yang memerlukan
yang berjudul ‘Penyelesaian sengketa dalam perencanaan tata banyak waktu dan uang (komunikasi pribadi dengan FFI pada
ruang dalam hutan negara’, Jakarta, 10 Agustus 2010. beberapa kesempatan, 2010–2011).
92   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan Daerah Kabupaten dan Kota memberikan wewenang
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta kepada pejabat daerah untuk memberikan izin usaha.
Pemanfaatan Hutan, dan hanya menyatakan bahwa Pada dasarnya, pelimpahan wewenang pembuatan
hutan tanaman diprioritaskan pada hutan produksi perangkat peraturan kepada pejabat daerah, tanpa
yang tidak produktif, yang membuka kemungkinan undang‑undang yang tidak mendua, tanpa proses
dilaksanakan di seluruh kawasan hutan lainnya. yang transparan, dan kekuasaan dan pengawasan yang
Definisi ‘hutan produksi yang tidak produktif ’ bahkan ditetapkan secara jelas, telah menghasilkan banyak
menjadi lebih kabur lagi dalam Peraturan Pemerintah aturan yang tidak serasi sehingga menghasilkan izin
No. 3/2008. Penjelasan Pasal 36(1)(c) menyatakan yang tidak sesuai dan tumpang tindih, misalnya
bahwa ‘Yang dimaksud dengan “hutan produksi yang penerbitan izin perkebunan dalam kawasan hutan.
tidak produktif ” ialah “hutan yang dicadangkan oleh Sebagai contoh, hanya 67 dari 352 perusahaan
Menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman”. perkebunan memiliki izin pelepasan kawasan hutan;
Dengan kata lain, ini menghapus adanya patokan hanya sembilan dari 615 perusahaan yang aktif pada
obyektif tentang apa yang dapat dianggap sebagai lahan sektor pertambangan memiliki izin penggunaan
‘tidak produktif ’. kawasan hutan. Ketidakberesan dan pelanggaran atas
undang‑undang terjadi di lahan seluas 7 juta ha dari
Di samping itu, Undang‑undang Kehutanan 15 juta ha hutan di Kalimantan Tengah (Satuan Tugas
memungkinkan hutan untuk dimanfaatkan oleh Anti Mafia Peradilan 2011).
sektor lain, misalnya pertambangan dan perkebunan,
karena tidak menetapkan secara jelas kriteria konversi Selain itu, kebijakan tata ruang, yang memberikan
status lahan sehingga membuka banyak penafsiran atas wewenang kepada pemerintah daerah (dengan
peraturan pelaksanaannya. Sebagai contoh, Keputusan mengusulkan RTRW, yang harus disetujui dan
Kementerian Kehutanan No. 70/Kpts‑II/2001 tentang didukung oleh pemerintah pusat), juga sering
Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan menyebabkan deforestasi terencana, seperti diuraikan
Fungsi Kawasan mengatur bahwa hutan konservasi sebelumnya.
dapat dilepaskan jika statusnya diubah secara bertahap,
yaitu terlebih dahulu diubah menjadi hutan lindung Jelaslah, pembangunan ekonomi daerah tetap
atau hutan produksi dan kemudian menjadi APL. menjadi prioritas pemerintah daerah. Perkebunan dan
Akan tetapi, Pasal 4 jo Pasal 29 Peraturan Pemerintah pertambangan menyumbang PAD dan memudahkan
No. 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan pembangunan prasarana yang kemudian memicu
dan Fungsi Kawasan Hutan menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi selanjutnya dan menciptakan
hutan konservasi dapat diubah menjadi APL melalui lapangan kerja. Selain itu, penerbitan izin di daerah
persetujuan langsung Dewan Perwakilan Rakyat secara langsung dan tidak langsung meningkatkan
sehingga mempermudah dan membuka peluang lebih dukungan politik bagi pimpinan daerah dan, pada saat
besar bagi perubahan kawasan konservasi menjadi yang sama, menjadi sumber pendapatan ‘informal’ bagi
nonhutan. pejabat daerah di semua tingkat.

Kebijakan terkait otonomi daerah Mengingat fokus daerah pada ekonomi dan
Seperti dijelaskan sebelumnya, pelimpahan kewenangan pembangunan, REDD+ akan berhasil hanya jika ada
kepada pemerintah daerah telah meningkatkan laju kompensasi kepada pemerintah dan perorangan atas
deforestasi dan degradasi hutan karena izin kehutanan ‘biaya peluang’ yang ditanggungnya karena ‘batalnya’
yang diterbitkan berlebihan, tanpa mempedulikan kegiatan ekonomi lainnya (yang digantikan oleh
prinsip‑prinsip pengelolaan yang benar, oleh REDD+). Pemerintah daerah akan bersemangat
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. untuk melaksanakan REDD+ hanya selama hal ini
terbukti menguntungkan secara ekonomi. Keterlibatan
Kecenderungan serupa terjadi pada sektor perkebunan mereka juga akan menuntut peningkatan kemampuan
dan pertambangan. Undang‑undang No. 19/2004 mereka untuk memantau dan mengevaluasi proyek
tentang Perkebunan dan Undang‑undang No. 4/2009 REDD+. Namun demikian, REDD+ akan berpotensi
tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara secara menciptakan peluang bagi penggunaan dan eksploitasi
tegas memberikan kewenangan kepada pejabat sumberdaya hutan yang lebih setara, yang akan
daerah untuk menerbitkan izin perkebunan dan terwujud jika mekanisme pembagian manfaat
pertambangan. Selain itu, Peraturan Pemerintah mendukung pembagian secara adil atas manfaat
No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, yang dihasilkan oleh REDD+ di kalangan penduduk
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Konteks REDD+ di Indonesia   93

Juga diperlukan peningkatan kesadaran tentang undang‑undang ataupun menemukan ketidakberesan


suara terbanyak dalam kelompok masyarakat, untuk dalam proses penerbitan izin. Akibatnya bukan hanya
mencegah manfaat menumpuk hanya pada kalangan ketidaktersediaan data yang tepat—yang mutlak
elite setempat, sebagaimana terjadi pada awal penerapan untuk penetapan keputusan berdasarkan informasi—
otonomi daerah. melainkan juga penyalahgunaan wewenang di
kalangan pembuat kebijakan. Selama hal ini diabaikan,
Tata kelola pemerintahan yang lemah pelanggaran atas peraturan yang berkaitan dengan
Hal yang menentukan dalam pelaksanaan REDD+ proses penerbitan dan penggunaan izin akan berlanjut.
ialah sistem pengelolaan sumberdaya alam oleh
pemerintah, khususnya sumberdaya hutan. Sistem Faktor terpenting dalam kegagalan penegakan peraturan
tata kelola ini meliputi informasi, partisipasi, dan adalah lemahnya penegakan hukum, sebuah elemen
keadilan dalam proses penetapan keputusan pada yang mendorong banyaknya korupsi dalam sistem
sektor kehutanan, misalnya perumusan kebijakan dan peradilan. Sampai tahap tertentu kelemahan ini telah
penerbitan izin, serta hal‑hal yang berkenaan dengan diatasi dengan pembentukan Satuan Tugas Anti Mafia
‘aturan berdasarkan hukum’ (rule of law). Peradilan, yang tugasnya mencakup pemberantasan
praktik pengadilan yang buruk pada sektor kehutanan
Secara umum, Undang‑Undang Kehutanan dan (Kompas 2010a, Tempo 2010). Hal lain yang berperan
peraturan pelaksanaannya kurang mengatur secara ialah aturan perundang‑undangan yang saling
baik aspek informasi, partisipasi, dan keadilan— bertentangan dan tumpang‑tindih. Kelemahan sistem
tiga hal pokok terkait akses—baik dalam proses tata kelola, termasuk kelemahan aturan hukum, akan
penerbitan izin maupun perumusan kebijakan mengganggu keefektifan dan efisiensi REDD+. Lebih
kehutanan. Pola yang sama terlihat pada sektor terkait, lanjut lagi, ini akan menghambat pembagian manfaat
yaitu pertambangan dan perkebunan. Meskipun REDD+ secara adil kepada masyarakat; bahkan ketika
Undang‑Undang No. 14/2008 tentang Keterbukaan hal tersebut memfasilitasi kemajuan bagi mereka yang
Informasi Publik secara teoretis memberikan jaminan memiliki akses ke pihak berwenang dan para pembuat
normatif keterbukaan informasi, termasuk pada sektor kebijakan. Jelaslah, tata kelola, khususnya mengenai
kehutanan, Undang‑Undang yang berlaku sejak pengelolaan hutan dan sumberdaya alam, merupakan
tahun 2010 tersebut belum berfungsi sebagaimana hal yang sangat penting yang akan menentukan
mestinya. Kegagalan dalam mengamankan sepenuhnya keberhasilan atau kegagalan REDD+ dalam hal
tiga hal pokok terkait akses ini pada akhirnya, keefektifan, efisiensi, dan kesetaraan.
menyebabkan meningkatnya laju deforestasi dan
degradasi hutan, baik dari kegiatan yang terencana 5.1.4  Alternatif kebijakan
maupun yang tidak terencana. Sebagai contoh, Rancangan akhir Strategi Nasional REDD+ secara
kurangnya keterbukaan informasi menyebabkan jelas mengakui pentingnya penyelesaian atas banyak
penerbitan izin yang tumpang‑tindih. Kurangnya masalah di atas; memang, ini menegaskan bahwa
keterbukaan kebijakan menyebabkan penerbitan izin tata ruang yang tidak tepat menjadi masalah utama
perkebunan yang tidak tepat untuk kawasan hutan yang menyebabkan deforestasi dan degradasi. Seperti
yang ditetapkan sebagai hutan lindung atau sebagai dibahas dalam Bagian 4.2.2, salah satu pilar dari
hutan produksi tetap. Tampaknya masalah izin strategi tersebut menitikberatkan pada peninjauan dan
yang tumpang tindih ini berkurang jika masyarakat penguatan kebijakan dan peraturan, yang meliputi
memiliki keterbukaan informasi sepenuhnya tentang hal‑hal yang berkaitan dengan tata ruang. Selain itu,
semua izin yang diterbitkan. Keterbukaan informasi strategi tersebut meliputi penguatan Badan Koordinasi
dan kemudahan keikutsertaan dapat memungkinkan Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan percepatan
masyarakat, termasuk swasta, CSO, LSM, dan pers, pembentukan KPH. Upaya yang diarahkan menuju tata
untuk memastikan apakah izin yang telah diterbitkan ruang dan penggunaan lahan yang lebih baik dan lebih
untuk lokasi tertentu sejalan dengan peraturan terpadu dapat lebih diperkuat dengan menghubungkan
yang ada. perencanaan tata ruang nasional, provinsi, dan
kabupaten dengan kegiatan di daerah yang sekarang
Lemahnya penegakan peraturan yang memberikan bersifat ad hoc berkenaan dengan pemetaan partisipatif
amanat keterbukaan dan keikutsertaan pemangku oleh warga desa setempat, yang sedang berlangsung di
kepentingan menyebabkan kurangnya saran dari beberapa desa di dalam kawasan hutan.
masyarakat tentang keputusan yang berkenaan
dengan penerbitan izin; selain itu, anggota masyarakat Ketidakpastian penguasaan lahan merupakan masalah
tidak dapat memantau setiap pelanggaran atas pokok dalam banyak sengketa penggunaan lahan,
94   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

dan karenanya, akan memberi dampak yang tidak besar tantangan, juga terdapat saling keterkaitan atau
diinginkan dalam pelaksanaan REDD+. Penguasaan hubungan antara satu sama lain. Di antara tantangan
hutan (beserta hak atas karbonnya) terkait dengan hak yang rumit ini ialah kebutuhan untuk pembangunan.
dan kewajiban REDD+; dengan demikian, ini akan
menjadi persoalan ketika dana REDD+ mulai mengalir. Kebutuhan untuk pembangunan
Akan tetapi, reformasi penguasaan lahan sepertinya Hal penting yang mempengaruhi pengelolaan
tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Oleh karena sumberdaya alam ialah penetapan prioritas
itu, penyelesaian persoalan sedikit demi sedikit seperti pembangunan yang melekat pada status Indonesia
pemberian hak pengelolaan desa kepada masyarakat sebagai negara berkembang. Melalui kebijakan
adat dan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan, pembangunannya, pemerintah bertujuan untuk
akan memperkuat hak masyarakat setempat menurut mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%
hukum; kepastian yang lebih besar atas penguasaan (pro‑pertumbuhan), mengurangi jumlah penduduk
lahan akan mengurangi kemungkinan sengketa yang hidup di bawah garis kemiskinan (pro‑rakyat
sehingga memberikan lingkungan yang lebih stabil, miskin), dan memperbesar penyerapan sumberdaya
yang akan menunjang keefektifan REDD+. manusia ke dalam pasar tenaga kerja (pro‑pekerjaan).
Meskipun sikap pro‑lingkungan hidup muncul
Rancangan strategi tersebut juga menekankan baru‑baru ini, tiga pilar kebijakan ini tetap menjadi
pentingnya tata kelola yang baik, keikutsertaan fokus utama. Fokus ini terlihat pada rencana jangka
masyarakat, dan kesetaraan. Dalam konteks REDD+ panjang dan jangka menengah pemerintah, yang
pada khususnya, persoalan FPIC dan pengamanan menempatkan pendidikan dan kesehatan pada urutan
(keuangan dan sosial) terkait sangat erat. Selain itu, teratas (Peraturan Presiden No. 5/2010). Persoalan
karena REDD+ akhirnya akan melibatkan masyarakat lingkungan hidup timbul karena strategi untuk
setempat, maka perlu dirumuskan kebijakan yang mencapai pembangunan masih sangat bergantung
menguntungkan, baik bagi masyarakat adat yang sering pada eksploitasi sumberdaya alam. Meskipun APBN
terpinggirkan maupun kelompok masyarakat tertentu mencantumkan sektor kehutanan hanya menyumbang
seperti perempuan. sebesar 1% dari jumlah pendapatan negara, pendapatan
dari kegiatan terkait seperti pertambangan berpengaruh
5.2  Evaluasi aspek‑aspek utama REDD langsung terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan
dari aspek 3E di Indonesia.
Bab‑bab sebelumnya, khususnya Bab 4, menelusuri
masalah utama pada sektor kehutanan dan sektor Persoalan pembangunan terkait erat dengan kebutuhan
terkait yang akan berpotensi mempengaruhi akan lahan untuk kegiatan produksi dan perumahan.
pelaksanaan REDD+. Namun demikian, harus Ini dapat dilihat pada kebijakan pemerintah yang
diakui bahwa kebijakan pemerintah yang tepat, jika diterapkan dalam pengembangan Lumbung Pangan
dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuannya, dan Energi Terpadu Merauke (MIFEE) di Papua.
akan dapat menciptakan peluang untuk pelaksanaan Seperti dijelaskan sebelumnya, pengembangan kawasan
REDD+ secara optimal. Bagian ini membahas pedalaman, yang merupakan bagian tidak terpisahkan
tantangan dan peluang REDD+, khususnya pada aspek dalam pembangunan, juga berdampak besar bagi
keefektifan, efisiensi, dan kesetaraan. deforestasi dan degradasi hutan.

5.2.1 Tantangan Dengan demikian, REDD+ akan efektif sejauh


Kebijakan pemerintah Indonesia, setidaknya yang terdapat dukungan yang memadai dari para pemangku
dimasukkan ke dalam rancangan Strategi Nasional kepentingan, dan selama keunggulan utamanya
REDD+, bersumber dari keinginan untuk mengatasi adalah dalam kontribusinya bagi ekonomi dan mata
permasalahan mendasar dalam bidang kehutanan pencarian setempat.
dan pengelolaan lahan, serta memasukkan kesetaraan
sosial, yang merupakan inti untuk memfungsikan Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak
REDD+ dengan benar. Akan tetapi, terbukti bahwa berkelanjutan
pelaksanaan yang benar merupakan hal yang tidak Dampak merugikan akibat ketergantungan yang
mudah, karena adanya kebutuhan nyata untuk sangat besar dari negara dan rakyatnya pada
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta eksploitasi sumberdaya alam diperbesar oleh
pengalaman masa lalu yang menunjukkan betapa kegagalan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan
sulitnya mengelola sumberdaya alam di bawah tekanan dan pelaksanaannya. Pendekatan sektoral yang
berbagai kepentingan. Selain itu, di samping sejumlah terkotak‑kotak sampai sekarang secara langsung
Konteks REDD+ di Indonesia   95

merongrong kelestarian eksploitasi sumberdaya di pembangunan berkelanjutan. Reformasi birokrasi


kawasan hutan, sebagaimana terlihat dalam berbagai juga merupakan keharusan karena ketidakpastian
izin pertambangan dan perkebunan di dalam hukum tentang penerapan instrumen peraturan yang
kawasan hutan yang diterbitkan oleh pemerintah berubah‑ubah dan kegagalan sistem pemantauan; hal
daerah secara sewenang‑wenang, di luar mekanisme ini tidak hanya bersumber dari lemahnya kepedulian
yang benar dan tata cara penerbitan izin seperti atau pemahaman, tetapi juga dari korupsi—karena
yang ditetapkan dalam undang‑undang. Selain itu, kebutuhan atau keserakahan.
lemahnya pengawasan, pemantauan, dan pengendalian
pengelolaan hutan oleh pemerintah pusat menyebabkan Desentralisasi dan otonomi daerah
terjadinya praktik‑praktik yang bertentangan dengan Beberapa masalah yang bersumber dari desentralisasi
prinsip‑prinsip keberlanjutan dan konservasi pada dapat disebabkan oleh aspek politik otonomi daerah.
sektor kehutanan. Artinya, masalah timbul karena pihak pemerintah pusat
dan pemerintah daerah mengutamakan kepentingannya
Instrumen yang semestinya diterapkan secara sendiri, tanpa memeriksa dan menimbang hasil
terkoordinasi agar memungkinkan keterpaduan pemeriksaan dan saran yang memadai dan efektif dari
berbagai sektor, seperti RTRW, masih diterapkan secara masyarakat. Hal ini terjadi karena kekuatan masyarakat
terkotak‑kotak. Sebagai contoh, di Kalimantan Tengah, madani terbatas untuk terlibat dalam pemantauan
pemerintah daerah mendasarkan keputusan tentang dan pengendalian yang efektif. Aspek politik ini juga
penggunaan lahan pada Peraturan Daerah No. 8/2003 menimbulkan penafsiran berbeda tentang hutan
tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah dan kawasan hutan, maupun wilayah hukum dan
(RTRW) Provinsi Kalimantan Tengah sedangkan kewenangan untuk memberikan atau menghilangkan
Kementerian Kehutanan menggunakan Tata Guna hak atas hutan/kawasan hutan (Capistrano 2008).
Hutan Kesepakatan (TGHK).148 Secara politis, keberhasilan otonomi di tingkat
kabupaten/kota di Indonesia diukur dari kemampuan
Meskipun tercantum di atas kertas, kerangka pikir daerah untuk menghasilkan pendapatan asli daerah
penggunaan sumberdaya alam terpadu belum (PAD) (Barr dkk. 2006: 67–69, Gunawan 2005: 6).
diterapkan atau dipraktikkan. Salah satu contohnya Selama tahun‑tahun awal otonomi daerah, banyak
ialah AMDAL, yang bertujuan untuk memastikan daerah menerbitkan izin kehutanan sebagai cara
eksploitasi sumberdaya alam berkelanjutan tanpa untuk menghasilkan PAD sebanyak‑banyaknya.
berdampak merugikan bagi lingkungan alam. Dalam Pemerintah daerah juga menjadi mahir mereka‑reka
kenyataannya, pejabat yang bertanggung jawab dan membebankan berbagai macam retribusi.
untuk menerbitkan izin memberlakukan AMDAL Kementerian Dalam Negeri, dalam tinjauan tentang
semata‑mata sebagai prosedur teknis; akibatnya, peraturan daerah, menemukan bahwa banyak peraturan
terdapat contoh AMDAL yang sekadar disalin dari daerah tentang retribusi yang berlawanan dengan
perusahaan lain di daerah lain, tanpa pengesahan resmi undang‑undang atau peraturan pada jenjang yang
atas isinya, dan contoh lain yang izinnya diterbitkan lebih tinggi yang berlaku. Akibatnya, selama tahun
tanpa AMDAL sama sekali, meskipun ini merupakan 2002–2009, Kementerian Dalam Negeri mencabut
persyaratan hukum. 406 peraturan daerah tentang retribusi daerah.149 Pada
tahun 2010, Kementerian Dalam Negeri menyarankan
Pengkotak‑kotakan pengelolaan sumberdaya alam pencabutan lagi kira‑kira 1.000 peraturan daerah
akan mengurangi keefektifan REDD+ dalam tentang pajak dan retribusi (Republika 2010).
mengurangi deforestasi dan degradasi hutan karena
Kementerian Kehutanan tidak memiliki kendali atas Pada saat yang sama, tidak terdapat kriteria atau
kegiatan pada sektor lain; bahkan pada tahap awal mekanisme pemantauan yang jelas untuk menilai
penerbitan izin. Karena alasan ini, sangat penting untuk kinerja pemerintah pusat atau daerah dalam
mengintegrasikan proses penerbitan izin lintas‑sektor, pengelolaan lingkungan hidup (dan hutan).
yakni memastikan bahwa seluruh sektor mengikuti
aturan yang sama dan mengetahui apa yang dilakukan Selain itu, hubungan antara pemerintah pusat dan
oleh sektor lain. Ketidakberesan dapat dicegah daerah yang tidak serasi dan terkadang berseberangan
dengan memperkuat aturan teknis dan meningkatkan merupakan hambatan besar bagi keberhasilan
kepedulian pembuat kebijakan tentang perlunya pelaksanaan REDD+ karena kebutuhan dan prioritas

148  Laporan Tim Terpadu Paduserasi TGHK dan RTRWP 149  Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
Kalimantan Tengah, Kementerian Kehutanan, 2009. Pencabutan Peraturan Daerah dan KDH, 2002.
96   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

yang bertentangan antara pemerintah pusat dan Bab 4). Lagi pula, kemampuan masyarakat madani
daerah, pembagian kewenangan yang tidak jelas, dan dalam pemantauan dan pengendalian masih tidak
tidak adanya mekanisme akuntabilitas yang transparan merata dan terbatas pada kelompok atau organisasi
dan efektif. tertentu saja.151

Korupsi, kolusi, dan nepotisme Tata ruang


Seperti dinyatakan sebelumnya, tata kelola masih lemah Meskipun dibutuhkan batas kawasan hutan yang
dalam hal keterbukaan informasi, keikutsertaan, dan jelas dan penataan ruang yang berdasarkan pada
keadilan. Di samping itu, upaya untuk memantapkan pembangunan berkelanjutan, hal ini masih kurang.
penegakan hukum, seperti pembentukan Satuan Sampai dengan Mei 2012, baru 13 provinsi yang
Tugas Anti Mafia Peradilan, belum menghasilkan telah disetujui RTRWPnya—dan tidak satu pun dari
manfaat sebagaimana diharapkan. Tidak adanya provinsi‑provinsi ini kaya akan sumberdaya alam atau
ketaatan terhadap aturan hukum di semua tingkatan hutan.152 Selanjutnya, kawasan hutan yang sangat luas
pemerintahan akan membuat REDD+ rentan terhadap telah diusulkan untuk direklasifikasikan sebagai bukan
korupsi yang sekarang menandai birokrasi Indonesia, kawasan hutan karena adanya masyarakat yang tinggal
baik di tingkat pusat maupun daerah. Kegagalan tata dalam kawasan ini.153 Penyelesaian RTRWP yang isinya
kelola semacam itu tidak hanya akan mengurangi telah diselaraskan dengan data Kementerian Kehutanan
keefektifan REDD+, tetapi juga mempengaruhi merupakan prasyarat pokok bagi penetapan batas dan
efisiensi dan kesetaraan. status hukum lahan yang jelas.

Kewenangan dan tanggung jawab penegakan hukum Penguasaan lahan


terletak pada pemerintah pusat. Kelemahan dalam Persoalan penguasaan lahan memerlukan penyelesaian
penyiapan otonomi daerah akan terus bermasalah segera karena sengketa berlarut‑larut yang timbul akibat
selama tidak ada mekanisme akuntabilitas yang jelas peminggiran terus‑menerus dan terbatasnya akses atas
dan kebijakan yang tumpang‑tindih memungkinkan mata pencarian bagi masyarakat adat dan masyarakat
peluang besar bagi pejabat setempat dan tokoh daerah yang tinggal di kawasan hutan cenderung berdampak
untuk mengutamakan kepentingan sendiri melalui negatif terhadap sumberdaya hutan. Seperti dibahas
tindak korupsi. Banyaknya korupsi, kolusi, dan dalam Bab 2, sumber masalah ini ialah ketidakpastian
nepotisme dalam penegakan hukum dan birokrasi perihal pengakuan hukum terhadap masyarakat adat,
dipermudah oleh terbatasnya keikutsertaan masyarakat yang merupakan sumber pengaduan dan gugatan atas
dan kurangnya keterbukaan dalam proses pengambilan lahan. Bahkan meskipun hak masyarakat adat untuk
keputusan. Sampai masalah ini diatasi, kebijakan memasuki hutan diakui secara hukum, penerapan hak
yang tidak bertanggung jawab dan menguntungkan ini dalam kenyataannya terbatas. Akibatnya, akses
diri sendiri yang menurunkan kesejahteraan dan masyarakat adat terhadap hutan masih terbatas atau
kepentingan umum, termasuk yang menyangkut kurang baik; hal ini khususnya berlaku ketika terdapat
penggunaan sumberdaya hutan, akan terus berlangsung. kepentingan yang lebih kuat terhadap hutan ini.

Kemampuan untuk pemantauan, pelaporan, dan Karena kelompok tersebut tinggal di dalam hutan dan
verifikasi (MRV) sangat bergantung pada hutan, persoalan penguasaan
Pemantauan dan pelaporan merupakan tanggung lahan yang tidak terselesaikan akan memperlemah
jawab pemerintah pusat sedangkan verifikasi umumnya REDD+. Oleh karena itu, penetapan penguasaan lahan
menjadi tugas lembaga independen. Secara keseluruhan, secara jelas dan tegas sangat penting untuk menjamin
saat ini kemampuan Indonesia yang diperlukan untuk kepastian kepemilikan dan, selanjutnya, pembagian
pemantauan dan pelaporan yang efektif masih kurang manfaat yang setara. Penyelesaian persoalan penguasaan
meskipun telah dilakukan upaya untuk meningkatkan lahan memerlukan proses penelaahan dan kesepakatan
kapasitas pemerintah pusat. Sebagai contoh, Indonesia yang melibatkan semua pihak terkait—khususnya
telah mengembangkan Inventarisasi Hutan Nasional
(NFI) dan membangun Sistem Penghitungan Karbon
151  Organisasi internasional seperti TNC dan WWF
Nasional Indonesia (INCAS). Sebaliknya, pemerintah biasanya memiliki kemampuan yang memadai dalam program
daerah masih sangat kurang kemampuannya.150 Saat ini demonstration activities.
sistem dan lembaga MRV sedang dikembangkan (lihat 152  Pemaparan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang,
2 Februari 2011.
150  Dari berbagai forum konsultasi di daerah tentang 153  Komunikasi pribadi dengan Hariadi Kartodihardjo
Perumusan Strategi Nasional REDD+, diselenggarakan di (Institut Pertanian Bogor), tentang rapat Dewan Perwakilan
tujuh kota di seluruh Indonesia. Urusan ini diserahkan kepada Rakyat untuk mengumpulkan saran dalam rangka melepas
pemerintah pusat dengan harapan dapat memelopori tindakan lebih kurang 24 juta ha hutan karena adanya desa setempat dan
peningkatan kemampuan daerah. masyarakat lainnya di sana, Juni 2010.
Konteks REDD+ di Indonesia   97

kelompok masyarakat adat setempat—dengan ini akan mencakup peneguhan hak masyarakat adat
tujuan untuk merumuskan dan membuat kebijakan, setempat dan pemastian partisipasi masyarakat serta
undang‑undang, dan peraturan yang adil. pembagian manfaat yang setara dan adil.

Pembiayaan Koordinasi horizontal


Indonesia berupaya mendapatkan bantuan untuk Pengelolaan sumberdaya alam dan eksploitasinya
program perubahan iklimnya dengan menghubungkan oleh berbagai sektor terus terkotak‑kotak. Hal ini
sumberdaya keuangan internasional dengan strategi terutama berlangsung dalam pengelolaan hutan
investasi nasional. Untuk itu, Indonesia membentuk karena banyaknya pemangku kepentingan untuk
Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF) mengeksploitasinya. Segmentasi ini disebabkan oleh
di bawah Bappenas pada tahun 2009. Akan tetapi, ketidakselarasan antara peraturan yang mengatur ruang
ICCTF belum menjadi koordinator pusat untuk yang sama. Seperti dijelaskan di atas, undang‑undang
masalah keuangan perubahan iklim. Bukti atas hal dan peraturan yang bertentangan dan/atau tumpang
ini terlihat pada LoI antara Indonesia dan Norwegia, tindih pada sektor kehutanan, perkebunan, dan
yang mengharuskan pembentukan lembaga baru pertambangan telah menyebabkan perubahan besar
untuk mengelola keuangan pada sektor kehutanan; dalam fungsi kawasan hutan yang seharusnya tidak
pembentukan lembaga tersebut merupakan kewajiban diberi izin.
Satuan Tugas REDD+.154 Tantangan besar lain
tentunya akan muncul selama pelaksanaan REDD+, Kelemahan dalam kerangka peraturan diperburuk oleh
yang berkenaan dengan pembagian manfaat cara masing‑masing lembaga, badan atau pejabat dalam
REDD+, di mana pembagian dan pembayaran atas menyusun rencananya sendiri sesuai dengan fungsi
kompensasi terkait penyerapan dan penyimpanan sektoral dan kewajibannya sendiri, dengan sedikit atau
karbon merupakan hal terpenting. Pengelolaan tanpa pertimbangan terhadap kepentingan sektor,
penerimaan Indonesia yang berasal dari sumberdaya masyarakat, atau lingkungan lain. Perbedaan tujuan,
alam, khususnya dari hutan (misalnya pembagian dan sasaran, dan perencanaan menyebabkan rencana yang
penggunaan dana DR), masih belum memuaskan saling bersaing dan/atau tumpang‑tindih dan, akhirnya,
meskipun telah menunjukkan adanya perbaikan (lihat bertentangan dalam hal penggunaan dan kewenangan.
Bab 2). Selanjutnya, karena tidak adanya mekanisme
yang mengaitkan pembagian dan peruntukan Sampai sekarang, permasalahan koordinasi antarsektor
penerimaan dari sumberdaya alam dengan kinerja, dan badan telah ditangani melalui pendekatan
maka tidak ada insentif untuk berkinerja secara baik. lintas‑sektoral yang bersifat sementara (misalnya
pembentukan Tim Terpadu semacam ini untuk
Partisipasi dan koordinasi vertikal mengawasi perubahan kategori kawasan tertentu dari
Kewenangan negara untuk menetapkan tujuan, hutan menjadi bukan hutan). Akan tetapi, lembaga
penggunaan, pemeliharaan, dan bahkan status Tim Terpadu semacam ini memiliki kelemahan yang
hukum sumberdaya alam, semuanya bersumber pada melekat karena sifatnya bukan struktural dan para
UUD 1945, yang menempatkannya pada kedudukan anggotanya tidak fokus sepenuhnya pada penanganan
penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. persoalan karena bukan merupakan tanggung jawab
pokok mereka.
Dalam tingkat pemerintahan yang lebih rendah,
terdapat koordinasi vertikal yang buruk antara Mengingat REDD+ akan bergantung pada keberhasilan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang ditandai koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan
dengan beberapa masalah (seperti dibahas sebelumnya), Bappenas serta kementerian lain terkait, koordinasi
termasuk pembagian kewenangan yang tidak jelas, horizontal yang tidak efektif akan merongrong
yang akhirnya menyulut sengketa terpendam dan keefektifan dan efisiensi REDD+.
perselisihan baru. Dalam keadaan seperti ini, sulit
untuk menjamin keefektifan REDD+. 5.2.2  Peluang dan potensi
Kepemimpinan yang tegas
Sehubungan dengan partisipasi masyarakat, beberapa Niat untuk mengintegrasikan skema REDD+ ke
undang‑undang yang benar‑benar mempertimbangkan dalam kebijakan pemerintah terlihat dalam sejumlah
partisipasi masyarakat bersifat umum dan cenderung langkah yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden
tidak dilaksanakan sepenuhnya. Reformasi dalam hal Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya pernyataan
Presiden tentang komitmen untuk mengurangi
emisi secara sukarela pada tahun 2020 sebesar 26%
154  Pemaparan oleh Satuan Tugas REDD+ pada Lokakarya secara mandiri atau sebesar 41% dengan bantuan
Kelembagaan yang diselenggarakan oleh Satuan Tugas REDD+,
Hotel Le Meredien, Jakarta, 30 Desember 2010.
internasional. Komitmen ini dinyatakan kembali
98   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

dalam beberapa forum. Pernyataan maksud ini telah Undang‑undang Pengelolaan dan Perlindungan
menjadi dasar bagi berbagai upaya tingkat nasional Lingkungan Hidup, Undang‑Undang Penataan Ruang,
yang dirancang untuk mencapai sasaran tersebut. dan Undang‑Undang Keterbukaan Informasi Publik;
Tindakan selanjutnya yang dilakukan secara langsung yang kesemuanya bersama‑sama membentuk landasan
untuk mempercepat pengintegrasian REDD+ ke dalam hukum yang membantu menunjang pengelolaan hutan
kerangka kerja kebijakan ialah penandatanganan LoI berkelanjutan.
dengan Norwegia pada tanggal 26 Mei 2010. LoI
ini menempatkan Ketua UKP4 sebagai penanggung Rancangan Strategi Nasional REDD+ dan
jawab atas pelaksanaannya, yang dapat dilihat sebagai pengelolaan hutan secara menyeluruh
tindakan nyata dalam mewujudkan REDD+, karena Rancangan Strategi Nasional REDD+ mengidentifikasi
pengaruh kedudukan UKP4 dalam Kabinet Indonesia permasalahan dasar dalam pengelolaan hutan dan
Bersatu II, yang menilai kinerja seluruh kementerian. sumberdaya hutan, misalnya tata ruang, tata batas
hutan, penguasaan (hak milik) hutan, penegakan
Langkah penting lainnya ialah pembentukan Satuan hukum, dan pembagian kewenangan antara pemerintah
Tugas REDD+ (lihat Bab 4). Karena diketuai oleh pusat dan daerah. Rancangan Strategi ini memperjelas
Ketua UKP4 dan mencakup para wakil menteri serta bahwa penyelesaian atas masalah ini merupakan
pimpinan lembaga terkait sebagai anggotanya, Satuan prasyarat bagi pelaksanaan REDD+ dan reformasi
Tugas REDD+ merupakan lembaga kuat yang memiliki pengelolaan hutan.
kemampuan untuk menetapkan keputusan strategis.
Apabila permasalahan pokok ini teratasi, REDD+
Pelibatan masyarakat secara aktif dan kebebasan akan lebih mungkin mengurangi laju deforestasi
pers yang berkembang dan degradasi hutan secara efektif dan efisien, dan
Secara umum, tingkat pendidikan di Indonesia masih dengan demikian mengurangi emisi gas rumah kaca.
rendah, dengan hanya 12,72 juta orang yang mencapai Penyelesaian permasalahan pokok memerlukan biaya
pendidikan menengah atau tinggi (BPS 2010b). dan upaya besar, termasuk tindakan politik, tetapi
Namun demikian, CSO secara aktif ikut serta dalam selama permasalahan ini ada, akan mustahil untuk
proses penetapan keputusan REDD+ di tingkat mengurangi deforestasi dan emisi yang menyertainya.
nasional dan daerah.
Meskipun tidak ada kesepakatan internasional tentang
Hal yang mendorong tindakan proaktif ini ialah kerangka kerja REDD+, seperti yang tercermin pada
kecenderungan menuju kebebasan pers yang muncul hasil COP 17 di Durban (Nzunda dan Mahuve 2011),
setelah Orde Baru (von Luebke 2009); kebebasan ini Pemerintah Indonesia terus melanjutkan upayanya
terutama disebabkan oleh Undang‑Undang Pers tahun dalam mengarusutamakan REDD+. Sebagai contoh,
1999, yang menghapus pengawasan pemerintah atas pada pertengahan tahun 2011, masa tugas Satuan Tugas
media melalui sistem penerbitan izin media. Meskipun REDD+ diperpanjang, revisi pertama Peta Indikatif
beberapa masalah masih ada, seperti wartawan yang Penundaan diterbitkan dan pada awal tahun 2012,
diancam cedera fisik (Sudibyo 2010), secara umum, Keputusan Presiden No. 3/2012 tentang Tata ruang
pers sekarang memiliki kebebasan dan pengaruh yang Kalimantan diterbitkan.155
pada hakikatnya lebih besar dalam proses penetapan
keputusan dan kebijakan. Oleh karena itu, media Sejak Agustus 2011, proses penyusunan rancangan
memiliki kemampuan dan kekuatan yang lebih besar Strategi Nasional REDD+ telah selesai. Akan tetapi,
untuk mempengaruhi perlindungan dan konservasi sampai awal Juni 2012, strategi tahap akhir masih
hutan di Indonesia melalui program REDD+. belum dituntaskan dan diterbitkan secara resmi.

Makin besar kepedulian masyarakat atas pengelolaan Namun demikian, tindakan yang dilakukan sampai
hutan yang salah, makin besar pula peluang untuk sekarang menunjukkan bahwa pemerintah terus melihat
melibatkan mereka dalam upaya memperbaiki skema REDD+ sebagai pilihan yang layak untuk
pengelolaan hutan dan sumberdaya alam. mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
di Indonesia.
Peraturan yang ada yang menyertakan
prinsip‑prinsip pembangunan berkelanjutan
155  Keputusan tersebut mencakup Kalimantan, yang 45%‑nya
Seperti dijelaskan sebelumnya, saat ini terdapat berupa hutan (‘paru‑paru dunia’); sebagian di antaranya akan
banyak undang‑undang yang mengatur persoalan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, pertambangan, dan
terkait pembangunan berkelanjutan, termasuk produksi makanan (lihat www.redd‑indonesia.org).
6. Kesimpulan

Laporan ini meninjau pemicu deforestasi dan degradasi berlanjutnya ketergantungan negara pada ekstraksi
hutan, menguraikan lingkungan kelembagaan sumberdaya alam, pasar yang menguntungkan dan
dan ekonomi politik REDD+ di Indonesia, dan permintaan yang tinggi untuk produk dari hutan, baik
mendokumentasikan proses penyusunan kebijakan di pasar domestik maupun luar negeri, serta sistem tata
nasional REDD+ selama periode 2007–2011. kelola yang lemah di pusat dan daerah. Berkurangnya
Seperti ditunjukkan, beberapa tantangan kontekstual tutupan hutan juga berkaitan dengan pertumbuhan
perlu ditangani untuk menciptakan keadaan yang penduduk secara alami dan perubahan kependudukan
memungkinkan bagi REDD+. Persoalan yang sama seperti yang disebabkan oleh program transmigrasi.
juga harus diatasi untuk memperbaiki tata kelola hutan
Indonesia. Deforestasi terkait secara rumit dengan struktur
perekonomian Indonesia, yang masih bergantung pada
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen pada penerimaan dari sumberdaya alam. Ketergantungan
tingkat nasional dan internasional untuk mengatasi ini telah membentuk lanskap ekonomi politik negara
tantangan perubahan iklim serta untuk menggunakan dan kelembagaan negara ini dan mempengaruhi sektor
imbalan karbon hutan untuk menata reformasi kehutanan dan kemudian, REDD+. Kerumitan ini
sektor kehutanan. Indonesia telah berkomitmen menyangkut sistem, luas, dan keterbatasan kapasitas,
untuk mengurangi emisinya dari penggunaan lahan, lemahnya tata kelola pada lembaga‑lembaga yang
perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan terkait dengan penggunaan lahan, proses tata ruang
(LULUCF) sebesar sedikitnya 26% pada tahun 2020. yang belum selesai, dan seringnya terjadi sengketa
Salah satu cara yang direncanakan oleh Indonesia penguasaan lahan dan sumberdaya. Hal ini diperburuk
untuk memenuhi sasaran ini ialah dengan mengurangi oleh proses desentralisasi dan devolusi kepada
emisinya dari deforestasi dan degradasi hutan, melalui pemerintah daerah, termasuk dalam hal menghasilkan
mekanisme REDD+. Dengan melaksanakan REDD+, pendapatan pemerintah daerah tanpa pada saat yang
Indonesia akan memenuhi syarat untuk menerima sama meningkatkan kemampuan pemerintah daerah
pembayaran keuangan berdasarkan kredit karbon untuk melaksanakan tanggung jawab baru mereka.
hutan. REDD+ menawarkan kemungkinan dalam
hal bentuk pembiayaan yang inovatif dan stabil bagi Namun demikian, harus diakui bahwa Pemerintah
pemerintah daerah dan pengelolaan sumberdaya Indonesia telah melakukan kemajuan besar dalam
berbasis masyarakat. REDD+ juga dapat membantu mengatasi tantangan tata kelola yang sedemikian
dalam distribusi manfaat untuk pengembangan luas. Banyak pimpinan setempat dan daerah, anggota
masyarakat yang sejalan dengan kebijakan pemerintah DPR, dan pejabat tinggi di tingkat pusat yang terbukti
pusat dan daerah. bersalah menerima suap atau terlibat dalam tindak
korupsi lainnya telah diseret ke pengadilan dan
Di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, dipenjara. Lembaga independen yang memastikan
tutupan hutan telah menunjukkan kenaikan sebesar bahwa tata kelola yang lebih baik di pemerintahan
hingga 4% dalam dasawarsa terakhir. Walaupun ada dan swasta, seperti KPK dan Pusat Pelaporan dan
kecenderungan sedikit menurun, laju deforestasi Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), telah dibentuk
di kebanyakan wilayah di Indonesia masih sangat dan diberi kewenangan besar. Undang‑Undang
mengkhawatirkan. Bukti terkini telah memastikan Anti Pencucian Uang diundangkan tahun 2003 dan
laju tahunan deforestasi sebesar 2,7% di Sumatera dan direvisi tahun 2010. Media dan masyarakat madani
1,3% di Kalimantan selama kurun waktu 2000–2010. sekarang menikmati kebebasan yang jauh lebih besar
Kegiatan yang langsung menambah deforestasi dan dibandingkan dengan pada masa lalu dan berkontribusi
degradasi hutan terus berlangsung. Penyebabnya secara efektif dalam memastikan keterbukaan dan
termasuk pengalihan hutan untuk penggunaan lain partisipasi masyarakat dalam penetapan keputusan.
seperti pertanian dan pertambangan, pembalakan
liar, serta kebakaran hutan dan lahan, yang terakhir Persoalan utama yang telah diidentifikasi dibahas
disebut ini sering berkaitan dengan pengeringan hutan di sini.
rawa gambut. Semuanya ini didorong oleh antara lain
100   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Tantangan besar untuk mengatasi hak kalangan swasta dan pejabat pemerintah daerah atau
kepemilikan dan memperjelas batas hutan nasional. Selain itu, pemusatan insentif REDD+
Dari keseluruhan luas wilayah Indonesia, lebih dari di daerah tertentu dapat memberi pengaruh yang
70% (atau sekitar 130 juta ha) berada di bawah merugikan, seperti bertambah masuknya pendatang
kewenangan Kementerian Kehutanan. Undang‑Undang dan sengketa pertanahan. Beberapa tindakan
Kehutanan jelas menetapkan lahan ini sebagai kawasan perlu dilakukan untuk mengurangi risiko selama
hutan; undang‑undang yang sama juga menunjukkan perancangan dan pelaksanaan proyek REDD+. Hal
bahwa kawasan tersebut harus dikukuhkan dan ini meliputi: mencari kejelasan mengenai kepemilikan
ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sampai sekarang, dan hak hukum semua pihak untuk mendapat
hanya sekitar 10% yang telah dikukuhkan, yang manfaat dari karbon untuk menjamin keamanan
menyebabkan beragam penafsiran atas status hukum kontrak dan ketepatan prakiraan penerimaan,
kawasan ini. Demikian pula, meskipun kawasan meningkatkan kemudahan memperoleh informasi
tersebut merupakan tanah negara menurut bunyi yang disederhanakan tentang REDD+ dalam bahasa
undang‑undang, banyak di antaranya dihuni oleh setempat, menetapkan cara penyaluran penerimaan
masyarakat adat dan setempat yang menuntut kepada masyarakat yang bergantung pada hutan dalam
hak adat, dan sering diperuntukkan bagi kegiatan hal jenis manfaat, penerima manfaat, dan kesetaraan
pembangunan besar, termasuk perkebunan kelapa dalam pembagian manfaatnya, mengembangkan
sawit. Penguasaan hutan yang tidak pasti dan tidak jelas mekanisme penyaluran ketidakpuasan dan penyelesaian
merupakan kendala bagi perbaikan pengelolaan hutan sengketa yang efektif, memberikan perhatian khusus
berkelanjutan. pada kepentingan pembangunan yang lebih luas dari
masyarakat dan pemerintah pusat serta pemerintah
REDD+ menciptakan nilai baru bagi hutan— daerah dan bukan pada kepentingan khusus investor
karbon—yang akan menambah lapisan konflik lain karbon, membantu mekanisme ‘pembagian manfaat’
karena adanya tambahan tuntutan baru terhadap awal dengan masyarakat yang bergantung pada hutan
lahan tersebut oleh berbagai kelompok pelaku. Hal selama perancangan dan pengembangan setiap proyek
ini memperkuat perlunya upaya untuk memperbaiki REDD+ (misalnya pengukuran lapangan untuk
perencanaan tata guna lahan, tukar‑guling lahan, dan penilaian dasar cadangan karbon, dan kesempatan kerja
pengoptimalan penggunaan lahan dengan menerapkan lain yang terkait dengan penetapan tata batas hutan,
imbalan dan perencanaan penggunaan lahan yang tepat; kegiatan pengelolaan kebakaran dan pemulihan hutan),
untuk mendorong pengembangan perkebunan dan menerapkan cara yang kreatif untuk pemantauan oleh
hutan tanaman di lahan terdegradasi di luar kawasan masyarakat, dan memastikan pemantauan dan verifikasi
hutan; untuk membantu perencanaan penggunaan oleh pihak ke tiga mengenai arus keuangan REDD+
lahan yang tepat di lahan gambut; dan untuk untuk mengurangi korupsi, yang secara tidak adil dapat
mengamankan hak penguasaan lahan bagi pemilik merugikan masyarakat miskin.
lahan serta pemegang izin setempat.
Tafsiran berbeda atas kerangka hukum oleh
Melindungi hak masyarakat yang bergantung kelompok‑kelompok dengan kepentingan
pada hutan dan kelompok rentan masing‑masing di tingkat nasional dan daerah
Kebijakan dan proyek REDD+ menyodorkan risiko Kerangka hukum yang menjadi landasan untuk
baru bagi masyarakat yang bergantung pada hutan kegiatan kehutanan mencakup baik undang‑undang
dan kelompok rentan seperti masyarakat adat. dan peraturan sektoral tertentu maupun peraturan
Ketidakpastian penguasaan hutan dalam REDD+ perundang‑undangan ’lintas‑sektor’ yang lebih
mungkin melibatkan risiko bahwa hak adat tidak akan umum. Di dua provinsi—Aceh dan Papua—
dihormati karena spekulasi lahan oleh investor, yang Undang‑Undang Otonomi Khusus menambahkan
meniadakan akses terhadap lahan dan sumberdaya dimensi ke tiga ke dalam kerumitan hukum dan
hutan. Risiko lain ialah bahwa masyarakat dapat peraturannya. Undang‑Undang sektoral termasuk yang
terjebak ke dalam perjanjian hukum yang tidak mengatur kehutanan, pertanian, dan pertambangan.
menguntungkan, tanpa menyadari bahwa mereka Undang‑Undang yang mengatur hal‑hal lintas‑sektor
dapat memperoleh pendapatan yang rendah, kewajiban mencakup desentralisasi, keuangan, lingkungan, dan
hukum, denda, dan persyaratan teknis yang tinggi. tata ruang. Tujuan terfokus undang‑undang sektoral
Ada juga risiko standar ganda yang diterapkan, seperti dan sifat umum dari peraturan perundang‑undangan
hak masyarakat dibatasi untuk kebutuhan sehari‑hari lintas sektoral telah menimbulkan sejumlah
sedangkan hak untuk pengambilan hasil hutan secara inkonsistensi dan bahkan saling bertentangan. Hal ini
komersial terus diberikan kepada orang luar dari menciptakan ketidakpastian terkait undang‑undang
Konteks REDD+ di Indonesia   101

yang mana untuk dipatuhi, yang menyebabkan Mei 1999. Undang-undang Otonomi Daerah yang
kebingungan, ketidakefisienan, dan tindakan korupsi mulai berlaku pada bulan Januari 2001, mencakup
karena banyaknya landasan hukum yang memberi ketentuan untuk mengalihkan kewenangan pengelolaan
peluang bagi perilaku ‘mengambil keuntungan’. sumberdaya alam kepada daerah, tetapi penuh dengan
ketidakpastian dan pertentangan. Selain ketidakpastian
Keterlambatan dalam menerbitkan peraturan yang berasal dari landasan peraturan yang berubah‑ubah
pelaksanaan dan terarah secara sempit, pelaksanaan proses
Di Indonesia, undang‑undang dibuat untuk desentralisasi semakin memperumit masalah. Otonomi
memberikan pedoman umum atau rujukan tentang daerah ditafsirkan seolah‑olah tidak ada hubungan
suatu bidang. Untuk melaksanakan undang‑undang, hirarkis antara dan lintas jenjang pemerintahan.
arahan lebih rinci diperlukan melalui peraturan Pemerintah daerah sering menerbitkan peraturan
pelaksanaan. Saat ini, penundaan yang lama sering daerah yang bertentangan dengan kebijakan dan
terjadi dalam menyusun dan menerbitkan peraturan undang‑undang pada jenjang yang lebih tinggi. Ketidak
pelaksanaannya. Hal ini menciptakan ‘kekosongan’ konsistenan undang‑undang yang satu dengan lainnya
dalam undang‑undang yang baru atau, dalam dan terkadang dalam undang‑undang yang sama,
hal perubahan undang‑undang, menyebabkan meningkatnya kewenangan daerah dalam pengambilan
undang‑undang yang digantikan masih terus keputusan, dan upaya ‘mengejar’ pendapatan asli
dipakai. Sebagai contoh, peraturan pelaksanaan bagi daerah (PAD) telah mendorong pemberian izin yang
Undang‑undang Pengelolaan dan Perlindungan serampangan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam
Lingkungan Hidup masih belum ada. Kekosongan ini dan pengalihan fungsi hutan yang tidak semestinya.
menciptakan ketidakpastian mengenai pedoman yang Sistem pemilihan kepala daerah juga berkaitan dengan
lebih khusus yang harus dipatuhi dan dirujuk oleh tindakan korupsi dan pengelolaan sumberdaya alam
proyek atau program REDD+ dalam menjalankan yang tidak berkelanjutan. Pemerintah daerah yang
kegiatannya. Selain itu, kementerian‑kementrian lemah sering dicirikan oleh proses penetapan keputusan
menggugat keabsahan beberapa peraturan, yang yang tidak terbuka, kejadian korupsi yang melibatkan
menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan serta tokoh setempat, penegakan hukum yang lemah, dan
menjadikan peraturan tersebut tidak dapat dijalankan. mekanisme pertanggungjawaban yang tidak efektif.

Fokus sektoral Tantangan dalam pelaksanaan penundaan


Sebagian karena kinerja birokrasi yang dinilai pemberian izin pengusahaan hutan baru
berdasarkan pencapaian sasaran tiap sektor, program Instruksi Presiden No. 10/2011, yang mengumumkan
kementerian terkotak‑kotak dan secara sempit berfokus penundaan pemberian izin pengusahaan hutan baru,
pada tujuan sektornya. Demikian pula, tidak ada diterbitkan pada tanggal 20 Mei 2011. Peraturan ini
keterkaitan antarsektor dalam proses penganggaran. bertujuan untuk menangguhkan penerbitan izin baru
Hal ini terlihat dalam undang‑undang dan peraturan untuk pembukaan hutan dan lahan gambut selama
sektor yang sering tidak mengacu pada undang‑undang dua tahun sehingga memungkinkan koordinasi yang
dan peraturan di luar sektornya walaupun terkait. lebih baik, pengumpulan data dan mungkin bahkan,
Akibatnya ialah kurangnya koordinasi antarkementerian peraturan baru yang lebih baik. Selama lima bulan
terkait yang merupakan masalah yang serius dan sebelum instruksi presiden diterbitkan, beberapa
berkepanjangan. Ini merupakan tantangan penting pelaku yang berpengaruh berusaha untuk mendapatkan
karena sebagian sektor‑sektor ini berperan penting izin baru. Selanjutnya, 11 hari setelah penundaan
dalam kegiatan yang terkait dengan deforestasi. Akan diberlakukan, Kementerian Kehutanan menerbitkan
tetapi sampai sekarang, keberhasilan upaya untuk Keputusan Menteri 292/Menhut II/2011, yang
membuat lembaga koordinasi masih terbatas: struktur mengubah status hampir 1,2 juta ha kawasan hutan di
ini ada, tetapi masih tidak efektif atau menghadapi Kalimantan Tengah menjadi bukan kawasan hutan.
‘penentangan’ dari sejumlah kementerian sektor yang
bersangkutan. Walaupun penundaan atas hak pengusahaan baru
selama dua tahun di Indonesia merupakan tindakan
Proses desentralisasi dan pemerintahan daerah penting dalam memenuhi komitmen sukarelanya untuk
Pemerintah pusat telah berperan menguasai politik dan mengurangi emisi, banyak masalah mengenai kawasan
pemerintahan sepanjang sebagian besar sejarah negara dan status lahan yang terkena oleh penundaan tersebut
ini. Reformasi besar terjadi setelah krisis ekonomi dan yang belum terselesaikan (antara lain lihat Murdiyarso
politik Indonesia tahun 1997–1998 dan pengundangan dkk. 2011). Selain itu, pengecualian penundaan untuk
dua undang‑undang otonomi daerah pada bulan kegiatan yang berkaitan dengan ketahanan pangan
102   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

dan energi (Kementerian Pertanian dan Kementerian kegiatan harus melalui verifikasi secara independen.
Energi dan Sumber Daya Mineral tidak tercakup dalam Memanfaatkan pembelajaran dari reformasi tata kelola
instruksi presiden tersebut) telah membuka celah baru hutan lain seperti FLEGT akan memberi kesempatan
yang dapat merongrong penundaan izin baru tersebut. untuk menghasilkan seperangkat data yang teliti,
Di sisi lain, Peta Indikatif Moratorium akan terus lengkap, dan terbaru tentang, misalnya, penggunaan
diperbarui oleh Kementerian Kehutanan, dan akan lahan dan perubahan tutupan; untuk memantapkan
menjadi alat bantu yang penting untuk pengawasan cara berbagi data antarlembaga; untuk memastikan
oleh masyarakat untuk semakin mengamankan dan pemisahan tugas secara baik untuk melakukan
bahkan mungkin menambah luasan yang dicakup oleh akreditasi, penetapan patokan, MRV, dan pendaftaran;
penundaan tersebut. Sebagai bagian dari proses ini, untuk menggali potensi pemanfaatan pemantauan
KPK sedang menelaah sejumlah pemegang izin yang oleh masyarakat madani dan cara pengawasan oleh
ada di daerah Kalimantan Tengah terkait kepatuhan masyarakat untuk menambah tingkat kepercayaan
terhadap peraturan perundang‑undangan yang atas proses REDD+: untuk mengembangkan—
berlaku sekarang. atau mematuhi tata cara yang ada tentang—sistem
pengesahan dan pembuktian REDD+ yang
Peluang untuk membangun berdasarkan independen; untuk melakukan penilaian kemampuan
pembelajaran dari reformasi tata kelola hutan lain secara ketat sebelum kegiatan dimulai untuk
seperti FLEGT membangun lembaga yang ada; untuk memastikan
Prakarsa untuk mengurangi pembalakan liar harus masuknya swasta; dan untuk lebih menentukan peran
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam dan tugas pemerintah daerah dan pusat, terutama
setiap strategi pengurangan emisi. REDD+ berpotensi dalam hal memperjelas hak dan tanggung jawab yang
untuk membantu mengekang kegiatan pembalakan terkait dengan REDD+. Sebuah unsur yang penting
liar dengan menciptakan insentif keuangan untuk ialah untuk memastikan bahwa proses yang melibatkan
mendorong kepatuhan terhadap hukum, perubahan berbagai pemangku kepentingan memainkan peran
perilaku, dan pembaruan tata kelola yang lebih luas. utama dalam perancangan dan pelaksanaan REDD+,
Namun demikian, mobilisasi keuangan REDD+, baik dan disediakan waktu yang cukup untuk menjalankan
melalui mekanisme dana maupun mekanisme pasar, proses tersebut; mustahil untuk melakukan proses FPIC
akan memerlukan perhatian yang lebih besar terkait REDD+ melalui ‘jalur cepat’ (antara lain Dermawan
hal‑hal seperti kejujuran, keterlacakan, dan perhatian dkk. 2011, Luttrell dkk. 2011).
terhadap pengamanan sosial dan tata kelola, dan semua
7. Referensi

Publikasi dan laporan (Revised 23 September 2010). Bappenas, Jakarta,


Angelsen, A. (ed.) 2009 Realising REDD+: national Indonesia.
strategy and policy options. CIFOR, Bogor, Badan Pusat Statistik (BPS) 2010a. produksi
Indonesia. Perkebunan Besar menurut Jenis Tanaman,
Anti Judicial Mafia Task Force 2010 Mafia hukum: Indonesia (Ton), 1995–2010. http://www.bps.
modus operandi, akar masalah dan strategi go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_
penanggulangannya. Satuan Tugas Pemberantasan subyek=54&notab=2 [25 Januari 2012]
Mafia Hukum, Jakarta, Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) 2010b. Statistik Indonesia:
Applegate, G., Chokkalingam, U. dan Suyanto. 2001 statistical Yearbook of Indonesia. Jakarta,
The underlying causes and impacts of fires in Indonesia. http://www.bps.go.id/aboutus.
South‑east Asia. CIFOR and ICRAF, Bogor, php?pubs=45%20%20&pub=1 [30 April 2012]
Indonesia. www.cifor.cgiar.org/fire/pdf/pdf45.pdf Bank Indonesia (BI) 2012. Statistik Ekonomi dan
[27 April 2012]. Keuangan Indonesia (SEKI). http://www.bi.go.id/
Atmadja, S., Lin, L., Madeira, E.M., Resosudarmo, web/id/Statistik/Statistik+Ekonomi+dan+Keuan
I.A.P., Salim, A., Septivita, R. dan Sills, E. 2010 gan+Indonesia/Versi+HTML/Sektor+Eksternal/
REDD+ project sites in Indonesia. CIFOR, Bogor, [30 April 2012]
Indonesia. http://www.redd‑indonesia.org/index. Barr, C. 2000 Profits on paper: the political‑economy
php?option=com_content&view=article&id=205 of fiber, finance, and debt in Indonesia’s pulp and
&Itemid=57 [27 April 2012]. paper industries. http://siteresources.worldbank.
Awiati, W., Yusuf, A.W. dan Sugianto, I. 2006 org/INTINDONESIA/FLEG/20171586/Chriss_
Membuka ruang menjembatani kesenjangan: Bar.pdf [27 April 2012].
jilid 1. Indonesian Center for Environmental Law, Barr, C., Resosudarmo, I.A.P., Dermawan, A.,
Jakarta, Indonesia. McCarthy, J.F., Moeliono, M. dan Setiono, B.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (eds.) 2006 Decentralization of forest
(Bappenas) 2004 Wilayah kritis keanekaragaman administration in Indonesia. CIFOR, Bogor,
hayati di Indonesia: instrumen penilaian dan Indonesia.
pemindaian indikatif/cepat bagi pengambil Barr, C., Dermawan, A., Purnomo, H. dan Komarudin,
kebijakan. Sebuah studi kasus ekosistem pesisir H. 2010 Financial governance and Indonesia’s
laut. Bappenas, Jakarta, Indonesia. Reforestation Fund during the Soeharto and
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional post‑Soeharto periods, 1989–2009: a political
(Bappenas) 2007 Indonesian Biodiversity Strategy economic analysis of lessons for REDD+.
and Action Plan (IBSAP). Bappenas, Jakarta, Occasional Paper 52. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Indonesia. http://pod‑208.positive‑internet.com/uploads/
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional OP52.pdf [29 Juni 2012].
(Bappenas) 2009a Reducing carbon emissions Bloch, A.C. 2001 Kelompok minoritas dan masyarakat
from Indonesia’s peatlands: interim report of adat. Dalam: Eide, A., Krause, C. dan Rosas, A.
a multidisciplinary study. Bappenas, Jakarta, (eds.) Hak ekonomi, sosial, dan budaya. 2nd ed.
Indonesia. Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Humanitarian Law with Republic of Indonesia
(Bappenas) 2009b Indonesia Climate Change Law and Human Rights Department, Jakarta,
Sectoral Roadmap (ICCSR). Bappenas, Jakarta, Indonesia.
Indonesia. Boer, R. 2001 Economic assessment of mitigation
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional options for enhancing and maintaining carbon sink
(Bappenas) 2010a. Indonesia Climate Change capacity in Indonesia. Mitigation and Adaptation
Sectoral Roadmap (ICCSR). Synthesis Report. Strategies for Global Change 6: 257– 290.
Bappenas, Jakarta, Indonesia. www.bappenas.go.id/ Böhm, S. dan Dabhi, S. (eds.) 2010 Upsetting the
print/2839/policy‑paper/ [27 April 2012]. offset: the political economy of carbon markets.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Meifly Books. http://mayflybooks.org/wp‑content/
(Bappenas) 2010b National REDD+ strategy
104   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

uploads/2010/07/9781906948078UpsettingtheOff Data Tim Terpadu/Integrated Team Data (2010)


set.pdf [27 April 2012]. Dalam: Kartodihardjo, H. 2010. Conflict
Brockhaus, M., Di Gregorio, M. dan resolution efforts of spatial planning related to state
Wertz‑Kanounnikoff, S. 2012 Guide for country forest areas [presentation] (Upaya Penyelesaian
profiles: Global Comparative Study on REDD Konflik Tata Ruang Terkait Dengan Kawasan
(GCS‑REDD) Component 1 on National REDD+ Hutan Negara (Presentasi)).
Policies and Processes. Center for International Dennis, R.A., Meier, J., Applegate, G., Chokkalingam,
Forestry Research, Bogor, Indonesia. http://www. U., Colfer, C.J.P., Kurniawan, I., Lachowski, H.,
cifor.org/online‑library/browse/view‑publication/ Maus, P,. Permana, R.P., Ruchiat, Y., Stolle, F.,
publication/3859.html Suyanto dan Tomich, T.P. 2005 Fire, people and
Brockhaus, M., Obidzinski, K., Dermawan, A., pixels: linking social science and remote sensing to
Laumonier, Y. dan Luttrell, C. 2012 An overview understand underlying causes and impacts of fires
of forest and land allocation policies in Indonesia: in Indonesia. Human Ecology 33(4): 405–504.
is the current framework sufficient to meet the Dermawan, A., Obidzinski, K. dan Amira, S. 2010
needs of REDD+? Forest Policy and Economics Monitoring illegal logging at the national level:
18: 30–37. Lessons from Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Burgess, R., Hansen, M., Olken, B., Potapov, P. Dermawan, A., Petkova, E., Sinaga, A., Mumu Muhajir,
dan Sieber, S. 2011 The political economy of M. dan Indriatmoko, Y. 2011 Preventing the risk
deforestation in the tropics. http://econ‑www.mit. of corruption in REDD+ in Indonesia. United
edu/files/6632 [31 Mei 2011]. Nations Office on Drugs and Crime and Center
Capistrano, D. 2008 Decentralization and forest for International Forestry Research, Jakarta and
governance in Asia and the Pacific: trends, lessons Bogor, Indonesia.
and continuing challenges. Dalam: Colfer, C.J.P., Dewan Kehutanan Nasional (DKN) 2009. Prioritas
Dahal, G.R. dan Capistrano, D. (eds.) Lessons Pembangunan kehutanan; menyelamatkan
from forest decentralization; money, justice and kekayaan multi‑fungsi hutan dan mewujudkan
the quest for good governance in Asia‑Pacific, keadilan alokasi pemanfaatan hutan. Jakarta,
211–235. CIFOR, Bogor, Indonesia. Indonesia.
Casson, A.C. dan Setyarso, A. 2006 A background to Directorate General of Spatial Planning 2012 RTRW
illegal logging and law enforcement in Indonesia status in Indonesia. www.penataanruang.net/
and a systemic program to tackle illegal logging. [7 Juni 2012].
WWF Indonesia/World Bank/DFID‑MFP Dunlop, J. 2009 REDD, tenure and local communities.
(Multistakeholder Forestry Programme), Jakarta, A study from Aceh, Indonesia. International
Indonesia. Development Law Organization. Banda Aceh,
Chalmers, I. dan Hadiz, V. (eds.) 1997 The politics of Indonesia.
economic development in Indonesia: contending Ecoperiodicals.com 2010. Clean up of CDM
perspectives. Routledge, New York. verification process is failing: report. 2 Juli.
Civil Society Forum for Climate Justice (CSF) 2010 http://ecoperiodicals.com/2010/07/02/clean-
REDD, Bisakah Menjawab Deforestasi dan up-of-cdm-verification-process-is-failing-report/
Menghadirkan Keadilan Iklim? Pembelajaran dari [4 Agustus 2010].
Indonesia. CSF, Jakarta, Indonesia. Effendi, E. dan Dewi, V.M. 2004 Politik ekonomi kayu
Contreras‑Hermosilla, A. dan Fay, C. 2005. antar generasi presiden. Greenomics Indonesia,
Strengthening forest management in Indonesia Jakarta, Indonesia.
through land tenure reform: issues and framework Environmental Investigation Agency (EIA)/Telapak
for action. Forest Trends, Washington, DC. 2009 Up for grabs: deforestation and exploitation
Cortez, R., Saines, R., Griscom, B., Martin, M., in Papua’s plantation boom. EIA, London and
De Deo, D., Fishbein, G., Kerkering, J. dan Telapak, Bogor.
Marsh, D. 2010 A nested approach to REDD+. Food and Agriculture Organization of the United
The Nature Conservancy and Baker & McKenzie Nations (FAO) 2006 Global forest resources
LLP, Arlington VA. assessment 2005. Progress towards sustainable
Cotula, L. dan Meiers, J. 2009 Tenure in REDD: forest management. FAO Forestry Paper 147.
start‑point or afterthought? Natural Resource FAO, Rome.
Issues No. 15. International Institute for Food and Agriculture Organization of the United
Environment and Development, London. Nations (FAO) 2010 Global forest resources
Data Consult 2003 Pulp and paper industry continues assessment 2010. Main report. FAO Forestry
to grow despite world slump. www. highbeam.com/ Paper 163. FAO, Rome. www.fao.org/docrep/013/
doc/1G1‑98923084.html [27 April 2012]. i1757e/i1757e.pdf [24 Juni 2012].
Konteks REDD+ di Indonesia   105

Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) 2009 FCPF Harwell E. dan Blundel, A. 2009 Dana liar:
annual report 2009. www.forestcarbonpartnership. konsekuensi pembalakan liar dan korupsi di sektor
org/fcp/sites/forestcarbonpartnership.org/files/ kehutanan Indonesia pada hak asasi manusia,
Documents/PDF/Dec2009/FCPF_FY09_Annual_ Human Rights Watch, New York.
Report_12‑08‑09.pdf [27 April 2012]. Hiariej, E. 2005 Materialisme sejarah kejatuhan
Forest Watch Indonesia (FWI) 2008 Catatan singkat: Soeharto: pertumbuhan dan kebangkrutan
potret kondisi hutan Indonesia dan kinerja pelaku kapitalisme Orde Baru. IRE Press, Yogyakarta,
di sektor kehutanan. Lembar informasi. FWI, Indonesia.
Bogor, Indonesia. http://fwi.or.id/publikasi/ Human Rights Watch 2009 Wild money: the human
factsheet/tkhi_ind.jpg [27 April 2012]. rights consequences of illegal logging and
Forest Watch Indonesia (FWI) 2009 Pemerintah corruption in Indonesia’s forestry sector. Human
diminta menghentikan ekspansi industri pulp Rights Watch, New York.
dan menghentikan pasokan kayu dari hutan alam Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
untuk industri pulp. 19 Maret. http:// fwi. or. 2006 Manual investigasi illegal logging dengan
id/?p=102 [27 April 2012]. pendekatan UU hehutanan, UU tindak pidana
Forest Watch Indonesia (FWI) 2011 Potret feadaan pencucian uang, UU pemberantasan tindak pidana
hutan Indonesia, periode tahun 2000–2009. FWI, korupsi. ICEL, Jakarta, Indonesia. www. icel.
Bogor, Indonesia. or.id/manual-investigasi-illegal-logging-dengan-
Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch (FWI/ pendekatan-uu-kehutanan-uu-tindak-pidana-
GFW) 2001 Keadaan hutan Indonesia. FWI, pencucian-uang/ [24 Juni 2012].
Bogor, Indonesia, dan GFW, Washington, DC. Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) 2007
Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch Reducing emissions from deforestation and forest
(FWI/GFW) 2002 The state of the forest: degradation in Indonesia: REDD methodology
Indonesia. FWI, Bogor, Indonesia, dan GFW, and strategies summary for policy makers. www.
Washington, DC. dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/
Forestry Research and Development Agency, Ministry Summary%204%20policy%20makers_final.pdf
of Forestry (FORDA) 2011 Strategi penurunan [24 Juni 2012].
emisi gas rumah kaca; sektor kehutanan. Policy Indrastiti, N. 2011 Daerah yang kurangi
Brief, Volume 5 No. 8. FORDA, Jakarta, karbon dapat insentif. http://nasional.
Indonesia. kontan.co.id/v2/read/1320286715/81709/
Forestry Research and Development Agency, Ministry Daerah‑yang‑kurangi‑karbon‑dapat‑insentif‑
of Forestry (FORDA) 2009 Glossary of climate [27 April 2012].
change acronyms. www.forda‑mof.org/files/ Institute for Global Environmental Studies (IGES)
GLOSSARY.pdf [24 Juni 2012]. 2010 Developing national REDD‑plus
Government of Indonesia and European Union systems: progress challenges and ways forward.
(GOI and EU) 2010. Joint Press Release of 3rd Indonesia and Vietnam country studies. IGES,
FLEGT‑VPA Technical Working Group Meeting Kanagawa, Japan.
Between Indonesia and EU. http://eeas.europa. Institute for Global Environmental Strategies (IGES)
eu/delegations/indonesia/documents/press_ 2011 Lembar fakta CDM: Indonesia. http://
corner/20100302_02_en.pdf [30 Juli 2012] enviroscope.iges.or.jp/modules/envirolib/
Greenpeace 2008 The true cost of coal. Greenpeace upload/984/attach/indonesia_bahasa_final.pdf
International, Amsterdam. [27 Juni 2012]
Greenpeace 2009 ‘Quit coal’ Greenpeace Kartodihardjo, H. dan Jhamtani, H. 2006 Politik
tells Indonesia’s Energy Minister. Press lingkungan dan kekuasaan di Indonesia
release 12 Februari. www.greenpeace. [Environmental politics and power in Indonesia].
org/international/en/press/releases/ Equinox, Jakarta, Indonesia.
quit‑coal‑greenpeace‑tells‑indonesia‑120209/ Kasim, I. dan Suhendar, E. 1996 Tanah sebagai
[27 April 2012]. komoditas: kajian kritis atas kebijakan pertanahan
Gunawan, H. 2005. Desentralisasi: ancaman dan Orde Baru. ELSAM, Jakarta, Indonesia.
harapan bagi masyarakat adat. CIFOR, Bogor, Keel, R.O. 2010 Rational choice and deterrence
Indonesia. theory. www.umsl.edu/~keelr/200/ratchoc.html
Harsono, B. 2003. Hukum agraria Indonesia: sejarah [27 April 2012].
pembentukan undang‑undang pokok agraria, isi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2010a
dan pelaksanaanny. Penerbit Djambatan, Jakarta, Paparan hasil kajian KPK tentang kehutanan.
Indonesia.
106   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

www. kpk. go. id/modules/news/print. Ministry of Agriculture (MoA) 2010b. Basis Data


php?storyid=1726 [27 April 2012]. Statistik Pertanian. Jakarta, Indonesia. http://
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2010b Matriks aplikasi.deptan.go.id/bdsp/hasil_kom.asp and
temuan dan saran perbaikan kajian system http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/hasil_kom.asp
perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan pada [28 Maret 2011]
ditjen planologi kehutanan kementrian kehutanan Ministry of Environment (MoE) 2007a Rencana Aksi
Republik Indonesia. www.kpk.go.id/uploads/ Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim.
PDdownloads/matriks_temuan_dan_saran_ Jakarta, Indonesia.
perbaikan_kajian_kehutanan.pdf [24 Juni 2012]. Ministry of Environment (MoE) 2007b Status
Larsen, J. 2002. Illegal Logging Threatens Ecological lingkungan hidup Indonesia [State of the
and Economic Stability. Earth Policy Institute. environment in Indonesia] 2007. Jakarta,
Lee, C.H., Bae, J.S., Jaung, W. dan Moeliono, M. Indonesia.
2011. Expectations versus capacity: the role of Ministry of Environment (MoE) 2008 Status
Indonesia’s forestmanagement units in REDD+ lingkungan hidup Indonesia [State of the
implementation. Dalam: REDD+ National environment in Indonesia] 2008. Jakarta,
Strategy and implementation in Indonesia: Indonesia.
a feasibility study on West Rinjani Forest Ministry of Environment (MoE) 2009 Summary
Management Unit (PHL Rinjani Barat) REDD+ for policy makers: Indonesia’s Second National
project in Lombok (First‑Year Working Paper on Communication under the United Nations
KFRI–CIFOR Joint Research). Framework Convention on Climate Change
Lohman, D.J., Bickford, D. dan Sodhi, N.S. 2007 The (UNFCCC). Jakarta, Indonesia. http://unfccc.
burning issue. Science 316: 376. int/files/national_reports/non‑annex_i_natcom/
Luttrell, C., Obidzinksi, K., Brockhaus, M., submitted_natcom/application/pdf/indonesia_snc.
Muharrom, E., Petkova, E., Wardell, A. dan pdf [27 April 2012].
Halperin, J. 2011 Lessons for REDD+ from the Ministry of Finance (MoFa) 2003. Data Pokok dan
measures to control illegal logging in Indonesia. nota keuangan rapan 2003. Jakarta, Indonesia
Summary report. CIFOR and United Nations Ministry of Finance (MoFa) 2009a Ministry of Finance
Office on Drugs and Crime (UNODC), Bogor green paper: economic and fiscal policy strategies
and Jakarta. for climate change mitigation in Indonesia.
Masripatin, N. 2011 Government of Indonesia Ministry of Finance and Australia–Indonesia
follow‑up to the Cancun decisions on REDD+ Partnership, Jakarta, Indonesia.
safeguards. Director of Centre for Standardization Ministry of Finance (MoFa) 2009b Nota Keuangan
and Environment. www. forestsclimatechange.org/ and RAPBN 2010: www.anggaran.depkeu.go.id/
fileadmin/downloads/norad2011/Nur%20M_ web‑print‑list.asp?ContentId=667 [27 April 2012].
CIFOR‑NORAD%2020%20Oct%202011.pdf Ministry of Forestry (MoF) and Central Statistics
[27 April 2012]. Agency (BPS) 2007 Identifikasi desa dalam
McCarthy, J.F. 2004 Changing to gray: decentralization kawasan hutan 2007. MoF, Jakarta, Indonesia.
and the emergence of volatile socio‑legal Ministry of Forestry (MoF) and Central Statistics
configurations in Central Kalimantan, Indonesia. Agency (BPS) 2009 Identifikasi desa di dalam
World Development 32: 1119–1223. dan si sekitar kawasan hutan 2009. MoF, Jakarta,
Miettinen, J., Shi, C. dan Liew, S.C. 2011 Indonesia.
Deforestation rates in insular Southeast Asia Ministry of Forestry (MoF) 2000 Statistik Kehutnana
between 2000 and 2010. Global Change Indonesia 1999. Kementrian Kehutanan Republik
Biology 17: 2261–2270. doi:10.1111/ Indonesia, Jakarta, Indonesia.
j.1365‑2486.2011.02398.x. Ministry of Forestry (MoF) 2001 Statistik kehutanan
Mimuroto, Y. dan Sugiuchi, S. 2002. Preliminary Indonesia Tahun 2001. Kementrian Kehutanan
feasibility study on railway coal transportation Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia. www.
in Kalimantan, Indonesia. Coal Research Group, dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2001/
International Cooperation Department, Japanese Statistik2001.htm [24 Juni 2012].
Institute of Energy and Economics (IEEJ), Tokyo, Ministry of Forestry (MoF) 2002. Data Eksekutif
Japan. http://eneken.ieej.or.jp/data/en/data/old/ Kehutanan 2002. Direktorat Jendral PHKA
pdf/0203_08e.pdf [27 April 2012]. (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam),
Ministry of Agriculture (MoA) 2010a. Ministry of Kementrian Kehutanan Republik Indonesia,
Agriculture database: http://www.deptan.go.id/ Jakarta, Indonesia.
tampil.phppage=inf_basisdata [23 Februari 2010]
Konteks REDD+ di Indonesia   107

Ministry of Forestry (MoF) 2004 Statistik kehutanan TransmigrasiDesember2010_220811.pdf


Indonesia Tahun 2003. Kementrian Kehutanan [24 Juni 2012].
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia. www. Ministry of Forestry (MoF) 2011c Penanganan
dephut.go.id/informasi/statistik/Stat2003/Stat_03. penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural.
htm [24 Juni 2012]. [Press release 27 April.] Kementerian Kehutanan,
Ministry of Forestry (MoF) 2006a Statistik hutan Sekretaris Jenderal, Pusat Hubungan Masyarakat.
Indonesia [Indonesian forestry statistics] 2005. Ministry of Trade 2010 Trade statistics bulletin,
MoF, Jakarta, Indonesia. November 2010. No. 0805.063. Ministry of Trade,
Ministry of Forestry (MoF) 2006b. Pernyataan Jakarta, Indonesia.
Kehutanan Nasional, Jakarta, Indonesia. http:// Moeliono, M., Wollenberg, E. dan Limberg, G. (eds.)
nfp‑indonesia.org/download/PKN%20Book_ 2009 Desentralisasi tata kelola hutan: politik,
V3.pdf [13 Februari 2010] ekonomi dan perjuangan untuk menguasai
Ministry of Forestry (MoF) 2008. Statistik Kehutanan hutan di Kalimantan, Indonesia. CIFOR, Bogor,
Indonesia Tahun 2007. Kementrian Kehutanan Indonesia.
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia. www. Moniaga, S. 2007 Ketika undang‑undang hanya
dephut.go.id/files/Stat_2007.pdf [24 Juni 2012]. berlaku di 39% daratan Indonesia: realitas
Ministry of Forestry (MoF) 2009a. Statistik Kehutanan pembatasan berlakunya Undang‑undang Nomor 5
Indonesia Tahun 2008. Kementrian Kehutanan Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‑pokok
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia. www. Agraria (UUPA). Dalam: Danardono, D. (ed.)
dephut.go.id/index.php?q=id/node/6122 Wacana pembaruan hukum di Indonesia,
[24 Juni 2012]. 177– 181. HuMa, Jakarta, Indonesia.
Ministry of Forestry (MoF) 2009b Eksekutif data Murdiyarso, D., Dewi, S., Lawrence, D. dan Seymour,
strategis kehutanan 2009. MoF, Jakarta, Indonesia. F. 2011. Indonesia’s forest moratorium: a stepping
Ministry of Forestry (MoF) 2009c Strategi stone to better forest governance? CIFOR Working
Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan: paper. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Hutan Rakyat di Pulau Jawa. Balai Pemantapan Nagara, G. 2009 Deforestasi, korupsi dan pencucian
Kawasan Hutan, Wilayah XI Jawa‑Madura uang: studi kasus perkebunan sawit KUCC.
and Multistakeholder Forestry Programme, ELSDA Institute, Jakarta, Indonesia.
Jakarta, Indonesia. www.dephut.go.id/files/ Newman, J. 2004 Indonesia’s log and timber export
Lap‑KebijakanHR‑Jawa.pdf [25 Juli 2012]. flows. Presentation at the meeting on Increasing
Ministry of Forestry (MoF) 2009d. Forest Law International Enforcement Cooperation to
Enforcement, Governance, and Trade—Voluntary Control Transboundary Trade in Illegally Produced
Partnership Agreement (FLGET‑VPA): Penegakan Logs and Timber. Bangkok, Thailand, 18–19
Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan bidan Oktober 2004. www.inece.org/illegaltimber/
Kehutanan—Perjanjian Kemitraan Sukarela, [27 April 2012].
Jakarta. Indonesia. http://www.dephut.go.id/files/ Noor, M. dan Sarwani, M. 2004 Pertanian di lahan
FLEGT_VPA.pdf [30 Juli 2012] gambut: masa lalu, kini dan esok. Dalam:
Ministry of Forestry (MoF) 2010a. Ministry of Forestry CCFPI (ed.) Wise use and sustainable peatlands
Working Group baseline and mitigation scenarios. management practices: Proceedings of Climate
Jakarta, Indonesia. Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Ministry of Forestry (MoF) 2010b. EU‑Indonesia (CCFPI), 291–296. Wetlands International,
FLEGT VPA Expert Meeting; minutes of the Indonesia Programme, Bogor, Indonesia dan
2nd meeting. Jakarta, Januari 15, 2010. http:// Wildlife Habitat, Ottawa, Canada.
www.dephut.go.id/files/2nd_Minutes_Expert_ Nzunda, E.F. dan Mahuve, T.G. 2011 A SWOT
Meeting_150110.pdf [ 3o Juli 2010] analysis of mitigation of climate change through
Ministry of Forestry (MoF) 2011a. Statistik Kehutanan REDD. Springer‑Verlag, Heidelberg, Germany.
Indonesia Tahun 2010. Kementrian Kehutanan Obidzinski, K., Andrianto, A. dan Wijaya, C. 2006
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia. www. Timber smuggling in Indonesia: critical or
dephut.go.id/index.php?q=id/node/8347 overstated problem? Forest governance lessons from
[24 Juni 2012]. Kalimantan. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Ministry of Forestry (MoF) 2011b. Rekapitulasi Obidzinski, K., Takahashi, I., Dermawan, A.,
Pelepasan Kawasan Hutan untuk Lokasi Komarudin, H. dan Andrianto, A. 2012. Can
Permukiman Transmigrasi dan Perkebunan s/d large scale land acquisition for agro‑development
31 Desember 2010. www.dephut.go.id/files/ in Indonesia be managed sustainably? Land
IzinPelepasanKawasanHutanUntuk Use Policy.
108   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Ostrom, L. 1990 Governing the commons: the the redistribution of forest revenues. Dalam:
evolution of institutions for collective action. The Barr, C., Resosudarmo, I.A.P., Dermawan, A.,
political economy of institutions and decisions. McCarthy, J.F., Moeliono, M. dan Setiono, B.
Cambridge University Press, New York. (eds) Decentralization of forest administration in
Palmer, C.E. 2001 The extent and causes of illegal Indonesia, 58–86. CIFOR, Bogor, Indonesia.
logging: an analysis of a major cause of tropical Resosudarmo, I.A.P., Mardiah, S. dan Utomo, N.A.
deforestation in Indonesia. CSERGE working 2011 Extractive land use, spatial planning, and
paper. University of East Anglia, Norwich, UK. their implications for REDD+ in Indonesia:
http://discovery.ucl.ac.uk/17588/1/17588.pdf [27 A preliminary analysis. Paper to 3rd IRSA
April 2012]. International Institute Conference, Padang,
Pearce, D.W. dan Brown, K. 1994 The causes of Indonesia, 21 Juli 2011
tropical deforestation. UCL Press, London. Rumboko, L.W. dan Hakim, I. 2003 Dampak
Pearson, B. dan Loong, Y.S. 2003. The CDM: reducing desentralisasi di sektor kehutanan [The impacts
greenhouse gas emissions or relabelling business of decentralisation on the forestry sector].
as usual. CDM Watch & Third World Network, PUSLITSOSEKHUT, Bogor, Indonesia.
Malaysia dan Indonesia. Rusli, Y. 2011 Companionship on carbon in the
Prihandana, R. 2008 Mengenal energi hijau. Penebar region: basic idea and desire. Paper presented at
Swadaya, Jakarta, Indonesia. the Asian Forum on Carbon Update 2011. DNPI
REDD Task Force 2011 Strategi Nasional REDD+: and CENSUS, Hokkaido University, Bandung,
final draft. Jakarta, Indonesia. Indonesia, 14 Maret 2011.
Resosudarmo, B.P., Resosudarmo, I.A.P., Sarosa, W. Rusli, Y. dan Justianto, A. 2007 Integrating global
dan Subiman, N.L. 2009 Socioeconomic conflicts forest policies into national policies. Presentation
in Indonesia’s mining industry. Dalam: Cronin, R. at the Workshop of the Indonesian Ministry of
dan Pandya, A. (eds.) Exploiting natural resources: Forestry Exhibition Program, No  4. www.dephut.
growth, instability, and conflict in the Middle East go.id/informasi/unff/COP%2013/Integrating.pdf
and Asia, 33–48. The Henry L. Stimson Center, [27 April 2012].
Washington, DC. http://people.anu.edu.au/budy. Safitri, M.A. 2010 Forest tenure in Indonesia: the
resosudarmo/2006to2010/Mining_Reso.pdf socio‑legal challenges of securing communities’
[27 April 2012]. rights. Leiden University, Leiden, The Netherlands.
Resosudarmo, I.A.P. 2004 Closer to people and trees: Santosa, M.A. (ed.) 2003 Penegakan hukum illegal
will decentralisation work for the people and logging: permasalahan dan solusi. Indonesian
the forests of Indonesia? European Journal of Center for Environmental Law, Jakarta, Indonesia.
Development Research 16(1): 110–132. Santosa, M.A. dan Khatarina, J. 2010 Pemberantasan
Resosudarmo, I.A.P. 2007 Has Indonesia’s mafia hukum dalam illegal logging: definisi,
decentralization led to improved forestry modus operandi, akar penyebab dan strategi
governance? A case study of Kutai Barat and penanggulangannya. Paper presented at the
Bulungan Districts, East Kalimantan. PhD Seminar organised by CIFOR and Komisi
thesis. Australian National University, Canberra, Pemberantasan Korupsi (KPK), Hotel Sari Pan
Australia. Pacific, Jakarta, Indonesia, 29 Juni 2010.
Resosudarmo, I.A.P., 2011a Central–local relations Sarsito A, 2010. Indonesia REDD readiness: ongoing
and accountability in forest management and their activities. Presentation on 30 Maret 2010.
implications for REDD: The case of Indonesia. http://www.dephut.go.id/files/2.KLN_Donor_
Paper presented at the 2011 Colorado Conference Mapping_0.pdf [30 Juli 2012]
on Earth Systems ‘Governance: Crossing Sawit Watch 2009 Peta investigasi Sawit Watch. Sawit
Boundaries and Building Bridges’. Colorado State Watch, Bogor, Indonesia.
University, Fort Collins, USA, 17–20 Mei 2011. Scale Up 2011. Konflik lahan antara masyarakat dengan
Resosudarmo, I.A.P. 2011b Power and the politics of perusahaan di Riau tahun 2010. Laporan Tahunan
REDD+ in Indonesia: not a done deal. Powerpoint 2010. Scale Up, Pekanbaru, Riau, Indonesia. www.
presentation at the Component 1 of the Global scaleup.or.id/publikasi‑akhirthn/Laporan%20
Comparative Study of REDD+ Workshop and Tahunan%20Scale%20Up_2010_Final.pdf [24
Science Policy Dialogue, Cuiba, Brazil, 12–14 Juni 2012].
April 2011. Scotland N, 2000. Indonesia Country Paper on Illegal
Resosudarmo, I.A.P., Barr, C., Dermawan, A. Logging. Prepared for the World Bank‑WWF
and McCarthy, J. 2006 Fiscal balancing and
Konteks REDD+ di Indonesia   109

Workshop on Control of Illegal Logging in East UNFF 2004. National Report to the Fifth Session of
Asia, Agustus 28, 2000, Jakarta, Indonesia. the United Nations Forum on Forests: Indonesia.
Sekala Forest Climate Center 2012 REDD+ project http://www.un.org/esa/forests/pdf/national_
list—Indonesia (Maret 2012 version). http:// reports/unff5/indonesia.pdf [30 Juli 2012]
forestclimatecenter.org/files/2012‑03‑26%20 UNREDD 2009. Indonesia UN‑REDD National
Indonesia%20‑%20REDD%20 Joint Programme. Standard Joint Programme
Demonstration%20Activities.pdf. [28 Mei 2012]. Document.
Setiawan, U. 2010 Food estate: imperialisme agrobisnis UN‑REDD 2010 Tahun pertama UN‑REDD
[Food estates: agribusiness imperialism] http:// Programme Indonesia: mempercepat Kesiapan
www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&ta REDD+ Nasional. UN‑REDD, Jakarta, Indonesia.
sk=view&id=480&Itemid=85 [27 April 2012]. Verchot, L.V., Petkova, E., Obidzinski, K., Atmadja,
Sheil, D., Casson, A., Meijaard, E., van Nordwijk, M., S., Yuliani, E.L., Dermawan, A., Murdiyarso, D.
Gaskell, J., Sunderland‑Groves, J., Wertz, K. dan dan Amira, S. 2010 Reducing forestry emissions in
Kanninen, M. 2009 The impacts and opportunities Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia.
of oil palm in Southeast Asia: what do we know Violleta, S., Syarif, L., Ivalerina, F., Muharjanti, P.,
and what do we need to know? Occasional paper Subagyo, R. dan Indrarto, G.B. 2008. Underlying
No. 51. CIFOR, Bogor, Indonesia. cause of regulation, law enforcement, government
Smith, J., Obidzinski, K. dan Subarudi, S. 2003 Illegal aspect on forest and land fires in Indonesia.
logging, collusive corruption and fragmented Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta,
governments in Kalimantan in Indonesia. Indonesia. www.cifor.cgiar.org/trofcca/home/
International Forestry Review 5: 293– 302. products/attachments/Violleta%202008%20
Soehartono, T. dan Mardiastuti, A. 2002 CITES Underlying%20Causes%20of%20Regulation,%20
implementation in Indonesia. Nagao Natural Law%20Enforcement.pdf [27 April 2012].
Environment Foundation. Jakarta, Indonesia. von Luebke, C. 2009. Post‑Suharto Indonesia:
Steni, B. 2009 Rancangan REDD dan persoalan tenure. democratic consolidation and continuing
www.huma.or.id/berita_huma/REDD%20dan%20 challenges. Spice Digest, Fall. http://spice.stanford.
Tenure%20rev%201.pdf [20 Februari 2010]. edu/docs/postsuharto_indonesia_democratic_
Sudibyo, A. 2010 Cermin retak kemerdekaan pers consolidation_and_continuing_challenges/ [27
[Cracked mirror of Indonesian press]. Kompas, 24 April 2012].
Agustus. Widagdo, S. 2010 Sisi ironis pertambangan.
Sumardjono, M.S.W. 2008 Tanah dalam perspektif http://desentralisasi.net/aktualita/
hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penerbit Buku sisi‑ironis‑pertambangan_20100129 [27 April
Kompas, Jakarta, Indonesia. 2012].
Sunderlin, W.D. dan Resosudarmo, I.A.P. 1996 Laju World Bank 2000 Indonesia: The challenges of World
dan penyebab deforestrasi di Indonesia: penelaahan Bank involvement in forests. Evaluation country
kerancuan dan penyelesaiannya. CIFOR, Bogor, case study series. http://lnweb90.worldbank.org/
Indonesia. oed/oeddoclib.nsf/b57456d58aba40e585256ad400
Sunderlin, W.D., Resosudarmo, I.A.P., Rianto, E. dan 736404/749c3a7fe1d679c98525697000785b5a/$
Angelsen, A. 2000 The effect of the Indonesian FILE/IndForCS.pdf [27 April 2012].
economic crisis on small farmers and natural forest Wulan, Y.C. dan Yasmi, Y. 2004 Analisa konflik: sektor
cover in the outer islands. CIFOR Occasional kehutanan di Indonesia 1997–2003 [An analysis of
Paper 29. CIFOR, Bogor, Indonesia. forestry sector conflict in Indonesia 1997–2003].
Tacconi, L. 2003 Fires in Indonesia: causes, costs and CIFOR, Bogor, Indonesia.
policy implications. CIFOR Occasional Paper Yasmi, Y., Kelly, L., Murdiyarso, D. dan Patel,
No. 38. CIFOR, Bogor, Indonesia. T. 2012 The struggle over Asia’s forests: an
Thee, K.W. 2005 Utang luar negeri Indonesia: overview of forest conflict and potential
sebuah tinjauan historis dan sejarah utang negeri implications for REDD+. International Forestry
penghutang. Koalisi Anti Utang Indonesia, Jakarta, Review 14: 99– 109.
Indonesia. Yuliani, E.L. (ed.), 2006 Kehutanan multipihak:
UNFF 2003. National Report to the Fourth Session of langkah menuju perubahan. CIFOR. Bogor,
the United Nations Forum on Forests: Indonesia. Indonesia.
http://www.un.org/esa/forests/pdf/national_
reports/unff4/indonesia.pdf. [30 Januari 2012]
110   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Media http:// www. kalimantan‑news.com/berita.
AFP 2008 Indonesia looks to Papua to php?idb=13766. [30 Juli 2012]
expand palm oil plantations: officials. Kompas 2008 Data kehutanan beragam. 1 April.
21 Mei. http://afp.google.com/article/ Kompas 2009 Sektor migas rugikan negara
ALeqM5jqwJenFP0c1gJL7446ZHZPz3_xOA Rp 346 triliun.
[27 April 2012]. Kompas 2010a 1,9 Juta ha hutan di konversi dan
Anti Judicial Mafia Task Force 2011 Penegakan analisa Badan Planologi Dephut tentang
hukumpada pelanggaran di kawasan hutan di perubahan RTRWP Kalimantan Timur.
Kalimantan Tengah [Press release]. 1 Februari. Kompas 2010b Pembalakan liar: hutan konservasi di
http://reddandrightsindonesia.wordpress. sambas dijarah. 6 April. http://sains.kompas.com/
com/2011/05/18/penegakan-hukum-pada- read/2010/04/06/09092713/Hutan.Konservasi.
pelanggaran-di-kawasan-hutan-di-kalimantan- di.Sambas.Dijarah [27 April 2012].
tengah/ [24 Juni 2012]. Kompas 2010c Kami tak Sanggup Menghentikan
Bisnis Indonesia 2009 Tax holiday sedang disiapkan. Kerakusan Ini, 25 Januari. http://cetak.kompas.
3 Desember. com/read/2010/01/25/03593960/kami.tak.
Butler, R. 2008 WWF ends contentious debate, will sanggup.menghentikan.kerakusan.ini
now support effort to fight climate change by Kompas 2010d Penambangan memprihatinkan.
saving rainforests. Mongabay, 24 September. 25 Januari. http://cetak.kompas.com/
http://news.mongabay.com/2008/0924‑wwf.html read/2010/01/25/03590432/penambangan.
[27 April 2012]. memprihatinkan [27 April 2012].
Detiknews 2007a REDD resmi diluncurkan. Kompas 2010e Perang pada mafia kehutanan
6 Desember www.detiknews.com/read/2007/12/0 dimulai [War against the forestry mafia
6/125333/863025/10/redd‑resmi‑diluncurkan [27 starts] 26 April. http://cetak.kompas.com/
April 2012]. read/2010/04/26/0355424/Perang.pada.Mafia.
Detiknews 2007b Rugikan masyarakat adat, aktivis Kehutanan.Dimulai [27 April 2012].
tolak REDD. www.detiknews.com/index. Kompas 2010f Alam Rusak, Menhut Tegur Gubernur
php/detik.read/tahun/2007/bulan/12/tgl/06/ Kaltim, 24 Juni. http://regional.kompas.com/
time/101918/idnews/862876/idkanal/10 [27 April read/2010/06/24/07552149/Alam.Rusak.Menhut.
2012]. Tegur.Gubernur.Kaltim [27 April 2012].
Detiknews 2010 Pemerintah akan buat tim gabungan Kompas 2010g Hasil hutan: TNI AL sita 2.644 meter
berantas mafia hutan. www.detiknews.com/read kubik kayu ilegal. 24 Maret. http://cetak.kompas.
/2010/06/23/190945/1385107/10/pemerintah- com/read/2010/03/24/04362527/tni.al.sita.2.644.
akan-bentuk-tim-gabungan-berantas-mafia- meter.kubik.kayu.ilegal [27 April 2012].
hutan?n991102605 [27 April 2012]. Kompas 2011a KPK temukan ribuan tambang
Gatra 2011 Staff SBY bantah Akomodir Kepentingan bermasalah. 15 November. http://nasional.kompas.
Usaha. 7 Juni. www.gatra.com/2011‑06‑07/artikel. com/read/2011/11/15/05130537/KPK.Temukan.
php?id=148876 [27 April 2012]. Ribuan.Tambang.Bermasalah [27 April 2012].
Guerin, B. 2007 A who’s who of Indonesian biofuel. Kompas 2011b Bupati Siak ditahan KPK.
Asia Times, 22 Mei 2007. 26 Maret 2011. http://nasional.kompas.com/
Investor Daily Indonesia 2011 Draft Inpres moratorium read/2011/03/26/03371751/ [24 Juni 2012].
hutan timbulkan ketidakpastian usaha. 9 Februari. Kontan 2010 Perkebunan kelapa sawit akan mas
www.investor.co.id/agribusiness/draft-inpres- llegator kehutanan. 9 Februari. http://nasional.
moratorium-hutan-timbulkan-ketidakpastian- kontan.co.id/news/perkebunan-kelapa-sawit-akan-
usaha/5320 [27 April 2012]. masuk-sektor-kehutanan [24 Juni 2012].
Jakarta Globe 2011a Malaysian palm oil firm looks to Media Indonesia 2010 26 juta hektare
Africa. 1 Maret. www.gapki.or.id/news/detail/143/ hutan di Indonesia dijarah.
Malaysian‑Palm‑Oil‑Firm‑Looks‑to‑Africa 17 Februari. www.mediaindonesia.com/
[27 April 2012]. read/2010/02/17/123739/265/114/26-
Jakarta Globe 2011b Forest moratorium too harsh for Juta-Hektare-Hutan-di-Indonesia-Dijarah-
some, too weak for others. 21 Mei. http://www. [27 April 2012].
thejakartaglobe.com/home/forest-moratorium- Media Indonesia 2011a Kewenangan
too-harsh-for-some-too-weak-for-others/442313 Satgas REDD+ bisa keruhkan suasana.
[27 April 2012]. 17 Februari. www.mediaindonesia.com/
Kalimantan News 2012. Pemprov Kalteng read/2011/02/17/204012/89/14/Kewenangan-
Minta Lsm Pelaksana REDD+ Dihentikan.
Konteks REDD+ di Indonesia   111

Satgas-REDD-Bisa-Keruhkan-Suasana bisnis/2011/02/01/brk,20110201‑310512,id.html
[27 April 2012]. [27 April 2012].
Media Indonesia 2011b Inpres moratorium
berdampak positif. 28 Mei. www.mediaindonesia.
com/read/2011/05/28/229553/126/101/ Undang‑Undang, Peraturan Pemerintah,
Inpres‑Moratorium‑Berdampak‑Positif Keputusan Presiden dan Keputusan dan
[27 April 2012]. Peraturan Menteri
politikindonesia.com 2011 Kemenhut‑UKP4 Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005 tentang
sepakat 64 juta ha hutan di moratorium. 21 Pemberantasan penebangan kayu secara ilegal
Februari. www.politikindonesia.com/index. di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh
php?k=politik&i=18863 [27 April 2012]. wilayah Republik Indonesia.
Republika, 2010. Mendagri Rekomendasikan Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang Penyediaan dan
Pembatalan 1000 Perda. http://www. Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai
republika.co.id/berita/breaking-news/ Bahan Bakar Lain.
politik/10/07/17/125060-mendagri- Keputusan Menteri Pertanian No. 764/Kpts/Um/1980
rekomendasikan-pembatalan-1-000-perda tentang Ketentuan Pelepasan Areal Hutan untuk
[30 Juli 2012] Tujuan Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan
Saleh, C. 2005 Pelaksanaan CITES di Indonesia. Tanaman Pangan
www.wwf.or.id/berita_fakta/highlights/?4201/ Keputusan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/
Pelaksanaan‑CITES‑di‑Indonesia [27 April 2012]. OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Simamora, A.P. 2011a Business interests blamed for Perkebunan
forest moratorium delay. Jakarta Post, 12 Januari. Keputusan Menteri Kehutanan No. 417/II/1986
http://www.thejakartapost.com/news/2011/01/12/ tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
business-interests-blamed-forest-moratorium-delay. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
html [27 April 2012]. No. 310/Kpts‑ II/1999 tentang Pedoman
Simamora, A.P. 2011b Government reduces area of Pemberian Hak Pemungutan hasil Hutan.
forests protected by moratorium. Jakarta Post, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
5 Juli. www.thejakartapost.com/news/2011/07/05/ No. 317/Kpts‑II/1999 tentang Hak Pemungutan
govt‑reduces‑area‑forests‑protected‑moratorium. Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat Pada Areal
html [27 April 2012]. Hutan Produksi.
Suara Karya Online 2011 Indonesia seharusnya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
bisa untung besar dari REDD. 14 Juni. www. No. 318/Kpts‑ II/1999 tentang Peran Serta
suarakarya‑online.com/news.html?id=280715 Masyarakat dalam Pengusahaan Hutan.
[27 April 2012]. Keputusan Menteri Kehutanan No. 05.1/
Tambangnews.com 2010 Mengapa China mengimpor Kpts‑II/2000 tentang Kriteria dan Standar
batu bara dari Indonesia? 7 September. www. Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan
tambangnews.com/serba-serbi/opini/676- Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan
mengapa-china-mengimpor-batu-bara-dari- Produksi Alam.
indonesia-.html [27 April 2012] Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts‑II/2001
Tempo 2008. Bupati Pelalawan divonis 11 Tahun tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan
Penjara (Pelalawan Head of District Sentenced to Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
11 years in Prison) http://www.kpk.go.id/modules/ Keputusan Menteri Kehutanan No. 541/Kpts‑II/2002
news/article.php?storyid=683 [30 April 2012] tentang Pencabutan Keputusan Menteri
Tempo 2010 Memerangi mafia kehutanan [Battling the Kehutanan No. 05.1/Kpts‑Ii/2000 Tentang
forestry mafia]. 27 April. http://www.korantempo. Kriteria dan Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan
com/korantempo/koran/2010/04/27/Editorial/ Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil
index.html Hutan pada Hutan Produksi.
Tempo Interaktif 2010 Pendapatan dari hutan Keputusan Menteri Kehutanan No. 7501/
ditargetkan naik pada 2011. 23 Desember. http:// Kpts‑II/2002 tentang 5 (Lima) Kebijakan
www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/12/23/ Prioritas Bidang Kehutanan Dalam Program
brk,20101223‑301127,id.html [27 April 2012]. Pembangunan Nasional.
Tempo Interaktif 2011 891 Perkebunan dan Keputusan Presiden No. 41/2004 tentang Perizinan
pertambangan di Kalimantan Tengllegalgal. atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang
1 Februari. http://tempointeraktif.com/hg/ berada di Kawasan Hutan.
112   G.B. Indrarto, P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman, M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo dan E. Muharrom

Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.64/ Peraturan Pemerintah No. 8/1999 tentang Pemanfaatan
Menhut‑II/2010 tentang Pembentukan Kelompok Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar.
Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan. Peraturan Pemerintah No. 27/1999 tentang Analisis
Keputusan Menteri Kehutanan No. 292/ Mengenai Dampak Lingkungan.
Menhut‑II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Peraturan Pemerintah No. 4/2001 tentang
dan Fungsi Kawasan Hutan Provinsi Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Kalimantan Tengah. Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan
Keputusan Menteri Kehutanan No. SK‑323/ Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Menhut‑II/2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Peraturan Pemerintah No. 34/2002 tentang Tata Hutan
Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan
Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Peraturan Pemerintah No. 44/2004 tentang
Penggunaan Lain. Perencanaan Kehutanan.
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Peraturan Pemerintah No. 45/2004 tentang
No. P.6/VI‑Set/2009 tentang Standard dan Perlindungan Hutan.
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan
Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. dan Penyusunan Rencana Pengelolahan Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/ serta Pemanfaatan Hutan.
Menhut‑II/2008 tentang Penyelenggaraan Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang
Demonstration Activities Pengurangan Emisi Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.22/ Kabupaten/ Kota.
Menhut‑II/2009 tentang Perubahan Peraturan Peraturan Pemerintah No. 2/2008 tentang Jenis dan
Menteri Kehutanan No. P.31/Menhut‑II/2005 Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak
tentang Pelepasan Kawasan hutan dalam rangka yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan
Pengembangan usaha budidaya Perkebunan. untuk kepentingan Pembangunan di luar kegiatan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/ Kehutanan yang berlaku pada Departemen
Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Kehutanan.
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Peraturan Pemerintah No. 3/2008 tentang Perubahan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/ atas Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata
Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolahan
Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Peraturan Pemerintah No. 62/2008 tentang Perubahan
Hutan Lindung. atas Peraturan Pemerintah No. 1/2007 tentang
Peraturan Menteri Kehutanan No. P38/Menhut- Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Modal di Bidang‑bidang usaha Tertentu dan atau
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan di Daerah‑daerah Tertentu.
Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Peraturan Pemerintah No. 60/2009 tentang Perubahan
pada Hutan Hak. atas Peraturan Pemerintah No. 45/2004 tentang
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.8/Menhut‑II/2010 Perlindungan Hutan.
tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Peraturan Pemerintah No. 10/2010 tentang Tata Cara
Kehutanan Tahun 2010‑2014. http://www.dephut. Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
go.id/files/P08_2010.pdf [30 April 2012] Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 21/1970 tentang Hak Peraturan Pemerintah No. 15/2010 tentang
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Hasil Hutan. Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha
Peraturan Pemerintah No. 7/1990 Hak Pengusahaan Budidaya Tanaman.
Hutan Tanaman Industri. Peraturan Pemerintah No. 24/2010 tentang
Peraturan Pemerintah No. 62/1998 tentang Penyerahan Penggunaan Kawasan Hutan.
Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan
Kehutanan kepada Daerah. Energi Nasional.
Peraturan Pemerintah No. 6/1999 tentang Pengusahaan Peraturan Presiden No. 46/2008 tentang Dewan
Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan untuk Hutan Nasional Perubahan Iklim.
Produksi.
Konteks REDD+ di Indonesia   113

Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Undang‑Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan


Pembangunan Jangka Menengah Nasional United Nations Framework Convention
Tahun 2010–2014. on Climate Change.
Keputusan Presiden No. 19/2010 tentang Satuan Tugas Undang‑Undang No. 22/1999 tentang Pemerintah
Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ Daerah (digantikan oleh Undang‑Undang
Instruksi Presiden No. 10/ 2011 Penundaan Pemberian No. 32/2004).
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Undang‑Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan
Alam Primer dan Lahan Gambut Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi (digantikan oleh Undang‑Undang No. 33/2004).
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Undang‑Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Peraturan Daerah No. 8/2003 tentang Rencana Tata Undang‑Undang No. 20/2002 tentang
Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Ketenagalistrikan
Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.9/ Undang‑undang No. 17/2003 tentang
Menhut‑VI/2009 tentang Volume Tegakan Kayu Keuangan Negara.
Tidak Ekonomis Pada Areal Pinjam Pakai Kawasan Undang‑undang No. 24/2003 tentang Mahkamah
Hutan atau pada APL yang Telah Dibebankan Izin Konstitusi
Peruntukan. Undang‑undang No. 18/2004 tentang Perkebunan.
Undang‑Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Undang‑undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Pokok‑pokok Agraria. Undang‑undang No. 14/2008 tentang Keterbukaan
Undang‑Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Informasi Publik
Modal Asing. Undang‑undang No. 4/2009 tentang Pertambangan
Undang‑Undang No. 6/1968 tentang Penanaman Mineral dan Batu Bara.
Modal Dalam Negeri. Undang‑Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan
Undang‑Undang No. 5/1994 tentang Pengesahan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
United Nation Convention on Biological Diversity.
Lampiran 1. Perbandingan antara masukan/pemaparan dari
peserta dalam konsultasi publik (25 Maret 2008) dan versi
terakhir Peraturan Menteri Kehutanan tentang REDD (2009)
Masukan dari pemapar Versi terakhir
(Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/Kpts‑II/2009)
AMAN:
1. Rancangan peraturan tersebut tidak berlandaskan • Pada Pasal 8(1)a, pendekatan masih menggunakan
pada pemegang hak, tetapi masih terbatas pada “pemangku kepentingan” dan belum menggunakan
pemangku kepentingan. Hal ini juga tercermin pada pendekatan “pemegang hak”. Pasal 8(1)a menyatakan
susunan Komisi REDD dalam rancangan tersebut. bahwa pihak terkait harus:, “...memiliki salinan Surat
2. Substansi dari rancangan tersebut tidak memberikan Keputusan Menteri yang menyatakannya sebagai
upaya perbaikan hak‑hak masyarakat adat sebagai pengelola hutan adat. “
pemegang hak. • Permenhut tetap memandang hutan adat sebagai
3. Rancangan tersebut mengabaikan dua hutan negara dan bukan sebaliknya, seperti yang
kenyataan penting: diharapkan oleh masyarakat adat.
• hutan alam yang tersisa berada di dalam kawasan • Permenhut tidak secara tegas menjelaskan mekanisme
adat yang diselamatkan oleh lembaga dan hukum penyelesaian sengketa dengan masyarakat adat.
adat setempat.
• kawasan yang tercakup dalam izin usaha
pemanfaatan hasil hutan (IUPHH) pada umumnya
terlibat dalam sengketa dengan masyarakat adat
DNPI
1. Diperlukan mekanisme REDD di luar kawasan hutan • Permenhut tidak memuat ketentuan mengenai REDD
yang melibatkan DNPI, Kementerian Dalam Negeri, di luar kawasan hutan yang melibatkan sektor lain
dan Kementerian Lingkungan Hidup. seperti DNPI, Kemdagri, dan KLH.
2. Perlu dibentuk lembaga interdepartemen yang • Demikian juga, tidak ada ketentuan mengenai
akan mengelola aset karbon dan pemberian insentif pembentukan lembaga interdepartemen
dari REDD. dalam Permenhut.
DKN
1. Perlu ada pemahaman sistematis atas skema REDD • Tidak ada penjelasan ataupun ketentuan mengenai
untuk memastikan dipertimbangkannya hasil hutan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan maupun
bukan kayu dan jasa lingkungan. keterkaitannya dengan kegiatan REDD dalam
2. Pendekatan sistematis tidak tampak dalam Permenhut.
rancangan permenhut; alur judul, maksud, tujuan, • Pasal 4(2) menyatakan pemegang izin pemulihan
lokasi, persyaratan, dan aturan pengalihan tidak ekosistem dapat melaksanakan REDD, namun tanpa
menunjukkan sistematika yang baik. penjelasan lebih lanjut mengenai apakah REDD
3. Kami menyarankan untuk tidak terburu‑buru menjadi bagian dari kegiatan pemulihan ekosistem
menerbitkan peraturan mengenai REDD tersebut atau bukan.
agar terlihat lebih siap.
CIFOR
1. Definisi hutan negara tidak jelas, terutama apabila • Definisi hutan masih belum berubah dan tidak ada
dikaitkan dengan hak pengusahaan. Selain itu, perlu tambahan apa pun pada rancangan awal, sehingga
menambahkan definisi hutan sebagaimana telah saran mengenai perbaikan definisi hutan tidak
diserahkan oleh Indonesia kepada UNFCCC. ditampung.
2. Cakupan REDD semestinya lebih luas daripada • Permenhut telah memasukkan saran untuk
sekedar menghambat deforestasi dan degradasi, memperluas cakupan REDD.
karena juga terkait dengan perbaikan tata kelola,
pengelolaan hutan berkelanjutan, dan kesejahteraan
masyarakat.
3. Terdapat banyak peraturan lain yang tidak dicakup
(didukung) dalam rancangan Permenhut tersebut,
sehingga akan menimbulkan ketidakpastian bagi
pemangku kepentingan lain.
Konteks REDD+ di Indonesia   115

Masukan dari pemapar Versi terakhir


(Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/Kpts‑II/2009)
GTZ
1. Terdapat beberapa inkonsistensi dalam penulisan • Permenhut tidak membedakan secara jelas antara
definisi kredit REDD, sertifikat REDD, dan kredit REDD, sertifikat REDD, dan insentif REDD.
insentif REDD. Dalam permenhut, ketiganya dianggap sebagai suatu
2. Definisi degradasi hutan tidak mencakup penurunan rangkaian; istilah sertifikat REDD dapat dipertukarkan
kualitas komposisi hutan. dengan “kredit” oleh lembaga internasional dan
penjualan dianggap sebagai insentif.
3. Definisi hutan tidak sejalan dengan definisi dalam
kerangka UNFCCC. • Ketentuan tersebut tidak menguraikan secara jelas
mengenai tantangan mendasar dalam konsep
4. Perbedaan antara maksud dan tujuan dalam
“perdagangan karbon”.
rancangan tersebut tidak jelas.
• Definisi degradasi hutan masih tidak berubah sejak
5. Pembagian manfaat tidak secara jelas diatur dalam
rancangan awal, dan tidak mencakup penurunan
rancangan permenhut.
kualitas komposisi hutan.
• Permenhut tidak berisi ketentuan tentang
pembagian insentif.
Working Paper CIFOR berisi hasil penelitian tahap awal atau lanjut, yang merupakan isu penting terkait hutan
tropis, dan perlu dipublikasikan pada waktu yang tepat. Makalah tersebut dibuat untuk menginfomasikan
sekaligus mendorong dilakukannya pembahasan. Isinya telah ditinjau secara internal, tetapi belum melewati
proses tinjauan sesama rekan dari luar yang memakan waktu lebih lama.

Profil negara ini mengulas pemicu deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia, menjelaskan lingkungan
kelembagaan, politik, dan ekonomi di tempat REDD+ dilaksanakan di Indonesia, dan mendokumentasikan proses
penyusunan kebijakan REDD+ nasional selama kurun waktu 2007 – awal 2012. Sejalan dengan komitmen Indonesia
pada tingkat nasional dan internasional untuk mengatasi perubahan iklim melalui sektor kehutanan, terdapat pula
tantangan kontekstual yang perlu diatasi agar tercipta kondisi yang memungkinkan untuk REDD+. Sebagian dari
persoalan utama tersebut mencakup landasan hukum yang tidak konsisten, fokus sektoral, penguasaan lahan yang
tidak jelas, dampak dari desentralisasi, dan tata kelola di daerah yang lemah.

Walaupun terdapat sejumlah tantangan ini, REDD+ membuka peluang bagi perbaikan dalam tata kelola hutan dan,
secara lebih luas, dalam tata kelola penggunaan lahan. Adanya proses politik dan ekonomi yang lebih demokratis
secara umum, semakin besarnya kebebasan masyarakat madani dan pers, dan meningkatnya kesadaran akan
persoalan lingkungan dapat membantu penggalangan dukungan dan pemantapan kebijakan ke arah tata kelola
kehutanan dan lahan yang lebih baik.

Penelitian ini dilaksanakan oleh CIFOR sebagai bagian dari Program Penelitian CGIAR: Hutan, Pohon, dan Wanatani (Forests, Trees and
Agroforestry). Program kolaboratif ini bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, wanatani, dan sumber daya
genetis pohon yang mencakup lanskap dari hutan sampai ke lahan budidaya. CIFOR memimpin program kemitraan ini dengan bekerja
bersama Biodiversity International, CIRAD, International Center for Tropical Agriculture dan World Agroforestry Centre.

cifor.org ForestsClimateChange.org

Center for International Forestry Research


CIFOR memajukan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan kesetaraan melalui penelitian yang
berorientasi pada kebijakan dan praktik kehutanan di negara berkembang. CIFOR merupakan salah satu Pusat
Penelitian Konsorsium CGIAR. CIFOR berkantor pusat di Bogor, Indonesia dengan kantor wilayah di Asia, Afrika dan
Amerika Selatan.

Anda mungkin juga menyukai